Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?

Started by dhammasiri, 11 November 2009, 09:29:47 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

fabian c

Saudara Kaynin yang baik, saya menemui beberapa orang yang berlatar belakang agama lain berlatih meditasi Vipassana, mereka mencapai Nana-nana....

Memang itu berarti umat agama lain bisa mencapai Nana-nana, tetapi mereka mencapai nana-nana dengan mempraktikkan ajaran Sang Buddha dibawah bimbingan seorang bhikkhu (dibawah bimbingan umat Buddha), bukan berlatih sendiri..

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

fabian c

Quote from: hendrako on 08 December 2009, 11:31:55 AM
Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?

Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.

Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.

Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............



Cerita saudara Hendrako sangat menarik,

Boleh tahu seperti apakah ajaran meditasinya sehingga dianggap seperti Vipassana juga?
Terima kasih atas sharingnya.

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Jerry

Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
Kalau kembali pada "agama Buddha", saya rasa absurd kalau meminta cerita guru lain membimbing orang mencapai kesucian di Tipitaka, yang nota bene adalah kisah-kisah yang berhubungan dengan Buddha dan para murid. Sama saja seperti saya menanyakan suatu kisah Buddha menebus dosa di kitab agama lain.
Meski absurd, toh Bro Kain meyakini, setidaknya memercayai bahwa "Pencapaian Magga-phala pun tidak selalu harus didapatkan dari "Agama Buddha"."
Makanya saya menanyakan, adakah bukti preseden dari pandangan Bro Kain soal ini. Mungkin saja dr sources di luar Buddhism, spt Jaina, Hindu dlsb.

Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
Konteks yang saya singgung dalam hal ini adalah Buddha tidak mengajarkan "4 KM" secara langsung, tidak memberikan doktrin-doktrin Buddha-dhamma, namun "mengasah" orang mengembangkan kebijaksanaan menurut kecenderungan orang tersebut. Dengan demikian, 1 milyar kecenderungan, maka ada 1 milyar "ajaran". Saya rasa ini kita juga setuju, CMIIW. Berdasarkan hal ini, maka ada 2 pilihan sikap, yaitu inklusivistik yang menyatakan 1 milyar tersebut, selama membimbing orang mencapai kesucian, disebut "Agama Buddha"; satu lagi yang tidak lagi melihat hal tersebut sebagai "agama" karena sudah terlalu luas untuk "dilingkup" ke dalam satu definisi.
Saya type orang yang ke dua.
Yup, soal 1 miliar org, 1 miliar kecenderungan dan ada 1 miliar ajaran. Setuju soal ini. Meski sebenarnya dari kesemua 1 miliar ajaran tsb bisa diklasifikasikan secara poin generalnya, dan utk ajaran Buddha, meski ada 1 milyar Sutta dan 1 milyar ajaran sekalipun, persamaannya hanya 1, dukkha dan lenyapnya dukkha - baik eksplisit atau implisit.
Kalo gitu dalam konteks definisi Bro Kain, bolehlah saya dikategorikan dlm tipe pertama. Meski saya tidak akan gegabah mengatakan selama membimbing orang mencapai kesucian, akan saya sebut agama Buddha. Lihat dulu dari kondisi bagaimana org tsb mencapai, faktor2 apa yg menyebabkan tercapainya kesuciannya, dan apakah memang benar org tsb merealisasikan kesucian yang setingkat dengan kesucian dlm versi agama Buddha yaitu dr sotapatti magga hingga arahatta phala.


Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
Sepertinya Bro Jerry hanya membahas agama yang ada di Indonesia, maka saya tidak ada sanggahan. 
Kira2 agama di luar Indonesia, ada? Mungkin saya kurang update atau menyelidiki. Mohon berbagi pencerahannya. _/\_



Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
Silahkan kalau Bro Jerry berpikiran begitu. Bagi saya, pencapaian magga-phala adalah kesesuaian kematangan spiritual seseorang, bukan karena agama atau landasan akidah. Salah satu bukti nyata adalah banyak di mana-mana orang yang mahir sekali ber-"tipitaka", tetapi toh tidak mencapai magga-phala juga, tidak mencapai jhana-jhana, bahkan hal sederhana seperti kelakuannya saja tidak bisa dikatakan baik. Sebaliknya, menurut cerita, murid pandangan berbelit-belit saja bisa menjadi Sotapanna dengan 1 syair yang terdengar.
Soal ini, kembali ke hal lama yg pernah kita bahas kalau Bro Kain masih ingat, Upatissa melepaskan pandangan lamanya saat merealisasikan Sotapanna, jadi jelas dia menjadi seorang pengikut Buddha dengan begitu, bukan lagi pengikut Sanjaya. Demikian pula, seorang islam atau kr****n tidak akan mencapai magga&phala selama dia masih berkutat dengan pandangan lamanya mengenai Allah.

Lalu membaca kelanjutan diskusi Bro Kain dengan Opasaka dan Acek Ryu.. Keliatannya Bro Kain dalam menangkap maksud saya ada benar dan ada salahnya. Utk mengatakan demikian:
QuoteYang Bro Jerry katakan adalah orang dari pandangan lain tidak bisa merealisasi magga-phala karena basicnya berbeda. Dengan kata lain, harus punya basic (Buddhisme) dulu, baru bisa mencapai magga-phala.
Saya katakan ya, orang dr pandangan lain tdk bisa merealisasi magga-phala dlm Buddha-sasana. Dan memang orang harus melepaskan pandangannya terlebih dahulu, memosisikan diri dalam pandangan yg diajarkan Sang Buddha, barulah orang bisa mencapai magga-phala dlm Buddha-sasana.

Tetapi jelas salah jika menyimpulkan bahwa saya menganggap orang dalam pandangan lain tidak bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan, beserta berbagai kualitas bermanfaat lainnya. Saya jelas setuju dengan pendapat Bro Kain, "semua orang apapun agamanya (atau pun tidak beragama), tetap bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan." Dan sebenar-benarnya, kebajikan, sila, keyakinan, semangat, kesadaran, samadhi dan kebijaksanaan bukanlah hal eksklusif dalam Buddha-dhamma. Demikian juga dengan Jhana. Misalnya saja dalam Maha-saccaka Sutta, Alara Kalama, dan Rama memiliki pencapaian hingga Arupa Jhana dan memiliki panca-bala juga. Dan ingat, yg telah saya katakan adalah sejauh agama yg ada yg saya ketahui tidak ada yg mengajarkan semua ttg ini dan pencapaian tingkat kesucian sejelas yg diajarkan dlm Buddha-sasana ini. Yang eksklusif dr Buddha-dhamma adalah semua dhamma ini dibabarkan secara sempurna oleh Sang Buddha dan juga terdapat jalan untuk melarikan diri dari semua kondisi ini. Jika Bro Kain mengetahui apa yg tidak saya ketahui, di luar yang saya ketahui, dan mungkin yang oleh saya terlewatkan, sudilah kiranya untuk berbagi. :)


Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
Apakah dengan demikian Bro Jerry mengatakan pengetahuan akan jalan kosong dan jalan petapa sejati yang mengantarkan orang pada pencapaian sejati?
Apakah juga Bro Jerry memiliki pandangan bahwa Arahat tetap memegang suatu pandangan?
Saya kurang menangkap kalimat 1. Utk kalimat ke-2, Arahat tidak memegang suatu pandangan, mereka hanya menggunakan pandangan tsb sesuai fungsinya dan melepasnya setelahnya.

Mettacittena
appamadena sampadetha

hendrako

Quote from: fabian c on 08 December 2009, 05:09:23 PM
Quote from: hendrako on 08 December 2009, 11:31:55 AM
Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?

Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.

Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.

Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............



Cerita saudara Hendrako sangat menarik,

Boleh tahu seperti apakah ajaran meditasinya sehingga dianggap seperti Vipassana juga?
Terima kasih atas sharingnya.

_/\_


Secara teknik saya tidak mengetahui secara detail, namun secara konsep, dari hasil dialog dengan seorang teman, mirip dengan anjuran yang saya dapat di dalam referensi Buddhism bahwa meditasi bukan hanya formal dalam posisi duduk, namun adalah pengamatan batin dalam kehidupan sehari-hari, pada saat ini.

Saya mengalami perbincangan ini sekitar 1-2 tahun sebelum saya mengenal Buddhism dan begitu pula teman saya tersebut tidak mengenal Buddhism sama sekali.

Pada saat itu saya tidak mengerti apa yang dimaksud, sesudah bersentuhan dan mempelajari Buddhism, saya baru mengerti apa yang dimaksud.





yaa... gitu deh

Jerry

Quote from: hendrako on 08 December 2009, 11:31:55 AM
[spoiler]Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?

Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.

Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.

Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............

[/spoiler]

Bro, sori nanya.. mirip atau dimirip2kan? ini harus diteliti lebih jauh sebelum disimpulkan. kalo abhinna ngga heran, ngga harus orang suci, seseorang dengan attaditthi pun bisa memiliki kesaktian. sekadar mengamati pikiran, dan meditasi tidak harus dalam posisi duduk, itu bukan barang eksklusif dlm Buddha-sasana. ajaran2 lain sebelum masa Sang Buddha pun telah mengenal misalnya posisi meditasi dlm jalan, atau bertindak dlm aktifitas sehari2, atau dlm posisi tidur. Agama Islam sendiri mengenal sholat dlm 3 posisi: berdiri, duduk dan berbaring.

Quote from: upasaka on 08 December 2009, 11:39:25 AM
[spoiler] Teman-teman... Maksud dari Bro Kainyn itu:

"Seseorang bisa saja penganut agama non-Buddha. Dia percaya pada ritual keselamatan, dia percaya bahwa ada Maha Brahma (Tuhan), dia percaya bahwa kelahiran hanya sekali; dan akan diadili di akhirat. Tetapi agama itu mengajarkan kebaikan juga. Agama itu mengajarkan supaya berderma, supaya banyak berbuat baik, supaya menguatkan iman dan menjaga hati. Seiring kedewasaan pemikirannya, orang ini mulai menyadari bahwa berbuat baik adalah bentuk cinta-kasih; tidak lagi karena paksaan agama. Lalu dia mulai menyadari bahwa hidup ini tidak kekal, tidak memuaskan dan mulai melihat tidak ada substansi inti. Dia mulai melihat bahwa sebenarnya tidak ada roh (jiwa) atau Maha Brahma (Tuhan Pencipta). Dia mulai mengembangkan iman, dan dia melihat bahwa yang lebih penting adalah menyelami gejolak pikiran; karena itulah titik terpenting dalam spiritual. Lalu dia mulai berangsur tidak melekat pada agamanya... Hingga suatu hari dia bertemu dengan Ajaran Sang Buddha. Dia melihat ada banyak kecocokan pola pandangnya (yang mulai dewasa) ini dengan Ajaran Sang Buddha. Dan suatu waktu ketika batinnya sudah matang, mungkin saja dia lebih mudah mencerap Ajaran Sang Buddha. Karena dia sendiri telah bergulat mencari Kebenaran, hingga akhirnya menemukan "peta kebenaran" yang sesungguhnya. Dan akhirnya dia bisa berkembang menjadi lebih bijaksana, atau bahkan menjadi orang Yang Tercerahkan meskipun tidak cocok untuk disebut sebagai umat Buddha".

Begitu yang saya tangkap dari pemikiran Bro Kainyn_Kutho. :)

Correct Me if I Wrong.
[/spoiler]
Apakah dia nantinya bertemu dengan ajaran Buddha atau tidak, berarti ini sama saja artinya dia melepaskan pandangan lamanya terhadap agama tsb. Masihkah relevan mengatakan dia mencapai pemahaman demikian melalui doktrin agama tsb? Bagi saya sih tidak lagi relevan. Di sini perbedaan saya dengan Bro Kain. :)

Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 02:17:12 PM
[spoiler]Ya, betul kira-kira demikian. Semua orang, apa pun agamanya (atau pun tidak beragama), tetap bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan. Pada waktunya, ketika kebijaksanaannya matang dan pada kondisi yang tepat (apakah ia bertemu ajaran Buddha, atau pun dia sendiri mengembangkan pandangan terang) ia akan mampu mencapai kesucian.

Saya "berkeras kepala" menentang "agama Buddha satu-satunya jalan" karena secara general, orang akan manafsirkannya sama seperti di agama lain di mana harus tahu agama tertentu dulu baru selamat. Banyak dari kita tentu tahu rasanya kalau orang lain datang ke kita dengan promosi "agama saya adalah satu-satunya jalan", bukan? Apakah menarik? :)

[/spoiler]
Kenapa harus berbeda dr yg lain dan harus menarik? Sebaliknya juga kenapa harus sama dengan yg lain? Kebenaran ya kebenaran. Jika memang sama, itu harus diakui. Tetapi jika tidak sama, maka tidak perlu menyama-nyamakan. Saya beragama Buddha jelas bukan utk agar sama dengan, ataupun agar beda dengan. (dulu sih mungkin iya) :P

Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 03:32:27 PM
[spoiler]
QuoteTapi saya mau memberi komentar usil: "Meskipun orang di agama lain juga bisa merealisasi Pembebasan, namun tetap saja orang yang telah merealisasi Pembebasan adalah orang yang sudah merealisasi tujuan Agama Buddha, bukan tujuan agama lain."
Ini kelihatannya mirip tetapi berbeda. Kalau yang ini, saya sepenuhnya setuju.
[/spoiler]
Sebenarnya ini sama saja dengan yg ini:
Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
.... Berdasarkan hal ini, maka ada 2 pilihan sikap, yaitu inklusivistik yang menyatakan 1 milyar tersebut, selama membimbing orang mencapai kesucian, disebut "Agama Buddha"; satu lagi yang tidak lagi melihat hal tersebut sebagai "agama" karena sudah terlalu luas untuk "dilingkup" ke dalam satu definisi.
Saya type orang yang ke dua.
Jika Anda setuju dengan pernyataan Opasaka, berarti Anda tipe pertama dong? Bersikap inklusif bahwa orang agama lain yg merealisasi pembebasan telah merealisasi tujuan agama Buddha. Bukan lg tipe ke-2? ???

Mettacittena,
appamadena sampadetha

ryu

meditasi=JMB8
JMB8=Agama Buddha

Meditasi=agama Buddha

jrengggggg...... ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: fabian c on 08 December 2009, 05:03:46 PM
Saudara Kaynin yang baik, saya menemui beberapa orang yang berlatar belakang agama lain berlatih meditasi Vipassana, mereka mencapai Nana-nana....

Memang itu berarti umat agama lain bisa mencapai Nana-nana, tetapi mereka mencapai nana-nana dengan mempraktikkan ajaran Sang Buddha dibawah bimbingan seorang bhikkhu (dibawah bimbingan umat Buddha), bukan berlatih sendiri..

_/\_
Kalau memang "belajar dari orang lain/buku/internet/dsb" yah memang tidak saya sebut berlatih sendiri, karena tetap basicnya diberikan orang lain.

adi lim

Quote from: Kainyn_Kutho on 07 December 2009, 01:20:13 PM
Quote from: fabian c on 07 December 2009, 01:10:10 PM
QuoteItu karena pola pikir Bro Jerry mengkotakkan kebenaran dalam wadah "agama", sama seperti Bro fabian c. Ketika ada suatu kebenaran yang benar, maka itu harus ada merk "agama"-nya, entah "agamaku" atau "agama lain". Oleh karena itu, mungkin Bro Jerry dan rekan-rekan lain menganggap orang yang tidak beragama "Buddha" tidak akan mengajarkan hal-hal yang bisa membawa kita pada pemahaman Buddha-dhamma. Saya tidak begitu. Itu saja bedanya.

Saya kira tidak demikian bro, keputusan presidenlah (jaman Suharto tahun 80-an) yang mengakui Buddha Dhamma sebagai agama. Sebelumnya Buddha Dhamma hanya diakui sebagai aliran kepercayaan.
Aliran kepercayaan dianggap lebih rendah daripada agama, oleh karena itu para pemuka-pemuka agama Buddha berusaha memperjuangkan agar Buddha Dhamma diakui sebagai agama.

Saya tidak meletakkan kebenaran dalam keranjang agama, tetapi ada kebenaran yang hanya diungkapkan atau hanya ada dalam agama tertentu.
Kalau diambil sensus antara yang mengatakan Tuhan sebagai suatu kebenaran dengan mereka yang mengatakan Tuhan hanya dongeng, mungkin yang mengakui Tuhan sebagai suatu kebenaran lebih banyak. Apakah itu merupakan suatu kebenaran?
Maksudnya ada kebenaran yang hanya diajarkan di agama Buddha dan eksklusif merupakan ajaran agama Buddha, tidak ditemui di ajaran lain, umpamanya: tilakkhana, empat kebenaran Arya, jalan Arya berunsur delapan, Vipassana dll.
Kebenaran ini memang berlaku secara universal untuk siapapun. Tetapi pemilik patennya adalah Sang Buddha. Pengikut Sang Buddha disebut Buddhists (disini diterjemahkan sebagai: umat agama Buddha).
Sama seperti gravitasi berlaku universal untuk siapapun, pemilik patennya adalah Newton, pengikut Newton disebut Newtonian (pengikut teori Newton).
Tilakkhana berlaku untuk siapapun walaupun ia masih beragama K...ten atau I...m dll walaupun mereka tak mengakui atau menyadari hal itu (inilah salah satu contoh ajaran Sang Buddha bersifat universal).
Demikian juga gravitasi berlaku untuk siapapun, entah apa agamanya entah apa teori yang dianutnya entah ia tak menyadari bawa ia ada dalam pengaruh gravitasi (inilah sifat universal teori Newton).

_/\_

No comment.
Share ulang sedikit: saya melakukan vipassana secara otodidak sebelum mengenal agama Buddha. Jadi apa pun pendapat Bro fabian, walaupun mungkin benar secara umum, secara pribadi saya tidak bisa terima.

_/\_
Bro Kainyn pasti tidak bisa terima, memang demikian adanya !
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

hendrako

Quote from: Jerry on 09 December 2009, 12:23:18 AM
Quote from: hendrako on 08 December 2009, 11:31:55 AM
[spoiler]Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?

Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.

Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.

Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............

[/spoiler]

Bro, sori nanya.. mirip atau dimirip2kan? ini harus diteliti lebih jauh sebelum disimpulkan. kalo abhinna ngga heran, ngga harus orang suci, seseorang dengan attaditthi pun bisa memiliki kesaktian. sekadar mengamati pikiran, dan meditasi tidak harus dalam posisi duduk, itu bukan barang eksklusif dlm Buddha-sasana. ajaran2 lain sebelum masa Sang Buddha pun telah mengenal misalnya posisi meditasi dlm jalan, atau bertindak dlm aktifitas sehari2, atau dlm posisi tidur. Agama Islam sendiri mengenal sholat dlm 3 posisi: berdiri, duduk dan berbaring.


Apakah orang yg menjalankan yg di bold biru di atas tidak mungkin mencapai sotapanna karena tidak berlabel "agama Buddha" dan atau tidak menjalankan salah satu teknik atau metoda yg berlabel Buddha Theravada misalnya?

Apakah dikatakan sama, berbeda, atau mirip, antara teknik, metoda, dan definisi vipassana misalnya dari tradisi Mahasi Sayadaw, Goenka, Pa Auk Sayadaw, Ajahn Mun, dsb.?

Apakah berbeda atau sama definisi dari suci, kudus, fitrah, moksha, yang menurut saya merupakan tujuan dari agama yang berbeda ( agama yg dianggap resmi di Indonesia).

yaa... gitu deh

K.K.

Quote from: Jerry on 08 December 2009, 11:46:04 PM
Meski absurd, toh Bro Kain meyakini, setidaknya memercayai bahwa "Pencapaian Magga-phala pun tidak selalu harus didapatkan dari "Agama Buddha"."
Makanya saya menanyakan, adakah bukti preseden dari pandangan Bro Kain soal ini. Mungkin saja dr sources di luar Buddhism, spt Jaina, Hindu dlsb.
Susah untuk dijelaskan.
Begini saja, daripada kita beda definisi, saya ikut Bro Jerry saja. Menurut Bro Jerry, apa itu "Agama Buddha"?

Satu lagi, janganlah pernah meminta bukti pencapaian-pencapaian. Sekarang walaupun kita berdua bertemu Arahat, saya yakin saya tidak bisa membuktikan pencapaiannnya kepada anda, dan juga sebaliknya.


QuoteYup, soal 1 miliar org, 1 miliar kecenderungan dan ada 1 miliar ajaran. Setuju soal ini. Meski sebenarnya dari kesemua 1 miliar ajaran tsb bisa diklasifikasikan secara poin generalnya, dan utk ajaran Buddha, meski ada 1 milyar Sutta dan 1 milyar ajaran sekalipun, persamaannya hanya 1, dukkha dan lenyapnya dukkha - baik eksplisit atau implisit.
Kalo gitu dalam konteks definisi Bro Kain, bolehlah saya dikategorikan dlm tipe pertama. Meski saya tidak akan gegabah mengatakan selama membimbing orang mencapai kesucian, akan saya sebut agama Buddha. Lihat dulu dari kondisi bagaimana org tsb mencapai, faktor2 apa yg menyebabkan tercapainya kesuciannya, dan apakah memang benar org tsb merealisasikan kesucian yang setingkat dengan kesucian dlm versi agama Buddha yaitu dr sotapatti magga hingga arahatta phala.
Ya, kira-kira demikian. Kita lanjutkan setelah "Agama Buddha" menurut Bro Jerry sudah didefinisikan.


QuoteKira2 agama di luar Indonesia, ada? Mungkin saya kurang update atau menyelidiki. Mohon berbagi pencerahannya. _/\_
Saya katakan hal tersebut karena awalnya Bro Jerry mengatakan pondasi yang sangat berbeda dari agama lain, misalnya perwahyuan. Apakah Taoisme memiliki perwahyuan? Mengenai diri dan objek "aku", silahkan research tentang Kabbala.

Kemudian ada satu hal selalu terlupakan. Ketika saya bilang non-Buddhis, otomatis orang berpikir "agama lain". Mengapa tidak pernah terpikirkan tentang suatu kebijaksanaan yang tidak terikat agama?


QuoteSoal ini, kembali ke hal lama yg pernah kita bahas kalau Bro Kain masih ingat, Upatissa melepaskan pandangan lamanya saat merealisasikan Sotapanna, jadi jelas dia menjadi seorang pengikut Buddha dengan begitu, bukan lagi pengikut Sanjaya. Demikian pula, seorang islam atau kr****n tidak akan mencapai magga&phala selama dia masih berkutat dengan pandangan lamanya mengenai Allah.

Lalu membaca kelanjutan diskusi Bro Kain dengan Opasaka dan Acek Ryu.. Keliatannya Bro Kain dalam menangkap maksud saya ada benar dan ada salahnya. Utk mengatakan demikian:
QuoteYang Bro Jerry katakan adalah orang dari pandangan lain tidak bisa merealisasi magga-phala karena basicnya berbeda. Dengan kata lain, harus punya basic (Buddhisme) dulu, baru bisa mencapai magga-phala.
Saya katakan ya, orang dr pandangan lain tdk bisa merealisasi magga-phala dlm Buddha-sasana. Dan memang orang harus melepaskan pandangannya terlebih dahulu, memosisikan diri dalam pandangan yg diajarkan Sang Buddha, barulah orang bisa mencapai magga-phala dlm Buddha-sasana.
Nah, ini dulu sebetulnya ingin saya singgung tetapi tidak sempat. Saya setuju setelah Upatissa merealisasi Sotapatti-phala, ia sudah bukan penganut "pandangan berbelit-belit".
Masalahnya, pelepasan "berkutat pada pandangan lama" ini dilakukan kapan? Sebelum realisasi Sotapatti, atau hanya sesaat sebelum realisasi Sotapatti, atau kapan?


QuoteTetapi jelas salah jika menyimpulkan bahwa saya menganggap orang dalam pandangan lain tidak bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan, beserta berbagai kualitas bermanfaat lainnya. Saya jelas setuju dengan pendapat Bro Kain, "semua orang apapun agamanya (atau pun tidak beragama), tetap bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan." Dan sebenar-benarnya, kebajikan, sila, keyakinan, semangat, kesadaran, samadhi dan kebijaksanaan bukanlah hal eksklusif dalam Buddha-dhamma. Demikian juga dengan Jhana. Misalnya saja dalam Maha-saccaka Sutta, Alara Kalama, dan Rama memiliki pencapaian hingga Arupa Jhana dan memiliki panca-bala juga. Dan ingat, yg telah saya katakan adalah sejauh agama yg ada yg saya ketahui tidak ada yg mengajarkan semua ttg ini dan pencapaian tingkat kesucian sejelas yg diajarkan dlm Buddha-sasana ini. Yang eksklusif dr Buddha-dhamma adalah semua dhamma ini dibabarkan secara sempurna oleh Sang Buddha dan juga terdapat jalan untuk melarikan diri dari semua kondisi ini. Jika Bro Kain mengetahui apa yg tidak saya ketahui, di luar yang saya ketahui, dan mungkin yang oleh saya terlewatkan, sudilah kiranya untuk berbagi. :)
Saya menyimpulkan demikian karena Bro Jerry sebelumnya berkata tentang perbedaan basic yang sudah tidak bisa disatukan seperti perwahyuan, kekekalan, dan sebagainya. Jadi perbedaan kita di sini adalah, saya tidak menunjuk suatu ajaran/agama sebagai "basic" mutlak. Bagi saya, "basic" itu ada di mana pun selama orang menyadarinya, apakah dia Buddhis, Non-Buddhis, atau sekuler. Basic itu pula yang mengasah kesadaran dan kebijaksanaan seseorang, yang akan membuahkan suatu pencapaian jika kondisi mendukung (ia bertemu dengan ajaran yang mengakhiri Dukkha dan menjadi seorang Savaka Buddha, atau dia sendiri mengembangkan pandangan terang dan menjadi Samma Sambuddha atau Pacceka Buddha).
Contohnya sudah disebutkan sebelumnya, Upatissa yang "basic"-nya pandangan berbelit-belit namun kesadaran dan kebijaksanaannya telah matang, bertemu dengan ajaran tentang Dukkha, menemukan akhir penderitaan.


Quote
Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
Apakah dengan demikian Bro Jerry mengatakan pengetahuan akan jalan kosong dan jalan petapa sejati yang mengantarkan orang pada pencapaian sejati?
Apakah juga Bro Jerry memiliki pandangan bahwa Arahat tetap memegang suatu pandangan?
Saya kurang menangkap kalimat 1. Utk kalimat ke-2, Arahat tidak memegang suatu pandangan, mereka hanya menggunakan pandangan tsb sesuai fungsinya dan melepasnya setelahnya.

Mettacittena
Untuk yang ke dua, apakah berarti sewaktu Arahat, ia pun masih memiliki pandangan dan kemudian dilepas?

Untuk yang pertama, Bro Jerry mengatakan ada jalan-jalan "kosong" dan jalan petapa sejati, yaitu yang memiliki JMB 8. Apakah kemudian pengetahuan tentang hal tersebut yang mengantarkan orang pada pencapaian sejati (i.e. Magga-phala)?


Untuk kemungkinan salah, saya memberikan disclaimer demikian:
Saya tidak belajar Buddhisme lewat guru atau institusi tertentu, hanya membaca sendiri Sutta-sutta yang ada dari berbagai sumber. Jadi apa pun yang saya katakan, jelas tidak bisa mewakili Ajaran Buddha, apalagi dikatakan sebagai "pasti benar".


Nevada

Quote from: Jerry on 09 December 2009, 12:23:18 AM
Quote from: upasaka on 08 December 2009, 11:39:25 AM
[spoiler] Teman-teman... Maksud dari Bro Kainyn itu:

"Seseorang bisa saja penganut agama non-Buddha. Dia percaya pada ritual keselamatan, dia percaya bahwa ada Maha Brahma (Tuhan), dia percaya bahwa kelahiran hanya sekali; dan akan diadili di akhirat. Tetapi agama itu mengajarkan kebaikan juga. Agama itu mengajarkan supaya berderma, supaya banyak berbuat baik, supaya menguatkan iman dan menjaga hati. Seiring kedewasaan pemikirannya, orang ini mulai menyadari bahwa berbuat baik adalah bentuk cinta-kasih; tidak lagi karena paksaan agama. Lalu dia mulai menyadari bahwa hidup ini tidak kekal, tidak memuaskan dan mulai melihat tidak ada substansi inti. Dia mulai melihat bahwa sebenarnya tidak ada roh (jiwa) atau Maha Brahma (Tuhan Pencipta). Dia mulai mengembangkan iman, dan dia melihat bahwa yang lebih penting adalah menyelami gejolak pikiran; karena itulah titik terpenting dalam spiritual. Lalu dia mulai berangsur tidak melekat pada agamanya... Hingga suatu hari dia bertemu dengan Ajaran Sang Buddha. Dia melihat ada banyak kecocokan pola pandangnya (yang mulai dewasa) ini dengan Ajaran Sang Buddha. Dan suatu waktu ketika batinnya sudah matang, mungkin saja dia lebih mudah mencerap Ajaran Sang Buddha. Karena dia sendiri telah bergulat mencari Kebenaran, hingga akhirnya menemukan "peta kebenaran" yang sesungguhnya. Dan akhirnya dia bisa berkembang menjadi lebih bijaksana, atau bahkan menjadi orang Yang Tercerahkan meskipun tidak cocok untuk disebut sebagai umat Buddha".

Begitu yang saya tangkap dari pemikiran Bro Kainyn_Kutho. :)

Correct Me if I Wrong.
[/spoiler]
Apakah dia nantinya bertemu dengan ajaran Buddha atau tidak, berarti ini sama saja artinya dia melepaskan pandangan lamanya terhadap agama tsb. Masihkah relevan mengatakan dia mencapai pemahaman demikian melalui doktrin agama tsb? Bagi saya sih tidak lagi relevan. Di sini perbedaan saya dengan Bro Kain. :)

Maksudnya begini...

Saya pikir kita pernah bertemu (atau mengenal) umat Buddha yang percaya pada Tuhan, percaya bahwa Nibbana adalah alam kebahagiaan abadi (surga), berdoa di depan patung Sang Buddha agar Sang Buddha mengabulkan doa kita, memohon agar Sang Buddha melindungi kita dari marabahaya, rutin mengikuti puja bakti di vihara dan ikut visuddhi (baptis ala Agama Buddha) supaya bisa terhindar dari kamma buruk, dsb.

Kalau kita melihat orang itu, kita mungkin bisa menyatakan bahwa umat Buddha seperti itu sebagai umat Buddha yang berpandangan keliru alias "sesat". Karena kalau dilihat-lihat, pola pandangnya tidak mencerminkan sebagai umat dari Agama Buddha; justru pandangannya mirip dengan umat di agama lain. Tetapi bila kita katakan bahwa mereka berpandangan keliru, mereka pasti menolak. Mereka akan ngotot bahwa mereka adalah umat dari Agama Buddha. Dalam case ini, tentu kita paham bahwa adalah tidak cocok untuk menyebut umat Buddha seperti ini sebagai umat dari agama lain.

Demikian pula bila case ini terjadi di umat dari agama lain. Tidak menutup kemungkinan bahwa seorang umat dari agama lain mengalami transformasi pola pandang yang justru mengarah ke pandangan Agama Buddha. Mungkin saja sebelumnya dia tidak mengenal Agama Buddha. Tapi yang pasti, ada satu titik dalam hidupnya dimana dia melihat bahwa pemikirannya tidak sejalan 100% dengan agamanya. Dia hanya memegang keyakinan agamanya sebatas apa yang ia setujui sesuai perkembangan kebijaksanaannya.

Hal yang sama dapat kita lihat pula pada kisah Sariputta. Sariputta belajar pada gurunya dahulu, yang notabene berarti Sariputta bukanlah pemeluk Agama Buddha. Namun seiring perkembangan kebijaksanaan Sariputta, beliau tidak bisa selaras 100% dengan ajaran gurunya. Beliau punya pemahaman yang lebih condong ke Ajaran Sang Buddha; meskipun Sariputta belum pernah mendengar Ajaran Sang Buddha apalagi bertemu dengan-Nya. Hingga suatu hari, Sariputta bertemu dengan Assaji Thera yang memberi sedikit wejangan versi Agama Buddha. Dengan wejangan singkat itu, Sariputta langsung mencapai tingkat Sotapanna. Ini sebenarnya menunjukkan bahwa seseorang yang belum mengenal Agama Buddha pun bisa merealisasi tingkat-tingkat kesucian.

Hanya perlu digarisbawahi, bahwa Sariputta mencapai buah Sotapatti setelah melihat Kebenaran; dan konteksnya dari wejangan Agama Buddha. Orang yang merealisasi tingkat kesucian ataupun Pembebasan, adalah orang yang merealisasi tujuan Agama Buddha.

Dari kesimpulan singkat ini, kita bisa menyatakan juga dengan tegas bahwa: "Orang yang merealisasi Pembebasan adalah orang yang merealisasi tujuan Agama Buddha, bukan agama lain. Dan karena orang itu merealisasi tujuan Agama Buddha, maka orang itu sebenarnya menjalankan ajaran dari Agama Buddha".

markosprawira

singkat kata : ujung2nya kembali ke "label".....  :))

[at] Kai : gitu aja kok susah.... cuma tinggal bilang aja : jgn melekat pada label "agama Buddha"  ;D

K.K.

Quote from: markosprawira on 09 December 2009, 11:29:26 AM
singkat kata : ujung2nya kembali ke "label".....  :))

[at] Kai : gitu aja kok susah.... cuma tinggal bilang aja : jgn melekat pada label "agama Buddha"  ;D


Kalau saya bilang sih ga apa kita melabelkan, tetapi harus jelas saja jangan sampai orang yang belum kenal Agama Buddha salah paham karena pelabelan yang kurang tepat itu.

Untuk tidak melekat pada label sih, saya rasa kita semua sudah setuju akan hal tersebut. :)


markosprawira

mgkn mst diliat tempatnya yah bro.... saat bicara dgn org yg awam dan non buddhism, tentunya yg dikedepankan adalah nilai2 buddhism, bukan label yg biasanya akan memicu "defensif" dari org yg mempunyai "label" yg berbeda

itu yg sering saya angkat bhw jgn pula seolah2 muncul asumsi bhw bisa mencapai pencerahan selain pelaksanaan/praktek jalan utama berunsur 8

memang bnyk yg mirip namun mari kita semua berusaha jadi lebih baik....

Jerry

Quote from: hendrako on 09 December 2009, 09:11:17 AM
Quote from: Jerry on 09 December 2009, 12:23:18 AM
Quote from: hendrako on 08 December 2009, 11:31:55 AM
[spoiler]Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?

Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.

Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.

Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............

[/spoiler]

Bro, sori nanya.. mirip atau dimirip2kan? ini harus diteliti lebih jauh sebelum disimpulkan. kalo abhinna ngga heran, ngga harus orang suci, seseorang dengan attaditthi pun bisa memiliki kesaktian. sekadar mengamati pikiran, dan meditasi tidak harus dalam posisi duduk, itu bukan barang eksklusif dlm Buddha-sasana. ajaran2 lain sebelum masa Sang Buddha pun telah mengenal misalnya posisi meditasi dlm jalan, atau bertindak dlm aktifitas sehari2, atau dlm posisi tidur. Agama Islam sendiri mengenal sholat dlm 3 posisi: berdiri, duduk dan berbaring.


Apakah orang yg menjalankan yg di bold biru di atas tidak mungkin mencapai sotapanna karena tidak berlabel "agama Buddha" dan atau tidak menjalankan salah satu teknik atau metoda yg berlabel Buddha Theravada misalnya?

Apakah dikatakan sama, berbeda, atau mirip, antara teknik, metoda, dan definisi vipassana misalnya dari tradisi Mahasi Sayadaw, Goenka, Pa Auk Sayadaw, Ajahn Mun, dsb.?

Apakah berbeda atau sama definisi dari suci, kudus, fitrah, moksha, yang menurut saya merupakan tujuan dari agama yang berbeda ( agama yg dianggap resmi di Indonesia).


Kalau utk sekedar mengumpulkan modal pancabala, mungkin bisa melalui agama lain. Tapi tidak utk merealisasi sotapatti magga-phala. Utk realisasi sotapanna, dikatakan oleh Sang Buddha secara simple perlu 2 hal yaitu faktor eksternal: perkataan orang lain (kalyanamitta, guru atau Sang Buddha) dan faktor internal: yoniso manasikara, perhatian yang seksama - yaitu terhadap hal2 yg berkenaan dengan 4 Kebenaran Mulia, tidak perlu scr doktriniah selama org tsb merenungkan dan memerhatikan scr tepat dan akhirnya mengerti hakikat dukkha, maka ya! orang tsb bisa. Tetapi ini persentase kemungkinan yg sangat kecil, karena kembali lagi kalau kita melihat ke faktor eksternal yg men-trigger timbulnya realisasi bahwa segala sesuatu muncul karena ada penyebabnya dan demikian pula dengan lenyapnya, ini akan bertabrakan dengan akidah dasar agama lain. Selain tentunya seringkali tidak terang dan jelas sbgmn yg diajarkan Sang Buddha. Belum lagi usaha dari sbagian orang yg mencoba berkompromi dengan kebenaran dan menyama2kan hanya karena adanya persamaan bahasa. Bahasa, bisa saja berbeda tetapi memiliki makna yg sama dan sebaliknya bisa pula bisa saja sama tetapi makna yg dirujuk berbeda. Dengan memegang pehamaman ini, saya tidak akan berspekulasi dengan kemungkinan2 akan pencerahan di luar ajaran Buddha. Dan bagi saya jelas utk saat ini tidak ada orang yg dpt menunjukkan ajaran tertentu di luar ajaran Buddha yg memiliki tujuan yg sama luhurnya dng yg diajarkan Sang Buddha.

Utk yg ke-2, secara general jika saya lihat, sepanjang masih berpusat pada seputar usaha memahami dan melihat anicca, dukkha, anatta maka itu vipassana dan di situ persamaannya. Sedangkan perbedaannya tentu ada pada metode yg dikembangkan berdasar pemahaman dan pengalaman yg berbeda, ada yg mengatakan di mana sensasi dirasakan di situ diperhatikan, ada yg mengatakan meski sensasi terasa di 1 tempat tetapi kita tidak boleh meninggalkan objek yg sedang kita perhatikan momen itu, ada yg mengatakan jhana tidak diperlukan, ada yg mengatakan jhana diperlukan, dan ada yg mengatakan pengalaman lebih nyata dari tipitaka.

Utk ke-3, kata2 bisa saja beda tetapi sama dalam arti dan bisa juga beda dalam kata dan beda dalam arti. Tampaknya, utk yg di Indonesia, berbeda dalam kata dan berbeda dalam arti. Bahkan meskipun kata2nya sama.

Mettacittena
appamadena sampadetha