Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?

Started by dhammasiri, 11 November 2009, 09:29:47 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Jerry

Quote from: Kainyn_Kutho on 11 December 2009, 09:00:13 AM
Ketika Buddha menerima penahbisan Sangha Bhikkhuni, Buddha berkata pada Ananda seandainya Sangha Bhikkhuni tidak ditahbiskan, maka umur ajaran murni akan bertahan 1000 tahun; namun karena Sangha Bhikkhuni ditahbiskan, maka umur ajaran murni hanya mencapai 500 tahun saja.

"Sace, ānanda, nālabhissa mātugāmo tathāgatappavedite dhammavinaye agārasmā anagāriyaṃ pabbajjaṃ, ciraṭṭhitikaṃ, ānanda, brahmacariyaṃ abhavissa, vassasahassameva saddhammo tiṭṭheyya. Yato ca kho, ānanda, mātugāmo tathāgatappavedite dhammavinaye agārasmā anagāriyaṃ pabbajito, na dāni, ānanda, brahmacariyaṃ ciraṭṭhitikaṃ bhavissati. Pañceva dāni, ānanda, vassasatāni saddhammo ṭhassati..."
Sebelumnya ini juga telah diberikan analogi oleh Sang Buddha bahwa ini seperti sebuah rumah yg penghuni rumahnya terdiri dari wanita dan pria. Dan para pria akan kesulitan mempertahankan dari serangan perampok dengan adanya keberadaan wanita. Itu suatu kenyataan. So?
Begini, kata2 Sang Buddha harus diartikan tergantung konteksnya, pada hal2 yg tersurat maka cukup secara tersurat sudah boleh, sedangkan beberapa yg tersirat, harus diartikan secara tersirat pula. Apakah 1000 dan 500 itu ukuran pasti tak kurang sehari dan tak lebih sehari? Menurut saya hal2 demikian sifatnya neyyatha, yg masih harus ditarik lagi artinya. Bukan ditelan bulat-bulat bahwa itu berarti 500 tahun secara persis. Itu hanya analogi bahwa umur ajaran murni berkurang setengahnya dengan adanya ordinasi Sangha bhikkhuni, tetapi dengan diturunkannya atthagarudhamma yg bila dijalankan secara sempurna oleh Sangha bhikkhuni, umur ajaran murni akan tetap bertahan hingga waktunya lenyap nanti. Dan demikian interpretasi saya thdp kata2 Buddha di atas, meski berbeda dengan interpretasi dari mayoritas.

QuoteBetul. Dan apa sebabnya saya meyakini hal tersebut adalah yang sedang kita bahas sekarang.
Thanks udah membuat lebih clear. :)

QuoteSekali lagi, saya pun tidak menyamakan Buddhisme dengan ajaran lain, apa pun itu. Yang saya katakan adalah "penempaan" bathin ke arah lebih baik, yang mendukung pengertian akan Buddha-dhamma, bisa didapat pula dari ajaran lain.
Jika demikian halnya, maka kita memiliki kesamaan dalam hal ini. Saya juga telah mengatakan bukan, bahwa hal2 demikian tidak eksklusif dlm Buddhisme spt pancabala dlsb. Lanjut? :)


QuoteSepertinya saya salah baca kemarin. Maksud saya adalah ketika Upatissa berpandangan "siap menerima pandangan baru" apakah pandangan tersebut menurut Buddhisme adalah sudah pandangan benar, atau masih pandangan salah?
OK, salah baca itu normal. Menurutku - bukan menurut Buddhisme - meski siap melepas pandangan lama dan menerima pandangan baru, tetapi Upatissa masih belum dapat memutuskan mana yg benar dan mana yg tidak, karenanya masih belum berpandangan benar, and vice versa. Maka jawabannya simple, masih pandangan salah. Meski deviasi sudut pandangan salahnya (jika pandangan benar dianalogikan dengan garis tegak lurus) lebih kecil dibanding pandangan salah lainnya. Alasan saya karena faham agnostiknya Sanjaya menolak mengambil posisi terkait hal2 mengenai adanya dunia lain, kelahiran kembali, kamma dan eksistensi seorang tathagata. Tidak mengambil posisi mungkin lebih baik dari mengambil posisi menolak, tetapi itu menunjukkan keragu-raguan, padahal menurut Sang Buddha hal2 demikian (3 yg pertama) adalah benar ada, dan mengambil posisi meyakini meski tanpa melihat pun sudah langkah bertaruh scr aman yg memungkinkan seseorang utk hidup secara baik dan terlahir dlm kelahiran yg lebih baik.



QuoteOK, semakin mendekati. Saya lanjutkan.
Jika seseorang membahas sesuatu yang umum, misalnya kasih, lapar, rasa suka, dll, bisakah digolongkan sebagai agama? Mengapa bisa dan mengapa tidak bisa?
Tergantung, bila dikatakan tidak bisa digolongkan agama tentunya sudah mengerti dong alasannya? Sedangkan bila dikatakan bisa tergolong agama, bila kaidah dan nilai agama dimasukkan dalam pembahasan tsb. Atau pembahasan tsb dilihat dr sudut pandang agama yg dianut. Spt yg telah dicontohkan Acek ganteng. ;)


QuoteBaik, ini kita sejalan. Sekarang hanya masalah opini saja.
Jika seorang Arahat Agga-savaka Sariputta saja tidak tahu dengan pasti apa yang "jalan dan bukan jalan" dan harus konfirmasi terlebih dahulu kepada Buddha, apakah bisa dibilang Arahat lain dapat mengetahui dan mengatakan "ini jalan, ini bukan jalan"?
Mungkin sejalan. Pernyataan saya terdahulu berdasarkan sejauh apa yg saya ketahui ttg Sariputta, tetapi saya belum pernah menemukan bahwa beliau menghadapi 1 hal dan tidak tahu apakah hal itu "jalan dan bukan jalan" sehingga harus konfirmasi terlebih dulu pd Buddha sebagaimana yg Bro Kain nyatakan. Catatan: Dhananjhani Sutta menjelaskan dengan baik maksud saya mengenai perbedaan antara Y.A Sariputta dengan Sang Buddha dalam mengenali jalan. Perbedaannya yaitu Sang Buddha mengenali secara sempurna jalan mana yg terbaik utk pencapaian ssorg, metode apa yg dipakai dan kapan waktunya. Tetapi dalam hal membedakan mana jalan dan mana yg bukan, Sariputta sejauh yg saya ketahui selalu bisa membedakan. Ini terbukti dari banyaknya pertanyaan dari rekan-rekan sejawatnya.

Mettacittena
appamadena sampadetha

K.K.

Quote from: ryu on 11 December 2009, 06:30:31 PM
kebaikan dan kejahatan, hampir semua agama mengajarkannya ;D
Kalau kita bicarakan Superman, misalnya, ada Clark Kent yang baik dan Lex Luthor yang jahat, itu termasuk agama apa?


Quote from: ryu on 11 December 2009, 07:32:21 PM
kalau menurut saya tidak  ada yang salah kalau di katakan \'hanya ajaran Buddha\' satu2nya jalan untuk mencapai nibbana sejauh ajaran itu benar2 dilakukan, karena ajaran Buddha khan ceritanya universal :P
Kalau dikatakan "Ajaran" Buddha itu tidak hanya sebatas dan sesempit "Agama" Buddha, tentu saya setuju pernyataan itu.

K.K.

Quote from: fabian c on 11 December 2009, 07:00:34 PM
Bro Kainin yang baik,
Dalam tujuh tahap kesucian, salah satu tahap adalah Magamagga nanadassana visudhi atau atau pengetahuan yang membedakan jalan dan bukan jalan, jadi walaupun belum mencapai kesucian, seorang meditator Vipassana akan mencapai tahap ini.

_/\_

Magamagga nanadassana visudhi ini, apakah untuk dirinya sendiri atau dia mengetahui jalan dan bukan jalan bagi semua orang?



Quote from: fabian c on 11 December 2009, 07:16:08 PM
Bro Kaynin yang baik,
Label agama adalah suatu konvensi, seperti yang pernah saya jelaskan, jaman dulu di pemerintahan jaman Orla dan awal orba, agama Buddha, Hindu, Kong Hu Cu pernah dianggap sebagai aliran kepercayaan, sekarang dianggap agama, tapi di masa yang akan datang, kalau kaum fundamentalis suatu agama tertentu berkuasa dalam membuat undang-undang semau mereka, maka agama-agama ini mungkin dirubah lagi statusnya bukan lagi agama, mungkin statusnya kembali menjadi aliran kepercayaan atau bahkan dilarang.

Saya yakin teman-teman (dan termasuk saya) bukan mempermasalahkan label, tetapi keberatan bila ajaran Sang Buddha disamakan atau disejajarkan dengan ajaran lain.

_/\_
Saya tahu hampir semua di sini juga tidak ada yang mempermasalahkan label. Saya pun keberatan bila dibilang Ajaran Buddha = Ajaran lain. Tetapi saya juga keberatan kalau Ajaran Buddha didefinisikan sesuatu yang tertuang hanya pada "konvensi" tersebut. Ada perbedaan tentang "konvensi" ini, maka saya tanyakan apakah "unsur" agama menurut masing-masing orang.


ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 12 December 2009, 09:44:23 AM
Quote from: ryu on 11 December 2009, 06:30:31 PM
kebaikan dan kejahatan, hampir semua agama mengajarkannya ;D
Kalau kita bicarakan Superman, misalnya, ada Clark Kent yang baik dan Lex Luthor yang jahat, itu termasuk agama apa?


Quote from: ryu on 11 December 2009, 07:32:21 PM
kalau menurut saya tidak  ada yang salah kalau di katakan \'hanya ajaran Buddha\' satu2nya jalan untuk mencapai nibbana sejauh ajaran itu benar2 dilakukan, karena ajaran Buddha khan ceritanya universal :P
Kalau dikatakan "Ajaran" Buddha itu tidak hanya sebatas dan sesempit "Agama" Buddha, tentu saya setuju pernyataan itu.

clark Kent bisa diibaratkan seorang Malaikat yang membantu manusia yang kesulitan dan luthor di ibaratkan Iblis/Setan, dan kalo mo di masukkan agama ada aja koq









;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: Jerry on 12 December 2009, 01:23:45 AM
Sebelumnya ini juga telah diberikan analogi oleh Sang Buddha bahwa ini seperti sebuah rumah yg penghuni rumahnya terdiri dari wanita dan pria. Dan para pria akan kesulitan mempertahankan dari serangan perampok dengan adanya keberadaan wanita. Itu suatu kenyataan. So?
Begini, kata2 Sang Buddha harus diartikan tergantung konteksnya, pada hal2 yg tersurat maka cukup secara tersurat sudah boleh, sedangkan beberapa yg tersirat, harus diartikan secara tersirat pula. Apakah 1000 dan 500 itu ukuran pasti tak kurang sehari dan tak lebih sehari? Menurut saya hal2 demikian sifatnya neyyatha, yg masih harus ditarik lagi artinya. Bukan ditelan bulat-bulat bahwa itu berarti 500 tahun secara persis. Itu hanya analogi bahwa umur ajaran murni berkurang setengahnya dengan adanya ordinasi Sangha bhikkhuni, tetapi dengan diturunkannya atthagarudhamma yg bila dijalankan secara sempurna oleh Sangha bhikkhuni, umur ajaran murni akan tetap bertahan hingga waktunya lenyap nanti. Dan demikian interpretasi saya thdp kata2 Buddha di atas, meski berbeda dengan interpretasi dari mayoritas.
Kalau begitu, kita tidak bisa melanjutkan karena saya memang "menelan bulat-bulat" hal tersebut. Dalam Milinda Panha pernah dikatakan bahwa yang dimaksud Buddha Gotama tersebut adalah umur "agama murni", namun tentu saja Ajaran Buddha masih akan berlangsung sangat lama selama kita semua "mewarisi"-nya (baca: menjalankannya).

Saya setuju dengan kedua pernyataan tersebut karena memang sebelum 500 tahun, hanya ada 1 Sangha Buddha, tidak ada aliran ini-itu. Setelah masa itu berlalu, lambat laun sudah terlihat perubahan. Sudah tidak ada lagi kejelasan "Agama" Buddha di mana kita tahu ada yang memisahkan diri dan masing-masing juga tentu saja mengatakan "dirinya yang asli". Dulu sewaktu saya baca mengenai hal ini dan tentang sejarah asal mula aliran, saya tersenyum dan berpikir, "hehehe Luar biasa! Tepat sekali ramalan Buddha..." Jadi maaf, tanpa maksud menyinggung rekan-rekan di sini, bagi saya sebuah "agama asli" yang murni diajarkan Buddha sudah tidak ada, walaupun tentu saja intisarinya tetap masih ada dan berkembang sekarang ini dalam berbagai aliran. 



QuoteJika demikian halnya, maka kita memiliki kesamaan dalam hal ini. Saya juga telah mengatakan bukan, bahwa hal2 demikian tidak eksklusif dlm Buddhisme spt pancabala dlsb. Lanjut? :)
Lanjut. :)

QuoteOK, salah baca itu normal. Menurutku - bukan menurut Buddhisme - meski siap melepas pandangan lama dan menerima pandangan baru, tetapi Upatissa masih belum dapat memutuskan mana yg benar dan mana yg tidak, karenanya masih belum berpandangan benar, and vice versa. Maka jawabannya simple, masih pandangan salah. Meski deviasi sudut pandangan salahnya (jika pandangan benar dianalogikan dengan garis tegak lurus) lebih kecil dibanding pandangan salah lainnya. Alasan saya karena faham agnostiknya Sanjaya menolak mengambil posisi terkait hal2 mengenai adanya dunia lain, kelahiran kembali, kamma dan eksistensi seorang tathagata. Tidak mengambil posisi mungkin lebih baik dari mengambil posisi menolak, tetapi itu menunjukkan keragu-raguan, padahal menurut Sang Buddha hal2 demikian (3 yg pertama) adalah benar ada, dan mengambil posisi meyakini meski tanpa melihat pun sudah langkah bertaruh scr aman yg memungkinkan seseorang utk hidup secara baik dan terlahir dlm kelahiran yg lebih baik.
Berarti boleh dibilang sewaktu sesaat sebelum ia mencerap perkataan Thera Assaji, ia masih merupakan orang berpandangan salah, betul?

Kalau bicara deviasi, Upatissa yang tidak tahu ajaran Buddha sama sekali dengan "deviasi sedikit" bisa merealisasi ajaran. Kira-kira menurut Bro Jerry, mengapa ada para bhikkhu yang berlatih dalam dhamma-vinaya Buddha Gotama waktu itu yang sudah bertahun-tahun dalam "pandangan benar, atau nir-deviasi" tidak dapat merealisasi ajaran?


QuoteTergantung, bila dikatakan tidak bisa digolongkan agama tentunya sudah mengerti dong alasannya? Sedangkan bila dikatakan bisa tergolong agama, bila kaidah dan nilai agama dimasukkan dalam pembahasan tsb. Atau pembahasan tsb dilihat dr sudut pandang agama yg dianut. Spt yg telah dicontohkan Acek ganteng. ;)
Kalau saya bikin agama baru, "kulinerisme", misalnya, yang selain membahas "baik-buruk", juga membahas semua yang berkenaan dengan makanan. Lalu ketika setiap orang membahas makanan, apakah tepat kalau dibilang mereka sedang membahas agama saya?



QuoteMungkin sejalan. Pernyataan saya terdahulu berdasarkan sejauh apa yg saya ketahui ttg Sariputta, tetapi saya belum pernah menemukan bahwa beliau menghadapi 1 hal dan tidak tahu apakah hal itu "jalan dan bukan jalan" sehingga harus konfirmasi terlebih dulu pd Buddha sebagaimana yg Bro Kain nyatakan. Catatan: Dhananjhani Sutta menjelaskan dengan baik maksud saya mengenai perbedaan antara Y.A Sariputta dengan Sang Buddha dalam mengenali jalan. Perbedaannya yaitu Sang Buddha mengenali secara sempurna jalan mana yg terbaik utk pencapaian ssorg, metode apa yg dipakai dan kapan waktunya. Tetapi dalam hal membedakan mana jalan dan mana yg bukan, Sariputta sejauh yg saya ketahui selalu bisa membedakan. Ini terbukti dari banyaknya pertanyaan dari rekan-rekan sejawatnya.
Ketika Bhikkhu Channa akan bunuh diri, Sariputta tidak mengetahui yang mana "jalan dan bukan jalan" bagi Channa untuk mencapai Arahatta. Maka ketika Bhikkhu Channa parinibbana, ia sendiri tidak mengetahui dan bertanya kepada Buddha.

Kasus lain misalnya yang melatar-belakangi dikisahkannya Tittha Jataka di mana Sariputta tidak mengetahui "jalan dan bukan jalan" yang tepat bagi seorang muridnya. Ia mengajarkan jalan "Asubha" yang tidak memberikan hasil, sehingga akhirnya dibawa kepada Buddha.

Kasus bagi Arahat lainnya adalah Mahapanthaka yang tidak mengetahui "jalan dan bukan jalan" bagi adiknya, maka ia mengusirnya dari Sangha karena setelah berbulan-bulan tidak bisa menghafal satu bait.

Dari kasus-kasus tersebut, apakah kemudian cocok jika dikatakan Arahat mengetahui "jalan dan bukan jalan" secara sempurna?


ryu

 [at] kainyn, kenapa tidak? itu khan hak dia, asalkan dia bisa menjawab dan mempertanggung jawabkannya tidak masalah, aye tau inti yang mau di sampaikan om kainyn, mungkin maksudnya adalah kalau ada ajaran lain yang bisa membuat orang lain tercerahkan jangan langsung di klaim ajaran buddha tapi sebaiknya di bilang selaras dengan ajaran buddha, begitu bukan maksud om?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: ryu on 12 December 2009, 10:48:24 AM
[at] kainyn, kenapa tidak? itu khan hak dia, asalkan dia bisa menjawab dan mempertanggung jawabkannya tidak masalah, aye tau inti yang mau di sampaikan om kainyn, mungkin maksudnya adalah kalau ada ajaran lain yang bisa membuat orang lain tercerahkan jangan langsung di klaim ajaran buddha tapi sebaiknya di bilang selaras dengan ajaran buddha, begitu bukan maksud om?

Apa maksudnya "kenapa tidak?"
Lebih tepatnya adalah jika ada orang tercerahkan, tidak bisa lantas diklaim dia "beragama Buddha" namun saya yakin pasti ia melaksanakan sesuatu yang selaras dengan ajaran Buddha.

Buddha-dhamma (sebagai merk) tidak dibuat oleh Buddha, hanya ditemukan sebagaimana kita merenungkan dhamma "apakah Buddha muncul atau tidak, dhamma tetaplah demikian adanya". Lain halnya dengan unsur agama lain pada umumnya. Misalnya dalam Nasrani dikenal "penebusan dosa lewat wafat Yesus", orang yang tidak pernah kenal doktrin itu, sampai kapanpun tidak akan mengerti.
Berbeda dengan Buddha-dhamma, tanpa mengenal kisah-kisah Buddha, tidak kenal tipitaka, tetap bisa mengerti apa itu ketidakpuasan. Jika semua orang bisa mengerti dan mengenal ketidakpuasan, apakah cocok kita mengkotakkan pengertian tersebut ke dalam label "Agama Buddha"?


Tekkss Katsuo

^
^
Setuju dengan Bro Kai kali ini.  :)) ...
lanjut kan, mao dengar lebih jauh lagi saya

_/\_

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 12 December 2009, 12:09:58 PM
Quote from: ryu on 12 December 2009, 10:48:24 AM
[at] kainyn, kenapa tidak? itu khan hak dia, asalkan dia bisa menjawab dan mempertanggung jawabkannya tidak masalah, aye tau inti yang mau di sampaikan om kainyn, mungkin maksudnya adalah kalau ada ajaran lain yang bisa membuat orang lain tercerahkan jangan langsung di klaim ajaran buddha tapi sebaiknya di bilang selaras dengan ajaran buddha, begitu bukan maksud om?

Apa maksudnya "kenapa tidak?"
Lebih tepatnya adalah jika ada orang tercerahkan, tidak bisa lantas diklaim dia "beragama Buddha" namun saya yakin pasti ia melaksanakan sesuatu yang selaras dengan ajaran Buddha.

Buddha-dhamma (sebagai merk) tidak dibuat oleh Buddha, hanya ditemukan sebagaimana kita merenungkan dhamma "apakah Buddha muncul atau tidak, dhamma tetaplah demikian adanya". Lain halnya dengan unsur agama lain pada umumnya. Misalnya dalam Nasrani dikenal "penebusan dosa lewat wafat Yesus", orang yang tidak pernah kenal doktrin itu, sampai kapanpun tidak akan mengerti.
Berbeda dengan Buddha-dhamma, tanpa mengenal kisah-kisah Buddha, tidak kenal tipitaka, tetap bisa mengerti apa itu ketidakpuasan. Jika semua orang bisa mengerti dan mengenal ketidakpuasan, apakah cocok kita mengkotakkan pengertian tersebut ke dalam label "Agama Buddha"?


kalau soal mengenal ketidak puasan khan semua orang dari agama manapun bisa saja, tapi jalan untuk mencapai nibbana itu yang sulit dan ungkapan "hanya di ajaran Buddha" yang bisa menuntun ke Nibbana tidak salah khan?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Jerry

Quote from: Kainyn_Kutho on 12 December 2009, 10:17:14 AM
Kalau begitu, kita tidak bisa melanjutkan karena saya memang "menelan bulat-bulat" hal tersebut. Dalam Milinda Panha pernah dikatakan bahwa yang dimaksud Buddha Gotama tersebut adalah umur "agama murni", namun tentu saja Ajaran Buddha masih akan berlangsung sangat lama selama kita semua "mewarisi"-nya (baca: menjalankannya).

Saya setuju dengan kedua pernyataan tersebut karena memang sebelum 500 tahun, hanya ada 1 Sangha Buddha, tidak ada aliran ini-itu. Setelah masa itu berlalu, lambat laun sudah terlihat perubahan. Sudah tidak ada lagi kejelasan "Agama" Buddha di mana kita tahu ada yang memisahkan diri dan masing-masing juga tentu saja mengatakan "dirinya yang asli". Dulu sewaktu saya baca mengenai hal ini dan tentang sejarah asal mula aliran, saya tersenyum dan berpikir, "hehehe Luar biasa! Tepat sekali ramalan Buddha..." Jadi maaf, tanpa maksud menyinggung rekan-rekan di sini, bagi saya sebuah "agama asli" yang murni diajarkan Buddha sudah tidak ada, walaupun tentu saja intisarinya tetap masih ada dan berkembang sekarang ini dalam berbagai aliran.  
Terserah itu interpretasi Bro Kain, saya sih tidak demikian. Saya memiliki interpretasi sendiri sebagaimana telah saya katakan sebelumnya. Interpretasi saya sendiri berbeda dng umum, jadi sesama "sesat" dilarang menunjuk. >:D

QuoteBerarti boleh dibilang sewaktu sesaat sebelum ia mencerap perkataan Thera Assaji, ia masih merupakan orang berpandangan salah, betul?
Begitulah

QuoteKalau bicara deviasi, Upatissa yang tidak tahu ajaran Buddha sama sekali dengan "deviasi sedikit" bisa merealisasi ajaran. Kira-kira menurut Bro Jerry, mengapa ada para bhikkhu yang berlatih dalam dhamma-vinaya Buddha Gotama waktu itu yang sudah bertahun-tahun dalam "pandangan benar, atau nir-deviasi" tidak dapat merealisasi ajaran?
Apa tidak OOT dari apa yg sedang kita bahas? Btw, bahas apa sih kita? :hammer:
Sebelumnya telah pernah saya tuliskan bbrp hal pengondisi tsb yaitu waktu matangnya kondisi tiap2 orang adl berbeda2, metode yg diajarkan apakah cocok atau tidak, kondisi batin si pendengar sendiri bagaimana, apakah terbebas dr pancanivarana atau tidak, apakah terkonsentrasi atau tidak, apakah perasaannya menolak atau menerima, kualitas samvega dalam batinnya bagaimana. Akan ada banyak faktor pengondisi yg mana masing2 berbeda antara 1 orang dg yg lainnya. Ini tdk akan habis dijabarkan. Selain itu, ingat Sang Buddha adl penunjuk jalan, selanjutnya yg menempuh jalan adalah bhikkhu itu sendiri. Dan dalam menempuh itu tergantung pd usaha ybs sendiri.

QuoteKalau saya bikin agama baru, "kulinerisme", misalnya, yang selain membahas "baik-buruk", juga membahas semua yang berkenaan dengan makanan. Lalu ketika setiap orang membahas makanan, apakah tepat kalau dibilang mereka sedang membahas agama saya?
Berbicara dalam konteks Buddhisme saja agar tdk OOT, apa menurut Bro Kain kalau orang membahas kualitas kebaikan dan pentingnya hidup tolong-menolong dg orang lain, itu sedang membahas Buddhisme? IMO, relatif. Bisa ya bisa tidak. Tetapi jika pembahasannya tercakup dalam Kebenaran mulia ttg Dukkha dan jalan mengakhirinya, maka ya.

QuoteKetika Bhikkhu Channa akan bunuh diri, Sariputta tidak mengetahui yang mana "jalan dan bukan jalan" bagi Channa untuk mencapai Arahatta. Maka ketika Bhikkhu Channa parinibbana, ia sendiri tidak mengetahui dan bertanya kepada Buddha.

Kasus lain misalnya yang melatar-belakangi dikisahkannya Tittha Jataka di mana Sariputta tidak mengetahui "jalan dan bukan jalan" yang tepat bagi seorang muridnya. Ia mengajarkan jalan "Asubha" yang tidak memberikan hasil, sehingga akhirnya dibawa kepada Buddha.

Kasus bagi Arahat lainnya adalah Mahapanthaka yang tidak mengetahui "jalan dan bukan jalan" bagi adiknya, maka ia mengusirnya dari Sangha karena setelah berbulan-bulan tidak bisa menghafal satu bait.

Dari kasus-kasus tersebut, apakah kemudian cocok jika dikatakan Arahat mengetahui "jalan dan bukan jalan" secara sempurna?
OK, thanks utk ceritanya. Lebih melengkapi pengetahuan saya mengenai Y.A Sariputta berkonsultasi pada Buddha.
Pertama, adakah saya menyatakan arahat mengetahui mana yg "jalan dan bukan jalan" secara sempurna? Tidak ada. Jelas saya bilang Sang Buddha-lah yg sempurna mengenal jalan. Kedua, saya ingatkan pembahasan kita sebelumnya terkait "jalan dan bukan jalan" yg bermakna perbandingan antara jalan dalam agama Buddha adalah jalan [yg mengantar pd magga&phala], sementara jalan di luar agama Buddha bukan jalan [yg mengantar pd magga&phala]. Bukan dalam pengertian Bro Kain dalam post terakhir ttg "jalan dan bukan jalan" dalam agama Buddha (Buddha-sasana) sendiri. OOT. Jika ingin membahas mengenai "jalan dan bukan jalan" dan kemampuan mengetahui, maka saya setengah setuju dengan Bro Kain bahwa seorang arahat tidak mengetahui secara persis mana "jalan" yg paling kondusif bg perkembangan batin seseorang. Karena mereka hanya mengetahui apa yg telah mereka realisasikan.Sedangkan mengenai "yg bukan jalan", pastilah mereka ketahui. Apa yg bukan jalan, tentu saja spt yg Bro Kain sering kutipkan dr Gotami Sutta. Simpelnya, yg menuntun pd bertambahnya LDM.

Jadi saya ingatkan kembali bahwa pokok pembahasan kita berpusat pada perbedaan kita, di mana Bro Kain menganggap di luar agama Buddha ada jalan&buah. Sementara saya tidak. Mari kembali. Mari  :backtotopic:

Mettacittena
appamadena sampadetha

Jerry

Quote from: ryu on 12 December 2009, 02:10:20 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 12 December 2009, 12:09:58 PM
Quote from: ryu on 12 December 2009, 10:48:24 AM
[at] kainyn, kenapa tidak? itu khan hak dia, asalkan dia bisa menjawab dan mempertanggung jawabkannya tidak masalah, aye tau inti yang mau di sampaikan om kainyn, mungkin maksudnya adalah kalau ada ajaran lain yang bisa membuat orang lain tercerahkan jangan langsung di klaim ajaran buddha tapi sebaiknya di bilang selaras dengan ajaran buddha, begitu bukan maksud om?

Apa maksudnya "kenapa tidak?"
Lebih tepatnya adalah jika ada orang tercerahkan, tidak bisa lantas diklaim dia "beragama Buddha" namun saya yakin pasti ia melaksanakan sesuatu yang selaras dengan ajaran Buddha.

Buddha-dhamma (sebagai merk) tidak dibuat oleh Buddha, hanya ditemukan sebagaimana kita merenungkan dhamma "apakah Buddha muncul atau tidak, dhamma tetaplah demikian adanya". Lain halnya dengan unsur agama lain pada umumnya. Misalnya dalam Nasrani dikenal "penebusan dosa lewat wafat Yesus", orang yang tidak pernah kenal doktrin itu, sampai kapanpun tidak akan mengerti.
Berbeda dengan Buddha-dhamma, tanpa mengenal kisah-kisah Buddha, tidak kenal tipitaka, tetap bisa mengerti apa itu ketidakpuasan. Jika semua orang bisa mengerti dan mengenal ketidakpuasan, apakah cocok kita mengkotakkan pengertian tersebut ke dalam label "Agama Buddha"?


kalau soal mengenal ketidak puasan khan semua orang dari agama manapun bisa saja, tapi jalan untuk mencapai nibbana itu yang sulit dan ungkapan "hanya di ajaran Buddha" yang bisa menuntun ke Nibbana tidak salah khan?
Setuju dengan Acek ganteng Ryu :D
Ketidakpuasan bahkan dikenal oleh orang yg tidak beragama juga, tetapi ketidakpuasan yg umum dialami orang adalah ketidakpuasan thdp satu hal, yg kemudian ditindaklanjuti dng mencari kepuasan lainnya. Ini berbeda dengan ketidakpuasan dalam pengertian ajaran Buddha dan solusi menghadapinya. Saya pernah mengatakan ini sebelumnya, kata2 boleh saja sama tetapi pengertiannya bisa jadi berbeda.

_/\_






Ryu=aye bantu editin yang di coret ;D
appamadena sampadetha

fabian c

Quote
Quote from: Jerry on 12 December 2009, 01:23:45 AM
Sebelumnya ini juga telah diberikan analogi oleh Sang Buddha bahwa ini seperti sebuah rumah yg penghuni rumahnya terdiri dari wanita dan pria. Dan para pria akan kesulitan mempertahankan dari serangan perampok dengan adanya keberadaan wanita. Itu suatu kenyataan. So?
Begini, kata2 Sang Buddha harus diartikan tergantung konteksnya, pada hal2 yg tersurat maka cukup secara tersurat sudah boleh, sedangkan beberapa yg tersirat, harus diartikan secara tersirat pula. Apakah 1000 dan 500 itu ukuran pasti tak kurang sehari dan tak lebih sehari? Menurut saya hal2 demikian sifatnya neyyatha, yg masih harus ditarik lagi artinya. Bukan ditelan bulat-bulat bahwa itu berarti 500 tahun secara persis. Itu hanya analogi bahwa umur ajaran murni berkurang setengahnya dengan adanya ordinasi Sangha bhikkhuni, tetapi dengan diturunkannya atthagarudhamma yg bila dijalankan secara sempurna oleh Sangha bhikkhuni, umur ajaran murni akan tetap bertahan hingga waktunya lenyap nanti. Dan demikian interpretasi saya thdp kata2 Buddha di atas, meski berbeda dengan interpretasi dari mayoritas.
Kalau begitu, kita tidak bisa melanjutkan karena saya memang "menelan bulat-bulat" hal tersebut. Dalam Milinda Panha pernah dikatakan bahwa yang dimaksud Buddha Gotama tersebut adalah umur "agama murni", namun tentu saja Ajaran Buddha masih akan berlangsung sangat lama selama kita semua "mewarisi"-nya (baca: menjalankannya).

Saya setuju dengan kedua pernyataan tersebut karena memang sebelum 500 tahun, hanya ada 1 Sangha Buddha, tidak ada aliran ini-itu. Setelah masa itu berlalu, lambat laun sudah terlihat perubahan. Sudah tidak ada lagi kejelasan "Agama" Buddha di mana kita tahu ada yang memisahkan diri dan masing-masing juga tentu saja mengatakan "dirinya yang asli". Dulu sewaktu saya baca mengenai hal ini dan tentang sejarah asal mula aliran, saya tersenyum dan berpikir, "hehehe Luar biasa! Tepat sekali ramalan Buddha..." Jadi maaf, tanpa maksud menyinggung rekan-rekan di sini, bagi saya sebuah "agama asli" yang murni diajarkan Buddha sudah tidak ada, walaupun tentu saja intisarinya tetap masih ada dan berkembang sekarang ini dalam berbagai aliran. 

Bro Kainyn yang baik kita memang tidak hidup selama 2500 tahun untuk secara pasti menilai manakah ajaran Buddha yang asli, tetapi fakta bahwa praktek yang diajarkan dalam Tipitaka Pali telah dilatih selama 2500 tahun dan terbukti, saya kira lebih dari cukup.

Tapi inipun juga tak memuaskan semua orang. Entah kalau Sang Buddha sendiri yang masih hidup dan mengatakan "ini benar ajaran saya dan yang itu bukan" mungkin baru memuaskan.

Dalam sutta Sang Buddha kadang membenarkan kata-kata siswa Beliau dan mengatakan "Bila hal itu ditanyakan kepada saya, saya juga akan menjawab hal yang sama".

Ini bermakna bahwa kata-kata seorang Arahat nampaknya sejalan dengan ajaran Sang Buddha walau bukan dari Beliau sendiri yang mengatakan.


Quote
QuoteJika demikian halnya, maka kita memiliki kesamaan dalam hal ini. Saya juga telah mengatakan bukan, bahwa hal2 demikian tidak eksklusif dlm Buddhisme spt pancabala dlsb. Lanjut? :)
Lanjut. :)
Benar banyak hal yang bukan eksklusif Buddhism :)
Quote
QuoteOK, salah baca itu normal. Menurutku - bukan menurut Buddhisme - meski siap melepas pandangan lama dan menerima pandangan baru, tetapi Upatissa masih belum dapat memutuskan mana yg benar dan mana yg tidak, karenanya masih belum berpandangan benar, and vice versa. Maka jawabannya simple, masih pandangan salah. Meski deviasi sudut pandangan salahnya (jika pandangan benar dianalogikan dengan garis tegak lurus) lebih kecil dibanding pandangan salah lainnya. Alasan saya karena faham agnostiknya Sanjaya menolak mengambil posisi terkait hal2 mengenai adanya dunia lain, kelahiran kembali, kamma dan eksistensi seorang tathagata. Tidak mengambil posisi mungkin lebih baik dari mengambil posisi menolak, tetapi itu menunjukkan keragu-raguan, padahal menurut Sang Buddha hal2 demikian (3 yg pertama) adalah benar ada, dan mengambil posisi meyakini meski tanpa melihat pun sudah langkah bertaruh scr aman yg memungkinkan seseorang utk hidup secara baik dan terlahir dlm kelahiran yg lebih baik.
Berarti boleh dibilang sewaktu sesaat sebelum ia mencerap perkataan Thera Assaji, ia masih merupakan orang berpandangan salah, betul?

Kalau bicara deviasi, Upatissa yang tidak tahu ajaran Buddha sama sekali dengan "deviasi sedikit" bisa merealisasi ajaran. Kira-kira menurut Bro Jerry, mengapa ada para bhikkhu yang berlatih dalam dhamma-vinaya Buddha Gotama waktu itu yang sudah bertahun-tahun dalam "pandangan benar, atau nir-deviasi" tidak dapat merealisasi ajaran?

Dalam hal melatih Dhamma-vinaya menurut saya mirip seperti orang yang berlatih mengendarai sepeda, awalnya susah tetapi bila sudah menguasai, walaupun sudah tak berlatih 20 tahun, dengan cepat dia akan menguasai kembali keahlian tersebut.

Quote
QuoteMungkin sejalan. Pernyataan saya terdahulu berdasarkan sejauh apa yg saya ketahui ttg Sariputta, tetapi saya belum pernah menemukan bahwa beliau menghadapi 1 hal dan tidak tahu apakah hal itu "jalan dan bukan jalan" sehingga harus konfirmasi terlebih dulu pd Buddha sebagaimana yg Bro Kain nyatakan. Catatan: Dhananjhani Sutta menjelaskan dengan baik maksud saya mengenai perbedaan antara Y.A Sariputta dengan Sang Buddha dalam mengenali jalan. Perbedaannya yaitu Sang Buddha mengenali secara sempurna jalan mana yg terbaik utk pencapaian ssorg, metode apa yg dipakai dan kapan waktunya. Tetapi dalam hal membedakan mana jalan dan mana yg bukan, Sariputta sejauh yg saya ketahui selalu bisa membedakan. Ini terbukti dari banyaknya pertanyaan dari rekan-rekan sejawatnya.
Ketika Bhikkhu Channa akan bunuh diri, Sariputta tidak mengetahui yang mana "jalan dan bukan jalan" bagi Channa untuk mencapai Arahatta. Maka ketika Bhikkhu Channa parinibbana, ia sendiri tidak mengetahui dan bertanya kepada Buddha.

Kasus lain misalnya yang melatar-belakangi dikisahkannya Tittha Jataka di mana Sariputta tidak mengetahui "jalan dan bukan jalan" yang tepat bagi seorang muridnya. Ia mengajarkan jalan "Asubha" yang tidak memberikan hasil, sehingga akhirnya dibawa kepada Buddha.

Kasus bagi Arahat lainnya adalah Mahapanthaka yang tidak mengetahui "jalan dan bukan jalan" bagi adiknya, maka ia mengusirnya dari Sangha karena setelah berbulan-bulan tidak bisa menghafal satu bait.

Dari kasus-kasus tersebut, apakah kemudian cocok jika dikatakan Arahat mengetahui "jalan dan bukan jalan" secara sempurna?

Seorang Arahat mengetahui secara jelas antara jalan dan bukan jalan bagi dirinya sendiri. Jalan ini berlaku secara universal untuk setiap orang. Maksudnya setiap orang dapat melatih jalan itu untuk mencapai kesucian.

Namun kecepatan perjuangannya ada yang perlu waktu beberapa menit, beberapa hari, bulan, tahun atau tahun, tergantung berapa banyak pengalaman sebelumnya.

Bahkan ada orang-orang tertentu yang tak mungkin dapat mencapai kesucian dalam kehidupan ini sekeras apapun mereka berlatih, misalnya orang idiot atau terlahir kelamin ganda (hermaphrodite) ini disebabkan karma masa lampau.

Jadi kecepatan pencapaian seseorang tergantung berapa lama dia berlatih sebelumnya, dan bagaimanakah kecenderungan laten batin orang itu (hal ini tentu saja berbeda setiap orang). Hanya seorang Buddha yang mengetahui dengan jelas semua hal itu. Arahat tentu saja tak dapat dibandingkan dengan Sang Buddha, tetapi bukan berarti Arahat tak dapat membedakan dengan jelas antara jalan dan bukan jalan.

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

fabian c

Quote
Quote from: fabian c on 11 December 2009, 07:00:34 PM
Bro Kainin yang baik,
Dalam tujuh tahap kesucian, salah satu tahap adalah Magamagga nanadassana visudhi atau atau pengetahuan yang membedakan jalan dan bukan jalan, jadi walaupun belum mencapai kesucian, seorang meditator Vipassana akan mencapai tahap ini.

_/\_

Magamagga nanadassana visudhi ini, apakah untuk dirinya sendiri atau dia mengetahui jalan dan bukan jalan bagi semua orang?

Jalannya berlaku bagi semua orang, tapi belum tentu ia mampu menguraikan jalan itu kepada orang lain, dan tentu saja itu hal lain.

Quote
Quote from: fabian c on 11 December 2009, 07:16:08 PM
Bro Kaynin yang baik,
Label agama adalah suatu konvensi, seperti yang pernah saya jelaskan, jaman dulu di pemerintahan jaman Orla dan awal orba, agama Buddha, Hindu, Kong Hu Cu pernah dianggap sebagai aliran kepercayaan, sekarang dianggap agama, tapi di masa yang akan datang, kalau kaum fundamentalis suatu agama tertentu berkuasa dalam membuat undang-undang semau mereka, maka agama-agama ini mungkin dirubah lagi statusnya bukan lagi agama, mungkin statusnya kembali menjadi aliran kepercayaan atau bahkan dilarang.

Saya yakin teman-teman (dan termasuk saya) bukan mempermasalahkan label, tetapi keberatan bila ajaran Sang Buddha disamakan atau disejajarkan dengan ajaran lain.

_/\_
Saya tahu hampir semua di sini juga tidak ada yang mempermasalahkan label. Saya pun keberatan bila dibilang Ajaran Buddha = Ajaran lain. Tetapi saya juga keberatan kalau Ajaran Buddha didefinisikan sesuatu yang tertuang hanya pada "konvensi" tersebut. Ada perbedaan tentang "konvensi" ini, maka saya tanyakan apakah "unsur" agama menurut masing-masing orang.

Definisi agama itu sendiri juga merupakan konvensi. K dan I mendefinisikan agama adalah sesuatu yang berasal dari T, jadi definisi agama itu sendiri bersifat bias (definisi agama itu diajarkan di sekolah-sekolah yang mengajarkan agama tersebut untuk tujuan yang kita semua sudah tahu kan?)

Makanya saya tak peduli, bagi saya agama Buddha adalah ajaran Sang Buddha atau Buddha Dhamma.

Saya menganggap demikian karena konvensi (dan juga hukum negara Indonesia) sudah menganggap Buddha Dhamma sebagai agama (ini juga karena perjuangan), maka saya terima saja.

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

fabian c

Oh ya saya ada tambahan sedikit sebagai bahan sharing untuk saudara Kainyn.

Seorang guru meditasi Vipassana pernah menceritakan kepada saya, pada suatu ketika ada seorang wanita yang beragama K ikut retret meditasi Vipassana.

Setelah beberapa hari wanita ini menangis (menangis sering terjadi pada wanita yang ber-Vipassana), ia menggerung-gerung menyebut nama T berkali-kali, guru meditasi tersebut berusaha menjelaskan agar ia melepas pandangan salahnya tersebut agar maju lebih jauh, tetapi nampaknya wanita itu tak dapat mengatasi pandangan kelirunya, lalu berhenti meditasi dan pulang.

Pada kesempatan yang lain seorang wanita beragama I belajar meditasi Vipassana di tempat yang sama pada guru yang sama, ia maju dalam Nana-nana (seperti yang sudah saya posting sebelumnya).

Jadi kemajuan dalam mencapai kesucian pada seseorang tergantung sejauh mana ia tidak berpegang pada pandangan salah.

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Jerry

Quote from: fabian c on 12 December 2009, 11:20:56 PM
Quote
Quote from: fabian c on 11 December 2009, 07:16:08 PM
Bro Kaynin yang baik,
Label agama adalah suatu konvensi, seperti yang pernah saya jelaskan, jaman dulu di pemerintahan jaman Orla dan awal orba, agama Buddha, Hindu, Kong Hu Cu pernah dianggap sebagai aliran kepercayaan, sekarang dianggap agama, tapi di masa yang akan datang, kalau kaum fundamentalis suatu agama tertentu berkuasa dalam membuat undang-undang semau mereka, maka agama-agama ini mungkin dirubah lagi statusnya bukan lagi agama, mungkin statusnya kembali menjadi aliran kepercayaan atau bahkan dilarang.

Saya yakin teman-teman (dan termasuk saya) bukan mempermasalahkan label, tetapi keberatan bila ajaran Sang Buddha disamakan atau disejajarkan dengan ajaran lain.

_/\_
Saya tahu hampir semua di sini juga tidak ada yang mempermasalahkan label. Saya pun keberatan bila dibilang Ajaran Buddha = Ajaran lain. Tetapi saya juga keberatan kalau Ajaran Buddha didefinisikan sesuatu yang tertuang hanya pada "konvensi" tersebut. Ada perbedaan tentang "konvensi" ini, maka saya tanyakan apakah "unsur" agama menurut masing-masing orang.

Definisi agama itu sendiri juga merupakan konvensi. K dan I mendefinisikan agama adalah sesuatu yang berasal dari T, jadi definisi agama itu sendiri bersifat bias (definisi agama itu diajarkan di sekolah-sekolah yang mengajarkan agama tersebut untuk tujuan yang kita semua sudah tahu kan?)

Makanya saya tak peduli, bagi saya agama Buddha adalah ajaran Sang Buddha atau Buddha Dhamma.

Saya menganggap demikian karena konvensi (dan juga hukum negara Indonesia) sudah menganggap Buddha Dhamma sebagai agama (ini juga karena perjuangan), maka saya terima saja.

_/\_
Setuju dng Om Fab.. :jempol:

[at] Ryu
Brarti aye salah coret kalo gitu :))
appamadena sampadetha