Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?

Started by dhammasiri, 11 November 2009, 09:29:47 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

chingik

Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 04:41:02 PM
Quote from: dilbert on 29 December 2009, 04:25:46 PM
Berapa lama kehidupan lampau yang bisa di-ingat oleh seorang bodhisatta sekelas Siddharta ?

Kalau dari kisah-kisah dhamma, Siddhatta dapat melihat kehidupan lampau dalam jumlah tak hingga.

weks, tunggu, yg ditanyakan saat status bodhisatta lho, bukan Buddha. Nanti jadi gara2 ini, diskusinya jadi melebar lagi ke mana2.

oya, memang benar Buddha sekarang pernah belajar dari Sammasambuddha masa lalu,  tapi setelah merealisasinya maka ia akan tetap dikenal dengan gelar Sammasambuddha juga karena Pengetahuan Sempurna yg dicapai sudah merupakan pengetahuan tertinggi: Sabannu Nana, yang mana TIDAK DIMILIKI Savaka Buddha.

K.K.

Quote from: chingik on 29 December 2009, 04:55:25 PM
weks, tunggu, yg ditanyakan saat status bodhisatta lho, bukan Buddha. Nanti jadi gara2 ini, diskusinya jadi melebar lagi ke mana2.

oya, memang benar Buddha sekarang pernah belajar dari Sammasambuddha masa lalu,  tapi setelah merealisasinya maka ia akan tetap dikenal dengan gelar Sammasambuddha juga karena Pengetahuan Sempurna yg dicapai sudah merupakan pengetahuan tertinggi: Sabannu Nana, yang mana TIDAK DIMILIKI Savaka Buddha.

Kalau menurut cerita penerangan sempurna, Bodhisatta mengembangkan ingatan masa lampau di jam jaga pertama, mata dewa di jam jaga ke dua, dan melihat kehancuran asava di jam jaga ke tiga. Jadi memang ingatan masa lampau tak terhingga itu dicapai sewaktu masih menjadi Bodhisatta, belum Buddha.

Saya juga setuju Buddha atau mungkin semua mahluk juga pernah belajar dari masa lampau, tetapi tetap bukan pembelajaran tersebut yang menyebabkannya mampu merealisasi Sabannu Nana tersebut. Pengetahuan Buddha adalah tidak terbatas, sedangkan yang diajarkan Buddha semasa hidupnya tentu saja sangat terbatas.
Bahasa gampangnya: Sabbannu Nana = daun dalam hutan. Ajaran Buddha semasa hidup = sehelai daun simsapa.

Satu lagi penjelasan yang memudahkan adalah bahwa "cara kerja hukum kamma" tidak pernah diajarkan oleh Buddha mana pun karena termasuk "Acinteyya". Mengingat 1 juta masa lampau pun tidak akan mendapatkan ajaran "cara kerja hukum kamma". Namun seorang Buddha bisa memahaminya karena memang ia menembus pengetahuan itu sendiri, bukan hasil diberitahu Buddha masa lampau.




dilbert

Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 05:07:07 PM
Quote from: chingik on 29 December 2009, 04:55:25 PM
weks, tunggu, yg ditanyakan saat status bodhisatta lho, bukan Buddha. Nanti jadi gara2 ini, diskusinya jadi melebar lagi ke mana2.

oya, memang benar Buddha sekarang pernah belajar dari Sammasambuddha masa lalu,  tapi setelah merealisasinya maka ia akan tetap dikenal dengan gelar Sammasambuddha juga karena Pengetahuan Sempurna yg dicapai sudah merupakan pengetahuan tertinggi: Sabannu Nana, yang mana TIDAK DIMILIKI Savaka Buddha.

Kalau menurut cerita penerangan sempurna, Bodhisatta mengembangkan ingatan masa lampau di jam jaga pertama, mata dewa di jam jaga ke dua, dan melihat kehancuran asava di jam jaga ke tiga. Jadi memang ingatan masa lampau tak terhingga itu dicapai sewaktu masih menjadi Bodhisatta, belum Buddha.

Saya juga setuju Buddha atau mungkin semua mahluk juga pernah belajar dari masa lampau, tetapi tetap bukan pembelajaran tersebut yang menyebabkannya mampu merealisasi Sabannu Nana tersebut. Pengetahuan Buddha adalah tidak terbatas, sedangkan yang diajarkan Buddha semasa hidupnya tentu saja sangat terbatas.
Bahasa gampangnya: Sabbannu Nana = daun dalam hutan. Ajaran Buddha semasa hidup = sehelai daun simsapa.

Satu lagi penjelasan yang memudahkan adalah bahwa "cara kerja hukum kamma" tidak pernah diajarkan oleh Buddha mana pun karena termasuk "Acinteyya". Mengingat 1 juta masa lampau pun tidak akan mendapatkan ajaran "cara kerja hukum kamma". Namun seorang Buddha bisa memahaminya karena memang ia menembus pengetahuan itu sendiri, bukan hasil diberitahu Buddha masa lampau.

Kalau menurut saya, lamanya seorang individu dalam menyempurnakan parami-nya menentukan kualitas sabbanuta nana (kemahatahuan akan prinsip prinsip yang perlu diketahui), jadi ketika pada malam penembusan (malam penerangan sempurna), ketika dalam proses pencapaian penerangan sempurna, sang Bodhisatta (bakal Buddha) bisa mereview kembali banyak kehidupan tak terhingga.

Secara logis, tentunya kita kalau dihadapkan pada flash back kehidupan kehidupan lampau kita, apalagi dengan kebijaksanaan yang sudah timbul, maka harusnya bisa diambil banyak hikmah dan pelajaran dari flash back kehidupan (yang tentu-nya bisa disamakan dengan pengalaman kita sendiri). Tentunya dalam hal ini, pengalaman dan kualitas kehidupan dari kehidupan lampau bodhisatta tidak tertandingi oleh makhluk hidup yang manapun juga.

Jadi menurut hemat saya, walaupun pada jaga malam penerangan sempurna itu, walaupun Bodhisatta bisa mereview kembali kehidupan lampaunya (termasuk dalam hal ini kehidupan lampaunya sebagai murid/siswa sammasambuddha, ataupun murid perumahtangga yang mengikuti ajaran), Pencapaian pengetahuan tentang JALAN, tetap saja merupakan hasil dari olah pikiran dan pencapaian-annya sendiri. Ini hanya opini saya saja.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

chingik


adi lim

Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 02:43:59 PM
Quote from: fabian c on 29 December 2009, 06:22:17 AM
Seseorang bisa menemukan Jalan itu (Paccekabuddha dan Sammasambuddha), tetapi hanya di Buddha Dhamma jalan itu secara jelas dan gamblang diuraikan. Selain itu hanya Hindu yang masih agak menyerempet jalan itu, agama yang bersumber akar budaya timur tengah jelas tidak mengajarkan hal itu.

Saya ra

_/\_

"Agamanya" mungkin saya setuju demikian.
Orangnya? Belum tentu. Entah dari Timur Tengah atau dari ujung bumi, saya rasa bisa saja mereka mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi "jalan".

Kalau tanpa ada pengetahuan Dhamma yang diajarkan dari sumbernya. Saya rasa tidak akan bisa merealisasi 'jalan', kalau kebijaksanaan yang didapat, tentunya kebijaksanaa duniawi/umum.

_/\_
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

fabian c

Quote
Quote from: fabian c on 28 December 2009, 04:50:39 PM
Tapi bro Kainyn sendiri yang mengatakan sudah berlatih satipatthana sebelum mengenal ajaran Buddha kan? Tahu darimana bahwa yang dilatih itu adalah Satipatthana?
Sebelum mengenal Ajaran Buddha, tentu saja saya tidak tahu itu namanya apa, tidak tahu dibagi menjadi empat, tidak tahu "efeknya" apa, dll. Hanya melakukan secara spontan saja.

Mungkin saya perlu jelaskan kepada bro Kainyn, bahwa banyak sekali orang yang menyebut mereka belajar Satipatthana, padahal bukan.

Sebagai contoh ada yang menyelenggarakan retret meditasi yang padahal jelas-jelas samatha bhavana (anapanasati), tetapi pda waktu promosi ia menulis latihannya adalah samatha - vipassana, padahal jelas sekali meditasi yang dilakukan dalam 10 hari - 2 minggu tersebut adalah samatha (anapanasati).

Oleh karena itu saya tanya sekali  lagi saudara Kainyn yang meng-klaim telah mengenal vipassana/satipatthana sebelum mengenal ajaran Buddha, tahu darimana bahwa yang dilatih itu adalah Satipatthana?

Quote
QuoteBukankah sebelumnya bro Kainyn mengatakan:
QuoteMelihat sikap Bro fabian, saya jadi ingat satu frasa yang sangat terkenal, namun sedikit beda isi:
"Buddhalah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang mencapai Nibbana kalau tidak melalui Ajaran Buddha."
Berdasarkan hal tersebut, saya tidak ingin dan tidak mampu melanjutkan diskusi.
Jadi saya beranggapan mas kainyn menganggap ada ajaran lain yang mengajarkan Nibbana, karena bro Kainyn mengatakan bahwa bukan hanya agama Buddha yang mengajarkan jalan kesucian.
Seandainya ada sebuah Kota B di selatan yang ingin dituju banyak orang. Ada 3 jalan ke tempat tersebut, dari arah utara, barat & timur. Di Kota A, ada banyak peta ke kota-kota lain, namun hanya ada sebuah peta yang menunjukkan cara pergi ke Kota B, dan itu pun hanya lewat jalan utara saja karena jalan itu yang paling dekat.

Sekarang telah banyak yang telah pergi dengan menggunakan peta tersebut dan sampai di tempat tujuan, maka terbuktilah kemanjuran peta tersebut. 

Pertanyaannya: apakah jika saya mengatakan "mencapai Kota B tidak harus dengan peta tersebut" berarti sama dengan "ada peta lain di Kota A yang memandu kita ke Kota B"?
Jadi? hanya ada satu peta dan satu jalan? Bila ada jalan lain katakan saja, apa jalan lain itu.

Quote
Quote
Quote
Saya review pernyataan saya: Pencapaian kesucian selalu bergantung pada kematangan bathin seseorang, namun tidak selalu tergantung pada ajaran.
Bila dibahas kematangan seperti apa akan meluas, pernyataan ini menurut saya kadang-kadang benar.
Kematangan bathin dalam Ajaran Buddha, menurut pendapat saya adalah bukan berhubungan pada sesuatu di luar diri. Oleh karena itulah seseorang bisa terasah tanpa perlu "input" dari luar. Ini perbedaan yang paling mendasar dengan agama lain. Saya ambil contoh dalam Agama Nasrani mengenalkan "Pengorbanan Kristus" sebagai dasar ajaran. Kalau orang tidak pernah tahu siapa itu Kristus, sampai kapan pun ia tidak akan "mengerti" Agama Nasrani.

Perbedaan pandangan saya dan Bro fabian adalah dalam hal ini Bro fabian menganggap perlu "input" dari luar tersebut yang tentu saja eksklusif dan tergantung dari "input yang benar", i.e. Agama Buddha. Saya tidak menganggap demikian karena menganggap seorang Samma Sambuddha atau Pacceka Buddha tidak menerima "input dari luar", namun melihat kenyataan "dunia" lewat dirinya sendiri.
Karena itulah saya katakan kita tidak bisa melanjutkan diskusi walaupun tentu saja saya tidak tahu siapa yang benar, atau bisa jadi kita berdua juga salah.
Dan hanya Sammasambuddha dan Pacccekabuddha yang berhasil menmpuh jalan tanpa bantuan orang lain.

Quote
Quote
QuoteOleh karena itu, seseorang yang tidak memiliki kematangan bathin tidak akan mencapai kesucian walaupun bertemu dengan ajaran yang benar.
Saya rasa saya kurang setuju yang ini, kematangan batin bisa diasah dengan belajar/latihan.
Kalau tidak bisa diasah, tentu tidak ada gunanya seseorang belajar Ajaran Buddha. Yang saya maksudkan adalah sebelum bathin orang matang, ia tidak akan mencapai kesucian, walaupun bertemu ajaran yang benar. Soal berapa lama "mengasahnya", tentu kembali lagi pada masing-masing orang, dan kita tidak bisa tahu hal tersebut.
Ada faktor-faktor lain yang menghalangi kematangan batin untuk mencapai kesucian. Umpamanya pangeran Ajatasattu, walaupun memiliki kemampuan untuk menjadi Sotapanna tetapi tak dapat mencapai kesucian, demikian juga dengan hartawan Mahapadhana, yang kehilangan kesempatan mencapai kesucian karena kesalahan yang dilakukannya.
Banyak lagi kasus serupa. Jadi kematangan batin (kemampuan mencapai kesucian)tanpa belajar dibawah bimbingan guru yang baik maka akan sia-sia.

Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 02:43:59 PM
Quote from: fabian c on 29 December 2009, 06:22:17 AM
Seseorang bisa menemukan Jalan itu (Paccekabuddha dan Sammasambuddha), tetapi hanya di Buddha Dhamma jalan itu secara jelas dan gamblang diuraikan. Selain itu hanya Hindu yang masih agak menyerempet jalan itu, agama yang bersumber akar budaya timur tengah jelas tidak mengajarkan hal itu.

_/\_

"Agamanya" mungkin saya setuju demikian.
Orangnya? Belum tentu. Entah dari Timur Tengah atau dari ujung bumi, saya rasa bisa saja mereka mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi "jalan".

Yang merealisasikan Jalan bisa siapa saja, yang menemukan Jalan dengan tanpa belajar dari orang lain menurut Buddha Dhamma hanya Paccekabuddha dan Sammasambuddha 

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

adi lim

Quote from: fabian c on 29 December 2009, 09:34:53 PM

"Agamanya" mungkin saya setuju demikian.
Orangnya? Belum tentu. Entah dari Timur Tengah atau dari ujung bumi, saya rasa bisa saja mereka mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi "jalan".

Yang merealisasikan Jalan bisa siapa saja, yang menemukan Jalan dengan tanpa belajar dari orang lain menurut Buddha Dhamma hanya Paccekabuddha dan Sammasambuddha  
_/\_

tulisan Biru, Setuju Sekali !
_/\_
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

K.K.

Quote from: dilbert on 29 December 2009, 05:57:17 PM
Kalau menurut saya, lamanya seorang individu dalam menyempurnakan parami-nya menentukan kualitas sabbanuta nana (kemahatahuan akan prinsip prinsip yang perlu diketahui), jadi ketika pada malam penembusan (malam penerangan sempurna), ketika dalam proses pencapaian penerangan sempurna, sang Bodhisatta (bakal Buddha) bisa mereview kembali banyak kehidupan tak terhingga.

Secara logis, tentunya kita kalau dihadapkan pada flash back kehidupan kehidupan lampau kita, apalagi dengan kebijaksanaan yang sudah timbul, maka harusnya bisa diambil banyak hikmah dan pelajaran dari flash back kehidupan (yang tentu-nya bisa disamakan dengan pengalaman kita sendiri). Tentunya dalam hal ini, pengalaman dan kualitas kehidupan dari kehidupan lampau bodhisatta tidak tertandingi oleh makhluk hidup yang manapun juga.

Jadi menurut hemat saya, walaupun pada jaga malam penerangan sempurna itu, walaupun Bodhisatta bisa mereview kembali kehidupan lampaunya (termasuk dalam hal ini kehidupan lampaunya sebagai murid/siswa sammasambuddha, ataupun murid perumahtangga yang mengikuti ajaran), Pencapaian pengetahuan tentang JALAN, tetap saja merupakan hasil dari olah pikiran dan pencapaian-annya sendiri. Ini hanya opini saya saja.

Kalau pendapat Bro dilbert tentang "parami" berhubungan dengan kemampuannya, saya setuju. Tetapi dari sisi "banyaknya flashback", saya kurang setuju. Dikatakan umumnya maha-savaka dapat mengingat sampai 100.000 kappa kehidupan lampau. Beberapa (saya lupa siapa saja) yang mengembangkannya, dapat mengingat sampai masa tak hingga. Walaupun mereka memiliki kebijaksanaan sebagai seorang Arahat, tetapi tetap tidak bisa memahami "Acinteyya" ataupun memiliki Sabbannu Nana tersebut.


K.K.

Quote from: adi lim on 29 December 2009, 08:16:10 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 02:43:59 PM
"Agamanya" mungkin saya setuju demikian.
Orangnya? Belum tentu. Entah dari Timur Tengah atau dari ujung bumi, saya rasa bisa saja mereka mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi "jalan".

Kalau tanpa ada pengetahuan Dhamma yang diajarkan dari sumbernya. Saya rasa tidak akan bisa merealisasi 'jalan', kalau kebijaksanaan yang didapat, tentunya kebijaksanaa duniawi/umum.

_/\_

Jika semua harus mendapat pengajaran untuk merealisasi 'jalan', maka, sekali lagi, Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha tidak ada. Yang ada hanya Savaka Buddha.


K.K.

Quote from: fabian c on 29 December 2009, 09:34:53 PM
Mungkin saya perlu jelaskan kepada bro Kainyn, bahwa banyak sekali orang yang menyebut mereka belajar Satipatthana, padahal bukan.

Sebagai contoh ada yang menyelenggarakan retret meditasi yang padahal jelas-jelas samatha bhavana (anapanasati), tetapi pda waktu promosi ia menulis latihannya adalah samatha - vipassana, padahal jelas sekali meditasi yang dilakukan dalam 10 hari - 2 minggu tersebut adalah samatha (anapanasati).

Oleh karena itu saya tanya sekali  lagi saudara Kainyn yang meng-klaim telah mengenal vipassana/satipatthana sebelum mengenal ajaran Buddha, tahu darimana bahwa yang dilatih itu adalah Satipatthana?
Nah, sudah saya katakan di awal lebih baik tidak usah dibahas karena saya tahu dengan pasti Bro fabian akan "menghakimi" saya mengenai Satipatthana tersebut dengan cara membandingkannya dengan "Satipatthana" Bro fabian, yang tentu saja bagi saya juga belum tentu Satipatthana tersebut adalah Satipatthana sesungguhnya.
Saya hanya sharing, tidak mengklaim agar hal tersebut diterima oleh orang lain, terutama bagi mereka yang pola pikirnya sudah terkonsep. Bagi yang percaya silahkan, yang tidak juga silahkan.


QuoteJadi? hanya ada satu peta dan satu jalan? Bila ada jalan lain katakan saja, apa jalan lain itu.
Masih tidak mengerti perumpamaan saya juga? OK, saya coba jelaskan maksud saya.
Kota A adalah "Samsara", kota B adalah "Nibbana". Peta yang telah ada adalah ajaran yang dibuat oleh seorang Samma Sambuddha, orang yang mengikuti peta tersebut adalah para Savaka. Jalan lain adalah jalan Pacceka Buddha, dan jalan yang terakhir adalah jalan Samma Sambuddha. Mengapa saya katakan jalan Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha tidak menggunakan peta? Karena seperti petapa Sumedha yang jika mengambil peta Buddha Dipankara, maka ia mengambil jalan Savaka dan merealisasinya saat itu juga.


Nah, sekarang ini pertanyaan untuk siapa saja yang mau menjawab.
Dulu petapa Sumedha jika menerima ajaran Buddha Dipankara akan merealisasi Arahatta-phala. Mengapa di kemudian hari setelah berkappa-kappa menyempurnakan parami, menjadi bhikkhu di bawah Buddha Kassapa namun tidak menembus magga-phala?



QuoteDan hanya Sammasambuddha dan Pacccekabuddha yang berhasil menmpuh jalan tanpa bantuan orang lain.
Ya, saya setuju.


QuoteAda faktor-faktor lain yang menghalangi kematangan batin untuk mencapai kesucian. Umpamanya pangeran Ajatasattu, walaupun memiliki kemampuan untuk menjadi Sotapanna tetapi tak dapat mencapai kesucian, demikian juga dengan hartawan Mahapadhana, yang kehilangan kesempatan mencapai kesucian karena kesalahan yang dilakukannya.
Banyak lagi kasus serupa. Jadi kematangan batin (kemampuan mencapai kesucian)tanpa belajar dibawah bimbingan guru yang baik maka akan sia-sia.
Ya, ini juga saya setuju. Kalau seorang guru tidak dapat memberi manfaat, untuk apa pula orang berguru?


QuoteYang merealisasikan Jalan bisa siapa saja, yang menemukan Jalan dengan tanpa belajar dari orang lain menurut Buddha Dhamma hanya Paccekabuddha dan Sammasambuddha  

Lalu kira-kira, mungkinkah seorang Bodhisatta pernah tinggal di daerah seperti "Timur Tengah"? Atau melulu "menclok" di sekitar India?


gajeboh angek

HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

bond

Jambudvipa = pasti India?

apakah ada kemungkinan tempat lain pada kappa lalu tetapi untuk memudahkan disebut jambudvipa

apakah pasti di tiap Buddha lahir ditempat yg sama pula?
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

K.K.

Yang pernah saya baca, Bodhisatta selalu terlahir di tata surya yang sama, tetapi tidak pernah baca harus selalu di Jambudvipa. Mengenai Buddha, memang saya baca selalu di Jambudvipa yang tempatnya juga kondusif untuk mencapai pencerahan.

Jambudvipa sendiri, apakah selalu seperti sekarang? Menurut para geologis, bentuk bumi senantiasa berubah dan dahulu pernah juga bumi hanya memiliki 1 benua.

dilbert

Quote from: Kainyn_Kutho on 30 December 2009, 08:27:15 AM
Quote from: dilbert on 29 December 2009, 05:57:17 PM
Kalau menurut saya, lamanya seorang individu dalam menyempurnakan parami-nya menentukan kualitas sabbanuta nana (kemahatahuan akan prinsip prinsip yang perlu diketahui), jadi ketika pada malam penembusan (malam penerangan sempurna), ketika dalam proses pencapaian penerangan sempurna, sang Bodhisatta (bakal Buddha) bisa mereview kembali banyak kehidupan tak terhingga.

Secara logis, tentunya kita kalau dihadapkan pada flash back kehidupan kehidupan lampau kita, apalagi dengan kebijaksanaan yang sudah timbul, maka harusnya bisa diambil banyak hikmah dan pelajaran dari flash back kehidupan (yang tentu-nya bisa disamakan dengan pengalaman kita sendiri). Tentunya dalam hal ini, pengalaman dan kualitas kehidupan dari kehidupan lampau bodhisatta tidak tertandingi oleh makhluk hidup yang manapun juga.

Jadi menurut hemat saya, walaupun pada jaga malam penerangan sempurna itu, walaupun Bodhisatta bisa mereview kembali kehidupan lampaunya (termasuk dalam hal ini kehidupan lampaunya sebagai murid/siswa sammasambuddha, ataupun murid perumahtangga yang mengikuti ajaran), Pencapaian pengetahuan tentang JALAN, tetap saja merupakan hasil dari olah pikiran dan pencapaian-annya sendiri. Ini hanya opini saya saja.

Kalau pendapat Bro dilbert tentang "parami" berhubungan dengan kemampuannya, saya setuju. Tetapi dari sisi "banyaknya flashback", saya kurang setuju. Dikatakan umumnya maha-savaka dapat mengingat sampai 100.000 kappa kehidupan lampau. Beberapa (saya lupa siapa saja) yang mengembangkannya, dapat mengingat sampai masa tak hingga. Walaupun mereka memiliki kebijaksanaan sebagai seorang Arahat, tetapi tetap tidak bisa memahami "Acinteyya" ataupun memiliki Sabbannu Nana tersebut.

Kalau kita baca kembali kisah para maha-agga-savaka, kita dapat melihat bahwa sariputta dan mogallana juga mengucapkan chanda (keinginan mulia) untuk menjadi maha-agga-savaka seorang sammasambuddha, sehingga dengan keinginan-nya itu, sariputta dan mogallana harus menjalani tambahan 100.000 kappa untuk menyempurnakan parami-nya, Tentunya kualitas kehidupan yang dijalani adalah kehidupan dan penyelidikan serta pengembangan bathin menuju arah maha agga savaka.

Kalau dibandingkan dengan chanda seorang petapa sumedha yang oleh karena itu petapa sumedha harus menjalani tambahan 4 assankheya kappa + 100.000 kappa untuk menyempurnakan paraminya (di dalamnya juga termasuk kedalam penyelidikan dan pengembangan bathin menuju arah penerangan sempurna seorang sammasambuddha) yang mana tentunya seorang sammasambuddha itu harus memiliki sabbanuta nana (kemahatahuan) sehingga bisa menurunkan ajaran.

Analogi-nya : Murid-murid yang tamat belajar SMA, belum tentu bisa menjadi guru SMA. Murid-murid bisa mengerjakan soal-soal SMA, belum tentu bisa menjadi guru (nanti-nya) dan mengajarkan/menjelaskan soal soal SMA kepada murid SMA. Tentunya seorang guru harus memiliki kualitas seorang guru.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 30 December 2009, 08:30:21 AM
Quote from: adi lim on 29 December 2009, 08:16:10 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 02:43:59 PM
"Agamanya" mungkin saya setuju demikian.
Orangnya? Belum tentu. Entah dari Timur Tengah atau dari ujung bumi, saya rasa bisa saja mereka mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi "jalan".

Kalau tanpa ada pengetahuan Dhamma yang diajarkan dari sumbernya. Saya rasa tidak akan bisa merealisasi 'jalan', kalau kebijaksanaan yang didapat, tentunya kebijaksanaa duniawi/umum.

_/\_

Jika semua harus mendapat pengajaran untuk merealisasi 'jalan', maka, sekali lagi, Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha tidak ada. Yang ada hanya Savaka Buddha.


seberapa banyak yang bisa merealisasikan jalan tanpa ajaran Buddha? apakah mereka akan seperti Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))