Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?

Started by dhammasiri, 11 November 2009, 09:29:47 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Peacemind

Yap.. setuju dengan saudara Fabian. Selain itu, sebenarnya istilah 'agama' dan menurut pendapat saya bahkan istilah 'Buddha', 'Dhamma' hanya hal2 yang bersifat konvensi dalam artian mereka hanya merupakan kata2 persetujuan. Sebagai contoh, di negara2 yang berbahasa Inggris, istilah agama dimengerti sebagai religion, dan tidak harus dengan istilah 'agama'. Kenapa sekarang di Indonesia mereka yang menjadi penganut ajaran BUddha dikatakn beragama BUddha? Karena kebetulan yang menjadi pendiri ajaran ini dikenal sebagai Buddha. Buddha adalh bahasa Pali yang berarti 'Yang telah terbangunkan'. Seumpamanya, Sang Buddha mencapai penerangan sempurna di Indonesia yang mana bahasanya berbeda dari bahasa Pali, maka saya yakin nama agama itu sendiri pasti bukan agama BUddha, namun menggunakan istilah lain, seperti 'Agama Terbangunkan'. Menimbang ini, sebenarnya yang menjadi permasalahan adalh bukan label atau nama dari agama itu sendiri. Yang terpenting adalh inti atau isi ajaran agama tersebut.

Be happy

Jerry

Yup setuju dengan pendapat Om Fab dan penambahan dari Sdr Peacemind _/\_

Makanya dikatakan sbg 'agama' Buddha pun bukan masalah besar toh? Atau mau dikatakan 'ajaran' Buddha, 'Buddha-sasana' dlsb. Yang lebih penting isi dan pengertiannya dibandingkan mengganti istilah karena istilah diganti bagaimanapun seringkali isinya masih tetap itu-itu saja. Sedangkan tentang definisi, bagi saya tentu ada definisi mutlak dan ada definisi personal tentang 'agama' Buddha.
Definisi mutlak sifatnya tentu mutlak berdasarkan konvensi, sbgmn yg telah saya tuliskan sebelumnya (sebenarnya tercampur sedikit definisi personal), sedangkan definisi personal sifatnya relatif tergantung pada interpretasi personal masing2 yg dapat ditambahkan sesuai pengertiannya sendiri mengenai 'agama' Buddha. Misalnya ada yg menganggap agama Buddha bukan sekadar agama, tetapi cara hidup atau filosofi dlsb, itu bukan masalah dan kenyataannya memang agama Buddha dapat diinterpretasikan dalam cara itu. Mungkin yg ke-2 inilah yg Bro Kain lebih cenderung padanya.

Mettacittena
appamadena sampadetha

K.K.

Quote from: ryu on 12 December 2009, 02:10:20 PM
kalau soal mengenal ketidak puasan khan semua orang dari agama manapun bisa saja, tapi jalan untuk mencapai nibbana itu yang sulit dan ungkapan "hanya di ajaran Buddha" yang bisa menuntun ke Nibbana tidak salah khan?

"Hanya di ajaran Buddha yang bisa menuntun ke Nibbana" adalah benar, jika kita mengabaikan Pacceka Buddha.

K.K.

Quote from: Jerry on 12 December 2009, 05:14:54 PM
Apa tidak OOT dari apa yg sedang kita bahas? Btw, bahas apa sih kita? :hammer:
Sebelumnya telah pernah saya tuliskan bbrp hal pengondisi tsb yaitu waktu matangnya kondisi tiap2 orang adl berbeda2, metode yg diajarkan apakah cocok atau tidak, kondisi batin si pendengar sendiri bagaimana, apakah terbebas dr pancanivarana atau tidak, apakah terkonsentrasi atau tidak, apakah perasaannya menolak atau menerima, kualitas samvega dalam batinnya bagaimana. Akan ada banyak faktor pengondisi yg mana masing2 berbeda antara 1 orang dg yg lainnya. Ini tdk akan habis dijabarkan. Selain itu, ingat Sang Buddha adl penunjuk jalan, selanjutnya yg menempuh jalan adalah bhikkhu itu sendiri. Dan dalam menempuh itu tergantung pd usaha ybs sendiri.
Toh bukannya saya yang memasukkan unsur nilai deviasi karena satu pandangan dalam pencapaian seseorang. Seperti saya katakan, semua sama saja, sebelum orang menembus kesucian minimal Sotapatti, sama-sama berpandangan salah. Jadi Upatissa menjelang bertemu Assaji sama saja -dalam konteks berpandangan salah- dengan para Nigantha yang memusuhi Buddha; juga demikian halnya dengan para bhikkhu puthujjana maha-thera dengan orang beragama lain. Sama.
Apa yang dapat membuat seseorang memahami dhamma adalah karena kematangan bathin, bukan karena agamanya, bukan karena pandangannya. Dan tentu saja perlu diingat saya sama sekali tidak menyamakan kematangan bathin seorang Upatissa dan para Nigantha.


QuoteJadi saya ingatkan kembali bahwa pokok pembahasan kita berpusat pada perbedaan kita, di mana Bro Kain menganggap di luar agama Buddha ada jalan&buah. Sementara saya tidak. Mari kembali. Mari  :backtotopic:
Sebetulnya semua yang saya bahas adalah memiliki relevansi, mulai dari definisi "agama", "ajaran", dan agama Buddha secara murni. Sikap kita dilandasi oleh suatu pola pikir, antara "potensi pencapaian kesucian" dan "pengetahuan akan jalan dan bukan jalan", yang menentukan definisi agama dan ajaran tersebut. Tapi karena perbedaan yang cukup jauh dari pola pikir tersebut, maka saya pikir memang tidak bisa dilanjutkan kembali.

Terima kasih untuk diskusinya yang baik. :)
_/\_

K.K.

Quote from: fabian c on 12 December 2009, 11:09:02 PM
Bro Kainyn yang baik kita memang tidak hidup selama 2500 tahun untuk secara pasti menilai manakah ajaran Buddha yang asli, tetapi fakta bahwa praktek yang diajarkan dalam Tipitaka Pali telah dilatih selama 2500 tahun dan terbukti, saya kira lebih dari cukup.

Tapi inipun juga tak memuaskan semua orang. Entah kalau Sang Buddha sendiri yang masih hidup dan mengatakan "ini benar ajaran saya dan yang itu bukan" mungkin baru memuaskan.

Dalam sutta Sang Buddha kadang membenarkan kata-kata siswa Beliau dan mengatakan "Bila hal itu ditanyakan kepada saya, saya juga akan menjawab hal yang sama".

Ini bermakna bahwa kata-kata seorang Arahat nampaknya sejalan dengan ajaran Sang Buddha walau bukan dari Beliau sendiri yang mengatakan.
Saya bukan mempermasalahkan kebenaran dalam satu ajaran. Itu tidak ada habisnya. Bahkan kalau saya tanya ke orang beragama lain pun mereka akan mengatakan hal yang sama persis bahwa sudah membuktikan ajaran agamanya bermanfaat.

Yang saya singgung sebelumnya adalah "Ajaran Buddha dari segi Agama". Gampangnya, jika orang bilang Theravada = Agama Buddha, maka aliran lain bukan, karena "Agama Buddha" tidak mungkin memiliki dhamma-vinaya berbeda.



QuoteSeorang Arahat mengetahui secara jelas antara jalan dan bukan jalan bagi dirinya sendiri. Jalan ini berlaku secara universal untuk setiap orang. Maksudnya setiap orang dapat melatih jalan itu untuk mencapai kesucian.

Namun kecepatan perjuangannya ada yang perlu waktu beberapa menit, beberapa hari, bulan, tahun atau tahun, tergantung berapa banyak pengalaman sebelumnya.

Bahkan ada orang-orang tertentu yang tak mungkin dapat mencapai kesucian dalam kehidupan ini sekeras apapun mereka berlatih, misalnya orang idiot atau terlahir kelamin ganda (hermaphrodite) ini disebabkan karma masa lampau.

Jadi kecepatan pencapaian seseorang tergantung berapa lama dia berlatih sebelumnya, dan bagaimanakah kecenderungan laten batin orang itu (hal ini tentu saja berbeda setiap orang). Hanya seorang Buddha yang mengetahui dengan jelas semua hal itu. Arahat tentu saja tak dapat dibandingkan dengan Sang Buddha, tetapi bukan berarti Arahat tak dapat membedakan dengan jelas antara jalan dan bukan jalan.

_/\_
Kalau begitu, di sini kita juga berbeda pandangan.
Sudah saya beri contoh bahwa Mahapanthaka tidak mengetahui jalan dan bukan jalan bagi adiknya. Ia hanya mengetahui sejauh yang diajarkan oleh Sang Guru, maka ia berpikir adiknya adalah seorang yang pandir dan tidak akan memahami dhamma dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, ia mengusirnya.

Kebenaran itu universal, tapi saya tidak setuju kalau dibilang jalan menuju ke sana adalah sama bagi semua orang.


K.K.

Quote from: fabian c on 12 December 2009, 11:35:38 PM
Oh ya saya ada tambahan sedikit sebagai bahan sharing untuk saudara Kainyn.

Seorang guru meditasi Vipassana pernah menceritakan kepada saya, pada suatu ketika ada seorang wanita yang beragama K ikut retret meditasi Vipassana.

Setelah beberapa hari wanita ini menangis (menangis sering terjadi pada wanita yang ber-Vipassana), ia menggerung-gerung menyebut nama T berkali-kali, guru meditasi tersebut berusaha menjelaskan agar ia melepas pandangan salahnya tersebut agar maju lebih jauh, tetapi nampaknya wanita itu tak dapat mengatasi pandangan kelirunya, lalu berhenti meditasi dan pulang.

Pada kesempatan yang lain seorang wanita beragama I belajar meditasi Vipassana di tempat yang sama pada guru yang sama, ia maju dalam Nana-nana (seperti yang sudah saya posting sebelumnya).

Jadi kemajuan dalam mencapai kesucian pada seseorang tergantung sejauh mana ia tidak berpegang pada pandangan salah.

_/\_

Saya sharing detail Tittha Jataka.
Seorang bhikkhu murid dari Sariputta diajarkan objek Asubha, namun setelah berbulan-bulan, tidak ada manfaat. Maka dibawa ke Buddha dan Buddha memberikan metode yang berbeda yaitu gambaran bunga yang perlahan layu. Dengan objek tersebut, bhikkhu itu mengembangkan pandangan terang dan merealisasi Arahatta-phala. Buddha berkata bahwa karena kecenderungan masa lalu yang kuat dari bhikkhu itu (yang disebabkan salah satu kehidupannya sebagai pandai-emas), maka ia tidak mendapat manfaat dari Asubha.

Pandangan Bro fabian seperti "menyalahkan" murid Sariputta tersebut karena tidak mampu mendapatkan kemajuan dari Agga Savaka Sariputta, yang tentu saja ajarannya sudah terbukti bermanfaat bagi orang lain. (Seorang wanita tidak mampu mendapat manfaat dari satu metode vipassana karena tidak bisa melepas pandangan salah.)

Dalam hal tidak adanya kemajuan bagi seseorang, pendapat saya adalah 3 kemungkinan: 1. keterbatasan murid, 2. keterbatasan guru atau 3. keterbatasan keduanya. Jadi dari sharing Bro fabian, walaupun belum tentu, namun bisa saja jika ia bertemu seorang yang sempurna pengajarannya (baca: Buddha), ia ternyata bisa menembus magga-phala.


bond

Oleh karena itu Guru meditasi harus piawai dalam menilai karakter murid apalagi dari keyakinan agama yg berbeda, dan murid harus memiliki saddha dan kerendahan hati serta tidak keras kepala kepada gurunya demi kemajuan batinnya ketika ia sedang dilatih guru itu.

_/\_



Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Jerry

Quote from: Kainyn_Kutho on 14 December 2009, 09:57:17 AM
Toh bukannya saya yang memasukkan unsur nilai deviasi karena satu pandangan dalam pencapaian seseorang. Seperti saya katakan, semua sama saja, sebelum orang menembus kesucian minimal Sotapatti, sama-sama berpandangan salah. Jadi Upatissa menjelang bertemu Assaji sama saja -dalam konteks berpandangan salah- dengan para Nigantha yang memusuhi Buddha; juga demikian halnya dengan para bhikkhu puthujjana maha-thera dengan orang beragama lain. Sama.
Apa yang dapat membuat seseorang memahami dhamma adalah karena kematangan bathin, bukan karena agamanya, bukan karena pandangannya. Dan tentu saja perlu diingat saya sama sekali tidak menyamakan kematangan bathin seorang Upatissa dan para Nigantha.
Yap, yg membuat seseorang memahami dhamma adl kematangan batin, saya setuju itu. Makanya sedikit banyak ada persamaan antara hukum kamma, akibat yg ditimbulkan dari suatu perbuatan yg ada dlm agama Buddha dng Hindu, atau dengan agama2 samawi dengan bungkus berbeda atau dengan agama timur lainnya. Tetapi lain lagi halnya dengan merealisasi dhamma, mencapai pembebasan melalui 4 jalan&buah, tidak cukup dengan sekadar kematangan batin saja. Saya mengerti yg Bro Kain mksdkan, memang dlm konteks tertentu ada persamaannya tetapi seorang bhikkhu puthujjana maha-thera setidaknya telah memiliki pondasi yg cukup, kecukupan apa yg saya maksudkan? Pandangan benar oleh Sang Buddha dikatakan ada 2, yaitu pandangan benar yg masih bersekutu dengan asava dan pandangan benar yg tidak lagi bersekutu dengan asava. Seorang bhikkhu puthujjana maha-thera setidaknya "mungkin" telah memiliki pandangan benar yg bersekutu dg asava. Demikian pula dengan mereka yg mempelajari ajaran Buddha, memiliki keyakinan dan menjalankan ajarannya. Ini pun sudah sebuah pandangan benar, meski sangat "mungkin" masih bersekutu dengan asava. Dalam sutta perumpamaan sebatang kayu, seperti sebatang kayu yg hanyut di sungai, selama sebatang kayu itu tidak mengalami 7 rintangan maka kayu tsb akan sampai ke samudera pada akhirnya. Demikian dengan seseorang yg telah berpandangan benar [meski masih bersekutu dng asava] selama dapat menghindari 7 rintangan, maka pada saatnya nanti niscaya ia akan sampai ke nibbana.
Sehingga saya tidak akan menyamakan antara seorang upatissa dengan para acelaka, atau antara seorang beragama lain dengan bhikkhu puthujjana maha-thera. :)


QuoteSebetulnya semua yang saya bahas adalah memiliki relevansi, mulai dari definisi "agama", "ajaran", dan agama Buddha secara murni. Sikap kita dilandasi oleh suatu pola pikir, antara "potensi pencapaian kesucian" dan "pengetahuan akan jalan dan bukan jalan", yang menentukan definisi agama dan ajaran tersebut. Tapi karena perbedaan yang cukup jauh dari pola pikir tersebut, maka saya pikir memang tidak bisa dilanjutkan kembali.

Terima kasih untuk diskusinya yang baik. :)
_/\_

Silakan, terima kasih juga :)

Oya, tambahan utk komen Bro Kain pd postingan Ryu.. Tentu saja seorang Pacceka Buddha adalah juga seorang Buddha, dan ajaran seorang Pacceka Buddha tentu saja dinamakan juga 'ajaran Buddha' atau 'agama Buddha'. Jadi pernyataan "Hanya di ajaran Buddha yang bisa menuntun ke Nibbana" tentu saja benar. :D

Mettacittena
_/\_
appamadena sampadetha

K.K.

Quote from: Jerry on 14 December 2009, 05:31:57 PM
Oya, tambahan utk komen Bro Kain pd postingan Ryu.. Tentu saja seorang Pacceka Buddha adalah juga seorang Buddha, dan ajaran seorang Pacceka Buddha tentu saja dinamakan juga 'ajaran Buddha' atau 'agama Buddha'. Jadi pernyataan "Hanya di ajaran Buddha yang bisa menuntun ke Nibbana" tentu saja benar. :D

Mettacittena
_/\_

Disebut Pacceka Buddha (Buddha 'diam') karena tidak merumuskan ajaran apa pun. Jadi tidak ada "Ajaran Pacceka Buddha".
"Ajaran Buddha" hanyalah dari seorang Samma Sambuddha. Savaka Buddha hanya melanjutkan apa yang diajarkan Sang Guru, jadi tidak bisa pula disebut "Ajaran Savaka Buddha". :)

chingik

Quote from: Kainyn_Kutho on 14 December 2009, 06:00:17 PM
Quote from: Jerry on 14 December 2009, 05:31:57 PM
Oya, tambahan utk komen Bro Kain pd postingan Ryu.. Tentu saja seorang Pacceka Buddha adalah juga seorang Buddha, dan ajaran seorang Pacceka Buddha tentu saja dinamakan juga 'ajaran Buddha' atau 'agama Buddha'. Jadi pernyataan "Hanya di ajaran Buddha yang bisa menuntun ke Nibbana" tentu saja benar. :D

Mettacittena
_/\_

Disebut Pacceka Buddha (Buddha 'diam') karena tidak merumuskan ajaran apa pun. Jadi tidak ada "Ajaran Pacceka Buddha".
"Ajaran Buddha" hanyalah dari seorang Samma Sambuddha. Savaka Buddha hanya melanjutkan apa yang diajarkan Sang Guru, jadi tidak bisa pula disebut "Ajaran Savaka Buddha". :)


knapa pacceka buddha tidak merumuskan ajaran ?enggan atau gak pandai?

K.K.

Quote from: chingik on 14 December 2009, 06:06:00 PM
knapa pacceka buddha tidak merumuskan ajaran ?enggan atau gak pandai?
Menurut saya, karena mereka memang hanya memahami jalan yang berkenaan dengan dirinya tidak mengetahui kecenderungan orang lain dengan sempurna, maka mereka tidak merumuskannya. Ini maksudnya berkenaan dengan "Buddha-dhamma". Kalau berkenaan dengan dhamma umumnya, saya yakin mereka tetap mengajar, bahkan ada kisah-kisah lampau di mana Bodhisatta diajar atau diingatkan oleh Pacceka Buddha.

ryu

busett, ini pada ngeqoute post si jerry, gw harus edit semua nih, grrrrrrrrrrrrr...............!!!!!!
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Jerry

appamadena sampadetha

kullatiro

Quote from: chingik on 14 December 2009, 06:06:00 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 14 December 2009, 06:00:17 PM
Quote from: Jerry on 14 December 2009, 05:31:57 PM
Oya, tambahan utk komen Bro Kain pd postingan Acek ganjen Ryu.. Tentu saja seorang Pacceka Buddha adalah juga seorang Buddha, dan ajaran seorang Pacceka Buddha tentu saja dinamakan juga 'ajaran Buddha' atau 'agama Buddha'. Jadi pernyataan "Hanya di ajaran Buddha yang bisa menuntun ke Nibbana" tentu saja benar. :D

Mettacittena
_/\_

Disebut Pacceka Buddha (Buddha 'diam') karena tidak merumuskan ajaran apa pun. Jadi tidak ada "Ajaran Pacceka Buddha".
"Ajaran Buddha" hanyalah dari seorang Samma Sambuddha. Savaka Buddha hanya melanjutkan apa yang diajarkan Sang Guru, jadi tidak bisa pula disebut "Ajaran Savaka Buddha". :)


knapa pacceka buddha tidak merumuskan ajaran ?enggan atau gak pandai?

Berbeda dalam latihan, cara, jalan yang di tempuh hingga berbeda pencapaian yang dihasilkan seperti devadata yang akan menjadi Paceka Buddha pada masa akan datang

Jerry

appamadena sampadetha