//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?  (Read 168450 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #525 on: 13 January 2010, 09:20:01 AM »
Kisah Suppabuddha mirip dengan kisah Bahiya ....
yaitu di seruduk oleh sapi/kerbau?

kenapa sapi/kerbau zaman dulu galak2 yaaah  ;D ......

Sepertinya pernah dibahas. Itu adalah sapi yang sama yang menyeruduk Bahiya (petapa berpakaian kayu yang mencapai Arahatta), Suppabuddha (orang lepra yang mencapai Sotapatti), Pukkusati (raja yang menjadi bhikkhu dan mencapai Anagami), dan Tambadathika (mantan algojo yang mencapai Sotapatti).
Di kehidupan lampau, sapi itu adalah seorang pelacur yang dibunuh mereka berempat dan bersumpah akan membalas dendam di kehidupan-kehidupan berikutnya.

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #526 on: 13 January 2010, 12:05:09 PM »
Dalam Sutta Dhatu-vibhanga, ada Pukkusati seorang petapa pengelana yg meninggalkan kehidupan duniawi karena mendengar tentang Sang Buddha, dan memiliki keyakinan thdpnya meski belum pernah menjumpai langsung. Akhir cerita, Pukkusati diseruduk oleh sapi dan tewas, tetapi mencapai Anagami juga. Apakah Pukkusati yg sama dengan yg raja tsb? Tapi di sana tdk dikatakan soal dia mantan raja sih..
appamadena sampadetha

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #527 on: 13 January 2010, 12:11:30 PM »
Dalam Sutta Dhatu-vibhanga, ada Pukkusati seorang petapa pengelana yg meninggalkan kehidupan duniawi karena mendengar tentang Sang Buddha, dan memiliki keyakinan thdpnya meski belum pernah menjumpai langsung. Akhir cerita, Pukkusati diseruduk oleh sapi dan tewas, tetapi mencapai Anagami juga. Apakah Pukkusati yg sama dengan yg raja tsb? Tapi di sana tdk dikatakan soal dia mantan raja sih..

benar, itu memang Pukkusati yg mantan Raja, kisah lengkap ada dalam RAPB, seandainya anda menghargai pemberian seseorang terlebih jika itu adalah RAPB.

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #528 on: 13 January 2010, 01:44:07 PM »
:-[
appamadena sampadetha

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #529 on: 13 January 2010, 03:55:19 PM »
Quote
Ya memang tidak ada yang mengajarkan Satipatthana bila seorang Sammasambuddha tidak muncul. Bila ada yang mengajarkan di jaman tidak ada Sammasambuddha maka tentu akan ada yang mencapai kesucian dengan belajar (Savakabuddha) kan? Tetapi dikatakan di jaman ajaran Sammasambuddha telah lenyap tak ada Savakabuddha.
Saya mau tanya saja. Seandainya ada seorang yang di kehidupan lampau berlatih Satipatthana dengan giat, namun karena buah kamma, ia terlahir kembali bukan di keluarga atau pun lingkungan Buddhis. Menurut Bro Fabian, apakah mungkin atau tidak bahwa ia masih memiliki kecenderungan di masa lampau untuk berlatih Satipatthana, walaupun ia tidak mengenal Agama Buddha?

Setahu saya mungkin saja bagi mereka yang pengetahuan dan pengalamannya sudah sangat jauh seperti Bodhisatta misalnya untuk berlatih meditasi insight dan paling-paling hanya mencapai Sankharupekkha Nana. Tetapi tak akan mencapai kesucian kecuali telah matang paraminya dan salah satu sebabnya Bodhisatta ingat akan masa lampaunya dan aspirasi agung yang telah menjadi tekadnya.
Apakah bro Kainyn seperti itu?

Quote
Quote
Marilah kita menghilangkan prasangka pribadi dan mendahulukan diskusi Dhamma.
Apa yang telah diketahui bukanlah prasangka.
Hal yang belum diketahui kebenarannya adalah prasangka, kecuali telah terbukti benar.

Quote
Quote
Mungkin saya belum menyelami pengertian bro Kainyn terhadap agama Buddha. Apa sih agama Buddha itu menurut pengertian bro Kainyn?
"Agama" Buddha adalah kumpulan doktrin dari masa lampau yang dikemas dalam kitab-kitab, ditafsirkan pihak tertentu, dan dianggap sebagai kebenaran.
Agama Buddha adalah label (penamaan) bisa juga disebut Buddha sasana atau Buddha Dhamma atau ajaran Buddha dll.

Quote
"Ajaran" Buddha adalah panduan bagi masing-masing pribadi untuk menyadari "dunia" apa adanya.
Apakah yang dimaksud bro Kainyn menyadari dunia apa adanya? Apakah bila saya melihat minuman fanta berwarna merah saya sudah menyadari dunia apa adanya? atau apakah jika saya melihat bulan dan matahari saya sudah menyadari dunia apa adanya?

Quote
Quote
Apakah benar orang yang bertekad untuk menjadi guru lulus lebih terlambat dibandingkan yang tidak?
Untuk sekadar lulus, maka orang hanya perlu melatih apa yang kurang dari dirinya untuk lulus.
Untuk menjadi guru, maka orang perlu melatih seluruh aspek yang diperlukan untuk lulus, dan harus melatih cara mengajar yang baik. Mengajar yang baik adalah dengan mengerti orang lain, dan tidak ada rumus baku untuk mengerti orang lain, baik kekurangan maupun kelebihannya. Semua didapat dari pengalaman dan pembelajaran yang sangat panjang.

Setujukah bro Kainyn bila saya katakan bahwa pada kenyataannya tidak semua guru lulus lebih lambat dibanding muridnya? kenyataannya bila kembali membaca Tipitaka banyak guru yang lulus lebih lambat, banyak guru yang lulus lebih cepat, banyak guru yang lulus lebih lambat tetapi dapat mengajar dengan baik, banyak guru yang lulus lebih cepat juga dapat mengajar dengan baik. banyak yang lulus menjadi guru yang baik, banyak juga yang lulus bila dipaksakan akan menjadi guru yang kurang baik.

Jadi lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan murid, bukan tergantung aspirasinya ingin menjadi guru.

Quote
Quote
Saya rasa seorang guru memiliki ilmu yang dimiliki muridnya.
Ada ilmu yang bisa "ditransfer" dari guru ke murid, namun lebih banyak ilmu yang tidak bisa. Ilmu tersebut hanya bisa didapatkan sendiri melalui latihan dan pengalaman. Jadi memang bukan guru tersebut payah, namun memang pembelajarannya berbeda.
Menurut bro kainyn manakah yang lebih masuk akal, menjadi ahli geografi dengan pergi menyelidiki keadaan yang ada di seluruh dunia atau belajar kepada yang sudah ahli, baru kemudian mengembangkan dari sana? Apakah seseorang akan menjadi guru/ahli geografi bila ia tidak tahu geografi, lalu meng"explore" dengan berkelana ke seluruh dunia untuk menjadi guru geografi tanpa belajar kepada orang lain?

Quote
Quote
Bila seorang murid ingin belajar geografi pada guru yang ahli hukum apakah murid tersebut akan menjadi ahli geografi?
Jika ia mencari ilmu geografi pada ahli hukum, maka ia hanya akan menemukan hal-hal yang relevan antara hukum & geografi, jika ada. Namun saya tidak mengatakan dia pasti akan atau tidak akan menjadi seorang ahli geografi, sebab pembelajaran tergantung terutama pada diri sendiri, baru guru sebagai faktor ke dua.

To the point : apakah belajar geografi yang benar kepada ahli hukum atau ahli geografi?

Quote
Quote
Apakah itu salah satu penyebab dikatakan Buddha? karena tidak memusingkan "agama mana yang bener"?
apakah si Polan yang sudah melihat kebenaran bahwa yang disebut apricot adalah sejenis buah, ia juga layak disebut Buddha?
Jadi ada agama yang bahas status apricot adalah buah atau bukan? Baik, kita andaikan agama tersebut adalah Fabianisme.
Mari saya kutip kembali pernyataan bro Kainyn:

Quote
Quote
Quote
Quote
Pengetahuan saya mengenai Paccekabuddha hanya berasal dari Tipitaka, diluar dari itu saya anggap spekulasi.
Ada rujukan di Tipitaka bahwa para Pacceka Buddha beragama Buddha?

Tidak ada... tahukah mengapa dikatakan Buddha?
Salah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran.

Bukankah mengetahui dengan benar apricot adalah buah adalah mengetahui kebenaran? Apakah dengan demikian si Polan sudah memiliki salah satu penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?

Quote
Ketika seseorang mengetahui kebenaran bahwa buah atau bukan adalah berdasarkan kesepakatan bersama, yaitu berasal dari bagian ovarium tanaman, maka ia tidak mempermasalahkan kebenaran Apricot Vs Buah, yang dengan demikian, ia juga tidak memusingkan apakah Agama Fabianisme itu bener atau tidak.
Mungkin maksud bro Kainyn ovum. Lalu apakah  berdasarkan sebab telah melihat kebenaran itu, apakah ia telah memiliki salah satu faktor penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
Quote
Saya tidak bilang dengan begini saja orang jadi Buddha, maka saya bilang "salah satunya." Ketika terlintas "Buddha" di pikiran, maka saya membayangkan orang tersebut adalah tipe yang tidak memusingkan "Fabianisme bener ato ga", namun yang lebih mengajarkan melihat kebenaran "apricot" dan "buah" itu sendiri.
Jadi seseorang yang sudah mengetahui semua tanaman berasal dari ovum memiliki salah satu penyebab seseorang dikatakan sebagai Buddha?

sekedar sharing:
Seseorang yang telah melihat dan mengetahui kebenaran mengenai sesuatu dengan sepenuhnya, jelas memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap apa yang telah ia ketahui sepenuhnya. Dan selalu akan berada pada kebenaran yang ia ketahui sepenuhnya, bukan tidak memusingkan kebenaran.

Quote
Quote
Apakah diskusi kita tidak melibatkan Abhidhamma?
Saya tidak mengerti Abhidhamma, maka tentu saja yang saya katakan tidak berdasarkan dengan Abhidhamma. Jadi apakah melibatkan atau tidak, saya juga tidak tahu.
Bukankah bro kainyn sendiri yang mengatakan hal itu dibahas di Abhidhamma? coba saya post kembali:
Quote
Quote
Quote
Quote
Saya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut.
Apakah mereka yang belajar Abhidhamma juga termasuk?
Jika konteksnya sebatas Abhidhamma, saya rasa tidak masalah karena memang ada dibahas. Tetapi di luar itu, saya tidak akan menanggapi.
Apakah diskusi kita tidak melibatkan Abhidhamma?

Quote
Quote
Saya kira bukti kamma bukan tak bisa dijelaskan, namun kita memiliki keterbatasan pengetahuan. Ya saya juga percaya karena hukum kamma mampu mejawab banyak teka-teki kehidupan yang tak bisa dijawab dengan konsep lain.
Konsepnya memang unggul, namun tetap tidak bisa dijelaskan. Dan jika memang saya tidak mampu menjelaskan, saya tidak akan berlindung di balik "keterbatasan manusia". Mengapa demikian? Karena akhirnya sama saja seperti yang mengatakan "rencana Tuhan yang selalu indah bisa dijelaskan, namun karena keterbatasan manusia maka tidak bisa mengerti."
Saya lebih memilih untuk mengaku bahwa semua masih konsep, dan kita memilih karena kecocokan.
Bukankah hukum kamma bekerja berdasarkan sebab-akibat? apakah itu bukan penjelasan? Saya mengatakan kita bisa menjelaskan hukum kamma hanya beberapa hal saja, tak seluruhnya, karena keterbatasan pengetahuan kita.

 _/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #530 on: 13 January 2010, 06:11:50 PM »
Setahu saya mungkin saja bagi mereka yang pengetahuan dan pengalamannya sudah sangat jauh seperti Bodhisatta misalnya untuk berlatih meditasi insight dan paling-paling hanya mencapai Sankharupekkha Nana. Tetapi tak akan mencapai kesucian kecuali telah matang paraminya dan salah satu sebabnya Bodhisatta ingat akan masa lampaunya dan aspirasi agung yang telah menjadi tekadnya.
Apakah bro Kainyn seperti itu?
Mengenai Ñana, saya tidak mengerti. Dan apakah saya "bodhisatta", saya rasa bukan. Hanya sekadar menanyakan pendapat saja.

Quote
Hal yang belum diketahui kebenarannya adalah prasangka, kecuali telah terbukti benar.
:)

Quote
Apakah yang dimaksud bro Kainyn menyadari dunia apa adanya? Apakah bila saya melihat minuman fanta berwarna merah saya sudah menyadari dunia apa adanya? atau apakah jika saya melihat bulan dan matahari saya sudah menyadari dunia apa adanya?
Fanta berwarna merah atau adanya bulan dan matahari hanyalah objek fenomena. Apakah seseorang menyadari dunia apa adanya atau tidak, tergantung bagaimana ia menyikapi objek tersebut.


Quote
Setujukah bro Kainyn bila saya katakan bahwa pada kenyataannya tidak semua guru lulus lebih lambat dibanding muridnya? kenyataannya bila kembali membaca Tipitaka banyak guru yang lulus lebih lambat, banyak guru yang lulus lebih cepat, banyak guru yang lulus lebih lambat tetapi dapat mengajar dengan baik, banyak guru yang lulus lebih cepat juga dapat mengajar dengan baik. banyak yang lulus menjadi guru yang baik, banyak juga yang lulus bila dipaksakan akan menjadi guru yang kurang baik.

Jadi lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan murid, bukan tergantung aspirasinya ingin menjadi guru.
Kita asumsikan dua-duanya berangkat dari 0 dan memiliki kecerdasan sama? Saya tidak setuju.
Aspirasi di sini bagi saya bukan menghambat atau apa, tetapi seseorang beraspirasi menjadi guru, berarti telah mengambil jalan yang berbeda dengan yang beraspirasi menjadi murid. Berangkat dari yang sama-sama tidak tahu apa-apa, perjalanan menjadi guru jauh lebih lebih panjang daripada perjalanan untuk lulus menjadi murid.


Quote
Menurut bro kainyn manakah yang lebih masuk akal, menjadi ahli geografi dengan pergi menyelidiki keadaan yang ada di seluruh dunia atau belajar kepada yang sudah ahli, baru kemudian mengembangkan dari sana? Apakah seseorang akan menjadi guru/ahli geografi bila ia tidak tahu geografi, lalu meng"explore" dengan berkelana ke seluruh dunia untuk menjadi guru geografi tanpa belajar kepada orang lain?
Menurut saya, dua-duanya tetap masuk akal, namun cara ke dua memakan waktu yang jauh lebih lama.


Quote
To the point : apakah belajar geografi yang benar kepada ahli hukum atau ahli geografi?
Tentu saja belajar geografi lebih tepat dari ahli geografi.


Quote
Mari saya kutip kembali pernyataan bro Kainyn:

Quote
Salah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran.

Bukankah mengetahui dengan benar apricot adalah buah adalah mengetahui kebenaran? Apakah dengan demikian si Polan sudah memiliki salah satu penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
Kalimat saya menyinggung "agama yang bener" serta "melihat kebenaran". Apakah tidak terlintas dalam pikiran Bro Fabian kalau kebenaran yang dimaksud adalah yang memiliki relevansi dalam "agama"? Tadinya sudah saya sindir bahwa hanya Agama Fabianisme membahas Apricot, ternyata tidak menangkap maksud saya juga.


Quote
Mungkin maksud bro Kainyn ovum. Lalu apakah  berdasarkan sebab telah melihat kebenaran itu, apakah ia telah memiliki salah satu faktor penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?

Jadi seseorang yang sudah mengetahui semua tanaman berasal dari ovum memiliki salah satu penyebab seseorang dikatakan sebagai Buddha?
Seperti saya singgung di atas, kalau dalam Fabianisme, saya katakan "cocok" disebut "Buddha". Kalau dari agama-agama yang biasa "beredar" sih, tidak tahu juga.


Quote
sekedar sharing:
Seseorang yang telah melihat dan mengetahui kebenaran mengenai sesuatu dengan sepenuhnya, jelas memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap apa yang telah ia ketahui sepenuhnya. Dan selalu akan berada pada kebenaran yang ia ketahui sepenuhnya, bukan tidak memusingkan kebenaran.
Betul, ia mengetahui, bukan "tidak memusingkan" kebenaran. Karena ia telah mengetahui kebenaran, maka ia tidak memusingkan "agama" mana yang benar. Kebenaran adalah kebenaran, agama adalah agama. Bisa jadi agama mengajarkan kebenaran, namun kebenaran sendiri bukanlah agama.


Quote
Bukankah bro kainyn sendiri yang mengatakan hal itu dibahas di Abhidhamma? coba saya post kembali:
Quote
Quote
Quote
Quote
Saya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut.
Apakah mereka yang belajar Abhidhamma juga termasuk?
Jika konteksnya sebatas Abhidhamma, saya rasa tidak masalah karena memang ada dibahas. Tetapi di luar itu, saya tidak akan menanggapi.
Apakah diskusi kita tidak melibatkan Abhidhamma?
Ya, memang itu dibahas dalam Abhidhamma, tetapi yang kita bahas ini saya kira bukanlah Abhidhamma, dan saya juga tidak memasukkan unsur Abhidhamma ke dalam pembahasan ini, karena saya sendiri tidak paham. Dan jika Bro Fabian hendak membahas Abhidhamma, saya tidak ikutan.


Quote
Bukankah hukum kamma bekerja berdasarkan sebab-akibat? apakah itu bukan penjelasan? Saya mengatakan kita bisa menjelaskan hukum kamma hanya beberapa hal saja, tak seluruhnya, karena keterbatasan pengetahuan kita.
Tuhan juga menganugerahkan dan menghukum berdasarkan perbuatan (sesuai yang ditanam, itu pun yang akan dituai). Apakah itu bukan penjelasan? Tetapi kita bisa menjelaskan beberapa hal saja, tidak seluruhnya karena keterbatasan manusia memahami Tuhan.


Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #531 on: 14 January 2010, 06:49:40 PM »
Quote
Setahu saya mungkin saja bagi mereka yang pengetahuan dan pengalamannya sudah sangat jauh seperti Bodhisatta misalnya untuk berlatih meditasi insight dan paling-paling hanya mencapai Sankharupekkha Nana. Tetapi tak akan mencapai kesucian kecuali telah matang paraminya dan salah satu sebabnya Bodhisatta ingat akan masa lampaunya dan aspirasi agung yang telah menjadi tekadnya.
Apakah bro Kainyn seperti itu?
Mengenai Ñana, saya tidak mengerti. Dan apakah saya "bodhisatta", saya rasa bukan. Hanya sekadar menanyakan pendapat saja.

Quote
Hal yang belum diketahui kebenarannya adalah prasangka, kecuali telah terbukti benar.
:)

Quote
Apakah bila saya melihat minuman fanta berwarna merah saya sudah menyadari dunia apa adanya? atau apakah jika saya melihat bulan dan matahari saya sudah menyadari dunia apa adanya?
Fanta berwarna merah atau adanya bulan dan matahari hanyalah objek fenomena. Apakah seseorang menyadari dunia apa adanya atau tidak, tergantung bagaimana ia menyikapi objek tersebut.

Saya kembalikan lagi pada pertanyaan pertama, Apakah yang dimaksud bro Kainyn menyadari dunia apa adanya?
Quote
Quote
Setujukah bro Kainyn bila saya katakan bahwa pada kenyataannya tidak semua guru lulus lebih lambat dibanding muridnya? kenyataannya bila kembali membaca Tipitaka banyak guru yang lulus lebih lambat, banyak guru yang lulus lebih cepat, banyak guru yang lulus lebih lambat tetapi dapat mengajar dengan baik, banyak guru yang lulus lebih cepat juga dapat mengajar dengan baik. banyak yang lulus menjadi guru yang baik, banyak juga yang lulus bila dipaksakan akan menjadi guru yang kurang baik.

Jadi lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan murid, bukan tergantung aspirasinya ingin menjadi guru.
Kita asumsikan dua-duanya berangkat dari 0 dan memiliki kecerdasan sama? Saya tidak setuju.
Aspirasi di sini bagi saya bukan menghambat atau apa, tetapi seseorang beraspirasi menjadi guru, berarti telah mengambil jalan yang berbeda dengan yang beraspirasi menjadi murid. Berangkat dari yang sama-sama tidak tahu apa-apa, perjalanan menjadi guru jauh lebih lebih panjang daripada perjalanan untuk lulus menjadi murid.
Apakah dari awal bro Kainyn mengatakan berangkat dari 0 dan memiliki kecerdasan yang sama?
Jadi setuju bro Kainyn bila saya katakan lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan, bukan tergantung aspirasi?

Quote
Quote
Menurut bro kainyn manakah yang lebih masuk akal, menjadi ahli geografi dengan pergi menyelidiki keadaan yang ada di seluruh dunia atau belajar kepada yang sudah ahli, baru kemudian mengembangkan dari sana? Apakah seseorang akan menjadi guru/ahli geografi bila ia tidak tahu geografi, lalu meng"explore" dengan berkelana ke seluruh dunia untuk menjadi guru geografi tanpa belajar kepada orang lain?
Menurut saya, dua-duanya tetap masuk akal, namun cara ke dua memakan waktu yang jauh lebih lama.
Apakah masuk diakal seseorang harus memulai berkeliling setiap negara, mendata penduduk, mata pencaharian, pengahasilan setiap negara, menggambar peta setiap negara atau bahkan bikin satelit sendiri untuk memudahkan ia memperdalam ilmu geografi agar menjadi guru?

Quote
Quote
To the point : apakah belajar geografi yang benar kepada ahli hukum atau ahli geografi?
Tentu saja belajar geografi lebih tepat dari ahli geografi.
Ya memang demikianlah kita harus mengetahui kekurangan diri sendiri dan perlu belajar kepada orang yang lebih ahli.

Quote
Quote
Mari saya kutip kembali pernyataan bro Kainyn:

Quote
Salah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran.

Bukankah mengetahui dengan benar apricot adalah buah adalah mengetahui kebenaran? Apakah dengan demikian si Polan sudah memiliki salah satu penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
Kalimat saya menyinggung "agama yang bener" serta "melihat kebenaran". Apakah tidak terlintas dalam pikiran Bro Fabian kalau kebenaran yang dimaksud adalah yang memiliki relevansi dalam "agama"? Tadinya sudah saya sindir bahwa hanya Agama Fabianisme membahas Apricot, ternyata tidak menangkap maksud saya juga.
Relevansi dengan agama? baiklah... apakah seseorang yang telah melihat kebenaran bahwa Buddharupang yang terbuat dari keramik jika jatuh akan pecah, atau seseorang yang telah mengetahui kebenaran dalam agama tetangga bahwa bila  seseorang akan sholat tetapi tak menemukan air untuk membersihkan diri maka ia bisa sholat dengan menggunakan pasir.
Apakah orang yang telah melihat kebenaran yang relevan dalam agama ini sudah memiliki salah satu penyebab untuk dikatakan sebagai Buddha?

Quote
Quote
Quote
Mungkin maksud bro Kainyn ovum. Lalu apakah  berdasarkan sebab telah melihat kebenaran itu, apakah ia telah memiliki salah satu faktor penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?

Jadi seseorang yang sudah mengetahui semua tanaman berasal dari ovum memiliki salah satu penyebab seseorang dikatakan sebagai Buddha?
Seperti saya singgung di atas, kalau dalam Fabianisme, saya katakan "cocok" disebut "Buddha". Kalau dari agama-agama yang biasa "beredar" sih, tidak tahu juga.
Bagaimana? Apakah menurut bro Kainyn "melihat kebenaran" yang relevan dalam agama yang sudah saya tulis diatas sudah memiliki salah satu faktor penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?

Quote
Quote
sekedar sharing:
Seseorang yang telah melihat dan mengetahui kebenaran mengenai sesuatu dengan sepenuhnya, jelas memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap apa yang telah ia ketahui sepenuhnya. Dan selalu akan berada pada kebenaran yang ia ketahui sepenuhnya, bukan tidak memusingkan kebenaran.
Betul, ia mengetahui, bukan "tidak memusingkan" kebenaran. Karena ia telah mengetahui kebenaran, maka ia tidak memusingkan "agama" mana yang benar. Kebenaran adalah kebenaran, agama adalah agama. Bisa jadi agama mengajarkan kebenaran, namun kebenaran sendiri bukanlah agama.
Mana yang benar diantara dua pernyataan bro Kainyn yang saya warnai merah diatas?

Quote
Quote
Bukankah bro kainyn sendiri yang mengatakan hal itu dibahas di Abhidhamma? coba saya post kembali:
Quote
Quote
Quote
Quote
Saya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut.
Apakah mereka yang belajar Abhidhamma juga termasuk?
Jika konteksnya sebatas Abhidhamma, saya rasa tidak masalah karena memang ada dibahas. Tetapi di luar itu, saya tidak akan menanggapi.
Apakah diskusi kita tidak melibatkan Abhidhamma?
Ya, memang itu dibahas dalam Abhidhamma, tetapi yang kita bahas ini saya kira bukanlah Abhidhamma, dan saya juga tidak memasukkan unsur Abhidhamma ke dalam pembahasan ini, karena saya sendiri tidak paham. Dan jika Bro Fabian hendak membahas Abhidhamma, saya tidak ikutan.
Baiklah jika bro Kainyn tak mau membahas kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca,
Tetapi perlu juga diketahui bahwa kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca merupakan buah perjuangan umat Buddha yang tentu saja tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai umat Buddha.

Quote
Quote
Bukankah hukum kamma bekerja berdasarkan sebab-akibat? apakah itu bukan penjelasan? Saya mengatakan
Tuhan juga menganugerahkan dan menghukum berdasarkan perbuatan (sesuai yang ditanam, itu pun yang akan dituai). Apakah itu bukan penjelasan? Tetapi kita bisa menjelaskan beberapa hal saja, tidak seluruhnya karena keterbatasan manusia memahami Tuhan.
Saya tak mau membahas mengenai Tuhan, bila ingin membahas mengenai Tuhan bro Kainyn bisa membuka thread baru dan saya yakin akan banyak teman-teman yang dengan sukarela menanggapi.
kembali pada pernyataan saya, setujukah bro Kainyn bila saya katakan bahwa, kita bisa menjelaskan hukum kamma hanya beberapa hal saja, tak seluruhnya, karena keterbatasan pengetahuan kita?

 _/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #532 on: 15 January 2010, 02:56:48 PM »
Saya kembalikan lagi pada pertanyaan pertama, Apakah yang dimaksud bro Kainyn menyadari dunia apa adanya?
Setiap orang memiliki "dunia" sendiri, yaitu semua objek yang bersentuhan dengan indera. Dalam menyikapi "dunia" tersebut, selalu saja ada "ilusi" yang diberikan pikiran terhadap persepsi indera, oleh karena itu ia "terhalang" untuk menyadari "dunia" tersebut apa adanya.

Quote
Apakah dari awal bro Kainyn mengatakan berangkat dari 0 dan memiliki kecerdasan yang sama?
Kalau berangkat dari modal yang berbeda, rasanya kita tidak perlu jauh-jauh. Lihat saja Pangeran Siddhatta "hanya" perlu 6 tahun menjadi Samma Sambuddha, sedangkan ada murid yang berlatih seumur hidup namun belum mencapai magga-phala.

Quote
Jadi setuju bro Kainyn bila saya katakan lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan, bukan tergantung aspirasi?
Memang bukan aspirasinya, makanya saya bilang pernyataan berikut absurd:
Quote
seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat

Aspirasi untuk menjadi Samma Sambuddha TIDAK menghalangi pencapaian orang, tetapi membuatnya mengambil jalan yang jauh lebih panjang dibanding aspirasi untuk menjadi Savaka Buddha, walaupun ditempuh dengan "kecerdasan" yang sama.

Quote
Apakah masuk diakal seseorang harus memulai berkeliling setiap negara, mendata penduduk, mata pencaharian, pengahasilan setiap negara, menggambar peta setiap negara atau bahkan bikin satelit sendiri untuk memudahkan ia memperdalam ilmu geografi agar menjadi guru?
Jika memang tidak ada data, belum ada peta, belum ada satelit, tidak ada yang mau bantu atau hal-hal lainnya, yah masuk akal saja ia membuat semuanya. Namun tentu saja sesuai dengan keterbatasannya, misalnya umur. Jika memang sudah ada data akurat, sudah ada fasilitas yang baik, ada orang-orang yang mau bantu, apa pentingnya dia melakukannya sendirian?

Quote
Ya memang demikianlah kita harus mengetahui kekurangan diri sendiri dan perlu belajar kepada orang yang lebih ahli.
Tentu saja kita selalu belajar pada orang lain. Yang saya masalahkan adalah apakah dengan mempelajari dan menguasai semua komposisi musik yang dibuat oleh seorang maestro, kita bisa menjadi maestro itu sendiri?

Quote
Quote
Quote
Mari saya kutip kembali pernyataan bro Kainyn:

Quote
Salah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran.

Bukankah mengetahui dengan benar apricot adalah buah adalah mengetahui kebenaran? Apakah dengan demikian si Polan sudah memiliki salah satu penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
Kalimat saya menyinggung "agama yang bener" serta "melihat kebenaran". Apakah tidak terlintas dalam pikiran Bro Fabian kalau kebenaran yang dimaksud adalah yang memiliki relevansi dalam "agama"? Tadinya sudah saya sindir bahwa hanya Agama Fabianisme membahas Apricot, ternyata tidak menangkap maksud saya juga.
Jika seseorang mengatakan, "ia dikatakan dokter karena mengetahui kebenaran, maka tidak lagi memusingkan universitas/rumah sakit mana yang bener," saya kebanyakan orang juga tahu maksudnya adalah kebenaran yang memiliki relevansi dengan ilmu medis. Pertanyaan Bro Fabian itu seperti kemudian menanyakan, "apakah kalau si Pono mengetahui kebenaran perkedel dibikin dari kentang, sudah bisa dikatakan dokter?"
Tidak salah memang, karena saya tidak menjelaskan dengan detail. Hanya saja, entah bagaimana, jadi lucu juga.

Quote
Relevansi dengan agama? baiklah... apakah seseorang yang telah melihat kebenaran bahwa Buddharupang yang terbuat dari keramik jika jatuh akan pecah, atau seseorang yang telah mengetahui kebenaran dalam agama tetangga bahwa bila  seseorang akan sholat tetapi tak menemukan air untuk membersihkan diri maka ia bisa sholat dengan menggunakan pasir.
Apakah orang yang telah melihat kebenaran yang relevan dalam agama ini sudah memiliki salah satu penyebab untuk dikatakan sebagai Buddha?

Nah, pertanyaan pertama ini lagi-lagi seperti bertanya, "apakah kalau si Pono mengetahui kebenaran perkedel yang dibuat di rumah sakit tertentu berasal dari kentang, maka ia bisa dikatakan dokter?"

Pertanyaan ke dua seperti bertanya, "apakah kalau si Pono mengetahui di rumah sakit ada peraturan jika tidak pakai masker boleh pake sapu tangan, berarti ia bisa disebut seorang dokter?"

Kalau kita mau bahas kebenaran yang menjadi perbedaan antara banyak "Universitas/Rumah Sakit", maka bahaslah apa yang menjadi permasalahan inti dalam perbedaan antara universitas/Rumah Sakit. Jangan bahas "perkedel dan kentang" yang dihubung-hubungkan ke Universitas/Rumah Sakit. Misalnya "kebenaran" menurut satu Agama tentang patung adalah berhala dan "kebenaran" agama lain bahwa patung adalah sakral, dll.
Seorang Buddha mengetahui kebenaran tentang "patung", "berhala", "sakral" apa adanya, maka ia tidak lagi memusingkan agama mana yang benar. Agama, bisa merujuk pada kebenaran, seperti kata orang "jari menunjuk bulan", namun tidak pernah ada kebenaran merujuk pada agama alias "bulan menunjuk jari". Orang yang telah melihat bulan, tidak lagi memusingkan kebenaran telunjuk tersebut.

Berkali-kali saya bilang kita tidak nyambung maka diskusi tidak bisa lanjut. Saya tidak merendahkan Bro Fabian sama sekali, hanya mengatakan kita punya pola pikir, kecenderungan, dan persepsi yang berbeda. Maka ada baiknya kita "berjalan" masing-masing.

Quote
Quote
Betul, ia mengetahui, bukan "tidak memusingkan" kebenaran. Karena ia telah mengetahui kebenaran, maka ia tidak memusingkan "agama" mana yang benar. Kebenaran adalah kebenaran, agama adalah agama. Bisa jadi agama mengajarkan kebenaran, namun kebenaran sendiri bukanlah agama.
Mana yang benar diantara dua pernyataan bro Kainyn yang saya warnai merah diatas?
Bro Fabian tahu api itu panas? Apakah kemudian masih memusingkan "apakah api panas/tidak"? Apakah ketika ada orang mengatakan "api itu dingin" anda masih memusingkan kebenaran statementnya?

Quote
Baiklah jika bro Kainyn tak mau membahas kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca,
Tetapi perlu juga diketahui bahwa kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca merupakan buah perjuangan umat Buddha yang tentu saja tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai umat Buddha.
Betul, itulah buah perjuangan Umat Buddha.
Tetapi ketika kita tersesat di gurun, saya mau membahas arah angin, banyak air tersisa, dan hal-hal lain yang membantu kita menemukan tujuan. Namun saya tidak berminat membahas bagaimana rasa jus buah segar pake es yang bisa dinikmati setelah menemukan jalan pulang kemudian.

Quote
Saya tak mau membahas mengenai Tuhan, bila ingin membahas mengenai Tuhan bro Kainyn bisa membuka thread baru dan saya yakin akan banyak teman-teman yang dengan sukarela menanggapi.
Saya pun tidak tertarik. Saya hanya memberikan contoh kesamaan 2 konsep yang sudah dianggap sebagai kebenaran saja.

Quote
kembali pada pernyataan saya, setujukah bro Kainyn bila saya katakan bahwa, kita bisa menjelaskan hukum kamma hanya beberapa hal saja, tak seluruhnya, karena keterbatasan pengetahuan kita?
Berikan saya contoh nyata dari mekanisme hukum kamma yang bisa berlaku bagi semua orang. Yang sederhana saja, yang merupakan bagian yang menurut Bro Fabian "bisa dijelaskan". Kalau bisa, saya akan revisi perkataan saya bahwa hukum kamma masih konsep.

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #533 on: 16 January 2010, 12:03:32 AM »
Kisah Suppabuddha mirip dengan kisah Bahiya ....
yaitu di seruduk oleh sapi/kerbau?

kenapa sapi/kerbau zaman dulu galak2 yaaah  ;D ......

Sepertinya pernah dibahas. Itu adalah sapi yang sama yang menyeruduk Bahiya (petapa berpakaian kayu yang mencapai Arahatta), Suppabuddha (orang lepra yang mencapai Sotapatti), Pukkusati (raja yang menjadi bhikkhu dan mencapai Anagami), dan Tambadathika (mantan algojo yang mencapai Sotapatti).
Di kehidupan lampau, sapi itu adalah seorang pelacur yang dibunuh mereka berempat dan bersumpah akan membalas dendam di kehidupan-kehidupan berikutnya.

Tidak terbayangkan, ......  kamma yg akan menimpa sapi
dendam yg membara ..... sungguh mengerikan

Anumodana atas penjelasannya  _/\_
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #534 on: 16 January 2010, 08:38:40 AM »
Tidak terbayangkan, ......  kamma yg akan menimpa sapi
dendam yg membara ..... sungguh mengerikan

Anumodana atas penjelasannya  _/\_
Ya, mengembangkan kebencian & dendam memang bisa membuat diri sendiri terperosok.
Sama-sama, Bro Virya.

_/\_

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #535 on: 17 January 2010, 01:12:01 AM »
Kisah Suppabuddha mirip dengan kisah Bahiya ....
yaitu di seruduk oleh sapi/kerbau?

kenapa sapi/kerbau zaman dulu galak2 yaaah  ;D ......

Sepertinya pernah dibahas. Itu adalah sapi yang sama yang menyeruduk Bahiya (petapa berpakaian kayu yang mencapai Arahatta), Suppabuddha (orang lepra yang mencapai Sotapatti), Pukkusati (raja yang menjadi bhikkhu dan mencapai Anagami), dan Tambadathika (mantan algojo yang mencapai Sotapatti).
Di kehidupan lampau, sapi itu adalah seorang pelacur yang dibunuh mereka berempat dan bersumpah akan membalas dendam di kehidupan-kehidupan berikutnya.

Tidak terbayangkan, ......  kamma yg akan menimpa sapi
dendam yg membara ..... sungguh mengerikan

Anumodana atas penjelasannya  _/\_

Membunuh seorang arahat udah akusala-garuka kamma, kebetulan Bahiya udah arahat pulak. :-SS
Bonus victimnya: 2 sotapatti, 1 anagami.
appamadena sampadetha

Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #536 on: 18 January 2010, 06:11:26 PM »
Quote
Saya kembalikan lagi pada pertanyaan pertama, Apakah yang dimaksud bro Kainyn menyadari dunia apa adanya?
Setiap orang memiliki "dunia" sendiri, yaitu semua objek yang bersentuhan dengan indera. Dalam menyikapi "dunia" tersebut, selalu saja ada "ilusi" yang diberikan pikiran terhadap persepsi indera, oleh karena itu ia "terhalang" untuk menyadari "dunia" tersebut apa adanya.

Bro Kainyn yang baik, saya masih belum jelas, jadi yang dimaksud dengan menyadari dunia apa adanya menurut bro Kainyn bagaimana?
Quote
Quote
Apakah dari awal bro Kainyn mengatakan berangkat dari 0 dan memiliki kecerdasan yang sama?
Kalau berangkat dari modal yang berbeda, rasanya kita tidak perlu jauh-jauh. Lihat saja Pangeran Siddhatta "hanya" perlu 6 tahun menjadi Samma Sambuddha, sedangkan ada murid yang berlatih seumur hidup namun belum mencapai magga-phala.
Kalau membaca dari Buddhavamsa, ada Sammasambuddha yang hanya perlu sebulan atau seminggu berjuang untuk mencapai penerangan sempurna, sementara Sang Buddha Gotama perlu enam tahun, apakah disebabkan kecerdasan? Saya kira tidak demikian, kita tak bisa mengatakan seseorang lulus lebih lambat karena disebabkan aspirasinya untuk menjadi guru seperti yang dikemukakan bro Kainyn, banyak faktor yang dapat menyebabkan seorang murid lulus lebih cepat atau lebih lambat terlepas dari aspirasinya.

Quote
Quote
Jadi setuju bro Kainyn bila saya katakan lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan, bukan tergantung aspirasi?
Memang bukan aspirasinya, makanya saya bilang pernyataan berikut absurd:
Quote
seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat

Aspirasi untuk menjadi Samma Sambuddha TIDAK menghalangi pencapaian orang, tetapi membuatnya mengambil jalan yang jauh lebih panjang dibanding aspirasi untuk menjadi Savaka Buddha, walaupun ditempuh dengan "kecerdasan" yang sama.
Tolong di quote yang lengkap bro karena artinya jadi melenceng bila quotenya tak lengkap.
"seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha, sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, setelah paraminya masak baru bisa mencapai Nibbana".

Quote
Quote
Apakah masuk diakal seseorang harus memulai berkeliling setiap negara, mendata penduduk, mata pencaharian, pengahasilan setiap negara, menggambar peta setiap negara atau bahkan bikin satelit sendiri untuk memudahkan ia memperdalam ilmu geografi agar menjadi guru?
Jika memang tidak ada data, belum ada peta, belum ada satelit, tidak ada yang mau bantu atau hal-hal lainnya, yah masuk akal saja ia membuat semuanya. Namun tentu saja sesuai dengan keterbatasannya, misalnya umur. Jika memang sudah ada data akurat, sudah ada fasilitas yang baik, ada orang-orang yang mau bantu, apa pentingnya dia melakukannya sendirian?
Inilah gunanya berguru kepada orang lain bro.

Quote
Quote
Ya memang demikianlah kita harus mengetahui kekurangan diri sendiri dan perlu belajar kepada orang yang lebih ahli.
Tentu saja kita selalu belajar pada orang lain. Yang saya masalahkan adalah apakah dengan mempelajari dan menguasai semua komposisi musik yang dibuat oleh seorang maestro, kita bisa menjadi maestro itu sendiri?
Bahkan bisa lebih pintar, kan itu semua tergantung berbagai faktor bro: umur, kecerdasan, keuletan, bakat dlsbnya.

Quote
Quote
Quote
Quote
Mari saya kutip kembali pernyataan bro Kainyn:

Quote
Salah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran.

Bukankah mengetahui dengan benar apricot adalah buah adalah mengetahui kebenaran? Apakah dengan demikian si Polan sudah memiliki salah satu penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
Kalimat saya menyinggung "agama yang bener" serta "melihat kebenaran". Apakah tidak terlintas dalam pikiran Bro Fabian kalau kebenaran yang dimaksud adalah yang memiliki relevansi dalam "agama"? Tadinya sudah saya sindir bahwa hanya Agama Fabianisme membahas Apricot, ternyata tidak menangkap maksud saya juga.
Jika seseorang mengatakan, "ia dikatakan dokter karena mengetahui kebenaran, maka tidak lagi memusingkan universitas/rumah sakit mana yang bener," saya kebanyakan orang juga tahu maksudnya adalah kebenaran yang memiliki relevansi dengan ilmu medis. Pertanyaan Bro Fabian itu seperti kemudian menanyakan, "apakah kalau si Pono mengetahui kebenaran perkedel dibikin dari kentang, sudah bisa dikatakan dokter?"
Tidak salah memang, karena saya tidak menjelaskan dengan detail. Hanya saja, entah bagaimana, jadi lucu juga.

Quote
Relevansi dengan agama? baiklah... apakah seseorang yang telah melihat kebenaran bahwa Buddharupang yang terbuat dari keramik jika jatuh akan pecah, atau seseorang yang telah mengetahui kebenaran dalam agama tetangga bahwa bila  seseorang akan sholat tetapi tak menemukan air untuk membersihkan diri maka ia bisa sholat dengan menggunakan pasir.
Apakah orang yang telah melihat kebenaran yang relevan dalam agama ini sudah memiliki salah satu penyebab untuk dikatakan sebagai Buddha?

Nah, pertanyaan pertama ini lagi-lagi seperti bertanya, "apakah kalau si Pono mengetahui kebenaran perkedel yang dibuat di rumah sakit tertentu berasal dari kentang, maka ia bisa dikatakan dokter?"

Pertanyaan ke dua seperti bertanya, "apakah kalau si Pono mengetahui di rumah sakit ada peraturan jika tidak pakai masker boleh pake sapu tangan, berarti ia bisa disebut seorang dokter?"

Kalau kita mau bahas kebenaran yang menjadi perbedaan antara banyak "Universitas/Rumah Sakit", maka bahaslah apa yang menjadi permasalahan inti dalam perbedaan antara universitas/Rumah Sakit. Jangan bahas "perkedel dan kentang" yang dihubung-hubungkan ke Universitas/Rumah Sakit. Misalnya "kebenaran" menurut satu Agama tentang patung adalah berhala dan "kebenaran" agama lain bahwa patung adalah sakral, dll.
Seorang Buddha mengetahui kebenaran tentang "patung", "berhala", "sakral" apa adanya, maka ia tidak lagi memusingkan agama mana yang benar. Agama, bisa merujuk pada kebenaran, seperti kata orang "jari menunjuk bulan", namun tidak pernah ada kebenaran merujuk pada agama alias "bulan menunjuk jari". Orang yang telah melihat bulan, tidak lagi memusingkan kebenaran telunjuk tersebut.

Berkali-kali saya bilang kita tidak nyambung maka diskusi tidak bisa lanjut. Saya tidak merendahkan Bro Fabian sama sekali, hanya mengatakan kita punya pola pikir, kecenderungan, dan persepsi yang berbeda. Maka ada baiknya kita "berjalan" masing-masing.

Sebelum kita akhiri poin diskusi ini, saya perlu mengungkapkan kembali Mahaparinibbana sutta, ketika diminta untuk Parinibbana oleh Mara, Sang Buddha mempertimbangkan lebih dahulu apakah Dhamma telah dibabarkan dengan baik, apakah Sangha telah berdiri dengan kokoh, bukankah hal ini bertentangan dengan pendapat bro Kainyn bahwa seorang yang telah tercerahkan tak memusingkan agama mana yang benar? bila memang tak mempersoalkan agama yang benar buat apa susah-susah membabarkan Dhamma?

Quote
Quote
Quote
Betul, ia mengetahui, bukan "tidak memusingkan" kebenaran. Karena ia telah mengetahui kebenaran, maka ia tidak memusingkan "agama" mana yang benar. Kebenaran adalah kebenaran, agama adalah agama. Bisa jadi agama mengajarkan kebenaran, namun kebenaran sendiri bukanlah agama.
Mana yang benar diantara dua pernyataan bro Kainyn yang saya warnai merah diatas?
Bro Fabian tahu api itu panas? Apakah kemudian masih memusingkan "apakah api panas/tidak"? Apakah ketika ada orang mengatakan "api itu dingin" anda masih memusingkan kebenaran statementnya?
Mungkin saja bila pernyataan "api itu dingin" membahayakan dan menyesatkan orang lain.

Quote
Quote
Baiklah jika bro Kainyn tak mau membahas kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca,
Tetapi perlu juga diketahui bahwa kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca merupakan buah perjuangan umat Buddha yang tentu saja tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai umat Buddha.
Betul, itulah buah perjuangan Umat Buddha.
Tetapi ketika kita tersesat di gurun, saya mau membahas arah angin, banyak air tersisa, dan hal-hal lain yang membantu kita menemukan tujuan. Namun saya tidak berminat membahas bagaimana rasa jus buah segar pake es yang bisa dinikmati setelah menemukan jalan pulang kemudian.

Bagaimana dengan tujuan yang ingin dicapai? apakah tidak perlu dibahas?

Quote
Quote
Saya tak mau membahas mengenai Tuhan, bila ingin membahas mengenai Tuhan bro Kainyn bisa membuka thread baru dan saya yakin akan banyak teman-teman yang dengan sukarela menanggapi.
Saya pun tidak tertarik. Saya hanya memberikan contoh kesamaan 2 konsep yang sudah dianggap sebagai kebenaran saja.

 :|
Quote

Quote
kembali pada pernyataan saya, setujukah bro Kainyn bila saya katakan bahwa, kita bisa menjelaskan hukum kamma hanya beberapa hal saja, tak seluruhnya, karena keterbatasan pengetahuan kita?
Berikan saya contoh nyata dari mekanisme hukum kamma yang bisa berlaku bagi semua orang. Yang sederhana saja, yang merupakan bagian yang menurut Bro Fabian "bisa dijelaskan". Kalau bisa, saya akan revisi perkataan saya bahwa hukum kamma masih konsep.
contoh sederhana:
- bila kita belajar keahlian, umpamanya melukis maka bertambah lama kita akan bertambah pintar melukis.
- bila kita berbuat baik, umpamanya melatih cinta kasih, batin kita bertambah lama tambah tenang dan damai.
Dan masih tak terhitung contoh-contoh lain hukum kamma yang sederhana yang bisa kita temukan dalam kehidupan ini.

 _/\_


Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #537 on: 20 January 2010, 04:08:46 PM »
Bro Kainyn yang baik, saya masih belum jelas, jadi yang dimaksud dengan menyadari dunia apa adanya menurut bro Kainyn bagaimana?
Ini tidak ada jawaban yang sama untuk semua orang. Kalau mau digeneralisasi, akhirnya jadi kembali ke teori2 dhamma lagi.

Quote
Kalau membaca dari Buddhavamsa, ada Sammasambuddha yang hanya perlu sebulan atau seminggu berjuang untuk mencapai penerangan sempurna, sementara Sang Buddha Gotama perlu enam tahun, apakah disebabkan kecerdasan? Saya kira tidak demikian, kita tak bisa mengatakan seseorang lulus lebih lambat karena disebabkan aspirasinya untuk menjadi guru seperti yang dikemukakan bro Kainyn, banyak faktor yang dapat menyebabkan seorang murid lulus lebih cepat atau lebih lambat terlepas dari aspirasinya.
Kalau dari kisah-kisah dhamma, sejak seseorang beraspirasi menjadi maha-savaka, maka paling cepat ditempuh dalam 100.000 kappa. Jika beraspirasi menjadi Pacceka Buddha, maka paling cepat ditempuh dalam 2 Asankhyeyya + 100.000 kappa. Jika beraspirasi menjadi Samma Sambuddha, maka paling cepat ditempuh dalam 4 Asankhyeyya + 100.000 Kappa. Itulah yang menurut saya beda aspirasi, beda jalan, maka berbeda pula waktu tempuhnya.

Quote
Quote
Quote
Jadi setuju bro Kainyn bila saya katakan lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan, bukan tergantung aspirasi?
Memang bukan aspirasinya, makanya saya bilang pernyataan berikut absurd:
Quote
seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat

Aspirasi untuk menjadi Samma Sambuddha TIDAK menghalangi pencapaian orang, tetapi membuatnya mengambil jalan yang jauh lebih panjang dibanding aspirasi untuk menjadi Savaka Buddha, walaupun ditempuh dengan "kecerdasan" yang sama.
Tolong di quote yang lengkap bro karena artinya jadi melenceng bila quotenya tak lengkap.
"seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha, sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, setelah paraminya masak baru bisa mencapai Nibbana".
Walaupun dikutip lengkap, tetap saja berarti aspirasinya menghalangi pencapaiannya. Baru setelah paraminya cukup, aspirasinya tidak terhalang lagi. Saya tetap berbeda pendapat yaitu ketika beraspirasi menjadi Samma Sambuddha, ia mengambil jalan berbeda dengan jalan Savaka, maka apa yang cukup untuk lulus sebagai savaka, tidaklah cukup untuk lulus sebagai Samma Sambuddha. Demikianlah ia belum bisa "lulus" sampai latihannya penuh.

Quote
Inilah gunanya berguru kepada orang lain bro.
Bro Fabian, saya tidak pernah mengatakan tidak ada gunanya berguru sama orang lain lho. Yang saya katakan adalah ada hal-hal yang tidak bisa begitu saja diajarkan oleh guru, namun harus diperoleh sendiri lewat pengalaman.

Ini OOT sedikit, saya tidak tahu Bro Fabian dulu baca Kung Fu Boy yang tempo doeloe atau tidak. Tapi di situ ada contoh di mana ada guru tua yang dulunya mengajar murid buta (yang nantinya jadi guru toya Chinmi si Kung Fu Boy) dan juga mengajar seorang murid yang muda, Sie Fan (yang nantinya menjadi rival si Chinmi). Guru si Chinmi ini sangat mahir mengetahui keadaan sekitar walau matanya buta. Kemudian ketika bertanding dengan Sie Fan, Chinmi juga kewalahan dengan jurus tongkat berpilin. Ia berpikir bahwa semua itu adalah jurus-jurus rahasia yang diajarkan seorang guru kepada muridnya, namun ternyata gurunya bercerita bahwa semua itu tidak diajarkan tetapi ditemukan oleh mereka sendiri. Dulu ketika berguru, ia hanya diberikan tongkat dan tidak diajarkan apa-apa. Ia sendiri yang harus menempuh jalannya dan berlatih untuk menutupi kekurangannya sebagai orang buta. Begitu pula si Sie Fan, jurus tongkat berpilin itu bukan "warisan" dari gurunya, namun ia menemukannya sendiri. Si guru hanya membimbing dan mendukung mentalitas si murid, tapi tidak bisa lebih dari itu.
Jadi ada hal-hal yang bisa diajarkan, dan ada pula hal-hal yang tidak bisa diajarkan.


Quote
Quote
Quote
Ya memang demikianlah kita harus mengetahui kekurangan diri sendiri dan perlu belajar kepada orang yang lebih ahli.
Tentu saja kita selalu belajar pada orang lain. Yang saya masalahkan adalah apakah dengan mempelajari dan menguasai semua komposisi musik yang dibuat oleh seorang maestro, kita bisa menjadi maestro itu sendiri?
Bahkan bisa lebih pintar, kan itu semua tergantung berbagai faktor bro: umur, kecerdasan, keuletan, bakat dlsbnya.
Memang kita berlatih lewat karya orang lain dan bisa juga menjadi lebih hebat dari orang itu, namun inti dari maksud saya adalah kita tidak menjadi maestro hanya karena kita bisa memainkan hasil karya maestro tersebut.


Quote
Sebelum kita akhiri poin diskusi ini, saya perlu mengungkapkan kembali Mahaparinibbana sutta, ketika diminta untuk Parinibbana oleh Mara, Sang Buddha mempertimbangkan lebih dahulu apakah Dhamma telah dibabarkan dengan baik, apakah Sangha telah berdiri dengan kokoh, bukankah hal ini bertentangan dengan pendapat bro Kainyn bahwa seorang yang telah tercerahkan tak memusingkan agama mana yang benar? bila memang tak mempersoalkan agama yang benar buat apa susah-susah membabarkan Dhamma?
Apakah Buddha Gotama menunggu Sangha berdiri dengan kokoh karena takut dibilang agamanya ga bener, ataukah karena ingin para murid memiliki landasan pengertian benar yang kuat?

Ketika Buddha Gotama mencapai pencerahan sempurna, apakah kemudian ia masih memusingkan "agama lain salah, ajaran saya benar, maka harus meluruskan kesalahpahaman dunia" ataukah karena belas kasihnya agar orang yang memiliki potensi, bisa menemukan pembebasan total?


Quote
Mungkin saja bila pernyataan "api itu dingin" membahayakan dan menyesatkan orang lain.
Nah, itulah bedanya.
Buddha mengetahui "api itu panas" lewat penyelidikan. Demikianlah penyelidikannya yang diwariskan, bukan kesimpulannya. Jika orang telah memiliki mentalitas menyelidiki dengan cermat dan seksama, apakah ada yang perlu dikhawatirkan jika dia mendengar ajaran "api itu dingin"? Bahkan Buddha pun mengajarkan agar kita jangan ikut-ikutan bilang "api itu panas" kalau kita belum menyelidiki kebenarannya. Dengan bimbingan seperti itu, apakah ada kecenderungan untuk memusingkan konklusi mana yang benar? Bagi saya tidak.


Quote
Bagaimana dengan tujuan yang ingin dicapai? apakah tidak perlu dibahas?
Buat saya tidak. Mungkin akan timbul pertanyaan, bagaimana tahunya kalau tidak dibahas.
Seperti orang dari gunung mencari laut, ia mengikuti aliran sungai karena mengetahui air mengalir ke tempat lebih rendah dan pada akhirnya sungai tersebut menuju laut. Ikutilah aliran sungainya, dan perhatikan jalan. Bahaslah rintangan yang jelas terlihat sehingga bisa dicari solusinya. Laut itu sendiri, dibahas atau tidak, tidaklah berpengaruh.


Quote
contoh sederhana:
- bila kita belajar keahlian, umpamanya melukis maka bertambah lama kita akan bertambah pintar melukis.
- bila kita berbuat baik, umpamanya melatih cinta kasih, batin kita bertambah lama tambah tenang dan damai.
Dan masih tak terhitung contoh-contoh lain hukum kamma yang sederhana yang bisa kita temukan dalam kehidupan ini.
Ini pernah saya bahas di thread lain. Kalau Bro Fabian mengatakan itu contoh hukum kamma, maka semua orang dengan akal sehat juga sudah memahami hukum kamma tanpa perlu Ajaran Buddha. Lihat saja "rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya" bisa dikatakan peribahasa kamma. Minum obat maka sembuh, olah raga maka sehat, meditasi maka tenang, semua juga dikatakan hukum kamma.


Offline fabian c

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.095
  • Reputasi: 128
  • Gender: Male
  • 2 akibat pandangan salah: neraka atau rahim hewan
Re: Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?
« Reply #538 on: 21 January 2010, 05:16:42 PM »
Quote
Bro Kainyn yang baik, saya masih belum jelas, jadi yang dimaksud dengan menyadari dunia apa adanya menurut bro Kainyn bagaimana?
Ini tidak ada jawaban yang sama untuk semua orang. Kalau mau digeneralisasi, akhirnya jadi kembali ke teori2 dhamma lagi.

Ya memang demikian bro, kita bisa nyambung bila sesuai dengan referensi

Quote
Quote
Kalau membaca dari Buddhavamsa, ada Sammasambuddha yang hanya perlu sebulan atau seminggu berjuang untuk mencapai penerangan sempurna, sementara Sang Buddha Gotama perlu enam tahun, apakah disebabkan kecerdasan? Saya kira tidak demikian, kita tak bisa mengatakan seseorang lulus lebih lambat karena disebabkan aspirasinya untuk menjadi guru seperti yang dikemukakan bro Kainyn, banyak faktor yang dapat menyebabkan seorang murid lulus lebih cepat atau lebih lambat terlepas dari aspirasinya.
Kalau dari kisah-kisah dhamma, sejak seseorang beraspirasi menjadi maha-savaka, maka paling cepat ditempuh dalam 100.000 kappa. Jika beraspirasi menjadi Pacceka Buddha, maka paling cepat ditempuh dalam 2 Asankhyeyya + 100.000 kappa. Jika beraspirasi menjadi Samma Sambuddha, maka paling cepat ditempuh dalam 4 Asankhyeyya + 100.000 Kappa. Itulah yang menurut saya beda aspirasi, beda jalan, maka berbeda pula waktu tempuhnya.

Savakabuddha walaupun belajar lebih singkat tetapi bisa menjadi guru dan mengajar, sedangkan Paccekabuddha walaupun belajar lebih lama tak dapat mengajar. Itulah sebabnya saya berpendapat cepat atau lambatnya lulus tergantung berbagai faktor tidak hanya dari kecerdasan atau aspirasi semata.

Quote
Quote
Quote
Quote
Jadi setuju bro Kainyn bila saya katakan lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan, bukan tergantung aspirasi?
Memang bukan aspirasinya, makanya saya bilang pernyataan berikut absurd:
Quote
seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat

Aspirasi untuk menjadi Samma Sambuddha TIDAK menghalangi pencapaian orang, tetapi membuatnya mengambil jalan yang jauh lebih panjang dibanding aspirasi untuk menjadi Savaka Buddha, walaupun ditempuh dengan "kecerdasan" yang sama.
Tolong di quote yang lengkap bro karena artinya jadi melenceng bila quotenya tak lengkap.
"seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha, sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, setelah paraminya masak baru bisa mencapai Nibbana".
Walaupun dikutip lengkap, tetap saja berarti aspirasinya menghalangi pencapaiannya. Baru setelah paraminya cukup, aspirasinya tidak terhalang lagi. Saya tetap berbeda pendapat yaitu ketika beraspirasi menjadi Samma Sambuddha, ia mengambil jalan berbeda dengan jalan Savaka, maka apa yang cukup untuk lulus sebagai savaka, tidaklah cukup untuk lulus sebagai Samma Sambuddha. Demikianlah ia belum bisa "lulus" sampai latihannya penuh.


Seorang Sammasambuddha telah melihat sesuatu akan terjadi, di Buddhavamsa dikatakan bahwa sebenarnya yang dimaksud penetapan adalah Sammasambuddha melihat dimasa yang akan datang apakah orang yang beraspirasi untuk menjadi Sammasambuddha akan mampu mencapai aspirasinya atau tidak, bila dilihat dengan kemampuan batin bahwa orang itu akan menjadi Sammasambuddha dimasa yang akan datang baru diungkapkan apa yang dilihat oleh Beliau.

Bila seorang Sammasambuddha telah mengatakan sesuatu yang akan terjadi, apapun yang kita lakukan tak akan mampu mencegah apa yang dikatakan oleh Beliau dan pasti akan terjadi.
Jadi kalau Bodhisatta telah dikatakan akan menjadi Buddha dengan nama A umpamanya maka itu akan terjadi dan meditasi Vipassana sekuat apapun dan sehebat apapun yang dilakukan tak akan mencapai kesucian (sebagai Savakabuddha atau Paccekabuddha). kecuali paraminya telah masak maka ia akan mencapai kesucian (sebagai Sammasambuddha).


Quote
Quote
Inilah gunanya berguru kepada orang lain bro.
Bro Fabian, saya tidak pernah mengatakan tidak ada gunanya berguru sama orang lain lho. Yang saya katakan adalah ada hal-hal yang tidak bisa begitu saja diajarkan oleh guru, namun harus diperoleh sendiri lewat pengalaman.

Ya saya setuju, itulah sebabnya ilmu pengetahuan berkembang.

Quote
Ini OOT sedikit, saya tidak tahu Bro Fabian dulu baca Kung Fu Boy yang tempo doeloe atau tidak. Tapi di situ ada contoh di mana ada guru tua yang dulunya mengajar murid buta (yang nantinya jadi guru toya Chinmi si Kung Fu Boy) dan juga mengajar seorang murid yang muda, Sie Fan (yang nantinya menjadi rival si Chinmi). Guru si Chinmi ini sangat mahir mengetahui keadaan sekitar walau matanya buta. Kemudian ketika bertanding dengan Sie Fan, Chinmi juga kewalahan dengan jurus tongkat berpilin. Ia berpikir bahwa semua itu adalah jurus-jurus rahasia yang diajarkan seorang guru kepada muridnya, namun ternyata gurunya bercerita bahwa semua itu tidak diajarkan tetapi ditemukan oleh mereka sendiri. Dulu ketika berguru, ia hanya diberikan tongkat dan tidak diajarkan apa-apa. Ia sendiri yang harus menempuh jalannya dan berlatih untuk menutupi kekurangannya sebagai orang buta. Begitu pula si Sie Fan, jurus tongkat berpilin itu bukan "warisan" dari gurunya, namun ia menemukannya sendiri. Si guru hanya membimbing dan mendukung mentalitas si murid, tapi tidak bisa lebih dari itu.
Jadi ada hal-hal yang bisa diajarkan, dan ada pula hal-hal yang tidak bisa diajarkan.

Wah sayang saya tidak pernah membaca Kungfu Boy, tetapi saya hafal banyak buku silat Kho Ping Hoo, Chin Yung dll.
Biru: bisa jadi sih, tetapi setidaknya kita belajar dasar-dasarnya dari orang lain.

Quote
Quote
Quote
Quote
Ya memang demikianlah kita harus mengetahui kekurangan diri sendiri dan perlu belajar kepada orang yang lebih ahli.
Tentu saja kita selalu belajar pada orang lain. Yang saya masalahkan adalah apakah dengan mempelajari dan menguasai semua komposisi musik yang dibuat oleh seorang maestro, kita bisa menjadi maestro itu sendiri?
Bahkan bisa lebih pintar, kan itu semua tergantung berbagai faktor bro: umur, kecerdasan, keuletan, bakat dlsbnya.
Memang kita berlatih lewat karya orang lain dan bisa juga menjadi lebih hebat dari orang itu, namun inti dari maksud saya adalah kita tidak menjadi maestro hanya karena kita bisa memainkan hasil karya maestro tersebut.
Ya saya setuju, mungkin ada pengembangan lain yang membuat kita unik dan agak berbeda dengan guru kita.


Quote
Quote
Sebelum kita akhiri poin diskusi ini, saya perlu mengungkapkan kembali Mahaparinibbana sutta, ketika diminta untuk Parinibbana oleh Mara, Sang Buddha mempertimbangkan lebih dahulu apakah Dhamma telah dibabarkan dengan baik, apakah Sangha telah berdiri dengan kokoh, bukankah hal ini bertentangan dengan pendapat bro Kainyn bahwa seorang yang telah tercerahkan tak memusingkan agama mana yang benar? bila memang tak mempersoalkan agama yang benar buat apa susah-susah membabarkan Dhamma?
Apakah Buddha Gotama menunggu Sangha berdiri dengan kokoh karena takut dibilang agamanya ga bener, ataukah karena ingin para murid memiliki landasan pengertian benar yang kuat?

Ketika Buddha Gotama mencapai pencerahan sempurna, apakah kemudian ia masih memusingkan "agama lain salah, ajaran saya benar, maka harus meluruskan kesalahpahaman dunia" ataukah karena belas kasihnya agar orang yang memiliki potensi, bisa menemukan pembebasan total?

Apakah bro Kainyn pernah membaca bahwa Sang Buddha dan para Arahat kadang juga berdebat? bila tak memusingkan ajaran yang benar buat apa berdebat?
Jadi intinya, yang dilakukan Sang Buddha adalah untuk menolong mahluk lain terbebas dari pandangan salah dan mengarahkan mereka pada kesucian, walaupun kadang harus berdebat.
Quote
Quote
Mungkin saja bila pernyataan "api itu dingin" membahayakan dan menyesatkan orang lain.
Nah, itulah bedanya.
Buddha mengetahui "api itu panas" lewat penyelidikan. Demikianlah penyelidikannya yang diwariskan, bukan kesimpulannya. Jika orang telah memiliki mentalitas menyelidiki dengan cermat dan seksama, apakah ada yang perlu dikhawatirkan jika dia mendengar ajaran "api itu dingin"? Bahkan Buddha pun mengajarkan agar kita jangan ikut-ikutan bilang "api itu panas" kalau kita belum menyelidiki kebenarannya. Dengan bimbingan seperti itu, apakah ada kecenderungan untuk memusingkan konklusi mana yang benar? Bagi saya tidak.
Seseorang yang ingin membimbing orang lain agar jangan berpandangan salah tentu akan kesulitan menghadapi pandangan salah orang tersebut, ia harus berani repot. Dan harus berusaha dengan berbagai cara.


Quote
Quote
Bagaimana dengan tujuan yang ingin dicapai? apakah tidak perlu dibahas?
Buat saya tidak. Mungkin akan timbul pertanyaan, bagaimana tahunya kalau tidak dibahas.
Seperti orang dari gunung mencari laut, ia mengikuti aliran sungai karena mengetahui air mengalir ke tempat lebih rendah dan pada akhirnya sungai tersebut menuju laut. Ikutilah aliran sungainya, dan perhatikan jalan. Bahaslah rintangan yang jelas terlihat sehingga bisa dicari solusinya. Laut itu sendiri, dibahas atau tidak, tidaklah berpengaruh.
Bila seseorang tidak percaya bahwa laut itu ada, apakah ia akan terpikir untuk pergi ke laut?

Quote
Quote
contoh sederhana:
- bila kita belajar keahlian, umpamanya melukis maka bertambah lama kita akan bertambah pintar melukis.
- bila kita berbuat baik, umpamanya melatih cinta kasih, batin kita bertambah lama tambah tenang dan damai.
Dan masih tak terhitung contoh-contoh lain hukum kamma yang sederhana yang bisa kita temukan dalam kehidupan ini.
Ini pernah saya bahas di thread lain. Kalau Bro Fabian mengatakan itu contoh hukum kamma, maka semua orang dengan akal sehat juga sudah memahami hukum kamma tanpa perlu Ajaran Buddha. Lihat saja "rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya" bisa dikatakan peribahasa kamma. Minum obat maka sembuh, olah raga maka sehat, meditasi maka tenang, semua juga dikatakan hukum kamma.

Ya memang demikian,  :) kamma adalah berarti perbuatan dan kamma berbuah disebabkan hukum sebab dan akibat. Jadi itu adalah contoh sederhana hukum sebab-akibat (hukum kamma), disinilah perbedaan dengan "konsep T" yang tak bisa dibuktikan.

 _/\_
« Last Edit: 21 January 2010, 05:33:06 PM by fabian c »
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

 

anything