Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?

Started by dhammasiri, 11 November 2009, 09:29:47 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 2 Guests are viewing this topic.

K.K.

Quote from: fabian c on 22 December 2009, 08:03:57 PM
Bro Kainyn yang baik, perhatian yang tak terputus dalam kondisi apapun (kecuali tidur tentunya) itulah yang dimaksud Vipassana/Satipatthana, dan itulah jalan.
OK. Berapa lama durasi tidak terputusnya agar bisa dikatakan Satipatthana? Apakah 10 menit, 24 jam, 7 hari, atau berapa?


QuoteMengenai tolok ukur, saya juga mempelajari censored, saya tidak melihat ada ajaran menuju jalan kesucian disana.

Hanya di tipitaka yang secara jelas menunjukkan jalan kesucian, Sang Buddha mengatakan bahwa apa yang Beliau ajarkan sudah cukup (untuk mencapai kesucian), setelah mempraktekkan yang diajarkan juga mengarahnya persis seperti yang ditulis di Tipitaka. apakah saya perlu berpaling mengambil tolok ukur agama lain?

_/\_
Ya, ya, hanya di A*****b juga yang menunjukkan jalan keselamatan, maka untuk apa belajar Tipitaka? 

Ini 'kan hanya opini saja. Terserah kalau Bro fabian berpendapat para Bodhisatta membaca tipitaka masa lampau di bawah pohon bodhi sebelum mereka mencapai penerangan sempurna. Toh jalan kita memang sepertinya berbeda.


dilbert

Kondisi bathin-lah yang menentukan tingkatan spiritual / "pencapaian" seseorang.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Jerry

Quote from: Kainyn_Kutho on 23 December 2009, 09:07:42 AM
Betul, saya pun tidak menganjurkan orang loncat-loncat atau guling-guling sambil vipassana. Yang dimaksudkan di sini hanyalah kadang ada hal-hal yang tidak wajar, tidak kita duga karena kita terlebih dahulu membentuk pola pikir berdasarkan informasi tertentu, dalam hal ini, tipitaka. Dari bentukan pola pikir tersebut, maka mungkin saja kita malah menolak sesuatu yang sebetulnya benar hanya karena tidak diceritakan di Tipitaka. Menurut saya sikap tersebut yang menghalangi kemajuan bathin seseorang.
Utk hal2 tertentu demikian yg Bro Kain maksudkan, Sang Buddha menurunkan jurus "Mahapadesa". Jika kemudian setelah melalui proses penelaahan lebih lanjut ternyata memang tidak benar, maka memang perlu untuk ditolak. Dan penolakan ini tentu bukan lagi sebuah penolakan yg terburu2 melainkan penolakan yg seharusnya dan sepantasnya. :D
Sebaliknya sikap yg menyama-nyamakan, yg mencari persamaan meski berbeda dalam kenyataannya, juga sebuah sikap yg menghalangi dalam kemajuan batin seseorang. Menurut saya. :)

Quote
Menurut Bro Jerry sendiri, ketika 2 orang "memasuki" nibbana tanpa sisa, habis sepenuhnya, kondisi apa lagi yang memungkinkan suatu perbedaan?
Oh ini toh maksudnya Bro Kain ttg soal saat parinibbana yg tidak unik. Setuju dg Bro.. Memang sih tidak unik. Sama2 sudah di luar kata2 dan upaya apapun utk membuat lebih jelas hanya menimbulkan kerancuan yg lebih parah. Saya pikir ini pula sebabnya Bro Kain menggunakan tanda kutip utk kata memasuki nibbana. ;)

NB: Sementara berhalangan utk berdiskusi lebih lanjut. Thanks sebelumnya. _/\_

Mettacittena,
appamadena sampadetha

K.K.

Quote from: Jerry on 23 December 2009, 08:26:23 PM
Utk hal2 tertentu demikian yg Bro Kain maksudkan, Sang Buddha menurunkan jurus "Mahapadesa". Jika kemudian setelah melalui proses penelaahan lebih lanjut ternyata memang tidak benar, maka memang perlu untuk ditolak. Dan penolakan ini tentu bukan lagi sebuah penolakan yg terburu2 melainkan penolakan yg seharusnya dan sepantasnya. :D
Sebaliknya sikap yg menyama-nyamakan, yg mencari persamaan meski berbeda dalam kenyataannya, juga sebuah sikap yg menghalangi dalam kemajuan batin seseorang. Menurut saya. :)
Saya juga setuju demikian. Semua hal dan pemahaman perlu dikaji terlebih dahulu sebelum kita menilai atau mengambil keputusan. Kadang terjadi "menyama-nyamakan yang berbeda", "membeda-bedakan yang sama", "mengadakan yang tidak ada", "meniadakan yang ada", dan lain sebagainya. Semua sikap "tidak menerima kenyataan" ini menghalangi kemajuan bathin seseorang.
Boleh saja pada akhirnya kita menolak kesamaan suatu ajaran, tetapi jangan itu dilakukan sebelum diteliti dan kesimpulan diambil hanya karena beda "label". Demikian juga dalam menerima, jangan karena orangnya meyakinkan, punya reputasi/prestasi tertentu, ahli bahasa kitab, bagus-bagusin agama kita, lalu kita menjadi subjektif dalam menilai perkataannya.



QuoteOh ini toh maksudnya Bro Kain ttg soal saat parinibbana yg tidak unik. Setuju dg Bro.. Memang sih tidak unik. Sama2 sudah di luar kata2 dan upaya apapun utk membuat lebih jelas hanya menimbulkan kerancuan yg lebih parah. Saya pikir ini pula sebabnya Bro Kain menggunakan tanda kutip utk kata memasuki nibbana. ;)
:)

fabian c


Quote
Quote from: fabian c on 22 December 2009, 08:03:57 PM
Bro Kainyn yang baik, perhatian yang tak terputus dalam kondisi apapun (kecuali tidur tentunya) itulah yang dimaksud Vipassana/Satipatthana, dan itulah jalan.
OK. Berapa lama durasi tidak terputusnya agar bisa dikatakan Satipatthana? Apakah 10 menit, 24 jam, 7 hari, atau berapa?

Bro Kainyn yang baik, lamanya durasi tidak terputus adalah hasil dari latihan, lebih panjang lebih baik. Yang disebut Satipatthana adalah metode latihan, bukan durasi tak terputus.

Quote
QuoteMengenai tolok ukur, saya juga mempelajari censored, saya tidak melihat ada ajaran menuju jalan kesucian disana.

Hanya di tipitaka yang secara jelas menunjukkan jalan kesucian, Sang Buddha mengatakan bahwa apa yang Beliau ajarkan sudah cukup (untuk mencapai kesucian), setelah mempraktekkan yang diajarkan juga mengarahnya persis seperti yang ditulis di Tipitaka. apakah saya perlu berpaling mengambil tolok ukur agama lain?

_/\_
Ya, ya, hanya di A*****b juga yang menunjukkan jalan keselamatan, maka untuk apa belajar Tipitaka? 

Ini 'kan hanya opini saja. Terserah kalau Bro fabian berpendapat para Bodhisatta membaca tipitaka masa lampau di bawah pohon bodhi sebelum mereka mencapai penerangan sempurna. Toh jalan kita memang sepertinya berbeda.

Pertanyaan bro Kainyn lebih cocok ditanyakan kepada umat K*****n, saya umat Buddha, tentu saja saya belajar Tipitaka. Walaupun secara pribadi saya dan juga banyak teman-teman yang lain mempelajari kitab suci agama lain (at least dari sekolah).

Saya menghargai bro Kainyn mengungkapkan pandangan sendiri. Sebab saya pro kebebasan berpendapat.
Tapi sering saya mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, sudahkah saya mendalami kitab suci sendiri sebelum belajar kitab suci agama lain? karena saya berpendapat sebelum kita mendalami sehingga mengerti dengan baik pandangan suatu ajaran lalu belajar ajaran lain yang berbeda, maka pengertian kita akan campur aduk.
Saya sendiri termasuk kategori orang yang belum "khatam Tipitaka" tapi sudah "khatam A*****b" bahkan dua kali  :)

Oh ya apakah memang ada cerita Bodhisatta belajar membaca Tipitaka masa lampau di bawah pohon Bodhi sebelum mencapai Penerangan sempurna?

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

K.K.

Quote from: fabian c on 24 December 2009, 10:26:10 AM
Pertanyaan bro Kainyn lebih cocok ditanyakan kepada umat K*****n, saya umat Buddha, tentu saja saya belajar Tipitaka. Walaupun secara pribadi saya dan juga banyak teman-teman yang lain mempelajari kitab suci agama lain (at least dari sekolah).
Itu pertanyaan retoris. Sikap Bro fabian pada Tipitaka sama halnya seperti umat Kr1sten pada A1kitab. Tidak salah, memang. Itu hanya pilihan.


QuoteSaya menghargai bro Kainyn mengungkapkan pandangan sendiri. Sebab saya pro kebebasan berpendapat.
Tapi sering saya mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, sudahkah saya mendalami kitab suci sendiri sebelum belajar kitab suci agama lain? karena saya berpendapat sebelum kita mendalami sehingga mengerti dengan baik pandangan suatu ajaran lalu belajar ajaran lain yang berbeda, maka pengertian kita akan campur aduk.
Manusia memang berbeda-beda. Ada orang yang punya kecenderungan untuk "mencampur" apa yang dipelajarinya. Orang ini memang sebaiknya tidak belajar lebih dari 1 ajaran pada waktu yang sama karena bisa terjadi hal "Halleluya, Puji Buddha" atau "Namo Kristus". Ada lagi yang memang mampu konsisten dalam konteks dan bisa membedakannya tanpa tercampur. Bagi orang type ini, saya rasa tidak masalah belajar banyak disiplin sekaligus sejauh yang ia mampu.


QuoteSaya sendiri termasuk kategori orang yang belum "khatam Tipitaka" tapi sudah "khatam A*****b" bahkan dua kali  :)
Menurut saya, khatam kitab juga tidak jadi patokan apa pun. Saya lebih cocok dengan "mengingat 1 ajaran yang dimengerti lebih baik daripada mengingat 1000 ajaran yang tidak dipahami".



QuoteOh ya apakah memang ada cerita Bodhisatta belajar membaca Tipitaka masa lampau di bawah pohon Bodhi sebelum mencapai Penerangan sempurna?
Ini suatu sarkasme karena Bro fabian mengatakan tentang ketidak-mungkinan penembusan magga-phala di luar "Agama Buddha". (Maaf, saya memang sarkastik.) Pernyataan Bro fabian tersebut bagi saya sangat mengerdilkan atau bahkan mengabaikan jalan di luar Savaka-bodhi, jadi saya mengeluarkan statement demikian.

Jika memang tidak ada yang akan menembus kecuali lewat "Agama Buddha", maka pastinya bodhisatta pun belajar "Agama Buddha" terlebih dahulu sebelum mencapai penerangan sempurna. Secara logika, mungkin juga, karena salah satu pengetahuan yang didapatkan sebelum melihat kehancuran asava adalah kehidupan lampau yang tidak berhingga. Mungkin ia "nyontek" dari Buddha-buddha lampau terlebih dahulu sehingga bisa menembus penerangan sempurna.

Kalau dari sudut pandang kepercayaan saya, "Agama Buddha" hanyalah katalisator, dengan catatan, bagi mereka yang cocok. Seseorang merealisasi kesucian semata-mata karena kematangan bathin dalam melihat kenyataan apa adanya, dan kematangan bathin itu bisa didapatkan di mana pun tanpa terikat suatu "agama/ajaran". Dengan demikian, seorang Bodhisatta yang telah matang bathinnya, tidak belajar pada satu ajaran, tidak terpaku pada "jalan" tertentu, namun mampu menembus penerangan sempurna. 


dilbert

Quote from: Kainyn_Kutho on 24 December 2009, 11:15:01 AM
Quote from: fabian c on 24 December 2009, 10:26:10 AM
Pertanyaan bro Kainyn lebih cocok ditanyakan kepada umat K*****n, saya umat Buddha, tentu saja saya belajar Tipitaka. Walaupun secara pribadi saya dan juga banyak teman-teman yang lain mempelajari kitab suci agama lain (at least dari sekolah).
Itu pertanyaan retoris. Sikap Bro fabian pada Tipitaka sama halnya seperti umat Kr1sten pada A1kitab. Tidak salah, memang. Itu hanya pilihan.


QuoteSaya menghargai bro Kainyn mengungkapkan pandangan sendiri. Sebab saya pro kebebasan berpendapat.
Tapi sering saya mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, sudahkah saya mendalami kitab suci sendiri sebelum belajar kitab suci agama lain? karena saya berpendapat sebelum kita mendalami sehingga mengerti dengan baik pandangan suatu ajaran lalu belajar ajaran lain yang berbeda, maka pengertian kita akan campur aduk.
Manusia memang berbeda-beda. Ada orang yang punya kecenderungan untuk "mencampur" apa yang dipelajarinya. Orang ini memang sebaiknya tidak belajar lebih dari 1 ajaran pada waktu yang sama karena bisa terjadi hal "Halleluya, Puji Buddha" atau "Namo Kristus". Ada lagi yang memang mampu konsisten dalam konteks dan bisa membedakannya tanpa tercampur. Bagi orang type ini, saya rasa tidak masalah belajar banyak disiplin sekaligus sejauh yang ia mampu.


QuoteSaya sendiri termasuk kategori orang yang belum "khatam Tipitaka" tapi sudah "khatam A*****b" bahkan dua kali  :)
Menurut saya, khatam kitab juga tidak jadi patokan apa pun. Saya lebih cocok dengan "mengingat 1 ajaran yang dimengerti lebih baik daripada mengingat 1000 ajaran yang tidak dipahami".



QuoteOh ya apakah memang ada cerita Bodhisatta belajar membaca Tipitaka masa lampau di bawah pohon Bodhi sebelum mencapai Penerangan sempurna?
Ini suatu sarkasme karena Bro fabian mengatakan tentang ketidak-mungkinan penembusan magga-phala di luar "Agama Buddha". (Maaf, saya memang sarkastik.) Pernyataan Bro fabian tersebut bagi saya sangat mengerdilkan atau bahkan mengabaikan jalan di luar Savaka-bodhi, jadi saya mengeluarkan statement demikian.

Jika memang tidak ada yang akan menembus kecuali lewat "Agama Buddha", maka pastinya bodhisatta pun belajar "Agama Buddha" terlebih dahulu sebelum mencapai penerangan sempurna. Secara logika, mungkin juga, karena salah satu pengetahuan yang didapatkan sebelum melihat kehancuran asava adalah kehidupan lampau yang tidak berhingga. Mungkin ia "nyontek" dari Buddha-buddha lampau terlebih dahulu sehingga bisa menembus penerangan sempurna.

Kalau dari sudut pandang kepercayaan saya, "Agama Buddha" hanyalah katalisator, dengan catatan, bagi mereka yang cocok. Seseorang merealisasi kesucian semata-mata karena kematangan bathin dalam melihat kenyataan apa adanya, dan kematangan bathin itu bisa didapatkan di mana pun tanpa terikat suatu "agama/ajaran". Dengan demikian, seorang Bodhisatta yang telah matang bathinnya, tidak belajar pada satu ajaran, tidak terpaku pada "jalan" tertentu, namun mampu menembus penerangan sempurna. 

Buddha adalah seseorang yang sadar, apakah seorang awam bisa mencapai tataran "SADAR" itu dari bimbingan, ajaran, kitab yang ditinggalkan oleh Buddha (yang sadar lainnya) ataupun orang tersebut mencapai tataran "SADAR" dengan usaha sendiri (walaupun sebelumnya belum ada mendapat bimbingan/ajaran/kitab yang bisa melatih dan menunjukkan jalan tersebut) adalah TIDAK MASALAH...

Karena Buddha telah memaparkan bahwa sesungguhnya AJARAN PARA BUDDHA dari SEJAK JAMAN LAMPAU, JAMAN SEKARANG, ataupun DIMASA YANG AKAN DATANG adalah tentang kesunyataan tentang DUKKHA dan JALAN MENUJU TERHENTI-NYA DUKKHA (dalam hal ini menjadi SADAR/BUDDHA).

Kalau membahas dalam konteks agama, tentunya ini adalah tentang konvensi. Bahwa ajaran tersebut di lembagakan... Apabila ajaran BUDDHA tidak dilembagakan, juga tidak bermasalah. Di dalam banyak literatur, misalnya literatur dalam bahasa Inggris, istilah yang tepat adalah BUDDHA TEACHINGS (AJARAN BUDDHA), tidak pernah dipermasalah apakah AJARAN BUDDHA itu di-lembagakan atau tidak. Jika di-lembagakan, ada poin plus-nya juga bisa ada konsekuensi nilai minus-nya.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

K.K.

Quote from: dilbert on 24 December 2009, 12:34:51 PM
Buddha adalah seseorang yang sadar, apakah seorang awam bisa mencapai tataran "SADAR" itu dari bimbingan, ajaran, kitab yang ditinggalkan oleh Buddha (yang sadar lainnya) ataupun orang tersebut mencapai tataran "SADAR" dengan usaha sendiri (walaupun sebelumnya belum ada mendapat bimbingan/ajaran/kitab yang bisa melatih dan menunjukkan jalan tersebut) adalah TIDAK MASALAH...

Karena Buddha telah memaparkan bahwa sesungguhnya AJARAN PARA BUDDHA dari SEJAK JAMAN LAMPAU, JAMAN SEKARANG, ataupun DIMASA YANG AKAN DATANG adalah tentang kesunyataan tentang DUKKHA dan JALAN MENUJU TERHENTI-NYA DUKKHA (dalam hal ini menjadi SADAR/BUDDHA).

Kalau membahas dalam konteks agama, tentunya ini adalah tentang konvensi. Bahwa ajaran tersebut di lembagakan... Apabila ajaran BUDDHA tidak dilembagakan, juga tidak bermasalah. Di dalam banyak literatur, misalnya literatur dalam bahasa Inggris, istilah yang tepat adalah BUDDHA TEACHINGS (AJARAN BUDDHA), tidak pernah dipermasalah apakah AJARAN BUDDHA itu di-lembagakan atau tidak. Jika di-lembagakan, ada poin plus-nya juga bisa ada konsekuensi nilai minus-nya.

Menurut Bro dilbert, sesaat ketika Bodhisatta Gotama akan mencapai penerangan sempurna, apakah ia belajar dari Agama/Ajaran Buddha?

dilbert

Quote from: Kainyn_Kutho on 24 December 2009, 01:08:58 PM
Quote from: dilbert on 24 December 2009, 12:34:51 PM
Buddha adalah seseorang yang sadar, apakah seorang awam bisa mencapai tataran "SADAR" itu dari bimbingan, ajaran, kitab yang ditinggalkan oleh Buddha (yang sadar lainnya) ataupun orang tersebut mencapai tataran "SADAR" dengan usaha sendiri (walaupun sebelumnya belum ada mendapat bimbingan/ajaran/kitab yang bisa melatih dan menunjukkan jalan tersebut) adalah TIDAK MASALAH...

Karena Buddha telah memaparkan bahwa sesungguhnya AJARAN PARA BUDDHA dari SEJAK JAMAN LAMPAU, JAMAN SEKARANG, ataupun DIMASA YANG AKAN DATANG adalah tentang kesunyataan tentang DUKKHA dan JALAN MENUJU TERHENTI-NYA DUKKHA (dalam hal ini menjadi SADAR/BUDDHA).

Kalau membahas dalam konteks agama, tentunya ini adalah tentang konvensi. Bahwa ajaran tersebut di lembagakan... Apabila ajaran BUDDHA tidak dilembagakan, juga tidak bermasalah. Di dalam banyak literatur, misalnya literatur dalam bahasa Inggris, istilah yang tepat adalah BUDDHA TEACHINGS (AJARAN BUDDHA), tidak pernah dipermasalah apakah AJARAN BUDDHA itu di-lembagakan atau tidak. Jika di-lembagakan, ada poin plus-nya juga bisa ada konsekuensi nilai minus-nya.

Menurut Bro dilbert, sesaat ketika Bodhisatta Gotama akan mencapai penerangan sempurna, apakah ia belajar dari Agama/Ajaran Buddha?


Apakah flash back kehidupan kehidupan lampau-nya termasuk dalam belajar ajaran BUDDHA ?

karena dalam malam mencapai penerangan sempurna, Siddharta telah mampu untuk mengingat kehidupan lampau-nya sampai berkalpa-kalpa. Dalam RAPB diketahui bahwa Siddharta telah bertumimbal lahir minimal 9 x menjadi bhikkhu dan mendapatkan ajaran seorang sammasambuddha pada masa tersebut) ?
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

K.K.

Quote from: dilbert on 24 December 2009, 01:43:21 PM
Apakah flash back kehidupan kehidupan lampau-nya termasuk dalam belajar ajaran BUDDHA ?

karena dalam malam mencapai penerangan sempurna, Siddharta telah mampu untuk mengingat kehidupan lampau-nya sampai berkalpa-kalpa. Dalam RAPB diketahui bahwa Siddharta telah bertumimbal lahir minimal 9 x menjadi bhikkhu dan mendapatkan ajaran seorang sammasambuddha pada masa tersebut) ?

Jadi maksudnya Bodhisatta belajar dari Buddha sebelumnya untuk mencapai penerangan sempurna?


dilbert

Quote from: Kainyn_Kutho on 24 December 2009, 01:56:50 PM
Quote from: dilbert on 24 December 2009, 01:43:21 PM
Apakah flash back kehidupan kehidupan lampau-nya termasuk dalam belajar ajaran BUDDHA ?

karena dalam malam mencapai penerangan sempurna, Siddharta telah mampu untuk mengingat kehidupan lampau-nya sampai berkalpa-kalpa. Dalam RAPB diketahui bahwa Siddharta telah bertumimbal lahir minimal 9 x menjadi bhikkhu dan mendapatkan ajaran seorang sammasambuddha pada masa tersebut) ?

Jadi maksudnya Bodhisatta belajar dari Buddha sebelumnya untuk mencapai penerangan sempurna?

Maksudnya... saat saat mencapai penerangan sempurna (kalau tidak salah saya, ada pembagian waktu-nya...  waktu jaga malam 1 - kejadiannya apa, waktu jaga malam ke-2 - kejadiannya apa dstnya)... pada waktu itu, ada momen ketika Bodhisatta bisa mengingat kembali banyak kehidupan lampaunya, termasuk juga kehidupan lampau-nya terlahir dan menjadi bhikkhu 9x kehidupan pada waktu periode sammasambuddha yang berlainan.

Apakah bodhisatta juga bisa flash back apa yang dipelajari oleh sang "bhikkhu" di kehidupan lampau-nya tersebut ? Jika IYA, apakah ini termasuk belajar ?
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

fabian c

Quote
Quote from: fabian c on 24 December 2009, 10:26:10 AM
Pertanyaan bro Kainyn lebih cocok ditanyakan kepada umat K*****n, saya umat Buddha, tentu saja saya belajar Tipitaka. Walaupun secara pribadi saya dan juga banyak teman-teman yang lain mempelajari kitab suci agama lain (at least dari sekolah).
Itu pertanyaan retoris. Sikap Bro fabian pada Tipitaka sama halnya seperti umat Kr1sten pada A1kitab. Tidak salah, memang. Itu hanya pilihan.
Belum tentu sama, banyak yang beragama K menganggap Tipitaka adalah kuasa kegelapan, walau menyentuhpun takut masuk neraka.
Quote
QuoteSaya menghargai bro Kainyn mengungkapkan pandangan sendiri. Sebab saya pro kebebasan berpendapat.
Tapi sering saya mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, sudahkah saya mendalami kitab suci sendiri sebelum belajar kitab suci agama lain? karena saya berpendapat sebelum kita mendalami sehingga mengerti dengan baik pandangan suatu ajaran lalu belajar ajaran lain yang berbeda, maka pengertian kita akan campur aduk.
Manusia memang berbeda-beda. Ada orang yang punya kecenderungan untuk "mencampur" apa yang dipelajarinya. Orang ini memang sebaiknya tidak belajar lebih dari 1 ajaran pada waktu yang sama karena bisa terjadi hal "Halleluya, Puji Buddha" atau "Namo Kristus". Ada lagi yang memang mampu konsisten dalam konteks dan bisa membedakannya tanpa tercampur. Bagi orang type ini, saya rasa tidak masalah belajar banyak disiplin sekaligus sejauh yang ia mampu.

Bagaimana dengan kitab yang memang sudah tercampur aduk?

Quote
QuoteSaya sendiri termasuk kategori orang yang belum "khatam Tipitaka" tapi sudah "khatam A*****b" bahkan dua kali  :)
Menurut saya, khatam kitab juga tidak jadi patokan apa pun. Saya lebih cocok dengan "mengingat 1 ajaran yang dimengerti lebih baik daripada mengingat 1000 ajaran yang tidak dipahami".
Maksudnya mungkin saya bahkan lebih mengenal jelas agama lain daripada agama sendiri.

Quote
QuoteOh ya apakah memang ada cerita Bodhisatta belajar membaca Tipitaka masa lampau di bawah pohon Bodhi sebelum mencapai Penerangan sempurna?
Ini suatu sarkasme karena Bro fabian mengatakan tentang ketidak-mungkinan penembusan magga-phala di luar "Agama Buddha". (Maaf, saya memang sarkastik.) Pernyataan Bro fabian tersebut bagi saya sangat mengerdilkan atau bahkan mengabaikan jalan di luar Savaka-bodhi, jadi saya mengeluarkan statement demikian.

Jika memang tidak ada yang akan menembus kecuali lewat "Agama Buddha", maka pastinya bodhisatta pun belajar "Agama Buddha" terlebih dahulu sebelum mencapai penerangan sempurna. Secara logika, mungkin juga, karena salah satu pengetahuan yang didapatkan sebelum melihat kehancuran asava adalah kehidupan lampau yang tidak berhingga. Mungkin ia "nyontek" dari Buddha-buddha lampau terlebih dahulu sehingga bisa menembus penerangan sempurna.

Kalau dari sudut pandang kepercayaan saya, "Agama Buddha" hanyalah katalisator, dengan catatan, bagi mereka yang cocok. Seseorang merealisasi kesucian semata-mata karena kematangan bathin dalam melihat kenyataan apa adanya, dan kematangan bathin itu bisa didapatkan di mana pun tanpa terikat suatu "agama/ajaran". Dengan demikian, seorang Bodhisatta yang telah matang bathinnya, tidak belajar pada satu ajaran, tidak terpaku pada "jalan" tertentu, namun mampu menembus penerangan sempurna.
Saya sering membandingkan pencapaian Jhana pangeran Sidhatta dibawah pohon jambu mirip dengan pencapaian musik Amadeus Mozart, dalam kelahiran tersebut mereka tak pernah belajar sebelumnya. Tetapi menurut hukum kamma mereka telah memiliki keahlian dari kehidupan sebelumnya.

Hanya ada dua mahluk yang mencapai Ke-Buddha-an tanpa belajar dari orang lain dalam kehidupan tersebut, yaitu Sammasambuddha dan Pacceka Buddha. Kedua mahluk ini tak pernah bertatap muka. jadi kalau ada Sammasambuddha tak ada Pacceka Buddha, dan demikian sebaliknya.

Dikatakan dalam Jataka seringkali Bodhisatta terlahir jadi manusia, lalu jadi petapa dan berlatih meditasi insight. Tetapi itu merupakan keahlian beliau dari kehidupan sebelumnya, dan nampak seolah-olah ditemukan saat itu. Pertanyaannya, adakah keahlian yang muncul begitu saja tanpa dilatih?

Bila dikatakan apakah penembusan harus melalui agama Buddha? Saya kira memang tidak demikian, penembusan adalah melalui praktek Jalan Ariya berunsur delapan/Vipassana/Satipatthana.
Apakah di agama lain diajarkan? bila diajarkan tentu para pengikutnya juga akan mencapai kesucian.
Bila tidak, maka kesucian tak akan pernah tercapai.

Saya kira hal ini sudah sering dibahas
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Nevada

Intermezzo...

Tetapi dalam satu masa, bisa muncul banyak Pacceka Buddha; dan mereka semua bisa saja bertemu dan bertatap-muka. :)

bond

Keknya kalo dibandingkan Agama Keris ten dengan agama Buddha dua2nya bener :

Benernya : Agama keristen mengandalkan keselamatan, ya memang bisa selamat cuma sampai surga saja karena memang cita2 mereka juga, setelah itu selamat tinggal

Kalau agama Buddha benernya : Sampai kesucian total mencapai nibbana, setelah itu juga selamat tinggal.


Selamat belum tentu suci, tetapi suci pasti selamat.

Jadi keselamatan vs kesucian pasti beda tapi bener . Tujuannya yg membedakan sehingga cara menjadi berbeda. Jadi tinggal pilih mau selamat atau mau suci  ^-^

_/\_
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

bond

Quote from: upasaka on 24 December 2009, 04:39:46 PM
Intermezzo...

Tetapi dalam satu masa, bisa muncul banyak Pacceka Buddha; dan mereka semua bisa saja bertemu dan bertatap-muka. :)

Saling bertatap muka dan kalau sempat main catur  :))
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada