Saya kembalikan lagi pada pertanyaan pertama, Apakah yang dimaksud bro Kainyn menyadari dunia apa adanya?
Setiap orang memiliki "dunia" sendiri, yaitu semua objek yang bersentuhan dengan indera. Dalam menyikapi "dunia" tersebut, selalu saja ada "ilusi" yang diberikan pikiran terhadap persepsi indera, oleh karena itu ia "terhalang" untuk menyadari "dunia" tersebut apa adanya.
Apakah dari awal bro Kainyn mengatakan berangkat dari 0 dan memiliki kecerdasan yang sama?
Kalau berangkat dari modal yang berbeda, rasanya kita tidak perlu jauh-jauh. Lihat saja Pangeran Siddhatta "hanya" perlu 6 tahun menjadi Samma Sambuddha, sedangkan ada murid yang berlatih seumur hidup namun belum mencapai magga-phala.
Jadi setuju bro Kainyn bila saya katakan lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan, bukan tergantung aspirasi?
Memang bukan aspirasinya, makanya saya bilang pernyataan berikut absurd:
seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat
Aspirasi untuk menjadi Samma Sambuddha TIDAK menghalangi pencapaian orang, tetapi membuatnya mengambil jalan yang jauh lebih panjang dibanding aspirasi untuk menjadi Savaka Buddha, walaupun ditempuh dengan "kecerdasan" yang sama.
Apakah masuk diakal seseorang harus memulai berkeliling setiap negara, mendata penduduk, mata pencaharian, pengahasilan setiap negara, menggambar peta setiap negara atau bahkan bikin satelit sendiri untuk memudahkan ia memperdalam ilmu geografi agar menjadi guru?
Jika memang tidak ada data, belum ada peta, belum ada satelit, tidak ada yang mau bantu atau hal-hal lainnya, yah masuk akal saja ia membuat semuanya. Namun tentu saja sesuai dengan keterbatasannya, misalnya umur. Jika memang sudah ada data akurat, sudah ada fasilitas yang baik, ada orang-orang yang mau bantu, apa pentingnya dia melakukannya sendirian?
Ya memang demikianlah kita harus mengetahui kekurangan diri sendiri dan perlu belajar kepada orang yang lebih ahli.
Tentu saja kita selalu belajar pada orang lain. Yang saya masalahkan adalah apakah dengan mempelajari dan menguasai semua komposisi musik yang dibuat oleh seorang maestro, kita bisa menjadi maestro itu sendiri?
Mari saya kutip kembali pernyataan bro Kainyn:
Salah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran.
Bukankah mengetahui dengan benar apricot adalah buah adalah mengetahui kebenaran? Apakah dengan demikian si Polan sudah memiliki salah satu penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
Kalimat saya menyinggung "agama yang bener" serta "melihat kebenaran". Apakah tidak terlintas dalam pikiran Bro Fabian kalau kebenaran yang dimaksud adalah yang memiliki relevansi dalam "agama"? Tadinya sudah saya sindir bahwa hanya Agama Fabianisme membahas Apricot, ternyata tidak menangkap maksud saya juga.
Jika seseorang mengatakan, "ia dikatakan dokter karena mengetahui kebenaran, maka tidak lagi memusingkan universitas/rumah sakit mana yang bener," saya kebanyakan orang juga tahu maksudnya adalah kebenaran yang memiliki relevansi dengan ilmu medis. Pertanyaan Bro Fabian itu seperti kemudian menanyakan, "apakah kalau si Pono mengetahui kebenaran perkedel dibikin dari kentang, sudah bisa dikatakan dokter?"
Tidak salah memang, karena saya tidak menjelaskan dengan detail. Hanya saja, entah bagaimana, jadi lucu juga.
Relevansi dengan agama? baiklah... apakah seseorang yang telah melihat kebenaran bahwa Buddharupang yang terbuat dari keramik jika jatuh akan pecah, atau seseorang yang telah mengetahui kebenaran dalam agama tetangga bahwa bila seseorang akan sholat tetapi tak menemukan air untuk membersihkan diri maka ia bisa sholat dengan menggunakan pasir.
Apakah orang yang telah melihat kebenaran yang relevan dalam agama ini sudah memiliki salah satu penyebab untuk dikatakan sebagai Buddha?
Nah, pertanyaan pertama ini lagi-lagi seperti bertanya, "apakah kalau si Pono mengetahui kebenaran perkedel yang dibuat di rumah sakit tertentu berasal dari kentang, maka ia bisa dikatakan dokter?"
Pertanyaan ke dua seperti bertanya, "apakah kalau si Pono mengetahui di rumah sakit ada peraturan jika tidak pakai masker boleh pake sapu tangan, berarti ia bisa disebut seorang dokter?"
Kalau kita mau bahas kebenaran yang menjadi perbedaan antara banyak "Universitas/Rumah Sakit", maka bahaslah apa yang menjadi permasalahan inti dalam perbedaan antara universitas/Rumah Sakit. Jangan bahas "perkedel dan kentang" yang dihubung-hubungkan ke Universitas/Rumah Sakit. Misalnya "kebenaran" menurut satu Agama tentang patung adalah berhala dan "kebenaran" agama lain bahwa patung adalah sakral, dll.
Seorang Buddha mengetahui kebenaran tentang "patung", "berhala", "sakral" apa adanya, maka ia tidak lagi memusingkan agama mana yang benar. Agama, bisa merujuk pada kebenaran, seperti kata orang "jari menunjuk bulan", namun tidak pernah ada kebenaran merujuk pada agama alias "bulan menunjuk jari". Orang yang telah melihat bulan, tidak lagi memusingkan kebenaran telunjuk tersebut.
Berkali-kali saya bilang kita tidak nyambung maka diskusi tidak bisa lanjut. Saya tidak merendahkan Bro Fabian sama sekali, hanya mengatakan kita punya pola pikir, kecenderungan, dan persepsi yang berbeda. Maka ada baiknya kita "berjalan" masing-masing.
Betul, ia mengetahui, bukan "tidak memusingkan" kebenaran. Karena ia telah mengetahui kebenaran, maka ia tidak memusingkan "agama" mana yang benar. Kebenaran adalah kebenaran, agama adalah agama. Bisa jadi agama mengajarkan kebenaran, namun kebenaran sendiri bukanlah agama.
Mana yang benar diantara dua pernyataan bro Kainyn yang saya warnai merah diatas?
Bro Fabian tahu api itu panas? Apakah kemudian masih memusingkan "apakah api panas/tidak"? Apakah ketika ada orang mengatakan "api itu dingin" anda masih memusingkan kebenaran statementnya?
Baiklah jika bro Kainyn tak mau membahas kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca,
Tetapi perlu juga diketahui bahwa kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca merupakan buah perjuangan umat Buddha yang tentu saja tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai umat Buddha.
Betul, itulah buah perjuangan Umat Buddha.
Tetapi ketika kita tersesat di gurun, saya mau membahas arah angin, banyak air tersisa, dan hal-hal lain yang membantu kita menemukan tujuan. Namun saya tidak berminat membahas bagaimana rasa jus buah segar pake es yang bisa dinikmati setelah menemukan jalan pulang kemudian.
Saya tak mau membahas mengenai Tuhan, bila ingin membahas mengenai Tuhan bro Kainyn bisa membuka thread baru dan saya yakin akan banyak teman-teman yang dengan sukarela menanggapi.
Saya pun tidak tertarik. Saya hanya memberikan contoh kesamaan 2 konsep yang sudah dianggap sebagai kebenaran saja.
kembali pada pernyataan saya, setujukah bro Kainyn bila saya katakan bahwa, kita bisa menjelaskan hukum kamma hanya beberapa hal saja, tak seluruhnya, karena keterbatasan pengetahuan kita?
Berikan saya contoh nyata dari mekanisme hukum kamma yang bisa berlaku bagi semua orang. Yang sederhana saja, yang merupakan bagian yang menurut Bro Fabian "bisa dijelaskan". Kalau bisa, saya akan revisi perkataan saya bahwa hukum kamma masih konsep.