Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?

Started by dhammasiri, 11 November 2009, 09:29:47 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

tesla

Quote from: upasaka on 12 November 2009, 02:54:41 PM
Jika saya yang menjadi orang bijak, saya tidak akan menyuruhnya untuk mengubah kebiasaan itu. Karena kebiasaan bangun pagi itu baik. Apalagi orang itu sudah tidak dikungkung oleh takhayul.

Kembali ke pertanyaan saya kepada Anda...

Anda menyatakan bahwa ucapan Thera Pilindavaccha itu bertentangan dengan Samma Vaca. Sang Buddha mengetahui bahwa hal itu disebabkan karena Thera Pilindavaccha terbiasa mengucapkan hal itu selama 500 kehidupannya. Pertanyaan saya adalah: "Jika ucapan itu adalah kebiasaan yang tidak baik, kenapa Sang Buddha tidak menghimbau Thera Pilindavaccha agar meninggalkan kebiasaan itu?"
imo (setelah tau kisah ini dari bro Kainyn, thanks bro), samma vaca, ucapan benar bukan berarti ucapannya harus sesuai fakta. namun ucapan yg benar adalah ucapan yg tidak didasari oleh keserakahan, kebencian & kebodohan.

dan mengenai rumusan 1,2,4,atau 8, menurut pendapat saya itu adalah gaya mengajar saja.
di sutta byk sekali, gaya bahasa yg selalu digabungkan dengan suatu bilangan, entah 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,dst...
mungkin itu adalah gaya bahasa di zaman Buddha, apalagi sebelumnya Buddha adalah pangeran yg tentunya memiliki pengetahuan tentang satra di zaman itu.
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

K.K.

Quote from: tesla on 12 November 2009, 03:11:48 PM
imo (setelah tau kisah ini dari bro Kainyn, thanks bro), samma vaca, ucapan benar bukan berarti ucapannya harus sesuai fakta. namun ucapan yg benar adalah ucapan yg tidak didasari oleh keserakahan, kebencian & kebodohan.

dan mengenai rumusan 1,2,4,atau 8, menurut pendapat saya itu adalah gaya mengajar saja.
di sutta byk sekali, gaya bahasa yg selalu digabungkan dengan suatu bilangan, entah 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,dst...
mungkin itu adalah gaya bahasa di zaman Buddha, apalagi sebelumnya Buddha adalah pangeran yg tentunya memiliki pengetahuan tentang satra di zaman itu.

Ya, betul sekali. Samma Vaca menurut saya tidak bisa dideskripikan atau dibatasi dengan kriteria tertentu sebagaimana definisi Samma Vaca yang telah dirumuskan (tidak benar, tidak kasar, dsb), namun bergantung pada Samma Ditthi dan Samma Sankappa. 
Lalu jika semua kembali kepada Samma Ditthi, mengapa tidak JMB 1 atau JMB 2 saja? Rumusan tersebut hanyalah "panduan umum" yang memudahkan agar orang memerhatikan 8 aspek yang paling umum dalam kehidupan sehari-hari.
_/\_

Nevada

Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 03:01:54 PM
Karena Buddha berurusan dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Buddha tidak berurusan dengan etiket dan vasana (kebiasaan) seseorang.

Definisi Samma Vaca sangat relatif. Oleh karena itu bisa terjadi "miccha vaca" walaupun tidak ada miccha ditthi. Misalnya kasus Pilinda Vaccha. Sebaliknya bisa juga orang bersesuaian dengan "samma vaca" namun tidak sesuai dengan samma ditthi. Untuk ini, saya yakin Buddha akan menegurnya. (Contohnya seperti saya katakan sebelumnya, berbicara dhamma dengan bahasa baik-baik, namun niatnya adalah menyinggung orang lain dan didasarkan kebencian.)

Kredibilitas dari Samma Vaca bergantung pada niat. Selama kita masih memiliki cetana (niat), maka ucapan yang selaras dengan Samma Vaca adalah ucapan yang dilandasi tanpa niat buruk. Namun ketika seorang Arahanta berbicara, ia tidak lagi memiliki cetana (niat) yang baik maupun yang buruk. Yang ia ucapkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran ataupun kebiasaan. Bukan hanya kebiasaan "istilah" yang masih dipakai, tetapi seorang Arahanta juga masih memiliki kebiasaan dalam berdialek dan bertata-bahasa.

Ucapan dari Thera Pilindavacca mungkin tidak terlalu 'parah'. Dulu kita pernah berdiskusi mengenai kisah Thera Cakkhupala, seorang Arahanta yang tuna netra. Karena ia tidak bisa melihat, maka secara tidak sengaja ia menginjak dan mengakibatkan kematian banyak serangga. Kita juga bisa mempersoalkan perbuatan itu sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Samma Kammanta. Tapi Sang Buddha menjelaskan bahwa Thera Cakkhupala tidak berniat membunuh, dan secara implisit menjelaskan bahwa perbuatan itu tidak bertentangan dengan Samma Kammanta.

Wajar sekali apabila ucapan dari Thera Pilindavacca itu dicela. Di dunia ini semua orang tidak bisa menghindar dari celaan. Sang Buddha Gotama saja masih menerima cela dan kritikan dari banyak orang. Namun yang perlu kita pahami adalah: "Kenapa Sang Buddha tidak menghimbau Thera Pilindavacca untuk meninggalkan kebiasaan itu?"

Jawabannya adalah "Sang Buddha merasa tidak perlu menghimbau Thera Pilindavacca sehubungan dengan kebiasaan itu". Karena Sang Buddha paham bahwa Thera Pilindavacca hanya seorang Savaka Buddha, dan ia mengucapkan hal itu tanpa didasari dengan niat buruk. Dan perlu diketahui, bahwa hanya seorang Sammasambuddha yang bisa meninggalkan semua kebiasaan-kebiasaan yang pernah dilakukan-Nya.


Kualitas seorang Sammasambuddha ditinjau dari pencapaian Pencerahan, kebijaksanaan dan tugas yang sudah diselesaikan-Nya yaitu:

"Mencapai Pencerahan yang berupa Empat Pengetahuan Pandangan Cerah mengenai Jalan yang disertai kemahatahuan. Empat pengetahuan mengenai Jalan adalah pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia oleh diri sendiri (otodidak), tanpa bantuan guru, dan memiliki kekuatan untuk melenyapkan kotoran batin, juga kebiasaan-kebiasaan (vàsanà) dari kehidupan-kehidupan sebelumnya. Kemahatahuan adalah pemahaman atas semua prinsip yang perlu diketahui guna menjalani hidup dan mencapai Pembebasan."

K.K.

Quote from: upasaka on 12 November 2009, 03:25:41 PM
Kredibilitas dari Samma Vaca bergantung pada niat. Selama kita masih memiliki cetana (niat), maka ucapan yang selaras dengan Samma Vaca adalah ucapan yang dilandasi tanpa niat buruk. Namun ketika seorang Arahanta berbicara, ia tidak lagi memiliki cetana (niat) yang baik maupun yang buruk. Yang ia ucapkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran ataupun kebiasaan. Bukan hanya kebiasaan "istilah" yang masih dipakai, tetapi seorang Arahanta juga masih memiliki kebiasaan dalam berdialek dan bertata-bahasa.

Ucapan dari Thera Pilindavacca mungkin tidak terlalu 'parah'. Dulu kita pernah berdiskusi mengenai kisah Thera Cakkhupala, seorang Arahanta yang tuna netra. Karena ia tidak bisa melihat, maka secara tidak sengaja ia menginjak dan mengakibatkan kematian banyak serangga. Kita juga bisa mempersoalkan perbuatan itu sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Samma Kammanta. Tapi Sang Buddha menjelaskan bahwa Thera Cakkhupala tidak berniat membunuh, dan secara implisit menjelaskan bahwa perbuatan itu tidak bertentangan dengan Samma Kammanta.

Wajar sekali apabila ucapan dari Thera Pilindavacca itu dicela. Di dunia ini semua orang tidak bisa menghindar dari celaan. Sang Buddha Gotama saja masih menerima cela dan kritikan dari banyak orang. Namun yang perlu kita pahami adalah: "Kenapa Sang Buddha tidak menghimbau Thera Pilindavacca untuk meninggalkan kebiasaan itu?"

Jawabannya adalah "Sang Buddha merasa tidak perlu menghimbau Thera Pilindavacca sehubungan dengan kebiasaan itu". Karena Sang Buddha paham bahwa Thera Pilindavacca hanya seorang Savaka Buddha, dan ia mengucapkan hal itu tanpa didasari dengan niat buruk. Dan perlu diketahui, bahwa hanya seorang Sammasambuddha yang bisa meninggalkan semua kebiasaan-kebiasaan yang pernah dilakukan-Nya.


Kualitas seorang Sammasambuddha ditinjau dari pencapaian Pencerahan, kebijaksanaan dan tugas yang sudah diselesaikan-Nya yaitu:

"Mencapai Pencerahan yang berupa Empat Pengetahuan Pandangan Cerah mengenai Jalan yang disertai kemahatahuan. Empat pengetahuan mengenai Jalan adalah pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia oleh diri sendiri (otodidak), tanpa bantuan guru, dan memiliki kekuatan untuk melenyapkan kotoran batin, juga kebiasaan-kebiasaan (vàsanà) dari kehidupan-kehidupan sebelumnya. Kemahatahuan adalah pemahaman atas semua prinsip yang perlu diketahui guna menjalani hidup dan mencapai Pembebasan."

Jika definisi Samma Vaca adalah demikian, maka saya sangat setuju.

Arahat, tanpa niat jahat ataupun pikiran ternoda, masih bisa melakukan hal-hal yang dicela masyarakat. Hanya seorang Samma Sambuddha-lah yang sudah terbebas sepenuhnya dari kebiasaan-kebiasaan masa lampau, sehingga sempurna pengetahuan dan tindak-tanduknya, tidak tercela sama sekali.


Nevada

Quote from: Kainyn_KuthoJika definisi Samma Vaca adalah demikian, maka saya sangat setuju.

Arahat, tanpa niat jahat ataupun pikiran ternoda, masih bisa melakukan hal-hal yang dicela masyarakat. Hanya seorang Samma Sambuddha-lah yang sudah terbebas sepenuhnya dari kebiasaan-kebiasaan masa lampau, sehingga sempurna pengetahuan dan tindak-tanduknya, tidak tercela sama sekali.

Benar. Kurang-lebih memang seperti itu. :)

:backtotopic: sesuai judul thread ini.

adi lim

Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 02:55:22 PM
Quote from: gachapin on 12 November 2009, 02:29:48 PM
Konon sih yang menolong Bahiya itu Anagami teman seperjuangannya dulu.
Waktu dulu, ada 6 orang bertekad agar tercapai berhentinya dukkha.
Yang sukses mencapai kesucian ada 2, yang empat gak sukses. Nah yang empat orang ini di kehidupan yang lain berbuat tidak baik sama seorang perempuan, Akhirnya di jaman Sang Buddha mereka terlahir sesuai kamma masing-masing. Salah satunya Bahiya. Keempat orang ini akhirnya mangkat ditanduk Yakkhini yang menyamar jadi kerbau. Yakkhini ini adalah wanita yang dulu mati karena perbuatan empat orang itu.

Yang menarik adalah, ternyata Anagami bisa bertahan dari sasana Buddha sebelumnye ke sasana Buddha yang sekarang.

Koreksi sedikit. Di jaman Sangha Buddha Kassapa sudah korup, ada 7 orang memisahkan diri, memanjat suatu tebing dan bertekad tidak makan sebelum mencapai Arahatta. Yang tertua mencapai Arahatta, yang satu mencapai Anagami, yang 5 tidak mencapai apa pun. Anagami tersebut yang mengingatkan Bahiya di kehidupan terakhir bahwa ia belum mencapai Arahatta. 5 lainnya adalah Bahiya sendiri, Pukkusāti, Kumāra Kassapa, Dabba-Mallaputta, dan Sabhiya.

Sedangkan 4 orang yang membunuh seorang pelacur di masa lalu adalah Bahiya, Pukkusāti, Tambadathika, dan Suppabuddha. Mereka semua diseruduk sapi yang sama, yang adalah pelacur tersebut di masa lampau.


YA Bahiya mampu menempuh perjalanan sejauh itu dalam 1 malam, karena bantuan Makhluk Dewa Brahma yang sudah mencapai Anagami, sebelum kelahiran di jaman Buddha Gotama, YA Bahiya sudah punya tekad yang kuat bersama 6 teman menjalankan kehidupan petapa untuk menghindari Dukkha.
karena tekadnya dan 6 temannya maka ada 3 temannya gagal dan lahir menjadi siswa Buddha Gotama yaitu Bhikkhu Kumāra Kassapa, Bhikkhu Dabba-Mallaputta, dan Bhikkhu Sabhiya.

Sedangkan 4 orang yang membunuh seorang pelacur di masa lalu adalah Bahiya, Pukkusāti, Tambadathika, dan Suppabuddha. Mereka semua diseruduk sapi yang sama, yang adalah pelacur tersebut di masa lampau.
Dan kejadian diatas adalah kehidupan bukan pada jaman Buddha Kassapa.
Jaman Buddha Gotama, Pukkusati adalah Raja, Tambadathika adalah Algojo/Eksekutor dan Suppabuddha adalah pengemis yang kena penyakit kusta
cerita ini ada di Buku Komik Buddhis terbitan Ehipasiko
_/\_
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

gajeboh angek

Sayangnya referensi Oom Kainyn berasal dari kitab komentar, yang pasti lebih akurat daripada cerita komik.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Indra

Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 02:48:11 PM
Quote from: Indra on 12 November 2009, 02:14:38 PM
Bro Kainyin,
kata "Vasala" yang diucapkan oleh Pilindavaccha tidak disertai dengan rujukan waktu, jadi kalau memasukkan masa lampau dan masa depan, bisa saja apa yg diucapkan itu adalah samma vaca juga. we'll never know
Memasukkan masa lalu dan masa depan menurut saya kurang tepat. Dikatakan bahwa sangat susah menemukan orang yang dalam samsara ini belum pernah menjadi ibu kita. Dengan alasan ini, tepatkah kita memanggil semua orang dengan sebutan "ibu"?


saya mengenal seseorang yg memanggil MoM (=ibu) kepada semua orang atas alasan serupa, dan kebiasaannya ternyata diikuti oleh banyak orang.

K.K.

Quote from: Indra on 12 November 2009, 04:29:38 PM
saya mengenal seseorang yg memanggil MoM (=ibu) kepada semua orang atas alasan serupa, dan kebiasaannya ternyata diikuti oleh banyak orang.

Dengan alasan yang mirip pula umat Buddha tertentu melihat semua mahluk sebagai Calon-Buddha. Sepertinya ini pilihan, tidak benar, juga tidak keliru. Ada juga manfaatnya. Tapi kalau saya pribadi, walaupun tidak mengabaikan masa lalu dan masa depan, lebih berorientasi pada masa kini. Jadinya kurang cocok.

Adhitthana

Quote from: Indra on 12 November 2009, 04:29:38 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 02:48:11 PM
Quote from: Indra on 12 November 2009, 02:14:38 PM
Bro Kainyin,
kata "Vasala" yang diucapkan oleh Pilindavaccha tidak disertai dengan rujukan waktu, jadi kalau memasukkan masa lampau dan masa depan, bisa saja apa yg diucapkan itu adalah samma vaca juga. we'll never know
Memasukkan masa lalu dan masa depan menurut saya kurang tepat. Dikatakan bahwa sangat susah menemukan orang yang dalam samsara ini belum pernah menjadi ibu kita. Dengan alasan ini, tepatkah kita memanggil semua orang dengan sebutan "ibu"?


saya mengenal seseorang yg memanggil MoM (=ibu) kepada semua orang atas alasan serupa, dan kebiasaannya ternyata diikuti oleh banyak orang.
Gw tau yg dimaksud  ;D .....
tapi ada penjelasan lebih lanjut ..... dengan menganggap semua orang adalah mantan MoM (ibu)kita, maka selayaknya semua orang kita sayangi  ;) .......
tapi tetap gw gak mao panggil u .... MoM  :P
MoM, .... kok pake kumis  :hammer:  =))
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Jerry

appamadena sampadetha

nyanadhana

orang yang mencapai sotapanna juga bisa mundur ke tingkat putthujana.selama belum anagami.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one's own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

Indra

Quote from: nyanadhana on 19 November 2009, 10:36:33 AM
orang yang mencapai sotapanna juga bisa mundur ke tingkat putthujana.selama belum anagami.

ada referensinya bro, dalam sutta banyak disebutkan seorang sotapanna pasti mencapai Arahat dalam maksimal 7 kali kelahiran

nyanadhana

aku lupa kalo referensinya dimana...pernah baca sekilas mengenai hal itu.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one's own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

markosprawira

Quote from: Indra on 19 November 2009, 10:39:27 AM
Quote from: nyanadhana on 19 November 2009, 10:36:33 AM
orang yang mencapai sotapanna juga bisa mundur ke tingkat putthujana.selama belum anagami.

ada referensinya bro, dalam sutta banyak disebutkan seorang sotapanna pasti mencapai Arahat dalam maksimal 7 kali kelahiran

tapi jangan diartikan bhw kalo udah mencapai sotapanna, lalu jadi mundur ke putthujhana lagi...