Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?

Started by dhammasiri, 11 November 2009, 09:29:47 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 3 Guests are viewing this topic.

Indra

Quote from: upasaka on 05 December 2009, 11:54:41 AM
asalkan ia melengkapi kesesatannya menjadi "100% sesat".

:)

setuju, sayangnya sulit sekali bagi penganut lain bisa 100%, meskipun mungkin saja ada yg 99.99%

fabian c

Quote
Quote from: upasaka on 04 December 2009, 05:45:48 PM
Tidak masalah dengan prosedur, sistematika atau istilah yang berbeda.
Menurut Anda sendiri, apakah hanya Ajaran Sang Buddha yang mengajarkan keempat hal ini?

Saya mengerti maksud Bro upasaka. Maksudnya karena (yang kita tahu sekarang) hanya Buddha yang mengajarkan Dukkha dan terhentinya Dukkha, maka itu diidentikkan dengan ajaran atau agama Buddha. Dengan demikian, karena semua ariya mengetahui dengan pasti kebenaran Dukkha dan terhentinya Dukkha, kita katakan "beragama Buddha".

Saya melihat dari sisi yang berbeda. Pertama, saya tidak melihat "Kebenaran tentang Dukkha" = "Ajaran/agama Buddha". Saya melihat hal tersebut sebagai kebenaran saja, yang dengan demikian, tidak tepat kita melabelkan suatu yang "universal" dengan label yang "khusus".
Dianalogikan seperti saya tidak mengasosiasikan "Gravitasi" = "Ajaran Newton", namun sebuah ajaran universal. Maka di lain tempat, di lain waktu, jika ada yang "menemukan" Gravitasi, tidak tepat dibilang "beragama Newton".

Saudara Kaynin yang baik, dukkha yang diajarkan oleh agama lain seperti apa? Apakah sama dengan dukkha seperti yang diajarkan di agama Buddha?
Sebenarnya saya rasa perumpamaan mengenai Newton sangat baik.
Bila kita umpamakan Newton adalah Sang Buddha, teori gravitasi  adalah Dhamma dan para murid yang mendalami dengan baik teori gravitasi adalah Sangha.

Maka agamanya disebut agama Newton.

Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha  ada yang bersifat khusus dan bersifat umum. yang bersifat khusus mungkin kita baca di hari minggu yaitu Dhammanussati (sifat-sifat Dhamma) sedangkan Dhamma yang bersifat umum lingkupnya sangat luas, yaitu segala sesuatu bisa kita sebut Dhamma.

Jadi Dhamma yang dimaksud sdr Upasaka kemungkinan adalah Dhamma dalam lingkup yang lebih eksklusif yaitu sifat-sifatnya seperti yang ada dalam Dhammanussati. Dan Dhamma memang bersifat universal, maksud universalnya adalah umat agama apapun dapat menjalankannya. Dan bisa mencapai kesucian juga bila dengan sepenuh hati mengikuti petunjuk yang diberikan.

QuoteKe dua, ajaran Buddha yang bisa dibanggakan adalah agar kita tidak menganggap sesuatu sebagai "aku" atau "milikku". Jika seseorang yang menyadari kebenaran tentang Dukkha, yang telah menyeberang dan melepaskan rakit, kita katakan sebagai "pasti beragama Buddha", maka orang akan mengatakan itu seperti lepas dari satu rakit, melekat pada rakit yang lain. Jadi walaupun sebetulnya saya tahu maksud Bro upasaka, saya tetap tidak setuju penggunaan kalimat "para ariya pasti beragama Buddha".
Memang benar para Ariya tidak pasti beragama Buddha Maksudnya tidak pasti mengatakan "saya beragama Buddha", tetapi untuk mencapai kesucian pasti mereka mengikuti seperti apa yang diajarkan oleh Sang Buddha (berlatih Vipassana), entah dalam kehidupan ini atau minimal pasti pernah belajar di kehidupan lampau. Dan mereka mencapai kesucian juga disebabkan karena karma baiknya pernah berlatih di kehidupan lampau. Jadi mereka masih dianggap "pernah murid" contohnya adalah Pacceka Buddha.

Tapi semasa masih ada ajaran seorang Sammasambuddha maka tak mungkin muncul Pacceka Buddha, dan tanpa belajar dari ajaran Sammasambuddha yang ajarannya masih ada tak mungkin seseorang mencapai kesucian, jadi dengan kata lain seorang Ariya pasti mencapai kesucian dengan mempraktikkan ajaran Sang Buddha (berlatih Vipassana).

Mereka yang mengikuti apa yang diajarkan oleh Sang Buddha dan mencapai kesucian, walaupun masih ber KTP agama lain, pasti dalam hatinya tetap merasa sebagai murid Sang Buddha hingga akhir hayatnya.

Yang pasti orang yang mau mencapai kesucian harus berlatih Vipassana, "this is the only way". Dan ajaran mengenai latihan Vipassana hanya muncul di dunia bila seorang Sammasambuddha muncul di dunia ini.


_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Jerry

Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 03:18:00 PM
Jawaban yang baik dari Bro chingik.
Sudah baca yg kelanjutan thdp jawaban Bro Chingik? Itu ditujukan scr tdk langsung pd Bro Kain loh.. :)

Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 03:18:00 PM
... Semakin lama mencari, akhirnya ia sadar bahwa kematian dialami oleh siapa pun, bukan hanya anaknya. Menyadari hal demikian, ia mengembangkan kesadaran dan mencapai Sotapatti-Phala. Ia menguburkan anaknya di hutan dan kemudian kembali kepada Buddha untuk menjadi bhikkhuni.
Thanks ceritanya.. Sotapatti-phala bukan tercapai pada momen demikian melainkan pada saat dia telah kembali pada Sang Buddha:
Quote
And so saying, she went into the presence of the master. Then the master said to her, "Have you obtained, Gotami, the mustard seed?" "Finished, sir, is the matter of the mustard seed" she said. "You have indeed restored me." And the master then uttered this verse: A person with a mind that clings, Deranged, to sons or possessions, Is swept away by death that comes — Like mighty flood to sleeping town. At the conclusion of this verse, confirmed in the fruit of stream-entry, she asked the master [for permission] to go forth [into the homeless life]. The master allowed her to go forth. She gave homage to the master by bowing three times, went to join the community of nuns, and having gone forth, received her ordination.

Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 03:18:00 PM
Ya, saya memang setuju demikian.
Sekarang saya kembalikan begini. Seandainya sewaktu Kisa Gotami mencapai Sotapanna dan menguburkan anaknya di hutan, ia bertemu dengan anda dan anda bertanya, "Apa yang Buddha ajarkan sehingga anda mencapai Sotapatti-phala?", kira-kira jawabannya apa? "Saya diajarkan dhamma Biji Sawi"? Atau "Saya diajarkan dhamma sensus keluarga yang belum pernah berkabung"?
Yang dia katakan pada saya tuh di atas.. Lewat sms sih kemaren soalnya dia ga ikutan kopdar :hammer: Bahwa dia belum mencapai sotapatti-phala di hutan tapi mencapai ketika mendengar kata2 Sang Buddha setelah ia menguburkan anaknya dan kembali. ^-^

mettacittena
appamadena sampadetha

K.K.

Quote from: Jerry on 06 December 2009, 07:42:40 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 03:18:00 PM
Jawaban yang baik dari Bro chingik.
Sudah baca yg kelanjutan thdp jawaban Bro Chingik? Itu ditujukan scr tdk langsung pd Bro Kain loh.. :)

Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 03:18:00 PM
... Semakin lama mencari, akhirnya ia sadar bahwa kematian dialami oleh siapa pun, bukan hanya anaknya. Menyadari hal demikian, ia mengembangkan kesadaran dan mencapai Sotapatti-Phala. Ia menguburkan anaknya di hutan dan kemudian kembali kepada Buddha untuk menjadi bhikkhuni.
Thanks ceritanya.. Sotapatti-phala bukan tercapai pada momen demikian melainkan pada saat dia telah kembali pada Sang Buddha:
Quote
And so saying, she went into the presence of the master. Then the master said to her, "Have you obtained, Gotami, the mustard seed?" "Finished, sir, is the matter of the mustard seed" she said. "You have indeed restored me." And the master then uttered this verse: A person with a mind that clings, Deranged, to sons or possessions, Is swept away by death that comes — Like mighty flood to sleeping town. At the conclusion of this verse, confirmed in the fruit of stream-entry, she asked the master [for permission] to go forth [into the homeless life]. The master allowed her to go forth. She gave homage to the master by bowing three times, went to join the community of nuns, and having gone forth, received her ordination.

Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 03:18:00 PM
Ya, saya memang setuju demikian.
Sekarang saya kembalikan begini. Seandainya sewaktu Kisa Gotami mencapai Sotapanna dan menguburkan anaknya di hutan, ia bertemu dengan anda dan anda bertanya, "Apa yang Buddha ajarkan sehingga anda mencapai Sotapatti-phala?", kira-kira jawabannya apa? "Saya diajarkan dhamma Biji Sawi"? Atau "Saya diajarkan dhamma sensus keluarga yang belum pernah berkabung"?
Yang dia katakan pada saya tuh di atas.. Lewat sms sih kemaren soalnya dia ga ikutan kopdar :hammer: Bahwa dia belum mencapai sotapatti-phala di hutan tapi mencapai ketika mendengar kata2 Sang Buddha setelah ia menguburkan anaknya dan kembali. ^-^

mettacittena
Saya sudah baca lagi, memang ternyata setelah kembali kepada Buddha baru diberikan sebait wejangan yang kemudian membawa pada pencerahan. Tadinya saya ingin ganti dengan kasus Culapanthaka, tetapi sepertinya hanya akan tambah ruwet, jadi saya tidak melanjutkan lagi. 



Maksudnya yang ini?
Quote from: Jerry on 04 December 2009, 02:39:34 AM
Kalau saya liat berbicara mengenai "agama", maka jika dikatakan tidak hanya didapatkan dari agama sini, maka implikasinya berarti bisa didapatkan dari agama sono. gituh.. Apalagi jika kita melihat kalimatnya Bro Kain secara utuh di atas, dengan mengaitkan pencerahan yg di dapat di agama lain melalui kasus Kisa Gotami, bkn melalui kasus para Pacceka Buddha. Berarti makna tersiratnya pencerahan dapat terealisasi melalui agama lain pada zmn adanya Buddha-sasana. Ini yg saya dpt dr tulisannya di atas, makanya agar tdk salah tafsir saya nanya ke Bro Kain. :)

Ya, utk para Pacceka Buddha sendiri, mereka dapat mencapai magga&phala di kala tdk ada seorang Samma Sambuddha. Tetapi apakah para Pacceka Buddha dapat mengajarkan dan menuntun pengikutnya hingga ke tataran magga&phala? Ini jadi pertanyaan berikutnya.. Krn yg saya tau biasanya dikatakan Pacceka Buddha adl mereka yg merealisasi kebuddhaan tetapi tdk dpt menuntun pengikutnya utk mencapai kebuddhaan sbg Savaka Buddha dan para pengikutnya pun tdk dpt menuntun orang lain utk mencapai kebuddhaan.

_/\_
Itu karena pola pikir Bro Jerry mengkotakkan kebenaran dalam wadah "agama", sama seperti Bro fabian c. Ketika ada suatu kebenaran yang benar, maka itu harus ada merk "agama"-nya, entah "agamaku" atau "agama lain". Oleh karena itu, mungkin Bro Jerry dan rekan-rekan lain menganggap orang yang tidak beragama "Buddha" tidak akan mengajarkan hal-hal yang bisa membawa kita pada pemahaman Buddha-dhamma. Saya tidak begitu. Itu saja bedanya.


fabian c

QuoteItu karena pola pikir Bro Jerry mengkotakkan kebenaran dalam wadah "agama", sama seperti Bro fabian c. Ketika ada suatu kebenaran yang benar, maka itu harus ada merk "agama"-nya, entah "agamaku" atau "agama lain". Oleh karena itu, mungkin Bro Jerry dan rekan-rekan lain menganggap orang yang tidak beragama "Buddha" tidak akan mengajarkan hal-hal yang bisa membawa kita pada pemahaman Buddha-dhamma. Saya tidak begitu. Itu saja bedanya.

Saya kira tidak demikian bro, keputusan presidenlah (jaman Suharto tahun 80-an) yang mengakui Buddha Dhamma sebagai agama. Sebelumnya Buddha Dhamma hanya diakui sebagai aliran kepercayaan.
Aliran kepercayaan dianggap lebih rendah daripada agama, oleh karena itu para pemuka-pemuka agama Buddha berusaha memperjuangkan agar Buddha Dhamma diakui sebagai agama.

Saya tidak meletakkan kebenaran dalam keranjang agama, tetapi ada kebenaran yang hanya diungkapkan atau hanya ada dalam agama tertentu.
Kalau diambil sensus antara yang mengatakan Tuhan sebagai suatu kebenaran dengan mereka yang mengatakan Tuhan hanya dongeng, mungkin yang mengakui Tuhan sebagai suatu kebenaran lebih banyak. Apakah itu merupakan suatu kebenaran?
Maksudnya ada kebenaran yang hanya diajarkan di agama Buddha dan eksklusif merupakan ajaran agama Buddha, tidak ditemui di ajaran lain, umpamanya: tilakkhana, empat kebenaran Arya, jalan Arya berunsur delapan, Vipassana dll.
Kebenaran ini memang berlaku secara universal untuk siapapun. Tetapi pemilik patennya adalah Sang Buddha. Pengikut Sang Buddha disebut Buddhists (disini diterjemahkan sebagai: umat agama Buddha).
Sama seperti gravitasi berlaku universal untuk siapapun, pemilik patennya adalah Newton, pengikut Newton disebut Newtonian (pengikut teori Newton).
Tilakkhana berlaku untuk siapapun walaupun ia masih beragama K...ten atau I...m dll walaupun mereka tak mengakui atau menyadari hal itu (inilah salah satu contoh ajaran Sang Buddha bersifat universal).
Demikian juga gravitasi berlaku untuk siapapun, entah apa agamanya entah apa teori yang dianutnya entah ia tak menyadari bawa ia ada dalam pengaruh gravitasi (inilah sifat universal teori Newton).

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

K.K.

Quote from: fabian c on 07 December 2009, 01:10:10 PM
QuoteItu karena pola pikir Bro Jerry mengkotakkan kebenaran dalam wadah "agama", sama seperti Bro fabian c. Ketika ada suatu kebenaran yang benar, maka itu harus ada merk "agama"-nya, entah "agamaku" atau "agama lain". Oleh karena itu, mungkin Bro Jerry dan rekan-rekan lain menganggap orang yang tidak beragama "Buddha" tidak akan mengajarkan hal-hal yang bisa membawa kita pada pemahaman Buddha-dhamma. Saya tidak begitu. Itu saja bedanya.

Saya kira tidak demikian bro, keputusan presidenlah (jaman Suharto tahun 80-an) yang mengakui Buddha Dhamma sebagai agama. Sebelumnya Buddha Dhamma hanya diakui sebagai aliran kepercayaan.
Aliran kepercayaan dianggap lebih rendah daripada agama, oleh karena itu para pemuka-pemuka agama Buddha berusaha memperjuangkan agar Buddha Dhamma diakui sebagai agama.

Saya tidak meletakkan kebenaran dalam keranjang agama, tetapi ada kebenaran yang hanya diungkapkan atau hanya ada dalam agama tertentu.
Kalau diambil sensus antara yang mengatakan Tuhan sebagai suatu kebenaran dengan mereka yang mengatakan Tuhan hanya dongeng, mungkin yang mengakui Tuhan sebagai suatu kebenaran lebih banyak. Apakah itu merupakan suatu kebenaran?
Maksudnya ada kebenaran yang hanya diajarkan di agama Buddha dan eksklusif merupakan ajaran agama Buddha, tidak ditemui di ajaran lain, umpamanya: tilakkhana, empat kebenaran Arya, jalan Arya berunsur delapan, Vipassana dll.
Kebenaran ini memang berlaku secara universal untuk siapapun. Tetapi pemilik patennya adalah Sang Buddha. Pengikut Sang Buddha disebut Buddhists (disini diterjemahkan sebagai: umat agama Buddha).
Sama seperti gravitasi berlaku universal untuk siapapun, pemilik patennya adalah Newton, pengikut Newton disebut Newtonian (pengikut teori Newton).
Tilakkhana berlaku untuk siapapun walaupun ia masih beragama K...ten atau I...m dll walaupun mereka tak mengakui atau menyadari hal itu (inilah salah satu contoh ajaran Sang Buddha bersifat universal).
Demikian juga gravitasi berlaku untuk siapapun, entah apa agamanya entah apa teori yang dianutnya entah ia tak menyadari bawa ia ada dalam pengaruh gravitasi (inilah sifat universal teori Newton).

_/\_

No comment.
Share ulang sedikit: saya melakukan vipassana secara otodidak sebelum mengenal agama Buddha. Jadi apa pun pendapat Bro fabian, walaupun mungkin benar secara umum, secara pribadi saya tidak bisa terima.

_/\_

Jerry

Quote from: Kainyn_Kutho on 07 December 2009, 12:19:00 PM
Saya sudah baca lagi, memang ternyata setelah kembali kepada Buddha baru diberikan sebait wejangan yang kemudian membawa pada pencerahan. Tadinya saya ingin ganti dengan kasus Culapanthaka, tetapi sepertinya hanya akan tambah ruwet, jadi saya tidak melanjutkan lagi. 

Culapanthaka? Ada 2 versi meskipun oknummnya sama setau saya, yg 1 "sapu bersih" yg 1 lagi "kain kotor". Sepertinya yg 1 versi Mahayana dan 1 lg Theravada. But.. So what? Kan dia mendapat wejangan singkat "kain kotor" itu dari Sang Buddha, bukan dari Nigantha atau Makkhali misalnya. Jika dia mendapat dr petapa yg lain maka boleh saja hal valid mengatakan tercapai Sotapatti magga&phala di luar ajaran Buddha.


Quote from: Kainyn_Kutho on 07 December 2009, 12:19:00 PM
Itu karena pola pikir Bro Jerry mengkotakkan kebenaran dalam wadah "agama", sama seperti Bro fabian c. Ketika ada suatu kebenaran yang benar, maka itu harus ada merk "agama"-nya, entah "agamaku" atau "agama lain". Oleh karena itu, mungkin Bro Jerry dan rekan-rekan lain menganggap orang yang tidak beragama "Buddha" tidak akan mengajarkan hal-hal yang bisa membawa kita pada pemahaman Buddha-dhamma. Saya tidak begitu. Itu saja bedanya.

Sebelumnya saya sudah menanyakan pada Bro Kain tentang adakah bukti dari Bro bahwa ada pencapaian setingkat magga&phala dlm Buddha-dhamma oleh guru lain dari agama lain, tapi hal tsb tidak dijawab. Saya tanyakan kembali skrg. Dapatkan Bro Kain menunjukkan adanya orang2 yg tdk beragama "Buddha" yang mengajarkan hal2 yg bs membawa kita pd pemahaman Buddha-dhamma? dan tambahannya, pencapaian setingkat magga&phala?

Tentu saja boleh2 saja mengatakan bahwa saya mengotakkan dari konteks tertentu. Prinsip saya mengotakkan simple saja.. Bbrp poin misalnya:
- Akidah sbg pondasi awal, sementara agama lain akidah dasarnya bertolak dari pengakuan thdp Tuhan, agama Buddha tidak. Dan adanya utusan dari Tuhan yg menurunkan wahyu pd manusia, sementara agama Buddha tidak.
- Kemudian ajarannya, berpusat pada adanya suatu kekekalan, suatu kebahagiaan dan suatu diri tanpa ada kelanjutan ajaran utk meninggalkan diri, sementara agama Buddha mengajarkan bahwa nibbana bisa dikatakan sbg kekekalan hanya dalam konteks tertentu tetapi bukan dlm realitas sesungguhnya, kebahagiaan memang ada tetapi tidak bertahan abadi, dan diri memang ada tetapi bisa diatasi, ditinggalkan dan dilepaskan.
- Agama lain mengajarkan praktek moralitas dan ritual tanpa mengajarkan bahwa hal2 ini nantinya harus ditinggalkan, sementara agama Buddha mengajarkan dengan mewanti2 bahwa pada akhirnya ini adl belenggu yg harus ditinggalkan.
- Agama lain mungkin mengajarkan tentang pengembangan samadhi, tetapi berdasar pada adanya eksistensi diri, sebaliknya agama Buddha tidak.
- Agama lain yg ada pada hari ini tidak mengajarkan tentang pandangan benar dan jelas hanya agama Buddha yg mengajarkan tentang ini.

Sama halnya dengan kata2 Sang Buddha dalam Maha-Parinibbana Sutta, "Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah kosong dan bukan petapa yang sejati." Mungkin akan terdengar seperti mengkotakkan bagi beberapa yg tidak meyakini demikian. Akibatnya biasanya 2: entah menganggap Sang Buddha bersikap eksklusif lalu tidak menerima atau mengabaikan kata2 tsb. Atau menganggap bagian tsb tambahan belakangan alias bukan kata2 Sang Buddha. Sama halnya mengatakan gajah laut dan singa laut adalah berbeda meski sekilas tampak sama, mungkin akan terdengar mengotakkan. Kenyataannya memang mereka 2 jenis hewan berbeda. Dalam konteks ini saya tidak perlu berspekulasi tentang kemungkinan2 agama2 di luar ruang-waktu yg eksis skrg. Tapi pada masa kini, dari semua agama sepanjang sejarah yg saya tahu, memang tidak ada agama yg mengajarkan 4KM dan JMB8 secara sempurna, terang, nyata dan jelas sebagaimana ajaran ini yg kita namakan agama Buddha. Dan pemahaman saya yg simple, dalam agama Buddha seorang buddhist tidak akan mampu mencapai penyatuan manusia dengan Tuhan dan sebaliknya dalam agama lain, penganutnya tidak akan mampu mencapai magga&phala. Dasar berpijaknya saja sudah berbeda, ditambah metoda yg dikembangkan utk mencapai tujuan dlsb, tentu tidak akan memungkinkan utk mencapai tujuan yg sama. Ini bukan sikap eksklusivitas melainkan memang demikian, dan demikian pula diajarkan oleh Sang Buddha. Dan Sang Buddha mengajarkan pula agar kita tidak bersikap intoleran hanya karena mereka menganut ajaran lain.

Dan oh ya, dalam sutta juga dikatakan bahkan seorang yg dikatakan sekha dalam artian hingga tingkatan anagami magga&phala pun masih berkeyakinan bahwa "Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah kosong dan bukan petapa yang sejati." Bagi saya, pandangan demikian bukan sesuatu yg jelek, buruk, jahat dan pantas dicela. Hanya benar2 menjadi jelek, buruk, jahat dan pantas dicela jika kita mengembangkan sikap intoleran thdp mereka yg berbeda keyakinan. Hanya seorang arahat yg benar2 terbebas dari pandangan demikian, dengan catatan, bukan berarti arahat tidak memiliki pandangan. Jadi pandangan Bro, bagi saya hanya ada 2 kemungkinan: entah Bro telah mencapai arahatta phala atau pemikiran Bro Kain hanya berdasarkan kesimpulan belaka seperti saya. Dengan implikasi, masih mungkin untuk salah. :)

Mettacittena,
appamadena sampadetha

K.K.

Quote from: Jerry on 08 December 2009, 12:50:34 AM
Culapanthaka? Ada 2 versi meskipun oknummnya sama setau saya, yg 1 "sapu bersih" yg 1 lagi "kain kotor". Sepertinya yg 1 versi Mahayana dan 1 lg Theravada. But.. So what? Kan dia mendapat wejangan singkat "kain kotor" itu dari Sang Buddha, bukan dari Nigantha atau Makkhali misalnya. Jika dia mendapat dr petapa yg lain maka boleh saja hal valid mengatakan tercapai Sotapatti magga&phala di luar ajaran Buddha.

QuoteSebelumnya saya sudah menanyakan pada Bro Kain tentang adakah bukti dari Bro bahwa ada pencapaian setingkat magga&phala dlm Buddha-dhamma oleh guru lain dari agama lain, tapi hal tsb tidak dijawab. Saya tanyakan kembali skrg. Dapatkan Bro Kain menunjukkan adanya orang2 yg tdk beragama "Buddha" yang mengajarkan hal2 yg bs membawa kita pd pemahaman Buddha-dhamma? dan tambahannya, pencapaian setingkat magga&phala?

Kalau kembali pada "agama Buddha", saya rasa absurd kalau meminta cerita guru lain membimbing orang mencapai kesucian di Tipitaka, yang nota bene adalah kisah-kisah yang berhubungan dengan Buddha dan para murid. Sama saja seperti saya menanyakan suatu kisah Buddha menebus dosa di kitab agama lain.

Konteks yang saya singgung dalam hal ini adalah Buddha tidak mengajarkan "4 KM" secara langsung, tidak memberikan doktrin-doktrin Buddha-dhamma, namun "mengasah" orang mengembangkan kebijaksanaan menurut kecenderungan orang tersebut. Dengan demikian, 1 milyar kecenderungan, maka ada 1 milyar "ajaran". Saya rasa ini kita juga setuju, CMIIW. Berdasarkan hal ini, maka ada 2 pilihan sikap, yaitu inklusivistik yang menyatakan 1 milyar tersebut, selama membimbing orang mencapai kesucian, disebut "Agama Buddha"; satu lagi yang tidak lagi melihat hal tersebut sebagai "agama" karena sudah terlalu luas untuk "dilingkup" ke dalam satu definisi.
Saya type orang yang ke dua.


QuoteTentu saja boleh2 saja mengatakan bahwa saya mengotakkan dari konteks tertentu. Prinsip saya mengotakkan simple saja.. Bbrp poin misalnya:
- Akidah sbg pondasi awal, sementara agama lain akidah dasarnya bertolak dari pengakuan thdp Tuhan, agama Buddha tidak. Dan adanya utusan dari Tuhan yg menurunkan wahyu pd manusia, sementara agama Buddha tidak.
- Kemudian ajarannya, berpusat pada adanya suatu kekekalan, suatu kebahagiaan dan suatu diri tanpa ada kelanjutan ajaran utk meninggalkan diri, sementara agama Buddha mengajarkan bahwa nibbana bisa dikatakan sbg kekekalan hanya dalam konteks tertentu tetapi bukan dlm realitas sesungguhnya, kebahagiaan memang ada tetapi tidak bertahan abadi, dan diri memang ada tetapi bisa diatasi, ditinggalkan dan dilepaskan.
- Agama lain mengajarkan praktek moralitas dan ritual tanpa mengajarkan bahwa hal2 ini nantinya harus ditinggalkan, sementara agama Buddha mengajarkan dengan mewanti2 bahwa pada akhirnya ini adl belenggu yg harus ditinggalkan.
- Agama lain mungkin mengajarkan tentang pengembangan samadhi, tetapi berdasar pada adanya eksistensi diri, sebaliknya agama Buddha tidak.
- Agama lain yg ada pada hari ini tidak mengajarkan tentang pandangan benar dan jelas hanya agama Buddha yg mengajarkan tentang ini.
Sepertinya Bro Jerry hanya membahas agama yang ada di Indonesia, maka saya tidak ada sanggahan. 


QuoteSama halnya dengan kata2 Sang Buddha dalam Maha-Parinibbana Sutta, "Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah kosong dan bukan petapa yang sejati." Mungkin akan terdengar seperti mengkotakkan bagi beberapa yg tidak meyakini demikian. Akibatnya biasanya 2: entah menganggap Sang Buddha bersikap eksklusif lalu tidak menerima atau mengabaikan kata2 tsb. Atau menganggap bagian tsb tambahan belakangan alias bukan kata2 Sang Buddha. Sama halnya mengatakan gajah laut dan singa laut adalah berbeda meski sekilas tampak sama, mungkin akan terdengar mengotakkan. Kenyataannya memang mereka 2 jenis hewan berbeda. Dalam konteks ini saya tidak perlu berspekulasi tentang kemungkinan2 agama2 di luar ruang-waktu yg eksis skrg. Tapi pada masa kini, dari semua agama sepanjang sejarah yg saya tahu, memang tidak ada agama yg mengajarkan 4KM dan JMB8 secara sempurna, terang, nyata dan jelas sebagaimana ajaran ini yg kita namakan agama Buddha. Dan pemahaman saya yg simple, dalam agama Buddha seorang buddhist tidak akan mampu mencapai penyatuan manusia dengan Tuhan dan sebaliknya dalam agama lain, penganutnya tidak akan mampu mencapai magga&phala. Dasar berpijaknya saja sudah berbeda, ditambah metoda yg dikembangkan utk mencapai tujuan dlsb, tentu tidak akan memungkinkan utk mencapai tujuan yg sama. Ini bukan sikap eksklusivitas melainkan memang demikian, dan demikian pula diajarkan oleh Sang Buddha. Dan Sang Buddha mengajarkan pula agar kita tidak bersikap intoleran hanya karena mereka menganut ajaran lain.
Silahkan kalau Bro Jerry berpikiran begitu. Bagi saya, pencapaian magga-phala adalah kesesuaian kematangan spiritual seseorang, bukan karena agama atau landasan akidah. Salah satu bukti nyata adalah banyak di mana-mana orang yang mahir sekali ber-"tipitaka", tetapi toh tidak mencapai magga-phala juga, tidak mencapai jhana-jhana, bahkan hal sederhana seperti kelakuannya saja tidak bisa dikatakan baik. Sebaliknya, menurut cerita, murid pandangan berbelit-belit saja bisa menjadi Sotapanna dengan 1 syair yang terdengar.


QuoteDan oh ya, dalam sutta juga dikatakan bahkan seorang yg dikatakan sekha dalam artian hingga tingkatan anagami magga&phala pun masih berkeyakinan bahwa "Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah kosong dan bukan petapa yang sejati." Bagi saya, pandangan demikian bukan sesuatu yg jelek, buruk, jahat dan pantas dicela. Hanya benar2 menjadi jelek, buruk, jahat dan pantas dicela jika kita mengembangkan sikap intoleran thdp mereka yg berbeda keyakinan. Hanya seorang arahat yg benar2 terbebas dari pandangan demikian, dengan catatan, bukan berarti arahat tidak memiliki pandangan. Jadi pandangan Bro, bagi saya hanya ada 2 kemungkinan: entah Bro telah mencapai arahatta phala atau pemikiran Bro Kain hanya berdasarkan kesimpulan belaka seperti saya. Dengan implikasi, masih mungkin untuk salah. :)

Mettacittena,
Apakah dengan demikian Bro Jerry mengatakan pengetahuan akan jalan kosong dan jalan petapa sejati yang mengantarkan orang pada pencapaian sejati?
Apakah juga Bro Jerry memiliki pandangan bahwa Arahat tetap memegang suatu pandangan?


ryu

QuoteSilahkan kalau Bro Jerry berpikiran begitu. Bagi saya, pencapaian magga-phala adalah kesesuaian kematangan spiritual seseorang, bukan karena agama atau landasan akidah. a Salah satu bukti nyata adalah banyak di mana-mana orang yang mahir sekali ber-"tipitaka", tetapi toh tidak mencapai magga-phala juga, tidak mencapai jhana-jhana, bahkan hal sederhana seperti kelakuannya saja tidak bisa dikatakan baik. b Sebaliknya, menurut cerita, murid pandangan berbelit-belit saja bisa menjadi Sotapanna dengan 1 syair yang terdengar.
Menurut Bro Kainyn, berapa besar kemungkinan kasus a dengan b itu yang bisa mencapai magga-phala? berapa % orang yang telah mencapai magga-phala dari kasus a dan b?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: ryu on 08 December 2009, 10:54:06 AM
QuoteSilahkan kalau Bro Jerry berpikiran begitu. Bagi saya, pencapaian magga-phala adalah kesesuaian kematangan spiritual seseorang, bukan karena agama atau landasan akidah. a Salah satu bukti nyata adalah banyak di mana-mana orang yang mahir sekali ber-"tipitaka", tetapi toh tidak mencapai magga-phala juga, tidak mencapai jhana-jhana, bahkan hal sederhana seperti kelakuannya saja tidak bisa dikatakan baik. b Sebaliknya, menurut cerita, murid pandangan berbelit-belit saja bisa menjadi Sotapanna dengan 1 syair yang terdengar.
Menurut Bro Kainyn, berapa besar kemungkinan kasus a dengan b itu yang bisa mencapai magga-phala? berapa % orang yang telah mencapai magga-phala dari kasus a dan b?

Saya rasa berapa persentasenya tidak relevan.
Yang Bro Jerry katakan adalah orang dari pandangan lain tidak bisa merealisasi magga-phala karena basicnya berbeda. Dengan kata lain, harus punya basic (Buddhisme) dulu, baru bisa mencapai magga-phala.
Saya di lain pihak mengatakan perkembangan dan kematangan spiritual seseorang tidak tergantung pada basic seperti itu.

hendrako

Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?

Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.

Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.

Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............

yaa... gitu deh

Nevada

Teman-teman... Maksud dari Bro Kainyn itu:

"Seseorang bisa saja penganut agama non-Buddha. Dia percaya pada ritual keselamatan, dia percaya bahwa ada Maha Brahma (Tuhan), dia percaya bahwa kelahiran hanya sekali; dan akan diadili di akhirat. Tetapi agama itu mengajarkan kebaikan juga. Agama itu mengajarkan supaya berderma, supaya banyak berbuat baik, supaya menguatkan iman dan menjaga hati. Seiring kedewasaan pemikirannya, orang ini mulai menyadari bahwa berbuat baik adalah bentuk cinta-kasih; tidak lagi karena paksaan agama. Lalu dia mulai menyadari bahwa hidup ini tidak kekal, tidak memuaskan dan mulai melihat tidak ada substansi inti. Dia mulai melihat bahwa sebenarnya tidak ada roh (jiwa) atau Maha Brahma (Tuhan Pencipta). Dia mulai mengembangkan iman, dan dia melihat bahwa yang lebih penting adalah menyelami gejolak pikiran; karena itulah titik terpenting dalam spiritual. Lalu dia mulai berangsur tidak melekat pada agamanya... Hingga suatu hari dia bertemu dengan Ajaran Sang Buddha. Dia melihat ada banyak kecocokan pola pandangnya (yang mulai dewasa) ini dengan Ajaran Sang Buddha. Dan suatu waktu ketika batinnya sudah matang, mungkin saja dia lebih mudah mencerap Ajaran Sang Buddha. Karena dia sendiri telah bergulat mencari Kebenaran, hingga akhirnya menemukan "peta kebenaran" yang sesungguhnya. Dan akhirnya dia bisa berkembang menjadi lebih bijaksana, atau bahkan menjadi orang Yang Tercerahkan meskipun tidak cocok untuk disebut sebagai umat Buddha".

Begitu yang saya tangkap dari pemikiran Bro Kainyn_Kutho. :)

Correct Me if I Wrong.

K.K.

Quote from: hendrako on 08 December 2009, 11:31:55 AM
Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?

Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.

Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.

Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............
Betul, kalau "agama Buddha" tidak lebih dahulu didefinisikan, maka bisa rancu. Secara umum, tentu saya setuju agama Buddha adalah yang berlandaskan pada Kitab Suci Tipitaka/Tripitaka. Namun secara khusus, Buddha-dhamma bagi saya sudah hampir tak terdefinisikan.


Quote from: upasaka on 08 December 2009, 11:39:25 AM
Teman-teman... Maksud dari Bro Kainyn itu:

"Seseorang bisa saja penganut agama non-Buddha. Dia percaya pada ritual keselamatan, dia percaya bahwa ada Maha Brahma (Tuhan), dia percaya bahwa kelahiran hanya sekali; dan akan diadili di akhirat. Tetapi agama itu mengajarkan kebaikan juga. Agama itu mengajarkan supaya berderma, supaya banyak berbuat baik, supaya menguatkan iman dan menjaga hati. Seiring kedewasaan pemikirannya, orang ini mulai menyadari bahwa berbuat baik adalah bentuk cinta-kasih; tidak lagi karena paksaan agama. Lalu dia mulai menyadari bahwa hidup ini tidak kekal, tidak memuaskan dan mulai melihat tidak ada substansi inti. Dia mulai melihat bahwa sebenarnya tidak ada roh (jiwa) atau Maha Brahma (Tuhan Pencipta). Dia mulai mengembangkan iman, dan dia melihat bahwa yang lebih penting adalah menyelami gejolak pikiran; karena itulah titik terpenting dalam spiritual. Lalu dia mulai berangsur tidak melekat pada agamanya... Hingga suatu hari dia bertemu dengan Ajaran Sang Buddha. Dia melihat ada banyak kecocokan pola pandangnya (yang mulai dewasa) ini dengan Ajaran Sang Buddha. Dan suatu waktu ketika batinnya sudah matang, mungkin saja dia lebih mudah mencerap Ajaran Sang Buddha. Karena dia sendiri telah bergulat mencari Kebenaran, hingga akhirnya menemukan "peta kebenaran" yang sesungguhnya. Dan akhirnya dia bisa berkembang menjadi lebih bijaksana, atau bahkan menjadi orang Yang Tercerahkan meskipun tidak cocok untuk disebut sebagai umat Buddha".

Begitu yang saya tangkap dari pemikiran Bro Kainyn_Kutho. :)

Correct Me if I Wrong.
Ya, betul kira-kira demikian. Semua orang, apa pun agamanya (atau pun tidak beragama), tetap bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan. Pada waktunya, ketika kebijaksanaannya matang dan pada kondisi yang tepat (apakah ia bertemu ajaran Buddha, atau pun dia sendiri mengembangkan pandangan terang) ia akan mampu mencapai kesucian.

Saya "berkeras kepala" menentang "agama Buddha satu-satunya jalan" karena secara general, orang akan manafsirkannya sama seperti di agama lain di mana harus tahu agama tertentu dulu baru selamat. Banyak dari kita tentu tahu rasanya kalau orang lain datang ke kita dengan promosi "agama saya adalah satu-satunya jalan", bukan? Apakah menarik? :)


Nevada

Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 02:17:12 PM
Quote from: upasaka on 08 December 2009, 11:39:25 AM
Teman-teman... Maksud dari Bro Kainyn itu:

"Seseorang bisa saja penganut agama non-Buddha. Dia percaya pada ritual keselamatan, dia percaya bahwa ada Maha Brahma (Tuhan), dia percaya bahwa kelahiran hanya sekali; dan akan diadili di akhirat. Tetapi agama itu mengajarkan kebaikan juga. Agama itu mengajarkan supaya berderma, supaya banyak berbuat baik, supaya menguatkan iman dan menjaga hati. Seiring kedewasaan pemikirannya, orang ini mulai menyadari bahwa berbuat baik adalah bentuk cinta-kasih; tidak lagi karena paksaan agama. Lalu dia mulai menyadari bahwa hidup ini tidak kekal, tidak memuaskan dan mulai melihat tidak ada substansi inti. Dia mulai melihat bahwa sebenarnya tidak ada roh (jiwa) atau Maha Brahma (Tuhan Pencipta). Dia mulai mengembangkan iman, dan dia melihat bahwa yang lebih penting adalah menyelami gejolak pikiran; karena itulah titik terpenting dalam spiritual. Lalu dia mulai berangsur tidak melekat pada agamanya... Hingga suatu hari dia bertemu dengan Ajaran Sang Buddha. Dia melihat ada banyak kecocokan pola pandangnya (yang mulai dewasa) ini dengan Ajaran Sang Buddha. Dan suatu waktu ketika batinnya sudah matang, mungkin saja dia lebih mudah mencerap Ajaran Sang Buddha. Karena dia sendiri telah bergulat mencari Kebenaran, hingga akhirnya menemukan "peta kebenaran" yang sesungguhnya. Dan akhirnya dia bisa berkembang menjadi lebih bijaksana, atau bahkan menjadi orang Yang Tercerahkan meskipun tidak cocok untuk disebut sebagai umat Buddha".

Begitu yang saya tangkap dari pemikiran Bro Kainyn_Kutho. :)

Correct Me if I Wrong.
Ya, betul kira-kira demikian. Semua orang, apa pun agamanya (atau pun tidak beragama), tetap bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan. Pada waktunya, ketika kebijaksanaannya matang dan pada kondisi yang tepat (apakah ia bertemu ajaran Buddha, atau pun dia sendiri mengembangkan pandangan terang) ia akan mampu mencapai kesucian.

Saya "berkeras kepala" menentang "agama Buddha satu-satunya jalan" karena secara general, orang akan manafsirkannya sama seperti di agama lain di mana harus tahu agama tertentu dulu baru selamat. Banyak dari kita tentu tahu rasanya kalau orang lain datang ke kita dengan promosi "agama saya adalah satu-satunya jalan", bukan? Apakah menarik? :)

Kita sudah memahami pemikiran kita masing-masing. Saya pikir tidak ada pendapat yang harus dipertentangkan di antara kita. :)

Tapi saya mau memberi komentar usil: "Meskipun orang di agama lain juga bisa merealisasi Pembebasan, namun tetap saja orang yang telah merealisasi Pembebasan adalah orang yang sudah merealisasi tujuan Agama Buddha, bukan tujuan agama lain."

K.K.

Quote from: upasaka on 08 December 2009, 03:15:20 PM
Kita sudah memahami pemikiran kita masing-masing. Saya pikir tidak ada pendapat yang harus dipertentangkan di antara kita. :)
Ya, setuju. Saya katakan hal tersebut agar orang lain yang baca tidak salah paham.


QuoteTapi saya mau memberi komentar usil: "Meskipun orang di agama lain juga bisa merealisasi Pembebasan, namun tetap saja orang yang telah merealisasi Pembebasan adalah orang yang sudah merealisasi tujuan Agama Buddha, bukan tujuan agama lain."
Ini kelihatannya mirip tetapi berbeda. Kalau yang ini, saya sepenuhnya setuju.