Forum Dhammacitta

Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi => Mahayana => Topic started by: GandalfTheElder on 01 November 2008, 03:18:41 PM

Title: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 01 November 2008, 03:18:41 PM
Tahukah anda bahwa kritikan tajam dan argumen yang diajukan oleh beberapa umat Buddhis sekte "T" pada Mahayana di zaman modern ini sebenarnya hanyalah mengulang sejarah masa lampau?

Kaum Hinayana di India pada masa lampu telah mengatakan bahwa Mahayana bukanlah ajaran Sang Buddha. Tetapi seperti yang pernah saya katakan beberapa waktu yang lalu, argumen kaum Hinayana tersebut disanggah dengan piawai oleh pendiri Svatantrika Madhyamika, yaitu YA Bhavaviveka (500–578 M), yang juga dikenal sebagai emanasi Amitabha Buddha.

Dalam bab keempat Tarkajvala, Bhavaviveka mengumpulkan argumen kaum Hinayana yang menyatakan bahwa Mahayana bukanlah berasal dari sabda Sang Buddha. Argumen kaum Hinayana yang dirangkum oleh Bhavaviveka adalah sebagai berikut:

1. Sutra-sutra Mahayana tidak termasuk dalam penulisan Tripitaka mula-mula
2. Karena Mahayana mengajarkan bahwa Tathagata itu abadi, maka bertentang dengan doktrin anitya [ketidakkekalan]
3. Karena Mahayana mengajarkan Tathagatagarbha itu mencakup semuanya, maka Mahayana tidak menanggalkan konsep atman
4. Karena Mahayana mengajarkan bahwa sang Buddha tidak mencapai Nirvana, maka ini menunjukkan bahwa Nirvana itu tidaklah damai
5. Sutra-sutra Mahayana mencakup ramalan di mana para Sravaka akan menjadi Buddha
6. Mahayana merendahkan Arhat
7. Mahayana memuja para Bodhisattva di atas Buddha
8. Mahayana menyimpangkan ajaran dengan mengatakan bahwa Sakyamuni adalah emanasi
9. Mahayana mengajarkan bahwa tindakan tidak membawa akibat

"Maka dari itu Sang Tathagata tidak mendirikan Mahayana; Mahayana dibuat oleh mereka yang bersifat iblis dengan tujuan untuk menipu mereka yang bodoh dan berpikiran buruk.", demikian klaim para Hinayana.

YA Bhavaviveka pun tidak tinggal diam. Bhavaviveka menyanggah segala klaim Hinayana tersebut sebagai sesuatu yang keliru.

Bhavaviveka berkata bahwa Hinayana dan Mahayana mempunyai persamaan pokok, di aman persamaan ini merupakan dasar ajaran Sang Buddha:
1. Empat Kebenaran Mulia
2. Marga [Delapan Ruas Jalan Mulia]
3. 37 Bodhipaksha Dharma
4. Kekuatan [bala] dari Buddha sama baik di Hinayana maupun Mahayana

Bhavaviveka juga berkata bahwa di kalangan Hinayana tersendiri, terjadi kontroversi akan keaslian Tripitaka.

Apabila kita lihat, argumen Bhavaviveka tersebut sangat masuk akal, mengingat karena:
1. Theravada dengan Dipavamsanya mengatakan bahwa Theravada adalah yang paling murni dan asli
2. Sarvastivada dengan Mahavibhasa mengatakan bahwa Sarvastivada adalah yang paling murni dan asli
3. Mahasanghika dengan Sariputrapariprccha mengatakan bahwa Mahasanghika adalah yang paling murni dan asli

Nah kalau begitu mana yang benar-benar murni / asli? Melihat bahwa ke-18 sekte saling ngotot-ngototan untuk membuktikan diri merekalah yang paling asli.

Lebih lanjut Bhavaviveka dalam Tarkajvala juga menyanggah klaim Hinayana dengan ofensif, yaitu dengan mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka], tetapi untuk para Bodhisattva. Wajar saja kalau Hinayana tidak tahu.

Sebagai klimaks Bhavaviveka mengutip Simsapavana Sutra:
"Ananda, Dharma yang kumengerti tetapi tidak kuajarkan padamu lebih banyak daripada dedaunan di hutan pohon simsapa ini."

Di sana jelas bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan semua Dharma pada kaum Sravaka. Yang tidak diajarkan pada kaum Sravaka itu, diajarkan sang Buddha pada para Bodhisattva.

Kisah hutan Simsapa ini juga disebutkan dalam Mahaparinirvana Sutra:

Kasyapa berkata pada sang Buddha: "O Bhagava! Ketika Sang Buddha berada di tepi sungai Gangga, di hutan Simsapavana, Pada waktu itu, sang Tathagata mengambil satu dahan pohon simsapa yang kecil dengan beberapa daun di batang tersebut dan berkata pada para bhiksu:
"Apakah daun yang berada di dalam genggaman tangan-Ku banyak atau semua daun dari rerumputan dan pepohonan di seluruh hutan banyak?"
Semua bhiksu menjawab: "O Bhagava! Dedaunan dari rerumputan dan pepohonan dari seluruh hutan sangat banyak dan tidak dapat dihitiung. Apa yang Tathagata pegang di tangan-Nya sangat sedikit dan tidak berharga untuk disebutkan."
"O para bhiksu! Pengetahuan yang aku ketahui adalah seperti dedaunan dari rerumputan dan pepohonan di muka bumi; apa yang Aku berikan pada semua makhluk bagaikan daun dalam genggaman tangan-Ku."
Sang Bhagava kemudian berkata: Hal-hal yang tidak terbatas yang diketahui oleh Tathagata adalah merupakan ajaran-Ku apabila mereka mencakup Empat Kebenaran Mulia. Jika tidak, maka akan ada 5 Kebenaran."
...........
Bodhisattva Kasyapa berkata pada Buddha: "Jika semua hal tersebut berada dalam Empat kebenaran Mulia, mengapa Anda mengatakan bahwa mereka belum dibabarkan?"
Sang Buddha menjawab: "O pria yang berbudi! Meskipun mereka berada di dalam Empat kebenaran Mulia, kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka telah dibabarkan. Mengapa tidak? O pria yang berbudi! Ada 2 macam kebijaksanaan berkaitan dengan pengetahuan Kebenaran Mulia. Yang pertama adalah tingkat menengah dan yang lainnya adalah tingkat superior. Apa yang dinamakan sebagai kebijaksanaan tingkat menengah adalah para Sravaka dan Pratyekabuddha; apa yang dimaksud sebagai tingkat superior adalah para Buddha dan Bodhisattva.
..........
"O pria yang berbudi! Semua fenomena adalah tidak kekal, semua fenomena yang terbentuk tidak mempunyai Diri. Nirvana adalah shunya. Ini adalah "Paramartha-satya". Inilah yang harus kita ketahui. Ini adalah kebijaksanaan tingkat menengah. "Paramartha-satya", harus kita ketahui, adalah tidak terbatas, tidak terikat dan tidak dapat dihitung. Itu berada di luar jangkauan pemahaman Sravaka dan Pratyekabuddha. Ini adalah kebijaksanaan tingkat superior. Aku belum pernah membabarkan hal tersebut dalam sutra-sutra."

Jadi berdasarkan kutipan di atas bahwa ada sesuatu yang tidak diajarkan Sang Buddha dalam sutra-sutra Hinayana, karena para Sravaka dan Pratyekabuddha tidak dapat memahami kebijaksanaan tingkat superior.

Yang dapat memahami kebijaksanaan tingkat superior adalah Buddha dan Bodhisattva. Maka dari itu Sang Buddha membabarkan tentang kebijaksanaan tingkat superior pada para Bodhisattva dan ini tercantum dalam Sutra-sutra Mahayana.

Lantas dengan demikian apakah ini berarti Mahayana merendahkan Hinayana?

Dalam Saddharmapundarika Sutra disebutkan:

"Seorang Bodhisattva ... tidak memandang para Buddhis lainnya dengan jijik, bahkan mereka yang mengikuti jalan Hinayana juga tidak [dipandang demikian], [para Bodhisattva] juga tidak menyebabkan kaum Hinayana ragu dan menyesal dengan mengkritik metode pelatihan mereka maupun membuat pernyataan yang mengecilkan hati."

Bahkan di kalangan Vajrayana dikenal ikrar Bodhisattva, di mana seseorang berikrar untuk tidak merendahkan Hinayana.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 01 November 2008, 08:11:37 PM
Quote1. Sutra-sutra Mahayana tidak termasuk dalam penulisan Tripitaka mula-mula
2. Karena Mahayana mengajarkan bahwa Tathagata itu abadi, maka bertentang dengan doktrin anitya [ketidakkekalan]
3. Karena Mahayana mengajarkan Tathagatagarbha itu mencakup semuanya, maka Mahayana tidak menanggalkan konsep atman
4. Karena Mahayana mengajarkan bahwa sang Buddha tidak mencapai Nirvana, maka ini menunjukkan bahwa Nirvana itu tidaklah damai
5. Sutra-sutra Mahayana mencakup ramalan di mana para Sravaka akan menjadi Buddha
6. Mahayana merendahkan Arhat
7. Mahayana memuja para Bodhisattva di atas Buddha
8. Mahayana menyimpangkan ajaran dengan mengatakan bahwa Sakyamuni adalah emanasi
9. Mahayana mengajarkan bahwa tindakan tidak membawa akibat

mohon dijawab oleh pihak Mahayana yg PRO...

dan jangan pake pemikiran sendiri...(lirik Chingik)

tapi pake teori yg disetujui oleh MAJORITY MAHAYANA (lirik Chingik)
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 01 November 2008, 10:38:27 PM
lha semua hal yang menyatakan bahwa MAHAYANA diperuntukkan untuk Bodhisatva kan hanya dari SUTRA MAHAYANA saja. Artinya ya KITAB MAHAYANA hanya melegitimasi pernyataan BUDDHA bahwa DARI SEKIAN BANYAK DHARMA YANG DIPAHAMI OLEH BUDDHA, TETAPI HANYA IBARAT SEGENGAM DAUN yang diajarkan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 02 November 2008, 01:22:55 AM
Sdr. GandalfTheElder,
Ajaran Mahayana memang luar biasa seperti yang pernah kuketahui, kupahami dan kupraktikkan. Namun dengan mengakui ajaran Mahayana adalah superior, seseorang yang mempraktikkan jalan Mahayana sebaiknya tidak melupakan ajaran dalam Tipitaka para Sravaka dan Pratyekabuddha. Dengan membaca semua sutra yang ada, seseorang akhirnya mendapatkan landasan pengetahuan yang baik untuk praktiknya.

Sebaliknya, jika seseorang memenutup mata adanya sutra2 dalam tradisi lain dan menolak untuk mempelajari, meskipun pada kasus tertentu tidak ada masalah serius, namun pada kasus lain menyebabkan seseorang kurang luas pengetahuannya. Kurangnya pengetahuan, akan menyebabkan orang tersebut mudah terjebak dalam paham-paham yang menyimpang.

Apa yang kupelajari selama ini adalah, ajaran dalam theravada dan mahayana dapat saling melengkapi satu sama lain. Bahkan sangat membantu sekali bagi seorang penganut Mahayanis untuk mempelajari Tipitaka Pali untuk melengkapi pemahamannya terhadap sutra2 Mahayana yang lebih kompleks.



Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 02 November 2008, 08:12:04 AM
Quote from: dilbert on 01 November 2008, 10:38:27 PM
lha semua hal yang menyatakan bahwa MAHAYANA diperuntukkan untuk Bodhisatva kan hanya dari SUTRA MAHAYANA saja. Artinya ya KITAB MAHAYANA hanya melegitimasi pernyataan BUDDHA bahwa DARI SEKIAN BANYAK DHARMA YANG DIPAHAMI OLEH BUDDHA, TETAPI HANYA IBARAT SEGENGAM DAUN yang diajarkan.

Nah kalau saya balik gimana:

Hanya Sutra-sutra Shravakayana saja yang tidak menyebutkan tentang Mahayana.

Hanya Sutra-sutra Shravakayana saja yang meyakini bahwa Arhat (Sravaka Buddha) adalah sebuah tingkat pencerahan yang sama dengan Samyaksambuddha.

Karena ini board Mahayana, maka adalah suatu hal yang wajar apabila kita melihatnya dari sudut pandang Mahayana.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 02 November 2008, 08:34:36 AM
Quote from: sobat-dharma on 02 November 2008, 01:22:55 AM
Sdr. GandalfTheElder,
Ajaran Mahayana memang luar biasa seperti yang pernah kuketahui, kupahami dan kupraktikkan. Namun dengan mengakui ajaran Mahayana adalah superior, seseorang yang mempraktikkan jalan Mahayana sebaiknya tidak melupakan ajaran dalam Tipitaka para Sravaka dan Pratyekabuddha. Dengan membaca semua sutra yang ada, seseorang akhirnya mendapatkan landasan pengetahuan yang baik untuk praktiknya.

Sebaliknya, jika seseorang memenutup mata adanya sutra2 dalam tradisi lain dan menolak untuk mempelajari, meskipun pada kasus tertentu tidak ada masalah serius, namun pada kasus lain menyebabkan seseorang kurang luas pengetahuannya. Kurangnya pengetahuan, akan menyebabkan orang tersebut mudah terjebak dalam paham-paham yang menyimpang.

Apa yang kupelajari selama ini adalah, ajaran dalam theravada dan mahayana dapat saling melengkapi satu sama lain. Bahkan sangat membantu sekali bagi seorang penganut Mahayanis untuk mempelajari Tipitaka Pali untuk melengkapi pemahamannya terhadap sutra2 Mahayana yang lebih kompleks.

Yap. Saya setuju sepenuhnya dengan pernyataan anda.

Namun dengan mengakui ajaran Mahayana adalah superior, seseorang yang mempraktikkan jalan Mahayana sebaiknya tidak melupakan ajaran dalam Tipitaka para Sravaka dan Pratyekabuddha.

:jempol:

Dalam Ratnagunasamcaya Gatha disebutkan:

"Seperti para Bodhisattva bijak yang menjadi mahir di mana-mana. Di dalam pemahaman dan pencerahan para Sravaka dan Pratyekabuddha."
............
"Dalam kualitas para Shravaka [Arhat] dan para Pratyekabuddha
Bodhisattva yang bijaksana berlatih [di dalam kualitas tersebut]"

"Karena dalam enam paramita, semua Dharma termasuk, semua Dharma Shravaka, semua Dharma Pratyekabuddha dan semua Dharma Bodhisattva."
(Astadasasahasrika Prajnaparamita Sutra)

"Dan jika seorang Bodhisattva tidak dapat merealisasikan tingkatan Shravaka atau Pratyekabuddha, bagaimana bisa ia mengetahui Samyaksambodhi!"
(Astadasasahasrika Prajnaparamita Sutra)

"Sang Bodhisattva Mahasattva harus memperlihatkan dan memahami semua jalan. Jalan Shravaka dan Pratyekabuddha dan juga para Bodhisattva – jalan-jalan ini harus dipenuhi dan melalui merekalah harus diselesaikan apa yang harus diselesaikan pada mereka."
(Astadasasahasrika Prajnaparamita Sutra)

Bahkan, Shravakayana dan Pratyekabuddhayana sebenarnya juga berada dalam ruang lingkup keluarga Mahayana:

"Para Sravaka, Pratyeka Buddha dan Buddha yang berbeda-beda akan datang dari Prajnaparamita, Manjusri! Seperti bumi, air, api, angin dan kekosongan membentuk suatu material dan alam semesta yang dapat terlihat, maka Mahayana dan Prajnaparamita membentuk material dari sebuah sistem di mana tiga tingkatan yang berbeda yaitu Sravaka, Pratyeka-Buddha dan Buddha memberikan ajaran."
(Manjusripariprccha Sutra)

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 02 November 2008, 09:55:52 AM
Kalau melihat pada thread TS, maka bhavaviveka tidak memberikan argumentasi yang "KUAT" tentang klaim Mahayana menyimpang dari konsep utama BUDDHIS yaitu Anatta. Alih alih hanya memberikan pernyataan retorika tentang ADANYA DHARMA DILUAR DAUN GENGGAMAN TANGAN BUDDHA.
Karena memang kalau dianalisa secara konsistensi, maka banyak ajaran MAHAYANA yang di-tafsirkan secara berlawanan dengan beberapa konsep utama BUDDHIS terutama Anatta, nibbana dsbnya.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 02 November 2008, 03:39:13 PM
wah..

yg gw tanya itu gk ada yg bisa jawab?...

si..Bhavaviveka jawapanne gk memuaskan...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 02 November 2008, 06:12:28 PM

Bro, mo tanya donk, ada beberapa istilah yang gw kaga tau nih;
Tathagatagarbha,Tathagata..
Dan beberapa point yang gw juga kaga ngarti..;
2. Karena Mahayana mengajarkan bahwa Tathagata itu abadi, maka bertentang dengan doktrin anitya [ketidakkekalan]
3. Karena Mahayana mengajarkan Tathagatagarbha itu mencakup semuanya, maka Mahayana tidak menanggalkan konsep atman
4. Karena Mahayana mengajarkan bahwa sang Buddha tidak mencapai Nirvana, maka ini menunjukkan bahwa Nirvana itu tidaklah damai
7. Mahayana memuja para Bodhisattva di atas Buddha
8. Mahayana menyimpangkan ajaran dengan mengatakan bahwa Sakyamuni adalah emanasi
9. Mahayana mengajarkan bahwa tindakan tidak membawa akibat
Bisa tolong diperjelas mksd dan alasannya?
Untuk point2 lain yang gw kaga sebutin, mnrt gw, ajaran Mahayana yang gw dpt tidak menggambarkan seperti itu, mungkin bisa sekalian dijelaskan bro?
Thx be4....
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 02 November 2008, 06:34:26 PM
Haha.... sebenarnya saya sudah ada jawabannya...

Tapi karena saya juga mengutip dari sutra-sutra berbahasa Inggris, maka saya butuh waktu untuk menerjemahkannya. Apalagi poin yang akan dibahas cukup banyak.

Saya ada tugas kuliah yang harus diselesaikan terlebih dahulu....

Apalagi beberapa hari ini saya menyiapkan postingan yang begitu banyak, jadi skrg saya ingin fokus kerja tugas dulu yak....

Bagi saya Bhavaviveka jawabannya sangat memuaskan, karena sebenarnya dia punya maksud tertentu....

Saya pending dulu ya.... Harap sabar....

Mungkin bro.chingik juga bisa bantu jelasin?

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Johsun on 02 November 2008, 07:13:28 PM
2. Karena Mahayana mengajarkan bahwa Tathagata itu abadi, maka bertentang dengan doktrin anitya [ketidakkekalan]

heran juga kalau tidak ada sesuatu apapun yang abadi!!!
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 02 November 2008, 07:53:14 PM
 [at] gandalf

kalo gitu tunggu ajah deh...huahua
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 03 November 2008, 08:13:16 AM
 _/\_ Aku kurang tahu apa yang terjadi pada pemahaman Buddhist pada masa lampau ataupun masa kini karena ketika Sang Buddha parinibbana,semua mulai lupa akan Jalan yang diajarkan oleh Guru Agung.Masa lampau ,masa kini dan mungkin akan datang,orang-orang hanya mempeributkan rasa jeruk,melihat dan menimang kulit jeruk tanpa menyentuh dan memakan jeruk...apakah perjalanan seorang Guru Agung hanya dibentuk dengan omong-omong...think about it.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 03 November 2008, 11:45:21 AM
 [at] atas

gmana kita makan jeruk kalo kita gk tao cara bedain jeruk dan buah laen?

kalo kemakan apel dan kita kira jeruk..khan gawat..

tul gk?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 03 November 2008, 04:48:11 PM
Nah sekarang apel mengklaim dirinya sama dengan jeruk sedangkan jeruk mengklaim dirinya lebih manis dari jeruk lain.
Apakah yang bisa membedakan dan membuat kamu yakin akan jalan kamu adalah batin kamu. kalo kamu merasa ragu akan jalan yang ditempuh sedangkan jalan yang lain membuat kamu mantap dan mengerti esensi Dhamma.maka jalani namun ketika dalam perjalanan ternyata kurang sesuai maka coba lihat dari arah/persepsi yang lain,apakah jalan anda membawa anda pada bijaksana atau bajaksini(pirated teaching).
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dark_angel on 03 November 2008, 04:53:52 PM
[at] atas & atasnya lg (el Sol)

aku mendukung mu, he5
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 03 November 2008, 05:06:06 PM
Aku lebih suka melihat bahwa Mahayana adalah mereka yang tidak bisa ikut dalam konsili Pertama dikarenakan bukan Arahat dan dari sana mereka membuat konsili tersendiri untuk mengatakan bahwa Arahat rendahan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 03 November 2008, 05:42:15 PM
Quote from: nyanadhana on 03 November 2008, 04:48:11 PM
Nah sekarang apel mengklaim dirinya sama dengan jeruk sedangkan jeruk mengklaim dirinya lebih manis dari jeruk lain.
Apakah yang bisa membedakan dan membuat kamu yakin akan jalan kamu adalah batin kamu. kalo kamu merasa ragu akan jalan yang ditempuh sedangkan jalan yang lain membuat kamu mantap dan mengerti esensi Dhamma.maka jalani namun ketika dalam perjalanan ternyata kurang sesuai maka coba lihat dari arah/persepsi yang lain,apakah jalan anda membawa anda pada bijaksana atau bajaksini(pirated teaching).

ini pernyataan RETORIKA... tidak menjawab pertanyaan rekan rekan di THREAD ini.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 03 November 2008, 06:19:09 PM
Quote from: nyanadhana on 03 November 2008, 04:48:11 PM
Nah sekarang apel mengklaim dirinya sama dengan jeruk sedangkan jeruk mengklaim dirinya lebih manis dari jeruk lain.
Apakah yang bisa membedakan dan membuat kamu yakin akan jalan kamu adalah batin kamu. kalo kamu merasa ragu akan jalan yang ditempuh sedangkan jalan yang lain membuat kamu mantap dan mengerti esensi Dhamma.maka jalani namun ketika dalam perjalanan ternyata kurang sesuai maka coba lihat dari arah/persepsi yang lain,apakah jalan anda membawa anda pada bijaksana atau bajaksini(pirated teaching).

gw rasa cara membedakan emank melalui batin..tergantung persepsi dll...tapi apakah batin kita yg kotor ini bisa dipercaya?..lolz..

masalahne skarang, gk ada yg tao pasti jeruk itu rasane gmana...

kecuali para Arahat...

dan yg aku liat...para oknum2 yg mengaku Arahat, ato di Arahatkan oleh umat2nya...mengajarkan Anicca, Anatta dan Dukkha...

dan ini sepaham dengan ajaran2 + teori2 dari Theravada..

sedangkan Mahayana, yesh di sisi laen mengajarkan ke-3 itu juga..tapi banyak konsep2 mereka(especially) Boddhisatva2 itu terkesan kekal...bahkan ada ROH!...contohnya Guan Yu yg bisa belajar Dhamma dalam fisik bukan manusia..I assume that as ROH!..

well just assumption..karena dari penjelasan para Mahayanist, si Guan Yu emank bisa jadi Dhammapala SETELAH BELIAU MENINGGAL DUNIA...



Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 03 November 2008, 06:20:06 PM
Quote from: dilbert on 03 November 2008, 05:42:15 PM
Quote from: nyanadhana on 03 November 2008, 04:48:11 PM
Nah sekarang apel mengklaim dirinya sama dengan jeruk sedangkan jeruk mengklaim dirinya lebih manis dari jeruk lain.
Apakah yang bisa membedakan dan membuat kamu yakin akan jalan kamu adalah batin kamu. kalo kamu merasa ragu akan jalan yang ditempuh sedangkan jalan yang lain membuat kamu mantap dan mengerti esensi Dhamma.maka jalani namun ketika dalam perjalanan ternyata kurang sesuai maka coba lihat dari arah/persepsi yang lain,apakah jalan anda membawa anda pada bijaksana atau bajaksini(pirated teaching).

ini pernyataan RETORIKA... tidak menjawab pertanyaan rekan rekan di THREAD ini.
retorika?..apaan tuh?..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 03 November 2008, 09:39:27 PM
Quote from: El Sol on 03 November 2008, 06:19:09 PM
sedangkan Mahayana, yesh di sisi laen mengajarkan ke-3 itu juga..tapi banyak konsep2 mereka(especially) Boddhisatva2 itu terkesan kekal...bahkan ada ROH!...contohnya Guan Yu yg bisa belajar Dhamma dalam fisik bukan manusia..I assume that as ROH!..

well just assumption..karena dari penjelasan para Mahayanist, si Guan Yu emank bisa jadi Dhammapala SETELAH BELIAU MENINGGAL DUNIA...

Ralat nih....

"Roh" Guan Yu yang dimaksud di sini bukan Atman [Atta].

"Roh" yang dimakud di sini adalah makhluk dari alam preta.

Seperti dikatakan oleh Master Hsuan Hua dalam komentarnya pada Shurangama Sutra:

"Beberapa hantu memiliki hati yang baik dan bertindak sebagai para Pelindung Dharma. Guan Di Gong adalah salah satu contohnya. Ia adalah hantu yang kuat dan agung. Jenis hantu ini melindungi dan menyokong Triratna. Mereka dapat menggunakan spiritual mereka untuk menuju ke kekosongan"

"Ada puluhan ribu jenis hantu. Guan Di Gong di Tiongkok adalah salah satu contoh dari seorang hantu yang kaya raya. Namun setelah ia berlindung di dalam Buddha, maka ia dikenal sebagai Bodhisattva Sangharama, seorang Pelindung Dharma."

Jadi ketika Guan Yu meninggal, Beliau terlahir kembali di alam preta, di mana dikisahkan bahwa Beliau mencari-cari kepalanya yang hilang.

Setelah bertemu dengan Sang Bhiksu, Beliau menjadi Pelindung Dharma dan mendapat Trisarana. Beliau tersadarkan dan banyak berbuat bajik sehingga terlahir kembali di alam Deva, sebagai Pelindung Dharma juga.

Kisah makhluk alam preta yang terlahir kembali di alam deva oleh karena pelimpahan jasa dan sebab-sebab lainnya dapat kita lihat di kitab-kitab Tipitaka maupun Tripitaka.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 03 November 2008, 09:45:47 PM
Quote from: nyanadhana on 03 November 2008, 05:06:06 PM
Aku lebih suka melihat bahwa Mahayana adalah mereka yang tidak bisa ikut dalam konsili Pertama dikarenakan bukan Arahat dan dari sana mereka membuat konsili tersendiri untuk mengatakan bahwa Arahat rendahan.


Tidak bisa atau tidak mau?

La ..... Arahat Purana aja kagak mau ikutan Konsili Pertama....

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 03 November 2008, 11:21:49 PM
Quote from: GandalfTheElder on 03 November 2008, 09:39:27 PM
Quote from: El Sol on 03 November 2008, 06:19:09 PM
sedangkan Mahayana, yesh di sisi laen mengajarkan ke-3 itu juga..tapi banyak konsep2 mereka(especially) Boddhisatva2 itu terkesan kekal...bahkan ada ROH!...contohnya Guan Yu yg bisa belajar Dhamma dalam fisik bukan manusia..I assume that as ROH!..

well just assumption..karena dari penjelasan para Mahayanist, si Guan Yu emank bisa jadi Dhammapala SETELAH BELIAU MENINGGAL DUNIA...

Ralat nih....

"Roh" Guan Yu yang dimaksud di sini bukan Atman [Atta].

"Roh" yang dimakud di sini adalah makhluk dari alam preta.

Seperti dikatakan oleh Master Hsuan Hua dalam komentarnya pada Shurangama Sutra:

"Beberapa hantu memiliki hati yang baik dan bertindak sebagai para Pelindung Dharma. Guan Di Gong adalah salah satu contohnya. Ia adalah hantu yang kuat dan agung. Jenis hantu ini melindungi dan menyokong Triratna. Mereka dapat menggunakan spiritual mereka untuk menuju ke kekosongan"

"Ada puluhan ribu jenis hantu. Guan Di Gong di Tiongkok adalah salah satu contoh dari seorang hantu yang kaya raya. Namun setelah ia berlindung di dalam Buddha, maka ia dikenal sebagai Bodhisattva Sangharama, seorang Pelindung Dharma."

Jadi ketika Guan Yu meninggal, Beliau terlahir kembali di alam preta, di mana dikisahkan bahwa Beliau mencari-cari kepalanya yang hilang.

Setelah bertemu dengan Sang Bhiksu, Beliau menjadi Pelindung Dharma dan mendapat Trisarana. Beliau tersadarkan dan banyak berbuat bajik sehingga terlahir kembali di alam Deva, sebagai Pelindung Dharma juga.

Kisah makhluk alam preta yang terlahir kembali di alam deva oleh karena pelimpahan jasa dan sebab-sebab lainnya dapat kita lihat di kitab-kitab Tipitaka maupun Tripitaka.

_/\_
The Siddha Wanderer

gk make sense juga...

sang Buddha pernah bilank kalo di alam peta itu sengsara sekale...

tidak mungkin makhluk peta bisa belajar Dhamma, apalage jadi KAYA...

lagepula, guan gong itu khan membunuh sangat2 banyak manusia...

nah...

dalam waktu yg cukup pendek...dari zaman sam kok sampe zaman dia dijadikan Dhammapala..dia dari peta jadi deva?..

kamma buruk dia cepet banget yak ilangne...-_-"

kalo gitu gw rasa setiap MANUSIA YG BERBAKTI DI VIHARA, YG MEMBABAR DHAMMA, waktu meninggal pasti jadi Deva donk?...soale gampang banget jadi Deva dari ceritanya guan gong itu...

gk make sense..


oh iyah gw mao tanya, Avalokhitesvara dan Majusri itu makhluk apa? deva? asuhra? peta?...soale kononnya khan mereka bisa ngabulin permintaan orang2 yg meminta...berarti berbadan halus donk...kayak versi ROH taoism...no?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 03 November 2008, 11:28:58 PM
Quote from: GandalfTheElder on 03 November 2008, 09:45:47 PM
Quote from: nyanadhana on 03 November 2008, 05:06:06 PM
Aku lebih suka melihat bahwa Mahayana adalah mereka yang tidak bisa ikut dalam konsili Pertama dikarenakan bukan Arahat dan dari sana mereka membuat konsili tersendiri untuk mengatakan bahwa Arahat rendahan.


Tidak bisa atau tidak mau?

La ..... Arahat Purana aja kagak mau ikutan Konsili Pertama....

_/\_
The Siddha Wanderer

dalam Mahayana gk ada Bhikkhu yg bisa sampe tahap Arahat...karena mereka gk mao jadi Arahat...(dalam Mahayana tidak ada BUDDHA, ARAHAT = SAVAKA BUDDHA)

make sense ajah yg dibilank ama Nyanadhana tentang Mahayanist bukan arahat jadi tidak bisa ikut konsili pertamax..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 03 November 2008, 11:31:02 PM
Quote from: dark_angel on 03 November 2008, 04:53:52 PM
[at] atas & atasnya lg (el Sol)

aku mendukung mu, he5
GRP 1 deh karena dah mendukung aye~~ huahuahuahua...

zaman gini masih ada aja yg nge-fans gw..huahua
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 04 November 2008, 12:33:13 AM
Quote from: El Sol on 03 November 2008, 06:19:09 PM

gw rasa cara membedakan emank melalui batin..tergantung persepsi dll...tapi apakah batin kita yg kotor ini bisa dipercaya?..lolz..

masalahne skarang, gk ada yg tao pasti jeruk itu rasane gmana...

kecuali para Arahat...


Kamu yakin arahat itu ada?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 04 November 2008, 12:34:02 AM
Quote from: sobat-dharma on 04 November 2008, 12:33:13 AM
Quote from: El Sol on 03 November 2008, 06:19:09 PM

gw rasa cara membedakan emank melalui batin..tergantung persepsi dll...tapi apakah batin kita yg kotor ini bisa dipercaya?..lolz..

masalahne skarang, gk ada yg tao pasti jeruk itu rasane gmana...

kecuali para Arahat...


Kamu yakin arahat itu ada?
kenapa tidak?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 04 November 2008, 12:43:08 AM
Bagaimana kita tahu kalau seseorang disebut arahat atau bukan? Bagaimana bisa dalam Konsili I seseorang dapat dikenali sebagai arahat atau hanya mengaku arahat? Pertanyaannya adalah bagaimana seorang arahat mengenal arahat yang lain? Bukankah "arahat" hanyalah sebutan? Bukankah Buddha sendiri melarang setiap Bhikkhu untuk menyebutkan pada orang lain tingkatan yang dicapainya? Kalaupun ada yang namanya arahat, maka seharusnya ia adalah pencapaian internal (inner) yang tidak tampak dari luar? Lalu ukuran objektif apa yang digunakan untuk mengklasifikasikan seseorang si itu arahat, si ini bukan arahat?

Maaf, mungkin pertanyaan-pertanyaan di atas mencermin ketidaktahuan saya  :P. Tapi jika ada yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan, saya akan sangat berterimakasih  ^:)^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 04 November 2008, 02:31:14 AM
Sol, gw pernah baca di beberapa sutra (versi mahayana), bahkan beribu2 makhluk peta, asura, naga, sampai dewa maupun bodhisatva lainnya, pernah berikrar untuk melindungi pencari dhamma...Gw kurang inget detilnya, tpi sepertinya di prajna paramitta deh....

Kalo soal karma, mnrt gw, pemikiran mahayana dan theravada di sini sama, kita orang awam tidak bisa menjelaskan secara detil bagaimana akumulasi karma bekerja...Mungkin aja, di kehidupan lampau, guan gong pernah berbuat baik, sehingga ada kesempatan bertemu dengan dhamma? We'll never know about it...

Bermain2 soal opini,(sedikit becanda, jgn di bawa terlalu serius) bukankah d sutta ada cerita orang yg semasa hidupnya banyak berbuat jahat, tapi pas mendengar ajaran SB langsung jd arhat?SB kan tidak menghilangkan karma buruk-nya, hanya mencerahkan dengan kebijaksanaan yang dimiliki...Dan wuzz...Jadilah Arhat...So, kemana tuh karma buruknya?Apalagi ini arhat udh pasti suci...Klo dibandingin, alam dewa mah blom ada apa2nya... ^-^ Cma beda tipis kondisinya sama kita yang di alam manusia... ;D
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 04 November 2008, 03:02:48 AM
Quoteoh iyah gw mao tanya, Avalokhitesvara dan Majusri itu makhluk apa? deva? asuhra? peta?...soale kononnya khan mereka bisa ngabulin permintaan orang2 yg meminta...berarti berbadan halus donk...kayak versi ROH taoism...no?

Khusus untuk ini, gw ada opini pribadi...Mnrt gw, Bodhisatva Agung tersebut bisa dilahirkan menjadi apa aja...Karena mereka berikrar, untuk mencerahkan semua makhluk...Dan menurut interpretasi pribadi gw sendiri, dalam sutra dikatakan bahwa makhluk peta, asura, naga, dewa dan dharmapala lainnya pernah ikut berikrar untuk membantu menjalankan ikrar Sang Bohisatva dalam menuntaskan ikrar-nya...Dan oleh sebab ikrar tersebut, Bodhisatva Agung memiliki jodoh yang sangat luas dan kuat dengan semua makhluk...Dan klo kaga salah, ada sutra yang menjelaskan berbagai bentuk emanisasi Avalokhitesvara dalam menolong makhluk...Setiap bentuk emanisasi, Avalo terlahir kembali sepenuhnya, tapi, ikatan karma dari Ikrar Agungnya tetap mengikuti bukan?

Dan hal ini tidak jauh berbeda seperti cerita sebelum SB menjadi Sidharta, telah terjadi kelahiran kembali yang tidak terhitung banyaknya, tetapi setiap kelahiran tersebut, Ikrar Agung pertapa Sumedha di depan Buddha Dipankara tetap mengikuti hingga akhirnya menjadi seorang SAng Buddha..

Ow iya, 2 postingan gw masiih sebatas opini, klo ada salah tolong dikoreksi yaah.....
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 04 November 2008, 06:29:08 AM
Quote from: El Sol on 03 November 2008, 11:28:58 PM
Quote from: GandalfTheElder on 03 November 2008, 09:45:47 PM
Quote from: nyanadhana on 03 November 2008, 05:06:06 PM
Aku lebih suka melihat bahwa Mahayana adalah mereka yang tidak bisa ikut dalam konsili Pertama dikarenakan bukan Arahat dan dari sana mereka membuat konsili tersendiri untuk mengatakan bahwa Arahat rendahan.


Tidak bisa atau tidak mau?

La ..... Arahat Purana aja kagak mau ikutan Konsili Pertama....

_/\_
The Siddha Wanderer

dalam Mahayana gk ada Bhikkhu yg bisa sampe tahap Arahat...karena mereka gk mao jadi Arahat...(dalam Mahayana tidak ada BUDDHA, ARAHAT = SAVAKA BUDDHA)

make sense ajah yg dibilank ama Nyanadhana tentang Mahayanist bukan arahat jadi tidak bisa ikut konsili pertamax..

Wah.... bro. Elsol kagak baca postingan saya ternyata....

Coba baca-baca lagi, saya sudah postingkan bahwa dalam Mahayana (sebagai reply pada bro. sobat dharma) para Bodhisattva juga menguasai tahap pencapaian Arhat dan Pratyekabuddha.

Bahkan dalam 10 tingkatan Bodhisattva yang disebutkan oleh Prajnaparamita Sutra (liat topik saya ttg 10 tingkatan Bodhisattva), Bodhisattva harus melalui tingkatan seorang Arhat....

Lagipula Arahat Purana tuh...... bukan Mahayanis lagi.....  ;D

Jadi alasan "tidak bisa" itu tidak tepat.

Apalagi Purana tuh seorang Arahat dan bukan Mahayanis, tapi nggak ikut Konsili lantaran nggak mau....... malah menetapkan tujuh peraturannya sendiri... beda sama Bhante Mahakasyapa. Kenapa ya?  ::)

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 04 November 2008, 08:20:11 AM
Quote from: El Sol on 03 November 2008, 11:21:49 PM

gk make sense juga...

sang Buddha pernah bilank kalo di alam peta itu sengsara sekale...

tidak mungkin makhluk peta bisa belajar Dhamma, apalage jadi KAYA...

lagepula, guan gong itu khan membunuh sangat2 banyak manusia...

nah...

dalam waktu yg cukup pendek...dari zaman sam kok sampe zaman dia dijadikan Dhammapala..dia dari peta jadi deva?..

kamma buruk dia cepet banget yak ilangne...-_-"

kalo gitu gw rasa setiap MANUSIA YG BERBAKTI DI VIHARA, YG MEMBABAR DHAMMA, waktu meninggal pasti jadi Deva donk?...soale gampang banget jadi Deva dari ceritanya guan gong itu...

gk make sense..

Bro. elsol.... bro. elsol.....

Bekerjanya karma tidak sesederhana itu, bukankah seharusnya anda sering mendengarnya (dari ceramah-ceramah dsb)?

Nah Angulimala itu terus gimana? Udah mbunuh 999 orang tuh.... tapi masih juga bisa jadi Arahat dalam waktu singkat setelah ia bertobat..... Ini kan karena timbunan karma baiknya sendiri pada masa lampu plus dia mau sadar akan kesalahannya.

Sudah baca Petavatthu?

Tuh coba lihat bagian Nandakapetavatthunana, di sana disebutkan tentang seorang peta yang menyarankan pada Raja untuk berlindung pada Triratna dan menyadarkan Sang Raja dengan berbagai nasihatnya dan kisah masa lampaunya.

Nah klo gak pernah belajar Dhamma, kok Peta tersebut bisa memberikan nasihat Dharma pada sang raja ???

Sebagai hasilnya raja tersebut berlindung pada Triratna....

Dalam Samsaramocakapetavatthuvannana dan Sariputtatheramatupetivatthuvannana setelah seorang peti [setan] mendapatkan dana dari Bhante Sariputta, ia terlahir dalam golongan devata [surga]

"Bila tindakan jahat yelah habis serta dana telah diberikan kepada Tathagata dan savaka Tathagata dan orang itu mempersembahkan dana itu untukku, saya akan terbebas dari alam peta ini."
(Dhanapalapetavatthuvannana)

"Pada hari berikutnya para umat awam itu memberikan dana makanan melimpah kepada Sangha bhikkhu dengan Sang Buddha sebagia pimpinannya dan kemudian menujukan dana ini kepada peti itu. Ketika peti itu terjatuh dari alam peta, dia lahir spontan di istana keemasan di alam Tiga puluh Tiga Dewa, dilengkapi dengan berbagai permata dan dengan seribu bidadari sebagai pengiring."
(Khallatiyapetavatthuvannana)

Dalam biografi Acariya Mun (bhikkhu tradisi Hutan yang sangat terkenal dan dihormatis ebagai Arahat, bahkan anda akan menemui fotonya di buku Bhante Uttamo), karya Ajahn Maha Boowa, dikisahkan bahwa Acariya Mun dikunjungi oleh suatu makhluk - yang mungkin tergolong dalam makhluk peta (yang pasti bukan makhluk alam deva, demikian menurut Acariya Mun), yang dalam kehidupan lampaunya merupakan teman spiritual Sang Acariya Mun. Setelah tersadarkan oleh nasehat Acariya Mun, makhluk tersebut muncul dalam wujud seorang deva yang cantik dengan berbagia ornamennya, terlahir di alam surga Tavatimsa. Penampakannya sangat cantik tidak seperti penampakannya.

Di saan ia menjelaskan kenapa ia terlahir di Alam Tavatimsa:
1. Karena ia sadar setelah mendapat penjelasan Acariya Mun, menghapus segala penderitaan dan keraguannya
2. Akibat dari karma baik (kusala kamma)

Jadi kita tahu bahwa apabila seorang preta tersadarkan, dan pada saat itu juga karma baiknya berbuah, maka ia akan terlahir kembali di antara para deva.

Nah kalau gitu bukannya saya bisa tanya: Loh... emang segitu gampangnya ya keluar dari alam peta?  :)) 

Apalagi kisah Guan Yu terlahir di alam peta ini lebih merujuk pada kisah Guan Yu dengan Bhiksu Pujing.

Kalau yang di Fozhu Tongji, yaitu antara Guan Yu dengan Bhiksu Zhiyi, maka kemungkinan di sana memang dari awalnya Guan Yu memang terlahir di alam Deva setelah kematiannya.

Loh bukannya sebelumnya ia banyak membunuh? Memang. Tapi ia juga banyak berbuat bajik. Di antaranya:

1. Patriotis
2. Menjaga norma susila
3. Tidak tergiur akan kesenangan/kenikmatan
4. Tidak silau akan nama dan harta
5. Tidak mengharap yang baru dan membuang yang lama
6. Tidak melupakan kesetiaan persaudaraan
7. Berjiwa altruis (mementingkan orang lain)

Lebih jelasnya lihat di:

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=3810.0

Dalam kisah Petavatthu juga ada kisah di mana seseorang yang sering berbuat jahat terlahir kembali di alam surga. Lo kok bisa? Eee..... ditelusuri ternyata ia berdana pada Bhikkhu Sangha!

Jadi bisa saja ada orang yang sering membunuh, tapi kemudian terlahir di alam surga. Ini disebabkan karena memang vipaka karma baiknya berbuah. Baik ini karena karma baik pada kehidupan-kehidupan lampaunya, maupun satu kehidupannya sebelum terlahir di alam surga.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 04 November 2008, 08:38:36 AM
Quote
Wah.... bro. Elsol kagak baca postingan saya ternyata....

Coba baca-baca lagi, saya sudah postingkan bahwa dalam Mahayana (sebagai reply pada bro. sobat dharma) para Bodhisattva juga menguasai tahap pencapaian Arhat dan Pratyekabuddha.

Bahkan dalam 10 tingkatan Bodhisattva yang disebutkan oleh Prajnaparamita Sutra (liat topik saya ttg 10 tingkatan Bodhisattva), Bodhisattva harus melalui tingkatan seorang Arhat....

jika sudah mencapai Tingkatan Arahat...bagaimana bisa diconsider sebagai Boddhisatva lage??...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 04 November 2008, 08:40:30 AM
Quote from: Edward on 04 November 2008, 02:31:14 AM
Sol, gw pernah baca di beberapa sutra (versi mahayana), bahkan beribu2 makhluk peta, asura, naga, sampai dewa maupun bodhisatva lainnya, pernah berikrar untuk melindungi pencari dhamma...Gw kurang inget detilnya, tpi sepertinya di prajna paramitta deh....

Kalo soal karma, mnrt gw, pemikiran mahayana dan theravada di sini sama, kita orang awam tidak bisa menjelaskan secara detil bagaimana akumulasi karma bekerja...Mungkin aja, di kehidupan lampau, guan gong pernah berbuat baik, sehingga ada kesempatan bertemu dengan dhamma? We'll never know about it...

Bermain2 soal opini,(sedikit becanda, jgn di bawa terlalu serius) bukankah d sutta ada cerita orang yg semasa hidupnya banyak berbuat jahat, tapi pas mendengar ajaran SB langsung jd arhat?SB kan tidak menghilangkan karma buruk-nya, hanya mencerahkan dengan kebijaksanaan yang dimiliki...Dan wuzz...Jadilah Arhat...So, kemana tuh karma buruknya?Apalagi ini arhat udh pasti suci...Klo dibandingin, alam dewa mah blom ada apa2nya... ^-^ Cma beda tipis kondisinya sama kita yang di alam manusia... ;D

:jempol: :jempol:

Jarang lo ada orang yang kaya bro. edward.

Biasanya umat Buddhis yang belom paham tentang kisah Guan Yu, kalau disuguhi fakta bahwa Guan Yu jadi Dharmapala, langsung berpikiran negatif.....

"Lo sebelumnya kan dia banyak membunuh, kok bisa jadi Deva Dharmapala sih ??"  ;D  ;D

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 04 November 2008, 08:43:15 AM
Quote from: El Sol on 04 November 2008, 08:38:36 AM

jika sudah mencapai Tingkatan Arahat...bagaimana bisa diconsider sebagai Boddhisatva lage??...

Ini kan menurut Mahayana bro.....  ;D

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 04 November 2008, 08:59:31 AM
QuoteBro. elsol.... bro. elsol.....

Bekerjanya karma tidak sesederhana itu, bukankah seharusnya anda sering mendengarnya (dari ceramah-ceramah dsb)?

Nah Angulimala itu terus gimana? Udah mbunuh 999 orang tuh.... tapi masih juga bisa jadi Arahat dalam waktu singkat setelah ia bertobat..... Ini kan karena timbunan karma baiknya sendiri pada masa lampu plus dia mau sadar akan kesalahannya.
Angulimala manusia, dan kamma burukne itu emank ada..tapi dibacking ama Kamma baek...di alam manusia lebih bisa untuk menekan Kamma buruk!...

QuoteTuh coba lihat bagian Nandakapetavatthunana, di sana disebutkan tentang seorang peta yang menyarankan pada Raja untuk berlindung pada Triratna dan menyadarkan Sang Raja dengan berbagai nasihatnya dan kisah masa lampaunya.

Nah klo gak pernah belajar Dhamma, kok Peta tersebut bisa memberikan nasihat Dharma pada sang raja Huh?

Sebagai hasilnya raja tersebut berlindung pada Triratna....
TIDAK MUNGKIN PETA ITU BELAJAR DHAMMA DI ALAM PETA!...that's obvious!..jelas sekali kalo dia belajar di alam Manusia!...di alam Peta tidak ada yg namane kebahagiaan....semuanya kelaparan,dan tidak ada keinginan...

QuoteDalam Samsaramocakapetavatthuvannana dan Sariputtatheramatupetivatthuvannana setelah seorang peti [setan] mendapatkan dana dari Bhante Sariputta, ia terlahir dalam golongan devata [surga]
Please..jangan pake kata PETI...karena gw kalo baca peti itu kebayang peti...bukan makhluk Peta..

statement di atas gk membuktikan kalo guan gong bisa belajar Dhamma di alam peta..duh...
Quote
"Bila tindakan jahat yelah habis serta dana telah diberikan kepada Tathagata dan savaka Tathagata dan orang itu mempersembahkan dana itu untukku, saya akan terbebas dari alam peta ini."
(Dhanapalapetavatthuvannana)

Dia berkata, 'Bila tindakan jahat ini telah habis serta dana telah diberikan kepada Tathagata atau savaka, Tathagata, dan orang itu mempersembahkan dana itu untukku, saya akan terbebas dari keadaan alam peta ini.
taken from -http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=1079

mungkin ini yg loe maksud? well..kalo iyah, berarti HANYA DENGAN PELIMPAHAN JASA SAJA...bisa terbebas makhluk peta terlahir kembali no?! jadi impossible buat guan gong untuk bisa belajar Dhamma dan berbuat kebajikan di alam Peta...
Quote
"Pada hari berikutnya para umat awam itu memberikan dana makanan melimpah kepada Sangha bhikkhu dengan Sang Buddha sebagia pimpinannya dan kemudian menujukan dana ini kepada peti itu. Ketika peti itu terjatuh dari alam peta, dia lahir spontan di istana keemasan di alam Tiga puluh Tiga Dewa, dilengkapi dengan berbagai permata dan dengan seribu bidadari sebagai pengiring."
(Khallatiyapetavatthuvannana)
same thing here...membuktikan apa ayat2 ini?...gw emank setuju kalo makhluk yg terlahir di alam peta pasti bisa terbebas dari alam peta jika dilimpahkan jasa...

Quote
Dalam biografi Acariya Mun (bhikkhu tradisi Hutan yang sangat terkenal dan dihormatis ebagai Arahat, bahkan anda akan menemui fotonya di buku Bhante Uttamo), karya Ajahn Maha Boowa, dikisahkan bahwa Acariya Mun dikunjungi oleh suatu makhluk - yang mungkin tergolong dalam makhluk peta (yang pasti bukan makhluk alam deva, demikian menurut Acariya Mun), yang dalam kehidupan lampaunya merupakan teman spiritual Sang Acariya Mun. Setelah tersadarkan oleh nasehat Acariya Mun, makhluk tersebut muncul dalam wujud seorang deva yang cantik dengan berbagia ornamennya, terlahir di alam surga Tavatimsa. Penampakannya sangat cantik tidak seperti penampakannya.

Di saan ia menjelaskan kenapa ia terlahir di Alam Tavatimsa:
1. Karena ia sadar setelah mendapat penjelasan Acariya Mun, menghapus segala penderitaan dan keraguannya
2. Akibat dari karma baik (kusala kamma)

Jadi kita tahu bahwa apabila seorang preta tersadarkan, dan pada saat itu juga karma baiknya berbuah, maka ia akan terlahir kembali di antara para deva.

Nah kalau gitu bukannya saya bisa tanya: Loh... emang segitu gampangnya ya keluar dari alam peta?  laugh

huahuahuahuahua....maaf yak gw gk percaya...karena gw lebih percaya tipitaka dibandigkan kata2 seorang Bhikkhu...
Quote
Apalagi kisah Guan Yu terlahir di alam peta ini lebih merujuk pada kisah Guan Yu dengan Bhiksu Pujing.

Kalau yang di Fozhu Tongji, yaitu antara Guan Yu dengan Bhiksu Zhiyi, maka kemungkinan di sana memang dari awalnya Guan Yu memang terlahir di alam Deva setelah kematiannya.

Loh bukannya sebelumnya ia banyak membunuh? Memang. Tapi ia juga banyak berbuat bajik. Di antaranya:

1. Patriotis
2. Menjaga norma susila
3. Tidak tergiur akan kesenangan/kenikmatan
4. Tidak silau akan nama dan harta
5. Tidak mengharap yang baru dan membuang yang lama
6. Tidak melupakan kesetiaan persaudaraan
7. Berjiwa altruis (mementingkan orang lain)

apa bedanya sama Jihaders I-slam?
Quote
Dalam kisah Petavatthu juga ada kisah di mana seseorang yang sering berbuat jahat terlahir kembali di alam surga. Lo kok bisa? Eee..... ditelusuri ternyata ia berdana pada Bhikkhu Sangha!
ngawur neh...mana ada di Petavatthu ada peta yg bisa berdana pada Sangha..-_-"
Quote
Jadi bisa saja ada orang yang sering membunuh, tapi kemudian terlahir di alam surga. Ini disebabkan karena memang vipaka karma baiknya berbuah. Baik ini karena karma baik pada kehidupan-kehidupan lampaunya, maupun satu kehidupannya sebelum terlahir di alam surga.
ok ini gw setuju...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 04 November 2008, 09:01:23 AM
Quote from: GandalfTheElder on 04 November 2008, 08:43:15 AM
Quote from: El Sol on 04 November 2008, 08:38:36 AM

jika sudah mencapai Tingkatan Arahat...bagaimana bisa diconsider sebagai Boddhisatva lage??...

Ini kan menurut Mahayana bro.....  ;D

_/\_
The Siddha Wanderer
justru ini menurut Theravada...Boddhisatva hanyalah gelar bagi calon Sammasambuddha...

dan seorang Boddhisatva itu pasti lebih rendah tingkatanya dibandingkan Arahat...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 04 November 2008, 09:18:49 AM
Quote from: sobat-dharma on 04 November 2008, 12:43:08 AM
Bagaimana kita tahu kalau seseorang disebut arahat atau bukan? Bagaimana bisa dalam Konsili I seseorang dapat dikenali sebagai arahat atau hanya mengaku arahat? Pertanyaannya adalah bagaimana seorang arahat mengenal arahat yang lain? Bukankah "arahat" hanyalah sebutan? Bukankah Buddha sendiri melarang setiap Bhikkhu untuk menyebutkan pada orang lain tingkatan yang dicapainya? Kalaupun ada yang namanya arahat, maka seharusnya ia adalah pencapaian internal (inner) yang tidak tampak dari luar? Lalu ukuran objektif apa yang digunakan untuk mengklasifikasikan seseorang si itu arahat, si ini bukan arahat?

Maaf, mungkin pertanyaan-pertanyaan di atas mencermin ketidaktahuan saya  :P. Tapi jika ada yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan, saya akan sangat berterimakasih  ^:)^

kamu khan tanya..."kamu yakin arahat itu ada?"

jawapanne Iye...seseorang yg telah merealisasikan Nibbana(hilangnya dosa,lobha dan moha) adalah arahat..

kalo apakah arahat ikut konsili2...

itu gw gk pasti dan gk tao...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 04 November 2008, 09:30:33 AM
QuoteTIDAK MUNGKIN PETA ITU BELAJAR DHAMMA DI ALAM PETA!...that's obvious!..jelas sekali kalo dia belajar di alam Manusia!...di alam Peta tidak ada yg namane kebahagiaan....semuanya kelaparan,dan tidak ada keinginan...

La tau dari mana anda bahwa peta itu belajar Dharma ketika ia masih menjadi manusia?

Makanya baca tuh Petavatthu.

Semuanya kelaparan, tidak ada kebahagiaan, tidak ada keinginan? Bagaimana kalau Vimanapeta?? Vimanapeta tuh dapet istana surgawi segala lo....seneng-seneng di sana....... hehe....

Quotengawur neh...mana ada di Petavatthu ada peta yg bisa berdana pada Sangha..-_-"

-_-" Yang saya maksud manusia tuh....bukan peta.... makanya saya bilang "orang"......

Quoteok ini gw setuju...

Ok... kalau gitu no problem kan kalau Guan Yu dianggap jadi Deva Dharmapala? Apalagi kisah Fozhu Tongji (Zhiyi) lebh tua dari Sanguo Yanyi (Pujing).... hehe....

Quotejustru ini menurut Theravada...Boddhisatva hanyalah gelar bagi calon Sammasambuddha...
dan seorang Boddhisatva itu pasti lebih rendah tingkatanya dibandingkan Arahat...

Anda tahu, kalau di Theravada itu disebutkan kalau kebijaksanaan Bodhisatta itu melebihi seorang Pacceka Buddha?

Their (Paccekabuddha) wisdom less than that of a Bodhisatta (J.iv.341).

Kenapa ya di Theravada, syarat seseorang menjadi Bodhisatta itu harus  adalah seseorang yang memiliki potensi untuk mencapai tingkat Arahat dalam hidup itu juga?

Bahkan Petapa Sumedha tidak menginginkan pencapaian Arahat, karena tidak dapat memberikan manfaat pada banyak makhluk.

Dan juga... patokan anda terus menerus Theravada kan? Boleh saja sih....

Tapi saya ingin memberikan suatu "wacana" yang mungkin baru..... yaitu:

Theravada juga ada tandingannya yaitu Mahasanghika yang meninggikan Bodhisattva dan menganggap bahwa Arahat masih memiliki kelemahan-kelemahan....... Nah lho? 

Berpendapat Mahasanghika itu sesat? Boleh saja. Tapi itu kan dari Dipavamsa dan Mahavamsanya Theravada.

Nah kalau dari sumbernya Mahasanghika, Sariputrapariprccha, justru Mahasanghika-lah yang murni dan Theravadalah yang membentuk Vinaya baru plus memisahkan diri....

Bahkan penulisan Sariputrapariprccha ini kemungkinan lebih awal dari Dipavamsa.

Percaya yang mana nih?  ;D Mahasanghika yang tidak murni atau..... Theravada yang nggak murni ??

Quotemungkin ini yg loe maksud? well..kalo iyah, berarti HANYA DENGAN PELIMPAHAN JASA SAJA...bisa terbebas makhluk peta terlahir kembali no?! jadi impossible buat guan gong untuk bisa belajar Dhamma dan berbuat kebajikan di alam Peta...

Nah Peta dalam Nandakapetavatthunana itu kan berbuat kebajikan pada saat berada di alam peta (memberikan nasihat pada Raja)???

Siapa tahu juga Bhiksu Pujing melimpahkan jasa pada Guan Yu?? Siapa yang tahu? Bisa juga kan?  :P

Quoteapa bedanya sama Jihaders I-slam?

Apa anda yakin bahwa para Jihaders memiliki ketujuh sifat agung Guan Yu tersebut?

Terutama tidak tergiur akan kesenangan/kenikmatan dan berjiwa altruis (mementingkan orang lain)?

Anda yakin para Jihaders tidak tergiur akan kesenangan? Anda tentu tahu bukan upah apa yang diyakini mereka bakal didapat di surga?

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 04 November 2008, 09:56:22 AM
QuoteLa tau dari mana anda bahwa peta itu belajar Dharma ketika ia masih menjadi manusia?

Makanya baca tuh Petavatthu.

Semuanya kelaparan, tidak ada kebahagiaan, tidak ada keinginan? Bagaimana kalau Vimanapeta?? Vimanapeta tuh dapet istana surgawi segala lo....seneng-seneng di sana....... hehe....
gw dah baca Petavatthu, coba terangkan lebih detil tentang Vimanapeta ada istana surgawi bla bla bla, dan tolong pake link yg bener....

Quote-_-" Yang saya maksud manusia tuh....bukan peta.... makanya saya bilang "orang"......
kalo gitu anda setuju khan kalo peta gk bisa berdana pada Bhikkhu sehingga dia bisa terlahir di alam surga?..

QuoteOk... kalau gitu no problem kan kalau Guan Yu dianggap jadi Deva Dharmapala? Apalagi kisah Fozhu Tongji (Zhiyi) lebh tua dari Sanguo Yanyi (Pujing).... hehe....
sorry yak gw gk baca apa tiu fozhu tongji bla bla bla...karena gk valid..

guan yu gk mungkin jadi deva dhammapala...soale dia kamma burukne gede buanget...banyak banget membunuh makhluk2 laen..dengan kebencian dan kemarahan...

tul?...

QuoteAnda tahu, kalau di Theravada itu disebutkan kalau kebijaksanaan Bodhisatta itu melebihi seorang Pacceka Buddha?

Their (Paccekabuddha) wisdom less than that of a Bodhisatta (J.iv.341).
TAPI TIDAK SESUCI SEORANG BUDDHA...

QuoteKenapa ya di Theravada, syarat seseorang menjadi Bodhisatta itu harus  adalah seseorang yang memiliki potensi untuk mencapai tingkat Arahat dalam hidup itu juga?

Bahkan Petapa Sumedha tidak menginginkan pencapaian Arahat, karena tidak dapat memberikan manfaat pada banyak makhluk.

Dan juga... patokan anda terus menerus Theravada kan? Boleh saja sih....

Tapi saya ingin memberikan suatu "wacana" yang mungkin baru..... yaitu:

Theravada juga ada tandingannya yaitu Mahasanghika yang meninggikan Bodhisattva dan menganggap bahwa Arahat masih memiliki kelemahan-kelemahan.......  chuckle

Berpendapat Mahasanghika itu sesat? Boleh saja. Tapi itu kan dari Dipavamsa dan Mahavamsanya Theravada.

Nah kalau dari sumbernya Mahasanghika, Sariputrapariprccha, justru Mahasanghika-lah yang murni dan Theravadalah yang membentuk Vinaya baru plus memisahkan diri....

Bahkan penulisan Sariputrapariprccha ini kemungkinan lebih awal dari Dipavamsa.

Percaya yang mana nih?  Grin Mahasanghika yang tidak murni atau..... Theravada yang nggak murni ??
yg pasti yg palink logika yg palink bener...
QuoteNah Peta dalam Nandakapetavatthunana itu kan berbuat kebajikan pada saat berada di alam peta (memberikan nasihat pada Raja)Huh?

Siapa tahu juga Bhiksu Pujing melimpahkan jasa pada Guan Yu?? Siapa yang tahu? Bisa juga kan?
well...yg ini gk ada yg tao....

apakah peta bisa memberi nasihat pada raja...yakin tuh bisa?...

apakah orang yg lage benar2 sengsara bisa memberi pencerahan pada makhluk laen?.....
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 04 November 2008, 10:14:16 AM
Quotegw dah baca Petavatthu, coba terangkan lebih detil tentang Vimanapeta ada istana surgawi bla bla bla, dan tolong pake link yg bener....

Hahaha... bro.elsol..bro. elsol...

Anda yakin udah baca tuh Petavatthu lengkap? Saya ragu kok anda belum ya..... Masa kagak bisa nemuin, padahal udah saya kasih bagian mana dari Petavatthu yang anda bisa baca............

Ngaku udah baca Petavatthu tapi nggak tahu apa itu vimanapeta.... ini adalah suatu hal yang sangat lucu.....  ^-^  ^-^ la wong di Petavatthu saya baca sendiri disebutin dan dijelaskan kisah tentang Vimanapeta kok!!

Ini tanda anda belom baca....

Cari di om Google tuh kalau anda nggak punya buku Petavatthu... Nanti kalo anda benar-benar nggak nemuin, terus nyerah, baru saya kasih tuh sumbernya (krn saya punya buku Petavatthu).....  ;D

Ya memang Bodhisattva tidak sesuci Buddha, semua sekte pun mengakui demikian.....

Quotewell...yg ini gk ada yg tao....

apakah peta bisa memberi nasihat pada raja...yakin tuh bisa?...

apakah orang yg lage benar2 sengsara bisa memberi pencerahan pada makhluk laen?.....

La ini... tandanya nggak baca Petavatthu....

Anda baca dulu Petavatthu dengan teliti deh...

Quoteguan yu gk mungkin jadi deva dhammapala...soale dia kamma burukne gede buanget...banyak banget membunuh makhluk2 laen..dengan kebencian dan kemarahan...

Emang Angulimala kagak?

Quoteyg pasti yg palink logika yg palink bener...

Ya udah.....kalau gitu saya milih Mahasanghika saja deh... karena lumayan selaras dengan ajaran Mahayana tentang Bodhisattva yang saya yakini dan secara logika masuk...

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: naviscope on 04 November 2008, 10:31:13 AM
[at] atas & atas nya lg

el sol, no matter what, aku tetap berdiri samping loe, aku tetap mendukung mu

;D

[at] atas

gandalf, u also my idol, jd gimana donk?

_/\_

tapi kini kusadar
ku diantara kalian

aku tak mengerti
ini semua harus terjadi
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Sukma Kemenyan on 04 November 2008, 10:32:55 AM
Quote from: GandalfTheElder on 03 November 2008, 09:39:27 PM"Roh" yang dimakud di sini adalah makhluk dari alam preta.

Seperti dikatakan oleh Master Hsuan Hua dalam komentarnya pada Shurangama Sutra:
"Beberapa hantu memiliki hati yang baik dan bertindak sebagai para Pelindung Dharma. Guan Di Gong adalah salah satu contohnya. Ia adalah hantu yang kuat dan agung. Jenis hantu ini melindungi dan menyokong Triratna. Mereka dapat menggunakan spiritual mereka untuk menuju ke kekosongan"

"Ada puluhan ribu jenis hantu. Guan Di Gong di Tiongkok adalah salah satu contoh dari seorang hantu yang kaya raya. Namun setelah ia berlindung di dalam Buddha, maka ia dikenal sebagai Bodhisattva Sangharama, seorang Pelindung Dharma."
Yang ini diucapkan/dikomentari oleh "Master Hsuan Hua"

QuoteJadi ketika Guan Yu meninggal, Beliau terlahir kembali di alam preta, di mana dikisahkan bahwa Beliau mencari-cari kepalanya yang hilang.

Setelah bertemu dengan Sang Bhiksu, Beliau menjadi Pelindung Dharma dan mendapat Trisarana. Beliau tersadarkan dan banyak berbuat bajik sehingga terlahir kembali di alam Deva, sebagai Pelindung Dharma juga.
Peta ?
Ini disimpulkan dari mana?

Maaf, saya pribadi tidak menganggap "Fenomena Hantu" sebagai "Mahluk dari Alam Peta",
Gua menganggap sosok yang sering kita sebut sebagai "Hantu" adalah Mahluk yang posisinya diatas manussa
Peta adalah mahluk yang penuh kesengsaraan dan tidak mampu bersinggungan dengan alam manussa,
Sedangkan Dewa Kecil memiliki kemampuan untuk menampakkan wujud dialam manussa, yang mungkin dalam hal ini memiliki pandangan salah
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 04 November 2008, 10:38:49 AM
Quote from: GandalfTheElder on 04 November 2008, 08:43:15 AM
Quote from: El Sol on 04 November 2008, 08:38:36 AM

jika sudah mencapai Tingkatan Arahat...bagaimana bisa diconsider sebagai Boddhisatva lage??...

Ini kan menurut Mahayana bro.....  ;D

_/\_
The Siddha Wanderer

Saya kenal seorang Bhiksu dari Taiwan. Beliau scholar yang sangat terpelajar, mengajar meditasi dan sering memberi kuliah. Beliau pernah bilang, kalau tidak semua Mahayana beranggapan demikian. Bila ada suatu Sutra Mahayana yang mengatakan demikian (asumsi saya dari Sadharma Pundarika Sutra), Beliau bisa menemukan Sutra lain yang mengatakan tidak begitu. Beliau pernah mengatakan ada Sutra Mahayana yang lebih tua umurnya dari Sadharma Pundarika Sutra yang mengatakan bila pencapaian Arahat sudah Final.

Nanti akan saya postkan Sutra Mahayana tersebut, tapi untuk search kembali saya butuh waktu.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: naviscope on 04 November 2008, 10:44:47 AM
[at] atas

hmmm....

menarik jg, ditunggu posting-an nya, emang ada sutra mahayana yg lebih tua dari sadharma pundarika sutra?
bukan nya sadharma pundarika sutra uda paling lengkap?

ktnya sech, klu sadharma pundarika sutra itu merangkup semua golongan loh
dari TK-SD-SMP-SMA, s/d S1, S2, S3

CMIIW,

navis
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: andrew on 04 November 2008, 10:50:51 AM
Quote from: Kemenyan on 04 November 2008, 10:32:55 AM
.Peta ?
Ini disimpulkan dari mana?

Maaf, saya pribadi tidak menganggap "Fenomena Hantu" sebagai "Mahluk dari Alam Peta",
Gua menganggap sosok yang sering kita sebut sebagai "Hantu" adalah Mahluk yang posisinya diatas manussa
Peta adalah mahluk yang penuh kesengsaraan dan tidak mampu bersinggungan dengan alam manussa,
Sedangkan Dewa Kecil memiliki kemampuan untuk menampakkan wujud dialam manussa, yang mungkin dalam hal ini memiliki pandangan salah

alam yang mempunyai kekuatan lebih dari manusia? mungkin asura

peta masih bersinggungan dengan alam manusia, upacara pelimpahan jasa di theravada ini lebih diperuntukan untuk menolong keluarga yang terlahir di alam peta

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Sukma Kemenyan on 04 November 2008, 12:10:13 PM
Entah lah kalau Asura
Namun, Saya berbicara jikalau "Hantu" bukan Mahluk Alam Peta
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 04 November 2008, 12:56:22 PM
Quote from: andrew on 04 November 2008, 10:50:51 AM
peta masih bersinggungan dengan alam manusia, upacara pelimpahan jasa di theravada ini lebih diperuntukan untuk menolong keluarga yang terlahir di alam peta

_/\_

Yap. Benar sekali. Makhluk preta bersinggungan dengan alam manusia. Coba baca Petavatthu.......

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 04 November 2008, 01:22:10 PM
Quote from: karuna_murti on 04 November 2008, 10:38:49 AM
Saya kenal seorang Bhiksu dari Taiwan. Beliau scholar yang sangat terpelajar, mengajar meditasi dan sering memberi kuliah. Beliau pernah bilang, kalau tidak semua Mahayana beranggapan demikian. Bila ada suatu Sutra Mahayana yang mengatakan demikian (asumsi saya dari Sadharma Pundarika Sutra), Beliau bisa menemukan Sutra lain yang mengatakan tidak begitu. Beliau pernah mengatakan ada Sutra Mahayana yang lebih tua umurnya dari Sadharma Pundarika Sutra yang mengatakan bila pencapaian Arahat sudah Final.

Nanti akan saya postkan Sutra Mahayana tersebut, tapi untuk search kembali saya butuh waktu.

Maksud anda Ajitasena-vyakarana-nirdesa Sutra ??

Sutra tersebut memang tidak sepenuhnya Mahayana... alias separuh Hinayana separuh Mahayana.

Makanya orang tidak mengatakan kalau Ajitasena-vyakarana-nirdesa Sutra itu adalah Sutra Mahayana, tetapi proto-Mahayana Sutra.

Sutra tersebut mengisahkan tentang Raja Ajitasena dan seorang Arhat bernama Mahasravaka Nandimitra.

Bisa dibilang Ajitasena Sutra ini merupakan satu-satunya Sutra Mahayana yang tidak "mengesampingkan" pencapaian Arhat.

Disebutkan di Sutra tersebut bahwa ketika seseorang menjadi Arhat maka ia akan dapat melihat seluruh Buddha-ksetra [misalnya Saha, Sukhavati, Abhirati, Vaiduryaprabhasa dll).

Namun di Sutra tersebut juga dikatakan bahwa Mahasravaka Arahat Nandimitra diprediksikan akan menjadi Samyaksambuddha. Arahat Nandimitra juga sadar bahwa sebenarnya ia adalah Bodhisattva.

Arhat = Bodhisattva? Ya! Karena Ke-Arahat-an adalah salah satu tingkat pencapaian Bodhisattva dalam 10 tingkatan Bodhisattva. Satu versi menyebutkan tingkat ke-enam dan versi lainnya tingkat ke-tujuh.

Maka dari itu meskipun Sutra ini tidak "mengesampingkan" pencapaian Arhat, tetapi tetap memprediksikan seorang Arhat akan menjadi seorang Samyaksambuddha.

Ada 3 Sutra Mahayana awal di mana diteliti penulisannya sudah sejak abad 1 -2 SM, alias pada abad yang sama ketika kitab Tipitaka Pali ditulis di Srilanka (abad 1 SM):
1. Ajitasena Sutra [proto]
2. Astasahasrika Prajnaparamita Sutra (abad 1 SM - 1 M)
3. Saddharmapundarika Sutra (abad 2 SM - 3 M)

Menurut Taranatha, Sutra Mahayana yang muncul sebelum Mahayana sendiri pertama kali muncul adalah Astasahasrika Prajnaparamita Sutra. Maka dari itu sesuai dengan penelitian sejarawan masa kini bahwa Astasahasrika Prajnaparamita Sutra merupakan sutra Mahayana yang sangat awal, bahkan tidak kalah awal dengan penulisan Sutta-sutta Pali.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 04 November 2008, 01:25:14 PM
Saya pernah posting koq. Tapi lagi sibuk nih ;D
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: naviscope on 04 November 2008, 01:29:58 PM
[at] atas & atasnya lg

bro gandalf, posting kamyu emang paling cyip dech...

;D
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 04 November 2008, 02:43:18 PM
Quoteoh iyah gw mao tanya, Avalokhitesvara dan Majusri itu makhluk apa? deva? asuhra? peta?...soale kononnya khan mereka bisa ngabulin permintaan orang2 yg meminta...berarti berbadan halus donk...kayak versi ROH taoism...no?

Surga Akanistha

Alam Akanistha adalah yang tertinggi dalam kelompok alam Suddhavasa, Rupadhyana [Rupajhana] keempat.

"Tempat Sambhogakaya adalah alam surga Akanishta-Ghanavyuha"
(Vimalamitra)

Dalam Tattvasamgraha disebutkan:
"Di surga Akanishta yang sempurna, yang berada di atas Surga Suddhavasa, para Bodhisattva mencapai Pengetahuan Sempurna dan di bawah pengaruhnya, seorang Buddha muncul di dunia ini."

Lankavatara Sutra berkata bahwa para Nisyanda Buddha [Sambhogakaya] berdiam di Akanishta.

Disebutkan dalam Mahayana, para Bodhisattva tingkat ke-10 ini seperti Avalokitesvara dan Manjusri menghuni alam Deva Akanishta.

Alam Akanishta ini adalah alam kelahiran kembali para Anagamin. Namun tentu pencapaian Bodhisattva dengan para Anagamin adalah jauh berbeda.

Di alam Akanishta ini ada istana Tanah Suci Vairocana Buddha, di mana para Bodhisattva tingkat 10 (Dharmamegha) berdiam.

Hali ini sama keadaanya seperti Tanah Suci Bodhisattva Maitreya di Surga Tusita. Surga Tusita dibagi dua:
1. Surga Tusita bagian dalam adalah Tanah Suci Bodhisattva Maitreya.
2. Surga Tusita bagian luar adalah alam dewa yang masih terikat nafsu.

Kalau diperbandingkan dengan Alam Akanistha maka:
1. Surga Akanistha bagian dalam adalah Tanah Suci Vairocana Buddha tempat para Bodhisattva tingkat Dharmamegha berdiam.
2. Surga Akanistha bagian luar merupakan kediaman para Dewa Anagamin.

Maha-Mahesvara

Bahkan untuk membedakan antara Akanishta Anagamin dengan Akanishta Bodhisattva, maka Surga Akanishta Bodhisattva tingkat 10 berdiam diberi nama Surga Maha Mahesvara.

Kamalasila yang mengkomentari kalimat di atas mengatakan bahwa di atas Akanistha, terdapat alam Mahamahesvara, tempat para Bodhisattva Tingkat 10 berdiam.

Konon Surga Mahamahesvara ini dikuasai oleh Dewa Mahesvara (Siva). Namun kedudukannya berada di bawah para Bodhisattva tingkat 10.

Seperti Dewa Santusita, penguasa surga Tusita, yang tentu tidak dapat diperbandingkan dengan keagungan, kebajikan dan kebijaksanaan Bodhisattva Maitreya yang juga berada di Surga Tusita.

Namun, Dasabhumika Sutra mengatakan bahwa Bodhisattva tingkat 10 adalah Mahesvara. Bagaimana ini? Lo kalau begitu Dewa Siva itu Bodhisattva tingkat 10 dong?

Ada pandangan yang menyebutkan bahwa Mahesvara yang berada di Akanistha bukanlah Siva. Siva adalah Pisaca-Mahesvara yaitu Isana yang berada di Surga Parinirmitavassavartin, bukan Maha-Mahesvara. Jadi Siva dan Mahamesvara adalah berbeda.

Umur Dewa Akanistha

Diketahui bahwa umur Maitreya Bodhisattva di surga Tusita sama dengan umur para deva penghuni Tusita yang lainnya.

Demikian juga umur Bodhisattva tingkat Dharmamegha di alam Akanistha adalah 16.000 Maha Kalpa sebelum mencapai tingkat Anuttara Samyaksambodhi. [mungkin ini merujuk pada Bodhisattva tingkat 10 yang menunda Ke-Buddhaannya, seperti Avalokitesvara, jadi tidak semua Bodhisattva tingkat 10]

Umur para Deva Anagamin di Akanishta juga 16.000 Maha Kalpa sebelum mencapai tingkat Arahat.

Manomayakaya [Sambhogakaya]

Buddhagupta dalam komentarnya tentang Mahavairocana Sutra berkata:
"Sambhogakaya dari Bhagavat tidak berada di suatu waktu ataupun tempat yang pasti dalam sutra-sutra dan tantra-tantra lainnya, di beberapa sutra dan tantra, Mahavairocana [dikatakan] berada di Surga Akanishta dan mengajarkan Dharma, yang lainnya [berkata] Mahavairocana berada di atas Gunung Sumeru mengajarkan Dharma, atau seperti Nirmanakaya yang berada di Rajagrha, atau tempat lainnya seperti Sravasti dan mengajarkan Dharma."

Para Bodhisattva tingkat 10 yang berada di istana dalam Akanishta adalah para Bodhisattva dalam wujud manomayakaya [tubuh ciptaan pikiran].

Maka dari itu tidak mengherankan bahwa ada 2 Maitreya Bodhisattva. Di sini bukan berarti ada 2 pribadi Maitreya Bodhisattva.

Tetapi Maitreya Bodhisattva di Surga Tusita adalah makhluk alam deva (tapi tentu bukan dewa yang biasa-biasa saja). Beliau memiliki manomayakaya (Sambhogakaya) di alam Akanistha, istana Vairocana Buddha.

Jadi Manomayakaya/Sambhogakaya di Surga Akanishta bermanifestasi menjadi para Nirmanakaya Buddha dan para Bodhisattva di Surga Tusita. Bisa juga dikatakan bahwa Sambhogakaya itu adalah para Dhyani Bodhisattva. Maitreya Bodhisattva di Surga Tusita adalah Nirmanakaya dari [Sambhogakaya] Dhyani Bodhisattva Maitreya di Surga Akanishta.

Dalam tradisi Theravada, Manomayakaya dapat dibandingkan dengan Nimitta Buddha yaitu tubuh yang diciptakan oleh kekuatan pikiran Sang Buddha, yang berdiam di alam Surga. Hanya para deva tingkat tinggi saja yang dapat melihat para Nimitta Buddha mengajarkan Dhamma.

Nimitta Buddha ini dapat diperbandingkan dengan Manomayakaya / Sambhogakaya.

Lebih lanjut, dikatakan bahwa Vairocana di alam Akanistha adalah manomayakaya / Sambogakaya dari Sakyamuni Buddha di alam manusia.

Mungkinkah Vairocana Buddha adalah Nimitta Buddha? Bisa saja. Apalagi Vairocana dalam Mahayana memang Nirmita [nimitta/emanasi] dari Dharmakaya.

Menurut keterangan Buddhaguhya, Anandagarbha dan Saktyamitra, setelah lahir dari akndungan Mahamaya, Bodhisattva Siddharta sudah memiliki karakteristik dari Bodhisattva tingkat ke-10. Dan memang ketika di Surga Tusita-pun, Bodhisattva Svetaketu adalah Bodhisattva tingkat 10. Konon setelah Pangeran Siddharta melakukan pertapaan keras selama 6 tahun di tepi sungai Nairanjara, ia mencapai Samadhi "aninjyo-nama-samadhi" dan "aspharanaka-samadhi".

Pada waktu itu, para Buddha dari sepuluh penjuru datang berkumpul dan berkata pada Petapa Siddharta: "Engkau tidak dapat menjadi Samyaksambuddha dengan hanya menggunakan Samadhi ini.". "Maka dari itu bagaimana aku melakukannya", Ia memohon. Para Buddha kemudian menuntunnya ke Surga Akanishta.

Tubuh manusia Siddharta [vipaka-kaya] tetap berada di tepi Sungai Nairanjara, namun Manomayakaya Pangeran Siddharta yaitu Bodhisattva Sarvarthasiddha pergi menuju Surga Akanishta. Di sana Pangeran Siddharta mendapat lima Abhiseka Abhisambodhi.

Setelah mendapatkan kelima abhiseka tersebut, Bodhisattva Siddharta menjadi Samyaksambuddha Sejati dan Manomakaya Petapa Siddharta yaitu Bodhisattva Sarvarthasiddha menjadi Samyaksambuddha Maha Vairocana.

[Maka dari itu bersesuaian dengan catatan Theravada, bahwa ketika menjelang Parinibbana, pikiran Sang Buddha memasuki meditasi dan setelah memasuki Jhana keempat, Beliau mencapai Nibbana."]

Sambhogakaya seorang Bodhisattva disebut sebagai Parasambhogakaya dan Sambhogakaya seorang Buddha adalah Svasmbhogakaya.

Para Nimitta Buddha itu ada setiap saat, ini bisa diketahui dari pengalaman meditasi Acariya Mun sendiri yang seorang bhikkhu Theravada, ketika ia melakukan Samadhi-Nimitta para Buddha.
Lihat: http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=5087.0

Bahkan dalam Prajnaparamita, pada mulanya memang Sambhogakaya adalah Nirmita [Nimitta]. Dan dalam Mahayana akhirnya diyakini bahwa Nirmanakaya dan Sambhogakaya keduanya adalah Nirmita [created, emanated] dari Dharmakaya. Oleh karena itu dikatakan bahwa Sakyamuni Buddha merupakan Nirmita dari Sambhogakaya Amitabha dan Mahavairocana serta Dharmakaya Vajradhara.

Dapatkah Sambhogakaya Terlihat Oleh Orang Biasa?

Acariya Mun yang diyakini telah mencapai tingkatan kesucian dapat melihat nimitta para Buddha dan para Arahant.

Demikian juga menurut Je Tsongkhapa:
"Sambhogakaya ini muncul pada mereka yang telah mencapai tingkatan Dharmamegha yang telah memiliki pikiran bodhicitta bebas dari imajinasi yang berkembang [prapanca] dan mencapai cermin parjna yang tidak ternoda yang berasal dari pengumpulan kebajikan dan pengetahuan; dan Sambhogakaya tidak muncul secara konkret di hadapan manusia biasa [prthagjana] yang masih memiliki imajinasi yang berkembang."

Jadi Sambhogakaya hanya dapat dilihat oleh mereka yang mencapai tingkatan kesucian. Kalau ada orang biasa yang mengaku telah melihat Sambhogakaya, maka itu adalah omong kosong besar, mungkin cuma imajinasinya dia aja.

Nah, lantas bagaimana yang katanya Avalokitesvara dapat terlihat oleh orang biasa menolong manusia dari bencana dsb?

Untuk menjawab ini, marilah kita lihat Sakra, raja para dewa. Beberapa kali Sakra berwujud sebagai seorang manusia dan binatang. Nah kalau Sakra bisa, kenapa Avalokitesvara yang merupakan penghuni alam Akanishta tidak bisa??

Tentu, Avalokitesvara yang merupakan Bodhisattva tingkat 10 dapat mewujudkan dirinya dalam berbagai macam bentuk bukan? Di antaranya sebagai devata yang bisa dilihat oleh mereka yang memiliki abhijna biasa-biasa saja.

Maka dari itu mereka yang memiliki abhijna hanya dapat melihat Avalokitesvara yang berwujud sebagai devata. Mereka tidak dapat melihat Sambhogakaya Avalokitesvara Yang Sejati.

Jadi kalau ada orang pinter atau suhu yang ngaku-ngaku bisa liat Sambhogakaya Avalokitesvara, tapi sikap hidupnya klenik dan nggak sesuai Dharma, sudah dijamin pasti omong kosong besar. Apalagi sampai ada yang  katanya lok-thung [kerasukan] Avalokitesvara... ini sudah sangat keterlaluan karena merendahkan Bodhisattva Avalokitesvara.

Sambhogakaya = Atman?

Sambhogakaya adalah perwujudan Dharmakaya dalam ruang lingkup konvensional. Sama dengan para Nimitta Buddha yang merupakan perwujudan konvensional dari Dhammakaya.

Sambhogakaya adalah suatu tubuh Buddha yang merupakan simbol non-dualisme antara konvensional dan absolut. Tubuh tersebut muncul dari lautan Dharmakaya agar dapat diterima oleh kita yang konvensional ini.

Lantas apakah Sambhogakaya ini Atman? Bukan! Bahkan ketika para Vajrayanis bermeditasi pada Bodhisattva yang menjadi Ishtadevata mereka, para Bodhisattva tersebut janganlah dilihat sebagai mempunyai tubuh kasar. Tetapi pandanglah Bodhisattva tersebut bagaikan pantulan bulan di atas air.

Di Theravada pun sudah jelas bahwa para Nimitta Buddha pukan Atta.

Sambhogakaya ini juga bukan "roh" tetapi merupakan Nirmita [emanasi] / Manomayakaya [tubuh pikiran] dari para Buddha dan Bodhisattva.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 04 November 2008, 03:42:09 PM
Quote from: GandalfTheElder on 04 November 2008, 02:43:18 PM

Dapatkah Sambhogakaya Terlihat Oleh Orang Biasa?

Acariya Mun yang diyakini telah mencapai tingkatan kesucian dapat melihat nimitta para Buddha dan para Arahant.

Demikian juga menurut Je Tsongkhapa:
"Sambhogakaya ini muncul pada mereka yang telah mencapai tingkatan Dharmamegha yang telah memiliki pikiran bodhicitta bebas dari imajinasi yang berkembang [prapanca] dan mencapai cermin parjna yang tidak ternoda yang berasal dari pengumpulan kebajikan dan pengetahuan; dan Sambhogakaya tidak muncul secara konkret di hadapan manusia biasa [prthagjana] yang masih memiliki imajinasi yang berkembang."


Mungkin ini jawaban menagapa para arahat dapat mengenal arahat yang lain? Sedangkan manusia biasa mungkin tidak dapat memebdakan antara arahat dengan bukan-arahat?

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 04 November 2008, 04:29:18 PM
bro gandalf memang memiliki kemampuan berbicara tak terintangi alias bianchai wu'ai..haha

Ini saya tambahin sedikit deh (balik ke topik awal) ttg rangkuman Bhavaviveka yg konon dituduhkan oleh para bhikkhu Theravada pada saat itu:
1. Sutra-sutra Mahayana tidak termasuk dalam penulisan Tripitaka mula-mula

Sebenarnya kaum Mahayana sudah mengatakan dengan jelas bahwa ada konsili lain yg diperuntukkan kendaraan bodhisatva.    
Namun karena ada keinginan kaum Theravada mengklaim bahwa sesuatu yg diluar konsili I adalah tidak sah, sehingga Mahayana dianggap bukan ajaran asli Buddha.   Jelas Bhavaviveke tidak mau berpanjang lebar dengan orang yang cara berpikirnya sedemikian dogmatisnya. Karena sia-sia saja.  
Jadi bukan tidak ada bukti bahwa Mahayana itu ajaran asli Buddha, bahkan bukti sudah disodorkan (ttg konsili lain yg dilakukan para bodhisatva) tapi tetap saja ditolak, jadi mau bilang apa lagi?

(Mengenai Purana, kalo ga salah beliau bukan tidak mau ikut, tetapi kebetulan belum kembali dari tempat tugas mengajar dharma di wilayah yg sangat jauh.  Setelah kedatangan Beliau, baru memutuskan utk tidak menolak atau menerima hasil konsili I , nah lho... ini  satu point yg penting mengapa hasil konsili I sampai ditolak Purana. Tapi ini pembahasan lain yg tdk perlu dipanjang lebarkan disini)

2. Karena Mahayana mengajarkan bahwa Tathagata itu abadi, maka bertentang dengan doktrin anitya [ketidakkekalan]

Apakah yg tidak kekal itu? Apakah segala  sesuatu itu tidak kekal?
Dalam hal apakah sesuatu dikatakan kekal dan dalam hal apa sesuatu dikatakan tidak kekal? Buddhisme sepertinya tidak mengajarkan Sabbe dhamma anicca. Yang ada adalah 'Sabbe Sankhara Anicca'.
Sifat kekekalan menurut Mahayana adalah kekekalan yang terbebas dari dualitas, bukan kekekalan yang menyangkal ketidakkekalan. Sama halnya dengan Nibbana adalah kekekalan yang tak terkondisi yang bebas dari dualitas.  Berikut mari lihat perbincangan Buddha dengan Bodhisatva Kasyapa (cat: bukan Y.A Maha-Kasyapa) dalam Maha Parinirvana Sutra. (Tiru sedikit gaya bro Gandalf yg selalu mengutip langsung dari Sutra):
Pada saat itu, Bhagava berkata kepada Bodhisatva Kasyapa, "Putra bajik, tubuh Tathataga adalah tubuh yang kekal, tubuh yang tidak dapat mengalami kehancuran, tubuh berlian, bukan tubuh yang [terdiri dari kumpulan] aneka ragam makanan, itulah yang disebut dengan dharmakaya (tubuh dhamma).  
Bodhisatva Kasyapa lalu berkata kepada Buddha, "Oh Bhagava, seperti yang sudah dikatakan Tathagata, namun saya tidak melihat tubuh yang demikian. Saya hanya melihat tubuh [Tathagata] yang tidak kekal, yang dapat mengalami kehancuran, yang berdebu dan terdiri dari kumpulan aneka makanan. Mengapa? Karena Tathagata pun akan memasuki Parinirvana.
Buddha berkata, "Wahai Kasyapa, janganlah engkau berkata bahwa tubuh Tathagata itu tidak kokoh dan dapat mengalami kehancuran seperti tubuh makhluk awam. Putra bajik, ketahuilah, bahwa tubuh Tathagata itu kokoh, tidak mudah hancur sampai jutaan bahkan tak terhitung kalpa sekalipun. [Itu] bukan tubuh seperti halnya manusia atau dewa, bukan tubuh yang mengerikan [karena akan terurai] bukan tubuh yang terdiri dari kumpulan makanan. Tubuh Tathagata adalah tubuh yang bukan tubuh. Ia tidak lahir, tidak lenyap, tidak dilatih, tidak dikultivasi., tiada batas tiada jejak, tidak diketahui tidak berwujud, murni secara ultimat, tiada goyah, tiada perasaan tiada sankhara. Tidak berdiam, tidak bergerak, tiada rasa tiada ragam, bukan tubuh yang memiliki aktivitas, bukan perbuatan, bukan buah [dari perbuatan], bukan yang bergerak pun bukan yang lenyap, bukan batin, bukan yang [bisa dijangkau dengan] parameter. Tidak terbayangkan, tidak terbayangkan selamanya. Tiada batin yang kesadarannya terpisah pun tidak terpisah. Batinnya egaliter, bukan eksis sekaligus eksis, tiada datang dan pergi sekaligus juga datang dan pergi. Tidak hancur, tidak terpisah dan tidak habis. Tidak muncul, tidak lenyap. Bukan tuan sekaligus adalah tuan, bukan ada maupun tiada. Bukan tercerahkan ,bukan pandangan terang. Bukan [yang dapat di] pun bukan non-aksara. Bukan samadhi, pun bukan non-samadhi. Tidak dapat dipahami sekaligus dipahami secara tuntas. Tanpa lokasi sekaligus berlokasi. Tanpa rumah sekaligus berumah. Tiada  kegelapan tiada penerangan. Tiada keheningan sekaligus hening. Tiada sesuatu yang tidak diterima dan diberikan. Murni tanpa noda, tiada pertentangan, terbebas dari pertentangan. Berdiam dalam area tanpa kediaman. Tidak mencapai pun tidak merosot, bukan dharma, pun bukan bukan-dharma. Bukan ladang kebajikan, pun bukan bukan ladang kebajikan. Tiada akhir, tidak berakhir, terbebas dari segala akhir. Adalah kekosongan sekaligus terbebas dari kekosongan.    ...........

Kasyapa, hanya Tathagata yang mengetahui kondisi ini. Para sravaka dan pratyeka tidak dapat mengetahuinya.

Demikianlah sifat kekekalan di sini seharusnya dipahami dalam konteks yang tak terkondisi dan terbebas dari dualitas. Singkatnya, sifat kekekalan di sini merujuk pada aspek prinsipil, bukan aspek fenomena.  


3. Karena Mahayana mengajarkan Tathagatagarbha itu mencakup semuanya, maka Mahayana tidak menanggalkan konsep atman

Tathagatagarbha di sini merujuk pada potensi yang ada pada seluruh makhluk hidup. Tidak ada hubungannya dengan konsep atman, apalagi konsep atman telah disanggah juga dalam Mahayana.  Perumpamaan Tathagatagarbha dapat disimak dalam Mahavaipulya Tathagatagarbha Sutra: "Selanjutnya oh putra bajik, ibarat emas murni yang terjatuh ke dalam kotoran terpendam selama bertahun-tahun, emas murni tidak akan rusak namun tidak ada yang mengetahuinya. [Kemudian] seorang yang memiliki mata dewa berkata kepada semua orang, 'Di tempat kotoran ini terdapat permata emas murni. Kalian dapat mengeluarkannya dan menggunakannya sesuai kehendak. Demikian juga oh putra bajik, tempat kotor berarti noda batin. Permata emas berarti Tathagatagarbha. Orang yang memiliki mata dewa adalah Sang Tathagata. Oleh karena itu Sang Tathagata mewejangkan dharma kepada para makhluk hidup agar mereka dapat mengikis noda batin, mencapai pencerahan sempurna dan menjalankan aktivitas Buddha.


4. Karena Mahayana mengajarkan bahwa sang Buddha tidak mencapai Nirvana, maka ini menunjukkan bahwa Nirvana itu tidaklah damai

Tetap mencapai Nirvana kok. Yang Tidak mencapai Nirvana adalah pernyataan dalam konteks prinsipil utk mengikis pandangan dualitas tentang pengertian mencapai dan tidak mencapai. Seorang Buddha bebas dari dualitas, sehingga tidak melekat pada apa yang ada dan tidak ada, tercapai atau tidak tercapai, nirvana atau samsara.    

5. Sutra-sutra Mahayana mencakup ramalan di mana para Sravaka akan menjadi Buddha

Karena dalam Theravada tidak berfokus mengajarkan jalan bodhisatva, maka konsili I tentu tidak akan mengangkat wejangan Buddha tentang ramalan ini.

6. Mahayana merendahkan Arhat

Kalau Mahayana merendahkan Arahat, maka Mahayana tidak akan menghormati YA Sariputra, YA Moggallana , dll. Tapi buktinya Pembukaan Sutra selalu memuji para siswa Arahat.  

7. Mahayana memuja para Bodhisattva di atas Buddha

Tergantung konteks apa yang sedang dibicarakan. Ada saatnya juga sebaliknya. Dan pada dasarnya pencapaian tertinggi adalah Buddha. Ini sudah cukup jelas.

8. Mahayana menyimpangkan ajaran dengan mengatakan bahwa Sakyamuni adalah emanasi

Silakan lihat postingan bro Gandalf di atas.

9. Mahayana mengajarkan bahwa tindakan tidak membawa akibat

Ini Relatif. Tindakan apa dan berdasarkan bentuk-bentukan batin seperti apa. Theravada juga percaya bahwa tindakan tidak membawa akibat apabila tindakan itu tanpa diiringi dengan cetasika. (kalo salah tolong dikoreksi bro Gandalf)


Ok silakan lanjut lagi...asal jgn oot nih..:)

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 04 November 2008, 06:00:08 PM
Nice info Bro Gandalf.... :jempol:
Banyak pertanyaan yang selama ini gw kaga tau jawabannya, sekarang jadi bisa lebih dimengerti...
Thx a lot.....
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 04 November 2008, 06:28:50 PM
Banyak murid yang lulus sekolah/kuliah, tetapi tidak semua yang bisa menjadi GURU/DOSEN...

Semua makhluk dikatakan memiliki benih ke-buddha-an, tetapi tidak semua yang bisa menjadi seorang sammasambuddha (membabarkan ajaran).
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 04 November 2008, 06:58:56 PM
Quote from: chingik on 04 November 2008, 04:29:18 PM
bro gandalf memang memiliki kemampuan berbicara tak terintangi alias bianchai wu'ai..haha

Ini saya tambahin sedikit deh (balik ke topik awal) ttg rangkuman Bhavaviveka yg konon dituduhkan oleh para bhikkhu Theravada pada saat itu:
1. Sutra-sutra Mahayana tidak termasuk dalam penulisan Tripitaka mula-mula

Sebenarnya kaum Mahayana sudah mengatakan dengan jelas bahwa ada konsili lain yg diperuntukkan kendaraan bodhisatva.    
Namun karena ada keinginan kaum Theravada mengklaim bahwa sesuatu yg diluar konsili I adalah tidak sah, sehingga Mahayana dianggap bukan ajaran asli Buddha.   Jelas Bhavaviveke tidak mau berpanjang lebar dengan orang yang cara berpikirnya sedemikian dogmatisnya. Karena sia-sia saja.  
Jadi bukan tidak ada bukti bahwa Mahayana itu ajaran asli Buddha, bahkan bukti sudah disodorkan (ttg konsili lain yg dilakukan para bodhisatva) tapi tetap saja ditolak, jadi mau bilang apa lagi?

(Mengenai Purana, kalo ga salah beliau bukan tidak mau ikut, tetapi kebetulan belum kembali dari tempat tugas mengajar dharma di wilayah yg sangat jauh.  Setelah kedatangan Beliau, baru memutuskan utk tidak menolak atau menerima hasil konsili I , nah lho... ini  satu point yg penting mengapa hasil konsili I sampai ditolak Purana. Tapi ini pembahasan lain yg tdk perlu dipanjang lebarkan disini)


Sebenarnya kalau saya pribadi tidak "mempermasalahkan" kitab mana satu yang lebih tua atau lebih orisinil. Tetapi lebih mengedepankan "isi" kitab-nya dan kecenderungan penafsirannya. Kitab Kitab yang "KONSISTEN" konsep-nya dari awal sampai akhir itulah yang dikatakan sebagai satu kesatuan yang logis.


Quote from: chingik on 04 November 2008, 04:29:18 PM

2. Karena Mahayana mengajarkan bahwa Tathagata itu abadi, maka bertentang dengan doktrin anitya [ketidakkekalan]

Apakah yg tidak kekal itu? Apakah segala  sesuatu itu tidak kekal?
Dalam hal apakah sesuatu dikatakan kekal dan dalam hal apa sesuatu dikatakan tidak kekal? Buddhisme sepertinya tidak mengajarkan Sabbe dhamma anicca. Yang ada adalah 'Sabbe Sankhara Anicca'.
Sifat kekekalan menurut Mahayana adalah kekekalan yang terbebas dari dualitas, bukan kekekalan yang menyangkal ketidakkekalan. Sama halnya dengan Nibbana adalah kekekalan yang tak terkondisi yang bebas dari dualitas.  Berikut mari lihat perbincangan Buddha dengan Bodhisatva Kasyapa (cat: bukan Y.A Maha-Kasyapa) dalam Maha Parinirvana Sutra. (Tiru sedikit gaya bro Gandalf yg selalu mengutip langsung dari Sutra):
Pada saat itu, Bhagava berkata kepada Bodhisatva Kasyapa, "Putra bajik, tubuh Tathataga adalah tubuh yang kekal, tubuh yang tidak dapat mengalami kehancuran, tubuh berlian, bukan tubuh yang [terdiri dari kumpulan] aneka ragam makanan, itulah yang disebut dengan dharmakaya (tubuh dhamma). 
Bodhisatva Kasyapa lalu berkata kepada Buddha, "Oh Bhagava, seperti yang sudah dikatakan Tathagata, namun saya tidak melihat tubuh yang demikian. Saya hanya melihat tubuh [Tathagata] yang tidak kekal, yang dapat mengalami kehancuran, yang berdebu dan terdiri dari kumpulan aneka makanan. Mengapa? Karena Tathagata pun akan memasuki Parinirvana.
Buddha berkata, "Wahai Kasyapa, janganlah engkau berkata bahwa tubuh Tathagata itu tidak kokoh dan dapat mengalami kehancuran seperti tubuh makhluk awam. Putra bajik, ketahuilah, bahwa tubuh Tathagata itu kokoh, tidak mudah hancur sampai jutaan bahkan tak terhitung kalpa sekalipun. [Itu] bukan tubuh seperti halnya manusia atau dewa, bukan tubuh yang mengerikan [karena akan terurai] bukan tubuh yang terdiri dari kumpulan makanan. Tubuh Tathagata adalah tubuh yang bukan tubuh. Ia tidak lahir, tidak lenyap, tidak dilatih, tidak dikultivasi., tiada batas tiada jejak, tidak diketahui tidak berwujud, murni secara ultimat, tiada goyah, tiada perasaan tiada sankhara. Tidak berdiam, tidak bergerak, tiada rasa tiada ragam, bukan tubuh yang memiliki aktivitas, bukan perbuatan, bukan buah [dari perbuatan], bukan yang bergerak pun bukan yang lenyap, bukan batin, bukan yang [bisa dijangkau dengan] parameter. Tidak terbayangkan, tidak terbayangkan selamanya. Tiada batin yang kesadarannya terpisah pun tidak terpisah. Batinnya egaliter, bukan eksis sekaligus eksis, tiada datang dan pergi sekaligus juga datang dan pergi. Tidak hancur, tidak terpisah dan tidak habis. Tidak muncul, tidak lenyap. Bukan tuan sekaligus adalah tuan, bukan ada maupun tiada. Bukan tercerahkan ,bukan pandangan terang. Bukan [yang dapat di] pun bukan non-aksara. Bukan samadhi, pun bukan non-samadhi. Tidak dapat dipahami sekaligus dipahami secara tuntas. Tanpa lokasi sekaligus berlokasi. Tanpa rumah sekaligus berumah. Tiada  kegelapan tiada penerangan. Tiada keheningan sekaligus hening. Tiada sesuatu yang tidak diterima dan diberikan. Murni tanpa noda, tiada pertentangan, terbebas dari pertentangan. Berdiam dalam area tanpa kediaman. Tidak mencapai pun tidak merosot, bukan dharma, pun bukan bukan-dharma. Bukan ladang kebajikan, pun bukan bukan ladang kebajikan. Tiada akhir, tidak berakhir, terbebas dari segala akhir. Adalah kekosongan sekaligus terbebas dari kekosongan.    ...........

Kasyapa, hanya Tathagata yang mengetahui kondisi ini. Para sravaka dan pratyeka tidak dapat mengetahuinya.

Demikianlah sifat kekekalan di sini seharusnya dipahami dalam konteks yang tak terkondisi dan terbebas dari dualitas. Singkatnya, sifat kekekalan di sini merujuk pada aspek prinsipil, bukan aspek fenomena. 


apakah dharmakaya di kutipan di atas dikatakan bahwa Tathagatha (BUDDHA) masih beredar ?? Karena dalam teks Pali, BUDDHA sendiri menghindari pertanyaan tentang apakah Tathagatha itu eksis ataupun tidak eksis setelah parinibbana. Tetapi ketika nibbana dicapai, dan dikatakan bahwa itulah kelahiran terakhir dan berakhirlah kelahiran dan kematian, LOGIS-nya yah tidak "BEREDAR" lagi.
Jadi mengapa "DHARMAKAYA" harus beredar lagi ?? Apakah untuk menolong "menyeberangkan" makhluk hidup ?? Jelas sekali bahkan di dalam sutra utama mahayana (Vajracheddika Sutra / Sutra Intan) dikatakan bahwa BAHKAN TATHAGATHA SENDIRI TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN SATU MAKHLUK HIDUP MANAPUN. Ini sesuai dengan semboyan dan semangat bahwa KITA SEMUA YANG MENENTUKAN JALAN HIDUP MASING MASING, MEWARISI KARMA MASING-MASING, BLA BLA BLA...

Inilah yang saya katakan adanya in-konsistensi konsep jika melihat sebagian tafsiran para MAHAYANIS. (saya tidak katakan bahwa ajaran MAHAYANA semua salah, bahkan saya sangat mengagumi ajaran ZEN (salah satu aliran MAHAYANA)...)


Quote from: chingik on 04 November 2008, 04:29:18 PM


3. Karena Mahayana mengajarkan Tathagatagarbha itu mencakup semuanya, maka Mahayana tidak menanggalkan konsep atman

Tathagatagarbha di sini merujuk pada potensi yang ada pada seluruh makhluk hidup. Tidak ada hubungannya dengan konsep atman, apalagi konsep atman telah disanggah juga dalam Mahayana.  Perumpamaan Tathagatagarbha dapat disimak dalam Mahavaipulya Tathagatagarbha Sutra: "Selanjutnya oh putra bajik, ibarat emas murni yang terjatuh ke dalam kotoran terpendam selama bertahun-tahun, emas murni tidak akan rusak namun tidak ada yang mengetahuinya. [Kemudian] seorang yang memiliki mata dewa berkata kepada semua orang, 'Di tempat kotoran ini terdapat permata emas murni. Kalian dapat mengeluarkannya dan menggunakannya sesuai kehendak. Demikian juga oh putra bajik, tempat kotor berarti noda batin. Permata emas berarti Tathagatagarbha. Orang yang memiliki mata dewa adalah Sang Tathagata. Oleh karena itu Sang Tathagata mewejangkan dharma kepada para makhluk hidup agar mereka dapat mengikis noda batin, mencapai pencerahan sempurna dan menjalankan aktivitas Buddha.


Jika dikatakan bahwa Tathagatagarbha merujuk pada potensi kebuddhaan atau bodhicitta, seharusnya seperti itulah yang harus di"pahami" bahwa hanya ada potensi pada semua makhluk bukan pada konsep Tathagatha yang dikatakan sebagai dharmakaya yang terus menerus "BEREDAR".


Quote from: chingik on 04 November 2008, 04:29:18 PM

4. Karena Mahayana mengajarkan bahwa sang Buddha tidak mencapai Nirvana, maka ini menunjukkan bahwa Nirvana itu tidaklah damai

Tetap mencapai Nirvana kok. Yang Tidak mencapai Nirvana adalah pernyataan dalam konteks prinsipil utk mengikis pandangan dualitas tentang pengertian mencapai dan tidak mencapai. Seorang Buddha bebas dari dualitas, sehingga tidak melekat pada apa yang ada dan tidak ada, tercapai atau tidak tercapai, nirvana atau samsara.   


Jika mencapai parinibbana, berarti Tathagatha tidak identik dengan dharmakaya. Atau Dharmakaya tidak identik dengan sosok seorang sammasambuddha. Ketika seorang sammasambuddha sudah parinibbana (sebagaimana dengan para arahat / savaka buddha ataupun pacceka buddha), maka sudah tidak ada lagi sosok buddha secara fisik/historis. Dengan ada atau tidaknya seorang sammasambuddha, Dharma (dengan huruf D besar, diartikan sebagai semua fenomena/hukum kesunyataan) tetap ada. Dengan adanya Dharma kita ibaratkan dharmakaya itu tetap ada, tetapi bukan dalam sosok seorang BUDDHA. Sehingga ini yang sering disalahartikan.


Quote from: chingik on 04 November 2008, 04:29:18 PM

5. Sutra-sutra Mahayana mencakup ramalan di mana para Sravaka akan menjadi Buddha

Karena dalam Theravada tidak berfokus mengajarkan jalan bodhisatva, maka konsili I tentu tidak akan mengangkat wejangan Buddha tentang ramalan ini.


Untuk lebih men-"JELAS"-kan masalah ini, tentunya harus disepakati dahulu terminologi bodhisatva. Apakah bodhisatva itu ?? Apakah seorang calon BUDDHA ?? atau lebih tepatnya adlaah seorang calon Sammasambuddha ??

Kalau dikatakan bahwa seorang BODHISATVA adalah seorang calon BUDDHA, maka saya, anda, bahkan seekor anjing pun adalah calon buddha. MENGAPA ??? Karena dikatakan bahwa semua makhluk memiliki benih kebuddhaan. berarti "SUATU SAAT" semua makhluk akan mencapai ke-BUDDHA-an, apakah ini bukan dikatakan bahwa saya dan anda juga adalah seorang calon BUDDHA. bahkan di dalam Vajrayana (yang juga dimasukkan sebagai MAHAYANA) dikatakan bahwa bahkan dalam SATU KEHIDUPAN INI, PARA VAJRAYANIS DIASPIRASIKAN MENCAPAI KEBUDDHAAN.

Jika terminologi seorang BODHISATVA adalah calon sammasambuddha (sesuai dengan buddhavamsa) tentang  seseorang yang di-"ramal"-kan seorang sammasambuddha akan mencapai sammasambuddha dimasa mendatang, harus menjalani tambahan beberapa assankheya kappa untuk merealisasikan PARAMI-nya, maka TIDAK ADA DIAJARKAN JALAN BODHISATVA, karena untuk mencapai tingkat SAMMASAMBUDDHA adalah berdasarkan aspirasi MASING-MASING MAKHLUK.

Note : Petapa Sumedha beraspirasi mencapai sammasambuddha dihadapan BUDDHA DIPANKARA, dan alhasil Petapa Sumedha harus menjalani 4 assankheya kappa dan 100.000 kappa untuk melengkapi parami-nya. padahal pada saat itu, petapa sumedha sudah memiliki bibit untuk mencapai tingkat savaka buddha (arahat) dibawah BUDDHA DIPANKARA. Demikian juga cerita SARIPUTRA yang beraspirasi menjadi seorang AGGASAVAKA (siswa UTAMA) seorang sammasambuddha, "terpaksa" harus menjalani tambahan 100.000 kappa untuk melengkapi paraminya.

...

bersambung....
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 04 November 2008, 08:05:50 PM
panjang banget..

aku besok baru reply yak...soale mao aye baca2 dulu..

ada test besok..

-_-"

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 04 November 2008, 08:28:40 PM
QuoteHahaha... bro.elsol..bro. elsol...

Anda yakin udah baca tuh Petavatthu lengkap? Saya ragu kok anda belum ya..... Masa kagak bisa nemuin, padahal udah saya kasih bagian mana dari Petavatthu yang anda bisa baca............

Ngaku udah baca Petavatthu tapi nggak tahu apa itu vimanapeta.... ini adalah suatu hal yang sangat lucu.....     la wong di Petavatthu saya baca sendiri disebutin dan dijelaskan kisah tentang Vimanapeta kok!!

Ini tanda anda belom baca....

Cari di om Google tuh kalau anda nggak punya buku Petavatthu... Nanti kalo anda benar-benar nggak nemuin, terus nyerah, baru saya kasih tuh sumbernya (krn saya punya buku Petavatthu)..... 

Outside the walls they stand,
   & at crossroads.
At door posts they stand,
   returning to their old homes.
But when a meal with plentiful food & drink is served,
   no one remembers them:
Such is the kamma of living beings.

Thus those who feel sympathy for their dead relatives
give timely donations of proper food & drink
   — exquisite, clean —
[thinking:] "May this be for our relatives.
      May our relatives be happy!"

And those who have gathered there,
   the assembled shades of the relatives,
with appreciation give their blessing
for the plentiful food & drink:
   "May our relatives live long
   because of whom we have gained [this gift].
   We have been honored,
   and the donors are not without reward!"

For there [in their realm] there's
   no farming,
   no herding of cattle,
   no commerce,
   no trading with money.
They live on what is given here,
   hungry shades
   whose time here is done.

As water raining on a hill
flows down to the valley,
   even so does what is given here
   benefit the dead.
As rivers full of water
fill the ocean full,
   even so does what is given here
   benefit the dead.

"He gave to me, she acted on my behalf,
   they were my relatives, companions, friends":
Offerings should be given for the dead
when one reflects thus
on things done in the past.
For no weeping,
   no sorrowing
   no other lamentation
      benefits the dead
      whose relatives persist in that way.
But when this offering is given, well-placed in the Sangha,
it works for their long-term benefit
and they profit immediately.

In this way    the proper duty to relatives has been shown,
      great honor has been done to the dead,
      and monks have been given strength:

   The merit you've acquired
      isn't small.


taken from hxxp://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/pv/pv.1.05.than.html

coba cari kata Vimapeta disini..-_-"...jelas2 gk ada gitu...

QuoteYa memang Bodhisattva tidak sesuci Buddha, semua sekte pun mengakui demikian.....

buktinya dalam Mahayana para Boddhisatva level tinggi dah dianggap sebagai Buddha, karena level(baca: tingkat kesucian) mereka dah setaraf dengan Buddha!...nah loh?!...yg bener yg mana neh?...gw liat banyak umat2 Vajra(Vajra= maha) manggil Avalokhitesvara, tara, dll sebagai BUDDHA...bukan Boddhisatva, dan mereka jelasinnya ke gw karena Boddhisatva2 itu kesuciannya dah selevel sama Buddha...

QuoteEmang Angulimala kagak?

Angulimala jadi Arahat waktu dia mati???...masalahnya khan dia jadi Arahat waktu dia masih idup..dan di boost sama kamma baek lampau dia sehingga bisa jadi Arahat...kayak diteken ajah pake batu..

tapi kalo Angulimala dah meninggal dunia..dan jadi lets say Dhammapala or Arahat...itu khan gk mungkin!...karena kondisi batin dan fisik sangat2 menderita...

bahkan sang Buddha pernah suruh Bhikkhu kasih makan orang laper yg pengen denger Dhamma, karena kalo laper denger Dhamma susah masuk..apalage Peta yg menderita terus menerus nonstop 24 jam...

IMPOSSIBLE!...

QuoteYa udah.....kalau gitu saya milih Mahasanghika saja deh... karena lumayan selaras dengan ajaran Mahayana tentang Bodhisattva yang saya yakini dan secara logika masuk...

oh..haha..minta2 ama Boddhisatva buatan itu logika yak?...huahuahua
iyah deh..yg logikanya tinggi..huahuahua

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 04 November 2008, 08:33:51 PM
Quote from: GandalfTheElder on 04 November 2008, 02:43:18 PM
Quoteoh iyah gw mao tanya, Avalokhitesvara dan Majusri itu makhluk apa? deva? asuhra? peta?...soale kononnya khan mereka bisa ngabulin permintaan orang2 yg meminta...berarti berbadan halus donk...kayak versi ROH taoism...no?

Surga Akanistha

Alam Akanistha adalah yang tertinggi dalam kelompok alam Suddhavasa, Rupadhyana [Rupajhana] keempat.

"Tempat Sambhogakaya adalah alam surga Akanishta-Ghanavyuha"
(Vimalamitra)

Dalam Tattvasamgraha disebutkan:
"Di surga Akanishta yang sempurna, yang berada di atas Surga Suddhavasa, para Bodhisattva mencapai Pengetahuan Sempurna dan di bawah pengaruhnya, seorang Buddha muncul di dunia ini."

Lankavatara Sutra berkata bahwa para Nisyanda Buddha [Sambhogakaya] berdiam di Akanishta.

Disebutkan dalam Mahayana, para Bodhisattva tingkat ke-10 ini seperti Avalokitesvara dan Manjusri menghuni alam Deva Akanishta.

Alam Akanishta ini adalah alam kelahiran kembali para Anagamin. Namun tentu pencapaian Bodhisattva dengan para Anagamin adalah jauh berbeda.

Di alam Akanishta ini ada istana Tanah Suci Vairocana Buddha, di mana para Bodhisattva tingkat 10 (Dharmamegha) berdiam.

Hali ini sama keadaanya seperti Tanah Suci Bodhisattva Maitreya di Surga Tusita. Surga Tusita dibagi dua:
1. Surga Tusita bagian dalam adalah Tanah Suci Bodhisattva Maitreya.
2. Surga Tusita bagian luar adalah alam dewa yang masih terikat nafsu.

Kalau diperbandingkan dengan Alam Akanistha maka:
1. Surga Akanistha bagian dalam adalah Tanah Suci Vairocana Buddha tempat para Bodhisattva tingkat Dharmamegha berdiam.
2. Surga Akanistha bagian luar merupakan kediaman para Dewa Anagamin.

Maha-Mahesvara

Bahkan untuk membedakan antara Akanishta Anagamin dengan Akanishta Bodhisattva, maka Surga Akanishta Bodhisattva tingkat 10 berdiam diberi nama Surga Maha Mahesvara.

Kamalasila yang mengkomentari kalimat di atas mengatakan bahwa di atas Akanistha, terdapat alam Mahamahesvara, tempat para Bodhisattva Tingkat 10 berdiam.

Konon Surga Mahamahesvara ini dikuasai oleh Dewa Mahesvara (Siva). Namun kedudukannya berada di bawah para Bodhisattva tingkat 10.

Seperti Dewa Santusita, penguasa surga Tusita, yang tentu tidak dapat diperbandingkan dengan keagungan, kebajikan dan kebijaksanaan Bodhisattva Maitreya yang juga berada di Surga Tusita.

Namun, Dasabhumika Sutra mengatakan bahwa Bodhisattva tingkat 10 adalah Mahesvara. Bagaimana ini? Lo kalau begitu Dewa Siva itu Bodhisattva tingkat 10 dong?

Ada pandangan yang menyebutkan bahwa Mahesvara yang berada di Akanistha bukanlah Siva. Siva adalah Pisaca-Mahesvara yaitu Isana yang berada di Surga Parinirmitavassavartin, bukan Maha-Mahesvara. Jadi Siva dan Mahamesvara adalah berbeda.

Umur Dewa Akanistha

Diketahui bahwa umur Maitreya Bodhisattva di surga Tusita sama dengan umur para deva penghuni Tusita yang lainnya.

Demikian juga umur Bodhisattva tingkat Dharmamegha di alam Akanistha adalah 16.000 Maha Kalpa sebelum mencapai tingkat Anuttara Samyaksambodhi. [mungkin ini merujuk pada Bodhisattva tingkat 10 yang menunda Ke-Buddhaannya, seperti Avalokitesvara, jadi tidak semua Bodhisattva tingkat 10]

Umur para Deva Anagamin di Akanishta juga 16.000 Maha Kalpa sebelum mencapai tingkat Arahat.

Manomayakaya [Sambhogakaya]

Buddhagupta dalam komentarnya tentang Mahavairocana Sutra berkata:
"Sambhogakaya dari Bhagavat tidak berada di suatu waktu ataupun tempat yang pasti dalam sutra-sutra dan tantra-tantra lainnya, di beberapa sutra dan tantra, Mahavairocana [dikatakan] berada di Surga Akanishta dan mengajarkan Dharma, yang lainnya [berkata] Mahavairocana berada di atas Gunung Sumeru mengajarkan Dharma, atau seperti Nirmanakaya yang berada di Rajagrha, atau tempat lainnya seperti Sravasti dan mengajarkan Dharma."

Para Bodhisattva tingkat 10 yang berada di istana dalam Akanishta adalah para Bodhisattva dalam wujud manomayakaya [tubuh ciptaan pikiran].

Maka dari itu tidak mengherankan bahwa ada 2 Maitreya Bodhisattva. Di sini bukan berarti ada 2 pribadi Maitreya Bodhisattva.

Tetapi Maitreya Bodhisattva di Surga Tusita adalah makhluk alam deva (tapi tentu bukan dewa yang biasa-biasa saja). Beliau memiliki manomayakaya (Sambhogakaya) di alam Akanistha, istana Vairocana Buddha.

Jadi Manomayakaya/Sambhogakaya di Surga Akanishta bermanifestasi menjadi para Nirmanakaya Buddha dan para Bodhisattva di Surga Tusita. Bisa juga dikatakan bahwa Sambhogakaya itu adalah para Dhyani Bodhisattva. Maitreya Bodhisattva di Surga Tusita adalah Nirmanakaya dari [Sambhogakaya] Dhyani Bodhisattva Maitreya di Surga Akanishta.

Dalam tradisi Theravada, Manomayakaya dapat dibandingkan dengan Nimitta Buddha yaitu tubuh yang diciptakan oleh kekuatan pikiran Sang Buddha, yang berdiam di alam Surga. Hanya para deva tingkat tinggi saja yang dapat melihat para Nimitta Buddha mengajarkan Dhamma.

Nimitta Buddha ini dapat diperbandingkan dengan Manomayakaya / Sambhogakaya.

Lebih lanjut, dikatakan bahwa Vairocana di alam Akanistha adalah manomayakaya / Sambogakaya dari Sakyamuni Buddha di alam manusia.

Mungkinkah Vairocana Buddha adalah Nimitta Buddha? Bisa saja. Apalagi Vairocana dalam Mahayana memang Nirmita [nimitta/emanasi] dari Dharmakaya.

Menurut keterangan Buddhaguhya, Anandagarbha dan Saktyamitra, setelah lahir dari akndungan Mahamaya, Bodhisattva Siddharta sudah memiliki karakteristik dari Bodhisattva tingkat ke-10. Dan memang ketika di Surga Tusita-pun, Bodhisattva Svetaketu adalah Bodhisattva tingkat 10. Konon setelah Pangeran Siddharta melakukan pertapaan keras selama 6 tahun di tepi sungai Nairanjara, ia mencapai Samadhi "aninjyo-nama-samadhi" dan "aspharanaka-samadhi".

Pada waktu itu, para Buddha dari sepuluh penjuru datang berkumpul dan berkata pada Petapa Siddharta: "Engkau tidak dapat menjadi Samyaksambuddha dengan hanya menggunakan Samadhi ini.". "Maka dari itu bagaimana aku melakukannya", Ia memohon. Para Buddha kemudian menuntunnya ke Surga Akanishta.

Tubuh manusia Siddharta [vipaka-kaya] tetap berada di tepi Sungai Nairanjara, namun Manomayakaya Pangeran Siddharta yaitu Bodhisattva Sarvarthasiddha pergi menuju Surga Akanishta. Di sana Pangeran Siddharta mendapat lima Abhiseka Abhisambodhi.

Setelah mendapatkan kelima abhiseka tersebut, Bodhisattva Siddharta menjadi Samyaksambuddha Sejati dan Manomakaya Petapa Siddharta yaitu Bodhisattva Sarvarthasiddha menjadi Samyaksambuddha Maha Vairocana.

[Maka dari itu bersesuaian dengan catatan Theravada, bahwa ketika menjelang Parinibbana, pikiran Sang Buddha memasuki meditasi dan setelah memasuki Jhana keempat, Beliau mencapai Nibbana."]

Sambhogakaya seorang Bodhisattva disebut sebagai Parasambhogakaya dan Sambhogakaya seorang Buddha adalah Svasmbhogakaya.

Para Nimitta Buddha itu ada setiap saat, ini bisa diketahui dari pengalaman meditasi Acariya Mun sendiri yang seorang bhikkhu Theravada, ketika ia melakukan Samadhi-Nimitta para Buddha.
Lihat: http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=5087.0

Bahkan dalam Prajnaparamita, pada mulanya memang Sambhogakaya adalah Nirmita [Nimitta]. Dan dalam Mahayana akhirnya diyakini bahwa Nirmanakaya dan Sambhogakaya keduanya adalah Nirmita [created, emanated] dari Dharmakaya. Oleh karena itu dikatakan bahwa Sakyamuni Buddha merupakan Nirmita dari Sambhogakaya Amitabha dan Mahavairocana serta Dharmakaya Vajradhara.

Dapatkah Sambhogakaya Terlihat Oleh Orang Biasa?

Acariya Mun yang diyakini telah mencapai tingkatan kesucian dapat melihat nimitta para Buddha dan para Arahant.

Demikian juga menurut Je Tsongkhapa:
"Sambhogakaya ini muncul pada mereka yang telah mencapai tingkatan Dharmamegha yang telah memiliki pikiran bodhicitta bebas dari imajinasi yang berkembang [prapanca] dan mencapai cermin parjna yang tidak ternoda yang berasal dari pengumpulan kebajikan dan pengetahuan; dan Sambhogakaya tidak muncul secara konkret di hadapan manusia biasa [prthagjana] yang masih memiliki imajinasi yang berkembang."

Jadi Sambhogakaya hanya dapat dilihat oleh mereka yang mencapai tingkatan kesucian. Kalau ada orang biasa yang mengaku telah melihat Sambhogakaya, maka itu adalah omong kosong besar, mungkin cuma imajinasinya dia aja.

Nah, lantas bagaimana yang katanya Avalokitesvara dapat terlihat oleh orang biasa menolong manusia dari bencana dsb?

Untuk menjawab ini, marilah kita lihat Sakra, raja para dewa. Beberapa kali Sakra berwujud sebagai seorang manusia dan binatang. Nah kalau Sakra bisa, kenapa Avalokitesvara yang merupakan penghuni alam Akanishta tidak bisa??

Tentu, Avalokitesvara yang merupakan Bodhisattva tingkat 10 dapat mewujudkan dirinya dalam berbagai macam bentuk bukan? Di antaranya sebagai devata yang bisa dilihat oleh mereka yang memiliki abhijna biasa-biasa saja.

Maka dari itu mereka yang memiliki abhijna hanya dapat melihat Avalokitesvara yang berwujud sebagai devata. Mereka tidak dapat melihat Sambhogakaya Avalokitesvara Yang Sejati.

Jadi kalau ada orang pinter atau suhu yang ngaku-ngaku bisa liat Sambhogakaya Avalokitesvara, tapi sikap hidupnya klenik dan nggak sesuai Dharma, sudah dijamin pasti omong kosong besar. Apalagi sampai ada yang  katanya lok-thung [kerasukan] Avalokitesvara... ini sudah sangat keterlaluan karena merendahkan Bodhisattva Avalokitesvara.

Sambhogakaya = Atman?

Sambhogakaya adalah perwujudan Dharmakaya dalam ruang lingkup konvensional. Sama dengan para Nimitta Buddha yang merupakan perwujudan konvensional dari Dhammakaya.

Sambhogakaya adalah suatu tubuh Buddha yang merupakan simbol non-dualisme antara konvensional dan absolut. Tubuh tersebut muncul dari lautan Dharmakaya agar dapat diterima oleh kita yang konvensional ini.

Lantas apakah Sambhogakaya ini Atman? Bukan! Bahkan ketika para Vajrayanis bermeditasi pada Bodhisattva yang menjadi Ishtadevata mereka, para Bodhisattva tersebut janganlah dilihat sebagai mempunyai tubuh kasar. Tetapi pandanglah Bodhisattva tersebut bagaikan pantulan bulan di atas air.

Di Theravada pun sudah jelas bahwa para Nimitta Buddha pukan Atta.

Sambhogakaya ini juga bukan "roh" tetapi merupakan Nirmita [emanasi] / Manomayakaya [tubuh pikiran] dari para Buddha dan Bodhisattva.

_/\_
The Siddha Wanderer

kalo bisa pake kata2 yg simple, instant dan gampang dimengerti...

aku bukan tipe nerd kuper yg kerjaannya duduk depan komputer 24/7..jadi gk biasa banget baca tulisan panjang2 dimonitor..

masih sayang gw sama mata gw...kasian....;D
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 05 November 2008, 05:32:22 AM
Quote

Outside the walls they stand,
   & at crossroads.
At door posts they stand,
   returning to their old homes.
But when a meal with plentiful food & drink is served,
   no one remembers them:
Such is the kamma of living beings.

Thus those who feel sympathy for their dead relatives
give timely donations of proper food & drink
   — exquisite, clean —
[thinking:] "May this be for our relatives.
      May our relatives be happy!"

And those who have gathered there,
   the assembled shades of the relatives,
with appreciation give their blessing
for the plentiful food & drink:
   "May our relatives live long
   because of whom we have gained [this gift].
   We have been honored,
   and the donors are not without reward!"

For there [in their realm] there's
   no farming,
   no herding of cattle,
   no commerce,
   no trading with money.
They live on what is given here,
   hungry shades
   whose time here is done.

As water raining on a hill
flows down to the valley,
   even so does what is given here
   benefit the dead.
As rivers full of water
fill the ocean full,
   even so does what is given here
   benefit the dead.

"He gave to me, she acted on my behalf,
   they were my relatives, companions, friends":
Offerings should be given for the dead
when one reflects thus
on things done in the past.
For no weeping,
   no sorrowing
   no other lamentation
      benefits the dead
      whose relatives persist in that way.
But when this offering is given, well-placed in the Sangha,
it works for their long-term benefit
and they profit immediately.

In this way    the proper duty to relatives has been shown,
      great honor has been done to the dead,
      and monks have been given strength:

   The merit you've acquired
      isn't small.


taken from hxxp://www.accesstoinsight.org/tipitaka/kn/pv/pv.1.05.than.html

coba cari kata Vimapeta disini..-_-"...jelas2 gk ada gitu...

Wakakakaka  =))  =))

Baca tuh judulnya di link yang anda kasih:

Petavatthu
Stories of the Hungry Ghosts
(excerpt)

Anda tahu apa itu excerpt?

Anda tuh cuma bacanya ternyata cuma bagian I.5 aja toh....... Makanya saya tanya pada anda:

"Anda yakin udah baca tuh Petavatthu lengkap?"

Eh... baru baca sebagian kecil saja udah pede ngomong kalau di Petavatthu nggak ada kisah Vimanapeta..... ya ampun............. Konyol... konyol........  :))  :))  :))

Quotebuktinya dalam Mahayana para Boddhisatva level tinggi dah dianggap sebagai Buddha, karena level(baca: tingkat kesucian) mereka dah setaraf dengan Buddha!...nah loh?!...yg bener yg mana neh?...gw liat banyak umat2 Vajra(Vajra= maha) manggil Avalokhitesvara, tara, dll sebagai BUDDHA...bukan Boddhisatva, dan mereka jelasinnya ke gw karena Boddhisatva2 itu kesuciannya dah selevel sama Buddha...

Silahkan baca ini:

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=5314.0

Kalau kagak kuat baca, ya terserah. Kalau anda mau tahu, ya baca.

QuoteAngulimala jadi Arahat waktu dia mati???...masalahnya khan dia jadi Arahat waktu dia masih idup..dan di boost sama kamma baek lampau dia sehingga bisa jadi Arahat...kayak diteken ajah pake batu..

tapi kalo Angulimala dah meninggal dunia..dan jadi lets say Dhammapala or Arahat...itu khan gk mungkin!...karena kondisi batin dan fisik sangat2 menderita...

bahkan sang Buddha pernah suruh Bhikkhu kasih makan orang laper yg pengen denger Dhamma, karena kalo laper denger Dhamma susah masuk..apalage Peta yg menderita terus menerus nonstop 24 jam...

IMPOSSIBLE!...

Wakakaka......

Nah... misalnya kalau ada pembunuh seperti Angulimala terus bertobat dan mencapai tataran Anagamin......... terus meninggal, terus masuk mana hayooo??

Menderita getoh yaa?? Padahal Anagamin itu langsung... wusssss.... masuk Surga Akanittha.....

Dan lagipula.... anda tahu Sabda Sang Buddha tentang perang?

Guru Buddha melanjutkan, "Buddha mengajarkan bahwa segala perang di mana terjadi pembantaian terhadap saudara-saudara sendiri adalah sangat
disayangkan sekali. Akan tetapi, Buddha tidak mengajarkan bahwa mereka yang terlibat perang untuk memelihara perdamaian dan ketentraman, setelah menggunakan berbagai cara untuk menghindari konflik, adalah pantas disalahkan."


"Perjuangan tetap harus ada, karena pada hakikatnya hidup adalah perjuangan. Tetapi pastikan bahwa engkau tidak berjuang demi kepentingan pribadi hingga menentang kebenaran dan keadilan. Seseorang yang berjuang demi kepentingan pribadi untuk membesarkan dirinya sendiri atau memiliki kekuasaan atau kaya atau terkenal, tidak akan
mendapatkan penghargaan. Tetapi, dia yang berjuang demi perdamaian dan kebenaran akan memperoleh penghargaan besar; bahkan kekalahannya akan dianggap sebagai kemenangan."

"Kemudian Sinha, jika seseorang pergi berperang bahkan untuk alasan yang pantas, dia harus siap-siap untuk dibunuh musuhnya karena kematian adalah bagian dari resiko seorang prajurit. Dan jika karmanya itu mengikutinya, dia tidak memiliki alasan apapun untuk mengeluh. Tetapi jika dia yang menang, keberhasilannya akan dianggap besar, tetapi tidak peduli sebesar apapun itu, roda kehidupan akan berputar kembali dan membawa hidupnya hancur lebur seperti debu."

Saya yakin Guan Yu adalah seorang yang seperti disebutkan Sang Buddha di atas.

Sekali lagi saya tekankan, bekerja karma tidak sesederhana yang anda bayangkan. Saya dan bro. Edward sudah menjelaskannya pada anda.

Anda seolah-olah menekankan bahwa karma buruk Guan Yu itu buesarrrr.... padahal... Guan Yu sendiri juga banyak berbuat kebajikan........

Bahkan Guan Yu berperang bukan karena menjajah atau alasan yang buruk, tetapi:

"Buddha tidak mengajarkan bahwa mereka yang terlibat perang untuk memelihara perdamaian dan ketentraman, setelah menggunakan berbagai cara untuk menghindari konflik, adalah pantas disalahkan."

Lagian, baca dulu tentang Vimanapeta baru ngomong!  ^-^  ^-^

Quoteoh..haha..minta2 ama Boddhisatva buatan itu logika yak?...huahuahua
iyah deh..yg logikanya tinggi..huahuahua

Wakakaka...... ya logika dong..... ketika saya berpikir memohon pada Bodhisattva..... Bodhisattva itu ada di mana ya???

Pikiran saya kan? La karena saya sadari bahwa Bodhisattva itu sejatinya ada dalam pikiran saya, maka otomatis saya memohon pada diri saya sendiri... Lak getoh?

Alam Akanishta itu juga ada di alam pikiran saya sendiri.

10 alam tumibal lahir ada dalam pikiran saya sendiri.

Bedanya dengan agama lain: mayoritas kalau di agama lain memohon-mohon pada Tuhannya, mereka nggak menyadari bahwa Tuhan mereka itu ada dalam pikiran mereka sendiri, alhasil ya mereka merasa Tuhan itu berada di luar diri mereka.....

Quotekalo bisa pake kata2 yg simple, instant dan gampang dimengerti...

aku bukan tipe nerd kuper yg kerjaannya duduk depan komputer 24/7..jadi gk biasa banget baca tulisan panjang2 dimonitor..

masih sayang gw sama mata gw...kasian....

Saya sudah menjelaskan apa adanya. Silahkan baca sendiri......

Hoooo..... anda lebih sayang mata anda ketimbang membaca uraian Dharma yang panjang tapi padahal kalau dibaca 10 menit aja udah selesai ???  ^-^

Apa hubungannya mata juga sama kata-kata yang simple dan gampang dimengerti?
Memang mata bisa berpikir tentang tulisan ya??

Wah.... bener-bener nerd nih...... kuper sama Dharma.....

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 05 November 2008, 09:20:28 AM
Quote from: dilbert on 04 November 2008, 06:28:50 PM
Banyak murid yang lulus sekolah/kuliah, tetapi tidak semua yang bisa menjadi GURU/DOSEN...

Semua makhluk dikatakan memiliki benih ke-buddha-an, tetapi tidak semua yang bisa menjadi seorang sammasambuddha (membabarkan ajaran).

Siklus kehidupan itu tidak terbatas. Selama masih berada dalam samsara, maka probabilitas seseorang utk memunculkan aspirasi agung itu jauh lebih memungkinkan dari pada angka nol sama sekali seperti yg anda pesimiskan.
Alhasil saya merasa lega setelah dalam Mahaparinirvana Sutra di mana Buddha mengatakan bahwa Icchantika juga dapat mencapai kebuddhaan.  Ini mencerminkan sifat egaliter dari ajaran Buddha. 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 05 November 2008, 01:05:47 PM
Sebenarnya kalau saya pribadi tidak "mempermasalahkan" kitab mana satu yang lebih tua atau lebih orisinil. Tetapi lebih mengedepankan "isi" kitab-nya dan kecenderungan penafsirannya. Kitab Kitab yang "KONSISTEN" konsep-nya dari awal sampai akhir itulah yang dikatakan sebagai satu kesatuan yang logis.

Sama dong...saya juga  ;)

apakah dharmakaya di kutipan di atas dikatakan bahwa Tathagatha (BUDDHA) masih beredar ?? Karena dalam teks Pali, BUDDHA sendiri menghindari pertanyaan tentang apakah Tathagatha itu eksis ataupun tidak eksis setelah parinibbana. Tetapi ketika nibbana dicapai, dan dikatakan bahwa itulah kelahiran terakhir dan berakhirlah kelahiran dan kematian, LOGIS-nya yah tidak "BEREDAR" lagi.
Jadi mengapa "DHARMAKAYA" harus beredar lagi ?? Apakah untuk menolong "menyeberangkan" makhluk hidup ?? Jelas sekali bahkan di dalam sutra utama mahayana (Vajracheddika Sutra / Sutra Intan) dikatakan bahwa BAHKAN TATHAGATHA SENDIRI TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN SATU MAKHLUK HIDUP MANAPUN. Ini sesuai dengan semboyan dan semangat bahwa KITA SEMUA YANG MENENTUKAN JALAN HIDUP MASING MASING, MEWARISI KARMA MASING-MASING, BLA BLA BLA...

Inilah yang saya katakan adanya in-konsistensi konsep jika melihat sebagian tafsiran para MAHAYANIS. (saya tidak katakan bahwa ajaran MAHAYANA semua salah, bahkan saya sangat mengagumi ajaran ZEN (salah satu aliran MAHAYANA)...)


Dharmakaya bebas dari dualitas. Pada hakikatnya tidak bisa dikatakan beredar atau tidak. Kondisi ini tentu tidak dapat dipahami oleh kita yang awam. Buddha sendiri mengatakan hanya sesama para Buddha yang dapat menyelaminya, bodhisatva bhumi-10 pun belum sanggup. Untuk memudahkannya, Buddha selalu menggunakan kata seperti "bukan ini maupun bukan itu, tidak ini maupun tidak itu". Padahal menggunakan bentuk verbal apapun utk menjelaskannya sudah merupakan satu hal yang menyimpang dari hakikat sejati itu sendiri. Tapi ya harus tetap begitu, kondisi makhluk hidup memang harus diajari secara verbal. Selanjutnya selami sendiri.   

Jika Buddha menghindari pertanyaan apakah Tathagata itu eksis atau tidak setelah parinibbana, mengapa masih mengatakan tidak beredar? sama saja masih dalam koridor 'kalo bukan ini, ya itu'.
Dalam Mahayana penghindaran ini hanya karena kondisinya belum tepat utk diutarakan kepada para pendengarnya pada momen itu. Sama seperti ada kalanya Buddha mengatakan kekal ada kalanya mengatakan tidak kekal. Pernyataan yang seolah-olah terlihat tidak konsisten banyak ditemukan dalam Sutta juga. Makanya Milindapanha banyak bertanya pada Nagasena sehubungan dengan hal2 seperti itu.

Jika dikatakan bahwa Tathagatagarbha merujuk pada potensi kebuddhaan atau bodhicitta, seharusnya seperti itulah yang harus di"pahami" bahwa hanya ada potensi pada semua makhluk bukan pada konsep Tathagatha yang dikatakan sebagai dharmakaya yang terus menerus "BEREDAR".

Justru Tathagatagarbha adalah salah satu cara bijak utk menunjuk tentang potensi itu. Mengapa salah satu? itulah pointnya. Selain istilah ini, Buddha menggunakan banyak terminologi utk menunjuk 'potensi' itu, seperti bodhicitta-> batin pencerahan, itu juga mengarah ke itu itu juga.  Agar kita tidak terpaku mati pada satu term dan memegangnya erat2.   Dalam tradisi Zen, kita diajarkan utk mengamati ko'an, seperti 'apa wujud sejati sebelum dilahirkan orangtua'? Ini juga satu kalimat yg mengarahkan kita utk menyadari hakikat pencerahan.  Dharmakaya adalah tidak lahir dan tidak lenyap, tidak berkembang dan tidak berkurang, bukan ada dan tiada.. , coba jelaskan pada ku apakah itu dikatakan terus beredar atau tidak? tidak bisa ungkapkan dengan kata2. Kalo sering terdengar Dharmakaya Buddha itu eksis, buktikan saja sendiri. Jika tidak mendapatkannya ya anggap saja tidak eksis lagi. Kalo melihatnya, ya eksis. Tapi apakah masih eksis? Sulit dijawab, sebab yang eksis itu pada hakikatnya kan Sunyata. Sekarang saja anda bilang Tubuh fisik itu ada atau tidak? Relatif, tergantung dari sudut pandang apa anda melihatnya.  Kalo ada , coba anda telusuri sampai ke bentuk atomis. Atom itu saja ada atau tidak? kalo ada coba diamati lebih dekat, itu hanya gabungan dari partikel proton dan elektron, seterusnya amati lebih dekat, apakah elektron itu ada? apakah quark itu ada? diteliti hingga ke ujung2nya juga tidak ada inti yg sebenarnya kosong belaka.  Semua ini berpijak pada sudut pandang saja.

Jika mencapai parinibbana, berarti Tathagatha tidak identik dengan dharmakaya. Atau Dharmakaya tidak identik dengan sosok seorang sammasambuddha. Ketika seorang sammasambuddha sudah parinibbana (sebagaimana dengan para arahat / savaka buddha ataupun pacceka buddha), maka sudah tidak ada lagi sosok buddha secara fisik/historis. Dengan ada atau tidaknya seorang sammasambuddha, Dharma (dengan huruf D besar, diartikan sebagai semua fenomena/hukum kesunyataan) tetap ada. Dengan adanya Dharma kita ibaratkan dharmakaya itu tetap ada, tetapi bukan dalam sosok seorang BUDDHA. Sehingga ini yang sering disalahartikan.

Sering salahartikan itu memang banyak. Makanya mengapa kita dinasihati utk menyelami dharma secara mendalam. Bukan menafsirkan secara dangkal. Kitab Pali saja jika tidak diselami secara mendalam juga banyak disalahartikan. Sampai sampai ajaran Buddha dikatakan pesimis karena mengajarkan dukkha. Ini satu contoh yg sering disalah tafsirkan bukan? Anggapan menjadi bhikkhu itu adalah utk orang yg putus asa, ini salah diartikan juga bukan? karena tidak menyelami dharma secara mendalam. Banyak sekali kesalahpahaman. Itu sulit dihindari. Apalagi penafsiran itu juga berbeda-beda. Itulah yang juga menyebabkan mengapa terbagi menjadi banyak sekte. Theravada saja terbagi ke banyak sekte juga, karena apa ? penafsiran yang saling berbeda2. 





 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 05 November 2008, 03:17:52 PM
Quote from: chingik on 05 November 2008, 09:20:28 AM
Quote from: dilbert on 04 November 2008, 06:28:50 PM
Banyak murid yang lulus sekolah/kuliah, tetapi tidak semua yang bisa menjadi GURU/DOSEN...

Semua makhluk dikatakan memiliki benih ke-buddha-an, tetapi tidak semua yang bisa menjadi seorang sammasambuddha (membabarkan ajaran).

Siklus kehidupan itu tidak terbatas. Selama masih berada dalam samsara, maka probabilitas seseorang utk memunculkan aspirasi agung itu jauh lebih memungkinkan dari pada angka nol sama sekali seperti yg anda pesimiskan.
Alhasil saya merasa lega setelah dalam Mahaparinirvana Sutra di mana Buddha mengatakan bahwa Icchantika juga dapat mencapai kebuddhaan.  Ini mencerminkan sifat egaliter dari ajaran Buddha. 


tidak ada angka nol yang saya katakan (mustahil/impossible). tetapi berdasarkan realitas bahwa memang semuanya tidak bisa mencapai tataran annutara sammasambuddha.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 05 November 2008, 03:18:26 PM
QuoteWakakakaka   

Baca tuh judulnya di link yang anda kasih:

Petavatthu
Stories of the Hungry Ghosts
(excerpt)

Anda tahu apa itu excerpt?

Anda tuh cuma bacanya ternyata cuma bagian I.5 aja toh....... Makanya saya tanya pada anda:

"Anda yakin udah baca tuh Petavatthu lengkap?"

Eh... baru baca sebagian kecil saja udah pede ngomong kalau di Petavatthu nggak ada kisah Vimanapeta..... ya ampun............. Konyol... konyol........     
mana getehe...gw kira itu khan Petavatthu yg lengkap...

tapi dari excerptnya ajah dah bisa dilihat kalo alam peta itu sangat2 menderita..so back to topic...

Makhluk menderita = gk bisa belajar Dhamma...that's it!..and Guang kong kalo terlahir jadi Peta, maka tidak mungkin beliau bisa belajar Dhamma...
QuoteSilahkan baca ini:

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=5314.0

Kalau kagak kuat baca, ya terserah. Kalau anda mau tahu, ya baca.

ini dah out of topic...nanti sek gw baca...

QuoteWakakaka......

Nah... misalnya kalau ada pembunuh seperti Angulimala terus bertobat dan mencapai tataran Anagamin......... terus meninggal, terus masuk mana hayooo??

Menderita getoh yaa?? Padahal Anagamin itu langsung... wusssss.... masuk Surga Akanittha.....


Anagamin??....Anagami maksudne?...

seorang anagami yg telah meninggal akan terlahir kembali...akan terlahir di alam Suddhavasa...

QuoteAnagami literally means 'no returner'. An anagami will not be reborn in the sense sphere. If he does not attain the arahatship in the present life yet, he will be reborn in a Brahma realm or Pure Abode Suddhavasa, where he will attain arahatship and pass to Nibbana.

Taken from http://web.ukonline.co.uk/buddhism/mtinmon4.htm


seorang manusia bisa jadi Anagami memerlukan Kamma baek yg sangat besar!...contoh Angulimala, itu..sang Buddha sebelum menyadarkan Angulimala, beliau melihat dulu kamma Angulimala..apakah cukup bagi dia untuk jadi Arahat, dan ternyata cukup dan kalo dia sempet membunuh ibunya, maka tidak akan cukup kamma baek Angulimala untuk jadi Arahat...

ngerti?..

dan di case Guan gong, itu impossible bagi dia untuk bisa jadi Deva, kenapa?..

1.dia ngebunuh banyak2 orang
2.dia SEMPET JATUH ke alam peta
3.gk gampang keluar dari alam peta, karena isinya hanya penderitaan dan Buddha Dhamma tidak akan dimengerti oleh mereka yg sedang menderita...

QuoteDan lagipula.... anda tahu Sabda Sang Buddha tentang perang?

Guru Buddha melanjutkan, "Buddha mengajarkan bahwa segala perang di mana terjadi pembantaian terhadap saudara-saudara sendiri adalah sangat
disayangkan sekali. Akan tetapi, Buddha tidak mengajarkan bahwa mereka yang terlibat perang untuk memelihara perdamaian dan ketentraman, setelah menggunakan berbagai cara untuk menghindari konflik, adalah pantas disalahkan."
bah watever the stupid Buddha said...

what I know is that..sang Buddha mengajarkan bahwa nanem jagung keluar jagung...nanem padi keluar padi...mao disalahkan ato didewakan..tetap ajah Kamma tetap berjalan...


Quote
"Perjuangan tetap harus ada, karena pada hakikatnya hidup adalah perjuangan. Tetapi pastikan bahwa engkau tidak berjuang demi kepentingan pribadi hingga menentang kebenaran dan keadilan. Seseorang yang berjuang demi kepentingan pribadi untuk membesarkan dirinya sendiri atau memiliki kekuasaan atau kaya atau terkenal, tidak akan
mendapatkan penghargaan. Tetapi, dia yang berjuang demi perdamaian dan kebenaran akan memperoleh penghargaan besar; bahkan kekalahannya akan dianggap sebagai kemenangan."
perjuangan yg dimaksudkan..dan gw yakin sekali...

perjuangany yg dimaksudkan adalah..perjuangan untuk membantu diri sendiri dan makhluk2 lain agar bisa bebas dari Dukkha, agar semua makhluk dapat berbahagia, walaupun dalam kondisi yg tidak sehat, contohnya perang, bencana alam ato wabah penyakit...

sang Buddha pernah quote(kira2 sperti ini) : " jika engkau menang, maka akan sombong dan merendahkan orang laen, jika engkau kalah maka engkau akan membenci orang2 yg menang."

gw liat dari quote itu + pancasila gw bisa buat kesimpulan yg lumayan kuat bahwa sang Buddha menolak perang 100% dengan alasan apapun juga!...

Quote
"Kemudian Sinha, jika seseorang pergi berperang bahkan untuk alasan yang pantas, dia harus siap-siap untuk dibunuh musuhnya karena kematian adalah bagian dari resiko seorang prajurit. Dan jika karmanya itu mengikutinya, dia tidak memiliki alasan apapun untuk mengeluh. Tetapi jika dia yang menang, keberhasilannya akan dianggap besar, tetapi tidak peduli sebesar apapun itu, roda kehidupan akan berputar kembali dan membawa hidupnya hancur lebur seperti debu."
watever thing..no comment for this one...nothing to discuss..

Quote
Saya yakin Guan Yu adalah seorang yang seperti disebutkan Sang Buddha di atas.

Sekali lagi saya tekankan, bekerja karma tidak sesederhana yang anda bayangkan. Saya dan bro. Edward sudah menjelaskannya pada anda.

Anda seolah-olah menekankan bahwa karma buruk Guan Yu itu buesarrrr.... padahal... Guan Yu sendiri juga banyak berbuat kebajikan........

Bahkan Guan Yu berperang bukan karena menjajah atau alasan yang buruk, tetapi:

"Buddha tidak mengajarkan bahwa mereka yang terlibat perang untuk memelihara perdamaian dan ketentraman, setelah menggunakan berbagai cara untuk menghindari konflik, adalah pantas disalahkan."
iyah ELOE YAKIN KHAN?...

well...gk banget yak kalo loe bilank guan yu itu berperang bukan demi dirinya sendiri...tujuan dia perang apa?..untuk negara dia...kenapa perang untuk negara dia?..agar rakyat2 dia bisa damai dan tentram, dan kalo rakyatnya damai dan tentram, dia juga enak!...bisa buat sesukanya..yg dianggap bener ama dia...yah sama lar kayak pemikiran para Mujahid..gk beda banget..

QuoteLagian, baca dulu tentang Vimanapeta baru ngomong!
ok gini ajah...gw dah nanya master gw tentang Vimanapeta, dia bilank dia gk tao...karena katane Petavatthu itu bukan bacaan favorit dia(katane gk berguna baca gituan)...karena skarang loe ada copynya, loe ketik ajah pengenalan Vimanapeta di Thread baru...jangan disini..tambah ribet nanti topikne..

;D

QuoteWakakaka...... ya logika dong..... ketika saya berpikir memohon pada Bodhisattva..... Bodhisattva itu ada di mana ya???

Pikiran saya kan? La karena saya sadari bahwa Bodhisattva itu sejatinya ada dalam pikiran saya, maka otomatis saya memohon pada diri saya sendiri... Lak getoh?

Alam Akanishta itu juga ada di alam pikiran saya sendiri.

10 alam tumibal lahir ada dalam pikiran saya sendiri.

Bedanya dengan agama lain: mayoritas kalau di agama lain memohon-mohon pada Tuhannya, mereka nggak menyadari bahwa Tuhan mereka itu ada dalam pikiran mereka sendiri, alhasil ya mereka merasa Tuhan itu berada di luar diri mereka.....

bah..jangan pake pemikiran Theravada ke dalam Mahayana donk..jelas2 kalo konsep Boddhisatva Mahayana itu mirip2 sama konsep Deva ato Tuhan diagama laen...

QuoteSaya sudah menjelaskan apa adanya. Silahkan baca sendiri......

Hoooo..... anda lebih sayang mata anda ketimbang membaca uraian Dharma yang panjang tapi padahal kalau dibaca 10 menit aja udah selesai  

Apa hubungannya mata juga sama kata-kata yang simple dan gampang dimengerti?
Memang mata bisa berpikir tentang tulisan ya??

Wah.... bener-bener nerd nih...... kuper sama Dharma.
Think man..THINK!...

mata kalo liat monitor terus..bisa buta..

untuk apa mengorbankan mata gw buat artikel2 yg tidak jelas unsurnya?...ato untuk Dhamma yg notabene belum tentu benar....Ajahn Brahm pernah bilank...Kitab suci agama Buddha adalah meditasi...Tipitaka dll cuma map..

haha..aku mending kuper Dhamma daripada kuper beneran..

kalo kuper beneran nanti gk bisa melihat Dhamma yg sesungguhnya...cape deh..T_T
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 05 November 2008, 05:25:14 PM
mana getehe...gw kira itu khan Petavatthu yg lengkap...

tapi dari excerptnya ajah dah bisa dilihat kalo alam peta itu sangat2 menderita..so back to topic...

Makhluk menderita = gk bisa belajar Dhamma...that's it!..and Guang kong kalo terlahir jadi Peta, maka tidak mungkin beliau bisa belajar Dhamma...


[at] El sol
Baca sini aja sol, http://samaggi-phala.or.id/tipitaka/sutta/khuddaka/petavatthu/petavatthu4_11.html

Cerita vimanapeta yg menikmati kebahagiaan itu ada , bukan tidak ada.
Jadi peta itu tidak selalu menderita 24 jam lho..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 05 November 2008, 05:46:21 PM
 [at] atas

gw bukan mao menang debat yak...

tapi gw bener2 gk yakin kalo sutta itu asle..

karena bertentangan sama makhluk peta yg menderita yg tidak bisa makan ato minum..

apa beda Deva dan Vimanapeta kalo gitu?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 05 November 2008, 05:51:47 PM
Yah, elu gak percaya kan terserah elu sol. Tapi pengikut Mahayana kan percaya kalau Sutra tersebut asli. Sebagai Pengikut Buddha, sebaiknya menghargai keyakinan orang lain kan?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Indra on 05 November 2008, 05:56:23 PM
Dalam RAPB yang berisikan ajaran Theravada juga memang ada dikisahkan tentang makhluk Peta yang menderita hanya pada siang hari sedangkan pada malam hari makhluk itu mengalami kemewahan dan kebahagiaan bagaikan dewa.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 05 November 2008, 06:03:25 PM
Quote from: karuna_murti on 05 November 2008, 05:51:47 PM
Yah, elu gak percaya kan terserah elu sol. Tapi pengikut Mahayana kan percaya kalau Sutra tersebut asli. Sebagai Pengikut Buddha, sebaiknya menghargai keyakinan orang lain kan?
emankne gw maksa mereka supaya gk percaya??..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 05 November 2008, 06:20:18 PM
Tenang sol, ga ada yg anggap elu mau menang ato kalah kok.
Cuma kami ingin meluruskan aja kesalahpahaman lu tentang keberadaan Peta.
Alam rendah tidak berarti tidak ada kesenangan sama sekali, buktinya anjing kesayangan rumah lu juga bisa happy kalo diajak main.  ;D
Yang total menderita itu adalah makhluk alam neraka. 

 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 05 November 2008, 06:31:26 PM
 [at] atas
tetep ajah...

gw gk bisa bayangin gmana bisa makhluk2 alam peta yg kehausan, kelaparan(keinginan dan makanan)..bisa bahagia...bisa ada makanan dll...

gk make sense...

dan bertolak belakang sama yg sang Buddha bilank di
QuoteOutside the walls they stand,
   & at crossroads.
At door posts they stand,
   returning to their old homes.
But when a meal with plentiful food & drink is served,
   no one remembers them:
Such is the kamma of living beings.

Thus those who feel sympathy for their dead relatives
give timely donations of proper food & drink
   — exquisite, clean —
[thinking:] "May this be for our relatives.
      May our relatives be happy!"

And those who have gathered there,
   the assembled shades of the relatives,
with appreciation give their blessing
for the plentiful food & drink:
   "May our relatives live long
   because of whom we have gained [this gift].
   We have been honored,
   and the donors are not without reward!"

For there [in their realm] there's
   no farming,
   no herding of cattle,
   no commerce,
   no trading with money.
They live on what is given here,
   hungry shades
   whose time here is done.


As water raining on a hill
flows down to the valley,
   even so does what is given here
   benefit the dead.
As rivers full of water
fill the ocean full,
   even so does what is given here
   benefit the dead.

"He gave to me, she acted on my behalf,
   they were my relatives, companions, friends":
Offerings should be given for the dead
when one reflects thus
on things done in the past.
For no weeping,
   no sorrowing
   no other lamentation
      benefits the dead
      whose relatives persist in that way.
But when this offering is given, well-placed in the Sangha,
it works for their long-term benefit
and they profit immediately.

In this way    the proper duty to relatives has been shown,
      great honor has been done to the dead,
      and monks have been given strength:

   The merit you've acquired
      isn't small.
coba liat yg di bold

so, either one is fake..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 05 November 2008, 06:42:16 PM
[at] atas
Tapi itu tidak merujuk pada SEMUA JENIS PETA
artinya, PETA itu banyak jenisnya juga. Ya salah satunya Vimanapeta.
Vimanapeta Itu bukan karangan saya, itu dikutip dari Petavatthu--> ucapan Buddha juga kan?
Okelah, biar fair, jangan percaya tapi juga jangan nolak mentah2. Asal dikaji secara komprehensif, ya bagus juga toh.   :D
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 05 November 2008, 08:24:17 PM
Quote from: GandalfTheElder on 04 November 2008, 08:43:15 AM
Quote from: El Sol on 04 November 2008, 08:38:36 AM

jika sudah mencapai Tingkatan Arahat...bagaimana bisa diconsider sebagai Boddhisatva lage??...

Ini kan menurut Mahayana bro.....  ;D

_/\_
The Siddha Wanderer

Iya. Kalo Bodhisatta lebih tinggi, keadaan batinnya bagaimana? bingung nih bagaimana perbedaan keadaan batin Arahat dan Bodhisatta?

Mohon petunjuk senior-senior sekalian dong.
_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 05 November 2008, 10:30:14 PM
Quote from: dilbert on 05 November 2008, 03:17:52 PM
Quote from: chingik on 05 November 2008, 09:20:28 AM
Quote from: dilbert on 04 November 2008, 06:28:50 PM
Banyak murid yang lulus sekolah/kuliah, tetapi tidak semua yang bisa menjadi GURU/DOSEN...

Semua makhluk dikatakan memiliki benih ke-buddha-an, tetapi tidak semua yang bisa menjadi seorang sammasambuddha (membabarkan ajaran).

Siklus kehidupan itu tidak terbatas. Selama masih berada dalam samsara, maka probabilitas seseorang utk memunculkan aspirasi agung itu jauh lebih memungkinkan dari pada angka nol sama sekali seperti yg anda pesimiskan.
Alhasil saya merasa lega setelah dalam Mahaparinirvana Sutra di mana Buddha mengatakan bahwa Icchantika juga dapat mencapai kebuddhaan.  Ini mencerminkan sifat egaliter dari ajaran Buddha. 


tidak ada angka nol yang saya katakan (mustahil/impossible). tetapi berdasarkan realitas bahwa memang semuanya tidak bisa mencapai tataran annutara sammasambuddha.

berdasarkan realitas?? realitas yang bagaimana? dari mana anda telah melihat realitas itu?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 05 November 2008, 10:32:44 PM
bro/sis trurh lover,
Rasanya, kalau baca dari tulisan yang dikutip bro Gandalf, arahat adalah bagian dari pencapaian boddhisatva  atau merupakan salah satu dari tingkatan boddhisatva.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 05 November 2008, 11:05:10 PM
Quote from: chingik on 05 November 2008, 10:30:14 PM
Quote from: dilbert on 05 November 2008, 03:17:52 PM
Quote from: chingik on 05 November 2008, 09:20:28 AM
Quote from: dilbert on 04 November 2008, 06:28:50 PM
Banyak murid yang lulus sekolah/kuliah, tetapi tidak semua yang bisa menjadi GURU/DOSEN...

Semua makhluk dikatakan memiliki benih ke-buddha-an, tetapi tidak semua yang bisa menjadi seorang sammasambuddha (membabarkan ajaran).

Siklus kehidupan itu tidak terbatas. Selama masih berada dalam samsara, maka probabilitas seseorang utk memunculkan aspirasi agung itu jauh lebih memungkinkan dari pada angka nol sama sekali seperti yg anda pesimiskan.
Alhasil saya merasa lega setelah dalam Mahaparinirvana Sutra di mana Buddha mengatakan bahwa Icchantika juga dapat mencapai kebuddhaan.  Ini mencerminkan sifat egaliter dari ajaran Buddha. 


tidak ada angka nol yang saya katakan (mustahil/impossible). tetapi berdasarkan realitas bahwa memang semuanya tidak bisa mencapai tataran annutara sammasambuddha.

berdasarkan realitas?? realitas yang bagaimana? dari mana anda telah melihat realitas itu?

realitas bahwa semua murid bisa lulus sekolah, tetapi tidak semua murid bisa menjadi guru...

apakah anda rasa begitu ?? Analoginya kan sama seperti bahwa

semua makhluk bisa mencapai ke-BUDDHA-an, tetapi tidak semua bisa mencapai annutara sammasambuddha (menurunkan ajaran), gimana bisa semua menurunkan ajaran... Apakah ini tidak LOGIS ??
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 05 November 2008, 11:07:35 PM
Quote from: sobat-dharma on 05 November 2008, 10:32:44 PM
bro/sis trurh lover,
Rasanya, kalau baca dari tulisan yang dikutip bro Gandalf, arahat adalah bagian dari pencapaian boddhisatva  atau merupakan salah satu dari tingkatan boddhisatva.

(menurut Mahayana) Arahat bukan bagian dari pencapaian bodhisatva, tetapi jalan sravaka berbeda dengan jalan bodhisatva... CMIIW
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 05 November 2008, 11:23:37 PM
Quote from: dilbert on 05 November 2008, 11:05:10 PM
Quote from: chingik on 05 November 2008, 10:30:14 PM
Quote from: dilbert on 05 November 2008, 03:17:52 PM
Quote from: chingik on 05 November 2008, 09:20:28 AM
Quote from: dilbert on 04 November 2008, 06:28:50 PM
Banyak murid yang lulus sekolah/kuliah, tetapi tidak semua yang bisa menjadi GURU/DOSEN...

Semua makhluk dikatakan memiliki benih ke-buddha-an, tetapi tidak semua yang bisa menjadi seorang sammasambuddha (membabarkan ajaran).

Siklus kehidupan itu tidak terbatas. Selama masih berada dalam samsara, maka probabilitas seseorang utk memunculkan aspirasi agung itu jauh lebih memungkinkan dari pada angka nol sama sekali seperti yg anda pesimiskan.
Alhasil saya merasa lega setelah dalam Mahaparinirvana Sutra di mana Buddha mengatakan bahwa Icchantika juga dapat mencapai kebuddhaan.  Ini mencerminkan sifat egaliter dari ajaran Buddha. 


tidak ada angka nol yang saya katakan (mustahil/impossible). tetapi berdasarkan realitas bahwa memang semuanya tidak bisa mencapai tataran annutara sammasambuddha.

berdasarkan realitas?? realitas yang bagaimana? dari mana anda telah melihat realitas itu?

realitas bahwa semua murid bisa lulus sekolah, tetapi tidak semua murid bisa menjadi guru...

apakah anda rasa begitu ?? Analoginya kan sama seperti bahwa

semua makhluk bisa mencapai ke-BUDDHA-an, tetapi tidak semua bisa mencapai annutara sammasambuddha (menurunkan ajaran), gimana bisa semua menurunkan ajaran... Apakah ini tidak LOGIS ??

analogi anda tentang murid tidak bisa menjadi guru itu 'kan dilihat dari satu masa saja.
Proses mencapai Kebuddhaan itu adalah proses pembelajaran yang berkesinambungan dan tanpa batas waktu, dari satu masa ke satu masa , dari satu kehidupan ke kehidupan yang jangkauannya tak terbatas. Jika ada batas waktu, maka wajarlah akan ada yang mentok tidak bisa lanjut utk belajar hingga berhasil, namun karena waktu itu tidak terbatas, maka kesempatan juga menjadi tidak terbatas.   Maka dikatakan semua makhluk memiliki kesempatan utk mencapai Kebuddhaan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 05 November 2008, 11:32:18 PM
Quote from: dilbert on 05 November 2008, 11:07:35 PM
Quote from: sobat-dharma on 05 November 2008, 10:32:44 PM
bro/sis trurh lover,
Rasanya, kalau baca dari tulisan yang dikutip bro Gandalf, arahat adalah bagian dari pencapaian boddhisatva  atau merupakan salah satu dari tingkatan boddhisatva.

(menurut Mahayana) Arahat bukan bagian dari pencapaian bodhisatva, tetapi jalan sravaka berbeda dengan jalan bodhisatva... CMIIW

Saya baca dari postingan bro. Gandalf di sini:

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=5965.0
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 05 November 2008, 11:33:04 PM
Quote from: El Sol on 05 November 2008, 06:31:26 PM
[at] atas
tetep ajah...

gw gk bisa bayangin gmana bisa makhluk2 alam peta yg kehausan, kelaparan(keinginan dan makanan)..bisa bahagia...bisa ada makanan dll...

gk make sense...

dan bertolak belakang sama yg sang Buddha bilank di ....
.....
.....

so, either one is fake..

Sepertinya u harus baca lengkap sol...
Lagipula, kan ada yg namanya ulambhana/ pelimpahan jasa....Jadi kaga selamanya menderita...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 06 November 2008, 08:06:04 AM
Quote from: sobat-dharma on 05 November 2008, 10:32:44 PM
bro/sis trurh lover,
Rasanya, kalau baca dari tulisan yang dikutip bro Gandalf, arahat adalah bagian dari pencapaian boddhisatva  atau merupakan salah satu dari tingkatan boddhisatva.

Terima kasih saudara Sobat Dharma, atas keterangannya
bolehkah saya bertanya lebih jauh? bagaimana sebenarnya pencapaian Arahat menurut Mahayana? apa yang sudah dicapai? apakah mereka telah mengikis kekotoran batin atau belum?
demikian juga Bodhisatva, apa saja yang telah dicapai? apakah mereka telah mengikis kekotoran batin apa belum?
saya kurang mengerti mengenai pandangan Mahayana, mohon dibantu.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 06 November 2008, 02:22:40 PM
Quote from: chingik on 05 November 2008, 11:23:37 PM
Quote from: dilbert on 05 November 2008, 11:05:10 PM
Quote from: chingik on 05 November 2008, 10:30:14 PM
Quote from: dilbert on 05 November 2008, 03:17:52 PM
Quote from: chingik on 05 November 2008, 09:20:28 AM
Quote from: dilbert on 04 November 2008, 06:28:50 PM
Banyak murid yang lulus sekolah/kuliah, tetapi tidak semua yang bisa menjadi GURU/DOSEN...

Semua makhluk dikatakan memiliki benih ke-buddha-an, tetapi tidak semua yang bisa menjadi seorang sammasambuddha (membabarkan ajaran).

Siklus kehidupan itu tidak terbatas. Selama masih berada dalam samsara, maka probabilitas seseorang utk memunculkan aspirasi agung itu jauh lebih memungkinkan dari pada angka nol sama sekali seperti yg anda pesimiskan.
Alhasil saya merasa lega setelah dalam Mahaparinirvana Sutra di mana Buddha mengatakan bahwa Icchantika juga dapat mencapai kebuddhaan.  Ini mencerminkan sifat egaliter dari ajaran Buddha. 


tidak ada angka nol yang saya katakan (mustahil/impossible). tetapi berdasarkan realitas bahwa memang semuanya tidak bisa mencapai tataran annutara sammasambuddha.

berdasarkan realitas?? realitas yang bagaimana? dari mana anda telah melihat realitas itu?

realitas bahwa semua murid bisa lulus sekolah, tetapi tidak semua murid bisa menjadi guru...

apakah anda rasa begitu ?? Analoginya kan sama seperti bahwa

semua makhluk bisa mencapai ke-BUDDHA-an, tetapi tidak semua bisa mencapai annutara sammasambuddha (menurunkan ajaran), gimana bisa semua menurunkan ajaran... Apakah ini tidak LOGIS ??

analogi anda tentang murid tidak bisa menjadi guru itu 'kan dilihat dari satu masa saja.
Proses mencapai Kebuddhaan itu adalah proses pembelajaran yang berkesinambungan dan tanpa batas waktu, dari satu masa ke satu masa , dari satu kehidupan ke kehidupan yang jangkauannya tak terbatas. Jika ada batas waktu, maka wajarlah akan ada yang mentok tidak bisa lanjut utk belajar hingga berhasil, namun karena waktu itu tidak terbatas, maka kesempatan juga menjadi tidak terbatas.   Maka dikatakan semua makhluk memiliki kesempatan utk mencapai Kebuddhaan.

anda benar sekali untuk argumen di atas. dan saya tidak katakan bahwa semua makhluk harus mencapai kebuddhaan dalam satu kurun waktu bersamaan. Analogi bahwa semua murid kan belum tentu bisa menjadi guru.

Kemudian ada 10 orang yang menempuh "Jalan"/Magga, ternyata dalam 1 kehidupan hanya 1 orang yang mencapai ke-buddha-an... lantas yang 9 gimana... yah terpaksa harus menempuh kehidupan lagi untuk bisa mencapai ke-buddha-an pada kehidupan berikutnya. Tetapi kan tidak dalam konteks harus menjadi seorang sammasambuddha (menurunkan ajaran), karena ajaran kan sudah ada.

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 06 November 2008, 05:04:34 PM
 
Quote
anda benar sekali untuk argumen di atas. dan saya tidak katakan bahwa semua makhluk harus mencapai kebuddhaan dalam satu kurun waktu bersamaan. Analogi bahwa semua murid kan belum tentu bisa menjadi guru.
Saya juga tidak menyatakan semua makhluk Harus mencapai Kebuddhaan. Bukan Harus lho. Yang saya tekankan adalah semua makhluk memiliki kesempatan mencapai kebuddhaan jika mereka memiliki aspirasi itu dan berusaha. 

QuoteKemudian ada 10 orang yang menempuh "Jalan"/Magga, ternyata dalam 1 kehidupan hanya 1 orang yang mencapai ke-buddha-an... lantas yang 9 gimana... yah terpaksa harus menempuh kehidupan lagi untuk bisa mencapai ke-buddha-an pada kehidupan berikutnya. Tetapi kan tidak dalam konteks harus menjadi seorang sammasambuddha (menurunkan ajaran), karena ajaran kan sudah ada.
9 orang itu jika membangkitkan aspirasi menjadi Buddha, maka mereka akan mencapainya suatu saat.  Tentu mereka akan mencapai Kebuddhaan pada masa-masa di mana ajaran sudah tidak ada, lalu menjadi 'tugas' mereka utk menurunkan ajaran lagi.
Kuncinya terletak pada pilihan aspirasi mereka.
1.Jika mereka hanya ingin terbebas dari siklus samsara, mereka hanya mencapai kesucian Arahat.
2.Jika mereka disamping ingin terbebas dari siklus samsara mereka juga bertekad meraih pengetahuan sempurna, maka mereka disebut menempuh jalan bodhisatva. Dalam Mahayana, seorang Arahat masih memiliki kesempatan meraih Kebuddhaan seandainya mereka membangkitkan aspirasi itu. Salah satu contoh adalah ramalan Buddha kepada para siswa Arahat dalam Saddharmapundarika Sutra.

Dalam Mahayana, orang yang mengambil pilihan 1 pun masih dianggap memiliki kesempatan. Mengapa? Karena kesempatan tidak akan pernuh tertutup. Semua tergantung pada sikap batin sang makhluk itu sendiri. Jadi tidaklah mungkin ada makhluk yang tidak bisa menjadi Buddha. Semuanya bisa (berpotensi), dengan catatan mendengar ajaran Buddha dan membangkitkan aspirasi utk menjadi Buddha.

Ini tercermin dari ucapan Buddha di Avatamsaka Sutra, di mana ketika Buddha mencapai Pencerahan, Beliau berkata, "sungguh aneh, ternyata semua makhluk memiliki hakikat kebijaksanaan Tathagata. Karena delusi dan kemelekatan sehingga tidak dapat mencapainya"

Karena semua makhluk memiliki hakikat itu, maka tentu semua memiliki potensi, kesempatan, harapan. Jadi tidaklah mungkin ada makhluk yang tidak bisa menjadi Buddha.








Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 06 November 2008, 06:12:31 PM
Quote from: chingik on 06 November 2008, 05:04:34 PM
Quote
anda benar sekali untuk argumen di atas. dan saya tidak katakan bahwa semua makhluk harus mencapai kebuddhaan dalam satu kurun waktu bersamaan. Analogi bahwa semua murid kan belum tentu bisa menjadi guru.
Saya juga tidak menyatakan semua makhluk Harus mencapai Kebuddhaan. Bukan Harus lho. Yang saya tekankan adalah semua makhluk memiliki kesempatan mencapai kebuddhaan jika mereka memiliki aspirasi itu dan berusaha. 

QuoteKemudian ada 10 orang yang menempuh "Jalan"/Magga, ternyata dalam 1 kehidupan hanya 1 orang yang mencapai ke-buddha-an... lantas yang 9 gimana... yah terpaksa harus menempuh kehidupan lagi untuk bisa mencapai ke-buddha-an pada kehidupan berikutnya. Tetapi kan tidak dalam konteks harus menjadi seorang sammasambuddha (menurunkan ajaran), karena ajaran kan sudah ada.
9 orang itu jika membangkitkan aspirasi menjadi Buddha, maka mereka akan mencapainya suatu saat.  Tentu mereka akan mencapai Kebuddhaan pada masa-masa di mana ajaran sudah tidak ada, lalu menjadi 'tugas' mereka utk menurunkan ajaran lagi.
Kuncinya terletak pada pilihan aspirasi mereka.
1.Jika mereka hanya ingin terbebas dari siklus samsara, mereka hanya mencapai kesucian Arahat.
2.Jika mereka disamping ingin terbebas dari siklus samsara mereka juga bertekad meraih pengetahuan sempurna, maka mereka disebut menempuh jalan bodhisatva. Dalam Mahayana, seorang Arahat masih memiliki kesempatan meraih Kebuddhaan seandainya mereka membangkitkan aspirasi itu. Salah satu contoh adalah ramalan Buddha kepada para siswa Arahat dalam Saddharmapundarika Sutra.


Dalam Mahayana, orang yang mengambil pilihan 1 pun masih dianggap memiliki kesempatan. Mengapa? Karena kesempatan tidak akan pernuh tertutup. Semua tergantung pada sikap batin sang makhluk itu sendiri. Jadi tidaklah mungkin ada makhluk yang tidak bisa menjadi Buddha. Semuanya bisa (berpotensi), dengan catatan mendengar ajaran Buddha dan membangkitkan aspirasi utk menjadi Buddha.

Ini tercermin dari ucapan Buddha di Avatamsaka Sutra, di mana ketika Buddha mencapai Pencerahan, Beliau berkata, "sungguh aneh, ternyata semua makhluk memiliki hakikat kebijaksanaan Tathagata. Karena delusi dan kemelekatan sehingga tidak dapat mencapainya"

Karena semua makhluk memiliki hakikat itu, maka tentu semua memiliki potensi, kesempatan, harapan. Jadi tidaklah mungkin ada makhluk yang tidak bisa menjadi Buddha.


nah... yang saya bold merah itulah menjadi sesuatu yang dipertanyakan (oleh saya)... anda katakan bahwa dalam Mahayana seorang Arahat masih memiliki kesempatan meraih Kebuddhaan seandainya mereka membangkitkan aspirasi itu. Salah satu contoh adalah ramalan Buddha kepada para siswa Arahat dalam Saddharmapundarika Sutra

Arahat masih memiliki kesempatan meraih ke-BUDDHA-an ?? ... yang anda maksud itu ke-BUDDHA-an yang mana ?? Arahat kan sudah BUDDHA (SAVAKA BUDDHA/SRAVAKA BUDDHA). apakah yang anda maksud adalah SAMMASAMBUDDHA ?? Jika memang yang ada maksud adalah SAMMASAMBUDDHA, berarti seorang ARAHAT tidak PARINIBBANA, karena kalau sudah PARINIBBANNA sudah TIDAK bisa mencapai apa apa lagi.

Note : Semua individu yang mencapai ke-BUDDHA-an (baik SAMMASAMBUDDHA, PACCEKA BUDDHA dan SAVAKA BUDDHA) juga sudah disebut dengan ARAHAT. Karena untuk membedakan pengertian, biasanya ARAHAT yang disebut itu mengacu pada SAVAKA BUDDHA.

Dalam tradisi Theravada, ARAHAT (SAVAKA BUDDHA) sendiri setelah parinibbana tidak akan mencapai apa apa lagi. Karena sudah tidak ada kelahiran lagi bagi seorang SAVAKA BUDDHA yang parinibbana. Inilah pembebasan, inilah tujuan akhir.

Sedangkan dalam MAHAYANA yang anda katakan, bahwa BUDDHA (sammasambuddha) bahkan meramalkan para ARAHAT akan mencapai sammasambuddha suatu saat (dalam Saddharmapundarika)... itulah yang saya katakan bahwa dari konsep saja, MAHAYANA yang anda maksud itu sudah berbeda 180 derajat dari konsep THERAVADA. Jika demikian, mencapai ARAHAT itu tidak berarti dalam MAHAYANA. Karena seorang ARAHAT itu akan terlahir kembali lagi untuk mencapai SAMMASAMBUDDHA.

Dalam hal ini kedua pandangan di atas sangat bertentangan (kontra)


NB : Salah satu kisah ARAHAT (SAVAKA) yang tidak parinibbana yaitu Y.A.MahaKassapa. Tidak ada cerita tentang pencapaian parinibbana MahaKassapa, Di dalam Buddhavamsa (Riwayat Agung Para Buddha) juga tidak diceritakan bagaimana Kassapa Parinibbana. Legenda mengatakan bahwa MahaKassapa belum parinibbana dan sedang dalam meditasi dalam (deep meditation) di dalam gunung kaki ayam dan akan muncul di dunia ini lagi ketika Maitreya mencapai ke-BUDDHA-an (sammasambuddha). DAlam hal ini juga tidak diceritakan bahwa MahaKAssapa (yang tidak parinibbana) akan mencapai sammasambuddha suatu saat.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 06 November 2008, 06:20:01 PM
Mas chingik, mohon keterangan,
saya kurang mengerti, bagian yang ini,

QuoteKuncinya terletak pada pilihan aspirasi mereka.
1.Jika mereka hanya ingin terbebas dari siklus samsara, mereka hanya mencapai kesucian Arahat.
2.Jika mereka disamping ingin terbebas dari siklus samsara mereka juga bertekad meraih pengetahuan sempurna, maka mereka disebut menempuh jalan bodhisatva. Dalam Mahayana, seorang Arahat masih memiliki kesempatan meraih Kebuddhaan seandainya mereka membangkitkan aspirasi itu. Salah satu contoh adalah ramalan Buddha kepada para siswa Arahat dalam Saddharmapundarika Sutra.

dikatakan Arahat terbebas dari siklus samsara, tetapi apakah Arahat bisa masuk siklus samsara lagi? Sebab katanya Arahat bisa membangkitkan aspirasi menjadi Buddha. Lantas apakah Arahat sudah mencapai Nirwana atau belum? Apakah hanya Buddha yang mencapai Nirwana?

mohon bantuannya

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 06 November 2008, 06:24:53 PM
Mas Dilbert,

Quotenah... yang saya bold merah itulah menjadi sesuatu yang dipertanyakan (oleh saya)... anda katakan bahwa dalam Mahayana seorang Arahat masih memiliki kesempatan meraih Kebuddhaan seandainya mereka membangkitkan aspirasi itu. Salah satu contoh adalah ramalan Buddha kepada para siswa Arahat dalam Saddharmapundarika Sutra

Arahat masih memiliki kesempatan meraih ke-BUDDHA-an ?? ... yang anda maksud itu ke-BUDDHA-an yang mana ?? Arahat kan sudah BUDDHA (SAVAKA BUDDHA/SRAVAKA BUDDHA). apakah yang anda maksud adalah SAMMASAMBUDDHA ?? Jika memang yang ada maksud adalah SAMMASAMBUDDHA, berarti seorang ARAHAT tidak PARINIBBANA, karena kalau sudah PARINIBBANNA sudah TIDAK bisa mencapai apa apa lagi.

Note : Semua individu yang mencapai ke-BUDDHA-an (baik SAMMASAMBUDDHA, PACCEKA BUDDHA dan SAVAKA BUDDHA) juga sudah disebut dengan ARAHAT. Karena untuk membedakan pengertian, biasanya ARAHAT yang disebut itu mengacu pada SAVAKA BUDDHA.

Dalam tradisi Theravada, ARAHAT (SAVAKA BUDDHA) sendiri setelah parinibbana tidak akan mencapai apa apa lagi. Karena sudah tidak ada kelahiran lagi bagi seorang SAVAKA BUDDHA yang parinibbana. Inilah pembebasan, inilah tujuan akhir.

Sedangkan dalam MAHAYANA yang anda katakan, bahwa BUDDHA (sammasambuddha) bahkan meramalkan para ARAHAT akan mencapai sammasambuddha suatu saat (dalam Saddharmapundarika)... itulah yang saya katakan bahwa dari konsep saja, MAHAYANA yang anda maksud itu sudah berbeda 180 derajat dari konsep THERAVADA. Jika demikian, mencapai ARAHAT itu tidak berarti dalam MAHAYANA. Karena seorang ARAHAT itu akan terlahir kembali lagi untuk mencapai SAMMASAMBUDDHA.

Dalam hal ini kedua pandangan di atas sangat bertentangan (kontra)

Apakah maksud mas Dilbert, Sammasambuddha, Pacceka Buddha dan Arahat, semuanya adalah Buddha dan semuanya juga adalah Arahat?

mohon penjelasannya.    _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 06 November 2008, 06:30:57 PM
Quote from: truth lover on 06 November 2008, 06:20:01 PM
Mas chingik, mohon keterangan,
saya kurang mengerti, bagian yang ini,

QuoteKuncinya terletak pada pilihan aspirasi mereka.
1.Jika mereka hanya ingin terbebas dari siklus samsara, mereka hanya mencapai kesucian Arahat.
2.Jika mereka disamping ingin terbebas dari siklus samsara mereka juga bertekad meraih pengetahuan sempurna, maka mereka disebut menempuh jalan bodhisatva. Dalam Mahayana, seorang Arahat masih memiliki kesempatan meraih Kebuddhaan seandainya mereka membangkitkan aspirasi itu. Salah satu contoh adalah ramalan Buddha kepada para siswa Arahat dalam Saddharmapundarika Sutra.

dikatakan Arahat terbebas dari siklus samsara, tetapi apakah Arahat bisa masuk siklus samsara lagi? Sebab katanya Arahat bisa membangkitkan aspirasi menjadi Buddha. Lantas apakah Arahat sudah mencapai Nirwana atau belum? Apakah hanya Buddha yang mencapai Nirwana?

mohon bantuannya

_/\_

Coba baca Buddhavamsa (Riwayat Agung Para Buddha), seseorang yang beraspirasi untuk mencapai sesuatu biasanya tidak akan mencapai ARAHAT (SAVAKA BUDDHA).
Contoh :
1. Pertapa Sumedha (bakal Buddha Sakyamuni) ketika jaman BUDDHA DIPANKARA sudah memiliki kapasitas untuk mencapai ARAHAT (SAVAKA), tetapi karena aspirasinya untuk mendapatkan pengetahuan sempurna (ala Sammasambuddha), pertapa sumedha tidak mencapai tingkat ARAHAT pada jaman BUDDHA DIPANKARA, tetapi harus menempuh lagi 4 assankheya kappa dan 100.000 kappa untuk menyempurnakan "PARAMI" guna kelak akan mencapai tingkat SAMMASAMBUDDHA dimasa mendatang.

2. Petapa Sarada (bakal Sariputra) dan Petapa Sirivadhana (bakal Mogallana) ketika jaman Buddha Anomadassi beraspirasi untuk menjadi AGGASAVAKA (pembantu utama seorang Sammasambuddha) harus menjalani 100.000 kappa tambahan untuk menyempurnakan "PARAMI" guna kelak akan mendapat posisi sebagai AGGASAVAKA. Dan Buddha Anomadassi meramalkan bahwa Sarada dan Sirivadhana akan mencapai aspirasinya menjadi AGGASAVAKA dibawah SAMMASAMBUDDHA bernama GOTAMA/SAKYAMUNI...

Jadi dalam hal ini, Petapa Sumedha, Petapa Sarada dan Petapa Sirivadhana tidak mencapai tingkat ARAHAT (SAVAKA) dibawah Sammasambuddha pada jamannya masing masing, dan sebagai akibat dari aspirasi mereka, Mereka harus menjalani tambahan kehidupan untuk menyempurnakan "PARAMI"-nya.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 06 November 2008, 06:36:25 PM
Quote from: truth lover on 06 November 2008, 06:24:53 PM
Mas Dilbert,

Quotenah... yang saya bold merah itulah menjadi sesuatu yang dipertanyakan (oleh saya)... anda katakan bahwa dalam Mahayana seorang Arahat masih memiliki kesempatan meraih Kebuddhaan seandainya mereka membangkitkan aspirasi itu. Salah satu contoh adalah ramalan Buddha kepada para siswa Arahat dalam Saddharmapundarika Sutra

Arahat masih memiliki kesempatan meraih ke-BUDDHA-an ?? ... yang anda maksud itu ke-BUDDHA-an yang mana ?? Arahat kan sudah BUDDHA (SAVAKA BUDDHA/SRAVAKA BUDDHA). apakah yang anda maksud adalah SAMMASAMBUDDHA ?? Jika memang yang ada maksud adalah SAMMASAMBUDDHA, berarti seorang ARAHAT tidak PARINIBBANA, karena kalau sudah PARINIBBANNA sudah TIDAK bisa mencapai apa apa lagi.

Note : Semua individu yang mencapai ke-BUDDHA-an (baik SAMMASAMBUDDHA, PACCEKA BUDDHA dan SAVAKA BUDDHA) juga sudah disebut dengan ARAHAT. Karena untuk membedakan pengertian, biasanya ARAHAT yang disebut itu mengacu pada SAVAKA BUDDHA.

Dalam tradisi Theravada, ARAHAT (SAVAKA BUDDHA) sendiri setelah parinibbana tidak akan mencapai apa apa lagi. Karena sudah tidak ada kelahiran lagi bagi seorang SAVAKA BUDDHA yang parinibbana. Inilah pembebasan, inilah tujuan akhir.

Sedangkan dalam MAHAYANA yang anda katakan, bahwa BUDDHA (sammasambuddha) bahkan meramalkan para ARAHAT akan mencapai sammasambuddha suatu saat (dalam Saddharmapundarika)... itulah yang saya katakan bahwa dari konsep saja, MAHAYANA yang anda maksud itu sudah berbeda 180 derajat dari konsep THERAVADA. Jika demikian, mencapai ARAHAT itu tidak berarti dalam MAHAYANA. Karena seorang ARAHAT itu akan terlahir kembali lagi untuk mencapai SAMMASAMBUDDHA.

Dalam hal ini kedua pandangan di atas sangat bertentangan (kontra)

Apakah maksud mas Dilbert, Sammasambuddha, Pacceka Buddha dan Arahat, semuanya adalah Buddha dan semuanya juga adalah Arahat?

mohon penjelasannya.    _/\_

Dalam konsep Theravada yang saya mengerti, Sammasambuddha, Pacceka Buddha dan Savaka Buddha itu yah semuanya ARAHAT... ARAHAT kan orang yang sudah BEBAS, telah melenyapkan semua KILESA. Hanya saja konsekuensi masing masing berbeda.

Saya kutip dari BUDDHAVAMSA...
(1) Sammà-Sambodhi: Pencerahan berupa empat pengetahuan Pandangan Cerah mengenai Jalan yang disertai kemahatahuan. Empat pengetahuan mengenai Jalan adalah pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia oleh diri sendiri tanpa bantuan guru, dan memiliki kekuatan untuk melenyapkan kotoran batin, juga kebiasaan-kebiasaan (vàsanà) dari kehidupan-kehidupan sebelumnya; Kemahatahuan adalah pemahaman atas semua prinsip yang perlu diketahui. Manusia mulia yang memiliki keinginan baik yang kuat untuk mencapai Sammà-Sambodhi disebut Sammà-Sambodhisatta, "Bakal Buddha Sempurna."
(2) Pacceka-Bodhi: Pencerahan berupa empat pengetahuan Pandangan Cerah mengenai Jalan, yaitu pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia oleh diri sendiri tanpa bantuan guru. Manusia mulia yang memiliki keinginan baik yang kuat untuk mencapai Pacceka-Bodhi disebut Pacceka-Bodhisatta, "Bakal Pacceka Buddha."
(3) Sàvaka-Bodhi: Pencerahan berupa empat pengetahuan Pandangan Cerah mengenai Jalan, yaitu pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia oleh diri sendiri dengan bantuan guru. Manusia mulia yang memiliki keinginan baik yang kuat untuk mencapai Sàvaka-Bodhi disebut Sàvaka-Bodhisatta, "Bakal Siswa Buddha."
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 06 November 2008, 06:40:49 PM
Quote from: dilbert on 06 November 2008, 06:30:57 PM
Quote from: truth lover on 06 November 2008, 06:20:01 PM
Mas chingik, mohon keterangan,
saya kurang mengerti, bagian yang ini,

QuoteKuncinya terletak pada pilihan aspirasi mereka.
1.Jika mereka hanya ingin terbebas dari siklus samsara, mereka hanya mencapai kesucian Arahat.
2.Jika mereka disamping ingin terbebas dari siklus samsara mereka juga bertekad meraih pengetahuan sempurna, maka mereka disebut menempuh jalan bodhisatva. Dalam Mahayana, seorang Arahat masih memiliki kesempatan meraih Kebuddhaan seandainya mereka membangkitkan aspirasi itu. Salah satu contoh adalah ramalan Buddha kepada para siswa Arahat dalam Saddharmapundarika Sutra.

dikatakan Arahat terbebas dari siklus samsara, tetapi apakah Arahat bisa masuk siklus samsara lagi? Sebab katanya Arahat bisa membangkitkan aspirasi menjadi Buddha. Lantas apakah Arahat sudah mencapai Nirwana atau belum? Apakah hanya Buddha yang mencapai Nirwana?

mohon bantuannya

_/\_

Coba baca Buddhavamsa (Riwayat Agung Para Buddha), seseorang yang beraspirasi untuk mencapai sesuatu biasanya tidak akan mencapai ARAHAT (SAVAKA BUDDHA).
Contoh :
1. Pertapa Sumedha (bakal Buddha Sakyamuni) ketika jaman BUDDHA DIPANKARA sudah memiliki kapasitas untuk mencapai ARAHAT (SAVAKA), tetapi karena aspirasinya untuk mendapatkan pengetahuan sempurna (ala Sammasambuddha), pertapa sumedha tidak mencapai tingkat ARAHAT pada jaman BUDDHA DIPANKARA, tetapi harus menempuh lagi 4 assankheya kappa dan 100.000 kappa untuk menyempurnakan "PARAMI" guna kelak akan mencapai tingkat SAMMASAMBUDDHA dimasa mendatang.

2. Petapa Sarada (bakal Sariputra) dan Petapa Sirivadhana (bakal Mogallana) ketika jaman Buddha Anomadassi beraspirasi untuk menjadi AGGASAVAKA (pembantu utama seorang Sammasambuddha) harus menjalani 100.000 kappa tambahan untuk menyempurnakan "PARAMI" guna kelak akan mendapat posisi sebagai AGGASAVAKA. Dan Buddha Anomadassi meramalkan bahwa Sarada dan Sirivadhana akan mencapai aspirasinya menjadi AGGASAVAKA dibawah SAMMASAMBUDDHA bernama GOTAMA/SAKYAMUNI...

Jadi dalam hal ini, Petapa Sumedha, Petapa Sarada dan Petapa Sirivadhana tidak mencapai tingkat ARAHAT (SAVAKA) dibawah Sammasambuddha pada jamannya masing masing, dan sebagai akibat dari aspirasi mereka, Mereka harus menjalani tambahan kehidupan untuk menyempurnakan "PARAMI"-nya.

Terima kasih atas keterangannya mas Dilbert,

maaf, itu versi Theravada kan? versi Mahayananya bagaimana? mungkin mas Dilbert bisa membantu?
penasaran kepingin tahu nih.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 06 November 2008, 06:45:24 PM
Quote from: dilbert on 06 November 2008, 06:36:25 PM
Quote from: truth lover on 06 November 2008, 06:24:53 PM
Mas Dilbert,

Quotenah... yang saya bold merah itulah menjadi sesuatu yang dipertanyakan (oleh saya)... anda katakan bahwa dalam Mahayana seorang Arahat masih memiliki kesempatan meraih Kebuddhaan seandainya mereka membangkitkan aspirasi itu. Salah satu contoh adalah ramalan Buddha kepada para siswa Arahat dalam Saddharmapundarika Sutra

Arahat masih memiliki kesempatan meraih ke-BUDDHA-an ?? ... yang anda maksud itu ke-BUDDHA-an yang mana ?? Arahat kan sudah BUDDHA (SAVAKA BUDDHA/SRAVAKA BUDDHA). apakah yang anda maksud adalah SAMMASAMBUDDHA ?? Jika memang yang ada maksud adalah SAMMASAMBUDDHA, berarti seorang ARAHAT tidak PARINIBBANA, karena kalau sudah PARINIBBANNA sudah TIDAK bisa mencapai apa apa lagi.

Note : Semua individu yang mencapai ke-BUDDHA-an (baik SAMMASAMBUDDHA, PACCEKA BUDDHA dan SAVAKA BUDDHA) juga sudah disebut dengan ARAHAT. Karena untuk membedakan pengertian, biasanya ARAHAT yang disebut itu mengacu pada SAVAKA BUDDHA.

Dalam tradisi Theravada, ARAHAT (SAVAKA BUDDHA) sendiri setelah parinibbana tidak akan mencapai apa apa lagi. Karena sudah tidak ada kelahiran lagi bagi seorang SAVAKA BUDDHA yang parinibbana. Inilah pembebasan, inilah tujuan akhir.

Sedangkan dalam MAHAYANA yang anda katakan, bahwa BUDDHA (sammasambuddha) bahkan meramalkan para ARAHAT akan mencapai sammasambuddha suatu saat (dalam Saddharmapundarika)... itulah yang saya katakan bahwa dari konsep saja, MAHAYANA yang anda maksud itu sudah berbeda 180 derajat dari konsep THERAVADA. Jika demikian, mencapai ARAHAT itu tidak berarti dalam MAHAYANA. Karena seorang ARAHAT itu akan terlahir kembali lagi untuk mencapai SAMMASAMBUDDHA.

Dalam hal ini kedua pandangan di atas sangat bertentangan (kontra)

Apakah maksud mas Dilbert, Sammasambuddha, Pacceka Buddha dan Arahat, semuanya adalah Buddha dan semuanya juga adalah Arahat?

mohon penjelasannya.    _/\_

Dalam konsep Theravada yang saya mengerti, Sammasambuddha, Pacceka Buddha dan Savaka Buddha itu yah semuanya ARAHAT... ARAHAT kan orang yang sudah BEBAS, telah melenyapkan semua KILESA. Hanya saja konsekuensi masing masing berbeda.

Saya kutip dari BUDDHAVAMSA...
(1) Sammà-Sambodhi: Pencerahan berupa empat pengetahuan Pandangan Cerah mengenai Jalan yang disertai kemahatahuan. Empat pengetahuan mengenai Jalan adalah pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia oleh diri sendiri tanpa bantuan guru, dan memiliki kekuatan untuk melenyapkan kotoran batin, juga kebiasaan-kebiasaan (vàsanà) dari kehidupan-kehidupan sebelumnya; Kemahatahuan adalah pemahaman atas semua prinsip yang perlu diketahui. Manusia mulia yang memiliki keinginan baik yang kuat untuk mencapai Sammà-Sambodhi disebut Sammà-Sambodhisatta, "Bakal Buddha Sempurna."
(2) Pacceka-Bodhi: Pencerahan berupa empat pengetahuan Pandangan Cerah mengenai Jalan, yaitu pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia oleh diri sendiri tanpa bantuan guru. Manusia mulia yang memiliki keinginan baik yang kuat untuk mencapai Pacceka-Bodhi disebut Pacceka-Bodhisatta, "Bakal Pacceka Buddha."
(3) Sàvaka-Bodhi: Pencerahan berupa empat pengetahuan Pandangan Cerah mengenai Jalan, yaitu pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia oleh diri sendiri dengan bantuan guru. Manusia mulia yang memiliki keinginan baik yang kuat untuk mencapai Sàvaka-Bodhi disebut Sàvaka-Bodhisatta, "Bakal Siswa Buddha."

Jadi benar ya? Sammasambuddha, Pacceka Buddha dan Arahat, semuanya adalah Buddha dan semuanya juga adalah Arahat? terima kasih

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 06 November 2008, 08:44:39 PM
Quote from: dilbert on 06 November 2008, 06:12:31 PM
Quote from: chingik on 06 November 2008, 05:04:34 PM
Quote
anda benar sekali untuk argumen di atas. dan saya tidak katakan bahwa semua makhluk harus mencapai kebuddhaan dalam satu kurun waktu bersamaan. Analogi bahwa semua murid kan belum tentu bisa menjadi guru.
Saya juga tidak menyatakan semua makhluk Harus mencapai Kebuddhaan. Bukan Harus lho. Yang saya tekankan adalah semua makhluk memiliki kesempatan mencapai kebuddhaan jika mereka memiliki aspirasi itu dan berusaha. 

QuoteKemudian ada 10 orang yang menempuh "Jalan"/Magga, ternyata dalam 1 kehidupan hanya 1 orang yang mencapai ke-buddha-an... lantas yang 9 gimana... yah terpaksa harus menempuh kehidupan lagi untuk bisa mencapai ke-buddha-an pada kehidupan berikutnya. Tetapi kan tidak dalam konteks harus menjadi seorang sammasambuddha (menurunkan ajaran), karena ajaran kan sudah ada.
9 orang itu jika membangkitkan aspirasi menjadi Buddha, maka mereka akan mencapainya suatu saat.  Tentu mereka akan mencapai Kebuddhaan pada masa-masa di mana ajaran sudah tidak ada, lalu menjadi 'tugas' mereka utk menurunkan ajaran lagi.
Kuncinya terletak pada pilihan aspirasi mereka.
1.Jika mereka hanya ingin terbebas dari siklus samsara, mereka hanya mencapai kesucian Arahat.
2.Jika mereka disamping ingin terbebas dari siklus samsara mereka juga bertekad meraih pengetahuan sempurna, maka mereka disebut menempuh jalan bodhisatva. Dalam Mahayana, seorang Arahat masih memiliki kesempatan meraih Kebuddhaan seandainya mereka membangkitkan aspirasi itu. Salah satu contoh adalah ramalan Buddha kepada para siswa Arahat dalam Saddharmapundarika Sutra.


Dalam Mahayana, orang yang mengambil pilihan 1 pun masih dianggap memiliki kesempatan. Mengapa? Karena kesempatan tidak akan pernuh tertutup. Semua tergantung pada sikap batin sang makhluk itu sendiri. Jadi tidaklah mungkin ada makhluk yang tidak bisa menjadi Buddha. Semuanya bisa (berpotensi), dengan catatan mendengar ajaran Buddha dan membangkitkan aspirasi utk menjadi Buddha.

Ini tercermin dari ucapan Buddha di Avatamsaka Sutra, di mana ketika Buddha mencapai Pencerahan, Beliau berkata, "sungguh aneh, ternyata semua makhluk memiliki hakikat kebijaksanaan Tathagata. Karena delusi dan kemelekatan sehingga tidak dapat mencapainya"

Karena semua makhluk memiliki hakikat itu, maka tentu semua memiliki potensi, kesempatan, harapan. Jadi tidaklah mungkin ada makhluk yang tidak bisa menjadi Buddha.


nah... yang saya bold merah itulah menjadi sesuatu yang dipertanyakan (oleh saya)... anda katakan bahwa dalam Mahayana seorang Arahat masih memiliki kesempatan meraih Kebuddhaan seandainya mereka membangkitkan aspirasi itu. Salah satu contoh adalah ramalan Buddha kepada para siswa Arahat dalam Saddharmapundarika Sutra

Arahat masih memiliki kesempatan meraih ke-BUDDHA-an ?? ... yang anda maksud itu ke-BUDDHA-an yang mana ?? Arahat kan sudah BUDDHA (SAVAKA BUDDHA/SRAVAKA BUDDHA). apakah yang anda maksud adalah SAMMASAMBUDDHA ?? Jika memang yang ada maksud adalah SAMMASAMBUDDHA, berarti seorang ARAHAT tidak PARINIBBANA, karena kalau sudah PARINIBBANNA sudah TIDAK bisa mencapai apa apa lagi.

Note : Semua individu yang mencapai ke-BUDDHA-an (baik SAMMASAMBUDDHA, PACCEKA BUDDHA dan SAVAKA BUDDHA) juga sudah disebut dengan ARAHAT. Karena untuk membedakan pengertian, biasanya ARAHAT yang disebut itu mengacu pada SAVAKA BUDDHA.

Dalam tradisi Theravada, ARAHAT (SAVAKA BUDDHA) sendiri setelah parinibbana tidak akan mencapai apa apa lagi. Karena sudah tidak ada kelahiran lagi bagi seorang SAVAKA BUDDHA yang parinibbana. Inilah pembebasan, inilah tujuan akhir.

Sedangkan dalam MAHAYANA yang anda katakan, bahwa BUDDHA (sammasambuddha) bahkan meramalkan para ARAHAT akan mencapai sammasambuddha suatu saat (dalam Saddharmapundarika)... itulah yang saya katakan bahwa dari konsep saja, MAHAYANA yang anda maksud itu sudah berbeda 180 derajat dari konsep THERAVADA. Jika demikian, mencapai ARAHAT itu tidak berarti dalam MAHAYANA. Karena seorang ARAHAT itu akan terlahir kembali lagi untuk mencapai SAMMASAMBUDDHA.

Dalam hal ini kedua pandangan di atas sangat bertentangan (kontra)


NB : Salah satu kisah ARAHAT (SAVAKA) yang tidak parinibbana yaitu Y.A.MahaKassapa. Tidak ada cerita tentang pencapaian parinibbana MahaKassapa, Di dalam Buddhavamsa (Riwayat Agung Para Buddha) juga tidak diceritakan bagaimana Kassapa Parinibbana. Legenda mengatakan bahwa MahaKassapa belum parinibbana dan sedang dalam meditasi dalam (deep meditation) di dalam gunung kaki ayam dan akan muncul di dunia ini lagi ketika Maitreya mencapai ke-BUDDHA-an (sammasambuddha). DAlam hal ini juga tidak diceritakan bahwa MahaKAssapa (yang tidak parinibbana) akan mencapai sammasambuddha suatu saat.

BRAVO!

Totally agree...

makane gw gk bisa terima teori Mahayana yg mengatakan bahwa Boddhisatva level tinggi adalah Buddha!...

dalam Mahayana boddhisatva2 seperti Avalokhitesvara, Manjusri, etc semuanya dianggap sebagai Buddha dan perfect...perfect dalam metta, panna dan sila...

tapi kalo dilihat dari riwayat hidup sang Buddha Gotama, ktia bisa liat kalo Boddhisatva Gotama(lvl tinggi sekale!) masih bisa bertapa dengan cara yg salah, yg hampir menyebabkan dia meninggal dunia(liat avatar gw)...bukti bahwa Boddhisatva tingkat terakhir masih belum sempurna dalam segi Panna, dll..

di Mahayana, Panna + Karuna = sumpreme Nirvana, no?..

so, I think it's totally stupid to say that seorang Boddhisatva lvl tinggi = Sammasambuddha....

-_-" duh~...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Kelana on 07 November 2008, 01:40:35 AM
Halo semua...numpang lewat sebentar.

Pertama. Mengenai topik Bhavaviveka "vs" Hinayana ,
1.   Hinayana bukanlah Theravada. Polemik Hinayana & Mahayana di India muncul setelah leluhur Theravada (mungkin Vibhajjavāda ) hijrah ke Sri Lanka.
2.   Bhavaviveka tidak menjawab mengenai argumen dari aliran lain seperti argumen no.2, 3, 4, 7, 9

Tanpa menjawab no.2 maka Bhavaviveka mengakui bahwa Mahayana mengajarkan bahwa Tathagata itu abadi.
Tanpa menjawab no.3 maka Bhavaviveka mengakui bahwa Mahayana mengajarkan Mahayana tidak menanggalkan konsep atman...dst sampai no.9

Kedua. Saya masih sangat meragukan Saddharmapundarika Sutra sebagai teks rujukan yang tepat untuk membahas masalah dalam topik ini. Kenapa? Karena ada istilah Hinayana dalam teks Saddharmapundarika Sutra, sebuah istilah yang muncul belakangan yang jelas dan tegas merujuk pada aliran tertentu. Jadi jika ada yang mengajukannya sebagai rujukan, maaf terpaksa saya mengesampingkannya.

Ketiga. Ini adalah jawaban yang seharusnya Bhavaviveka terangkan untuk menanggapi argumen no.3. Saya tidak tahu apakah Bhavaviveka memang tidak menjelaskannya atau Sdr. Gandalf yang tidak mencantumkannya.
Dalam Mahayana, Nirvana = Sunyata = Adi Buddha = Tathagatagarbha = Dharmakaya. Nirvana, Sunyata merupakan "penggambaran" secara negatif dari Yang Absolut. Sedangkan, Adi Buddha, Tathagatagarbha, Dharmakaya merupakan "penggambaran" secara positif dari Yang Absolut.
Mengenai penjelasan versi sutranya silahkan membacanya di The Lankavatara Sutra Chapter VI, Transcendental Intelligence (tapi saya masih sedikit meragukan satu hal akan sutra ini). Dan seharusnya sebagai emanasi Amitabha Buddha, Bhavaviveka mengetahui sutra ini dan menjelaskannya.


Keempat. Bhavaviveka menyimpulkan (atau ini kesimpulan Sdr. Gandalf sendiri, maaf soalnya tidak ada tanda-tanda pemisah):
"Jadi berdasarkan kutipan di atas bahwa ada sesuatu yang tidak diajarkan Sang Buddha dalam sutra-sutra Hinayana, karena para Sravaka dan Pratyekabuddha tidak dapat memahami kebijaksanaan tingkat superior."

Bukankah kita juga bisa mengatakan bahwa ada penambahan atau penempaan sutra yang dilakukan Mahayanis sehingga akhirnya tidak terdapat dalam literatur non-Mahayana?

Jadi, bagi saya ada atau tidak ada sebuah sutra dalam sebuah koleksi bukan menjadi masalah yang penting, karena satu pihak ada yang memang tidak memiliki karena memang tidak pernah ada dan ada pihak lain yang menambahkan koleksi pribadi nya sendiri. Tapi yang penting adalah bertentangan (kontradiksi) atau tidak suatu sutra dengan sutra yang lain.


Kelima. Bhavaviveka dalam Tarkajvala mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka]. Perhatikan kata-kata yang saya tebalkan. Jika saya menyimpulan maka Bhavaviveka mengatakan bahwa para Sravaka adalah kaum yang hina, papa, tidak bermoral. Dalam bahasa Sanskerta maupun Pali, kata "hina" berarti hina, papa, tidak bermoral, dan bukan berarti "kecil" seperti yang digembar-gemborkan. Istilah "hina" jelas-jelas mengacu pada istilah yang negatif. Coba kita bandingkan dengan pembahasan kita di topik The Vajracchedika Prajna Paramita Sutra dengan keberadaan istilah "hīnādhimuktiakaiḥ" yang berarti kecenderungan diri pada hal-hal yang tidak bermoral. http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=735.15

Kata "hina" jelas berarti tidak bermoral. Dan perlu dicatat bahwa salah satu peninggalan dari bahasa Sanskerta yang masih digunakan oleh bahasa Indonesia yaitu kata "hina" itu sendiri yang berarti jelek, buruk. Jika yang dimaksud adalah lawan dari kata "maha" sebagai lawan dari "mahayana", maka seharusnya kata yang digunakan adalah kata "cuula" yang berarti kecil. Jadi "Cuulayana" bukan "hinayana". Inilah alasan mengapa saya katakan bahwa kata "hinayana" bersifat negatif.

Dan kembali lagi, jika dikatakan bahwa Sravaka adalah jalan yang hina, buruk, a-moral, maka pertanyaannya mengapa Sang Buddha yang mulia itu dan piawai dalam mengajar justru mengajarkan jalan yang a-moral itu? Kemudian, Sravaka. Kita tahu arti dari Sravaka, yaitu pendengar atau juga siswa. Apakah Bodhisattva mendengarkan ajaran para Buddha? Apakah Bodhisattva siswa Sang Buddha? Jika Ya, maka Bodhisattva juga adalah seorang Sravaka. Jika dikatakan "Kaum Hinayana (Sravaka)" seperti kata Bhavaviveka dalam Tarkajvala, itu berarti Bodhisattva adalah bagian dari Hinayana (ajaran a-moral) itu sendiri. Jika demikian untuk apa jalan Bodhisattva?  ;D
Semoga rekan-rekan bisa memahami jalan logikanya yang cukup rumit ini :D
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 07 November 2008, 01:57:32 AM
Kalau memang ajaran comot sana comot sini atau ajaran yang ditambah tambahan berdasarkan persepsi sendiri, maka hasilnya adalah puyeng alias pusing kalau dianalisa dari depan ke belakang, dan dari belakang ke depan... hehehehehe
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 07 November 2008, 08:59:45 AM
KELANA!!..ur the BEST!...

^^

GRP ah~~
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 07 November 2008, 10:58:41 AM
Quote from: Kelana on 07 November 2008, 01:40:35 AM

Bukankah kita juga bisa mengatakan bahwa ada penambahan atau penempaan sutra yang dilakukan Mahayanis sehingga akhirnya tidak terdapat dalam literatur non-Mahayana?


Kemungkinan sebaliknya juga harus diperhitungkan, literature yang ada di luar Mahayana menhapus rujukan yang mengacu pada ajaran Mahayana.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Johsun on 07 November 2008, 11:18:23 AM
Kalo ga salah, hinayana itu artinya kendaraan yg hina
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 07 November 2008, 11:25:15 AM
Quotenah... yang saya bold merah itulah menjadi sesuatu yang dipertanyakan (oleh saya)... anda katakan bahwa dalam Mahayana seorang Arahat masih memiliki kesempatan meraih Kebuddhaan seandainya mereka membangkitkan aspirasi itu. Salah satu contoh adalah ramalan Buddha kepada para siswa Arahat dalam Saddharmapundarika Sutra

Arahat masih memiliki kesempatan meraih ke-BUDDHA-an ?? ... yang anda maksud itu ke-BUDDHA-an yang mana ?? Arahat kan sudah BUDDHA (SAVAKA BUDDHA/SRAVAKA BUDDHA). apakah yang anda maksud adalah SAMMASAMBUDDHA ?? Jika memang yang ada maksud adalah SAMMASAMBUDDHA, berarti seorang ARAHAT tidak PARINIBBANA, karena kalau sudah PARINIBBANNA sudah TIDAK bisa mencapai apa apa lagi.
Ya, yang saya maksud adalah Sammsambuddha. Namun tidak berarti Arahat(Savaka Buddha) tidak Parinibbana. Dalam hal siklus simsara, Savaka Buddha itu memang telah mengakhiri sang jalan dan mencapai nibbana. Tapi jika mengatakan bahwa SUDAH PARINIBBANA SUDAH TIDAK BISA MENCAPAI APA-APA LAGI, ini tidak jauh berbeda dengan pandangan nihilis. Nibbana adalah keadaan sehubungan dengan padamnya api nafsu dosa, lobha dan moha. Mencapai parinibbana adalah keadaan dimana telah mencapai An-upadisesa nibbana. SEmua kilesa terkikis dan padamnya pancaskandha.   Ini berkenaan dengan pengikisan noda batin, 10 belenggu telah dikikis. Ini tidak mengindikasikan bahwa Setelah mencapai Parinibbanana, Seorang Savaka Buddha tidak dapat mencapai apa-apa lagi- Berkenaan dengan pengikisan 10 belenggu, memang dikatakan tidak ada lagi yang perlu dicapai- akan tetapi berkenaan dengan Pengetahuan Sempurna, sangat jelas sekali bahwa Savaka Buddha masih belum seSEMPURNA seorang Sammsambbudha.  Karena belum seSEMPURNA seorang Sammasambuddha, maka sudah pasti masih ada ruang bagi seorang SavakaBuddha utk menggapai sisa-sisa pengetahuan yg belum digapai. Secara logika ini tentu lebih memungkinkan dibandingkan dengan konsep anda yg mengatakan Savaka Buddha tidak bisa mencapai apa-apa lagi.

Jika tidak bisa mencapai apa-apa lagi sementara Pengetahuan Sempurna belum diraih, maka tidaklah ideal jika memilih jalan itu.  Mahayana tidak menampik jalan Arahat(Savaka Buddha), namun Mahayana percaya Arahat masih memiliki Ruang utk menggapai Sammasabuddha. Karena Sammsambuddha adalah tujuan tertinggi. Meskipun SravakaBuddha dan Paccekkabuddha dimuliakan , namun tetap Sammasambbudha adalah manusia sempurna yang tiada bandingannya yang memungkinkan bagi siapapun utk meraihnya tak terkecuali seorang Arahat maupun Paccekabuddha. 
Ingin mengatakan Arahat tidak sempurna atau sempurna itu kan tergantung sudut pandang. JIka dipandang dari seorang Sammasambuddha, jelas sekali Arahat tidak seSempurna Sammasambuddha dari segala aspek.  Siapa yang bisa membantah ini?



Quote
Dalam tradisi Theravada, ARAHAT (SAVAKA BUDDHA) sendiri setelah parinibbana tidak akan mencapai apa apa lagi. Karena sudah tidak ada kelahiran lagi bagi seorang SAVAKA BUDDHA yang parinibbana. Inilah pembebasan, inilah tujuan akhir.

Sedangkan dalam MAHAYANA yang anda katakan, bahwa BUDDHA (sammasambuddha) bahkan meramalkan para ARAHAT akan mencapai sammasambuddha suatu saat (dalam Saddharmapundarika)... itulah yang saya katakan bahwa dari konsep saja, MAHAYANA yang anda maksud itu sudah berbeda 180 derajat dari konsep THERAVADA.
Memang berbeda.
Tapi dalam Mahayana, pembebasan yang diraih Savaka Buddha itu juga adalah salah satu tujuan (berkenaan dengan pengikisan 10 belenggu).  Namun bagi Mahayana, itu tidak disebut TUJUAN AKHIR. Apa yang disebut tujuan akhir? Tujuan akhir adalah baik belengggu batin telah dikikis dan meraih kebahagiaan nibbana, sekaligus juga meraih pengetahuan sempurna, menguasai pengetahuan secara sempurna seperti yang telah diraih oleh sang guru. Ini baru disebut Tujuan Akhir yang sesungguhnya.


Quote
Jika demikian, mencapai ARAHAT itu tidak berarti dalam MAHAYANA. Karena seorang ARAHAT itu akan terlahir kembali lagi untuk mencapai SAMMASAMBUDDHA.
Dalam hal ini kedua pandangan di atas sangat bertentangan (kontra)
Mencapai Arahat, apakah Arahat itu? Arahat adalah makhluk yang telah berhasil mengikis belenggu batin. Ini tentu penting juga dalam Mahayana. Tanpa mengikis belenggu batin bagaimana mungkin bisa meraih pengetahuan sempurna ? (Pertapa Sumedha menolak mencapai Kearahatan utk memilih jalan bodhisatta, namun pada tingkat bodhisatva tertentu, 10 belenggu juga dikikis dan sejajar dengan Kearahatan. Yang ditolalk Sumedha adalah Jenis Kearahatan yang tidak diiringi dengan mengembangkan tekad Sammsambuddha).
Arahat yang kemudian memilih jalan Bodhisatva itu tidak berarti dia terjatuh ke siklus samsara. Sepertinya halnya dewa Sakka yang bisa bebas datang ke sini dan bebas kembali ke alamnya. Ini berkenaan dengan iddhibala yang dia pergunakan. Bukan karena dia harus balik menjadi makhluk awam yang mengalami penderitaan batin dan menjadi terbelenggu lagi. Seorang Arahat yang memilih jalan Bodhisatva maka dia langsung 'masuk' ke clan bodhisatva yang sejajar dengan bodhisatva tingkat tinggi.

Quote
NB : Salah satu kisah ARAHAT (SAVAKA) yang tidak parinibbana yaitu Y.A.MahaKassapa. Tidak ada cerita tentang pencapaian parinibbana MahaKassapa, Di dalam Buddhavamsa (Riwayat Agung Para Buddha) juga tidak diceritakan bagaimana Kassapa Parinibbana. Legenda mengatakan bahwa MahaKassapa belum parinibbana dan sedang dalam meditasi dalam (deep meditation) di dalam gunung kaki ayam dan akan muncul di dunia ini lagi ketika Maitreya mencapai ke-BUDDHA-an (sammasambuddha). DAlam hal ini juga tidak diceritakan bahwa MahaKAssapa (yang tidak parinibbana) akan mencapai sammasambuddha suatu saat.
Ya, tapi 'kan akhirnya diceritakan dalam Saddharmapundarika Sutra.
Di kitab lain tidak ada kisah itu, tidak berarti kitab lain adalah Pasti Benar.
Di Saddharmapundarika ada kisah itu, lantas dianggap salah, tentu ini cara analisa yang aneh.

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 07 November 2008, 11:33:30 AM
Quote from: Kelana on 07 November 2008, 01:40:35 AM

Kelima. Bhavaviveka dalam Tarkajvala mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka]. Perhatikan kata-kata yang saya tebalkan. Jika saya menyimpulan maka Bhavaviveka mengatakan bahwa para Sravaka adalah kaum yang hina, papa, tidak bermoral. Dalam bahasa Sanskerta maupun Pali, kata "hina" berarti hina, papa, tidak bermoral, dan bukan berarti "kecil" seperti yang digembar-gemborkan. Istilah "hina" jelas-jelas mengacu pada istilah yang negatif. Coba kita bandingkan dengan pembahasan kita di topik The Vajracchedika Prajna Paramita Sutra dengan keberadaan istilah "hīnādhimuktiakaiḥ" yang berarti kecenderungan diri pada hal-hal yang tidak bermoral. http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=735.15

Kata "hina" jelas berarti tidak bermoral. Dan perlu dicatat bahwa salah satu peninggalan dari bahasa Sanskerta yang masih digunakan oleh bahasa Indonesia yaitu kata "hina" itu sendiri yang berarti jelek, buruk. Jika yang dimaksud adalah lawan dari kata "maha" sebagai lawan dari "mahayana", maka seharusnya kata yang digunakan adalah kata "cuula" yang berarti kecil. Jadi "Cuulayana" bukan "hinayana". Inilah alasan mengapa saya katakan bahwa kata "hinayana" bersifat negatif.

Dan kembali lagi, jika dikatakan bahwa Sravaka adalah jalan yang hina, buruk, a-moral, maka pertanyaannya mengapa Sang Buddha yang mulia itu dan piawai dalam mengajar justru mengajarkan jalan yang a-moral itu? Kemudian, Sravaka. Kita tahu arti dari Sravaka, yaitu pendengar atau juga siswa. Apakah Bodhisattva mendengarkan ajaran para Buddha? Apakah Bodhisattva siswa Sang Buddha? Jika Ya, maka Bodhisattva juga adalah seorang Sravaka. Jika dikatakan "Kaum Hinayana (Sravaka)" seperti kata Bhavaviveka dalam Tarkajvala, itu berarti Bodhisattva adalah bagian dari Hinayana (ajaran a-moral) itu sendiri. Jika demikian untuk apa jalan Bodhisattva?  ;D
Semoga rekan-rekan bisa memahami jalan logikanya yang cukup rumit ini :D


Kata "hina" memang dapat berkonotasi negatif. Tapi pengertiannya, harus diartikan dengan melihat pada oposisinya yaitu "maha", yaitu berarti besar atau luas. Jadi lawan dari besar adalah kecil. Karena itu kata hina di di sini dapat diartikan sebagai kecil, meski memiliki konotasi buruk.

Dalam bahasa Indonesia, kata "bisa" misalnya, dapat diartikan sebagai "racun" sekaligus "mampu". Namun pengertiannya sangat tergantung pada konteks kalimatnya. Jika seseorang menggunakan kata "Kratingdaeng. Bisa!"  Bukan berarti ia sedang mengatakan Kratingdaeng itu berbisa (atau beracun), tapi Kratindaeng mampu menambah tenaga. Begitu juga sebaliknya. Kedua pengertian ini tidak bisa dipertukarkan seenaknya walaupun bunyi katanya sama.

Meskipun demikian, umat Mahayana sekarang sudah sepakat untuk tidak lagi menggunakan kata "hinayana" dengan pertimbangan kata ini memang dapat diartikan secara sebaliknya. Sdr. Gandalf tampaknya menggunakan istilah ini sekadar untuk mengutip Bavaviveka, kalau saya tak salah menfasirkan. Saya lebih suka menggunakan istilah Sravakayana atau Nikaya untuk merujuk pada "yana" (kendaraan) di mana ajaran Theravada berada di dalamnya.  

Sekadar tambahan, saya lebih suka menafsirkan kata "Maha" dan "Hina" sebagai "Universal/Luas" dan "Partikular/Sempit", yang artinya walaupun Sravakayana nampaknya berbeda dengan Mahayana dalam penampakan luarnya (rupa), namun secara esensinya adalah bagian darinya. Bagaimanapun, seperti yang diajarkan dalam Sutra Hati, rupa (wujud sebagai hasil dari keberadaan persepsi fisik) adalah sunyata belaka, dan sunyata adalah rupa. Maka, beda antara "maha" dan "hina" pada dasarnya adalah kata-kata belaka. Pada dasarnya, seorang Bodhisattva pun harus menempuh jalan sravaka sebelum ia akhirnya mencapai kesempurnaan sebagai samyaksambuddha. Sravaka dan Arahant bukanlah kelompok yang berada di luar Mahayana, melainkan berada di dalamnya sebagai bagian darinya (Ini perspektif Mahayana loh :) ).

Tentu saja, perpecahan dengan pandang "sekte" lebih kental, sehingga masing-masing merasa  kelompok yang lain adalah berbeda dan saling melecehkan satu sama lain. Mereka juga lupa, bahwa banyak hal yang dapat dipelajari dari ajaran masing-masing.  

Sebelum seorang Mahayanis menyebut ajaran para Sravaka itu lebih rendah, sebaiknya ia menyadari dahulu bahwa "besar" dan "kecil" pada hakikatnya adalah relatif. Jika ada seorang Mahayanis yang belum memahami bahwa ukuran besar dan kecil, universal dan partikular, luas dan sempit, hanya timbul dari pandangan yang salah (kilesa), serta bersikukuh bahwa hal tersebut adalah kebenaran, maka ia tidak akan mampu merealisasikan bodhicitta.  Sebab semua ukuran seperti itu muncul karena perbandingan atau pikiran yang mendiskriminasi, pikiran seperti itu adalah hasil dari bahasa yang bertentangan dengan sifat asali dari bodhicitta.

Bagaimana dengan pengikut Theravada? Saya rasa terlalu meyakini bahwa ajarannya adalah paling otentik justru dapat membahayakan. Ia menjadi terikat akan bentuk (rupa) dan mudah marah jika keotentikan ajarannya dipertanyakan. Tentu saja ini adalah sumber dari moha dan dosa.  
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 07 November 2008, 12:05:33 PM
Quote小品般若波羅蜜經》卷1〈2 釋提桓因品〉:
    「爾時釋提桓因語須菩提言:「是諸無數天眾,皆共集會,欲聽須菩提說般若波羅蜜義。菩薩云何住般若波羅蜜?」須菩提語釋提桓因及諸天眾:「憍尸迦!我今當承佛神力,說般若波羅蜜。若諸天子未發阿耨多羅三藐三菩提心者,今應當發。若人已入正位,則不堪任發阿耨多羅三藐三菩提心。何以故?已於生死作障隔故。是人若發阿耨多羅三藐三菩提心,我亦隨喜,終不斷其功德。所以者何?上人應求上法。」」
    (CBETA, T08, no. 227, p. 540, a12-21)

    Subhūti said to Śakra Devānām Indra and all [those] assembled devas: "O Kauśika! I shall now, empowered by the Buddha's spiritual might, teach the prajñāpāramitā. All those sons of the devas who have yet to arise the mind [of aspiration towards] anuttarā samyak saṃbodhi, they should now arise [that aspiration]. If a person has already penetratively [realized] the fixed status [of dharmas], they are therefore unable to arise the mind [of aspiration towards] anuttarā samyak saṃbodhi. For what reason? Because they have already constructed an obstructing barrier [between themselves and the cycle of] birth and death. If these people were to arise the mind [of aspiration towards] anuttarā samyak saṃbodhi, I would also have appreciative joy [towards that], and never prevent their merit. For what reason? Superior people should aspire for superior dharmas."

QuoteDaoxing Jing
須菩提語釋提桓因言:「拘翼!是若干千萬天子樂者,聽我當說。」
須菩提持佛威神、持佛力,廣為諸天子說般若波羅蜜:「何所天子未行菩薩道,其未行者今皆當行。以得須陀洹道,不可復得菩薩道。何以故?閉塞生死道故。正使是輩行菩薩道者,我代其喜,我終不斷功德法,我使欲取中正尊法,正欲使上佛。」
~ ... one who attains the streamwinner path, is not able to further attain the Bodhisattva path ...

Damingdu Jing
善業曰:「諸天子!樂聞者,聽我說。因持佛力,廣說智度。何天子未求闓士道者,今皆當求。以得溝港道者,不可復得闓士道士。何以故?閉生死道已。正使是輩求者,我代其喜,不斷功德也。悉欲使取經中極尊法,使上至佛。」
~ ... one who attains the streamwinner path, is not able to further attain the bodhisattva path ...

Banruo Chao Jing
須菩提語釋提桓因。拘翼。是若干萬千天人樂聞者。皆聽我當持佛威神力廣為諸天人說般若波羅蜜。何所天人未發菩薩心者。今皆當行。以得須陀洹者不可復得菩薩道。何以故。閉塞生死故。正使是輩人索菩薩道。我亦勸助之不斷其功德。悉使取法中極尊欲使極上。
~ ... one who attains the streamwinner path, is not able to further attain the bodhisattva path ...

Xiaopin Jing
須菩提語釋提桓因,及諸天眾:「憍尸迦!我今當承佛神力,說般若波羅蜜。若諸天子未發阿耨多羅三藐三菩提心者,今應當發。若人已入正位,則不堪任發阿耨多羅三藐三菩提心。何以故?已於生死作障隔故。是人若發阿耨多羅三藐三菩提心,我亦隨喜,終不斷其功德。所以者何?上人應求上法。」
~ ... one who has entered certainty (samyaktva), is then unable to arise the mind of anuttarā samyak saṃbodhi ...

In Sanskrit: "ye tvavakrāntāḥ samyaktvaniyāmam, na te bhavyā anuttarāyāṁ samyaksaṁbodhau cittam utpādayitum| tatkasya hetoḥ? baddhasīmāno hi te saṁsārasrotasaḥ|"
"Those who have realized certainty, they cannot arise the mind of anuttarā samyak saṃbodhi."
Terjemahan Ven. Huifeng
http://www.lioncity.net/buddhism/index.php?showtopic=77605&st=30
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 07 November 2008, 03:56:38 PM
 [at] Chingik
yg beda antara Savaka Buddha dan Sammasam Buddha khan pengetahuan, kekuatan batin dan skill(kayak nerangin Dhamma), dll...tapi yg palink penting itu..

Kesucian Savaka Buddha = kesucian Sammasambuddha

Savaka Buddha telah mengikis 3 akar, begitu juga Sammasambuddha...

Nibbana itu cuma 1...

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 07 November 2008, 03:57:21 PM
Quote from: karuna_murti on 07 November 2008, 12:05:33 PM
Quote小品般若波羅蜜經》卷1〈2 釋提桓因品〉:
    「爾時釋提桓因語須菩提言:「是諸無數天眾,皆共集會,欲聽須菩提說般若波羅蜜義。菩薩云何住般若波羅蜜?」須菩提語釋提桓因及諸天眾:「憍尸迦!我今當承佛神力,說般若波羅蜜。若諸天子未發阿耨多羅三藐三菩提心者,今應當發。若人已入正位,則不堪任發阿耨多羅三藐三菩提心。何以故?已於生死作障隔故。是人若發阿耨多羅三藐三菩提心,我亦隨喜,終不斷其功德。所以者何?上人應求上法。」」
    (CBETA, T08, no. 227, p. 540, a12-21)

    Subhūti said to Śakra Devānām Indra and all [those] assembled devas: "O Kauśika! I shall now, empowered by the Buddha's spiritual might, teach the prajñāpāramitā. All those sons of the devas who have yet to arise the mind [of aspiration towards] anuttarā samyak saṃbodhi, they should now arise [that aspiration]. If a person has already penetratively [realized] the fixed status [of dharmas], they are therefore unable to arise the mind [of aspiration towards] anuttarā samyak saṃbodhi. For what reason? Because they have already constructed an obstructing barrier [between themselves and the cycle of] birth and death. If these people were to arise the mind [of aspiration towards] anuttarā samyak saṃbodhi, I would also have appreciative joy [towards that], and never prevent their merit. For what reason? Superior people should aspire for superior dharmas."

QuoteDaoxing Jing
須菩提語釋提桓因言:「拘翼!是若干千萬天子樂者,聽我當說。」
須菩提持佛威神、持佛力,廣為諸天子說般若波羅蜜:「何所天子未行菩薩道,其未行者今皆當行。以得須陀洹道,不可復得菩薩道。何以故?閉塞生死道故。正使是輩行菩薩道者,我代其喜,我終不斷功德法,我使欲取中正尊法,正欲使上佛。」
~ ... one who attains the streamwinner path, is not able to further attain the Bodhisattva path ...

Damingdu Jing
善業曰:「諸天子!樂聞者,聽我說。因持佛力,廣說智度。何天子未求闓士道者,今皆當求。以得溝港道者,不可復得闓士道士。何以故?閉生死道已。正使是輩求者,我代其喜,不斷功德也。悉欲使取經中極尊法,使上至佛。」
~ ... one who attains the streamwinner path, is not able to further attain the bodhisattva path ...

Banruo Chao Jing
須菩提語釋提桓因。拘翼。是若干萬千天人樂聞者。皆聽我當持佛威神力廣為諸天人說般若波羅蜜。何所天人未發菩薩心者。今皆當行。以得須陀洹者不可復得菩薩道。何以故。閉塞生死故。正使是輩人索菩薩道。我亦勸助之不斷其功德。悉使取法中極尊欲使極上。
~ ... one who attains the streamwinner path, is not able to further attain the bodhisattva path ...

Xiaopin Jing
須菩提語釋提桓因,及諸天眾:「憍尸迦!我今當承佛神力,說般若波羅蜜。若諸天子未發阿耨多羅三藐三菩提心者,今應當發。若人已入正位,則不堪任發阿耨多羅三藐三菩提心。何以故?已於生死作障隔故。是人若發阿耨多羅三藐三菩提心,我亦隨喜,終不斷其功德。所以者何?上人應求上法。」
~ ... one who has entered certainty (samyaktva), is then unable to arise the mind of anuttarā samyak saṃbodhi ...

In Sanskrit: "ye tvavakrāntāḥ samyaktvaniyāmam, na te bhavyā anuttarāyāṁ samyaksaṁbodhau cittam utpādayitum| tatkasya hetoḥ? baddhasīmāno hi te saṁsārasrotasaḥ|"
"Those who have realized certainty, they cannot arise the mind of anuttarā samyak saṃbodhi."
Terjemahan Ven. Huifeng
http://www.lioncity.net/buddhism/index.php?showtopic=77605&st=30
nice man..

kontradiksi neh sama teori Chingik..-_-"..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 07 November 2008, 03:58:18 PM
Quote from: chingik on 07 November 2008, 11:25:15 AM
Ya, yang saya maksud adalah Sammsambuddha. Namun tidak berarti Arahat(Savaka Buddha) tidak Parinibbana. Dalam hal siklus simsara, Savaka Buddha itu memang telah mengakhiri sang jalan dan mencapai nibbana. Tapi jika mengatakan bahwa SUDAH PARINIBBANA SUDAH TIDAK BISA MENCAPAI APA-APA LAGI, ini tidak jauh berbeda dengan pandangan nihilis. Nibbana adalah keadaan sehubungan dengan padamnya api nafsu dosa, lobha dan moha. Mencapai parinibbana adalah keadaan dimana telah mencapai An-upadisesa nibbana. SEmua kilesa terkikis dan padamnya pancaskandha.   Ini berkenaan dengan pengikisan noda batin, 10 belenggu telah dikikis. Ini tidak mengindikasikan bahwa Setelah mencapai Parinibbanana, Seorang Savaka Buddha tidak dapat mencapai apa-apa lagi- Berkenaan dengan pengikisan 10 belenggu, memang dikatakan tidak ada lagi yang perlu dicapai- akan tetapi berkenaan dengan Pengetahuan Sempurna, sangat jelas sekali bahwa Savaka Buddha masih belum seSEMPURNA seorang Sammsambbudha.  Karena belum seSEMPURNA seorang Sammasambuddha, maka sudah pasti masih ada ruang bagi seorang SavakaBuddha utk menggapai sisa-sisa pengetahuan yg belum digapai. Secara logika ini tentu lebih memungkinkan dibandingkan dengan konsep anda yg mengatakan Savaka Buddha tidak bisa mencapai apa-apa lagi.

Jika tidak bisa mencapai apa-apa lagi sementara Pengetahuan Sempurna belum diraih, maka tidaklah ideal jika memilih jalan itu.  Mahayana tidak menampik jalan Arahat(Savaka Buddha), namun Mahayana percaya Arahat masih memiliki Ruang utk menggapai Sammasabuddha. Karena Sammsambuddha adalah tujuan tertinggi. Meskipun SravakaBuddha dan Paccekkabuddha dimuliakan , namun tetap Sammasambbudha adalah manusia sempurna yang tiada bandingannya yang memungkinkan bagi siapapun utk meraihnya tak terkecuali seorang Arahat maupun Paccekabuddha. 
Ingin mengatakan Arahat tidak sempurna atau sempurna itu kan tergantung sudut pandang. JIka dipandang dari seorang Sammasambuddha, jelas sekali Arahat tidak seSempurna Sammasambuddha dari segala aspek.  Siapa yang bisa membantah ini?

Tapi jika mengatakan bahwa SUDAH PARINIBBANA SUDAH TIDAK BISA MENCAPAI APA-APA LAGI, ini tidak jauh berbeda dengan pandangan nihilis. ... Bedakan konsep nihil dengan an-atta...

An-atta  menyatakan bahwa tiada inti yang kekal (berarti semua fenomena di dunia tidak berdiri sendiri karena terkondisi oleh banyak faktor). Ini tidak sama dengan konsep nihil... mungkin anda bahas lagi NIHIL yang anda katakan itu dengan konsep KEKOSONGAN (WU) MAHAYANA yang mungkin lebih dekat secara terminologi...

Sekali anda betul sekali bahwa kualitas SAVAKA BUDDHA berbeda dengan SAMMASAMBUDDHA, Seorang SAMMASAMBUDDHA, SAVAKA maupun PACCEKA memperoleh Empat Pengetahuan tentang Jalan... hanya bedanya seorang sammasambuddha memperoleh pengetahuan tentang Jalan diikuti dengan KEMAHATAHUAN... KEMAHATAHUAN inilah yang memungkinkan seorang SAMMASAMBUDDHA untuk menurunkan ajaran.

Darimana KEMAHATAHUAN ini diperoleh, tentunya secara "LOGIS" adalah dari penyempurnaan "PARAMI" dari serangkaian tambahan kehidupan yang harus dilewati oleh seolah BODHISATVA (calon sammsambuddha).

Dalam Theravada, tidak dipungkiri individu Bodhisatva.... Bodhisatva dalam Theravada adalah seorang calon sammasambuddha. Tidak ada jalur khusus (Ajaran) Bodhisatva. semuanya murni dari aspirasi masing-masing individu. Ketika seorang individu beraspirasi untuk mencapai sammasambuddha dan mendapat ramalan pasti dari seorang sammasambuddha, maka masuklah individu tersebut kedalam apa yang anda sebutkan JALUR BODHISATVA.

Pencapaian kesucian Arahat kembali lagi tidak tergantung kepada KEMAHATAHUAN... seperti contoh. ANANDA yang diberkahi dengan daya pikir dan daya ingat yang kuat tidak berhasil mencapai kesucian ARAHAT ketika BUDDHA masih hidup, tetapi bandingkan dengan bhikkhu Culapanthaka yang terkenal "BODOH" karena tidak bisa mengingat bahkan 1 bait pun dharma berhasil mencapai kesucian ARAHAT ketika BUDDHA menugaskan Culapanthaka untuk mencuci kain dengan mengucapkan kata-kata "KOTOR". Akhirnya Culapanthaka merealisasikan pembebasan, melepaskan kemelekatan, mencapai penembusan anicca, an-atta dan dukkha.

Inti pembahasan ini kalau saya simpulkan adalah :
1. Mahayana (tafsiran sdr.Chingik) menyatakan bahwa ARAHAT masih memiliki ruang untuk mencapai sammasambuddha karena di dalam Saddharmapundarika sutra, BUDDHA meramalkan pencapaian sammasambuddha dari para ARAHAT.
2. Theravada (tafsiran dilbert) menyatakan bahwa ARAHAT itu sudah mencapai nibbana (tujuan akhir kalau boleh dikatakan demikian). Ketika seorang ARAHAT parinibbana maka sudah "TIDAK BEREDAR" lagi, karena tiada kelahiran lagi bagi ARAHAT. Seorang individu yang sudah dalam Jalan ARAHAT (ARAHATTA MAGGA) bahkan sudah MATANG untuk mencapai tingkat ARAHAT (seperti contoh petapa sumedha), tetapi karena adanya aspirasi (keinginan baik/mulia yang sangat halus) ini tidak akan bisa merealisasi ARAHATTA PHALA.

Kedua argumentasi di atas "berseberangan"... Apakah ada pandangan yang lain.

Sekali lagi... Saya tidak menyatakan bahwa argumen saya pasti "BENAR", tetapi itulah yang bisa disampaikan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Indra on 07 November 2008, 04:07:16 PM
Rekan2,

sepertinya ini sudah menjadi perdebatan Mahayana vs Theravada, tidak akan ada titik temunya. Dalam banyak hal Mahayana memang berbeda dengan Theravada. saya rasa akan lebih bijaksana jika kita menghormati masing2 pandangan tanpa berusaha untuk mengubah pandangan tsb.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 07 November 2008, 04:08:40 PM
[at] atas

sepakat sdr. Indra.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 07 November 2008, 04:11:05 PM
Quote from: Indra on 07 November 2008, 04:07:16 PM
Rekan2,

sepertinya ini sudah menjadi perdebatan Mahayana vs Theravada, tidak akan ada titik temunya. Dalam banyak hal Mahayana memang berbeda dengan Theravada. saya rasa akan lebih bijaksana jika kita menghormati masing2 pandangan tanpa berusaha untuk mengubah pandangan tsb.

_/\_

Tidak ada titik temu-nya, apakah berarti bahwa Kedua-nya TIDAK SAMA... manakah yang boleh menyandang titel AJARAN BUDDHA ?? DUA-DUA-nya boleh ?? atau MALAH DUA-DUA-nya tidak boleh ?? Atau salah satu ??

Atau ada terobosan untuk "mereformasi" ajaran, bisa jadi Reformasi THERAVADA, bisa juga Reformasi MAHAYANA... Siapa tahu...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 07 November 2008, 04:14:13 PM
 [at] Dilbert

BRAVO!!...

[at] ko Indra...

^^

debat khan membantu pencerahan...biarin ajah..yg penting khan gk ada yg gara2 debat ini trus jadi Mujahid..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 07 November 2008, 04:19:50 PM
Kalau kita membandingkan ajaran BUDDHA dengan ajaran agama lain seperti kr****n dan Islam, saya katakan memang susah untuk didiskusikan, karena memang konsepnya berbeda... pasti tidak ada titik temunya...

Tetapi kalau membahas THERAVADA dan MAHAYANA, apakah kita harus membahas hanya persamaannya, tetapi "mengharamkan" pembahasan perbedaannya ???
Jika perbedaannya dalam tingkat non-konseptual seperti tata cara, ritual, kebiasaan dsbnya, mungkin masih bisa diterima. Tetapi kalau perbedaannya prinsipil (fundamental) seperti pembahasan di atas (satu pihak menyatakan ARAHAT sudah FINAL, satu pihak lagi menyatakan ARAHAT belum final, masih bisa ada ruang untuk jalur SAMMASAMBUDDHA)... tentunya kita harus berani untuk mendiskusikannya...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 07 November 2008, 04:21:29 PM
 [at] atas

agreeee....GRP deh..1...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Indra on 07 November 2008, 04:28:15 PM
Quote from: dilbert on 07 November 2008, 04:19:50 PM
Kalau kita membandingkan ajaran BUDDHA dengan ajaran agama lain seperti kr****n dan Islam, saya katakan memang susah untuk didiskusikan, karena memang konsepnya berbeda... pasti tidak ada titik temunya...

Tetapi kalau membahas THERAVADA dan MAHAYANA, apakah kita harus membahas hanya persamaannya, tetapi "mengharamkan" pembahasan perbedaannya ???
Jika perbedaannya dalam tingkat non-konseptual seperti tata cara, ritual, kebiasaan dsbnya, mungkin masih bisa diterima. Tetapi kalau perbedaannya prinsipil (fundamental) seperti pembahasan di atas (satu pihak menyatakan ARAHAT sudah FINAL, satu pihak lagi menyatakan ARAHAT belum final, masih bisa ada ruang untuk jalur SAMMASAMBUDDHA)... tentunya kita harus berani untuk mendiskusikannya...
Bro Dilbert,
Saya tidak bisa tidak setuju dengan anda, kalau begitu silahkan lanjut, semoga debat bisa berlangsung dengan sehat sampai akhir. saya nonton aja.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: joan lee on 07 November 2008, 04:32:03 PM
yang menang debat dapat apa?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 07 November 2008, 04:32:50 PM
Quote from: Indra on 07 November 2008, 04:28:15 PM
Quote from: dilbert on 07 November 2008, 04:19:50 PM
Kalau kita membandingkan ajaran BUDDHA dengan ajaran agama lain seperti kr****n dan Islam, saya katakan memang susah untuk didiskusikan, karena memang konsepnya berbeda... pasti tidak ada titik temunya...

Tetapi kalau membahas THERAVADA dan MAHAYANA, apakah kita harus membahas hanya persamaannya, tetapi "mengharamkan" pembahasan perbedaannya ???
Jika perbedaannya dalam tingkat non-konseptual seperti tata cara, ritual, kebiasaan dsbnya, mungkin masih bisa diterima. Tetapi kalau perbedaannya prinsipil (fundamental) seperti pembahasan di atas (satu pihak menyatakan ARAHAT sudah FINAL, satu pihak lagi menyatakan ARAHAT belum final, masih bisa ada ruang untuk jalur SAMMASAMBUDDHA)... tentunya kita harus berani untuk mendiskusikannya...
Bro Dilbert,
Saya tidak bisa tidak setuju dengan anda, kalau begitu silahkan lanjut, semoga debat bisa berlangsung dengan sehat sampai akhir. saya nonton aja.

Thanks atas pengertiannya... Karena terus terang saja... Saya tidak mengharamkan jika ternyata pandangan ala THERAVADA saya yang harus di-reformasi... Karena yang saya cari adalah KEBENARAN... Bahasa keren-nya kan KEBENARAN itu TIDAK MELEKAT PADA IDENTITAS.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 07 November 2008, 04:33:50 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:32:03 PM
yang menang debat dapat apa?

semua yang debat/diskusi dengan hati terbuka... akan mendapatkan banyak hal.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: joan lee on 07 November 2008, 04:35:20 PM
Quote from: dilbert on 07 November 2008, 04:33:50 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:32:03 PM
yang menang debat dapat apa?

semua yang debat/diskusi dengan hati terbuka... akan mendapatkan banyak hal.
still, everbody is going to die anyway.. menang dapat ap? kepuasan sementara? ato instant arahat?

krn kadang sy baca ud melewati diskusi, tp ajang hina menghina.. :)) :))
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 07 November 2008, 04:36:49 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:35:20 PM
Quote from: dilbert on 07 November 2008, 04:33:50 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:32:03 PM
yang menang debat dapat apa?

semua yang debat/diskusi dengan hati terbuka... akan mendapatkan banyak hal.
still, everbody is going to die anyway.. menang dapat ap? kepuasan sementara? ato instant arahat?



cewe gk bakal ngerti deh...

gw juga bingung kalo cewe kumpul2 gitu pasti ngegosip..untungne ape..?

tanya kenapa?

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dark_angel on 07 November 2008, 04:37:24 PM
[at] dilbert

bro, gw se7 buangettttsssss ama u, jgn menyamakan yang tidak sama, dari segi kitab j, kita uda beda
mahayana lebih berpedoman kepada sutra2 mahayana yang diambil ama boddhisattva nagarjuna
mahayana ada 84.000 pintu dharma, theravada cuma ada 8 jalan utama

semenjak dinobat kan, jd MOD DC chan, jd tambah pinter ya, ato jgn2 memang uda pinter dari dulu.

emang pantas dinobatkan jd MOD DC chan, TOP abis

jia yo, bro

N.B. meskipun aku minus GRP, tapi aku tidak pernah pelit untuk kasi GRP keorang lain, kasi da...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dark_angel on 07 November 2008, 04:39:26 PM
Quote from: El Sol on 07 November 2008, 04:36:49 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:35:20 PM
Quote from: dilbert on 07 November 2008, 04:33:50 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:32:03 PM
yang menang debat dapat apa?

semua yang debat/diskusi dengan hati terbuka... akan mendapatkan banyak hal.
still, everbody is going to die anyway.. menang dapat ap? kepuasan sementara? ato instant arahat?



cewe gk bakal ngerti deh...

gw juga bingung kalo cewe kumpul2 gitu pasti ngegosip..untungne ape..?

tanya kenapa?



joan lee, itu bukan cewe biasa
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: joan lee on 07 November 2008, 04:40:25 PM
Quote from: El Sol on 07 November 2008, 04:36:49 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:35:20 PM
Quote from: dilbert on 07 November 2008, 04:33:50 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:32:03 PM
yang menang debat dapat apa?

semua yang debat/diskusi dengan hati terbuka... akan mendapatkan banyak hal.
still, everbody is going to die anyway.. menang dapat ap? kepuasan sementara? ato instant arahat?



cewe gk bakal ngerti deh...

gw juga bingung kalo cewe kumpul2 gitu pasti ngegosip..untungne ape..?

tanya kenapa?



iya, tanya kenapa? btw, kt sopo sy cew?
el sol yg ke cew2an  :)) :))

cew ato cow gk membatasi pandangan dalam memandang ^-^ ^-^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: joan lee on 07 November 2008, 04:41:07 PM
Quote from: dark_angel on 07 November 2008, 04:39:26 PM
Quote from: El Sol on 07 November 2008, 04:36:49 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:35:20 PM
Quote from: dilbert on 07 November 2008, 04:33:50 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:32:03 PM
yang menang debat dapat apa?

semua yang debat/diskusi dengan hati terbuka... akan mendapatkan banyak hal.
still, everbody is going to die anyway.. menang dapat ap? kepuasan sementara? ato instant arahat?



cewe gk bakal ngerti deh...

gw juga bingung kalo cewe kumpul2 gitu pasti ngegosip..untungne ape..?

tanya kenapa?



joan lee, itu bukan cewe biasa
berani ngomong, u aj udah mo sy ceraikan :ngomel: :ngomel: :ngomel:
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dark_angel on 07 November 2008, 04:42:14 PM
[at] atas
:hammer:
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 07 November 2008, 04:43:11 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:40:25 PM
Quote from: El Sol on 07 November 2008, 04:36:49 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:35:20 PM
Quote from: dilbert on 07 November 2008, 04:33:50 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:32:03 PM
yang menang debat dapat apa?

semua yang debat/diskusi dengan hati terbuka... akan mendapatkan banyak hal.
still, everbody is going to die anyway.. menang dapat ap? kepuasan sementara? ato instant arahat?



cewe gk bakal ngerti deh...

gw juga bingung kalo cewe kumpul2 gitu pasti ngegosip..untungne ape..?

tanya kenapa?



iya, tanya kenapa? btw, kt sopo sy cew?
el sol yg ke cew2an  :)) :))

cew ato cow gk membatasi pandangan dalam memandang ^-^ ^-^


gw cuma nunjukkin kalo ELOE juga MELAKUKAN HAL2 YG TIDAK BERGUNA..

(note: kalo eloe cewe)..

so, jangan anggap diri sendiri suci dan patut dijadikan teladan kalo faktanya loe gk ikut debat karena ini bukan topik yg menarik buat eloe..

coba kalo ada topik yg menarik buat eloe...gw jamin loe pasti debat2 + Gosip2 juga...

well....ur the same...dun think that ur better...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 07 November 2008, 04:43:33 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:35:20 PM
Quote from: dilbert on 07 November 2008, 04:33:50 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:32:03 PM
yang menang debat dapat apa?

semua yang debat/diskusi dengan hati terbuka... akan mendapatkan banyak hal.
still, everbody is going to die anyway.. menang dapat ap? kepuasan sementara? ato instant arahat?

krn kadang sy baca ud melewati diskusi, tp ajang hina menghina.. :)) :))

makanya kalau diskusi / debat itu jangan diharamkan... semuanya harus belajar...

Kalau saya baca semua diskusi atau boleh kita katakan debat antara BUDDHA dengan berbagai aliran kepercayaan dan ajaran pada jamannya, BUDDHA berhasil melakukan diskusi/debat dan memberikan penjelasan (atau pengajaran) yang begitu ELEGAN dan PIAWAI sehingga tidak pernah menimbulkan konflik (apalagi yang berdarah) dan hasilnya adalah semua pendengar/penonton/pemirsa mendapatkan banyak MANFAAT.

Kita pelajari bagaimana BUDDHA memberikan jawaban atas pertanyaan pertanyaan dengan baik sekali. Jawaban jauh dari kesan menghina, menyindir, menjatuhkan. Tetapi jawaban memberikan penjelasan yang baik sekali yang bisa diterima sebagai penjelasan yang baik.

Itu yang harus kita pelajari.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Kelana on 07 November 2008, 06:58:26 PM
Quote from: sobat-dharma on 07 November 2008, 11:33:30 AM

Kata "hina" memang dapat berkonotasi negatif. Tapi pengertiannya, harus diartikan dengan melihat pada oposisinya yaitu "maha", yaitu berarti besar atau luas. Jadi lawan dari besar adalah kecil. Karena itu kata hina di di sini dapat diartikan sebagai kecil, meski memiliki konotasi buruk.

Dalam bahasa Indonesia, kata "bisa" misalnya, dapat diartikan sebagai "racun" sekaligus "mampu". Namun pengertiannya sangat tergantung pada konteks kalimatnya. Jika seseorang menggunakan kata "Kratingdaeng. Bisa!"  Bukan berarti ia sedang mengatakan Kratingdaeng itu berbisa (atau beracun), tapi Kratindaeng mampu menambah tenaga. Begitu juga sebaliknya. Kedua pengertian ini tidak bisa dipertukarkan seenaknya walaupun bunyi katanya sama.

Meskipun demikian, umat Mahayana sekarang sudah sepakat untuk tidak lagi menggunakan kata "hinayana" dengan pertimbangan kata ini memang dapat diartikan secara sebaliknya. Sdr. Gandalf tampaknya menggunakan istilah ini sekadar untuk mengutip Bavaviveka, kalau saya tak salah menfasirkan. Saya lebih suka menggunakan istilah Sravakayana atau Nikaya untuk merujuk pada "yana" (kendaraan) di mana ajaran Theravada berada di dalamnya.   

Sdr. Sobat, seperti yang saya sampaikan sebelumnya, jika mengacu pada lawan dari maha - besar mengapa tidak menggunakan kata "cuula" yang berarti kecil? Lalu apa dasarnya kita langsung mengartikan kata 'hina' sebagai kecil? Tafsiran???

Jika anda mengatakan bahwa ini tergantung konteks kalimatnya, maka dalam pemabahasan ini kita perlu mengacu pada sutra maupun sutta lain. Dalam berbagai sutra dan sutta, kata hina selalu berkonotasi negatif. Pembiasan makna kata hina dilakukan oleh Mahayanis hanya terjadi dalam sutra yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai perbandingan antara hinayana dan mahayana. Dan sutra-sutra ini tidak bisa dijadikan tolak ukur karena sutra inilah yang "bermasalah" karena ada kata hinayana yang sedang dibahas. Oleh karena itu kit aperlu mencari tahu arti dari kata hina itu sebenarnya.

Saya tidak akan membahas terlau panjang lebar mengenai kata hina, tapi agar berdasar, saya akan memberikan anda artikel yang perlu anda pertimbangkan bahwa ada kerancuan atas kata "hina" yang berkonotasi negatif. http://www.samaggi-phala.or.id/naskahdamma_dtl.php?id=1334&multi=T&hal=0&hmid=
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 07 November 2008, 08:59:25 PM
[at] bro Karuna,
Quote from: karuna_murti on 07 November 2008, 12:05:33 PM
Quote小品般若波羅蜜經》卷1〈2 釋提桓因品〉:
    「爾時釋提桓因語須菩提言:「是諸無數天眾,皆共集會,欲聽須菩提說般若波羅蜜義。菩薩云何住般若波羅蜜?」須菩提語釋提桓因及諸天眾:「憍尸迦!我今當承佛神力,說般若波羅蜜。若諸天子未發阿耨多羅三藐三菩提心者,今應當發。若人已入正位,則不堪任發阿耨多羅三藐三菩提心。何以故?已於生死作障隔故。是人若發阿耨多羅三藐三菩提心,我亦隨喜,終不斷其功德。所以者何?上人應求上法。」」
    (CBETA, T08, no. 227, p. 540, a12-21)

    Subhūti said to Śakra Devānām Indra and all [those] assembled devas: "O Kauśika! I shall now, empowered by the Buddha's spiritual might, teach the prajñāpāramitā. All those sons of the devas who have yet to arise the mind [of aspiration towards] anuttarā samyak saṃbodhi, they should now arise [that aspiration]. If a person has already penetratively [realized] the fixed status [of dharmas], they are therefore unable to arise the mind [of aspiration towards] anuttarā samyak saṃbodhi. For what reason? Because they have already constructed an obstructing barrier [between themselves and the cycle of] birth and death. If these people were to arise the mind [of aspiration towards] anuttarā samyak saṃbodhi, I would also have appreciative joy [towards that], and never prevent their merit. For what reason? Superior people should aspire for superior dharmas."

QuoteDaoxing Jing
須菩提語釋提桓因言:「拘翼!是若干千萬天子樂者,聽我當說。」
須菩提持佛威神、持佛力,廣為諸天子說般若波羅蜜:「何所天子未行菩薩道,其未行者今皆當行。以得須陀洹道,不可復得菩薩道。何以故?閉塞生死道故。正使是輩行菩薩道者,我代其喜,我終不斷功德法,我使欲取中正尊法,正欲使上佛。」
~ ... one who attains the streamwinner path, is not able to further attain the Bodhisattva path ...

Damingdu Jing
善業曰:「諸天子!樂聞者,聽我說。因持佛力,廣說智度。何天子未求闓士道者,今皆當求。以得溝港道者,不可復得闓士道士。何以故?閉生死道已。正使是輩求者,我代其喜,不斷功德也。悉欲使取經中極尊法,使上至佛。」
~ ... one who attains the streamwinner path, is not able to further attain the bodhisattva path ...

Banruo Chao Jing
須菩提語釋提桓因。拘翼。是若干萬千天人樂聞者。皆聽我當持佛威神力廣為諸天人說般若波羅蜜。何所天人未發菩薩心者。今皆當行。以得須陀洹者不可復得菩薩道。何以故。閉塞生死故。正使是輩人索菩薩道。我亦勸助之不斷其功德。悉使取法中極尊欲使極上。
~ ... one who attains the streamwinner path, is not able to further attain the bodhisattva path ...

Xiaopin Jing
須菩提語釋提桓因,及諸天眾:「憍尸迦!我今當承佛神力,說般若波羅蜜。若諸天子未發阿耨多羅三藐三菩提心者,今應當發。若人已入正位,則不堪任發阿耨多羅三藐三菩提心。何以故?已於生死作障隔故。是人若發阿耨多羅三藐三菩提心,我亦隨喜,終不斷其功德。所以者何?上人應求上法。」
~ ... one who has entered certainty (samyaktva), is then unable to arise the mind of anuttarā samyak saṃbodhi ...

In Sanskrit: "ye tvavakrāntāḥ samyaktvaniyāmam, na te bhavyā anuttarāyāṁ samyaksaṁbodhau cittam utpādayitum| tatkasya hetoḥ? baddhasīmāno hi te saṁsārasrotasaḥ|"
"Those who have realized certainty, they cannot arise the mind of anuttarā samyak saṃbodhi."
Terjemahan Ven. Huifeng
http://www.lioncity.net/buddhism/index.php?showtopic=77605&st=30
Lihat tulisan yg merah di atas. Toh Buddha juga mengatakan bahwa jika orang tersebut membangkitkan batin Anuttarasamyaksambodhi, Buddha juga turut bergembira.

Dalam Mahaprajnaparamita Sastra , tertulis begini:

「諸天子!今未發阿耨多羅三藐三菩提心者,應當發;諸天子!若入聲聞正位,是人不能發阿耨多羅三藐三菩提心。何以故?與生死作障隔故。是人若發阿耨多羅三藐三菩提心者,我亦隨喜,所以者何?上人應更求上法,我終不斷其功德。

Dalam kitab ini ada pertanyaan begini:
未發心者當發,已入聖道者則不堪任,以漏盡、無有後生故,如是等因緣,故言「不任」。 問曰: 若是人不任者,何以故言:「是人若發心者,我亦隨喜,不障其功德,上人應更求上法」?答曰: 須菩提雖是小乘,常習行空故,不著聲聞道;以是故假設言:
「若發心」,有何咎!此中須菩提自說二因緣:一者、不障其福德心;二者、上人應更求上法。以是故,上人求阿耨多羅三藐三菩提,無咎;若上人求小法是可恥。
Artinya:
Bagi yang belum membangkitkan batin [samyaksambuddha], sepatutnya membangkitkannya. Bagi yang sudah memasuki ke jalur kesucian (jalan Arahat), maka menjadi tidak layak*, karena telah mengakhiri Asrava dan tidak ada lagi kelahiran selanjutnya. Atas dasar faktor ini maka disebut "tidak layak". Tanya: "Jika orang tersebut tidak pantas, mengapa dikatakan: "Bila orang ini membangkitkan batin [samyaksambodhi], Saya juga turut bergembira, karena pahala kebajikannya tidak akan terhalang, karena orang yang luhur sepatutnya mencari jalan yang luhur"?

Disini terlihat jelas bahwa orang menjadi bingung karena pada satu sisi mengatakan orang yang memilih jalur Kearahatan sudah tidak layak membangkitkan batin samyaksambodhi, pada sisi lain kok Buddha malah mengatakan orang tersebut bisa saja membangkitkannya dan Buddha akan merasa bergembira.
Dari kebingungan ini, Nagarjuna memberi penjelasan dengan mengambil contoh Subhuti. Jelas Subhuti adalah seorang Arahat. Jadi jawaban Nagarjuna adalah:

"[Nagarjuna] menjawab: Meskipun Subhuti adalah [golongan] hinayana, namun karena sering mempraktikkan jalan sunyata, maka tidak melekat pada jalan Sravaka. Karena itu maka diandaikan mengatakan "jika membangkitkan batin [samyaksambodhi], apa ada yang salah? Di sini Subhuti sendiri mengatakan ada 2 faktor [seseorang bisa membangkitkan lagi batin samyaksambodhi], yakni:
1. Batin pahala kebajikannya tidak terhalang
2. Orang yang luhur patut membangkitkan batin yang luhur
Atas dasar ini, orang luhur membangkitkan batin Anuttarasamyaksambodhi, adalah tidak salah. Jika orang luhur mencari jalan sempit , ini adalah memilukan.

*(Cat: istilah 不堪任 (tidak layak), bukan berarti tidak dapat. Di sini konteksnya harus jelas. Ini tercermin dari lanjutan kalimat yang diucapkan Buddha: 是人若發心者,我亦隨喜,不障其功德,上人應更求上法. 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 07 November 2008, 10:06:45 PM
Quote from: chingik on 07 November 2008, 08:59:25 PM
Artinya:
Bagi yang belum membangkitkan batin [samyaksambuddha], sepatutnya membangkitkannya. Bagi yang sudah memasuki ke jalur kesucian (jalan Arahat), maka menjadi tidak layak*, karena telah mengakhiri Asrava dan tidak ada lagi kelahiran selanjutnya. Atas dasar faktor ini maka disebut "tidak layak". Tanya: "Jika orang tersebut tidak pantas, mengapa dikatakan: "Bila orang ini membangkitkan batin [samyaksambodhi], Saya juga turut bergembira, karena pahala kebajikannya tidak akan terhalang, karena orang yang luhur sepatutnya mencari jalan yang luhur"?

Disini terlihat jelas bahwa orang menjadi bingung karena pada satu sisi mengatakan orang yang memilih jalur Kearahatan sudah tidak layak membangkitkan batin samyaksambodhi, pada sisi lain kok Buddha malah mengatakan orang tersebut bisa saja membangkitkannya dan Buddha akan merasa bergembira.


Nah... kan bingung sendiri kan... Lantas kemudian bagaimana ?? Nagarjuna memberikan penjelasan tentang subhuti sesuai dengan apa sdr.chingik katakan...

Tapi ngomong ngomong sutra Mahayana itu "KATANYA" diambil oleh Nagarjuna dari alam Naga. TANYA KENAPA BISA INKONSISTEN ??? Ngambil salah kali...  ;)
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: joan lee on 08 November 2008, 09:20:53 AM
Quote from: El Sol on 07 November 2008, 04:43:11 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:40:25 PM
Quote from: El Sol on 07 November 2008, 04:36:49 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:35:20 PM
Quote from: dilbert on 07 November 2008, 04:33:50 PM
Quote from: joan lee on 07 November 2008, 04:32:03 PM
yang menang debat dapat apa?

semua yang debat/diskusi dengan hati terbuka... akan mendapatkan banyak hal.
still, everbody is going to die anyway.. menang dapat ap? kepuasan sementara? ato instant arahat?



cewe gk bakal ngerti deh...

gw juga bingung kalo cewe kumpul2 gitu pasti ngegosip..untungne ape..?

tanya kenapa?



iya, tanya kenapa? btw, kt sopo sy cew?
el sol yg ke cew2an  :)) :))

cew ato cow gk membatasi pandangan dalam memandang ^-^ ^-^


gw cuma nunjukkin kalo ELOE juga MELAKUKAN HAL2 YG TIDAK BERGUNA..

(note: kalo eloe cewe).. :ngomel: :ngomel: :ngomel:

so, jangan anggap diri sendiri suci dan patut dijadikan teladan kalo faktanya loe gk ikut debat karena ini bukan topik yg menarik buat eloe..

coba kalo ada topik yg menarik buat eloe...gw jamin loe pasti debat2 + Gosip2 juga...

well....ur the same...dun think that ur better...

masih perlu belajar...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dark_angel on 08 November 2008, 09:28:14 AM
[at] atas

se7 banget dengan pemikiran loe joan lee

;D
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 08 November 2008, 12:39:34 PM
Quote from: dilbert on 07 November 2008, 10:06:45 PM
Quote from: chingik on 07 November 2008, 08:59:25 PM
Artinya:
Bagi yang belum membangkitkan batin [samyaksambuddha], sepatutnya membangkitkannya. Bagi yang sudah memasuki ke jalur kesucian (jalan Arahat), maka menjadi tidak layak*, karena telah mengakhiri Asrava dan tidak ada lagi kelahiran selanjutnya. Atas dasar faktor ini maka disebut "tidak layak". Tanya: "Jika orang tersebut tidak pantas, mengapa dikatakan: "Bila orang ini membangkitkan batin [samyaksambodhi], Saya juga turut bergembira, karena pahala kebajikannya tidak akan terhalang, karena orang yang luhur sepatutnya mencari jalan yang luhur"?

Disini terlihat jelas bahwa orang menjadi bingung karena pada satu sisi mengatakan orang yang memilih jalur Kearahatan sudah tidak layak membangkitkan batin samyaksambodhi, pada sisi lain kok Buddha malah mengatakan orang tersebut bisa saja membangkitkannya dan Buddha akan merasa bergembira.


Nah... kan bingung sendiri kan... Lantas kemudian bagaimana ?? Nagarjuna memberikan penjelasan tentang subhuti sesuai dengan apa sdr.chingik katakan...

Tapi ngomong ngomong sutra Mahayana itu "KATANYA" diambil oleh Nagarjuna dari alam Naga. TANYA KENAPA BISA INKONSISTEN ??? Ngambil salah kali...  ;)

Sebenarnya tidaklah inkonsisten. Lagi pula itu bukan ada yang bingung, cuma Nagarjuna tau mungkin ada yang tidak paham, maka dia mengulas melalui bentuk tanya jawab.
Kemudian  konteksnya juga sudah jelas, di mana ini adalah wejangan tentang Prajnaparamita Sutra. Arah dialognya juga perlu diperhatikan. Di mana yang mengucapkan kata-kata di atas adalah Subhuti (Bukan Buddha, jadi diralat ya kalo yg sdh baca tulisan saya di atas, ;))
Subhuti adalah seorang Arahat sekaligus siswa terkemuka dalam menyelami kekosongan(sunyata).  Tema yang diangkat oleh Subhuti adalah pengembangan batin Samyaksambodhi melalui Prajnaparamita. Sepanjang isi Sutra ini adalah menonjolkan Kebijaksanaan Sempurna menuju Samyaksambodhi. Point Subhuti adalah mendorong dewa Sakra utk langsung menyelami hakikat ketanpa melekatan. Jadi segala hal yang berkondisi tentu akan disangkal seperti hal nya ucapan tentang Sravaka yang tidak layak mengembangkan samyaksambodhi. Bukan hanya itu, bahkan term bodhisatva sendiri juga disangkal.
Coba kita perhatikan lagi salah satu ucapan Subhuti di Sutra ini juga:
憍尸迦。菩薩發大莊嚴乘。於大乘以空法住般若波羅蜜。不應住色。不應住受想行識。不應住色若常若無常。不應住受想行識若常若無常。不應住色若苦若樂。不應住受想行識若苦若樂。不應住色若淨若不淨。不應住受想行識若淨若不淨。不應住色若我若無我。不應住受想行識若我若無我。不應住色若空若不空。不應住受想行識若空若不空。不應住須陀洹果。不應住斯陀含果。不應住阿那含果。不應住阿羅漢果。不應住辟支佛道。不應住佛法---> Oh..Sakra, dalam mengembangkan kendaraan agung, seorang bodhisatva berdiam dalam prajnaparamita melalui prinsip kekosongan dari mahayana. Tidak sepatutnya berdiam dalam rupa, tidak sepatutnya berdiam dalam vedana, sanna, sankhara dan vijnana. Tidak sepatutnya berdiam dalam apakah rupa itu kekal atau tidak kekal, tidak sepatutnya berdiam dalam apakah vedana,sanna, sankhara, vijnana itu menderita atau bahagia. Tidak sepatutnya berdiam dalam apakah vedana,sanna, sankhara, vijnana itu murni atau tidak murni. .....aku atau tanpa aku, sunyata atau tidak sunyata. Tidak sepatutnya berdiam dalam Sotapanna, ..Sakadagami, Anagami, Arahat, Pratyekabuddha , Tidak sepatutnya berdiam dalam  Buddha-dharma.  

Kemudian perhatikan lagi ucapan ini:
若善男子善女人欲學聲聞地。當聞是般若波羅蜜受持讀誦如說修行---> Jika putra dan putri bajik ingin berlatih jalan Sravaka, hendaknya mendengarkan ajaran Prajnaparamita, menerima, melantunkan dan mempraktikkannya.

Dari ucapan Subhuti ini, tidaklah mungkin siswa Sravaka tidak bisa memgembangkan batin samyaksambodhi dan tidaklah mungkin Subhuti masih mendorong para Sravaka (Subhuti sendiri juga Sravaka) utk mempraktikkan Prajnaparamita yg mengarah ke Samyaksambodhi. Sutra hendaknya tidak ditafsir setengah-setengah. ;)




Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 08 November 2008, 12:48:59 PM
Quote from: Kelana on 07 November 2008, 06:58:26 PM
Quote from: sobat-dharma on 07 November 2008, 11:33:30 AM

Saya tidak akan membahas terlau panjang lebar mengenai kata hina, tapi agar berdasar, saya akan memberikan anda artikel yang perlu anda pertimbangkan bahwa ada kerancuan atas kata "hina" yang berkonotasi negatif. http://www.samaggi-phala.or.id/naskahdamma_dtl.php?id=1334&multi=T&hal=0&hmid=


Ya, tapi apakah penafsiran yang bersifat negatif atau positif, maka hal tersebut tergantung pada pembacanya. Jika si pembaca tidak terperangkap dalam rasa curiga pada pihak lain, maka ia seharusnya melihat bahwa kata "hina" selama dipasangkan sebagai kebalikan dari kata "maha" maka artinya adalah "kecil/partikular/bagian/sempit", bukan lantas boleh diartikan sama dengan kata "hina" lainnya yang digunakan dalam sutta ataupun sutra. 

Nah, memang demi pembaca yang belum paham benar dan terus menerus menangkapnya dalam segi pengertian negatifnya belaka, maka saya sendiri sepakat jika kata Hinayana tidak dipakai.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 08 November 2008, 03:04:07 PM
Menurut Mahavaipulya Paripurnabuddhi Nitarthasutra:

Perbedaan antara sravakayana dan mahayana, atau arahant dan bodhisattva terdiri dari kemampuan mengatasi dua halangan. Dua halangan tersebut antara lain terdiri dari:

1. Halangan paham (Jneyavarana)
2. Halangan Kekotoran batin (Klesavarana)

Dalam hal ini, dikatakan seorang sravaka atau pacceka-buddha hanya berhasil mengatasi halangan kekotoran batin (klesavarana), namun belum berhasil mengatasi halangan paham (Jneyavarana)

Sedangkan seorang bodhisattva berhasil mengatasi kedua halangan tersebut. Oleh karena itu, beda antara bodhisattva dan seorang sravaka tidak terletak pada bentuk klesa yang diatasi. Dalam hal ini, seorang srvaka berhasil mengatasi semua klesa, namun belum menyingkirkan halangan paham (jneyavarana).

Demikian yang kubaca. Mengenai apa yang disebut sebagai halangan paham (jneyavarana) masih harus kupelajari lebih jauh lagi. :)

Smoga bermanfaat.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 08 November 2008, 03:19:57 PM
Tentang apa itu Jneyavarana, sementara ini silahkan baca di artikel ini:

http://www.nanzan-u.ac.jp/~pswanson/mhck/Chih-i%20on%20jneyavarana%20-%20Otani%201983.pdf
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 08 November 2008, 08:51:52 PM
Quote from: chingik on 08 November 2008, 12:39:34 PM
Quote from: dilbert on 07 November 2008, 10:06:45 PM
Quote from: chingik on 07 November 2008, 08:59:25 PM
Artinya:
Bagi yang belum membangkitkan batin [samyaksambuddha], sepatutnya membangkitkannya. Bagi yang sudah memasuki ke jalur kesucian (jalan Arahat), maka menjadi tidak layak*, karena telah mengakhiri Asrava dan tidak ada lagi kelahiran selanjutnya. Atas dasar faktor ini maka disebut "tidak layak". Tanya: "Jika orang tersebut tidak pantas, mengapa dikatakan: "Bila orang ini membangkitkan batin [samyaksambodhi], Saya juga turut bergembira, karena pahala kebajikannya tidak akan terhalang, karena orang yang luhur sepatutnya mencari jalan yang luhur"?

Disini terlihat jelas bahwa orang menjadi bingung karena pada satu sisi mengatakan orang yang memilih jalur Kearahatan sudah tidak layak membangkitkan batin samyaksambodhi, pada sisi lain kok Buddha malah mengatakan orang tersebut bisa saja membangkitkannya dan Buddha akan merasa bergembira.


Nah... kan bingung sendiri kan... Lantas kemudian bagaimana ?? Nagarjuna memberikan penjelasan tentang subhuti sesuai dengan apa sdr.chingik katakan...

Tapi ngomong ngomong sutra Mahayana itu "KATANYA" diambil oleh Nagarjuna dari alam Naga. TANYA KENAPA BISA INKONSISTEN ??? Ngambil salah kali...  ;)

Sebenarnya tidaklah inkonsisten. Lagi pula itu bukan ada yang bingung, cuma Nagarjuna tau mungkin ada yang tidak paham, maka dia mengulas melalui bentuk tanya jawab.
Kemudian  konteksnya juga sudah jelas, di mana ini adalah wejangan tentang Prajnaparamita Sutra. Arah dialognya juga perlu diperhatikan. Di mana yang mengucapkan kata-kata di atas adalah Subhuti (Bukan Buddha, jadi diralat ya kalo yg sdh baca tulisan saya di atas, ;))
Subhuti adalah seorang Arahat sekaligus siswa terkemuka dalam menyelami kekosongan(sunyata).  Tema yang diangkat oleh Subhuti adalah pengembangan batin Samyaksambodhi melalui Prajnaparamita. Sepanjang isi Sutra ini adalah menonjolkan Kebijaksanaan Sempurna menuju Samyaksambodhi. Point Subhuti adalah mendorong dewa Sakra utk langsung menyelami hakikat ketanpa melekatan. Jadi segala hal yang berkondisi tentu akan disangkal seperti hal nya ucapan tentang Sravaka yang tidak layak mengembangkan samyaksambodhi. Bukan hanya itu, bahkan term bodhisatva sendiri juga disangkal.
Coba kita perhatikan lagi salah satu ucapan Subhuti di Sutra ini juga:
憍尸迦。菩薩發大莊嚴乘。於大乘以空法住般若波羅蜜。不應住色。不應住受想行識。不應住色若常若無常。不應住受想行識若常若無常。不應住色若苦若樂。不應住受想行識若苦若樂。不應住色若淨若不淨。不應住受想行識若淨若不淨。不應住色若我若無我。不應住受想行識若我若無我。不應住色若空若不空。不應住受想行識若空若不空。不應住須陀洹果。不應住斯陀含果。不應住阿那含果。不應住阿羅漢果。不應住辟支佛道。不應住佛法---> Oh..Sakra, dalam mengembangkan kendaraan agung, seorang bodhisatva berdiam dalam prajnaparamita melalui prinsip kekosongan dari mahayana. Tidak sepatutnya berdiam dalam rupa, tidak sepatutnya berdiam dalam vedana, sanna, sankhara dan vijnana. Tidak sepatutnya berdiam dalam apakah rupa itu kekal atau tidak kekal, tidak sepatutnya berdiam dalam apakah vedana,sanna, sankhara, vijnana itu menderita atau bahagia. Tidak sepatutnya berdiam dalam apakah vedana,sanna, sankhara, vijnana itu murni atau tidak murni. .....aku atau tanpa aku, sunyata atau tidak sunyata. Tidak sepatutnya berdiam dalam Sotapanna, ..Sakadagami, Anagami, Arahat, Pratyekabuddha , Tidak sepatutnya berdiam dalam  Buddha-dharma.  

Kemudian perhatikan lagi ucapan ini:
若善男子善女人欲學聲聞地。當聞是般若波羅蜜受持讀誦如說修行---> Jika putra dan putri bajik ingin berlatih jalan Sravaka, hendaknya mendengarkan ajaran Prajnaparamita, menerima, melantunkan dan mempraktikkannya.

Dari ucapan Subhuti ini, tidaklah mungkin siswa Sravaka tidak bisa memgembangkan batin samyaksambodhi dan tidaklah mungkin Subhuti masih mendorong para Sravaka (Subhuti sendiri juga Sravaka) utk mempraktikkan Prajnaparamita yg mengarah ke Samyaksambodhi. Sutra hendaknya tidak ditafsir setengah-setengah. ;)



Tidak sepatutnya berdiam dalam apakah vedana,sanna, sankhara, vijnana itu murni atau tidak murni. .....aku atau tanpa aku, sunyata atau tidak sunyata. Tidak sepatutnya berdiam dalam Sotapanna, ..Sakadagami, Anagami, Arahat, Pratyekabuddha , Tidak sepatutnya berdiam dalam  Buddha-dharma.  
quote di atas ini mutlak untuk mencapai pembebasan... karena melekat bahkan untuk mencapai nibbana sendiri malah tidak akan bisa dicapai apa-apa... jadi esensinya adalah untuk pembebasan atau mencapai ARAHAT (bisa savaka, pacceka bahkan sammasambuddha), bukan ditafsirkan bahwa individu yang sudah mencapai ARAHAT kemudian mengambil lagi JALUR ini untuk mencapai annutara sammasambuddha.

Bhante Buddhadasa dalam bukunya THE TRUTH OF NATURE mengatakan bahwa pada dasarnya THERAVADA adalah jalur lambat untuk mencapai pembebasan karena lebih sistematik, sedangkan MAHAYANA adalah jalur cepat untuk mencapai pembebasan karena mengutamakan penembusan akan konsep SUNYATA, ketika SUNYATA di"tembus", dengan sendiri SILA, SAMADHI dan PANNA akan muncul.

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 08 November 2008, 09:00:14 PM
Quote from: sobat-dharma on 08 November 2008, 03:04:07 PM
Menurut Mahavaipulya Paripurnabuddhi Nitarthasutra:

Perbedaan antara sravakayana dan mahayana, atau arahant dan bodhisattva terdiri dari kemampuan mengatasi dua halangan. Dua halangan tersebut antara lain terdiri dari:

1. Halangan paham (Jneyavarana)
2. Halangan Kekotoran batin (Klesavarana)

Dalam hal ini, dikatakan seorang sravaka atau pacceka-buddha hanya berhasil mengatasi halangan kekotoran batin (klesavarana), namun belum berhasil mengatasi halangan paham (Jneyavarana)

Sedangkan seorang bodhisattva berhasil mengatasi kedua halangan tersebut. Oleh karena itu, beda antara bodhisattva dan seorang sravaka tidak terletak pada bentuk klesa yang diatasi. Dalam hal ini, seorang srvaka berhasil mengatasi semua klesa, namun belum menyingkirkan halangan paham (jneyavarana).

Demikian yang kubaca. Mengenai apa yang disebut sebagai halangan paham (jneyavarana) masih harus kupelajari lebih jauh lagi. :)

Smoga bermanfaat.

Nah... kalau bodhisatva di dalam THERAVADA itu yang notabene calon Sammasambuddha (bukan dalam jalur khusus bodhisatva) memang dikatakan memiliki empat pengetahuan akan jalan (untuk mengatasi kilesa) yang disertai dengan KEMAHATAHUAN... KEMAHATAHUAN itulah yang disebut di dalam MAHAYANA sebagai menghilangkan halangan paham. Tentunya dengan menghilangkan halangan paham, seorang sammasambuddha mencapai KEMAHATAHUAN... Dengan KEMAHATAHUAN itulah seorang sammasambuddha menurunkan ajaran.

Oleh karena tidak menguasai KEMAHATAHUAN, seorang pacceka buddha tidak bisa menurunkan ajaran. Sedangkan para SAVAKA sendiri dikatakan tidak menurunkan ajaran, tetapi mengajar berdasarkan apa yang diajarkan oleh sammasambuddha (guru para SAVAKA).

Cocok kan CERITA begini... Atau ada cerita yang lain...?


Kalau menurut pandangan saya sendiri... bahwa THERAVADA dan MAHAYANA itu tidak berbeda... Di dalam MAHAYANA diajarkan aspirasi untuk mencapai sammasambuddha, dan hal ini OK dalam artian bahwa semua makhluk yang belum mencapai ARAHAT, tentunya masih bisa beraspirasi untuk mencapai annutara sammasambuddha. TETAPI saya TIDAK SETUJU PANDANGAN BAHWA MAHAYANA ITU MENGAJARKAN JALUR KHUSUS BODHISATVA. Dan bahkan sampai pada penafsiran bahwa seorang ARAHAT masih memiliki kesempatan/ruang untuk mencapai annutara sammasambuddha.

Di beberapa forum sampai sampai dibahas topik KEDUDUKAN BODHISATVA dan ARAHAT (dalam hal ini yang dimaksud adalah para SAVAKA/SRAVAKA)...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 08 November 2008, 09:09:04 PM
QuoteDan bahkan sampai pada penafsiran bahwa seorang ARAHAT masih memiliki kesempatan/ruang untuk mencapai annutara sammasambuddha.

Permasalahannya Mahayana tidak homogen. Ada banyak pandangan di dalam Mahayana.

Sutra-Sutra seperti Saddharmapundarika Sutra memang secara jelas menyebutkan Arahat masih memiliki ruang untuk mencapai Annutara Samyaksambodhi.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 08 November 2008, 09:13:04 PM
Quote from: karuna_murti on 08 November 2008, 09:09:04 PM
QuoteDan bahkan sampai pada penafsiran bahwa seorang ARAHAT masih memiliki kesempatan/ruang untuk mencapai annutara sammasambuddha.

Permasalahannya Mahayana tidak homogen. Ada banyak pandangan di dalam Mahayana.

Sutra-Sutra seperti Saddharmapundarika Sutra memang secara jelas menyebutkan Arahat masih memiliki ruang untuk mencapai Annutara Samyaksambodhi.

Mungkin pertanyaan lanjutan adalah... dari sisi MAHAYANA... dimanakah pencapaian annutara sammasambuddha itu ?? Dalam THERAVADA, pencapaian annutara sammasambuddha hanya bisa dicapai di dunia manusia. Riwayat para BUDDHA (membahas tentang 28 sammasambuddha) itu jelas menyatakan bahwa semua sammasambuddha itu harus terlahir di dunia manusia untuk kemudian mencapai annutara sammasambuddha.

Jika sutra sutra seperti saddharmapundarika sutra menjelaskan bahwa ARAHAT masih memiliki ruang untuk mencapai Annutara sammasambuddha, dimanakah dicapai ?? apakah ARAHAT masih bertumimbal lahir/beremanasi/berinkarnasi atau sebagainya untuk mencapainya ??
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 08 November 2008, 10:13:12 PM
Quote from: dilbert on 08 November 2008, 09:00:14 PM

Kalau menurut pandangan saya sendiri... bahwa THERAVADA dan MAHAYANA itu tidak berbeda... Di dalam MAHAYANA diajarkan aspirasi untuk mencapai sammasambuddha, dan hal ini OK dalam artian bahwa semua makhluk yang belum mencapai ARAHAT, tentunya masih bisa beraspirasi untuk mencapai annutara sammasambuddha. TETAPI saya TIDAK SETUJU PANDANGAN BAHWA MAHAYANA ITU MENGAJARKAN JALUR KHUSUS BODHISATVA.


Mengapa tidak setuju?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 08 November 2008, 11:06:43 PM
Quote from: sobat-dharma on 08 November 2008, 10:13:12 PM
Quote from: dilbert on 08 November 2008, 09:00:14 PM

Kalau menurut pandangan saya sendiri... bahwa THERAVADA dan MAHAYANA itu tidak berbeda... Di dalam MAHAYANA diajarkan aspirasi untuk mencapai sammasambuddha, dan hal ini OK dalam artian bahwa semua makhluk yang belum mencapai ARAHAT, tentunya masih bisa beraspirasi untuk mencapai annutara sammasambuddha. TETAPI saya TIDAK SETUJU PANDANGAN BAHWA MAHAYANA ITU MENGAJARKAN JALUR KHUSUS BODHISATVA.


Mengapa tidak setuju?

karena aspirasi itu tidak diajarkan dalam suatu jalur khusus... aspirasi murni dari pribadi masing masing makhluk... Tetapi aspirasi saja tidak cukup, harus dilihat apa punya kemampuan. Aspirasi seorang individu untuk mencapai sammasambuddha itu harus di-"RAMAL"-kan oleh seorang sammasambuddha lainnya, dan apabila telah mendapat RAMALAN PASTI (karena seorang sammasambuddha dikatakan memiliki bala/kekuatan untuk mengetahui tingkat kualitas bathin semua makhluk) maka individu tersebut telah masuk kedalam apa yang anda katakan JALUR BODHISATVA.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 08 November 2008, 11:19:44 PM
at [atas]

Tidak demikian yang diajarkan dalam Mahayana. Jalan Bodhisattva di mulai dari berikrar dan menetapkan niatnya untuk menyelamatkan semua makhluk dari samsara. Ramalan bukanlah "penyebab" seseorang memasuki jalan bodhisattva. Tentu saja ramalan muncul jika seseorang sudah berada di jalur bodhisattva dan akan menjadi sammasambuddha berikutnya. Sifat ramalan dari sammasambuddha hanya bersifat meneguhkan, sekali lagi bukan penentu bagi jalan bodhisattva.

Demikian pandangan dan pengertian saya, berdasarkan pengetahuan saya yang masih minim. Semoga tidak salah.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 09 November 2008, 04:23:22 PM
QuoteNah... kalau bodhisatva di dalam THERAVADA itu yang notabene calon Sammasambuddha (bukan dalam jalur khusus bodhisatva) memang dikatakan memiliki empat pengetahuan akan jalan (untuk mengatasi kilesa) yang disertai dengan KEMAHATAHUAN... KEMAHATAHUAN itulah yang disebut di dalam MAHAYANA sebagai menghilangkan halangan paham. Tentunya dengan menghilangkan halangan paham, seorang sammasambuddha mencapai KEMAHATAHUAN... Dengan KEMAHATAHUAN itulah seorang sammasambuddha menurunkan ajaran.

Oleh karena tidak menguasai KEMAHATAHUAN, seorang pacceka buddha tidak bisa menurunkan ajaran. Sedangkan para SAVAKA sendiri dikatakan tidak menurunkan ajaran, tetapi mengajar berdasarkan apa yang diajarkan oleh sammasambuddha (guru para SAVAKA).

Cocok kan CERITA begini... Atau ada cerita yang lain...?
Di sinilah poinnya. Jika Arahat Tidak Mahatahu, maka mau berbicara dari aspek manapun, Arahat belum Sempurna secara absolut. Karena belum sempurna, maka jelaslah pasti ada sesuatu yang belum dituntaskannya. Dalam hal ini , yang belum dituntaskan adalah jneyavarana.
Jika menggunakan persamaan matematis, ya ARahat tentu tidak bisa dikatakan mendapat nilai 100. Taruhlah pencapaiannya 99,99999999999...., tetap saja bukan 100.
Kalau berbicara tentang mencapai pembebasan, ya bisa saja kita katakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara). Analogi saya begini, Arahat ibarat anak yang merasa nyaman dipangkuan ibu. Dalam segi keamanan, kenyamanan, ketentraman , anak dipangkuan ibu sama-sama nyaman, aman, tentram, bahagia. Ini seperti halnya seseorang mencapai Kearahatan, dari segi dukkha, Arahat telah terbebas, sama seperti Buddha.
Tapi bagaimanapun juga anak tidak sebanding dengan ibu. Namun anak tetap masih memiliki ruang utk tumbuh besar seperti seorang ibu. Jadi seperti halnya Arahat jika mau meneruskan pembelajaran ,dia akan tumbuh dewasa menguasai pengetahuan seperti ibunya.     
Di sin bukan bermaksud mengkerdilkan peran Arahat. Tapi hanya ingin menekankan bahwa Jalan meraih Sammsambuddha adalah wajar jika dianggap sebagai jalan tertinggi, karena memang demikian adanya. Dan Jalan Arahat itu bukan jalan yang hina, tapi bagi siapapun yang telah meraih kearahatan, maka kesempatan masuk ke Jalan Sammsambuddha tetap terbuka. Saya pikir ini cukup masuk akal, karena manusia memiliki kebebasan utk menentukannya, karena manusia adalah tuan bagi pikirannya, maka sangat aneh jika Arahat Tidak bisa menjadi Sammasambuddha.
Ini juga tercermin dari Prajnaparamita Sutra dan Saddharmapundarika Sutra. Dalam pandangan Mahayana, Sutra yg tidak mencatat demikian adalah sutra yg fokus pada jalan terampil (upaya kausalya) dan akhirnya akan mengalir ke sutra yg berkategori Jalan sempurna. Ibarat sungai yang mengalir ke samudera luas. SEmuanya berkapasitas mengalir ke Sammasambuddha.

(Saya open minded juga , segala opini menjadi masukan yg berharga, semoga seperti yg dikatakan bro Dilbert , kita bisa diskusi dgn sehat dan elegan. Salut buat bro Dilbert  _/\_)
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 09 November 2008, 09:54:40 PM
QuoteKalau berbicara tentang mencapai pembebasan, ya bisa saja kita katakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara).

Mas chingik, saya belum mengerti nih, dikatakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara), itu menurut Theravada, bagaimana menurut Mahayana? sebab bingung nih kayaknya ajaran Theravada dan Mahayana berbeda. Mengapa Arahat kok bisa terbebas dari jeratan dukkha coba dong, tolong terangkan menurut Mahayana mengapa demikian?

Terima kasih telah berbagi pengetahuan.
_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 12 November 2008, 05:17:08 PM
Quote from: truth lover on 09 November 2008, 09:54:40 PM
QuoteKalau berbicara tentang mencapai pembebasan, ya bisa saja kita katakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara).

Mas chingik, saya belum mengerti nih, dikatakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara), itu menurut Theravada, bagaimana menurut Mahayana? sebab bingung nih kayaknya ajaran Theravada dan Mahayana berbeda. Mengapa Arahat kok bisa terbebas dari jeratan dukkha coba dong, tolong terangkan menurut Mahayana mengapa demikian?

Terima kasih telah berbagi pengetahuan.
_/\_

Dalam pandangan Mahayana, Arahat terbebas dari siklus samsara dengan mengatasi 10 belenggu batin (samyojana), meskipun ada perbedaan minor ttg isi 10 belenggu dengan Theravada, namun secara garis besar sama , karena sama-sama mengatasi dosa, lobha, dan moha.
Uraian yang lebih luas dalam Mahayana menyebutkan, 10 belenggu merupakan penjabaran dari  Halangan Kekotoran batin (Klesavarana).
Seseorang yang telah mengatasi 10 belenggu akan mencapai kesucian Arahat, dalam Mahayana selevel dengan bodhisatva tingkat ke bhumi ke 7.
Sedangkan Arahat belum mengatasi Halangan Paham (Jneyavarana).
Karena Arahat belum mengatasi Halangan Paham, maka masih menganggap fenomena itu nyata. Sehingga membedakan antara nibbana dan samsara, lalu Arahat memilih 'masuk' ke dalam nibbana.
Jika Seorang Arahat berhasil mengatasi Halangan Paham maka disebut selevel dengan bodhisatva tingkat Keyakinan ke-7. Dengan mengatasi halangan paham, maka Arahat/ Bodhisatva tidak akan berdiam di dalam Nibbana, karena bila halangan paham telah diatasi, konsep nibbana dan samsara tidak terpisahkan lagi, makanya disebut samsara tidak berbeda dengan nibbana, nibbana tidak berbeda dengan samsara, suatu pandangan egaliter non diskriminatif dalam batin seorang bodhisatva.




 

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 12 November 2008, 05:26:05 PM
Quote from: chingik on 12 November 2008, 05:17:08 PM
Quote from: truth lover on 09 November 2008, 09:54:40 PM
QuoteKalau berbicara tentang mencapai pembebasan, ya bisa saja kita katakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara).

Mas chingik, saya belum mengerti nih, dikatakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara), itu menurut Theravada, bagaimana menurut Mahayana? sebab bingung nih kayaknya ajaran Theravada dan Mahayana berbeda. Mengapa Arahat kok bisa terbebas dari jeratan dukkha coba dong, tolong terangkan menurut Mahayana mengapa demikian?

Terima kasih telah berbagi pengetahuan.
_/\_

Dalam pandangan Mahayana, Arahat terbebas dari siklus samsara dengan mengatasi 10 belenggu batin (samyojana), meskipun ada perbedaan minor ttg isi 10 belenggu dengan Theravada, namun secara garis besar sama , karena sama-sama mengatasi dosa, lobha, dan moha.
Uraian yang lebih luas dalam Mahayana menyebutkan, 10 belenggu merupakan penjabaran dari  Halangan Kekotoran batin (Klesavarana).
Seseorang yang telah mengatasi 10 belenggu akan mencapai kesucian Arahat, dalam Mahayana selevel dengan bodhisatva tingkat ke bhumi ke 7.
Sedangkan Arahat belum mengatasi Halangan Paham (Jneyavarana).
Karena Arahat belum mengatasi Halangan Paham, maka masih menganggap fenomena itu nyata. Sehingga membedakan antara nibbana dan samsara, lalu Arahat memilih 'masuk' ke dalam nibbana.
Jika Seorang Arahat berhasil mengatasi Halangan Paham maka disebut selevel dengan bodhisatva tingkat Keyakinan ke-7. Dengan mengatasi halangan paham, maka Arahat/ Bodhisatva tidak akan berdiam di dalam Nibbana, karena bila halangan paham telah diatasi, konsep nibbana dan samsara tidak terpisahkan lagi, makanya disebut samsara tidak berbeda dengan nibbana, nibbana tidak berbeda dengan samsara, suatu pandangan egaliter non diskriminatif dalam batin seorang bodhisatva.




 


kenapa Boddhisatva Sidharta sebagai Boddhisatva level tertinggi bisa salah berlatih(liat avatar gw)...kurang prajna?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 12 November 2008, 07:40:19 PM
Quote
kenapa Boddhisatva Sidharta sebagai Boddhisatva level tertinggi bisa salah berlatih(liat avatar gw)...kurang prajna?
Menurut pandangan Mahayana, Siddharta tidaklah salah berlatih. Penjelasannya ada dalam Maha Ratnakuta Sutra, Upaya Kausalya Varga:

" Lagi pula, putra yang berbudi, demi menaklukkan para tirtika (aliran luar) [bodhisattva] melakukan praktik ekstrem selama 6 tahun. Ini bukan rintangan karmanya. Mengapa? Para sramana dan brahmana didunia ini menganggap dengan melakukan praktik keras dengan memakan sebiji wijen dan sebiji beras dapat mencapai kesucian dan pembebasan. Untuk menaklukkan pandangan demikian maka bodhisattva juga memperlihatkan dirinya melakukan praktik keras memakan hanya sebiji wijen atau dan beras dan [membuktikan] bahwa dirinya pun tidak dapat mencapai kesucian dengan melakukan praktik semacam itu, apalagi mencapai pembebasan.   ...
Inilah upaya kausalya yang dilatih oleh bodhisatva mahasatva."

Upaya kausalya adalah cara-cara terampil seorang bodhisatva membimbing para makhluk.


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 12 November 2008, 09:21:19 PM
 [at] atas

apakah akhirnya dengan melakukan hal seperti itu petapa2 yg berlatih dengan cara salah akhirnya mengikuti dia?..

menurut gw gk make sense banget, karena Boddhisatva Gotama dimata para Petapa2 itu bukan sapa2..

ok Chingik..kita pikir pake logika ajah..

kalo loe Boddhisatva Gotama, akankah loe berbuat hal bodoh seperti itu?...kenapa tidak langsung jadi Buddha dan membabarkan Dhamma yg benar kepada para petapa2 tersebut, seperti yg beliau lakukan setelah beliau menjadi Buddha?..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 12 November 2008, 09:22:13 PM
Quote from: chingik on 12 November 2008, 05:17:08 PM
Quote from: truth lover on 09 November 2008, 09:54:40 PM
QuoteKalau berbicara tentang mencapai pembebasan, ya bisa saja kita katakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara).

Mas chingik, saya belum mengerti nih, dikatakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara), itu menurut Theravada, bagaimana menurut Mahayana? sebab bingung nih kayaknya ajaran Theravada dan Mahayana berbeda. Mengapa Arahat kok bisa terbebas dari jeratan dukkha coba dong, tolong terangkan menurut Mahayana mengapa demikian?

Terima kasih telah berbagi pengetahuan.
_/\_

Dalam pandangan Mahayana, Arahat terbebas dari siklus samsara dengan mengatasi 10 belenggu batin (samyojana), meskipun ada perbedaan minor ttg isi 10 belenggu dengan Theravada, namun secara garis besar sama , karena sama-sama mengatasi dosa, lobha, dan moha.
Uraian yang lebih luas dalam Mahayana menyebutkan, 10 belenggu merupakan penjabaran dari  Halangan Kekotoran batin (Klesavarana).
Seseorang yang telah mengatasi 10 belenggu akan mencapai kesucian Arahat, dalam Mahayana selevel dengan bodhisatva tingkat ke bhumi ke 7.
Sedangkan Arahat belum mengatasi Halangan Paham (Jneyavarana).
Karena Arahat belum mengatasi Halangan Paham, maka masih menganggap fenomena itu nyata. Sehingga membedakan antara nibbana dan samsara, lalu Arahat memilih 'masuk' ke dalam nibbana.
Jika Seorang Arahat berhasil mengatasi Halangan Paham maka disebut selevel dengan bodhisatva tingkat Keyakinan ke-7. Dengan mengatasi halangan paham, maka Arahat/ Bodhisatva tidak akan berdiam di dalam Nibbana, karena bila halangan paham telah diatasi, konsep nibbana dan samsara tidak terpisahkan lagi, makanya disebut samsara tidak berbeda dengan nibbana, nibbana tidak berbeda dengan samsara, suatu pandangan egaliter non diskriminatif dalam batin seorang bodhisatva.


Ketika kita bicara dalam konteks konseptual, maka seorang individu boleh dibedakan atas halangan kekotoran bathin dan halangan paham. Sdr.Chingik sedemikian "benar"-nya menyatakan tentang pandangan egaliter non diskriminatif (terlepas dari dualisme, baik dan buruk, cantik dan jelek, paham dan tidak paham dsbnya). Arahat justru telah mencapai apa yang disebut dengan non-dualisme. Kitab Vajracheddika (sutra utama mahayana) juga menyatakan tentang hal ini. Dalam kitab vajracheddika dikatakan :

Hyang Buddha memberitahu Subhuti, "Seorang laki-laki atau wanita bajik, yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus berpikiran demikian:"Aku harus membebaskan semua makhluk hidup dari arus tumimbal lahir, tetapi bila semua makhluk hidup sudah dibebaskan dari tumimbal lahir, sebenarnya sama sekali tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan. Mengapa begitu? Subhuti, jika seorang Bodhisattva masih mempunyai ciri keakuan, ciri manusia, ciri makhluk hidup dan ciri kehidupan, maka dia bukanlah seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma tentang tekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi.[/i]

kemudian tentang ikrar menolong makhluk hidup... lebih lanjut didalam sutra vajracheddika dikatakan...

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Jika ada orang yang mengatakan bahwa Tathagatha mempunyai pikiran : "Aku akan membebaskan semua makhluk hidup". Subhuti, jangan mempunyai pikiran demikian. Mengapa? Karena sebenarnya tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha. Jika ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha, maka Tathagatha akan mempunyai konsepsi
keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Subhuti, keberadaan konsepsi keakuan dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan keberadaan konsepsi diri tetapi orang awam menganggapnya sebagai keberadaan konsepsi keakuan. Subhuti, orang awam dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan orang awam. Oleh sebab itu dinamakan orang awam.


artinya bahwa selama dalam "pemikiran" seseorang yang masih ingin "menolong" makhluk hidup dari samsara, maka seseorang itu tidak dapat disebut  tathagatha. Karena ada konsepsi pemikiran dualisme (nibbana dan samsara)
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 13 November 2008, 09:38:13 AM
Quote from: El Sol on 12 November 2008, 09:21:19 PM
[at] atas

apakah akhirnya dengan melakukan hal seperti itu petapa2 yg berlatih dengan cara salah akhirnya mengikuti dia?..
是故菩薩以此縁故現六年苦行爲調伏五十二百[千]麤行諸天及外道神仙麤行菩[干]薩是名菩薩摩訶薩行於方便
Ya. lanjutan sutra ini menyebutkan, "itulah sebabnya mengapa bodhisatva memperlihatkan dirinya melakukan praktik ekstrem selama 6 tahun, adalah untuk menaklukkan 5.200.000 praktisi ekstrem yang terdiri dari para dewa, yogi tirtika dan bodhisatva [yg terjebak dalam praktik ekstrem]. Itulah yang dinamakan bodhisatva mempraktikkan metode trampil."

Quote
menurut gw gk make sense banget, karena Boddhisatva Gotama dimata para Petapa2 itu bukan sapa2..
Dari uraian Sutra di atas, toh bagaimanapun juga dinyatakan ada petapa2 yang akhirnya ditaklukkan (disadarkan bahwa praktek ekstrem itu sia-sia) juga.
Quote
ok Chingik..kita pikir pake logika ajah..

kalo loe Boddhisatva Gotama, akankah loe berbuat hal bodoh seperti itu?...kenapa tidak langsung jadi Buddha dan membabarkan Dhamma yg benar kepada para petapa2 tersebut, seperti yg beliau lakukan setelah beliau menjadi Buddha?..
Tentu Buddha jauh lebih tau kondisi apa yang pas untuk dilakukan. Logika kita tidak akan dapat memahami semua tindakan Buddha/bodhisatva. 


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 13 November 2008, 10:10:03 AM
 
Quote
Ketika kita bicara dalam konteks konseptual, maka seorang individu boleh dibedakan atas halangan kekotoran bathin dan halangan paham. Sdr.Chingik sedemikian "benar"-nya menyatakan tentang pandangan egaliter non diskriminatif (terlepas dari dualisme, baik dan buruk, cantik dan jelek, paham dan tidak paham dsbnya). Arahat justru telah mencapai apa yang disebut dengan non-dualisme. Kitab Vajracheddika (sutra utama mahayana) juga menyatakan tentang hal ini. Dalam kitab vajracheddika dikatakan :

Hyang Buddha memberitahu Subhuti, "Seorang laki-laki atau wanita bajik, yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus berpikiran demikian:"Aku harus membebaskan semua makhluk hidup dari arus tumimbal lahir, tetapi bila semua makhluk hidup sudah dibebaskan dari tumimbal lahir, sebenarnya sama sekali tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan. Mengapa begitu? Subhuti, jika seorang Bodhisattva masih mempunyai ciri keakuan, ciri manusia, ciri makhluk hidup dan ciri kehidupan, maka dia bukanlah seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma tentang tekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi.[/i]

kemudian tentang ikrar menolong makhluk hidup... lebih lanjut didalam sutra vajracheddika dikatakan...

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Jika ada orang yang mengatakan bahwa Tathagatha mempunyai pikiran : "Aku akan membebaskan semua makhluk hidup". Subhuti, jangan mempunyai pikiran demikian. Mengapa? Karena sebenarnya tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha. Jika ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha, maka Tathagatha akan mempunyai konsepsi
keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Subhuti, keberadaan konsepsi keakuan dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan keberadaan konsepsi diri tetapi orang awam menganggapnya sebagai keberadaan konsepsi keakuan. Subhuti, orang awam dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan orang awam. Oleh sebab itu dinamakan orang awam.

artinya bahwa selama dalam "pemikiran" seseorang yang masih ingin "menolong" makhluk hidup dari samsara, maka seseorang itu tidak dapat disebut  tathagatha. Karena ada konsepsi pemikiran dualisme (nibbana dan samsara)

Betul bro, saya juga setuju pendapat anda.  Tapi arah pembicaraan saya bukan ke situ. Yang saya kemukakan adalah tentang kedudukan Arahat dilihat dari perspektif mahayana.
Dan sebenarya pada konteks tertentu Arahat memang dapat dikatakan telah mencapai non-dualisme. Tapi pada konteks lain bisa menjadi tidak demikian. Itulah sebabnya mengapa Mahayana membagi bentuk ajaran ke dalam beberapa kategori. Dalam kategori Ajaran Sempurna, Arahat dipandang belum sempurna. Dalam kategori Ajaran rujukan Agama Sutra, Arahat adalah sempurna.
Analoginya, seorang siswa yang telah menamatkan wajib belajar 9 tahun, disebut telah tamat jika dilihat dari perspektif 'wajib belajar 9 tahun'. JIka dilihat dari sekolah kejuruan, tentu dia belum dapat dikatakan tamat karena belajar saja belum. Semua ajaran Mahayana sangat menekankan konteks dan kategori ajaran.   Semoga dapat memahaminya. 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 13 November 2008, 03:31:40 PM
Quote from: chingik on 13 November 2008, 10:10:03 AM
Quote
Ketika kita bicara dalam konteks konseptual, maka seorang individu boleh dibedakan atas halangan kekotoran bathin dan halangan paham. Sdr.Chingik sedemikian "benar"-nya menyatakan tentang pandangan egaliter non diskriminatif (terlepas dari dualisme, baik dan buruk, cantik dan jelek, paham dan tidak paham dsbnya). Arahat justru telah mencapai apa yang disebut dengan non-dualisme. Kitab Vajracheddika (sutra utama mahayana) juga menyatakan tentang hal ini. Dalam kitab vajracheddika dikatakan :

Hyang Buddha memberitahu Subhuti, "Seorang laki-laki atau wanita bajik, yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus berpikiran demikian:"Aku harus membebaskan semua makhluk hidup dari arus tumimbal lahir, tetapi bila semua makhluk hidup sudah dibebaskan dari tumimbal lahir, sebenarnya sama sekali tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan. Mengapa begitu? Subhuti, jika seorang Bodhisattva masih mempunyai ciri keakuan, ciri manusia, ciri makhluk hidup dan ciri kehidupan, maka dia bukanlah seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma tentang tekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi.[/i]

kemudian tentang ikrar menolong makhluk hidup... lebih lanjut didalam sutra vajracheddika dikatakan...

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Jika ada orang yang mengatakan bahwa Tathagatha mempunyai pikiran : "Aku akan membebaskan semua makhluk hidup". Subhuti, jangan mempunyai pikiran demikian. Mengapa? Karena sebenarnya tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha. Jika ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha, maka Tathagatha akan mempunyai konsepsi
keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Subhuti, keberadaan konsepsi keakuan dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan keberadaan konsepsi diri tetapi orang awam menganggapnya sebagai keberadaan konsepsi keakuan. Subhuti, orang awam dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan orang awam. Oleh sebab itu dinamakan orang awam.

artinya bahwa selama dalam "pemikiran" seseorang yang masih ingin "menolong" makhluk hidup dari samsara, maka seseorang itu tidak dapat disebut  tathagatha. Karena ada konsepsi pemikiran dualisme (nibbana dan samsara)

Betul bro, saya juga setuju pendapat anda.  Tapi arah pembicaraan saya bukan ke situ. Yang saya kemukakan adalah tentang kedudukan Arahat dilihat dari perspektif mahayana.
Dan sebenarya pada konteks tertentu Arahat memang dapat dikatakan telah mencapai non-dualisme. Tapi pada konteks lain bisa menjadi tidak demikian. Itulah sebabnya mengapa Mahayana membagi bentuk ajaran ke dalam beberapa kategori. Dalam kategori Ajaran Sempurna, Arahat dipandang belum sempurna. Dalam kategori Ajaran rujukan Agama Sutra, Arahat adalah sempurna.
Analoginya, seorang siswa yang telah menamatkan wajib belajar 9 tahun, disebut telah tamat jika dilihat dari perspektif 'wajib belajar 9 tahun'. JIka dilihat dari sekolah kejuruan, tentu dia belum dapat dikatakan tamat karena belajar saja belum. Semua ajaran Mahayana sangat menekankan konteks dan kategori ajaran.   Semoga dapat memahaminya. 

Agama Sutra... apakah yang dimaksud adalah agama sutra yang merupakan salah satu kelompok sutra mahayana (Avatamsaka sutra, agama sutra, vaipulya sutra, mahaprajnaparamitra sutra, saddharmapunarika sutra dan mahaparinirvana sutra) ??
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 13 November 2008, 04:30:25 PM
QuoteAgama Sutra... apakah yang dimaksud adalah agama sutra yang merupakan salah satu kelompok sutra mahayana (Avatamsaka sutra, agama sutra, vaipulya sutra, mahaprajnaparamitra sutra, saddharmapunarika sutra dan mahaparinirvana sutra) ??

Agama sutra adalah kelompok sutra yang identik dengan nikaya2 pali. 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Heruka on 14 November 2008, 04:42:47 PM
 [at] bro Gandalf, chingik : Kombinasi yg benar2 luar biasa. =D> Saya mendapat pengetahuan banyak dari tulisan2 bro semua. Salam maju dalam Dharma...  _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 15 November 2008, 10:07:57 AM
Quote from: chingik on 12 November 2008, 05:17:08 PM
Quote from: truth lover on 09 November 2008, 09:54:40 PM
QuoteKalau berbicara tentang mencapai pembebasan, ya bisa saja kita katakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara).

Mas chingik, saya belum mengerti nih, dikatakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara), itu menurut Theravada, bagaimana menurut Mahayana? sebab bingung nih kayaknya ajaran Theravada dan Mahayana berbeda. Mengapa Arahat kok bisa terbebas dari jeratan dukkha coba dong, tolong terangkan menurut Mahayana mengapa demikian?

Terima kasih telah berbagi pengetahuan.
_/\_

Dalam pandangan Mahayana, Arahat terbebas dari siklus samsara dengan mengatasi 10 belenggu batin (samyojana), meskipun ada perbedaan minor ttg isi 10 belenggu dengan Theravada, namun secara garis besar sama , karena sama-sama mengatasi dosa, lobha, dan moha.
Uraian yang lebih luas dalam Mahayana menyebutkan, 10 belenggu merupakan penjabaran dari  Halangan Kekotoran batin (Klesavarana).
Seseorang yang telah mengatasi 10 belenggu akan mencapai kesucian Arahat, dalam Mahayana selevel dengan bodhisatva tingkat ke bhumi ke 7.
Sedangkan Arahat belum mengatasi Halangan Paham (Jneyavarana).
Karena Arahat belum mengatasi Halangan Paham, maka masih menganggap fenomena itu nyata. Sehingga membedakan antara nibbana dan samsara, lalu Arahat memilih 'masuk' ke dalam nibbana.
Jika Seorang Arahat berhasil mengatasi Halangan Paham maka disebut selevel dengan bodhisatva tingkat Keyakinan ke-7. Dengan mengatasi halangan paham, maka Arahat/ Bodhisatva tidak akan berdiam di dalam Nibbana, karena bila halangan paham telah diatasi, konsep nibbana dan samsara tidak terpisahkan lagi, makanya disebut samsara tidak berbeda dengan nibbana, nibbana tidak berbeda dengan samsara, suatu pandangan egaliter non diskriminatif dalam batin seorang bodhisatva.

 

Mas Chingik memang hebat pengetahuan Mahayananya,
keterangan mas Chingik mengenai tingkat-tingkat sesudah mencapai Arahat memang jempol, tapi bukan itu yang saya tanyakan, saya masih belum jelas nih mas, yang saya tanyakan adalah: apakah yang dimaksud terbebas dengan siklus samsara itu? bagaimana sih yang dimaksud dengan terbebas dari jeratan dukkha? apakah dia selalu berbahagia? atau tidak pernah berduka? dan apakah yang dimaksud dengan Nibbana tak berbeda degan samsara? apakah saya lahir jadi manusia juga berarti saya memasuki Nibbana..?

mohon penjelasannya   _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 15 November 2008, 10:59:16 AM
Quote
Mas Chingik memang hebat pengetahuan Mahayananya,
keterangan mas Chingik mengenai tingkat-tingkat sesudah mencapai Arahat memang jempol, tapi bukan itu yang saya tanyakan, saya masih belum jelas nih mas, yang saya tanyakan adalah: apakah yang dimaksud terbebas dengan siklus samsara itu? bagaimana sih yang dimaksud dengan terbebas dari jeratan dukkha? apakah dia selalu berbahagia? atau tidak pernah berduka? dan apakah yang dimaksud dengan Nibbana tak berbeda degan samsara? apakah saya lahir jadi manusia juga berarti saya memasuki Nibbana..?

mohon penjelasannya   

Luar biasa, Truth lover. Anda telah mengajukan pertanyaan yang luar biasa. Cara bertanya anda pun tidak bertele-tele. Langsung menuju ke intinya. Ini menunjukkan anda telah mengkajinya dengan seksama, teliti dan penuh perhatian.
Baiklah dengan segala keterbatasan pengetahuan, saya akan menjawab. JIka ada yang salah, maka saran dan kritik anda sangat dibutuhkan utk meluruskan pandangan saya.

Sebelumnya mari kita pahami dulu apa itu siklus samsara. Ini mengingatkan saya kembali tentang diskusi saya dengan bro Sumedho beberapa waktu lalu tentang pengertian siklus samsara.
"Samsara adalah siklus kelahiran dan kematian yang berulang-ulang".  Dalam Buddhist Dictionary yang disusun oleh Ven.Nyanatiloka juga mendefinisikan samsara sbg: round of rebirth, perpetual wandering. Dengan kata lain, Samsara adalah anonim dari Nibbana. Samsara adalah lingkaran kelahiran-kematian yang berputar-putar. Sedangkan Nibbana adalah berhentinya perputaran itu.
Jadi, terbebas dari siklus samsara adalah pertanda terbebas dari perputaran kelahiran-kematian yang berulang-ulang. Rangkaian Kelahiran-kematian itu ada saatnya terlahir di alam tinggi, ada saatnya terjatuh ke alam rendah, dan yang menentukannya adalah perbuatan kita. Karena terus menerus berproses dalam siklus ini, maka disebut dukkha. Dengan terbebas dari perputaran ini, maka dikatakanlah terbebas dari jeratan dukkha (penderitaan). Terbebas dari dukkha, berarti menemukan kembali kebahagiaan sejati (karena tidak terjebak lagi dalam siklus yg fluktuatif). Menemukan kembali kebahagiaan tertinggi berarti menemukan kebebasan tertinggi. Menemukan kembali kebahagiaan dan kebebasan maka dikatakan tidak akan pernah berduka lagi.

Kebebasan inilah yang disebut dengan Nibbana.
Lantas mengapa dikatakan Nibbana tak berbeda dgn Samsara? Hal ini hanya dapat dipahami oleh orang yang benar-benar telah merealisasi Nibbana. Karena mencapai Nibbana berarti terbebas dari alam pikiran dualitas. Terbebas dari alam pikiran dualitas berarti mencapai keseimbangan egaliter. Batin tidak lagi terpengaruh oleh konsepsi apa yang baik dan buruk, indah dan jelek, bahagia dan duka , begitu juga dengan samsara dan nibbana.  Itulah yang disebut dengan samsara dan nibbana tidak berbeda. Ini hanya bisa dirasakan oleh mereka yang telah merealisasinya.
Sedangkan kita-kita yang lahir jadi manusia sekarang ini tentu tidak bisa dikatakan memasuki nibbana. Karena kita belum mengalaminya.
Jadi samsara=nibbana adalah teori yang dilihat dari perspektif mereka yg telah merealisasinya. Ibarat orang Tokyo yang belum pernah melihat kota Newyork selalu merasa ke dua kota ini sangat berbeda. Namun bila ke dua kota ini sudah sering dikunjungi, maka rasanya sama saja. Ini sekedar gambaran umum, tentu tidak ada analogi yg 100% utuh, karena secara riil, saya blm 'melihat' nibbana.   :P
_/\_


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 15 November 2008, 01:13:13 PM
QuoteSebelumnya mari kita pahami dulu apa itu siklus samsara. Ini mengingatkan saya kembali tentang diskusi saya dengan bro Sumedho beberapa waktu lalu tentang pengertian siklus samsara.
"Samsara adalah siklus kelahiran dan kematian yang berulang-ulang".  Dalam Buddhist Dictionary yang disusun oleh Ven.Nyanatiloka juga mendefinisikan samsara sbg: round of rebirth, perpetual wandering. Dengan kata lain, Samsara adalah anonim dari Nibbana. Samsara adalah lingkaran kelahiran-kematian yang berputar-putar. Sedangkan Nibbana adalah berhentinya perputaran itu.
Jadi, terbebas dari siklus samsara adalah pertanda terbebas dari perputaran kelahiran-kematian yang berulang-ulang. Rangkaian Kelahiran-kematian itu ada saatnya terlahir di alam tinggi, ada saatnya terjatuh ke alam rendah, dan yang menentukannya adalah perbuatan kita. Karena terus menerus berproses dalam siklus ini, maka disebut dukkha. Dengan terbebas dari perputaran ini, maka dikatakanlah terbebas dari jeratan dukkha (penderitaan). Terbebas dari dukkha, berarti menemukan kembali kebahagiaan sejati (karena tidak terjebak lagi dalam siklus yg fluktuatif). Menemukan kembali kebahagiaan tertinggi berarti menemukan kebebasan tertinggi. Menemukan kembali kebahagiaan dan kebebasan maka dikatakan tidak akan pernah berduka lagi.

Terima kasih mas Chingik atas keterangannya, tapi kalau tidak salah mas Chingik bilang Arahat sudah terbebas dari siklus samsara, terbebas dari kelahiran berulang-ulang, tapi kok terlahir kembali? kita tahu sebagai Bodhisatva kan terlahir lagi tapi katanya terbebas dari kelahiran berulang? ini dua pernyataan kayaknya agak bertentangan...

Yang satu lagi saya ingin bertanya kepada mas chingik kebebasan juga berarti Nibbana, tapi apakah sesudah mencapai Nibbana terlahir lagi?

mohon sharing Dharmanya..   _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 15 November 2008, 08:16:39 PM
 
Quote
Terima kasih mas Chingik atas keterangannya, tapi kalau tidak salah mas Chingik bilang Arahat sudah terbebas dari siklus samsara, terbebas dari kelahiran berulang-ulang, tapi kok terlahir kembali? kita tahu sebagai Bodhisatva kan terlahir lagi tapi katanya terbebas dari kelahiran berulang? ini dua pernyataan kayaknya agak bertentangan...

Arahat terbebas dari siklus samsara. Tentu saja tidak akan terlahir kembali. Dalam Mahayana, terbebas dari samsara bukan berarti tidak bisa mengunjungi samsara lagi. Ibarat terbebas dari penjara, namun anda masih bisa datang ke penjara, tetapi bukan dalam kapasitas anda terkurung. Begitu juga Arahat yang terbebas dari kelahiran kembali, bila mengambil jalan bodhisatva maka dia bukan 'masuk kembali ke lingkaran samsara", tetapi dia sanggup menggunakan iddhi utk melakukan aktivitas bodhisatva, seperti menjelma di berbagai alam-alam. Dalam Mahayana, Bodhisatva tingkat tinggi tidaklah mengalami ombang-ambing samsara. Namun Bodhisatva sanggup menggunakan kekuatannya utk melakukan berbagai kegiatan di dalam samsara. 
Dalam Dasabhumika Sutra menyebutkan, "Setiap bodhisatva yang telah menyempurnakan jalan tingkat ke enam secara lengkap, naik ke tingkat ke tujuh. Mereka bisa masuk ke tingkat ke tujuh melalui sepuluh jenis pekerjaan khusus dalam Jalan yang dihasilkan melalui ketrampilan dalam cara, kebijaksanaan supraduniawi, dan pengetahuan. Apakah yang sepuluh itu? Mereka mengembangkan batin yang terlatih baik untuk memusat pada kekosongan, ketanpa-tandaan, ketanpa-berharapan, tetapi mereka mengumpulkan perlengkapan luhur berupa kebajikan dan pengetahuan. Mereka masuk ke dalam ketanpa-dirian, tanpa makhluk, tanpa jiwa, tanpa pribadi, dan tanpa pribadi dalam segala hal. Tetapi mereka tidak melepaskan 4 pikiran tanpa batas- maitri, karuna, upekha, mudita. Mereka menjalankan pengamalan supraduniawi utk meningkatkan jalan-jalan kebajikan, tetapi mereka tidak terikat pada apa pun juga. Mereka terlepas dari segala hal yang ada di dunia meskipun mereka menghasilkan serangkaian perhiasan bagi dunia. Mereka sangat hening dan tenang karena bebas dari api samsara meskipun mereka menjalankan pekerjaan utk memadamkan api-api samsara nafsu, kebencian dan pandangan semu pada semua makhluk. Mereka menyadari sifat nondualitas dari keberadaan dan ketakberadaan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 15 November 2008, 08:27:37 PM
Quote from: chingik on 15 November 2008, 08:16:39 PM
Quote
Terima kasih mas Chingik atas keterangannya, tapi kalau tidak salah mas Chingik bilang Arahat sudah terbebas dari siklus samsara, terbebas dari kelahiran berulang-ulang, tapi kok terlahir kembali? kita tahu sebagai Bodhisatva kan terlahir lagi tapi katanya terbebas dari kelahiran berulang? ini dua pernyataan kayaknya agak bertentangan...

Arahat terbebas dari siklus samsara. Tentu saja tidak akan terlahir kembali. Dalam Mahayana, terbebas dari samsara bukan berarti tidak bisa mengunjungi samsara lagi. Ibarat terbebas dari penjara, namun anda masih bisa datang ke penjara, tetapi bukan dalam kapasitas anda terkurung. Begitu juga Arahat yang terbebas dari kelahiran kembali, bila mengambil jalan bodhisatva maka dia bukan 'masuk ...... [/i]


Dalam Mahayana, Arahat mengunjungi samsara  ?? tapi katanya tidak terlahir kembali, jadi datang dari mana mengunjungi samsara ??
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 15 November 2008, 09:56:43 PM
QuoteDalam Mahayana, Arahat mengunjungi samsara ?? tapi katanya tidak terlahir kembali, jadi datang dari mana mengunjungi samsara ??

Pindola Bhavadraja adalah contoh Arahat yang tidak parinibbana dan bersama 1000 Arahat masih berdiam di salah satu kawasan (西瞿陀尼洲 =Gandhamali?),  tentu sanggup mengunjungi dunia ini kapan pun dia mau. (Tapi bukan berarti dia Terlahir kembali)  Ya mungkin akan dibantah bahwa Arahat Pindola 'kan belum parinibbana. Bagaimana kalo sudah parinibbana? Dalam Pandangan Mahayana tentu masih dapat juga mengunjungi samsara. Contohnya Sariputra, meskipun sudah parinibbana, namun karena Buddha meramalkan Dia akan masuk ke jalur Bodhisatva maka suatu saat dia akan melakukan tugas2 bodhisatva dan "mengunjungi" samsara. Mengenai datang dari mana utk mengunjungi samsara, ya dalam Mahayana 'kan menyebutkan tentang 10 dharmadatu, dan salah satunya Arahat dharmadatu. Di mana Arahat dharmadatu itu? Di batin Arahat itu sendiri.   Sama seperti di manakah nibbana? Nibbana tidak ada di mana-mana, karena itu adalah kondisi batin orang yg telah melenyapkan kekotoran batin. Di manakah Arahat, tidak ada di mana mana karena Arahat bebas dari kekotoran batin. Namun bila Arahat mengembangkan Anuttara samyaksambodhi, maka identik dgn bodhisatva bhumi ke 7 , dia akan melakukan tugas2 bodhisatva dan berdiam dalam dharmadatu bodhisatva. Melalui kekuatan pikiran mereka sanggup berdiam di dalam semua kawasan, mengunjungi semua kawasan utk menyempurnakan paramita mereka. Namun mereka tidak dikatakan terlahir kembali karena faktor-faktor mental yg membuat mereka terlahir kembali telah dipatahkan. Akan tetapi dgn kekuatan abhinna mereka mewujudkan diri sesuai kondisi batin makhluk utk memberi pertolongan. "Sesuai dgn perbedaan2 pd ciri2 jasmani makhluk2, warna, penampilan, status, ukuran jasmani, kecondongan, dan bentuk2 mental mereka, dalam berbagai kalangan di banyak kawasan Buddha, di setiap ini para bodhisatva mewujudkan bentuk yg cocok. Dalam kalangan pengemis mereka mucul sebagai pengemis, dalam kalangan pendeta mereka muncul sebagai pendeta, dalam kalangan ksatria dan administrator mereka muncul sebagai administrator, ...petani, pembantu, perumahtangga, dewa, setan...., Mereka bebas dari semua konsepsi tubuh yg berbeda2 dan telah merealisasi kesamaan tubuh-tubuh;"
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 15 November 2008, 10:16:59 PM
Quote from: chingik on 15 November 2008, 09:56:43 PM
QuoteDalam Mahayana, Arahat mengunjungi samsara ?? tapi katanya tidak terlahir kembali, jadi datang dari mana mengunjungi samsara ??

Pindola Bhavadraja adalah contoh Arahat yang tidak parinibbana dan bersama 1000 Arahat masih berdiam di salah satu kawasan (西瞿陀尼洲 =Gandhamali?),  tentu sanggup mengunjungi dunia ini kapan pun dia mau. (Tapi bukan berarti dia Terlahir kembali)  Ya mungkin akan dibantah bahwa Arahat Pindola 'kan belum parinibbana. Bagaimana kalo sudah parinibbana? Dalam Pandangan Mahayana tentu masih dapat juga mengunjungi samsara. Contohnya Sariputra, meskipun sudah parinibbana, namun karena Buddha meramalkan Dia akan masuk ke jalur Bodhisatva maka suatu saat dia akan melakukan tugas2 bodhisatva dan "mengunjungi" samsara. Mengenai datang dari mana utk mengunjungi samsara, ya dalam Mahayana 'kan menyebutkan tentang 10 dharmadatu, dan salah satunya Arahat dharmadatu. Di mana Arahat dharmadatu itu? Di batin Arahat itu sendiri.   Sama seperti di manakah nibbana? Nibbana tidak ada di mana-mana, karena itu adalah kondisi batin orang yg telah melenyapkan kekotoran batin. Di manakah Arahat, tidak ada di mana mana karena Arahat bebas dari kekotoran batin. Namun bila Arahat mengembangkan Anuttara samyaksambodhi, maka identik dgn bodhisatva bhumi ke 7 , dia akan melakukan tugas2 bodhisatva dan berdiam dalam dharmadatu bodhisatva. Melalui kekuatan pikiran mereka sanggup berdiam di dalam semua kawasan, mengunjungi semua kawasan utk menyempurnakan paramita mereka. Namun mereka tidak dikatakan terlahir kembali karena faktor-faktor mental yg membuat mereka terlahir kembali telah dipatahkan. Akan tetapi dgn kekuatan abhinna mereka mewujudkan diri sesuai kondisi batin makhluk utk memberi pertolongan. "Sesuai dgn perbedaan2 pd ciri2 jasmani makhluk2, warna, penampilan, status, ukuran jasmani, kecondongan, dan bentuk2 mental mereka, dalam berbagai kalangan di banyak kawasan Buddha, di setiap ini para bodhisatva mewujudkan bentuk yg cocok. Dalam kalangan pengemis mereka mucul sebagai pengemis, dalam kalangan pendeta mereka muncul sebagai pendeta, dalam kalangan ksatria dan administrator mereka muncul sebagai administrator, ...petani, pembantu, perumahtangga, dewa, setan...., Mereka bebas dari semua konsepsi tubuh yg berbeda2 dan telah merealisasi kesamaan tubuh-tubuh;"

arahat yang tidak "parinibbana" memang menjadi suatu "pengecualian". Terbatas pada kapasitas kita untuk mengetahui "dimana" para ARAHAT yang tidak parinibbana. Tentunya ini tidak akan menjadi "perdebatan" tentang ARAHAT yang KEMBALI...

Dikatakan bahwa ada 10 dharmadattu... apakah itu ALAM ?? kalau alam berarti ada kelahiran barulah bisa "EKSIS" di alam tersebut. Lantas dikatakan lagi bahwa Arahat Dharmadatu itu berada di bathin ARAHAT itu sendiri... Lagi lagi pernyataan yang AMBIGU... bathin ARAHAT yang mana ?? Apakah di perasaan, pencerapan, ingatan atau kesadaran ARAHAT.

Inilah yang saya katakan In-konsistensi... Satu sisi menyatakan ARAHAT sudah terbebas dari SAMSARA (tidak dilahirkan kembali lagi), satu sisi menyatakan masih bisa mengunjungi SAMSARA...

DAri awal, Saya (dengan versi Theravada saya) tidak menyatakan bahwa Nibbana itu alam... Justru sdr.chingik (dengan versi MAHAYANA-nya) yang menyatakan "seolah-olah" bahwa NIBBANA itu adalah alam, bahwa ada ARAHAT Dharmadattu (tempat para ARAHAT) dsbnya.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 16 November 2008, 12:09:43 AM
Terima kasih mas Chingik atas jawabannya.

tapi tolong dijelaskan lebih jauh, semoga nggak bosan ya...?

QuoteApakah yang sepuluh itu? Mereka mengembangkan batin yang terlatih baik untuk memusat pada kekosongan, ketanpa-tandaan, ketanpa-berharapan, tetapi mereka mengumpulkan perlengkapan luhur berupa kebajikan dan pengetahuan.
apakah batin yang memusat pada kekosongan, ketanpa-tandaan, ketanpa-berharapan masih berharap untuk menjadi Buddha? bukankah seharusnya mereka tak berharap?
QuoteMereka masuk ke dalam ketanpa-dirian, tanpa makhluk, tanpa jiwa, tanpa pribadi, dan tanpa pribadi dalam segala hal. Tetapi mereka tidak melepaskan 4 pikiran tanpa batas- maitri, karuna, upekha, mudita.

bila pikiran yang memiliki maitri, karuna, upekkha dan mudita... bukankah memiliki empat sifat itu juga belum terlepas? bila Arahat masuk pada keadaan ketanpa-dirian, tanpa makhluk, tanpa jiwa, tanpa pribadi, dan tanpa pribadi dalam segala hal. bukankah mereka juga sudah tak berpikir mengenai diri, diri sendiri maupun mahluk lain...?

QuoteMereka menjalankan pengamalan supraduniawi utk meningkatkan jalan-jalan kebajikan, tetapi mereka tidak terikat pada apa pun juga.
Ini juga bukankah kembali ke alam manusia atau ingin menjadi Buddha adalah suatu keterikatan?

QuoteMereka terlepas dari segala hal yang ada di dunia meskipun mereka menghasilkan serangkaian perhiasan bagi dunia.
Maaf lho mas Chingik...bila mereka (Arahat) kembali lagi ke dunia bukankah mereka belum sepenuhnya terlepas? mengapa disini dikatakan "mereka terlepas dari segala hal yang ada di dunia?"

terima kasih atas keterangannya..   _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 16 November 2008, 09:17:57 AM
Quote from: dilbert on 15 November 2008, 10:16:59 PM

arahat yang tidak "parinibbana" memang menjadi suatu "pengecualian". Terbatas pada kapasitas kita untuk mengetahui "dimana" para ARAHAT yang tidak parinibbana. Tentunya ini tidak akan menjadi "perdebatan" tentang ARAHAT yang KEMBALI...

Dikatakan bahwa ada 10 dharmadattu... apakah itu ALAM ?? kalau alam berarti ada kelahiran barulah bisa "EKSIS" di alam tersebut. Lantas dikatakan lagi bahwa Arahat Dharmadatu itu berada di bathin ARAHAT itu sendiri... Lagi lagi pernyataan yang AMBIGU... bathin ARAHAT yang mana ?? Apakah di perasaan, pencerapan, ingatan atau kesadaran ARAHAT.

Inilah yang saya katakan In-konsistensi... Satu sisi menyatakan ARAHAT sudah terbebas dari SAMSARA (tidak dilahirkan kembali lagi), satu sisi menyatakan masih bisa mengunjungi SAMSARA...

DAri awal, Saya (dengan versi Theravada saya) tidak menyatakan bahwa Nibbana itu alam... Justru sdr.chingik (dengan versi MAHAYANA-nya) yang menyatakan "seolah-olah" bahwa NIBBANA itu adalah alam, bahwa ada ARAHAT Dharmadattu (tempat para ARAHAT) dsbnya.

Anda sulit memahami,  karena masih memisahkan antara alam (dunia eksternal) dengan batin (dunia internal). Dalam mahayana, "alam" dan "batin" bukan lah dua kategori yang terpisah. Justru ketika seseorang masih terjebak untuk memisahkan antara "alam" dan "batin", ia masih terjebak dalam dualitas.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: hendrako on 16 November 2008, 11:47:38 AM
Quote from: sobat-dharma on 16 November 2008, 09:17:57 AM
Quote from: dilbert on 15 November 2008, 10:16:59 PM

arahat yang tidak "parinibbana" memang menjadi suatu "pengecualian". Terbatas pada kapasitas kita untuk mengetahui "dimana" para ARAHAT yang tidak parinibbana. Tentunya ini tidak akan menjadi "perdebatan" tentang ARAHAT yang KEMBALI...

Dikatakan bahwa ada 10 dharmadattu... apakah itu ALAM ?? kalau alam berarti ada kelahiran barulah bisa "EKSIS" di alam tersebut. Lantas dikatakan lagi bahwa Arahat Dharmadatu itu berada di bathin ARAHAT itu sendiri... Lagi lagi pernyataan yang AMBIGU... bathin ARAHAT yang mana ?? Apakah di perasaan, pencerapan, ingatan atau kesadaran ARAHAT.

Inilah yang saya katakan In-konsistensi... Satu sisi menyatakan ARAHAT sudah terbebas dari SAMSARA (tidak dilahirkan kembali lagi), satu sisi menyatakan masih bisa mengunjungi SAMSARA...

DAri awal, Saya (dengan versi Theravada saya) tidak menyatakan bahwa Nibbana itu alam... Justru sdr.chingik (dengan versi MAHAYANA-nya) yang menyatakan "seolah-olah" bahwa NIBBANA itu adalah alam, bahwa ada ARAHAT Dharmadattu (tempat para ARAHAT) dsbnya.

Anda sulit memahami,  karena masih memisahkan antara alam (dunia eksternal) dengan batin (dunia internal). Dalam mahayana, "alam" dan "batin" bukan lah dua kategori yang terpisah. Justru ketika seseorang masih terjebak untuk memisahkan antara "alam" dan "batin", ia masih terjebak dalam dualitas.

Menurut saya, yang dimaksud oleh bro Dilbert bukanlah soal antara alam dan batin yang notabene masih dalam lingkup samsara (sankhara), namun antara
(pari)-nibbana (yang tidak berkondisi) dan samsara (yang berkondisi),
yang tak terlahir (lagi ) dengan yang masih terlahir kembali,
yang di luar dualitas dengan yang dualitas. (NB: "diluar dualitas" bukan lawan dari dualitas)

Kelihatannya perbedaan pandangan tentang Nibbana inilah yang menyebabkan perbedaan pandangan tentang Arahat.  :-?

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 16 November 2008, 12:01:12 PM
Quote
arahat yang tidak "parinibbana" memang menjadi suatu "pengecualian". Terbatas pada kapasitas kita untuk mengetahui "dimana" para ARAHAT yang tidak parinibbana. Tentunya ini tidak akan menjadi "perdebatan" tentang ARAHAT yang KEMBALI...

Dikatakan bahwa ada 10 dharmadattu... apakah itu ALAM ?? kalau alam berarti ada kelahiran barulah bisa "EKSIS" di alam tersebut. Lantas dikatakan lagi bahwa Arahat Dharmadatu itu berada di bathin ARAHAT itu sendiri... Lagi lagi pernyataan yang AMBIGU... bathin ARAHAT yang mana ?? Apakah di perasaan, pencerapan, ingatan atau kesadaran ARAHAT.

Inilah yang saya katakan In-konsistensi... Satu sisi menyatakan ARAHAT sudah terbebas dari SAMSARA (tidak dilahirkan kembali lagi), satu sisi menyatakan masih bisa mengunjungi SAMSARA...

DAri awal, Saya (dengan versi Theravada saya) tidak menyatakan bahwa Nibbana itu alam... Justru sdr.chingik (dengan versi MAHAYANA-nya) yang menyatakan "seolah-olah" bahwa NIBBANA itu adalah alam, bahwa ada ARAHAT Dharmadattu (tempat para ARAHAT) dsbnya.

Inkonsistensi bagaimana? Analoginya adalah Orang yang terbebas dari penjara masih sanggup datang ke penjara (tapi bukan dalam kapasitas tekurung).  Jika tidak bisa datang ke penjara (seperti pemahaman anda tentang Arahat) maka ini menunjukkan ada satu rintangan yg tidak dapat ditembus oleh Arahat. Jika ada rintangan, bagaimana bisa disebut mencapai kebebasan?   
Saya tidak mengatakan Arahat yang terbebas dari penjara akan "Terlahir Kembali" dlm pengertian konvensional. Tetapi karena telah mematahkan dualitas, maka Arahat yg masuk ke jalur bodhisatva tidak melekat antara samsara dan nibbana, karena tidak melekat, maka ia leluasa, karena leluasa maka dikatakan batinnya bebas. Tidak ada pernyataan bahwa Arahat akan lahir kembali. Yang ada adalah dengan kekuatan pikiran, Arahat yg masuk ke jalur bodhsiatva dapat melakukan aktivitas kebodhisatvaan dgn berbagai jelmaan.  
Jika mengatakan Arahat tidak akan mengunjungi samsara lagi, justru itu menunjukkan pemikiran dualitas Arahat. Jadi penjelasan singkat bro Soba-dharma saya rasa perlu dicamkan juga.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 16 November 2008, 12:23:48 PM
Quote
apakah batin yang memusat pada kekosongan, ketanpa-tandaan, ketanpa-berharapan masih berharap untuk menjadi Buddha? bukankah seharusnya mereka tak berharap?
Tak berharap disini merujuk pada 'tak berharap ' pd motivasi dan elemen2 mental negatif, di mana mereka tidak berharap pada hal-hal yang mengarah ke hal-hal duniawi.  Sedangkan pencanangan awal mereka utk mencapai Anuttara Samyaksambodhi sudah tidak berhenti lagi, seperti kendaraan yang melesat, awalnya ada motivasi utk menjalankan kendaraan, setelah bergerak maka tanpa ada dorongan apapun, kendaraan akan tetap melesat. Demikian juga setelah mencapai tahapan ini, bodhisatva telah melesat pada Anuttara Samyaksambodhi tanpa ada dorongan batin seperti awal pencanangannya. Yang ada adalah dorongan2 batin penyeimbang yg tidak dapat disamakan dengan pengharapan. Jadi pengertian tak berharap jangan dipahami secara absolut. Seperti anda mengatakan "Saya sekali makan sudah kenyang". Apakah ini pengertian absolut anda? Jika ya, maka seumur hidup seharusnya anda sekali makan sudah kenyang, tapi tentu ada saat2 lain anda makan 2 kali baru kenyang. Jadi satu istilah jangan dipahami secara absolut, sebuah Sutra jangan dipahami sepenggal-sepenggal.   

Quote
bila pikiran yang memiliki maitri, karuna, upekkha dan mudita... bukankah memiliki empat sifat itu juga belum terlepas?
Jadi pikiran seperti apakah yang menurut anda baru disebut terlepas?

Quote
bila Arahat masuk pada keadaan ketanpa-dirian, tanpa makhluk, tanpa jiwa, tanpa pribadi, dan tanpa pribadi dalam segala hal. bukankah mereka juga sudah tak berpikir mengenai diri, diri sendiri maupun mahluk lain...?
Ya, karena tidak berpikir mengenai diri itulah  maka baru sanggup memberi manfaat sejati pada makhluk2. Jika masih berpikir mengenai diri, maka tidak dapat disebut bodhisatva sejati. 

Quote
Maaf lho mas Chingik...bila mereka (Arahat) kembali lagi ke dunia bukankah mereka belum sepenuhnya terlepas? mengapa disini dikatakan "mereka terlepas dari segala hal yang ada di dunia?"
Terlepas di sini bukan berarti terlepas dari hubungan dengan apapun. Jika benar2 terlepas dari hubungan apapun maka sama saja dengan pandangan nihilis.
Mereka terlepas dari segala hal yang ada di dunia mengandung arti bahwa mereka melakukan apapun tetapi tidak ada kemelekatan. Itulah yang disebut terlepas.

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 16 November 2008, 02:13:20 PM
Wah semakin banyak pengertian saya akan Mahayana bertambah berkat mas Chingik,

tapi minta nambah pengetahuan ya mas chingik?
Quote
Quote
apakah batin yang memusat pada kekosongan, ketanpa-tandaan, ketanpa-berharapan masih berharap untuk menjadi Buddha? bukankah seharusnya mereka tak berharap?
Tak berharap disini merujuk pada 'tak berharap ' pd motivasi dan elemen2 mental negatif, di mana mereka tidak berharap pada hal-hal yang mengarah ke hal-hal duniawi.  Sedangkan pencanangan awal mereka utk mencapai Anuttara Samyaksambodhi sudah tidak berhenti lagi, seperti kendaraan yang melesat, awalnya ada motivasi utk menjalankan kendaraan, setelah bergerak maka tanpa ada dorongan apapun, kendaraan akan tetap melesat. Demikian juga setelah mencapai tahapan ini, bodhisatva telah melesat pada Anuttara Samyaksambodhi tanpa ada dorongan batin seperti awal pencanangannya. Yang ada adalah dorongan2 batin penyeimbang yg tidak dapat disamakan dengan pengharapan. Jadi pengertian tak berharap jangan dipahami secara absolut. Seperti anda mengatakan "Saya sekali makan sudah kenyang". Apakah ini pengertian absolut anda? Jika ya, maka seumur hidup seharusnya anda sekali makan sudah kenyang, tapi tentu ada saat2 lain anda makan 2 kali baru kenyang. Jadi satu istilah jangan dipahami secara absolut, sebuah Sutra jangan dipahami sepenggal-sepenggal. 

ya memang benar bahwa sutta harus dimengerti secara keseluruhan artinya, oleh sebab itu saya meminta mas Chingik membantu saya agar mendapatkan pengertian secara menyeluruh dan lengkap mengenai Mahayana.

bila seorang Arahat dikatakan bahwa mereka telah tidak tertarik kepada hal-hal duniawi dan tidak berharap dll, apakah menurut mahayana seorang Arahat masih memiliki kekotoran batin? apakah seorang Arahat menurut ajaran Mahayana masih memiliki keinginan duniawi?

Quote
Quote
bila pikiran yang memiliki maitri, karuna, upekkha dan mudita... bukankah memiliki empat sifat itu juga belum terlepas?
Jadi pikiran seperti apakah yang menurut anda baru disebut terlepas?

justru itu saya ingin meminta pendapat mas Chingik, bukankah memiliki maitri, karuna, mudita dan upekkha juga berarti belum terlepas seluruhnya? belum terlepas dari dualitas maitri-non maitri; karuna-non karuna; mudita-non mudita dan upekkha-non upekkha? bukankah itu berarti belum kosong sepenuhnya? belum terlepas sepenuhnya? pengetahuan saya cetek, mohon koreksinya.

Quote
Quote
bila Arahat masuk pada keadaan ketanpa-dirian, tanpa makhluk, tanpa jiwa, tanpa pribadi, dan tanpa pribadi dalam segala hal. bukankah mereka juga sudah tak berpikir mengenai diri, diri sendiri maupun mahluk lain...?
Ya, karena tidak berpikir mengenai diri itulah  maka baru sanggup memberi manfaat sejati pada makhluk2. Jika masih berpikir mengenai diri, maka tidak dapat disebut bodhisatva sejati. 
ya saya agak setuju pendapat mas Chingik, tetapi pertanyaannya apakah orang yang berpikir mengenai diri, seperti kita-kita ini tak dapat memberi manfaat sejati kepada mahluk-mahluk lain? (oh ya manfaat sejati itu contohnya apa ya mas Chingik?)
Quote
Quote
Maaf lho mas Chingik...bila mereka (Arahat) kembali lagi ke dunia bukankah mereka belum sepenuhnya terlepas? mengapa disini dikatakan "mereka terlepas dari segala hal yang ada di dunia?"
Terlepas di sini bukan berarti terlepas dari hubungan dengan apapun. Jika benar2 terlepas dari hubungan apapun maka sama saja dengan pandangan nihilis.
Mereka terlepas dari segala hal yang ada di dunia mengandung arti bahwa mereka melakukan apapun tetapi tidak ada kemelekatan. Itulah yang disebut terlepas.

Nah ini yang kadang-kadang repot mengenai kemelekatan ini, pernah suatu ketika saya terlibat dalam suatu diskusi, lalu muncul pertanyaan mengenai kemelekatan, kemelekatan terhadap apa?  Dan saya tidak mengerti mengenai kemelekatan karena nampaknya kemelekatan artinya luas sekali. Mas chingik tolong penjelasannya melepas terhadap apa? tidak melepas dalam hal apa? kemelekatan terhadap apa? tidak melekat terhadap apa?

sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas  penjelasannya, maaf merepotkan.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 16 November 2008, 03:16:12 PM
Quote from: hendrako on 16 November 2008, 11:47:38 AM

Kelihatannya perbedaan pandangan tentang Nibbana inilah yang menyebabkan perbedaan pandangan tentang Arahat.  :-?



Ya karena itulah saya melihat jika masih menganut salah satu paham apakah "Nirvana adalah alam" atau "Nirvana atau kondisi batin", maka ia terkurung dalam paham itu. Mungkin ini salah satu dari contoh jneyavarana. Karena memandang nirvana itu adalah kondisi batin, maka jalan sravaka mengira jika seseorang mencapai nibbana maka ia tidak akan kembali lagi (merosot). Padahal nirvana bukan lah batin ataupun alam, karena jika memandang nirvana adalah salah satunya, maka seseorang masih terikat pada dualitas atau paham yang salah (jneya).
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 16 November 2008, 06:25:29 PM
Quote from: sobat-dharma on 16 November 2008, 03:16:12 PM
Quote from: hendrako on 16 November 2008, 11:47:38 AM

Kelihatannya perbedaan pandangan tentang Nibbana inilah yang menyebabkan perbedaan pandangan tentang Arahat.  :-?



Ya karena itulah saya melihat jika masih menganut salah satu paham apakah "Nirvana adalah alam" atau "Nirvana atau kondisi batin", maka ia terkurung dalam paham itu. Mungkin ini salah satu dari contoh jneyavarana. Karena memandang nirvana itu adalah kondisi batin, maka jalan sravaka mengira jika seseorang mencapai nibbana maka ia tidak akan kembali lagi (merosot). Padahal nirvana bukan lah batin ataupun alam, karena jika memandang nirvana adalah salah satunya, maka seseorang masih terikat pada dualitas atau paham yang salah (jneya).

Lantas Nirvana itu apa ?? Dikatakan bahwa nirvana itu bukan alam (saya juga menyatakan bukan alam), juga bukan kondisi bathin (saya lebih setuju dengan terminologi ini). Benar sekali dalam bathin seorang ARAHAT tidak membedakan lagi antara nibbana dan samsara (karena sudah mencapai egaliter non-dualisme), tetapi ketika berbicara kepada umat AWAM, seorang sammasambuddha bahkan harus menjelaskan apa itu samsara dan apa itu nibbana...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 16 November 2008, 06:30:06 PM
Quote from: chingik on 16 November 2008, 12:01:12 PM
Quote
arahat yang tidak "parinibbana" memang menjadi suatu "pengecualian". Terbatas pada kapasitas kita untuk mengetahui "dimana" para ARAHAT yang tidak parinibbana. Tentunya ini tidak akan menjadi "perdebatan" tentang ARAHAT yang KEMBALI...

Dikatakan bahwa ada 10 dharmadattu... apakah itu ALAM ?? kalau alam berarti ada kelahiran barulah bisa "EKSIS" di alam tersebut. Lantas dikatakan lagi bahwa Arahat Dharmadatu itu berada di bathin ARAHAT itu sendiri... Lagi lagi pernyataan yang AMBIGU... bathin ARAHAT yang mana ?? Apakah di perasaan, pencerapan, ingatan atau kesadaran ARAHAT.

Inilah yang saya katakan In-konsistensi... Satu sisi menyatakan ARAHAT sudah terbebas dari SAMSARA (tidak dilahirkan kembali lagi), satu sisi menyatakan masih bisa mengunjungi SAMSARA...

DAri awal, Saya (dengan versi Theravada saya) tidak menyatakan bahwa Nibbana itu alam... Justru sdr.chingik (dengan versi MAHAYANA-nya) yang menyatakan "seolah-olah" bahwa NIBBANA itu adalah alam, bahwa ada ARAHAT Dharmadattu (tempat para ARAHAT) dsbnya.

Inkonsistensi bagaimana? Analoginya adalah Orang yang terbebas dari penjara masih sanggup datang ke penjara (tapi bukan dalam kapasitas tekurung).  Jika tidak bisa datang ke penjara (seperti pemahaman anda tentang Arahat) maka ini menunjukkan ada satu rintangan yg tidak dapat ditembus oleh Arahat. Jika ada rintangan, bagaimana bisa disebut mencapai kebebasan?   
Saya tidak mengatakan Arahat  yang terbebas dari penjara akan "Terlahir Kembali" dlm pengertian konvensional. Tetapi karena telah mematahkan dualitas, maka Arahat yg masuk ke jalur bodhisatva tidak melekat antara samsara dan nibbana, karena tidak melekat, maka ia leluasa, karena leluasa maka dikatakan batinnya bebas. Tidak ada pernyataan bahwa Arahat akan lahir kembali. Yang ada adalah dengan kekuatan pikiran, Arahat yg masuk ke jalur bodhsiatva dapat melakukan aktivitas kebodhisatvaan dgn berbagai jelmaan.  
Jika mengatakan Arahat tidak akan mengunjungi samsara lagi, justru itu menunjukkan pemikiran dualitas Arahat. Jadi penjelasan singkat bro Soba-dharma saya rasa perlu dicamkan juga.


Telah terbebas, tidak melekat, bebas dan leluasa... ARAHAT MASIH INGIN MENCAPAI ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA ??
Apakah tidak kontradiktif ??
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 November 2008, 07:25:49 PM
Quote from: Kelana on 07 November 2008, 01:40:35 AM
Halo semua...numpang lewat sebentar.

Pertama. Mengenai topik Bhavaviveka "vs" Hinayana ,
1.   Hinayana bukanlah Theravada. Polemik Hinayana & Mahayana di India muncul setelah leluhur Theravada (mungkin Vibhajjavāda ) hijrah ke Sri Lanka.
2.   Bhavaviveka tidak menjawab mengenai argumen dari aliran lain seperti argumen no.2, 3, 4, 7, 9

Tanpa menjawab no.2 maka Bhavaviveka mengakui bahwa Mahayana mengajarkan bahwa Tathagata itu abadi.
Tanpa menjawab no.3 maka Bhavaviveka mengakui bahwa Mahayana mengajarkan Mahayana tidak menanggalkan konsep atman...dst sampai no.9

Kedua. Saya masih sangat meragukan Saddharmapundarika Sutra sebagai teks rujukan yang tepat untuk membahas masalah dalam topik ini. Kenapa? Karena ada istilah Hinayana dalam teks Saddharmapundarika Sutra, sebuah istilah yang muncul belakangan yang jelas dan tegas merujuk pada aliran tertentu. Jadi jika ada yang mengajukannya sebagai rujukan, maaf terpaksa saya mengesampingkannya.

Ketiga. Ini adalah jawaban yang seharusnya Bhavaviveka terangkan untuk menanggapi argumen no.3. Saya tidak tahu apakah Bhavaviveka memang tidak menjelaskannya atau Sdr. Gandalf yang tidak mencantumkannya.
Dalam Mahayana, Nirvana = Sunyata = Adi Buddha = Tathagatagarbha = Dharmakaya. Nirvana, Sunyata merupakan "penggambaran" secara negatif dari Yang Absolut. Sedangkan, Adi Buddha, Tathagatagarbha, Dharmakaya merupakan "penggambaran" secara positif dari Yang Absolut.
Mengenai penjelasan versi sutranya silahkan membacanya di The Lankavatara Sutra Chapter VI, Transcendental Intelligence (tapi saya masih sedikit meragukan satu hal akan sutra ini). Dan seharusnya sebagai emanasi Amitabha Buddha, Bhavaviveka mengetahui sutra ini dan menjelaskannya.


Keempat. Bhavaviveka menyimpulkan (atau ini kesimpulan Sdr. Gandalf sendiri, maaf soalnya tidak ada tanda-tanda pemisah):
"Jadi berdasarkan kutipan di atas bahwa ada sesuatu yang tidak diajarkan Sang Buddha dalam sutra-sutra Hinayana, karena para Sravaka dan Pratyekabuddha tidak dapat memahami kebijaksanaan tingkat superior."

Bukankah kita juga bisa mengatakan bahwa ada penambahan atau penempaan sutra yang dilakukan Mahayanis sehingga akhirnya tidak terdapat dalam literatur non-Mahayana?

Jadi, bagi saya ada atau tidak ada sebuah sutra dalam sebuah koleksi bukan menjadi masalah yang penting, karena satu pihak ada yang memang tidak memiliki karena memang tidak pernah ada dan ada pihak lain yang menambahkan koleksi pribadi nya sendiri. Tapi yang penting adalah bertentangan (kontradiksi) atau tidak suatu sutra dengan sutra yang lain.


Kelima. Bhavaviveka dalam Tarkajvala mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka]. Perhatikan kata-kata yang saya tebalkan. Jika saya menyimpulan maka Bhavaviveka mengatakan bahwa para Sravaka adalah kaum yang hina, papa, tidak bermoral. Dalam bahasa Sanskerta maupun Pali, kata "hina" berarti hina, papa, tidak bermoral, dan bukan berarti "kecil" seperti yang digembar-gemborkan. Istilah "hina" jelas-jelas mengacu pada istilah yang negatif. Coba kita bandingkan dengan pembahasan kita di topik The Vajracchedika Prajna Paramita Sutra dengan keberadaan istilah "hīnādhimuktiakaiḥ" yang berarti kecenderungan diri pada hal-hal yang tidak bermoral. http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=735.15

Kata "hina" jelas berarti tidak bermoral. Dan perlu dicatat bahwa salah satu peninggalan dari bahasa Sanskerta yang masih digunakan oleh bahasa Indonesia yaitu kata "hina" itu sendiri yang berarti jelek, buruk. Jika yang dimaksud adalah lawan dari kata "maha" sebagai lawan dari "mahayana", maka seharusnya kata yang digunakan adalah kata "cuula" yang berarti kecil. Jadi "Cuulayana" bukan "hinayana". Inilah alasan mengapa saya katakan bahwa kata "hinayana" bersifat negatif.

Dan kembali lagi, jika dikatakan bahwa Sravaka adalah jalan yang hina, buruk, a-moral, maka pertanyaannya mengapa Sang Buddha yang mulia itu dan piawai dalam mengajar justru mengajarkan jalan yang a-moral itu? Kemudian, Sravaka. Kita tahu arti dari Sravaka, yaitu pendengar atau juga siswa. Apakah Bodhisattva mendengarkan ajaran para Buddha? Apakah Bodhisattva siswa Sang Buddha? Jika Ya, maka Bodhisattva juga adalah seorang Sravaka. Jika dikatakan "Kaum Hinayana (Sravaka)" seperti kata Bhavaviveka dalam Tarkajvala, itu berarti Bodhisattva adalah bagian dari Hinayana (ajaran a-moral) itu sendiri. Jika demikian untuk apa jalan Bodhisattva?  ;D
Semoga rekan-rekan bisa memahami jalan logikanya yang cukup rumit ini :D


Halo bro. Kelana,

Pertama-tama, saya akan kemukakan maksud dari Bhavaviveka mengatakan semua itu, terutama tentang Sutra-sutra Mahayana hanya diperuntukkan bagi para Bodhisattva. Ketika Bhavaviveka mengatakan hal ini, maksud Beliau adalah jawaban bagi klaim-klaim Hinayana tersebut sudah ada dalam Sutra-sutra Mahayana. Maka dari itulah saya katakan Bhavaviveka mempunyai maksud tersendiri dengan tidak menjawabi argumen Hinayana tersebut satu-satu.

Maka untuk melengkapi maksud Bhavaviveka, saya hendak memposting isi Sutra-sutra Mahayana tersebut plus penjelasannya. Namun karena membahas 9 poin tersebut sangatlah panjang (penerjemahan plus pembahasannya), maka saya butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya, mungkin nanti Desember saya baru bisa mempostingkannya, lagipula saya masih ada banyak tugas kuliah. Hari ini kebetulan saya agak nyantai dan sudah ada beberapa tugas yang selesai, maka saya meluangkan waktu untuk berdiskusi di forum Dhammacitta.

Hinayana memang tidak identik dengan Theravada. Dan saya sepenuhnya menyadari hal tersebut.

Anda mengatakan:
"Karena ada istilah Hinayana dalam teks Saddharmapundarika Sutra, sebuah istilah yang muncul belakangan yang jelas dan tegas merujuk pada aliran tertentu."

Apa anda mengerti perbedaan antara "vada" dengan "yana"??

Hinayana ini merujuk pada 18 sekte agama Buddha (vada) yang tidak menjalankan jalan Bodhisattva.

Mahayana merujuk pada 18 sekte agama Buddha (vada) yang menjalankan jalan Bodhisattva.

Maka dari itu di Srilanka, Bhiksu Tang Xuanzang melihat bahwa ada 2 kelompok Theravada:
1. Hinayana Theravada (Mahaviharavasin)
2. Mahayana Theravada (Abhayagirivasin)

Namun di kalangan Mahaviharavasin sendiri juga ada tokoh-tokoh yang berikrar menjadi seorang Sammasambuddha, maka dari itu para tokoh-tokoh ini juga dapat digolongkan dalam "Mahayana Theravada".

Atisha Dipamkara yang seorang Mahayana adalah bhiksu sekte Mahasanghika. Shantaraksita yang yang seorang Mahayana adalah bhiksu sekte Mulasarvastivada.

Maka dari itu sebenarnya para bhiksu Mahayana sekarang ini adalah para anggota Sangha sekte Dharmagupta, BUKAN Sangha sekte Mahayana. "Mahayana" adalah sebuah jalan hidup atau kesucian yang dapat ditempuh oleh umat Buddhis dari ke-18 sekte.

Anda menyelewengkan arti "hina" dari Hinayana. Memang "hina" dapat berartio amoral, tetapi "hina" juga memiliki arti lain:

The Monier-Williams Sanskrit-English Dictionary (Oxford, 1899), gives a translation of 'Hīna' as: "deficient, defective, faulty, isufficient, short, incomplete, poor, little, low, vile, bad, base, mean.". According to Pali Text Society Dictionary, the word hina in sanskrit and pali has much derogatory meaning. Hina: 1. inferior, low; poor, miserable; vile, base, abject, contemptible, despicable 2. deprived of, wanting, lacking

Oleh karena itu "Hina" tidak selalu berarti "amoral", bisa juga berarti kecil (little), rendah (low, inferior), kurang (lacking) maupun tidak lengkap (incomplete).

Rendah karena pencapaian Arhat belumlah sempurna. Para Arhat hanya mencapai Nirvana satu sisi atau Nirvana yang egosentris – berpusat pada diri [bukan egois lo, nggak ada Arhat egois], sedangkan Samyaksambuddha telah mencapai Non-Abiding Nirvana.

Dalam Lankavatara Sutra disebutkan:

"Sang Bhagava berkata padanya: Para Bodhisattva Mahasattva yang telah mencapai tingkatan keenam, demikian juga dengan semua Sravaka dan Pratyekabuddha, mencapai ketenangan sempurna. Pada tingkat ketujuh, para Bodhisattva Mahasattva, melepaskan pandangan diri di dalam semua fenomena, mencapai ketenangan sempurna di setiap saat pikiran mereka, namun tidak demikian dengan Sravaka dan Pratyekabuddha."

Bahkan dalam naskah Theravada, Sumedha pernah berkata di hadapan Buddha Dipamkara:

"Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta  yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna dari Buddha Dipamkara? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai Kebuddhaan."

"Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai Kebuddhaan dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan."


:o  :o

Oleh karena itu arti Hinayana bukan berarti "Kendaraan Amoral, tetapi lebih ke arah "Kendaraan Kecil, Rendah, Kurang, Tidak lengkap". Oleh karena itu terjemahan Tionghoanya juga "Xiao Cheng" yang artinya Kendaraan Kecil.

Tidak pernah Mahayana mengatakan bahwa para Sravaka dan Pratyekabuddha (Hinayana) itu amoral. Coba lihat Mahayana Mahaparinirvana Sutra:

"Pada waktu itu, hadirlah para perempuan seperti Kuddara dan para bhiksuni seperti Subhadra, Upananda, Sagaramati, dan 6 juta bhiksuni. Mereka semua adalah Arhat agung. Semua asrava (kekotoran batin) telah dilenyapkan, pikiran mereka tidak terganggu dan dapat bertindak sekehendak mereka. Mereka telah terpisah dari semua ilusi dan indra (skandha) mereka semuanya telah ditaklukkan. Bagaikan para naga agung, mereka sempurna dalam kebajikan. Mereka telah mencapai Kebijaksanaan dari Semua Kekosongan."

Tidak hanya dalam Mahayana Mahapairinirvana Sutra para Arhat diagungkan, tetapi juga dalam Sutra-sutra Mahayana lainnya.

Bagi Mahayana, tidak ada kontradiksi antara Hinayana dan Mahayana, karena kaum Mahayana memang mengakui bahwa Hinayana adalah bagian dari Mahayana. Ini disebutkan dalam Manjusri Pariprccha Sutra di mana dikatakan para Sravaka dan Pratyekabuddha termasuk dalam keluarga besar Mahayana.

Mahayana juga menganggap bahwa ajaran para Hinayana tergolong dalam periode Agama, yang merupakan periode awal, maka dari itu tidak heran apabila ajaran yang dibabarkan pada periode tersebut tidak seperti ajaran-ajaran Mahayana (Vaipulya, Prajnaparamita), karena ajaran periode Agama memang hanyalah awal dan dasar, belum berkembang seperti Vaipulya maupun Prajnaparamita.

Dalam Mahayana juga dikenal upaya kausalya. Maka dari itu perbedaan pandangan antara 18 sekte, perbedaan pandangan Hinayana dengan Mahayana itu semuanya adalah upaya kausalya dari Sang Buddha, karena Sang Buddha membabarkan ajaran yang berbeda-beda bagi kondisi batin manusia yang juga berbeda-beda di waktu dan tempat yang berbeda-beda pula.

Namun kita dapat melihat bahwa inti ajaran Sang Buddha yaitu  4 Kebenaran Mulia dan Delapan Ruas Jalan, ada dalam Hinayana maupun Mahayana.

Kalau bagi Hinayana, tentu saja Mahayana berkontradiksi dengan mereka. Tapi bagi Mahayana, tidak ada yang namanya kontradiksi dalam ajaran Buddha, baik itu Theravada, Mahayana maupun Vajrayana (yang juga merupakan bagian dalam Mahayana).

_/\_
The Siddha Wanderer
 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 16 November 2008, 09:41:43 PM
Quote
Telah terbebas, tidak melekat, bebas dan leluasa... ARAHAT MASIH INGIN MENCAPAI ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA ??
Apakah tidak kontradiktif ??
Sudah dijelaskan bahwa ini harus dilihat dari tingkat dan perpektif yang mana dulu. Kalimat Telah terbebas, tidak melekat, bebas dan leluasa..., --> inikan dari perspektif Jalan Arahat.
Sedangkan ARAHAT MASIH INGIN MENCAPAI ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA ?? -->Itukan dilihat dari perpektif jalur bodhisatva.

Bukankah saya sudah menganalogikan tentang penempuhan pendidikan. Seorang siswa SMA telah menamatkan pendidikannya. Apakah disebut Tamat? Iya jika dilihat dari perspektif tingkatan pendidikannya, yakni SMA. Namun dilihat dari perspektif Perguruan tinggi, dia belumlah tamat.  Begitu juga Arahat, dia sudah terbebas, tidak melekat, itu dilihat dari perspektif jalan kearahatan. Namun dilihat dari perspektif jalur bodhisatva, dia masih ada kemelekatan.
Itulah maksud dalam pandangan Mahayana. Jadi kontradiktif bagaimana?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 November 2008, 10:06:24 PM
Bro. chingik....

Thank you bangettt udah bantu saya menjawab pertanyaan rekan-rekan di sini.... hehe....  ;)

Gimana kalau nanti kita bicarain majalah SD bro?? Soalnya yang kali ini akan terbit agak beda... nanti kita diskusi lewat email aja....hehe.... ;D

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 16 November 2008, 10:28:00 PM
Quote from: chingik on 16 November 2008, 09:41:43 PM
Quote
Telah terbebas, tidak melekat, bebas dan leluasa... ARAHAT MASIH INGIN MENCAPAI ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA ??
Apakah tidak kontradiktif ??
Sudah dijelaskan bahwa ini harus dilihat dari tingkat dan perpektif yang mana dulu. Kalimat Telah terbebas, tidak melekat, bebas dan leluasa..., --> inikan dari perspektif Jalan Arahat.
Sedangkan ARAHAT MASIH INGIN MENCAPAI ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA ?? -->Itukan dilihat dari perpektif jalur bodhisatva.

Bukankah saya sudah menganalogikan tentang penempuhan pendidikan. Seorang siswa SMA telah menamatkan pendidikannya. Apakah disebut Tamat? Iya jika dilihat dari perspektif tingkatan pendidikannya, yakni SMA. Namun dilihat dari perspektif Perguruan tinggi, dia belumlah tamat.  Begitu juga Arahat, dia sudah terbebas, tidak melekat, itu dilihat dari perspektif jalan kearahatan. Namun dilihat dari perspektif jalur bodhisatva, dia masih ada kemelekatan.
Itulah maksud dalam pandangan Mahayana. Jadi kontradiktif bagaimana?


analogi pendidikan SMA dan perguruan tinggi tidak begitu tepat bro... karena keduanya tidak sama...

Analogi yang tepat mungkin begini... Karena ARAHAT disebut SAVAKA BUDDHA, sammasambuddha juga BUDDHA... maka analogi seorang mahasiswa. Teringat sewaktu kuliah dulu, misalnya : IPK saya ketika mendekati akhir kuliah sekitar 2,9... karena ingin lulus dan mendapat predikat Sangat memuaskan (minimal IPK 3,25) maka saya terpaksa harus mengambil beberapa mata kuliah lagi untuk perbaikan nilai. Walaupun dengan IPK 2,9 saya sudah bisa dianggap tamat kuliah, tetapi karena ingin memperbaiki nilai, terpaksa saya harus menambah waktu kuliah saya minimal 1 semester untuk mengambil beberapa mata kuliah yang akan diperbaiki nilainya... Inilah analogi untuk calon ARAHAT yang beraspirasi untuk menambah "nilai" dan "parami"-nya untuk mencapai hasil yang lebih tinggi (annutara sammasambuddha). Apakah untuk mencapai itu, seorang calon ARAHAT sudah bisa disebut dengan ARAHAT, tentu tidak bisa... sama seperti analogi mahasiswa tersebut. Mahasiswa tersebut secara kualitas, IPK sudah mencapai batas untuk bisa LULUS. TEtapi karena ingin mendapat yang "LEBIH" terpaksa harus menempuh jalur tambahan lagi.

Tetapi misalnya mahasiswa tersebut cukup puas dengan nilai IPK 2,9 dan ingin segera menamatkan kuliah dan mencapai gelar sarjana. Maka diwisuda-lah mahasiswa tersebut dengan gelar Sarjana. Lantas apakah ketika sudah mencapai gelar sarjana, apakah Mahasiswa tersebut masih bisa "KEMBALI" untuk meningkatkan nilainya. Tentu tidak bisa donk...
Inilah analogi mengapa seorang INDIVIDU yang sudah merealisasi ARAHAT sudah tidak bisa lagi untuk mencapai apa yang disebut dengan annutara sammasambuddha.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 16 November 2008, 10:31:25 PM
Quote from: dilbert on 16 November 2008, 06:25:29 PM


Lantas Nirvana itu apa ?? Dikatakan bahwa nirvana itu bukan alam (saya juga menyatakan bukan alam), juga bukan kondisi bathin (saya lebih setuju dengan terminologi ini). Benar sekali dalam bathin seorang ARAHAT tidak membedakan lagi antara nibbana dan samsara (karena sudah mencapai egaliter non-dualisme), tetapi ketika berbicara kepada umat AWAM, seorang sammasambuddha bahkan harus menjelaskan apa itu samsara dan apa itu nibbana...

Kalau anda bertanya nirvana itu apa? Anda akan kembali terjebak dalam penjabaran definitif. Saya khawatirnya, jika dipaksakan untuk menjelaskan apakah itu nirvana maka tidak ada kata-kata yang dapat digunakan. Saya rasa apa itu nirvana, hanya bisa dapat "dirasakan" (ini hanya metafora loh) oleh yang merealisasikannya. Saya yang masih umat awam tidak bisa  menjelaskannya. Saya rasa diskusi kita memasuki wilayah yang sulit dikatakan dalam bahasa.

Masalahnya justru adalah ketika kita memisahkan antara aspek internal (batin) dan eksternal (alam) secara terpisah, maka kita akan terjebak dalam "paham yang salah." Pandangan seperti ini kemudian terjebak pada keyakinan adanya "objek di luar subjek" dan "subjek yang terpisah dari objek." Menurut Patriarch Chien-chih Seng-ts'an dalam Hsin-hsin Ming (信心銘):

The object is related to the subject. The subject is related to the object  (境由能境 能由境能)

Oleh karena itu, subjek dan objek pada hakikatnya adalah saling mengadakan. Batin dan alam keduanya saling mengadakan. Tidak ada batin, tanpa alam. Tidak ada alam, tanpa batin.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 16 November 2008, 10:35:59 PM
Tambahan: Oleh karena itu Nirvana adalah kondisi batin sekaligus adalah alam, sekaligus juga bukan dua-duanya.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 16 November 2008, 10:40:43 PM
Quote from: sobat-dharma on 16 November 2008, 10:31:25 PM
Quote from: dilbert on 16 November 2008, 06:25:29 PM


Lantas Nirvana itu apa ?? Dikatakan bahwa nirvana itu bukan alam (saya juga menyatakan bukan alam), juga bukan kondisi bathin (saya lebih setuju dengan terminologi ini). Benar sekali dalam bathin seorang ARAHAT tidak membedakan lagi antara nibbana dan samsara (karena sudah mencapai egaliter non-dualisme), tetapi ketika berbicara kepada umat AWAM, seorang sammasambuddha bahkan harus menjelaskan apa itu samsara dan apa itu nibbana...

Kalau anda bertanya nirvana itu apa? Anda akan kembali terjebak dalam penjabaran definitif. Saya khawatirnya, jika dipaksakan untuk menjelaskan apakah itu nirvana maka tidak ada kata-kata yang dapat digunakan. Saya rasa apa itu nirvana, hanya bisa dapat "dirasakan" (ini hanya metafora loh) oleh yang merealisasikannya. Saya yang masih umat awam tidak bisa  menjelaskannya. Saya rasa diskusi kita memasuki wilayah yang sulit dikatakan dalam bahasa.

Masalahnya justru adalah ketika kita memisahkan antara aspek internal (batin) dan eksternal (alam) secara terpisah, maka kita akan terjebak dalam "paham yang salah." Pandangan seperti ini kemudian terjebak pada keyakinan adanya "objek di luar subjek" dan "subjek yang terpisah dari objek." Menurut Patriarch Chien-chih Seng-ts'an dalam Hsin-hsin Ming (信心銘):

The object is related to the subject. The subject is related to the object  (境由能境 能由境能)

Oleh karena itu, subjek dan objek pada hakikatnya adalah saling mengadakan. Batin dan alam keduanya saling mengadakan. Tidak ada batin, tanpa alam. Tidak ada alam, tanpa batin.

Memang Nirvana tidak bisa dijelaskan DENGAN TEPAT 100% dengan kata kata, tetapi minimal dapat didekati. Jika memang tidak dapat dijelaskan. DARI DULU TIDAK ADA TERMINOLOGI NIBBANA... Bahkan seorang SAMMASAMBUDDHA tidak akan bisa "MENJELASKAN" kepada anda secara memuaskan. Karena seperti kata anda, bahwa harus dirasakan dahulu... Ketika anda sudah "MERASAKAN" NIRVANA, anda kembali kehilangan kata kata untuk menjelaskan... (seperti kata anda).
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 November 2008, 10:50:19 PM
Quote from: El Sol on 05 November 2008, 03:18:26 PM
mana getehe...gw kira itu khan Petavatthu yg lengkap...

tapi dari excerptnya ajah dah bisa dilihat kalo alam peta itu sangat2 menderita..so back to topic...

Hahaha... makanya baca yang teliti........... kalau mau membahas Dharma, jangan asal.

Quoteseorang manusia bisa jadi Anagami memerlukan Kamma baek yg sangat besar!...contoh Angulimala, itu..sang Buddha sebelum menyadarkan Angulimala, beliau melihat dulu kamma Angulimala..apakah cukup bagi dia untuk jadi Arahat, dan ternyata cukup dan kalo dia sempet membunuh ibunya, maka tidak akan cukup kamma baek Angulimala untuk jadi Arahat...

ngerti?..

dan di case Guan gong, itu impossible bagi dia untuk bisa jadi Deva, kenapa?..

1.dia ngebunuh banyak2 orang
2.dia SEMPET JATUH ke alam peta
3.gk gampang keluar dari alam peta, karena isinya hanya penderitaan dan Buddha Dhamma tidak akan dimengerti oleh mereka yg sedang menderita...

Nah anda sudah tahu kan vimanapeta itu apa  ;D

Ngomong-ngomong..... dalam kehidupan lampau kita yang tidak terbatas ini.... sudah berapa banyak karma buruk yang kita lakukan ya?? Pastinya buaaannnyyyaaakkkk nggak terkira deh!!!...... tapi toh saya sekarang bisa seneng-seneng dan nyaman duduk sambil posting di forum Dhammacitta...  ^-^

Quotebah watever the stupid Buddha said...

what I know is that..sang Buddha mengajarkan bahwa nanem jagung keluar jagung...nanem padi keluar padi...mao disalahkan ato didewakan..tetap ajah Kamma tetap berjalan...

Wakakaka..... "Stupid Buddha"?? Wah..wah... ckckck......

Quotegw liat dari quote itu + pancasila gw bisa buat kesimpulan yg lumayan kuat bahwa sang Buddha menolak perang 100% dengan alasan apapun juga!...

Sang Buddha mengatakan hal tersebut karena Jenderal Sinha harus pergi berperang (tentu perintah kerajaan tidak bisa ditolak!) dan Jenderal Sinha bertanya pada Sang Buddha mengenai hal tersebut.

Sang Buddha memang tidak pernah membenarkan perang dan tentu 100% menolak perang.

Tetapi memang ada sebuah kondisi di mana perang tidak terhindarkan lagi, dan Sang Buddha juga mengakui hal tersebut dan tidak menyalahkannya (pihak yang berperang dengan tujuan mulia, bukan tujuan yang buruk).

Quotewatever thing..no comment for this one...nothing to discuss..

:))  :))  :))

Quotewell...gk banget yak kalo loe bilank guan yu itu berperang bukan demi dirinya sendiri...tujuan dia perang apa?..untuk negara dia...kenapa perang untuk negara dia?..agar rakyat2 dia bisa damai dan tentram, dan kalo rakyatnya damai dan tentram, dia juga enak!...bisa buat sesukanya..yg dianggap bener ama dia...yah sama lar kayak pemikiran para Mujahid..gk beda banget..

Wakaka.... ya terserah anda..... tapi emangnya anda tahu klo Guan Yu itu seperti itu??  ^-^

Kita memang sama-sama tidak tahu persisnya kepribadian Guan Yu itu seperti apa. Tapi saya merujuk pada catatan sejarah Sanguo Zhi serta novel Sanguo Yanyi. Jadi kepribadian yang saya tahu itu masih ada sumbernya.

La kalau anda? Interpretasi pribadi? Tebak-tebakan?  ^-^  ^-^

Hati-hati omongan anda ini lo.... kalau ada umat Khonghucu atau Tao yang ketemu anda.... wah bisa abis tuh anda....  ^-^

Quoteok gini ajah...gw dah nanya master gw tentang Vimanapeta, dia bilank dia gk tao...karena katane Petavatthu itu bukan bacaan favorit dia(katane gk berguna baca gituan)...karena skarang loe ada copynya, loe ketik ajah pengenalan Vimanapeta di Thread baru...jangan disini..tambah ribet nanti topikne..

Yah... udah dikasih linknya tuh ama bro. chingik.... hehe....

Quotebah..jangan pake pemikiran Theravada ke dalam Mahayana donk..jelas2 kalo konsep Boddhisatva Mahayana itu mirip2 sama konsep Deva ato Tuhan diagama laen...

Loh, bukannya anda yang nggak paham Mahayana?  ^-^  ^-^

Kalau anda berkata begini sama Bhante atau Pandita Mahayana yang ngerti... anda bisa diketawain nih......

Quote
Think man..THINK!...

mata kalo liat monitor terus..bisa buta..

untuk apa mengorbankan mata gw buat artikel2 yg tidak jelas unsurnya?...ato untuk Dhamma yg notabene belum tentu benar....Ajahn Brahm pernah bilank...Kitab suci agama Buddha adalah meditasi...Tipitaka dll cuma map..

haha..aku mending kuper Dhamma daripada kuper beneran..

kalo kuper beneran nanti gk bisa melihat Dhamma yg sesungguhnya...cape deh..T_T

Lah... cara-cara meditasi Buddhis itu kalau bukan dari Tripitaka terus dari mana? Hayo?? Coba sebutin!

La para Bhante juga taunya dari Tripitaka kok!

Kalo anda kuper sama Dharma, ya otomatis anda juga kuper beneran. la wong Dharma = Kebenaran kok!

La kalau anda kuper sama Kebenaran, ya itu yang namanya kuper beneran!  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 16 November 2008, 11:00:45 PM
Quote from: dilbert on 16 November 2008, 10:40:43 PM

Memang Nirvana tidak bisa dijelaskan DENGAN TEPAT 100% dengan kata kata, tetapi minimal dapat didekati. Jika memang tidak dapat dijelaskan. DARI DULU TIDAK ADA TERMINOLOGI NIBBANA... Bahkan seorang SAMMASAMBUDDHA tidak akan bisa "MENJELASKAN" kepada anda secara memuaskan. Karena seperti kata anda, bahwa harus dirasakan dahulu... Ketika anda sudah "MERASAKAN" NIRVANA, anda kembali kehilangan kata kata untuk menjelaskan... (seperti kata anda).

"Nirvana" bukan istilah yang berasal dari Sang Buddha sendiri, begitu juga kata "samsara". Istilah ini digunakan karena memang kata itu yang dipahami oleh masyarakat ia berada. Nah, jika kemudian alat untuk menjelaskan apa yang "dicapai" oleh Sang Buddha kemudian diartikan sebagai realitas itu sendiri, di sana lah letak masalahnya. Begitu juga ketika seseorang menyebut nama "arahant" dan "bodhisattva", sebenar ia tidak dapat dengan tepat 100% menjelaskan apa sebenarnya yang "dicapai" oleh mereka.

Berkaitan dengan diskusi ini, yang mempermasalahkan posisi arahant dan bodhisattva, maka saya merasa absurd sekali kemudian kita memusingkan apakah "seorang" arahant dapat menjadi bodhisattva atau tidak. Tentu saja, anda akan mengatakan bahwa diskusi seperti ini akan meningkatkan pengetahuan kita. Saya sepakat. Tapi kalau memang belum ada jawaban yang memuaskan, saya rasa kita harus lebih banyak membaca sutra lagi dan membandingkannya. Tapi saya rasa tidak terlalu yakin akan membuahkan hasil, sebab dari pengalaman saya sutra-sutra mahayana sangat beragam dan terdiri dari kelompok yang berbeda. Saya takutnya bukan dapat jawaban pasti, tapi kita hanya akan tersesat di antara samudra kata-kata yang tak menentu. Mungkin juga, anda suatu saat akan mendapatkan jawabannya, tapi setelah itu apakah jawabannya akan membantu anda dalam mempraktikkan Ajaran Buddha? Saya koq ragu.

Pilihan kedua, sebenarnya sederhana. Jalan sudah ada di depan mata. Mengapa tidak kita lalui saja.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: hendrako on 16 November 2008, 11:04:20 PM
Quote from: dilbert on 16 November 2008, 10:40:43 PM
Quote from: sobat-dharma on 16 November 2008, 10:31:25 PM
Quote from: dilbert on 16 November 2008, 06:25:29 PM


Lantas Nirvana itu apa ?? Dikatakan bahwa nirvana itu bukan alam (saya juga menyatakan bukan alam), juga bukan kondisi bathin (saya lebih setuju dengan terminologi ini). Benar sekali dalam bathin seorang ARAHAT tidak membedakan lagi antara nibbana dan samsara (karena sudah mencapai egaliter non-dualisme), tetapi ketika berbicara kepada umat AWAM, seorang sammasambuddha bahkan harus menjelaskan apa itu samsara dan apa itu nibbana...

Kalau anda bertanya nirvana itu apa? Anda akan kembali terjebak dalam penjabaran definitif. Saya khawatirnya, jika dipaksakan untuk menjelaskan apakah itu nirvana maka tidak ada kata-kata yang dapat digunakan. Saya rasa apa itu nirvana, hanya bisa dapat "dirasakan" (ini hanya metafora loh) oleh yang merealisasikannya. Saya yang masih umat awam tidak bisa  menjelaskannya. Saya rasa diskusi kita memasuki wilayah yang sulit dikatakan dalam bahasa.

Masalahnya justru adalah ketika kita memisahkan antara aspek internal (batin) dan eksternal (alam) secara terpisah, maka kita akan terjebak dalam "paham yang salah." Pandangan seperti ini kemudian terjebak pada keyakinan adanya "objek di luar subjek" dan "subjek yang terpisah dari objek." Menurut Patriarch Chien-chih Seng-ts'an dalam Hsin-hsin Ming (信心銘):

The object is related to the subject. The subject is related to the object  (境由能境 能由境能)

Oleh karena itu, subjek dan objek pada hakikatnya adalah saling mengadakan. Batin dan alam keduanya saling mengadakan. Tidak ada batin, tanpa alam. Tidak ada alam, tanpa batin.

Memang Nirvana tidak bisa dijelaskan DENGAN TEPAT 100% dengan kata kata, tetapi minimal dapat didekati. Jika memang tidak dapat dijelaskan. DARI DULU TIDAK ADA TERMINOLOGI NIBBANA... Bahkan seorang SAMMASAMBUDDHA tidak akan bisa "MENJELASKAN" kepada anda secara memuaskan. Karena seperti kata anda, bahwa harus dirasakan dahulu... Ketika anda sudah "MERASAKAN" NIRVANA, anda kembali kehilangan kata kata untuk menjelaskan... (seperti kata anda).

Nibbana tidak tergambarkan oleh kata-kata. Yang dapat digambarkan dengan kata2 adalah yang BUKAN Nibbana.
Misal,
Alam dan batin bukan Nibbana.
Nibbana bukan tempat.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 16 November 2008, 11:10:53 PM
Quote from: sobat-dharma on 16 November 2008, 11:00:45 PM
Quote from: dilbert on 16 November 2008, 10:40:43 PM

Memang Nirvana tidak bisa dijelaskan DENGAN TEPAT 100% dengan kata kata, tetapi minimal dapat didekati. Jika memang tidak dapat dijelaskan. DARI DULU TIDAK ADA TERMINOLOGI NIBBANA... Bahkan seorang SAMMASAMBUDDHA tidak akan bisa "MENJELASKAN" kepada anda secara memuaskan. Karena seperti kata anda, bahwa harus dirasakan dahulu... Ketika anda sudah "MERASAKAN" NIRVANA, anda kembali kehilangan kata kata untuk menjelaskan... (seperti kata anda).

"Nirvana" bukan istilah yang berasal dari Sang Buddha sendiri, begitu juga kata "samsara". Istilah ini digunakan karena memang kata itu yang dipahami oleh masyarakat ia berada. Nah, jika kemudian alat untuk menjelaskan apa yang "dicapai" oleh Sang Buddha kemudian diartikan sebagai realitas itu sendiri, di sana lah letak masalahnya. Begitu juga ketika seseorang menyebut nama "arahant" dan "bodhisattva", sebenar ia tidak dapat dengan tepat 100% menjelaskan apa sebenarnya yang "dicapai" oleh mereka.

Berkaitan dengan diskusi ini, yang mempermasalahkan posisi arahant dan bodhisattva, maka saya merasa absurd sekali kemudian kita memusingkan apakah "seorang" arahant dapat menjadi bodhisattva atau tidak. Tentu saja, anda akan mengatakan bahwa diskusi seperti ini akan meningkatkan pengetahuan kita. Saya sepakat. Tapi kalau memang belum ada jawaban yang memuaskan, saya rasa kita harus lebih banyak membaca sutra lagi dan membandingkannya. Tapi saya rasa tidak terlalu yakin akan membuahkan hasil, sebab dari pengalaman saya sutra-sutra mahayana sangat beragam dan terdiri dari kelompok yang berbeda. Saya takutnya bukan dapat jawaban pasti, tapi kita hanya akan tersesat di antara samudra kata-kata yang tak menentu. Mungkin juga, anda suatu saat akan mendapatkan jawabannya, tapi setelah itu apakah jawabannya akan membantu anda dalam mempraktikkan Ajaran Buddha? Saya koq ragu.

Pilihan kedua, sebenarnya sederhana. Jalan sudah ada di depan mata. Mengapa tidak kita lalui saja.

kalau saya untuk sementara ini jadi murid buddha dulu... moga2 cepat jadi savaka
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 17 November 2008, 05:21:47 AM
Quote from: dilbert on 16 November 2008, 10:28:00 PM
analogi pendidikan SMA dan perguruan tinggi tidak begitu tepat bro... karena keduanya tidak sama...

Analogi yang tepat mungkin begini... Karena ARAHAT disebut SAVAKA BUDDHA, sammasambuddha juga BUDDHA... maka analogi seorang mahasiswa. Teringat sewaktu kuliah dulu, misalnya : IPK saya ketika mendekati akhir kuliah sekitar 2,9... karena ingin lulus dan mendapat predikat Sangat memuaskan (minimal IPK 3,25) maka saya terpaksa harus mengambil beberapa mata kuliah lagi untuk perbaikan nilai. Walaupun dengan IPK 2,9 saya sudah bisa dianggap tamat kuliah, tetapi karena ingin memperbaiki nilai, terpaksa saya harus menambah waktu kuliah saya minimal 1 semester untuk mengambil beberapa mata kuliah yang akan diperbaiki nilainya... Inilah analogi untuk calon ARAHAT yang beraspirasi untuk menambah "nilai" dan "parami"-nya untuk mencapai hasil yang lebih tinggi (annutara sammasambuddha). Apakah untuk mencapai itu, seorang calon ARAHAT sudah bisa disebut dengan ARAHAT, tentu tidak bisa... sama seperti analogi mahasiswa tersebut. Mahasiswa tersebut secara kualitas, IPK sudah mencapai batas untuk bisa LULUS. TEtapi karena ingin mendapat yang "LEBIH" terpaksa harus menempuh jalur tambahan lagi.

Tetapi misalnya mahasiswa tersebut cukup puas dengan nilai IPK 2,9 dan ingin segera menamatkan kuliah dan mencapai gelar sarjana. Maka diwisuda-lah mahasiswa tersebut dengan gelar Sarjana. Lantas apakah ketika sudah mencapai gelar sarjana, apakah Mahasiswa tersebut masih bisa "KEMBALI"   untuk meningkatkan nilainya. Tentu tidak bisa donk...
Inilah analogi mengapa seorang INDIVIDU yang sudah merealisasi ARAHAT sudah tidak bisa lagi untuk mencapai apa yang disebut dengan annutara sammasambuddha.

Arhat tuh Bodhisattva tingkat enam.... en terus progress maju, tidak ada "kembali-kembalian" dan terus meningkat ke Bodhisattva tingkat ketujuh.... tapi hal tersebut berlaku pada satu jenis Arahat saja.

Sravaka Buddha, Pratyeka Buddha, Samyaksambuddha memang semuanya "Buddha" tetapi tetap berbeda. Sama dengan hal pencapaian. pencapaian Sravaka, Pratyeka, dan Samyaksambuddha menurut Mahayana adalah Nirvana. Tapi tingkatan Nirvana Sravaka dan Pratyeka itu BEDA dengan Nirvana Samyaksambuddha.

Maka dari itu jangan serta merta karena sama-sama Buddha, maka Sravaka Buddha dan Samyaksambuddha dianalogikan sama yaitu "perguruan tinggi". Menurut Mahayana, tidak bisa begitu.

Analogi kalau pencapaian Arhat itu Perguruan Tinggi adalah tidak dapat diterima dari sudut pandang Mahayana maupun beberapa sekte Buddhis awal.

Jenis Arahat lainnya dapat mengalami "kemunduran" sehingga otomatis "kembali". Tapi statusnya tidak ikut-ikut "kembali". Jadi statusnya tetap Arahat, namun belum sempurna, maka untuk mencapai Arhat yang sempurna, ada beberapa hal yang harus diperbaikinya.

Apa yang dimaksud dengan hal ini?

Menurut Mahasanghika, Arahat masih bisa merosot.

Menurut Sarvastivada ada 2 jenis arahat:
1. Arahat yang telah teguh tak tergoyahkan (Akopyadharma)
2. Arahat yang masih bisa terjatuh/ merosot (Sraddhadhimukta).

Saya lebih suka sebutan "Buddha" di sini dianalogikan sebagai mereka yang sudah menyelesaikan wajib belajar 12 tahun. Mereka yang sudah lulus SMA ke atas bisa disebut sebagai "Buddha".

Di mana SMA kelas X adalah pencapaian Srotapanna (misalnya!) terus sampai tamat kelas XII menjadi Arhat.

Tapi Tamat kan nggak berarti Lulus. Maka dari itu:
1. Arahat yang telah teguh tak tergoyahkan (Akopyadharma) adalah mereka yang lulus
2. Arahat yang masih bisa terjatuh/ merosot (Sraddhadhimukta) adalah mereka yang tamat, tapi tidak lulus dan harus menjalani ujian paket C untuk bisa dapet ijazah yang dapat digunakan untuk kuliah dan untuk bisa lulus [menjadi Arhat yang tidak tergoyahkan].

Di sini kita misalkan orang tersebut lulus ujian paket C tahap satu atau misalkan kalau gagal ya ikut ujian paket C tahap kedua terus lulus.

Lalu taruhlah analogi perkuliahan (kita misalkan semua mata kuliah lulus setiap tahunnya):
1. Lolos tahun pertama (semester 1 dan 2) sebagai Bodhisattva tingkat ketujuh.
2. Lolos tahun kedua (semester 3 dan 4) sebagai Bodhisattva tingkat kedelapan.
3. Lolos tahun ketiga (semester 5 dan 6) sebagai Bodhisattva tingkat kesembilan.
4. Lolos tahun keempat (semester 7 dan 8) sebagai Bodhisattva tingkat kesepuluh.

Lulus jadi sarjana dapat diperbandingkan menjadi Samyaksambuddha. Waktu wisuda bisa diperbandingkan dengan waktu "Abhiseka" Bodhisattva tingkat 10 (Dharmamegha).

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 17 November 2008, 10:58:21 AM
Mas Gandalf mau numpang nanya nih... kalau Arahat nggak mau menjadi Buddha gimana jadinya ya? terus nasibnya gimana ya...?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 17 November 2008, 11:19:49 AM
jadi Arahat gentayangan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: El Sol on 17 November 2008, 11:37:56 AM
 [at] gandalf!!

DI MAHAYANA ITU, YG DIMAKSUDKAN NIRVANA SAMMASAMBUDDHA, SAVAKA DAN PRATEKYA BEDA ITU....

BEDA DI PANNA,ABHINNA...

TAPI KALO KESUCIAN ALIAS HILANGNYA LOBHA,DOSA DAN MOHA ITU SAMA...

SO, MY POINT IS, AKAR INKARNASI ADALAH 3 AKAR ITU, KALO ARAHAT DAH CABUT TIGA AKAR ITU..APAKAH MASIH BISA INKARNASI?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 17 November 2008, 12:10:11 PM
Quote from: GandalfTheElder on 16 November 2008, 10:06:24 PM
Bro. chingik....

Thank you bangettt udah bantu saya menjawab pertanyaan rekan-rekan di sini.... hehe....  ;)

Gimana kalau nanti kita bicarain majalah SD bro?? Soalnya yang kali ini akan terbit agak beda... nanti kita diskusi lewat email aja....hehe.... ;D

_/\_
The Siddha Wanderer

Ok bro, belakangan ini udh sedikit pulih ..hehe.. jadi udh bisa lanjutin tugas edit lagi..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 17 November 2008, 01:14:04 PM
Quote from: nyanadhana on 17 November 2008, 11:19:49 AM
jadi Arahat gentayangan.

ah masa? mas Gandalf apa benar begitu? mas chingik apa benar begitu? mas Nyanadhana baca itu dimana?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 17 November 2008, 01:48:16 PM
lho Arahat kan udah di titik no point return dan udah Nibbana yang artinya padam,nihil kok masih bisa melanjutkan perjalanan. dan di Theravada tidak ada namanya ramalan Arahat menjadi Buddha.kalo ada begitu silahkan buka kitab Vajrachedika,apakah omongan Buddha di Mahayana itu ngelantur sana sini.tidak nyambung antara satu sutra dengan sutra lain.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 17 November 2008, 03:05:23 PM
Quote from: truth lover on 17 November 2008, 01:14:04 PM
Quote from: nyanadhana on 17 November 2008, 11:19:49 AM
jadi Arahat gentayangan.

ah masa? mas Gandalf apa benar begitu? mas chingik apa benar begitu? mas Nyanadhana baca itu dimana?
ga, bro nyana cuma becanda
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 17 November 2008, 04:05:14 PM
Quote from: chingik on 17 November 2008, 03:05:23 PM
Quote from: truth lover on 17 November 2008, 01:14:04 PM
Quote from: nyanadhana on 17 November 2008, 11:19:49 AM
jadi Arahat gentayangan.

ah masa? mas Gandalf apa benar begitu? mas chingik apa benar begitu? mas Nyanadhana baca itu dimana?
ga, bro nyana cuma becanda

Ooh gitu, jadi Arahatnya gimana mas Chingik?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 17 November 2008, 04:56:42 PM
Quote from: truth lover on 17 November 2008, 04:05:14 PM
Quote from: chingik on 17 November 2008, 03:05:23 PM
Quote from: truth lover on 17 November 2008, 01:14:04 PM
Quote from: nyanadhana on 17 November 2008, 11:19:49 AM
jadi Arahat gentayangan.




ah masa? mas Gandalf apa benar begitu? mas chingik apa benar begitu? mas Nyanadhana baca itu dimana?
ga, bro nyana cuma becanda

Ooh gitu, jadi Arahatnya gimana mas Chingik?

Ya begitu aja mas truth lover...emang gimana lage.. ;D
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 17 November 2008, 06:31:57 PM
Quote from: chingik on 16 November 2008, 09:41:43 PM
Quote
Telah terbebas, tidak melekat, bebas dan leluasa... ARAHAT MASIH INGIN MENCAPAI ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA ??
Apakah tidak kontradiktif ??
Sudah dijelaskan bahwa ini harus dilihat dari tingkat dan perpektif yang mana dulu. Kalimat Telah terbebas, tidak melekat, bebas dan leluasa..., --> inikan dari perspektif Jalan Arahat.
Sedangkan ARAHAT MASIH INGIN MENCAPAI ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA ?? -->Itukan dilihat dari perpektif jalur bodhisatva.

Bukankah saya sudah menganalogikan tentang penempuhan pendidikan. Seorang siswa SMA telah menamatkan pendidikannya. Apakah disebut Tamat? Iya jika dilihat dari perspektif tingkatan pendidikannya, yakni SMA. Namun dilihat dari perspektif Perguruan tinggi, dia belumlah tamat.  Begitu juga Arahat, dia sudah terbebas, tidak melekat, itu dilihat dari perspektif jalan kearahatan. Namun dilihat dari perspektif jalur bodhisatva, dia masih ada kemelekatan.
Itulah maksud dalam pandangan Mahayana. Jadi kontradiktif bagaimana?


Apakah quote tentang ARAHAT dilihat dari perspektif bodhisatva (Mahayana versi sdr.Chingik) masih ada kemelekatan, SUDAH FINAL ??
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 17 November 2008, 06:34:17 PM
Quote from: GandalfTheElder on 17 November 2008, 05:21:47 AM
Quote from: dilbert on 16 November 2008, 10:28:00 PM
analogi pendidikan SMA dan perguruan tinggi tidak begitu tepat bro... karena keduanya tidak sama...

Analogi yang tepat mungkin begini... Karena ARAHAT disebut SAVAKA BUDDHA, sammasambuddha juga BUDDHA... maka analogi seorang mahasiswa. Teringat sewaktu kuliah dulu, misalnya : IPK saya ketika mendekati akhir kuliah sekitar 2,9... karena ingin lulus dan mendapat predikat Sangat memuaskan (minimal IPK 3,25) maka saya terpaksa harus mengambil beberapa mata kuliah lagi untuk perbaikan nilai. Walaupun dengan IPK 2,9 saya sudah bisa dianggap tamat kuliah, tetapi karena ingin memperbaiki nilai, terpaksa saya harus menambah waktu kuliah saya minimal 1 semester untuk mengambil beberapa mata kuliah yang akan diperbaiki nilainya... Inilah analogi untuk calon ARAHAT yang beraspirasi untuk menambah "nilai" dan "parami"-nya untuk mencapai hasil yang lebih tinggi (annutara sammasambuddha). Apakah untuk mencapai itu, seorang calon ARAHAT sudah bisa disebut dengan ARAHAT, tentu tidak bisa... sama seperti analogi mahasiswa tersebut. Mahasiswa tersebut secara kualitas, IPK sudah mencapai batas untuk bisa LULUS. TEtapi karena ingin mendapat yang "LEBIH" terpaksa harus menempuh jalur tambahan lagi.

Tetapi misalnya mahasiswa tersebut cukup puas dengan nilai IPK 2,9 dan ingin segera menamatkan kuliah dan mencapai gelar sarjana. Maka diwisuda-lah mahasiswa tersebut dengan gelar Sarjana. Lantas apakah ketika sudah mencapai gelar sarjana, apakah Mahasiswa tersebut masih bisa "KEMBALI"   untuk meningkatkan nilainya. Tentu tidak bisa donk...
Inilah analogi mengapa seorang INDIVIDU yang sudah merealisasi ARAHAT sudah tidak bisa lagi untuk mencapai apa yang disebut dengan annutara sammasambuddha.

Arhat tuh Bodhisattva tingkat enam.... en terus progress maju, tidak ada "kembali-kembalian" dan terus meningkat ke Bodhisattva tingkat ketujuh.... tapi hal tersebut berlaku pada satu jenis Arahat saja.

Sravaka Buddha, Pratyeka Buddha, Samyaksambuddha memang semuanya "Buddha" tetapi tetap berbeda. Sama dengan hal pencapaian. pencapaian Sravaka, Pratyeka, dan Samyaksambuddha menurut Mahayana adalah Nirvana. Tapi tingkatan Nirvana Sravaka dan Pratyeka itu BEDA dengan Nirvana Samyaksambuddha.

Maka dari itu jangan serta merta karena sama-sama Buddha, maka Sravaka Buddha dan Samyaksambuddha dianalogikan sama yaitu "perguruan tinggi". Menurut Mahayana, tidak bisa begitu.

Analogi kalau pencapaian Arhat itu Perguruan Tinggi adalah tidak dapat diterima dari sudut pandang Mahayana maupun beberapa sekte Buddhis awal.

Jenis Arahat lainnya dapat mengalami "kemunduran" sehingga otomatis "kembali". Tapi statusnya tidak ikut-ikut "kembali". Jadi statusnya tetap Arahat, namun belum sempurna, maka untuk mencapai Arhat yang sempurna, ada beberapa hal yang harus diperbaikinya.

Apa yang dimaksud dengan hal ini?

Menurut Mahasanghika, Arahat masih bisa merosot.

Menurut Sarvastivada ada 2 jenis arahat:
1. Arahat yang telah teguh tak tergoyahkan (Akopyadharma)
2. Arahat yang masih bisa terjatuh/ merosot (Sraddhadhimukta).

Saya lebih suka sebutan "Buddha" di sini dianalogikan sebagai mereka yang sudah menyelesaikan wajib belajar 12 tahun. Mereka yang sudah lulus SMA ke atas bisa disebut sebagai "Buddha".

Di mana SMA kelas X adalah pencapaian Srotapanna (misalnya!) terus sampai tamat kelas XII menjadi Arhat.

Tapi Tamat kan nggak berarti Lulus. Maka dari itu:
1. Arahat yang telah teguh tak tergoyahkan (Akopyadharma) adalah mereka yang lulus
2. Arahat yang masih bisa terjatuh/ merosot (Sraddhadhimukta) adalah mereka yang tamat, tapi tidak lulus dan harus menjalani ujian paket C untuk bisa dapet ijazah yang dapat digunakan untuk kuliah dan untuk bisa lulus [menjadi Arhat yang tidak tergoyahkan].

Di sini kita misalkan orang tersebut lulus ujian paket C tahap satu atau misalkan kalau gagal ya ikut ujian paket C tahap kedua terus lulus.

Lalu taruhlah analogi perkuliahan (kita misalkan semua mata kuliah lulus setiap tahunnya):
1. Lolos tahun pertama (semester 1 dan 2) sebagai Bodhisattva tingkat ketujuh.
2. Lolos tahun kedua (semester 3 dan 4) sebagai Bodhisattva tingkat kedelapan.
3. Lolos tahun ketiga (semester 5 dan 6) sebagai Bodhisattva tingkat kesembilan.
4. Lolos tahun keempat (semester 7 dan 8) sebagai Bodhisattva tingkat kesepuluh.

Lulus jadi sarjana dapat diperbandingkan menjadi Samyaksambuddha. Waktu wisuda bisa diperbandingkan dengan waktu "Abhiseka" Bodhisattva tingkat 10 (Dharmamegha).

_/\_
The Siddha Wanderer

saya baru tahu bahwa ada ARAHAT yang masih bisa MEROSOT...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 17 November 2008, 07:44:00 PM
Quote from: dilbert on 17 November 2008, 06:34:17 PM

saya baru tahu bahwa ada ARAHAT yang masih bisa MEROSOT...

Menurut Bro Gandalf itu menurut Mahasangika, kalau pakai pandangan Theravada masa kini mungkin tidak.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: hendrako on 17 November 2008, 08:35:10 PM
Hmmm.... saya masih baru dalam Buddhism, dan yang saya pelajari adalah mazhab Theravada, jadi pengetahuan saya tentang Mahayana sangat kecil dan saya merasa sedikit terbantu dengan thread ini.

Quote from: GandalfTheElder on 17 November 2008, 05:21:47 AM

Menurut Mahasanghika, Arahat masih bisa merosot.

Menurut Sarvastivada ada 2 jenis arahat:
1. Arahat yang telah teguh tak tergoyahkan (Akopyadharma)
2. Arahat yang masih bisa terjatuh/ merosot (Sraddhadhimukta).

_/\_
The Siddha Wanderer

Di dalam Theravada, Ariya Puggala (orang suci) ada 4 jenis atau tingkatan;
1. Sotapanna (maksimal bertumimambal lahir 7 kali setelah itu mencapai Nibbana)
2. Sakadagami (yang kembali sekali lagi)
3. Anagami (yang tidak kembali lagi)
4. Arahat (orang suci yang telah terbebas dan tidak terlahir kembali di alam samsara)

Yang jadi pertanyaan saya adalah, apakah jenis Ariya diatas juga terdapat di dalam mazhab Mahayana?
Mungkinkah yang dimaksud sebagai Arahat yang masih bisa terjatuh/ merosot (Sraddhadhimukta) sebenarnya adalah Sakadagami, yang kembali sekali lagi? Namun bukan dalam artian merosot melainkan belum bebas sempurna? Karena kelihatannya kemungkinannya kecil apabila seorang suci yang telah terbebas sempurna bisa merosot. Sebagaimana kalimat yang kurang lebih seperti ini: "Tunai sudah kehidupan suci, tidak ada kelahiran baru, inilah kelahiran yang terakhir." Yang kalau tidak salah tidak hanya diucapkan oleh Sammasambuddha tetapi juga para siswa Ariya.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 17 November 2008, 10:23:17 PM
Quote from: chingik on 17 November 2008, 04:56:42 PM
Quote from: truth lover on 17 November 2008, 04:05:14 PM
Quote from: chingik on 17 November 2008, 03:05:23 PM
Quote from: truth lover on 17 November 2008, 01:14:04 PM
Quote from: nyanadhana on 17 November 2008, 11:19:49 AM
jadi Arahat gentayangan.

ah masa? mas Gandalf apa benar begitu? mas chingik apa benar begitu? mas Nyanadhana baca itu dimana?
ga, bro nyana cuma becanda

Ooh gitu, jadi Arahatnya gimana mas Chingik?

Ya begitu aja mas truth lover...emang gimana lage.. ;D

Ah mas Chingik pelit nih nggak mau berbagi pengetahuan, kalau gitu nanya mas Gandalf aja deh. Gimana mas Gandalf? Apabila Arahat tidak mau menjadi Buddha apa jadinya dia?

terima kasih atas penjelasannya.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Nilakantha on 17 November 2008, 10:39:07 PM
Sebelumnya Mohon maaf teman-teman  _/\_

Saya rasa  Dhamma itu bukanlah suatu hal yang pantas untuk diuji  , namun hendaknya Dhamma itu lebih baik dipraktekkan .

Menambah perbuatan kebaikan , jaga ucapan , hati , pikiran , dan perbuatan => segala hal yang dapat menambah karma baik kita.
Kurangi segala perbuatan jahat ( yang merugikan makhluk lain ataupun diri sendiri )

Terima kasih

Best Regards  :>-

Semoga Semua Makhluk Berbahagia  :lotus:

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: hendrako on 17 November 2008, 11:29:13 PM
Menurut saya, sejauh ini, diskusi pada thread ini berjalan dengan sangat baik, tanpa ada emosi yang tidak perlu. Kedua belah pihak saling berbagi apa yang dipelajari.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 18 November 2008, 08:17:42 AM
Quote from: Nilakantha on 17 November 2008, 10:39:07 PM
Sebelumnya Mohon maaf teman-teman  _/\_

Saya rasa  Dhamma itu bukanlah suatu hal yang pantas untuk diuji  , namun hendaknya Dhamma itu lebih baik dipraktekkan .

Menambah perbuatan kebaikan , jaga ucapan , hati , pikiran , dan perbuatan => segala hal yang dapat menambah karma baik kita.
Kurangi segala perbuatan jahat ( yang merugikan makhluk lain ataupun diri sendiri )

Terima kasih

Best Regards  :>-

Semoga Semua Makhluk Berbahagia  :lotus:



iya dan kita tidak akan perlu forum ini untuk diskusi lagi karena lebih baik diam dan praktekan,bukankah begitu?lalu apa yang namanya malu bertanya sesat di jalan itu tidak pernah ada?mohon re-think.


Yang jadi pertanyaan saya adalah, apakah jenis Ariya diatas juga terdapat di dalam mazhab Mahayana?
Mungkinkah yang dimaksud sebagai Arahat yang masih bisa terjatuh/ merosot (Sraddhadhimukta) sebenarnya adalah Sakadagami, yang kembali sekali lagi? Namun bukan dalam artian merosot melainkan belum bebas sempurna? Karena kelihatannya kemungkinannya kecil apabila seorang suci yang telah terbebas sempurna bisa merosot. Sebagaimana kalimat yang kurang lebih seperti ini: "Tunai sudah kehidupan suci, tidak ada kelahiran baru, inilah kelahiran yang terakhir." Yang kalau tidak salah tidak hanya diucapkan oleh Sammasambuddha tetapi juga para siswa Ariya.


yang dikatakan adalah Arahat yang merosot kenapa berganti ke Sakkadagami yang tentunya belum Arahat.back to topic...Apakah tahapan ke empat yang diajarkan Buddha yaitu Arahat Magga Phala masih bisa merosot yang sudah memasuki Nibbana namun masih bisa keluar dari Nibbana dan jalan2 dulu di muka bumi?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 18 November 2008, 12:32:24 PM
Quote from: Nilakantha on 17 November 2008, 10:39:07 PM
Sebelumnya Mohon maaf teman-teman  _/\_

Saya rasa  Dhamma itu bukanlah suatu hal yang pantas untuk diuji  , namun hendaknya Dhamma itu lebih baik dipraktekkan .

Menambah perbuatan kebaikan , jaga ucapan , hati , pikiran , dan perbuatan => segala hal yang dapat menambah karma baik kita.
Kurangi segala perbuatan jahat ( yang merugikan makhluk lain ataupun diri sendiri )

Terima kasih

Best Regards  :>-

Semoga Semua Makhluk Berbahagia  :lotus:



justru karena praktek DHARMA (mempelajari DHARMA) versi saya (theravada) maka timbul perbedaan pandangan dengan saudara kita yang mempelajari versi Mahayana.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Nilakantha on 18 November 2008, 07:50:23 PM
 [at]  Nyanadhana & Dilbert  _/\_

Maaf , saya yang OOT.  :hammer:
Namun, menurut saya secara sederhananya ajaran Buddha : menghindari menyakiti makhluk lain dan menolong mereka sebisa mungkin serta mengendalikan batin kita pribadi.

Teman-teman silahkan dilanjutkan lagi diskusinya ...

Terima kasih
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 18 November 2008, 09:14:34 PM
Quote from: Nilakantha on 18 November 2008, 07:50:23 PM
[at]  Nyanadhana & Dilbert  _/\_

Maaf , saya yang OOT.  :hammer:
Namun, menurut saya secara sederhananya ajaran Buddha : menghindari menyakiti makhluk lain dan menolong mereka sebisa mungkin serta mengendalikan batin kita pribadi.

Teman-teman silahkan dilanjutkan lagi diskusinya ...

Terima kasih


maksudnya opo dengan quote saudara ??

Maaf, bukan bermaksud "menghakimi" tetapi quote di atas OUT OF TOPIC dan merupakan pernyataan RETORIKA yang tidak menyinggung pokok pembicaraan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Nilakantha on 18 November 2008, 09:42:21 PM
Maksudne 

:backtotopic:

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 19 November 2008, 04:04:20 PM
Mengenai apakah Arahat merosot atau tidak sudah diperdebatkan sejak dulu. Tapi kita tarik intinya aja deh. Mahayana percaya Arahat yang bisa merosot tapi ada juga yang tidak akan merosot. Jadi Arahat itu ada bebarapa jenis. Oya. justru pandangan ini diadopsi Mahayana dari Abhidharma kosa. Bukan murni pandangan Mahayana.
Namun, bagaimanapun, Arahat yang bisa merosot tentu tidak direkomendasikan utk mengikuti jalannya. Tentu kita tetap lebih prefer ke Arahat yang tidak akan merosot. So, saya rasa tidak masalah, walaupun ada anggapan Arahat merosot, tapi kan tidak merekomendasikan utk mengikuti jalan Arahat yang seperti itu. Dan MAhayana pun tetap menghargai Arahat yg tidak merosot, ini bisa dilihat dari postingan bro Gandalf.   _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 19 November 2008, 07:29:15 PM
Quote from: truth lover on 17 November 2008, 10:58:21 AM
Mas Gandalf mau numpang nanya nih... kalau Arahat nggak mau menjadi Buddha gimana jadinya ya? terus nasibnya gimana ya...?

Menurut Mahayana, ya nggak ada Arahat yang nggak pengen jadi Samyaksambuddha...

Kalau sudah menjadi Arahat ya terus progress jadi Bodhisattva tingkat tujuh terusss sampai jadi Samyaksambuddha.

Sama seperti seorang Anagamin ujung-ujungnya ya jadi Arahat dan dia pasti mau jadi Arahat...

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 20 November 2008, 12:43:15 AM
Quote from: GandalfTheElder on 19 November 2008, 07:29:15 PM
Quote from: truth lover on 17 November 2008, 10:58:21 AM
Mas Gandalf mau numpang nanya nih... kalau Arahat nggak mau menjadi Buddha gimana jadinya ya? terus nasibnya gimana ya...?

Menurut Mahayana, ya nggak ada Arahat yang nggak pengen jadi Samyaksambuddha...

Kalau sudah menjadi Arahat ya terus progress jadi Bodhisattva tingkat tujuh terusss sampai jadi Samyaksambuddha.

Sama seperti seorang Anagamin ujung-ujungnya ya jadi Arahat dan dia pasti mau jadi Arahat...

_/\_
The Siddha Wanderer

Mas Gandalf terima kasih atas jawabannya, saya bersukur mas Gandalf sudah sempat lagi membagi pengetahuan dhamma. Mas Gandalf beberapa hari ini berhalangan ya? Mas Gandalf mengatakan semua Arahat ingin menjadi buddha, boleh tahu mas Gandalf kutip darimana ?

Yang saya tahu seorang Anagamin tak akan mencapai Arahat apabila ia ingin mencapai tingkat Arahat. hanya setelah melepas semua harapan atau keinginan maka ia mencapai tingkat kesucian Arahat.

Bila telah melepas semua keinginan, kok mau menjadi Buddha? bukankah berarti belum terlepas dari semua keinginan? bolehkah mas Gandalf beritahu apa motif seorang Arahat untuk menjadi Buddha ?

Terima kasih atas sharingnya.    _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 20 November 2008, 05:35:04 AM
Quote from: truth lover on 20 November 2008, 12:43:15 AM

Mas Gandalf terima kasih atas jawabannya, saya bersukur mas Gandalf sudah sempat lagi membagi pengetahuan dhamma. Mas Gandalf beberapa hari ini berhalangan ya? Mas Gandalf mengatakan semua Arahat ingin menjadi buddha, boleh tahu mas Gandalf kutip darimana ?

Yang saya tahu seorang Anagamin tak akan mencapai Arahat apabila ia ingin mencapai tingkat Arahat. hanya setelah melepas semua harapan atau keinginan maka ia mencapai tingkat kesucian Arahat.

Bila telah melepas semua keinginan, kok mau menjadi Buddha? bukankah berarti belum terlepas dari semua keinginan? bolehkah mas Gandalf beritahu apa motif seorang Arahat untuk menjadi Buddha ?

Terima kasih atas sharingnya.    _/\_

Tentu keinginan / kemauan di sini bukan "Tanha" (keinginan yang disertai kemelekatan) tetapi "Chanda" (keinginan luhur).

Saya kutip Saddharmapundarika Sutra:

Pada waktu itu Ananda dan Rahula membayangkan demikian : "Kami telah berpikir dalam diri kami sendiri, seandainya hari depan kami dijelaskan, betapa akan gembiranya hati kami !" Kemudian mereka bangkit dari tempat duduknya dan berjalan kearah Sang Buddha, kemudian bersujud pada kakinya dan bersama-sama berkata kepada Sang Buddha:" Yang Maha Agung ! biarlah kami didalam hal ini juga mempunyai sebuah kedudukan. Kami hanya percaya kepada Sang Tathagata. Kami diperkenalkan serta dikenal oleh semua dunia termasuk para dewanya, manusia-manusianya, dan asuranya. Ananda selalu sebagai pembantu yang melindungi dan memelihara Hukum Kesunyataan ini, dan Rahula adalah putra Sang Buddha. Seandainya Sang Buddha menganggap layak untuk menetapkan kami mencapai Penerangan Agung, maka keinginan-keinginan kami akan terkabul dan harapan orang-orang akan terpenuhi."

Kemudian kedua ribu Sravaka yang masih dibawah asuhan maupun yang sudah tidak dibawah asuhan, semua bangkit dari tempat duduknya serta menutup bahu kanannya kemudian berjalan kearah Sang Buddha sambil mengatupkan tangannya dan memandang kearah Sang Buddha, mengucapkan keinginannya seperti yang diucapkan oleh Ananda dan Rahula dalam barisan. Kemudian Sang Buddha bersabda kepada Ananda: "Didalam dunia yang akan datang, engkau akan menjadi seorang Buddha dengan gelar Sagara Varadara Buddhi Virridhi Tabigna, Tathagata, Maha Terhormat, Maha Bijaksana, Pemimpin Yang Telah Mencapai Penerangan Agung, Yang Telah Bebas dari Ikatan-ikatan, Maha Tahu Dunia, Maha Pengatur, Pemimpin yang tak ada bandingannya, Guru dari para Dewa dan Manusia, Sang Buddha, Yang Dihormati Dunia.

Dan:

Kemudian Sang Buddha menyapa Sang Gautami, "Mengapa engkau memandang Sang Tathagata dengan wajah yang muram ? Bukankah engkau sedang berpikir bahwa Aku belum menyebutkan namamu dan rnenetapkanmu untuk mencapai Penerangan Agung ? Wahai Gautami ! Aku telah mengatakan keseluruhannya bahwa masa depan dan para sravaka akan ditetapkan. Sekarang engkau yang ingin mengetahui nasibmu yang akan datang, masa engkau di dunia yang mendatang nanti akan menjadi seorang guru besar Hukum Kesunyataan didalam peraturan-peraturan dari 68 ribu koti para Buddha, dan keenam ribu para bhiksuni yang masih terasuh dan yang tidak ini, seluruhnya akan menjadi guru-guru Hukum Kesunyataan. Sehingga akhirnya engkau akan menjadi sempurna didalam jalan kebodhisatvaan dan menjadi seorang Buddha dengan gelar Tathagata Sarvasattvapriyadharsana, Yang Maha Mulia, Bijaksana, Yang Telah Mencapai Penerangan Agung, Yang Telah Mencapai Kebebasan Sernpurna, Maha Tahu Tentang Dunia, Pemimpin Yang Tiada Tara, Maha Pengatur, Guru Dari Para Dewa dan manusia, Sang Buddha, Yang Maha Agung.  

Bisa dilihat dalam sutra di atas bahwa para Arhat berkeinginan untuk mencapai tingkat Samyaksambodhi.

Yap. Saya bbrp hari ini cukup sibuk.... tapi saya coba luangkan waktu.....

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 20 November 2008, 07:53:36 AM
Quote from: dilbert on 18 November 2008, 09:14:34 PM
Quote from: Nilakantha on 18 November 2008, 07:50:23 PM
[at]  Nyanadhana & Dilbert  _/\_

Maaf , saya yang OOT.  :hammer:
Namun, menurut saya secara sederhananya ajaran Buddha : menghindari menyakiti makhluk lain dan menolong mereka sebisa mungkin serta mengendalikan batin kita pribadi.

Teman-teman silahkan dilanjutkan lagi diskusinya ...

Terima kasih


sama ,maksudne opo juga,kan lagi berdiskusi soal Arahat yang udah total habis masuk Nibbana atau Arahat masih harus menuju gelar Sammasambuddha.kok quotenya menghindari menyakiti makhluk lain...agak kurang sambung nih....kalo quote seperti itu maka forum ini hanya akan diam tidak perlu banyak bertanya karena kalo mau bertanya yang mengundang keingintahuan mendapat jawaban seperti itu maka udah malas bertanya donk....

To gandalf:
Oke,saya akhirnya mengerti prinsip seorang Arahanta di mata Bodhisatva yana.karena Arahat dalam 10 tingkat Bodhisatva masih berada di tingkat 7,ia perlu menyelesaikan 3 tahap lagi untuk menuju Samyaksambodhi namun aku masih sedikit bingung,jadi Nibbana yang dirasakan oleh Arahat itu apakah belum total? Buddha ketika masih hidup merasakan Nibbana yang hidup dan ketika Parinibbana menuju Nibbana total.jadi apakah Arahat belum total Nibbananya sehingga citta nya masih bisa kembali lagi?

maksudnya opo dengan quote saudara ??

Maaf, bukan bermaksud "menghakimi" tetapi quote di atas OUT OF TOPIC dan merupakan pernyataan RETORIKA yang tidak menyinggung pokok pembicaraan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 22 November 2008, 09:16:00 PM
Quote from: nyanadhana on 20 November 2008, 07:53:36 AM
To gandalf:
Oke,saya akhirnya mengerti prinsip seorang Arahanta di mata Bodhisatva yana.karena Arahat dalam 10 tingkat Bodhisatva masih berada di tingkat 7,ia perlu menyelesaikan 3 tahap lagi untuk menuju Samyaksambodhi namun aku masih sedikit bingung,jadi Nibbana yang dirasakan oleh Arahat itu apakah belum total? Buddha ketika masih hidup merasakan Nibbana yang hidup dan ketika Parinibbana menuju Nibbana total.jadi apakah Arahat belum total Nibbananya sehingga citta nya masih bisa kembali lagi?

Di dalam Mahayana dikenal 3 macam Nirvana:

1. Sopadhisesa Nirvana
2. Nirupadhisesa Nirvana
Kedua Nirvana di atas adalah Nirvana yang dicapai oleh para Arhat dan Pratyeka Buddha.

Tipe Nirvana ketiga adalah Apratisthita Nirvana (Non Abiding Nirvana), yaitu Nirvana yang dicapai oleh Samyaksambuddha.

Para Arhat dan Pratyekabuddha masih terikat dengan pencapaian Nirvana, oleh karena itu pencapaian mereka adalah Nirvana satu sisi, yaitu Nirvana dengan dualisme, yang dibagi menjadi Sopadhisesa Nirvana dan Nirupadhisesa Nirvana. Mereka masih memisahkan antara Samsara dengan Nirvana.

Ada para Bodhisattva yang telah mencapai Samyaksambodhi, terlepas dari konsepsi dualisme antara Nirvana dan Samsara. Para Bodhisattva tersebut tidak terikat oleh pencapaian Nirvana mereka, oleh karena itu Nirvana mereka disebut sebagai "Non Abiding" – "Tidak terikat" (Apratisthita Nirvana).

Nirvana para Bodhisattva yang tidak lagi "berada" dalam Samsara ataupun Nirvana disebut sebagai Apratisthita Nirvana, sebuah pencapaian Nirvana yang harus dicapai oleh para Arhat dan Pratyekabuddha.

Nirvana dan Samsara benar-benar bagaikan satu koin dengan dua sisi yang berbeda.

Acarya Vasubandhu dalam Mahayanasutralamkara juga berkata:
"Karena Ia memiliki welas asih, seorang Bodhisattva tidak menjadi terganggu oleh samsara atau tidak merasa bosan terhadap samsara, maka dari itu, Ia tidak 'berdiam' di Nirvana; Lagi, karena ia memiliki kebijaksanaan tertinggi, ia tidak terbelenggu oleh kesalahan samsara, maka dari itu, Ia tidak 'berdiam' di Samsara."

Dalam Trimsika karya Vasubandhu, disebutkan ada 2 tubuh:
1. Vimuktikaya dicapai oleh para Arhat yang telah melenyapkan klesa-avarana
2. Dharmakaya dicapai oleh para Bodhisattva yang telah melenyapkan jneya-avarana

Dalam Trisaranasaptati karya Chandrakirti disebutkan:
"Setelah mencapai dua aspek pencerahan, mereka [para Arhat Hinayana] yang pikirannya masih takut akan keberadaan, menikmati hidup mereka dengan berpikir bahwa mereka telah mencapai Nirvana. [Tetapi] mereka sebenarnya tidak secara nyata mencapai Nirvana. Meskipun kelahiran kembali di tiga alam samsara tidak eksis bagi mereka, walaupun demikian mereka berada dalma alam yang tidak dapat dipengaruhi (anasravadhatu). Kemudian, mereka akan dibangunkan oleh para Buddha dengan tujuan untuk melenyapkan ketidaktahuan yang kotor (akilishta nana). Mengumpulkan semua faktor pencerahan, mereka akan menjadi Guru Dunia (Samyaksambuddha)."

Demikian juga Abhisamayalankara disebutkan:

"Murid yang agung (Sravaka), setelah mencapai 2 jenis Penerangan dengan atau tanpa sisa, batinnya ketakutan, karena mereka tidak memiliki kasih saying agung dan kebijaksanaan tertinggi (uru karuna prajna vaikelyana). Karena berhentinya kekuatan kehidupan, yang dihasilkan oleh kekuatan hayati pada masa lalu, terbuka kemungkinan mencapai Nirvana. Tetapi pada kenyataannya (Arhat Hinayana) hanya mencapai seperti Nirvana yang disebut Nirvana yang mirip padamnya cahaya (pradipanirvanaprtakhya nirvana). Kelahiran di Tiga Alam Samsara (traidhatuka) telah berakhir, tetapi setelah kematiannya, para Arhat terlahir di alam Buddhis yang santa suci, di alam yang tak dapat dipengaruhi (anasravadhatu), dalam keadaan terus menerus bermeditasi dan berada di dalam kelopak bunga teratai (padmaphutesu jayante). Selanjutnya Buddha Amitabha dan Buddha yang lain seperti matahari membangun mereka (dari samadhi) untuk melenyapkan ketidaktahuan kotor (akilishta nana). Setelah itu para Arhat berusaha mencapai Penerangan Sempurna (Samyaksambodhi), dan walaupun mereka dalam keadaan bebas, mereka bertindak (dalam perwujudan dunia) bagaikan turun ke neraka. Akhirnya setelah menghimpun semua faktor untuk mencapai penerangan, mereka menjadi Guru semua makhluk (Buddha)."

Para Arhat berada dalam Anasravadhatu dengan "Tubuh pikiran" mereka yaitu Nimitta atau Sambhogakaya. Anasravadhatu ini bersifat inti (suksma), tidak terpikirkan (acintya), sejajar (sama), tidak terpisah (nirvisesa), mencapai semuanya (sarvarthasiddhi), pelenyapan semua penderitaan dan klesha, tanpa dualisme (dalam hal ini dualisme dalam Samsara, bukan dualisme Nirvana – Samsara), tidak dapat dijelaskan (anabhilapya).

Para Arhat telah melenyapkan avidya yang berkiatan dengan klesha (kilesa), tetapi belum melenyapkan avidya yang berkaitan dengan jnana.

Para Arhat setelah dibangunkan oleh para Buddha, dapat terlahir kembali di tiga alam samsara sekehendak mereka untuk melanjutkan karirnya sebagai Bodhisattva.

Menurut Lankavatara Sutra, Arhat dan Pratyekabuddha setara dengan Bodhisattva bhumi ke-enam. Menurut Pancavimsatisahasrika Sutra adalah setara dengan bhumi ketujuh.

Di tingkat bhumi keenam ini, Bodhisattva kemudian memiliki kemampuan samcintya-bhavopapatti, yaitu dapat dengan sekehendak mereka terlahir di alam samsara, dan dapat memilih kelahirannya, dngan tujuan untuk kebahagiaan semua makhluk. Dalam Abhisamayalamkara, dikatakan Bodhisattva tingkat tujuh mewujudkan dirinya di tiga alam samsara.

Maka dari itu Arhat dan Pratyekabuddha yang setara dengan Bodhisattva tingkat enam/tujuh, mengambil kelahiran kembali di alam samsara secara sukarela, tanpa dikotori oleh klesha lagi dan tidak terkotori lagi oleh lobha, dvesa, dan moha. Maka dari itu, kelahiran kembali para Arhat sangat berbeda dengan kelahiran kembali para makhluk samsara yang masih belum mencapai tingkat kesucian. Para Arhat tidak lagi dikotori oleh klesha, namun mereka dapat bertumimbal lahir lagi secara sukarela karena mereka memiliki kemampuan samcintya-bhavopapatti. Mereka melakukannya disebabkan oleh pemahaman mereka akan Shunyata dan welas asihnya pada semua makhluk, sampai akhirnya mereka mencapai Anuttara Samyaksambodhi.

Acarya Sthiramati berkata:
"Seorang Bodhisattva terlahir kembali, sepenuhnya sadar di manapun tempat yang ia pilih untuk terlahir kembali. Karena ia tidak terkotori oleh klesha, karena sebenarnya Ia telah memegang pandangan pratityasamutpada untuk waktu yang lama, maka ada 'perlindungan terhadap klesha' (samklesasyanuraksana)."

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 22 November 2008, 09:45:11 PM
Quote from: GandalfTheElder on 22 November 2008, 09:16:00 PM
Quote from: nyanadhana on 20 November 2008, 07:53:36 AM
To gandalf:
Oke,saya akhirnya mengerti prinsip seorang Arahanta di mata Bodhisatva yana.karena Arahat dalam 10 tingkat Bodhisatva masih berada di tingkat 7,ia perlu menyelesaikan 3 tahap lagi untuk menuju Samyaksambodhi namun aku masih sedikit bingung,jadi Nibbana yang dirasakan oleh Arahat itu apakah belum total? Buddha ketika masih hidup merasakan Nibbana yang hidup dan ketika Parinibbana menuju Nibbana total.jadi apakah Arahat belum total Nibbananya sehingga citta nya masih bisa kembali lagi?

Di dalam Mahayana dikenal 3 macam Nirvana:

1. Sopadhisesa Nirvana
2. Nirupadhisesa Nirvana
Kedua Nirvana di atas adalah Nirvana yang dicapai oleh para Arhat dan Pratyeka Buddha.

Tipe Nirvana ketiga adalah Apratisthita Nirvana (Non Abiding Nirvana), yaitu Nirvana yang dicapai oleh Samyaksambuddha.

Para Arhat dan Pratyekabuddha masih terikat dengan pencapaian Nirvana, oleh karena itu pencapaian mereka adalah Nirvana satu sisi, yaitu Nirvana dengan dualisme, yang dibagi menjadi Sopadhisesa Nirvana dan Nirupadhisesa Nirvana. Mereka masih memisahkan antara Samsara dengan Nirvana.

Ada para Bodhisattva yang telah mencapai Samyaksambodhi, terlepas dari konsepsi dualisme antara Nirvana dan Samsara. Para Bodhisattva tersebut tidak terikat oleh pencapaian Nirvana mereka, oleh karena itu Nirvana mereka disebut sebagai "Non Abiding" – "Tidak terikat" (Apratisthita Nirvana).

Nirvana para Bodhisattva yang tidak lagi "berada" dalam Samsara ataupun Nirvana disebut sebagai Apratisthita Nirvana, sebuah pencapaian Nirvana yang harus dicapai oleh para Arhat dan Pratyekabuddha.

Nirvana dan Samsara benar-benar bagaikan satu koin dengan dua sisi yang berbeda.

Acarya Vasubandhu dalam Mahayanasutralamkara juga berkata:
"Karena Ia memiliki welas asih, seorang Bodhisattva tidak menjadi terganggu oleh samsara atau tidak merasa bosan terhadap samsara, maka dari itu, Ia tidak 'berdiam' di Nirvana; Lagi, karena ia memiliki kebijaksanaan tertinggi, ia tidak terbelenggu oleh kesalahan samsara, maka dari itu, Ia tidak 'berdiam' di Samsara."

Dalam Trimsika karya Vasubandhu, disebutkan ada 2 tubuh:
1. Vimuktikaya dicapai oleh para Arhat yang telah melenyapkan klesa-avarana
2. Dharmakaya dicapai oleh para Bodhisattva yang telah melenyapkan jneya-avarana

Dalam Trisaranasaptati karya Chandrakirti disebutkan:
"Setelah mencapai dua aspek pencerahan, mereka [para Arhat Hinayana] yang pikirannya masih takut akan keberadaan, menikmati hidup mereka dengan berpikir bahwa mereka telah mencapai Nirvana. [Tetapi] mereka sebenarnya tidak secara nyata mencapai Nirvana. Meskipun kelahiran kembali di tiga alam samsara tidak eksis bagi mereka, walaupun demikian mereka berada dalma alam yang tidak dapat dipengaruhi (anasravadhatu). Kemudian, mereka akan dibangunkan oleh para Buddha dengan tujuan untuk melenyapkan ketidaktahuan yang kotor (akilishta nana). Mengumpulkan semua faktor pencerahan, mereka akan menjadi Guru Dunia (Samyaksambuddha)."

Demikian juga Abhisamayalankara disebutkan:

"Murid yang agung (Sravaka), setelah mencapai 2 jenis Penerangan dengan atau tanpa sisa, batinnya ketakutan, karena mereka tidak memiliki kasih saying agung dan kebijaksanaan tertinggi (uru karuna prajna vaikelyana). Karena berhentinya kekuatan kehidupan, yang dihasilkan oleh kekuatan hayati pada masa lalu, terbuka kemungkinan mencapai Nirvana. Tetapi pada kenyataannya (Arhat Hinayana) hanya mencapai seperti Nirvana yang disebut Nirvana yang mirip padamnya cahaya (pradipanirvanaprtakhya nirvana). Kelahiran di Tiga Alam Samsara (traidhatuka) telah berakhir, tetapi setelah kematiannya, para Arhat terlahir di alam Buddhis yang santa suci, di alam yang tak dapat dipengaruhi (anasravadhatu), dalam keadaan terus menerus bermeditasi dan berada di dalam kelopak bunga teratai (padmaphutesu jayante). Selanjutnya Buddha Amitabha dan Buddha yang lain seperti matahari membangun mereka (dari samadhi) untuk melenyapkan ketidaktahuan kotor (akilishta nana). Setelah itu para Arhat berusaha mencapai Penerangan Sempurna (Samyaksambodhi), dan walaupun mereka dalam keadaan bebas, mereka bertindak (dalam perwujudan dunia) bagaikan turun ke neraka. Akhirnya setelah menghimpun semua faktor untuk mencapai penerangan, mereka menjadi Guru semua makhluk (Buddha)."

Para Arhat berada dalam Anasravadhatu dengan "Tubuh pikiran" mereka yaitu Nimitta atau Sambhogakaya. Anasravadhatu ini bersifat inti (suksma), tidak terpikirkan (acintya), sejajar (sama), tidak terpisah (nirvisesa), mencapai semuanya (sarvarthasiddhi), pelenyapan semua penderitaan dan klesha, tanpa dualisme (dalam hal ini dualisme dalam Samsara, bukan dualisme Nirvana – Samsara), tidak dapat dijelaskan (anabhilapya).

Para Arhat telah melenyapkan avidya yang berkiatan dengan klesha (kilesa), tetapi belum melenyapkan avidya yang berkaitan dengan jnana.

Para Arhat setelah dibangunkan oleh para Buddha, dapat terlahir kembali di tiga alam samsara sekehendak mereka untuk melanjutkan karirnya sebagai Bodhisattva.

Menurut Lankavatara Sutra, Arhat dan Pratyekabuddha setara dengan Bodhisattva bhumi ke-enam. Menurut Pancavimsatisahasrika Sutra adalah setara dengan bhumi ketujuh.

Di tingkat bhumi keenam ini, Bodhisattva kemudian memiliki kemampuan samcintya-bhavopapatti, yaitu dapat dengan sekehendak mereka terlahir di alam samsara, dan dapat memilih kelahirannya, dngan tujuan untuk kebahagiaan semua makhluk. Dalam Abhisamayalamkara, dikatakan Bodhisattva tingkat tujuh mewujudkan dirinya di tiga alam samsara.

Maka dari itu Arhat dan Pratyekabuddha yang setara dengan Bodhisattva tingkat enam/tujuh, mengambil kelahiran kembali di alam samsara secara sukarela, tanpa dikotori oleh klesha lagi dan tidak terkotori lagi oleh lobha, dvesa, dan moha. Maka dari itu, kelahiran kembali para Arhat sangat berbeda dengan kelahiran kembali para makhluk samsara yang masih belum mencapai tingkat kesucian. Para Arhat tidak lagi dikotori oleh klesha, namun mereka dapat bertumimbal lahir lagi secara sukarela karena mereka memiliki kemampuan samcintya-bhavopapatti. Mereka melakukannya disebabkan oleh pemahaman mereka akan Shunyata dan welas asihnya pada semua makhluk, sampai akhirnya mereka mencapai Anuttara Samyaksambodhi.

Acarya Sthiramati berkata:
"Seorang Bodhisattva terlahir kembali, sepenuhnya sadar di manapun tempat yang ia pilih untuk terlahir kembali. Karena ia tidak terkotori oleh klesha, karena sebenarnya Ia telah memegang pandangan pratityasamutpada untuk waktu yang lama, maka ada 'perlindungan terhadap klesha' (samklesasyanuraksana)."

_/\_
The Siddha Wanderer

mohon maaf sebelumnya, bahwa apa yang diutarakan oleh sdr.Gandalf itu TIDAK MASUK SAMA SEKALI di dalam NALAR SAYA... Walaupun Nibbana itu belum saya cicipi, tetapi kondisi kondisi dimana NIBBANA itu tercapai (dengan hilangnya kilesa, musnahnya belenggu belenggu, terbebas dari Lobha, Dosa dan Moha) itu masih bisa di-"PIKIRKAN" dengan NALAR SAYA. Terus terang saja, ceritera ceritera tentang BUDDHA ini itu di dunia lain yang sedang menurunkan ajaran dsbnya, masih belum dapat saya terima.

Misalnya : Tanah Suci Sukhawati di daerah BARAT. Saya meragukan bahwa BUDDHA menyatakan bahwa dari sini ke sebelah BARAT melewati berjuta juta tanah BUDDHA ada tanah Suci Sukhawati dimana BUDDHA AMITABHA berdiam. Dengan kemampuan BUDDHA GOTAMA yang bisa menerawang sampai ke ujung alam semesta, mustahil BUDDHA GOTAMA menyatakan sesuatu yang AMBIGU (tidak jelas), tentang ARAH. Karena di alam semesta itu, arah ditentukan oleh konstelasi bintang, bukan ARAH seperti di bumi (timur, barat, utara dan selatan).
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 22 November 2008, 10:36:28 PM
Quote from: dilbert on 22 November 2008, 09:45:11 PM

mohon maaf sebelumnya, bahwa apa yang diutarakan oleh sdr.Gandalf itu TIDAK MASUK SAMA SEKALI di dalam NALAR SAYA... Walaupun Nibbana itu belum saya cicipi, tetapi kondisi kondisi dimana NIBBANA itu tercapai (dengan hilangnya kilesa, musnahnya belenggu belenggu, terbebas dari Lobha, Dosa dan Moha) itu masih bisa di-"PIKIRKAN" dengan NALAR SAYA. Terus terang saja, ceritera ceritera tentang BUDDHA ini itu di dunia lain yang sedang menurunkan ajaran dsbnya, masih belum dapat saya terima.

Misalnya : Tanah Suci Sukhawati di daerah BARAT. Saya meragukan bahwa BUDDHA menyatakan bahwa dari sini ke sebelah BARAT melewati berjuta juta tanah BUDDHA ada tanah Suci Sukhawati dimana BUDDHA AMITABHA berdiam. Dengan kemampuan BUDDHA GOTAMA yang bisa menerawang sampai ke ujung alam semesta, mustahil BUDDHA GOTAMA menyatakan sesuatu yang AMBIGU (tidak jelas), tentang ARAH. Karena di alam semesta itu, arah ditentukan oleh konstelasi bintang, bukan ARAH seperti di bumi (timur, barat, utara dan selatan).

Loh.... kok malah mbahas Buddha ini itu di Tanah ini itu?? Kan saya lagi mbahas Nirvana nih..... ;D

Sebenarnya pertanyaan anda ini udah terjawab oleh postingan bro. chingik yang lalu-lalu (masalah arah, konstelasi dsb). Saya kutip postingan bro. chingik:

Ada beberapa penjelasan mengenai posisi barat. Dalam tolak ukur Buddhisme Mahayana, arah mata angin tidak melulu bersandar pada poros bumi. Dalam Buddhisme Mahayana khususnya Tantra, arah mata angin jika dikaitkan ke dimensi yang lebih luas, maka rujukannya sudah bukan pada sistem kompas konvensional. Melainkan bersandar pada rasi bintang. Tantra mengenal 28 rasi bintang. Karena dengan bersandar pada rasi bintang, maka orbital bumi tidak mempengaruh arah mata angin. Karena jika kita menunjuk ke arah barat, dengan bersandar pada posisi rasi bintang, maka arah barat tersebut tidak akan mengalami pergeseran. Dengan demikian, maka perjalanan ke luar angkasa tidak akan bingung di mana yang namanya arah barat, timur, utara atau selatan, karena para ilmuwan juga sudah mulai menggunakan rasi bintang utk memetakan mata angin universe. Sejauh titik sentralnya adalah bumi, tidak peduli perputaran poros, maka arah tersebut menjadi fix. Setidaknya, gambaran arah barat yg merujuk pada Sukhavati lebih kurang adalah seperti itu.
Penjelasan kedua, dalam Amitabha Sutra, ketika Buddha Sakyamuni memperkenalkan Tanah Murni Sukhavati, Beliau menunjuk ke arah Barat, kita tidak tahu hari apa dan jam berapa Beliau menunjuknya, namun intinya adalah ada satu kemungkinan bahwa pada detik-detik itu, Sukhavati pas bertepatan di arah barat dari posisi bumi, maka Sakyamuni menggunakan kesempatan ini untuk menceritakan tentang Buddha Amitabha yang sedang berada di sana.


Dan perlu ditekankan juga:

Amitabha Buddha itu Sambhogakaya dari Sakyamuni Buddha. Jadi Amitabha Buddha = Sakyamuni Buddha Gotama.

Bila batin bersih, di situlah Tanah Suci berada.  Ini disebutkan dalam Vimalakirti Sutra, dan kayanya anda juga sudah tahu tentunya. Antara Sukhavati dan Saha tiada bedanya.

"Jika kita mengerti kebenaran ini, Tanah Suci Barat adalah Hanya-Pikiran, masing-masing Tanah Buddha, masing-masing debu juga adalah Hanya-Pikiran, Sang Buddha Amitabha adalah Diri Sejati dan masing-masing Buddha, [serta] masing-masing makhluk hidup juga adalah Diri Sejati."
(Zen Master Tien Ju)

"Tanah Suci Barat dideskripsikan sebagai sejauh 10 miliar tanah Buddha dari sini hanya oleh konsep yang terbatas dari manusia biasa dengan mata dari daging dan darah, berada dalam kelahiran dan kematian."
"Bagi mereka yang telah mencapai karma suci untuk terlahir di Tanah Suci, Pikiran dalam samadhi pada saat meninggal adalah Pikiran yang terlahir di Tanah Suci. Segera setelah pikiran kelahiran kembali muncul, maka terjadilah kelahiran kembali. Maka dari itu, Sutra Meditasi (Amitayus) berkata, "Tanah Amitabha Buddha tidak jauh dari sini!" Lagi, kekuatan karma tidak dapat terbayangkan. Dalam satu momen pikiran, kelahiran di Tanah Suci tercapai. Janganlah cemas tentang jarak."

(Master Tiantai, Zhiyi)

Bagi saya, "Barat" ini juga bisa cuma simbolisasi. Arah barat kan tempat terbenamnya matahari, jadi ini merupakan simbolisasi dari terbenamnya klesha.

Yah.... kalau cuma mengandalkan nalar ya.... kan belum ehipassiko sepenuhnya.... Lagipula patokan "nalar" ini seringkali dihubungkan dengan paham Theravada yang sudah memasyarakat dan sudah menjadi semacam mindset.....

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 23 November 2008, 08:27:57 AM
Quote from: GandalfTheElder on 22 November 2008, 10:36:28 PM
Quote from: dilbert on 22 November 2008, 09:45:11 PM

mohon maaf sebelumnya, bahwa apa yang diutarakan oleh sdr.Gandalf itu TIDAK MASUK SAMA SEKALI di dalam NALAR SAYA... Walaupun Nibbana itu belum saya cicipi, tetapi kondisi kondisi dimana NIBBANA itu tercapai (dengan hilangnya kilesa, musnahnya belenggu belenggu, terbebas dari Lobha, Dosa dan Moha) itu masih bisa di-"PIKIRKAN" dengan NALAR SAYA. Terus terang saja, ceritera ceritera tentang BUDDHA ini itu di dunia lain yang sedang menurunkan ajaran dsbnya, masih belum dapat saya terima.

Misalnya : Tanah Suci Sukhawati di daerah BARAT. Saya meragukan bahwa BUDDHA menyatakan bahwa dari sini ke sebelah BARAT melewati berjuta juta tanah BUDDHA ada tanah Suci Sukhawati dimana BUDDHA AMITABHA berdiam. Dengan kemampuan BUDDHA GOTAMA yang bisa menerawang sampai ke ujung alam semesta, mustahil BUDDHA GOTAMA menyatakan sesuatu yang AMBIGU (tidak jelas), tentang ARAH. Karena di alam semesta itu, arah ditentukan oleh konstelasi bintang, bukan ARAH seperti di bumi (timur, barat, utara dan selatan).

Loh.... kok malah mbahas Buddha ini itu di Tanah ini itu?? Kan saya lagi mbahas Nirvana nih..... ;D

Sebenarnya pertanyaan anda ini udah terjawab oleh postingan bro. chingik yang lalu-lalu (masalah arah, konstelasi dsb). Saya kutip postingan bro. chingik:

Ada beberapa penjelasan mengenai posisi barat. Dalam tolak ukur Buddhisme Mahayana, arah mata angin tidak melulu bersandar pada poros bumi. Dalam Buddhisme Mahayana khususnya Tantra, arah mata angin jika dikaitkan ke dimensi yang lebih luas, maka rujukannya sudah bukan pada sistem kompas konvensional. Melainkan bersandar pada rasi bintang. Tantra mengenal 28 rasi bintang. Karena dengan bersandar pada rasi bintang, maka orbital bumi tidak mempengaruh arah mata angin. Karena jika kita menunjuk ke arah barat, dengan bersandar pada posisi rasi bintang, maka arah barat tersebut tidak akan mengalami pergeseran. Dengan demikian, maka perjalanan ke luar angkasa tidak akan bingung di mana yang namanya arah barat, timur, utara atau selatan, karena para ilmuwan juga sudah mulai menggunakan rasi bintang utk memetakan mata angin universe. Sejauh titik sentralnya adalah bumi, tidak peduli perputaran poros, maka arah tersebut menjadi fix. Setidaknya, gambaran arah barat yg merujuk pada Sukhavati lebih kurang adalah seperti itu.
Penjelasan kedua, dalam Amitabha Sutra, ketika Buddha Sakyamuni memperkenalkan Tanah Murni Sukhavati, Beliau menunjuk ke arah Barat, kita tidak tahu hari apa dan jam berapa Beliau menunjuknya, namun intinya adalah ada satu kemungkinan bahwa pada detik-detik itu, Sukhavati pas bertepatan di arah barat dari posisi bumi, maka Sakyamuni menggunakan kesempatan ini untuk menceritakan tentang Buddha Amitabha yang sedang berada di sana.


Dan perlu ditekankan juga:

Amitabha Buddha itu Sambhogakaya dari Sakyamuni Buddha. Jadi Amitabha Buddha = Sakyamuni Buddha Gotama.

Bila batin bersih, di situlah Tanah Suci berada.  Ini disebutkan dalam Vimalakirti Sutra, dan kayanya anda juga sudah tahu tentunya. Antara Sukhavati dan Saha tiada bedanya.
"Jika kita mengerti kebenaran ini, Tanah Suci Barat adalah Hanya-Pikiran, masing-masing Tanah Buddha, masing-masing debu juga adalah Hanya-Pikiran, Sang Buddha Amitabha adalah Diri Sejati dan masing-masing Buddha, [serta] masing-masing makhluk hidup juga adalah Diri Sejati."
(Zen Master Tien Ju)

"Tanah Suci Barat dideskripsikan sebagai sejauh 10 miliar tanah Buddha dari sini hanya oleh konsep yang terbatas dari manusia biasa dengan mata dari daging dan darah, berada dalam kelahiran dan kematian."
"Bagi mereka yang telah mencapai karma suci untuk terlahir di Tanah Suci, Pikiran dalam samadhi pada saat meninggal adalah Pikiran yang terlahir di Tanah Suci. Segera setelah pikiran kelahiran kembali muncul, maka terjadilah kelahiran kembali. Maka dari itu, Sutra Meditasi (Amitayus) berkata, "Tanah Amitabha Buddha tidak jauh dari sini!" Lagi, kekuatan karma tidak dapat terbayangkan. Dalam satu momen pikiran, kelahiran di Tanah Suci tercapai. Janganlah cemas tentang jarak."

(Master Tiantai, Zhiyi)

Bagi saya, "Barat" ini juga bisa cuma simbolisasi. Arah barat kan tempat terbenamnya matahari, jadi ini merupakan simbolisasi dari terbenamnya klesha.

Yah.... kalau cuma mengandalkan nalar ya.... kan belum ehipassiko sepenuhnya.... Lagipula patokan "nalar" ini seringkali dihubungkan dengan paham Theravada yang sudah memasyarakat dan sudah menjadi semacam mindset.....

_/\_
The Siddha Wanderer


Pernyataan bahwa Sukhawati dan Saha tiada beda-nya artinya apa ?? Apakah Sukhawati itu Eksis ?? Jika Sukhawati itu Eksis, maka Sukhawati itu berbeda dengan Dunia Saha ?? Jika Tiada beda, apakah Sukhawati itu bersamaan dengan Dunia SAha sekarang ini ?? Lantas apa guna ikrar kaum MAhayanis Tanah Suci yang berikrar untuk terlahir di dunia Sukhawati ??

Kembali lagi NO MAKE SENSE bagi NALAR saya.

Jika katakanlah lagi Amitabha adalah Sambhogakaya dari Sakyamuni, buat apa capek capek harus terlahir lagi di dunia AMITABHA... Lha kalau di "TANAH SUCI" Sakyamuni saja kesempatan di sia-siakan ???

Lihat Quote Master Zen Tien Ju yang sdr.Gandalf lampirkan... Tanah Suci Sukhawati hanya pikiran... Pikiran para Mahayanis Tanah Suci yang "MENCIPTAKAN" seolah olah ada TANAH SUCI SUKHAWATI.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 23 November 2008, 01:24:01 PM
Bro. dilbert, kenapa bingung? Saya ragu kalau anda benar-benar sudah belajar Zen...

Kita hidup di dunia Saha. Ketika pikiran murni, ia berada dalam Tanah Suci Sukhavati. Dengan pikiran murni tersebut, kita akan melihat bahwa sebenarnya Saha itu juga Tanah Suci yaitu Tanah Suci dari Buddha Sakyamuni.

Seorang berpraktek dan bertekad lahir di alam Sukhavati, karena Saha yang kita tempati ini, yang kita tangkap dengan panca Indra, adalah suatu hal yang tidak murni, karena lobha, dvesa dan moha merajalela di mana-mana.

Namun setelah pikiran kita murni, dengan kata lain berada di Tanah suci Buddha Amitabha, kita akan dapat melihat dengan jelas bahwa dunia Saha ini adalah murni, yang sebenarnya adalah Tanah Suci dari Buddha Sakyamuni.

Maka dari itu, dalam pikiran murni, Sukhavati dan Saha tiada bedanya. Bila seseorang tercerahkan, maka ia sekaligus berada dalam tanah Suci Amitabha (Sukhavati) dan Sakyamuni (Saha).

Tidak heran apabila dalam kosmologi Mahayana, dikatakan bahwa Amitabha adalah Sambhogakaya Sakyamuni dan Sakyamuni adalah emanasi Amitabha. Toh keduanya memang tidak ada bedanya, begitu juga dengan Tanah Suci-Nya.

Satu Tanah Suci tercermin Tanah Suci Lainnya. Saha mencerminkan Sukhavati, bagaikan jala permata Indra (Indra-jala).

Tanah Suci Amitabha sebenarnya tidaklah berbeda dengan Nirvana. Terlahir di Tanah Suci berarti mencapai Nirvana. Maka dari itu apabila argumen anda yaitu "Tanah Suci" itu diciptakan, bukankah kalau begitu kita manusia yang menciptakan Nirvana? Emangnya Nirvana bisa terlepas dari apa yang namanya pikiran??  ^-^  ^-^

"Tanah Suci [Amitabha] dan dunia Saha tidaklah terpisahkan"
(Kyogyoshinsho oleh Shinran, diterjemahkan oleh DT Suzuki)

Dan tahukah anda, bahwa Tanah Suci Buddha Sakyamuni juga adalah Tanah Suci sebelah barat, sama dengan Sukhavati?

Dalam Pancavimsatisahasrika Prajnaparamita disebutkan:
"Dalam batas ter-barat  terdapat sebuah dunia bernama Saha, di mana Buddha-nya bernama Sakyamuni."

Di sebelah barat Saha, juga terdapat Tanah Suci bernama "Tidak Terkalahkan" yang merupakan Tanah Suci Sakyamuni Buddha.

Jadi kita disini bisa melihat bahwa Sukhavati, Vaiduryaprabhasa, Abhirati semuanya tidaklah terpisahkan dari Saha ataupun Buddha Sakyamuni.

Ketika membabarkan Empat tantra, Sang Buddha mewujudkan diri-Nya sebagai Bhaisajyaguru Buddha dan mengubah tempat Beliau membabarkan Dharma (yang merupakan bagian dari dunia Saha) menjadi Tanah Suci Vaiduryaprabhasa.

Ini juga menandakan bahwa Buddha Bhaisajyaguru itu Sakyamuni Buddha, tanah suci Vaiduryaprabhasa tidaklah berbeda dengan dunia Saha.

Dalam Padmagarbha Lokadhatu (Tanah suci Buddha Vairocana) tercakup dunia Saha. Saha berada di tingkat ketigabelas dari Padmagarbha Lokadhatu.

Patriark Huayen (Avatamsaka) kedua yaitu Chih-yen (602 - 668 M), mengatakan bahwa Tanah Suci Sukhavati dengan Padmagarbha Lokadhatu adalah IDENTIK.

Maka dari itu dapat juga dikatakan bahwa dalan Tanah Suci Sukhavati terdapat dunia Saha.

Kakuban, seorang bhiksu Shingon pernah berkata bahwa Amitabha adalah manifestasi kebijaksanaan Mahavairocana dan Mahavairocana adalah hakekat dari Amitabha.

Siapakah Mahavairocana / Vairocana Buddha?

"Sekarang, Aku, Vairocana Buddha.
Duduk di atas bunga teratai,
Di atas 1000 bunga yang mengelilingi-Ku
Adalah 1000 Buddha Sakyamuni."

(Brahmajala Sutra)

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 23 November 2008, 01:36:26 PM
Quote from: GandalfTheElder on 23 November 2008, 01:24:01 PM
Bro. dilbert, kenapa bingung? Saya ragu kalau anda benar-benar sudah belajar Zen...

Kita hidup di dunia Saha. Ketika pikiran murni, ia berada dalam Tanah Suci Sukhavati. Dengan pikiran murni tersebut, kita akan melihat bahwa sebenarnya Saha itu juga Tanah Suci yaitu Tanah Suci dari Buddha Sakyamuni.

Seorang berpraktek dan bertekad lahir di alam Sukhavati, karena Saha yang kita tempati ini, yang kita tangkap dengan panca Indra, adalah suatu hal yang tidak murni, karena lobha, dvesa dan moha merajalela di mana-mana.

Namun setelah pikiran kita murni, dengan kata lain berada di Tanah suci Buddha Amitabha, kita akan dapat melihat dengan jelas bahwa dunia Saha ini adalah murni, yang sebenarnya adalah Tanah Suci dari Buddha Sakyamuni.

Maka dari itu, dalam pikiran murni, Sukhavati dan Saha tiada bedanya. Bila seseorang tercerahkan, maka ia sekaligus berada dalam tanah Suci Amitabha (Sukhavati) dan Sakyamuni (Saha).

Tidak heran apabila dalam kosmologi Mahayana, dikatakan bahwa Amitabha adalah Sambhogakaya Sakyamuni dan Sakyamuni adalah emanasi Amitabha. Toh keduanya memang tidak ada bedanya, begitu juga dengan Tanah Suci-Nya.

Satu Tanah Suci tercermin Tanah Suci Lainnya. Saha mencerminkan Sukhavati, bagaikan jala permata Indra (Indra-jala).

Tanah Suci Amitabha sebenarnya tidaklah berbeda dengan Nirvana. Terlahir di Tanah Suci berarti mencapai Nirvana. Maka dari itu apabila argumen anda yaitu "Tanah Suci" itu diciptakan, bukankah kalau begitu kita manusia yang menciptakan Nirvana? Emangnya Nirvana bisa terlepas dari apa yang namanya pikiran??  ^-^  ^-^

"Tanah Suci [Amitabha] dan dunia Saha tidaklah terpisahkan"
(Kyogyoshinsho oleh Shinran, diterjemahkan oleh DT Suzuki)

Dan tahukah anda, bahwa Tanah Suci Buddha Sakyamuni juga adalah Tanah Suci sebelah barat, sama dengan Sukhavati?

Dalam Pancavimsatisahasrika Prajnaparamita disebutkan:
"Dalam batas ter-barat  terdapat sebuah dunia bernama Saha, di mana Buddha-nya bernama Sakyamuni."

Di sebelah barat Saha, juga terdapat Tanah Suci bernama "Tidak Terkalahkan" yang merupakan Tanah Suci Sakyamuni Buddha.

Jadi kita disini bisa melihat bahwa Sukhavati, Vaiduryaprabhasa, Abhirati semuanya tidaklah terpisahkan dari Saha ataupun Buddha Sakyamuni.

Ketika membabarkan Empat tantra, Sang Buddha mewujudkan diri-Nya sebagai Bhaisajyaguru Buddha dan mengubah tempat Beliau membabarkan Dharma (yang merupakan bagian dari dunia Saha) menjadi Tanah Suci Vaiduryaprabhasa.

Ini juga menandakan bahwa Buddha Bhaisajyaguru itu Sakyamuni Buddha, tanah suci Vaiduryaprabhasa tidaklah berbeda dengan dunia Saha.

_/\_
The Siddha Wanderer


Nah, ketika itu "SAMA" apakah perlu diciptakan banyak TANAH SUCI lainnya... Ingat bahwa hal inilah yang menimbulkan tafsir yang berbeda beda antara pembaca Kitab Mahayana... seolah olah bahwa TANAH SUCI SUKHAWATI itu EKSIS... Karena memang dari awal dalam "NALAR" saya itu TANAH SUCI itu hanya di pikiran... TIDAK ADA ITU...

Para Master ZEN berbicara TANAH SUCI dalam konteks RETORIKA, sedangkan umat awam (bagi yang salah menafsirkan) berbicara TANAH SUCI dalam konteks HARFIAH (dalam pengertian bahwa TANAH SUCI itu ADA dan EKSIS)... Inilah yang bakal menyesatkan...

Dari berbagai aliran Mahayana, maka ZEN-BUDDHISME lah yang saya dalami (diluar mahzab utama THERAVADA) karena memang pengertian di dalam ZEN-BUDDHISME inilah yang menurut saya masih MURNI.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Riky_dave on 23 November 2008, 01:38:00 PM
hehehe..that's cool and hot.. :)

Salam hangat,
Riky
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 23 November 2008, 01:44:50 PM
Bro Dilbert tampaknya sudah makin bingung ya.., tapi wajar kok jika mindsetnya sudah terpatri oleh satu konsep tertentu hingga sulit menerima konsep lain. 
Perlu diketahui, semua konsep dalam Mahayana tidak semata-mata menjadikan konsepnya sebagai sesuatu yg perlu dipegang erat2. Jika itu mengganggu kemajuan batin, maka selayaknya ditinggalkan. Makanya mengapa ada yg cocok dengan zen, ada pula yg cocok dgn sukhavati. Semua ini adalah Upaya kausalya. Saya rasa jika ingin benar2 memahami Mahayana, perlu mendalami konsep Upaya Kausalya.

Kembali ke pertanyaan ttg Sukhavati yg kedengarannya membingungkan, kadang dikatakan Sukhavati itu eksis, kadang tidak eksis. Kok gitu? ya ,karena semua ada penjelasan dari perspektif tertentu. Tidak ada jawaban yang statis. SEbenarnya hal2 seperti ini juga dpt ditemukan dalam bentuk ajaran Theravada juga. Contoh yg paling simple deh :
"Aku" itu ada ga? kalo ga ada, mengapa masih menyebutkan 'aku, aku..aku"..
Tapi kalo "Aku" itu ada, mengapa masih menyebutkan tanpa aku, tanpa aku, tanpa aku...
Bukankah kedengarannya saling berlawanan?
Atau sama sepeti kebingungan Vacchagotta tentang paham Anatta, hingga Buddha menghindari utk memberi penjelasan padanya, karena secara batin, dia belum siap.

Intinya, sebuah konsep tidak seharusnya dicerna secara statis. Wejangan Buddha juga bukan seperti kalkulator yang bersifat A tetap A tidak bisa jadi B, semuanya tergantung pada bagaimana kita memahaminya baik dari segi intelektual ataupun pemahaman insight.

Ketika mindset anda terpatri oleh konsep Theravada, maka ajaran Mahayana menjadi sulit diterima. (Maaf, bukan bermaksud supaya anda harus mengubah mindset anda menjadi Mahayana, tapi tujuan disini adalah menjelaskan bahwa konsep Mahayana adalah begini-begini, lalu ini menjadi satu wawasan utk saling memahami masing2 aliran)
Sama dengan mindset orang dari penganut agama lain, karena sudah terpatri oleh konsep agama yang dianut, maka sulit menerima konsep lain. Contohnya, menjelaskan Buddhisme kepada orang kr****n, misalnya, susahnya setengah mati, karena mereka selalu saja berpijak pada konsep kr****n utk bertanya ttg konsep Buddhisme. Sampai "mati" pun tak akan masuk SENSEnya, kalo pake SENSE lho ya. Untung Buddhisme menghindari orang menggunakan SENSE utk menyelami kebenaran. Jadi mudah2an bro Dilbert jangan pakai SENSE lagi, :) ;D



Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 23 November 2008, 01:54:05 PM
Quote from: chingik on 23 November 2008, 01:44:50 PM
Bro Dilbert tampaknya sudah makin bingung ya.., tapi wajar kok jika mindsetnya sudah terpatri oleh satu konsep tertentu hingga sulit menerima konsep lain. 
Perlu diketahui, semua konsep dalam Mahayana tidak semata-mata menjadikan konsepnya sebagai sesuatu yg perlu dipegang erat2. Jika itu mengganggu kemajuan batin, maka selayaknya ditinggalkan. Makanya mengapa ada yg cocok dengan zen, ada pula yg cocok dgn sukhavati. Semua ini adalah Upaya kausalya. Saya rasa jika ingin benar2 memahami Mahayana, perlu mendalami konsep Upaya Kausalya.

Kembali ke pertanyaan ttg Sukhavati yg kedengarannya membingungkan, kadang dikatakan Sukhavati itu eksis, kadang tidak eksis. Kok gitu? ya ,karena semua ada penjelasan dari perspektif tertentu. Tidak ada jawaban yang statis. SEbenarnya hal2 seperti ini juga dpt ditemukan dalam bentuk ajaran Theravada juga. Contoh yg paling simple deh :
"Aku" itu ada ga? kalo ga ada, mengapa masih menyebutkan 'aku, aku..aku"..
Tapi kalo "Aku" itu ada, mengapa masih menyebutkan tanpa aku, tanpa aku, tanpa aku...
Bukankah kedengarannya saling berlawanan?
Atau sama sepeti kebingungan Vacchagotta tentang paham Anatta, hingga Buddha menghindari utk memberi penjelasan padanya, karena secara batin, dia belum siap.

Intinya, sebuah konsep tidak seharusnya dicerna secara statis. Wejangan Buddha juga bukan seperti kalkulator yang bersifat A tetap A tidak bisa jadi B, semuanya tergantung pada bagaimana kita memahaminya baik dari segi intelektual ataupun pemahaman insight.

Ketika mindset anda terpatri oleh konsep Theravada, maka ajaran Mahayana menjadi sulit diterima. (Maaf, bukan bermaksud supaya anda harus mengubah mindset anda menjadi Mahayana, tapi tujuan disini adalah menjelaskan bahwa konsep Mahayana adalah begini-begini, lalu ini menjadi satu wawasan utk saling memahami masing2 aliran)
Sama dengan mindset orang dari penganut agama lain, karena sudah terpatri oleh konsep agama yang dianut, maka sulit menerima konsep lain. Contohnya, menjelaskan Buddhisme kepada orang kr****n, misalnya, susahnya setengah mati, karena mereka selalu saja berpijak pada konsep kr****n utk bertanya ttg konsep Buddhisme. Sampai "mati" pun tak akan masuk SENSEnya, kalo pake SENSE lho ya. Untung Buddhisme menghindari orang menggunakan SENSE utk menyelami kebenaran. Jadi mudah2an bro Dilbert jangan pakai SENSE lagi, :) ;D





lha gak pakai SENSE emang mau pakai IMAN ??

Wejangan BUDDHA yang manakah yang bisa berubah dari A menjadi B ?? yang THERAVADA tuh dari awal sampai akhir kagak ada yang "tumpang tindih" atau "gak nyambung" dan "in-konsisten"... Coba Quote konsep THERAVADA yang tumpang tindih ??
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 23 November 2008, 01:56:09 PM
Quote from: dilbert on 23 November 2008, 01:36:26 PM
Nah, ketika itu "SAMA" apakah perlu diciptakan banyak TANAH SUCI lainnya... Ingat bahwa hal inilah yang menimbulkan tafsir yang berbeda beda antara pembaca Kitab Mahayana... seolah olah bahwa TANAH SUCI SUKHAWATI itu EKSIS... Karena memang dari awal dalam "NALAR" saya itu TANAH SUCI itu hanya di pikiran... TIDAK ADA ITU...

Para Master ZEN berbicara TANAH SUCI dalam konteks RETORIKA, sedangkan umat awam (bagi yang salah menafsirkan) berbicara TANAH SUCI dalam konteks HARFIAH (dalam pengertian bahwa TANAH SUCI itu ADA dan EKSIS)... Inilah yang bakal menyesatkan...

Dari berbagai aliran Mahayana, maka ZEN-BUDDHISME lah yang saya dalami (diluar mahzab utama THERAVADA) karena memang pengertian di dalam ZEN-BUDDHISME inilah yang menurut saya masih MURNI.

Oh ya postingan sebelum ini saya edit lagi (saya beri tambahan).

Yah... anda lagi-lagi mengatakan "Murni".. Apa yang Murni itu? Yang sesuai dengan nalar anda?

Apakah anda tahu banyak sekali Master Zen yang menghormati aliran Sukhavati, bahkan tidak menentangnya malah menerimanya? Kenapa ya? Di "Nalar" mereka, Sukhavati masuk-masuk aja tuh.......

Mereka nggak bingung, kok anda yang bingung...

Banyaknya Tanah Suci yang dibabarkan Sakyamuni Buddha tentu adalah karena upaya kausalya yang dilakukan Beliau. Ada yang merasa cocok kalau Nirvana itu tampak diwujudkan seperti Sukhavati, ada yang merasa cocok digambarkan seperti Abhirati dsb..... Sama seperti dalam Sutta-sutta Theravada yang menjabarkan Nirvana sebagai suatu kebahagiaan dsb....

Tapi toh semua itu hanya bahasa yang terbatas. Maka dari itu ada ungkapan dalam Mahayana bahwa siapa sebenarnya Amitabha Buddha itu tidaklah dapat dibayangkan, begitu juga dengan tanah Suci-Nya - sama dengan Nirvana yang tidak dapat dibayangkan oleh putthujana (prthagjana) seperti kita-kita ini. Bahasa hanya memberikan arti yang terbatas pada Tanah Suci maupun Nirvana.

Banyaknya Tanah Suci juga adalah salah satu bentuk penjabaran Dharma yaitu bahwa Dharmakaya itu tidak terbatas.

Di samping itu, tidak menutup kemungkinan bukan kalau misalnya Tanah Suci Sukhavati benar-benar ada??  :) Sama dengan tidak menutup kemungkinan adanya "bumi-bumi" lain selain bumi kita.

Gini deh... dalam agama Buddha dikatakan bahwa semua fenomena itu ada dalam pikiran, demikian juga dunia yang kita tempati itu ya adanya di pikiran. Kalau gitu dunia kita ini eksis gak ya?

_/\_
The Siddha wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 23 November 2008, 02:02:01 PM
Quote from: GandalfTheElder on 23 November 2008, 01:56:09 PM
Quote from: dilbert on 23 November 2008, 01:36:26 PM
Nah, ketika itu "SAMA" apakah perlu diciptakan banyak TANAH SUCI lainnya... Ingat bahwa hal inilah yang menimbulkan tafsir yang berbeda beda antara pembaca Kitab Mahayana... seolah olah bahwa TANAH SUCI SUKHAWATI itu EKSIS... Karena memang dari awal dalam "NALAR" saya itu TANAH SUCI itu hanya di pikiran... TIDAK ADA ITU...

Para Master ZEN berbicara TANAH SUCI dalam konteks RETORIKA, sedangkan umat awam (bagi yang salah menafsirkan) berbicara TANAH SUCI dalam konteks HARFIAH (dalam pengertian bahwa TANAH SUCI itu ADA dan EKSIS)... Inilah yang bakal menyesatkan...

Dari berbagai aliran Mahayana, maka ZEN-BUDDHISME lah yang saya dalami (diluar mahzab utama THERAVADA) karena memang pengertian di dalam ZEN-BUDDHISME inilah yang menurut saya masih MURNI.

Oh ya postingan sebelum ini saya edit lagi (saya beri tambahan).

Yah... anda lagi-lagi mengatakan "Murni".. Apa yang Murni itu? Yang sesuai dengan nalar anda?

Apakah anda tahu banyak sekali Master Zen yang menghormati aliran Sukhavati, bahkan tidak menentangnya malah menerimanya? Kenapa ya? Di "Nalar" mereka, Sukhavati masuk-masuk aja tuh.......

Mereka nggak bingung, kok anda yang bingung...

Banyaknya Tanah Suci yang dibabarkan Sakyamuni Buddha tentu adalah karena upaya kausalya yang dilakukan Beliau. Ada yang merasa cocok kalau Nirvana itu tampak diwujudkan seperti Sukhavati, ada yang merasa cocok digambarkan seperti Abhirati dsb..... Sama seperti dalam Sutta-sutta Theravada yang menjabarkan Nirvana sebagai suatu kebahagiaan dsb....

Tapi toh semua itu hanya bahasa yang terbatas. Maka dari itu ada ungkapan dalam Mahayana bahwa siapa sebenarnya Amitabha Buddha itu tidaklah dapat dibayangkan, begitu juga dengan tanah Suci-Nya - sama dengan Nirvana yang tidak dapat dibayangkan oleh putthujana (prthagjana) seperti kita-kita ini. Bahasa hanya memberikan arti yang terbatas pada Tanah Suci maupun Nirvana.

Banyaknya Tanah Suci juga adalah salah satu bentuk penjabaran Dharma yaitu bahwa Dharmakaya itu tidak terbatas.

Di samping itu, tidak menutup kemungkinan bukan kalau misalnya Tanah Suci Sukhavati benar-benar ada??  :) Sama dengan tidak menutup kemungkinan adanya "bumi-bumi" lain selain bumi kita.

Gini deh... dalam agama Buddha dikatakan bahwa semua fenomena itu ada dalam pikiran, demikian juga dunia yang kita tempati itu ya adanya di pikiran. Kalau gitu dunia kita ini eksis gak ya?

_/\_
The Siddha wanderer

lha, memang quote saya menyatakan bahwa MENURUT SAYA Buddhisme ZEn itu masih Murni... itu pendapat saya lo... Makanya kalau saya lihat semua quote-nya Master ZEN tentang Tanah Suci Sukhawati adalah dalam konteks RETORIKA... Tidak ada eksplisit dalam ZEN itu menyatakan bahwa Tanah Suci Sukhawati dan Tanah Tanah Suci Lainnya itu ada... yang ada dalam PIKIRAN...

Ketika ditanyakan apakah dunia ini EKSIS... EKSIS menurut saya... Eksis karena adanya dukkha, karena ada sebab sebab dukkha, karena ada jalan menuju lenyapnya dukkha.

Ketika sebab sebab dukkha dilenyapkan, dukkha itu lenyap, maka dunia itu menjadi tidak EKSIS...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 23 November 2008, 02:07:27 PM
Yah... kan pendapat... bukti kagak ada....  :))

Nah kalau begitu, kenapa anda mengatakan:

"seolah olah bahwa TANAH SUCI SUKHAWATI itu EKSIS... Karena memang dari awal dalam "NALAR" saya itu TANAH SUCI itu hanya di pikiran... TIDAK ADA ITU..."

Sebab dukkha kan toh ya dari pikiran? Nah yang merasakan dukkha itu kalau bukan pikiran terus apa?

Kalau menurut anda yang ada di pikiran itu tidak eksis, maka dukkha itu sebenarnya ya tidak eksis dong... kalau dukkha tidak eksis, berarti dunia ini tidak eksis. Lah anda kok ngomong dunia ini Eksis?

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 23 November 2008, 02:09:26 PM
Quote from: dilbert on 23 November 2008, 01:54:05 PM
Quote from: chingik on 23 November 2008, 01:44:50 PM
Bro Dilbert tampaknya sudah makin bingung ya.., tapi wajar kok jika mindsetnya sudah terpatri oleh satu konsep tertentu hingga sulit menerima konsep lain. 
Perlu diketahui, semua konsep dalam Mahayana tidak semata-mata menjadikan konsepnya sebagai sesuatu yg perlu dipegang erat2. Jika itu mengganggu kemajuan batin, maka selayaknya ditinggalkan. Makanya mengapa ada yg cocok dengan zen, ada pula yg cocok dgn sukhavati. Semua ini adalah Upaya kausalya. Saya rasa jika ingin benar2 memahami Mahayana, perlu mendalami konsep Upaya Kausalya.

Kembali ke pertanyaan ttg Sukhavati yg kedengarannya membingungkan, kadang dikatakan Sukhavati itu eksis, kadang tidak eksis. Kok gitu? ya ,karena semua ada penjelasan dari perspektif tertentu. Tidak ada jawaban yang statis. SEbenarnya hal2 seperti ini juga dpt ditemukan dalam bentuk ajaran Theravada juga. Contoh yg paling simple deh :
"Aku" itu ada ga? kalo ga ada, mengapa masih menyebutkan 'aku, aku..aku"..
Tapi kalo "Aku" itu ada, mengapa masih menyebutkan tanpa aku, tanpa aku, tanpa aku...
Bukankah kedengarannya saling berlawanan?
Atau sama sepeti kebingungan Vacchagotta tentang paham Anatta, hingga Buddha menghindari utk memberi penjelasan padanya, karena secara batin, dia belum siap.

Intinya, sebuah konsep tidak seharusnya dicerna secara statis. Wejangan Buddha juga bukan seperti kalkulator yang bersifat A tetap A tidak bisa jadi B, semuanya tergantung pada bagaimana kita memahaminya baik dari segi intelektual ataupun pemahaman insight.

Ketika mindset anda terpatri oleh konsep Theravada, maka ajaran Mahayana menjadi sulit diterima. (Maaf, bukan bermaksud supaya anda harus mengubah mindset anda menjadi Mahayana, tapi tujuan disini adalah menjelaskan bahwa konsep Mahayana adalah begini-begini, lalu ini menjadi satu wawasan utk saling memahami masing2 aliran)
Sama dengan mindset orang dari penganut agama lain, karena sudah terpatri oleh konsep agama yang dianut, maka sulit menerima konsep lain. Contohnya, menjelaskan Buddhisme kepada orang kr****n, misalnya, susahnya setengah mati, karena mereka selalu saja berpijak pada konsep kr****n utk bertanya ttg konsep Buddhisme. Sampai "mati" pun tak akan masuk SENSEnya, kalo pake SENSE lho ya. Untung Buddhisme menghindari orang menggunakan SENSE utk menyelami kebenaran. Jadi mudah2an bro Dilbert jangan pakai SENSE lagi, :) ;D





lha gak pakai SENSE emang mau pakai IMAN ??

Wejangan BUDDHA yang manakah yang bisa berubah dari A menjadi B ?? yang THERAVADA tuh dari awal sampai akhir kagak ada yang "tumpang tindih" atau "gak nyambung" dan "in-konsisten"... Coba Quote konsep THERAVADA yang tumpang tindih ??

Saya tidak mengatakan pake Iman . Silakan cari sendiri, karena bro sendiri katanya belajar Zen, jadi pake apa ya? hehe

Mahayana juga tidak tumpang tindih, yang tidak memahami saja yang merasa tumpang tindih.
Contoh Theravada yang tumpang tindih:  selalu menjelaskan ttg Anatta, tetapi menganggap segala fenomena sebagai sesuatu yg eksis. Ini adalah konsep saling berlawanan juga di sudut pandang Mahayana. Saya mengerti sebenarnya ini tidak tumpang tindih, tapi kesannya tumpang tindih bukan? yang notabene sebenarnya sama saja dengan Mahayana juga karena disalah pahami makanya terkesan tumpang tindih.  
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 23 November 2008, 02:16:43 PM
Quotelha gak pakai SENSE emang mau pakai IMAN ??

La mending Sraddha (iman) yang benar sesuai Dharma, ketimbang jenis Nalar (sense) yang masih dibelepoti Moha dengan tebalnya.

Lagian anda tentu tahu dong, kalau pencapaian Nirvana itu gak cuma pake Nalar?

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 23 November 2008, 02:22:01 PM
Quote
lha, memang quote saya menyatakan bahwa MENURUT SAYA Buddhisme ZEn itu masih Murni... itu pendapat saya lo... Makanya kalau saya lihat semua quote-nya Master ZEN tentang Tanah Suci Sukhawati adalah dalam konteks RETORIKA... Tidak ada eksplisit dalam ZEN itu menyatakan bahwa Tanah Suci Sukhawati dan Tanah Tanah Suci Lainnya itu ada... yang ada dalam PIKIRAN...
Jika begitu.....
Master XuYun ketika dalam kesadaran meditatifnya bekunjung ke 'Tanah Murni" Maitreya di dalam surga Tusita . Padahal Beliau adalah pewaris silsilah Zen. Menurut anda master XuYun berbohong atau pikiran beliau menjadi sesat??? :P
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 23 November 2008, 02:39:43 PM
QuoteWejangan BUDDHA yang manakah yang bisa berubah dari A menjadi B ?? yang THERAVADA tuh dari awal sampai akhir kagak ada yang "tumpang tindih" atau "gak nyambung" dan "in-konsisten"... Coba Quote konsep THERAVADA yang tumpang tindih ??

Dalam Riwayat Agung Para Buddha, yang sumbernya setahu saya dari Buddhavamsa (salah satu kitab Theravada), Petapa Sumedha berkata:

Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna  dari Buddha Dipamkara? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai Kebuddhaan."

"Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai Kebuddhaan dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan."


Wow.... ada naskah Theravada yang menyebutkan bahwa pencapaian Arahat itu egois plus "murid tidak berguna".

:o  :o  :o

_/\_
The Siddha Wanderer


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 23 November 2008, 03:43:54 PM
Semoga ini dapat menjawab pertanyaan bro. dilbert:

Question I:
The Diamond Sutra states:
All mundane (conditioned) dharmas are like dreams, illusions' shadows and bubbles.
Therefore, the Saha World being illusory, so is the Land of Ultimate Bliss. Why not enter directly into the True Original Mind instead of seeking rebirth in an illusory world?

Answer:
In truth, all the pure and impure lands in the ten directions are like dreams and illusions; however, only when we have attained the "Illusion-like Samadhi" can we see them as illusory and false. If we have not yet reached that stage, we still see them as real, we are still subject to their sway, we still know sorrow and happiness, we still feel uncomfortable during the summer heat and are even bothered by such small things as mosquito bites. Thus, how can we speak about things being illusory?

We should realize that the Pure Land method is a wonderful expedient of the Buddhas -- borrowing an illusory realm of happiness to help sentient beings escape from an illusory realm of great suffering, full of obstructing conditions and dangers. Then, in that happy, peaceful, illusory realm, cultivation progresses easily, and the ever-silent realm of the True Mind is swiftly attained.

To take an example, in this Saha World of ours, the scenes of stifling family life and noisy downtown business districts are illusory, and so are the scenes of temples and pagodas or mountain wildernesses. However, why is it that cultivators leave the noisy environment of the cities to seek the quiet, sparsely populated landscapes of temples and pagodas hidden in the mountains? Is it not because family life creates many binding ties and bustling urban intersections are not conducive to concentration, while temples, pagodas and mountain wildernesses facilitate cultivation? For this reason, the circumstances of ordinary people are different from those of the saints. For common mortals to put themselves in the place of the saints is far-fetched and unrealistic. We who are still common mortals should follow the path of ordinary people, and cultivate gradually. We should not look with the eyes of saints and comment too far above our level, to avoid the transgression of false speech.

There was once a Zen Master who thought that the Pure Land was illusory and that reciting the Buddha's name seeking rebirth there was useless.  Upon hearing this, Elder Master Ch'e Wu said immediately:

This is a mistake. Bodhisattvas of the Seventh Stage and below are all cultivating in a dream. Even those Bodhisattvas who have reached the level of Equal Enlightenment are still fast asleep within the great dream of delusion. Only the Buddhas can be honored with the designation Great Enlightened, i.e., those who have completely awakened. When our own body is in a dream, happiness and suffering are to be expected; we still experience happiness and still know suffering. How can we consider ourselves awakened from a dream and our environment dreamlike?
This being the case, how can remaining in the suffering dream of the Saha World compare with returning to the blissful dream of the Pure Land? Moreover, the Saha World dream goes from dream to dream, subject to the laws of karma, eternally revolving in the cycle of Birth and Death. The Pure Land dream on the other hand, is from dream to Enlightenment and gradual awakening to the ultimate stage of Buddhahood. Although the illusory dreams are the same, the conditions of the dreaming state in the two instances are really different. Thus, it is truly necessary to recite the Buddha's name seeking rebirth in the Pure Land!


These explanations have clearly demonstrated the need to seek rebirth in the Pure Land. However, the stanza from the Diamond Sutra quoted above is still an expedient explanation to help sentient beings abandon the common mortal's concept of attachment. Going one step further, as stated in the Great Prajna Paramita Sutra:

Buddha Sakyamuni explained to those of dull capacities that all dharmas are dreamlike, silent, and still, lest they develop view-attachment. To those of sharp capacities He spoke of the embellishments of the Buddhas, because they are like lotus blossoms, untouched by worldly dusts.

For this reason, Subhuti, who of all the Arhat disciples of Buddha Sakyamuni was foremost in the realization of the Truth of Emptiness (devoid of all names and marks), characteristically received a prediction that he would attain Buddhahood in the future under the title of "Name and Mark Buddha." Thus, the sublime truth of no name or mark is inseparable from name and mark -- all illusory dharmas are the Buddhas' dharmas, true and unchanging.

Going still deeper, to the ultimate and perfect stage, as the Sixth Patriarch has said:

Sentient beings are originally Buddhas, afflictions are Bodhi (Enlightenment), all delusions are the perfect and illuminating state, truly enlightened, of the womb of the Tathagatas

(Buddhism of Wisdom & Faith: Pure Land Principles and Practice oleh Dharma Master Thich Thien Tam)

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 23 November 2008, 03:56:31 PM
Jika mengakui adanya anatta, sebenarnya konsistensi itu tidak pernah ada. Kenapa demikian? Perasaan bahwa adanya suatu "konsistensi" yang menyebabkan seseorang melihat aku (atma) sebagai satu kesatuan, karena mengira "aku di masa lalu" sama dengan "aku di masa kini" dan "aku di masa depan."

Misalkan demikian, seseorang dituntut untuk tetap konsisten dalam bersikap dan bertindak, sebab tidak demikian ia dianggap bukan dirinya lagi. Jika seseorang menjadi tidak konsisten, ia dianggap tidak jujur atau sedang menyembunyikan diri yang sebenarnya. Dengan demikian kita menuntut ia menjadi konsisten. Padahal bagaimana mungkin konsistensi itu ada, jika diri itu sendiri tidak konsisten. Mengapa "diri" itu inkonsisten, saya akan menggunakan contoh di bawah.

Misalkan seseorang yang kita kenal di masa kecil, kita temui lagi di masa dewasanya, ternyata telah berubah sama sekali penampilannya, lantas kita anggap dirinya menjadi berbeda. Oleh karena itu apa yang kita sebut sebagai "diri" pada dasarnya adalah inkonsisten. Jika diri saja inkonsisten, lantas bagaimana kita bisa mengharapkan segala sesuatu di dunia ini harus konsisten?

Ketika kita berusaha menarik sebuah konsistensi kita hanya semakin masuk dalam ilusi adanya "kesamaan" atau "perbedaan" antara satu hal dengan hal yang lain. jelas masalah konsistensi adalah masalah persepsi belaka.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 23 November 2008, 04:33:10 PM
Quote from: sobat-dharma on 23 November 2008, 03:56:31 PM
Jika mengakui adanya anatta, sebenarnya konsistensi itu tidak pernah ada. Kenapa demikian? Perasaan bahwa adanya suatu "konsistensi" yang menyebabkan seseorang melihat aku (atma) sebagai satu kesatuan, karena mengira "aku di masa lalu" sama dengan "aku di masa kini" dan "aku di masa depan."

Misalkan demikian, seseorang dituntut untuk tetap konsisten dalam bersikap dan bertindak, sebab tidak demikian ia dianggap bukan dirinya lagi. Jika seseorang menjadi tidak konsisten, ia dianggap tidak jujur atau sedang menyembunyikan diri yang sebenarnya. Atau seseorang yang kita kenal di masa kecil, kita temui lagi di masa dewasanya, ternyata telah berubah sama sekali penampilannya, lantas kita anggap dirinya menjadi berbeda. Oleh karena itu apa yang kita sebut sebagai "diri" pada dasarnya adalah inkonsisten. Jika diri saja inkonsisten, lantas bagaimana kita bisa segala sesuatu di dunia ini harus konsisten?

Ketika kita berusaha menarik sebuah konsistensi kita hanya semakin masuk dalam ilusi adanya "kesamaan" atau "perbedaan" antara satu hal dengan hal yang lain. jelas masalah konsistensi adalah masalah persepsi belaka.
Betul.
Kalo Kitab Theravada 100% konsisten, maka Raja Milindapanha tidak akan mempertanyakan begitu banyak hal yang inkonsistensi dalam ajaran Buddha. Begitu bukan?  ;)

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 23 November 2008, 09:42:24 PM
Quote from: GandalfTheElder on 23 November 2008, 02:07:27 PM
Yah... kan pendapat... bukti kagak ada....  :))

Nah kalau begitu, kenapa anda mengatakan:

"seolah olah bahwa TANAH SUCI SUKHAWATI itu EKSIS... Karena memang dari awal dalam "NALAR" saya itu TANAH SUCI itu hanya di pikiran... TIDAK ADA ITU..."

Sebab dukkha kan toh ya dari pikiran? Nah yang merasakan dukkha itu kalau bukan pikiran terus apa?

Kalau menurut anda yang ada di pikiran itu tidak eksis, maka dukkha itu sebenarnya ya tidak eksis dong... kalau dukkha tidak eksis, berarti dunia ini tidak eksis. Lah anda kok ngomong dunia ini Eksis?

_/\_
The Siddha Wanderer

Kan sama pendapat saya dengan quote dari Master Zen Tien Ju yang diquote sebelumnya bahwa TANAH SUCI SUKHAWATI ITU HANYA DIPIKIRAN...

Terus yang saya katakan bahwa banyak umat awam MAHAYANA yang salah tafsir seolah olah TANAH SUCI SUKHAWATI itu EKSIS... bahwa ketika mereka meninggal akan dijemput oleh TIGA SEKAWAN (BUDDHA AMITABHA, BODHISATVA AVALOKITESVARA dan BODHISATVA MAHASTAMAPRAPTA). Ketidakjelasan inilah yang seringkali menjadi salah tafsir.

Kemudian yang saya katakan tentang DUNIA ini EKSIS adalah dari segi pandangan saya sebagai seorang Puthujana. Sekarang saya masih puthujana, saya bagaimanapun masih menganggap dunia ini eksis, penderitaan ini eksis. Lha bagaimana tidak... Saya hutang kepada orang lain, apakah ini eksis atau tidak ?? apakah bisa saya tidak bayar hutang kepada orang lain ?? apakah saya kalau sudah tidak bayar hutang, saya bisa menganggap bahwa semua itu hanya ILUSI, hanya KHAYALAN, bahwa semua itu kosong ??

Bahwa untuk mengatakan bahwa pada dasarnya semua itu ILUSI, hanya KHAYALAN dan pada dasarnya KOSONG, adalah sisi pandangan bukan seorang puthujana, tetapi sebagai seorang ARIYA dan dalam hal ini saya bukan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 23 November 2008, 09:47:08 PM
Quote from: chingik on 23 November 2008, 02:09:26 PM

Saya tidak mengatakan pake Iman . Silakan cari sendiri, karena bro sendiri katanya belajar Zen, jadi pake apa ya? hehe

Mahayana juga tidak tumpang tindih, yang tidak memahami saja yang merasa tumpang tindih.
Contoh Theravada yang tumpang tindih:  selalu menjelaskan ttg Anatta, tetapi menganggap segala fenomena sebagai sesuatu yg eksis. Ini adalah konsep saling berlawanan juga di sudut pandang Mahayana. Saya mengerti sebenarnya ini tidak tumpang tindih, tapi kesannya tumpang tindih bukan? yang notabene sebenarnya sama saja dengan Mahayana juga karena disalah pahami makanya terkesan tumpang tindih.  

Coba quote pernyataan Theravada yang menyatakan bahwa segala fenomena adalah sesuatu yang eksis ?? Nyata nyata ajaran theravada mengajarkan tentang an-atta. Yang menyatakan bahwa segala fenomena itu eksis adalah jalan pikiran seorang awam (puthujana) seperti saya. Makanya saya belajar ajaran BUDDHA (theravada) untuk menyelami dan mempraktekkan konsep an-atta itu.

Malah saya pertanyakan lagi kepada Mahayana... Apakah Mahayana menganut konsep An-atta ?? Bagaimana dengan konsep TRI-KAYA di dalam Mahayana  yang "sering" disalah artikan dengan adanya atta. khususnya di dalam pengertian Sambhogakaya dan Dharmakaya...

Di dalam Theravada jelas dan PASTI menyatakan bahwa dengan pencapaian nibbana itulah pembuktian konsep An-atta.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 23 November 2008, 09:56:42 PM
Quote from: GandalfTheElder on 23 November 2008, 02:39:43 PM
QuoteWejangan BUDDHA yang manakah yang bisa berubah dari A menjadi B ?? yang THERAVADA tuh dari awal sampai akhir kagak ada yang "tumpang tindih" atau "gak nyambung" dan "in-konsisten"... Coba Quote konsep THERAVADA yang tumpang tindih ??

Dalam Riwayat Agung Para Buddha, yang sumbernya setahu saya dari Buddhavamsa (salah satu kitab Theravada), Petapa Sumedha berkata:

Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna  dari Buddha Dipamkara? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai Kebuddhaan."

"Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai Kebuddhaan dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan."


Wow.... ada naskah Theravada yang menyebutkan bahwa pencapaian Arahat itu egois plus "murid tidak berguna".

:o  :o  :o

_/\_
The Siddha Wanderer

Yang benar adalah petapa sumedha berpikir... bukan berkata seperti yang sdr.gandalf quote... Yang menjadi persoalan adalah, apakah pikiran petapa sumedha pada saat itu bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk menjadi ARAHAT pada saat itu juga adalah sesuai dengan kemampuannya. Saya rasa tidak... Mencapai tingkat ARAHAT itu bukan dengan konteks tawar menawar seperti ini...

Jika masih ada pikiran halus bahkan untuk NIAT LUHUR MENYELAMATKAN SEMUA MAKHLUK, maka seseorang itu TIDAK AKAN BISA MEREALISASIKAN ARAHAT. Seperti quote sebelumnya bahwa seorang ARAHAT itu sudah mencapai kualitas egaliter non-dualisme, dimana NIBBANA dan SAMSARA itu TIADA BEDANYA SAMA SEKALI.

Sdr.Gandalf kembali menafsirkan bahwa apa yang dipikirkan oleh petapa Sumedha adalah suatu kepastian dari BAKAL MENCAPAI ARAHAT petapa SUMEDHA. Karena hanya seorang SAMMASAMBUDDHA yang memiliki kualitas untuk menilai kematangan bathin makhluk lain yang dalam hal ini PETAPA SUMEDHA belumlah mencapai tingkatan tersebut (Sammasambuddha), dan bahkan ARAHAT-pun belum.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 23 November 2008, 10:01:42 PM
Quote from: chingik on 23 November 2008, 02:22:01 PM
Quote
lha, memang quote saya menyatakan bahwa MENURUT SAYA Buddhisme ZEn itu masih Murni... itu pendapat saya lo... Makanya kalau saya lihat semua quote-nya Master ZEN tentang Tanah Suci Sukhawati adalah dalam konteks RETORIKA... Tidak ada eksplisit dalam ZEN itu menyatakan bahwa Tanah Suci Sukhawati dan Tanah Tanah Suci Lainnya itu ada... yang ada dalam PIKIRAN...
Jika begitu.....
Master XuYun ketika dalam kesadaran meditatifnya bekunjung ke 'Tanah Murni" Maitreya di dalam surga Tusita . Padahal Beliau adalah pewaris silsilah Zen. Menurut anda master XuYun berbohong atau pikiran beliau menjadi sesat??? :P

Saya kebetulan memiliki buku BIOGRAFI Master XU YUN... walaupun sudah pernah saya baca habis, tetapi saya lupa apakah ada hal seperti yang dikatakan oleh sdr.chingik... kalau berkenan, apakah di dalam Biografi Master XU YUN itu ada diungkapkan hal semacam ini.

KArena seingat pikiran saya, dalam salah satu quote di forum buddha (lupa forum yang mana), pernah ada quote dari seorang pendeta/bhiksu Mahayana yang dalam keadaan meditatif "KATANYA" mengunjungi Surga Sukhawati. Dalam perjalanannya menuju Surga Sukhawati, Bhiksu tersebut sempat singgah di Surga Tusita, dan kebetulan melihat bahwa Master Xu Yun itu terlahir di Surga Tusita.

Sedangkan informasi mengenai Master Xu Yun sendiri yang mengunjungi Tanah Suci Maitreya, saya lupa apakah ada atau tidak...

Sebagai informasi, bahwa Master Xu Yun dianggap sebagai pewaris dari 5 aliran Mahayana yang ada di China (Chan, Sukhavati, Vinaya, Tien Tai dan satu lagi lupa)...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 23 November 2008, 10:04:05 PM
Quote from: GandalfTheElder on 23 November 2008, 02:16:43 PM
Quotelha gak pakai SENSE emang mau pakai IMAN ??

La mending Sraddha (iman) yang benar sesuai Dharma, ketimbang jenis Nalar (sense) yang masih dibelepoti Moha dengan tebalnya.

Lagian anda tentu tahu dong, kalau pencapaian Nirvana itu gak cuma pake Nalar?

_/\_
The Siddha Wanderer

Menurut saya, apa yang diajarkan di dalam Delapan Jalan Utama (sebagai jalan menuju lenyapnya dukkha/ mencapai nibbana / mencapai pembebasan) itu sangat MASUK AKAL. Tidak ada pernyataan metafisika dan retorika. Apakah menurut sdr. Delapan Jalan Utama itu TIDAK MASUK AKAL ??
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 23 November 2008, 10:12:30 PM
Quote from: chingik on 23 November 2008, 04:33:10 PM
Quote from: sobat-dharma on 23 November 2008, 03:56:31 PM
Jika mengakui adanya anatta, sebenarnya konsistensi itu tidak pernah ada. Kenapa demikian? Perasaan bahwa adanya suatu "konsistensi" yang menyebabkan seseorang melihat aku (atma) sebagai satu kesatuan, karena mengira "aku di masa lalu" sama dengan "aku di masa kini" dan "aku di masa depan."

Misalkan demikian, seseorang dituntut untuk tetap konsisten dalam bersikap dan bertindak, sebab tidak demikian ia dianggap bukan dirinya lagi. Jika seseorang menjadi tidak konsisten, ia dianggap tidak jujur atau sedang menyembunyikan diri yang sebenarnya. Atau seseorang yang kita kenal di masa kecil, kita temui lagi di masa dewasanya, ternyata telah berubah sama sekali penampilannya, lantas kita anggap dirinya menjadi berbeda. Oleh karena itu apa yang kita sebut sebagai "diri" pada dasarnya adalah inkonsisten. Jika diri saja inkonsisten, lantas bagaimana kita bisa segala sesuatu di dunia ini harus konsisten?

Ketika kita berusaha menarik sebuah konsistensi kita hanya semakin masuk dalam ilusi adanya "kesamaan" atau "perbedaan" antara satu hal dengan hal yang lain. jelas masalah konsistensi adalah masalah persepsi belaka.
Betul.
Kalo Kitab Theravada 100% konsisten, maka Raja Milindapanha tidak akan mempertanyakan begitu banyak hal yang inkonsistensi dalam ajaran Buddha. Begitu bukan?  ;)



Coba quote-kan pertanyaan Milinda yang menyatakan in-konsistensi dalam ajaran Buddha (maksudnya disini adalah THERAVADA)...
Setahu saya, semua pertanyaan Milinda itu dapat dijawab dengan baik oleh Nagasena...

Milinda Panha merupakan buku kuno muktabar tentang Buddhisme yang benar-benar dianggap tinggi sehingga dimasukkan oleh orang Burma di dalam kitab suci Pali Canon. Di dalam buku Palinya dikatakan bahwa percakapan antara Raja Milinda dengan Nagasena terjadi 500 tahun setelah Sang Buddha parinibana. T.W. Rhys David, penerjemah yang terhebat untuk
buku-buku Pali, menganggap buku ini sangat bagus. Beliau mengatakan, "Saya berani mengatakan bahwa 'Pertanyaan Milinda' ini jelas merupakan karya terbaik untuk prosa India; dan benar-benar buku terbaik di kelasnya dipandang dari sudut kesusastraan, yang telah diproduksi di negara manapun juga."

Gaya Milinda Panha sangat mirip dengan dialog Platonik, dimana Nagasena memainkan peran sebagai Socrates dan menang berdebat dengan Raja Milindia dalam sudut pandang Buddhis, karena penalarannya yang sehat dan perumpamaannya yang pas. Si pengarang memang tidak dikenal, tetapi hampir dapat dipastikan dia dahulu hidup di India barat laut atau di Punjab, karena dia sama sekali tidak menyebutkan suatu tempat di India bagian selatan Sungai Gangga. Dan ini didukung oleh keterangan yang ada tentang raja Menander, raja orang-orang Bactria yang dikenal sebagai Milinda.


Semua jawaban Nagasena kepada Raja Milinda ini menggunakan falsafah NALAR yang luar biasa, alih-alih menggunakan pernyataan metafisika atau pernyataan di luar LOGIKA.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 24 November 2008, 12:27:59 AM
Quote from: dilbert on 23 November 2008, 10:01:42 PM
Quote from: chingik on 23 November 2008, 02:22:01 PM
Quote
lha, memang quote saya menyatakan bahwa MENURUT SAYA Buddhisme ZEn itu masih Murni... itu pendapat saya lo... Makanya kalau saya lihat semua quote-nya Master ZEN tentang Tanah Suci Sukhawati adalah dalam konteks RETORIKA... Tidak ada eksplisit dalam ZEN itu menyatakan bahwa Tanah Suci Sukhawati dan Tanah Tanah Suci Lainnya itu ada... yang ada dalam PIKIRAN...
Jika begitu.....
Master XuYun ketika dalam kesadaran meditatifnya bekunjung ke 'Tanah Murni" Maitreya di dalam surga Tusita . Padahal Beliau adalah pewaris silsilah Zen. Menurut anda master XuYun berbohong atau pikiran beliau menjadi sesat??? :P

Saya kebetulan memiliki buku BIOGRAFI Master XU YUN... walaupun sudah pernah saya baca habis, tetapi saya lupa apakah ada hal seperti yang dikatakan oleh sdr.chingik... kalau berkenan, apakah di dalam Biografi Master XU YUN itu ada diungkapkan hal semacam ini.

KArena seingat pikiran saya, dalam salah satu quote di forum buddha (lupa forum yang mana), pernah ada quote dari seorang pendeta/bhiksu Mahayana yang dalam keadaan meditatif "KATANYA" mengunjungi Surga Sukhawati. Dalam perjalanannya menuju Surga Sukhawati, Bhiksu tersebut sempat singgah di Surga Tusita, dan kebetulan melihat bahwa Master Xu Yun itu terlahir di Surga Tusita.

Sedangkan informasi mengenai Master Xu Yun sendiri yang mengunjungi Tanah Suci Maitreya, saya lupa apakah ada atau tidak...

Sebagai informasi, bahwa Master Xu Yun dianggap sebagai pewaris dari 5 aliran Mahayana yang ada di China (Chan, Sukhavati, Vinaya, Tien Tai dan satu lagi lupa)...

Maksudnya Hua Yen?

Saya juga baca buku otobiografi yang dimaksud, dalam versi bhs indo. diterjemahkan oleh bro tan. Setahu saya tidak ada tentang ia mengunjungi Tanah Suci Maitreya.

Jika Hsu Yun dianggap sebagai pewaris 5 aliran Mahayana yang ada di Tiongkok, sy kira hanya krn ia hidup di jaman di mana kebanyakan master-master aliran Mahayana sedang vakum. Selain itu, sejak jaman era dinasti ming, aliran chan dan lain2nya saling berbaur satu sama lain. Buktinya adalah munculnya aliran Zen Obaku di Jepang, yang dipengaruhi oleh Chan masa dinasti Ming. Berbeda dengan Zen Soto dan Rinzai yang masuk ke Jepang pada era Dinasti Sung, Zen Obaku mengajarkan metode gabungan antara nienfo dan Chan. Hal ini menujukkan adanya perkembangan Chan pada masa Dinasti Sung yang cenderung memiliki metode yang unik tersendiri menjadi Chan pada Dinasti Ming yang melakukan asimilasi dengan aliran Tanah Suci (Pure Land).

Meski demikian, saya meragukan adanya Chan yang murni. Karena setidaknya kita mengenal beberapa model Chan. Dari Chan "era Boddhidarma" (Chan sebagaimana pertama kali dibawa oleh Bodhidharma), "era Tang" (Masa Sesepuh Keenam Huineng), "era Sung" (ditandai dengan munculnya aliran Lin Chi dan Sao Tung) hingga "era Ming" (Hanshan Deqing dan kawan-kawannya hingga era dinasti Ching) dan "era grassroot zen" (DT Suzuki, Alan Watts dsb; saat zen menyeberang ke Barat). Belum lagi kita mempelajari zen di korea dan vietnam.

Setiap era di atas seringkali ditandai oleh adanya perbedaan pandangan dan metode. Selain yang sudah saya sebutkan di atas ada contoh lain. Boddhidharma sendiri banyak dipengaruhi oleh filsafat Yogachara, namun Huineng ternyata banyak dipengaruhi oleh filsafat Madhyamaka. Bodhidharma terkenal sekali dengan kemampuan meditasi duduk menghadap tembok yang lama sekali, sedangkan Huineng terkenal dengan meditasi tanpa terikat pada postur apapun. Dengan demikian, ada ketidakkonssistenan paham luar antara apa yang diajarkan oleh Bodhidharma dengan yang diajarkan oleh Huineng.

Belum lagi kita menyinggung "grassroot zen" yang memang diadopsi untuk Barat yang memang suka pada hal-hal yang rasional. "Grassroot zen" lebih banyak berfokus memperkenalkan metode Koan, ketimbang metode-metode lain yang dikenalkan oleh Master Chan yang lain. Hal ini dikarenakan "grassroot zen" menyebar dari Jepang yang terkenal dengan dua aliran zen dominan (Soto dan Rinzai) yang masuk ke Jepang pada jaman Dinasti Sung. Oleh karena itu bentuknya lebih mirip dengan "chan era Dinasti Sung" yang diadopsi ke dalam bahasa modern yang logis, berbeda dengan "chan era ming" yang diwaris Xu Yun dan akhirnya sekarang diwakili oleh Master Sheng Yen, selain Zen Obaku di Jepang. 

Dengan demikian sulit dikatakan adanya Chan yang murni, jika hanya melihat pada penampilan luarnya belaka. Jika sebatas hanya pada penampilan luarnya, maka Chan bisa mengadopsi bentuk apapun dan akan terus berubah jika dibutuhkan.  Dalam Chan yang penting adalah transmisi ajaran inti yang hanya bisa dialami oleh yang menerimanya, bukan pada wujud luar yang hanya bersifat permukaan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 24 November 2008, 12:36:08 AM
Quote from: sobat-dharma on 24 November 2008, 12:27:59 AM

Maksudnya Hua Yen?

Saya juga baca buku otobiografi yang dimaksud, dalam versi bhs indo. diterjemahkan oleh bro tan. Setahu saya tidak ada tentang ia mengunjungi Tanah Suci Maitreya.

Jika Hsu Yun dianggap sebagai pewaris 5 aliran Mahayana yang ada di Tiongkok, sy kira hanya krn ia hidup di jaman di mana kebanyakan master-master aliran Mahayana sedang vakum. Selain itu, sejak jaman era dinasti ming, aliran chan dan lain2nya saling berbaur satu sama lain. Buktinya adalah munculnya aliran Zen Obaku di Jepang, yang dipengaruhi oleh Chan masa dinasti Ming. Berbeda dengan Zen Soto dan Rinzai yang masuk ke Jepang pada era Dinasti Sung, Zen Obaku mengajarkan metode gabungan antara nienfo dan Chan. Hal ini menujukkan adanya perkembangan Chan pada masa Dinasti Sung yang cenderung memiliki metode yang unik tersendiri menjadi Chan pada Dinasti Ming yang melakukan asimilasi dengan aliran Tanah Suci (Pure Land).

Meski demikian, saya meragukan adanya Chan yang murni. Karena setidaknya kita mengenal beberapa model Chan. Dari Chan "era Boddhidarma" (Chan sebagaimana pertama kali dibawa oleh Bodhidharma), "era Tang" (Masa Sesepuh Keenam Huineng), "era Sung" (ditandai dengan munculnya aliran Lin Chi dan Sao Tung) hingga "era Ming" (Hanshan Deqing dan kawan-kawannya hingga era dinasti Ching) dan "era grassroot zen" (DT Suzuki, Alan Watts dsb; saat zen menyeberang ke Barat). Belum lagi kita mempelajari zen di korea dan vietnam.

Setiap era di atas seringkali ditandai oleh adanya perbedaan pandangan dan metode. Selain yang sudah saya sebutkan di atas ada contoh lain. Boddhidharma sendiri banyak dipengaruhi oleh filsafat Yogachara, namun Huineng ternyata banyak dipengaruhi oleh filsafat Madhyamaka. Bodhidharma terkenal sekali dengan kemampuan meditasi duduk menghadap tembok yang lama sekali, sedangkan Huineng terkenal dengan meditasi tanpa terikat pada postur apapun. Dengan demikian, ada ketidakkonssistenan paham luar antara apa yang diajarkan oleh Bodhidharma dengan yang diajarkan oleh Huineng.

Belum lagi kita menyinggung "grassroot zen" yang memang diadopsi untuk Barat yang memang suka pada hal-hal yang rasional. "Grassroot zen" lebih banyak berfokus memperkenalkan metode Koan, ketimbang metode-metode lain yang dikenalkan oleh Master Chan yang lain. Hal ini dikarenakan "grassroot zen" menyebar dari Jepang yang terkenal dengan dua aliran zen dominan (Soto dan Rinzai) yang masuk ke Jepang pada jaman Dinasti Sung. Oleh karena itu bentuknya lebih mirip dengan "chan era Dinasti Sung" yang diadopsi ke dalam bahasa modern yang logis, berbeda dengan "chan era ming" yang diwaris Xu Yun dan akhirnya sekarang diwakili oleh Master Sheng Yen, selain Zen Obaku di Jepang. 

Dengan demikian sulit dikatakan adanya Chan yang murni, jika hanya melihat pada penampilan luarnya belaka. Jika sebatas hanya pada penampilan luarnya, maka Chan bisa mengadopsi bentuk apapun dan akan terus berubah jika dibutuhkan.  Dalam Chan yang penting adalah transmisi ajaran inti yang hanya bisa dialami oleh yang menerimanya, bukan pada wujud luar yang hanya bersifat permukaan.


Saya setuju dengan pendapat sdr.sobat_dharma bahwa dalam CHAN yang penting adalah transmisi ajaran inti yang hanya bisa dialami oleh yang menerimanya, bukan pada wujud luar. Karena "ke-khususan" pada "KEMURNIAN" transmisi ajaran inti langsung dari GURU ke MURID (dan biasanya GURU mengotorisasi kualitas bathin MURID), maka menurut saya, WALAUPUN secara kuantitas (jumlah), umat/praktisi Zen tidak banyak, tetapi kualitas para praktisi Zen boleh dikatakan "tidak tercemar"...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 24 November 2008, 12:38:55 AM
 :)) Soal transmisi inti anda tahu: pada dasarnya Bodhicitta adalah bersih dan jernih pada dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia bisa tercemar?  :)) :)) :))  Jadi soal itu, bukan "kemurnian ajaran" sebagaimana yang anda kira.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 24 November 2008, 12:50:52 AM
Quote from: sobat-dharma on 24 November 2008, 12:38:55 AM
:)) Soal transmisi inti anda tahu: pada dasarnya Bodhicitta adalah bersih dan jernih pada dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia bisa tercemar?  :)) :)) :))  Jadi soal itu, bukan "kemurnian ajaran" sebagaimana yang anda kira.

Memang pada dasarnya BODHICITTA itu bersih dan jernih, tetapi karena avijja (ketidaktahuan)... mengikuti ajaran yang salah atau ajaran yang kualitasnya semakin menurun... gimana ??
Bahkan Dharma (ajaran BUDDHA) suatu saat akan hilang karena kualitas ajaran dari masa ke masa yang semakin berkurang. Jadi menurut saya, SASANA (ajaran) itu penting.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 24 November 2008, 01:11:57 AM
Quote from: dilbert on 24 November 2008, 12:50:52 AM
Quote from: sobat-dharma on 24 November 2008, 12:38:55 AM
:)) Soal transmisi inti anda tahu: pada dasarnya Bodhicitta adalah bersih dan jernih pada dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia bisa tercemar?  :)) :)) :))  Jadi soal itu, bukan "kemurnian ajaran" sebagaimana yang anda kira.

Memang pada dasarnya BODHICITTA itu bersih dan jernih, tetapi karena avijja (ketidaktahuan)... mengikuti ajaran yang salah atau ajaran yang kualitasnya semakin menurun... gimana ??
Bahkan Dharma (ajaran BUDDHA) suatu saat akan hilang karena kualitas ajaran dari masa ke masa yang semakin berkurang.

Hungren berkata kepada Xenxiu:
"Untuk mencapai pencerahan sempurna, seseorang harus secara spontan mengenali Hakikat Dasar dirinya yang tak-terlahirkan dan tidak tak-terlahirkan (musnah) Dari ksana ke ksana, seseorang selalu mengenali Hakikat Pikiran (Bodhi)-nya setiap waktu; ia akan melihat bahwa tidak ada hal yang merintangi sepuluh ribu Dharma. Dalam kebenaran ini terdapat semua kebenaran dan sepuluh ribu kondisi adalah diri mereka sendiri, wajar seperti apa adanya.  Sekali Bhuta Tathata  dikenali, seseorang akan bebas dari ilusi selamanya; dan dalam setiap situasi pikiran seseorang akan selalu berada dalam kondisi Kewajaran. Kondisi ini adalah kebenaran sejati." (Kutipan dari Sutra Altar)

Jika ada Dharma yang benar-benar bisa lenyap, ia bukanlah Dharma. Meski Buddha Dharma dikatakan akan merosot suatu saat, maka yang merosot hanya "bentuk luar" saja. Namun, tidak ada alasan untuk mengatakan Buddha Dharma sendiri akan merosot, jika hanya bercampur antara Chan dengan Tien Tai. Keduanya masih dalam satu koridor Ajaran Buddha. Lantas mengapa percampuran ini harus dikatakan menodai kemurnian?
Bahkan jika bercampur dengan agama lain (Misalnya ada yang menyebutkan Chan masih dipengaruhi oleh Taoisme), jika masih membawa seseorang pada kesadaran, mengapa harus dikatakan tercemar?

Sebab "kualitas" Ajaran Buddha bukan terletak pada bentuk luarnya, tetapi tergantung pada praktisi itu sendiiri. Kita tahu, di Jaman Buddha Siddharta 'masih hidup' saja masih ada yang menolak Ajaran Buddha atau mempraktikkannya dengan jalan yang salah (contoh: Devadatta). Bukankah hal ini berarti bahwa Ajaran Buddha dalam bentuknya paling murni (menurut pandangan anda) masih juga ada yang salah dalam mempraktikkannya. Jadi, "kualitas" Ajaran buddha bukan terletak pada bentuk luarnya, tetapi juga tergantung pada praktisinya. Dalam hal ini, di mana pun dan di masa kapanpun selalu ada orang yang debu kekotoran batinnya lebih sedikit dari yang lain. Maka tidak peduli apakah bentuk luarnya banyak berubah atau bahkan berganti nama sekalipun, orang-orang tersebut akan dengan mudah mengenalinya dan segera merealisasikan Bodhicitta (atau apapun namanya kelak).

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 24 November 2008, 01:20:46 AM
Quote from: sobat-dharma on 24 November 2008, 01:11:57 AM

Hungren berkata kepada Xenxiu:
"Untuk mencapai pencerahan sempurna, seseorang harus secara spontan mengenali Hakikat Dasar dirinya yang tak-terlahirkan dan tidak tak-terlahirkan (musnah) Dari ksana ke ksana, seseorang selalu mengenali Hakikat Pikiran (Bodhi)-nya setiap waktu; ia akan melihat bahwa tidak ada hal yang merintangi sepuluh ribu Dharma. Dalam kebenaran ini terdapat semua kebenaran dan sepuluh ribu kondisi adalah diri mereka sendiri, wajar seperti apa adanya.  Sekali Bhuta Tathata  dikenali, seseorang akan bebas dari ilusi selamanya; dan dalam setiap situasi pikiran seseorang akan selalu berada dalam kondisi Kewajaran. Kondisi ini adalah kebenaran sejati." (Kutipan dari Sutra Altar)

Jika ada Dharma yang benar-benar bisa lenyap, ia bukanlah Dharma. Meski Buddha Dharma dikatakan akan merosot suatu saat, maka yang merosot hanya "bentuk luar" saja. Namun, tidak ada alasan untuk mengatakan Buddha Dharma sendiri akan merosot, jika hanya bercampur antara Chan dengan Tien Tai. Keduanya masih dalam satu koridor Ajaran Buddha. Lantas mengapa percampuran ini harus dikatakan menodai kemurnian?
Bahkan jika bercampur dengan agama lain (Misalnya ada yang menyebutkan Chan masih dipengaruhi oleh Taoisme), jika masih membawa seseorang pada kesadaran, mengapa harus dikatakan tercemar?

Sebab "kualitas" Ajaran Buddha bukan terletak pada bentuk luarnya, tetapi tergantung pada praktisi itu sendiiri. Kita tahu, di Jaman Buddha Siddharta 'masih hidup' saja masih ada yang menolak Ajaran Buddha atau mempraktikkannya dengan jalan yang salah (contoh: Devadatta). Bukankah hal ini berarti bahwa Ajaran Buddha dalam bentuknya paling murni (menurut pandangan anda) masih juga ada yang salah dalam mempraktikkannya. Jadi, "kualitas" Ajaran buddha bukan terletak pada bentuk luarnya, tetapi juga tergantung pada praktisinya. Dalam hal ini, di mana pun dan di masa kapanpun selalu ada orang yang debu kekotoran batinnya lebih sedikit dari yang lain. Maka tidak peduli apakah bentuk luarnya banyak berubah atau bahkan berganti nama sekalipun, orang-orang tersebut akan dengan mudah mengenalinya dan segera merealisasikan Bodhicitta (atau apapun namanya kelak).


Jika bicara tentang Dharma (D dalam huruf besar yang artinya segala fenomena), maka tidak ada Dharma yang bisa merosot. Tetapi dalam hal ini yang dibicarakan adalah dharma (harfiah nya ajaran) yang dapat diajarkan tentunya berbeda. dharma (ajaran) bisa saja merosot. Bayangkan saja bahwa pada jaman Buddha masih hidup sendiri, masih banyak makhluk yang sulit untuk di-bina, apalagi pada jaman sekarang ini.

Ketika tidak adanya ajaran (dalam hal ini ajaran BUDDHA), bodhicitta masih dapat diraih... jalurnya ya di PACCEKA BUDDHA. Tetapi dalam berbagai teks buddha dikatakan bahwa kesempatan untuk terlahirnya seorang sammasambuddha dan menurunkan ajaran adalah sangat langka. Artinya apa, bahwa AJARAN (SASANA) itu sedemikian penting untuk lebih mengintensifkan kesempatan bagi makhluk untuk mendapat pengetahuan tentang JALAN.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 24 November 2008, 01:56:16 PM
Quote from: dilbert on 23 November 2008, 10:01:42 PM
Quote from: chingik on 23 November 2008, 02:22:01 PM
Quote
lha, memang quote saya menyatakan bahwa MENURUT SAYA Buddhisme ZEn itu masih Murni... itu pendapat saya lo... Makanya kalau saya lihat semua quote-nya Master ZEN tentang Tanah Suci Sukhawati adalah dalam konteks RETORIKA... Tidak ada eksplisit dalam ZEN itu menyatakan bahwa Tanah Suci Sukhawati dan Tanah Tanah Suci Lainnya itu ada... yang ada dalam PIKIRAN...
Jika begitu.....
Master XuYun ketika dalam kesadaran meditatifnya bekunjung ke 'Tanah Murni" Maitreya di dalam surga Tusita . Padahal Beliau adalah pewaris silsilah Zen. Menurut anda master XuYun berbohong atau pikiran beliau menjadi sesat??? :P

Saya kebetulan memiliki buku BIOGRAFI Master XU YUN... walaupun sudah pernah saya baca habis, tetapi saya lupa apakah ada hal seperti yang dikatakan oleh sdr.chingik... kalau berkenan, apakah di dalam Biografi Master XU YUN itu ada diungkapkan hal semacam ini.

KArena seingat pikiran saya, dalam salah satu quote di forum buddha (lupa forum yang mana), pernah ada quote dari seorang pendeta/bhiksu Mahayana yang dalam keadaan meditatif "KATANYA" mengunjungi Surga Sukhawati. Dalam perjalanannya menuju Surga Sukhawati, Bhiksu tersebut sempat singgah di Surga Tusita, dan kebetulan melihat bahwa Master Xu Yun itu terlahir di Surga Tusita.

Sedangkan informasi mengenai Master Xu Yun sendiri yang mengunjungi Tanah Suci Maitreya, saya lupa apakah ada atau tidak...

Sebagai informasi, bahwa Master Xu Yun dianggap sebagai pewaris dari 5 aliran Mahayana yang ada di China (Chan, Sukhavati, Vinaya, Tien Tai dan satu lagi lupa)...
Master XuYun hanya pewaris silsilah dalam berbagai aliran Chan,  bukan pewaris aliran Sukhavati, Vinaya, TienTai ataupun Huayen. Tapi tetap mengajarkan aliran2 tersebut.
Kunjungan beliau ke Tusita kalau ga salah memang ada di Biografi edisi Indonesia. Coba cari lagi deh. Yang jelas di kitab kumpulan perjalanan hidup Xuyun versi asli (mandarin) ada kisah tersebut. 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Riky_dave on 24 November 2008, 04:31:26 PM
Begini boleh sedikit opini tidak?saya heran dengan Mahayana...benar2 heran...
Kalau Theravada sutta nya saya ragukan apalagi Mahayana? :)

Salam hangat,
Riky
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 24 November 2008, 04:55:00 PM
Quote from: Riky_dave on 24 November 2008, 04:31:26 PM
Begini boleh sedikit opini tidak?saya heran dengan Mahayana...benar2 heran...
Kalau Theravada sutta nya saya ragukan apalagi Mahayana? :)

Salam hangat,
Riky

Ada unsur merasa diri sendiri paling benar yach.. ^-^

saya sih merasa diri sendiri paling ga benar.. :))
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Riky_dave on 24 November 2008, 08:37:29 PM
Quote from: chingik on 24 November 2008, 04:55:00 PM
Quote from: Riky_dave on 24 November 2008, 04:31:26 PM
Begini boleh sedikit opini tidak?saya heran dengan Mahayana...benar2 heran...
Kalau Theravada sutta nya saya ragukan apalagi Mahayana? :)

Salam hangat,
Riky

Ada unsur merasa diri sendiri paling benar yach.. ^-^

saya sih merasa diri sendiri paling ga benar.. :))
Lho?hehehe,koq unsur diri sendiri paling benar?Ini kan merupakan Sabda SB kepada Suku Kalama yakni Kalama Sutta bukan? :)
Kan saya tidak bilang Mahayana salah dan Theravada benar... hehehe..Stay cool ya... :)

Salam hangat,
Riky
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 24 November 2008, 09:37:38 PM
Quote from: dilbert on 23 November 2008, 09:56:42 PM

Yang benar adalah petapa sumedha berpikir... bukan berkata seperti yang sdr.gandalf quote... Yang menjadi persoalan adalah, apakah pikiran petapa sumedha pada saat itu bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk menjadi ARAHAT pada saat itu juga adalah sesuai dengan kemampuannya. Saya rasa tidak... Mencapai tingkat ARAHAT itu bukan dengan konteks tawar menawar seperti ini...

Jika masih ada pikiran halus bahkan untuk NIAT LUHUR MENYELAMATKAN SEMUA MAKHLUK, maka seseorang itu TIDAK AKAN BISA MEREALISASIKAN ARAHAT. Seperti quote sebelumnya bahwa seorang ARAHAT itu sudah mencapai kualitas egaliter non-dualisme, dimana NIBBANA dan SAMSARA itu TIADA BEDANYA SAMA SEKALI.

Sdr.Gandalf kembali menafsirkan bahwa apa yang dipikirkan oleh petapa Sumedha adalah suatu kepastian dari BAKAL MENCAPAI ARAHAT petapa SUMEDHA. Karena hanya seorang SAMMASAMBUDDHA yang memiliki kualitas untuk menilai kematangan bathin makhluk lain yang dalam hal ini PETAPA SUMEDHA belumlah mencapai tingkatan tersebut (Sammasambuddha), dan bahkan ARAHAT-pun belum.

Nah lho.... Gini2 deh....

Bukan masalah kemampuannya atau tidak, tapi Petapa Sumedha berpikir seseorang yang mencapai tingkat Arahatta itu egois dan "murid tidak berguna".

Umat Theravada yang masih putthujana en pemula aja tahu klo Arahat nggak egois....

Nah... petapa Sumedha yang calon Bodhisatta  malah mikir Arahat egois ???  ^-^  ^-^

Calon Bodhisatta lo.....  :o  :o

Lagipula Buddha Dipamkara tentu tahu dong apa yang dipikirkan Sumedha?? Harusnya Beliau menegurnya kan, kalau Sumedha memiliki pandangan salah???

..... Malu2in lah..... kalo sampe calon Bodhisatta punya pikiran Arahat itu egois...

Masa calon Bodhisatta punya pandangan salah yang sedasar dan se-simple itu? La umat Theravada yang biasa-biasa aja tao kale Arahat itu nggak egois, masa calon Bodhisatta nggak tahu?...  ^-^  ^-^

Atau memang sebenarnya...... Arahat itu memang egosentris seperti kata Mahayana?? Wah... Petapa Sumedha dan Buddhavamsa lumayan pro Mahayana tuh....

Atau jangan-jangan Buddha Dipamkara melihat pikiran Sumedha pada saat itu adalah Pandangan benar (Sammaditthi), bukan Pandangan salah (Micchaditthi)??  8)  8)

Ananda K. Coomarasway (1877-1947 M) pernah menulis:
"Ketika Brahman Sumedha  menolak untuk menyebrangi lautan (samsara) sendirian dan mengucapkan ikrar untuk menjadi Buddha, dengan tujuan agar ia dapat menyebrangkan pula manusia lain, dan para dewa, melewati lautan (samsara), ia berbicara dengan pola pikir Mahayana."
(Buddha and the Gospel of Buddhism)

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Riky_dave on 24 November 2008, 09:39:35 PM
QuoteAnanda K. Coomarasway (1877-1947 M) pernah menulis:
"Ketika Brahman Sumedha menolak untuk menyebrangi lautan (samsara) sendirian dan mengucapkan ikrar untuk menjadi Buddha, dengan tujuan agar ia dapat menyebrangkan pula manusia lain, dan para dewa, melewati lautan (samsara), ia berbicara dengan pola pikir Mahayana."
(Buddha and the Gospel of Buddhism)
Tolong lebih detailnya?

Salam hangat,
Riky
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 24 November 2008, 09:40:38 PM
Quote from: Riky_dave on 24 November 2008, 08:37:29 PM

Lho?hehehe,koq unsur diri sendiri paling benar?Ini kan merupakan Sabda SB kepada Suku Kalama yakni Kalama Sutta bukan? :)
Kan saya tidak bilang Mahayana salah dan Theravada benar... hehehe..Stay cool ya... :)

Salam hangat,
Riky

Ya udah deh.... saya meragukan Kalama Sutta kalau gitu......  ^-^  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 24 November 2008, 09:41:26 PM
Quote from: Riky_dave on 24 November 2008, 09:39:35 PM

Tolong lebih detailnya?

Salam hangat,
Riky

Ya gitu deh..... la wong saya quote kok....  ;D

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Riky_dave on 24 November 2008, 09:48:29 PM
Quote from: GandalfTheElder on 24 November 2008, 09:40:38 PM
Quote from: Riky_dave on 24 November 2008, 08:37:29 PM

Lho?hehehe,koq unsur diri sendiri paling benar?Ini kan merupakan Sabda SB kepada Suku Kalama yakni Kalama Sutta bukan? :)
Kan saya tidak bilang Mahayana salah dan Theravada benar... hehehe..Stay cool ya... :)

Salam hangat,
Riky

Ya udah deh.... saya meragukan Kalama Sutta kalau gitu......  ^-^  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer
Ragukan saja...anda boleh meragukan apapun koq,itu hak anda... :))

Salam hangat,
Riky
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Riky_dave on 24 November 2008, 09:48:48 PM
Quote from: GandalfTheElder on 24 November 2008, 09:41:26 PM
Quote from: Riky_dave on 24 November 2008, 09:39:35 PM

Tolong lebih detailnya?

Salam hangat,
Riky

Ya gitu deh..... la wong saya quote kok....  ;D

_/\_
The Siddha Wanderer
Maksudnya tidak ada yang lebih detail?:))

Salam hangat,
Riky
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 24 November 2008, 09:56:40 PM
QuoteRagukan saja...anda boleh meragukan apapun koq,itu hak anda...

Salam hangat,
Riky

Ya udah.....  ^-^  ^-^  ^-^ Wes.. wes....

QuoteMaksudnya tidak ada yang lebih detail?

Ya... bukunya cuma nulis gitu tuh........

_/\_
The Siddha Wanderer

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 24 November 2008, 10:01:13 PM
Quote from: dilbert on 23 November 2008, 10:04:05 PM
Menurut saya, apa yang diajarkan di dalam Delapan Jalan Utama (sebagai jalan menuju lenyapnya dukkha/ mencapai nibbana / mencapai pembebasan) itu sangat MASUK AKAL. Tidak ada pernyataan metafisika dan retorika. Apakah menurut sdr. Delapan Jalan Utama itu TIDAK MASUK AKAL ??

La kalau Samyak-samadhi dan Samyak-drsti itu menuju pada apa ya ??? Metafisika atau nalar ???

Kriteria masuk akal anda itu apa sih?

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 24 November 2008, 10:18:51 PM
QuoteSemua jawaban Nagasena kepada Raja Milinda ini menggunakan falsafah NALAR yang luar biasa, alih-alih menggunakan pernyataan metafisika atau pernyataan di luar LOGIKA.

Arahat awam harus menjadi bhikkhu dalam batas waktu 7 hari, kalau tidak akan meninggal. Ini di dalam LOGIKA atau di luar LOGIKA?

Anda mengatakan:
QuoteSeperti quote sebelumnya bahwa seorang ARAHAT itu sudah mencapai kualitas egaliter non-dualisme, dimana NIBBANA dan SAMSARA itu TIADA BEDANYA SAMA SEKALI.

Mestinya antara kehidupan bhikkhu dengan umat awam juga non-dualisme kan?

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 24 November 2008, 10:21:49 PM
Quote
Quote from: GandalfTheElder on 24 November 2008, 10:01:13 PM
Quote from: dilbert on 23 November 2008, 10:04:05 PM
Menurut saya, apa yang diajarkan di dalam Delapan Jalan Utama (sebagai jalan menuju lenyapnya dukkha/ mencapai nibbana / mencapai pembebasan) itu sangat MASUK AKAL. Tidak ada pernyataan metafisika dan retorika. Apakah menurut sdr. Delapan Jalan Utama itu TIDAK MASUK AKAL ??
yang sesuai logika lah yang masuk akal.
oya tapi alam dewa itu bgm dijelaskan dari sisi akal sehat?
jadi bagaimana pendekatan theravada atas 2 sisi di atas?
yang lain dibilang inkonsistensi, sedangkan ini disebut konsistensi karena memiliki penjelasan yg berbeda. Tidakkah terkesan argumentasi yang bersifat berat sebelah?
  ???


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 24 November 2008, 10:43:08 PM
Quote from: GandalfTheElder on 24 November 2008, 09:37:38 PM
Quote from: dilbert on 23 November 2008, 09:56:42 PM

Yang benar adalah petapa sumedha berpikir... bukan berkata seperti yang sdr.gandalf quote... Yang menjadi persoalan adalah, apakah pikiran petapa sumedha pada saat itu bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk menjadi ARAHAT pada saat itu juga adalah sesuai dengan kemampuannya. Saya rasa tidak... Mencapai tingkat ARAHAT itu bukan dengan konteks tawar menawar seperti ini...

Jika masih ada pikiran halus bahkan untuk NIAT LUHUR MENYELAMATKAN SEMUA MAKHLUK, maka seseorang itu TIDAK AKAN BISA MEREALISASIKAN ARAHAT. Seperti quote sebelumnya bahwa seorang ARAHAT itu sudah mencapai kualitas egaliter non-dualisme, dimana NIBBANA dan SAMSARA itu TIADA BEDANYA SAMA SEKALI.

Sdr.Gandalf kembali menafsirkan bahwa apa yang dipikirkan oleh petapa Sumedha adalah suatu kepastian dari BAKAL MENCAPAI ARAHAT petapa SUMEDHA. Karena hanya seorang SAMMASAMBUDDHA yang memiliki kualitas untuk menilai kematangan bathin makhluk lain yang dalam hal ini PETAPA SUMEDHA belumlah mencapai tingkatan tersebut (Sammasambuddha), dan bahkan ARAHAT-pun belum.

Nah lho.... Gini2 deh....

Bukan masalah kemampuannya atau tidak, tapi Petapa Sumedha berpikir seseorang yang mencapai tingkat Arahatta itu egois dan "murid tidak berguna".

Umat Theravada yang masih putthujana en pemula aja tahu klo Arahat nggak egois....

Nah... petapa Sumedha yang calon Bodhisatta  malah mikir Arahat egois ???  ^-^  ^-^

Calon Bodhisatta lo.....  :o  :o

Lagipula Buddha Dipamkara tentu tahu dong apa yang dipikirkan Sumedha?? Harusnya Beliau menegurnya kan, kalau Sumedha memiliki pandangan salah???

..... Malu2in lah..... kalo sampe calon Bodhisatta punya pikiran Arahat itu egois...

Masa calon Bodhisatta punya pandangan salah yang sedasar dan se-simple itu? La umat Theravada yang biasa-biasa aja tao kale Arahat itu nggak egois, masa calon Bodhisatta nggak tahu?...  ^-^  ^-^

Atau memang sebenarnya...... Arahat itu memang egosentris seperti kata Mahayana?? Wah... Petapa Sumedha dan Buddhavamsa lumayan pro Mahayana tuh....

Atau jangan-jangan Buddha Dipamkara melihat pikiran Sumedha pada saat itu adalah Pandangan benar (Sammaditthi), bukan Pandangan salah (Micchaditthi)??  8)  8)

Ananda K. Coomarasway (1877-1947 M) pernah menulis:
"Ketika Brahman Sumedha  menolak untuk menyebrangi lautan (samsara) sendirian dan mengucapkan ikrar untuk menjadi Buddha, dengan tujuan agar ia dapat menyebrangkan pula manusia lain, dan para dewa, melewati lautan (samsara), ia berbicara dengan pola pikir Mahayana."
(Buddha and the Gospel of Buddhism)

_/\_
The Siddha Wanderer

Lha memang kalau di Theravada, calon bodhisatta itu masih dalam JALAN (MAGGA) belum mencapai HASIL (PHALA)... Apalagi masih namanya baru calon bodhisatta, belum menyandang gelar bodhisatta karena belum mendapat ramalan pasti dari buddha dipankara. Jadi sah sah saja kalau petapa sumedha itu pikirannya masih belum sekualitas seorang ARAHAT.

Kemudian lagi, tak ada urusan dengan buddha dipankara lagi... Buddha dipankara kan hanya memberikan ramalan berdasarkan kemampuan seorang sammasambuddha untuk menilai kualitas bathin dan pencapaiannya dimasa mendatang. Petapa Sumedha berpikir bahwa pada saat itu jika dia mau, maka dia bisa merealisasikan arahat, tetapi karena ada pemikiran untuk menolong makhluk lain, karena pikiran menolong itulah seseorang individu masih belum bisa mencapai tingkat ARAHAT, karena masih belum terbebas dari apa yang disebut dengan pandangan egaliter non-dualisme.

inilah yang membedakan dari awal pandangan Theravada dan Mahayana, Di dalam Theravada bahkan calon bodhisatta ataupun bodhisatta itu secara kualitas, bathinnya masih "DIBAWAH" ARAHAT. Karena ARAHAT sudah bla bla bla...

Sedangkan kalau di Mahayana agak lain, bahwa ARAHAT itu setara dengan bodhisatta tingkat 7... dan karena masih tingkat 7, berarti ARAHAT masih dibawah bodhisatta tingkat 8, 9 dan bahkan 10...

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 24 November 2008, 10:48:57 PM
Quote from: GandalfTheElder on 24 November 2008, 10:01:13 PM
Quote from: dilbert on 23 November 2008, 10:04:05 PM
Menurut saya, apa yang diajarkan di dalam Delapan Jalan Utama (sebagai jalan menuju lenyapnya dukkha/ mencapai nibbana / mencapai pembebasan) itu sangat MASUK AKAL. Tidak ada pernyataan metafisika dan retorika. Apakah menurut sdr. Delapan Jalan Utama itu TIDAK MASUK AKAL ??

La kalau Samyak-samadhi dan Samyak-drsti itu menuju pada apa ya ??? Metafisika atau nalar ???

Kriteria masuk akal anda itu apa sih?

_/\_
The Siddha Wanderer

gak ngerti apa itu samyak samadhi dan samyak drsti... mohon diberi penjelasan...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 24 November 2008, 10:54:55 PM
Quote from: GandalfTheElder on 24 November 2008, 10:18:51 PM
QuoteSemua jawaban Nagasena kepada Raja Milinda ini menggunakan falsafah NALAR yang luar biasa, alih-alih menggunakan pernyataan metafisika atau pernyataan di luar LOGIKA.

Arahat awam harus menjadi bhikkhu dalam batas waktu 7 hari, kalau tidak akan meninggal. Ini di dalam LOGIKA atau di luar LOGIKA?

Anda mengatakan:
QuoteSeperti quote sebelumnya bahwa seorang ARAHAT itu sudah mencapai kualitas egaliter non-dualisme, dimana NIBBANA dan SAMSARA itu TIADA BEDANYA SAMA SEKALI.

Mestinya antara kehidupan bhikkhu dengan umat awam juga non-dualisme kan?

_/\_
The Siddha Wanderer

Percakapan raja Milinda dan Nagasena terjadi beberapa ratus tahun setelah era BUDDHA GOTAMA. Banyak kejadian umat AWAM (yang belum ditabhiskan) mencapai tingkat kesucian ARAHAT, tetapi meninggal (parinibbana) dalam jangka waktu singkat seperti : BAHIYA dan Raja Suddhodana misalnya...

Mungkin inilah yang mendasari pertanyaan dari raja Milinda dan Nagasena, dari kejadian tersebut, apakah benar seorang ARAHAT umat AWAM harus menjadi bhikkhu dalam 7 hari, kalau tidak akan parinibbana... Saya kira pertanyaan ini telah menjadi topik tersendiri yang sudah pernah di bahas.

LAgipula menurut alur NALAR saya, bahwa jika seseorang sudah mencapai tingkat kesucian ARAHAT, maka persoalan hidup dan mati-nya sudah tidak penting bagi seorang ARAHAT. Toh tidak ada lagi dorongan/bahan bakar untuk kelahiran dan kematian. Jika ada kematian, maka itu adalah kematian yang terakhir.

Saya kira di dalam sutta sendiri, BUDDHA tidak pernah menyatakan bahwa seorang ARAHAT (umat awam) wajib ditabhiskan menjadi seorang bhikkhu, tetapi dari banyak cerita pencapaian ARAHAT oleh umat awam, biasanya ada cerita tentang pentabhisan ataupun usaha untuk pentabhisan. Karena begitu sudah mencapai ARAHAT, sudah tidak penting lagi apakah beliau itu bhikkhu ataupun umat awam (statusnya).
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 24 November 2008, 11:03:19 PM
Quote from: chingik on 24 November 2008, 10:21:49 PM
yang sesuai logika lah yang masuk akal.
oya tapi alam dewa itu bgm dijelaskan dari sisi akal sehat?
jadi bagaimana pendekatan theravada atas 2 sisi di atas?
yang lain dibilang inkonsistensi, sedangkan ini disebut konsistensi karena memiliki penjelasan yg berbeda. Tidakkah terkesan argumentasi yang bersifat berat sebelah?
  ???

Logika berpikir itu tidak harus serta merta dibuktikan. Tetapi secara LOGIS bahwa kesatuan alur itu harus mendukung.
Anda bertanya tentang alam dewa, apakah bisa dibuktikan ?? Jawabannya tentunya sulit... Tetapi apakah secara LOGIKA, dalam alur "CERITA"/AJARAN yang berkaitan dengan spiritual itu dimungkinkan ??

Jawabannya tentu saja mungkin, karena dalam alur ajaran... (saya kira diajaran manapun juga)... ada cerita tentang SURGA (alam dewa) maupun NERAKA...
"KATANYA" kalau berbuat baik akan masuk surga, berbuat jahat akan masuk NERAKA... Jika ditanyakan BUKTI-nya, apa ada BUKTI SURGA dan NERAKA itu ADA ???

Tetapi dari LOGIKA berpikir dari sisi alur, bahwa dengan berbuat baik akan mendapat pahala baik... tentunya ganjarannya adlaah alam surga dengan serangkaian fasilitas kebahagian dsbnya... sedangkan kalau berbuat jahat akan mendapat akibat/ganjaran... tentunya akibat yang diberikan adalah alam neraka dengan serangkaian siksaan dan penderitaan...

Apakah ini LOGIS dan sesuai dengan NALAR ?? Kalau tidak sesuai NALAR. Apakah akan LAKU semua PROMOSI PROMOSI AGAMA/AJARAN ke sekian miliar manusia... Apakah semua manusia itu sudah tidak ada NALAR-nya lagi ??

Terus terang saja, saya sendiri bahkan tidak peduli bahwa apakah ALAM SURGA ITU ADA atau TIDAK, Apakah ALAM NERAKA itu ADA atau TIDAK, apakah benar kita bisa bertumimbal lahir menjadi binatang, asura, ataupun hantu kelaparan... Yang saya lihat di dalam ajaran BUDDHA khususnya di EMPAT KESUNYATAAN MULIA... semua-nya itu LOGIS DAN MASUK AKAL ketika dipraktekkan... Yang penting bagi saya adalah melenyapkan dukkha pada saat ini juga, pada saat kehidupan ini juga... GAK PEDULI dengan kehidupan setelah kematian apakah masih berlanjut atau tidak ??
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 24 November 2008, 11:36:26 PM
Ya memang nggak sekualitas Arahat.

Tapi toh umat Theravada yang awam-pun, yang pengetahuan Dhamma-nya dangkal, yang batinnya nggak sekualitas Arahat, aja tahu kalau Arahat itu nggak egois.

Yang ingin saya tanyakan adalah, seorang calon Bodhisatta, yang memiliki kualitas:
(6) should be possessed of attainments such as the jhānas,
(7) be prepared to sacrifice all, even life, and
(8) his resolution should be absolutely firm and unwavering.


.....itu.....

Masa NGGAK TAHU kalau Arahat itu nggak egois??  ^-^  ^-^

La wong umat Theravada biasa yang Jhana saja nggak nyampai, bahkan nggak siap mengorbankan dirinya aja tahu bahwa Arahat itu nggak egois.

Makanya ketika Petapa Sumedha berpikir bahwa pencapaian Arahat itu egois....tentu dia punya dasar pandangan tersendiri yang cukup jelas dan beralasan....

Bahkan banyak juga kan umat Theravada yang tahu kalau Arahat itu nggak egois, tapi mereka berikrar menjadi Bodhisatta??

Raja Nissanka Malla (1187-1196) dari Polonnaruwa, Srilanka membuat pernyataan: "Aku akan menunjukkan diriku dalam wujud yang sejati yang dilimpahi dengan…kualitas-kualitas bajik seorang Raja Bodhisatta, yang bagaikan orang tua melindungi dunia dan agama.".
Raja Parakramabahu VI dalam segel kerajaannya menyebut dirinya
sebagai Bodhisatta Parakramabahu. Raja Mahinda IV bahkan lebih jauh
lagi menyatakan bahwa seorang yang bukan Bodhisatta tidak akan dapat
menjadi Raja Srilanka.
Kini kita beralih ke Burma. Di negeri tersebut contoh hubungan antara
raja dan Bodhisattva diperlihatkan oleh Raja Kyanzittha, yang
menyatakan dirinya sebagai "Bodhisatta, yang kelak akan menjadi
seorang Buddha, yang menyelamatkan dan membebaskan semua makhluk,
yang memiliki cinta dan belas kasih bagi semua makhluk di segala
jaman, serta yang telah diramalkan oleh Sang Buddha untuk menjadi
seorang Buddha yang sempurna." Raja Alaungsithu menulis bahwa ia akan
menolong semua makhluk mencapai "Kota yang Terberkahi" (nibbana).
Raja-raja Sri Tribhuvanaditya, Thiluin Man, Cansu I, dan Natonmya
semuanya menyatakan dirinya sebagai Bodhisatta.
Di Muangthai, Raja Lu Tai dari Sukhothai berharap untuk "menjadi
seorang Buddha demi membantu semua makhluk meninggalkan samsara."
Masih banyak lagi tokoh-tokoh Theravada lainnya, yang bukan berasal
dari kalangan kerajaan, juga berikrar untuk menjadi Bodhisatta.
Pengarang komentar kitab Jataka (Jatakattakatha) - Buddhaghosa menutup karangannya dengan ikrar untuk melaksanakan sepuluh parami agar pada masa mendatang ia dapat menjadi Buddha dan membimbing para makhluk yang
berada di dunia ini dan alam dewa menuju nibanna, sehingga terbebas
dari kelahiran dan kematian yang tanpa henti. Buddhaghosa, penulis
komentar yang terkenal tersebut juga diyakini oleh para Bhikkhu di
Anuradhapura sebagai penjelmaan Bodhisatta Metteya.
Bhikkhu besar
dari Srilanka Doratiyaveye (sekitar 1900) setelah menerima ajaran
rahasia dari guru meditasinya, menolak untuk mempraktekkannya.
Penolakan itu disebabkan karena ia merasa bahwa teknik meditasi
tersebut akan menyebabkannya menjadi seorang Arahat atau setidaknya
sotapanna, padahal ia menganggap diri sebagai seorang Bodhisatta dan
telah berikrar untuk menjadi seorang Buddha kelak. Bhikkhu Mahaa
Tipitaka Culabhaya dalam komentarnya mengenai Milindapanha
menulis: "Buddho Bhaveyyam" atau "Semoga aku menjadi seorang Buddha.
(Perbandingan Konsep Arahat dan Boddhisattva dalam Buddhisme Theravada & Mahayana oleh Ivanm Taniputera)

La para raja dan bhikkhu Theravada tersebut sudah tahu kalau Arahat itu nggak egois, tapi yah tetep pengen jadi Bodhisatta!!


Jadi seseorang yang ingin menjadi Bodhisatta, tidak selalu harus menganggap Arahat itu egois....

Kenapa Petapa Sumedha malah bepikir:
Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna  dari Buddha Dipamkara? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai Kebuddhaan."

"Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai Kebuddhaan dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan."


Emang nggak bisa Petapa Sumedha berpikir, "Arahat itu memang tidak egois dan bukan tidak berguna, namun jauh mulia bagiku untuk menjadi Sammasambuddha." ??

Kenapa Petapa Sumedha yang batinnya begitu siap dan cukup "tinggi" (sudah mencapai Jhana-jhana), yang tahu benar ajaran Buddha dan siapa itu Sang Buddha dan para siswa-Nya, malah berpikir pencapaian Arahatta itu egois??

Tentu ini karena Arahat itu egosentris plus "tidak berguna" menurut Petapa Sumedha, konon begitu menurut naskah Theravada Buddhavamsa. Bodhisatta dipandang sebagai Jalan Hidup yang lebih tinggi karena dapat menyelamatkan lebih banyak makhluk.

Ya nggak heran deh kalau Mahasanghika menagung-agungkan Bodhisattva ketimbang Arahat.

Justru menurut Mahayana, karena pandangan satu sisi itulah, Arahat tidak mencapai Non-Dualisme....... kalau memang bener2 Non Dualisme.... maka seharusnya tidak ada yang namanya "mengesampingkan" pemikiran menolong makhluk lain.  ^-^  ^-^ Ini kan bukan Non-dualisme..........  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 24 November 2008, 11:45:16 PM
Quote from: dilbert on 24 November 2008, 10:54:55 PM
Percakapan raja Milinda dan Nagasena terjadi beberapa ratus tahun setelah era BUDDHA GOTAMA. Banyak kejadian umat AWAM (yang belum ditabhiskan) mencapai tingkat kesucian ARAHAT, tetapi meninggal (parinibbana) dalam jangka waktu singkat seperti : BAHIYA dan Raja Suddhodana misalnya...

Mungkin inilah yang mendasari pertanyaan dari raja Milinda dan Nagasena, dari kejadian tersebut, apakah benar seorang ARAHAT umat AWAM harus menjadi bhikkhu dalam 7 hari, kalau tidak akan parinibbana... Saya kira pertanyaan ini telah menjadi topik tersendiri yang sudah pernah di bahas.

LAgipula menurut alur NALAR saya, bahwa jika seseorang sudah mencapai tingkat kesucian ARAHAT, maka persoalan hidup dan mati-nya sudah tidak penting bagi seorang ARAHAT. Toh tidak ada lagi dorongan/bahan bakar untuk kelahiran dan kematian. Jika ada kematian, maka itu adalah kematian yang terakhir.

Saya kira di dalam sutta sendiri, BUDDHA tidak pernah menyatakan bahwa seorang ARAHAT (umat awam) wajib ditabhiskan menjadi seorang bhikkhu, tetapi dari banyak cerita pencapaian ARAHAT oleh umat awam, biasanya ada cerita tentang pentabhisan ataupun usaha untuk pentabhisan. Karena begitu sudah mencapai ARAHAT, sudah tidak penting lagi apakah beliau itu bhikkhu ataupun umat awam (statusnya).

Nggak usah mbulet deh.... to the point saja....

Kalau gitu yang di Milinda Panha itu nggak LOGIKA dong??  ^-^  ^-^  ^-^

Toh anda ngomong:
QuoteKarena begitu sudah mencapai ARAHAT, sudah tidak penting lagi apakah beliau itu bhikkhu ataupun umat awam (statusnya).

Masalahnya Milinda Panha mengatakan bahwa ada suatu KEHARUSAN bagi Arahat awam untuk menjadi bhikkhu kalau nggak akan meninggal dalam waktu 7 hari.

Urusan apakah Arahat persoalan hidup dan mati-nya sudah tidak penting ini DI LUAR KONTEKS.

Yang kita bahas adalah apakah Arahat awam kalau nggak jadi bhikkhu itu akan meninggal? Bukan mempersoalkan apakah hidup mati penting bagi Arahat.

La di thread yang membahas topik Arahat awam ini malah berakhir pada suatu "ketidakpercayaan" pada konsep yang diajukan Milinda Panha gitu kok! Berarti kan nggak begitu LOGIKA tuh.....  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 24 November 2008, 11:52:02 PM
Quote from: GandalfTheElder on 24 November 2008, 11:36:26 PM
Ya memang nggak sekualitas Arahat.

Tapi toh umat Theravada yang awam-pun, yang pengetahuan Dhamma-nya dangkal, yang batinnya nggak sekualitas Arahat, aja tahu kalau Arahat itu nggak egois.

Yang ingin saya tanyakan adalah, seorang calon Bodhisatta, yang memiliki kualitas:
(6) should be possessed of attainments such as the jhānas,
(7) be prepared to sacrifice all, even life, and
(8) his resolution should be absolutely firm and unwavering.


.....itu.....

Masa NGGAK TAHU kalau Arahat itu nggak egois??  ^-^  ^-^

La wong umat Theravada biasa yang Jhana saja nggak nyampai, bahkan nggak siap mengorbankan dirinya aja tahu bahwa Arahat itu nggak egois.

Makanya ketika Petapa Sumedha berpikir bahwa pencapaian Arahat itu egois....tentu dia punya dasar pandangan tersendiri yang cukup jelas dan beralasan....

Bahkan banyak juga kan umat Theravada yang tahu kalau Arahat itu nggak egois, tapi mereka berikrar menjadi Bodhisatta??

Raja Nissanka Malla (1187-1196) dari Polonnaruwa, Srilanka membuat pernyataan: "Aku akan menunjukkan diriku dalam wujud yang sejati yang dilimpahi dengan…kualitas-kualitas bajik seorang Raja Bodhisatta, yang bagaikan orang tua melindungi dunia dan agama.".
Raja Parakramabahu VI dalam segel kerajaannya menyebut dirinya
sebagai Bodhisatta Parakramabahu. Raja Mahinda IV bahkan lebih jauh
lagi menyatakan bahwa seorang yang bukan Bodhisatta tidak akan dapat
menjadi Raja Srilanka.
Kini kita beralih ke Burma. Di negeri tersebut contoh hubungan antara
raja dan Bodhisattva diperlihatkan oleh Raja Kyanzittha, yang
menyatakan dirinya sebagai "Bodhisatta, yang kelak akan menjadi
seorang Buddha, yang menyelamatkan dan membebaskan semua makhluk,
yang memiliki cinta dan belas kasih bagi semua makhluk di segala
jaman, serta yang telah diramalkan oleh Sang Buddha untuk menjadi
seorang Buddha yang sempurna." Raja Alaungsithu menulis bahwa ia akan
menolong semua makhluk mencapai "Kota yang Terberkahi" (nibbana).
Raja-raja Sri Tribhuvanaditya, Thiluin Man, Cansu I, dan Natonmya
semuanya menyatakan dirinya sebagai Bodhisatta.
Di Muangthai, Raja Lu Tai dari Sukhothai berharap untuk "menjadi
seorang Buddha demi membantu semua makhluk meninggalkan samsara."
Masih banyak lagi tokoh-tokoh Theravada lainnya, yang bukan berasal
dari kalangan kerajaan, juga berikrar untuk menjadi Bodhisatta.
Pengarang komentar kitab Jataka (Jatakattakatha) - Buddhaghosa menutup karangannya dengan ikrar untuk melaksanakan sepuluh parami agar pada masa mendatang ia dapat menjadi Buddha dan membimbing para makhluk yang
berada di dunia ini dan alam dewa menuju nibanna, sehingga terbebas
dari kelahiran dan kematian yang tanpa henti. Buddhaghosa, penulis
komentar yang terkenal tersebut juga diyakini oleh para Bhikkhu di
Anuradhapura sebagai penjelmaan Bodhisatta Metteya.
Bhikkhu besar
dari Srilanka Doratiyaveye (sekitar 1900) setelah menerima ajaran
rahasia dari guru meditasinya, menolak untuk mempraktekkannya.
Penolakan itu disebabkan karena ia merasa bahwa teknik meditasi
tersebut akan menyebabkannya menjadi seorang Arahat atau setidaknya
sotapanna, padahal ia menganggap diri sebagai seorang Bodhisatta dan
telah berikrar untuk menjadi seorang Buddha kelak. Bhikkhu Mahaa
Tipitaka Culabhaya dalam komentarnya mengenai Milindapanha
menulis: "Buddho Bhaveyyam" atau "Semoga aku menjadi seorang Buddha.
(Perbandingan Konsep Arahat dan Boddhisattva dalam Buddhisme Theravada & Mahayana oleh Ivanm Taniputera)

La para raja dan bhikkhu Theravada tersebut sudah tahu kalau Arahat itu nggak egois, tapi yah tetep pengen jadi Bodhisatta!!


Jadi seseorang yang ingin menjadi Bodhisatta, tidak selalu harus menganggap Arahat itu egois....

Kenapa Petapa Sumedha malah bepikir:
Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna  dari Buddha Dipamkara? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai Kebuddhaan."

"Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai Kebuddhaan dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan."


Emang nggak bisa Petapa Sumedha berpikir, "Arahat itu memang tidak egois dan bukan tidak berguna, namun jauh mulia bagiku untuk menjadi Sammasambuddha." ??

Kenapa Petapa Sumedha yang batinnya begitu siap dan cukup "tinggi" (sudah mencapai Jhana-jhana), yang tahu benar ajaran Buddha dan siapa itu Sang Buddha dan para siswa-Nya, malah berpikir pencapaian Arahatta itu egois??

Tentu ini karena Arahat itu egosentris plus "tidak berguna" menurut Petapa Sumedha. Bodhisatta dipandang sebagai Jalan Hidup yang lebih tinggi karena dapat menyelamatkan lebih banyak makhluk.

Ya nggak heran deh kalau Mahasanghika menagung-agungkan Bodhisattva ketimbang Arahat.

Justru menurut Mahayana, karena pandangan satu sisi itulah, Arahat tidak mencapai Non-Dualisme....... kalau memang bener2 Non Dualisme.... maka seharusnya tidak ada yang namanya "mengesampingkan" pemikiran menolong makhluk lain.  ^-^  ^-^ Ini kan bukan Non-dualisme..........  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer

bro.gandalf... TAHU itu belum tentu BISA... saya TAHU kualitas ARAHAT itu seperti apa, tetapi TAHU-nya darimana ?? Saya TAHU dari Buku... Tetapi PRAKTEK-nya belum tentu bro... mungkin masih NOL besar...

Demikian juga dengan petapa Sumedha... Karena belum mencapai "APA-APA" jadi boleh dikatakan PRAKTEK-nya masih NOL BESAR juga... Belum ada pandangan egaliter non-dualisme.

Kalau Mahasangika mengagung-agungkan Bodhisatva lebih tinggi daripada Arahat karena pendapat bahwa ARAHAT itu lebih egois dan BODHISATVA itu lebih MULIA... Lihat lagi rujukan KITAB MAHAYANA sendiri, khususnya di SUTRA INTAN... Bagaimana kualitas BODHISATVA yang sebenarnya di SUTRA INTAN tersebut ?? Darimana pikiran untuk Menyelamatkan MAKHLUK HIDUP ??

SUTRA INTAN denga jelas menyatakan BAHKAN TATHAGATHA sendiri saja TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN SATU MAKHLUK HIDUP-PUN... APALAGI BODHISATVA ?? Lha apa bukan namanya in-konsistena antara berbagai pendapat bahwa BODHISATVA itu lebih MULIA... karena jelas jelas di dalam SUTRA INTAN (Sutra-nya MAHAYANA sendiri) menjelaskan sesuatu yang berbeda.

Saya sendiri sangat setuju dengan apa yang tercantum di dalam SUTRA INTAN tersebut... bahwa memang pada dasarnya TIDAK ADA MAKHLUK YANG BISA DISELAMATKAN, KARENA MASING-MASING MAKHLUK MENYELAMATKAN DIRINYA MASING-MASING. BUDDHA ATAU AJARAN HANYA SEBAGAI PETUNJUK SAJA. MASING-MASING INDIVIDU YANG MENJALANI JALAN PEMBEBASAN TERSEBUT.

Oleh karena itu PERNYATAAN bahwa BAHKAN SEORANG TATHAGATHA SENDIRI pun TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN SATU MAKHLUK HIDUP-PUN adalah BENAR SEKALI. Jadi Pemikiran bahwa untuk MENYELAMATKAN HIDUP MAKHLUK LAIN, bukan KUALITAS PEMIKIRAN SEORANG ARAHAT DAN TATHAGATHA... yang benar adalah masih pandangan seorang puthujana yang bahkan belum bisa dikategorikan sebagai bodhisatva, karena ciri dan perilaku bodhisatva itu JELAS DIUNGKAPKAN di dalam SUTRA INTAN.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 24 November 2008, 11:53:23 PM
Quote from: dilbert on 24 November 2008, 11:03:19 PM
Quote from: chingik on 24 November 2008, 10:21:49 PM
yang sesuai logika lah yang masuk akal.
oya tapi alam dewa itu bgm dijelaskan dari sisi akal sehat?
jadi bagaimana pendekatan theravada atas 2 sisi di atas?
yang lain dibilang inkonsistensi, sedangkan ini disebut konsistensi karena memiliki penjelasan yg berbeda. Tidakkah terkesan argumentasi yang bersifat berat sebelah?
  ???

Logika berpikir itu tidak harus serta merta dibuktikan. Tetapi secara LOGIS bahwa kesatuan alur itu harus mendukung.
Anda bertanya tentang alam dewa, apakah bisa dibuktikan ?? Jawabannya tentunya sulit... Tetapi apakah secara LOGIKA, dalam alur "CERITA"/AJARAN yang berkaitan dengan spiritual itu dimungkinkan ??

Jawabannya tentu saja mungkin, karena dalam alur ajaran... (saya kira diajaran manapun juga)... ada cerita tentang SURGA (alam dewa) maupun NERAKA...
"KATANYA" kalau berbuat baik akan masuk surga, berbuat jahat akan masuk NERAKA... Jika ditanyakan BUKTI-nya, apa ada BUKTI SURGA dan NERAKA itu ADA ???

Tetapi dari LOGIKA berpikir dari sisi alur, bahwa dengan berbuat baik akan mendapat pahala baik... tentunya ganjarannya adlaah alam surga dengan serangkaian fasilitas kebahagian dsbnya... sedangkan kalau berbuat jahat akan mendapat akibat/ganjaran... tentunya akibat yang diberikan adalah alam neraka dengan serangkaian siksaan dan penderitaan...

Apakah ini LOGIS dan sesuai dengan NALAR ?? Kalau tidak sesuai NALAR. Apakah akan LAKU semua PROMOSI PROMOSI AGAMA/AJARAN ke sekian miliar manusia... Apakah semua manusia itu sudah tidak ada NALAR-nya lagi ??

Terus terang saja, saya sendiri bahkan tidak peduli bahwa apakah ALAM SURGA ITU ADA atau TIDAK, Apakah ALAM NERAKA itu ADA atau TIDAK, apakah benar kita bisa bertumimbal lahir menjadi binatang, asura, ataupun hantu kelaparan... Yang saya lihat di dalam ajaran BUDDHA khususnya di EMPAT KESUNYATAAN MULIA... semua-nya itu LOGIS DAN MASUK AKAL ketika dipraktekkan... Yang penting bagi saya adalah melenyapkan dukkha pada saat ini juga, pada saat kehidupan ini juga... GAK PEDULI dengan kehidupan setelah kematian apakah masih berlanjut atau tidak ??

Saat anda tidak sanggup memberi penjelasan secara logika tentang alam2 surga neraka, anda beralih dengan mengatakan tidak penting, yg penting melenyapkan dukkha.  Tetapi saat Mahayana menjelaskan tentang alam Sukhavati, anda mengatakan tidak masuk nalar. Jadi sebenarnya nalar yg digunakan anda bukan nalar analitis murni dalam diri anda, tapi nalar yg berpijak pada alur konsep Theravada. Itu sangat jelas.

Mungkin anda akan mengkaitkan lagi dengan logika bahwa mana mungkin Sukhavati terletak di Barat, karena Bumi berputar pada porosnya, tapi bagaimanapun ini tetap sebuah konsep yg diluar nalar juga seperti halnya alam dewa, brahma dan neraka. Apapun alurnya, logika itu tetaplah logika. Apakah menurut anda alam surga yg diajarkan Buddha itu hanya simbolis yang inspiratif dan sebenarnya tidak ada surga?    
Jadi saya katakan bahwa sebenarnya hal-hal yang tidak masuk nalar itu bukan tidak ada dalam Theravada. Dan dalam Mahayana, saat nalar tidak sanggup lagi bekerja, maka yang dibutuhkan adalah faith (keyakinan), itu satu kejujuran dan keterusterangan Mahayana yang  memang seharusnya demikian adanya, tidak alih-alih mengatakan logika sedangkan nyata2 banyak yang tidak sesuai logika. Namun Keyakinan yg ditekankan Mahayana tetap berpijak pada konsep2 dasar, dan ketika konsep2 dasar (seperti 4 kebenaran mulia, 8 jalan kebenaran)sudah bisa diterima, ditambah dengan menganalisa tindak tanduk sang Buddha , diteliti dari ucapannya yg sesuai dengan hukum kebenaran, maka ketika Buddha mengajarkan hal yang terkesan tidak logis, kita selayaknya menaruh keyakinan (tentu tidak lupa tetap menganalisa melalui pelatihan diri). Jadi tidak perlu memaksakan diri bahwa Theravada logis 100%, mengapa? karena mustahil. Anda bisa baca seluruh kitab pali dan tak kalah banyak hal yang tidak logis di dalamnya.  
Semua ini tetap saja tidak bisa lari dari faith. Jika anda lahir di Tiongkok dan dibesarkan dengan didikan Mahayana, maka pola pikir anda tetaplah berpijak pada Mahayana. Logika berpikir anda tetap sangat dominan Mahayana. Begitu juga ketika anda lahir dalam didikan Theravada. Di Indonesia mengapa anak muda lebih banyak yg trennya ke Theravada? Karena pola pikirnya didominasi oleh buku2 Theravada yg banyak beredar dengan bentuk terjemahan yang baik. Coba anda sejak awal dalami sastra China, anda akan dapat merasakan ajaran Mahayana begitu inspiratif dan luas. Semuanya berkaitan dengan mindset awal. Banyak faktor2 luar yg mempengaruhinya, dibandingkan dengan Nalar/logika. Saya sendiri awalnya sangat antusias dengan kitab2 theravada, dan ketika mulai reformasi, buku2 mandarin bebas masuk, saya menemukan ajaran Mahayana versi mandarin yang ternyata sangat dalam nilai filsafatnya , jauh berbeda dengan gaya terjemahan ke Indonesia yang terkesan gaya bahasanya kurang berkualitas. SEmua ini tidak bisa kita abaikan. Makanya, sejak itu pola pikir saya terhadap Mahayana dan Theravada itu adalah 50-50. Jadi menurut saya, logika berpikir kita itu sebenarnya tidaklah murni hasil dari pandangan terang. Kitab Sutra 42 bagian menyebutkan bahwa Buddha mengatakan jangan percaya dengan pikiran kita, setelah mencapai Arahat barulah layak percaya dengan pikiran anda.
Sampai sejauh ini, saya rasa tidaklah ideal bila kita terlalu dini menjudge aliran mana yang paling benar. Posisi saya tetap memberi ruang utk analisa , disamping saya tetap menaruh Keyakinan pada Mahayana, karena ini tak terhindarkan , setiap orang memiliki faith dalam dirinya. Setiap orang pasti menganut satu pandangan tertentu , ini pasti.
Ok. Silakan lanjut, dan senang kita dapat berdiskusi dengan elegan, gentle dan bersikap open minded.  
 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 25 November 2008, 12:04:01 AM
Quote
SUTRA INTAN denga jelas menyatakan BAHKAN TATHAGATHA sendiri saja TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN SATU MAKHLUK HIDUP-PUN... APALAGI BODHISATVA ?? Lha apa bukan namanya in-konsistena antara berbagai pendapat bahwa BODHISATVA itu lebih MULIA... karena jelas jelas di dalam SUTRA INTAN (Sutra-nya MAHAYANA sendiri) menjelaskan sesuatu yang berbeda.
Saya rasa bro salah memahami maksud Sutra Intan. Dalam Sutra itu, tidak disebutkan Tathagata tidak dapat menyelamatkan makhluk hidup. Tetapi maksudnya adalah ketika melakukan penyelamatan, seorang Tathagata tidak melekat pada konsep penyelematan, karena tidak melekat pada konsep dan pada hakikatnya segala sesuatu adalah sunyata, maka tidak ada satu makhluk pun yang diselamatkan. Sasaran Sutra Intan sangat jelas, yakni konsep tentang Sunyata dan Prajna Paramita. Untuk memahami Sutra Intan, kita perlu mengkaji kitab Prajnaparamita Sutra.
Untuk itu, Silakan ulangi utk menjawab tanggapan bro Gandalf. :)
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 12:06:04 AM
Quote from: chingik on 24 November 2008, 11:53:23 PM
Quote from: dilbert on 24 November 2008, 11:03:19 PM
Quote from: chingik on 24 November 2008, 10:21:49 PM
yang sesuai logika lah yang masuk akal.
oya tapi alam dewa itu bgm dijelaskan dari sisi akal sehat?
jadi bagaimana pendekatan theravada atas 2 sisi di atas?
yang lain dibilang inkonsistensi, sedangkan ini disebut konsistensi karena memiliki penjelasan yg berbeda. Tidakkah terkesan argumentasi yang bersifat berat sebelah?
  ???

Logika berpikir itu tidak harus serta merta dibuktikan. Tetapi secara LOGIS bahwa kesatuan alur itu harus mendukung.
Anda bertanya tentang alam dewa, apakah bisa dibuktikan ?? Jawabannya tentunya sulit... Tetapi apakah secara LOGIKA, dalam alur "CERITA"/AJARAN yang berkaitan dengan spiritual itu dimungkinkan ??

Jawabannya tentu saja mungkin, karena dalam alur ajaran... (saya kira diajaran manapun juga)... ada cerita tentang SURGA (alam dewa) maupun NERAKA...
"KATANYA" kalau berbuat baik akan masuk surga, berbuat jahat akan masuk NERAKA... Jika ditanyakan BUKTI-nya, apa ada BUKTI SURGA dan NERAKA itu ADA ???

Tetapi dari LOGIKA berpikir dari sisi alur, bahwa dengan berbuat baik akan mendapat pahala baik... tentunya ganjarannya adlaah alam surga dengan serangkaian fasilitas kebahagian dsbnya... sedangkan kalau berbuat jahat akan mendapat akibat/ganjaran... tentunya akibat yang diberikan adalah alam neraka dengan serangkaian siksaan dan penderitaan...

Apakah ini LOGIS dan sesuai dengan NALAR ?? Kalau tidak sesuai NALAR. Apakah akan LAKU semua PROMOSI PROMOSI AGAMA/AJARAN ke sekian miliar manusia... Apakah semua manusia itu sudah tidak ada NALAR-nya lagi ??

Terus terang saja, saya sendiri bahkan tidak peduli bahwa apakah ALAM SURGA ITU ADA atau TIDAK, Apakah ALAM NERAKA itu ADA atau TIDAK, apakah benar kita bisa bertumimbal lahir menjadi binatang, asura, ataupun hantu kelaparan... Yang saya lihat di dalam ajaran BUDDHA khususnya di EMPAT KESUNYATAAN MULIA... semua-nya itu LOGIS DAN MASUK AKAL ketika dipraktekkan... Yang penting bagi saya adalah melenyapkan dukkha pada saat ini juga, pada saat kehidupan ini juga... GAK PEDULI dengan kehidupan setelah kematian apakah masih berlanjut atau tidak ??

Saat anda tidak sanggup memberi penjelasan secara logika tentang alam2 surga neraka, anda beralih dengan mengatakan tidak penting, yg penting melenyapkan dukkha.  Tetapi saat Mahayana menjelaskan tentang alam Sukhavati, anda mengatakan tidak masuk nalar. Jadi sebenarnya nalar yg digunakan anda bukan nalar analitis murni dalam diri anda, tapi nalar yg berpijak pada alur konsep Theravada. Itu sangat jelas.

Mungkin anda akan mengkaitkan lagi dengan logika bahwa mana mungkin Sukhavati terletak di Barat, karena Bumi berputar pada porosnya, tapi bagaimanapun ini tetap sebuah konsep yg diluar nalar juga seperti halnya alam dewa, brahma dan neraka. Apapun alurnya, logika itu tetaplah logika. Apakah menurut anda alam surga yg diajarkan Buddha itu hanya simbolis yang inspiratif dan sebenarnya tidak ada surga?    
Jadi saya katakan bahwa sebenarnya hal-hal yang tidak masuk nalar itu bukan tidak ada dalam Theravada. Dan dalam Mahayana, saat nalar tidak sanggup lagi bekerja, maka yang dibutuhkan adalah faith (keyakinan), itu satu kejujuran dan keterusterangan Mahayana yang  memang seharusnya demikian adanya, tidak alih-alih mengatakan logika sedangkan nyata2 banyak yang tidak sesuai logika. Namun Keyakinan yg ditekankan Mahayana tetap berpijak pada konsep2 dasar, dan ketika konsep2 dasar (seperti 4 kebenaran mulia, 8 jalan kebenaran)sudah bisa diterima, ditambah dengan menganalisa tindak tanduk sang Buddha , diteliti dari ucapannya yg sesuai dengan hukum kebenaran, maka ketika Buddha mengajarkan hal yang terkesan tidak logis, kita selayaknya menaruh keyakinan (tentu tidak lupa tetap menganalisa melalui pelatihan diri). Jadi tidak perlu memaksakan diri bahwa Theravada logis 100%, mengapa? karena mustahil. Anda bisa baca seluruh kitab pali dan tak kalah banyak hal yang tidak logis di dalamnya.  
Semua ini tetap saja tidak bisa lari dari faith. Jika anda lahir di Tiongkok dan dibesarkan dengan didikan Mahayana, maka pola pikir anda tetaplah berpijak pada Mahayana. Logika berpikir anda tetap sangat dominan Mahayana. Begitu juga ketika anda lahir dalam didikan Theravada. Di Indonesia mengapa anak muda lebih banyak yg trennya ke Theravada? Karena pola pikirnya didominasi oleh buku2 Theravada yg banyak beredar dengan bentuk terjemahan yang baik. Coba anda sejak awal dalami sastra China, anda akan dapat merasakan ajaran Mahayana begitu inspiratif dan luas. Semuanya berkaitan dengan mindset awal. Banyak faktor2 luar yg mempengaruhinya, dibandingkan dengan Nalar/logika. Saya sendiri awalnya sangat antusias dengan kitab2 theravada, dan ketika mulai reformasi, buku2 mandarin bebas masuk, saya menemukan ajaran Mahayana versi mandarin yang ternyata sangat dalam nilai filsafatnya , jauh berbeda dengan gaya terjemahan ke Indonesia yang terkesan gaya bahasanya kurang berkualitas. SEmua ini tidak bisa kita abaikan. Makanya, sejak itu pola pikir saya terhadap Mahayana dan Theravada itu adalah 50-50. Jadi menurut saya, logika berpikir kita itu sebenarnya tidaklah murni hasil dari pandangan terang. Kitab Sutra 42 bagian menyebutkan bahwa Buddha mengatakan jangan percaya dengan pikiran kita, setelah mencapai Arahat barulah layak percaya dengan pikiran anda.
Sampai sejauh ini, saya rasa tidaklah ideal bila kita terlalu dini menjudge aliran mana yang paling benar. Posisi saya tetap memberi ruang utk analisa , disamping saya tetap menaruh Keyakinan pada Mahayana, karena ini tak terhindarkan , setiap orang memiliki faith dalam dirinya. Setiap orang pasti menganut satu pandangan tertentu , ini pasti.
Ok. Silakan lanjut, dan senang kita dapat berdiskusi dengan elegan, gentle dan bersikap open minded.  
 


Lho, apakah yang saya kemukakan tentang LOGIKA alam DEWA dan alam NERAKA itu bukan LOGIKA ?? Kalau anda minta BUKTI, Mana ada BUKTI yang bisa dikemukakan...

Saya coba kemukakan cara berpikir saya seperti ini :
1. Secara LOGIS saya "MENERIMA" apa yang disabdakan oleh BUDDHA GOTAMA tentang misalnya : ARAHAT, kualitas ARAHAT, Parinibbana ARAHAT, Kelahiran terakhir ARAHAT dsbnya sebagai PERNYATAAN YANG BENAR.
2. Kemudian ada pernyataan dari AJARAN LAIN yang menyatakan bahwa ARAHAT itu masih memiliki kesempatan untuk mencapai ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA, pencapaiannya bukan di dunia saha (dunia manusia), tetapi di ARAHAT DHARMADATU atau ditempat lain. Jika PERNYATAAN ke-2 ini BENAR dan nyata nyata bertentangan dengan pernyataan 1, maka PERNYATAAN 1 RUNTUH dengan Sendiri-nya.
3. Diluar KONTEKS BENAR dan SALAH, PALI KANON (yang digunakan THERAVADA) diyakini sebagai KITAB yang umurnya lebih TUA dibandingkan dengan KITAB KITAB MAHAYANA yang tidak sejenis. Jika PERNYATAAN ke-2 yang merupakan Pernyataan MAHAYANA itu BENAR, maka RUNTUH-lah KESELURUHAN AJARAN. Berarti apa yang diucapkan di dalam PALI KANON itu BUKAN LAH yang diucapkan oleh BUDDHA SENDIRI. ATAUPUN SABDA BUDDHA itu SALAH.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 12:07:44 AM
Quote from: dilbert on 23 November 2008, 09:42:24 PM

Kan sama pendapat saya dengan quote dari Master Zen Tien Ju yang diquote sebelumnya bahwa TANAH SUCI SUKHAWATI ITU HANYA DIPIKIRAN...

Terus yang saya katakan bahwa banyak umat awam MAHAYANA yang salah tafsir seolah olah TANAH SUCI SUKHAWATI itu EKSIS... bahwa ketika mereka meninggal akan dijemput oleh TIGA SEKAWAN (BUDDHA AMITABHA, BODHISATVA AVALOKITESVARA dan BODHISATVA MAHASTAMAPRAPTA). Ketidakjelasan inilah yang seringkali menjadi salah tafsir.

Kemudian yang saya katakan tentang DUNIA ini EKSIS adalah dari segi pandangan saya sebagai seorang Puthujana. Sekarang saya masih puthujana, saya bagaimanapun masih menganggap dunia ini eksis, penderitaan ini eksis. Lha bagaimana tidak... Saya hutang kepada orang lain, apakah ini eksis atau tidak ?? apakah bisa saya tidak bayar hutang kepada orang lain ?? apakah saya kalau sudah tidak bayar hutang, saya bisa menganggap bahwa semua itu hanya ILUSI, hanya KHAYALAN, bahwa semua itu kosong ??

Bahwa untuk mengatakan bahwa pada dasarnya semua itu ILUSI, hanya KHAYALAN dan pada dasarnya KOSONG, adalah sisi pandangan bukan seorang puthujana, tetapi sebagai seorang ARIYA dan dalam hal ini saya bukan.

Saya juga setuju kalau Tanah Suci itu hanya ada di pikiran.....

Nah anda juga setuju toh... kalau para Arya itu.... yang merupakan suatu pribadi ideal umat Buddhis, menganggap bahwa semua itu ILUSI. Jadi kan emang bener dalam tataran Arya, dunia Saha ini ILUSI alias tidak eksis. Dan inilah pandangan yang sebenar-benarnya kan

Demikian juga Sukhavati memang hanyalah ILUSI, tapi bukan berati mesti tidak Eksis bukan?  Buktinya dunia Saha ini meskipun ILUSI, tetapi tetap "ADA" bukan?

Jadi saya tidak peduli dengan pandangan anda sebagai Putthujana... toh anda juga mengakui bahwa pandangan yang sejati adalah dunia ini ILUSI!

Kalau anda mempertanyakan arah Sukhavati, maka pertanyakanlah arah Surga-surga dalam Theravada. Surga digambarkan secara vertikal di atas..... nah bumi ini kan bundar..... lantas Surga itu ada di atas bagian bumi yang mana??

Surga Tavatimsa dikisahkan ada di atas Gunung Sineru (Sumeru). Lah Gunung Sumeru itu memang ada di bumi kita ini ya?? Emang ada Surga di atas gunung?

Berarti kosmologinya Theravada itu not make sense ya?

Sebelum lebih jauh lagi, maka saya juga ingin bertanya:
Apakah anda dapat membuktikan Surga dan neraka itu Eksis?
Kan meskipun Putthujana ya tetep bisa lihat alam-alam lain kan.... kalau udah bisa capai Jhana-Jhana?  ^-^  ^-^  ^-^

Kalau anda nggak peduli Surga atau neraka itu ada atau tidak....... ya ini konyol.... kenapa anda tidak mengatakan demikian juga pada Tanah suci Sukhavati..... kenapa anda bersikeras Sukhavati itu nggak ada, sedangkan Surga dan neraka anda sama-sama nggak tahu...???  ^-^

Kalau anda bicara surga, neraka dsb.... apa nggak lebih logis lagi kalau manusia yang jahat lahir lagi jadi manusia yang nasibnya sial dan menderita atau seburuk-buruknya binatang, kalau yang baik ya di kelahiran berikutnya jadi manusia yang beruntung dan bahagia. Jadi kelahiran kembali cuma di alam manusia en binatang tok! La ini kan lebih LOGIKA toh?

Fakta ada. Alam manusia dan binatang juga udah bisa kita lihat sendiri kan (nggak pake abhijna pula)??  ^-^  ^-^ Siapa yang bisa memungkiri keberadaan alam manusia dan binatang? La kalau surga sama neraka??  ^-^

Kenapa anda menggunakan konsep kelahiran kembali di neraka bagi orang yang berbuat jahat? Padahal anda nggak peduli dan nggak tahu neraka itu ada atau tidak. La ini kan lucu.... jadi logika anda cuma dari segi alur saja..... kalau gitu ya gapapa dong nanti kalau saya bilang siapa saja yang berbuat baik pada Gandalf akan terlahir di Surga Gandalf... La secara logika alur masuk........ tapi apa ada Surga Gandalf itu??  ^-^  ^-^  ^-^

Bahkan novel karangan aja bisa masuk logika alur.......  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 12:08:44 AM
Quote from: chingik on 25 November 2008, 12:04:01 AM
Quote
SUTRA INTAN denga jelas menyatakan BAHKAN TATHAGATHA sendiri saja TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN SATU MAKHLUK HIDUP-PUN... APALAGI BODHISATVA ?? Lha apa bukan namanya in-konsistena antara berbagai pendapat bahwa BODHISATVA itu lebih MULIA... karena jelas jelas di dalam SUTRA INTAN (Sutra-nya MAHAYANA sendiri) menjelaskan sesuatu yang berbeda.
Saya rasa bro salah memahami maksud Sutra Intan. Tathagata bukan tidak dapat menyelamatkan makhluk hidup. Tetapi maksudnya adlaah ketika melakukan penyelamatan, seorang Tathagat tidak melekat pada konsep penyelematan, karena tidak melekat pada konsep , dan pada hakikatnya segala sesuatu adalah sunyata, maka tidak ada satu makhluk pun yang diselamatkan. Sasaran Sutra Intan sangat jelas, yakni konsep tentang Sunyata dan Prajana paramita. Untuk memahami Sutra Intan, kita perlu mengkaji kitab Prajnaparamita Sutra.
Untuk itu, Silakan ulangi utk menjawab tanggapan bro Gandalf. :)


Tathagatha itu bukan JURU SELAMAT... Bukan Semangat BUDDHISME kalau Tathagatha itu adalah JURU SELAMAT. Justru karena bukan konsep JURU SELAMAT-lah, saya me-'yakini" ajaran BUDDHA.

Jika ada Pemikiran untuk MENYELAMATKAN MAKHLUK HIDUP (menjadi JURU SELAMAT), maka seseorang itu TIDAK AKAN BISA MEREALISASI PEMBEBASAN.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 25 November 2008, 12:08:59 AM
Menerima tanpa belum dapat dibuktikan tidaklah LOGIS
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 12:09:59 AM
Quote from: chingik on 25 November 2008, 12:04:01 AM

Saya rasa bro salah memahami maksud Sutra Intan. Dalam Sutra itu, tidak disebutkan Tathagata tidak dapat menyelamatkan makhluk hidup. Tetapi maksudnya adalah ketika melakukan penyelamatan, seorang Tathagata tidak melekat pada konsep penyelematan, karena tidak melekat pada konsep dan pada hakikatnya segala sesuatu adalah sunyata, maka tidak ada satu makhluk pun yang diselamatkan. Sasaran Sutra Intan sangat jelas, yakni konsep tentang Sunyata dan Prajna Paramita. Untuk memahami Sutra Intan, kita perlu mengkaji kitab Prajnaparamita Sutra.


:jempol: :jempol: :jempol:

Baru aja mau ngomong gini....

Eh... bro. chingik udah posting  :)

Thx bro.

Namaste,
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 12:11:43 AM
Quote from: Edward on 25 November 2008, 12:08:59 AM
Menerima tanpa belum dapat dibuktikan tidaklah LOGIS

NYATA dan LOGIS itu tidak sama bro... NYATA itu sudah FAKTA ada BUKTINYA... tetapi LOGIS itu masih dalam ALUR PEMIKIRAN yang KONSISTEN...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 25 November 2008, 12:14:18 AM
Dan LOGIS itu berbeda2 dgn masing2 cara berpikir manusia...
Hahahaha....
LOGIS itu subjektif!Dan keLOGISan dapat dipermainkan, asal orang tersebut dapat 'percaya'...  :))

Buddhisme tidak mengajarkan LOGIS semata, tetapi untuk datang dan membuktikan, dan dari situ bisa dilihat FAKTA yang ada..Berdasarkan BUKTI.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 12:15:48 AM
QuoteJika ada Pemikiran untuk MENYELAMATKAN MAKHLUK HIDUP (menjadi JURU SELAMAT), maka seseorang itu TIDAK AKAN BISA MEREALISASI PEMBEBASAN

Ini kan Theravada....

Pantesan Petapa Sumedha bilang Arahat itu egois.

Oya menanggapi reply-an anda, sekali lagi tidak ada hubungannya antara "tahu" dan "bisa" dsb... anda sudah melenceng dari yang namanya topik pembicaraan kita.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 12:17:16 AM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 12:07:44 AM
Quote from: dilbert on 23 November 2008, 09:42:24 PM

Kan sama pendapat saya dengan quote dari Master Zen Tien Ju yang diquote sebelumnya bahwa TANAH SUCI SUKHAWATI ITU HANYA DIPIKIRAN...

Terus yang saya katakan bahwa banyak umat awam MAHAYANA yang salah tafsir seolah olah TANAH SUCI SUKHAWATI itu EKSIS... bahwa ketika mereka meninggal akan dijemput oleh TIGA SEKAWAN (BUDDHA AMITABHA, BODHISATVA AVALOKITESVARA dan BODHISATVA MAHASTAMAPRAPTA). Ketidakjelasan inilah yang seringkali menjadi salah tafsir.

Kemudian yang saya katakan tentang DUNIA ini EKSIS adalah dari segi pandangan saya sebagai seorang Puthujana. Sekarang saya masih puthujana, saya bagaimanapun masih menganggap dunia ini eksis, penderitaan ini eksis. Lha bagaimana tidak... Saya hutang kepada orang lain, apakah ini eksis atau tidak ?? apakah bisa saya tidak bayar hutang kepada orang lain ?? apakah saya kalau sudah tidak bayar hutang, saya bisa menganggap bahwa semua itu hanya ILUSI, hanya KHAYALAN, bahwa semua itu kosong ??

Bahwa untuk mengatakan bahwa pada dasarnya semua itu ILUSI, hanya KHAYALAN dan pada dasarnya KOSONG, adalah sisi pandangan bukan seorang puthujana, tetapi sebagai seorang ARIYA dan dalam hal ini saya bukan.

Saya juga setuju kalau Tanah Suci itu hanya ada di pikiran.....

Nah anda juga setuju toh... kalau para Arya itu.... yang merupakan suatu pribadi ideal umat Buddhis, menganggap bahwa semua itu ILUSI. Jadi kan emang bener dalam tataran Arya, dunia Saha ini ILUSI alias tidak eksis. Dan inilah pandangan yang sebenar-benarnya kan

Demikian juga Sukhavati memang hanyalah ILUSI, tapi bukan berati mesti tidak Eksis bukan?  Buktinya dunia Saha ini meskipun ILUSI, tetapi tetap "ADA" bukan?

Jadi saya tidak peduli dengan pandangan anda sebagai Putthujana... toh anda juga mengakui bahwa pandangan yang sejati adalah dunia ini ILUSI!

Kalau anda mempertanyakan arah Sukhavati, maka pertanyakanlah arah Surga-surga dalam Theravada. Surga digambarkan secara vertikal di atas..... nah bumi ini kan bundar..... lantas Surga itu ada di atas bagian bumi yang mana??

Surga Tavatimsa dikisahkan ada di atas Gunung Sineru (Sumeru). Lah Gunung Sumeru itu memang ada di bumi kita ini ya?? Emang ada Surga di atas gunung?

Berarti kosmologinya Theravada itu not make sense ya?

Sebelum lebih jauh lagi, maka saya juga ingin bertanya:
Apakah anda dapat membuktikan Surga dan neraka itu Eksis?
Kan meskipun Putthujana ya tetep bisa lihat alam-alam lain kan.... kalau udah bisa capai Jhana-Jhana?  ^-^  ^-^  ^-^

Kalau anda nggak peduli Surga atau neraka itu ada atau tidak....... ya ini konyol.... kenapa anda tidak mengatakan demikian juga pada Tanah suci Sukhavati..... kenapa anda bersikeras Sukhavati itu nggak ada, sedangkan Surga dan neraka anda sama-sama nggak tahu...???  ^-^

Kalau anda bicara surga, neraka dsb.... apa nggak lebih logis lagi kalau manusia yang jahat lahir lagi jadi manusia yang nasibnya sial dan menderita atau seburuk-buruknya binatang, kalau yang baik ya di kelahiran berikutnya jadi manusia yang beruntung dan bahagia. Jadi kelahiran kembali cuma di alam manusia en binatang tok! La ini kan lebih LOGIKA toh?

Fakta ada. Alam manusia dan binatang juga udah bisa kita lihat sendiri kan (nggak pake abhijna pula)??  ^-^  ^-^ Siapa yang bisa memungkiri keberadaan alam manusia dan neraka? La kalau surga sama neraka??  ^-^

Kenapa anda menggunakan konsep kelahiran kembali di neraka bagi orang yang berbuat jahat? Padahal anda nggak peduli dan nggak tahu neraka itu ada atau tidak. La ini kan lucu.... jadi logika anda cuma dari segi alur saja..... kalau gitu ya gapapa dong nanti kalau saya bilang siapa saja yang berbuat baik pada Gandalf akan terlahir di Surga Gandalf... La secara logika alur masuk........ tapi apa ada Surga Gandalf itu??  ^-^  ^-^  ^-^

Bahkan novel karangan aja bisa masuk logika alur.......  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer

emang di MAHAYANA itu tidak ada Surga TAVATIMSA ?? Atau versi Surga TAVATIMSA MAHAYANA BEDA ?? Emang kan sudah saya katakan bahwa saya tidak peduli dengan Surga TAVATIMSA, apalagi dengan Surga SUKHAVATI...

Anda meminta bukti bukti yang nyata nyata-nya tidak dapat dikemukakan baik oleh saya ataupun anda...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 12:18:19 AM
Quote from: Edward on 25 November 2008, 12:14:18 AM
Dan LOGIS itu berbeda2 dgn masing2 cara berpikir manusia...
Hahahaha....
LOGIS itu subjektif!Dan keLOGISan dapat dipermainkan, asal orang tersebut dapat 'percaya'...  :))

Buddhisme tidak mengajarkan LOGIS semata, tetapi untuk datang dan membuktikan, dan dari situ bisa dilihat FAKTA yang ada..Berdasarkan BUKTI.

Lha apa BUKTI ada-nya SURGA dan NERAKA ?? Menurut Anda, kecuali anda mencatut dari SUTTA tentang jawaban kepada seorang panglima perang...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 12:18:53 AM
Quote from: Edward on 25 November 2008, 12:14:18 AM
Dan LOGIS itu berbeda2 dgn masing2 cara berpikir manusia...
Hahahaha....
LOGIS itu subjektif!Dan keLOGISan dapat dipermainkan, asal orang tersebut dapat 'percaya'...  :))

Buddhisme tidak mengajarkan LOGIS semata, tetapi untuk datang dan membuktikan, dan dari situ bisa dilihat FAKTA yang ada..Berdasarkan BUKTI.

Bener bro.....

Kebanggan umat Buddhis Indonesia khususnya Theravada:

Jangan menerima sesuatu hanya berdasarkan logika,
Jangan menerima sesuatu hanya karena pertimbangan nalar,
(Kalama Sutta)

^-^ ^-^ ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 25 November 2008, 12:19:36 AM
Saya pribadi melihat ikrar mencerahkan makhluk lain sebagai pendorong utama untuk menjadi samyaksambuddha. Dan dalam Buddhis, baik thera maupun maha, tidak ada yg namanya menyelamatkan...Yang ada hanya mencerahkan, terdapat perbedaan krusial dalam hal tersebut
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 12:20:12 AM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 12:15:48 AM
QuoteJika ada Pemikiran untuk MENYELAMATKAN MAKHLUK HIDUP (menjadi JURU SELAMAT), maka seseorang itu TIDAK AKAN BISA MEREALISASI PEMBEBASAN

Ini kan Theravada....

Pantesan Petapa Sumedha bilang Arahat itu egois.

Oya menanggapi reply-an anda, sekali lagi tidak ada hubungannya antara "tahu" dan "bisa" dsb... anda sudah melenceng dari yang namanya topik pembicaraan kita.

_/\_
The Siddha Wanderer

Pelajari baik baik lagi SUTRA INTAN... Sutra utama-nya kaum MAHAYANA... Jelas jelas dikatakan bahwa TATHAGATHA TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN SATU MAKHLUK HIDUP-pun... Di tafsirkan sebagai TIDAK MELEKAT PADA KONSEP MENYELAMATKAN...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 12:21:23 AM
Quoteemang di MAHAYANA itu tidak ada Surga TAVATIMSA ?? Atau versi Surga TAVATIMSA MAHAYANA BEDA ?? Emang kan sudah saya katakan bahwa saya tidak peduli dengan Surga TAVATIMSA, apalagi dengan Surga SUKHAVATI...

Anda meminta bukti bukti yang nyata nyata-nya tidak dapat dikemukakan baik oleh saya ataupun anda...

Ya sudah... berarti konsep semacm Sukhavati itu 'Masih murni" kan? La wong di Theravada itu juga ada kok Surga-Surga yang tempatnya aja masih blurrr dan nggak bisa dibuktikan...  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 25 November 2008, 12:21:56 AM
Apakah saya mempercayai 100% adanya surga dan neraka secara fisik?
Dalam tahap kemampuan saya saat ini, saya masih 'melihat' bahwa saya dan semua makhluk lain bisa berkali2 berada dalam surga dan neraka dalam 1 hari...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 12:22:56 AM
Quote from: dilbert on 25 November 2008, 12:20:12 AM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 12:15:48 AM
QuoteJika ada Pemikiran untuk MENYELAMATKAN MAKHLUK HIDUP (menjadi JURU SELAMAT), maka seseorang itu TIDAK AKAN BISA MEREALISASI PEMBEBASAN

Ini kan Theravada....

Pantesan Petapa Sumedha bilang Arahat itu egois.

Oya menanggapi reply-an anda, sekali lagi tidak ada hubungannya antara "tahu" dan "bisa" dsb... anda sudah melenceng dari yang namanya topik pembicaraan kita.

_/\_
The Siddha Wanderer

Pelajari baik baik lagi SUTRA INTAN... Sutra utama-nya kaum MAHAYANA... Jelas jelas dikatakan bahwa TATHAGATHA TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN SATU MAKHLUK HIDUP-pun... Di tafsirkan sebagai TIDAK MELEKAT PADA KONSEP MENYELAMATKAN...

Hahaha... tidak melekat bukan berarti tidak melakukan kan??

Serperti anda makan, anda tidak melekat pada makanan dan tidak melekat pada tindakan makan, tapi toh anda tetep makan??

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 12:23:02 AM
Quote from: Edward on 25 November 2008, 12:19:36 AM
Saya pribadi melihat ikrar mencerahkan makhluk lain sebagai pendorong utama untuk menjadi samyaksambuddha. Dan dalam Buddhis, baik thera maupun maha, tidak ada yg namanya menyelamatkan...Yang ada hanya mencerahkan, terdapat perbedaan krusial dalam hal tersebut

Manakah yang lebih gampang ?? Mencapai PENCERAHAN atau BUANG AIR KECIL ?? Bahkan seorang MASTER ZEN yang sudah CERAH ketika BUANG AIR KECIL harus MELAKUKANNYA SENDIRI... Apakah anda dapat MELAKUKANNYA untuk MASTER ZEN tersebut ??

Sama aja... mau menyelamatkan atau mencerahkan... emang siapa yang bisa mencerahkan kamu ?? "BODHIDHARMA BERTANYA ??"
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 12:26:09 AM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 12:22:56 AM
Quote from: dilbert on 25 November 2008, 12:20:12 AM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 12:15:48 AM
QuoteJika ada Pemikiran untuk MENYELAMATKAN MAKHLUK HIDUP (menjadi JURU SELAMAT), maka seseorang itu TIDAK AKAN BISA MEREALISASI PEMBEBASAN

Ini kan Theravada....

Pantesan Petapa Sumedha bilang Arahat itu egois.

Oya menanggapi reply-an anda, sekali lagi tidak ada hubungannya antara "tahu" dan "bisa" dsb... anda sudah melenceng dari yang namanya topik pembicaraan kita.

_/\_
The Siddha Wanderer

Pelajari baik baik lagi SUTRA INTAN... Sutra utama-nya kaum MAHAYANA... Jelas jelas dikatakan bahwa TATHAGATHA TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN SATU MAKHLUK HIDUP-pun... Di tafsirkan sebagai TIDAK MELEKAT PADA KONSEP MENYELAMATKAN...

Hahaha... tidak melekat bukan berarti tidak melakukan kan??

Serperti anda makan, anda tidak melekat pada makanan dan tidak melekat pada tindakan makan, tapi toh anda tetep makan??

_/\_
The Siddha Wanderer

Tindakan Menyelamatkan beda dengan Pikiran Menyelamatkan... Seorang ARAHAT/TATHAGATHA melakukan tindakan penyelamatan berdasarkan pada MELIHAT APA ADANYA, yaitu pada saat itu juga... Bukan pada PIKIRAN untuk MENYELAMATKAN apalagi KEINGINAN UNTUK MENYELAMATAKAN (berlawanan dengan EGOISME yang di-cap kepada ARAHAT yang katanya mementingkan diri sendiri).
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 25 November 2008, 12:26:31 AM
Quote from: dilbert on 25 November 2008, 12:06:04 AM
Quote from: chingik on 24 November 2008, 11:53:23 PM
Quote from: dilbert on 24 November 2008, 11:03:19 PM
Quote from: chingik on 24 November 2008, 10:21:49 PM
yang sesuai logika lah yang masuk akal.
oya tapi alam dewa itu bgm dijelaskan dari sisi akal sehat?
jadi bagaimana pendekatan theravada atas 2 sisi di atas?
yang lain dibilang inkonsistensi, sedangkan ini disebut konsistensi karena memiliki penjelasan yg berbeda. Tidakkah terkesan argumentasi yang bersifat berat sebelah?
  ???

Logika berpikir itu tidak harus serta merta dibuktikan. Tetapi secara LOGIS bahwa kesatuan alur itu harus mendukung.
Anda bertanya tentang alam dewa, apakah bisa dibuktikan ?? Jawabannya tentunya sulit... Tetapi apakah secara LOGIKA, dalam alur "CERITA"/AJARAN yang berkaitan dengan spiritual itu dimungkinkan ??

Jawabannya tentu saja mungkin, karena dalam alur ajaran... (saya kira diajaran manapun juga)... ada cerita tentang SURGA (alam dewa) maupun NERAKA...
"KATANYA" kalau berbuat baik akan masuk surga, berbuat jahat akan masuk NERAKA... Jika ditanyakan BUKTI-nya, apa ada BUKTI SURGA dan NERAKA itu ADA ???

Tetapi dari LOGIKA berpikir dari sisi alur, bahwa dengan berbuat baik akan mendapat pahala baik... tentunya ganjarannya adlaah alam surga dengan serangkaian fasilitas kebahagian dsbnya... sedangkan kalau berbuat jahat akan mendapat akibat/ganjaran... tentunya akibat yang diberikan adalah alam neraka dengan serangkaian siksaan dan penderitaan...

Apakah ini LOGIS dan sesuai dengan NALAR ?? Kalau tidak sesuai NALAR. Apakah akan LAKU semua PROMOSI PROMOSI AGAMA/AJARAN ke sekian miliar manusia... Apakah semua manusia itu sudah tidak ada NALAR-nya lagi ??

Terus terang saja, saya sendiri bahkan tidak peduli bahwa apakah ALAM SURGA ITU ADA atau TIDAK, Apakah ALAM NERAKA itu ADA atau TIDAK, apakah benar kita bisa bertumimbal lahir menjadi binatang, asura, ataupun hantu kelaparan... Yang saya lihat di dalam ajaran BUDDHA khususnya di EMPAT KESUNYATAAN MULIA... semua-nya itu LOGIS DAN MASUK AKAL ketika dipraktekkan... Yang penting bagi saya adalah melenyapkan dukkha pada saat ini juga, pada saat kehidupan ini juga... GAK PEDULI dengan kehidupan setelah kematian apakah masih berlanjut atau tidak ??

Saat anda tidak sanggup memberi penjelasan secara logika tentang alam2 surga neraka, anda beralih dengan mengatakan tidak penting, yg penting melenyapkan dukkha.  Tetapi saat Mahayana menjelaskan tentang alam Sukhavati, anda mengatakan tidak masuk nalar. Jadi sebenarnya nalar yg digunakan anda bukan nalar analitis murni dalam diri anda, tapi nalar yg berpijak pada alur konsep Theravada. Itu sangat jelas.

Mungkin anda akan mengkaitkan lagi dengan logika bahwa mana mungkin Sukhavati terletak di Barat, karena Bumi berputar pada porosnya, tapi bagaimanapun ini tetap sebuah konsep yg diluar nalar juga seperti halnya alam dewa, brahma dan neraka. Apapun alurnya, logika itu tetaplah logika. Apakah menurut anda alam surga yg diajarkan Buddha itu hanya simbolis yang inspiratif dan sebenarnya tidak ada surga?    
Jadi saya katakan bahwa sebenarnya hal-hal yang tidak masuk nalar itu bukan tidak ada dalam Theravada. Dan dalam Mahayana, saat nalar tidak sanggup lagi bekerja, maka yang dibutuhkan adalah faith (keyakinan), itu satu kejujuran dan keterusterangan Mahayana yang  memang seharusnya demikian adanya, tidak alih-alih mengatakan logika sedangkan nyata2 banyak yang tidak sesuai logika. Namun Keyakinan yg ditekankan Mahayana tetap berpijak pada konsep2 dasar, dan ketika konsep2 dasar (seperti 4 kebenaran mulia, 8 jalan kebenaran)sudah bisa diterima, ditambah dengan menganalisa tindak tanduk sang Buddha , diteliti dari ucapannya yg sesuai dengan hukum kebenaran, maka ketika Buddha mengajarkan hal yang terkesan tidak logis, kita selayaknya menaruh keyakinan (tentu tidak lupa tetap menganalisa melalui pelatihan diri). Jadi tidak perlu memaksakan diri bahwa Theravada logis 100%, mengapa? karena mustahil. Anda bisa baca seluruh kitab pali dan tak kalah banyak hal yang tidak logis di dalamnya.  
Semua ini tetap saja tidak bisa lari dari faith. Jika anda lahir di Tiongkok dan dibesarkan dengan didikan Mahayana, maka pola pikir anda tetaplah berpijak pada Mahayana. Logika berpikir anda tetap sangat dominan Mahayana. Begitu juga ketika anda lahir dalam didikan Theravada. Di Indonesia mengapa anak muda lebih banyak yg trennya ke Theravada? Karena pola pikirnya didominasi oleh buku2 Theravada yg banyak beredar dengan bentuk terjemahan yang baik. Coba anda sejak awal dalami sastra China, anda akan dapat merasakan ajaran Mahayana begitu inspiratif dan luas. Semuanya berkaitan dengan mindset awal. Banyak faktor2 luar yg mempengaruhinya, dibandingkan dengan Nalar/logika. Saya sendiri awalnya sangat antusias dengan kitab2 theravada, dan ketika mulai reformasi, buku2 mandarin bebas masuk, saya menemukan ajaran Mahayana versi mandarin yang ternyata sangat dalam nilai filsafatnya , jauh berbeda dengan gaya terjemahan ke Indonesia yang terkesan gaya bahasanya kurang berkualitas. SEmua ini tidak bisa kita abaikan. Makanya, sejak itu pola pikir saya terhadap Mahayana dan Theravada itu adalah 50-50. Jadi menurut saya, logika berpikir kita itu sebenarnya tidaklah murni hasil dari pandangan terang. Kitab Sutra 42 bagian menyebutkan bahwa Buddha mengatakan jangan percaya dengan pikiran kita, setelah mencapai Arahat barulah layak percaya dengan pikiran anda.
Sampai sejauh ini, saya rasa tidaklah ideal bila kita terlalu dini menjudge aliran mana yang paling benar. Posisi saya tetap memberi ruang utk analisa , disamping saya tetap menaruh Keyakinan pada Mahayana, karena ini tak terhindarkan , setiap orang memiliki faith dalam dirinya. Setiap orang pasti menganut satu pandangan tertentu , ini pasti.
Ok. Silakan lanjut, dan senang kita dapat berdiskusi dengan elegan, gentle dan bersikap open minded.  
 


Lho, apakah yang saya kemukakan tentang LOGIKA alam DEWA dan alam NERAKA itu bukan LOGIKA ?? Kalau anda minta BUKTI, Mana ada BUKTI yang bisa dikemukakan...

Saya coba kemukakan cara berpikir saya seperti ini :
1. Secara LOGIS saya "MENERIMA" apa yang disabdakan oleh BUDDHA GOTAMA tentang misalnya : ARAHAT, kualitas ARAHAT, Parinibbana ARAHAT, Kelahiran terakhir ARAHAT dsbnya sebagai PERNYATAAN YANG BENAR.
2. Kemudian ada pernyataan dari AJARAN LAIN yang menyatakan bahwa ARAHAT itu masih memiliki kesempatan untuk mencapai ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA, pencapaiannya bukan di dunia saha (dunia manusia), tetapi di ARAHAT DHARMADATU atau ditempat lain. Jika PERNYATAAN ke-2 ini BENAR dan nyata nyata bertentangan dengan pernyataan 1, maka PERNYATAAN 1 RUNTUH dengan Sendiri-nya.
3. Diluar KONTEKS BENAR dan SALAH, PALI KANON (yang digunakan THERAVADA) diyakini sebagai KITAB yang umurnya lebih TUA dibandingkan dengan KITAB KITAB MAHAYANA yang tidak sejenis. Jika PERNYATAAN ke-2 yang merupakan Pernyataan MAHAYANA itu BENAR, maka RUNTUH-lah KESELURUHAN AJARAN. Berarti apa yang diucapkan di dalam PALI KANON itu BUKAN LAH yang diucapkan oleh BUDDHA SENDIRI. ATAUPUN SABDA BUDDHA itu SALAH.
Logika saya sih begini:
1.Munculnya dua aliran besar itu sudah merupakan fakta. Siapa yg benar siapa yang salah tidak bisa dianalisa dari pendekatan kitab suci, karena walaupun dituduhkan Mahayana muncul belakangan, Tetapi kitab tertulis Theravada baru muncul 400 setelah wafatnya Sang Buddha, tidak mungkin ada pengurangan, dll. Jadi posisi saya seimbang aja atas dasar ini.
2. Jika Arahat masih ada ruang utk mencapai Anuttara Samyasambuddha, saya rasa tidak berarti ajaran Theravada menjadi runtuh. Karena Theravada tidak mengatakan  "Arahat Tidak akan Bisa Menjadi Sammasambuddha", yang ada cuma mengatakan tidak ada kelahiran lagi bagi seorang Arahat. Tetapi ini bisa ditafsirkan secara berbeda.
Mahayana tetap menjadikan  semua ajaran dalam Theravada sebagai pelatihan dasar. Mana mungkin meluluh lantakkan ajaran dalam Theravada, malahan sebagai satu kesatuan.
3. Sebuah ajaran yang dipandang sebagai ajaran yang sempurna adalah ketika ajaran itu diturunkan secara keseluruhan. Dengan kata lain, seorang guru sejati akan membuat muridnya sama dengan sang guru. Tidak mungkin satu tingkat dibawah sang guru,  jasi ini bukan guru sejati. Tren Theravada terlihat seperti itu. Sammasambuddha yg pengetehuannya sempurna masak hanya mengajarkan ajaran yg pengetahuannya tidak sesempurna Sammasambuudha. Dan karena kebijaksanaan agung seorang Sammasambuddha yg telah berlatih berkalpa2 masak tidak sanggup menggunakan cara2 terampil utk mengajarkan jalan menuju sammasambuddha kepada para siswanya.
4. Alam semesta begiu luas, masak tidak ada bodhisatva lain dan Buddha lain? ? aneh bukan? Anda mungkin akan mengatakan "kalo ada bodhisatva lain, masak manusia ga mengajar manusia di sini sekrang, atau bla..bla" , tapi ini kan tergantung pada kondisi yg tepat sama seperti calon bodhisatta menunggu kondisi tepat utk terlahir di jambudipa.

Logika kita memang beda, tapi kan sudah saya katakan, nalar kita bukan atas pandangan terang, tapi dipengaruhi oleh logika berpikir yg berpijak pada kemelekatan konsep tertentu.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 25 November 2008, 12:29:25 AM
 :)) :)) :)) :))

Dan siapakah yg akan memberitahu saya, kamu, kita, dan semua arhat(yg sebelumnya makhluk menderita) bahwa kita ini sedang "bermimpi" ?

Sekali lagi, perbedaan dasar penyelamatan dan mencerahkan ada dalam apa yg dilakukan.

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 12:37:30 AM
Quote from: chingik on 25 November 2008, 12:26:31 AM
Logika saya sih begini:
1.Munculnya dua aliran besar itu sudah merupakan fakta. Siapa yg benar siapa yang salah tidak bisa dianalisa dari pendekatan kitab suci, karena walaupun dituduhkan Mahayana muncul belakangan, Tetapi kitab tertulis Theravada baru muncul 400 setelah wafatnya Sang Buddha, tidak mungkin ada pengurangan, dll. Jadi posisi saya seimbang aja atas dasar ini.
2. Jika Arahat masih ada ruang utk mencapai Anuttara Samyasambuddha, saya rasa tidak berarti ajaran Theravada menjadi runtuh. Karena Theravada tidak mengatakan  "Arahat Tidak akan Bisa Menjadi Sammasambuddha", yang ada cuma mengatakan tidak ada kelahiran lagi bagi seorang Arahat. Tetapi ini bisa ditafsirkan secara berbeda.
Mahayana tetap menjadikan  semua ajaran dalam Theravada sebagai pelatihan dasar. Mana mungkin meluluh lantakkan ajaran dalam Theravada, malahan sebagai satu kesatuan.
3. Sebuah ajaran yang dipandang sebagai ajaran yang sempurna adalah ketika ajaran itu diturunkan secara keseluruhan. Dengan kata lain, seorang guru sejati akan membuat muridnya sama dengan sang guru. Tidak mungkin satu tingkat dibawah sang guru,  jasi ini bukan guru sejati. Tren Theravada terlihat seperti itu. Sammasambuddha yg pengetehuannya sempurna masak hanya mengajarkan ajaran yg pengetahuannya tidak sesempurna Sammasambuudha. Dan karena kebijaksanaan agung seorang Sammasambuddha yg telah berlatih berkalpa2 masak tidak sanggup menggunakan cara2 terampil utk mengajarkan jalan menuju sammasambuddha kepada para siswanya.
4. Alam semesta begiu luas, masak tidak ada bodhisatva lain dan Buddha lain? ? aneh bukan? Anda mungkin akan mengatakan "kalo ada bodhisatva lain, masak manusia ga mengajar manusia di sini sekrang, atau bla..bla" , tapi ini kan tergantung pada kondisi yg tepat sama seperti calon bodhisatta menunggu kondisi tepat utk terlahir di jambudipa.

Logika kita memang beda, tapi kan sudah saya katakan, nalar kita bukan atas pandangan terang, tapi dipengaruhi oleh logika berpikir yg berpijak pada kemelekatan konsep tertentu.

Pertanyaan pertama ??
Kitab Mahayana katanya diambil oleh Nagarjuna di Alam Naga... Pertanyaannya, Kapan Nagarjuna eksis didunia ini ?? Tentunya jauh setelah konsili Sangha I dan II...

Walaupun teks tertulis Pali Kanon baru muncul pada Konsili Sangha ke-4 (kalau tidak salah), tetapi para Penghapal Kitab Suci itu Tidak diragukan lagi ADA, buktinya sampai sekarang ini masih ada TIPITAKADHARA yang masih hidup di dunia ini (jika anda ingin bukti). Walaupun bisa didebat bahwa PALI KANON bisa ditambah tambah atau dikurangi, tetapi PALI KANON (secara keseluruhan) adalah lebih TUA dari Kitab MAHAYANA.


Ajaran THERAVADA tidak perlu mengatakan bahwa ARAHAT TIDAK AKAN MENCAPAI SAMMASAMBUDDHA, karena SAVAKA BUDDHA itu juga sudah ARAHAT, Sammasambuddha itu juga ARAHAT. Seorang ARAHAT itu dipandang dari sisi pembebasannya dari dukkha. Ketika untuk mencapai Annutara Sammasambuddha yang notabene harus memiliki "KUALITAS" lebih dibandingkan dengan SAVAKA dan PACCEKA, maka individu yang beraspirasi/bertekad untuk mencapai Annutara Sammasambuddha harus MENAMBAH "JAM TERBANG" / KEHIDUPAN untuk menyempurnakan "PARAMI"-nya agar kelak memiliki KEMAHATAHUAN.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 12:38:34 AM
Quote from: Edward on 25 November 2008, 12:29:25 AM
:)) :)) :)) :))

Dan siapakah yg akan memberitahu saya, kamu, kita, dan semua arhat(yg sebelumnya makhluk menderita) bahwa kita ini sedang "bermimpi" ?

Sekali lagi, perbedaan dasar penyelamatan dan mencerahkan ada dalam apa yg dilakukan.



APA PERBEDAANNYA ??
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 25 November 2008, 12:48:17 AM
Sang Buddha Siddharta menjelaskan dan membabarkan Dhamma kepada banyak orang, karena kebijaksanaanya yg tinggi, bahkan ada yg hanya dengan lambaian bunga di tangan bisa ada orang yag tercerahkan. Mengapa? Karena kualitas yg dimiliki Sang Buddha dapat melihat "permasalahan" dan "kondisi" sesungguhnya dari org tersebut, dan memberikan solusi yg tepat guna, agar dapat membawa kepada pencerahan diri...Sang Buddha menjelaskan sesuai dengan kamma vipaka, sesuai dengan kondisi yg tepat...Dan sesungguhkan pencerahan diri tersebut terjadi dalam diri, tetapi SB mendorong agar dapat terkondisikan dengan pas.


Jika Sang Buddha menyelamatkan, SB akan berlaku seperti tuhan yg melewati batas kamma vipaka dan vipaka lainnya untuk membawa semua makhluk ke dalam kebahagiaan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 12:52:36 AM
Quote from: Edward on 25 November 2008, 12:48:17 AM
Sang Buddha Siddharta menjelaskan dan membabarkan Dhamma kepada banyak orang, karena kebijaksanaanya yg tinggi, bahkan ada yg hanya dengan lambaian bunga di tangan bisa ada orang yag tercerahkan. Mengapa? Karena kualitas yg dimiliki Sang Buddha dapat melihat "permasalahan" dan "kondisi" sesungguhnya dari org tersebut, dan memberikan solusi yg tepat guna, agar dapat membawa kepada pencerahan diri...Sang Buddha menjelaskan sesuai dengan kamma vipaka, sesuai dengan kondisi yg tepat...Dan sesungguhkan pencerahan diri tersebut terjadi dalam diri, tetapi SB mendorong agar dapat terkondisikan dengan pas.


Jika Sang Buddha menyelamatkan, SB akan berlaku seperti tuhan yg melewati batas kamma vipaka dan vipaka lainnya untuk membawa semua makhluk ke dalam kebahagiaan.

Anda benar sekali... SB ibarat Bidan yang membantu persalinan, bagaimanapun sang-ibu lah yang harus berjuang menyelamatkan diri dan bayinya...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Reenzia on 25 November 2008, 12:54:57 AM
aduh sulit sekali bahasanya....:hammer:
harus banyak2 baca nih....;D
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 25 November 2008, 12:57:15 AM
Quote from: dilbert on 25 November 2008, 12:37:30 AM
Quote from: chingik on 25 November 2008, 12:26:31 AM
Logika saya sih begini:
1.Munculnya dua aliran besar itu sudah merupakan fakta. Siapa yg benar siapa yang salah tidak bisa dianalisa dari pendekatan kitab suci, karena walaupun dituduhkan Mahayana muncul belakangan, Tetapi kitab tertulis Theravada baru muncul 400 setelah wafatnya Sang Buddha, tidak mungkin ada pengurangan, dll. Jadi posisi saya seimbang aja atas dasar ini.
2. Jika Arahat masih ada ruang utk mencapai Anuttara Samyasambuddha, saya rasa tidak berarti ajaran Theravada menjadi runtuh. Karena Theravada tidak mengatakan  "Arahat Tidak akan Bisa Menjadi Sammasambuddha", yang ada cuma mengatakan tidak ada kelahiran lagi bagi seorang Arahat. Tetapi ini bisa ditafsirkan secara berbeda.
Mahayana tetap menjadikan  semua ajaran dalam Theravada sebagai pelatihan dasar. Mana mungkin meluluh lantakkan ajaran dalam Theravada, malahan sebagai satu kesatuan.
3. Sebuah ajaran yang dipandang sebagai ajaran yang sempurna adalah ketika ajaran itu diturunkan secara keseluruhan. Dengan kata lain, seorang guru sejati akan membuat muridnya sama dengan sang guru. Tidak mungkin satu tingkat dibawah sang guru,  jasi ini bukan guru sejati. Tren Theravada terlihat seperti itu. Sammasambuddha yg pengetehuannya sempurna masak hanya mengajarkan ajaran yg pengetahuannya tidak sesempurna Sammasambuudha. Dan karena kebijaksanaan agung seorang Sammasambuddha yg telah berlatih berkalpa2 masak tidak sanggup menggunakan cara2 terampil utk mengajarkan jalan menuju sammasambuddha kepada para siswanya.
4. Alam semesta begiu luas, masak tidak ada bodhisatva lain dan Buddha lain? ? aneh bukan? Anda mungkin akan mengatakan "kalo ada bodhisatva lain, masak manusia ga mengajar manusia di sini sekrang, atau bla..bla" , tapi ini kan tergantung pada kondisi yg tepat sama seperti calon bodhisatta menunggu kondisi tepat utk terlahir di jambudipa.

Logika kita memang beda, tapi kan sudah saya katakan, nalar kita bukan atas pandangan terang, tapi dipengaruhi oleh logika berpikir yg berpijak pada kemelekatan konsep tertentu.

Pertanyaan pertama ??
Kitab Mahayana katanya diambil oleh Nagarjuna di Alam Naga... Pertanyaannya, Kapan Nagarjuna eksis didunia ini ?? Tentunya jauh setelah konsili Sangha I dan II...

Walaupun teks tertulis Pali Kanon baru muncul pada Konsili Sangha ke-4 (kalau tidak salah), tetapi para Penghapal Kitab Suci itu Tidak diragukan lagi ADA, buktinya sampai sekarang ini masih ada TIPITAKADHARA yang masih hidup di dunia ini (jika anda ingin bukti). Walaupun bisa didebat bahwa PALI KANON bisa ditambah tambah atau dikurangi, tetapi PALI KANON (secara keseluruhan) adalah lebih TUA dari Kitab MAHAYANA.


Ajaran THERAVADA tidak perlu mengatakan bahwa ARAHAT TIDAK AKAN MENCAPAI SAMMASAMBUDDHA, karena SAVAKA BUDDHA itu juga sudah ARAHAT, Sammasambuddha itu juga ARAHAT. Seorang ARAHAT itu dipandang dari sisi pembebasannya dari dukkha. Ketika untuk mencapai Annutara Sammasambuddha yang notabene harus memiliki "KUALITAS" lebih dibandingkan dengan SAVAKA dan PACCEKA, maka individu yang beraspirasi/bertekad untuk mencapai Annutara Sammasambuddha harus MENAMBAH "JAM TERBANG" / KEHIDUPAN untuk menyempurnakan "PARAMI"-nya agar kelak memiliki KEMAHATAHUAN.

Sammasambuddha adalah Arahat tidak berarti Arahat adalah Sammasambuddha. Jika individu biasa bisa menambah jam terbang, masak Arahat ga sanggup? karena tidak memiliki keinginan? Kalo gitu, menjadi Arahat bukannya terkesan sangat kasihan karena membatasi dirinya dari mencapai kualitas sempurna seperti Sammasambuddha.
Kisah Nagarjuna hanya segelintir dari kisah kemunculan kitab Mahayana , kisah konsili versi Mahayana juga ada. Apalagi Mahayana yg berlatih dengan baik sanggup berinteraksi dengan para bodhisatva, jadi valid atau tidak ajarannya masih bisa dicrosscek sejauh bisa menemukan jalan utk berinteraksi dgn para bodhisatva, salah satu kisah yg paling sering terdengar adalah kunjungan ke Tusita utk belajar dari bodhisatva Maitreya.

Kitab paling Tua bukan parameter utk menyatakan benar tidaknya ajaran. Dalam perspektif Mahayana, ajaran Theravada memang muncul duluan, karena itu memang ajaran yg basic. Tidak mungkin saat konsili, para hadirin membacakan ajaran tingkat lanjut (Vaipulya).
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 01:07:05 AM
Quote from: chingik on 25 November 2008, 12:57:15 AM
Quote from: dilbert on 25 November 2008, 12:37:30 AM
Quote from: chingik on 25 November 2008, 12:26:31 AM
Logika saya sih begini:
1.Munculnya dua aliran besar itu sudah merupakan fakta. Siapa yg benar siapa yang salah tidak bisa dianalisa dari pendekatan kitab suci, karena walaupun dituduhkan Mahayana muncul belakangan, Tetapi kitab tertulis Theravada baru muncul 400 setelah wafatnya Sang Buddha, tidak mungkin ada pengurangan, dll. Jadi posisi saya seimbang aja atas dasar ini.
2. Jika Arahat masih ada ruang utk mencapai Anuttara Samyasambuddha, saya rasa tidak berarti ajaran Theravada menjadi runtuh. Karena Theravada tidak mengatakan  "Arahat Tidak akan Bisa Menjadi Sammasambuddha", yang ada cuma mengatakan tidak ada kelahiran lagi bagi seorang Arahat. Tetapi ini bisa ditafsirkan secara berbeda.
Mahayana tetap menjadikan  semua ajaran dalam Theravada sebagai pelatihan dasar. Mana mungkin meluluh lantakkan ajaran dalam Theravada, malahan sebagai satu kesatuan.
3. Sebuah ajaran yang dipandang sebagai ajaran yang sempurna adalah ketika ajaran itu diturunkan secara keseluruhan. Dengan kata lain, seorang guru sejati akan membuat muridnya sama dengan sang guru. Tidak mungkin satu tingkat dibawah sang guru,  jasi ini bukan guru sejati. Tren Theravada terlihat seperti itu. Sammasambuddha yg pengetehuannya sempurna masak hanya mengajarkan ajaran yg pengetahuannya tidak sesempurna Sammasambuudha. Dan karena kebijaksanaan agung seorang Sammasambuddha yg telah berlatih berkalpa2 masak tidak sanggup menggunakan cara2 terampil utk mengajarkan jalan menuju sammasambuddha kepada para siswanya.
4. Alam semesta begiu luas, masak tidak ada bodhisatva lain dan Buddha lain? ? aneh bukan? Anda mungkin akan mengatakan "kalo ada bodhisatva lain, masak manusia ga mengajar manusia di sini sekrang, atau bla..bla" , tapi ini kan tergantung pada kondisi yg tepat sama seperti calon bodhisatta menunggu kondisi tepat utk terlahir di jambudipa.

Logika kita memang beda, tapi kan sudah saya katakan, nalar kita bukan atas pandangan terang, tapi dipengaruhi oleh logika berpikir yg berpijak pada kemelekatan konsep tertentu.

Pertanyaan pertama ??
Kitab Mahayana katanya diambil oleh Nagarjuna di Alam Naga... Pertanyaannya, Kapan Nagarjuna eksis didunia ini ?? Tentunya jauh setelah konsili Sangha I dan II...

Walaupun teks tertulis Pali Kanon baru muncul pada Konsili Sangha ke-4 (kalau tidak salah), tetapi para Penghapal Kitab Suci itu Tidak diragukan lagi ADA, buktinya sampai sekarang ini masih ada TIPITAKADHARA yang masih hidup di dunia ini (jika anda ingin bukti). Walaupun bisa didebat bahwa PALI KANON bisa ditambah tambah atau dikurangi, tetapi PALI KANON (secara keseluruhan) adalah lebih TUA dari Kitab MAHAYANA.


Ajaran THERAVADA tidak perlu mengatakan bahwa ARAHAT TIDAK AKAN MENCAPAI SAMMASAMBUDDHA, karena SAVAKA BUDDHA itu juga sudah ARAHAT, Sammasambuddha itu juga ARAHAT. Seorang ARAHAT itu dipandang dari sisi pembebasannya dari dukkha. Ketika untuk mencapai Annutara Sammasambuddha yang notabene harus memiliki "KUALITAS" lebih dibandingkan dengan SAVAKA dan PACCEKA, maka individu yang beraspirasi/bertekad untuk mencapai Annutara Sammasambuddha harus MENAMBAH "JAM TERBANG" / KEHIDUPAN untuk menyempurnakan "PARAMI"-nya agar kelak memiliki KEMAHATAHUAN.

Sammasambuddha adalah Arahat tidak berarti Arahat adalah Sammasambuddha. Jika individu biasa bisa menambah jam terbang, masak Arahat ga sanggup? karena tidak memiliki keinginan? Kalo gitu, menjadi Arahat bukannya terkesan sangat kasihan karena membatasi dirinya dari mencapai kualitas sempurna seperti Sammasambuddha.
Kisah Nagarjuna hanya segelintir dari kisah kemunculan kitab Mahayana , kisah konsili versi Mahayana juga ada. Apalagi Mahayana yg berlatih dengan baik sanggup berinteraksi dengan para bodhisatva, jadi valid atau tidak ajarannya masih bisa dicrosscek sejauh bisa menemukan jalan utk berinteraksi dgn para bodhisatva, salah satu kisah yg paling sering terdengar adalah kunjungan ke Tusita utk belajar dari bodhisatva Maitreya.

Kitab paling Tua bukan parameter utk menyatakan benar tidaknya ajaran. Dalam perspektif Mahayana, ajaran Theravada memang muncul duluan, karena itu memang ajaran yg basic. Tidak mungkin saat konsili, para hadirin membacakan ajaran tingkat lanjut (Vaipulya).

yah, untuk mencapai annutara sammasambuddha bisa siapa saja, asalkan individu itu memiliki PARAMI cukup, kemudian aspirasinya KUAT, dan mendapat RAMALAN PASTI dari seorang sammasambuddha, maka masuklah dia kedalam JALUR BODHISATVA (sebagai calon sammasambuddha), tentunya kecuali SAVAKA BUDDHA donk...

Kasihan sama ARAHAT ?? Itu kan kita orang luar yang KASIHAN kepada ARAHAT... Bathin ARAHAT sendiri sudah tidak tergoyahkan, sudah mengatasi dualisme (seperti yang sdr.chingik katakan). Apa itu NIRVANA dan SAMSARA ?? Pada kualitas bathin seperti ini, Tidak ada lagi apakah itu Annutara Sammasambuddha atau bukan...

Kitab Kitab awal Mahayana karya Nagarjuna, Asvaghosa dsbnya lebih banyak mengajarkan konsep tentang SUNYATA. Ini yang saya sukai dari MAHAYANA. Sebagaimana saya sukai dari Zen Buddhisme...  Ajaran Mulamadhyamaka karika dari Nagarjuna dianggap sebagai salah satu literatur buddhisme klasik yang sangat terkenal, bahkan sampai ke BARAT dan paling sering dijadikan sebagai rujukan/referensi dan bahkan bahan studi untuk mahasiswa mahasiswa psikologi karena FILASFAT-nya yang tinggi. Saya suka yang demikian.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 06:01:43 AM
Quoteemang di MAHAYANA itu tidak ada Surga TAVATIMSA ?? Atau versi Surga TAVATIMSA MAHAYANA BEDA ?? Emang kan sudah saya katakan bahwa saya tidak peduli dengan Surga TAVATIMSA, apalagi dengan Surga SUKHAVATI...

Anda meminta bukti bukti yang nyata nyata-nya tidak dapat dikemukakan baik oleh saya ataupun anda...

Emang ada. Yang lebih saya minta bukanlah bukti, tetapi saya mengkritik pandangan anda yang berat sebelah....  :))  :))

Ya terserah anda deh kalau mau menganggap Sukhavati itu nggak logika, terus Surga Kamaloka itu kata anda masuk logika.... Padahal letak Surga dalam Theravada aja masih kaburr juga toh... lalu kenapa mempertanyakan arah Sukhavati? Ini jelas anda melekat pada konsep tertentu, sehingga luput atau lupa kalau di Theravada kosmologinya juga memiliki arah yang membingungkan.  ^-^  ^-^

Akhirnya muncullah kata-kata "saya tidak peduli dengan Surga Sukhavati" dari tulisan anda.....

La kalau anda memang nggak peduli, ngapain anda ngeributin ADA atau TIDAK Sukhavati itu?? Sampai ngotot kalau Sukhavati itu tidak eksis dsb!  ^-^  ^-^

La Surga sama Neraka dalam Theravada yang serba belum jelas arahnya itu kok anda tidak ngotot kalau tidak eksis??  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: ryu on 25 November 2008, 06:28:56 AM
ngomong2 soal alam kalo pandangan Bhikkhu Buddhadasa tentang alam ini pandanga theravada bukan ;D :
Mari kita telusuri lebih jauh lagi. "Apa arti Empat Alam Rendah?"

Alam yang pertama adalah alam neraka. Kegelisahan sama dengan neraka (dalam bahasa Thai, secara literal artinya adalah "hati yang panas"). Kapan pun seseorang mengalami gelisah, emosi, sangat marah, ia otomatis terlahir sebagai penghuni neraka. Ini adalah kelahiran kembali yang spontan secara mental. Meskipun tubuh secara fisik berada di alam manusia, begitu kegelisahan muncul, pikiran jatuh ke alam neraka. Gelisah karena takut kehilangan kekuasaan, ketenaran, dan lain sebagainya adalah kondisi batin di alarn neraka.

Kehidupan di alarn binatang identik dengan kebodohan. Kapan pun seseorang melakukan perbuatan bodoh yang tidak bisa ditolerir, karena tidak paham bahwa Dharma dan Nibbana sangat dibutuhkan, bodoh karena tidak berani atau tidak niat mendalami Dharma

atau menutup diri terhadap ajaran Buddha karena percaya bahwa jika seseorang tertarik kepada Dharma ia akan menjadi kuno dan aneh, maka ia sedang berada di alam binatang. Ini adalah cara pandang seorang anak kecil, dan juga banyak orangtua mereka. Mereka mencoba untuk berpaling dan menjauh dari Dharma. Ini tentu saja sebuah bentuk kebodohan. Apa pun kebodohan yang ia lakukan, ia sama dengan makhluk penghuni alam binatang. la spontan, secara mental, terlahir di sana. Inilah alam rendah yang kedua.

Alam Rendah yang ketiga adalah peta, hantu yang kelaparan, yang memiliki keinginan yang sangat kuat dan tanpa henti. Ini adalah bentuk kelaparan mental yang kronis, bukan lapar karena tidak makan. Contohnya, seseorang ingin memiliki seribu rupiah, tetapi setelah ia mendapatkan seribu rupiah ia ingin memiliki sepuluh ribu rupiah. Setelah sepuluh ribu rupiah ia miliki, ia berharap untuk mendapatkan seratus ribu rupiah. Karena merasa tidak puas dengan seratus ribu rupiah, ia menginginkan satu juta rupiah atau seratus juta rupiah. Ini sama saja dengan mengejar tanpa pernah berhasil mendapatkan apa pun. Ia mengidap gejala kelaparan kronis. Ia sama saja dengan setan kelaparan yang memiliki perut sebesar gunung dan mulut sebesar lubang jarum. Mulut sekecil itu tidak akan pernah bisa membuatnya kenyang, dan ia akan selamanya lapar. Kebalikan dari kondisi batin penghuni alam peta yang serakah, adalah rasa puas. Seseorang yang memiliki 500 rupiah, puas dan bersyukur dengan 500 rupiah yang ia miliki. Dengan seribu rupiah ia juga berpuas diri dan bahagia. Namun jangan memegang gagasan bahwa untuk menjadi lebih puas dan bahagia seseorang harus miskin. Kebijaksanaan menyadarkan kita untuk melakukan apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya dengan benar. Dengan demikian, kita akan merasa puas setiap kali kita mendapatkan sesuatu. Kita menikmati usaha pencarian dan juga merasa puas dengan hasil yang didapatkan. Demikianlah prinsip hidup agar tidak terlahir di alam peta. Mengejar sesuatu dengan kemelekatan yang kuat jelas menjerumuskan kita ke alam peta. Berusaha mendapatkan sesuatu secara bijaksana bukan kemelekatan, bukan kondisi di alarn peta, melainkan hanya melakukan apa yang harus dilakukan.

Dengan demikian, keinginan untuk terbebas dari dukkha tidak termasuk keinginan yang berakar pada kemelekatan. Jangan sampaikan bahwa keinginan adalah kemelekatan atau keserakahan. Sebuah keinginan termasuk keserakahan jika dilandasi oleh kebodohan. Keinginan untuk mencapai nibbana adalah suatu kemelekatan jika diikuti dengan kebodohan, fanatisme, dan kesombongan. Menekuni meditasi pandangan terang tanpa memahaminya dengan benar dan lengkap adalah kemelekatan dan keserakahan, ini adalah bentuk ketidaktahuan yang menyebabkan dukkha sebab latihan meditasi ini kemudian menjadi sebuah kemelekatan. Tetapi, jika seseorang ingin mencapai nibbana setelah secara jelas dan bijaksana merasakan dukkha dan mengerti cara menghentikannya, dan kemudian terus menerus dan sungguh sungguh belajar serta berlatih meditasi pandangan terang dengan benar, maka keinginan untuk mencapai nibbana bukanlah kemelekatan dan ia tidak akan menderita. Jadi, keinginan tidaklah selalu merupakan kemelekatan, bergantung kepada landasannya. Jika landasannya adalah ketidaktahuan atau kekotoran batin, keinginan tersebut serupa dengan keinginan hantu kelaparan yang mengejar tanpa pernah menangkap. Kondisi ini adalah sebuah bentuk kelahiran kembali yang spontan di alam peta (alam setan kelaparan).
Alam rendah yang terakhir adalah alam asura (alam setan pengecut). Pertama tama Anda harus tahu arti kata asura. Sura artinya "berani" dan a artinya "tidak". Jadi, asura artinya "tidak berani" atau "pengecut". Dengan pengertian ini, kapan pun seseorang menjadi pengecut tanpa alasan, ia spontan terlahir kembali sebagai makhluk asura. Takut kepada kadal kecil yang tidak berbahaya atau cacing tanah adalah ketakutan yang tidak beralasan dan merupakan sebuah bentuk dukkha. Perasaan takut yang berlebihan karena kekuatiran yang berlebihan sama dengan keadaan di alam asura. Kita semua takut pada kematian, tetapi ketakutan kita menjadi seratus atau seribu kali lebih besar karena pernyataan yang kita lebih lebihkan sendiri. Perasaan takut menghantui orang sepanjang waktu. Ketakutan seseorang terhadap, kelahiran kembali di alam neraka akhirnya bisa terjadi karena sebenarnya ia setiap hari telah merasakan keadaan di Empat Alam Rendah tersebut. Bukan hanya setiap hari, tetapi bulan demi bulan, dan bahkan tahun demi tahun. Jika kita bertindak dengan benar dan sekarang tidak jatuh ke dalam keadaan Empat Alam Rendah, dapat dipastikan bahwa kita tidak akan terlahir kembali di sana.

Penjelasan kondisi Empat Alam Rendah ini selaras dengan arti dan tujuan ajaran Buddha. Kesalahan memahami kondisi Empat Alam Rendah ini dapat digolongkan sebagai kepercayaan kepada takhayul. Hal yang paling menyedihkan dalam agama Buddha adalah cara kita yang tidak akurat dalam menafsirkan ajaran Buddha dan kesalahan kita menerapkannya. Tidak perlu mencari contoh takhayul di tempat lain. Dalam teks ada banyak referensi tentang orang orang yang menirukan kelakuan sapi atau anjing. Semuanya adalah hal yang umum di India pada zaman Buddha. Praktik demikian sudah tidak ada lagi di masa sekarang, tetapi tingkah laku yang ada sekarang masih sama bodohnya dan bahkan lebih tidak masuk akal. Tinggalkan semua takhayul dan masukilah Jalur Pernbebasan. Lenyapkan pandangan tentang adanya diri yang kekal, lenyapkan keragu raguan, dan lenyapkan kepercayaan kepada takhayul. Semuanya adalah syarat untuk mencapai Jalur Pembebasan dan memiliki mata Dharma, mata yang mampu melihat Dharma dan terbebas dari ilusi dan ketidaktahuan.

Ingat bahwa di dalam diri kita selalu ada sedikit ketidaktahuan dan ilusi dalam bentuk kepercayaan terhadap adanya diri yang kekal, keragu raguan, dan kepercayaan kepada takhayul. Kita harus bergerak maju dan membebaskan diri dari kebodohan ini untuk mencapai Jalur Pembebasan. Setelah tiba di Jalur Pernbebasan, akan ada sebuah jalur yang menurun menuju Nibbana. Seperti sebuah batu besar yang jatuh menggelinding dari puncak bukit, Anda pasti akan tiba di Nibbana. Jika Anda tahu apa itu Nibbana dan mengenal Jalur Pembebasan, jika Anda melatih diri untuk mencapai Nibbana, Amda harus mengerti bahwa tiga belenggu pertama harus dipatahkan sebelum mematahkan belenggu hawa nafsu (kamaraga), belenggu yang lebih rumit. Singkatnya, melenyapkan ketiga bentuk ketidaktahuan ini keegoisan, keragu raguan dalam menentukan tujuan hidup, dan kepercayaan kepada takhayul adalah kunci untuk mencapai Jalur Pembebasan. Anda dapat melihat bahwa pelepasan ini sangat bernilai dan bermanfaat secara universal dan dapat dilakukan oleh setiap orang. Ketiga bentuk ketidaktahuan ini adalah sumber dukkha. Segera setelah seseorang berhasil melenyapkannya, ia menjadi seorang Ariya, makhluk suci. Sebelumnya, ia adalah orang bodoh kebanyakan, yang tertipu dan terpedaya oleh dunia, seorang makhluk rendah. Dan ketika seseorang telah menjadi makhluk suci, ia akan terus maju hingga mencapai titik dimana ia tidak akan pernah kembali lagi hingga ia mencapai Jalur Pernbebasan dengan menjadi Sotapanna. Setelah itu, setelah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, ia akan terus maju hingga akhirnya mencapai Nihbana.

Latihan untuk membebaskan diri dari belenggu egoisme dan ilusi adalah dengan menyadari bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang berharga untuk dicengkeram dan melekat kepadanya. Hasil dari latihan ini adalah lenyapnya keragu raguan, kemelekatan yang membuta, dan keegoisan. Maka, Anda sebaiknya mulai menyadari ini saat ini juga sesuai dengan tingkat kemampuan masing masing. Jika Anda gagal dalam ujian, Anda tidak perlu menangis. Bulatkan tekad Anda untuk memulai lagi dan melakukan yang terbaik. Jika Anda lulus, jangan terlalu gembira, Anda harus menyadari bahwa ini bukanlah sesuatu yang spesial. Ini artinya Anda mulai memahami ketidakmelekatan.

bersambung....
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: ryu on 25 November 2008, 06:29:25 AM
Ketika Anda sedang menjawab soal soal ujian, luapkan diri Anda. Ingat ini baik baik. Ketika Anda mulai menjawab, lupakan diri Anda. Lupakan "aku" yang sedang diuji dan siapa yang akan lulus atau gagal. Anda boleh berpikir bagaimana Anda dapat lulus dan membuat rencana untuk mencapainya. Tetapi, begitu Anda mulai menulis, Anda harus lupakan sernuanya. Tingkatkan konsentrasi sepenuhnya supaya Anda dapat memahami sernua pertanyaan dan mampu menjawabnya. Pikiran yang bebas dari "aku" atau "milikku" yang akan lulus atau gagal akan menjadi cerdas dan jernih, mengingat dengan cepat dan berpikir dengan tajam. Mengerjakan soal soal ujian konsentrasi benar akan membuahkan hasil yang memuaskan. Ini adalah cara untuk menerapkan cit waang (pikiran yang bebas dari ilusi tentang diri), atau ketidakmelekatan secara Buddhis, ketika mengikuti ujian. Dengan cara ini Anda akan memperoleh hasil yang bagus.

Mereka yang tidak tahu teknik ini selalu gelisah karena takut akan kegagalan. Mereka menjadi begitu gelisah sehingga mereka tak mampu lagi memikirkan apa yang telah mereka pelajari. Mereka tidak dapat menuliskan jawaban jawaban dengan akurat dan berurutan. Akibatnya, mereka gagal total. Sementara yang lain terpengaruh oleh pikiran "Saya cerdas, saya pasti lulus." Mahasiswa yang dipengaruhi oleh kemelekatan ini juga cenderung untuk berbuat yang kurang baik, sebab dia kekurangan cit waang. Di sisi lain, bagi "orang" yang dengan cit waang, tidak melekat kepada "aku" atau "milikku", ia tidak akan panik atau percaya diri secara berlebihan. Yang ada hanyalah konsentrasi yang merupakan kekuatan alami. Dengan melupakan dirinya, ia akan lulus dengan baik. Ini adalah suatu dasar, contoh yang paling mendasar tentang efek ketidakmelekatan dan cit waang.

Orang bodoh dan yang ditipu ilusi begitu mendengar kata sunnata menerjemahkannya sebagai "kekosongan atau hampa". Interpretasi demikian bersifat materialistik dan merupakan cara kelompok tertentu untuk memahami sunnata. Sunnata yang diajarkan oleh Buddha artinya tidak ada sesuatu pun yang berharga untuk kita cengkeram dan melekat, walaupun secara fisik mereka nyata. Ketika kita melekat, dukkha menguasai kita dan ketika kita tidak melekat, kita bebas dari dukkha. Dunia dianggap kosong karena tidak ada sesuatu. apa pun yang berharga untuk kita cengkeram dan berhak kita lekati. Kita harus memahami dunia yang kosong ini dengan pikiran yang tidak melekat. Jika kita menginginkan sesuatu, kita harus mengupayakannya dengan pikiran yang bebas dari kemelekatan, supaya kita mendapatkan apa yang kita inginkan tanpa menjadikannya sumber dukkha.

Pengertian salah akan kata "kosong", kata ini saja, adalah kepercayaan kepada takhayul yang fatal (silabbataparamasa) dan penghalang utama untuk mencapai Nibbana. Maka marilah kita memahami kata "kosong" dan kata kata lain yang digunakan oleh Buddha dengan benar. Buddha menggambarkan dunia ini kosong sebab tidak ada apa pun di dunia ini dapat dianggap sebagai "diri atau "ego". Buddha menjawab pertanyaan Raja Mogha dengan berkata, "Lihatlah, dunia ini kosong. Dunia dan segala isinya sesungguhnya kosong." Dengan melihat bahwa dunia ini kosong, pikiran otomatis akan bebas dari kemelekatan, keserakahan, kebencian, dan ilusi. Setelah mencapai tingkat ini, seseorang telah menjadi arahant. jika belum berhasil, teruslah berlatih dengan sungguh sungguh; meskipun menjadi manusia biasa, dukkha yang ada lebih sedikit. Tak ada dukkha yang muncul selama ada cit waang. Kapan pun seseorang "terseret" dan kehilangan kesadaran, dukkha muncul lagi. Jika kita menjaga. kesadaran dengan baik, terus memahami kekosongan, akhirnya kita akan benar benar mengerti inti ajaran Buddha, dan tiba di gerbang Jalur Pembebasan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 06:29:38 AM
QuotePara Master ZEN berbicara TANAH SUCI dalam konteks RETORIKA, sedangkan umat awam (bagi yang salah menafsirkan) berbicara TANAH SUCI dalam konteks HARFIAH (dalam pengertian bahwa TANAH SUCI itu ADA dan EKSIS)... Inilah yang bakal menyesatkan...

Nah... anda yang belajar Zen tentu tahu dong silsilah Zen....

Vasubandhu, Patriark ke-21 dari Zen di India pernah menulis sebuah teks upadesha mengenai Tanah Suci:
O World-Honored One, with singleness of mind, I
Take refuge in the Tathagata of Unhindered Light
Shining throughout the Ten Directions,
And aspire to be born in the Land of Peace and Bliss.
 

When I contemplate the nature of that Land,
I find that it surpasses all states of existence in the three worlds.
It is ultimately like space,
Vast and without bounds.

(Amitayus-Upadesha)

Nagarjuna, Patriark ke-14 dari Zen di India pernah menulis:

You should reverently worship those Buddhas, such as Amitabha, and recite their names. I will present them in full: 1. the Buddha Amitayus, 2. the Buddha Lokeshvararaja,.....These Buddhas and Bhagavats are now dwelling in their pure lands in the ten directions. You should all recite their names and be mindful of them.
(Dasabhumika Vibhasa Sastra)

dan:

With reverence I bow my head to Amida, the Sage,
The Most Honored One, who is revered by humans and devas.
You dwell in the wonderful Land of Peace and Bliss,
Surrounded by innumerable children of the Buddhas

.................
In the Revered Buddha's Land exist no evil names,
Nor are there beings in the female form, nor fear of evil realms.
All worship the Honored One in sincerity of heart.
Hence, I prostrate myself to the ground and worship Amida, the Holy One.

(12 Pujian)

Malah lebih "murni" lagi tuh... kan dari India....  :whistle:

Tentunya "Zen" di India "lebih Zen" bukan??  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 06:40:34 AM
Wah... bro. ryu..... thanks atas postingannya...

Ini menunjukkan bahwa akhirnya ujung-ujungnya toh ya mengatakan neraka, dsb itu (yang masih belum bisa dibuktikan keberadaannya) adanya di pikiran, sama kaya Sukhavati........

Kalau di Mahayana, 10 alam (neraka, asura, binatang, preta, manusia, deva, Sravaka, Pratyekabuddha, Bodhisattva dan Buddha) itu ya semuanya berasal dari pikiran dan ada di pikiran..... maka dari itu dalam gambar 10 alam sering di pusatnya ditulis huruf "Xin" yaitu "Hati" atau Citta.

Apalagi dalam Mahayana disebutkan bahwa dalam 1 alam tercakup 10 alam, jadi ya nggak heran deh kalau Bhikkhu Buddhadasa berkata:
"Meskipun tubuh secara fisik berada di alam manusia, begitu kegelisahan muncul, pikiran jatuh ke alam neraka."

Nah, dalam agama Buddha, alam manusia ini juga sebenarnya hanya ada di pikiran. Tapi toh "Eksis" juga kan, bukan sekedar ILUSI.... maka demikian juga dengan Neraka, Surga, Sukhavati dsb....

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 06:58:10 AM
Quote from: dilbert on 25 November 2008, 12:26:09 AM
Tindakan Menyelamatkan beda dengan Pikiran Menyelamatkan... Seorang ARAHAT/TATHAGATHA melakukan tindakan penyelamatan berdasarkan pada MELIHAT APA ADANYA, yaitu pada saat itu juga... Bukan pada PIKIRAN untuk MENYELAMATKAN apalagi KEINGINAN UNTUK MENYELAMATAKAN (berlawanan dengan EGOISME yang di-cap kepada ARAHAT yang katanya mementingkan diri sendiri).

Anda yakin Arahat nggak memiliki keinginan??  ^-^

Kalau keinginan (Tanha) ya Arahat memang nggak punya. Tapi Arahat punya yang namanya keinginan (Chanda - Sammachanda / Dhammachanda).

CLA. De Silva memberikan arti Chanda:
"Conation, desire to do (chando) is a state existing in consciousness which makes consciousness desire to take an object. It is not greed, but only a desire to do."

Selain itu, Chanda ini sering dikaitkan dengan Dhamma, sedangkan Tanha / Lobha selalu berkaitan dengan kilesa.

Lobha is greed, i.e., craving for sensual pleasures. But wanting to attain Nibbana, wanting to get Dhamma, wanting to be learned, wanting wealth for giving in charity to the poor, are not lobha. They are called chanda (desire) which will be dealt with later.
(Abhidhamma In Daily Life By Ashin Janakabhivamsa)

Maka dari itu ketika Arahat "wanting to become Samyaksambuddha" (Berkeinginan untuk menjadi Samyaksambuddha), maka keinginan-Nya adalah Chanda.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 07:38:28 AM
QuoteAjaran THERAVADA tidak perlu mengatakan bahwa ARAHAT TIDAK AKAN MENCAPAI SAMMASAMBUDDHA, karena SAVAKA BUDDHA itu juga sudah ARAHAT, Sammasambuddha itu juga ARAHAT. Seorang ARAHAT itu dipandang dari sisi pembebasannya dari dukkha. Ketika untuk mencapai Annutara Sammasambuddha yang notabene harus memiliki "KUALITAS" lebih dibandingkan dengan SAVAKA dan PACCEKA, maka individu yang beraspirasi/bertekad untuk mencapai Annutara Sammasambuddha harus MENAMBAH "JAM TERBANG" / KEHIDUPAN untuk menyempurnakan "PARAMI"-nya agar kelak memiliki KEMAHATAHUAN.

Dalam Mahayana, gelar Samyaksambuddha juga adalah Arhat. Anda akan banyak menjumpai ini dalam Sutra-Sutra Mahayana.

Apa sih arti Arahat? Artinya adalah "Penghancur musuh" atau "Patut Dihormati".

Samyaksambuddha dan Sravakabuddha itu kan patut dihormati makanya disebut sebagai Arahat ("Patut Dihormati").

Samyaksambuddha dan Sravakabuddha itu kan telah menghapus klesha  makanya disebut sebagai Arahat ("Penghancur musuh" ).

Perbedaannya adalah Sravakabuddha belum menghapus Jneyavarana, Samyaksambuddha sudah.

Jadi sebutan Arahat itu TIDAK HARUS menunjuk bahwa pencapaian Sravakabuddha dan Samyaksambuddha itu SAMA PERSIS.

Pencapaian mereka sama pada penghapusan klesha, tetapi pencapaian mereka berbeda dalam penghapusan halangan paham (jneyavarana).

Dan tentu yang dimaksud Hinayana Arhat dalam Sutra-sutra Mahayana itu adalah Sravakabuddha, TIDAK termasuk Samyaksambuddha.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 09:12:09 AM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 06:01:43 AM
Quoteemang di MAHAYANA itu tidak ada Surga TAVATIMSA ?? Atau versi Surga TAVATIMSA MAHAYANA BEDA ?? Emang kan sudah saya katakan bahwa saya tidak peduli dengan Surga TAVATIMSA, apalagi dengan Surga SUKHAVATI...

Anda meminta bukti bukti yang nyata nyata-nya tidak dapat dikemukakan baik oleh saya ataupun anda...

Emang ada. Yang lebih saya minta bukanlah bukti, tetapi saya mengkritik pandangan anda yang berat sebelah....  :))  :))

Ya terserah anda deh kalau mau menganggap Sukhavati itu nggak logika, terus Surga Kamaloka itu kata anda masuk logika.... Padahal letak Surga dalam Theravada aja masih kaburr juga toh... lalu kenapa mempertanyakan arah Sukhavati? Ini jelas anda melekat pada konsep tertentu, sehingga luput atau lupa kalau di Theravada kosmologinya juga memiliki arah yang membingungkan.  ^-^  ^-^

Akhirnya muncullah kata-kata "saya tidak peduli dengan Surga Sukhavati" dari tulisan anda.....

La kalau anda memang nggak peduli, ngapain anda ngeributin ADA atau TIDAK Sukhavati itu?? Sampai ngotot kalau Sukhavati itu tidak eksis dsb!  ^-^  ^-^

La Surga sama Neraka dalam Theravada yang serba belum jelas arahnya itu kok anda tidak ngotot kalau tidak eksis??  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer

Semua ajaran Theravada itu terangkum di dalam Agama Sutta (versi Mahayana), dengan kata lain ajaran Theravada termasuk semua dalam ajaran Mahayana, jelas semua hal tentang alam kehidupan itu ada di dalam ajaran Mahayana. Hanya saja di ajaran Mahayana, kemudian bermunculan pula Tanah Tanah Suci yang sampai dikategorikan sebagai Surga (seperti Surga Sukhavati) dan bahkan ada yang mengatakan sampai pula 33 alam.

LOGIKA-nya kalau AJARAN THERAVADA RUNTUH (tidak benar) maka MAHAYANA sudah pasti RUNTUH dengan sendiri-nya... Lha wong, katanya THERAVADA sebagai DASARNYA... Tetapi Kalau MAHAYANA RUNTUH... belum pasti THERAVADA RUNTUH... tuh karena MAHAYANA runtuh di konsep konsep TAMBAHAN yang DITAMBAH-TAMBAHKAN...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 09:15:47 AM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 06:29:38 AM
QuotePara Master ZEN berbicara TANAH SUCI dalam konteks RETORIKA, sedangkan umat awam (bagi yang salah menafsirkan) berbicara TANAH SUCI dalam konteks HARFIAH (dalam pengertian bahwa TANAH SUCI itu ADA dan EKSIS)... Inilah yang bakal menyesatkan...

Nah... anda yang belajar Zen tentu tahu dong silsilah Zen....

Vasubandhu, Patriark ke-21 dari Zen di India pernah menulis sebuah teks upadesha mengenai Tanah Suci:
O World-Honored One, with singleness of mind, I
Take refuge in the Tathagata of Unhindered Light
Shining throughout the Ten Directions,
And aspire to be born in the Land of Peace and Bliss.
 

When I contemplate the nature of that Land,
I find that it surpasses all states of existence in the three worlds.
It is ultimately like space,
Vast and without bounds.

(Amitayus-Upadesha)

Nagarjuna, Patriark ke-14 dari Zen di India pernah menulis:

You should reverently worship those Buddhas, such as Amitabha, and recite their names. I will present them in full: 1. the Buddha Amitayus, 2. the Buddha Lokeshvararaja,.....These Buddhas and Bhagavats are now dwelling in their pure lands in the ten directions. You should all recite their names and be mindful of them.
(Dasabhumika Vibhasa Sastra)

dan:

With reverence I bow my head to Amida, the Sage,
The Most Honored One, who is revered by humans and devas.
You dwell in the wonderful Land of Peace and Bliss,
Surrounded by innumerable children of the Buddhas

.................
In the Revered Buddha's Land exist no evil names,
Nor are there beings in the female form, nor fear of evil realms.
All worship the Honored One in sincerity of heart.
Hence, I prostrate myself to the ground and worship Amida, the Holy One.

(12 Pujian)

Malah lebih "murni" lagi tuh... kan dari India....  :whistle:

Tentunya "Zen" di India "lebih Zen" bukan??  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer

Mengenai Vasubhandu saya tidak tahu... Tetapi kalau Nagarjuna menulis hal seperti ini... Kelihatannya tidak sejalan dengan apa yang diungkapkan Nagarjuna di Mulamadhyamaka Karika yang oleh semua buddhist scholar, Nagarjuna dianggap sebagai Filosofer Terbesar Buddhis sepanjang masa.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 09:22:58 AM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 06:58:10 AM
Quote from: dilbert on 25 November 2008, 12:26:09 AM
Tindakan Menyelamatkan beda dengan Pikiran Menyelamatkan... Seorang ARAHAT/TATHAGATHA melakukan tindakan penyelamatan berdasarkan pada MELIHAT APA ADANYA, yaitu pada saat itu juga... Bukan pada PIKIRAN untuk MENYELAMATKAN apalagi KEINGINAN UNTUK MENYELAMATAKAN (berlawanan dengan EGOISME yang di-cap kepada ARAHAT yang katanya mementingkan diri sendiri).

Anda yakin Arahat nggak memiliki keinginan??  ^-^

Kalau keinginan (Tanha) ya Arahat memang nggak punya. Tapi Arahat punya yang namanya keinginan (Chanda - Sammachanda / Dhammachanda).

CLA. De Silva memberikan arti Chanda:
"Conation, desire to do (chando) is a state existing in consciousness which makes consciousness desire to take an object. It is not greed, but only a desire to do."

Selain itu, Chanda ini sering dikaitkan dengan Dhamma, sedangkan Tanha / Lobha selalu berkaitan dengan kilesa.

Lobha is greed, i.e., craving for sensual pleasures. But wanting to attain Nibbana, wanting to get Dhamma, wanting to be learned, wanting wealth for giving in charity to the poor, are not lobha. They are called chanda (desire) which will be dealt with later.
(Abhidhamma In Daily Life By Ashin Janakabhivamsa)

Maka dari itu ketika Arahat "wanting to become Samyaksambuddha" (Berkeinginan untuk menjadi Samyaksambuddha), maka keinginan-Nya adalah Chanda.

_/\_
The Siddha Wanderer

Saya kira dalam hal KEINGINAN untuk MENYELAMATKAN MAKHLUK ini sudah dijelaskan dengan baik sekali di dalam SUTRA INTAN. Pegang saja SUTRA INTAN-nya... Jangan pegang SUTRA yang lain... buat para MAHAYANIS, kalau anda PEGANG 2 sutra utama saja yaitu SUTRA HATI dan SUTRA INTAN... Itu sudah mencakup keseluruhan inti ajaran BUDDHA.

Kalau yang berkeinginan menjadi sammasambuddha itu mah bukan ARAHAT (SAVAKA BUDDHA)... contoh barangnya PETAPA SUMEDHA tuh...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 09:39:30 AM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 07:38:28 AM
QuoteAjaran THERAVADA tidak perlu mengatakan bahwa ARAHAT TIDAK AKAN MENCAPAI SAMMASAMBUDDHA, karena SAVAKA BUDDHA itu juga sudah ARAHAT, Sammasambuddha itu juga ARAHAT. Seorang ARAHAT itu dipandang dari sisi pembebasannya dari dukkha. Ketika untuk mencapai Annutara Sammasambuddha yang notabene harus memiliki "KUALITAS" lebih dibandingkan dengan SAVAKA dan PACCEKA, maka individu yang beraspirasi/bertekad untuk mencapai Annutara Sammasambuddha harus MENAMBAH "JAM TERBANG" / KEHIDUPAN untuk menyempurnakan "PARAMI"-nya agar kelak memiliki KEMAHATAHUAN.

Dalam Mahayana, gelar Samyaksambuddha juga adalah Arhat. Anda akan banyak menjumpai ini dalam Sutra-Sutra Mahayana.

Apa sih arti Arahat? Artinya adalah "Penghancur musuh" atau "Patut Dihormati".

Samyaksambuddha dan Sravakabuddha itu kan patut dihormati makanya disebut sebagai Arahat ("Patut Dihormati").

Samyaksambuddha dan Sravakabuddha itu kan telah menghapus klesha  makanya disebut sebagai Arahat ("Penghancur musuh" ).

Perbedaannya adalah Sravakabuddha belum menghapus Jneyavarana, Samyaksambuddha sudah.

Jadi sebutan Arahat itu TIDAK HARUS menunjuk bahwa pencapaian Sravakabuddha dan Samyaksambuddha itu SAMA PERSIS.

Pencapaian mereka sama pada penghapusan klesha, tetapi pencapaian mereka berbeda dalam penghapusan halangan paham (jneyavarana).

Dan tentu yang dimaksud Hinayana Arhat dalam Sutra-sutra Mahayana itu adalah Sravakabuddha, TIDAK termasuk Samyaksambuddha.

_/\_
The Siddha Wanderer

Dalam quote sebelumnya saya mengatakan bahwa saya juga masih setuju dengan konsep jneyavarana (penghapusan halangan paham) dari pencapaian sammasambuddha... karena kembali lagi LOGIKA/NALAR mengatakan bahwa memang "KUALITAS" seorang sammasambuddha itu berbeda dengan SAVAKA/PACCEKA, karena SAMMASAMBUDDHA harus menurunkan AJARAN (PIONER/PENCETUS/PENDAHULU). Tetapi tidak dalam artian bahwa seorang SAVAKA bisa mencapai ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA... Karena INGIN belum tentu sama dengan MAMPU...

Dalam konteks THERAVADA, jalur ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA bukan keluar masuk dari tingkat SAVAKA/PACCEKA, tetapi langsung dari bawah. Nah, di paham sebagaian MAHAYANIS mengatakan bahwa SAVAKA/PACCEKA itu masih belum sempurna (dalam hal ini THERAVADA sepakat bahwa kualitas SAVAKA/PACCEKA dibawah SAMMASAMBUDDHA) tetapi tidak mengharuskan mengatakan bahwa SAVAKA itu egosentris (hanya memikirkan penyelamatan diri sendiri)...

Logika-nya begini :
Anda belum bisa berenang. Apakah bisa menyelamatkan orang tenggelam ?? Tentu tidak bisa, karena anda sendiri tidak bisa berenang/menyelamatkan diri sendiri.
Kemudian anda belajar berenang. Ketika anda sudah bisa berenang/menyelamatkan diri sendiri. Apakah anda mutlak harus menyelamatkan orang lain ?? Tentu saja harus lihat konteks-nya... Kadang ada orang yang mau diselamatkan dan kadang ada orang yang tidak mau diselamatkan. TETAPI SYARAT UTAMA-nya tentu saja, ANDA SENDIRI HARUS BISA BERENANG DULU.

Ajaran BUDDHA dibabarkan untuk MENYELAMATKAN DIRI SENDIRI. Dengan MENYELAMATKAN DIRI SENDIRI DAHULU, nantinya anda akan membabarkan ajaran UNTUK ORANG LAIN MENYELAMATKAN DIRI MASING MASING.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 09:42:53 AM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 06:29:38 AM
QuotePara Master ZEN berbicara TANAH SUCI dalam konteks RETORIKA, sedangkan umat awam (bagi yang salah menafsirkan) berbicara TANAH SUCI dalam konteks HARFIAH (dalam pengertian bahwa TANAH SUCI itu ADA dan EKSIS)... Inilah yang bakal menyesatkan...

Nah... anda yang belajar Zen tentu tahu dong silsilah Zen....

Vasubandhu, Patriark ke-21 dari Zen di India pernah menulis sebuah teks upadesha mengenai Tanah Suci:
O World-Honored One, with singleness of mind, I
Take refuge in the Tathagata of Unhindered Light
Shining throughout the Ten Directions,
And aspire to be born in the Land of Peace and Bliss.
 

When I contemplate the nature of that Land,
I find that it surpasses all states of existence in the three worlds.
It is ultimately like space,
Vast and without bounds.

(Amitayus-Upadesha)

Nagarjuna, Patriark ke-14 dari Zen di India pernah menulis:

You should reverently worship those Buddhas, such as Amitabha, and recite their names. I will present them in full: 1. the Buddha Amitayus, 2. the Buddha Lokeshvararaja,.....These Buddhas and Bhagavats are now dwelling in their pure lands in the ten directions. You should all recite their names and be mindful of them.
(Dasabhumika Vibhasa Sastra)

dan:

With reverence I bow my head to Amida, the Sage,
The Most Honored One, who is revered by humans and devas.
You dwell in the wonderful Land of Peace and Bliss,
Surrounded by innumerable children of the Buddhas

.................
In the Revered Buddha's Land exist no evil names,
Nor are there beings in the female form, nor fear of evil realms.
All worship the Honored One in sincerity of heart.
Hence, I prostrate myself to the ground and worship Amida, the Holy One.

(12 Pujian)

Malah lebih "murni" lagi tuh... kan dari India....  :whistle:

Tentunya "Zen" di India "lebih Zen" bukan??  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer

kok, hasil karya NAGARJUNA yang saya dapatkan hanya ini yah... tidak ada seperti yang disebutkan oleh sdr.Gandalf

According to Lindtner the works definitely written by Nagarjuna are:

Mūlamadhyamaka-kārikā (Fundamental Verses of the Middle Way)
Śūnyatāsaptati (Seventy Verses on Emptiness)
Vigrahavyāvartanī (The End of Disputes)
Vaidalyaprakaraṇa (Pulverizing the Categories)
Vyavahārasiddhi (Proof of Convention)
Yuktiṣāṣṭika (Sixty Verses on Reasoning)
Catuḥstava (Hymn to the Absolute Reality)
Ratnāvalī (Precious Garland)
Pratītyasamutpādahṝdayakārika (Constituents of Dependent Arising)
Sūtrasamuccaya
Bodhicittavivaraṇa (Exposition of the Enlightened Mind)
Suhṛllekha (To a Good Friend)
Bodhisaṃbhāra (Requisites of Enlightenment)
Sushruta Samhita (Redactor of Ayurvedic Medicine text)

There are other works attributed to Nāgārjuna, some of which may be genuine and some not.

Kelihatannya semua hasil karya Nagarjuna di atas tidak ada hubungannya dengan yang namanya Tanah Suci...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 25 November 2008, 09:43:08 AM
Quote from: dilbert on 25 November 2008, 09:12:09 AM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 06:01:43 AM
Quoteemang di MAHAYANA itu tidak ada Surga TAVATIMSA ?? Atau versi Surga TAVATIMSA MAHAYANA BEDA ?? Emang kan sudah saya katakan bahwa saya tidak peduli dengan Surga TAVATIMSA, apalagi dengan Surga SUKHAVATI...

Anda meminta bukti bukti yang nyata nyata-nya tidak dapat dikemukakan baik oleh saya ataupun anda...

Emang ada. Yang lebih saya minta bukanlah bukti, tetapi saya mengkritik pandangan anda yang berat sebelah....  :))  :))

Ya terserah anda deh kalau mau menganggap Sukhavati itu nggak logika, terus Surga Kamaloka itu kata anda masuk logika.... Padahal letak Surga dalam Theravada aja masih kaburr juga toh... lalu kenapa mempertanyakan arah Sukhavati? Ini jelas anda melekat pada konsep tertentu, sehingga luput atau lupa kalau di Theravada kosmologinya juga memiliki arah yang membingungkan.  ^-^  ^-^

Akhirnya muncullah kata-kata "saya tidak peduli dengan Surga Sukhavati" dari tulisan anda.....

La kalau anda memang nggak peduli, ngapain anda ngeributin ADA atau TIDAK Sukhavati itu?? Sampai ngotot kalau Sukhavati itu tidak eksis dsb!  ^-^  ^-^

La Surga sama Neraka dalam Theravada yang serba belum jelas arahnya itu kok anda tidak ngotot kalau tidak eksis??  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer

Semua ajaran Theravada itu terangkum di dalam Agama Sutta (versi Mahayana), dengan kata lain ajaran Theravada termasuk semua dalam ajaran Mahayana, jelas semua hal tentang alam kehidupan itu ada di dalam ajaran Mahayana. Hanya saja di ajaran Mahayana, kemudian bermunculan pula Tanah Tanah Suci yang sampai dikategorikan sebagai Surga (seperti Surga Sukhavati) dan bahkan ada yang mengatakan sampai pula 33 alam.

LOGIKA-nya kalau AJARAN THERAVADA RUNTUH (tidak benar) maka MAHAYANA sudah pasti RUNTUH dengan sendiri-nya... Lha wong, katanya THERAVADA sebagai DASARNYA... Tetapi Kalau MAHAYANA RUNTUH... belum pasti THERAVADA RUNTUH... tuh karena MAHAYANA runtuh di konsep konsep TAMBAHAN yang DITAMBAH-TAMBAHKAN...

Jadi anda mengira Sukhavati itu sebagai Surga seperti layaknya kamadhatu?  Sebenarnya kata Surga yg dilekatkan pada Sukhavati itu adalah term yg salah dilakukan oleh para penerjemah di Indo.  Sukhavati adalah sebuah dimensi lain dari satu sistem dunia sama seperti hal nya sistem dunia kita di sini. Silakan baca posting saya yang terdahulu tentang pengertian Tanah murni
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=2469.0

Tentu alur tentang Tanah Buddha/Tanah murni juga "logis" toh, karena selaras dengan teori astronomi yg sudah menguak keberadaan bermilyar2 galaksi di luar tata surya kita. Dan dari teori ini bukankah keberadaan Buddha lain juga sangat memungkinkan?  Berdasarkan apa mengatakan itu sebagai mustahil? Bagaimana logika analisa anda?

Mahayana tidak menganggap Theravada tidak benar. Jadi tidaklah mungkin runtuh. Yang benar adalah masih banyak hal-hal yang tidak diungkapkan dalam Theravada , dan bagi Mahayana itu adalah hal yang wajar, karena ajaran basic belum saatnya perlu mengetahui terlalu banyak hal-hal lain. Cuma ketika terkuak hal-hal lain (bodhisatva2 , Buddha2, Tanah murni, dll), mereka yang berpikiran sempit tidak sanggup menerimanya, sedangkan Arahat2 yang sejati menerimanya karena mereka sadar betul bahwa masih banyak hal yg tidak diketahui mereka.  
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 09:47:03 AM
Quote from: chingik on 25 November 2008, 09:43:08 AM
Quote from: dilbert on 25 November 2008, 09:12:09 AM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 06:01:43 AM
Quoteemang di MAHAYANA itu tidak ada Surga TAVATIMSA ?? Atau versi Surga TAVATIMSA MAHAYANA BEDA ?? Emang kan sudah saya katakan bahwa saya tidak peduli dengan Surga TAVATIMSA, apalagi dengan Surga SUKHAVATI...

Anda meminta bukti bukti yang nyata nyata-nya tidak dapat dikemukakan baik oleh saya ataupun anda...

Emang ada. Yang lebih saya minta bukanlah bukti, tetapi saya mengkritik pandangan anda yang berat sebelah....  :))  :))

Ya terserah anda deh kalau mau menganggap Sukhavati itu nggak logika, terus Surga Kamaloka itu kata anda masuk logika.... Padahal letak Surga dalam Theravada aja masih kaburr juga toh... lalu kenapa mempertanyakan arah Sukhavati? Ini jelas anda melekat pada konsep tertentu, sehingga luput atau lupa kalau di Theravada kosmologinya juga memiliki arah yang membingungkan.  ^-^  ^-^

Akhirnya muncullah kata-kata "saya tidak peduli dengan Surga Sukhavati" dari tulisan anda.....

La kalau anda memang nggak peduli, ngapain anda ngeributin ADA atau TIDAK Sukhavati itu?? Sampai ngotot kalau Sukhavati itu tidak eksis dsb!  ^-^  ^-^

La Surga sama Neraka dalam Theravada yang serba belum jelas arahnya itu kok anda tidak ngotot kalau tidak eksis??  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer

Semua ajaran Theravada itu terangkum di dalam Agama Sutta (versi Mahayana), dengan kata lain ajaran Theravada termasuk semua dalam ajaran Mahayana, jelas semua hal tentang alam kehidupan itu ada di dalam ajaran Mahayana. Hanya saja di ajaran Mahayana, kemudian bermunculan pula Tanah Tanah Suci yang sampai dikategorikan sebagai Surga (seperti Surga Sukhavati) dan bahkan ada yang mengatakan sampai pula 33 alam.

LOGIKA-nya kalau AJARAN THERAVADA RUNTUH (tidak benar) maka MAHAYANA sudah pasti RUNTUH dengan sendiri-nya... Lha wong, katanya THERAVADA sebagai DASARNYA... Tetapi Kalau MAHAYANA RUNTUH... belum pasti THERAVADA RUNTUH... tuh karena MAHAYANA runtuh di konsep konsep TAMBAHAN yang DITAMBAH-TAMBAHKAN...

Jadi anda mengira Sukhavati itu sebagai Surga seperti layaknya kamadhatu?  Sebenarnya kata Surga yg dilekatkan pada Sukhavati itu adalah term yg salah dilakukan oleh para penerjemah di Indo.  Sukhavati adalah sebuah dimensi lain dari satu sistem dunia sama seperti hal nya sistem dunia kita di sini. Silakan baca posting saya yang terdahulu tentang pengertian Tanah murni
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=2469.0

Tentu alur tentang Tanah Buddha/Tanah murni juga "logis" toh, karena selaras dengan teori astronomi yg sudah menguak keberadaan bermilyar2 galaksi di luar tata surya kita. Dan dari teori ini bukankah keberadaan Buddha lain juga sangat memungkinkan?  Berdasarkan apa mengatakan itu sebagai mustahil? Bagaimana logika analisa anda?

Mahayana tidak menganggap Theravada tidak benar. Jadi tidaklah mungkin runtuh. Yang benar adalah masih banyak hal-hal yang tidak diungkapkan dalam Theravada , dan bagi Mahayana itu adalah hal yang wajar, karena ajaran basic belum saatnya perlu mengetahui terlalu banyak hal-hal lain. Cuma ketika terkuak hal-hal lain (bodhisatva2 , Buddha2, Tanah murni, dll), mereka yang berpikiran sempit tidak sanggup menerimanya, sedangkan Arahat2 yang sejati menerimanya karena mereka sadar betul bahwa masih banyak hal yg tidak diketahui mereka.  


Kelihatannya anda berjodoh dengan sekte TANAH SUCI... Mengapa anda tidak bertumimbal lahir di TANAH SUCI yang disebutkan ??

Berdasarkan ucapan BUDDHA yang telah menerawang sampai ke ujung alam semesta... bahwa BELIAU-LAH yang TERAGUNG PADA SAAT ITU... APA ARTINYA DARI KALIMAT TERSEBUT ??
Bahwa pada saat itu, di seluruh alam semesta, hanya ada 1 sammasambuddha yang sedang membabarkan ajaran.... DARIMANA ADA TIMBUL DUNIA PARALEL LENGKAP DENGAN SAMMASAMBUDDHA LAINNYA seperti yang anda sebutkan...

JIKA ANDA KATAKAN SABDA BUDDHA GOTAMA ITU SALAH, maka RUNTUH-LAH SEMUA AJARAN... ITU LOGIKA-NYA.

atau anda mau katakan bahwa pada saat itu BUDDHA GOTAMA sedang NARSIS atau sedang MENYOMBONGKAN DIRI dengan ucapan-nya ?

(coba check dulu di agama sutra, apakah ada quote BUDDHA GOTAMA tentang BELIAU YANG TERAGUNG DI SELURUH ALAM SEMESTA SAAT ITU ?, kan katanya Dasarnya sama ?)

NB : saya sendiri malas kalau berdiskusi dengan misalnya ajaran maitreya, suma ching hai dan lain lain, karena memang dasar-nya tidak sama... lha kalau dari MAHAYANA yang dasarnya sama, tetapi ada beberapa konsep yang menurut saya tidak konsisten dengan dasarnya. itu yang perlu saya kritisi.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 25 November 2008, 10:12:15 AM
Quote
Kelihatannya anda berjodoh dengan sekte TANAH SUCI... Mengapa anda tidak bertumimbal lahir di TANAH SUCI yang disebutkan ??
Saya tentu akan  bertumimbal lahir di sana jika saya berlatih sesuai instruksinya.

Quote
Berdasarkan ucapan BUDDHA yang telah menerawang sampai ke ujung alam semesta... bahwa BELIAU-LAH yang TERAGUNG PADA SAAT ITU... APA ARTINYA DARI KALIMAT TERSEBUT ??
Bahwa pada saat itu, di seluruh alam semesta, hanya ada 1 sammasambuddha yang sedang membabarkan ajaran.... DARIMANA ADA TIMBUL DUNIA PARALEL LENGKAP DENGAN SAMMASAMBUDDHA LAINNYA seperti yang anda sebutkan...
Sampai ke ujung semesta? bisa diperjelas? di mana ujungnya? maksudnya seluruh isi semesta ini? Kalo anda teliti tentang pengertian Tisahassi Mahasahassi loka-dhatu, mudah2an akan sedikit membuat anda paham apa yg dimaksud ujung semesta dan bandingkan dengan konsep kosmologi mahayana.
Terus, kalo Buddha teragung dan terawangnya sampai ke ujung semesta mengapa hanya mengajar di Jambudipa??? bukankah terdapat beribu2 tata surya beserta alam dewa manusia nya (Anguttara Nikaya bagian Ananda vagga), mengapa Buddha Gotama versi Theravada hanya dikenal jambudipa sini saja?? Dari 'logika' berpikir saya, jika Buddha hanya mengajar di tata surya sini saja tentu tidak menunjukkan keagungannya yang sesungguhnya. Tetapi Mahayana berpandangan lebih dari itu, dan ternyata sangat selaras dengan sifat keagungan seorang makhluk suci, maka saya tentu vote pandangan yang Mahayanis seperti ini. 
Tentang hanya ada 1 Sammasambuddha di dunia, silakan teliti lagi post saya ttg kosmologi mahayana di atas. Jika hanya satu utk seluruh semesta yg tidak ada ujung batasnya dan hanya mengajar dharma di sini dengan batas umur 80 th, maka Buddha versi Theravada terlalu kecil seperti setitik debu tak berarti di semesta yg maha luas. Jadi pelajari dulu astronomi dan sadari bahwa masak cuma Buddha di sini saja 2500 th yg lalu dan tak ke mana mana.

Quote
JIKA ANDA KATAKAN SABDA BUDDHA GOTAMA ITU SALAH, maka RUNTUH-LAH SEMUA AJARAN... ITU LOGIKA-NYA.
Saya tidak mengatakan sabda itu salah, tapi penafsiran anda ttg ucapan Buddha itu sangat berbeda.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 10:41:35 AM
[at] atas.
mengapa anda sekarang ini tidak terlahir di tanah suci yg anda maksud itu ?

Mengapa buddha gotama hanya mengajar di dunia saha ini? Karena kondisi yg saling bergantungan sudah memenuhi utk lahirnya seorang samma sambuddha.

Apakah ada sutra yg menuliskan kunjungan siswa gotama ke tanah suci? Apakah gotama sendiri pernah ke tanah suci? Jika tdk ada, bearti anda anda yg mengikuti petunjuk sekte sukhavati lebih hebat, krn bisa terlahir disana.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 25 November 2008, 12:51:53 PM
 
Quote
[at] atas.
mengapa anda sekarang ini tidak terlahir di tanah suci yg anda maksud itu ?

lho, usia kehidupan saya belum berakhir, wajar toh kalo saya belum terlahir? Mengapa anda juga tidak terlahir di salah satu alam lain sekrang? prinsipnya sama saja.

Quote
Mengapa buddha gotama hanya mengajar di dunia saha ini? Karena kondisi yg saling bergantungan sudah memenuhi utk lahirnya seorang samma sambuddha.
Dan di semesta yg maha luas ini, hanya mengajar di sini? lebih memungkinkan mana bagi seorang Buddha yang memiliki abhinna dan kebijaksanaan sempurna sementara tidak bisa mengunjungi tata surya lain utk menyiarkan dhamma yang begitu indah??
Untung Mahayana telah menguak kemungkinan2 lain, sehingga kita merasa Buddha telah menggunakan keterampilan sempurna agar makhluk2 di tata surya lain dapat mendengarkan dhamma juga. Itulah kesejatian dari pencapaian seorang Sammasambuddha.

Quote
Apakah ada sutra yg menuliskan kunjungan siswa gotama ke tanah suci? Apakah gotama sendiri pernah ke tanah suci? Jika tdk ada, bearti anda anda yg mengikuti petunjuk sekte sukhavati lebih hebat, krn bisa terlahir disana.
Dalam Ekottaragama Sutra mencatat Maha Moggallana pergi ke Tisahassi Mahasahassi loka-dhatu lain dan hadir dalam pesamuan seorang Buddha lain di sana. Dalam Agama Sutra (dari sekte Dharmagupta) , ini satu2nya catatan tentang Buddha lain disamping Buddha Gotama pada masa sekarang.
Sang Buddha sendiri tentu dapat berkunjung ke tanah suci lain, dan di sutra pun sering mencatat Buddha lain mengutus Bodhisatva utk mengunjungi Buddha Sakyamuni.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 November 2008, 01:41:12 PM
[at] chingik.
Mengapa bukan buddha amitabha yang mengutus orang mengajar di dunia saha ini? Gak perlu buddha gotama lagi.. Logikanya krn amitabha skrg sedang masih mengajar dan di sutra mahayana gotama mengatakan ada amitabha di tanah suci lain, bearti amitabha duluan ada daripada gotama..

Terus pertanyaan saya lagi.. Mengapa sdr chingik terlahir skrg di dunia saha (yg menurut anda Tanah suci gotama). Darimana anda sebelumnya? 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 25 November 2008, 05:09:56 PM
Quote
[at] chingik.
Mengapa bukan buddha amitabha yang mengutus orang mengajar di dunia saha ini? Gak perlu buddha gotama lagi.. Logikanya krn amitabha skrg sedang masih mengajar dan di sutra mahayana gotama mengatakan ada amitabha di tanah suci lain, bearti amitabha duluan ada daripada gotama..
Memang kondisinya dunia sini sedang akan muncul Buddha Sakyamuni, maka tentu Buddha Amitabha tidak perlu mengutus orang. Sebenarnya ada kok, hehe..ya Avokitesvara orangnya. Tentu semua ada semacam sistem aturan yg tidak kita pahami.   

Quote
Terus pertanyaan saya lagi.. Mengapa sdr chingik terlahir skrg di dunia saha (yg menurut anda Tanah suci gotama). Darimana anda sebelumnya? 
Ya saya mana tahu
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 25 November 2008, 05:49:08 PM
Quote from: dilbert on 25 November 2008, 09:15:47 AM


Mengenai Vasubhandu saya tidak tahu... Tetapi kalau Nagarjuna menulis hal seperti ini... Kelihatannya tidak sejalan dengan apa yang diungkapkan Nagarjuna di Mulamadhyamaka Karika yang oleh semua buddhist scholar, Nagarjuna dianggap sebagai Filosofer Terbesar Buddhis sepanjang masa.

Mulamadhyamaka Karika bagian yang mana bro?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 10:06:21 PM
QuoteMengenai Vasubhandu saya tidak tahu... Tetapi kalau Nagarjuna menulis hal seperti ini... Kelihatannya tidak sejalan dengan apa yang diungkapkan Nagarjuna di Mulamadhyamaka Karika yang oleh semua buddhist scholar, Nagarjuna dianggap sebagai Filosofer Terbesar Buddhis sepanjang masa

Hahaha.... Nagarjuna yang tidak sejalan, atau batin anda yang tidak sejalan??  ^-^  ^-^

Bagi seorang Mahayana sejati, ia tentu akan memahami bahwa Tathagatagarbha dan Shunyata itu tidaklah saling bertentangan, karena pada hakekatnya SAMA.......

Namun kalau sampai ada orang yang menerima Shunyata tapi nggak bisa menerima Tathagatagarbha, dan demikian juga sebaliknya, maka ia akan terjerumus ke dalam pandangan nihilisme ataupun eternalisme.

Bahkan anda toh hanya mengajukan satu jenis penelitian dari satu orang saja yaitu Lindtner toh!  ^-^  ^-^  Lalu  atas dasar apa Lindtner mengatakan ini itu pasti karya Nagarjuna dan yang lain tidak ??.... la wong yang benar-benar pasti ajaran Sang Buddha itu yang mana saja juga masih belum dapat dibuktikan 100 %!

Dasabhumika Vibhasa Sastra itu diterjemahkan ke bahasa Tionghoa oleh Arya Kumarajiva (344 M – 413 M). Tentunya anda tau dong Arya Kumarajiva itu siapa?

Bahkan konon setelah Nagarjuna meninggal, Ia terlahir kembali di alam Sukhavati. Sebelum meninggal Nagarjuna berkata: "Sekarang aku akan pergi menuju Tanah Suci Sukhavati, namun aku akan kembali ke dalam tubuh ini lagi."
Anda bisa temui kata-kata ini di biografi Arya Nagarjuna di kalangan Vajrayana oleh Sera sMad  Geshe Lobsang Tharchin.

Mungkin ini berasal dari teks Pradipodyotana:
"Acarya Nagarjuna, dengan jalan Tantra, mengaktualisasikan tingkatan Vajradhara dalam waktu hidupnya, seperti dikatakan: 'Acarya yang hebat, Nagarjuna yang agung, berhadap-hadapan dengan tujuan-Nya, dan telah mengajarkan tentang pengetahuan dunia dari dalam diri sendiri, ini adalah samadhi Vajradhara agung, ia telah melangkah jauh di atas kebahagiaan para dewa dan manusia. ia telah melangkah jauh di atas kebahagiaan meditasi dari para heterodoks (tirthika), para Sravaka dan Pratyekabuddha........... ia pergi menuju Sukhavati dan menetap di sana, dengan memiliki delapan kekuatan sebagai kualitas-Nya."

Bahkan Sang Buddha sendiri dalam Lankavatara Sutra mengatakan bahwa Nagarjuna akan pergi menuju Sukhavati.

Lalu kalau Sukhavati-vyuhopadesa-nya (Amitayus-upadesha) Vasubandhu kan tidak ada penolakan tuh. Sejarawan iya-iya aja tuh....

Jadi ada dong master Zen India yang mengakui ke-Eksis-an Tanah Suci Sukhavati?

Bahkan sudah sangat meluas dalam sekte Tanah Suci, yaitu bahwa Nagarjuna dan Vasubandhu diakui sebagai Patriark Tanah Suci di India dan termasuk dalam kelompok 7 Patriark Tanah Suci.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 10:25:23 PM
QuoteSaya kira dalam hal KEINGINAN untuk MENYELAMATKAN MAKHLUK ini sudah dijelaskan dengan baik sekali di dalam SUTRA INTAN. Pegang saja SUTRA INTAN-nya... Jangan pegang SUTRA yang lain... buat para MAHAYANIS, kalau anda PEGANG 2 sutra utama saja yaitu SUTRA HATI dan SUTRA INTAN... Itu sudah mencakup keseluruhan inti ajaran BUDDHA.

Hahaha.... dari masalah keinginan... lagi-lagi malah lari ke Sutra Intan.

La wong tafsir anda aja terhadap kata-kata "KEINGINAN untuk MENYELAMATKAN MAKHLUK" udah salah kaprah...  ^-^  ^-^  ^-^

Tuh tafsiran bro. chingik yang bagi saya lebih logika, lebih nalar, dan tentu lebih sesuai dengan pandangan Mahayana yang sejati-jatinya.

Dalam periode pembabaran, maka Sutra Intan dan Sutra Hati adalah periode ke-4 (Prajnaparamita) dari 5 periode. Pembabaran di masa ini belumlah lengkap. Kalau anda ingin melihat ajaran Mahayana yang sejati-jatinya, yang mencakup keseluruhan inti ajaran Sang Buddha, bacalah 2 sutra yang berasal dari periode ke-5 (akhir) pembabaran Dharma:

1. Saddharmapundarika Sutra
2. Mahayana Mahaparinirvana Sutra

Yang mengandung makna inti, yang merupakan dua sutra utama dalam Mahayana.

Bahkan pemutaran roda Dharma (Dharmacakra) Sang Buddha dibagi menjadi tiga tahap:
1. Ajaran Hinayana yang merupakan dasar (Empat Kebenaran Mulia)
2. Prajnaparamita (Sunyata)
3. Yogacara dan Tathagatagarbha

Jadi pemutaran roda Dharma yang paling terakhir adalah yang paling sempurna dan yang paling ultimit.

Tapi kalau misalnya anda tidak setuju, ya udah...  ^-^  ^-^

QuoteKalau yang berkeinginan menjadi sammasambuddha itu mah bukan ARAHAT (SAVAKA BUDDHA)... contoh barangnya PETAPA SUMEDHA tuh

Pernyataan anda ini kan dari segi Hinayana Theravada...   dan ini board Mahayana, ya tentu saya bahasnya dari segi Mahayana... jadi menurut Mahayana, Arahat masih dapat memiliki "Chanda" untuk menjadi Samyaksambuddha.

Pernyataan anda ini jangan diulang-ulang terus. Saya dan teman-teman di sini sudah tahu persis bahwa pandangan Theravada seperti itu.

Dan perlu anda ketahui, di dalam Mahayana, memang dikenal 2 jenis tipe Bodhisattva:
1. Umat biasa yang berikrar menjadi Bodhisattva dan Samyaksambuddha (jadi sejak awal sudah masuk ke jalan Mahayana), dan pencapaian pertamanya adalah Bhumi pertama. Petapa Sumedha adalah contoh dari tipe Bodhisattva pertama ini.
2. Para Sravaka yang kemudian memasuki jalan Mahayana, pencapaian pertamanya sudah langsung Bhumi ketujuh. Contohnya adalah Mahakasyapa, Mahaprajapati, Yasodhara, dsb.

Jadi kalau di Theravada HANYA dikenal tipe 1, maka di Mahayana dikenal 2 tipe.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 25 November 2008, 10:26:23 PM
Mas Gandalf, mau nanya nih.. sebenarnya surga sukhavati apa benar di barat...?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 10:41:56 PM
QuoteSemua ajaran Theravada itu terangkum di dalam Agama Sutta (versi Mahayana), dengan kata lain ajaran Theravada termasuk semua dalam ajaran Mahayana, jelas semua hal tentang alam kehidupan itu ada di dalam ajaran Mahayana. Hanya saja di ajaran Mahayana, kemudian bermunculan pula Tanah Tanah Suci yang sampai dikategorikan sebagai Surga (seperti Surga Sukhavati) dan bahkan ada yang mengatakan sampai pula 33 alam.

LOGIKA-nya kalau AJARAN THERAVADA RUNTUH (tidak benar) maka MAHAYANA sudah pasti RUNTUH dengan sendiri-nya... Lha wong, katanya THERAVADA sebagai DASARNYA... Tetapi Kalau MAHAYANA RUNTUH... belum pasti THERAVADA RUNTUH... tuh karena MAHAYANA runtuh di konsep konsep TAMBAHAN yang DITAMBAH-TAMBAHKAN...

Saya nggak ngurus mau runtuh atau kagak. Itu di luar Scope Pembahasan kita.

Yang kita bahas adalah apakah eksis tidaknya Sukhavati, Surga, neraka dsb... beserta arah-arahnya yang kalau boleh dibilang masih belum jelas itu!

Dan yang saya yang ingin tekankan di sini adalah sikap pandangan anda yang berat sebelah!

Jangan ngalor ngidul dulu! Yang saya ingin pertanyakan kenapa anda begitu heboh mempertanyakan Sukhavati itu arahnya nggak jelas lah, nggak eksis lah, kalau pernyataan "tanah Suci itu eksis" sendiri itu nggak murni lah, yang bener cuma retorika lah..

Lalu kenapa anda tidak mempertanyakan pandangan Theravada sendiri, padahal sudah jelas surga-nya juga arahnya nggak jelas, eksis apa kagak kita belum tahu, bahkan di Theravada diyakini bahwa Surga ini benar-benar merupakan suatu tempat yang benar-benar eksis........ wah berarti nggak murni dong??

Kan yang bener Surga Neraka itu cuma ada di pikiran kan yak.... seperti kata Bhante Buddhadasa?  ^-^  ^-^ Berarti Surga Neraka-nya Theravada itu cuma ada di pikiran yak? ILUSI doang kan?

Maka dari itu, seharusnya pertanyaan anda pada Sukhavati itu, dapat ditanyakan pula pada Surga-Neraka yang diyakini oleh Theravada.

Tapi anda malah mati-matian bela-belain Surga Neraka-nya Theravada pake konsep LOGIKA ALUR....  ^-^ La kalau gitu saya juga mau pake LOGIKA ALUR sama Sukhavati ah....  :))  :)) la emang make sense kok bagi saya Sukhavati itu.....  :))  :))

Sekali lagi, yang saya tekankan adalah pandangan berimbang, bukan masalah runtuh ataupun tidak.  

Bagi saya pribadi, baik Surga Theravada maupun Sukhavati itu memang bisa saja benar-benar eksis dan, tentu, keduanya sangat MASUK LOGIKA saya. Kedua-duanya lo!

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 November 2008, 10:59:01 PM
Quote from: truth lover on 25 November 2008, 10:26:23 PM
Mas Gandalf, mau nanya nih.. sebenarnya surga sukhavati apa benar di barat...?

Lihat ini:

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=2469.0

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 25 November 2008, 11:02:05 PM
Mas Gandalf mau numpang nanya lagi nih, kebetulan saya baca "the large sutra on perfect wisdom (maha prajna paramita sutra?)" terjemahan Dr. Edward conze, isinya kok banyak menjelek-jelekkan jalan Arahat dan Pacceka Buddha? dan selalu memuji jalan Bodhisatva? contohnya halaman 115 berbunyi: Mara dengan menyamar sebagai Sang Buddha mengkhotbahkan, menguraikan, menganalisa, memperkuat ajaran (scriptures) yang berhubungan dengan tingkat Sravaka, lalu (bahasa Inggrisnya berat nih) menguraikan Discourses, discourses in prose, and verse mingled, predictions, verses, summaries, origins, thus was said, birth stories, expanded texts, marvels, texts and expositions.

Sedangkan di buku-buku Theravada tidak pernah mencela jalan Bodhisatva, bahkan dalam buku RAPB dijelaskan jalan Bodhisatva juga, yang merupakan sebuah pilihan yang boleh dilakukan dan baik ?

Mengapa demikian mas Gandalf?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 25 November 2008, 11:16:25 PM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 10:59:01 PM
Quote from: truth lover on 25 November 2008, 10:26:23 PM
Mas Gandalf, mau nanya nih.. sebenarnya surga sukhavati apa benar di barat...?

Lihat ini:

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=2469.0

_/\_
The Siddha Wanderer

maksudnya ini ya mas Gandalf? penjelasan dari mas Chingik?

QuoteAda beberapa penjelasan mengenai posisi barat. Dalam tolak ukur Buddhisme Mahayana, arah mata angin tidak melulu bersandar pada poros bumi. Dalam Buddhisme Mahayana khususnya Tantra, arah mata angin jika dikaitkan ke dimensi yang lebih luas, maka rujukannya sudah bukan pada sistem kompas konvensional. Melainkan bersandar pada rasi bintang. Tantra mengenal 28 rasi bintang. Karena dengan bersandar pada rasi bintang, maka orbital bumi tidak mempengaruh arah mata angin. Karena jika kita menunjuk ke arah barat, dengan bersandar pada posisi rasi bintang, maka arah barat tersebut tidak akan mengalami pergeseran. Dengan demikian, maka perjalanan ke luar angkasa tidak akan bingung di mana yang namanya arah barat, timur, utara atau selatan, karena para ilmuwan juga sudah mulai menggunakan rasi bintang utk memetakan mata angin universe. Sejauh titik sentralnya adalah bumi, tidak peduli perputaran poros, maka arah tersebut menjadi fix. Setidaknya, gambaran arah barat yg merujuk pada Sukhavati lebih kurang adalah seperti itu.
Penjelasan kedua, dalam Amitabha Sutra, ketika Buddha Sakyamuni memperkenalkan Tanah Murni Sukhavati, Beliau menunjuk ke arah Barat, kita tidak tahu hari apa dan jam berapa Beliau menunjuknya, namun intinya adalah ada satu kemungkinan bahwa pada detik-detik itu, Sukhavati pas bertepatan di arah barat dari posisi bumi, maka Sakyamuni menggunakan kesempatan ini untuk menceritakan tentang Buddha Amitabha yang sedang berada di sana.

Maaf mas Gandalf penjelasan mas Chingik nampaknya masuk akal, tapi Sang Buddha menunjuk begitu pada saat menunjuk dengan tangan, kan bila bumi berputar pada porosnya maka arahnya sudah berpindah lagi detik ke detik? mengapa Sang Buddha mengatakan arah ya? padahal arah kan bisa berubah? apa waktu itu Sang Buddha tidak mengerti bahwa bumi berputar pada porosnya? mengapa Beliau bukan mengatakan "di suatu tempat yang jauh dari sini.." jadi tak perlu menyebut arah. Bukankah Sang Buddha pengetahuanNya luas?

Mohon penjelasannya, terima kasih
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 26 November 2008, 06:20:15 AM
QuoteDalam quote sebelumnya saya mengatakan bahwa saya juga masih setuju dengan konsep jneyavarana (penghapusan halangan paham) dari pencapaian sammasambuddha... karena kembali lagi LOGIKA/NALAR mengatakan bahwa memang "KUALITAS" seorang sammasambuddha itu berbeda dengan SAVAKA/PACCEKA, karena SAMMASAMBUDDHA harus menurunkan AJARAN (PIONER/PENCETUS/PENDAHULU). Tetapi tidak dalam artian bahwa seorang SAVAKA bisa mencapai ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA... Karena INGIN belum tentu sama dengan MAMPU...

Dalam konteks THERAVADA, jalur ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA bukan keluar masuk dari tingkat SAVAKA/PACCEKA, tetapi langsung dari bawah. Nah, di paham sebagaian MAHAYANIS mengatakan bahwa SAVAKA/PACCEKA itu masih belum sempurna (dalam hal ini THERAVADA sepakat bahwa kualitas SAVAKA/PACCEKA dibawah SAMMASAMBUDDHA) tetapi tidak mengharuskan mengatakan bahwa SAVAKA itu egosentris (hanya memikirkan penyelamatan diri sendiri)...

Koreksi:

di paham SEMUA  MAHAYANIS mengatakan bahwa SAVAKA/PACCEKA itu masih belum sempurna.

Yah dalam Mahayana memang semua makhluk dikatakan MAMPU juga kok menjadi Samyaksambuddha....

Sama seperti pencapaian Arahat dalam Theravada, di mana semua makhluk yang INGIN mencapai tingkat Sravaka tentu MAMPU mencapai tingkat Sravaka.... entah di kelahiran yang mana.

Nah di Mahayana, maka semua makhluk yang INGIN mencapai tingkat Samyaksambuddha tentu MAMPU mencapai tingkat Samyaksambuddha.

La batas "MAMPU" anda itu kan cuma sebatas pandangan Theravada tok! Yang boleh saya bilang, "pandangan terbatas dari Hinayanis".

QuoteLogika-nya begini :
Anda belum bisa berenang. Apakah bisa menyelamatkan orang tenggelam ?? Tentu tidak bisa, karena anda sendiri tidak bisa berenang/menyelamatkan diri sendiri.
Kemudian anda belajar berenang. Ketika anda sudah bisa berenang/menyelamatkan diri sendiri. Apakah anda mutlak harus menyelamatkan orang lain ?? Tentu saja harus lihat konteks-nya... Kadang ada orang yang mau diselamatkan dan kadang ada orang yang tidak mau diselamatkan. TETAPI SYARAT UTAMA-nya tentu saja, ANDA SENDIRI HARUS BISA BERENANG DULU.

Ajaran BUDDHA dibabarkan untuk MENYELAMATKAN DIRI SENDIRI. Dengan MENYELAMATKAN DIRI SENDIRI DAHULU, nantinya anda akan membabarkan ajaran UNTUK ORANG LAIN MENYELAMATKAN DIRI MASING MASING.

Semua makhluk menginginkan kebahagiaan, maka dari itu mereka menginginkan sebuah "keselamatan' dari penderitaan bukan? Mana ada orang yang nggak mau "diselamatkan" dari penderitaan?  ^-^

Mau menolong atau menyelamatkan makhluk lain atau tidak, itu tergantung pada maitri karuna yang anda punya!

Sama seperti kita sebagai manusia, apakah MUTLAK harus kita membantu orang lain yang kesusahan? tidak bukan?

Tetapi ketika kita membantu orang lain, maka di sana akan datang sesuatu yang indah, sesuatu yang jauh lebih besar ketimbang ketika anda tidak membantu.

Ketika kita melihat ada orang tertabrak mobil dan sekarat, apakah MUTLAK harus kita menolongnya? Tidak bukan?

Tetapi ketika anda datang menolongnya, itu membuktikan kualitas dari maitri karuna seseorang.

Saya tanya dulu deh pada anda:

Menyelamatkan ini apakah mesti harus sampai ke Nirvana pada saat itu juga?

Apakah Bodhisattva dalam dalam karir-Nya mengumpulkan parami, tidak pernah menyelamatkan para makhluk?

Apakah ketika seseorang menolong orang dari kondisi kritis, membantu orang yang kesusahan, merawat hewan yang sekarat, membawa seorang yang sesat menuju jalan Buddha Dharma, memberikan anjuran Dharma pada seseorang sampai akhirnya kesedihan atau amarahnya lenyap; itu bukan berarti menyelamatkan makhluk?

Tapi itulah yang dilakukan para Bodhisattva di enam Bhumi pertama. Ia menyelamatkan makhluk dalam batas-batas duniawi.

Tahukah anda, bahwa kemampuan Bodhisattva yang tidak terbatas untuk menyebrangkan semua makhluk ke Nirvana itu dimulai dari tingkatan Bhumi ke-tujuh, yang memang sudah menghapus klesha (setara dengan Sravaka). Berarti otomatis ia telah menyelamatkan diri sendiri bukan?

Jadi:
1. Bodhisattva tingkat 1 - 6, menyelamatkan para makhluk dalam batas duniawi.
2. Bodhisattva tingkat 7-10, menyeberangkan para makhluk untuk sampai ke Nirvana, karena Bodhisattva pada tingkat ini sudah melenyapkan klesha.

Tentu menyebrangkan di sini bermakna "membabarkan Dharma yang sesuai dan tepat agar para makhluk dapat menyebrangkan dirinya sendiri sepenuhnya". Semua sekte dan paham agama Buddha menyetujui hal tersebut.

Untuk bro,truth lover... nyusul ya jawabannya... saya mau kuliah dulu...

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 26 November 2008, 10:04:58 AM
Quote from: truth lover on 25 November 2008, 11:16:25 PM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 10:59:01 PM
Quote from: truth lover on 25 November 2008, 10:26:23 PM
Mas Gandalf, mau nanya nih.. sebenarnya surga sukhavati apa benar di barat...?

Lihat ini:

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=2469.0

_/\_
The Siddha Wanderer

maksudnya ini ya mas Gandalf? penjelasan dari mas Chingik?

QuoteAda beberapa penjelasan mengenai posisi barat. Dalam tolak ukur Buddhisme Mahayana, arah mata angin tidak melulu bersandar pada poros bumi. Dalam Buddhisme Mahayana khususnya Tantra, arah mata angin jika dikaitkan ke dimensi yang lebih luas, maka rujukannya sudah bukan pada sistem kompas konvensional. Melainkan bersandar pada rasi bintang. Tantra mengenal 28 rasi bintang. Karena dengan bersandar pada rasi bintang, maka orbital bumi tidak mempengaruh arah mata angin. Karena jika kita menunjuk ke arah barat, dengan bersandar pada posisi rasi bintang, maka arah barat tersebut tidak akan mengalami pergeseran. Dengan demikian, maka perjalanan ke luar angkasa tidak akan bingung di mana yang namanya arah barat, timur, utara atau selatan, karena para ilmuwan juga sudah mulai menggunakan rasi bintang utk memetakan mata angin universe. Sejauh titik sentralnya adalah bumi, tidak peduli perputaran poros, maka arah tersebut menjadi fix. Setidaknya, gambaran arah barat yg merujuk pada Sukhavati lebih kurang adalah seperti itu.
Penjelasan kedua, dalam Amitabha Sutra, ketika Buddha Sakyamuni memperkenalkan Tanah Murni Sukhavati, Beliau menunjuk ke arah Barat, kita tidak tahu hari apa dan jam berapa Beliau menunjuknya, namun intinya adalah ada satu kemungkinan bahwa pada detik-detik itu, Sukhavati pas bertepatan di arah barat dari posisi bumi, maka Sakyamuni menggunakan kesempatan ini untuk menceritakan tentang Buddha Amitabha yang sedang berada di sana.

Maaf mas Gandalf penjelasan mas Chingik nampaknya masuk akal, tapi Sang Buddha menunjuk begitu pada saat menunjuk dengan tangan, kan bila bumi berputar pada porosnya maka arahnya sudah berpindah lagi detik ke detik? mengapa Sang Buddha mengatakan arah ya? padahal arah kan bisa berubah? apa waktu itu Sang Buddha tidak mengerti bahwa bumi berputar pada porosnya? mengapa Beliau bukan mengatakan "di suatu tempat yang jauh dari sini.." jadi tak perlu menyebut arah. Bukankah Sang Buddha pengetahuanNya luas?

Mohon penjelasannya, terima kasih
Penunjukkkan Arah itu 'kan cuma sifatnya utk memudahkan pengertian saja.
Seperti misalnya pembagian wilayah kota madya DKI, ada Jakarta Barat, Jakarta Utara , Jakarta Timur. Memangnya ada Jakarta yang benar2 terletak di BARAT??? Bukankah dilihat dari arah utara, maka dia menjadi Selatan? Dilihat dari arah Barat, dia menjadi di Timur?
Mengapa pemerintah propinsi DKI mengatakan arah ya? padahal arah kan bisa berubah? apa waktu itu pemerintah propinsi DKI tidak mengerti bahwa bumi berputar pada porosnya? mengapa pemerintah bukan mengatakan "di Jakarta situ lho..."  jadi tak perlu menyebut arah.

Yang namanya pelabelan istilah itu kadang ada yg bersifat utk memudahkan pemahaman manusia awam.  Sama seperti dalam ajaran Buddha mengatakan tentang "Tanpa Aku", mengapa seluruh Sutta diawali dengan "Demikianlah yg telah AKU dengar" , mengapa tidak mengatakan "Demikianlah yg telah Nama-Rupa dengar". Tidak aku , tapi masih selalu menyebutkan aku sedang ini aku sedang itu..
Begitu juga ketika menyebutkan arah barat, timur, itu juga utk pemahaman awam saja.
Saya yakin jika Buddha tidak menyebutkan arah pada waktu itu, maka sekarang pasti orang2 malah bertanya: Di mana arahnya? Kalau Buddha benar2 Tahu mengapa tidak bilang di mana arahnya? bla..bla..bla..


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 26 November 2008, 10:55:10 AM
bukankah di Amitabha Sutra itu Sang Buddha mengatakan bukan menunjuk bahwa melewati ribuan mil dari arah Barat terletak Sukhavati.jadi Buddha tidak menunjuk dengan tangan,lagipula di akhir Sutra,digambarkan Buddha daris egala penjuru arah memberikan pujian atas Sukhavati dan Buddha menutup dengan Mantra Hati Amitabha.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 26 November 2008, 12:13:25 PM
Quote from: chingik on 25 November 2008, 05:09:56 PM
Memang kondisinya dunia sini sedang akan muncul Buddha Sakyamuni, maka tentu Buddha Amitabha tidak perlu mengutus orang. Sebenarnya ada kok, hehe..ya Avokitesvara orangnya. Tentu semua ada semacam sistem aturan yg tidak kita pahami.   

Ya saya mana tahu

darimana ada avalokitesvara kecuali kalau bukan "dikenalkan" di saddharmapundarika sutra...

Anda tidak tahu anda datang dari mana, tetapi anda tahu anda akan kemana ??
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 26 November 2008, 12:29:56 PM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 10:06:21 PM
Hahaha.... Nagarjuna yang tidak sejalan, atau batin anda yang tidak sejalan??  ^-^  ^-^
_/\_
The Siddha Wanderer

Lha, lindtner mengatakan bahwa karya yang PASTI (definitely) dari Nagarjuna hanya seperti yang saya quote, yang lain dikatakan maybe (mungkin), berarti diragukan. Pola Pikir orang barat tentunya khas berdasarkan NALAR dan LOGIKA berpikir LOGIS. (Ataukah anda akan berdebat bahwa orang barat yang satu ini/Lindtner berbeda ?)

Lindtner sendiri pasti sudah mempelajari semua karya yang "DIKATAKAN" karya Nagarjuna, tetapi orang yang NALAR dan LOGIKA-nya jalan, akan tahu persis bahwa tidak mungkin seorang BESAR seperti NAGARJUNA akan menghasilkan karya yang bertentangan satu sama lain ? Coba anda baca dulu mulamadhyamikakarika, darimana bisa timbul pemikiran NAGARJUNA akan sesuatu hal seperti SURGA SUKHAWATI, ditambah lagi jalur jalur diluar ARAHAT ??


Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 10:06:21 PM
Bagi seorang Mahayana sejati, ia tentu akan memahami bahwa Tathagatagarbha dan Shunyata itu tidaklah saling bertentangan, karena pada hakekatnya SAMA.......
Namun kalau sampai ada orang yang menerima Shunyata tapi nggak bisa menerima Tathagatagarbha, dan demikian juga sebaliknya, maka ia akan terjerumus ke dalam pandangan nihilisme ataupun eternalisme.

Tathagathagarbha didalam MAHAYANA adalah konsep untuk mendukung konsep TRIKAYA dan konsep-konsep emanansi ataupun konsep tentang "KEMBALI"-nya ARAHAT dan PARA BODHISATVA atau bahkan para BUDDHA untuk MENYELAMATKAN MAKHLUK HIDUP.

SUNYATA sendiri lebih dekat kepada konsep An-atta ??
"Oleh karena itu, di dalam kekosongan, tiada bentuk, perasaan, pencerapan, pikiran, dan kesadaran. Tiada juga mata (caksuh), telinga (srotram), hidung (grahnam), lidah (jihva), badan (kaya), batin (manasa). Tiada bentuk (rupa), suara (sabda), bau (gandah), rasa, sentuhan (sparstavyam), maupun dhamma. Tiada unsur penglihatan (caksu dhatu), hingga tiada unsur pikiran dan kesadaran (mano-vinnanam dhatu). Tiada kebodohan (avijja), tiada akhir kebodohan (avijja-ksayo), hingga tiada usia tua dan kematian (jaramaranam-ksayo), tiada akhir dari usia tua dan kematian. Demikian pula, tiada penderitaan (dukkha), asal mula dukkha (samudayah), lenyapnya dukkha (nirodha), jalan menuju lenyapnya dukkha (marga). Tiada kebijaksanaan (jahna), pencapaian (prapti), dan akhir pencapaian (abhi samaya)."

Coba dimasukkan konsep Tathagarbha di dalam konsep SUNYATA seperti yang diquote dari Sutra hati... mau dipersamakan bagaimana ??


Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 10:06:21 PM
Bahkan konon setelah Nagarjuna meninggal, Ia terlahir kembali di alam Sukhavati. Sebelum meninggal Nagarjuna berkata: "Sekarang aku akan pergi menuju Tanah Suci Sukhavati, namun aku akan kembali ke dalam tubuh ini lagi."
Anda bisa temui kata-kata ini di biografi Arya Nagarjuna di kalangan Vajrayana oleh Sera sMad  Geshe Lobsang Tharchin.

Mungkin ini berasal dari teks Pradipodyotana:
"Acarya Nagarjuna, dengan jalan Tantra, mengaktualisasikan tingkatan Vajradhara dalam waktu hidupnya, seperti dikatakan: 'Acarya yang hebat, Nagarjuna yang agung, berhadap-hadapan dengan tujuan-Nya, dan telah mengajarkan tentang pengetahuan dunia dari dalam diri sendiri, ini adalah samadhi Vajradhara agung, ia telah melangkah jauh di atas kebahagiaan para dewa dan manusia. ia telah melangkah jauh di atas kebahagiaan meditasi dari para heterodoks (tirthika), para Sravaka dan Pratyekabuddha........... ia pergi menuju Sukhavati dan menetap di sana, dengan memiliki delapan kekuatan sebagai kualitas-Nya."

Bahkan Sang Buddha sendiri dalam Lankavatara Sutra mengatakan bahwa Nagarjuna akan pergi menuju Sukhavati.

Lalu kalau Sukhavati-vyuhopadesa-nya (Amitayus-upadesha) Vasubandhu kan tidak ada penolakan tuh. Sejarawan iya-iya aja tuh....

Jadi ada dong master Zen India yang mengakui ke-Eksis-an Tanah Suci Sukhavati?

Bahkan sudah sangat meluas dalam sekte Tanah Suci, yaitu bahwa Nagarjuna dan Vasubandhu diakui sebagai Patriark Tanah Suci di India dan termasuk dalam kelompok 7 Patriark Tanah Suci.


Arya Nagarjuna sebagai pendiri aliran Madhyamika (jalan tengah), kemudian diakui sebagai patriakh tanah suci, diakui pula sebagai patriakh tantra. Kalau semua (yang jujur) membaca karya Nagarjuna yang paling terkemuka seperti mulamadhyamikkakarika, akan merasa sulit menerima bahwa seorang Nagarjuna yang bisa menghasilkan karya sekelas Mulamadhyamikakarika akan kemudian mengungkapkan konsep konsep TANAH SUCI dan TANTRA. dimana konsep TANAH SUCI itu terlalu METAFISIKA dan TANTRA itu terlalu MISTERIUS.

Dalam mulamadhyamikakarika, penuh dengan berbagai filosofis yang LOGIS. Walaupun sangat sulit dimengerti karena Nagarjuna menggunakan logika 4 sisi, yaitu BENAR, TIDAK BENAR, BUKAN BENAR DAN BUKAN TIDAK BENAR serta BUKAN BENAR ATAUPUN BUKAN TIDAK BENAR. yang sulit dipahami bahkan oleh para filsuf BARAT, tetapi karya ini jauh dari pernyataan METAFISIKA.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 26 November 2008, 12:49:17 PM
Quote from: GandalfTheElder on 25 November 2008, 10:25:23 PM
Hahaha.... dari masalah keinginan... lagi-lagi malah lari ke Sutra Intan.

La wong tafsir anda aja terhadap kata-kata "KEINGINAN untuk MENYELAMATKAN MAKHLUK" udah salah kaprah...  ^-^  ^-^  ^-^

Tuh tafsiran bro. chingik yang bagi saya lebih logika, lebih nalar, dan tentu lebih sesuai dengan pandangan Mahayana yang sejati-jatinya.

Dalam periode pembabaran, maka Sutra Intan dan Sutra Hati adalah periode ke-4 (Prajnaparamita) dari 5 periode. Pembabaran di masa ini belumlah lengkap. Kalau anda ingin melihat ajaran Mahayana yang sejati-jatinya, yang mencakup keseluruhan inti ajaran Sang Buddha, bacalah 2 sutra yang berasal dari periode ke-5 (akhir) pembabaran Dharma:

1. Saddharmapundarika Sutra
2. Mahayana Mahaparinirvana Sutra

Yang mengandung makna inti, yang merupakan dua sutra utama dalam Mahayana.

Bahkan pemutaran roda Dharma (Dharmacakra) Sang Buddha dibagi menjadi tiga tahap:
1. Ajaran Hinayana yang merupakan dasar (Empat Kebenaran Mulia)
2. Prajnaparamita (Sunyata)
3. Yogacara dan Tathagatagarbha

Jadi pemutaran roda Dharma yang paling terakhir adalah yang paling sempurna dan yang paling ultimit.

Tapi kalau misalnya anda tidak setuju, ya udah...  ^-^  ^-^

QuoteKalau yang berkeinginan menjadi sammasambuddha itu mah bukan ARAHAT (SAVAKA BUDDHA)... contoh barangnya PETAPA SUMEDHA tuh

Pernyataan anda ini kan dari segi Hinayana Theravada...   dan ini board Mahayana, ya tentu saya bahasnya dari segi Mahayana... jadi menurut Mahayana, Arahat masih dapat memiliki "Chanda" untuk menjadi Samyaksambuddha.

Pernyataan anda ini jangan diulang-ulang terus. Saya dan teman-teman di sini sudah tahu persis bahwa pandangan Theravada seperti itu.

Dan perlu anda ketahui, di dalam Mahayana, memang dikenal 2 jenis tipe Bodhisattva:
1. Umat biasa yang berikrar menjadi Bodhisattva dan Samyaksambuddha (jadi sejak awal sudah masuk ke jalan Mahayana), dan pencapaian pertamanya adalah Bhumi pertama. Petapa Sumedha adalah contoh dari tipe Bodhisattva pertama ini.
2. Para Sravaka yang kemudian memasuki jalan Mahayana, pencapaian pertamanya sudah langsung Bhumi ketujuh. Contohnya adalah Mahakasyapa, Mahaprajapati, Yasodhara, dsb.

Jadi kalau di Theravada HANYA dikenal tipe 1, maka di Mahayana dikenal 2 tipe.

_/\_
The Siddha Wanderer

Dari awal pembahasan, saya tidak berusaha mempertentangkan konsep antara Theravada dan Mahayana, karena memang dari sono-nya kedua aliran menggunakan KITAB yang CUKUP BERBEDA. Yang saya katakan sendiri dari awal adalah adanya in-konsistensi antara satu kitab Mahayana dengan kitab Mahayana yang lain.

Saya gunakan referensi 2 sutra utama Mahayana yaitu Sutra Hati dan Sutra Intan. Di dalam Sutra Hati jelas sekali dijelaskan konsep SUNYATA seperti apa... Coba bandingkan konsep SUNYATA dengan konsep mahayana lainnya seperti TATHAGATAGARBHA. Bertentangan kan.

Kemudian SUTRA INTAN mengemukakan dengan jelas sekali bagaimana SEORANG BODHISATVA harus BERTINDAK dan TIDAK ADANYA PENYELAMATAN MAKHLUK HIDUP bahkan oleh seorang TATHAGATHA sekalipun. (bedakan Tathagatha dengan Tathagatagarbha). Lantas darimana bisa muncul IKRAR-IKRAR oleh Para BODHISATVA dan para BUDDHA ?? Kalau Ikrar dilakukan oleh seorang PUTHUJANA seperti saya, dan bahkan oleh individu sekaliber petapa sumedha, itu masih ok ok saja.

Kalau saya lihat, justru dari 2 sutra terakhir MAHAYANA yaitu Saddharmapundarika dan MahaParinirvana Sutra yang banyak menuai kontroversi.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 26 November 2008, 03:28:52 PM
Quote from: dilbert on 26 November 2008, 12:13:25 PM
Quote from: chingik on 25 November 2008, 05:09:56 PM
Memang kondisinya dunia sini sedang akan muncul Buddha Sakyamuni, maka tentu Buddha Amitabha tidak perlu mengutus orang. Sebenarnya ada kok, hehe..ya Avokitesvara orangnya. Tentu semua ada semacam sistem aturan yg tidak kita pahami.   

Ya saya mana tahu

darimana ada avalokitesvara kecuali kalau bukan "dikenalkan" di saddharmapundarika sutra...

Anda tidak tahu anda datang dari mana, tetapi anda tahu anda akan kemana ??

Ga perlu tahu darimana ada avokitesvara. Sama seperti juga ga perlu tau dari mana ada Buddha Gotama, sejauh dia mengajarkan dhamma, dialah orang yang pantas disebut para ariya.

Walau saya tidak tahu datang dari mana, emangnya ga bisa tahu akan kemana ?
Dalam alur hukum kamma, setidaknya kita sudah bisa mendapatkan gambaran ke mana kita akan dilahirkan, sejauh kita mengikuti dengan BENAR instruksi yg diajarkan Buddha.
Kalo Anda masih ga punya gambaran akan terlahir di mana maka sungguh sia2 anda belajar dhamma.   :(
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 26 November 2008, 04:29:11 PM
Kalau Ikrar dilakukan oleh seorang PUTHUJANA seperti saya, dan bahkan oleh individu sekaliber petapa sumedha, itu masih ok ok saja.

Ketika Ksitigarbha berikar,dia masih seorang putri kok,ini adalah ikrar yang mengangkat dirinya menjadi Bodhisatva.

Lantas darimana bisa muncul IKRAR-IKRAR oleh Para BODHISATVA dan para BUDDHA ??

kalau membaca referensi Sutra Mahayana menerangkan Bodhisatva berikrar adalah Buddha menceritakan dari awal riwayat Bodhisatva itu dan bagaimana ikrarnya membawa dia pada pencerahan nantinya.so bukan pada saat udah Bodhisatva tingkat ke tujuh baru berikrar. Ikrar adalah langkah pertama.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 26 November 2008, 04:32:51 PM
konsep TANAH SUCI itu terlalu METAFISIKA dan TANTRA itu terlalu MISTERIUS.

Nagarjuna tidak mengungkap konsep yang misterius dalam Tantra,silahkan pelajari karya Nagarjuna mengenai Tantra.

http://www.berzinarchives.com/web/en/archives/approaching_buddhism/teachers/lineage_masters/biography_nagarjuna.html
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 26 November 2008, 04:46:58 PM
Quote from: nyanadhana on 26 November 2008, 04:29:11 PM
Kalau Ikrar dilakukan oleh seorang PUTHUJANA seperti saya, dan bahkan oleh individu sekaliber petapa sumedha, itu masih ok ok saja.

Ketika Ksitigarbha berikar,dia masih seorang putri kok,ini adalah ikrar yang mengangkat dirinya menjadi Bodhisatva.

Lantas darimana bisa muncul IKRAR-IKRAR oleh Para BODHISATVA dan para BUDDHA ??

kalau membaca referensi Sutra Mahayana menerangkan Bodhisatva berikrar adalah Buddha menceritakan dari awal riwayat Bodhisatva itu dan bagaimana ikrarnya membawa dia pada pencerahan nantinya.so bukan pada saat udah Bodhisatva tingkat ke tujuh baru berikrar. Ikrar adalah langkah pertama.

:jempol: :jempol:
Sip deh. Ikrar juga harus diiringi dengan praktik yg selaras dgn ikrar kita. Sungguh baik bila kita berikrar utk berperilaku altruis.  :jempol:
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 26 November 2008, 04:54:32 PM
Saya gunakan referensi 2 sutra utama Mahayana yaitu Sutra Hati dan Sutra Intan. Di dalam Sutra Hati jelas sekali dijelaskan konsep SUNYATA seperti apa... Coba bandingkan konsep SUNYATA dengan konsep mahayana lainnya seperti TATHAGATAGARBHA. Bertentangan kan.

ini mungkin masalah translate. ketika Sutra Mahayana tiba di tiongkok terdapat beberapa translate. contoh Parinirvana Sutra atau Nie Ban Cing memiliki 3 versi,versi utara dan versi selatan Tiongkok,setelah itu ada gabungan 2 revisi menjadi satu yang kita baca hari ini. ini ada sejarahnya juga Bro dilbert ketika Maha Parinirvana Sutra masuk ke Tiongkok,coba cari sejarah lengkapnya dulu.di Taisho kalo ga salah ada penjelasannya,sayang bahasa Mandarin gw kurang mendalam. saya dapat materi ini ketika mendengar ceramah Bhiksuni Yi Gong,muridnya Xin Yin Fa Shi di LTV.Fo Guan TV. ada diejlaskan juga kontroversi Mahayana dan Hinayana pada waktu itu. yang sebenarnya bukan merendahkan namun pencapaian masih bisa dilanjutkan.yang aneh adalah terjemahan Indo yang lebih banyak bikin emosi kalo baca.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 26 November 2008, 05:41:27 PM
Quote from: chingik on 26 November 2008, 03:28:52 PM
Quote from: dilbert on 26 November 2008, 12:13:25 PM
Quote from: chingik on 25 November 2008, 05:09:56 PM
Memang kondisinya dunia sini sedang akan muncul Buddha Sakyamuni, maka tentu Buddha Amitabha tidak perlu mengutus orang. Sebenarnya ada kok, hehe..ya Avokitesvara orangnya. Tentu semua ada semacam sistem aturan yg tidak kita pahami.   

Ya saya mana tahu

darimana ada avalokitesvara kecuali kalau bukan "dikenalkan" di saddharmapundarika sutra...

Anda tidak tahu anda datang dari mana, tetapi anda tahu anda akan kemana ??

Ga perlu tahu darimana ada avokitesvara. Sama seperti juga ga perlu tau dari mana ada Buddha Gotama, sejauh dia mengajarkan dhamma, dialah orang yang pantas disebut para ariya.

Walau saya tidak tahu datang dari mana, emangnya ga bisa tahu akan kemana ?
Dalam alur hukum kamma, setidaknya kita sudah bisa mendapatkan gambaran ke mana kita akan dilahirkan, sejauh kita mengikuti dengan BENAR instruksi yg diajarkan Buddha.
Kalo Anda masih ga punya gambaran akan terlahir di mana maka sungguh sia2 anda belajar dhamma.   :(

GOTAMA itu BUDDHA HISTORIS... Sedangkan avalokitesvara, amitabha dsbnya hanya "HIDUP" dari SUTRA...
Anda tidak tahu anda datang dari mana ? tetapi anda tahu anda akan terlahir di Tanah Suci Sukhawati (kalau sesuai petunjuk) ?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 26 November 2008, 05:43:44 PM
ada Samboghakaya,Nirmanakaya dan Dhammakaya lagi om Dilbert,mungkin bisa jadikan referensi melihat Amitabha Sutra ini.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 26 November 2008, 05:49:25 PM
Quote from: nyanadhana on 26 November 2008, 04:29:11 PM
Kalau Ikrar dilakukan oleh seorang PUTHUJANA seperti saya, dan bahkan oleh individu sekaliber petapa sumedha, itu masih ok ok saja.

Ketika Ksitigarbha berikar,dia masih seorang putri kok,ini adalah ikrar yang mengangkat dirinya menjadi Bodhisatva.

Lantas darimana bisa muncul IKRAR-IKRAR oleh Para BODHISATVA dan para BUDDHA ??

kalau membaca referensi Sutra Mahayana menerangkan Bodhisatva berikrar adalah Buddha menceritakan dari awal riwayat Bodhisatva itu dan bagaimana ikrarnya membawa dia pada pencerahan nantinya.so bukan pada saat udah Bodhisatva tingkat ke tujuh baru berikrar. Ikrar adalah langkah pertama.

Makanya benar tuh...yang berikrar tuh yang masih puthujana... Sedangkan posisi Bodhisatva sendiri di dalam SUTRA INTAN dijelaskan dengan baik sekali bagaimana perilaku Bodhisatva yang sebenarnya. Coba baca SUTRA INTAN sendiri (Sutra Mahayana).

Jadi apakah individu sekaliber Bodhisatva Kshitigarbha itu masih mengikuti IKRAR-nya kalau dipandang dari SUTRA INTAN ?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 26 November 2008, 05:58:39 PM
Quote from: nyanadhana on 26 November 2008, 04:54:32 PM
Saya gunakan referensi 2 sutra utama Mahayana yaitu Sutra Hati dan Sutra Intan. Di dalam Sutra Hati jelas sekali dijelaskan konsep SUNYATA seperti apa... Coba bandingkan konsep SUNYATA dengan konsep mahayana lainnya seperti TATHAGATAGARBHA. Bertentangan kan.

ini mungkin masalah translate. ketika Sutra Mahayana tiba di tiongkok terdapat beberapa translate. contoh Parinirvana Sutra atau Nie Ban Cing memiliki 3 versi,versi utara dan versi selatan Tiongkok,setelah itu ada gabungan 2 revisi menjadi satu yang kita baca hari ini. ini ada sejarahnya juga Bro dilbert ketika Maha Parinirvana Sutra masuk ke Tiongkok,coba cari sejarah lengkapnya dulu.di Taisho kalo ga salah ada penjelasannya,sayang bahasa Mandarin gw kurang mendalam. saya dapat materi ini ketika mendengar ceramah Bhiksuni Yi Gong,muridnya Xin Yin Fa Shi di LTV.Fo Guan TV. ada diejlaskan juga kontroversi Mahayana dan Hinayana pada waktu itu. yang sebenarnya bukan merendahkan namun pencapaian masih bisa dilanjutkan.yang aneh adalah terjemahan Indo yang lebih banyak bikin emosi kalo baca.

Kalau saya pribadi bukan pada masalah terjemahan yang bikin emosi atau tidak... tetapi dari LOGIKA berpikirnya... BEgini saja... Di dalam Mahayana, ada dikenal Agama Sutra (yang merupakan sutra periode 2 dari 5 periode pembabaran) yang notabene dikatakan adalah sama dengan PALI KANON. Kemudian selanjutnya ada Vaipulya Sutra, Mahaprajnaparamitra Sutra, dan yang terakhir Saddharmapundarika Sutra dan MAhaparinirvana Sutra.

Apakah di dalam Agama Sutra itu, ada dijelaskan bagaimana seorang SRAVAKA itu bagaimana ? Apakah benar notabene Agama Sutra itu sama dengan PALI KANON ? Jika ternyata Agama Sutra itu sama dengan PALI KANON, berarti ada in-konsistensi antara Agama Sutra dengan Sutra Sutra Terakhir Mahayana (khususnya periode ke-5). Dimana pada Agama Sutra (jika ternyata sama dengan PALI KANON) itu ARAHAT (SRVAKA) itu sesuai dengan konsep-nya THERAVADA itu tidak terlahir kembali lagi. TIDAK ADA LANJUTAN LAGI...

Tetapi Jika ternyata tidak sama, maka AGAMA SUTRA tidak dapat dikatakan notabene sama dengan PALI KANON. Dan boleh saya katakan MAHAYANA itu TIDAK SAMA dengan THERAVADA dan TIDAK DAPAT DIKATAKAN THERAVADA dan MAHAYANA berada pada KENDARAAN YANG SAMA (KENDARAAN AJARAN BUDDHA).
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 26 November 2008, 06:06:58 PM
Quote from: nyanadhana on 26 November 2008, 05:43:44 PM
ada Samboghakaya,Nirmanakaya dan Dhammakaya lagi om Dilbert,mungkin bisa jadikan referensi melihat Amitabha Sutra ini.

Terus ada lagi anggapan bahwa BUDDHA GOTAMA itu salah satu KAYA (ntah sambhogakaya, nirmanakaya atau dharmakaya) dari BUDDHA AMITABHA... berarti dengan demikian BUDDHA GOTAMA itu sudah MENCAPAI KEBUDDHAAN DARI JAMAN DAHULU (karena ada beberapa teks MAHAYANA juga menyatakan demikian). Jika demikian, berarti perjalanan hidup dari seorang petapa sumedha itu tidaklah berarti dalam konteks pembebasan seorang makhluk. KARENA DARI BUDDHA GOTAMA SUDAH MENJADI BUDDHA BERKALPA KALPA YANG LALU...

Dengan demikian saya, anda, kita kita ini antara 2 kemungkinan..
1. Dari dulu sudah mencapai KEBUDDHAAN, karena pada saatnya kita mencapai ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA, kita juga akan mengatakan hal semacam ini... BAHWA KITA SUDAH MENCAPAI KEBUDDHA-AN DARI JAMAN BERKALPA KALPA YANG DULU.
2. Ada kemungkinan bahwa kita ini TIDAK BAKALAN MENCAPAI KEBUDDHAAN, karena BUDDHA YANG ADA ITU DARI JAMAN DAHULU SUDAH ADA, yang terlahir dan kemudian mencapai KEBUDDHAAN itu adalah EMANASI DARI BUDDHA JAMAN DAHULU.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 26 November 2008, 08:09:37 PM
QuotePenunjukkkan Arah itu 'kan cuma sifatnya utk memudahkan pengertian saja.
Seperti misalnya pembagian wilayah kota madya DKI, ada Jakarta Barat, Jakarta Utara , Jakarta Timur. Memangnya ada Jakarta yang benar2 terletak di BARAT??? Bukankah dilihat dari arah utara, maka dia menjadi Selatan? Dilihat dari arah Barat, dia menjadi di Timur?

Nah ini yang saya juga bingung dengan pernyataan mas chingik. Apakah rumah mas Chingik bisa berpindah-pindah? tentu tidak kan? kecuali rumah mas chingik punya kaki. Jadi penilaian berbagai arah Jakarta tentu dinilai berasal darimana mas Chingik tinggal, demikian juga dengan kedudukan relatif bumi terhadap alam semesta.

Sama seperti Sang Buddha mengatakan arah barat ketika itu Beliau berada di bumi bukan di planet lain kan?

QuoteMengapa pemerintah propinsi DKI mengatakan arah ya? padahal arah kan bisa berubah? apa waktu itu pemerintah propinsi DKI tidak mengerti bahwa bumi berputar pada porosnya? mengapa pemerintah bukan mengatakan "di Jakarta situ lho..."  jadi tak perlu menyebut arah.

nah Itulah mas Chingik, suatu arah bisa ditetapkan bila ada titik referensi yang menjadi acuan, pemerintah DKI menetapkan batas wilayah tentu berdasarkan acuan yang tetap. Bila tak ada acuan yang tetap mungkinkah kita menetapkan arah?

QuoteYang namanya pelabelan istilah itu kadang ada yg bersifat utk memudahkan pemahaman manusia awam.  Sama seperti dalam ajaran Buddha mengatakan tentang "Tanpa Aku", mengapa seluruh Sutta diawali dengan "Demikianlah yg telah AKU dengar" , mengapa tidak mengatakan "Demikianlah yg telah Nama-Rupa dengar". Tidak aku , tapi masih selalu menyebutkan aku sedang ini aku sedang itu..

Mas Chingik, maaf lho rasanya dimensi ruang adalah suatu perhitungan yang seharusnya agak eksak sifatnya, tentu berbeda dengan pelabelan.

QuoteBegitu juga ketika menyebutkan arah barat, timur, itu juga utk pemahaman awam saja.
Saya yakin jika Buddha tidak menyebutkan arah pada waktu itu, maka sekarang pasti orang2 malah bertanya: Di mana arahnya? Kalau Buddha benar2 Tahu mengapa tidak bilang di mana arahnya? bla..bla..bla..

Demikianlah kebingungan saya mas Chingik, jika Sang Buddha tidak mengatakan arah tentu tak ada pertanyaan saya seperti sekarang dan tak perlu ada spekulasi mengenai dimana adanya surga Sukhavati, sama seperti ketika Sang Buddha menolak mengatakan dimana adanya Nibbana.

Mungkin mas Chingik ada penjelasan lain mengapa Sang Buddha mengatakan surga Sukhavati berada di barat?

terima kasih sebelumnya lho atas segala penjelasannya, mohon penjelasan lebih lanjut.

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 26 November 2008, 08:17:03 PM
Quote from: nyanadhana on 26 November 2008, 10:55:10 AM
bukankah di Amitabha Sutra itu Sang Buddha mengatakan bukan menunjuk bahwa melewati ribuan mil dari arah Barat terletak Sukhavati.jadi Buddha tidak menunjuk dengan tangan,lagipula di akhir Sutra,digambarkan Buddha daris egala penjuru arah memberikan pujian atas Sukhavati dan Buddha menutup dengan Mantra Hati Amitabha.
Oh iya.. yah, Sang Buddha hanya menunjuk. Oh ya mas Nyanadhana benarkah Sang Buddha mengatakan dalam Amitabha sutra bahwa surga Sukhavati melewati ribuan mil arah barat? Apakah pernyataan ini sumbernya jelas? dimana bisa saya dapatkan?

terima kasih atas koreksinya dan mohon penjelasannya.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Riky_dave on 26 November 2008, 08:35:10 PM
Bodhisatva Ks**tigarbha itu ya,yang ikrar tentang,"Sampai neraka kosong baru mau menjadi Buddha?" (Maaf kalau salah...buta soal Mahayana...)

Salam hangat,
Riky
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 27 November 2008, 05:36:49 AM
Quote from: dilbert on 26 November 2008, 06:06:58 PM

Terus ada lagi anggapan bahwa BUDDHA GOTAMA itu salah satu KAYA (ntah sambhogakaya, nirmanakaya atau dharmakaya) dari BUDDHA AMITABHA... berarti dengan demikian BUDDHA GOTAMA itu sudah MENCAPAI KEBUDDHAAN DARI JAMAN DAHULU (karena ada beberapa teks MAHAYANA juga menyatakan demikian). Jika demikian, berarti perjalanan hidup dari seorang petapa sumedha itu tidaklah berarti dalam konteks pembebasan seorang makhluk. KARENA DARI BUDDHA GOTAMA SUDAH MENJADI BUDDHA BERKALPA KALPA YANG LALU...

Dengan demikian saya, anda, kita kita ini antara 2 kemungkinan..
1. Dari dulu sudah mencapai KEBUDDHAAN, karena pada saatnya kita mencapai ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA, kita juga akan mengatakan hal semacam ini... BAHWA KITA SUDAH MENCAPAI KEBUDDHA-AN DARI JAMAN BERKALPA KALPA YANG DULU.
2. Ada kemungkinan bahwa kita ini TIDAK BAKALAN MENCAPAI KEBUDDHAAN, karena BUDDHA YANG ADA ITU DARI JAMAN DAHULU SUDAH ADA, yang terlahir dan kemudian mencapai KEBUDDHAAN itu adalah EMANASI DARI BUDDHA JAMAN DAHULU.

"Mencapai Ke-Buddhaan dari zaman dahulu" = sifat dasar kita adalah ke-Buddhaan, bahwa Tathagatgarbha itu ada dalam diri kita. Itulah mengapa dikatakan "Mencapai ke-Buddhaan dari zaman dahulu", karena sejak kelahiran kita yang tak berawal di Samsara ini, benih atau sifat dasar ke-Buddhaan selalu dan sudah ada dalam diri kita.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 27 November 2008, 06:01:16 AM
Untuk bro. dilbert, saya kutip satu bait dari Mahayana Mahaparinirvana Sutra (terjemahin sendiri ya, saya nggak sempet):

"You have asked what the Buddha-dhatu is, so listen with sincerity, listen with sincerity. I shall analyse and elucidate it for your sake. Nobly-born one, the Buddha-dhatu is termed 'Ultimate Emptiness' [paramartha-shunyata], and Ultimate Emptiness is termed "Awareness / Knowingness" [jnana]. So-called 'Emptiness' is neither viewed as Emptiness nor as non-Emptiness. The wise perceive Emptiness and non-Emptiness, the Eternal [nitya] and the Impermanent [anitya], Suffering [duhkha] and Bliss [sukha], Self [atman] and non-Self [anatman].  The Empty is the totality of samsara, and the non-Empty is Great Nirvana; non-Self is samsara, and the Self is Great Nirvana [maha-nirvana].

To perceive the Emptiness of everything and not to perceive non-Emptiness is not termed the Middle Way; to perceive the non-Self of everything and not to perceive the Self is not termed the Middle Way. The Middle Way is termed the Buddha-dhatu. For this reason, the Buddha-dhatu is eternal and unchanging. Because beings are enveloped in ignorance, they are unable to perceive it. Sravakas [less advanced followers of the Buddha] and Pratyekabuddhas [solitary Buddhas who generally do not teach] perceive the Emptiness of everything, but do not perceive the non-Emptiness; they perceive the absence of Self in all things but do not perceive the Self. For this reason, they do not attain the Ultimate Emptiness. Because they do not attain the Supreme Emptiness, they do not walk the Middle Way. Because they lack the Middle Way, they do not perceive the Buddha-dhatu."
(Mahayana Mahaparinirvana Sutra)

Ini akan membuktikan bahwa anda sangat keliru dalam memahami Jalan Tengah-Nya Nagarjuna. Karena anda berat di satu sisi alias berat di Anatman (Shunyata)!!

Nah... sama kan Nagarjuna mendirikan Madhyamika, kemudian "direkrut" jadi patriark Zen.

QuoteLindtner sendiri pasti sudah mempelajari semua karya yang "DIKATAKAN" karya Nagarjuna, tetapi orang yang NALAR dan LOGIKA-nya jalan

Hooo..... mempelajari kan belum tentu memahami........ Si Lindtner hanya mengkaji secara tekstual saja, tapi secara maknanya, apakah si Lindtner sudah cukup memahaminya?

La wong orang yang nalarnya jalan di bidang tertentu, belum tentu nalarnya jalan di bidang lain kok. Contoh nyatanya adalah banyak orang yang logikanya huebatt tapi malah pengikut tirthika.

La wong para Master Buddhis di Tiongkok dan Tibet yang hebat-hebat aja nggak mempertentangkan Shunyata dengan Tathagatagarbha kok, paling ada cuma segelintir aja. Apakah menurut anda para Master Buddhis tersebut ngawur?

Para Master Sukhavati tentu tahu dengan jelas konsep Shunyata. Coba deh kalau anda bertemu dengan para Bhiksu Sukhavati di masa sekarang ini kaya Ven. Chin Kung dsb.... tanya langsung deh sama Beliau....

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 27 November 2008, 06:44:54 AM
QuoteCoba anda baca dulu mulamadhyamikakarika, darimana bisa timbul pemikiran NAGARJUNA akan sesuatu hal seperti SURGA SUKHAWATI, ditambah lagi jalur jalur diluar ARAHAT ??

Anda yakin Nagarjuna nggak menyebutkan jalur-jalur di luar Arahat? Saya kutip Bodhicittavivarana dan Bodhisambhara karya Nagarjuna, yang katanya Lindtner itu PASTI karya Nagarjuna:

Though the Sravakas obtain a lesser enlightenment thanks to
indifference/ the bodhi of the Perfect Buddhas (Samyaksambuddha) is obtained by not abandoning living beings.


As long as they have not been admonished by the Buddhas,
Sravakas [who are] in a bodily state of cognition remain in a
swoon, intoxicated by samadhi
. But once admonished, they devote themselves to living beings in varied ways. Accumulating stores of merit and knowledge, they obtain the enlightenment of Buddhas.

(Bodhicittavivarana terjemahan Christian Lindtner)

The magnanimous [Bodhisattvas] do not abide in nirvana or samsara. Therefore the Buddhas have spoken of this as "the non- abiding nirvana"
The unique elixir of compassion functions as merit, [but] the elixir of sunyata functions as the highest. Those who drink it for the sake of themselves and others are sons of the Buddha.
Salute these Bodhisattvas with your entire being! Always worthy of honor in the three worlds, guides of the world, they strive to represent the lineage of the Buddhas.

(Bodhicittavivarana terjemahan Christian Lindtner)

Lalu Bodhisambhara Shastra:

Instructing through resort to the Hearer (Sravaka) Vehicle
Or through resort to the Pratyekabuddha Vehicle
Is undertaken where, on account of lesser abilities,
Beings are unable to accept instruction in the Great Vehicle.
.....
The grounds of the Hearers or the Pratyekabuddhas
If entered, become for him the same as dying.
Because he would thereby sever the bodhisattva's
Roots of understanding and awareness.
...
Even at the prospect of falling into the hell-realms,
The bodhisattva would not be struck with fright.
The grounds of the Hearers and the Pratyekabuddhas, however,
Do provoke a great terror in him.

...
It is not the case that falling into the hell realms
Would bring about an ultimate obstacle to his bodhi.
The grounds of the Hearers and the Pratyekabuddhas, however,
Do create just such an ultimate obstacle.

...
Just as is said of he who loves long life,
That he becomes fearful at the prospect of his own beheading,
So, too, the grounds of the Hearers and Pratyekabuddhas
Should bring about a fearfulness of just this sort.

...
Even if one were to take up the vehicle of the Hearers
Or the vehicle of the Pratyekabuddhas,
And hence practiced solely for one's own self benefit,
Still, one would not relinquish the enduring practice of vigor.
(Bodhisambhara Shastra)

Bagaimana bro. dilbert??  :))  :))

Kedua teks di atas diakui Lindtner sebagai teks asli Nagarjuna lho....  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 27 November 2008, 07:58:48 AM
Quote from: truth lover on 26 November 2008, 08:17:03 PM
Quote from: nyanadhana on 26 November 2008, 10:55:10 AM
bukankah di Amitabha Sutra itu Sang Buddha mengatakan bukan menunjuk bahwa melewati ribuan mil dari arah Barat terletak Sukhavati.jadi Buddha tidak menunjuk dengan tangan,lagipula di akhir Sutra,digambarkan Buddha daris egala penjuru arah memberikan pujian atas Sukhavati dan Buddha menutup dengan Mantra Hati Amitabha.
Oh iya.. yah, Sang Buddha hanya menunjuk. Oh ya mas Nyanadhana benarkah Sang Buddha mengatakan dalam Amitabha sutra bahwa surga Sukhavati melewati ribuan mil arah barat? Apakah pernyataan ini sumbernya jelas? dimana bisa saya dapatkan?

terima kasih atas koreksinya dan mohon penjelasannya.

bacalah Sukhavatiyuha Sutra,saya belum pernah mendapat tulisan Buddha menunjuk arah,setahu saya,waktu itu ada Request dari murid Buddha dan Buddha mengatakan melewati beratus koti ke arah barat......
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 27 November 2008, 08:03:26 AM
Quote from: GandalfTheElder on 27 November 2008, 05:36:49 AM
Quote from: dilbert on 26 November 2008, 06:06:58 PM

Terus ada lagi anggapan bahwa BUDDHA GOTAMA itu salah satu KAYA (ntah sambhogakaya, nirmanakaya atau dharmakaya) dari BUDDHA AMITABHA... berarti dengan demikian BUDDHA GOTAMA itu sudah MENCAPAI KEBUDDHAAN DARI JAMAN DAHULU (karena ada beberapa teks MAHAYANA juga menyatakan demikian). Jika demikian, berarti perjalanan hidup dari seorang petapa sumedha itu tidaklah berarti dalam konteks pembebasan seorang makhluk. KARENA DARI BUDDHA GOTAMA SUDAH MENJADI BUDDHA BERKALPA KALPA YANG LALU...

Dengan demikian saya, anda, kita kita ini antara 2 kemungkinan..
1. Dari dulu sudah mencapai KEBUDDHAAN, karena pada saatnya kita mencapai ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA, kita juga akan mengatakan hal semacam ini... BAHWA KITA SUDAH MENCAPAI KEBUDDHA-AN DARI JAMAN BERKALPA KALPA YANG DULU.
2. Ada kemungkinan bahwa kita ini TIDAK BAKALAN MENCAPAI KEBUDDHAAN, karena BUDDHA YANG ADA ITU DARI JAMAN DAHULU SUDAH ADA, yang terlahir dan kemudian mencapai KEBUDDHAAN itu adalah EMANASI DARI BUDDHA JAMAN DAHULU.

"Mencapai Ke-Buddhaan dari zaman dahulu" = sifat dasar kita adalah ke-Buddhaan, bahwa Tathagatgarbha itu ada dalam diri kita. Itulah mengapa dikatakan "Mencapai ke-Buddhaan dari zaman dahulu", karena sejak kelahiran kita yang tak berawal di Samsara ini, benih atau sifat dasar ke-Buddhaan selalu dan sudah ada dalam diri kita.

_/\_
The Siddha Wanderer

saya tambahkan, Tathagatagarbha atau mungkin kita bisa sebut satu lagi Alaya Vijnana menyimpan semua informasi kita dari ribuan kehidupan masa lampau termasuk bibit pencerahan. Dalam pandangan Mahayana,Siddhatta dikatakan sudah mencapai pencerahan pada masa lampau,namun belum pencerahan final,jadi timbul tenggelam,dan pada masa Prince Siddhatta dikatakan pemenuhan dari semua sifat Buddha dalam diri.
6 tahun sengsara dikatakan sebagai upaya kausalya dari Buddha untuk menunjukkan bahwa praktik pertapaan yang keras tidak membawakan hasil,meskipun dikatakan cerah,namun pencerahan itu timbul dan tenggelam setiap kali nama rupa bermanifestasi.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 27 November 2008, 08:14:43 AM
Quote from: dilbert on 26 November 2008, 05:49:25 PM
Quote from: nyanadhana on 26 November 2008, 04:29:11 PM
Kalau Ikrar dilakukan oleh seorang PUTHUJANA seperti saya, dan bahkan oleh individu sekaliber petapa sumedha, itu masih ok ok saja.

Ketika Ksitigarbha berikar,dia masih seorang putri kok,ini adalah ikrar yang mengangkat dirinya menjadi Bodhisatva.

Lantas darimana bisa muncul IKRAR-IKRAR oleh Para BODHISATVA dan para BUDDHA ??

kalau membaca referensi Sutra Mahayana menerangkan Bodhisatva berikrar adalah Buddha menceritakan dari awal riwayat Bodhisatva itu dan bagaimana ikrarnya membawa dia pada pencerahan nantinya.so bukan pada saat udah Bodhisatva tingkat ke tujuh baru berikrar. Ikrar adalah langkah pertama.

Makanya benar tuh...yang berikrar tuh yang masih puthujana... Sedangkan posisi Bodhisatva sendiri di dalam SUTRA INTAN dijelaskan dengan baik sekali bagaimana perilaku Bodhisatva yang sebenarnya. Coba baca SUTRA INTAN sendiri (Sutra Mahayana).

Jadi apakah individu sekaliber Bodhisatva Ks**tigarbha itu masih mengikuti IKRAR-nya kalau dipandang dari SUTRA INTAN ?

Sutra Intan tidak memuat catatan soal Ksitigarbha...namun saya akan menilik pandangan Bodhisatva secara universal maka Iya , Kisitigarbha masih memegang teguh ikrarnya karena beliau belum menjadi Buddha. sesuai ikrarnya...Kalau neraka tidak kosong,saya tidak akan menjadi Buddha.itu adalah ikrar tanpa kilesha kemelekatan melainkan Dhamma Chanda.

Memang kadang orang melihat inkonsistensi dalam beberapa Sutra Mahayana,seperti ada kalanya Sang Buddha berkata ada penyelamat dunia trus kita tinggal berdoa saja,dilain pihak Buddha berkata jadikan dirimu sebagai rakit sampai di ujung.namun lihatlah paduan ini. antara Ikrar Penyelamat Dunia dengan kekuatan diri sendiri menemukan jalan ke tempat Penyelamat Dunia ini.sinkron bukan?
Amitabha dengan 48 ikrarnya ketika menjadi Buddha dan memenuhi Paraminya, maka Ikrar tersebut bukan lagi ikrar kemelekatan seperti yang dipahami umat awam tapi itu adalah Pemenuhan Ucapan seorang Buddha. dalam satu ikrarnya ,orang yang memanggil namaku akan terlahir di Sukhavati. ini artinya memanggil nama Buddha Amitabha akan membangkitkan alaya vijnana Bodhicitta yang tersimpan dan terlahir di alam Buddha Amitabha(menurut Sukhavati Vyuha dan pemikiran Mahayana).

hm untuk sampai disini,kita harus bisa melihat segala sesuatu dari pola pikir Mahayana aliran sukhavati karena mereka memegang hanya 3 Sutra Amitabha,kalau anda ingin mencampurnya dengan Sutra Intan,maka aliran yang cocok,pastilah Zen Buddhisme.karena Zen berarti perenungan,dhyana,jadi kajilah Sutra Intan dengan membaca dan bawakan dalam dhyana(meditasi),semoga menemukan titik terang.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 27 November 2008, 10:10:15 AM
Quote from: truth lover on 26 November 2008, 08:17:03 PM
Quote from: nyanadhana on 26 November 2008, 10:55:10 AM
bukankah di Amitabha Sutra itu Sang Buddha mengatakan bukan menunjuk bahwa melewati ribuan mil dari arah Barat terletak Sukhavati.jadi Buddha tidak menunjuk dengan tangan,lagipula di akhir Sutra,digambarkan Buddha daris egala penjuru arah memberikan pujian atas Sukhavati dan Buddha menutup dengan Mantra Hati Amitabha.
Oh iya.. yah, Sang Buddha hanya menunjuk. Oh ya mas Nyanadhana benarkah Sang Buddha mengatakan dalam Amitabha sutra bahwa surga Sukhavati melewati ribuan mil arah barat? Apakah pernyataan ini sumbernya jelas? dimana bisa saya dapatkan?

terima kasih atas koreksinya dan mohon penjelasannya.
Quote from: dilbert on 26 November 2008, 05:41:27 PM
Quote from: chingik on 26 November 2008, 03:28:52 PM
Quote from: dilbert on 26 November 2008, 12:13:25 PM
Quote from: chingik on 25 November 2008, 05:09:56 PM
Memang kondisinya dunia sini sedang akan muncul Buddha Sakyamuni, maka tentu Buddha Amitabha tidak perlu mengutus orang. Sebenarnya ada kok, hehe..ya Avokitesvara orangnya. Tentu semua ada semacam sistem aturan yg tidak kita pahami.   

Ya saya mana tahu

darimana ada avalokitesvara kecuali kalau bukan "dikenalkan" di saddharmapundarika sutra...

Anda tidak tahu anda datang dari mana, tetapi anda tahu anda akan kemana ??

Ga perlu tahu darimana ada avokitesvara. Sama seperti juga ga perlu tau dari mana ada Buddha Gotama, sejauh dia mengajarkan dhamma, dialah orang yang pantas disebut para ariya.

Walau saya tidak tahu datang dari mana, emangnya ga bisa tahu akan kemana ?
Dalam alur hukum kamma, setidaknya kita sudah bisa mendapatkan gambaran ke mana kita akan dilahirkan, sejauh kita mengikuti dengan BENAR instruksi yg diajarkan Buddha.
Kalo Anda masih ga punya gambaran akan terlahir di mana maka sungguh sia2 anda belajar dhamma.   :(

GOTAMA itu BUDDHA HISTORIS... Sedangkan avalokitesvara, amitabha dsbnya hanya "HIDUP" dari SUTRA...
Anda tidak tahu anda datang dari mana ? tetapi anda tahu anda akan terlahir di Tanah Suci Sukhawati (kalau sesuai petunjuk) ?
Kita bukan membahas dari segi apakah tokoh tersebut historis atau bukan. Tapi di dalam mendalami dhamma, mengapa harus melekat pada masalah historis atau bukan? Manakah yang lebih penting, nilai historis tetapi isi tidak bermakna, dibandingkan dengan "tidak diketahui secara historis tapi isinya memberi manfaat". Seharusnya berpijak dari sini maka selayaknya Dhamma di pahami secara insight, mengapa harus peduli apakah orang yg berbicara itu ada atau tidak ada, eksis atau tidak eksis? Misalnya jika Buddha Gotama eksis namun berbicara hal yang membawa kemerosotan, utk apa kita mengikutinya? Sejauh ucapan seseorang sesuai dengan dhamma itu maka itu baru menunjukkan makna sejati akan eksisnya seorang ariya. Meski seorang penjagal sekalipun, pastilah ada sifat baik dalam dirinya dan saat mengucapkan kata2 baik itu, maka kita layak menghormati ucapan baiknya.
Dalam Saddharmapundarika menyebutkan Avokitesvara tidak muncul dalam wujud yang tetap utk memberi bimbingan kepada para Makhluk. Coba baca Parinibbana Sutra, ketika Buddha Gotama berbicara kepada para dewa dan manusia:
Ananda, kini kami ingat bagaimana kami telah pernah menghadiri undangan dari kedelapan persidangan yang masing-masing dihadiri oleh beratus-ratus orang itu. Sebelum dimulai percakapan atau pembahasan, kami membuat wajahku mirip dengan wajah mereka, suaraku menyerupai suara mereka. Demikianlah kami mengajarkan mereka mengenai Dhamma, dan hal ini memberikan manfaat dan kegembiraan kepada mereka. Meskipun demikian, tatkala kami sedang memberikan Dhamma kepada mereka, mereka tak mengetahui siapa sebenarnya kami ini, dan mereka saling bertanya pada kawan-kawannya, "Siapa gerangan yang sedang berbicara kepada kita? Apakah gerangan ia seorang manusia atau dewa?" tanya mereka.

Sesudah Sang Bhagava mengajarkan Dhamma dan telah membimbing mereka, mereka menyadari manfaatnya dan gembira, lalu kami pergi. Setelah kami meninggalkan mereka, mereka belum juga mengetahui tentang kami, mereka saling bertanya: "Siapakah gerangan dia yang telah pergi itu? Apakah dia manusia atau dewa?" Ananda, begitulah delapan macam perhimpunan itu."

Pola ucapan Buddha dalam Mahaparinibbana Sutta ini mencerminkan akan keselarasan ttg Avalokitesvara dalam Samantha mukha varga.  

Yang kita butuhkan adalah makna yang terkandung di dalamnya. Jika belum memahami prinsip Mahayana maka kajilah terus seperti orang yg sedang membeli emas. 
Itulah nilai luhur praktisi Mahayana, menyerap nilai baik karena nilai baik itu unirversal.

Kalau saya terlahir di Sukhavati, saya berjanji akan memberimu mimpi. Tapi saya rasa percuma, seandainya saya muncul di depan anda pun anda tak akan percaya. hehe..(just kidding).  :P
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 27 November 2008, 10:51:37 AM
 
Quote from: truth lover on 26 November 2008, 08:09:37 PM
QuotePenunjukkkan Arah itu 'kan cuma sifatnya utk memudahkan pengertian saja.
Seperti misalnya pembagian wilayah kota madya DKI, ada Jakarta Barat, Jakarta Utara , Jakarta Timur. Memangnya ada Jakarta yang benar2 terletak di BARAT??? Bukankah dilihat dari arah utara, maka dia menjadi Selatan? Dilihat dari arah Barat, dia menjadi di Timur?

Nah ini yang saya juga bingung dengan pernyataan mas chingik. Apakah rumah mas Chingik bisa berpindah-pindah? tentu tidak kan? kecuali rumah mas chingik punya kaki. Jadi penilaian berbagai arah Jakarta tentu dinilai berasal darimana mas Chingik tinggal, demikian juga dengan kedudukan relatif bumi terhadap alam semesta.

Sama seperti Sang Buddha mengatakan arah barat ketika itu Beliau berada di bumi bukan di planet lain kan?

QuoteMengapa pemerintah propinsi DKI mengatakan arah ya? padahal arah kan bisa berubah? apa waktu itu pemerintah propinsi DKI tidak mengerti bahwa bumi berputar pada porosnya? mengapa pemerintah bukan mengatakan "di Jakarta situ lho..."  jadi tak perlu menyebut arah.

nah Itulah mas Chingik, suatu arah bisa ditetapkan bila ada titik referensi yang menjadi acuan, pemerintah DKI menetapkan batas wilayah tentu berdasarkan acuan yang tetap. Bila tak ada acuan yang tetap mungkinkah kita menetapkan arah?

QuoteYang namanya pelabelan istilah itu kadang ada yg bersifat utk memudahkan pemahaman manusia awam.  Sama seperti dalam ajaran Buddha mengatakan tentang "Tanpa Aku", mengapa seluruh Sutta diawali dengan "Demikianlah yg telah AKU dengar" , mengapa tidak mengatakan "Demikianlah yg telah Nama-Rupa dengar". Tidak aku , tapi masih selalu menyebutkan aku sedang ini aku sedang itu..

Mas Chingik, maaf lho rasanya dimensi ruang adalah suatu perhitungan yang seharusnya agak eksak sifatnya, tentu berbeda dengan pelabelan.

QuoteBegitu juga ketika menyebutkan arah barat, timur, itu juga utk pemahaman awam saja.
Saya yakin jika Buddha tidak menyebutkan arah pada waktu itu, maka sekarang pasti orang2 malah bertanya: Di mana arahnya? Kalau Buddha benar2 Tahu mengapa tidak bilang di mana arahnya? bla..bla..bla..

Demikianlah kebingungan saya mas Chingik, jika Sang Buddha tidak mengatakan arah tentu tak ada pertanyaan saya seperti sekarang dan tak perlu ada spekulasi mengenai dimana adanya surga Sukhavati, sama seperti ketika Sang Buddha menolak mengatakan dimana adanya Nibbana.

Mungkin mas Chingik ada penjelasan lain mengapa Sang Buddha mengatakan surga Sukhavati berada di barat?

terima kasih sebelumnya lho atas segala penjelasannya, mohon penjelasan lebih lanjut.

Penjelasan yg bagaimanapun tidak akan memuaskan kecuali kita dapat benar2 melihat dgn jangkauan luas.
Sama seperti halnya Letak gunung sumeru, surga Tavatimsa, bagaimana menjelaskan ini secara logika? Jika tidak memahami ucapan Buddha dalam Amitabha Sutra lalu mengatakan itu sebagai palsu, maka terkesan aneh karena tidak bisa menjelaskan alam surga lain dalam Sutta-sutta sementara mengatakan itu benar.
Bentuk pertanyaan seperti ini tentu bukan kriteria yg tepat utk mensikapi isi kebenaran suatu kitab suci. Namun bagaimanapun, sikap kritis seperti itu tidak ditabukan. Silakan mencari, karena kebenaran terbuka utk siapapun, dan seandainya ada bukti kuat atas kepalsuan kitab itu, tentu saya juga senang karena saya juga salah satu orang yang tidak yakin secara membuta.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 27 November 2008, 11:50:19 AM
apakah pada saat buddha gotama dan para murid murid langsung beliau masih hidup, tdk diajarkan langsung ajaran ala MAHAYANA yg paling pamungkas katanya.. Apakah berarti murid langsung beliau tidak "berkualitas" untuk menerima ajaran Mahayana, sehingga harus dititipkan di alam Naga untuk kemudian menunggu para arya mahayana mengambilnya..

Apa karena Gotama tidak mengajarkan Mahayana, makanya ajaran MAHAYANA tdk muncul dlm ajaran para sesepuh sama sekali.
Atau sebenarnya ajaran Mahayana sudah dibabarkan sejak jaman Buddha Gotama msh hidup, tetapi ajaran para sesepuh meng eliminasi ajaran MAHAYANA, mungkin dgn alasan para MAHAYANIS (sebagaimana dikutip sdr.gandalf) bahwa para Sravaka gagal memahami ajaran Mahayana?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 27 November 2008, 12:07:49 PM
Quote from: truth lover on 25 November 2008, 11:02:05 PM
Mas Gandalf mau numpang nanya lagi nih, kebetulan saya baca "the large sutra on perfect wisdom (maha prajna paramita sutra?)" terjemahan Dr. Edward conze, isinya kok banyak menjelek-jelekkan jalan Arahat dan Pacceka Buddha? dan selalu memuji jalan Bodhisatva? contohnya halaman 115 berbunyi: Mara dengan menyamar sebagai Sang Buddha mengkhotbahkan, menguraikan, menganalisa, memperkuat ajaran (scriptures) yang berhubungan dengan tingkat Sravaka, lalu (bahasa Inggrisnya berat nih) menguraikan Discourses, discourses in prose, and verse mingled, predictions, verses, summaries, origins, thus was said, birth stories, expanded texts, marvels, texts and expositions.

Sedangkan di buku-buku Theravada tidak pernah mencela jalan Bodhisatva, bahkan dalam buku RAPB dijelaskan jalan Bodhisatva juga, yang merupakan sebuah pilihan yang boleh dilakukan dan baik ?

Mengapa demikian mas Gandalf?

Bolehkah tahu mas Gandalf, apakah kira-kira sebabnya mengapa kitab suci Mahayana menjelek-jlekkan jalan Sravaka dan Pratyeka, serta selalu memuji-muji jalan Bodhisatva?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 27 November 2008, 12:13:03 PM
QuotePenjelasan yg bagaimanapun tidak akan memuaskan kecuali kita dapat benar2 melihat dgn jangkauan luas.
Sama seperti halnya Letak gunung sumeru, surga Tavatimsa, bagaimana menjelaskan ini secara logika? Jika tidak memahami ucapan Buddha dalam Amitabha Sutra lalu mengatakan itu sebagai palsu, maka terkesan aneh karena tidak bisa menjelaskan alam surga lain dalam Sutta-sutta sementara mengatakan itu benar.
Bentuk pertanyaan seperti ini tentu bukan kriteria yg tepat utk mensikapi isi kebenaran suatu kitab suci. Namun bagaimanapun, sikap kritis seperti itu tidak ditabukan. Silakan mencari, karena kebenaran terbuka utk siapapun, dan seandainya ada bukti kuat atas kepalsuan kitab itu, tentu saya juga senang karena saya juga salah satu orang yang tidak yakin secara membuta.

Ya saya juga nggak mengerti lho mas Chingik, seandainya surga Sukhavati tidak disebutkan arah seperti Nirvana, tentu saya tak tergelitik untuk bertanya kepada mas Chingik, pengetahuan dan pandangan mas Chingik sungguh luas, terima kasih atas keterangannya mas.
_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 27 November 2008, 03:47:57 PM
Quote from: dilbert on 27 November 2008, 11:50:19 AM
apakah pada saat buddha gotama dan para murid murid langsung beliau masih hidup, tdk diajarkan langsung ajaran ala MAHAYANA yg paling pamungkas katanya.. Apakah berarti murid langsung beliau tidak "berkualitas" untuk menerima ajaran Mahayana, sehingga harus dititipkan di alam Naga untuk kemudian menunggu para arya mahayana mengambilnya..

Apa karena Gotama tidak mengajarkan Mahayana, makanya ajaran MAHAYANA tdk muncul dlm ajaran para sesepuh sama sekali.
Atau sebenarnya ajaran Mahayana sudah dibabarkan sejak jaman Buddha Gotama msh hidup, tetapi ajaran para sesepuh meng eliminasi ajaran MAHAYANA, mungkin dgn alasan para MAHAYANIS (sebagaimana dikutip sdr.gandalf) bahwa para Sravaka gagal memahami ajaran Mahayana?


Menurut Mahayana,ada periode pembabaran Dhamma dimulai dari Agama Sutra menuju Sutra Mahayana,jadi ada jejak pencerahan seseorang yang membawakan dia terakhir pada pencapaian Jalan Besar.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 27 November 2008, 06:52:09 PM
Quote from: dilbert on 27 November 2008, 11:50:19 AM
apakah pada saat buddha gotama dan para murid murid langsung beliau masih hidup, tdk diajarkan langsung ajaran ala MAHAYANA yg paling pamungkas katanya.. Apakah berarti murid langsung beliau tidak "berkualitas" untuk menerima ajaran Mahayana, sehingga harus dititipkan di alam Naga untuk kemudian menunggu para arya mahayana mengambilnya..

Apa karena Gotama tidak mengajarkan Mahayana, makanya ajaran MAHAYANA tdk muncul dlm ajaran para sesepuh sama sekali.
Atau sebenarnya ajaran Mahayana sudah dibabarkan sejak jaman Buddha Gotama msh hidup, tetapi ajaran para sesepuh meng eliminasi ajaran MAHAYANA, mungkin dgn alasan para MAHAYANIS (sebagaimana dikutip sdr.gandalf) bahwa para Sravaka gagal memahami ajaran Mahayana?

Bro. dilbert, tentu Sang Buddha pada masa hidupnya mengajarkan Mahayana. Apalagi Sutra-sutra Mahayana seperti Astasahasrika Prajnaparamita dan Saddharmapundarika diduga telah muncul sejak sekitar tahun 100 SM, yang berarti sebelum Pali Kanon ditulis!

Beberapa Sutra Mahayana bahkan dibabarkan pada para Sravaka, seperti Ullambana Sutra dan sebagian Saddharmapundarika Sutra.

Namun apabila masuk ke pembahasan Mahayana yang lebih mendalam, maka para Sravaka yang belum masuk ke jalan Mahayana, tidak dapat memahaminya.

Perkecualian bagi para Sravaka murid Sang Buddha yang batinnya telah mengarah menuju Mahayana seperti Subhuti dan Shariputra. Mereka dapat memahami sabda Mahayana dari Sang Buddha dengan jelas.

Bahkan konon Ananda pula yang mengingat sabda-sabda Mahayana Sang Buddha, meskipun ia sendiri tidak paham akan sabda tersebut.

Ngomong-ngomong, Para Bodhisattva pun juga murid langsung beliau kan?

Coba deh... apakah anda sudah baca sejarah Mahayana yang ditulis Jetsun Taranatha yang saya posting beberapa waktu lalu?

Ajaran Mahayana itu ditransmisikan secara oral melalui sekumpulan bhiksu yang jumlahnya tidak banyak, sedangkan ajaran Hinayana ditransmisikan melalui sekumpulan bhiksu yang sangat banyak, misalnya Konsili-Konsili.

Dan ketika kira-kira Konsili Sarvastivada diadakan di Kashmir, bersamaan dengan itu mungkin pertama kalinya ditulislah Sutra-sutra Mahayana oleh sejumlah bhiksu tersebut. Sutra-sutra tersebut disembunyikan di alam Naga.

Nah... apa sih alam Naga ini? Alam Supranatural? Bukan! Yang dimaksud di sini adalah manusia ras Naga yang memang dikenal di India kuno, di mana tempat tinggal mereka tergolong terpencil. Maka dari itu cocok untuk menyimpan Sutra-sutra Mahayana.

Ajaran Mahayana disembunyikan bukan karena muridnya tidak berkualitas, namun Sang Buddha melihat bahwa ajaran Mahayana belum saatnya untuk disebarkan secara luas. Salah satu kemampuan Sang Buddha adalah Beliau tahu kapan waktu yang tepat ajaran-Nya disebarluaskan, sama seperti Sang Buddha juga mengetahui kapan dan Dharma apa yang harus Beliau ajarkan di waktu dan tempat tertentu.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 27 November 2008, 07:02:13 PM
QuoteBolehkah tahu mas Gandalf, apakah kira-kira sebabnya mengapa kitab suci Mahayana menjelek-jlekkan jalan Sravaka dan Pratyeka, serta selalu memuji-muji jalan Bodhisatva?

Sutra-sutra Mahayana tidak selalu "merendahkan" (bukan menjelek-jelekkan lah) para Sravaka dan Pratyekabuddha. Dalam banyak kali, Sutra Mahayana juga memuji kualitas-kualitas batin seorang Arhat Sravaka. Ini bisa dilihat dari kutipan Mahaparinirvana Sutra yang saya berikan di waktu lalu.

Sang Buddha dalam sutra-sutra Mahayana tampak "merendahkan" para Sravaka, ini tak lain adalah upaya kausalya Beliau, agar para makhluk tidak terikat dalam usaha pembebasan diri sendiri menjadi para Sravaka dan agar para Sravaka berniat untuk menapaki jalan Mahayana.

Di lain sisi, Bodhisattva juga harus menguasai pencapaian Sravaka, namun Ia tidak terikat olehnya:
"In his seeking of the Buddha Way the Bodhisattva should study all dharmas and realize all forms of wisdom, namely the so-called wisdom of the Hearers (Sravakas), Pratyekabuddhas and Buddhas"
(Mahaprajnaparamita-Upadesha oleh Nagarjuna)

Sutra-sutra Mahayana selalu memuji jalan Bodhisattva karena jalan Bodhisattva menuju pada Anuttara Samyaksambodhi.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 27 November 2008, 07:46:42 PM
walaupun ananda tidak mencapai kesucian sewaktu buddha gotama hidup, tetapi daya ingat membuat ananda tdk lupa akan semua sabda buddha. Bukan masalah ngerti tidak ngerti. Walaupun pali kanon baru ditulis pada konsili ke-4, tetapi pewarisan melalui daya ingat (oral) kan tetap dilakukan. Logikanya, jika dari awal ajaran mahayana sudah diajarkan. Seharusnya ananda tahu akan ajaran mahayana. Dan ajaran mahayana dari awal sudah masuk dalam pali kanon (diulang sejak dalam konsili ke-1). Emangnya ajaran mahayana diajarkan buddha dalam bahasa sansekerta ? Dari penelusuran ini saja, kelihatan memang ajaran mahayana muncul jauh setelah buddha gotama parinibbana. Dan ajaran mahayana "dikatakan" di ambil dari alam NAGA menjadi suatu cerita yg mendukung ajaran Mahayana seolah2 terpisah dr ajaran buddha kepada para savaka (ehi bhikkhu).
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 27 November 2008, 09:50:38 PM
Quote from: dilbert on 27 November 2008, 07:46:42 PM
walaupun ananda tidak mencapai kesucian sewaktu buddha gotama hidup, tetapi daya ingat membuat ananda tdk lupa akan semua sabda buddha. Bukan masalah ngerti tidak ngerti.

Memang. Makanya di topik saya yang lalu yaitu "Siapakah Yang Merangkai Ulang Sutra-sutra Mahayana?", di sana saya tulis:

Namun YA Haribhadra (abad 8 M, murid dari Guru Shantaraksita) mengatakan bahwa meskipun batin Ananda tidak dapat memahaminya, namun yang mengucapkan ulang dan merangkai Sutra Mahayana tetaplah Ananda. Ananda melakukannya dengan "berkah" dari Buddha.

QuoteWalaupun pali kanon baru ditulis pada konsili ke-4, tetapi pewarisan melalui daya ingat (oral) kan tetap dilakukan. Logikanya, jika dari awal ajaran mahayana sudah diajarkan. Seharusnya ananda tahu akan ajaran mahayana. Dan ajaran mahayana dari awal sudah masuk dalam pali kanon (diulang sejak dalam konsili ke-1).

Konsili Pertama apa mesti Pali Kanon. La wong Konsili Pertama juga diakui oleh Sarvastivada, Mahasanghika, dsb yang notabene kitab-kitabnya berbahasa Sansekerta.....  ^-^  ^-^ Pada masa Konsili Pertama, THERAVADA BELUM ADA.

Meskipun Ananda tahu, mengapa Ia harus mengucapkannya di Konsili Pertama Hinayana? Bisa saja dong setelah di Konsili Pertama merangkai ulang Sutra-Sutra Hinayana, Ananda kemudian pergi ke gunung Vimalasvabhava untuk merangkai dan mengucapkan ulang Sutra-sutra Mahayana??

Dikatakan Konsili Mahayana di Gunung Vimalasvabhava, dihadiri oleh Vajrapani yang mengucapkan ulang Sutra Mahayana. Vajrapani Bodhisattva ini selalu berada di samping Buddha, sang penjaga Dharma yang memiliki kempampuan ingatan yang sangat brilian. Ciri-ciri tersebut mirip dengan Ananda.

Mungkinkah yang dimaksud adalah Ananda dengan "berkah" Vajrapani, mengucapkan ulang Sutra-sutra Mahayana? Atau...... nama Vajrapani digunakan untuk menyimbolkan keunggulan dari Ananda tersebut?

QuoteEmangnya ajaran mahayana diajarkan buddha dalam bahasa sansekerta ?

Emangnya Sang Buddha ngajar pake bahasa Pali?

Bahkan, dari sumber Tibetan disebutkan bahwa konon:
1. Mulasarvastivada diucapkan ulang menggunakan bahasa Sansekerta.
2. Mahasanghika diucapkan ulang dengan mengguankan bahasa Apabhramsa.
3. Sammitiya diucapkan ulang dengan menggunakan bahasa Prakrit.
4. Sthavira diucapkan ulang menggunakan bahasa Paisacika [Pali].

QuoteDari penelusuran ini saja, kelihatan memang ajaran mahayana muncul jauh setelah buddha gotama parinibbana.

Oya?

QuoteDan ajaran mahayana "dikatakan" di ambil dari alam NAGA menjadi suatu cerita yg mendukung ajaran Mahayana seolah2 terpisah dr ajaran buddha kepada para savaka (ehi bhikkhu).

Oya tambahan......... Astasahasrika Prajnaparamita Sutra tidak diambil dari alam Naga tuh......... bahkan di sejarah Jetsun Taranatha.

_/\_
The Siddha Wanderer


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 27 November 2008, 10:05:22 PM
[at] sdr.gandalf...

Mengapa semua siswa langsung BUDDHA (EHI BHIKKHU) tidak ada yang "LANGSUNG" mengambil jalan MAHAYANA Jika dikatakan bahwa mungkin banyak siswa langsung BUDDHA yang mengetahui ajaran MAHAYANA termasuk ANANDA ? (padahal jika mereka tahu Jalan Mahayana yang "KATANYA" notabene lebih MULIA dan LEBIH ULTIMATE dari ajaran SRAVAKA)?  Mengapa kemudian individu individu setelah itu banyak yang bisa memasuki jalan MAHAYANA untuk beraspirasi mencapai annutara sammasambuddha (mungkin termasuk anda) ?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 28 November 2008, 01:37:36 AM
Quote from: GandalfTheElder on 27 November 2008, 07:02:13 PM
QuoteBolehkah tahu mas Gandalf, apakah kira-kira sebabnya mengapa kitab suci Mahayana menjelek-jlekkan jalan Sravaka dan Pratyeka, serta selalu memuji-muji jalan Bodhisatva?

Sutra-sutra Mahayana tidak selalu "merendahkan" (bukan menjelek-jelekkan lah) para Sravaka dan Pratyekabuddha. Dalam banyak kali, Sutra Mahayana juga memuji kualitas-kualitas batin seorang Arhat Sravaka. Ini bisa dilihat dari kutipan Mahaparinirvana Sutra yang saya berikan di waktu lalu.

Sang Buddha dalam sutra-sutra Mahayana tampak "merendahkan" para Sravaka, ini tak lain adalah upaya kausalya Beliau, agar para makhluk tidak terikat dalam usaha pembebasan diri sendiri menjadi para Sravaka dan agar para Sravaka berniat untuk menapaki jalan Mahayana.

Di lain sisi, Bodhisattva juga harus menguasai pencapaian Sravaka, namun Ia tidak terikat olehnya:
"In his seeking of the Buddha Way the Bodhisattva should study all dharmas and realize all forms of wisdom, namely the so-called wisdom of the Hearers (Sravakas), Pratyekabuddhas and Buddhas"
(Mahaprajnaparamita-Upadesha oleh Nagarjuna)

Sutra-sutra Mahayana selalu memuji jalan Bodhisattva karena jalan Bodhisattva menuju pada Anuttara Samyaksambodhi.

_/\_
The Siddha Wanderer

Terima kasih atas keterangannya mas Gandalf, tapi pada alinea yang saya warnai biru, kelihatannya keterangan ini bertentangan dengan pernyataan bahwa pencapaian Arahat adalah juga harus ke jalan Bodhisattva lagi (sesuai pernyataan mas Gandalf dalam berbagai macam versi 10 tingkatan Bodhisattva).

Pembebasan apa yang dicapai oleh Arahat? kalau menilai dari pandangan Mahayana seorang Arahat belum terbebas? pernyataan pernyataan ini kan bertentangan? banyak sekali pernyataan yang nampaknya janggal, bila memang Sang Buddha tidak menginginkan umat manusia menapaki jalan Sravaka, kenapa jalan Sravaka diajarkan? kenapa tidak langsung diajarkan jalan Bodhisattva?

Seolah olah Sang Buddha mengajarkan suatu jalan untuk kemudian dicela dan direndahkan, bukankah demikian? Mungkin pertanyaan yang pernah saya ajukan kepada mas Chingik, mas Gandalf bisa memberikan jawaban yang lebih baik lagi:
Bagaimana bila Arahat tidak mau menapaki jalan Bodhisattva? bagaimana nasibnya?

bagaimana dengan pembebasan diri sendiri-nya yang dikatakan oleh mas Gandalf ?

mohon mas Gandalf memberi penjelasan, sehingga saya bisa lebih mengerti Mahayana.
Terima kasih saya ucapkan sebelumnya.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 28 November 2008, 01:44:31 AM
Quote from: nyanadhana on 27 November 2008, 07:58:48 AM
Quote from: truth lover on 26 November 2008, 08:17:03 PM
Quote from: nyanadhana on 26 November 2008, 10:55:10 AM
bukankah di Amitabha Sutra itu Sang Buddha mengatakan bukan menunjuk bahwa melewati ribuan mil dari arah Barat terletak Sukhavati.jadi Buddha tidak menunjuk dengan tangan,lagipula di akhir Sutra,digambarkan Buddha daris egala penjuru arah memberikan pujian atas Sukhavati dan Buddha menutup dengan Mantra Hati Amitabha.
Oh iya.. yah, Sang Buddha hanya menunjuk. Oh ya mas Nyanadhana benarkah Sang Buddha mengatakan dalam Amitabha sutra bahwa surga Sukhavati melewati ribuan mil arah barat? Apakah pernyataan ini sumbernya jelas? dimana bisa saya dapatkan?

terima kasih atas koreksinya dan mohon penjelasannya.

bacalah Sukhavatiyuha Sutra,saya belum pernah mendapat tulisan Buddha menunjuk arah,setahu saya,waktu itu ada Request dari murid Buddha dan Buddha mengatakan melewati beratus koti ke arah barat......

Terima kasih atas keterangannya mas Nyanadhana, maaf mau merepotkan lagi nih, satu koti itu jaraknya berapa ya?

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 28 November 2008, 05:30:56 AM
Bro. truth lover, dalam Mahayana dikenal 2 silsilah dalam pencapaian:

1. Silsilah Hinayana (Srotapanna, Sakrdagamin, Anagamin dan Arahat)
2. Silsilah Mahayana (Bodhisattva Bhumi 1 sampai 10)

Nah, menurut Mahayana, tentu akan lebih baik bagi seseorang untuk langsung menapaki silsilah Mahayana dari awal, ketimbang harus mengikuti silsilah Hinayana dulu, baru masuk ke silsilah Mahayana.

Pencapaian Bodhisattva Bhumi ke-6 adalah setara dengan Pencapaian seorang Arahat. maka dari itu, dengan kata lain kita dapat berkata ada 2 macam Arahat:

1. Sravaka Arahat dengan silsilah Hinayana, di mana seseorang mencapai tingkat Arahat melalui Srotapanna, Sakrdagamin, Anagamin

2. "Sravaka Arahat" (Bodhisattva Bhumi 6) dengan silsilah Mahayana, di mana sesorang mencapai tingkat yang setara dengan Arahat, melalui jalan Bodhisattva (Bhumi 1 - Bhumi 5)

Dengan mengikuti silsilah Mahayana / Bodhisattva dari awal (Bhumi 1), maka akan semakin banyak makhluk yang dapat diselamatkan, daripada harus menunggu menjadi Arahat dalam silsilah Hinayana, kemudian baru dibangunkan oleh para Buddha dari samadhi mereka.

Lagi-lagi, Sang Buddha mengajarkan jalan Sravaka adalah karena upaya kausalya Beliau. Tidak semua orang cocok dengan jalan Bodhisattva bukan?

Setelah Sang Buddha mencapai peerangan Sempurna, Beliau sebenarnya langsung membabarkan Mahayana yaitu Avatamsaka Sutra, namun karena banyak makhluk yang tidak paham dan tidak mencapai kemajuan batin yang cukup berarti, maka Sang Buddha kemudian mengajarkan Agama sutra yang merupakan ajaran-ajaran Hinayana (Dasar).

Dan akhirnya memang bener, para makhluk tampaknya lebih sesuai dan cocok dengan pembabaran Agama sutra, sehingga banyak sekali yang mencapai tingkat kesucian Arahat. Ini juga dikarenakan tingkat pemahaman mereka memang bersesuaian dengan jalan Arahat.

Tapi setelah itu Sang Buddha juga membabarkan Mahayana, yang sebelumnya telah tertunda tersebut.

QuoteBagaimana bila Arahat tidak mau menapaki jalan Bodhisattva? bagaimana nasibnya?

Seperti yang telah saya katakan, pasti mau. Hanya masalah waktu saja dan kesadarannya saja, karena bisa kita lihat, tingkat pemahaman Arahat itu berbeda-beda pula, pandangan Ananda dengan Mahakashyapa aja yang udah sama-sama Arahat masih aja tetap beda, belum lagi kasus Arahat bernama Purana yang nggak mau ikut Konsili Pertama beserta 500 bhiksu.

Maka dari itu, Sravaka Arahat yang benar-benar sadar dan mau menapaki jalan Bodhisattva ketika Sang Buddha masih hidup tidaklah banyak. Karena mereka tidak begitu paham akan Mahayana.

Kapan dong maunya dan pahamnya? Mungkin ketika mereka dibangunkan oleh para Buddha dari samadhi. Di situlah mereka kemudian akan lanjut ke Bodhisattva bhumi ketujuh.

Di waktu lalu saya mengatakan bahwa Arahat langsung progress jadi Bodhisattva tingkat tujuh, sama seperti Anagamin menjadi Arahat. Ya, memang. Dan untuk progress tersebut, Arahat perlu membangkitkan Bodhicitta, kehendak untuk menyelamatkan semua makhluk dan mencapai Samyaksambodhi, dan ini perlu waktu.

Loh, bukannya Arahat yang pencapaiannya tingginya segitu tentu dapat membangkitkan Bodhicitta dengan mudah? Kenapa perlu waktu?

Ini disebabkan karena Arahat sudah melekat pada Nirvana satu-sisi, dengan kata lain seperti yang Nagarjuna sebutkan, kecanduan "samadhi", maksudnya adalah mereka melekat dengan yang namanya Nirvana satu-sisi, menganggap itulah Pencapaian Tertinggi.

Sama seperti kita ketika kecanduan rokok. Sulit sekali kan rasanya untuk bisa lepas? Meskipun mau tapi lepasnya susah. Demikian juga dengan para Sravaka Arahat, waktu yang mereka butuhkan untuk membangkitkan Bodhicitta itu berbeda-beda, tergantung kapan mereka dapat melepaskan kemelekatan akan Nirvana satu sisi. Dan seorang Arahat pasti bisa melepaskan kemelekatan tersebut, hanya masalah waktu saja.

Maka dari itu alangkah baiknya memupuk Bodhicitta sedari awal melalui silsilah Mahayana, ketimbang melalui silsilah Hinayana yang ada kemungkinan untuk kecanduan "Nirvana satu sisi" yang banyak memakan waktu. Padahal waktu sedetikpun dapat dimanfaatkan untuk menyelamatkan banyak makhluk.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 28 November 2008, 05:59:18 AM
Quote from: dilbert on 27 November 2008, 10:05:22 PM
[at] sdr.gandalf...

Mengapa semua siswa langsung BUDDHA (EHI BHIKKHU) tidak ada yang "LANGSUNG" mengambil jalan MAHAYANA Jika dikatakan bahwa mungkin banyak siswa langsung BUDDHA yang mengetahui ajaran MAHAYANA termasuk ANANDA ? (padahal jika mereka tahu Jalan Mahayana yang "KATANYA" notabene lebih MULIA dan LEBIH ULTIMATE dari ajaran SRAVAKA)?  Mengapa kemudian individu individu setelah itu banyak yang bisa memasuki jalan MAHAYANA untuk beraspirasi mencapai annutara sammasambuddha (mungkin termasuk anda) ?

Jawaban untuk anda ini bisa anda baca di postingan saya sebelum ini, yangs aya tujukan pada bro. truth lover.

Dan apabila anda membaca Saddharmapundarika Sutra, di sana dikatakan bahwa hanya 500 Sravaka Arahat saja yang membangkitkan batin Bodhi (plus 2 orang Bhiksuni Sravaka - Mahaprajapati Gotami dan Yasodhara)  dan bertekad menjalani Mahayana. Sehingga Sang Buddha pun memberikan vyakarana pada mereka.

Dari antara ke-500 Sravaka Arahat tersebut adalah:
1. Ajnata-Kaundinya, (Anna Kondanna)
2. Asvajit,
3. Vashpa,
4. Mahanaman,
5. Bhadrika,
6. Maha-Kasyapa (Mahakassapa),
7. Uruvilva Kasyapa
8. Nadi-Kasyapa
9. Gaya-Kasyapa
10. Sariputra (Sariputta),
11. Maha-Maudgalyayana (Maha Moggallana),
12. Maha-Katyayana (Maha Kaccana),
13. Aniruddha,
14. Revata,
15. Kapphina,
16. Gavampati,
17. Pilindavatsa,
18. Vakkula (Bakula),
19. Bharadvaja,
20. Maha-Kaushthila,
21. Nanda,
22. Upananda,
23. Sundarananda,
24. Purna Maitrayaniputra,
25. Subhuti,
26. Rahula
27. Ananda.

Padahal murid Sravaka Arahat Beliau tentu jumlahnya berpuluh-puluh ribu.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 28 November 2008, 12:05:15 PM
[at] bro gandalf.

maksudnya mengapa para 500 arahat di atas yang diquote sdr.gandalf itu TIDAK LANGSUNG MENEMPUH JALAN MAHAYANA ketimbang harus menempuh jalan SRAVAKA dahulu ? Dari segi kebijaksanaan, GOTAMA telah menerangkan bahwa SARIPUTRA hanya bisa ditandingi oleh seorang sammasambuddha saja.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 29 November 2008, 05:24:51 AM
Quote from: dilbert on 28 November 2008, 12:05:15 PM
[at] bro gandalf.

maksudnya mengapa para 500 arahat di atas yang diquote sdr.gandalf itu TIDAK LANGSUNG MENEMPUH JALAN MAHAYANA ketimbang harus menempuh jalan SRAVAKA dahulu ?

Lo.... kan memang pada awalnya Sang Buddha mengajarkan Agama Sutra / Sutra2 Hinayana... ya wajar dong kalau para siswa Beliau setelah mendengar pembabaran tersebut, menjadi seorang Sravaka Arahat.

Tidak ada yang perlu diheran-herankan.

Baru ketika periode akhir pembabaran Dharma yang merupakan periode akhir Dharma Mahayana, akhirnya ke-500 Arahat memutuskan untuk masuk ke jalan Mahayana, karena mereka memang sudah mantap dan siap, setelah mendengar pembabaran Dharma Mahayana.

Selebihnya sudah saya jawab di postingan saya pada bro. truth lover sebelum ini.

QuoteDari segi kebijaksanaan, GOTAMA telah menerangkan bahwa SARIPUTRA hanya bisa ditandingi oleh seorang sammasambuddha saja.

Pada saat itu, Sang Buddha berbicara dan membabarkan Dharma dalam konteks Hinayana. Buktinya anda comot ucapan Sang Buddha tersebut kan dari Pali Kanon, yang sama kedudukannya dengan Agama Sutra. Jadi pandangan tersebut tentu benar, apabila dilihat dari sudut pandang Hinayana. Tapi Sang Buddha mengajarkan pandangan ini hanya untuk sementara saja. Karena pada akhirnya ajaran Sang Buddha akan sampai pada Mahayana.

Dalam Vimalakirti Nirdesha Sutra, di sana kita dapat membaca bahwa bahkan kebijaksanaan Sariputra pun masih kalah dibanding Bodhisattva Vimalakirti. Bahkan Sariputra terdiam dan tidak dapat menjawab Vimalakirti!

Menurut Mahayana, memang Sariputra adalah yang paling bijaksana dalam pemahaman Hinayana, namun betapapun bijaksananya Beliau, masih saja berada di bawah kebijaksanaan Bodhisattva bhumi ke-tujuh.

Tapi tentu saja, Mahayana tetap mengakui kebijaksanaan Beliau. Buktinya dalam Vimalakirti Sutra, Sariputra-lah yang diminta pertama kali oleh Sang Buddha untuk pergi ke kediaman Vimalakirti. Bahkan dalam Saddharmapundarika Sutra-pun, Sariputra adalah murid Sravaka pertama yang mampu memahami ajaran Mahayana Sang Buddha, dan merupakan Sravaka Arahat PERTAMA yang mendapatkan vyakarana.

Semoga kutipan Saddharmapundarika Sutra ini dapat menjawab juga sekaligus 2 pertanyaan di atas:

Tetapi Engkau (Sariputra) telah mengetahui
Jalan-jalan bijaksana yang sangat berguna dari

Para Buddha, pemimpin-pemimpin dunia,
Tidak memiliki keragu-raguan yang lebih lanjut lagi
Bergembiralah senangkanlah hatimu
Karena mengetahui bahwa Engkau akan menjadi para Buddha
.....
Oh, Yang Dipuja Dunia, bila kami tinggal sendiri dalam hutan, bila kami duduk atau berjalan-jalan, kami selalu dihinggapi pikiran begini :
"Kami bersama-sama telah berkecimpung dalam Dharma, tetapi mengapa Sang Tathagata membina, menyelamatkan kami dengan Hinayana ? Ini mungkin salah kami sendiri, bukan salah Yang Dipuja Dunia. Mengapa ? karena bila kami mendengar uraian Beliau mengenai pencapaian penerangan sejati, seharusnya kami dibebaskan dengan Mahayana. Karena kami tak menangkap cara yang demikian halus dalam menguraikan sesuatu yang mendalam; pertama mendengarkan Buddha Dharma saja, kami hanya semata-mata percaya, merenungkannya dan menghayatinya.
(Saddharmapundarika Sutra)

Lebih lanjut baca Saddharmapundarika Sutra bab II dan III deh..... di sana diterangkan tentang Sariputra sekaligus diterangkan mengapa Sang Buddha mengajarkan Hinayana.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 29 November 2008, 08:39:02 AM
berarti dgn atau tanpa adanya kelahiran GOTAMA, para bodhisatva yg ntah dimana keberadaannya telah mengetahui jalan MAHAYANA dan tentunya bisa mengajarkan kepada makhluk (krn para bodhisatva memiliki ikrar menolong makhluk). Berarti dalam konteks ini KELAHIRAN SAMMASAMBUDDHA TIDAK DIPERLUKAN LAGI..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 29 November 2008, 08:46:31 AM
Quote from: dilbert on 29 November 2008, 08:39:02 AM
berarti dgn atau tanpa adanya kelahiran GOTAMA, para bodhisatva yg ntah dimana keberadaannya telah mengetahui jalan MAHAYANA dan tentunya bisa mengajarkan kepada makhluk (krn para bodhisatva memiliki ikrar menolong makhluk). Berarti dalam konteks ini KELAHIRAN SAMMASAMBUDDHA TIDAK DIPERLUKAN LAGI..


Haaa.... pertanyaan anda kok kayaknya maksa ya!

La sudah pasti kan para Bodhisattva tahu Mahayana ya dari ajaran Sakyamuni Buddha, atau dari ajaran Samyasambuddha yang dulu-dulu (para Buddha masa lampau) atau dari Samyaksambuddha di tata surya lain.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 29 November 2008, 08:54:45 AM
mengapa 1000 tahun sblm kelahiran siddharta, para brahma dari datang ke dunia saha mengabarkan kabar gembira ttg kelahiran Buddha? Padahal di dunia lain udah byk samyaksambuddha, emang kita2 di dunia saha ini tdk bisa bertumimbal lahir ke sana? Apa krn harus berjodoh?

Terus menanggapi reply di atas yg katanya bahkan sariputra tdk bisa menandingi kebijaksanaan seorang bodhisatva vimalakirti yg hanya bodhisatva tkt 7, mengapa vimalakirti dan bodhisatva lainnya tdk mengajarkan jalan pembebasan ala sravaka kpd makhluk sblm era siddharta.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 29 November 2008, 10:16:28 AM
Quote from: dilbert on 29 November 2008, 08:54:45 AM
mengapa 1000 tahun sblm kelahiran siddharta, para brahma dari datang ke dunia saha mengabarkan kabar gembira ttg kelahiran Buddha? Padahal di dunia lain udah byk samyaksambuddha, emang kita2 di dunia saha ini tdk bisa bertumimbal lahir ke sana? Apa krn harus berjodoh?

Terus menanggapi reply di atas yg katanya bahkan sariputra tdk bisa menandingi kebijaksanaan seorang bodhisatva vimalakirti yg hanya bodhisatva tkt 7, mengapa vimalakirti dan bodhisatva lainnya tdk mengajarkan jalan pembebasan ala sravaka kpd makhluk sblm era siddharta.
Semua tentu ada faktor-faktor karma yang menentukannya. Lagi pula Brahma belum tentu tahu atau percaya bahwa terdapat banyak Buddha di loka dhatu lain. Mengapa? Brahma bahkan merasa dirinya yg menciptakan dunia ini. Para Buddha juga mengajarkan dharma sesuai kondisi batin makhluk, bila kondisi karma makhluk di sini belum matang, tidaklah mungkin para Buddha lain akan datang mengajar di sini. Dan bila Buddha/bodhisatva mengajar di sini, maka Buddha Gotama tidak akan pernah memiliki kondisi yg tepat utk terlahir di Jambudipa. Semua pasti ada sebab dan kondisinya.



Vimalakirti sendiri merupakan bodhisatva dari Tanah Buddha Abhirati. Beliau tidak mengajar ajaran ala sravaka karena bodhisatva memang tidak melekat pada bentuk ajaran seperti apa yg perlu dia ajarkan atau seperti apa dia harus muncul. Bodhisatva mengajar tanpa melekat pada konsep mengajar, beliau membimbing dengan berbagai cara-cara terampil yang bahkan tidak kita sadari. Bahkan beliau dapat menjelma menjadi pohon yg layu agar seseorang menyadari hukum anicca. Semua ini ada teknik-teknik trampil dari bodhisatva.  Para bodhisatva juga dapat menjadi katalisator agar para makhluk terus melakukan kebajikan hingga memiliki karma baik yg cukup utk mendengar dhamma dari Sang Buddha. Semua ini saling terkait.


 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 29 November 2008, 10:30:12 AM
jadi intinya adalah bahwa para bodhisatva tetap mengajar dgn cara2 trampil baik dgn adanya atau tidaknya seorang sammasambuddha lahir di dunia?

Oh ya, saya baru tahu ada bodhisatva bisa menjelma menjadi pohon layu?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 29 November 2008, 11:06:02 AM
Quote from: GandalfTheElder on 28 November 2008, 05:30:56 AM
Bro. truth lover, dalam Mahayana dikenal 2 silsilah dalam pencapaian:

1. Silsilah Hinayana (Srotapanna, Sakrdagamin, Anagamin dan Arahat)
2. Silsilah Mahayana (Bodhisattva Bhumi 1 sampai 10)

Nah, menurut Mahayana, tentu akan lebih baik bagi seseorang untuk langsung menapaki silsilah Mahayana dari awal, ketimbang harus mengikuti silsilah Hinayana dulu, baru masuk ke silsilah Mahayana.

Pencapaian Bodhisattva Bhumi ke-6 adalah setara dengan Pencapaian seorang Arahat. maka dari itu, dengan kata lain kita dapat berkata ada 2 macam Arahat:

1. Sravaka Arahat dengan silsilah Hinayana, di mana seseorang mencapai tingkat Arahat melalui Srotapanna, Sakrdagamin, Anagamin

2. "Sravaka Arahat" (Bodhisattva Bhumi 6) dengan silsilah Mahayana, di mana sesorang mencapai tingkat yang setara dengan Arahat, melalui jalan Bodhisattva (Bhumi 1 - Bhumi 5)

Dengan mengikuti silsilah Mahayana / Bodhisattva dari awal (Bhumi 1), maka akan semakin banyak makhluk yang dapat diselamatkan, daripada harus menunggu menjadi Arahat dalam silsilah Hinayana, kemudian baru dibangunkan oleh para Buddha dari samadhi mereka.
Lagi-lagi, Sang Buddha mengajarkan jalan Sravaka adalah karena upaya kausalya Beliau. Tidak semua orang cocok dengan jalan Bodhisattva bukan?

Setelah Sang Buddha mencapai penerangan Sempurna, Beliau sebenarnya langsung membabarkan Mahayana yaitu Avatamsaka Sutra, namun karena banyak makhluk yang tidak paham dan tidak mencapai kemajuan batin yang cukup berarti, maka Sang Buddha kemudian mengajarkan Agama sutra yang merupakan ajaran-ajaran Hinayana (Dasar).

Dan akhirnya memang bener, para makhluk tampaknya lebih sesuai dan cocok dengan pembabaran Agama sutra, sehingga banyak sekali yang mencapai tingkat kesucian Arahat. Ini juga dikarenakan tingkat pemahaman mereka memang bersesuaian dengan jalan Arahat.

Tapi setelah itu Sang Buddha juga membabarkan Mahayana, yang sebelumnya telah tertunda tersebut.

QuoteBagaimana bila Arahat tidak mau menapaki jalan Bodhisattva? bagaimana nasibnya?

Seperti yang telah saya katakan, pasti mau. Hanya masalah waktu saja dan kesadarannya saja, karena bisa kita lihat, tingkat pemahaman Arahat itu berbeda-beda pula, pandangan Ananda dengan Mahakashyapa aja yang udah sama-sama Arahat masih aja tetap beda, belum lagi kasus Arahat bernama Purana yang nggak mau ikut Konsili Pertama beserta 500 bhiksu.

Maka dari itu, Sravaka Arahat yang benar-benar sadar dan mau menapaki jalan Bodhisattva ketika Sang Buddha masih hidup tidaklah banyak. Karena mereka tidak begitu paham akan Mahayana.

Kapan dong maunya dan pahamnya? Mungkin ketika mereka dibangunkan oleh para Buddha dari samadhi. Di situlah mereka kemudian akan lanjut ke Bodhisattva bhumi ketujuh.

Di waktu lalu saya mengatakan bahwa Arahat langsung progress jadi Bodhisattva tingkat tujuh, sama seperti Anagamin menjadi Arahat. Ya, memang. Dan untuk progress tersebut, Arahat perlu membangkitkan Bodhicitta, kehendak untuk menyelamatkan semua makhluk dan mencapai Samyaksambodhi, dan ini perlu waktu.

Loh, bukannya Arahat yang pencapaiannya tingginya segitu tentu dapat membangkitkan Bodhicitta dengan mudah? Kenapa perlu waktu?

Ini disebabkan karena Arahat sudah melekat pada Nirvana satu-sisi, dengan kata lain seperti yang Nagarjuna sebutkan, kecanduan "samadhi", maksudnya adalah mereka melekat dengan yang namanya Nirvana satu-sisi, menganggap itulah Pencapaian Tertinggi.
Sama seperti kita ketika kecanduan rokok. Sulit sekali kan rasanya untuk bisa lepas? Meskipun mau tapi lepasnya susah. Demikian juga dengan para Sravaka Arahat, waktu yang mereka butuhkan untuk membangkitkan Bodhicitta itu berbeda-beda, tergantung kapan mereka dapat melepaskan kemelekatan akan Nirvana satu sisi. Dan seorang Arahat pasti bisa melepaskan kemelekatan tersebut, hanya masalah waktu saja.

Maka dari itu alangkah baiknya memupuk Bodhicitta sedari awal melalui silsilah Mahayana, ketimbang melalui silsilah Hinayana yang ada kemungkinan untuk kecanduan "Nirvana satu sisi" yang banyak memakan waktu. Padahal waktu sedetikpun dapat dimanfaatkan untuk menyelamatkan banyak makhluk.

_/\_
The Siddha Wanderer

Terima kasih penjelasan mas Gandalf yang panjang lebar.

Ada beberapa pertanyaan yang mengganjal nih,
QuoteSetelah Sang Buddha mencapai penerangan Sempurna, Beliau sebenarnya langsung membabarkan Mahayana yaitu Avatamsaka Sutra, namun karena banyak makhluk yang tidak paham dan tidak mencapai kemajuan batin yang cukup berarti, maka Sang Buddha kemudian mengajarkan Agama sutra yang merupakan ajaran-ajaran Hinayana
Menurut saya kekotoran batin mahluk-mahluk di jaman Sang Buddha lebih sedikit dibandingkan dengan kekotoran batin mahluk-mahluk di jaman sekarang. Bila di Jaman Sang Buddha saja ajaran Mahayana tidak cocok, apakah lebih cocok di jaman sekarang dimana kekotoran batin para mahluk lebih tebal?

QuoteDengan mengikuti silsilah Mahayana / Bodhisattva dari awal (Bhumi 1), maka akan semakin banyak makhluk yang dapat diselamatkan, daripada harus menunggu menjadi Arahat dalam silsilah Hinayana, kemudian baru dibangunkan oleh para Buddha dari samadhi mereka.

Apakah menurut mas Gandalf orang yang mencapai Nirvana sesudah meninggal ada dalam kondisi samadhi? bila demikian berarti belum terlepas dari kondisi kan?, sedangkan mas Gandalf sendiri bilang Arahat mendapatkan pembebasan diri. Jadi keterangan mas Gandalf kontradiktif nih.

QuoteSeperti yang telah saya katakan, pasti mau. Hanya masalah waktu saja dan kesadarannya saja, karena bisa kita lihat, tingkat pemahaman Arahat itu berbeda-beda pula, pandangan Ananda dengan Mahakashyapa aja yang udah sama-sama Arahat masih aja tetap beda, belum lagi kasus Arahat bernama Purana yang nggak mau ikut Konsili Pertama beserta 500 bhiksu.
"Pasti mau" berasal dari jawaban mas Gandalf kan? jadi saya anggap belum dijawab boleh nggak? karena kalau jawaban pribadi bisa "bias". Kalau jawaban pribadi kan bisa tanya juga kalau pasti tidak mau? bagaimana nasibnya?

QuoteIni disebabkan karena Arahat sudah melekat pada Nirvana satu-sisi, dengan kata lain seperti yang Nagarjuna sebutkan, kecanduan "samadhi", maksudnya adalah mereka melekat dengan yang namanya Nirvana satu-sisi, menganggap itulah Pencapaian Tertinggi.
Sama seperti kita ketika kecanduan rokok. Sulit sekali kan rasanya untuk bisa lepas? Meskipun mau tapi lepasnya susah.
Nah ini juga yang juga kontradiktif dari pernyataan mas Gandalf, bukankah dikatakan Arahat mendapatkan jalan pembebasan diri sendiri dari kondisi? terlepas dari kemelekatan? mengapa disini dikatakan Arahat kecanduan samadhi?
bila Arahat kecanduan Samadhi, maka Bodhisattva juga bisa dikatakan kecanduan Bodhicitta kan? demikian juga Sang buddha bisa dikatakan kecanduan Samyaksambodhi kan? lantas apa yang dimaksud dengan kebebasan diri, kebebasan dari kemelekatan dan kebebasan dari kondisi?

Mohon mas Gandalf jelaskan mengenai Nirvana satu-sisi, konsep apalagi tuh? saya belum pernah dengar.

terima kasih

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 29 November 2008, 11:20:16 AM
Mau nambah pertanyaan nih mas Gandalf,

Sebenarnya apa sih yang telah dicapai oleh Arahat menurut Mahayana? apakah seorang Arahat telah melenyapkan kekotoran batin atau belum? jika sudah, apa saja kekotoran batin yang telah dilenyapkan?

mohon penjelasannya, terima kasih

_/\_

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 29 November 2008, 06:58:07 PM
QuoteSetelah Sang Buddha mencapai peerangan Sempurna, Beliau sebenarnya langsung membabarkan Mahayana yaitu Avatamsaka Sutra, namun karena banyak makhluk yang tidak paham dan tidak mencapai kemajuan batin yang cukup berarti, maka Sang Buddha kemudian mengajarkan Agama sutra yang merupakan ajaran-ajaran Hinayana (Dasar).

Dan akhirnya memang bener, para makhluk tampaknya lebih sesuai dan cocok dengan pembabaran Agama sutra, sehingga banyak sekali yang mencapai tingkat kesucian Arahat. Ini juga dikarenakan tingkat pemahaman mereka memang bersesuaian dengan jalan Arahat.

aduh, seorang buddha bahkan seorang arahat saja, tentu tidak mungkin mengajarkan sesuatu yang tidak akan di mengerti kepada pendengar nya.

bagaimana mungkin seorang buddha mau membabarkan sebuah kotbah/ceramah ( anda menyebutnya mahanyana ; avatamsaka sutta )
lalu pendengar nya tidak mengerti?
sebelum sang buddha membabarkan dhamma tentu beliau selalu melihat kepada pendengar nya terlebih dahulu......
seperti memberi obat yang tidak manjur , kemudian di ganti obat lain.....saya rasa sang buddha bukan lah guru yang tidak bijaksana.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 29 November 2008, 09:35:13 PM
Quote from: marcedes on 29 November 2008, 06:58:07 PM
QuoteSetelah Sang Buddha mencapai peerangan Sempurna, Beliau sebenarnya langsung membabarkan Mahayana yaitu Avatamsaka Sutra, namun karena banyak makhluk yang tidak paham dan tidak mencapai kemajuan batin yang cukup berarti, maka Sang Buddha kemudian mengajarkan Agama sutra yang merupakan ajaran-ajaran Hinayana (Dasar).

Dan akhirnya memang bener, para makhluk tampaknya lebih sesuai dan cocok dengan pembabaran Agama sutra, sehingga banyak sekali yang mencapai tingkat kesucian Arahat. Ini juga dikarenakan tingkat pemahaman mereka memang bersesuaian dengan jalan Arahat.

aduh, seorang buddha bahkan seorang arahat saja, tentu tidak mungkin mengajarkan sesuatu yang tidak akan di mengerti kepada pendengar nya.

bagaimana mungkin seorang buddha mau membabarkan sebuah kotbah/ceramah ( anda menyebutnya mahanyana ; avatamsaka sutta )
lalu pendengar nya tidak mengerti?
sebelum sang buddha membabarkan dhamma tentu beliau selalu melihat kepada pendengar nya terlebih dahulu......
seperti memberi obat yang tidak manjur , kemudian di ganti obat lain.....saya rasa sang buddha bukan lah guru yang tidak bijaksana.

wah... benar juga sdr.marcedes... kok tidak teringat bahwa seorang sammasambuddha seperti BUDDHA GOTAMA yang "disepakati" secara bersama (baik oleh Theravada, Mahayana dan Tantra) memiliki kemampuan untuk mengetahui kualitas bathin pendengar-nya sehingga selalu membabarkan khotbah dharma yang sesuai dengan kualitas bathin pendengarnya. MENGAPA SAMPAI MELAKUKAN BLUNDER DENGAN MEMBABARKAN AVATAMSAKA SUTRA DAHULU, YANG KATANYA (ARGUMENTASI PARA MAHAYANIS) BAHWA KARENA TIDAK BANYAK MAKHLUK YANG MENCAPAI KEMAJUAN, MAKANYA DIGANTI DENGAN AJARAN HINAYANA...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 30 November 2008, 10:26:46 AM
Haha... memang tampaknya dalam postingan saya sebelumnya, tampaknya saya menulis sesuatu yang mudah disalahartikan dan memang ada beberapa  kekeliruan di postingan saya sebelumnya sehingga bisa timbul pergeseran makna. Mohon maap.........  ^:)^

Perlu diingat bahwa Avatamsaka Sutra memang diajarkan pada para Bodhisattva, sama sekali tidak diajarkan pada prthagjana (putthujana). Tentu di sini Sang Buddha sangat sadar, bahwa pendengarnya (para Bodhisattva) sangat mengerti tentang Avatamsaka Sutra. Dikatakan bahwa hanya para Bodhisattva yang dapat mendengar uraian Avatamsaka Sutra. Para prthagjana tidak dapat mendengarnya.

Sang Buddha juga tahu kalau banyak makhluk yang tidak paham (ya tentu saja, dengar aja kagak, apalagi paham?). Bagi para makhluk yang tidak mengerti karena tidak dapat mendengar Avatamsaka Sutra, sehingga otomatis tidak mendapatkan kemajuan batin, maka Sang Buddha kemudian mengajarkan Agama Sutra untuk mereka.

Pertanyaan anda:

Quotebagaimana mungkin seorang buddha mau membabarkan sebuah kotbah/ceramah ( anda menyebutnya mahanyana ; avatamsaka sutta )
lalu pendengar nya tidak mengerti?

Sang Buddha membabarkan Avatamsaka Sutra memang ditujukan HANYA pada para Bodhisattva Mahasattva dari 10 penjuru, yang tentu, dapat memahaminya.

Lagipula para manusia biasa aja nggak bisa denger Avatamsaka Sutra, ya gimana mau paham? Denger aja nggak.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 30 November 2008, 10:54:12 AM
Quote from: truth lover on 29 November 2008, 11:06:02 AM
Menurut saya kekotoran batin mahluk-mahluk di jaman Sang Buddha lebih sedikit dibandingkan dengan kekotoran batin mahluk-mahluk di jaman sekarang. Bila di Jaman Sang Buddha saja ajaran Mahayana tidak cocok, apakah lebih cocok di jaman sekarang dimana kekotoran batin para mahluk lebih tebal?

Justru itu, semakin banyak kekotoran batin, maka Dharma Mahayana akan lebih cocok ketimbang Dharma Hinayana. Karena Dharma Mahayana itu sangat fleksibel.

Faktanya adalah di India, Dharma Mahayana-lah yang berkembang. Hinayana malah terdesak, nggak berkembang.

Di Tiongkok, juga, Hinayana nggak berkembang.

Bahkan Theravada-nya Mahaviharavasin (Hinayana) malah sempet kelabakan sama Theravada-nya Abhayagiri (Mahayana)...  ^-^  ^-^

QuoteApakah menurut mas Gandalf orang yang mencapai Nirvana sesudah meninggal ada dalam kondisi samadhi? bila demikian berarti belum terlepas dari kondisi kan?, sedangkan mas Gandalf sendiri bilang Arahat mendapatkan pembebasan diri. Jadi keterangan mas Gandalf kontradiktif nih.

Kondisi yang mana dulu? Kalau kondisi jneyavarana, tentu Arahat belum terbebas. Kalau kondisi kleshavarana, maka Arahat sudah terbebas.

Nah Arahat masih memiliki kemelekatan akan kondisi "terlepas dari kondisi". 

Quote"Pasti mau" berasal dari jawaban mas Gandalf kan? jadi saya anggap belum dijawab boleh nggak? karena kalau jawaban pribadi bisa "bias". Kalau jawaban pribadi kan bisa tanya juga kalau pasti tidak mau? bagaimana nasibnya?

Ya silahkan baca Saddharmapundarika Sutra.

QuoteNah ini juga yang juga kontradiktif dari pernyataan mas Gandalf, bukankah dikatakan Arahat mendapatkan jalan pembebasan diri sendiri dari kondisi? terlepas dari kemelekatan? mengapa disini dikatakan Arahat kecanduan samadhi?
bila Arahat kecanduan Samadhi, maka Bodhisattva juga bisa dikatakan kecanduan Bodhicitta kan? demikian juga Sang buddha bisa dikatakan kecanduan Samyaksambodhi kan? lantas apa yang dimaksud dengan kebebasan diri, kebebasan dari kemelekatan dan kebebasan dari kondisi?

Mohon mas Gandalf jelaskan mengenai Nirvana satu-sisi, konsep apalagi tuh? saya belum pernah dengar.

terima kasih

Nirvana satu sisi adalah pandangan yang melekat pada Nirvana alias kemelekatan pada Nirvana. Maka dari itu Nirvana satu sisi seringkali dikatakan sebagai bukan Nirvana yang sesungguh-sungguhnya.

Samyaksambodhi adalah "Nirvana Tanpa Kemelekatan", di mana tidak ada dualisme lagi antara Samsara dan Nirvana. Bodhicitta adalah batin yang mengarahkan pada Samyaksambodhi.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 30 November 2008, 11:10:00 AM
berarti mahayana tdk cocok buat puthujana.. Krn hanya para bodhisatva yg bisa mengerti.

Mengapa? Karena sesuai apa yg diungkapkan sebelumnya bahwa esensi Mahayana ada di pembabaran periode 5 yaitu saddharma pundarika sutra dan maha parinirvana sutra.
Jika avatamsaka sutra saja sudah tdk bisa dimengerti, apalagi yg paling ultimit ?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 30 November 2008, 11:31:22 AM
Quote from: GandalfTheElder on 30 November 2008, 10:54:12 AM
Quote from: truth lover on 29 November 2008, 11:06:02 AM
Menurut saya kekotoran batin mahluk-mahluk di jaman Sang Buddha lebih sedikit dibandingkan dengan kekotoran batin mahluk-mahluk di jaman sekarang. Bila di Jaman Sang Buddha saja ajaran Mahayana tidak cocok, apakah lebih cocok di jaman sekarang dimana kekotoran batin para mahluk lebih tebal?

Justru itu, semakin banyak kekotoran batin, maka Dharma Mahayana akan lebih cocok ketimbang Dharma Hinayana. Karena Dharma Mahayana itu sangat fleksibel.

Faktanya adalah di India, Dharma Mahayana-lah yang berkembang. Hinayana malah terdesak, nggak berkembang.

Di Tiongkok, juga, Hinayana nggak berkembang.

Bahkan Theravada-nya Mahaviharavasin (Hinayana) malah sempet kelabakan sama Theravada-nya Abhayagiri (Mahayana)...  ^-^  ^-^

QuoteApakah menurut mas Gandalf orang yang mencapai Nirvana sesudah meninggal ada dalam kondisi samadhi? bila demikian berarti belum terlepas dari kondisi kan?, sedangkan mas Gandalf sendiri bilang Arahat mendapatkan pembebasan diri. Jadi keterangan mas Gandalf kontradiktif nih.

Kondisi yang mana dulu? Kalau kondisi jneyavarana, tentu Arahat belum terbebas. Kalau kondisi kleshavarana, maka Arahat sudah terbebas.

Nah Arahat masih memiliki kemelekatan akan kondisi "terlepas dari kondisi". 

Quote"Pasti mau" berasal dari jawaban mas Gandalf kan? jadi saya anggap belum dijawab boleh nggak? karena kalau jawaban pribadi bisa "bias". Kalau jawaban pribadi kan bisa tanya juga kalau pasti tidak mau? bagaimana nasibnya?

Ya silahkan baca Saddharmapundarika Sutra.

QuoteNah ini juga yang juga kontradiktif dari pernyataan mas Gandalf, bukankah dikatakan Arahat mendapatkan jalan pembebasan diri sendiri dari kondisi? terlepas dari kemelekatan? mengapa disini dikatakan Arahat kecanduan samadhi?
bila Arahat kecanduan Samadhi, maka Bodhisattva juga bisa dikatakan kecanduan Bodhicitta kan? demikian juga Sang buddha bisa dikatakan kecanduan Samyaksambodhi kan? lantas apa yang dimaksud dengan kebebasan diri, kebebasan dari kemelekatan dan kebebasan dari kondisi?

Mohon mas Gandalf jelaskan mengenai Nirvana satu-sisi, konsep apalagi tuh? saya belum pernah dengar.

terima kasih

Nirvana satu sisi adalah pandangan yang melekat pada Nirvana alias kemelekatan pada Nirvana. Maka dari itu Nirvana satu sisi seringkali dikatakan sebagai bukan Nirvana yang sesungguh-sungguhnya.

Samyaksambodhi adalah "Nirvana Tanpa Kemelekatan", di mana tidak ada dualisme lagi antara Samsara dan Nirvana. Bodhicitta adalah batin yang mengarahkan pada Samyaksambodhi.

_/\_
The Siddha Wanderer
]

Justru arahat hinayana yg telah mencapai kondisi egaliter non dualisme yg katanya tiada nirvana dan samsara. Jika tiada samsara, apa yg mau diselamatkan oleh arahat? Justru bodhisatva ala mahayana yg masih berkutat pada penyelamatan makhluk hidup, krn masih membedakan nirvana dan samsara.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 01 December 2008, 09:47:30 AM
Quote
Justru arahat hinayana yg telah mencapai kondisi egaliter non dualisme yg katanya tiada nirvana dan samsara. Jika tiada samsara, apa yg mau diselamatkan oleh arahat? Justru bodhisatva ala mahayana yg masih berkutat pada penyelamatan makhluk hidup, krn masih membedakan nirvana dan samsara.
Jika Arahat hinayana benar-benar mencapai kondisi non dualisme, justru seharusnya dapat secara leluasa tetap memberi bimbingan kepada para makhluk samsara. Tetapi Arahat hinayana justru memilih mencapai parinibbana, sama seperti orang yg mendapatkan harta kekayaan lalu tidak mempedulikan kaum miskin papa. Bagaimana bisa disebut egaliter?
Dalam pandangan Mahayana, walaupun dikatakan tidak ada perbedaan samsara-nirvana dan tidak ada konsep penyelamatan, tidak berarti samsara itu tidak ada, makhluk itu tidak ada. JIka anggapan tidak ada samsara dan makhluk dan tidak ada perlu penyelamatan, maka apa bedanya dengan pandangan kaum Nihilis yg setelah mati segalanya sirna.
Yang benar-benar disebut egaliter non-dualisme adalah saat makan tidak melekat pada konsep makan, saat mewejangkan dhamma tidak melekat pada konsep mewjangkan dhamma, sehingga saat melakukan tugas penyelamatan, tidak melekat pada konsep penyelamatan. Saat berdiam dalam kondisi nirvana, tidak melekat pada kondisi itu, sehingga secara leluasa membimbing para makhluk samsara.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 01 December 2008, 05:48:23 PM
Quote from: chingik on 01 December 2008, 09:47:30 AM
Quote
Justru arahat hinayana yg telah mencapai kondisi egaliter non dualisme yg katanya tiada nirvana dan samsara. Jika tiada samsara, apa yg mau diselamatkan oleh arahat? Justru bodhisatva ala mahayana yg masih berkutat pada penyelamatan makhluk hidup, krn masih membedakan nirvana dan samsara.
Jika Arahat hinayana benar-benar mencapai kondisi non dualisme, justru seharusnya dapat secara leluasa tetap memberi bimbingan kepada para makhluk samsara. Tetapi Arahat hinayana justru memilih mencapai parinibbana, sama seperti orang yg mendapatkan harta kekayaan lalu tidak mempedulikan kaum miskin papa. Bagaimana bisa disebut egaliter?
Dalam pandangan Mahayana, walaupun dikatakan tidak ada perbedaan samsara-nirvana dan tidak ada konsep penyelamatan, tidak berarti samsara itu tidak ada, makhluk itu tidak ada. JIka anggapan tidak ada samsara dan makhluk dan tidak ada perlu penyelamatan, maka apa bedanya dengan pandangan kaum Nihilis yg setelah mati segalanya sirna.
Yang benar-benar disebut egaliter non-dualisme adalah saat makan tidak melekat pada konsep makan, saat mewejangkan dhamma tidak melekat pada konsep mewjangkan dhamma, sehingga saat melakukan tugas penyelamatan, tidak melekat pada konsep penyelamatan. Saat berdiam dalam kondisi nirvana, tidak melekat pada kondisi itu, sehingga secara leluasa membimbing para makhluk samsara.

sdr.chingik menyatakan bahwa para arahat itu seolah olah seperti orang yang mendapatkan harta kekayaan tetapi melupakan kaum miskin papa... pernyataan ini adalah pernyataan puthujana. Konsep egaliter non dualisme kan melampaui nibbana dan samsara. Tidak ada dualisme antara nibbana dan samsara, dari mana muncul makhluk samsara lagi, bahkan konsep kesucian (nibbana) pun sudah "ditinggalkan"... bukan dalam artian bahwa  Arahat itu tidak menolong makhluk, Arahat yang masih belum parinibbana tetap membabarkan dharma, memberikan petunjuk kepada makhluk makhluk yang membutuhkan pertolongan, tetapi dalam konteks parinibbana, ibarat pelita yang sudah habis minyaknya, sudah tidak ada daya untuk "penjelmaan"/bertumimbal lahir, maka tidak bisa lagi "menolong" makhluk yang menderita lagi.

Lagian ini sesuai dengan apa yang dikatakan di dalam Sutra Intan, bahkan seorang TATHAGATHA pun TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN MAKHLUK HIDUP APAPUN, karena memang TATHAGATHA ataupun para ARIYA (ARAHAT) hanya menunjukkan jalan, JALAN KESELAMATAN DITEMPUH MASING-MASING INDIVIDU. Lagian ketika Satu Arahat parinibbana, kan masih ada Arahat-arahat lain yang masih belum parinibbana ataupun para Ariya lain (para sotapanna, sakadagami, dan para anagami). Seperti BUDDHA GOTAMA yang sudah parinibbana, tetapi masih ada para anggota Sangha yang memberikan bimbingan dan petunjuk JALAN. Tetapi bagaimana Hebatnya seorang GURU, apabila yang mendapat petunjuk/murid tidak menempuh JALAN PEMBEBASAN itu sendiri, sama saja bohong.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 01 December 2008, 06:19:43 PM
yup, ketika seseorang di katakan BEBAS.....jika masih berkutat untuk menolong orang apakah itu disebut bebas?
Quote
Jika Arahat hinayana benar-benar mencapai kondisi non dualisme, justru seharusnya dapat secara leluasa tetap memberi bimbingan kepada para makhluk samsara. Tetapi Arahat hinayana justru memilih mencapai parinibbana, sama seperti orang yg mendapatkan harta kekayaan lalu tidak mempedulikan kaum miskin papa. Bagaimana bisa disebut egaliter?

seperti nya sangat lah sulit yah di mengerti....seorang arahat tetap menolong orang....itu dikarenakan mereka memiliki ke-4 sifat batin luhur (brahmavihara)
contoh nya saja se-waktu sang buddha menyuruh murid-murid nya menyebarkan dhamma yang indah pada permulaan,indah pada pertengahan,indah pada akhir.

tetapi walaupun para arahat membabarkan dhamma...mereka sama sekali tidak MELEKAT.
mereka tidak melekat pada KEINGINAN INGIN MENOLONG SECARA TERUS MENERUS...

cobalah meditasi vipassana....bentuk pikiran ingin menolong terus menerus. di karenakan ada nya "perasaan" menyenangkan/bahagia.....apakah ini disebut kebebasan?

sy rasa mending mengkaji ulang kata-kata dari sang buddha yang mana merupakan inti ajaran beliau.
dan saya yakin tidak akan jauh dari 4 kesunyataan mulia.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 01 December 2008, 06:28:57 PM
QuoteNah Arahat masih memiliki kemelekatan akan kondisi "terlepas dari kondisi". 

maaf ^:)^

tapi sudahkah anda mencapai tingkat kesucian arahat dan berani memastikan kata-kata anda?
atau hanya asumsi belaka....

ketika seorang bertemu sang buddha bahkan berkata "aku tidak menyukai semua bentuk pikiran apapun"

lalu sang buddha berkata "apakah kamu juga tidak menyukai bentuk pikiran ("aku tidak menyukai semua bentuk pikiran apapun") pikiran melihat pikiran.

"terlepas dari kondisi".....
bahkan seorang arahat pun seperti "Y.M Sariputta" pernah berkata "sungguh bahagia pikiran yang bebas dari semua-nya " termasuk pikiran yang mengatakan bebas dari semua-nya "

mudah-mudahan di mengerti _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 01 December 2008, 11:05:13 PM
Quote from: dilbert on 01 December 2008, 05:48:23 PM
Quote from: chingik on 01 December 2008, 09:47:30 AM
Quote
Justru arahat hinayana yg telah mencapai kondisi egaliter non dualisme yg katanya tiada nirvana dan samsara. Jika tiada samsara, apa yg mau diselamatkan oleh arahat? Justru bodhisatva ala mahayana yg masih berkutat pada penyelamatan makhluk hidup, krn masih membedakan nirvana dan samsara.
Jika Arahat hinayana benar-benar mencapai kondisi non dualisme, justru seharusnya dapat secara leluasa tetap memberi bimbingan kepada para makhluk samsara. Tetapi Arahat hinayana justru memilih mencapai parinibbana, sama seperti orang yg mendapatkan harta kekayaan lalu tidak mempedulikan kaum miskin papa. Bagaimana bisa disebut egaliter?
Dalam pandangan Mahayana, walaupun dikatakan tidak ada perbedaan samsara-nirvana dan tidak ada konsep penyelamatan, tidak berarti samsara itu tidak ada, makhluk itu tidak ada. JIka anggapan tidak ada samsara dan makhluk dan tidak ada perlu penyelamatan, maka apa bedanya dengan pandangan kaum Nihilis yg setelah mati segalanya sirna.
Yang benar-benar disebut egaliter non-dualisme adalah saat makan tidak melekat pada konsep makan, saat mewejangkan dhamma tidak melekat pada konsep mewjangkan dhamma, sehingga saat melakukan tugas penyelamatan, tidak melekat pada konsep penyelamatan. Saat berdiam dalam kondisi nirvana, tidak melekat pada kondisi itu, sehingga secara leluasa membimbing para makhluk samsara.

sdr.chingik menyatakan bahwa para arahat itu seolah olah seperti orang yang mendapatkan harta kekayaan tetapi melupakan kaum miskin papa... pernyataan ini adalah pernyataan puthujana. Konsep egaliter non dualisme kan melampaui nibbana dan samsara. Tidak ada dualisme antara nibbana dan samsara, dari mana muncul makhluk samsara lagi, bahkan konsep kesucian (nibbana) pun sudah "ditinggalkan"... bukan dalam artian bahwa  Arahat itu tidak menolong makhluk, Arahat yang masih belum parinibbana tetap membabarkan dharma, memberikan petunjuk kepada makhluk makhluk yang membutuhkan pertolongan, tetapi dalam konteks parinibbana, ibarat pelita yang sudah habis minyaknya, sudah tidak ada daya untuk "penjelmaan"/bertumimbal lahir, maka tidak bisa lagi "menolong" makhluk yang menderita lagi.

Lagian ini sesuai dengan apa yang dikatakan di dalam Sutra Intan, bahkan seorang TATHAGATHA pun TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN MAKHLUK HIDUP APAPUN, karena memang TATHAGATHA ataupun para ARIYA (ARAHAT) hanya menunjukkan jalan, JALAN KESELAMATAN DITEMPUH MASING-MASING INDIVIDU. Lagian ketika Satu Arahat parinibbana, kan masih ada Arahat-arahat lain yang masih belum parinibbana ataupun para Ariya lain (para sotapanna, sakadagami, dan para anagami). Seperti BUDDHA GOTAMA yang sudah parinibbana, tetapi masih ada para anggota Sangha yang memberikan bimbingan dan petunjuk JALAN. Tetapi bagaimana Hebatnya seorang GURU, apabila yang mendapat petunjuk/murid tidak menempuh JALAN PEMBEBASAN itu sendiri, sama saja bohong.


Arahat yang parinibbana dan tidak bisa lagi "menolong" makhluk hidup,bagaimana bisa disebut egaliter non-dualisme?  Bro Dilbert juga mengatakan Arahat yang masih belum parinibbana tetap membabarkan dharma, memberikan petunjuk kepada makhluk makhluk yang membutuhkan pertolongan,  atas dasar apa Arahat melakukan aktivitas itu? Jika atas dasar 4 sifat batin luhur, mengapa Arahat akhirnya memilih Parinibbana? Bagaimanakah hal ini dikaitkan dengan sifat egaliter? Jika atas dasar tanpa kemelekatan, maka utk apa Arahat mengajarkan dhamma? Jika mengajar tanpa kemelekatan, mengapa memilih Parinibbana yg pada hakikatnya padam dari segala kondisi. Bukankah seharusnya egaliter sejati adalah melakukan aktivitas namun tidak melekat pada aktifitas itu sehingga terus melakukan tugas "penyelamatan" terus menerus tanpa jeda, seperti halnya dalam konsep bodhisatva. Jika anggapan anda bahwa Arahat memandang Samsara=Nibbana, maka Arahat tidak seharusnya memilih Parinibbana. I

Sekali lagi, Sutra Intan tidak pernah menyebutkan bahwa seorang TATHAGATHA TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN MAKHLUK HIDUP APAPUN. Tolong Dikaji ulang secara seksama apa makna Sutra Intan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: hendrako on 01 December 2008, 11:18:32 PM
Sebelumnya mohon maaf apabila tanggapan saya berkesan OOT.

Kalo menurut saya, seorang Arahat Parinibbana adalah karena kebenaran hukum kamma, yaitu kamma kehidupannya dalam arti terkondisi secara jasmani telah habis, dimana dikarenakan kamma inilah "mahluk" berada di alam samsara, namun adanya hukum kamma ini pulalah maka terdapat jalan menuju akhir derita sebagaimana yang ditunjukkan Sang Buddha.

Apabila seorang Arahat tidak parinibbana, menurut saya, itu bertentangan dengan hukum kamma, sehingga hal ini menunjukkan ada yang salah dengan hukum kamma.

Namun oleh karena kebenaran hukum kammalah, maka seorang Arahat Parinibbana. Dan karena hukum kamma jugalah maka tidak ada seorangpun yang dapat menyelamatkan yang lainnya, hanya setiap "mahluk" itu sendirilah yang dapat menyelamatkan "dirinya".
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 02 December 2008, 09:04:37 AM
Quote from: chingik on 01 December 2008, 09:47:30 AM
Quote

Arahat yang parinibbana dan tidak bisa lagi "menolong" makhluk hidup,bagaimana bisa disebut egaliter non-dualisme?  Bro Dilbert juga mengatakan Arahat yang masih belum parinibbana tetap membabarkan dharma, memberikan petunjuk kepada makhluk makhluk yang membutuhkan pertolongan,  atas dasar apa Arahat melakukan aktivitas itu? Jika atas dasar 4 sifat batin luhur, mengapa Arahat akhirnya memilih Parinibbana? Bagaimanakah hal ini dikaitkan dengan sifat egaliter? Jika atas dasar tanpa kemelekatan, maka utk apa Arahat mengajarkan dhamma? Jika mengajar tanpa kemelekatan, mengapa memilih Parinibbana yg pada hakikatnya padam dari segala kondisi. Bukankah seharusnya egaliter sejati adalah melakukan aktivitas namun tidak melekat pada aktifitas itu sehingga terus melakukan tugas "penyelamatan" terus menerus tanpa jeda, seperti halnya dalam konsep bodhisatva. Jika anggapan anda bahwa Arahat memandang Samsara=Nibbana, maka Arahat tidak seharusnya memilih Parinibbana. I

Sekali lagi, Sutra Intan tidak pernah menyebutkan bahwa seorang TATHAGATHA TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN MAKHLUK HIDUP APAPUN. Tolong Dikaji ulang secara seksama apa makna Sutra Intan.
waduh bro.....saya tidak mengerti apa itu egaliter atau non-dualisme.
tapi saya bisa pahami kalau anda tidak mengerti tentang "tidak melekat"

begini....bukan berarti seseorang arahat(tidak melekat) itu tidak ada keinginan sama sekali...
jika arahat tidak mau mengajarkan dhamma...bagaimana merujuk pada sang buddha seorang arahat sejati?
mengajarkan dhamma tetap bukan.....tetapi apakah beliau melekat pada keinginanannya hingga mau mengajar terus?

jika seorang melekat pada bentuk pikiran dan perasaan dengan ingin mengajar terus tanpa henti...maka pastilah orang tersebut bukan arahat...karena di ikuti oleh rasa "tanha"

seorang arahat boleh saja berkeinginan....tetapi seorang arahat memiliki keinginan yang tidak melekat akan 5 khanda nya........
misalnya seorang arahat membantu mengajarkan dhamma kepada murid nya......tetapi seorang arahat tidak berpikir sampai di ikuti oleh bentuk perasaaan
" apakah murid ku masih belum mencapai "
"kapan dia mencapai"

seorang arahat hanya melihat "hal itu" sebagaimana "hal itu"....
seperti menolong hanyalah menolong......

bukan memiliki bentuk pikiran seperti
"oh pertolongan ku masih kurang"
"yang saya ajarkan masih sedikit,musti lebih banyak lagi"
"murid ku harus mencapai ini"

baiknya belajar vipassana....jadi lebih mudah di lihat dan dipahami yang di maksud
"menolong hanyalah menolong"
"melihat hanyalah melihat"
"mengajar hanyalah mengajar" dsb-nya
--------------------------------------------------------------

agar di mengerti saya beri contoh sederhana....

ketika seseorang menunggu kereta di stasiun.........dan banyak orang lain juga menunggu di stasiun itu.
nah...ada seseorang kita sebut GOTAMA...sambil menunggu waktu datang nya kereta penjemput....beliau mengajarkan ajaran-ajaran kepada orang-orang di stasiun tersebut.

nah.....ketika orang-orang tersebut sedang di ajar dhamma.....tiba-tiba datanglah kereta penjemput..

nah BEDANYA seseorang arahat yang tidak melekat.....
akan masuk ke dalam kereta tersebut tanpa bentuk pikiran bahwa
"kasihan saya belum selesai mengajar"
"aduh kecewa belum selesai mengajar tapi kereta sudah datang"
"ingin rasanya menunda keberangkatan hingga selesai mengajar,hingga semua orang di stasiun mengerti"
dsb-nya

jadi ketika seorang arahat dalam stasiun menunggu kereta nya...seorang arahat MEMPRATEKKAN 4 SIFAT BATIN LUHUR yang dimilikinya(brahmavihara)...

tetapi ketika kereta datang semua itu tetap saja di tinggalkan.....
seorang arahat sejati akan memasuki kereta dengan tenang dan tanpa kerisauan atau kegelisahan
"ini belum selesai"  "ini kasihan ingin di tolong" dsb-nya.

semoga di mengerti _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 02 December 2008, 09:10:04 AM
Quote from: hendrako on 01 December 2008, 11:18:32 PM
Sebelumnya mohon maaf apabila tanggapan saya berkesan OOT.

Kalo menurut saya, seorang Arahat Parinibbana adalah karena kebenaran hukum kamma, yaitu kamma kehidupannya dalam arti terkondisi secara jasmani telah habis, dimana dikarenakan kamma inilah "mahluk" berada di alam samsara, namun adanya hukum kamma ini pulalah maka terdapat jalan menuju akhir derita sebagaimana yang ditunjukkan Sang Buddha.

Apabila seorang Arahat tidak parinibbana, menurut saya, itu bertentangan dengan hukum kamma, sehingga hal ini menunjukkan ada yang salah dengan hukum kamma.

Namun oleh karena kebenaran hukum kammalah, maka seorang Arahat Parinibbana. Dan karena hukum kamma jugalah maka tidak ada seorangpun yang dapat menyelamatkan yang lainnya, hanya setiap "mahluk" itu sendirilah yang dapat menyelamatkan "dirinya".

[at] sdr.chingik... pernyataan anda sudah dijawab oleh sdr.hendrako... SABBE SANKHARA ANICCA (Segala yang terkondisi adalah tidak kekal) bahwa badan jasmani seorang ARAHAT pun akan lapuk oleh waktu, maka parinibbana-lah sang ARAHAT.

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 02 December 2008, 09:12:32 AM
Quote from: chingik on 01 December 2008, 11:05:13 PM
Quote from: dilbert on 01 December 2008, 05:48:23 PM
Quote from: chingik on 01 December 2008, 09:47:30 AM
Quote
Justru arahat hinayana yg telah mencapai kondisi egaliter non dualisme yg katanya tiada nirvana dan samsara. Jika tiada samsara, apa yg mau diselamatkan oleh arahat? Justru bodhisatva ala mahayana yg masih berkutat pada penyelamatan makhluk hidup, krn masih membedakan nirvana dan samsara.
Jika Arahat hinayana benar-benar mencapai kondisi non dualisme, justru seharusnya dapat secara leluasa tetap memberi bimbingan kepada para makhluk samsara. Tetapi Arahat hinayana justru memilih mencapai parinibbana, sama seperti orang yg mendapatkan harta kekayaan lalu tidak mempedulikan kaum miskin papa. Bagaimana bisa disebut egaliter?
Dalam pandangan Mahayana, walaupun dikatakan tidak ada perbedaan samsara-nirvana dan tidak ada konsep penyelamatan, tidak berarti samsara itu tidak ada, makhluk itu tidak ada. JIka anggapan tidak ada samsara dan makhluk dan tidak ada perlu penyelamatan, maka apa bedanya dengan pandangan kaum Nihilis yg setelah mati segalanya sirna.
Yang benar-benar disebut egaliter non-dualisme adalah saat makan tidak melekat pada konsep makan, saat mewejangkan dhamma tidak melekat pada konsep mewjangkan dhamma, sehingga saat melakukan tugas penyelamatan, tidak melekat pada konsep penyelamatan. Saat berdiam dalam kondisi nirvana, tidak melekat pada kondisi itu, sehingga secara leluasa membimbing para makhluk samsara.

sdr.chingik menyatakan bahwa para arahat itu seolah olah seperti orang yang mendapatkan harta kekayaan tetapi melupakan kaum miskin papa... pernyataan ini adalah pernyataan puthujana. Konsep egaliter non dualisme kan melampaui nibbana dan samsara. Tidak ada dualisme antara nibbana dan samsara, dari mana muncul makhluk samsara lagi, bahkan konsep kesucian (nibbana) pun sudah "ditinggalkan"... bukan dalam artian bahwa  Arahat itu tidak menolong makhluk, Arahat yang masih belum parinibbana tetap membabarkan dharma, memberikan petunjuk kepada makhluk makhluk yang membutuhkan pertolongan, tetapi dalam konteks parinibbana, ibarat pelita yang sudah habis minyaknya, sudah tidak ada daya untuk "penjelmaan"/bertumimbal lahir, maka tidak bisa lagi "menolong" makhluk yang menderita lagi.

Lagian ini sesuai dengan apa yang dikatakan di dalam Sutra Intan, bahkan seorang TATHAGATHA pun TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN MAKHLUK HIDUP APAPUN, karena memang TATHAGATHA ataupun para ARIYA (ARAHAT) hanya menunjukkan jalan, JALAN KESELAMATAN DITEMPUH MASING-MASING INDIVIDU. Lagian ketika Satu Arahat parinibbana, kan masih ada Arahat-arahat lain yang masih belum parinibbana ataupun para Ariya lain (para sotapanna, sakadagami, dan para anagami). Seperti BUDDHA GOTAMA yang sudah parinibbana, tetapi masih ada para anggota Sangha yang memberikan bimbingan dan petunjuk JALAN. Tetapi bagaimana Hebatnya seorang GURU, apabila yang mendapat petunjuk/murid tidak menempuh JALAN PEMBEBASAN itu sendiri, sama saja bohong.


Arahat yang parinibbana dan tidak bisa lagi "menolong" makhluk hidup,bagaimana bisa disebut egaliter non-dualisme?  Bro Dilbert juga mengatakan Arahat yang masih belum parinibbana tetap membabarkan dharma, memberikan petunjuk kepada makhluk makhluk yang membutuhkan pertolongan,  atas dasar apa Arahat melakukan aktivitas itu? Jika atas dasar 4 sifat batin luhur, mengapa Arahat akhirnya memilih Parinibbana? Bagaimanakah hal ini dikaitkan dengan sifat egaliter? Jika atas dasar tanpa kemelekatan, maka utk apa Arahat mengajarkan dhamma? Jika mengajar tanpa kemelekatan, mengapa memilih Parinibbana yg pada hakikatnya padam dari segala kondisi. Bukankah seharusnya egaliter sejati adalah melakukan aktivitas namun tidak melekat pada aktifitas itu sehingga terus melakukan tugas "penyelamatan" terus menerus tanpa jeda, seperti halnya dalam konsep bodhisatva. Jika anggapan anda bahwa Arahat memandang Samsara=Nibbana, maka Arahat tidak seharusnya memilih Parinibbana. I

Sekali lagi, Sutra Intan tidak pernah menyebutkan bahwa seorang TATHAGATHA TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN MAKHLUK HIDUP APAPUN. Tolong Dikaji ulang secara seksama apa makna Sutra Intan.


berikut saya kutipkan dari SUTRA INTAN...
"Subhuti, seorang Bodhisattva juga demikian, jika dia berkata, "Aku harus membebaskan makhluk hidup yang tak terhitung dari tumimbal lahir, maka dia tidak akan disebut seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma yang dinamakan Bodhisattva. Karena itu Hyang Buddha mengatakan semua Dharma tidak memiliki konsepsi diri, konsepsi manusia, konsepsi makhluk hidup, dan konsepsi kehidupan."

lalu...
"Lagipula Subhuti, Dharma ini sama rata dan setara, tanpa tinggi maupun rendah. Oleh sebab itu dinamakan Anuttara-samyak-sambodhi. Mempraktekkan semua Dharma yang baik dengan tanpa konsepsi diri, konsepsi manusia, konsepsi makhluk hidup, dan konsepsi kehidupan adalah memperoleh Anuttara-samyak-sambodhi. Subhuti, Dharma yang baik dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan Dharma yang baik. Oleh sebab itu dinamakan Dharma yang baik."

lalu...
"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Jika ada orang yang mengatakan bahwa Tathagatha mempunyai pikiran : "Aku akan membebaskan semua makhluk hidup". Subhuti, jangan mempunyai pikiran demikian. Mengapa? Karena sebenarnya tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha. Jika ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha, maka Tathagatha akan mempunyai konsepsi
keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Subhuti, keberadaan konsepsi keakuan dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan keberadaan konsepsi diri tetapi orang awam menganggapnya sebagai keberadaan konsepsi keakuan. Subhuti, orang awam dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan orang awam. Oleh sebab itu dinamakan orang awam


coba dikaji kutipan SUTRA INTAN diatas... Apakah benar bahwa Bahkan Tathagatha tidak dapat menyelamatkan makhluk hidup apapun... Karena memang semua makhluk menyelamatkan diri masing-masing. BUDDHA DHARMA hanya sebagai petunjuk jalan, masing-masing pribadi-lah yang menyelusuri jalan-nya.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 02 December 2008, 09:15:42 AM
Quote from: marcedes on 02 December 2008, 09:04:37 AM
Quote from: chingik on 01 December 2008, 09:47:30 AM
Quote

Arahat yang parinibbana dan tidak bisa lagi "menolong" makhluk hidup,bagaimana bisa disebut egaliter non-dualisme?  Bro Dilbert juga mengatakan Arahat yang masih belum parinibbana tetap membabarkan dharma, memberikan petunjuk kepada makhluk makhluk yang membutuhkan pertolongan,  atas dasar apa Arahat melakukan aktivitas itu? Jika atas dasar 4 sifat batin luhur, mengapa Arahat akhirnya memilih Parinibbana? Bagaimanakah hal ini dikaitkan dengan sifat egaliter? Jika atas dasar tanpa kemelekatan, maka utk apa Arahat mengajarkan dhamma? Jika mengajar tanpa kemelekatan, mengapa memilih Parinibbana yg pada hakikatnya padam dari segala kondisi. Bukankah seharusnya egaliter sejati adalah melakukan aktivitas namun tidak melekat pada aktifitas itu sehingga terus melakukan tugas "penyelamatan" terus menerus tanpa jeda, seperti halnya dalam konsep bodhisatva. Jika anggapan anda bahwa Arahat memandang Samsara=Nibbana, maka Arahat tidak seharusnya memilih Parinibbana. I

Sekali lagi, Sutra Intan tidak pernah menyebutkan bahwa seorang TATHAGATHA TIDAK DAPAT MENYELAMATKAN MAKHLUK HIDUP APAPUN. Tolong Dikaji ulang secara seksama apa makna Sutra Intan.
waduh bro.....saya tidak mengerti apa itu egaliter atau non-dualisme.
tapi saya bisa pahami kalau anda tidak mengerti tentang "tidak melekat"

begini....bukan berarti seseorang arahat(tidak melekat) itu tidak ada keinginan sama sekali...
jika arahat tidak mau mengajarkan dhamma...bagaimana meruju pada sang buddha seoranga arahat sejati?
mengajarkan dhamma tetap bukan.....tetapi apakah beliau melekat pada keinginanannya hingga mau mengajar terus?

jika seorang melekat pada bentuk pikiran dan perasaan dengan ingin mengajar terus tanpa henti...maka pastilah orang tersebut bukan arahat...karena di ikuti oleh rasa "tanha"

seorang arahat boleh saja berkeinginan....tetapi seorang arahat memiliki keinginan yang tidak melekat akan 5 khanda nya........
misalnya seorang arahat membantu mengajarkan dhamma kepada murid nya......tetapi seorang arahat tidak berpikir sampai di ikuti oleh bentuk perasaaan
" apakah murid ku masih belum mencapai "
"kapan dia mencapai"

seorang arahat hanya melihat "hal itu" sebagaimana "hal itu"....
seperti menolong hanyalah menolong......

bukan memiliki bentuk pikiran seperti
"oh pertolongan ku masih kurang"
"yang saya ajarkan masih sedikit,musti lebih banyak lagi"
"murid ku harus mencapai ini"

baiknya belajar vipassana....jadi lebih mudah di lihat dan dipahami yang di maksud
"menolong hanyalah menolong"
"melihat hanyalah melihat"
"mengajar hanyalah mengajar" dsb-nya
--------------------------------------------------------------

agar di mengerti saya beri contoh sederhana....

ketika seseorang menunggu kereta di stasiun.........dan banyak orang lain juga menunggu di stasiun itu.
nah...ada seseorang kita sebut GOTAMA...sambil menunggu waktu datang nya kereta penjemput....beliau mengajarkan ajaran-ajaran kepada orang-orang di stasiun tersebut.

nah.....ketika orang-orang tersebut sedang di ajar dhamma.....tiba-tiba datanglah kereta penjemput..

nah BEDANYA seseorang arahat yang tidak melekat.....
akan masuk ke dalam kereta tersebut tanpa bentuk pikiran bahwa
"kasihan saya belum selesai mengajar"
"aduh kecewa belum selesai mengajar tapi kereta sudah datang"
"ingin rasanya menunda keberangkatan hingga selesai mengajar,hingga semua orang di stasiun mengerti"
dsb-nya

jadi ketika seorang arahat dalam stasiun menunggu kereta nya...seorang arahat MEMPRATEKKAN 4 SIFAT BATIN LUHUR yang dimilikinya(brahmavihara)...

tetapi ketika kereta datang semua itu tetap saja di tinggalkan.....
seorang arahat sejati akan memasuki kereta dengan tenang dan tanpa kerisauan atau kegelisahan
"ini belum selesai"  "ini kasihan ingin di tolong" dsb-nya.

semoga di mengerti _/\_


Inilah ARAHAT sejati...

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 02 December 2008, 11:52:53 AM
Quote
berikut saya kutipkan dari SUTRA INTAN...
"Subhuti, seorang Bodhisattva juga demikian, jika dia berkata, "Aku harus membebaskan makhluk hidup yang tak terhitung dari tumimbal lahir, maka dia tidak akan disebut seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma yang dinamakan Bodhisattva. Karena itu Hyang Buddha mengatakan semua Dharma tidak memiliki konsepsi diri, konsepsi manusia, konsepsi makhluk hidup, dan konsepsi kehidupan."

lalu...
"Lagipula Subhuti, Dharma ini sama rata dan setara, tanpa tinggi maupun rendah. Oleh sebab itu dinamakan Anuttara-samyak-sambodhi. Mempraktekkan semua Dharma yang baik dengan tanpa konsepsi diri, konsepsi manusia, konsepsi makhluk hidup, dan konsepsi kehidupan adalah memperoleh Anuttara-samyak-sambodhi. Subhuti, Dharma yang baik dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan Dharma yang baik. Oleh sebab itu dinamakan Dharma yang baik."

lalu...
"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Jika ada orang yang mengatakan bahwa Tathagatha mempunyai pikiran : "Aku akan membebaskan semua makhluk hidup". Subhuti, jangan mempunyai pikiran demikian. Mengapa? Karena sebenarnya tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha. Jika ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha, maka Tathagatha akan mempunyai konsepsi
keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Subhuti, keberadaan konsepsi keakuan dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan keberadaan konsepsi diri tetapi orang awam menganggapnya sebagai keberadaan konsepsi keakuan. Subhuti, orang awam dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan orang awam. Oleh sebab itu dinamakan orang awam

coba dikaji kutipan SUTRA INTAN diatas... Apakah benar bahwa Bahkan Tathagatha tidak dapat menyelamatkan makhluk hidup apapun... Karena memang semua makhluk menyelamatkan diri masing-masing. BUDDHA DHARMA hanya sebagai petunjuk jalan, masing-masing pribadi-lah yang menyelusuri jalan-nya.

Saya paham bahwa semua makhluk menyelamatkan diri masing2. Buddha juga hanya sebagai petunjuk jalan, tetapi konteks dalam Sutra Intan sebenarnya bukan soal sanggup atau tidak sanggup menyelamatkan. Bahkan dalam konteks itu, Buddha pun tidak menunjuk jalan. 
Penekanan Sutra Intan terletak pada hakikat "menunjukkan jalan" sebenarnya tidak ada yg disebut menunjukkan jalan. Tidak berarti Buddha tidak sanggup menyelamatkan/menunjukkan jalan. Jika tidak sanggup, utk apa ada pembabaran dhamma? Jadi konteks tidak sanggup (sebenarnya bukan tidak sanggup, tetapi memang secara gagasan Sunyata, tidak ada sesuatu yg diselamatkan) di sini hanya ingin memberi pengertian absolut kepada para bodhisatva, sedangkan Sutra Intan tidak mengabaikan aktivitas penyelamatan, sehingga mengatakan :  Hyang Buddha kemudian menjelaskan kepada Subhuti: "Semua Bodhisattva Mahasattva harus demikian mengendalikan hatinya dengan ikrar: "Aku harus menyebabkan segala jenis makhluk hidup - apakah yang terlahir dari penetasan telur, dari rahim, dari cairan atau dari perubahan wujud seketika, yang memiliki wujud atau tanpa wujud, yang memiliki kesadaran atau tanpa kesadaran, kesemuanya itu tanpa kecuali - untuk memasuki Nirvana sempurna dan berhenti bertumimbal lahir selamanya."

Jika ditelusuri secara keseluruhan bahkan dari seluruh Mahaprajnaparamita Sutra (Sutra Intan adalah bagian dari Sutra ini), Buddha/bodhisatva tetap memperlihatkan aktivitas penyelamatan/penunjuk jalan, tetapi karena mereka sudah tidak melekat pada konsepsi itu, maka dikatakan tidak ada makhluk yg diselamatkan. Ini adalah hakikat sunyata.
Atas dasar ini, maka ketika melakukan aktifitas itu, bodhisatva tidak melekatinya, sehingga bebas secara leluasa antara samsara dan nirvana. 

Secara teori Arahat juga terbebas dari samsara dan batinnya juga sudah bebas dari dualitas, tetapi Arahat memperlihatkan memasuki Parinibbana tanpa sisa, ini menunjukkan Arahat membedakan antara samsara dan nibbana. 


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 02 December 2008, 12:02:15 PM
Quote from: dilbert on 02 December 2008, 09:15:42 AM
Quote from: marcedes on 02 December 2008, 09:04:37 AM
Quote from: chingik on 01 December 2008, 09:47:30 AM
Quote


waduh bro.....saya tidak mengerti apa itu egaliter atau non-dualisme.
tapi saya bisa pahami kalau anda tidak mengerti tentang "tidak melekat"

begini....bukan berarti seseorang arahat(tidak melekat) itu tidak ada keinginan sama sekali...
jika arahat tidak mau mengajarkan dhamma...bagaimana meruju pada sang buddha seoranga arahat sejati?
mengajarkan dhamma tetap bukan.....tetapi apakah beliau melekat pada keinginanannya hingga mau mengajar terus?

jika seorang melekat pada bentuk pikiran dan perasaan dengan ingin mengajar terus tanpa henti...maka pastilah orang tersebut bukan arahat...karena di ikuti oleh rasa "tanha"

seorang arahat boleh saja berkeinginan....tetapi seorang arahat memiliki keinginan yang tidak melekat akan 5 khanda nya........
misalnya seorang arahat membantu mengajarkan dhamma kepada murid nya......tetapi seorang arahat tidak berpikir sampai di ikuti oleh bentuk perasaaan
" apakah murid ku masih belum mencapai "
"kapan dia mencapai"

seorang arahat hanya melihat "hal itu" sebagaimana "hal itu"....
seperti menolong hanyalah menolong......

bukan memiliki bentuk pikiran seperti
"oh pertolongan ku masih kurang"
"yang saya ajarkan masih sedikit,musti lebih banyak lagi"
"murid ku harus mencapai ini"

baiknya belajar vipassana....jadi lebih mudah di lihat dan dipahami yang di maksud
"menolong hanyalah menolong"
"melihat hanyalah melihat"
"mengajar hanyalah mengajar" dsb-nya
--------------------------------------------------------------

agar di mengerti saya beri contoh sederhana....

ketika seseorang menunggu kereta di stasiun.........dan banyak orang lain juga menunggu di stasiun itu.
nah...ada seseorang kita sebut GOTAMA...sambil menunggu waktu datang nya kereta penjemput....beliau mengajarkan ajaran-ajaran kepada orang-orang di stasiun tersebut.

nah.....ketika orang-orang tersebut sedang di ajar dhamma.....tiba-tiba datanglah kereta penjemput..

nah BEDANYA seseorang arahat yang tidak melekat.....
akan masuk ke dalam kereta tersebut tanpa bentuk pikiran bahwa
"kasihan saya belum selesai mengajar"
"aduh kecewa belum selesai mengajar tapi kereta sudah datang"
"ingin rasanya menunda keberangkatan hingga selesai mengajar,hingga semua orang di stasiun mengerti"
dsb-nya

jadi ketika seorang arahat dalam stasiun menunggu kereta nya...seorang arahat MEMPRATEKKAN 4 SIFAT BATIN LUHUR yang dimilikinya(brahmavihara)...

tetapi ketika kereta datang semua itu tetap saja di tinggalkan.....
seorang arahat sejati akan memasuki kereta dengan tenang dan tanpa kerisauan atau kegelisahan
"ini belum selesai"  "ini kasihan ingin di tolong" dsb-nya.

semoga di mengerti _/\_


Inilah ARAHAT sejati...

_/\_

Katanya Arahat tanpa keinginan, sekarang malah mengatakan Arahat memiliki keinginan mengajar dhamma? Kalau dalam konteks bodhisatva, keinginan bodhisatva bukan atas dasar tanha, tapi "chanda, keinginan yg luhur". Silakan baca posting bro Gandalf.

Bro Marcedes mengatakan seorang arahat sejati akan memasuki kereta dengan tenang dan tanpa kerisauan atau kegelisahan. Dari apa yg saya baca, saya malah melihat bahwa jika tanpa kerisauan, Arahat seharusnya tidak perlu concern dgn kedatangan kereta. Tetapi seorang Bodhisatva juga bukan risau dgn pikiran "ini belum selesai"  "ini kasihan ingin di tolong" dsb-nya.
Ibarat seorang dokter yg memberi pertolongan pada pasien yg jumlahnya sangat banyak, ketika kereta datang menjemput, dokter tidak akan ikut kereta dan pergi selamanya, tetapi dokter tetap akan datang lagi selama ada pasien yg menunggu beliau. Ibarat ketika jam kerja sudah selesai, dokter tetap akan tutup pintu, tetapi bila ada pasien datang esoknya, pintu akan dibukakan lagi. Itulah bodhisatva sejati. Bahkan kereta tetap dianggap sebagai hal yg ilusif, karena mana ada lagi yg disebut mati total hingga tidak ada apa apa lagi.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 02 December 2008, 12:25:05 PM
sdr.chingik.
Ketika arahat sudah meninggal, arahat merealisasikan nibbana akhir. Dan konsekuensinya tdk terlahir di alam manapun lagi (dlm theravada tdk ada arahatdhatu). Ini final.
Nah, lantas konsep mahayana menyatakan para arahat msh bisa menempuh jalur bodhisatva utk mencapai annutara samyaksambodhi. Ini menandakan bahwa Arahat (sravaka) belum selesai.
Dua konteks ini berseberangan..

Kesimpulannya, hanya ada satu yg benar, apakah THERAVADA atau MAHAYANA? ketika dua ajaran ini berbeda, apakah masih bisa dimasukkan dalam satu YANA, KENDARAAN BUDDHA?

Dari awal saya pribadi tdk mengatakan bahwa ajaran Theravada pasti benar, tetapi ketika diskusi mendalam spt mengarah pada kesimpulan bahwa ada perbedaan mendasar pada ajaran Theravada dan Mahayana, apakah bisa digolongkan pada satu ajaran?
Silahkan para pembaca nilai sendiri.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 02 December 2008, 03:39:18 PM
Quote from: dilbert on 02 December 2008, 12:25:05 PM
sdr.chingik.
Ketika arahat sudah meninggal, arahat merealisasikan nibbana akhir. Dan konsekuensinya tdk terlahir di alam manapun lagi (dlm theravada tdk ada arahatdhatu). Ini final.
Nah, lantas konsep mahayana menyatakan para arahat msh bisa menempuh jalur bodhisatva utk mencapai annutara samyaksambodhi. Ini menandakan bahwa Arahat (sravaka) belum selesai.
Dua konteks ini berseberangan..

Kesimpulannya, hanya ada satu yg benar, apakah THERAVADA atau MAHAYANA? ketika dua ajaran ini berbeda, apakah masih bisa dimasukkan dalam satu YANA, KENDARAAN BUDDHA?

Dari awal saya pribadi tdk mengatakan bahwa ajaran Theravada pasti benar, tetapi ketika diskusi mendalam spt mengarah pada kesimpulan bahwa ada perbedaan mendasar pada ajaran Theravada dan Mahayana, apakah bisa digolongkan pada satu ajaran?
Silahkan para pembaca nilai sendiri.

Yang menganggap berseberangan 'kan itu dari sudut pandang sektarian. Mahayana sendiri menilai Jalan Kearahatan ibarat Jalan yg belum selesai. Bukan soal berbeda lalu tidak bisa dimasukkan ke Yana mana. Kendaraaan Buddha ibarat Puncak Gunung, dan walaupun dilembah gunung (Arahat, Prayetaka, Bodhisatva) terdapat jalur yg beda-beda, semuanya mengarah ke puncak gunung (Sammasambuddha). Dari perspektif ini, mengapa tidak bisa dimasukan ke 1 kendaraarn Tunggal? Bisa dhonk...
Bila puncak gunung adalah Sammasambuddha, mengapa tidak bisa digolongkan pd satu ajaran? Sebenarnya itu adalah pilihan bebas seorang Arahat (Walaupun belajar dari konsep Theravada). Arahat tidak mungkin tidak memiliki keinginan , bro Marcedes sendiri sudah menerangkannya, sejauh memiliki Chanda, apapun bisa memungkinkan. Tetapi bila tetap merasa Arahat tidak memiliki keinginan, ya itu juga pendapat masing2. Saya pribadi tidak menolak berbagai kemungkinan, jatuh2nya tetap pada ehipassiko aja. Selamat berlatih.  :) _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 02 December 2008, 03:57:46 PM
Quote from: chingik on 02 December 2008, 03:39:18 PM
Quote from: dilbert on 02 December 2008, 12:25:05 PM
sdr.chingik.
Ketika arahat sudah meninggal, arahat merealisasikan nibbana akhir. Dan konsekuensinya tdk terlahir di alam manapun lagi (dlm theravada tdk ada arahatdhatu). Ini final.
Nah, lantas konsep mahayana menyatakan para arahat msh bisa menempuh jalur bodhisatva utk mencapai annutara samyaksambodhi. Ini menandakan bahwa Arahat (sravaka) belum selesai.
Dua konteks ini berseberangan..

Kesimpulannya, hanya ada satu yg benar, apakah THERAVADA atau MAHAYANA? ketika dua ajaran ini berbeda, apakah masih bisa dimasukkan dalam satu YANA, KENDARAAN BUDDHA?

Dari awal saya pribadi tdk mengatakan bahwa ajaran Theravada pasti benar, tetapi ketika diskusi mendalam spt mengarah pada kesimpulan bahwa ada perbedaan mendasar pada ajaran Theravada dan Mahayana, apakah bisa digolongkan pada satu ajaran?
Silahkan para pembaca nilai sendiri.

Yang menganggap berseberangan 'kan itu dari sudut pandang sektarian. Mahayana sendiri menilai Jalan Kearahatan ibarat Jalan yg belum selesai. Bukan soal berbeda lalu tidak bisa dimasukkan ke Yana mana. Kendaraaan Buddha ibarat Puncak Gunung, dan walaupun dilembah gunung (Arahat, Prayetaka, Bodhisatva) terdapat jalur yg beda-beda, semuanya mengarah ke puncak gunung (Sammasambuddha). Dari perspektif ini, mengapa tidak bisa dimasukan ke 1 kendaraarn Tunggal? Bisa dhonk...
Bila puncak gunung adalah Sammasambuddha, mengapa tidak bisa digolongkan pd satu ajaran? Sebenarnya itu adalah pilihan bebas seorang Arahat (Walaupun belajar dari konsep Theravada). Arahat tidak mungkin tidak memiliki keinginan , bro Marcedes sendiri sudah menerangkannya, sejauh memiliki Chanda, apapun bisa memungkinkan. Tetapi bila tetap merasa Arahat tidak memiliki keinginan, ya itu juga pendapat masing2. Saya pribadi tidak menolak berbagai kemungkinan, jatuh2nya tetap pada ehipassiko aja. Selamat berlatih.  :) _/\_

selamat berlatih juga...
_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 02 December 2008, 05:11:31 PM
Quote from: chingik on 02 December 2008, 03:39:18 PM

Yang menganggap berseberangan 'kan itu dari sudut pandang sektarian. Mahayana sendiri menilai Jalan Kearahatan ibarat Jalan yg belum selesai. Bukan soal berbeda lalu tidak bisa dimasukkan ke Yana mana. Kendaraaan Buddha ibarat Puncak Gunung, dan walaupun dilembah gunung (Arahat, Prayetaka, Bodhisatva) terdapat jalur yg beda-beda, semuanya mengarah ke puncak gunung (Sammasambuddha). Dari perspektif ini, mengapa tidak bisa dimasukan ke 1 kendaraarn Tunggal? Bisa dhonk...
Bila puncak gunung adalah Sammasambuddha, mengapa tidak bisa digolongkan pd satu ajaran? Sebenarnya itu adalah pilihan bebas seorang Arahat (Walaupun belajar dari konsep Theravada). Arahat tidak mungkin tidak memiliki keinginan , bro Marcedes sendiri sudah menerangkannya, sejauh memiliki Chanda, apapun bisa memungkinkan. Tetapi bila tetap merasa Arahat tidak memiliki keinginan, ya itu juga pendapat masing2. Saya pribadi tidak menolak berbagai kemungkinan, jatuh2nya tetap pada ehipassiko aja. Selamat berlatih.  :) _/\_

:jempol:
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 02 December 2008, 05:12:55 PM
Quote from: sobat-dharma on 02 December 2008, 05:11:31 PM
Quote from: chingik on 02 December 2008, 03:39:18 PM

Yang menganggap berseberangan 'kan itu dari sudut pandang sektarian. Mahayana sendiri menilai Jalan Kearahatan ibarat Jalan yg belum selesai. Bukan soal berbeda lalu tidak bisa dimasukkan ke Yana mana. Kendaraaan Buddha ibarat Puncak Gunung, dan walaupun dilembah gunung (Arahat, Prayetaka, Bodhisatva) terdapat jalur yg beda-beda, semuanya mengarah ke puncak gunung (Sammasambuddha). Dari perspektif ini, mengapa tidak bisa dimasukan ke 1 kendaraarn Tunggal? Bisa dhonk...
Bila puncak gunung adalah Sammasambuddha, mengapa tidak bisa digolongkan pd satu ajaran? Sebenarnya itu adalah pilihan bebas seorang Arahat (Walaupun belajar dari konsep Theravada). Arahat tidak mungkin tidak memiliki keinginan , bro Marcedes sendiri sudah menerangkannya, sejauh memiliki Chanda, apapun bisa memungkinkan. Tetapi bila tetap merasa Arahat tidak memiliki keinginan, ya itu juga pendapat masing2. Saya pribadi tidak menolak berbagai kemungkinan, jatuh2nya tetap pada ehipassiko aja. Selamat berlatih.  :) _/\_

:jempol:

sektarian !!! siapa ?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 03 December 2008, 09:10:23 AM
Dear Gandalf
sebenarnya, masalah hinaya maupun bhavaviveka semua itu cuma samutti sacca yang kita berdebatkan.
apalah artinya?

"arahat adalah boddhisatva"
"arahat tidak terlahir atau terlahir"
"ini bhavaviveka ini hinaya"

sampai kapan terjerumus dalam ini?
"dhamma hanyalah rakit untuk menyeberang lautan samsara"
dhamma di pakai untuk NIBBANA....bukan di genggam ataupun di peluk.

baik mahayana maupun theravada.......apa sudah lupa yang merupakan ajaran buddha?

"Ada kemungkinan, bahwa di antara kalian ada yang berpikir: `Berakhirlah kata-kata Sang Guru; kita tidak mempunyai seorang Guru lagi.` Tetapi, Ananda, hendaknya tidak berpikir demikian. Sebab apa yang telah Aku ajarkan sebagai Dhamma dan Vinaya, Ananda, itulah kelak yang menjadi Guru-mu, ketika Aku pergi."
(Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya 16)


lalu perhatikan baik-baik semangat buddha dan "apa yang dia ajarkan selama 45 tahun"?
hanya 1.....yakni NIBBANA

Dalam Gotami Sutta (Anguttara Nikaya VIII. 53) , Sang Buddha menjelaskan kepada Y.A. Mahapajapati Gotami:

"Bila, Gotami, engkau mengetahui hal-hal secara pasti: `Hal-hal ini menuju pada nafsu, bukan pada tanpa-nafsu; pada kemelekatan, bukan pada tanpa-kemelekatan; pada pengumpulan, bukan pada pelepasan; pada memiliki banyak keinginan, bukan pada memiliki sedikit keinginan; pada ketidakpuasan, bukan pada kepuasan; pada suka berkumpul, bukan pada kesendirian; pada kelambanan, bukan pada kebangkitan semangat; pada kehidupan yang mewah, bukan pada kesederhanaan` - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: `Ini bukanlah Dhamma; ini bukanlah Vinaya; ini bukanlah Ajaran Sang Guru.`"

"Tetapi, Gotami, bila engkau mengetahui hal-hal secara pasti: `Hal-hal ini menuju pada tanpa-nafsu, bukan pada nafsu; pada tanpa-kemelekatan, bukan pada kemelekatan; pada pelepasan, bukan pada pengumpulan; pada memiliki sedikit keinginan, bukan pada memiliki banyak keinginan; pada kepuasan, bukan pada ketidakpuasan; pada kesendirian, bukan pada berkumpul; pada kebangkitan semangat, bukan pada kelambanan; pada kesederhanaan, bukan pada kehidupan mewah` - tentang hal-hal ini engkau bisa merasa pasti: `Ini adalah Dhamma; ini adalah Vinaya; ini adalah Ajaran Sang Guru.`"


Begitu juga dalam SatthuSasana Sutta (Anguttara Nikaya VII. 80) , Sang Buddha menjelaskan kepada Y.A. Upali :

"Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: `Hal-hal ini tidak membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana` - dari ajaran-ajaran seperti itu engkau bisa merasa yakin: Ini bukan Dhamma; ini bukan Vinaya; ini bukan Ajaran Sang Guru.`"

"Tetapi Upali, jika engkau mengetahui tentang hal-hal tertentu: `Hal-hal ini membawa menuju perubahan sepenuhnya, hilangnya nafsu, penghentian dan kedamaian, menuju pengetahuan langsung, pencerahan spiritual dan Nibbana` - dari hal-hal semacam itu engkau bisa merasa yakin: Inilah Dhamma; inilah Vinaya; inilah Ajaran Sang Guru.`"


---------------------------------------------

bukankah inti ajaran buddha itu berhubungan langsung dengan 4 kesunyataan mulia?
coba lihat ketika sang buddha telah mencapai Anuttaro sammasambodhi(pencerahan sempurna)
apa yang diajarkan nya pertama kali?
tidak lain 4 kesunyataan mulia yang ujung-ujung nya merealisasikan nibbana

karena memang sang buddha sudah tahu....itulah yang terpenting

masalah vinaya maupun tatacara...sutta-sutta yang berbeda...memang ada perbedaan antara T dan M
sekali lagi theravada dan mahayana itu cuma merek RAKIT.....dan "rakit di pakai untuk menyeberang"

jadikanlah nibbana sebagai tujuan hidupmu. _/\_


Quote from: chingik on 02 December 2008, 12:02:15 PM
Quote
Katanya Arahat tanpa keinginan, sekarang malah mengatakan Arahat memiliki keinginan mengajar dhamma? Kalau dalam konteks bodhisatva, keinginan bodhisatva bukan atas dasar tanha, tapi "chanda, keinginan yg luhur". Silakan baca posting bro Gandalf.

Bro Marcedes mengatakan seorang arahat sejati akan memasuki kereta dengan tenang dan tanpa kerisauan atau kegelisahan. Dari apa yg saya baca, saya malah melihat bahwa jika tanpa kerisauan, Arahat seharusnya tidak perlu concern dgn kedatangan kereta. Tetapi seorang Bodhisatva juga bukan risau dgn pikiran "ini belum selesai"  "ini kasihan ingin di tolong" dsb-nya.
Ibarat seorang dokter yg memberi pertolongan pada pasien yg jumlahnya sangat banyak, ketika kereta datang menjemput, dokter tidak akan ikut kereta dan pergi selamanya, tetapi dokter tetap akan datang lagi selama ada pasien yg menunggu beliau. Ibarat ketika jam kerja sudah selesai, dokter tetap akan tutup pintu, tetapi bila ada pasien datang esoknya, pintu akan dibukakan lagi. Itulah bodhisatva sejati. Bahkan kereta tetap dianggap sebagai hal yg ilusif, karena mana ada lagi yg disebut mati total hingga tidak ada apa apa lagi.
kereta yang saya maksud itu adalah kematian.
itulah bedanya boddhisatva....karena masih memiliki "tanha" yang ingin menolong terus menerus tentu itu adalah penderitaan.....seorang boddhisatva jika menjadi seorang dewa yang sakti...tidaklah terlalu masalah karena kesaktiannya...tetapi semua itu tidaklah kekal.
dokter juga bisa mati ^^...dan ketika dokter yang pintar itu mati dan terlahir lagi...apa masih sama kepintaran dan ilmu kedokterannya?

bisa saja setelah jadi boddhisatva menjadi orang miskin yang payah ataupun buta....lalu apa masih bisa menolong?....mungkin menolong dirinya saja sudah sulit..apakah itu bukan penderitaan?
apakah itu kebahagiaan?.......

dan itulah kenyataan "keinginan merupakan suatu penderitaan"....
karena keinginan seperti itu akan menyebabkan proses penjelmaan...penjelmaan adalah berkondisi
dan berkondisi tidak lah kekal....tidak kekal merupakan penderitaan.
bisa lihat di proses patticasammupada.
-----------------------------------------------------------------------------

seperti nya sahabat chingik tidak mengerti apa yang saya maksudkan.............arahat tetap memiliki keinginan tetapi keinginan itu hanya sebatas keinginan......saya jelaskan panjang lebar....harap di cermati.
tapi mau di cermati atau tidak juga tidak apa-apa... ;D

arahat masih memiliki keinginan seperti makan,ingin kacamata, ingin tidur, ingin minum ,ingin mengajarkan dhamma,dsb-nya.

kita ambil satu contoh....."ingin kacamata"
seorang arahat ketika mata nya sudah kabur atau bisa saja Silindris (Cylinder)....
nah menyebabkan khandha pada bagian perasaan sangat menderita.....menderita ini tentu berasal dari pusing,rabun,dsb-nya....karena mata silindris itu bukan seperti rabun..

(saya sendiri dijelaskan oleh seorang penderita silindris entah parah atau tidak....tapi memang menyebabkan penglihatan terganggu bahkan sampai pusing jika tidak pakai kacamata)
apakah hal ini wajar atau tidak bagi seorang arahat?

tentu saja wajar......kita tahu memang khandha kita tidak lah kekal....mulai dari jasmani...dan ketika jasmani ini menimbulkan rasa sakit....tentu yah di kenal sebagai SAKIT oleh VENDANA / PERASAAN...dan di kenal juga oleh PIKIRAN dan PENCERAPAN serta KESADARAN.
bahwa ini SAKIT-tidak menyenangkan,dsb-nya.

beda seorang arahat dan orang awam adalah di sini letak nya.
saya bahas orang awam dulu

ketika orang awam menerima rasa sakit....dan berpikir "aku sakit"....menerima rasa sakit itu sebagai "diri-ku yang sakit".
orang awam menilai rasa sakit itu....dengan "ini sakit sekali, ini tidak terlalu sakit"
dan ketika orang awam ingin memiliki kacamata sebagai OBAT AMPUH....
jika kacamata itu tidak ada...tentu orang awam yang melekat,maka akan semakin menderita..

"kacamata ku---hilang,....dari kacamata yang hilang.....(berpandangan bahwa kacamata itu MILIK-NYA)
tentu lah penderitaannya bertambah.......
karena keinginannya memiliki kacamata saat itu tidak ada.....ditambah penderitaan itu adalah MILIK-NYA

-----------

sekarang kita bahas arahat.
ketika arahat sakit dan pusing........mulai dari jasmani sampai 4 khandha lainnya semua proses nya sama....
tetapi beda-nya arahat ketika dirinya sakit......tidak menilai lagi "ini sakit sekali, ini tidak terlalu sakit"
dan hanya mencatat dalam pikirannnya bahwa "ini sakit"
dan sakit bukanlah milik-nya......karena memang khandha ini selalu berubah-rubah...

perhatikan baik-baik yang ini.
ketika seorang arahat sakit...dan ingin memiliki kacamata..
dari pikirannya tahu bahwa ketika saya memakai kacamata, maka sakit ini akan sembuh.

apakah seorang arahat tidak mau memakai kacamata dengan alasan tidak ada keinginan?
dan membiarkan sakit itu terus berlanjut?
apakah arahat sebodoh itu?

jawabannya tidak.....perhatikan proses batin-nya
seorang yang bijaksana....tentu melihat peluang...jika bisa baik saat itu, mengapa di biarkan menderita?
vendana / perasaan yang begitu sakit....ketika ada peluang bisa berubah dari yang tidak menyenangkan menjadi menyenangkan.....tentu semua orang yang pintar bakalan merubahnya.

nah bagaimana kah jika tidak ada peluang / kacamata hilang?
ketika perasaan mencatat bahwa ini menderita......dan ketika kacamata yang di cari tidak di temukan
vendana atau perasaan......ini menderita.....batin seorang arahat mencatat bahwa ini penderitaan.

tetapi(saat ini menderita) dan "ingin" mengubahnya menjadi bahagia(karena ada kacamata) MERUPAKAN SUATU PENDERITAAN.
inilah disebut KEINGINAN SEBAGAI SUMBER PENDERITAAN.....karena kenyataan sudah tidak ditemukan kacamata itu.....dan "keinginan" mengubah vendana-nya...adalah penderitaan.

seorang pertapa seperti Ajahn Chah pernah mengatakan....bebek adalah bebek....ayam adalah ayam.
jika menginginkan ayam menjadi bebek dan bebek menjadi ayam...adalah suatu penderitaan.


makanya dalam meditasi vipassana...semua itu kita lihat sebagaimana adanya...tanpa ada keinginan mengubah
kita mencatat penderitaan adalah penderitaan, bahagia adalah bahagia...tapi semua itu sebagaimana adanya.
tanpa milik...tanpa AKU....

ketika kacamata seorang arahat tidak ditemukan..tentu dia berpandangan benar...bahwa memang KACAMATA itu bukan milik-AKU....jadi hilang tidak hilang...tidaklah masalah.
tetapi jika kacamata itu ada. APAKAH dengan BERKEINGINAN memakai kacamata adalah TANHA?

demikian jika vendana itu menderita.....apakah penderitaan itu adalah milik-nya?
tentu vendana yang menderita itu bukan milik...melainkan hanya di pandang sebagai bagian dari jasmani.
makanya....ketika ada kesempatan vendana itu baik...tentu di baik-kan saja..
tetapi ketika tidak ada kesempatan vendana itu untuk menyenangkan...yah di biarkan saja.
itulah tanpa kemelekatan

disinilah letak keinginan hanyalah keinginan....bukan "tanha" terus menerus berkeinginan.
semoga bisa di mengerti _/\_



Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 03 December 2008, 10:02:20 AM
[at] sdr. marcedes.
Ketika anda menggunakan konsep theravada "ngomong" ke para mahayanis, tdk akan nyambung.
Contoh : anda katakan bhw ajaran yg diajarkan pertama oleh Gotama adalah 4 kesunyataan mulia (dhammacakkapavatana sutta), menurut mahayana, yg pertama diajarkan oleh Gotama adalah Avatamsaka Sutra.

Kemudian anda mengatakan apa yg diajarkan oleh Gotama selama 45 tahun adalah Nibbana, menurut mahayana bukan sekedar nibbana (dalam hal ini savaka) tetapi annutarasamyaksambodhi.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Jerry on 04 December 2008, 12:14:22 PM
Be real & get real aja deh.
Kenyataannya zaman sekarang ini, hari ini, tidak ada para bodhisattava/buddha turun ke dunia menolong berkoti-koti (koti=1juta eh?) manusia, dewa, dan makhluk2 lain utk mencapai pencerahan seperti yg sering di tuliskan dlm sutta/sutra.
Kalau hari gini ada berita demikian, tolong beritahu saya, krn mao berangkat ke sana jg utk dicerahkan :P :)

Bagian2 tertentu adlh part of buddhism yg berkembang sejalan jaman dan dongeng rakyat.

mettacittena
_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 04 December 2008, 07:58:23 PM
walau demikian bukankah tujuan sama.....yakni nibbana....

tujuan sama.....ada jalanan pendek ada jalanan panjang....rute yang mana bagus? terserah dari anda semua....
silahkan pilih.

bukankah hidup adalah pilihan ^^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 04 December 2008, 08:57:06 PM
Mengenai perdebatan tentang Arahat dan Bodhisattva antara Theravada dan Mahayana (ditulis oleh sdr. Tan) telah dipost oleh sdr. Hikoza ke thread berikut:

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=6793.msg114103;topicseen#msg114103
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 04 December 2008, 09:44:34 PM
Quote from: sobat-dharma on 04 December 2008, 08:57:06 PM
Mengenai perdebatan tentang Arahat dan Bodhisattva antara Theravada dan Mahayana (ditulis oleh sdr. Tan) telah dipost oleh sdr. Hikoza ke thread berikut:

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=6793.msg114103;topicseen#msg114103

Sdr.Ivan Taniputra berusaha menyamakan perbedaan Theravada dan Mahayana berdasarkan penafsirannya sendiri, seolah olah Mahayana itu adalah pemurnian ajaran dari sebagian golongan (yang disebut dengan Theravada yang mengasingkan diri dan tidak melayani umat).

Lha apakah pada jaman sekarang para Bhikkhu Theravada tidak melayani umat ? Manakah yang duluan, umat minta dilayani bhikkhu, atau umat melayani bhikkhu (menyokong kehidupan bhikkhu) dan sebagai imbalannya umat mendapat pelayanan spiritual...

Atau ada penafsiran lagi bahwa pada jaman tersebut, perilaku bhikkhu golongan Theravada seperti yang dituduhkan (yaitu mengasingkan diri, mementingkan diri sendiri dan tidak melayani umat), dan pada sekarang ini mereka (para bhikkhu theravada) kemudian mereformasi diri (mungkin karena takut kehilangan umat) seperti sekarang ini yang kenyataannya para bhikkhu theravada juga tidak kurang giatnya melayani umat. ?

Note : Sdr.Tan (Ivan Taniputra) sekarang berkiblat ke ajaran ZHEN FO ZHONG (TRUE BUDDHA SCHOOL) pimpinan Master Lu Sheng Yen.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Hikoza83 on 05 December 2008, 12:07:47 AM
http://www.geocities.com/bbcid1/bukusyukur.htm

semoga kita semua memiliki rasa katannu, istilah Pali untuk kata: bersyukur (gratitude). :)
mari menggunakan Dharma sebagai cermin bagi diri kita sendiri.  ;)
_/\_


By : Zen
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 05 December 2008, 11:52:05 AM
Quote
baik mahayana maupun theravada.......apa sudah lupa yang merupakan ajaran buddha?
Poin awal pembahasan topik ini memang ke arah situ. Karena ditanggapi dengan masalah perbedaan penafsiran, maka melebar menjadi sedemikian rupa.
ya, memang sejak awal Mahayana sudah menganggap T sama M sama2 merupakan ajaran Buddha. Yang menolak utk mengakuinya emangnya siapa?  ^-^
:>-
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 05 December 2008, 07:16:44 PM
Quote from: chingik on 05 December 2008, 11:52:05 AM
Quote
baik mahayana maupun theravada.......apa sudah lupa yang merupakan ajaran buddha?
Poin awal pembahasan topik ini memang ke arah situ. Karena ditanggapi dengan masalah perbedaan penafsiran, maka melebar menjadi sedemikian rupa.
ya, memang sejak awal Mahayana sudah menganggap T sama M sama2 merupakan ajaran Buddha. Yang menolak utk mengakuinya emangnya siapa?  ^-^
:>-

Menurut Theravada, arahat savaka adalah sudah final, setelah parinibbana, itulah kelahiran terakhir.

Menurut Mahayana, arahat sravaka setara bodhisatva tkt 7, dan bisa menempuh jalur bodhisatva lanjutan untuk mencapai annutara samyaksambodhi.

Apakah kedua hal ini sama?
Kalau menurut saya, dua pandangan ini berbeda.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 05 December 2008, 07:25:36 PM
Sambil berdiskusi soal ini, bagaimana singgah sebentar membaca kisah ini:

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=6821.0
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 05 December 2008, 08:18:21 PM
Quote from: sobat-dharma on 05 December 2008, 07:25:36 PM
Sambil berdiskusi soal ini, bagaimana singgah sebentar membaca kisah ini:

http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=6821.0

Berkenaan dgn kisah api, ada yg mau disampaikan oleh sdr.sobat dharma sehubungan dgn topik bhaviveka vs hinayana?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 05 December 2008, 08:24:25 PM
Pesan klasik: Jadilah "negeri bangsa yang
kelima" dalam cerita, yaitu tempat "di sana pembuatan api dilakukan sehari-hari, dan orang-orang
juga sibuk melakukan hal-hal lain."

Apa gunanya ilmu membuat api, jika orang-orang tidak menggunakannya untuk membuat api dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya?

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 05 December 2008, 09:01:03 PM
Quote from: dilbert on 05 December 2008, 07:16:44 PM
Quote from: chingik on 05 December 2008, 11:52:05 AM
Quote
baik mahayana maupun theravada.......apa sudah lupa yang merupakan ajaran buddha?
Poin awal pembahasan topik ini memang ke arah situ. Karena ditanggapi dengan masalah perbedaan penafsiran, maka melebar menjadi sedemikian rupa.
ya, memang sejak awal Mahayana sudah menganggap T sama M sama2 merupakan ajaran Buddha. Yang menolak utk mengakuinya emangnya siapa?  ^-^
:>-

Menurut Theravada, arahat savaka adalah sudah final, setelah parinibbana, itulah kelahiran terakhir.

Menurut Mahayana, arahat sravaka setara bodhisatva tkt 7, dan bisa menempuh jalur bodhisatva lanjutan untuk mencapai annutara samyaksambodhi.

Apakah kedua hal ini sama?
Kalau menurut saya, dua pandangan ini berbeda.

Dalam persamaan ada perbedaan, dalam perbedaan ada persamaan.
Mosok belajar filosofi Zen aja ga bisa menembus pemahaman seperti ini? Bgm bisa merasakan satori? ^-^
:P _/\_


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 05 December 2008, 10:38:27 PM
Quote from: chingik on 05 December 2008, 09:01:03 PM
Quote from: dilbert on 05 December 2008, 07:16:44 PM
Quote from: chingik on 05 December 2008, 11:52:05 AM
Quote
baik mahayana maupun theravada.......apa sudah lupa yang merupakan ajaran buddha?
Poin awal pembahasan topik ini memang ke arah situ. Karena ditanggapi dengan masalah perbedaan penafsiran, maka melebar menjadi sedemikian rupa.
ya, memang sejak awal Mahayana sudah menganggap T sama M sama2 merupakan ajaran Buddha. Yang menolak utk mengakuinya emangnya siapa?  ^-^
:>-

Menurut Theravada, arahat savaka adalah sudah final, setelah parinibbana, itulah kelahiran terakhir.

Menurut Mahayana, arahat sravaka setara bodhisatva tkt 7, dan bisa menempuh jalur bodhisatva lanjutan untuk mencapai annutara samyaksambodhi.

Apakah kedua hal ini sama?
Kalau menurut saya, dua pandangan ini berbeda.

Dalam persamaan ada perbedaan, dalam perbedaan ada persamaan.
Mosok belajar filosofi Zen aja ga bisa menembus pemahaman seperti ini? Bgm bisa merasakan satori? ^-^
:P _/\_




Bebek tetap bebek, ayam tetap ayam...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 05 December 2008, 10:40:00 PM
Quote from: sobat-dharma on 05 December 2008, 08:24:25 PM
Pesan klasik: Jadilah "negeri bangsa yang
kelima" dalam cerita, yaitu tempat "di sana pembuatan api dilakukan sehari-hari, dan orang-orang
juga sibuk melakukan hal-hal lain."

Apa gunanya ilmu membuat api, jika orang-orang tidak menggunakannya untuk membuat api dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya?



Justru dipergunakan, dipelajari, dipahami barulah sampai pada kesimpulan... BERBEDA...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Jerry on 06 December 2008, 12:12:48 AM
Maka biarkan perbedaan tetap ada, tanpa melupakan persamaan. Semoga segala sesuatu demikian adanya.


mettacittena
_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 06 December 2008, 12:34:30 PM
Quote from: GandalfTheElder on 30 November 2008, 10:54:12 AM
Quote from: truth lover on 29 November 2008, 11:06:02 AM
Menurut saya kekotoran batin mahluk-mahluk di jaman Sang Buddha lebih sedikit dibandingkan dengan kekotoran batin mahluk-mahluk di jaman sekarang. Bila di Jaman Sang Buddha saja ajaran Mahayana tidak cocok, apakah lebih cocok di jaman sekarang dimana kekotoran batin para mahluk lebih tebal?

Justru itu, semakin banyak kekotoran batin, maka Dharma Mahayana akan lebih cocok ketimbang Dharma Hinayana. Karena Dharma Mahayana itu sangat fleksibel.

Faktanya adalah di India, Dharma Mahayana-lah yang berkembang. Hinayana malah terdesak, nggak berkembang.

Di Tiongkok, juga, Hinayana nggak berkembang.

Bahkan Theravada-nya Mahaviharavasin (Hinayana) malah sempet kelabakan sama Theravada-nya Abhayagiri (Mahayana)...  ^-^  ^-^

QuoteApakah menurut mas Gandalf orang yang mencapai Nirvana sesudah meninggal ada dalam kondisi samadhi? bila demikian berarti belum terlepas dari kondisi kan?, sedangkan mas Gandalf sendiri bilang Arahat mendapatkan pembebasan diri. Jadi keterangan mas Gandalf kontradiktif nih.

Kondisi yang mana dulu? Kalau kondisi jneyavarana, tentu Arahat belum terbebas. Kalau kondisi kleshavarana, maka Arahat sudah terbebas.

Nah Arahat masih memiliki kemelekatan akan kondisi "terlepas dari kondisi". 

Quote"Pasti mau" berasal dari jawaban mas Gandalf kan? jadi saya anggap belum dijawab boleh nggak? karena kalau jawaban pribadi bisa "bias". Kalau jawaban pribadi kan bisa tanya juga kalau pasti tidak mau? bagaimana nasibnya?

Ya silahkan baca Saddharmapundarika Sutra.

QuoteNah ini juga yang juga kontradiktif dari pernyataan mas Gandalf, bukankah dikatakan Arahat mendapatkan jalan pembebasan diri sendiri dari kondisi? terlepas dari kemelekatan? mengapa disini dikatakan Arahat kecanduan samadhi?
bila Arahat kecanduan Samadhi, maka Bodhisattva juga bisa dikatakan kecanduan Bodhicitta kan? demikian juga Sang buddha bisa dikatakan kecanduan Samyaksambodhi kan? lantas apa yang dimaksud dengan kebebasan diri, kebebasan dari kemelekatan dan kebebasan dari kondisi?

Mohon mas Gandalf jelaskan mengenai Nirvana satu-sisi, konsep apalagi tuh? saya belum pernah dengar.

terima kasih

Nirvana satu sisi adalah pandangan yang melekat pada Nirvana alias kemelekatan pada Nirvana. Maka dari itu Nirvana satu sisi seringkali dikatakan sebagai bukan Nirvana yang sesungguh-sungguhnya.

Samyaksambodhi adalah "Nirvana Tanpa Kemelekatan", di mana tidak ada dualisme lagi antara Samsara dan Nirvana. Bodhicitta adalah batin yang mengarahkan pada Samyaksambodhi.

_/\_
The Siddha Wanderer

Wah mas Gandalf memang hebat terima kasih penjelasannya, ternyata Arahat belum mencapai Nirvana yang sesungguhnya ya? lantas yang dibilang benar benar mencapai Nirvana yang sesungguhnya (Nirvana tanpa kemelekatan, yang tanpa dualisme samsara dan Nirvana) apakah Bodhisattva yang mencapainya atau hanya seorang Samyaksambuddha yang telah mencapai Nirvana yang sesungguhnya?

Quote
Quote"Pasti mau" berasal dari jawaban mas Gandalf kan? jadi saya anggap belum dijawab boleh nggak? karena kalau jawaban pribadi bisa "bias". Kalau jawaban pribadi kan bisa tanya juga kalau pasti tidak mau? bagaimana nasibnya?

Ya silahkan baca Saddharmapundarika Sutra.

Oh ya mengenai Saddharma Pundarika Sutra setelah saya baca, ternyata tidak dibilang bahwa seorang Arahat pasti mau menjadi Bodhisattva, mas Gandalf kelihatannya agak menutupi bahwa yang ditulis di Saddharma Pundarika sutra yaitu, Sang Buddha "membohongi" para siswa supaya mencari jalan Arahat, dengan membohongi para Arahat bahwa inilah "tujuan", padahal tujuan belum sampai, yaitu Arahat masih harus menjadi Bodhisattva lagi. Tidak dikatakan ada Arahat pasti mau menjadi Bodhisattva.

Mas Gandalf tolong dong terangkan mengenai jneyavarana itu apa?

QuoteNah Arahat masih memiliki kemelekatan akan kondisi "terlepas dari kondisi".

Nah ini dia mas Gandalf, keterangan mas gandalf ini berarti sama juga dengan Samyaksambuddha juga masih ada kemelekatan terhadap Samyaksamboddhi kan? atau kemelekatan terhadap kebebasan melalui pencapaian Samyaksambodhi kan?  atau bisa juga dikatakan "kemelekatan terhadap kebebasan dari hal-hal yang diluar Samyaksambodhi.." berarti Samyaksambodhi masih memiliki kemelekatan kan?

mohon penjelasan lebih lanjut nih mas Gandalf

terima kasih     _/\_

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 06 December 2008, 12:45:50 PM
Quote from: chingik on 01 December 2008, 09:47:30 AM
Quote
Justru arahat hinayana yg telah mencapai kondisi egaliter non dualisme yg katanya tiada nirvana dan samsara. Jika tiada samsara, apa yg mau diselamatkan oleh arahat? Justru bodhisatva ala mahayana yg masih berkutat pada penyelamatan makhluk hidup, krn masih membedakan nirvana dan samsara.
Jika Arahat hinayana benar-benar mencapai kondisi non dualisme, justru seharusnya dapat secara leluasa tetap memberi bimbingan kepada para makhluk samsara. Tetapi Arahat hinayana justru memilih mencapai parinibbana, sama seperti orang yg mendapatkan harta kekayaan lalu tidak mempedulikan kaum miskin papa. Bagaimana bisa disebut egaliter?
Dalam pandangan Mahayana, walaupun dikatakan tidak ada perbedaan samsara-nirvana dan tidak ada konsep penyelamatan, tidak berarti samsara itu tidak ada, makhluk itu tidak ada. JIka anggapan tidak ada samsara dan makhluk dan tidak ada perlu penyelamatan, maka apa bedanya dengan pandangan kaum Nihilis yg setelah mati segalanya sirna.
Yang benar-benar disebut egaliter non-dualisme adalah saat makan tidak melekat pada konsep makan, saat mewejangkan dhamma tidak melekat pada konsep mewjangkan dhamma, sehingga saat melakukan tugas penyelamatan, tidak melekat pada konsep penyelamatan. Saat berdiam dalam kondisi nirvana, tidak melekat pada kondisi itu, sehingga secara leluasa membimbing para makhluk samsara.

Mas Chingik, menurut yang saya baca, banyak sekali Arahat yang telah menyelamatkan mahluk lain untuk juga mencapai Nirvana dengan mencapai tingkat kesucian Arahat seperti mereka, yaitu dengan mengajarkan meditasi Vipassana.

Mengenai Arahat mencapai Parinirvana, saya rasa konsisten dengan ajaran anitya, yaitu kehidupan tidak kekal, manusia yang terlahir pasti akan mati seperti juga Sang Buddha. Jika dikatakan Arahat egois karena Parinirvana, maka secara tidak langsung mas Chingik juga menuduh Sang Buddha egois karena Beliau juga Parinirvana, kenapa Sang Buddha Parinirvana? mengapa tidak terus menyelamatkan mahluk hidup?

mohon penjelasannya mas Chingik,

terima kasih   _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 06 December 2008, 01:02:43 PM
Quote from: chingik on 02 December 2008, 12:02:15 PM
Quote from: dilbert on 02 December 2008, 09:15:42 AM
Quote from: marcedes on 02 December 2008, 09:04:37 AM
Quote from: chingik on 01 December 2008, 09:47:30 AM
Quote




semoga di mengerti _/\_


Inilah ARAHAT sejati...

_/\_

Katanya Arahat tanpa keinginan, sekarang malah mengatakan Arahat memiliki keinginan mengajar dhamma? Kalau dalam konteks bodhisatva, keinginan bodhisatva bukan atas dasar tanha, tapi "chanda, keinginan yg luhur". Silakan baca posting bro Gandalf.

Bro Marcedes mengatakan seorang arahat sejati akan memasuki kereta dengan tenang dan tanpa kerisauan atau kegelisahan. Dari apa yg saya baca, saya malah melihat bahwa jika tanpa kerisauan, Arahat seharusnya tidak perlu concern dgn kedatangan kereta. Tetapi seorang Bodhisatva juga bukan risau dgn pikiran "ini belum selesai"  "ini kasihan ingin di tolong" dsb-nya.
Ibarat seorang dokter yg memberi pertolongan pada pasien yg jumlahnya sangat banyak, ketika kereta datang menjemput, dokter tidak akan ikut kereta dan pergi selamanya, tetapi dokter tetap akan datang lagi selama ada pasien yg menunggu beliau. Ibarat ketika jam kerja sudah selesai, dokter tetap akan tutup pintu, tetapi bila ada pasien datang esoknya, pintu akan dibukakan lagi. Itulah bodhisatva sejati. Bahkan kereta tetap dianggap sebagai hal yg ilusif, karena mana ada lagi yg disebut mati total hingga tidak ada apa apa lagi.

Mas Chingik, saya ingin memberi komentar sedikit, mengenai Arahat yang mengajar, kalau tidak salah motifnya Arahat mengajar adalah untuk menyelamatkan mahluk lain, karena kasihan sebab banyak mahluk yang masih memiliki kekotoran batin yang tebal. Agar banyak mahluk lain juga mencapai Nirvana seperti para Arahat. Dan ini tidak Beda dengan Sang Buddha yang berusaha mengajarkan mahluk lain jalan untuk mencapai Nirvana.

Ini pendapat saya berdasarkan apa yang saya baca, bagaimana pendapat mas Chingik?

mohon penjelasannya, terima kasih     _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 06 December 2008, 01:05:42 PM
Quote from: dilbert on 05 December 2008, 10:40:00 PM
Quote from: sobat-dharma on 05 December 2008, 08:24:25 PM
Pesan klasik: Jadilah "negeri bangsa yang
kelima" dalam cerita, yaitu tempat "di sana pembuatan api dilakukan sehari-hari, dan orang-orang
juga sibuk melakukan hal-hal lain."

Apa gunanya ilmu membuat api, jika orang-orang tidak menggunakannya untuk membuat api dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya?



Justru dipergunakan, dipelajari, dipahami barulah sampai pada kesimpulan... BERBEDA...

Alangkah baiknya jika kesimpulan itu muncul, jika Anda telah mencapai taraf seorang arhat dan/atau bodhisattva :) Bukan di saat sekarang, di mana saya dan Anda masih perlu banyak mempraktikkan "cara membuat api yang benar."
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 06 December 2008, 03:11:02 PM
Quote from: sobat-dharma on 06 December 2008, 01:05:42 PM
Quote from: dilbert on 05 December 2008, 10:40:00 PM
Quote from: sobat-dharma on 05 December 2008, 08:24:25 PM
Pesan klasik: Jadilah "negeri bangsa yang
kelima" dalam cerita, yaitu tempat "di sana pembuatan api dilakukan sehari-hari, dan orang-orang
juga sibuk melakukan hal-hal lain."

Apa gunanya ilmu membuat api, jika orang-orang tidak menggunakannya untuk membuat api dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya?



Justru dipergunakan, dipelajari, dipahami barulah sampai pada kesimpulan... BERBEDA...

Alangkah baiknya jika kesimpulan itu muncul, jika Anda telah mencapai taraf seorang arhat dan/atau bodhisattva :) Bukan di saat sekarang, di mana saya dan Anda masih perlu banyak mempraktikkan "cara membuat api yang benar."

Nah ini lagi salah satu pernyataan RETORIKA (yang tidak bisa diketahui jawabannya) yang mengharuskan seseorang untuk mencapai tingkat ARAHAT/BODHISATVA atau membersihkan KILESA dsbnya untuk kemudian bisa "berdiskusi" tentang dharma.

BUDDHA GOTAMA dalam semua pembabaran dharma baik kepada para pencari kebenaran maupun kepada penganut dan pengajar ajaran lain, tidak pernah menggunakan KATA-KATA "OFENSIF" seperti ini. Semua penjelasan BUDDHA GOTAMA adalah berdasarkan kebenaran yang LOGIS. Seperti juga jawaban dari NAGASENA kepada RAJA MILINDA, alih alih menggunakan kata-kata RETORIKA yang METAFISIS ataupun yang TIDAK BERLOGIS, semua JAWABAN NAGASENA adalah berdasarkan LOGIKA yang tidak dapat dibantah bahkan dengan intelektual dan kebijaksanaan seorang puthujana.

Jika ketika semua jawaban berakhir pada keharusan untuk mencapai suatu tingkat kesucian tertentu, lantas siapa yang bisa memberikan jawaban tersebut ?

Coba tinggalkan dulu pola pikir keharusan untuk mengunakan kebijaksanaan seorang ARAHAT dsbnya... Pernyataan saya bahwa ARAHAT dalam HINAYANA (THERAVADA) adalah FINAL, tidak ada kelahiran lagi. APAKAH SAMA DENGAN   pernyataan bahwa ARAHAT dalam MAHAYANA belum berakhir, hanya setara dengan bodhisatva tkt ke-7, masih ada jalur tambahan bagi ARAHAT yang ingin mencapai annutara sammasambuddha.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 06 December 2008, 05:37:19 PM
Quote"Maka dari itu Sang Tathagata tidak mendirikan Mahayana; Mahayana dibuat oleh mereka yang bersifat iblis dengan tujuan untuk menipu mereka yang bodoh dan berpikiran buruk.", demikian klaim para Hinayana.

dear gandalf
yang menyatakan mahayana adalah pembodohan siapa? "demikian klaim para hinayana"
sampai kapan mau terjebak dalam lingkaran ini....
adalah suatu pembodohan.


QuotePoin awal pembahasan topik ini memang ke arah situ. Karena ditanggapi dengan masalah perbedaan penafsiran, maka melebar menjadi sedemikian rupa.
ya, memang sejak awal Mahayana sudah menganggap T sama M sama2 merupakan ajaran Buddha. Yang menolak utk mengakuinya emangnya siapa? 

dear cinghik
ada beberapa bikhu yang belum mencapai tingkat kesucian sering menyatakan kalau yang ia belajar adalah original........bisa dibilang rakit punya dia adalah ASLI...

sy sendiri sudah sering ketemu dengan bikhu theravada yang berkelakuan demikian....
adapun yang sok pintar tapi salah.....itulah manusia yang belum mencapai tingkat kesucian....macam-macam bentuk juga ada. ^^
sy sendiri belum mencapai apa-apa....masih dalam belajar....

tapi kita umat buddhis berlindung pada ariya sangha.....
mari kita lihat guru Ajahn Chah......apakah pernah dia menyatakan ini ASLI...itu PALSU?
yang beliau ajarkan selalu menuju pada kebijaksanaan yaitu "cobalah sendiri"

jadi perlu kita ketahui sama-sama....yang berdebat seperti itu ini asli itu palsu adalah orang bodoh.
garis menuju nibbana sendiri sudah ditetapkan oleh guru kita sang buddha gotama.
4 kesunyataan mulia dan JB 8
jika kita melihat JB 8.....semua yang dibabarkan adalah "Kondisi" bukan syarat utama harus "ini"

mari kita lihat salah satu unsur JB 8 "samma-samadhi" dan "samma-sati"
dan coba bandingkan dengan aliran meditasi yang ada saat ini..

sy pernah bertemu dengan bikhu yang ngotot dengan jalan bahwa harus samantha-bhavana dulu baru belajar vipassana-bhavana......(mirip metode Pa-AUK-sayadaw)
hasilnya dia menolak metode mahassi sayadaw.....
lalu yang mana yang benar?....
cobalah teliti batin kita sendiri
ketika kita merasa lebih cepat berkembang dengan metode mahassi..yah digunakan saja...
ketika kita merasa lebih cepat berkembang dengan metode pa-auk...yah di gunakan saja....

manusia ada yang cocok dengan ini....cepat berkembang dengan cara "ini"
ada pula yang cocok dengan "itu" dan cepat berkembang dengan cara "itu"
lalu apakah mau dipaksakan manusia itu semua sama?.....
sama saja menambah penderitaan....perdebatan tiada akhir.

semua itu hanya "cara".....hanya "cara"......apalah arti dari "cara"
yang kita inginkan adalah "hasil"......apakah nibbana itu?
jika kita merasa menggunakan "cara" ini/itu lebih mengantarkan pada kebijaksanaan maupun pelepasan..
pakai saja cara yang disukai itu...

theravada dan mahayana memang memiliki konsep yang berbeda....lalu yang manakah terbaik?
dalam kalama-sutta.
sang buddha bersabda....
ini tidak berguna, hal ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan,' maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut."

dan

Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui, 'Hal ini berguna; hal ini tidak tercela; hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana; hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan kebahagiaan,' maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut."

jika mahayana lebih cepat mengatarkan pada kebijaksanaan yah....jalankan saja
jika theravada lebih cepat mengatarkan pada kebijaksanaan yah....ikuti saja.
lalu masalah nya apa?
karakter setiap orang berbeda-beda...itulah kenyataan

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 06 December 2008, 06:09:37 PM
Quote from: truth lover on 06 December 2008, 12:45:50 PM
Quote from: chingik on 01 December 2008, 09:47:30 AM
Quote
Justru arahat hinayana yg telah mencapai kondisi egaliter non dualisme yg katanya tiada nirvana dan samsara. Jika tiada samsara, apa yg mau diselamatkan oleh arahat? Justru bodhisatva ala mahayana yg masih berkutat pada penyelamatan makhluk hidup, krn masih membedakan nirvana dan samsara.
Jika Arahat hinayana benar-benar mencapai kondisi non dualisme, justru seharusnya dapat secara leluasa tetap memberi bimbingan kepada para makhluk samsara. Tetapi Arahat hinayana justru memilih mencapai parinibbana, sama seperti orang yg mendapatkan harta kekayaan lalu tidak mempedulikan kaum miskin papa. Bagaimana bisa disebut egaliter?
Dalam pandangan Mahayana, walaupun dikatakan tidak ada perbedaan samsara-nirvana dan tidak ada konsep penyelamatan, tidak berarti samsara itu tidak ada, makhluk itu tidak ada. JIka anggapan tidak ada samsara dan makhluk dan tidak ada perlu penyelamatan, maka apa bedanya dengan pandangan kaum Nihilis yg setelah mati segalanya sirna.
Yang benar-benar disebut egaliter non-dualisme adalah saat makan tidak melekat pada konsep makan, saat mewejangkan dhamma tidak melekat pada konsep mewjangkan dhamma, sehingga saat melakukan tugas penyelamatan, tidak melekat pada konsep penyelamatan. Saat berdiam dalam kondisi nirvana, tidak melekat pada kondisi itu, sehingga secara leluasa membimbing para makhluk samsara.

Mas Chingik, menurut yang saya baca, banyak sekali Arahat yang telah menyelamatkan mahluk lain untuk juga mencapai Nirvana dengan mencapai tingkat kesucian Arahat seperti mereka, yaitu dengan mengajarkan meditasi Vipassana.

Mengenai Arahat mencapai Parinirvana, saya rasa konsisten dengan ajaran anitya, yaitu kehidupan tidak kekal, manusia yang terlahir pasti akan mati seperti juga Sang Buddha. Jika dikatakan Arahat egois karena Parinirvana, maka secara tidak langsung mas Chingik juga menuduh Sang Buddha egois karena Beliau juga Parinirvana, kenapa Sang Buddha Parinirvana? mengapa tidak terus menyelamatkan mahluk hidup?

mohon penjelasannya mas Chingik,

terima kasih   _/\_

Pertanyaan anda tepat sasaran.  
Pertanyaan seperti ini sama seperti yang diajukan oleh Bodhisatva Kasyapa (ini bukan MahaKassapa) kepada  Buddha dalam Mahaparinirvana Sutra. Buddha mengatakan Seorang Buddha tidaklah benar-benar Parinibbana-> oleh karena itu aktivitasnya sebagai guru penunjuk jalan tidak pernah berkesudahan. Buddha telah berkali-kali "menampakkan diri" terlahir di salah satu alam tertentu di semesta ini, mencapai pencerahan sempurna dan Parinibbana, namun sesungguhnya Buddha tidak benar-benar Parinibbana. Aktivitas seperti ini akan terus berlangsung jika ada kondisi yg tepat di masa tertentu, di alam tertentu. Inilah yg selaras dengan ikrar awal sejak di hadapan Buddha Dipankara. Tidaklah mungkin Buddha yg telah berlatih selama 4 asankheya kalpa, hanya cukup mengajar disekeliling India selama 45 th lalu lenyap begitu saja bahkan meninggalkan kitab suci yg hanya bertahan beberapa ratus tahun lalu terpecah belah seperti halnya perpecahan siswa2 Nigantha. Bgm bisa selaras dgn anggapan bahwa Pencapaian Buddha sebagai pencapaian teragung di semesta ini?

Dalam Mahaparinivana Sutra, Bodhisatva Kasyapa menolak pernyataan Buddha dan mengatakan bahwa ucapan Buddha bertolak belakang dengan ajaran hukum ketidakkekalan. Bodhisatva Kasyapa bahkan mempertanyakan bahwa jika demikian, mengapa Buddha harus memilih Parinirvana juga. 
Buddha lalu memberi penjelasan bahwa semua ini adalah cara-cara bijak Buddha dalam mengajar. Tidaklah mudah memamami sifat "kekekalan" sejati Buddha, namun bagaimanapun Silahkan menyelidiki sendiri.

Ajahn Mun saja mengalami satu komunikasi yg diyakini adalah nimitta Buddha (sama seperti Sambhogakaya Buddha). Saya tidak mengatakan kita harus percaya dgn Beliau, tetapi penyelidikan secara objektif anda tentu sangat dihargai. Dan saya menyarankan anda utk tidak menerima tapi juga jgn dulu menolak secara mentah2. Silakan meneliti melalui disiplin Sila, Samadhi dan Panna. Master Zen kontemper yg sangat disegani yakni Master XuYUn pun mengaku telah bertemu dnegan Bodhisatva Maitreya dan Y.A Ananda. Yaah..kita boleh tidak percaya dgn mereka, tetapi kita tentu lebih tidak boleh percaya dgn pemahaman awam kita. Akhir kata silakan menelitinya dgn penuh hati-hati.  Membuktikan kebenaran tidak semata-mata melalui kajian logika verbal konvensional.
_/\_
 
 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 06 December 2008, 06:18:05 PM
Quote
jika mahayana lebih cepat mengatarkan pada kebijaksanaan yah....jalankan saja
jika theravada lebih cepat mengatarkan pada kebijaksanaan yah....ikuti saja.
lalu masalah nya apa?
karakter setiap orang berbeda-beda...itulah kenyataan
Nah, saya setuju dgn pernyataan ini. Minimal mencerminkan keterbukaan pikiran dan tidak melulu terpaku pada pola radikalis.
Kondisi ajaran masa kini memang sdh jauh lebih rumit karena terkontaminasi dgn ajran2 palsu.
Tetapi Buddhisme telah membuat kesepakatan bahwa mainstream dari sasana masih dipegang teguh. yakni Triratna, 8 jalan kebenaran, 4 kebenaran mulia, Buddha Sakyamuni sbg guru utama. Semua ini tetap dipegang teguh oleh mainstream Maha, Thera dan Tantra.

Sisanya silakan berpolemiklah kalo masih merasa ga puas. hehe...


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 06 December 2008, 06:36:23 PM
Quote
Bebek tetap bebek, ayam tetap ayam...
Ops...betul juga ya, makanya
Buddha tetap Buddha, Arahat tetap Arahat... :))
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 06 December 2008, 07:18:16 PM
Quote from: dilbert on 06 December 2008, 03:11:02 PM
BUDDHA GOTAMA dalam semua pembabaran dharma baik kepada para pencari kebenaran maupun kepada penganut dan pengajar ajaran lain, tidak pernah menggunakan KATA-KATA "OFENSIF" seperti ini. Semua penjelasan BUDDHA GOTAMA adalah berdasarkan kebenaran yang LOGIS. Seperti juga jawaban dari NAGASENA kepada RAJA MILINDA, alih alih menggunakan kata-kata RETORIKA yang METAFISIS ataupun yang TIDAK BERLOGIS, semua JAWABAN NAGASENA adalah berdasarkan LOGIKA yang tidak dapat dibantah bahkan dengan intelektual dan kebijaksanaan seorang puthujana.

Jika ketika semua jawaban berakhir pada keharusan untuk mencapai suatu tingkat kesucian tertentu, lantas siapa yang bisa memberikan jawaban tersebut ?


Anda bukan Nagasena. Begitu juga saya. Nagasena berbicara berdasarkan pencapaian yang diperolehnya melalui praktik. Lalu pencapaian kita apa jika berbicara sepotong-sepotong berdasarkan pengetahuan yang kita baca? Jika demikian, setiap orang yang bisa membaca dapat menjawab hal ini kalau menemukan sumber yang sesuai? Jika demikian bukankah kita hanya mendebatkan kata-kata kosong?

Kalau Anda mengira dapat mendiskusikan Buddha Dharma layaknya diskusi ilmiah, Anda terjebak dalam ujung yang tak ada akhirnya. Silahkan menempuh jalan ini, jika Anda menginginkannya Mungkin dengan cara ini Anda menjadi lebih bahagia dan puas.Saya mengharapkan demikian :)

Sebenarnya jawabannya sudah jelas: jika pertanyaannya BEDA atau SAMA? Namun tujuan pertanyaan sdr. Dilbert jauh lebih dari itu. Lebih tepatnya permasalahan yang diajukan secara samar-samar adalah: MANA YANG LEBIH BENAR atau MANA YANG LEBIH OTENTIK
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 06 December 2008, 10:08:00 PM
Quote from: sobat-dharma on 06 December 2008, 07:18:16 PM
Quote from: dilbert on 06 December 2008, 03:11:02 PM
BUDDHA GOTAMA dalam semua pembabaran dharma baik kepada para pencari kebenaran maupun kepada penganut dan pengajar ajaran lain, tidak pernah menggunakan KATA-KATA "OFENSIF" seperti ini. Semua penjelasan BUDDHA GOTAMA adalah berdasarkan kebenaran yang LOGIS. Seperti juga jawaban dari NAGASENA kepada RAJA MILINDA, alih alih menggunakan kata-kata RETORIKA yang METAFISIS ataupun yang TIDAK BERLOGIS, semua JAWABAN NAGASENA adalah berdasarkan LOGIKA yang tidak dapat dibantah bahkan dengan intelektual dan kebijaksanaan seorang puthujana.

Jika ketika semua jawaban berakhir pada keharusan untuk mencapai suatu tingkat kesucian tertentu, lantas siapa yang bisa memberikan jawaban tersebut ?


Anda bukan Nagasena. Begitu juga saya. Nagasena berbicara berdasarkan pencapaian yang diperolehnya melalui praktik. Lalu pencapaian kita apa jika berbicara sepotong-sepotong berdasarkan pengetahuan yang kita baca? Jika demikian, setiap orang yang bisa membaca dapat menjawab hal ini kalau menemukan sumber yang sesuai? Jika demikian bukankah kita hanya mendebatkan kata-kata kosong?

Kalau Anda mengira dapat mendiskusikan Buddha Dharma layaknya diskusi ilmiah, Anda terjebak dalam ujung yang tak ada akhirnya. Silahkan menempuh jalan ini, jika Anda menginginkannya Mungkin dengan cara ini Anda menjadi lebih bahagia dan puas.Saya mengharapkan demikian :)

Sebenarnya jawabannya sudah jelas: jika pertanyaannya BEDA atau SAMA? Namun tujuan pertanyaan sdr. Dilbert jauh lebih dari itu. Lebih tepatnya permasalahan yang diajukan secara samar-samar adalah: MANA YANG LEBIH BENAR atau MANA YANG LEBIH OTENTIK


pernyataan di atas adalah tafsiran anda tentang pemikiran saya... bahwa saya mengajukan kesimpulan tentang MANA YANG LEBIH BENAR dan MANA YANG LEBIH OTENTIK. Kalau sdr.Sobat dharma melihat kepada posting saya selama ini yang berkaitan dengan ajaran Theravada dan Mahayana, tidak sedikitpun saya menghakimi bahwa Theravada pasti BENAR dan Mahayana pasti SALAH atau sebaliknya. Karena saya melihat memang konsep Theravada dan Mahayana itu berbeda, makanya tidak bisa diperbandingkan antara katakanlah APEL dan JERUK.

Yang saya katakan adalah bahwa di dalam konsep Mahayana sendiri (didalam sutra sutra Mahayana) terdapat inkonsistensi konsep, seperti misalnya apa yang dibabarkan didalam Sutra Hati, Sutra Intan dibandingkan dengan Saddharmapundarika dan Mahaparinirvana. Kemudian kan muncul pernyataan-pernyataan RETORIKA tentang bahwa AJARAN itu (Theravada dan Mahayana) sama dan bla bla bla... Makanya saya kemukakan pernyataan terakhir tentang apa yang dikatakan di dalam Theravada (tentang Arahat/SAvaka yang parinibbana dan FINAL itu kelahiran terakhir, akhirnya tercapai pembebasan) dibandingkan dengan Mahayana (tentang Arahat/Savaka yang masih bisa LANJUT ke tingkat bodhisatva yang lebih tinggi).

Kemudian berdasarkan apa yang sdr.sobat katakan tentang praktek, apa yang dikemukakan oleh saya misalnya kutipan kutipan Milindan Panha adalah berdasarkan apa yang diucapkan oleh NAGASENA, bukan buah karya saya sendiri, karena memang itu hasil karya dari pemikiran NAGASENA, lantas mengapa harus selalu membenturkan dan menanyakan sesuatu yang tidak dapat dijadikan pegangan (misalnya selalu menanyakan tentang praktek dsbnya yang tidak bisa diukur oleh pribadi kita sendiri apalagi oleh orang lain).

Pendapat anda yang menyatakan bahwa Buddha Dharma tidak dapat didiskusikan layaknya diskusi ilmiah membuat BUDDHA DHARMA seolah olah harus di"masuki" dari pintu Ke-IMAN-an dan Ke-PERCAYA-an... Kalau kita simak pendapat dari berbagai kalangan ilmuwan baik dari kalangan ilmuwan terapan (spt Einstein dll) atau ilmuwan psikologi terkenal (spt Carl Jung) dan lain-lain, jelas sekali dikatakan bahwa DARI SEGI ILMIAH-nya, TIDAK DIRAGUKAN LAGI DHARMA ajaran BUDDHA itulah yang paling selaras dengan ilmu pengetahuan, selaras dengan hal hal yang ILMIAH yang bisa dibuktikan dengan berbagai hipotesa dan eksperimen (bukankah ini selaras dengan konsep EHI PHASSIKO). Para ilmuwan itu OTAK dan PEMIKIRAN-annya tidak dapat DIATUR dan DIGIRING sedemikian rupa dengan konsep konsep IMAN dan PERCAYA BUTA saja. Semuanya berdasarkan apa yang dipraktekkan dan bisa dipelajari baik secara filosofis maupun secara metode ilmiah.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 06 December 2008, 10:59:16 PM
gampang nya.....cobalah semua aliran dan rasakan sendiri alias ehipassiko
yang mana cocok dan membawa anda ke nibbana.....lakukan saja ^^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: sobat-dharma on 07 December 2008, 04:40:29 PM
Quote from: dilbert on 06 December 2008, 10:08:00 PM

pernyataan di atas adalah tafsiran anda tentang pemikiran saya... bahwa saya mengajukan kesimpulan tentang MANA YANG LEBIH BENAR dan MANA YANG LEBIH OTENTIK. Kalau sdr.Sobat dharma melihat kepada posting saya selama ini yang berkaitan dengan ajaran Theravada dan Mahayana, tidak sedikitpun saya menghakimi bahwa Theravada pasti BENAR dan Mahayana pasti SALAH atau sebaliknya. Karena saya melihat memang konsep Theravada dan Mahayana itu berbeda, makanya tidak bisa diperbandingkan antara katakanlah APEL dan JERUK.


Dalam komunikasi selalu terjadi tafsir informasi, sebab tanpa menafsir bagaimana bisa saya memahami pembicaraan orang lain? Benar tidaknya tafsiran ini tergantung pada penilaian Anda sendiri, membenarkannya atau menolaknya, selain tentunya semua anggota forum yang ikut mengikuti diskusi ini bisa menilainya.


Quote from: dilbert on 06 December 2008, 10:08:00 PM

Yang saya katakan adalah bahwa di dalam konsep Mahayana sendiri (didalam sutra sutra Mahayana) terdapat inkonsistensi konsep, seperti misalnya apa yang dibabarkan didalam Sutra Hati, Sutra Intan dibandingkan dengan Saddharmapundarika dan Mahaparinirvana. Kemudian kan muncul pernyataan-pernyataan RETORIKA tentang bahwa AJARAN itu (Theravada dan Mahayana) sama dan bla bla bla... Makanya saya kemukakan pernyataan terakhir tentang apa yang dikatakan di dalam Theravada (tentang Arahat/SAvaka yang parinibbana dan FINAL itu kelahiran terakhir, akhirnya tercapai pembebasan) dibandingkan dengan Mahayana (tentang Arahat/Savaka yang masih bisa LANJUT ke tingkat bodhisatva yang lebih tinggi).


Tentu saja ini perspektif Mahayana. Bagi Mahayanis, ajaran dalam Tipitaka Pali termasuk di dalamnya. Jika penganut Theravada tidak sepaham dengan ini kan boleh-boleh saja. Lapipula, Tipitaka Pali bukan hanya monopoli atau semata-mata milik penganut Theravada belaka. Setiap orang yang mempelajarinya boleh mengajukan tafsirnya sendiri sesuai dengan paham yang dianutnya. Jika kemudian ada pihak yang merasa memiliki otoritas lebih tinggi dalam menafsirkan kemudian melarang tafsir-tafsir yang lain, jadinya yang muncul adalah masalah kekuasaan dan otoritas. Jadinya nggak beda dong dengan MUI?   


Quote from: dilbert on 06 December 2008, 10:08:00 PM

Kemudian berdasarkan apa yang sdr.sobat katakan tentang praktek, apa yang dikemukakan oleh saya misalnya kutipan kutipan Milindan Panha adalah berdasarkan apa yang diucapkan oleh NAGASENA, bukan buah karya saya sendiri, karena memang itu hasil karya dari pemikiran NAGASENA, lantas mengapa harus selalu membenturkan dan menanyakan sesuatu yang tidak dapat dijadikan pegangan (misalnya selalu menanyakan tentang praktek dsbnya yang tidak bisa diukur oleh pribadi kita sendiri apalagi oleh orang lain).

Nggak jelas maksudmu. Coba kutip langsung kata-katanya Nagasena supaya lebih jelas.

Quote from: dilbert on 06 December 2008, 10:08:00 PM
Pendapat anda yang menyatakan bahwa Buddha Dharma tidak dapat didiskusikan layaknya diskusi ilmiah membuat BUDDHA DHARMA seolah olah harus di"masuki" dari pintu Ke-IMAN-an dan Ke-PERCAYA-an... Kalau kita simak pendapat dari berbagai kalangan ilmuwan baik dari kalangan ilmuwan terapan (spt Einstein dll) atau ilmuwan psikologi terkenal (spt Carl Jung) dan lain-lain, jelas sekali dikatakan bahwa DARI SEGI ILMIAH-nya, TIDAK DIRAGUKAN LAGI DHARMA ajaran BUDDHA itulah yang paling selaras dengan ilmu pengetahuan, selaras dengan hal hal yang ILMIAH yang bisa dibuktikan dengan berbagai hipotesa dan eksperimen (bukankah ini selaras dengan konsep EHI PHASSIKO). Para ilmuwan itu OTAK dan PEMIKIRAN-annya tidak dapat DIATUR dan DIGIRING sedemikian rupa dengan konsep konsep IMAN dan PERCAYA BUTA saja. Semuanya berdasarkan apa yang dipraktekkan dan bisa dipelajari baik secara filosofis maupun secara metode ilmiah.

Ada perbedaan antara cara seorang praktisi dalam mempelajari Buddha Dharma dengan seorang CG Jung mempelajari Buddha Dharma. Seorang praktisi Buddha Dharma mempraktikkannya dengan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-harinya sehingga mencapai pencerahan tertentu. Seorang CG Jung mempelajarinya semata-mata dengan perspektif pribadinya dan hasilnya hanyalah komentarnya tentang Buddha Dharma dalam perspektif tertentu. Bedakan antara seorang pemain sepak bola dengan komentator sepak bola.

Tentang GG Jung, setelah ia mempelajari Buddhisme, Yoga dan berbagai filsafat timur jelas-jelas mengatakan bahwa psikologi timur tidak cocok untuk orang barat. Ia tidak menyarankan orang barat untuk mempraktikan Buddhisme dan filosofi timur lainnya. Nah ini sepintas tentang pendapat CG Jung, saya tidak sependapat dengannya, entah bagaimana pendapat Anda?

Kalau menggunakan metode filosofis dan ilmiah, saya boleh tahu metode apa yang digunakan oleh Bro dilbert? Positivisme? Fenomenologis? Kritikal? Post-modernisme? Saya koq belum melihat adanya suatu pendekatan metode ilmiah tertentu dalam diskusi dengan Bro Dilbert? Sejauh ini saya hanya melihat Anda menggunakan common sense belaka dalam bernalar. Sorry kalau saya salah 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 07 December 2008, 07:36:29 PM
Quote from: chingik on 06 December 2008, 06:09:37 PM
Quote from: truth lover on 06 December 2008, 12:45:50 PM
Quote from: chingik on 01 December 2008, 09:47:30 AM
Quote
Justru arahat hinayana yg telah mencapai kondisi egaliter non dualisme yg katanya tiada nirvana dan samsara. Jika tiada samsara, apa yg mau diselamatkan oleh arahat? Justru bodhisatva ala mahayana yg masih berkutat pada penyelamatan makhluk hidup, krn masih membedakan nirvana dan samsara.
Jika Arahat hinayana benar-benar mencapai kondisi non dualisme, justru seharusnya dapat secara leluasa tetap memberi bimbingan kepada para makhluk samsara. Tetapi Arahat hinayana justru memilih mencapai parinibbana, sama seperti orang yg mendapatkan harta kekayaan lalu tidak mempedulikan kaum miskin papa. Bagaimana bisa disebut egaliter?
Dalam pandangan Mahayana, walaupun dikatakan tidak ada perbedaan samsara-nirvana dan tidak ada konsep penyelamatan, tidak berarti samsara itu tidak ada, makhluk itu tidak ada. JIka anggapan tidak ada samsara dan makhluk dan tidak ada perlu penyelamatan, maka apa bedanya dengan pandangan kaum Nihilis yg setelah mati segalanya sirna.
Yang benar-benar disebut egaliter non-dualisme adalah saat makan tidak melekat pada konsep makan, saat mewejangkan dhamma tidak melekat pada konsep mewjangkan dhamma, sehingga saat melakukan tugas penyelamatan, tidak melekat pada konsep penyelamatan. Saat berdiam dalam kondisi nirvana, tidak melekat pada kondisi itu, sehingga secara leluasa membimbing para makhluk samsara.

Mas Chingik, menurut yang saya baca, banyak sekali Arahat yang telah menyelamatkan mahluk lain untuk juga mencapai Nirvana dengan mencapai tingkat kesucian Arahat seperti mereka, yaitu dengan mengajarkan meditasi Vipassana.

Mengenai Arahat mencapai Parinirvana, saya rasa konsisten dengan ajaran anitya, yaitu kehidupan tidak kekal, manusia yang terlahir pasti akan mati seperti juga Sang Buddha. Jika dikatakan Arahat egois karena Parinirvana, maka secara tidak langsung mas Chingik juga menuduh Sang Buddha egois karena Beliau juga Parinirvana, kenapa Sang Buddha Parinirvana? mengapa tidak terus menyelamatkan mahluk hidup?

mohon penjelasannya mas Chingik,

terima kasih   _/\_

Pertanyaan anda tepat sasaran.  
Pertanyaan seperti ini sama seperti yang diajukan oleh Bodhisatva Kasyapa (ini bukan MahaKassapa) kepada  Buddha dalam Mahaparinirvana Sutra. Buddha mengatakan Seorang Buddha tidaklah benar-benar Parinibbana-> oleh karena itu aktivitasnya sebagai guru penunjuk jalan tidak pernah berkesudahan. Buddha telah berkali-kali "menampakkan diri" terlahir di salah satu alam tertentu di semesta ini, mencapai pencerahan sempurna dan Parinibbana, namun sesungguhnya Buddha tidak benar-benar Parinibbana. Aktivitas seperti ini akan terus berlangsung jika ada kondisi yg tepat di masa tertentu, di alam tertentu. Inilah yg selaras dengan ikrar awal sejak di hadapan Buddha Dipankara. Tidaklah mungkin Buddha yg telah berlatih selama 4 asankheya kalpa, hanya cukup mengajar disekeliling India selama 45 th lalu lenyap begitu saja bahkan meninggalkan kitab suci yg hanya bertahan beberapa ratus tahun lalu terpecah belah seperti halnya perpecahan siswa2 Nigantha. Bgm bisa selaras dgn anggapan bahwa Pencapaian Buddha sebagai pencapaian teragung di semesta ini?

Dalam Mahaparinivana Sutra, Bodhisatva Kasyapa menolak pernyataan Buddha dan mengatakan bahwa ucapan Buddha bertolak belakang dengan ajaran hukum ketidakkekalan. Bodhisatva Kasyapa bahkan mempertanyakan bahwa jika demikian, mengapa Buddha harus memilih Parinirvana juga. 
Buddha lalu memberi penjelasan bahwa semua ini adalah cara-cara bijak Buddha dalam mengajar. Tidaklah mudah memamami sifat "kekekalan" sejati Buddha, namun bagaimanapun Silahkan menyelidiki sendiri.

Ajahn Mun saja mengalami satu komunikasi yg diyakini adalah nimitta Buddha (sama seperti Sambhogakaya Buddha). Saya tidak mengatakan kita harus percaya dgn Beliau, tetapi penyelidikan secara objektif anda tentu sangat dihargai. Dan saya menyarankan anda utk tidak menerima tapi juga jgn dulu menolak secara mentah2. Silakan meneliti melalui disiplin Sila, Samadhi dan Panna. Master Zen kontemper yg sangat disegani yakni Master XuYUn pun mengaku telah bertemu dnegan Bodhisatva Maitreya dan Y.A Ananda. Yaah..kita boleh tidak percaya dgn mereka, tetapi kita tentu lebih tidak boleh percaya dgn pemahaman awam kita. Akhir kata silakan menelitinya dgn penuh hati-hati.  Membuktikan kebenaran tidak semata-mata melalui kajian logika verbal konvensional.
_/\_
 
 

Terima kasih atas penjelasan mas Chingik,

Maaf kalau saya boleh tahu, bila seorang Buddha tidak sungguh-sungguh Parinirvana, seorang Arahat juga tidak Parinirvana, tidak Bodhisattva maupun Pratyeka Buddha, lantas yang Parinirvana itu siapa? apakah bedanya kita yang bukan Bodhisattva dan Bodhisattva dan Buddha? bukankah kita semua sama-sama belum Parinirvana?

BILA DEMIKIAN MAKA BUKANKAH PENCAPAIAN BUDDHA TIDAK ADA ARTINYA?

mohon penjelasan lebih lanjut, bingung nih.

terima kasih   _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 07 December 2008, 10:34:42 PM
Quote
Terima kasih atas penjelasan mas Chingik,

Maaf kalau saya boleh tahu, bila seorang Buddha tidak sungguh-sungguh Parinirvana, seorang Arahat juga tidak Parinirvana, tidak Bodhisattva maupun Pratyeka Buddha, lantas yang Parinirvana itu siapa? apakah bedanya kita yang bukan Bodhisattva dan Bodhisattva dan Buddha? bukankah kita semua sama-sama belum Parinirvana?

BILA DEMIKIAN MAKA BUKANKAH PENCAPAIAN BUDDHA TIDAK ADA ARTINYA?

mohon penjelasan lebih lanjut, bingung nih.

terima kasih   

Maksud Tidak benar2 Parinirvana Buddha disini tentu berbeda dengan makhluk awam yg belum parinirvana. Buddha tidak benar2 Parinirvana di sini merujuk pada konteks bahwa ketika Beliau siap-siap "Parinirvana", itu hanyalah bagian dari performa yang dipertunjukkan utk diselaraskan dengan fenomena dunia ini. Karena muncul dalam tubuh fenomenal, maka bagian dari sisi ini tentu diselaraskan dengan konseptual fenomenal yakni hukum anicca, maka yang diperlihatkan adalah Tathagata memasuki Parinirvana. Pada sisa absolut, seorang Tathagata terbebas dari konsep Parinirvana maupun tidak parinirvana. Karena terbebas dari konsep ini, maka Beliau menggunakan kebijaksanaan sempurna utk terus menerus melakukan aktivitas dharma.

Justru itulah maka pencapaian ini bukan tdk berarti, malahan sangat berarti.
Karena Arahat menganggap Parinirvana sebagai fenomena yang nyata, maka Arahat memilih mencapai Parinirvana yang diangap benar2 padam. Buddha mengatakan Parinirvana bagaikan api lilin yang padam. Tetapi yang padam adalah kilesa, sedang yang tetap ada adalah sumbu. Ketika Bodhisatva Kasyapa mengatakan bahwa sumbu juga anicca. Buddha lalu mengatakan bahwa tubuh Tathagata tidak dapat disamakan dengan benda duniawi. Tubuh Tathagata adalah diluar konsep fenomena ada atau tiada, wujud maupun tanpa wujud. Tentu sampai sini kita tidak dapat menyanggah dengan nalar awam kita. So, Selanjutnya silakan selidiki sendiri.   
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 07 December 2008, 10:40:09 PM
Quote from: marcedes on 06 December 2008, 10:59:16 PM
gampang nya.....cobalah semua aliran dan rasakan sendiri alias ehipassiko
yang mana cocok dan membawa anda ke nibbana.....lakukan saja ^^
Sip. Saya setuju. Ujung2nya memang perlu Ehipassiko sendiri. 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 08 December 2008, 08:47:08 AM
[at]sdr.sobat dharma.
Ok. Saya coba dgn analisis ilmiah.

Hipotesa 1 : agama sutra = pali kanon. Didalam pali kanon (yg digunakan theravadin) menyatakan arahat parinibbana adalah FINAL. Dan agama sutra(pali kanon) merupakan salah satu sutra mahayana.

Hipotesa 2 : dalam ajaran Mahayana lanjutan spt saddharmapundarika sutra dan mahaparinirvana sutra mengatakan Arahat (savaka) blm final, krm masih di golongkan dlm bodhisatva tkt 7, masih bisa lanjut ke tkt lebih tinggi dan mencapai annutara samyaksambodhi. (sebagaimana diramalkan pencapaian samyaksambodhi beberapa arahat)

Kesimpulan : krn agama sutra = pali sutra dan merupakan bagian dari 5 masa pembabaran sutra mahayana. Kemudian terdapat kontradiksi pernyataan ttg arahat parinibbana. Maka terdapat in-konsistensi pernyataan / konsep tentang arahat parinibbana dari agama sutra dan sutra lainnya (baca : saddharmapundarika dan mahaparinirvana)
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 08 December 2008, 04:19:17 PM
Quote
Quote from: chingik on 07 December 2008, 10:34:42 PM

Terima kasih atas penjelasan mas Chingik,

Maaf kalau saya boleh tahu, bila seorang Buddha tidak sungguh-sungguh Parinirvana, seorang Arahat juga tidak Parinirvana, tidak Bodhisattva maupun Pratyeka Buddha, lantas yang Parinirvana itu siapa? apakah bedanya kita yang bukan Bodhisattva dan Bodhisattva dan Buddha? bukankah kita semua sama-sama belum Parinirvana?

BILA DEMIKIAN MAKA BUKANKAH PENCAPAIAN BUDDHA TIDAK ADA ARTINYA?

mohon penjelasan lebih lanjut, bingung nih.

terima kasih   

Maksud Tidak benar2 Parinirvana Buddha disini tentu berbeda dengan makhluk awam yg belum parinirvana. Buddha tidak benar2 Parinirvana di sini merujuk pada konteks bahwa ketika Beliau siap-siap "Parinirvana", itu hanyalah bagian dari performa yang dipertunjukkan utk diselaraskan dengan fenomena dunia ini. Karena muncul dalam tubuh fenomenal, maka bagian dari sisi ini tentu diselaraskan dengan konseptual fenomenal yakni hukum anicca, maka yang diperlihatkan adalah Tathagata memasuki Parinirvana. Pada sisa absolut, seorang Tathagata terbebas dari konsep Parinirvana maupun tidak parinirvana. Karena terbebas dari konsep ini, maka Beliau menggunakan kebijaksanaan sempurna utk terus menerus melakukan aktivitas dharma.

Terima kasih mas Chingik,

Bila seorang Buddha terus-menerus melakukan aktivitas Dharma, maka bukankah itu sama saja dengan pemikiran bahwa Sang Buddha kekal abadi (nitya/nicca)? apa bedanya dengan dewa yang ada di alam surga?
Quote

Justru itulah maka pencapaian ini bukan tdk berarti, malahan sangat berarti.
Karena Arahat menganggap Parinirvana sebagai fenomena yang nyata, maka Arahat memilih mencapai Parinirvana yang diangap benar2 padam. Buddha mengatakan Parinirvana bagaikan api lilin yang padam. Tetapi yang padam adalah kilesa, sedang yang tetap ada adalah sumbu. Ketika Bodhisatva Kasyapa mengatakan bahwa sumbu juga anicca. Buddha lalu mengatakan bahwa tubuh Tathagata tidak dapat disamakan dengan benda duniawi. Tubuh Tathagata adalah diluar konsep fenomena ada atau tiada, wujud maupun tanpa wujud. Tentu sampai sini kita tidak dapat menyanggah dengan nalar awam kita. So, Selanjutnya silakan selidiki sendiri.   

Wah bagaimana jelasnya yang dimaksud dengan diluar konsep fenomena ada atau tiada, wujud maupun tanpa wujud?
bisa tolong dijelaskan mas chingik?

terima kasih   _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 08 December 2008, 06:25:25 PM
QuoteTerima kasih mas Chingik,

Bila seorang Buddha terus-menerus melakukan aktivitas Dharma, maka bukankah itu sama saja dengan pemikiran bahwa Sang Buddha kekal abadi (nitya/nicca)? apa bedanya dengan dewa yang ada di alam surga?
Tentu tidak sama. Semua kualitas seorang Buddha sudah dijabarkan dalam naskah suci. Buddha adalah makhluk yg telah mencapai sabbanuta nana (pengetahuan mahatahu).
Buddha melakukan aktivitas sehari-hari,makan, minum, berpindapata, bukankah tampak seperti tidak ada beda dengan makhluk putthujana? namun tidak demikian bukan?

Quote
Wah bagaimana jelasnya yang dimaksud dengan diluar konsep fenomena ada atau tiada, wujud maupun tanpa wujud? bisa tolong dijelaskan mas chingik?
Seperti memegang tanduk kelinci.

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 08 December 2008, 11:20:52 PM
Quote from: chingik on 08 December 2008, 06:25:25 PM
QuoteTerima kasih mas Chingik,

Bila seorang Buddha terus-menerus melakukan aktivitas Dharma, maka bukankah itu sama saja dengan pemikiran bahwa Sang Buddha kekal abadi (nitya/nicca)? apa bedanya dengan dewa yang ada di alam surga?
Tentu tidak sama. Semua kualitas seorang Buddha sudah dijabarkan dalam naskah suci. Buddha adalah makhluk yg telah mencapai sabbanuta nana (pengetahuan mahatahu).
Buddha melakukan aktivitas sehari-hari,makan, minum, berpindapata, bukankah tampak seperti tidak ada beda dengan makhluk putthujana? namun tidak demikian bukan?


devadatta juga makan, minum dan pindapata

Quote from: chingik on 08 December 2008, 06:25:25 PM
QuoteTerima kasih mas Chingik,

Bila seorang Buddha terus-menerus melakukan aktivitas Dharma, maka bukankah itu sama saja dengan pemikiran bahwa Sang Buddha kekal abadi (nitya/nicca)? apa bedanya dengan dewa yang ada di alam surga?
Tentu tidak sama. Semua kualitas seorang Buddha sudah dijabarkan dalam naskah suci. Buddha adalah makhluk yg telah mencapai sabbanuta nana (pengetahuan mahatahu).
Buddha melakukan aktivitas sehari-hari,makan, minum, berpindapata, bukankah tampak seperti tidak ada beda dengan makhluk putthujana? namun tidak demikian bukan?

Quote
Wah bagaimana jelasnya yang dimaksud dengan diluar konsep fenomena ada atau tiada, wujud maupun tanpa wujud? bisa tolong dijelaskan mas chingik?
Seperti memegang tanduk kelinci.

dijamin sdr.truth lover kagak tahu apa itu memegang tanduk kelinci...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 09 December 2008, 10:34:56 AM
Quote
devadatta juga makan, minum dan pindapata
Ulang lagi:
Tentu tidak sama. Semua kualitas seorang Buddha sudah dijabarkan dalam naskah suci. Buddha adalah makhluk yg telah mencapai sabbanuta nana (pengetahuan mahatahu).
Buddha melakukan aktivitas sehari-hari,makan, minum, berpindapata, bukankah tampak seperti tidak ada beda dengan makhluk putthujana (Devadatta) ?[/u] namun tidak demikian bukan?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 09 December 2008, 11:47:57 AM
Quote
Quote from: chingik on 08 December 2008, 06:25:25 PM
QuoteTerima kasih mas Chingik,

Bila seorang Buddha terus-menerus melakukan aktivitas Dharma, maka bukankah itu sama saja dengan pemikiran bahwa Sang Buddha kekal abadi (nitya/nicca)? apa bedanya dengan dewa yang ada di alam surga?
Tentu tidak sama. Semua kualitas seorang Buddha sudah dijabarkan dalam naskah suci. Buddha adalah makhluk yg telah mencapai sabbanuta nana (pengetahuan mahatahu).
Buddha melakukan aktivitas sehari-hari,makan, minum, berpindapata, bukankah tampak seperti tidak ada beda dengan makhluk putthujana? namun tidak demikian bukan?

Quote
Wah bagaimana jelasnya yang dimaksud dengan diluar konsep fenomena ada atau tiada, wujud maupun tanpa wujud? bisa tolong dijelaskan mas chingik?
Seperti memegang tanduk kelinci.

dijamin sdr.truth lover kagak tahu apa itu memegang tanduk kelinci...

:o  ???  jujur sih memang iya, mas Dilbert kalau tahu kasih tahu dong. Sebabnya saya baru tahu dari mas Chingik bahwa kelinci bisa memiliki tanduk.

terima kasih     _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 09 December 2008, 11:58:04 AM
Quote from: chingik on 09 December 2008, 10:34:56 AM
Quote
devadatta juga makan, minum dan pindapata
Ulang lagi:
Tentu tidak sama. Semua kualitas seorang Buddha sudah dijabarkan dalam naskah suci. Buddha adalah makhluk yg telah mencapai sabbanuta nana (pengetahuan mahatahu).
Buddha melakukan aktivitas sehari-hari,makan, minum, berpindapata, bukankah tampak seperti tidak ada beda dengan makhluk putthujana (Devadatta) ?[/u] namun tidak demikian bukan?

Terima kasih atas keterangannya mas Chingik,

Mengenai Sabbanuta nana (pengetahuan maha tahu) nampaknya diluar dari pembahasan mengenai Nirvana nih, kembali ke pertanyaannya bila Nirvana dan tidak Nirvana sama saja lantas apa bedanya dengan alam dewa? oh ya bukankah Nirvana dan Parinirvana beda? setahu saya Parinirvana adalah memasuki Nirvana dalam keadaan mangkat.
Yang saya tanyakan adalah Nirvana sesudah mangkat, bukan Nirvana sebelum mangkat.
Bila menurut mas Chingik sesudah Parinirvana sama saja dengan mereka yang tidak Parinirvana, apa bedanya?

mohon penjelasannya,

terima kasih

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 09 December 2008, 03:20:58 PM
Quote from: truth lover on 09 December 2008, 11:58:04 AM
Quote from: chingik on 09 December 2008, 10:34:56 AM
Quote
devadatta juga makan, minum dan pindapata
Ulang lagi:
Tentu tidak sama. Semua kualitas seorang Buddha sudah dijabarkan dalam naskah suci. Buddha adalah makhluk yg telah mencapai sabbanuta nana (pengetahuan mahatahu).
Buddha melakukan aktivitas sehari-hari,makan, minum, berpindapata, bukankah tampak seperti tidak ada beda dengan makhluk putthujana (Devadatta) ?[/u] namun tidak demikian bukan?

Terima kasih atas keterangannya mas Chingik,

Mengenai Sabbanuta nana (pengetahuan maha tahu) nampaknya diluar dari pembahasan mengenai Nirvana nih, kembali ke pertanyaannya bila Nirvana dan tidak Nirvana sama saja lantas apa bedanya dengan alam dewa? oh ya bukankah Nirvana dan Parinirvana beda? setahu saya Parinirvana adalah memasuki Nirvana dalam keadaan mangkat.
Yang saya tanyakan adalah Nirvana sesudah mangkat, bukan Nirvana sebelum mangkat.
Bila menurut mas Chingik sesudah Parinirvana sama saja dengan mereka yang tidak Parinirvana, apa bedanya?

mohon penjelasannya,

terima kasih

_/\_

Tidak ada bedanya. Lalu bukankah sama saja dengan alam dewa? Juga tidak sama.

Apa yg dimaksud dgn : tidak ada bedanya, namun juga tidak sama?
Maksudnya: pemahaman ini diluar logika awam. Kondisi ini tidak dapat dijelaskan secara verbal. So, Hanya dapat diselami sendiri secara langsung. Sama seperti mempertanyakan rasanya minum air asin, hanya dapat dirasakan tetapi tidak dapat dijelaskan dengan sempurna.
Makanya dikatakan Buddha tidak benar2 Parinirvana, ini juga ditujukan pada mereka yg melekat pada anggapan Buddha telah parinirvana. Ketika kita melekat pada anggapan Buddha tidak parinirvana, ini juga bentuk pemamahan ekstrim. Sebagai gambaran umum maka dikatakan diluar konsep fenomena ada atau tiada, wujud maupun tanpa wujud
Seperti apakah itu? Tanduk kelinci. Kelinci masak bertanduk? silakan berzazen sendiri.  :P
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 December 2008, 06:48:25 AM
Quotedear gandalf
yang menyatakan mahayana adalah pembodohan siapa? "demikian klaim para hinayana"
sampai kapan mau terjebak dalam lingkaran ini....
adalah suatu pembodohan.

Wah... saya bingung dengan anda.... la itu kan catatan sejarah... saya ya kutip doang.... la kok nyasar ke pembodohan segala...

Wkwkwk.....  ^-^  ^-^  ^-^

Namaste,
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 December 2008, 06:58:14 AM
Quote from: dilbert on 30 November 2008, 11:10:00 AM
berarti mahayana tdk cocok buat puthujana.. Krn hanya para bodhisatva yg bisa mengerti.

Mengapa? Karena sesuai apa yg diungkapkan sebelumnya bahwa esensi Mahayana ada di pembabaran periode 5 yaitu saddharma pundarika sutra dan maha parinirvana sutra.
Jika avatamsaka sutra saja sudah tdk bisa dimengerti, apalagi yg paling ultimit ?

Makanya kan Sang Buddha ngajarin Mahayana dari tingkat dasar yaitu Vaipulya dulu, biar para prthagjana (putthujana) bisa paham!! Terus runut ke Prajnaparamita dan akhirnya balik ke inti yaitu Saddharmapundarika Sutra!

Gitu aja kok repot mikirnya!  ^-^ 

Namaste,
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 December 2008, 07:01:31 AM
Quote from: truth lover on 29 November 2008, 11:20:16 AM
Mau nambah pertanyaan nih mas Gandalf,

Sebenarnya apa sih yang telah dicapai oleh Arahat menurut Mahayana? apakah seorang Arahat telah melenyapkan kekotoran batin atau belum? jika sudah, apa saja kekotoran batin yang telah dilenyapkan?

mohon penjelasannya, terima kasih

_/\_

Yah lihat saja deh 10 tingkatan Bodhisattva yang telah saya posting lalu.... atau kalau mau ya lihat tuh versi Theravada kan ada Sotapanna mencapai ini, Arahat sudah melenyapkan 10 samyojana dsb.....

Yang pasti Sravaka Arahat sudah melenyapkan Kilesa (klesha). Baik Thera, Maha ataupun Vajrayana semuanya menerima itu.

Namaste,
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 December 2008, 07:05:02 AM
Quote from: marcedes on 01 December 2008, 06:28:57 PM
QuoteNah Arahat masih memiliki kemelekatan akan kondisi "terlepas dari kondisi". 

maaf ^:)^

tapi sudahkah anda mencapai tingkat kesucian arahat dan berani memastikan kata-kata anda?
atau hanya asumsi belaka....

ketika seorang bertemu sang buddha bahkan berkata "aku tidak menyukai semua bentuk pikiran apapun"

lalu sang buddha berkata "apakah kamu juga tidak menyukai bentuk pikiran ("aku tidak menyukai semua bentuk pikiran apapun") pikiran melihat pikiran.

"terlepas dari kondisi".....
bahkan seorang arahat pun seperti "Y.M Sariputta" pernah berkata "sungguh bahagia pikiran yang bebas dari semua-nya " termasuk pikiran yang mengatakan bebas dari semua-nya "

mudah-mudahan di mengerti _/\_

La anda sudah mencapai Arahat nggak? Kok kayanya tahu banget tentang Arahat ??  ^-^  ^-^

Namaste,
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 25 December 2008, 08:22:14 AM
QuoteInilah ARAHAT sejati...

Seorang Putthujana mampu mengetahui tingkat kesucian orang lain!!!  :o  :o  :o

La wong yang Sotapanna aja nggak bisa tahu tingkat pencapaian orang yang sudah Sakadagamin kok....

Quotemasalah vinaya maupun tatacara...sutta-sutta yang berbeda...memang ada perbedaan antara T dan M
sekali lagi theravada dan mahayana itu cuma merek RAKIT.....dan "rakit di pakai untuk menyeberang"

jadikanlah nibbana sebagai tujuan hidupmu.

Tenang bro. mercedes.... kalau yang ini I juga tahu dari zaman bahula... wkwkwk.....

La pertanyaannya, sampai seberapa bagus merknya itu? La kalau di tengah jalan rakitnya kesangkut batu karang? Kan nggak sampe pantai seberang tuh......

Nggak usah repot-repot puanjang lebarrrr deh..... Yang pasti Arahat dalam Mahayana masih punya kenginan, demikian juga Bodhisattva..... dan keinginan ini adalah CHANDA.

Kok anda maksa Bodhisattva yang ingin menolong para makhluk terus menerus itu tanha sih?

Kalau anda mengatakan bahwa Arahat: "menolong hanyalah menolong"

Kalau Bodhisattva: "terus menolong hanyalah terus menolong."

QuoteCoba tinggalkan dulu pola pikir keharusan untuk mengunakan kebijaksanaan seorang ARAHAT dsbnya... Pernyataan saya bahwa ARAHAT dalam HINAYANA (THERAVADA) adalah FINAL, tidak ada kelahiran lagi. APAKAH SAMA DENGAN pernyataan bahwa ARAHAT dalam MAHAYANA belum berakhir, hanya setara dengan bodhisatva tkt ke-7, masih ada jalur tambahan bagi ARAHAT yang ingin mencapai annutara sammasambuddha.

Anda masih suka muterrr di sini yah?? Karena anda suka ngulang pertanyaan ini, maka jawaban saya ya ikutan ngulang deh:

Kalau bagi Mahayana, ya tentu SAMA dan NGGAK BERSEBRANGAN.

Karena Mahayana setuju bahwa Arahat sudah FINAL dalam pembersihan Klesha, sudah bebas dari samsara dan sudah FINAL dalam pencapaian Nirvana. Ini Theravada juga setuju kan?? Maka dari itu, SAMPAI SEJAUH INI, konsep Mahayana dan Theravada itu SAMA.

Hanya saja menurut Mahayana, FINAL Nirvana seorang Arahat itu sejatinya belum FINAL karena hanya satu sisi saja.

Arahat belum FINAL dalam pencapaian Non-Abiding Nirvana, masih harus melenyapkan Jneyavarana.

Mahayana menyinggung semua pencapaian Arahat dan pelenyapan klesha.

Sedangkan Theravada nggak pernah nyinggung soal Jneyavarana yang disinggung dalam Mahayana!!!

La kalau mau bandingin ini sampai akhir ya nggak akan selesai-selesai, karena memang nggak bisa, kalau mau bandingin, maka kedua belah pihak harus mengenal apa itu jneyavarana dan kleshavarana.

Tapi hanya satu pihak saja yang mengenal keduanya. Satu pihak yang lain (Theravada) hanya mengenal satu saja (klesha).
QuoteKesimpulan : krn agama sutra = pali sutra dan merupakan bagian dari 5 masa pembabaran sutra mahayana. Kemudian terdapat kontradiksi pernyataan ttg arahat parinibbana. Maka terdapat in-konsistensi pernyataan / konsep tentang arahat parinibbana dari agama sutra dan sutra lainnya (baca : saddharmapundarika dan mahaparinirvana)

La kok kontadiksi.... La Arahat Parinibbana itu termasuk dalam 3 jenis Nirvana dalam Mahayana kok!

1. Sopadisesa Nirvana
2. Anupadisesa Nirvana ( ini nih Parinirvana Arhat)
3. Apratishtita Nirvana (Nirvana Samyaksamobodhi)

Jadi Mahayana ya tentu tahu konsep Parinirvana Arahat!!

Ini disebutkan juga lo dalam bukunya Patriark Chan, Ven. Sheng yen dari Dharma Drum...hehe...

QuoteBe real & get real aja deh.
Kenyataannya zaman sekarang ini, hari ini, tidak ada para bodhisattava/buddha turun ke dunia menolong berkoti-koti (koti=1juta eh?) manusia, dewa, dan makhluk2 lain utk mencapai pencerahan seperti yg sering di tuliskan dlm sutta/sutra.
Kalau hari gini ada berita demikian, tolong beritahu saya, krn mao berangkat ke sana jg utk dicerahkan 

Bagian2 tertentu adlh part of buddhism yg berkembang sejalan jaman dan dongeng rakyat.

mettacittena

Mau bukti kalau Bodhisattva turun ke dunia?

Lihat ayah, ibu, saudara dan teman-teman yang mengasihi anda dan ingin yang terbaik buat anda. Itulah contoh nyata para Bodhisattva yang hadir di dunia ini.

Atau lihatlah para pembabar Dharma yang aktif dan bersemangat dalam membabarkan Dharma demi kebahagiaan banyak makhluk... atau relawan Tzu Chi yang penuh cinta kasih.... itulah para Bodhisattva hidup!

Pencerahan adalah usaha diri sendiri. Bodhisattva menolong para makhluk dengan berbagai upaya-nya, mendorong kita agar mau dan mampu mencapai pencerahan, bukan menciptakan pencerahan instan bagi diri kita.

Gitu kok repot!

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Jerry on 25 December 2008, 08:58:34 AM
Ha? Gitu? It`s okay.. berpulang kembali ke masing2 orang :)

mettacittena
_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: hendrako on 25 December 2008, 06:07:05 PM
Quote from: GandalfTheElder on 25 December 2008, 08:22:14 AM

Pencerahan adalah usaha diri sendiri. Bodhisattva menolong para makhluk dengan berbagai upaya-nya, mendorong kita agar mau dan mampu mencapai pencerahan, bukan menciptakan pencerahan instan bagi diri kita.

Gitu kok repot!

_/\_
The Siddha Wanderer


Jalan "Pencerahan Instan" tersebut bukan diciptakan, melainkan ditemukan oleh seorang Bodhisatva sehingga menjadi Sammasambuddha dan diajarkan untuk kebahagiaan semua mahluk.

Pendapat saya tentang Mahayana dan Theravada adalah sebagaimana yang disimpulkan di beberapa referensi, yaitu, Mahayana cenderung menjalani jalan ke-Bodhisatva-an dan Theravada cenderung menjalani jalan ke-Arahat-an.

Kalo saya memang cenderung pada Theravada karena ajarannya yang konsisten (sebagaimana dijelaskan oleh bro Dilbert pada post2 sebelumnya).

Apabila nantinya Arahat memang benar2 belum final, toh masih bisa melanjutkan perjalanan.

Namun bukan karena alasan pada kalimat di atas yang mengkondisikan saya memilih mempelajari ajaran Theravada, namun lebih pada alasan pada kalimat sebelum kalimat di atas.

Kelihatannya thread ini sudah cukup berhasil dan dapat menunjukkan pengertian dari kedua aliran dengan baik. Saya berterimakasih kepada rekan sekalian pada thread ini karena sangat menambah pengetahuan saya.

Ada perbedaan menjadikan 2 aliran (atau lebih), tidak ada perbedaan maka cukup 1 aliran.

Saya setuju dengan bro Xuvie, kembali kepada masing2.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 25 December 2008, 07:16:31 PM
thread yang panjang, yang pembahasannya benar2 tepat....
turut bermuditacitta...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 December 2008, 10:43:59 PM
Quote from: GandalfTheElder on 25 December 2008, 06:58:14 AM
Quote from: dilbert on 30 November 2008, 11:10:00 AM
berarti mahayana tdk cocok buat puthujana.. Krn hanya para bodhisatva yg bisa mengerti.

Mengapa? Karena sesuai apa yg diungkapkan sebelumnya bahwa esensi Mahayana ada di pembabaran periode 5 yaitu saddharma pundarika sutra dan maha parinirvana sutra.
Jika avatamsaka sutra saja sudah tdk bisa dimengerti, apalagi yg paling ultimit ?

Makanya kan Sang Buddha ngajarin Mahayana dari tingkat dasar yaitu Vaipulya dulu, biar para prthagjana (putthujana) bisa paham!! Terus runut ke Prajnaparamita dan akhirnya balik ke inti yaitu Saddharmapundarika Sutra!

Gitu aja kok repot mikirnya!  ^-^ 

Namaste,
The Siddha Wanderer

Bro.gandalf...

Mana yang benar... dari satu sumber dikatakan bahwa dalam masa pembabaran Dharma (versi Mahayana) urutannya adalah
1. Sutra Avatamsaka pada 21 hari pertama.
2. Sutra Agama memakan waktu 12 tahun.
3. Sutra Vaipulya memakan waktu 8 tahun.
4. Mahayana (Maha Prajna Paramitra Sutra) memerlukan waktu 22 tahun.
5. Sutra Teratai (Saddharmapundarika Sutra) dan Sutra Nirvana (Mahaparinibbana Sutra versi Mahayana)
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 December 2008, 11:07:44 PM
Quote from: GandalfTheElder on 25 December 2008, 08:22:14 AM

Mau bukti kalau Bodhisattva turun ke dunia?

Lihat ayah, ibu, saudara dan teman-teman yang mengasihi anda dan ingin yang terbaik buat anda. Itulah contoh nyata para Bodhisattva yang hadir di dunia ini.


gak yakin saya kalau ayah, ibu, saudara dan teman teman yang mengasihi saya adalah bodhisatva yang "turun" ke dunia... jika begitu, berarti neraka kosong tuh dari awal, karena semua orang pasti bisa menjadi salah satu di antara yang disebutkan di atas, kalau tidak menjadi ayah atau ibu... menjadi saudara... atau setidaknya menjadi teman yang mengasihi temannya.
PERNYATAAN RETORIKA...


Quote from: GandalfTheElder on 25 December 2008, 08:22:14 AM

Mau bukti kalau Bodhisattva turun ke dunia?
Atau lihatlah para pembabar Dharma yang aktif dan bersemangat dalam membabarkan Dharma demi kebahagiaan banyak makhluk... atau relawan Tzu Chi yang penuh cinta kasih.... itulah para Bodhisattva hidup!

Pembabar Dharma... hmmm... masih make sense...

RELAWAN TZU CHI ? yang mana satu ? yang beragama BUDDHA ? atau yang non-BUDDHIS ? karena banyak tuh relawan tzu chi yang non-buddhis yang pasti belum mendapatkan ajaran MAHAYANA (tidak tahu jalur bodhisatva), lantas apakah bisa disebut bodhisatva hidup (kalau dikatakan bodhisatva hidup, tentunya yang dipakai JALUR BODHISATVA ala MAHAYANA) ?

???

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 26 December 2008, 05:52:40 AM
Quote from: dilbert on 25 December 2008, 10:43:59 PM
Quote from: GandalfTheElder on 25 December 2008, 06:58:14 AM
Quote from: dilbert on 30 November 2008, 11:10:00 AM
berarti mahayana tdk cocok buat puthujana.. Krn hanya para bodhisatva yg bisa mengerti.

Mengapa? Karena sesuai apa yg diungkapkan sebelumnya bahwa esensi Mahayana ada di pembabaran periode 5 yaitu saddharma pundarika sutra dan maha parinirvana sutra.
Jika avatamsaka sutra saja sudah tdk bisa dimengerti, apalagi yg paling ultimit ?

Makanya kan Sang Buddha ngajarin Mahayana dari tingkat dasar yaitu Vaipulya dulu, biar para prthagjana (putthujana) bisa paham!! Terus runut ke Prajnaparamita dan akhirnya balik ke inti yaitu Saddharmapundarika Sutra!

Gitu aja kok repot mikirnya!  ^-^ 

Namaste,
The Siddha Wanderer

Bro.gandalf...

Mana yang benar... dari satu sumber dikatakan bahwa dalam masa pembabaran Dharma (versi Mahayana) urutannya adalah
1. Sutra Avatamsaka pada 21 hari pertama.
2. Sutra Agama memakan waktu 12 tahun.
3. Sutra Vaipulya memakan waktu 8 tahun.
4. Mahayana (Maha Prajna Paramitra Sutra) memerlukan waktu 22 tahun.
5. Sutra Teratai (Saddharmapundarika Sutra) dan Sutra Nirvana (Mahaparinibbana Sutra versi Mahayana)

La iya memang seperti itu urutannya kan?

Saya jadi bingung sebenarnya apa sih yang anda tanyakan?

Ajaran Mahayana mulai dibabarkan pada khalayak umum (prthagjana) yaitu pada periode Vaipulya. Waktu periode Avatamsaka hanya pada para Bodhisattva.

La kalau anda tanyain Mahayana apa cocok buat Prthagjana.... Ya cocok lah.... makanya Sang Buddha habis ngajarin Avatamsaka dan Agama nggak tinggal diem... Beliau ngajarin Vaipulya agar para prthagjana dapat mengerti Mahayana, kemudian dilanjut ke Prajnaparamita dan Saddharmapundarika Sutra..... yah secara bertahap gitu deh!

Masih nggak ngerti nih?

Ya sudah gini lho:

1. Avatamsaka ----- Tathagatagarbha(Inti)
2. Agama ----Dasar
3. Vaipulya ----- Mahayana Dasar
4. Prajnaparamita ---- Shunyata
5. Saddharmapundarika ---- Tathagatagarbha (Inti)

Mulai dari ini analisa sendiri ya!

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 26 December 2008, 06:28:28 AM
Quote from: dilbert on 25 December 2008, 11:07:44 PM
Quote from: GandalfTheElder on 25 December 2008, 08:22:14 AM

Mau bukti kalau Bodhisattva turun ke dunia?

Lihat ayah, ibu, saudara dan teman-teman yang mengasihi anda dan ingin yang terbaik buat anda. Itulah contoh nyata para Bodhisattva yang hadir di dunia ini.


gak yakin saya kalau ayah, ibu, saudara dan teman teman yang mengasihi saya adalah bodhisatva yang "turun" ke dunia... jika begitu, berarti neraka kosong tuh dari awal, karena semua orang pasti bisa menjadi salah satu di antara yang disebutkan di atas, kalau tidak menjadi ayah atau ibu... menjadi saudara... atau setidaknya menjadi teman yang mengasihi temannya.
PERNYATAAN RETORIKA...


Quote from: GandalfTheElder on 25 December 2008, 08:22:14 AM

Mau bukti kalau Bodhisattva turun ke dunia?
Atau lihatlah para pembabar Dharma yang aktif dan bersemangat dalam membabarkan Dharma demi kebahagiaan banyak makhluk... atau relawan Tzu Chi yang penuh cinta kasih.... itulah para Bodhisattva hidup!

Pembabar Dharma... hmmm... masih make sense...

RELAWAN TZU CHI ? yang mana satu ? yang beragama BUDDHA ? atau yang non-BUDDHIS ? karena banyak tuh relawan tzu chi yang non-buddhis yang pasti belum mendapatkan ajaran MAHAYANA (tidak tahu jalur bodhisatva), lantas apakah bisa disebut bodhisatva hidup (kalau dikatakan bodhisatva hidup, tentunya yang dipakai JALUR BODHISATVA ala MAHAYANA) ?

???



hahaha..... sudah saya tebak pasti muncul pertanyaan kaya gini...

Apa anda tahu upaya kausalya para Bodhisattva?

Ketika Avalokitesvara memanifestasikan dirinya dalam berbagai macam wujud (lihat Samanta Mukha Varga - Sutra Teratai), apakah Beliau hanya bermanifestasi sebagai pribadi dengan agama Buddha?

Lagipula.... emang Bodhisattva nggak pernah jeblos ke neraka? La wong Bodhisattva - bakal Buddha Sakyamuni saja pernah masuk ke neraka karena akusala karma....

Di biografi Drukpa Kunley.... malah emanasi Maitreya jeblos ke dunia Tiracchana (binatang) oleh karena akusala karma juga.....

Perhatikan kata Huineng, "Ia yang memiliki welas asih adalah Avalokitesvara." Ini sudah cukup menjelaskan konsep emanasi saya kira!

Sambhogakaya para Buddha dan Bodhisattva ada di dalam hati dan pikiran kita masing-masing. Ketika kita membangkitkan rasa welas asih, di situlah Avalokitesvara "bekerja". Nah Avalokitesvara ini siapa? Tuhan? Makhluk? Bukan! Avalokitesvara adalah saya, anda, member DC dan semua makhluk yang mau membangkitkan welas asih dan mempraktekkannya. Avalokitesvara = diri kita sendiri yang mau memberikan contoh nyata welas asih.

Bahkan Nirmanakaya Maitreya di Surga Tusita pun punya Sambhogakaya yang juga bernama Maitreya Bodhisattva. Apa ya maksudnya ini?  ::)  ::)

Sampai sini saja. Saya sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan muncul setelah ini.

Namun intinya dalam memahami ini: Upaya Kausalya dan Sambhogakaya.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 26 December 2008, 10:29:40 AM
QuoteLa pertanyaannya, sampai seberapa bagus merknya itu? La kalau di tengah jalan rakitnya kesangkut batu karang? Kan nggak sampe pantai seberang tuh......
yah cari rakit lain...kalau tidak ada rakit lain
katakan pada diri sendiri "anda kurang beruntung,kasian de loe" ^^

dan saya balik bertanya bagaimana kalau rakit yang anda yakini juga demikian?

QuoteLa wong yang Sotapanna aja nggak bisa tahu tingkat pencapaian orang yang sudah Sakadagamin kok....

    "Bhante, sebenarnya kami tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengetahui pikiran para Arahat, Sammasambuddha, baik dari masa lampau, yang akan datang maupun sekarang. Tetapi, meskipun demikian kami memiliki pengetahuan tentang tradisi Dhamma (Dhammanvayo)."
    "Bhante, sama seperti perbatasan-negara milik seorang raja yang mempunyai benteng yang kokoh, dengan dinding dan menara penjagaan yang kuat dan hanya mempunyai sebuah pintu saja. Dan di sana, ada seorang penjaga pintu yang pandai, berpengalaman serta cerdas, yang akan mengusir orang-orang yang tidak dikenal dan hanya mengijinkan masuk orang-orang yang dikenal saja. Ketika ia memeriksa dengan menyusuri jalan yang mengelilingi dinding benteng-negara itu, ia tidak melihat adanya sebuah lubang atau celah, di dinding benteng-negara itu, yang cukup untuk dilewati oleh binatang, sekali pun hanya sekecil seekor kucing. Dan ia berpikir: "Seberapa pun besarnya mahluk-mahluk yang akan masuk atau meninggalkan negara ini, mereka semua hanya dapat melalui pintu ini."
    "Bhante, hanya dengan cara demikian aku memiliki pengetahuan tentang tradisi Dhamma (Dhammanvayo). Oleh karena, para Bhagava, Arahat, Sammasambuddha yang pernah ada pada masa lampau, dengan meninggalkan lima rintangan batin (pancanivarana) dan noda-noda pikiran (citta-upakkilesa) melalui kekuatan kebijaksanaan, dan dengan pikiran yang terpusat baik pada empat landasan kesadaran (cattarosatipatthana), serta mengembangkan dengan sempurna tujuh faktor Penerangan Sempurna (satta-sambojjhanga), maka mereka telah mencapai kesempurnaan sepenuhnya dalam Penerangan Sempurna (Sambodhi) yang tiada bandingannya (anuttara)."

=============
saya pun demikian tidak tahu tentang batin seorang arahat,anagami,sakadagami,sottapanna....tetapi tahu dari tradisi pencapaian seorang arahat,anagami,sakadagami,sottapanna.

seseorang yang terlatih dengan baik mengerti tentang dukkha,penyebab dukkha,akhir dari dukkha,jalan melenyapkan dukkha....akan melihat magga(jalan)...ketika mengikuti itu maka akan mendapatkan phala(buah)

apakah dukkha, apakah penyebab dukkha, apakah akhir dari dukkha, apakah jalan melenyapkan dukkha...saya rasa tidak perlu dijelaskan...
tetapi yang jelas
jalan melenyapkan dukkha...bukanlah
apakah arahat masuk dalam 10 tingkatan boddhisatva?
apakah yang diajarkan Tathagatha pertama kali?

sadar dan mengetahui tentang penyebab dukkha dan melihat jalan....adalah yang telah di sebutkan Y.M Sariputta yakni:
meninggalkan lima rintangan batin (pancanivarana) dan noda-noda pikiran (citta-upakkilesa) melalui kekuatan kebijaksanaan, dan dengan pikiran yang terpusat baik pada empat landasan kesadaran (cattarosatipatthana), serta mengembangkan dengan sempurna tujuh faktor Penerangan Sempurna (satta-sambojjhanga), maka mereka telah mencapai kesempurnaan sepenuhnya dalam Penerangan Sempurna (Sambodhi) yang tiada bandingannya (anuttara)."

apakah ini yang anda maksudkan anti-klimaks?
QuoteSebagai klimaks Bhavaviveka mengutip Simsapavana Sutra:
"Ananda, Dharma yang kumengerti tetapi tidak kuajarkan padamu lebih banyak daripada dedaunan di hutan pohon simsapa ini."

Di sana jelas bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan semua Dharma pada kaum Sravaka. Yang tidak diajarkan pada kaum Sravaka itu, diajarkan sang Buddha pada para Bodhisattva.

QuoteKetika Yang Terberkahi tinggal di Kosambi didalam hutan simsapa.1 Kemudian, memungut beberapa lembar daun simsapa dengan tangannya, beliau bertanya pada para bhikkhu, "Menurut kalian, para bhikkhu; Manakah yang lebih banyak, beberapa lembar ditanganku atau yang berada diatas di hutan simsapa?"

"Daun-daun yang berada ditangan Yang Terberkahi lebih sedikit, Yang Mulia. Yang diatas di hutan simpasa lebih banyak."

"Demikianlah, para bhikkhu, hal-hal yang telah saya ketahui dengan pengetahuan langsung tetapi tidak diajarkan lebih banyak [dibandingkan dengan apa yang saya ajarkan]. Dan mengapa aku tidak mengajarkannya? Karena hal-hal tersebut tidak berhubungan dengan tujuan, tidak berhubungan dengan prinsip dari kehidupan suci, dan tidak membawa pada pembebasan, pada pelepasan, pada penghentian, pada ketenangan, pada pengetahuan langsung, pada pencerahan, pada pelepasan. Karena itulah aku tidak mengajarkannya.

"Dan apakah yang aku ajarkan?" 'Ini dukkha... Inilah penyebab dari dukkha... Inilah berhentinya dari dukkha... Inilah jalan latihan yang membawa pada berhentinya dukkha': Inilah yang aku ajarkan. Dan mengapa aku mengajarkan hal-hal tersebut? Karena hal-hal tersebut berhubungan dengan tujuan, berhubungan dengan prinsip dari kehidupan suci, dan membawa pada pembebasan, pada pelepasan, pada penghentian, pada ketenangan, pada pengetahuan langsung, pada pencerahan, pada pelepasan. Inilah mengapa aku mengajarkan hal-hal tersebut.

"Karena itu tugas kalian adalan merenungkan, 'Inilah dukkha... Inilah sumber dari dukkha... Inilah berhentinya dukkha.' Tugas kalian adalah merenungkan, 'Inilah jalan latihan yang membawa pada berhentinya dukkha."



cacatan sejarah bisa saja keliru....tapi kebenaran dari masa lalu hingga masa sekarang...tidak pernah keliru.

apakah kebenaran itu?
dukkha.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 26 December 2008, 01:46:06 PM
Quote from: GandalfTheElder on 26 December 2008, 05:52:40 AM
Quote from: dilbert on 25 December 2008, 10:43:59 PM
Quote from: GandalfTheElder on 25 December 2008, 06:58:14 AM
Quote from: dilbert on 30 November 2008, 11:10:00 AM
berarti mahayana tdk cocok buat puthujana.. Krn hanya para bodhisatva yg bisa mengerti.

Mengapa? Karena sesuai apa yg diungkapkan sebelumnya bahwa esensi Mahayana ada di pembabaran periode 5 yaitu saddharma pundarika sutra dan maha parinirvana sutra.
Jika avatamsaka sutra saja sudah tdk bisa dimengerti, apalagi yg paling ultimit ?

Makanya kan Sang Buddha ngajarin Mahayana dari tingkat dasar yaitu Vaipulya dulu, biar para prthagjana (putthujana) bisa paham!! Terus runut ke Prajnaparamita dan akhirnya balik ke inti yaitu Saddharmapundarika Sutra!

Gitu aja kok repot mikirnya!  ^-^ 

Namaste,
The Siddha Wanderer

Bro.gandalf...

Mana yang benar... dari satu sumber dikatakan bahwa dalam masa pembabaran Dharma (versi Mahayana) urutannya adalah
1. Sutra Avatamsaka pada 21 hari pertama.
2. Sutra Agama memakan waktu 12 tahun.
3. Sutra Vaipulya memakan waktu 8 tahun.
4. Mahayana (Maha Prajna Paramitra Sutra) memerlukan waktu 22 tahun.
5. Sutra Teratai (Saddharmapundarika Sutra) dan Sutra Nirvana (Mahaparinibbana Sutra versi Mahayana)

La iya memang seperti itu urutannya kan?

Saya jadi bingung sebenarnya apa sih yang anda tanyakan?

Ajaran Mahayana mulai dibabarkan pada khalayak umum (prthagjana) yaitu pada periode Vaipulya. Waktu periode Avatamsaka hanya pada para Bodhisattva.

La kalau anda tanyain Mahayana apa cocok buat Prthagjana.... Ya cocok lah.... makanya Sang Buddha habis ngajarin Avatamsaka dan Agama nggak tinggal diem... Beliau ngajarin Vaipulya agar para prthagjana dapat mengerti Mahayana, kemudian dilanjut ke Prajnaparamita dan Saddharmapundarika Sutra..... yah secara bertahap gitu deh!

Masih nggak ngerti nih?

Ya sudah gini lho:

1. Avatamsaka ----- Tathagatagarbha(Inti)
2. Agama ----Dasar
3. Vaipulya ----- Mahayana Dasar
4. Prajnaparamita ---- Shunyata
5. Saddharmapundarika ---- Tathagatagarbha (Inti)

Mulai dari ini analisa sendiri ya!

_/\_
The Siddha Wanderer

Dari sekian banyak quote tentang Mahayana yang saya tangkap seperti ini...
Jadi BUDDHA GOTAMA pada awalnya mengajarkan Avatamsaka Sutra, tetapi para manusia tidak dapat memetik hasil apapun dari pembabaran Avatamsaka Sutra ini karena manusia bahkan tidak bisa mendengar pembabaran avatamsaka sutra ini apalagi bisa mengerti avatamsaka sutra ini, pembabaran avatamsaka sutra hanya bisa didengar oleh para BODHISATVA. Oleh karena itu, BUDDHA GOTAMA lantas mengajarkan AGAMA Sutra (identik dengan Pali Kanon) karena menilai bahwa manusia lebih cocok dengan Jalan Arahat (Savaka). Setelah agama sutra baru dilakukan pembabaran Vaipulya Sutra yang disebut sebagai Mahayana Dasar, dilanjutkan dengan Mahaprajnaparamita dengan konsep shunyata dan diakhiri dengan Saddharma pundarika sutra dan Mahaparinirvana sutra yang juga dianggap sebagai inti ajaran MAHAYANA mengenai konsep tathagatagarbha.

Pertanyaan saya selanjutnya...
1. Vaipulya Sutra itu dibabarkan kepada siapa ? Kelihatannya bukan dibabarkan kepada manusia, karena jika ternyata dibabarkan kepada manusia mengapa BUDDHA menurunkan AGAMA SUTRA karena dianggap para manusia lebih cocok kepada jalur SAVAKA.

2. Jika manusia pada jaman BUDDHA yang sekaliber 5 pertapa, kemudian ada Sariputra, Ananda, Mahakassapa, Anurudha dsbnya tidak dapat menerima ajaran MAHAYANA, lantas apakah manusia pada jaman sekarang ini ? (Saya, anda dan yang lain), mempunyai kualitas di atas mereka ?

3. Mengapa ajaran MAHAYANA itu tidak diambil oleh para ARAHAT yang notabene bisa mengunjungi alam NAGA dan mempelajari MAHAYANA ? Jika memang ternyata MAHAYANA lebih PAMUNGKAS, para ARAHAT bisa langsung membabarkan ajaran MAHAYANA, dan PASTILAH kitab suci AGAMA BUDDHA sekarang ini adalah seperti punyanya kitab MAHAYANA. (misalnya oleh ARAHAT SUBHUTI yang dianggap sangat memahami konsep MAHAYANA).

4. jika para ARAHAT pada jaman BUDDHA tersebut setelah mengetahui betapa PAMUNGKAS-nya ajaran MAHAYANA, lantas hanya membatasi kitab BUDDHA dalam PALI KANON (AGAMA SUTRA) saja, dan harus menunggu sampai Arya Nagarjuna untuk mengambilnya dari alam NAGA ?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 26 December 2008, 02:01:03 PM
Quoteyah cari rakit lain...kalau tidak ada rakit lain
katakan pada diri sendiri "anda kurang beruntung,kasian de loe" ^^

dan saya balik bertanya bagaimana kalau rakit yang anda yakini juga demikian?

Wahahaha..... jangan berpikiran negatif dulu ah!!

Kok malah nanya-nanya rakit saya sih? Emang saya ngomong rakit anda kesangkut?

Cape deee....
   
Quotesaya pun demikian tidak tahu tentang batin seorang arahat,anagami,sakadagami,sottapanna....tetapi tahu dari tradisi pencapaian seorang arahat,anagami,sakadagami,sottapanna.

seseorang yang terlatih dengan baik mengerti tentang dukkha,penyebab dukkha,akhir dari dukkha,jalan melenyapkan dukkha....akan melihat magga(jalan)...ketika mengikuti itu maka akan mendapatkan phala(buah)

apakah dukkha, apakah penyebab dukkha, apakah akhir dari dukkha, apakah jalan melenyapkan dukkha...saya rasa tidak perlu dijelaskan...
tetapi yang jelas
jalan melenyapkan dukkha...bukanlah
apakah arahat masuk dalam 10 tingkatan boddhisatva?
apakah yang diajarkan Tathagatha pertama kali?

Ya ampun....

Saya jadi ragu sebenarnya anda ini ngerti nggak sih apa yang sedang dibahas di topik ini?

Gini deh... kalau anda tahu tentang tradisi pencapaian Sotapanna, Sakadagamin, Anagamin dan Arahat versi Theravada,

MAKA:

Saya tahu tradisi pencapaian Srotapanna, Sakrdagamin, Anagamin dan Arahat dalam Mahayana plus versi Sarvastivada dan Mahasanghika.

Beres toh?

Masalah dukkha dan lain sebagainya, tentu anda pasti sudah tahu dengan baik, bahwa baik Thera, Maha dan Vajrayana semuanya menyetujuinya.

Apakah jalan Bodhisattva termasuk dalam jalan dalam mengakhiri Dukkha? Ya!

Quotecacatan sejarah bisa saja keliru....tapi kebenaran dari masa lalu hingga masa sekarang...tidak pernah keliru.

apakah kebenaran itu?
dukkha.

Ya sudah.... saya juga tahu... tapi poin pentingnya kita sekarang berada di board Mahayana dan yang dibahas adalah bagaimana tradisi tingkat-tingkat kesucian dalam Mahayana serta menyanggah klaim Hinayana yang salah.

Kalau anda mau menghubung-hubungkan dengan 4 Kebenaran Mulia, ya hampir semua topik Buddhis ya bisa anda hubungkan ke sana, karena memang inti ajaran Buddha memang itu. Tapi anda juga harus paham topik apa membahas apa... jangan semua2 dukkha ... apa-apa 4 kebenaran Mulia.... nggak usah anda omongkan, saya yakin semua umat Buddhis di sini sudah paham itu semua, karena 4 Kebenaran Mulia sudah menjadi dasar diskusi kita selama ini!!

Demikian juga kitab yang barusan anda kutip itu, bisa saja keliru kan? sapa tau tuh kata-kata Tipitaka bukan Buddha yang omongkan... siapa tahu malah Mahavira (Nigantha Nataputta) yang ngomong.... tapi diklaim oleh umat Buddhis.... sapa tau tuh kata-kata Sang Buddha tapi sudah dirubah?

Kan segala kemungkinan bisa aja kan?

Lagipula kalau ada kaum Hinayana yang pada zaman sekarang maupun zaman dahulu mengejek Mahayana, yang penting kan bukan anda toh!

Saya juga tidak mengatakan SEMUA kaum Hinayana.

Saya menulisnya untuk memberitahu bahwa sejak zaman dahulu ada golongan orang-orang yang memang demikian dan banyak pakar-pakar Mahayana yang sudah menyanggah mereka... ya udah itu aja.

Memang ada kenapa-kenapa dengan pernyataan seperti itu? ...Swt....

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 26 December 2008, 03:54:43 PM
Quote from: GandalfTheElder on 26 December 2008, 06:28:28 AM


Lagipula.... emang Bodhisattva nggak pernah jeblos ke neraka? La wong Bodhisattva - bakal Buddha Sakyamuni saja pernah masuk ke neraka karena akusala karma....


_/\_
The Siddha Wanderer

Minta petunjuk bro.gandalf, di cerita JATAKA manakah, bodhisatta (bakal BUDDHA GOTAMA) pernah terlahir ke alam NERAKA ?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 26 December 2008, 06:26:44 PM
QuoteLa pertanyaannya, sampai seberapa bagus merknya itu? La kalau di tengah jalan rakitnya kesangkut batu karang? Kan nggak sampe pantai seberang tuh......

QuoteWahahaha..... jangan berpikiran negatif dulu ah!!

Kok malah nanya-nanya rakit saya sih? Emang saya ngomong rakit anda kesangkut?
anggap saja pertanyaan pertama itu saya pakai dan balik bertanya....sy tunggu yah jawabannya^^

=========================
tau mengapa saya bahas soal Dukkha?
dalam Saddharmapundarika sutra dikatakan kalau buddha gotama telah mencapai ke-buddha-an pada kalpa-kalpa sebelumnya......berarti pada waktu masih menjadi pertapa sumedha sudah jadi buddha^^
kalau jadi buddha....kok masih bisa lahir jadi Siddharta Gotama?
jadi Lahir,sakit,tua,mati itu bukan penderitaan?

berarti ke-buddha-an yang di capai Gotama itu masih bisa terlibat dalam lahir,sakit,tua,mati?

dalam avatamsaka sutra
QuoteMenerima ramalan dari Tathagatha,
aku akan menciptakan tubuh yang tak terhitung,
dan dengan kekuatan kebijaksanaan yang besar dan luas
mengembara ke-10 penjuru untuk memberi manfaat ke alam makhluk hidup.

jinanatu rupatu laksanatas ca
varmatu gotratu bhoti-r upetah
tirthika-mara-ganebhir adhrsyah
pujitu bhoti sa sarva-trilike

Alam dari dunia-dunia dan ruang angkasa bisa berakhir,
serta karma dan penderitaan makhluk hidup bisa di hilangkan,
tetapi tidak bisa habis-habisnya
demikian juga semua ikrarku adalah tidak habis-habisnya
jadi menurut mahayana.....lahir,sakit,tua,dan mati.....itu merupakan hal yang bukan penderitaan?
jadi bagaimana mungkin menuntun makhluk hidup bebas dari penderitaan kalau penuntun-nya sendiri menderita?

1. Avatamsaka ----- Tathagatagarbha(Inti)
2. Agama ----Dasar
3. Vaipulya ----- Mahayana Dasar
4. Prajnaparamita ---- Shunyata
5. Saddharmapundarika ---- Tathagatagarbha (Inti)

sy tidak melihat hal nyambung dari 4 kesunyataan mulia yang merupakan kebenaran...jika dikaitkan dengan avatamsaka sutra dan saddharmapundarika....

=================================
ada hal sederhana yang saya ingin tanyakan kepada anda.
apakah lahir,sakit,tua,mati itu bukan dukkha?

dan manakah yang lebih menyenangkan....
tidak terlahir atau terlahir.?
tidak berbentuk atau berbentuk?
tidak menjelma atau menjelma?
tidak berkondisi atau berkondisi?
tidak ada(lepas dari ruang dan waktu) atau ada(masih merupakan lingkungan ruang dan waktu)?


sy harap jawaban nya ^^

salam metta _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Jerry on 26 December 2008, 08:36:10 PM
Quote
Dan mengapa aku tidak mengajarkannya? Karena hal-hal tersebut tidak berhubungan dengan tujuan, tidak berhubungan dengan prinsip dari kehidupan suci, dan tidak membawa pada pembebasan, pada pelepasan, pada penghentian, pada ketenangan, pada pengetahuan langsung, pada pencerahan, pada pelepasan. Karena itulah aku tidak mengajarkannya.
Pas banget.. tadi juga mau nambahin ini, nice 1 bro Mercedes _/\_

Memang isi Simsapa Sutta paling byk di salah quote oleh orang2 yg entah krn ga tau keseluruhan atau krn ada intrik tertentu :P
Pendapat saya, jelas ada upaya pembelokan isi sutra oleh kaum tertentu utk menyesuaikan agar perkataan Sang Buddha sesuai dengan pandangannya.. Terutama mengemukakan argumennya thdp orang2 yg tidak mengetahui keseluruhan isi sutra tsb. This is not the first time n it wont be the last. Tp yah harap maklum, udah di ramalkan sebelumnya sih oleh Sang Buddha berkenaan dgn 16 mimpi Pasenadi Raja Kosala.

mettacittena
_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 27 December 2008, 10:48:23 AM
Quote from: dilbert on 26 December 2008, 01:46:06 PM
Quote from: GandalfTheElder on 26 December 2008, 05:52:40 AM
Quote from: dilbert on 25 December 2008, 10:43:59 PM
Quote from: GandalfTheElder on 25 December 2008, 06:58:14 AM
Quote from: dilbert on 30 November 2008, 11:10:00 AM
berarti mahayana tdk cocok buat puthujana.. Krn hanya para bodhisatva yg bisa mengerti.

Mengapa? Karena sesuai apa yg diungkapkan sebelumnya bahwa esensi Mahayana ada di pembabaran periode 5 yaitu saddharma pundarika sutra dan maha parinirvana sutra.
Jika avatamsaka sutra saja sudah tdk bisa dimengerti, apalagi yg paling ultimit ?

Makanya kan Sang Buddha ngajarin Mahayana dari tingkat dasar yaitu Vaipulya dulu, biar para prthagjana (putthujana) bisa paham!! Terus runut ke Prajnaparamita dan akhirnya balik ke inti yaitu Saddharmapundarika Sutra!

Gitu aja kok repot mikirnya!  ^-^ 

Namaste,
The Siddha Wanderer

Bro.gandalf...

Mana yang benar... dari satu sumber dikatakan bahwa dalam masa pembabaran Dharma (versi Mahayana) urutannya adalah
1. Sutra Avatamsaka pada 21 hari pertama.
2. Sutra Agama memakan waktu 12 tahun.
3. Sutra Vaipulya memakan waktu 8 tahun.
4. Mahayana (Maha Prajna Paramitra Sutra) memerlukan waktu 22 tahun.
5. Sutra Teratai (Saddharmapundarika Sutra) dan Sutra Nirvana (Mahaparinibbana Sutra versi Mahayana)

La iya memang seperti itu urutannya kan?

Saya jadi bingung sebenarnya apa sih yang anda tanyakan?

Ajaran Mahayana mulai dibabarkan pada khalayak umum (prthagjana) yaitu pada periode Vaipulya. Waktu periode Avatamsaka hanya pada para Bodhisattva.

La kalau anda tanyain Mahayana apa cocok buat Prthagjana.... Ya cocok lah.... makanya Sang Buddha habis ngajarin Avatamsaka dan Agama nggak tinggal diem... Beliau ngajarin Vaipulya agar para prthagjana dapat mengerti Mahayana, kemudian dilanjut ke Prajnaparamita dan Saddharmapundarika Sutra..... yah secara bertahap gitu deh!

Masih nggak ngerti nih?

Ya sudah gini lho:

1. Avatamsaka ----- Tathagatagarbha(Inti)
2. Agama ----Dasar
3. Vaipulya ----- Mahayana Dasar
4. Prajnaparamita ---- Shunyata
5. Saddharmapundarika ---- Tathagatagarbha (Inti)

Mulai dari ini analisa sendiri ya!

_/\_
The Siddha Wanderer

Dari sekian banyak quote tentang Mahayana yang saya tangkap seperti ini...
Jadi BUDDHA GOTAMA pada awalnya mengajarkan Avatamsaka Sutra, tetapi para manusia tidak dapat memetik hasil apapun dari pembabaran Avatamsaka Sutra ini karena manusia bahkan tidak bisa mendengar pembabaran avatamsaka sutra ini apalagi bisa mengerti avatamsaka sutra ini, pembabaran avatamsaka sutra hanya bisa didengar oleh para BODHISATVA. Oleh karena itu, BUDDHA GOTAMA lantas mengajarkan AGAMA Sutra (identik dengan Pali Kanon) karena menilai bahwa manusia lebih cocok dengan Jalan Arahat (Savaka). Setelah agama sutra baru dilakukan pembabaran Vaipulya Sutra yang disebut sebagai Mahayana Dasar, dilanjutkan dengan Mahaprajnaparamita dengan konsep shunyata dan diakhiri dengan Saddharma pundarika sutra dan Mahaparinirvana sutra yang juga dianggap sebagai inti ajaran MAHAYANA mengenai konsep tathagatagarbha.

Pertanyaan saya selanjutnya...
1. Vaipulya Sutra itu dibabarkan kepada siapa ? Kelihatannya bukan dibabarkan kepada manusia, karena jika ternyata dibabarkan kepada manusia mengapa BUDDHA menurunkan AGAMA SUTRA karena dianggap para manusia lebih cocok kepada jalur SAVAKA.

2. Jika manusia pada jaman BUDDHA yang sekaliber 5 pertapa, kemudian ada Sariputra, Ananda, Mahakassapa, Anurudha dsbnya tidak dapat menerima ajaran MAHAYANA, lantas apakah manusia pada jaman sekarang ini ? (Saya, anda dan yang lain), mempunyai kualitas di atas mereka ?

3. Mengapa ajaran MAHAYANA itu tidak diambil oleh para ARAHAT yang notabene bisa mengunjungi alam NAGA dan mempelajari MAHAYANA ? Jika memang ternyata MAHAYANA lebih PAMUNGKAS, para ARAHAT bisa langsung membabarkan ajaran MAHAYANA, dan PASTILAH kitab suci AGAMA BUDDHA sekarang ini adalah seperti punyanya kitab MAHAYANA. (misalnya oleh ARAHAT SUBHUTI yang dianggap sangat memahami konsep MAHAYANA).

4. jika para ARAHAT pada jaman BUDDHA tersebut setelah mengetahui betapa PAMUNGKAS-nya ajaran MAHAYANA, lantas hanya membatasi kitab BUDDHA dalam PALI KANON (AGAMA SUTRA) saja, dan harus menunggu sampai Arya Nagarjuna untuk mengambilnya dari alam NAGA ?

bro Dilber,
Pembabaran Avatasamka Sutra mungkin dapat diibaratkan saat Sang Buddha membabarkan abhidhamma di surga Tavatimsa. Toh, akhirnya abhidhamma tetap sanggup dipelajari oleh manusia di masa sekarang juga bukan?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 27 December 2008, 12:11:26 PM
tetapi abhidhamma tidak saling bertabrakan dengan 4 kesunyataan mulia beserta tujuan para buddha...

sekarang bagaimana dengan avatamsaka sutra dan Saddharmapundarika sutra?
sejalankah dengan 4 kesunyataan mulia?
maka-nya saya langsung saja kepada kenyataan.
Quotedan manakah yang lebih menyenangkan....
tidak terlahir atau terlahir.?
tidak berbentuk atau berbentuk?
tidak menjelma atau menjelma?
tidak berkondisi atau berkondisi?
tidak ada(lepas dari ruang dan waktu) atau ada(masih merupakan lingkungan ruang dan waktu)?

sy harap jawaban nya ^^
sudah jelas sekali dalam ke-2 sutra ini
ibarat menuliskan seorang buddha itu adalah dokter dan jago meracik obat,
tetapi diri nya sendiri tidak pernah makan obat. bagaimana mungkin seseorang tahu yang namanya "kesembuhan" jika tidak pernah makan obat?

inilah kontradisksi dalam 4 kesunyataan mulia, dan mahayana juga mengakui kalau 4 kesunyataan mulia itu merupakan kebenaran.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 27 December 2008, 12:39:27 PM
Quote from: marcedes on 27 December 2008, 12:11:26 PM
tetapi abhidhamma tidak saling bertabrakan dengan 4 kesunyataan mulia beserta tujuan para buddha...

sekarang bagaimana dengan avatamsaka sutra dan Saddharmapundarika sutra?
sejalankah dengan 4 kesunyataan mulia?
maka-nya saya langsung saja kepada kenyataan.
Quotedan manakah yang lebih menyenangkan....
tidak terlahir atau terlahir.?
tidak berbentuk atau berbentuk?
tidak menjelma atau menjelma?
tidak berkondisi atau berkondisi?
tidak ada(lepas dari ruang dan waktu) atau ada(masih merupakan lingkungan ruang dan waktu)?

sy harap jawaban nya ^^
sudah jelas sekali dalam ke-2 sutra ini
ibarat menuliskan seorang buddha itu adalah dokter dan jago meracik obat,
tetapi diri nya sendiri tidak pernah makan obat. bagaimana mungkin seseorang tahu yang namanya "kesembuhan" jika tidak pernah makan obat?

inilah kontradisksi dalam 4 kesunyataan mulia, dan mahayana juga mengakui kalau 4 kesunyataan mulia itu merupakan kebenaran.

Ya, Dari sudut pada Mahayana sendiri memang merasa tidak saling bertabrakan. Karena hakikat dhamma itu adalah tanpa inti, sedangkan konsep2 yg dimunculkan itu hanya sebagai upaya kosala nyana utk membimbing para makhluk.   
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 27 December 2008, 02:25:26 PM

dan manakah yang lebih menyenangkan....
tidak terlahir atau terlahir.?
tidak berbentuk atau berbentuk?
tidak menjelma atau menjelma?
tidak berkondisi atau berkondisi?
tidak ada(lepas dari ruang dan waktu) atau ada(masih merupakan lingkungan ruang dan waktu)?


Quote from: chingik link=topic=5941
Ya, Dari sudut pada Mahayana sendiri memang merasa tidak saling bertabrakan. Karena hakikat dhamma itu adalah tanpa inti, sedangkan konsep2 yg dimunculkan itu hanya sebagai upaya kosala nyana utk membimbing para makhluk.  
cukup simple...jawab saja pertanyaan tsb...akan kelihatan bertabrakan atau tidak.^^  _/\_
nanti setelah jawab baru saya akan munculkan argumen ke-2....bertahap-tahap...biar jelas ^^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 27 December 2008, 05:42:47 PM
Quote from: chingik on 27 December 2008, 10:48:23 AM


bro Dilber,
Pembabaran Avatasamka Sutra mungkin dapat diibaratkan saat Sang Buddha membabarkan abhidhamma di surga Tavatimsa. Toh, akhirnya abhidhamma tetap sanggup dipelajari oleh manusia di masa sekarang juga bukan?


abhidhamma dibabarkan oleh BUDDHA di tavatimsa, tetapi setiap hari diulang kepada bhante Sariputra, kemudian bhante sariputra mengulang kepada 500 bhikkhu arahat. dengan itulah abhidhamma bisa diketahui dan dipelajari oleh kita kita. Bagaimana dengan avatamsaka pada waktu itu ? tidak ada yang tahu kan kecuali kalau argumennya kitab kitab mahayana diambil oleh Nagarjuna di alam naga... Dengan analogi yang sama, seharusnya jika pembabaran avatamsaka dibabarkan kepada para bodhisatva, seharusnya bisa diulang kepada bhikkhu arahat (diluar spekulasi bahwa ajaran itu bisa dimengerti atau tidak), tetapi seharusnya masalah apakah mengerti / paham atau tidak tentang ajaran itu tidak ada, karena bhante ananda sendiri walaupun tidak mencapai kesucian arahat selama BUDDHA masih hidup dan membabarkan ajaran, tetap menjadi salah satu sumber ajaran BUDDHA karena daya ingatnya yang kuat.

Jika avatamsaka walaupun tidak dapat dimengerti oleh manusia biasa, seharusnya BUDDHA mengulang ajaran avatamsaka kepada bhante ananda, dengan daya ingatnya seharusnya semua ajaran tidak akan ketinggalan satu bait pun. Walaupun tidak dapat dipahami ananda, bhante ananda ibarat mr.google sekarang ini.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 29 December 2008, 07:24:56 PM
Quote from: marcedes on 27 December 2008, 02:25:26 PM

dan manakah yang lebih menyenangkan....
tidak terlahir atau terlahir.?
tidak berbentuk atau berbentuk?
tidak menjelma atau menjelma?
tidak berkondisi atau berkondisi?
tidak ada(lepas dari ruang dan waktu) atau ada(masih merupakan lingkungan ruang dan waktu)?


Quote from: chingik link=topic=5941
Ya, Dari sudut pada Mahayana sendiri memang merasa tidak saling bertabrakan. Karena hakikat dhamma itu adalah tanpa inti, sedangkan konsep2 yg dimunculkan itu hanya sebagai upaya kosala nyana utk membimbing para makhluk.  
cukup simple...jawab saja pertanyaan tsb...akan kelihatan bertabrakan atau tidak.^^  _/\_
nanti setelah jawab baru saya akan munculkan argumen ke-2....bertahap-tahap...biar jelas ^^


bebas dari dualisme, itu baru inti kebahagiaan sejati.
jadi tetap saja tidak bertabrakan.

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 29 December 2008, 07:58:10 PM
Quote from: dilbert on 27 December 2008, 05:42:47 PM
Quote from: chingik on 27 December 2008, 10:48:23 AM


bro Dilber,
Pembabaran Avatasamka Sutra mungkin dapat diibaratkan saat Sang Buddha membabarkan abhidhamma di surga Tavatimsa. Toh, akhirnya abhidhamma tetap sanggup dipelajari oleh manusia di masa sekarang juga bukan?


abhidhamma dibabarkan oleh BUDDHA di tavatimsa, tetapi setiap hari diulang kepada bhante Sariputra, kemudian bhante sariputra mengulang kepada 500 bhikkhu arahat. dengan itulah abhidhamma bisa diketahui dan dipelajari oleh kita kita. Bagaimana dengan avatamsaka pada waktu itu ? tidak ada yang tahu kan kecuali kalau argumennya kitab kitab mahayana diambil oleh Nagarjuna di alam naga... Dengan analogi yang sama, seharusnya jika pembabaran avatamsaka dibabarkan kepada para bodhisatva, seharusnya bisa diulang kepada bhikkhu arahat (diluar spekulasi bahwa ajaran itu bisa dimengerti atau tidak), tetapi seharusnya masalah apakah mengerti / paham atau tidak tentang ajaran itu tidak ada, karena bhante ananda sendiri walaupun tidak mencapai kesucian arahat selama BUDDHA masih hidup dan membabarkan ajaran, tetap menjadi salah satu sumber ajaran BUDDHA karena daya ingatnya yang kuat.

Jika avatamsaka walaupun tidak dapat dimengerti oleh manusia biasa, seharusnya BUDDHA mengulang ajaran avatamsaka kepada bhante ananda, dengan daya ingatnya seharusnya semua ajaran tidak akan ketinggalan satu bait pun. Walaupun tidak dapat dipahami ananda, bhante ananda ibarat mr.google sekarang ini.

Avatamsaka juga diulang oleh Ananda. TEntu saja Buddha yang membabarkan kembali kepada Ananda.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: hendrako on 29 December 2008, 08:48:21 PM
Quote from: chingik on 29 December 2008, 07:24:56 PM
Quote from: marcedes on 27 December 2008, 02:25:26 PM

dan manakah yang lebih menyenangkan....
tidak terlahir atau terlahir.?
tidak berbentuk atau berbentuk?
tidak menjelma atau menjelma?
tidak berkondisi atau berkondisi?
tidak ada(lepas dari ruang dan waktu) atau ada(masih merupakan lingkungan ruang dan waktu)?


Quote from: chingik link=topic=5941
Ya, Dari sudut pada Mahayana sendiri memang merasa tidak saling bertabrakan. Karena hakikat dhamma itu adalah tanpa inti, sedangkan konsep2 yg dimunculkan itu hanya sebagai upaya kosala nyana utk membimbing para makhluk.  
cukup simple...jawab saja pertanyaan tsb...akan kelihatan bertabrakan atau tidak.^^  _/\_
nanti setelah jawab baru saya akan munculkan argumen ke-2....bertahap-tahap...biar jelas ^^


bebas dari dualisme, itu baru inti kebahagiaan sejati.
jadi tetap saja tidak bertabrakan.



Yang diajarkan Sang Buddha sebagai adalah berhentinya nafsu keinginan yang merupakan sumber dari penderitaan.
"Kebahagiaan sejati", "bebas dari dualisme", masih dalam lingkup dualisme, juga.........
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 29 December 2008, 09:03:58 PM
Quote from: chingik on 29 December 2008, 07:24:56 PM
Quote from: marcedes on 27 December 2008, 02:25:26 PM

dan manakah yang lebih menyenangkan....
tidak terlahir atau terlahir.?
tidak berbentuk atau berbentuk?
tidak menjelma atau menjelma?
tidak berkondisi atau berkondisi?
tidak ada(lepas dari ruang dan waktu) atau ada(masih merupakan lingkungan ruang dan waktu)?


Quote from: chingik link=topic=5941
Ya, Dari sudut pada Mahayana sendiri memang merasa tidak saling bertabrakan. Karena hakikat dhamma itu adalah tanpa inti, sedangkan konsep2 yg dimunculkan itu hanya sebagai upaya kosala nyana utk membimbing para makhluk.  
cukup simple...jawab saja pertanyaan tsb...akan kelihatan bertabrakan atau tidak.^^  _/\_
nanti setelah jawab baru saya akan munculkan argumen ke-2....bertahap-tahap...biar jelas ^^


bebas dari dualisme, itu baru inti kebahagiaan sejati.
jadi tetap saja tidak bertabrakan.
anda menyatakan
bebas dari dualisme adalah inti kebahagiaan sejati

bagaimana jika bebas dari lahir,sakit,tua dan mati?
apakah juga inti kebahagiaan sejati?.....^^.........
jika anda menjawab iya...maka tentu mengacu pada kesalahan pada pernyataan anda yang pertama.

jika anda menjawab tidak,mari kita buka kembali 4 kesunyataan mulia dan 3 corak umum.

jika anda menjawab tidak untuk kedua-dua nya dan berpikir....masuk diantara jawaban itu adalah tidak bebas dari dualisme...mari kita membahas paramatha sacca dan samuthi.

pertanyaan sederhana saja,apakah demikian sulit untuk dijawab............_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 29 December 2008, 09:06:54 PM
Quote from: hendrako on 29 December 2008, 08:48:21 PM
Quote from: chingik on 29 December 2008, 07:24:56 PM
Quote from: marcedes on 27 December 2008, 02:25:26 PM

dan manakah yang lebih menyenangkan....
tidak terlahir atau terlahir.?
tidak berbentuk atau berbentuk?
tidak menjelma atau menjelma?
tidak berkondisi atau berkondisi?
tidak ada(lepas dari ruang dan waktu) atau ada(masih merupakan lingkungan ruang dan waktu)?


Quote from: chingik link=topic=5941
Ya, Dari sudut pada Mahayana sendiri memang merasa tidak saling bertabrakan. Karena hakikat dhamma itu adalah tanpa inti, sedangkan konsep2 yg dimunculkan itu hanya sebagai upaya kosala nyana utk membimbing para makhluk.  
cukup simple...jawab saja pertanyaan tsb...akan kelihatan bertabrakan atau tidak.^^  _/\_
nanti setelah jawab baru saya akan munculkan argumen ke-2....bertahap-tahap...biar jelas ^^


bebas dari dualisme, itu baru inti kebahagiaan sejati.
jadi tetap saja tidak bertabrakan.



Yang diajarkan Sang Buddha sebagai adalah berhentinya nafsu keinginan yang merupakan sumber dari penderitaan.
"Kebahagiaan sejati", "bebas dari dualisme", masih dalam lingkup dualisme, juga.........


pernyataan yg bersifat verbal memang tak terhindarkan. Buddha tetap saja harus berbicara panjang lebar. Tapi itu utk kepentingan sang pendengar , buat Sang Buddha yg tercerahkan ya dak begitu la yaw..  ;))
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: BlackDragon on 20 January 2009, 11:09:57 AM
Sebelumnya saya ingin berterima kasih kpd Bro2 yg sedang discus di Thread ini, krn dgn membaca postingan anda2 maka saya dapat belajar banyak ttg Theravada dan jg Mahayana.

Meskipun begitu, ada bbrp yg tidak saya pahami dan ingin saya tanyakan.
Mohon bimbingannya.

QuoteMau bukti kalau Bodhisattva turun ke dunia?

Lihat ayah, ibu, saudara dan teman-teman yang mengasihi anda dan ingin yang terbaik buat anda. Itulah contoh nyata para Bodhisattva yang hadir di dunia ini.

Mau tanya Bro Gandalf kalo yg diatas termasuk Bodhisattva, berarti Bodhisattva masih ada Tanha donk yah?
Krn uda pasti ayah, ibu dan teman2 kita gak semua nya bersih dari kilesa, bahkan mgkn tidak satupun yg terbebas dari kilesa apa lagi mempunyai Pemahaman Maha Tahu.
Dan apabila mereka termasuk Bodhisattva, berarti seharusnya rata2 manusia yg ada di muka bumi dapat mengerti ajaran Mahayana dari awalnya.
Mengapa justru para Arahat yg dikatakan sudah menghapus Kilesa malahan tidak mengerti dgn ajaran dalam Sutta Mahanaya?

Saya jadi agak bingung, apabila ada kesalahan dalam pengertian saya mohon di beri penjelasan.


Dan sutta2 Mahayana berasal dari Sabda Buddha Gotama sendiri, atau berasal dari ajaran2 Murid2 setelah Buddha parinirvana yah?
Soalnya saya melihat banyak nama yg terlibat spt Nagajuna,dll.
Kalo berasal dari Buddha Gotama, kenapa sampai bisa tidak masuk dalam Sutta Theravada?

Mohon bimbingannya.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 20 January 2009, 12:09:57 PM
Quote from: BlackDragon on 20 January 2009, 11:09:57 AM
Sebelumnya saya ingin berterima kasih kpd Bro2 yg sedang discus di Thread ini, krn dgn membaca postingan anda2 maka saya dapat belajar banyak ttg Theravada dan jg Mahayana.

Meskipun begitu, ada bbrp yg tidak saya pahami dan ingin saya tanyakan.
Mohon bimbingannya.

QuoteMau bukti kalau Bodhisattva turun ke dunia?

Lihat ayah, ibu, saudara dan teman-teman yang mengasihi anda dan ingin yang terbaik buat anda. Itulah contoh nyata para Bodhisattva yang hadir di dunia ini.

Mau tanya Bro Gandalf kalo yg diatas termasuk Bodhisattva, berarti Bodhisattva masih ada Tanha donk yah?
Krn uda pasti ayah, ibu dan teman2 kita gak semua nya bersih dari kilesa, bahkan mgkn tidak satupun yg terbebas dari kilesa apa lagi mempunyai Pemahaman Maha Tahu.
Dan apabila mereka termasuk Bodhisattva, berarti seharusnya rata2 manusia yg ada di muka bumi dapat mengerti ajaran Mahayana dari awalnya.
Mengapa justru para Arahat yg dikatakan sudah menghapus Kilesa malahan tidak mengerti dgn ajaran dalam Sutta Mahanaya?

Saya jadi agak bingung, apabila ada kesalahan dalam pengertian saya mohon di beri penjelasan.


Dan sutta2 Mahayana berasal dari Sabda Buddha Gotama sendiri, atau berasal dari ajaran2 Murid2 setelah Buddha parinirvana yah?
Soalnya saya melihat banyak nama yg terlibat spt Nagajuna,dll.
Kalo berasal dari Buddha Gotama, kenapa sampai bisa tidak masuk dalam Sutta Theravada?

Mohon bimbingannya.

_/\_
hi, bro Black
Maaf ya kalo saya nimbrun pertanyaan yg tertuju pd bro Gandalf. Mungkin dia sdg sibuk, blm sempat balas , so saya coba bantu dari apa yg saya pelajari.
Dalam perspektif Mahayana, Bodhisatva memiliki tingkatan yg berbeda-beda. Dgn kata lain, seorang pemula dapat membangkitkan cita-cita menjadi Buddha dan dia sudah disebut sebagai bodhisatva, namun dalam arti sbg bodhisatva pemula yg belum terkikis noda batinnya. Seiring dgn praktik pelatihannya, maka bodhisatva akan mencapai level yg lebih tinggi. Demikian seterusnya hingga menjadi bodhisatva mahasatva. Jadi sangat wajar bila seorang bodhisatva pemula masih memiliki tanha. Namun ini tentu harus dikikis dari hari ke hari.

Mengenai ayah ibu kita disebut bodhisatva, ini tentu adalah perumpamaan yg bersifat kiasan. Namun bila direnungkan, hal ini sah sah saja, karena pada dasarnya ayah ibu kita memberi segala hal tanpa pamrih kepada kita, hal ini sangat selaras dgn sifat altruis yg dikembangkan seorang bodhisatva. Hal altruis inilah yg dijadikan inti dari apa yg dikiaskan bro Gandalf bhw ayah ibu kita adalah seorang bodhisatva.   

Ajaran Mahayana tentu adalah sabda Sang Buddha juga.
Mengenai tidak masuk ke Sutta Theravada, hal ini hanya bisa ditelusuri dari sisi sejarah perpecahan agama Buddha ke dalam beberapa sekte pada masa awal itu.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: BlackDragon on 21 January 2009, 01:07:43 AM
Atas^
Thx Bro Cingik atas jawabannya, _/\_
tapi yg membuat saya bingung, di postingan sebelumnya dikatakan bahwa ajaran Mahayana terlalu Tinggi utk para Arahat di jaman Sang Buddha hidup sehingga Beliau tidak mengajarkan kpd mereka.

Tetapi di lain sisi anda juga mengatakan:

QuoteDalam perspektif Mahayana, Bodhisatva memiliki tingkatan yg berbeda-beda. Dgn kata lain, seorang pemula dapat membangkitkan cita-cita menjadi Buddha dan dia sudah disebut sebagai bodhisatva, namun dalam arti sbg bodhisatva pemula yg belum terkikis noda batinnya. Seiring dgn praktik pelatihannya, maka bodhisatva akan mencapai level yg lebih tinggi. Demikian seterusnya hingga menjadi bodhisatva mahasatva. Jadi sangat wajar bila seorang bodhisatva pemula masih memiliki tanha. Namun ini tentu harus dikikis dari hari ke hari.

Yg jadi pertanyaan saya knp umat awam yg berikrar (bodhisattva pemula) bisa memahami dan menjalankan ajaran2 di dalam Sutta Mahayana pdhl mereka masih mempunyai Kilesa dan Tanha,
sedangkan para Arahat yg diakui sudah mancapai Bodhisattva tgkt 7 dan sudah terlepas dari Kilesa, kenapa bahkan tidak bisa mengerti ajaran Mahayana sehingga Buddha tidak mengajarkan kpd mereka?

Dan apakah benar cerita bahwa Nagajuna yg mengambil sutta Mahayana dari alam Naga (kalo tdk salah ;D)?

Mohon diberi penjelasannya, sehingga saya dapat lebih memahami.
_/\_

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 21 January 2009, 10:12:22 AM
Quote from: BlackDragon on 21 January 2009, 01:07:43 AM
Atas^
Thx Bro Cingik atas jawabannya, _/\_
tapi yg membuat saya bingung, di postingan sebelumnya dikatakan bahwa ajaran Mahayana terlalu Tinggi utk para Arahat di jaman Sang Buddha hidup sehingga Beliau tidak mengajarkan kpd mereka.

Tetapi di lain sisi anda juga mengatakan:

QuoteDalam perspektif Mahayana, Bodhisatva memiliki tingkatan yg berbeda-beda. Dgn kata lain, seorang pemula dapat membangkitkan cita-cita menjadi Buddha dan dia sudah disebut sebagai bodhisatva, namun dalam arti sbg bodhisatva pemula yg belum terkikis noda batinnya. Seiring dgn praktik pelatihannya, maka bodhisatva akan mencapai level yg lebih tinggi. Demikian seterusnya hingga menjadi bodhisatva mahasatva. Jadi sangat wajar bila seorang bodhisatva pemula masih memiliki tanha. Namun ini tentu harus dikikis dari hari ke hari.

Yg jadi pertanyaan saya knp umat awam yg berikrar (bodhisattva pemula) bisa memahami dan menjalankan ajaran2 di dalam Sutta Mahayana pdhl mereka masih mempunyai Kilesa dan Tanha,
sedangkan para Arahat yg diakui sudah mancapai Bodhisattva tgkt 7 dan sudah terlepas dari Kilesa, kenapa bahkan tidak bisa mengerti ajaran Mahayana sehingga Buddha tidak mengajarkan kpd mereka?

Dan apakah benar cerita bahwa Nagajuna yg mengambil sutta Mahayana dari alam Naga (kalo tdk salah ;D)?

Mohon diberi penjelasannya, sehingga saya dapat lebih memahami.
_/\_



Memahami sebuah prinsip ajaran tidak tergantung pada seberapa banyak kilesa yang dikikis. Ananda memahami dan mengingat semua kotbah Sang Buddha, namun Beliau baru sanggup mencapai Arahat setelah Sang Buddha wafat. Culapanthaka yang dianggap bodoh tidak perlu banyak menguasai pengetahuan dhamma sudah bisa mencapai Kearahatan mendahului Ananda.

Namun ketika Buddha Gotama menjadi seorang bodhisatta pada kehidupan lampaunya, beliau banyak memahami dhamma dari para Buddha masa lalu, tapi tidak serta merta beliau mengikis habis noda batinnya, karena beliau memilih mencapai Sammasambuddha.

Pada dasarnya Sang Buddha bukan tidak mengajarkan ajaran Mahayana kepada para Arahat. Justru dari waktu ke waktu para siswa utama yg sudah menjadi Arahat sering mendengar wejangan dharma Sang Buddha tentang prinsip Mahayana. Salah satu contoh yg sdh umum, Dalam Sutra Intan, Y.A Subhuti berdialog dengan Buddha mengenai prinsip2 jalan Bodhisatva.
Namun tugas pengajaran prinsip Mahayana tidak diemban oleh para Arahat, karena sudah ada para bodhisatva dalam kapasitas ini. Sedangkan Arahat mengajarkan prinsip-prinsip Sravakayana. Itu pula yang menjadi salah satu faktor mengapa kitab-kitab Sravakayana tidak dicampur adukkan dengan kitab ajaran mahayana. Dan konsilinya juga berdiri sendiri tdk dicampur adukkan. 

Pada sisi lain, yang tidak diajarkan Buddha adalah kepada Arahat yang belum siap menerima prinsip Mahayana. Jadi kelompok Arahat memiiki kecenderungan batin yang berbeda-beda.

Mengenai Nagarjuna, memang terdapat kisah demikian. Tentang benar atau tidaknya kisah itu, ini sudah menyangkut ranah diluar nalar awam. Namun ajaran Buddha tidak menampik tentang kisah2 keajaiban. Sudah terlalu banyak kisah keajaiban dalam sutta2, jadi tidaklah mustahil bila Nagarjuna pergi ke istana Naga.


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 31 January 2009, 05:01:57 PM
Bro. dilbert,

Kisah Bodhisatta terlahir kembali di neraka oleh karena akusala kamma-nya ada di naskah Apadana, Khuddaka Nikaya.

The Bodhisatta was born several times in the purgatories (Ap.i.299 ff).
(Dictionary of Pali Proper Names)

Ap. = Apadana.

"Insiden ini oleh beberapa naskah dicatat merupakan buah karma oleh karena mengejak orang suci di kehidupan lampau. (Lihat: Apadana I:299). Sang Bodhisatta pergi menuju neraka oleh karena perbuatannya, insiden ini adalah karena kematangan buah karmanya."
(The Skill in Means)

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 31 January 2009, 05:31:59 PM
Quote
QuoteMau tanya Bro Gandalf kalo yg diatas termasuk Bodhisattva, berarti Bodhisattva masih ada Tanha donk yah?
Krn uda pasti ayah, ibu dan teman2 kita gak semua nya bersih dari kilesa, bahkan mgkn tidak satupun yg terbebas dari kilesa apa lagi mempunyai Pemahaman Maha Tahu.
Dan apabila mereka termasuk Bodhisattva, berarti seharusnya rata2 manusia yg ada di muka bumi dapat mengerti ajaran Mahayana dari awalnya.

hi, bro Black
Maaf ya kalo saya nimbrun pertanyaan yg tertuju pd bro Gandalf. Mungkin dia sdg sibuk, blm sempat balas , so saya coba bantu dari apa yg saya pelajari.

Mengenai ayah ibu kita disebut bodhisatva, ini tentu adalah perumpamaan yg bersifat kiasan. Namun bila direnungkan, hal ini sah sah saja, karena pada dasarnya ayah ibu kita memberi segala hal tanpa pamrih kepada kita, hal ini sangat selaras dgn sifat altruis yg dikembangkan seorang bodhisatva. Hal altruis inilah yg dijadikan inti dari apa yg dikiaskan bro Gandalf bhw ayah ibu kita adalah seorang bodhisatva.   

Terima kasih bro. chingik..... udah mbantu njawabin pertanyaan temen-temen di sini.... ya... kebetulan sebelumnya saya masih belum ada waktu. Karena pertanyaan bro black sudah dijawab, maka saya tidak menjelaskannya lagi.

Syair Nasehat Maitreya Mengenai Bakti pada Orang Tua:
"Di dalam keluarga ada 2 Buddha
Sayangnya, orang-orang di dunia tidak mengetahuinya
Tidak perlu menggunakan emas dan warna untuk memperindah
Juga tidak perlu menggunakan chandana untuk memahat
Hanya Lihatlah pada ayah dan ibumu yang sekarang ini
mereka adalah Shakyamuni dan Maitreya
Jika Engkau dapat membuat persembahan pada mereka,
di manakah kebutuhan untuk melakukan kebaikan dan kebajikan yang lain*."

*) Ini bukan berarti bahwa apabila kita berbakti pada ortu, kita tidak perlu berbuat baik pada yang lainnya lagi. Kalimat ini hanya menekankan pada besarnya kebajikan apabila kita berbakti pada ortu.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 11 February 2009, 08:17:15 PM
Quote from: chingik on 09 December 2008, 03:20:58 PM
Quote from: truth lover on 09 December 2008, 11:58:04 AM
Quote from: chingik on 09 December 2008, 10:34:56 AM
Quote
devadatta juga makan, minum dan pindapata
Ulang lagi:
Tentu tidak sama. Semua kualitas seorang Buddha sudah dijabarkan dalam naskah suci. Buddha adalah makhluk yg telah mencapai sabbanuta nana (pengetahuan mahatahu).
Buddha melakukan aktivitas sehari-hari,makan, minum, berpindapata, bukankah tampak seperti tidak ada beda dengan makhluk putthujana (Devadatta) ?[/u] namun tidak demikian bukan?

Terima kasih atas keterangannya mas Chingik,

Mengenai Sabbanuta nana (pengetahuan maha tahu) nampaknya diluar dari pembahasan mengenai Nirvana nih, kembali ke pertanyaannya bila Nirvana dan tidak Nirvana sama saja lantas apa bedanya dengan alam dewa? oh ya bukankah Nirvana dan Parinirvana beda? setahu saya Parinirvana adalah memasuki Nirvana dalam keadaan mangkat.
Yang saya tanyakan adalah Nirvana sesudah mangkat, bukan Nirvana sebelum mangkat.
Bila menurut mas Chingik sesudah Parinirvana sama saja dengan mereka yang tidak Parinirvana, apa bedanya?

mohon penjelasannya,

terima kasih

_/\_

Tidak ada bedanya. Lalu bukankah sama saja dengan alam dewa? Juga tidak sama.

Apa yg dimaksud dgn : tidak ada bedanya, namun juga tidak sama?
Maksudnya: pemahaman ini diluar logika awam. Kondisi ini tidak dapat dijelaskan secara verbal. So, Hanya dapat diselami sendiri secara langsung. Sama seperti mempertanyakan rasanya minum air asin, hanya dapat dirasakan tetapi tidak dapat dijelaskan dengan sempurna.
Makanya dikatakan Buddha tidak benar2 Parinirvana, ini juga ditujukan pada mereka yg melekat pada anggapan Buddha telah parinirvana. Ketika kita melekat pada anggapan Buddha tidak parinirvana, ini juga bentuk pemamahan ekstrim. Sebagai gambaran umum maka dikatakan diluar konsep fenomena ada atau tiada, wujud maupun tanpa wujud
Seperti apakah itu? Tanduk kelinci. Kelinci masak bertanduk? silakan berzazen sendiri.  :P


mas chingik, beberapa lama saya menganggap ini bukan jawaban, saya berpikir untuk tidak menanggapi tulisan mas Chingik terakhir ini dan mencari jawaban dari yang lebih ahli, tetapi saya akhirnya tergelitik juga  :). Nampaknya Nirvana yang secara jelas dikatakan berada sangat dekat, dapat dibuktikan dan menuntun ke dalam batin, sesudah sampai pada mas Chingik menjadi tidak jelas, dibikin menjadi tidak jelas... apakah ini disebabkan bahwa mas chingik tidak begitu jelas mengenai apa yang dimaksud dengan nirvana?
kalau memang mas chingik (dan juga mas Gandalf) memiliki pengertian yang jelas mengenai Nirvana, tolong jelaskan bagaimana sih proses Bodhisattva mencapai Samyaksambuddha waktu di bawah pohon Bodhi, menurut Mahayana? apakah sama dengan Theravada?

saya menghargai jawaban mas Chingik...

terima kasih   _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 11 February 2009, 09:15:21 PM
[at] truthlover...

kalau tidak salah saya (CMIIW), proses bodhisatva mencapai samyaksambuddha dibawah pohon bodhi menurut mahayana dan theravada sama... hanya saja menurut mahayana pencapaian di bawah pohon bodhi adalah pencapaian nirmakaya seorang bodhisatva siddharta... sedangkan menurut mahayana (vajrayana kali...) ada lagi pencapaian samyaksambuddha dari sambhogakaya seorang bodhisatva... yang diabhiseka sampai empat kali baru mencapai annutara samyaksambuddha...
untuk lebih lengkapnya mungkin bro.chingik dan bro.gandalf yang tulis.. (karena saya pun baru tahu dari posting-an bro gandalf)... dan semakin tahu saya tentang MAHAYANA itu...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 12 February 2009, 01:27:28 PM
Quote from: dilbert on 11 February 2009, 09:15:21 PM
[at] truthlover...

kalau tidak salah saya (CMIIW), proses bodhisatva mencapai samyaksambuddha dibawah pohon bodhi menurut mahayana dan theravada sama... hanya saja menurut mahayana pencapaian di bawah pohon bodhi adalah pencapaian nirmakaya seorang bodhisatva siddharta... sedangkan menurut mahayana (vajrayana kali...) ada lagi pencapaian samyaksambuddha dari sambhogakaya seorang bodhisatva... yang diabhiseka sampai empat kali baru mencapai annutara samyaksambuddha...
untuk lebih lengkapnya mungkin bro.chingik dan bro.gandalf yang tulis.. (karena saya pun baru tahu dari posting-an bro gandalf)... dan semakin tahu saya tentang MAHAYANA itu...

Terima kasih keterangannya mas Dilbert, karena fokus diskusi kita masih Mahayana maka saya perlu tahu bila berbeda dimana perbedaannya, jadi kita bisa tahu dengan jelas dimana perbedaan prosesnya. Karena pengertian saya tentang Mahayana masih abu-abu.

Jadi saya tetap ingin tahu dari mas Chingik maupun mas Gandalf mengenai proses yang terjadi dibawah pohon Bodhi menurut mahayana, dan proses itu tertulis di kitab suci Mahayana yang mana?

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 12 February 2009, 09:03:05 PM
Quote from: truth lover on 12 February 2009, 01:27:28 PM
Quote from: dilbert on 11 February 2009, 09:15:21 PM
[at] truthlover...

kalau tidak salah saya (CMIIW), proses bodhisatva mencapai samyaksambuddha dibawah pohon bodhi menurut mahayana dan theravada sama... hanya saja menurut mahayana pencapaian di bawah pohon bodhi adalah pencapaian nirmakaya seorang bodhisatva siddharta... sedangkan menurut mahayana (vajrayana kali...) ada lagi pencapaian samyaksambuddha dari sambhogakaya seorang bodhisatva... yang diabhiseka sampai empat kali baru mencapai annutara samyaksambuddha...
untuk lebih lengkapnya mungkin bro.chingik dan bro.gandalf yang tulis.. (karena saya pun baru tahu dari posting-an bro gandalf)... dan semakin tahu saya tentang MAHAYANA itu...

Terima kasih keterangannya mas Dilbert, karena fokus diskusi kita masih Mahayana maka saya perlu tahu bila berbeda dimana perbedaannya, jadi kita bisa tahu dengan jelas dimana perbedaan prosesnya. Karena pengertian saya tentang Mahayana masih abu-abu.

Jadi saya tetap ingin tahu dari mas Chingik maupun mas Gandalf mengenai proses yang terjadi dibawah pohon Bodhi menurut mahayana, dan proses itu tertulis di kitab suci Mahayana yang mana?

_/\_
Secara kronologi historycal dari masa kehidupan Pertapa Siddharta, Mahayana tetap berpegangan bahwa proses pencapaian Samyaksambuddha sama dgn konsep Theravada. Itulah sebabnya Mahayana tidak memungkiri ajaran Theravada (nikaya), karena memang itu adalah cakupannya. Cuma , ya Cuma saja..., ada satu aspek yg tidak pernah ada dalam konsep theravada adalah bahwa meskipun kronologitas pencapaian Kesempurnaan adalah sama dgn Mahayana, namun terdapat aspek lain yg dijabarkan secara lebih luas lagi dalam Mahayana, yakni pencapaian di bawah pohon bodhi ini hanyalah sebuah "lakon" utk memperkenalkan kemunculan seorang Buddha dan penyebaran dhammaNya kepada makhluk di dunia (lokadhatu) Saha ini.  Dengan pertunjukan ini, alur nya terus berlanjut ke pembabaran dhamma hingga Mahaparinirvana yg mana juga merupakan bagian dari alur pertunjukan seorang Buddha. Atas dasar inilah maka saya katakan bahwa sesungguhnya Mahaparinirvana Buddha tidak benar-benar disebut Mahaparinirvana. Mengapa? Karena utk selanjutnya Buddha akan memperkenalkan lagi ajaran dhamma di lokadhatu lain yang mana makhluk di sana belum mengenal dhamma. Tentu ini akan dilakukan sesuai dgn kondisi kematangan kemunculan Buddha dan kesiapan makhluk di sana utk mendapat ajaran dhamma. Bagi Mahayana, konsep seperti ini sah-sah saja, mengapa? Pertama,sesuai dgn ikrar seorang bodhisatta yg akan membebaskan semua makhluk hidup di semesta ini. Kedua, semesta ini tak terbatas luasnya dan tak terbatas jumlahnya. Lokadhatu di sini hanyalah setitik debu kecil di bandingkan dgn luasnya alam semesta. Jauh lebih aneh bila Buddha hanya mengajar dhamma kepada manusia di jambudipa sini saja, sedangkan jumlah jambudipa2 lain di semesta ini tak terhitung.
Jika meneliti pengumpulan paramita yg dilakukan seorang bodhisatta selama 4 asenkheya kalpa dan 100 ribu kalpa, atau dalam Mahayana menyebutkan 3 Maha asenkheya kalpa, maka cukup sepadan bila seorang Sammasambuddha melakukan ini semua.
   
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 12 February 2009, 09:26:59 PM
Quote from: chingik on 12 February 2009, 09:03:05 PM
Quote from: truth lover on 12 February 2009, 01:27:28 PM
Quote from: dilbert on 11 February 2009, 09:15:21 PM
[at] truthlover...

kalau tidak salah saya (CMIIW), proses bodhisatva mencapai samyaksambuddha dibawah pohon bodhi menurut mahayana dan theravada sama... hanya saja menurut mahayana pencapaian di bawah pohon bodhi adalah pencapaian nirmakaya seorang bodhisatva siddharta... sedangkan menurut mahayana (vajrayana kali...) ada lagi pencapaian samyaksambuddha dari sambhogakaya seorang bodhisatva... yang diabhiseka sampai empat kali baru mencapai annutara samyaksambuddha...
untuk lebih lengkapnya mungkin bro.chingik dan bro.gandalf yang tulis.. (karena saya pun baru tahu dari posting-an bro gandalf)... dan semakin tahu saya tentang MAHAYANA itu...

Terima kasih keterangannya mas Dilbert, karena fokus diskusi kita masih Mahayana maka saya perlu tahu bila berbeda dimana perbedaannya, jadi kita bisa tahu dengan jelas dimana perbedaan prosesnya. Karena pengertian saya tentang Mahayana masih abu-abu.

Jadi saya tetap ingin tahu dari mas Chingik maupun mas Gandalf mengenai proses yang terjadi dibawah pohon Bodhi menurut mahayana, dan proses itu tertulis di kitab suci Mahayana yang mana?

_/\_
Secara kronologi historycal dari masa kehidupan Pertapa Siddharta, Mahayana tetap berpegangan bahwa proses pencapaian Samyaksambuddha sama dgn konsep Theravada. Itulah sebabnya Mahayana tidak memungkiri ajaran Theravada (nikaya), karena memang itu adalah cakupannya. Cuma , ya Cuma saja..., ada satu aspek yg tidak pernah ada dalam konsep theravada adalah bahwa meskipun kronologitas pencapaian Kesempurnaan adalah sama dgn Mahayana, namun terdapat aspek lain yg dijabarkan secara lebih luas lagi dalam Mahayana, yakni pencapaian di bawah pohon bodhi ini hanyalah sebuah "lakon" utk memperkenalkan kemunculan seorang Buddha dan penyebaran dhammaNya kepada makhluk di dunia (lokadhatu) Saha ini.  Dengan pertunjukan ini, alur nya terus berlanjut ke pembabaran dhamma hingga Mahaparinirvana yg mana juga merupakan bagian dari alur pertunjukan seorang Buddha. Atas dasar inilah maka saya katakan bahwa sesungguhnya Mahaparinirvana Buddha tidak benar-benar disebut Mahaparinirvana. Mengapa? Karena utk selanjutnya Buddha akan memperkenalkan lagi ajaran dhamma di lokadhatu lain yang mana makhluk di sana belum mengenal dhamma. Tentu ini akan dilakukan sesuai dgn kondisi kematangan kemunculan Buddha dan kesiapan makhluk di sana utk mendapat ajaran dhamma. Bagi Mahayana, konsep seperti ini sah-sah saja, mengapa? Pertama,sesuai dgn ikrar seorang bodhisatta yg akan membebaskan semua makhluk hidup di semesta ini. Kedua, semesta ini tak terbatas luasnya dan tak terbatas jumlahnya. Lokadhatu di sini hanyalah setitik debu kecil di bandingkan dgn luasnya alam semesta. Jauh lebih aneh bila Buddha hanya mengajar dhamma kepada manusia di jambudipa sini saja, sedangkan jumlah jambudipa2 lain di semesta ini tak terhitung.
Jika meneliti pengumpulan paramita yg dilakukan seorang bodhisatta selama 4 asenkheya kalpa dan 100 ribu kalpa, atau dalam Mahayana menyebutkan 3 Maha asenkheya kalpa, maka cukup sepadan bila seorang Sammasambuddha melakukan ini semua.
  

lha kan di mahayana dikenal banyak sammasambuddha lain yang jumlahnya tak terhitung... Katanya BUDDHA SAKYAMUNI tidak benar benar parinibbana tetapi ke alam lain meneruskan pembabaran dhamma kepada makhluk makhluk lain...
Baru tahu saya ada Siddharta mencapai penerangan sempurna di jambudipa itu disebut sebagai LAKON... Siapa sutradaranya ?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 12 February 2009, 09:30:53 PM
Quote
lha kan di mahayana dikenal banyak sammasambuddha lain yang jumlahnya tak terhitung... Katanya BUDDHA SAKYAMUNI tidak benar benar parinibbana tetapi ke alam lain meneruskan pembabaran dhamma kepada makhluk makhluk lain...
Baru tahu saya ada Siddharta mencapai penerangan sempurna di jambudipa itu disebut sebagai LAKON... Siapa sutradaranya ?

ya Buddha sendirilah sutradaranya. Pertanyaan macam apa pula ini...hehe..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 12 February 2009, 10:12:29 PM
Quote from: chingik on 12 February 2009, 09:30:53 PM
Quote
lha kan di mahayana dikenal banyak sammasambuddha lain yang jumlahnya tak terhitung... Katanya BUDDHA SAKYAMUNI tidak benar benar parinibbana tetapi ke alam lain meneruskan pembabaran dhamma kepada makhluk makhluk lain...
Baru tahu saya ada Siddharta mencapai penerangan sempurna di jambudipa itu disebut sebagai LAKON... Siapa sutradaranya ?

ya Buddha sendirilah sutradaranya. Pertanyaan macam apa pula ini...hehe..
bukan pertanyaan aneh,tetapi memang Mahayana berprinsip demikian..
dikatakan Gotama sebelum lahir menjadi Siddharta sudah mencapai nirvana dari kalpa-kalpa yang lalu..


dari sini ditarik kesimpulan kalau memang Nibbana versi Theravada dan Nirvana versi Mahayana sudah jelas berbeda.

QuoteKemudian Sang Buddha bersabda :"Aku juga seperti ini. Sejak Aku menjadi Buddha pada beratus ribu koti nayuta Asamkhyeya Kalpa yang tak terhingga dan tak terbatas yang telah lalu, demi semua umat, dengan Kekuatan-Ku Yang Bijaksana telah Aku nyatakan bahwa Aku harus masuk Nirvana, dan meskipun begitu, tidak ada Seorang pun yang menuduh-Ku secara Hukum bahwa Aku telah berbuat kebohongan."

Pada saat itu, Sang Buddha yang ingin memaklumkan Ajaran ini kembali, maka bersabdalah Beliau dalam Syair :

"Sejak Aku mencapai KeBuddhaan,
Kalpa-Kalpa yang telah Aku lalui,
Adalah beribu-ribu koti
Asamkhyeya tahun yang tak terbatas.

Tiada henti-hentinya Aku berkhotbah Hukum Kesunyataan dan mengajar
Berkoti-koti mahluk yang tanpa hitungan jumlahnya
Agar mereka memasuki Jalan KeBuddhaan;
Sejak saat itu adalah beribu kalpa yang tak terhitung.

Demi untuk menyelamatkan semua umat,
Dengan Cara Yang Bijaksana Aku bentangkan Nirvana,
Bahkan sesungguhnya Aku tidak Moksha,
Tetapi selamanya berada di sini mengkhotbahkan Hukum Kesunyataan.

Aku tinggal di dunia ini selama-lamanya,
Dengan menggunakan segala Kekuatan-Kekuatan Ghaib-Ku
Agar mahluk-mahluk yang menyeleweng,
Meskipun Aku di dekatnya, mereka tidak melihat-Ku..........dan seterus nya

jadi selama ini masih ada sejuta sammasambuddha yang telah mencapai kebuddha-an tetapi tidak pernah Nibbana...hanya ke suatu alam...dan memakai sambhogakaya atau apalah...untuk mengajarkan dhamma...

jadi sebelum buddha bertekad.....mencapai kebuddhaan pada 4 assengkya kappa dan 100.000 kalpa yg lampau...dia sudah mencapai ke-buddha-an.?
mohon info benar nya...mungkin yang saya kutip ini salah.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 13 February 2009, 12:24:46 AM
terima kasih atas tanggapan mas Chingik,

QuoteSecara kronologi historycal dari masa kehidupan Pertapa Siddharta, Mahayana tetap berpegangan bahwa proses pencapaian Samyaksambuddha sama dgn konsep Theravada.
Pertanyaan saya belum dijawab mas Chingik, ini tertulis di kitab suci Mahayana yang mana? atau ini cuma pendapat sendiri? Pencerahan menurut Theravada setelah Bodhisatta mencapai pencerahan maka itu adalah kehidupannya yang terakhir, apakah sama dengan Mahayana? Lantas persamaannya dimana? tolong penjelasannya.

QuoteItulah sebabnya Mahayana tidak memungkiri ajaran Theravada (nikaya), karena memang itu adalah cakupannya. Cuma , ya Cuma saja..., ada satu aspek yg tidak pernah ada dalam konsep theravada adalah bahwa meskipun kronologitas pencapaian Kesempurnaan adalah sama dgn Mahayana, namun terdapat aspek lain yg dijabarkan secara lebih luas lagi dalam Mahayana, yakni pencapaian di bawah pohon bodhi ini hanyalah sebuah "lakon" utk memperkenalkan kemunculan seorang Buddha dan penyebaran dhammaNya kepada makhluk di dunia (lokadhatu) Saha ini. 
Aah saya mengerti, jadi pencapaian di bawah pohon Bodhi hanya sebuah sandiwara saja? begitukah?


QuoteDengan pertunjukan ini, alur nya terus berlanjut ke pembabaran dhamma hingga Mahaparinirvana yg mana juga merupakan bagian dari alur pertunjukan seorang Buddha. Atas dasar inilah maka saya katakan bahwa sesungguhnya Mahaparinirvana Buddha tidak benar-benar disebut Mahaparinirvana. Mengapa? Karena utk selanjutnya Buddha akan memperkenalkan lagi ajaran dhamma di lokadhatu lain yang mana makhluk di sana belum mengenal dhamma.
Bila para Buddha tidak sungguh sungguh Maha Parinirvana, lantas siapakah yang sungguh-sungguh Maha Parinirvana?  ::)

QuoteTentu ini akan dilakukan sesuai dgn kondisi kematangan kemunculan Buddha dan kesiapan makhluk di sana utk mendapat ajaran dhamma. Bagi Mahayana, konsep seperti ini sah-sah saja, mengapa? Pertama,sesuai dgn ikrar seorang bodhisatta yg akan membebaskan semua makhluk hidup di semesta ini.
Boleh tahu pembebasan mahluk hidup itu melalui jalan Bodhisattva kan? seperti apa pembebasannya?

QuoteKedua, semesta ini tak terbatas luasnya dan tak terbatas jumlahnya. Lokadhatu di sini hanyalah setitik debu kecil di bandingkan dgn luasnya alam semesta. Jauh lebih aneh bila Buddha hanya mengajar dhamma kepada manusia di jambudipa sini saja, sedangkan jumlah jambudipa2 lain di semesta ini tak terhitung.
Saya setuju alam semesta luas, Jadi nanti Shakyamuni Buddha akan berpura-pura mencapai pencerahan dimana lagi?

QuoteJika meneliti pengumpulan paramita yg dilakukan seorang bodhisatta selama 4 asenkheya kalpa dan 100 ribu kalpa, atau dalam Mahayana menyebutkan 3 Maha asenkheya kalpa, maka cukup sepadan bila seorang Sammasambuddha melakukan ini semua.
Maksudnya melakukan apa? berpura-pura mencapai pencerahan lagi, padahal sudah tercerahkan?

mohon penjelasannya, terima kasih

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: BlackDragon on 13 February 2009, 03:10:22 AM
Thx Bro Chingik atas jawabannya,
tapi ada satu hal yg masih mengganjal pikiran saya.

QuoteLebih lanjut Bhavaviveka dalam Tarkajvala juga menyanggah klaim Hinayana dengan ofensif, yaitu dengan mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka], tetapi untuk para Bodhisattva. Wajar saja kalau Hinayana tidak tahu.

Sebagai klimaks Bhavaviveka mengutip Simsapavana Sutra:
"Ananda, Dharma yang kumengerti tetapi tidak kuajarkan padamu lebih banyak daripada dedaunan di hutan pohon simsapa ini."

Di sana jelas bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan semua Dharma pada kaum Sravaka. Yang tidak diajarkan pada kaum Sravaka itu, diajarkan sang Buddha pada para Bodhisattva.

Kisah hutan Simsapa ini juga disebutkan dalam Mahaparinirvana Sutra:

Kasyapa berkata pada sang Buddha: "O Bhagava! Ketika Sang Buddha berada di tepi sungai Gangga, di hutan Simsapavana, Pada waktu itu, sang Tathagata mengambil satu dahan pohon simsapa yang kecil dengan beberapa daun di batang tersebut dan berkata pada para bhiksu:
"Apakah daun yang berada di dalam genggaman tangan-Ku banyak atau semua daun dari rerumputan dan pepohonan di seluruh hutan banyak?"
Semua bhiksu menjawab: "O Bhagava! Dedaunan dari rerumputan dan pepohonan dari seluruh hutan sangat banyak dan tidak dapat dihitiung. Apa yang Tathagata pegang di tangan-Nya sangat sedikit dan tidak berharga untuk disebutkan."
"O para bhiksu! Pengetahuan yang aku ketahui adalah seperti dedaunan dari rerumputan dan pepohonan di muka bumi; apa yang Aku berikan pada semua makhluk bagaikan daun dalam genggaman tangan-Ku."
Sang Bhagava kemudian berkata: Hal-hal yang tidak terbatas yang diketahui oleh Tathagata adalah merupakan ajaran-Ku apabila mereka mencakup Empat Kebenaran Mulia. Jika tidak, maka akan ada 5 Kebenaran."
...........
Bodhisattva Kasyapa berkata pada Buddha: "Jika semua hal tersebut berada dalam Empat kebenaran Mulia, mengapa Anda mengatakan bahwa mereka belum dibabarkan?"
Sang Buddha menjawab: "O pria yang berbudi! Meskipun mereka berada di dalam Empat kebenaran Mulia, kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka telah dibabarkan. Mengapa tidak? O pria yang berbudi! Ada 2 macam kebijaksanaan berkaitan dengan pengetahuan Kebenaran Mulia. Yang pertama adalah tingkat menengah dan yang lainnya adalah tingkat superior. Apa yang dinamakan sebagai kebijaksanaan tingkat menengah adalah para Sravaka dan Pratyekabuddha; apa yang dimaksud sebagai tingkat superior adalah para Buddha dan Bodhisattva.


Dikatakan bahwa karena Kausala nya, maka Buddha Sakyamuni tidak mengajarkan sutta2 mahayana kpd para arahat pada jaman Beliau hidup.
Karena Sang Buddha mengetahui bahwa para arahat tsb tidak dapat memahami Ajaran Mahayana.
Dan Beliau mengajarkan sutta2 Mahayana hanya kpd Bodhisatva yg berada di suatu surga (saya lupa) :)
Tapi secara jelas di dalam Mahayana para Arahat diakui sebagai Bodhisatva tingkat 7.
Yg jadi pertanyaan saya:
Apabila arahat sudah mencapai Bodhisatva tingkat 7, mengapa masih tidak bisa memahami ajaran sutta2 Mahayana???
Dan aneh nya lagi, apabila Arahat (Bodhisatva tingkat 7) saja tidak dapat memahami, mengapa skrg malah banyak umat2 awam yg bisa menjelaskan ttg isi sutta2 Mahayana, yg menandakan mereka MENGERTI dan MEMAHAMI?
Seperti anda dan Bro Gandalf, yg saya rasa paham sekali ttg ajaran Mahayana.

Mohon diberi penjelasan, krn saya benar2 ingin mengerti.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 14 February 2009, 09:32:21 PM
Quote
Quote
Secara kronologi historycal dari masa kehidupan Pertapa Siddharta, Mahayana tetap berpegangan bahwa proses pencapaian Samyaksambuddha sama dgn konsep Theravada.

Pertanyaan saya belum dijawab mas Chingik, ini tertulis di kitab suci Mahayana yang mana? atau ini cuma pendapat sendiri? Pencerahan menurut Theravada setelah Bodhisatta mencapai pencerahan maka itu adalah kehidupannya yang terakhir, apakah sama dengan Mahayana? Lantas persamaannya dimana? tolong penjelasannya.

Saya dapat mengerti kebingungan anda yg berpijak pada perspektif Theravada utk memahami pandangan Mahayana. Tetapi sekali lagi mohon dicamkan baik-baik bahwa saya tidak menjelaskan menurut pandangan Theravada. Sangatlah wajar bila bro yang berpijak pd pandangan Theravada merasa bahwa konsep pencerahan Theravada tidak sama Mahayana. Begitu juga Mahayana memang memiliki konsep yg berbeda, tetapi karena Mahayana menerima cakupan Theravada, maka pada sisi tertentu disebut sama. Nah, yg saya maksudkan sama itu adalah sisi tersebut, sedangkan pada aspek yg lebih luas lagi, Mahayana menyebutkan hal-hal yang tidak ada di dalam konsep Theravada. Aspek ini berbeda. Itu jelas. Ya, bro mungkin akan merasa puas bahwa benar saja memang beda. Ini tentu adalah pilihan kita masing-masing. Tetapi berbalik lagi pada pertanyaan awal bahwa apakah pencerahan itu sama dalam pandangan Mahayana, maka penjelasan yang bisa dikemukakan tetap seperti semula yakni Sama pada sisi kronologitas historikal, namun beda karena ada penjelasan dalam aspek yg lebih luas lagi. Apakah ini pendapat pribadi? Tentu tidak, sejauh saya mempelajari Mahayana, memang demikian adanya. Mengapa? Karena Mahayana tidak berdiri sendiri dgn mengabaikan sisi kehidupan Buddha yg tercatat dalam Agama Sutra (ataupun Nikaya Pali). Semua kotbah yg tercatat dalam kitab tersebut merupakan satu kesatuan yg tidak dapat dipisahkan bagi seorang praktisi Mahayana, karena semua ini tetap sangat dijunjung tinggi karena merupakan kotbah Hyang Buddha. Yang membedakannya adlah Mahayana sekaligus juga meyakini kotbah-kotbah yg tercatat dalam Sutra Mahayana. Sebagai contoh, Sutra Mahayana yakni Maharatnakuta Sutra bagian Varga UpayaKausalya, Salah satu Bodhisatva berdialog dgn Buddha mengenai kebingungannya tentang mengapa Buddha lahir dari sisi kanan ratu Mahamaya, mengapa Buddha saat mencapai pencerahan tidak membabarkan dhamma sebelum diminta oleh Brahma Sahampati, dan lain-lain yang mana pertanyaan2 tersebut merupakan pertanyaan yg berkaitan dgn  kotbah yg ada di dalam kitab Nikaya/Agama Sutra. Tidak hanya itu, dalam Mahasatyanirgrantha Nirdesa, menguraikan keagungan Buddha yg isinya selaras dgn kotbah-kotbah dalam Nikaya, hanya saja Sutra ini memberi uraian yg lebih luas hingga ke aspek Mahayanis.   

Quote
Quote
Itulah sebabnya Mahayana tidak memungkiri ajaran Theravada (nikaya), karena memang itu adalah cakupannya. Cuma , ya Cuma saja..., ada satu aspek yg tidak pernah ada dalam konsep theravada adalah bahwa meskipun kronologitas pencapaian Kesempurnaan adalah sama dgn Mahayana, namun terdapat aspek lain yg dijabarkan secara lebih luas lagi dalam Mahayana, yakni pencapaian di bawah pohon bodhi ini hanyalah sebuah "lakon" utk memperkenalkan kemunculan seorang Buddha dan penyebaran dhammaNya kepada makhluk di dunia (lokadhatu) Saha ini. 

Aah saya mengerti, jadi pencapaian di bawah pohon Bodhi hanya sebuah sandiwara saja? begitukah?
Saya menyebutkan kata lakon dgn tanda petik dgn harapan agar anda memahami maksud yg saya kemukakan. Namun saya menangkap cara bro menanggapinya dgn sangat aburd. Atau memang ingin bertanya dgn sangat sangat serius? Saya pernah berdiskusi dgn seorang rekan yg tidak meyakini ajaran Buddha, namun ketika beliau mendengar hal-hal yg diluar pemahaman beliau, bagaimanapun juga beliau tidak akan bertanya tentang hal-hal yg seolah-olah sangat absurd. Dari mempelajari ajaran Buddha, kita sama-sama memahami bahwa Buddha adalah manusia yg sangat luar biasa karismatiknya. Ini tercermin dari kata-kata bijaknya. Dari sisi ini saja, seharusnya tidak perlu sampai memunculkan rasa curiga bahwa seorang Buddha sedang bersandiwara. Kalaupun ingin mengatakan sandiwara, maka sepatutnya konteks sandiwara itu dibedakan dgn tanda petik, karena tentu ini sangat berbeda. Singkatnya, Buddha tentu tidak mungkin bersandiwara. Bagi bro yg sudah terpaten dgn konsepsi Theravada, memang sulit menerima bahwa Buddha dapat muncul lagi di dunia lain dgn alur : "lahir, menjadi pertapa, mencapai pencerahan, membabarkan dhamma, Mahaparinibbana". Namun bagi Mahayana hal ini sejalan dgn ikrar agung dan tidaklah mustahil ini dilakukan seorang Buddha, mengapa? Seorang Buddha sudah tidak melekat lagi dgn Keakuan, karena tidak melekat lagi itulah maka apalah artinyan jika setelah Mahaparibbana lalu sampai suatu waktu muncul lagi dgn alur seperti di atas utk mengajar di sebuah lokadhatu yg msh asing sama sekali dgn dhamma? Mungkin Mahaparinibbana yg bro hendaki adalah padam total, namun ingatlah bahwa Buddha tidak pernah mengatakan bahwa mencapai nibbana itu sama dgn lenyap, jiak sama dgn lenyap bukankah sama dgn paham nihilis? Sedangkan bagi Mahayana, muncul lagi di suatu tempat pd satu kondisi yg tepat tidak menandakan bahwa Mahayana menganut paham kekal. Jika dikatakan paham kekal, maka seharusnya Buddha tidak perlu Mahaparinibbana, namun Mahayana lebih menganggapnya sebagai perubahan yg terus menerus, dan hakikat dhamma itu tetap ada karena dhammatanya, dan karena Buddha tidak melekat pd Keakuan itu pula maka Beliau bebas leluasa dgn kearifan sejati tetap akan membimbing orang yg kondisi karmanya selaras utk dibimbing Buddha.

Quote
Quote
Dengan pertunjukan ini, alur nya terus berlanjut ke pembabaran dhamma hingga Mahaparinirvana yg mana juga merupakan bagian dari alur pertunjukan seorang Buddha. Atas dasar inilah maka saya katakan bahwa sesungguhnya Mahaparinirvana Buddha tidak benar-benar disebut Mahaparinirvana. Mengapa? Karena utk selanjutnya Buddha akan memperkenalkan lagi ajaran dhamma di lokadhatu lain yang mana makhluk di sana belum mengenal dhamma.

Bila para Buddha tidak sungguh sungguh Maha Parinirvana, lantas siapakah yang sungguh-sungguh Maha Parinirvana? 
Sejatinya bagi mahayana, Mahaparinirvana yg berbentuk matinya seorang Buddha hanyalah perwujudan yg diperlihatkan atau hanya dipahami secara awam. Hakikat sejatinya Mahaparinirvana tidak lain adalah tidak lahir dan tidak mati. Konsep ini Mungkin ini akan menjadi bahasan yg terpisah lagi. Dalam kitab Mahayana membahas dgn sangat-sangat banyak.

Quote
Quote
Tentu ini akan dilakukan sesuai dgn kondisi kematangan kemunculan Buddha dan kesiapan makhluk di sana utk mendapat ajaran dhamma. Bagi Mahayana, konsep seperti ini sah-sah saja, mengapa? Pertama,sesuai dgn ikrar seorang bodhisatta yg akan membebaskan semua makhluk hidup di semesta ini.

Boleh tahu pembebasan mahluk hidup itu melalui jalan Bodhisattva kan? seperti apa pembebasannya?
Bentuk pembebasannya banyak juga dibahas dlm kitab ulasan Buddhavamsa (silakan baca sendiri RAPB), setelah saya baca, secara garis besar selaras dgn Mahayana. Intinya tidak lari dari 10 Paramita.

Quote
Quote
Kedua, semesta ini tak terbatas luasnya dan tak terbatas jumlahnya. Lokadhatu di sini hanyalah setitik debu kecil di bandingkan dgn luasnya alam semesta. Jauh lebih aneh bila Buddha hanya mengajar dhamma kepada manusia di jambudipa sini saja, sedangkan jumlah jambudipa2 lain di semesta ini tak terhitung.

Saya setuju alam semesta luas, Jadi nanti Shakyamuni Buddha akan berpura-pura mencapai pencerahan dimana lagi?
Hahaha...saya harap bro tidak membuat pertanyaan yg kekanak-kanakan.  :))
Mengapa harus berpura-pura? Pada intinya, tujuan terpenting adalah menyelidiki makhluk derita mana yg kondisinya siap utk dibimbing agar dapat memasuki pintu dhamma. Itulah yg diutamakan Buddha. Jadi mau bilang pura2 atau tidak, itu terserah bro.  Yg Jelas, silakan renungkan sifat2 agung Buddha lalu pahami bhw jika hal itu memungkinkan bagi seorang Buddha utk datang lagi dan mengajar orang yg sangat kasian itu, maka why not ? Mungkin bro akan terpaku pada persoalan "masalahnya Buddha tidak mungkin datang lagi karena sudah Mahaparinibbana" , ya itu karena menyangkut keyakinan bro saja. Silakan

Quote
Quote
Jika meneliti pengumpulan paramita yg dilakukan seorang bodhisatta selama 4 asenkheya kalpa dan 100 ribu kalpa, atau dalam Mahayana menyebutkan 3 Maha asenkheya kalpa, maka cukup sepadan bila seorang Sammasambuddha melakukan ini semua.

Maksudnya melakukan apa? berpura-pura mencapai pencerahan lagi, padahal sudah tercerahkan?
Hahahah.. _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 14 February 2009, 09:40:29 PM
Quote from: BlackDragon on 13 February 2009, 03:10:22 AM
Thx Bro Chingik atas jawabannya,
tapi ada satu hal yg masih mengganjal pikiran saya.

QuoteLebih lanjut Bhavaviveka dalam Tarkajvala juga menyanggah klaim Hinayana dengan ofensif, yaitu dengan mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka], tetapi untuk para Bodhisattva. Wajar saja kalau Hinayana tidak tahu.

Sebagai klimaks Bhavaviveka mengutip Simsapavana Sutra:
"Ananda, Dharma yang kumengerti tetapi tidak kuajarkan padamu lebih banyak daripada dedaunan di hutan pohon simsapa ini."

Di sana jelas bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan semua Dharma pada kaum Sravaka. Yang tidak diajarkan pada kaum Sravaka itu, diajarkan sang Buddha pada para Bodhisattva.

Kisah hutan Simsapa ini juga disebutkan dalam Mahaparinirvana Sutra:

Kasyapa berkata pada sang Buddha: "O Bhagava! Ketika Sang Buddha berada di tepi sungai Gangga, di hutan Simsapavana, Pada waktu itu, sang Tathagata mengambil satu dahan pohon simsapa yang kecil dengan beberapa daun di batang tersebut dan berkata pada para bhiksu:
"Apakah daun yang berada di dalam genggaman tangan-Ku banyak atau semua daun dari rerumputan dan pepohonan di seluruh hutan banyak?"
Semua bhiksu menjawab: "O Bhagava! Dedaunan dari rerumputan dan pepohonan dari seluruh hutan sangat banyak dan tidak dapat dihitiung. Apa yang Tathagata pegang di tangan-Nya sangat sedikit dan tidak berharga untuk disebutkan."
"O para bhiksu! Pengetahuan yang aku ketahui adalah seperti dedaunan dari rerumputan dan pepohonan di muka bumi; apa yang Aku berikan pada semua makhluk bagaikan daun dalam genggaman tangan-Ku."
Sang Bhagava kemudian berkata: Hal-hal yang tidak terbatas yang diketahui oleh Tathagata adalah merupakan ajaran-Ku apabila mereka mencakup Empat Kebenaran Mulia. Jika tidak, maka akan ada 5 Kebenaran."
...........
Bodhisattva Kasyapa berkata pada Buddha: "Jika semua hal tersebut berada dalam Empat kebenaran Mulia, mengapa Anda mengatakan bahwa mereka belum dibabarkan?"
Sang Buddha menjawab: "O pria yang berbudi! Meskipun mereka berada di dalam Empat kebenaran Mulia, kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka telah dibabarkan. Mengapa tidak? O pria yang berbudi! Ada 2 macam kebijaksanaan berkaitan dengan pengetahuan Kebenaran Mulia. Yang pertama adalah tingkat menengah dan yang lainnya adalah tingkat superior. Apa yang dinamakan sebagai kebijaksanaan tingkat menengah adalah para Sravaka dan Pratyekabuddha; apa yang dimaksud sebagai tingkat superior adalah para Buddha dan Bodhisattva.


Dikatakan bahwa karena Kausala nya, maka Buddha Sakyamuni tidak mengajarkan sutta2 mahayana kpd para arahat pada jaman Beliau hidup.
Karena Sang Buddha mengetahui bahwa para arahat tsb tidak dapat memahami Ajaran Mahayana.
Dan Beliau mengajarkan sutta2 Mahayana hanya kpd Bodhisatva yg berada di suatu surga (saya lupa) :)
Tapi secara jelas di dalam Mahayana para Arahat diakui sebagai Bodhisatva tingkat 7.
Yg jadi pertanyaan saya:
Apabila arahat sudah mencapai Bodhisatva tingkat 7, mengapa masih tidak bisa memahami ajaran sutta2 Mahayana???
Dan aneh nya lagi, apabila Arahat (Bodhisatva tingkat 7) saja tidak dapat memahami, mengapa skrg malah banyak umat2 awam yg bisa menjelaskan ttg isi sutta2 Mahayana, yg menandakan mereka MENGERTI dan MEMAHAMI?
Seperti anda dan Bro Gandalf, yg saya rasa paham sekali ttg ajaran Mahayana.

Mohon diberi penjelasan, krn saya benar2 ingin mengerti.

_/\_

Jangan salah paham. Buddha tidak pernah tidak mengajarkan para Arahat tentang jalan Bodhisatva. Contoh saja, Setiap pembabaran dharma Budha selalu dihadiri serombongan besar Bhikkhu Arahat. Yang dimaksud Arahat tidak mengetahui jalan Bodhisatva adalah Arahat tidak sanggup memahami jalan Bodhisatva. Buddha tetap berkotbah tentang jalan Bodhisatva, namun para Arahat tidak memahaminya sehingga dianalogikan bahwa Arahat tidak mendengar ajaran Mahayana. Kotbah Sang Buddha seperti guyuran hujan dari angkasa, para makhluk ibarat tanaman yg terguyur, rumput kecil hanya sanggup menyerap air sedikit, pohon besar menyerap air hujan dgn lebih banyak, semua terguyur, namun kapasitas menerima air (ajaran) tergantung masing-masing tanaman. Begitu juga umat awam hanya sanggup menyerap ajaran lokiya, sedangkan mereka yg menjadi bhikkhu dapat memahami ajaran yg lebih tinggi sehingga menyerap lebih banyak ajaran Buddha seperti pohon besar. Demikian seterusnya semua ini tergantung pada kapasitas masing2. 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 14 February 2009, 10:32:36 PM
Quote from: chingik on 14 February 2009, 09:40:29 PM

Jangan salah paham. Buddha tidak pernah tidak mengajarkan para Arahat tentang jalan Bodhisatva. Contoh saja, Setiap pembabaran dharma Budha selalu dihadiri serombongan besar Bhikkhu Arahat. Yang dimaksud Arahat tidak mengetahui jalan Bodhisatva adalah Arahat tidak sanggup memahami jalan Bodhisatva. Buddha tetap berkotbah tentang jalan Bodhisatva, namun para Arahat tidak memahaminya sehingga dianalogikan bahwa Arahat tidak mendengar ajaran Mahayana. Kotbah Sang Buddha seperti guyuran hujan dari angkasa, para makhluk ibarat tanaman yg terguyur, rumput kecil hanya sanggup menyerap air sedikit, pohon besar menyerap air hujan dgn lebih banyak, semua terguyur, namun kapasitas menerima air (ajaran) tergantung masing-masing tanaman. Begitu juga umat awam hanya sanggup menyerap ajaran lokiya, sedangkan mereka yg menjadi bhikkhu dapat memahami ajaran yg lebih tinggi sehingga menyerap lebih banyak ajaran Buddha seperti pohon besar. Demikian seterusnya semua ini tergantung pada kapasitas masing2. 

Selain subhuti siapa lagi arahat pada jamannya yang memahami ajaran mahayana ?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 15 February 2009, 06:23:13 AM
QuoteSelain subhuti siapa lagi arahat pada jamannya yang memahami ajaran mahayana ?

Pertanyaan ini sudah pernah dijawab dulu.

Atau kalau mau ya baca Saddharmapundarika Sutra.

Silahkan cari postingan yang dulu-dulu, jadi pertanyaan tidak akan terus mengulang.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 15 February 2009, 08:10:19 AM
QuoteSaya menyebutkan kata lakon dgn tanda petik dgn harapan agar anda memahami maksud yg saya kemukakan. Namun saya menangkap cara bro menanggapinya dgn sangat aburd. Atau memang ingin bertanya dgn sangat sangat serius? Saya pernah berdiskusi dgn seorang rekan yg tidak meyakini ajaran Buddha, namun ketika beliau mendengar hal-hal yg diluar pemahaman beliau, bagaimanapun juga beliau tidak akan bertanya tentang hal-hal yg seolah-olah sangat absurd. Dari mempelajari ajaran Buddha, kita sama-sama memahami bahwa Buddha adalah manusia yg sangat luar biasa karismatiknya. Ini tercermin dari kata-kata bijaknya. Dari sisi ini saja, seharusnya tidak perlu sampai memunculkan rasa curiga bahwa seorang Buddha sedang bersandiwara. Kalaupun ingin mengatakan sandiwara, maka sepatutnya konteks sandiwara itu dibedakan dgn tanda petik, karena tentu ini sangat berbeda. Singkatnya, Buddha tentu tidak mungkin bersandiwara. Bagi bro yg sudah terpaten dgn konsepsi Theravada, memang sulit menerima bahwa Buddha dapat muncul lagi di dunia lain dgn alur : "lahir, menjadi pertapa, mencapai pencerahan, membabarkan dhamma, Mahaparinibbana". Namun bagi Mahayana hal ini sejalan dgn ikrar agung dan tidaklah mustahil ini dilakukan seorang Buddha, mengapa? Seorang Buddha sudah tidak melekat lagi dgn Keakuan, karena tidak melekat lagi itulah maka apalah artinyan jika setelah Mahaparibbana lalu sampai suatu waktu muncul lagi dgn alur seperti di atas utk mengajar di sebuah lokadhatu yg msh asing sama sekali dgn dhamma? Mungkin Mahaparinibbana yg bro hendaki adalah padam total, namun ingatlah bahwa Buddha tidak pernah mengatakan bahwa mencapai nibbana itu sama dgn lenyap, jiak sama dgn lenyap bukankah sama dgn paham nihilis? Sedangkan bagi Mahayana, muncul lagi di suatu tempat pd satu kondisi yg tepat tidak menandakan bahwa Mahayana menganut paham kekal. Jika dikatakan paham kekal, maka seharusnya Buddha tidak perlu Mahaparinibbana, namun Mahayana lebih menganggapnya sebagai perubahan yg terus menerus, dan hakikat dhamma itu tetap ada karena dhammatanya, dan karena Buddha tidak melekat pd Keakuan itu pula maka Beliau bebas leluasa dgn kearifan sejati tetap akan membimbing orang yg kondisi karmanya selaras utk dibimbing Buddha.
justru membimbing terus menerus muncul alur..maka ada "ke-aku-an" disitu....coba lihat patticasammupada lagi dah...
ada suatu ego disitu.....
kalau masih tidak percaya..coba tanya yang praktik langsung vipassana....kalau saya sendiri...menyatakan ada "ego" disitu.

berarti Anatta dalam mahanyana dan Theravada berbeda lagi ^^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 15 February 2009, 08:16:28 AM
Quote from: chingik on 14 February 2009, 09:40:29 PM
Quote from: BlackDragon on 13 February 2009, 03:10:22 AM
Thx Bro Chingik atas jawabannya,
tapi ada satu hal yg masih mengganjal pikiran saya.

QuoteLebih lanjut Bhavaviveka dalam Tarkajvala juga menyanggah klaim Hinayana dengan ofensif, yaitu dengan mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka], tetapi untuk para Bodhisattva. Wajar saja kalau Hinayana tidak tahu.

Sebagai klimaks Bhavaviveka mengutip Simsapavana Sutra:
"Ananda, Dharma yang kumengerti tetapi tidak kuajarkan padamu lebih banyak daripada dedaunan di hutan pohon simsapa ini."

Di sana jelas bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan semua Dharma pada kaum Sravaka. Yang tidak diajarkan pada kaum Sravaka itu, diajarkan sang Buddha pada para Bodhisattva.

Kisah hutan Simsapa ini juga disebutkan dalam Mahaparinirvana Sutra:

Kasyapa berkata pada sang Buddha: "O Bhagava! Ketika Sang Buddha berada di tepi sungai Gangga, di hutan Simsapavana, Pada waktu itu, sang Tathagata mengambil satu dahan pohon simsapa yang kecil dengan beberapa daun di batang tersebut dan berkata pada para bhiksu:
"Apakah daun yang berada di dalam genggaman tangan-Ku banyak atau semua daun dari rerumputan dan pepohonan di seluruh hutan banyak?"
Semua bhiksu menjawab: "O Bhagava! Dedaunan dari rerumputan dan pepohonan dari seluruh hutan sangat banyak dan tidak dapat dihitiung. Apa yang Tathagata pegang di tangan-Nya sangat sedikit dan tidak berharga untuk disebutkan."
"O para bhiksu! Pengetahuan yang aku ketahui adalah seperti dedaunan dari rerumputan dan pepohonan di muka bumi; apa yang Aku berikan pada semua makhluk bagaikan daun dalam genggaman tangan-Ku."
Sang Bhagava kemudian berkata: Hal-hal yang tidak terbatas yang diketahui oleh Tathagata adalah merupakan ajaran-Ku apabila mereka mencakup Empat Kebenaran Mulia. Jika tidak, maka akan ada 5 Kebenaran."
...........
Bodhisattva Kasyapa berkata pada Buddha: "Jika semua hal tersebut berada dalam Empat kebenaran Mulia, mengapa Anda mengatakan bahwa mereka belum dibabarkan?"
Sang Buddha menjawab: "O pria yang berbudi! Meskipun mereka berada di dalam Empat kebenaran Mulia, kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka telah dibabarkan. Mengapa tidak? O pria yang berbudi! Ada 2 macam kebijaksanaan berkaitan dengan pengetahuan Kebenaran Mulia. Yang pertama adalah tingkat menengah dan yang lainnya adalah tingkat superior. Apa yang dinamakan sebagai kebijaksanaan tingkat menengah adalah para Sravaka dan Pratyekabuddha; apa yang dimaksud sebagai tingkat superior adalah para Buddha dan Bodhisattva.


Dikatakan bahwa karena Kausala nya, maka Buddha Sakyamuni tidak mengajarkan sutta2 mahayana kpd para arahat pada jaman Beliau hidup.
Karena Sang Buddha mengetahui bahwa para arahat tsb tidak dapat memahami Ajaran Mahayana.
Dan Beliau mengajarkan sutta2 Mahayana hanya kpd Bodhisatva yg berada di suatu surga (saya lupa) :)
Tapi secara jelas di dalam Mahayana para Arahat diakui sebagai Bodhisatva tingkat 7.
Yg jadi pertanyaan saya:
Apabila arahat sudah mencapai Bodhisatva tingkat 7, mengapa masih tidak bisa memahami ajaran sutta2 Mahayana???
Dan aneh nya lagi, apabila Arahat (Bodhisatva tingkat 7) saja tidak dapat memahami, mengapa skrg malah banyak umat2 awam yg bisa menjelaskan ttg isi sutta2 Mahayana, yg menandakan mereka MENGERTI dan MEMAHAMI?
Seperti anda dan Bro Gandalf, yg saya rasa paham sekali ttg ajaran Mahayana.

Mohon diberi penjelasan, krn saya benar2 ingin mengerti.

_/\_

Jangan salah paham. Buddha tidak pernah tidak mengajarkan para Arahat tentang jalan Bodhisatva. Contoh saja, Setiap pembabaran dharma Budha selalu dihadiri serombongan besar Bhikkhu Arahat. Yang dimaksud Arahat tidak mengetahui jalan Bodhisatva adalah Arahat tidak sanggup memahami jalan Bodhisatva. Buddha tetap berkotbah tentang jalan Bodhisatva, namun para Arahat tidak memahaminya sehingga dianalogikan bahwa Arahat tidak mendengar ajaran Mahayana. Kotbah Sang Buddha seperti guyuran hujan dari angkasa, para makhluk ibarat tanaman yg terguyur, rumput kecil hanya sanggup menyerap air sedikit, pohon besar menyerap air hujan dgn lebih banyak, semua terguyur, namun kapasitas menerima air (ajaran) tergantung masing-masing tanaman. Begitu juga umat awam hanya sanggup menyerap ajaran lokiya, sedangkan mereka yg menjadi bhikkhu dapat memahami ajaran yg lebih tinggi sehingga menyerap lebih banyak ajaran Buddha seperti pohon besar. Demikian seterusnya semua ini tergantung pada kapasitas masing2. 
kalau jaman dulu saja...kapasitas arahat pada waktu itu yang dibimbing langsung oleh Buddha tidak mampu mempelajari mahayana..

sudah dikatakan dulu...Seorang Sammasambuddha sebelum mengajar..beliau sudah tahu sampai dimana kemampuan pendengarnya....
jadi kalau di analogikan contoh anda......Buddha gotama sudah memperkirakan tanaman mana yang menyerap banyak yang mana tidak......bukan asal menyebar air....nanti banjir loh ^^

jadi tidaklah mungkin Buddha gotama berbicara Sia-Sia didepan seseorang yang dia TAHU kalau orang tersebut tidaklah mungkin mengerti apa yang IA katakan....dengan kata lain bicara sia-sia
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 15 February 2009, 10:43:47 AM
Quotejustru membimbing terus menerus muncul alur..maka ada "ke-aku-an" disitu....coba lihat patticasammupada lagi dah...
ada suatu ego disitu.....
kalau masih tidak percaya..coba tanya yang praktik langsung vipassana....kalau saya sendiri...menyatakan ada "ego" disitu.

berarti Anatta dalam mahanyana dan Theravada berbeda lagi ^^

Sudah saya katakan, kalau anda menyebutkan "menolong hanya menolong", maka "membimbing terus menerus HANYALAH membimbing terus menerus."

Memangnya kagak bisa orang menolong terus menerus dengan tanpa memiliki rasa Aku?? Yang seharusnya diperhatikan bukanlah "terus menerus" sebagai sebuah keinginan yang penuh dengan rasa haus. Kalau rasa "terus menerus" ini didasari oleh rasa haus dan nafsu, maka tentu ini bukan keinginan seorang Bodhisattva. karena keinginan macam ini hanya menimbulkan penderitaan saja.

Membimbing terus menerus ini harus dipandang sebagai sebuah tindakan yang apa adanya. Menolong ya menolong. Berhenti ya hanya berhenti. Terus menerus ya hanya terus menerus. Seperti bumi yang berputar terus menerus, tidak ada lobha yang menyebabkan bumi berputar bukan? Maka membimbing terus menerus harus dipahami sebagai "Hanya Tindakan". Hanya satu alasan kenapa para Bodhisattva membimbing terus menerus, yaitu Maitri Karuna.

Membimbing terus menerus dalam praktek Bodhisattva diiringi dengan maitri karuna dan keinginan [harapan] positif [chanda], bukan lobha.

Makhluk yang mampu membimbing terus menerus tanpa lobha hanyalah para Bodhisattva yang telah melewati tingkat Arahat, Tidak Tergoyahkan.

Kita sebagai umat awam yang berniat untuk membimbing terus menerus, maka tidak dipungkiri bahwa akan ada sedikit lobha dalam pikiran kita, Tapi ini tidak jadi soal, karena lobha akan terus terkikis seiring dengan pemahaman kita mengenai maitri karuna, anatman dan kusala chanda terus meningkat, tentu diiringi dengan praktek meditasi seperti Vipasyana dan Samatha.

Anatta dalam Theravada dan Mahayana tidak berbeda, hanya saja Mahayana lebih meluaskan konsep Anatman itu ketimbang Theravada. Anda tidak mau terima, it's OK.

Ketimbang saya menjudge ada "Ego" di mana-mana, mendingan saya nge-judge bahwa diri saya ini masih penuh dengan "Ego".

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 15 February 2009, 10:54:54 AM
Quotekalau jaman dulu saja...kapasitas arahat pada waktu itu yang dibimbing langsung oleh Buddha tidak mampu mempelajari mahayana..

sudah dikatakan dulu...Seorang Sammasambuddha sebelum mengajar..beliau sudah tahu sampai dimana kemampuan pendengarnya....
jadi kalau di analogikan contoh anda......Buddha gotama sudah memperkirakan tanaman mana yang menyerap banyak yang mana tidak......bukan asal menyebar air....nanti banjir loh ^^

jadi tidaklah mungkin Buddha gotama berbicara Sia-Sia didepan seseorang yang dia TAHU kalau orang tersebut tidaklah mungkin mengerti apa yang IA katakan....dengan kata lain bicara sia-sia

Tentu seorang Samyaksambuddha tahu sampai dimana kemampuan pendengarnya

Saya beri contoh gini deh....

Sang Buddha pergi dengan diiringi 1000 siswa Arahat dan 1000 orang Bodhisattva [baik umat awam maupun bhiksu]. Sang Buddha melihat bahwa ada potensi 500 Arahat memahami ajaran Beliau tentang Mahayana dan 200 Bodhisattva dapat memperoleh pemahaman baru apabila Beliau membabarkan Dharma di waktu dan tempat itu.

Maka tentu Sang Buddha kemudian membabarkan ajaran beliau tentang Mahayana. Dan memang benar ke-500 Arahat dan 200 orang Bodhisattva tersebut paham akan ajaran Sang Buddha.

Namun 500 Arahat lainnya yang masih melekat pada "kedamaian ekstrim" mereka, tentu tidak paham akan ajaran Sang Buddha tentang Mahayana....

Nah dari kisah di atas, maka yang terjadi adalah Sang Buddha tetap tahu sampai dimana kemampuan pendengarnya.

Hanya saja tentu, bisa saja tidak semua pendengarnya paham bukan? Dan ini adalah sebuah hal yang wajar....

Apabila ada 1000 murid yang saat itu hadir, apa mesti semuanya harus bisa paham?

Kalau hanya 500 saja yang akan bisa paham, apakah Sang Buddha tidak jadi memberikan ajaran-Nya?

Apakah hanya karena 500 Arahat lainnya nggak bisa paham, maka Sang Buddha tidak jadi mengajarkan ajaran Mahayana pada 500 Arahat dan 200 Bodhisattva yang bisa memahami?

Coba Renungkan!

Jadi tentu Sabda Sang Buddha TIDAK PERNAH SIA-SIA.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Indra on 15 February 2009, 11:28:30 AM
Bro Gandalf, saya jadi tergelitik untuk ikut nimbrung,

Kalau begitu apakah Thera Ananda termasuk yang tidak mampu memahami? mengingat bahwa Thera Ananda selalu mengiringi Sang Buddha, dan seandainya pun tidak bersama Sang Buddha maka Sang Buddha akan mengulangi kepada Ananda apa yang tidak didengarkan oleh Ananda. ini sesuai dengan kontrak kerja Ananda sewaktu ditunjuk sebagai pelayan pribadi Sang Buddha. Saya menanyakan hal ini karena jika Ananda pernah mendengarkan Ajaran Mahayana, tentu Sutra2 Mahayana juga akan diulang dalam Konsili I dan dengan demikian juga akan terdapat dalam Tipitaka Pali.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 15 February 2009, 11:58:26 AM
Quote from: Indra on 15 February 2009, 11:28:30 AM
Bro Gandalf, saya jadi tergelitik untuk ikut nimbrung,

Kalau begitu apakah Thera Ananda termasuk yang tidak mampu memahami? mengingat bahwa Thera Ananda selalu mengiringi Sang Buddha, dan seandainya pun tidak bersama Sang Buddha maka Sang Buddha akan mengulangi kepada Ananda apa yang tidak didengarkan oleh Ananda. ini sesuai dengan kontrak kerja Ananda sewaktu ditunjuk sebagai pelayan pribadi Sang Buddha. Saya menanyakan hal ini karena jika Ananda pernah mendengarkan Ajaran Mahayana, tentu Sutra2 Mahayana juga akan diulang dalam Konsili I dan dengan demikian juga akan terdapat dalam Tipitaka Pali.

_/\_

Yap. Ananda mampu memahami Sutra-sutra Mahayana. Ini bisa anda lihat dalam Saddharmapundarika Sutra.

Tapi pemahaman Ananda pada saat itu masih belum sempurna, sehingga ketika membabarkan ulang Sutra-sutra Mahayana di Gunung Vimalasbhava, Beliau memerlukan bimbingan dari para Bodhisattva.

Selain Ananda, Bodhisattva yang selalu mendampingi Sang Buddha adalah Vajrapani Bodhisattva. Beliau juga mengingat Sutra-sutra Mahayana.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Indra on 15 February 2009, 12:11:54 PM
Barangkali Bro Gandalf tahu mengapa Saddharma Pundarika Sutra tidak diulang oleh Ananda pada Konsili I, sehingga lolos dari Tipitaka Pali.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 15 February 2009, 12:22:01 PM
QuoteBarangkali Bro Gandalf tahu mengapa Saddharma Pundarika Sutra tidak diulang oleh Ananda pada Konsili I, sehingga lolos dari Tipitaka Pali.

Ada 4 penyebab:

1. Beda tempat
Tipitaka Pali kan diulang di Goa Sattapani, sedangkan ajaran Mahayana diulang di Gunung Vimalasvabhava, jadi beda tempat

2. Memisahkan dengan ajaran Hinayana
Konsili di Goa Sattapani juga mengundang para Arhat yang belum mampu memahami Mahayana, maka tentu sabda Mahayana tidak diulang di sana. Ananda pergi ke Gunung Vimalasvabhava untuk mengulang sabda Mahayana di sana bersama dengan para Bodhisattva.

3. Diulang dan dilestarikan secara terpisah
Ajaran Hinayana dilestarikan dalam kelompok besar [beribu-ribu bahkan mungkin berpuluh-puluh ribu], sedangkan ajaran Mahayana dilestarikan dalam kelompok kecil / sedang [ratusan saja]. 2 kelompok ini memang berkembang secara terpisah dari awalnya.

4. Cara terampil
Ini adalah cara terampil para Arhat yang memahami Mahayana dalam mewejangkan sabda Sang Buddha secara keseluruhan yang dimulai dari Hinayana kemudian masuk ke Mahayana. Sehingga ini menunjukkan bahwa sabda Sang Buddha pertama harus dipahami lewat Hinayana dulu, baru masuk ke Mahayana dan Vajrayana, tidak tercampur-campur tak karuan.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Indra on 15 February 2009, 12:45:38 PM
Dari penjelasan Bro Gandalf, saya menangkap bahwa Hinayana/Theravada dan Mahayana telah ada sejak masa Sang Buddha, sehingga Ananda harus memilah2 mana yang harus tercatat dalam Theravada dan mana yang harus tercatat dalam Mahayana. Mohon Klarifikasi.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 15 February 2009, 01:20:33 PM
QuoteDari penjelasan Bro Gandalf, saya menangkap bahwa Hinayana/Theravada dan Mahayana telah ada sejak masa Sang Buddha, sehingga Ananda harus memilah2 mana yang harus tercatat dalam Theravada dan mana yang harus tercatat dalam Mahayana. Mohon Klarifikasi.

Yap. Kurang lebih begitu.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Indra on 15 February 2009, 01:27:47 PM
Kalau begitu, yang menjadi tanda tanya, kenapa dalam Tipitaka Pali tidak ada sedikitpun tersirat mengenai Mahayana ataupun Ajarannya? misalnya yang menyebutkan bahwa Arahat bukanlah Final Goal.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 15 February 2009, 01:42:21 PM
Quote from: Indra on 15 February 2009, 01:27:47 PM
Kalau begitu, yang menjadi tanda tanya, kenapa dalam Tipitaka Pali tidak ada sedikitpun tersirat mengenai Mahayana ataupun Ajarannya? misalnya yang menyebutkan bahwa Arahat bukanlah Final Goal.

_/\_

Siapa bilang tidak ada? Ingat ikrar Sumedha di hadapan Buddha Dipankara? Itu sangat Mahayanis.

Bahkan apabila anda melihat tradisi Mahasanghika, maka banyak sekali ditemukan ucapan-ucapan yang sedikit menyiratkan Mahayana. Di kalangan Sarvastivada juga dikenal Arhat yang maish bisa merosot.

Hal-hal di atas menandakan bahwa Ananda mengetahui keberadaan Ajaran Mahayana.

Baik Sarvastivada maupun Mahasanghika mengakui Konsili Pertama.

Dan memang tampaknya Ananda dengan sangat baik membedakan antara Hinayana dan Mahayana.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Indra on 15 February 2009, 01:47:39 PM
Quote from: GandalfTheElder on 15 February 2009, 01:42:21 PM
Bahkan apabila anda melihat tradisi Mahasanghika, maka banyak sekali ditemukan ucapan-ucapan yang sedikit menyiratkan Mahayana. Di kalangan Sarvastivada juga dikenal Arhat yang maish bisa merosot.

Ini tuduhan serius, Arahat yang masih bisa merosot, bisa sebutkan contoh dan referensinya?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 15 February 2009, 02:20:36 PM
Quote from: GandalfTheElder on 15 February 2009, 10:43:47 AM
Quotejustru membimbing terus menerus muncul alur..maka ada "ke-aku-an" disitu....coba lihat patticasammupada lagi dah...
ada suatu ego disitu.....
kalau masih tidak percaya..coba tanya yang praktik langsung vipassana....kalau saya sendiri...menyatakan ada "ego" disitu.

berarti Anatta dalam mahanyana dan Theravada berbeda lagi ^^

Sudah saya katakan, kalau anda menyebutkan "menolong hanya menolong", maka "membimbing terus menerus HANYALAH membimbing terus menerus."

Memangnya kagak bisa orang menolong terus menerus dengan tanpa memiliki rasa Aku?? Yang seharusnya diperhatikan bukanlah "terus menerus" sebagai sebuah keinginan yang penuh dengan rasa haus. Kalau rasa "terus menerus" ini didasari oleh rasa haus dan nafsu, maka tentu ini bukan keinginan seorang Bodhisattva. karena keinginan macam ini hanya menimbulkan penderitaan saja.

Membimbing terus menerus ini harus dipandang sebagai sebuah tindakan yang apa adanya. Menolong ya menolong. Berhenti ya hanya berhenti. Terus menerus ya hanya terus menerus. Seperti bumi yang berputar terus menerus, tidak ada lobha yang menyebabkan bumi berputar bukan? Maka membimbing terus menerus harus dipahami sebagai "Hanya Tindakan". Hanya satu alasan kenapa para Bodhisattva membimbing terus menerus, yaitu Maitri Karuna.

Membimbing terus menerus dalam praktek Bodhisattva diiringi dengan maitri karuna dan keinginan [harapan] positif [chanda], bukan lobha.

Makhluk yang mampu membimbing terus menerus tanpa lobha hanyalah para Bodhisattva yang telah melewati tingkat Arahat, Tidak Tergoyahkan.

Kita sebagai umat awam yang berniat untuk membimbing terus menerus, maka tidak dipungkiri bahwa akan ada sedikit lobha dalam pikiran kita, Tapi ini tidak jadi soal, karena lobha akan terus terkikis seiring dengan pemahaman kita mengenai maitri karuna, anatman dan kusala chanda terus meningkat, tentu diiringi dengan praktek meditasi seperti Vipasyana dan Samatha.

Anatta dalam Theravada dan Mahayana tidak berbeda, hanya saja Mahayana lebih meluaskan konsep Anatman itu ketimbang Theravada. Anda tidak mau terima, it's OK.

Ketimbang saya menjudge ada "Ego" di mana-mana, mendingan saya nge-judge bahwa diri saya ini masih penuh dengan "Ego".

_/\_
The Siddha Wanderer
jadi bisakah saya tarik kesimpulan "selama Sang Buddha selalu mau mengajarkan dhamma,di situ ada penderitaan bukan.?"

lalu, bagian mana yang dikatakan Sang Buddha telah bebas dari penderitaan?
nah, inilah yang saya sebut...mengajarkan bebas dari penderitaan tetapi dirinya sendiri menderita....
apakah Sang buddha pernah merasakan betul-betul bebas dari penderitaan?
saya yakin "tidak akan pernah bebas dari penderitaan"

jadi apakah yang diajarkan seorang buddha?...yakni terus menderita?
jadi kebalik bukan dengan 4 kesunyataan mulia.

lalu pada akhirnya bertabrakan pula dengan ajaran Theravada.

Quote4. Cara terampil
Ini adalah cara terampil para Arhat yang memahami Mahayana dalam mewejangkan sabda Sang Buddha secara keseluruhan yang dimulai dari Hinayana kemudian masuk ke Mahayana. Sehingga ini menunjukkan bahwa sabda Sang Buddha pertama harus dipahami lewat Hinayana dulu, baru masuk ke Mahayana dan Vajrayana, tidak tercampur-campur tak karuan.
saya rasa tidak bakalan nyambung..Theravada mengajarkan

Segala bentukan adalah penderitaan, dan untuk bebas dari penderitaan adalah bebas dari bentukan.

sedangkan mahayana? ^^

QuoteKata kuncinya padamnya LDM, kalau mengarah ke sana dan menghasilkan magga dan phala --->nibbana berarti sudah  benar tipitakanya dan aplikasinya . Coba renungkan sumber dari semua dukkha,samsara,tumimbal lahir.
coba renungkan ini..dan keinginan untuk mengajar terus menerus itu masuk mana yah dari 3 ini.^^

apalagi kalau bukan ketamakan. dimana merujuk pada "mau terus"
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 15 February 2009, 02:30:05 PM
Quote from: GandalfTheElder on 15 February 2009, 10:54:54 AM
Quotekalau jaman dulu saja...kapasitas arahat pada waktu itu yang dibimbing langsung oleh Buddha tidak mampu mempelajari mahayana..

sudah dikatakan dulu...Seorang Sammasambuddha sebelum mengajar..beliau sudah tahu sampai dimana kemampuan pendengarnya....
jadi kalau di analogikan contoh anda......Buddha gotama sudah memperkirakan tanaman mana yang menyerap banyak yang mana tidak......bukan asal menyebar air....nanti banjir loh ^^

jadi tidaklah mungkin Buddha gotama berbicara Sia-Sia didepan seseorang yang dia TAHU kalau orang tersebut tidaklah mungkin mengerti apa yang IA katakan....dengan kata lain bicara sia-sia

Tentu seorang Samyaksambuddha tahu sampai dimana kemampuan pendengarnya

Saya beri contoh gini deh....

Sang Buddha pergi dengan diiringi 1000 siswa Arahat dan 1000 orang Bodhisattva [baik umat awam maupun bhiksu]. Sang Buddha melihat bahwa ada potensi 500 Arahat memahami ajaran Beliau tentang Mahayana dan 200 Bodhisattva dapat memperoleh pemahaman baru apabila Beliau membabarkan Dharma di waktu dan tempat itu.

Maka tentu Sang Buddha kemudian membabarkan ajaran beliau tentang Mahayana. Dan memang benar ke-500 Arahat dan 200 orang Bodhisattva tersebut paham akan ajaran Sang Buddha.

Namun 500 Arahat lainnya yang masih melekat pada "kedamaian ekstrim" mereka, tentu tidak paham akan ajaran Sang Buddha tentang Mahayana....

Nah dari kisah di atas, maka yang terjadi adalah Sang Buddha tetap tahu sampai dimana kemampuan pendengarnya.

Hanya saja tentu, bisa saja tidak semua pendengarnya paham bukan? Dan ini adalah sebuah hal yang wajar....

Apabila ada 1000 murid yang saat itu hadir, apa mesti semuanya harus bisa paham?

Kalau hanya 500 saja yang akan bisa paham, apakah Sang Buddha tidak jadi memberikan ajaran-Nya?

Apakah hanya karena 500 Arahat lainnya nggak bisa paham, maka Sang Buddha tidak jadi mengajarkan ajaran Mahayana pada 500 Arahat dan 200 Bodhisattva yang bisa memahami?

Coba Renungkan!

Jadi tentu Sabda Sang Buddha TIDAK PERNAH SIA-SIA.

_/\_
The Siddha Wanderer
jika sesuai yang anda katakan dimana belajar Theravada dulu baru mahayana....
lalu mengapa para sesepuh Theravada seperti Ajahn Chah,Luanta maha bowa tidak belajar mahayana?
ataukah mereka tidak sanggup?
berarti Ajahn chah,Luanta Maha bowa,Ajahn Mun Bhuridatto itu semua belum tamat dari Theravada?

logikanya kan kalau sudah tamat S1 pasti masih ada S2...lalu mengapa Ajahn Chah,dan lainnya tidak lanjut belajar Mahayana?

Nah di katakan bahwa "nagarjuna" mengerti Mahayana...jikalau demikian berarti Nagarjuna lebih bijaksana dibanding arahat.
Seharusnya nagarjuna "mampu" melihat ke depan efek akibat diambilnya kitab suci dialam NAGA.
dan yang pada akhirnya Sangha terbecah belah 2 menjadi demikian.

berarti ketika "nagarjuna" mengambil kitab suci dialam naga...tidak pakai pikir dulu kah?

dan jika memang dasarnya adalah belajar Theravada...coba perhatikan..
ketika seseorang mampu menguasai Theravada.....dengan baik lalu dengan abhina nya sendiri pergi kealam Naga lalu baca kitab disana. kemudian belajar disana.
dengan begitu tidak akan ada 2 mazhab yang membingunkan bukan?

tapi kenyataan
bahkan pemula bisa langsung ditabhiskan menjadi bikkhu Mahayanis.

seperti "jikalau anda belum S1(sarjana)"...seharusnya menjadi  S1(sarjana) terlebih dahulu barulah menjadi "S2(master)"
dan tidak mungkin menjadi S2 langsung...mengapa Mahayana tidak gabung saja ke Theravada.
dan berarti sisa "para S2/sesepuh mahayana" bisa belajar di alam DEWA.

justru kenyataan-nya tidak demikian. ketika belajar THERAVADA dan sampai pada akhirnya.
tidak bakalan ada LANJUTAN S2...lalu mengapa ada klaim ada lanjutan S2?
justru klaim tersebut berawal dari Mahayana sendiri.

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 15 February 2009, 02:37:45 PM
QuoteSudah saya katakan, kalau anda menyebutkan "menolong hanya menolong", maka "membimbing terus menerus HANYALAH membimbing terus menerus."

saya yakin para praktek vipassana tidak akan berkata demikian...
entah anda pernah belajar vipassana atau tidak
tapi saya juga mengharapkan jawaban sama seperti [at]indra tentang Arahat dapat merosot.

salam metta. ^^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 15 February 2009, 02:46:12 PM
Quote from: GandalfTheElder on 15 February 2009, 12:22:01 PM
QuoteBarangkali Bro Gandalf tahu mengapa Saddharma Pundarika Sutra tidak diulang oleh Ananda pada Konsili I, sehingga lolos dari Tipitaka Pali.

Ada 4 penyebab:

1. Beda tempat
Tipitaka Pali kan diulang di Goa Sattapani, sedangkan ajaran Mahayana diulang di Gunung Vimalasvabhava, jadi beda tempat

2. Memisahkan dengan ajaran Hinayana
Konsili di Goa Sattapani juga mengundang para Arhat yang belum mampu memahami Mahayana, maka tentu sabda Mahayana tidak diulang di sana. Ananda pergi ke Gunung Vimalasvabhava untuk mengulang sabda Mahayana di sana bersama dengan para Bodhisattva.

3. Diulang dan dilestarikan secara terpisah
Ajaran Hinayana dilestarikan dalam kelompok besar [beribu-ribu bahkan mungkin berpuluh-puluh ribu], sedangkan ajaran Mahayana dilestarikan dalam kelompok kecil / sedang [ratusan saja]. 2 kelompok ini memang berkembang secara terpisah dari awalnya.

4. Cara terampil
Ini adalah cara terampil para Arhat yang memahami Mahayana dalam mewejangkan sabda Sang Buddha secara keseluruhan yang dimulai dari Hinayana kemudian masuk ke Mahayana. Sehingga ini menunjukkan bahwa sabda Sang Buddha pertama harus dipahami lewat Hinayana dulu, baru masuk ke Mahayana dan Vajrayana, tidak tercampur-campur tak karuan.

_/\_
The Siddha Wanderer
mari kita perhatikan 3 penyebab itu.

jika para Mahayana yang notabane nya memiliki "kebijaksanaan" yang "LEBIH" di banding yang mengikuti "Theravada"
mengapa "para sesepuh yang mengerti itu"
tidak melihat Ke masa depan dengan kemampuan nya Superiornya kalau bakalan ada kekacauan seperti ini?

jadi bisa donk para Theravada menyalahkan para sesepuh mahayana yang "bijak" itu dengan alasan.
kalau "orang bijak lebih tahu dari pada orang tidak bijak harusnya mengambil keputusan tepat hingga perbedaan pandangan yang sedemikian dalam kalangan Theravada dan Mahayana dapat dihindari"

kalaupun dengan alasan makanya Kitab itu disimpan di ALAM NAGA...lalu siapa yang bodoh mengambil kitab itu tanpa pikir panjang?
jikalau sudah Tamat S1(theravada) harusnya dengan sendiri memiliki Abhinna untuk ke Alam NAGA dan belajar disitu. ^^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: bond on 15 February 2009, 05:36:36 PM
Kapan kata hinayana dan mahayana muncul? apakah sejak jaman Sang Buddha ada?

Setau saya kata "mahayana dan hinayana "muncul jauh setelah Sang Buddha parinibanna. Jadi jika arahat masih bisa merosot, sia2 dong yg jadi arahat pada jaman Sang Buddha.  #:-S

Sebenarnya ajaran Sang Buddha itu sederhana, hanya manusia yg membuat aliran aneh2 dan menjelimet agar terkesan eksklusive. mereka yg menciptakan perbedaan sehingga muncul kata "mahayana dan hinayana yg berpolemik" hanyalah ciptaan orang2 yg suka berfantasi ttg ajaran Sang Buddha. ^-^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 15 February 2009, 05:55:14 PM
Quote from: Indra on 15 February 2009, 01:47:39 PM
Quote from: GandalfTheElder on 15 February 2009, 01:42:21 PM
Bahkan apabila anda melihat tradisi Mahasanghika, maka banyak sekali ditemukan ucapan-ucapan yang sedikit menyiratkan Mahayana. Di kalangan Sarvastivada juga dikenal Arhat yang maish bisa merosot.

Ini tuduhan serius, Arahat yang masih bisa merosot, bisa sebutkan contoh dan referensinya?

jalur bodhisatta seperti contoh petapa sumedha yang berikrar di hadapan BUDDHA DIPANKARA itu BENAR, tetapi tidak dalam artian bahwa ARAHAT masih bisa merosot ataupun setelah mencapai kesucian arahat masih bisa lanjut lagi ke jalur bodhisatta dan mencapai sammasambuddha.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: BlackDragon on 15 February 2009, 10:22:56 PM
QuoteJangan salah paham. Buddha tidak pernah tidak mengajarkan para Arahat tentang jalan Bodhisatva. Contoh saja, Setiap pembabaran dharma Budha selalu dihadiri serombongan besar Bhikkhu Arahat. Yang dimaksud Arahat tidak mengetahui jalan Bodhisatva adalah Arahat tidak sanggup memahami jalan Bodhisatva. Buddha tetap berkotbah tentang jalan Bodhisatva, namun para Arahat tidak memahaminya sehingga dianalogikan bahwa Arahat tidak mendengar ajaran Mahayana. Kotbah Sang Buddha seperti guyuran hujan dari angkasa, para makhluk ibarat tanaman yg terguyur, rumput kecil hanya sanggup menyerap air sedikit, pohon besar menyerap air hujan dgn lebih banyak, semua terguyur, namun kapasitas menerima air (ajaran) tergantung masing-masing tanaman. Begitu juga umat awam hanya sanggup menyerap ajaran lokiya, sedangkan mereka yg menjadi bhikkhu dapat memahami ajaran yg lebih tinggi sehingga menyerap lebih banyak ajaran Buddha seperti pohon besar. Demikian seterusnya semua ini tergantung pada kapasitas masing2.

Oh Jadi pada jaman Buddha ternyata ajaran Mahayana sudah di ajarkan dan ada murid yg bisa memahami  _/\_
Tapi bagaimanapun juga... Arahat (Bodhisatva tgkt 7) dgn batinnya yg jernih dimana mereka sudah menghapus kilesa, seharusnya bisa lebih memahami ajaran Mahayana.
Dibanding dgn kita (umat awam), yg mgkn juga sudah termasuk Bodhisatva, tp masih di bawah tgkt 7 pastinya kan. ::)

Quote
4. Cara terampil
Ini adalah cara terampil para Arhat yang memahami Mahayana dalam mewejangkan sabda Sang Buddha secara keseluruhan yang dimulai dari Hinayana kemudian masuk ke Mahayana. Sehingga ini menunjukkan bahwa sabda Sang Buddha pertama harus dipahami lewat Hinayana dulu, baru masuk ke Mahayana dan Vajrayana, tidak tercampur-campur tak karuan.

Jadi menurut Bro Gandalf ajaran Vajrayana lebih "tinggi" dibandingkan Teravada dan Mahayana?
Kelebihan Vajrayana apa yah dibanding Mahayana dan Teravada bro?

QuoteNah di katakan bahwa "nagarjuna" mengerti Mahayana...jikalau demikian berarti Nagarjuna lebih bijaksana dibanding arahat.
Seharusnya nagarjuna "mampu" melihat ke depan efek akibat diambilnya kitab suci dialam NAGA.
dan yang pada akhirnya Sangha terbecah belah 2 menjadi demikian.

berarti ketika "nagarjuna" mengambil kitab suci dialam naga...tidak pakai pikir dulu kah?

Mau tidak mau saya harus setuju dgn pertanyaan diatas, saya pun bingung apabila Sutta2 Mahayana di taruh di alam Naga (entah oleh siapa) krn dgn alasan hanya bisa dimengerti oleh Bodhisatva, seharusnya Nagarjuna berpikir berkali2 sebelum membawanya ke alam dunia ini, yg hasilnya malah membawa pada perpecahan sangha, dan kebingungan bagi umat.

QuoteKalau begitu, yang menjadi tanda tanya, kenapa dalam Tipitaka Pali tidak ada sedikitpun tersirat mengenai Mahayana ataupun Ajarannya? misalnya yang menyebutkan bahwa Arahat bukanlah Final Goal.

Siapa bilang tidak ada? Ingat ikrar Sumedha di hadapan Buddha Dipankara? Itu sangat Mahayanis.


Ikrar petapa Sumedha termasuk di sutta Theravada kah? atau hanya ada di sutta Mahayana?

Quotepoint point inilah yang mendasari perbedaan pendapat antara Theravada dan MAhayana dimana pada Theravada dikatakan bahwa seorang Savaka Buddha adalah SUDAH FINAL (FINISH), sedangkan menurut Mahayana, para Sravaka masih bisa melanjutkan "perjalanan hidup" lagi dan menempuh karir bodhisatva hingga mencapai tingkat 10.


Gak semua Mahayana. Saudara Chingik boleh berpendapat semua Mahayana, tetapi saya pernah posting sebuah Sutra Mahayana yang menunjukkan bahwa Sravaka sudah final. Sutra tersebut ditunjukkan oleh seorang Bhiksu Mahayana yang mengajar di Taiwan. Beliau menunjukkan bahwa Mahayana awal hanya berpendapat pencapaian Samyaksambuddha lebih mulia.

Waduh jadi tambah bingung neh :o :o :o

Sblmnya thx atas jawabannya.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 06:12:12 AM
QuoteIni tuduhan serius, Arahat yang masih bisa merosot, bisa sebutkan contoh dan referensinya?

Baca Abhidharmakosa. Di sana ada sebutin Arhat yang masih bisa merosot dan ada yang tidak.....

Kalau Mahasanghika malah semua Arhat ada kemungkinan melakukan kemerosotan dalam 5 hal.

Jadi sebenarnya dalam aliran Hinayana sendiri telah ada indikasi tentang ketidaksempurnaan seorang Shravaka Arhat.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 06:32:01 AM
Quotejika sesuai yang anda katakan dimana belajar Theravada dulu baru mahayana....
lalu mengapa para sesepuh Theravada seperti Ajahn Chah,Luanta maha bowa tidak belajar mahayana?
ataukah mereka tidak sanggup?
berarti Ajahn chah,Luanta Maha bowa,Ajahn Mun Bhuridatto itu semua belum tamat dari Theravada?

logikanya kan kalau sudah tamat S1 pasti masih ada S2...lalu mengapa Ajahn Chah,dan lainnya tidak lanjut belajar Mahayana?

Nah di katakan bahwa "nagarjuna" mengerti Mahayana...jikalau demikian berarti Nagarjuna lebih bijaksana dibanding arahat.
Seharusnya nagarjuna "mampu" melihat ke depan efek akibat diambilnya kitab suci dialam NAGA.
dan yang pada akhirnya Sangha terbecah belah 2 menjadi demikian.

berarti ketika "nagarjuna" mengambil kitab suci dialam naga...tidak pakai pikir dulu kah?

dan jika memang dasarnya adalah belajar Theravada...coba perhatikan..
ketika seseorang mampu menguasai Theravada.....dengan baik lalu dengan abhina nya sendiri pergi kealam Naga lalu baca kitab disana. kemudian belajar disana.
dengan begitu tidak akan ada 2 mazhab yang membingunkan bukan?

tapi kenyataan
bahkan pemula bisa langsung ditabhiskan menjadi bikkhu Mahayanis.

seperti "jikalau anda belum S1(sarjana)"...seharusnya menjadi  S1(sarjana) terlebih dahulu barulah menjadi "S2(master)"
dan tidak mungkin menjadi S2 langsung...mengapa Mahayana tidak gabung saja ke Theravada.
dan berarti sisa "para S2/sesepuh mahayana" bisa belajar di alam DEWA.

justru kenyataan-nya tidak demikian. ketika belajar THERAVADA dan sampai pada akhirnya.
tidak bakalan ada LANJUTAN S2...lalu mengapa ada klaim ada lanjutan S2?
justru klaim tersebut berawal dari Mahayana sendiri.

Ini adalah pertanyaan konyol.

Apabila Nagarjuna tidak mengambil Sutra Mahayana.... Anda pikir tidak akan ada perpecahan Sangha??

Lah 18 sekte awal yang konsepnya berbeda-beda anda pikir itu apa?

Kalau gak ada Mahayana, mungkin zaman sekarang akan ada 18 sekte agama Buddha yang sedang bertarung dan gontok-gontokan.

Tahu 18 sekte awal itu apa saja?

Malah Theravada yang katanya banyak orang murni itu justru menurut Mahasanghika adalah sekte yang dengan seenaknya menambahi Vinaya yang diajarkan Sang Buddha! Nah lho? Jadi yang bikin Sanghabheda itu siapa?

Coba renungkan! Belajar sejarah, pahami, baru tanyakan!

La Ajahn Chah, Luangta Maha Boowa, Ajahn Mun Bhuridatto ada kejodohan gak bertemu ajaran Mahayana?

Apakah mereka seorang Arhat masih belum tentu bukan? Apakah mereka mempunyai kemampuan lebih [abhinna] anda juga gak tahu pastinya bukan?

Lagipula kalau mereka Arhat, belum tentu juga merupakan seorang Arhat yang mampu memahami Mahayana? Ingat contoh kisah Arhat yang mampu memahami Mahayana dan yang tidak mampu memahami Mahayana?

Quoteseperti "jikalau anda belum S1(sarjana)"...seharusnya menjadi  S1(sarjana) terlebih dahulu barulah menjadi "S2(master)"
dan tidak mungkin menjadi S2 langsung...mengapa Mahayana tidak gabung saja ke Theravada.
dan berarti sisa "para S2/sesepuh mahayana" bisa belajar di alam DEWA.

Pertanyaan anda ini sudah dijawab dulu-dulu. Silahkan cari.

Apa anda pikir penganut Mahayana tidak melewati S1 dulu? Apakah anda pikir umat awam yang mengambil ikrar Bodhisattva itu nggak lewat S1? Terus kenapa ya kalau mau S1 nggak mesti belajar di aliran Theravada dulu?

Jawaban: Karena di aliran Mahayana sudah ada kurikulum belajar aliran Hinayana tanpa menyimpangkan seseorang ke jalur Arhat aliran Hinayana, namun kurikulum itu menuntun ke Bodhisattva tingkat tujuh (Arhat) yang diajarkan dalam Mahayana.

Silahkan lihat Lamrim lebih jelasnya, karena di sana diajarkan tentang konsep2 Hinayana tanpa harus masuk ke aliran Hinayana terlebih dahulu!

Ingat, seorang Bodhisattva harus mampu menguasai jalan Shravaka dan Pratyeka Buddha karena ini merupakan dasar. Ya, Hinayana merupakan dasar dari agama Buddha.

Quotejustru kenyataan-nya tidak demikian. ketika belajar THERAVADA dan sampai pada akhirnya.
tidak bakalan ada LANJUTAN S2...lalu mengapa ada klaim ada lanjutan S2?
justru klaim tersebut berawal dari Mahayana sendiri.

Kalau saya bilang Hinayana yang nge-klaim kalau tidak ada S2 gimana??  ^-^  ^-^  ^-^

La S1 yang bener itu aja masih ditanyakan kok. Tuh ada Sarvastivada, Mahasanghika, Sautantrika, Haimavata selain Theravada.

Nah kalau pakai logika ekstrim..... maka ada yang ngelulusin pake ijazah palsu tuh...

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 06:35:47 AM
Quotejalur bodhisatta seperti contoh petapa sumedha yang berikrar di hadapan BUDDHA DIPANKARA itu BENAR, tetapi tidak dalam artian bahwa ARAHAT masih bisa merosot ataupun setelah mencapai kesucian arahat masih bisa lanjut lagi ke jalur bodhisatta dan mencapai sammasambuddha.

Yap, karena ikrar tersebut ada di Tipitaka Pali.....

Apabila Theravada tidak mengakui demikian, itu wajar sekali. sangat wajar.

Tapi apabila Mahayanis melihat ikrar tersebut, sangat jelas ikrar itu sangat Mahayanis dan tidak ada yang perlu diinterpretasikan macam-macam karena kalimat ikrar Sumedha sudah sangat jelas dan eksplisit maksudnya...

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 06:39:08 AM
QuoteKapan kata hinayana dan mahayana muncul? apakah sejak jaman Sang Buddha ada?

Setau saya kata "mahayana dan hinayana "muncul jauh setelah Sang Buddha parinibanna. Jadi jika arahat masih bisa merosot, sia2 dong yg jadi arahat pada jaman Sang Buddha.  Relieved

Sebenarnya ajaran Sang Buddha itu sederhana, hanya manusia yg membuat aliran aneh2 dan menjelimet agar terkesan eksklusive. mereka yg menciptakan perbedaan sehingga muncul kata "mahayana dan hinayana yg berpolemik" hanyalah ciptaan orang2 yg suka berfantasi ttg ajaran Sang Buddha. chuckle

Maka...... 18 sekte agama Buddha juga dapat dikategorikan sebagai ciptaan orang2 yg suka berfantasi ttg ajaran Sang Buddha. Apakah begitu???

Wah....kalau begitu..... kan Theravada masuk......  gimana nih?  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 06:47:45 AM
QuoteOh Jadi pada jaman Buddha ternyata ajaran Mahayana sudah di ajarkan dan ada murid yg bisa memahami  Namaste
Tapi bagaimanapun juga... Arahat (Bodhisatva tgkt 7) dgn batinnya yg jernih dimana mereka sudah menghapus kilesa, seharusnya bisa lebih memahami ajaran Mahayana.
Dibanding dgn kita (umat awam), yg mgkn juga sudah termasuk Bodhisatva, tp masih di bawah tgkt 7 pastinya kan. Roll Eyes

Ini karena para Arhat menurut Mahayana masih memiliki kemelekatan akan "kedamaian ekstrim". Inilah yang menyebabkan ada beberapa dari para Arhat Hinayana yang lebih sulit memahami jalan Bodhisattva ketimbang umat awam seperti kita-kita ini.

QuoteJadi menurut Bro Gandalf ajaran Vajrayana lebih "tinggi" dibandingkan Teravada dan Mahayana?
Kelebihan Vajrayana apa yah dibanding Mahayana dan Teravada bro?

Bagaimana bisa saya mengatakan lebih tinggi?

Karena Vajrayana kan juga mencakup Hinayana [Theravada] dan Mahayana!

Coba renungkan.

QuoteMau tidak mau saya harus setuju dgn pertanyaan diatas, saya pun bingung apabila Sutta2 Mahayana di taruh di alam Naga (entah oleh siapa) krn dgn alasan hanya bisa dimengerti oleh Bodhisatva, seharusnya Nagarjuna berpikir berkali2 sebelum membawanya ke alam dunia ini, yg hasilnya malah membawa pada perpecahan sangha, dan kebingungan bagi umat..

Perpecahan Sangha sudah terjadi sebelum Nagarjuna membawa Sutra Mahayana.... malah bukan 3 aliran lagi.... tapi malah 18 aliran..... Wuuiiiikkk  8)  8)

Quote
Ikrar petapa Sumedha termasuk di sutta Theravada kah? atau hanya ada di sutta Mahayana?

Yang saya maksud ikrar pertapa Sumedha yang ada di Tipitaka Pali Theravada.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 06:52:10 AM
Quotemari kita perhatikan 3 penyebab itu.

jika para Mahayana yang notabane nya memiliki "kebijaksanaan" yang "LEBIH" di banding yang mengikuti "Theravada"
mengapa "para sesepuh yang mengerti itu"
tidak melihat Ke masa depan dengan kemampuan nya Superiornya kalau bakalan ada kekacauan seperti ini?

jadi bisa donk para Theravada menyalahkan para sesepuh mahayana yang "bijak" itu dengan alasan.
kalau "orang bijak lebih tahu dari pada orang tidak bijak harusnya mengambil keputusan tepat hingga perbedaan pandangan yang sedemikian dalam kalangan Theravada dan Mahayana dapat dihindari"

kalaupun dengan alasan makanya Kitab itu disimpan di ALAM NAGA...lalu siapa yang bodoh mengambil kitab itu tanpa pikir panjang?


jikalau sudah Tamat S1(theravada) harusnya dengan sendiri memiliki Abhinna untuk ke Alam NAGA dan belajar disitu.

Mengapa "para sesepuh yang mengerti itu" tidak melihat Ke masa depan dengan kemampuan nya Superiornya kalau bakalan ADA PERPECAHAN KE 18 SEKTE??

Yah mending nggak usah ngulang ajaran Sang Buddha aja deh kalau gitu. Gitu maksud anda? La wong Hinayana aja udah pecah... cah... cah kaya gitu..l....

Justru Mahayana muncul untuk mempersatukan aliran-aliran tersebut!

"Sekte Mahasanghika akan terbagi menjadi tujuh bagian
Sekte Sthavira menjadi sebelas bagian,
Inilah apa yang kita istilahkan sebagai 12 sekte [dari Mahasthavira],
Delapan belas termasuk di dalamnya dua sekte awal,
Semua ini muncul dari Mahayana,
Yang mengatakan bukan kesetujuan pun bukan kontradiksi."
(Manjusri Pariprccha Sutra)

_/\_
The Siddha Wanderer

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 07:04:18 AM
Quotejadi bisakah saya tarik kesimpulan "selama Sang Buddha selalu mau mengajarkan dhamma,di situ ada penderitaan bukan.?"

lalu, bagian mana yang dikatakan Sang Buddha telah bebas dari penderitaan?
nah, inilah yang saya sebut...mengajarkan bebas dari penderitaan tetapi dirinya sendiri menderita....
apakah Sang buddha pernah merasakan betul-betul bebas dari penderitaan?
saya yakin "tidak akan pernah bebas dari penderitaan"

jadi apakah yang diajarkan seorang buddha?...yakni terus menderita?
jadi kebalik bukan dengan 4 kesunyataan mulia.

lalu pada akhirnya bertabrakan pula dengan ajaran Theravada.

La wong Bodhisattva yang nolong terus menerus aja kagak menderita kok anda yang protess..... Penderitaan mamang ada tapi ya cuma penderitaan fisik, batin ya kagak menderita.

Quote
saya rasa tidak bakalan nyambung..Theravada mengajarkan

Segala bentukan adalah penderitaan, dan untuk bebas dari penderitaan adalah bebas dari bentukan.

sedangkan mahayana? ^^

Ya begitu...  ^-^  ^-^

Quotecoba renungkan ini..dan keinginan untuk mengajar terus menerus itu masuk mana yah dari 3 ini.^^

apalagi kalau bukan ketamakan. dimana merujuk pada "mau terus"

Terusnya hanya prosesss.......  ^-^  ^-^ Anda paham kusala chanda gak sih??

Kok yang dipikiran cuma lobha.... lobha............lobha....... ya anda terus menerus mencari nafkah buat anak istri anda supaya mereka hidup sejahtera dan berbahagia itu LOBHA ya? Ohhh... kalau gitu harus cepet2 dilenyapkan nih tuh LOBHA...... gak usah cari nafkah sekalian karena nambah LOBHA. Ngapain nunda2 untuk nglenyapin LOBHA. Gitu? Tentu tidak bukan?

Seorang Bodhisattva yang berikrar untuk menolong terus menerus..... apakah pada akhirnya tidak jadi Samyaksambuddha? Ya jadi dong!
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 07:10:54 AM
Quotesaya yakin para praktek vipassana tidak akan berkata demikian...
entah anda pernah belajar vipassana atau tidak
tapi saya juga mengharapkan jawaban sama seperti [at]indra tentang Arahat dapat merosot.

salam metta. ^^

Gak ngurus..... toh praktisi Vipassana belum tentu Arhat. Selama belum menjadi Arhat, maka seseorang tidak akan mampu sepenuhnya memahami hasil / akibat dari Vipassana 100%.

Dan mungkin malah anda sendiri yang mbulet ama konsep Vipasyana-nya Mahayana sehingga Mahayana dalam pikiran anda menjadi terkontradiksi dengan Theravada.

Renungkan Mahayana dengan cangkir yang tidak penuh, tapi dengan cangkir kosong. Renungkan... renungkan..... tanpa perenungan ataupun meditasi terhadap Ajaran, hanya dengan intelektualitas semata, maka hasilnya kebanyakan akan meleset.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 07:26:32 AM
Refleksikan kehidupan YM Atisha Dipamkara ini, maka anda akan sepenuhnya memahami apa itu sebenarnya Mahayana.

Sri Heruka juga muncul di angkasa di hadapan Guru Atisha dan mendesaknya untuk mengikuti anjuran itu. Guru kita, yang Terbijaksana dan Yang Mulia Maitreya, juga muncul dalam mimpi Guru Atisha, mendesaknya untuk menjadi bhiksu. Jadi pada usia 29 tahun beliau meninggalkan kehidupan perumah tangga dan mengambil pentahbisan penuh dari Mahasanghika Upadhyaya Silaraksa, yang telah mencapai tahap ketabahan dari Marga Persiapan [prayoga marga]. Setelah melayani sebanyak 157 guru, Atisha merampungkan pembelajaran semua ilmu pengetahuan, juga kitab-kitab Sutra dan Tantra, bersama dengan instruksi-instruksi yang berkaitan.

Khususnya, beliau belajar selama 12 tahun seluruh Mahavibhasa Sastra [dari aliran Sarvastivada] dengan Guru Dharmaraksita dan menguasai semua topiknya yang sulit. Risalah ini yang terdiri dari sekitar 800 bagian menjelaskan semua poin kunci dari tujuh Kitab Abhidharma dan empat kelompok kitab Vinaya. Sebagai tambahan, 18 aliran Hinayana telah merumuskan banyak sekali perbedaan interpretasi yang subtil berkaitan dengan kode etik Buddhis, termasuk hal-hal seeprti bagaimana seorang bhiksu menerima makanan dan memercikkan air kumur. Karena Guru Atisha telah belajar untuk membedakan semuanya tanpa kesalahan, setiap dari 18 aliran Buddhis India tersebut menganggap beliau sebagai mahkota permata ajaran.

Dikutip dari :Pembebasan Di Tangan Kita oleh Phabongkha Rinpoche

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 16 February 2009, 10:56:20 AM
Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 06:47:45 AM
QuoteOh Jadi pada jaman Buddha ternyata ajaran Mahayana sudah di ajarkan dan ada murid yg bisa memahami  Namaste
Tapi bagaimanapun juga... Arahat (Bodhisatva tgkt 7) dgn batinnya yg jernih dimana mereka sudah menghapus kilesa, seharusnya bisa lebih memahami ajaran Mahayana.
Dibanding dgn kita (umat awam), yg mgkn juga sudah termasuk Bodhisatva, tp masih di bawah tgkt 7 pastinya kan. Roll Eyes

Ini karena para Arhat menurut Mahayana masih memiliki kemelekatan akan "kedamaian ekstrim". Inilah yang menyebabkan ada beberapa dari para Arhat Hinayana yang lebih sulit memahami jalan Bodhisattva ketimbang umat awam seperti kita-kita ini.


Jika nibbana theravada dikatakan "kedamaian ekstrim" dan para savaka arahat itu dikatakan melekat pada kedamaian ekstrim. Bukankah para bodhisatva dan buddha dari jalur Mahayana juga melekat pada ikrar "menolong semua makhluk".

logika ajaran pembebasan sejati ajaran Theravada adalah pembebasan individu. Karena mengapa ? Hanya diri sendiri-lah yang bisa membebaskan diri sendiri, tiada orang yang bisa mensuci-kan diri orang lain. Oleh diri sendiri-lah kesucian itu bisa dicapai.

BUDDHA HAS SHOWN THE PATH OF LIBERATION, NOW DEPEND ON EACH INDIVIDUAL TO TAKE THE PATH AND JOURNEY HIMSELF.

Siapa yang sependapat dengan saya ? Cukup sependapat di dalam hati saja... dan anda akan semakin SADDHA (yakin) dengan yang mana ajaran pembebasan yang sejati.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 11:05:41 AM
QuoteJika nibbana theravada dikatakan "kedamaian ekstrim" dan para savaka arahat itu dikatakan melekat pada kedamaian ekstrim. Bukankah para bodhisatva dan buddha dari jalur Mahayana juga melekat pada ikrar "menolong semua makhluk".

logika ajaran pembebasan sejati ajaran Theravada adalah pembebasan individu. Karena mengapa ? Hanya diri sendiri-lah yang bisa membebaskan diri sendiri, tiada orang yang bisa mensuci-kan diri orang lain. Oleh diri sendiri-lah kesucian itu bisa dicapai.

BUDDHA HAS SHOWN THE PATH OF LIBERATION, NOW DEPEND ON EACH INDIVIDUAL TO TAKE THE PATH AND JOURNEY HIMSELF.

Siapa yang sependapat dengan saya ? Cukup sependapat di dalam hati saja... dan anda akan semakin SADDHA (yakin) dengan yang mana ajaran pembebasan yang sejati.

Tapi bagi Mahayana, mereka tidak melekat pada konsep "menolong semua makhluk".

Bagaimanapun argumen anda, menurut Mahayana para Arhat melekat pada "kedamaian ekstrim" dan para Bodhisattva tidak melekat pada  "menolong semua makhluk".

Kalau anda sebagai Theravadin tidak cocok, it's OK. Tahu konsepnya, hargai dan hormati konsep Mahayana.

Bro. chingik sudah menjelaskan berkali-kali dan menurut saya sudah jelas, dan selama ini banyak member yang posting di forum ini hanya bermain kata-kata saja. Tidak ada poin yang dituju.

Renungkan, realisasi, baru anda bisa debat tentang hal-hal yang subtil.

Ingat selalu Prajnaparamita Sutra.....

Kemaren saya ikut diskusi Lamrim di Surabaya, samanera waktu itu berkata bahwa renungkan Dharma.... ini adalah poin terpenting.

Jangan langsung ceplas ceplos secara intelektual bales sana sini mboh gak karuan tapi akhirnya cuma main kata-kata saja.

Renungkan anda baru bisa paham..... Srotapanna aja belum nyampe.... mau sepenuhnya memahami pencapaian para Arhat dan Bodhisattva... hebatttt.

Tidak usah seseorang sependapat dengan saya. Tapi hendaknya seseorang sebagai umat Buddhis sependapat dengan Guru Agung Buddha Sakyamuni.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: nyanadhana on 16 February 2009, 11:09:46 AM
Bagaimanapun argumen anda, menurut Mahayana para Arhat melekat pada "kedamaian ekstrim" dan para Bodhisattva tidak melekat pada  "menolong semua makhluk".

Bukankah Vajrachedika Sutra menyebutkan bahwa bila Nibbana dikatakan sebagai kedamaian ekstrim maka masih menganut dualitas yaitu adanya Damai dan Tidak damai seperti Ada Surga dan Neraka. bila seperti itu pertanyaannya
1. apakah Hinayana salah mengerti soal Nibbananya
2. apakah Mahayana sendiri tidak mengetahui Nibbana ArahaT?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 11:14:23 AM
QuoteBagaimanapun argumen anda, menurut Mahayana para Arhat melekat pada "kedamaian ekstrim" dan para Bodhisattva tidak melekat pada  "menolong semua makhluk".

Bukankah Vajrachedika Sutra menyebutkan bahwa bila Nibbana dikatakan sebagai kedamaian ekstrim maka masih menganut dualitas yaitu adanya Damai dan Tidak damai seperti Ada Surga dan Neraka. bila seperti itu pertanyaannya
1. apakah Hinayana salah mengerti soal Nibbananya
2. apakah Mahayana sendiri tidak mengetahui Nibbana ArahaT?

Sorang Bodhisattva tentu sangat memahami Nirvana dari Arahat, tapi mereka tidak masuk ke jalur Hinayana Arhat yang melekat pada "kedamaian ekstrim". Jalan yang dilalui Bodhisattva adalah "Mahayana Arhat" yang didasari atas Bodhicitta.

Vajracchedika Sutra adalah sebuah sutra yang mengemukakan Kebenaran Absolut. Tapi secara Kebenaran Konvensional, tentu ada tingkatan dalam pencapaian Nirvana, tentu ada pembedaan antara Damai dan Tidak Damai.

Seperti Kebenaran Absolut di mana tidak ada yang namanya baik dan jahat. Tapi secara Konvensional toh para Buddha mengajarkan kita untuk berbuat baik.

Ini adalah konsep "Dua Kebenaran" dalam Mahayana.

Namun jawaban atas pertanyaan anda: Nirvana yang sepenuhnya bebas dari dualitas adalah Nirvana Samyaksambuddha.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: bond on 16 February 2009, 11:28:37 AM
Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 06:39:08 AM
QuoteKapan kata hinayana dan mahayana muncul? apakah sejak jaman Sang Buddha ada?

Setau saya kata "mahayana dan hinayana "muncul jauh setelah Sang Buddha parinibanna. Jadi jika arahat masih bisa merosot, sia2 dong yg jadi arahat pada jaman Sang Buddha.  Relieved

Sebenarnya ajaran Sang Buddha itu sederhana, hanya manusia yg membuat aliran aneh2 dan menjelimet agar terkesan eksklusive. mereka yg menciptakan perbedaan sehingga muncul kata "mahayana dan hinayana yg berpolemik" hanyalah ciptaan orang2 yg suka berfantasi ttg ajaran Sang Buddha. chuckle

Maka...... 18 sekte agama Buddha juga dapat dikategorikan sebagai ciptaan orang2 yg suka berfantasi ttg ajaran Sang Buddha. Apakah begitu???

Wah....kalau begitu..... kan Theravada masuk......  gimana nih?  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer


Mereka yang tidak melihat dengan kejernihan hati mengenai ajaran Sang Buddha, entah itu mahayana, theravada atau bahkan vajrayana tentu saja berfantasi  ^-^

Coba perhatikan kalimat saya yg saya ulangi kembali "Kapan kata hinayana dan mahayana muncul? apakah sejak jaman Sang Buddha sudah ada?" coba perhatikan yg di bold.. :D

saya tanya lagi ya, apakah seorang arahat mempermasalahkan theravada ,mahayana atau vajrayana? demikian juga apakah seorang bodhisatva mempermasalahkannya mengenai mana yg lebih tinggi?
Coba perhatikan tipitaka pali apakah ada menyebut hinayana lebih tinggi atau mahayana lebih tinggi?-->setau saya yg ditekankan ada pengikisan LDM. Atau pernakah Sang Buddha yg merupakan sumber informasi pernah mengatakan demikian?

Sekte2 muncul adalah suatu hal yg wajar, tapi jika salah satu sekte sudah membuat suatu statement sekte ini lebih tinggi dari itu atau yg ini lebih lengkap dari itu adalah suatu statement yg tidak pernah diucapkan para arahat ataupun para Buddha.

Nah kalau boleh saya mau nanya lagi, statement dari mana bahwa belajar theravada dulu lalu belajar mahayana lalu vajrayana yg lebih tinggi/lengkap. Adakah di tipitaka? atau hanya asumsi saja? jika ada tolong berikan referensinya..


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 11:31:56 AM
QuoteMereka yang tidak melihat dengan kejernihan hati mengenai ajaran Sang Buddha, entah itu mahayana, theravada atau bahkan vajrayana tentu saja berfantasi  chuckle

Coba perhatikan kalimat saya yg saya ulangi kembali "Kapan kata hinayana dan mahayana muncul? apakah sejak jaman Sang Buddha sudah ada?" coba perhatikan yg di bold.. Cheesy

saya tanya lagi ya, apakah seorang arahat mempermasalahkan theravada ,mahayana atau vajrayana? demikian juga apakah seorang bodhisatva mempermasalahkannya mengenai mana yg lebih tinggi?
Coba perhatikan tipitaka pali apakah ada menyebut hinayana lebih tinggi atau mahayana lebih tinggi?-->setau saya yg ditekankan ada pengikisan LDM. Atau pernakah Sang Buddha yg merupakan sumber informasi pernah mengatakan demikian?

Sekte2 muncul adalah suatu hal yg wajar, tapi jika salah satu sekte sudah membuat suatu statement sekte ini lebih tinggi dari itu atau yg ini lebih lengkap dari itu adalah suatu statement yg tidak pernah diucapkan para arahat ataupun para Buddha.

Nah kalau boleh saya mau nanya lagi, statement dari mana bahwa belajar theravada dulu lalu belajar mahayana lalu vajrayana yg lebih tinggi/lengkap. Adakah di tipitaka? atau hanya asumsi saja? jika ada tolong berikan referensinya..

Istilah Hinayana maupun Mahayana tidak terlalu jadi soal mau muncul kapan.... yang perlu dimaknai adalah makna dari kedua istilah tersebut.

Memang sedari awal saya tidak mempermasalahkan siapa yang lebih tinggi, karena semuanya merupakan suatu tahapan jalan.

Saya hanya mengemukakan pernyataan bahwa gini lho konsepnya Mahayana. Mau urusan beneran atau kagak, ya anda realisasi sendiri deh.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 16 February 2009, 11:36:12 AM
Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 06:12:12 AM
QuoteIni tuduhan serius, Arahat yang masih bisa merosot, bisa sebutkan contoh dan referensinya?

Baca Abhidharmakosa. Di sana ada sebutin Arhat yang masih bisa merosot dan ada yang tidak.....

Kalau Mahasanghika malah semua Arhat ada kemungkinan melakukan kemerosotan dalam 5 hal.

Jadi sebenarnya dalam aliran Hinayana sendiri telah ada indikasi tentang ketidaksempurnaan seorang Shravaka Arhat.

_/\_
The Siddha Wanderer
posting disini pls...kan sama2 baca lebih enak. _/\_


QuoteKalau saya bilang Hinayana yang nge-klaim kalau tidak ada S2 gimana??  chuckle  chuckle  chuckle
memang hinaya sudah mengklaim kalau jalan Nibbana itu sudah FINISH..tidak ada S2.

dan yang menyatakan ada S2. itu MAHAYANA bro....

mahayana yang buat versi ada S2....theravada tidak buat versi.....gimana sih..


QuoteIni adalah pertanyaan konyol.

Apabila Nagarjuna tidak mengambil Sutra Mahayana.... Anda pikir tidak akan ada perpecahan Sangha??

Lah 18 sekte awal yang konsepnya berbeda-beda anda pikir itu apa?

Kalau gak ada Mahayana, mungkin zaman sekarang akan ada 18 sekte agama Buddha yang sedang bertarung dan gontok-gontokan.

Tahu 18 sekte awal itu apa saja?

Malah Theravada yang katanya banyak orang murni itu justru menurut Mahasanghika adalah sekte yang dengan seenaknya menambahi Vinaya yang diajarkan Sang Buddha! Nah lho? Jadi yang bikin Sanghabheda itu siapa?

Coba renungkan! Belajar sejarah, pahami, baru tanyakan!

La Ajahn Chah, Luangta Maha Boowa, Ajahn Mun Bhuridatto ada kejodohan gak bertemu ajaran Mahayana?

Apakah mereka seorang Arhat masih belum tentu bukan? Apakah mereka mempunyai kemampuan lebih [abhinna] anda juga gak tahu pastinya bukan?

Lagipula kalau mereka Arhat, belum tentu juga merupakan seorang Arhat yang mampu memahami Mahayana? Ingat contoh kisah Arhat yang mampu memahami Mahayana dan yang tidak mampu memahami Mahayana?
sejak kapan dalam Theravada ada 18 versi?....di TIPITAKA mana tertulis ada 18 versi?
jadi jelas yang membedakan versi situ adalah murid nya....bukan Theravada.

misalkan seorang bikkhu belajar metode meditasi vipassana mahassi, yang satu nya belajar versi lain seperti ajahn mun...
ini berarti murid nya yang membedakan......tetapi "nibbana" dalam Theravada tetap 1 makna.
yakni bebas se-bebas bebas nya.

masalah sesepuh seperti Ajahn chah,Luanta, dsb-nya....justu kesimpulan bahwa ketika tamat S1 sudah harus lanjut S2. itu pandangan MAHAYANA
dan berarti jika dilihat dari sudut pandang MAHAYANA bahwa mereka semua itu BELUM TAMAT S1.

anda tidak mengerti apa yang saya katakan...versi yang berbeda-beda diciptakan itu adalah CIPTAAN MAHAYANA....

sekali lagi di TIPITAKA PALI tidak ada PERBEDAAN SEKTE....yang ada hanya di Tripitaka MAHAYANA.

salam metta ^^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 16 February 2009, 11:38:41 AM
QuotePerpecahan Sangha sudah terjadi sebelum Nagarjuna membawa Sutra Mahayana.... malah bukan 3 aliran lagi.... tapi malah 18 aliran..... Wuuiiiikkk  Cool  Cool
tapi perpecahan itu terbentuk dari murid...bukan dari naskah kitab sucinya...
jelas kan....

lalu nagarjuna membawa kitab perpecahan itu untuk apa?...sudahkah pikir akibat nya belum..
bukan membawa perdamaian...bahkan dengan sengaja tertulis 2 aliran disitu.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 11:40:38 AM
Quotesejak kapan dalam Theravada ada 18 versi?....di TIPITAKA mana tertulis ada 18 versi?
jadi jelas yang membedakan versi situ adalah murid nya....bukan Theravada.

misalkan seorang bikkhu belajar metode meditasi vipassana mahassi, yang satu nya belajar versi lain seperti ajahn mun...
ini berarti murid nya yang membedakan......tetapi "nibbana" dalam Theravada tetap 1 makna.
yakni bebas se-bebas bebas nya.

masalah sesepuh seperti Ajahn chah,Luanta, dsb-nya....justu kesimpulan bahwa ketika tamat S1 sudah harus lanjut S2. itu pandangan MAHAYANA
dan berarti jika dilihat dari sudut pandang MAHAYANA bahwa mereka semua itu BELUM TAMAT S1.

anda tidak mengerti apa yang saya katakan...versi yang berbeda-beda diciptakan itu adalah CIPTAAN MAHAYANA....

sekali lagi di TIPITAKA PALI tidak ada PERBEDAAN SEKTE....yang ada hanya di Tripitaka MAHAYANA.

salam metta ^^

Wah.... anda bener-bener kagak tau sejarah ya??

Apa anda tahu Theravada Mahaviharavasin sudah merupakan sekte yang terpecah dari Sangha mula-mula? Alias sekte Theravada bukan aliran murni dari zaman Sang Buddha. Ngerti?

Siapa yang bilang Theravada ada 18 versi? Yang bener adalah dari 18 versi itu, salah satunya adalah Theravada.

Quotememang hinaya sudah mengklaim kalau jalan Nibbana itu sudah FINISH..tidak ada S2.

dan yang menyatakan ada S2. itu MAHAYANA bro....

mahayana yang buat versi ada S2....theravada tidak buat versi.....gimana sih..

Ya sudah beda versi...... tapi Theravada juga buat versi Arahat kagak ada yang bisa merosot....  ^-^

Satu kalimat buat anda: Belajar sejarah dengan bener.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: bond on 16 February 2009, 11:40:51 AM
Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 11:14:23 AM
QuoteBagaimanapun argumen anda, menurut Mahayana para Arhat melekat pada "kedamaian ekstrim" dan para Bodhisattva tidak melekat pada  "menolong semua makhluk".

Bukankah Vajrachedika Sutra menyebutkan bahwa bila Nibbana dikatakan sebagai kedamaian ekstrim maka masih menganut dualitas yaitu adanya Damai dan Tidak damai seperti Ada Surga dan Neraka. bila seperti itu pertanyaannya
1. apakah Hinayana salah mengerti soal Nibbananya
2. apakah Mahayana sendiri tidak mengetahui Nibbana ArahaT?

Sorang Bodhisattva tentu sangat memahami Nirvana dari Arahat, tapi mereka tidak masuk ke jalur Hinayana Arhat yang melekat pada "kedamaian ekstrim". Jalan yang dilalui Bodhisattva adalah "Mahayana Arhat" yang didasari atas Bodhicitta.

Apakah Anda sudah pernah membaca tipitaka pali?, bahwa pencapaian arahat harus bebas dari kemelekatan apapun termasuk baik dan buruk. Darimana sumber kedamaian ekstrem itu?

Apakah bodhicitta hanya dimiliki araht mahayanis saja? atau orang yg menjalankan ajaran Sang Buddha dengan baik dan benar?




_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 11:43:53 AM
Quotetapi perpecahan itu terbentuk dari murid...bukan dari naskah kitab sucinya...
jelas kan....

lalu nagarjuna membawa kitab perpecahan itu untuk apa?...sudahkah pikir akibat nya belum..
bukan membawa perdamaian...bahkan dengan sengaja tertulis 2 aliran disitu.

Apa anda pikir Tripitaka Hinayana cuma ada versi Theravada doang?

Apa anda tidak tahu bahwa ada Tripitaka versi Sarvastivada maupun Mahasanghika? Yang notabene sejajar dengan aliran Theravada?

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: GandalfTheElder on 16 February 2009, 11:45:37 AM
QuoteApakah Anda sudah pernah membaca tipitaka pali?, bahwa pencapaian arahat harus bebas dari kemelekatan apapun termasuk baik dan buruk. Darimana sumber kedamaian ekstrem itu?

Apakah bodhicitta hanya dimiliki araht mahayanis saja? atau orang yg menjalankan ajaran Sang Buddha dengan baik dan benar?

Pahami Bodhicitta, dan renungkan. Apa sih arti Bodhicitta itu?  ^-^  ^-^

Ini akan juga menjelaskan pencapaian Arhat.

_/\_
The Siddha Wanderer
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: bond on 16 February 2009, 11:49:15 AM
Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 11:31:56 AM
QuoteMereka yang tidak melihat dengan kejernihan hati mengenai ajaran Sang Buddha, entah itu mahayana, theravada atau bahkan vajrayana tentu saja berfantasi  chuckle

Coba perhatikan kalimat saya yg saya ulangi kembali "Kapan kata hinayana dan mahayana muncul? apakah sejak jaman Sang Buddha sudah ada?" coba perhatikan yg di bold.. Cheesy

saya tanya lagi ya, apakah seorang arahat mempermasalahkan theravada ,mahayana atau vajrayana? demikian juga apakah seorang bodhisatva mempermasalahkannya mengenai mana yg lebih tinggi?
Coba perhatikan tipitaka pali apakah ada menyebut hinayana lebih tinggi atau mahayana lebih tinggi?-->setau saya yg ditekankan ada pengikisan LDM. Atau pernakah Sang Buddha yg merupakan sumber informasi pernah mengatakan demikian?

Sekte2 muncul adalah suatu hal yg wajar, tapi jika salah satu sekte sudah membuat suatu statement sekte ini lebih tinggi dari itu atau yg ini lebih lengkap dari itu adalah suatu statement yg tidak pernah diucapkan para arahat ataupun para Buddha.

Nah kalau boleh saya mau nanya lagi, statement dari mana bahwa belajar theravada dulu lalu belajar mahayana lalu vajrayana yg lebih tinggi/lengkap. Adakah di tipitaka? atau hanya asumsi saja? jika ada tolong berikan referensinya..

Istilah Hinayana maupun Mahayana tidak terlalu jadi soal mau muncul kapan.... yang perlu dimaknai adalah makna dari kedua istilah tersebut.

Memang sedari awal saya tidak mempermasalahkan siapa yang lebih tinggi, karena semuanya merupakan suatu tahapan jalan.

Saya hanya mengemukakan pernyataan bahwa gini lho konsepnya Mahayana. Mau urusan beneran atau kagak, ya anda realisasi sendiri deh.

_/\_
The Siddha Wanderer

Ok saya setuju. Tetapi apakah kata hinayana ditujukan kepada theravada sesuai konsep mahayana? karena dalam tipitaka mahayana hanya merujuk kata hinayana bukan pada kata theravada. Jadi perbandingannya harus dilakukan hati2 karena arti hinayana tidak identik dengan theravada tetapi jika yg dimaksud theravada maka jelas disitu adanya konsep "mana yg lebih tinggi dan yg itu tidak" dan hal tersebut tidak pernah dikatakan para arahat atau para Buddha sehingga hal tersebut bukanlah ajaran Sang Buddha. _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: bond on 16 February 2009, 11:52:18 AM
Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 11:45:37 AM
QuoteApakah Anda sudah pernah membaca tipitaka pali?, bahwa pencapaian arahat harus bebas dari kemelekatan apapun termasuk baik dan buruk. Darimana sumber kedamaian ekstrem itu?

Apakah bodhicitta hanya dimiliki araht mahayanis saja? atau orang yg menjalankan ajaran Sang Buddha dengan baik dan benar?

Pahami Bodhicitta, dan renungkan. Apa sih arti Bodhicitta itu?  ^-^  ^-^

Ini akan juga menjelaskan pencapaian Arhat.

_/\_
The Siddha Wanderer

Anda sudah paham belum arti bodhicitta?, kalau sudah tolong dijelaskan agar yg lainnya sekiranya dapat mengerti arti arahat mahayanis yg Anda maksudkan.... ^-^

Saya ngak ngerti bodhiciita  :). Yang saya tau sucikan hati dan pikiran itulah ajaran semua Buddha  :)
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 16 February 2009, 11:52:30 AM
Quote"Sekte Mahasanghika akan terbagi menjadi tujuh bagian
Sekte Sthavira menjadi sebelas bagian,
Inilah apa yang kita istilahkan sebagai 12 sekte [dari Mahasthavira],
Delapan belas termasuk di dalamnya dua sekte awal,
Semua ini muncul dari Mahayana,
Yang mengatakan bukan kesetujuan pun bukan kontradiksi."
(Manjusri Pariprccha Sutra)
nah yang bilang ini pun dari sesepuh siapa yah?.... ^^
mahayana lah.

Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 07:04:18 AM
Quotejadi bisakah saya tarik kesimpulan "selama Sang Buddha selalu mau mengajarkan dhamma,di situ ada penderitaan bukan.?"

lalu, bagian mana yang dikatakan Sang Buddha telah bebas dari penderitaan?
nah, inilah yang saya sebut...mengajarkan bebas dari penderitaan tetapi dirinya sendiri menderita....
apakah Sang buddha pernah merasakan betul-betul bebas dari penderitaan?
saya yakin "tidak akan pernah bebas dari penderitaan"

jadi apakah yang diajarkan seorang buddha?...yakni terus menderita?
jadi kebalik bukan dengan 4 kesunyataan mulia.

lalu pada akhirnya bertabrakan pula dengan ajaran Theravada.

La wong Bodhisattva yang nolong terus menerus aja kagak menderita kok anda yang protess..... Penderitaan mamang ada tapi ya cuma penderitaan fisik, batin ya kagak menderita.

Quote
saya rasa tidak bakalan nyambung..Theravada mengajarkan

Segala bentukan adalah penderitaan, dan untuk bebas dari penderitaan adalah bebas dari bentukan.

sedangkan mahayana? ^^

Ya begitu...  ^-^  ^-^

Quotecoba renungkan ini..dan keinginan untuk mengajar terus menerus itu masuk mana yah dari 3 ini.^^

apalagi kalau bukan ketamakan. dimana merujuk pada "mau terus"

Terusnya hanya prosesss.......  ^-^  ^-^ Anda paham kusala chanda gak sih??

Kok yang dipikiran cuma lobha.... lobha............lobha....... ya anda terus menerus mencari nafkah buat anak istri anda supaya mereka hidup sejahtera dan berbahagia itu LOBHA ya? Ohhh... kalau gitu harus cepet2 dilenyapkan nih tuh LOBHA...... gak usah cari nafkah sekalian karena nambah LOBHA. Ngapain nunda2 untuk nglenyapin LOBHA. Gitu? Tentu tidak bukan?

Seorang Bodhisattva yang berikrar untuk menolong terus menerus..... apakah pada akhirnya tidak jadi Samyaksambuddha? Ya jadi dong!
oh. jadi bukan lobha yah???....ini lobha yang bersifat halus.
dan kalau tidak mau mencari makan dengan pikiran bodoh seperti itu disebut MOHA...tetapi tidak terikat kedua-dua nya disebut orang bijak lagi.
dan berusaha membuang jauh-jauh bisa saja menimbulkan kebencian....

makanya bikkhu punya banyak SILA yang jelas. agar betul-betul memusanakan LDM nya.

seperti nya anda bukan seorang meditator dan seorang teoriawan..sory kalau nebak-nebak saya minta maaf..
tapi jikalau memang demikian.. saya rasa tidak guna membahas masalah LDM yang sifat nya halus...karena bakalan tidak nyambung. ^^

loh boddhisatva tidak menderita? ataukah lupa akan penderitaan......


"Ada penderitaan, tapi tidak ada yang menderita,
Ada jalan, tapi tidak ada yang menempuhnya,
Ada nibbana, tapi tidak ada yang mencapainya."

anda katakan cuma penderitaan fisik ya?...
aduh,,,,jadi itu bukan penderitaan juga?......
belajar dulu ke basic 4 kesunyataan mulia saja dah.
sungguh tidak bakalan nyambung ngomong kalau begini. ^^

QuoteRenungkan Mahayana dengan cangkir yang tidak penuh, tapi dengan cangkir kosong. Renungkan... renungkan..... tanpa perenungan ataupun meditasi terhadap Ajaran, hanya dengan intelektualitas semata, maka hasilnya kebanyakan akan meleset.
cangkir saya hanya ingin saya isi yang berguna saja...tetapi sebelum di-isi saya tentu filter dulu.

dan 4 kesunyataan mulia itu merealisasikan kenyataan yang benar-benar kenyataan (paramatha)
masalah "kedamaian extrim" saya juga ingin post..tetapi sudah ada yang lebih dulu ^^

semoga diskusi ini bukan menambah kebencian, melainkan menambah wawasan semata.
waspada akan pikiran.


salam metta.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 16 February 2009, 11:55:34 AM
Quote
Quote
QuoteSecara kronologi historycal dari masa kehidupan Pertapa Siddharta, Mahayana tetap berpegangan bahwa proses pencapaian Samyaksambuddha sama dgn konsep Theravada.

Pertanyaan saya belum dijawab mas Chingik, ini tertulis di kitab suci Mahayana yang mana? atau ini cuma pendapat sendiri? Pencerahan menurut Theravada setelah Bodhisatta mencapai pencerahan maka itu adalah kehidupannya yang terakhir, apakah sama dengan Mahayana? Lantas persamaannya dimana? tolong penjelasannya.

Saya dapat mengerti kebingungan anda yg berpijak pada perspektif Theravada utk memahami pandangan Mahayana. Tetapi sekali lagi mohon dicamkan baik-baik bahwa saya tidak menjelaskan menurut pandangan Theravada. Sangatlah wajar bila bro yang berpijak pd pandangan Theravada merasa bahwa konsep pencerahan Theravada tidak sama Mahayana. Begitu juga Mahayana memang memiliki konsep yg berbeda, tetapi karena Mahayana menerima cakupan Theravada, maka pada sisi tertentu disebut sama. Nah, yg saya maksudkan sama itu adalah sisi tersebut, sedangkan pada aspek yg lebih luas lagi, Mahayana menyebutkan hal-hal yang tidak ada di dalam konsep Theravada. Aspek ini berbeda. Itu jelas. Ya, bro mungkin akan merasa puas bahwa benar saja memang beda. Ini tentu adalah pilihan kita masing-masing. Tetapi berbalik lagi pada pertanyaan awal bahwa apakah pencerahan itu sama dalam pandangan Mahayana, maka penjelasan yang bisa dikemukakan tetap seperti semula yakni Sama pada sisi kronologitas historikal, namun beda karena ada penjelasan dalam aspek yg lebih luas lagi. Apakah ini pendapat pribadi? Tentu tidak, sejauh saya mempelajari Mahayana, memang demikian adanya. Mengapa? Karena Mahayana tidak berdiri sendiri dgn mengabaikan sisi kehidupan Buddha yg tercatat dalam Agama Sutra (ataupun Nikaya Pali). Semua kotbah yg tercatat dalam kitab tersebut merupakan satu kesatuan yg tidak dapat dipisahkan bagi seorang praktisi Mahayana, karena semua ini tetap sangat dijunjung tinggi karena merupakan kotbah Hyang Buddha. Yang membedakannya adlah Mahayana sekaligus juga meyakini kotbah-kotbah yg tercatat dalam Sutra Mahayana. Sebagai contoh, Sutra Mahayana yakni Maharatnakuta Sutra bagian Varga UpayaKausalya, Salah satu Bodhisatva berdialog dgn Buddha mengenai kebingungannya tentang mengapa Buddha lahir dari sisi kanan ratu Mahamaya, mengapa Buddha saat mencapai pencerahan tidak membabarkan dhamma sebelum diminta oleh Brahma Sahampati, dan lain-lain yang mana pertanyaan2 tersebut merupakan pertanyaan yg berkaitan dgn  kotbah yg ada di dalam kitab Nikaya/Agama Sutra. Tidak hanya itu, dalam Mahasatyanirgrantha Nirdesa, menguraikan keagungan Buddha yg isinya selaras dgn kotbah-kotbah dalam Nikaya, hanya saja Sutra ini memberi uraian yg lebih luas hingga ke aspek Mahayanis.   

terima kasih atas jawabannya mas Chingik, penjelasan yang panjang lebar.

cuma pertanyaan lain timbul, bagaimana bila saya tambahkan Shinto kemudian saya klaim bahwa Shinto sebenarnya diajarkan Oleh Sang Buddha Kasyapa turun temurun dan hanya bertahan di Jepang? dan merupakan kesatuan dengan ajaran Sang Buddha Shakyamuni? saya kira sulit juga membantah klaim ini.

Tetapi pertanyaannya bila Tipitaka Pali lenyap, apakah yang menjadi patokan ajaran Mahayana?
Quote
Quote
QuoteItulah sebabnya Mahayana tidak memungkiri ajaran Theravada (nikaya), karena memang itu adalah cakupannya. Cuma , ya Cuma saja..., ada satu aspek yg tidak pernah ada dalam konsep theravada adalah bahwa meskipun kronologitas pencapaian Kesempurnaan adalah sama dgn Mahayana, namun terdapat aspek lain yg dijabarkan secara lebih luas lagi dalam Mahayana, yakni pencapaian di bawah pohon bodhi ini hanyalah sebuah "lakon" utk memperkenalkan kemunculan seorang Buddha dan penyebaran dhammaNya kepada makhluk di dunia (lokadhatu) Saha ini. 
Aah saya mengerti, jadi pencapaian di bawah pohon Bodhi hanya sebuah sandiwara saja? begitukah?
Saya menyebutkan kata lakon dgn tanda petik dgn harapan agar anda memahami maksud yg saya kemukakan. Namun saya menangkap cara bro menanggapinya dgn sangat aburd. Atau memang ingin bertanya dgn sangat sangat serius? Saya pernah berdiskusi dgn seorang rekan yg tidak meyakini ajaran Buddha, namun ketika beliau mendengar hal-hal yg diluar pemahaman beliau, bagaimanapun juga beliau tidak akan bertanya tentang hal-hal yg seolah-olah sangat absurd. Dari mempelajari ajaran Buddha, kita sama-sama memahami bahwa Buddha adalah manusia yg sangat luar biasa karismatiknya. Ini tercermin dari kata-kata bijaknya. Dari sisi ini saja, seharusnya tidak perlu sampai memunculkan rasa curiga bahwa seorang Buddha sedang bersandiwara. Kalaupun ingin mengatakan sandiwara, maka sepatutnya konteks sandiwara itu dibedakan dgn tanda petik, karena tentu ini sangat berbeda. Singkatnya, Buddha tentu tidak mungkin bersandiwara. Bagi bro yg sudah terpaten dgn konsepsi Theravada, memang sulit menerima bahwa Buddha dapat muncul lagi di dunia lain dgn alur : "lahir, menjadi pertapa, mencapai pencerahan, membabarkan dhamma, Mahaparinibbana". Namun bagi Mahayana hal ini sejalan dgn ikrar agung dan tidaklah mustahil ini dilakukan seorang Buddha, mengapa? Seorang Buddha sudah tidak melekat lagi dgn Keakuan, karena tidak melekat lagi itulah maka apalah artinyan jika setelah Mahaparibbana lalu sampai suatu waktu muncul lagi dgn alur seperti di atas utk mengajar di sebuah lokadhatu yg msh asing sama sekali dgn dhamma? Mungkin Mahaparinibbana yg bro hendaki adalah padam total, namun ingatlah bahwa Buddha tidak pernah mengatakan bahwa mencapai nibbana itu sama dgn lenyap, jiak sama dgn lenyap bukankah sama dgn paham nihilis? Sedangkan bagi Mahayana, muncul lagi di suatu tempat pd satu kondisi yg tepat tidak menandakan bahwa Mahayana menganut paham kekal. Jika dikatakan paham kekal, maka seharusnya Buddha tidak perlu Mahaparinibbana, namun Mahayana lebih menganggapnya sebagai perubahan yg terus menerus, dan hakikat dhamma itu tetap ada karena dhammatanya, dan karena Buddha tidak melekat pd Keakuan itu pula maka Beliau bebas leluasa dgn kearifan sejati tetap akan membimbing orang yg kondisi karmanya selaras utk dibimbing Buddha.

Yang saya pernah baca dalam literatur Theravada, Sang Buddha menolak jika orang-orang beranggapan bahwa Sang Tathagata: ada setelah Parinibbana, tiada setelah Parinibbana, ada dan tiada setelah Paribbana, tidak ada dan juga bukan tidak ada dstnya....

Jadi nampaknya Theravada tidak mau berspekulasi mengenai keberadaan Sang Tathagata setelah Parinibbana.
Quote
Quote
QuoteDengan pertunjukan ini, alur nya terus berlanjut ke pembabaran dhamma hingga Mahaparinirvana yg mana juga merupakan bagian dari alur pertunjukan seorang Buddha. Atas dasar inilah maka saya katakan bahwa sesungguhnya Mahaparinirvana Buddha tidak benar-benar disebut Mahaparinirvana. Mengapa? Karena utk selanjutnya Buddha akan memperkenalkan lagi ajaran dhamma di lokadhatu lain yang mana makhluk di sana belum mengenal dhamma.
Bila para Buddha tidak sungguh sungguh Maha Parinirvana, lantas siapakah yang sungguh-sungguh Maha Parinirvana? 
Sejatinya bagi mahayana, Mahaparinirvana yg berbentuk matinya seorang Buddha hanyalah perwujudan yg diperlihatkan atau hanya dipahami secara awam. Hakikat sejatinya Mahaparinirvana tidak lain adalah tidak lahir dan tidak mati. Konsep ini Mungkin ini akan menjadi bahasan yg terpisah lagi. Dalam kitab Mahayana membahas dgn sangat-sangat banyak.
muncul lagi kemudian lenyap lagi bila demikian mungkin saya sudah Buddha juga ya? dan saya hanya perwujudan sementara untuk menolong orang-orang yang patut ditolong....

Quote
Quote
QuoteTentu ini akan dilakukan sesuai dgn kondisi kematangan kemunculan Buddha dan kesiapan makhluk di sana utk mendapat ajaran dhamma. Bagi Mahayana, konsep seperti ini sah-sah saja, mengapa? Pertama,sesuai dgn ikrar seorang bodhisatta yg akan membebaskan semua makhluk hidup di semesta ini.
Boleh tahu pembebasan mahluk hidup itu melalui jalan Bodhisattva kan? seperti apa pembebasannya?
Bentuk pembebasannya banyak juga dibahas dlm kitab ulasan Buddhavamsa (silakan baca sendiri RAPB), setelah saya baca, secara garis besar selaras dgn Mahayana. Intinya tidak lari dari 10 Paramita
.

Lho... mas Chingik kok mengutip RAPB? itu kan berdasarkan ajaran Theravada? menurut Theravada ada 10 parami, sedangkan menurut Mahayana hanya 6 parami, kan jelas beda mas Chingik?
Quote
Quote
QuoteKedua, semesta ini tak terbatas luasnya dan tak terbatas jumlahnya. Lokadhatu di sini hanyalah setitik debu kecil di bandingkan dgn luasnya alam semesta. Jauh lebih aneh bila Buddha hanya mengajar dhamma kepada manusia di jambudipa sini saja, sedangkan jumlah jambudipa2 lain di semesta ini tak terhitung.
Saya setuju alam semesta luas, Jadi nanti Shakyamuni Buddha akan berpura-pura mencapai pencerahan dimana lagi?
Hahaha...saya harap bro tidak membuat pertanyaan yg kekanak-kanakan. 
Mengapa harus berpura-pura? Pada intinya, tujuan terpenting adalah menyelidiki makhluk derita mana yg kondisinya siap utk dibimbing agar dapat memasuki pintu dhamma. Itulah yg diutamakan Buddha. Jadi mau bilang pura2 atau tidak, itu terserah bro.  Yg Jelas, silakan renungkan sifat2 agung Buddha lalu pahami bhw jika hal itu memungkinkan bagi seorang Buddha utk datang lagi dan mengajar orang yg sangat kasian itu, maka why not ? Mungkin bro akan terpaku pada persoalan "masalahnya Buddha tidak mungkin datang lagi karena sudah Mahaparinibbana" , ya itu karena menyangkut keyakinan bro saja. Silakan

Bukan begitu lho mas Chingik, kan katanya nanti Shakyamuni Buddha bisa muncul lagi entah dimana. jadi Beliau seperti dewa dalam keyakinanan Hindu atau seperti Taoisme dong...dimana Buddha/ dewa akan turun ke dunia menolong orang yang patut ditolong... waah kita OOT nih,kan pertanyaan utamanya adalah bagaimana sih proses pencerahan yang dicapai oleh Shakyamuni Buddha di bawah pohon Bodhi? apakah berbeda atau sama dengan Theravada?

Quote
Quote
QuoteJika meneliti pengumpulan paramita yg dilakukan seorang bodhisatta selama 4 asenkheya kalpa dan 100 ribu kalpa, atau dalam Mahayana menyebutkan 3 Maha asenkheya kalpa, maka cukup sepadan bila seorang Sammasambuddha melakukan ini semua.
Maksudnya melakukan apa? berpura-pura mencapai pencerahan lagi, padahal sudah tercerahkan?
Hahahah..
Lho, bila seseorang mencapai pencerahan pertama ya, itu memang benar, tapi masak.. pencerahan dicapai berulang kali?
bukankah itu pura-pura mencapai pencerahan, padahal ia sudah tercerahkan?

terima kasih mohon penjelasannya mas Chingik.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 16 February 2009, 11:57:31 AM
Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 11:43:53 AM
Quotetapi perpecahan itu terbentuk dari murid...bukan dari naskah kitab sucinya...
jelas kan....

lalu nagarjuna membawa kitab perpecahan itu untuk apa?...sudahkah pikir akibat nya belum..
bukan membawa perdamaian...bahkan dengan sengaja tertulis 2 aliran disitu.

Apa anda pikir Tripitaka Hinayana cuma ada versi Theravada doang?

Apa anda tidak tahu bahwa ada Tripitaka versi Sarvastivada maupun Mahasanghika? Yang notabene sejajar dengan aliran Theravada?

_/\_
The Siddha Wanderer
kalau pun ada, silahkan post disini Tipitaka versi Sarvastivada, dan bagian mana yang menujukkan ada 2 versi.

saya,anda juga semua tahu bahwa Tipitaka dalam Theravada paling di akui kemurniannya(sangka ke 1) adalah 4 nikaya tertua,dsb-nya
memang pada konsili ke-3 barulah di tambahkan beberapa......seperti milinda ataupun lainnya
tetapi saya tidak melihat theravada menulis 2 sekter berbeda.

dan kata hinaya dalam mahayana itu artinya apa?
termasuk Theravada kan. atau tidak?.....


kalau mahasangsika kan mahayana
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 16 February 2009, 12:01:45 PM

QuoteYang saya pernah baca dalam literatur Theravada, Sang Buddha menolak jika orang-orang beranggapan bahwa Sang Tathagata: ada setelah Parinibbana, tiada setelah Parinibbana, ada dan tiada setelah Paribbana, tidak ada dan juga bukan tidak ada dstnya....

Jadi nampaknya Theravada tidak mau berspekulasi mengenai keberadaan Sang Tathagata setelah Parinibbana.
jelas saja karena tidak mungkin mencapai pikiran yang menembus dan tidak terhalang jikalau memasukkan 2 konsep dalam pikiran..

mirip kata Ajahn Chah,,
jangan berpikir anda kecil, jangan berpikir anda sedang, jangan berpikir anda hebat....bebas kan dari pikiran seperti itu.....( inilah maksud dari "tidak terhalang" ) ^^



QuoteLho, bila seseorang mencapai pencerahan pertama ya, itu memang benar, tapi masak.. pencerahan dicapai berulang kali?
bukankah itu pura-pura mencapai pencerahan, padahal ia sudah tercerahkan?

terima kasih mohon penjelasannya mas Chingik.

Namaste
saya juga ingin tahu jawaban dari pertanyaan yang diberi [at]TruthLover.
apa ternyata memang buddha dalam pandangan Mahayana adalah aktor laga yang pandai berakting?

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 16 February 2009, 12:02:58 PM
QuoteTapi bagi Mahayana, mereka tidak melekat pada konsep "menolong semua makhluk".

Bagaimanapun argumen anda, menurut Mahayana para Arhat melekat pada "kedamaian ekstrim" dan para Bodhisattva tidak melekat pada  "menolong semua makhluk".

Kalau anda sebagai Theravadin tidak cocok, it's OK. Tahu konsepnya, hargai dan hormati konsep Mahayana.

pointless, saya rangkum saja:

theravadin beropini: arahat tidak melekat, bodhisatta "mahayanist" melekati sumpahnya.
mahayanist beropini: arahat theravadin & mahayanist melekat pada kedamaian ekstrim, bodhisatta mahayanist tidak melekati sumpahnya.

perang opini aja... terserah deh... pegang yg cocok bagi masing2 saja
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 16 February 2009, 12:06:17 PM
QuoteTidak usah seseorang sependapat dengan saya. Tapi hendaknya seseorang sebagai umat Buddhis sependapat dengan Guru Agung Buddha Sakyamuni.
pendapat Guru Agung Sakyamuni yg seperti apa? seperti Mahayanist atau seperti Theravadin?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 16 February 2009, 12:10:54 PM
Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 06:12:12 AM
QuoteIni tuduhan serius, Arahat yang masih bisa merosot, bisa sebutkan contoh dan referensinya?

Baca Abhidharmakosa. Di sana ada sebutin Arhat yang masih bisa merosot dan ada yang tidak.....

Kalau Mahasanghika malah semua Arhat ada kemungkinan melakukan kemerosotan dalam 5 hal.

Jadi sebenarnya dalam aliran Hinayana sendiri telah ada indikasi tentang ketidaksempurnaan seorang Shravaka Arhat.

_/\_
The Siddha Wanderer

Mas Gandaaalf.......  :-[ Abidharmakosa itu kitab Mahayana juga mas...   _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 16 February 2009, 12:15:28 PM
Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 11:05:41 AM
QuoteJika nibbana theravada dikatakan "kedamaian ekstrim" dan para savaka arahat itu dikatakan melekat pada kedamaian ekstrim. Bukankah para bodhisatva dan buddha dari jalur Mahayana juga melekat pada ikrar "menolong semua makhluk".

logika ajaran pembebasan sejati ajaran Theravada adalah pembebasan individu. Karena mengapa ? Hanya diri sendiri-lah yang bisa membebaskan diri sendiri, tiada orang yang bisa mensuci-kan diri orang lain. Oleh diri sendiri-lah kesucian itu bisa dicapai.

BUDDHA HAS SHOWN THE PATH OF LIBERATION, NOW DEPEND ON EACH INDIVIDUAL TO TAKE THE PATH AND JOURNEY HIMSELF.

Siapa yang sependapat dengan saya ? Cukup sependapat di dalam hati saja... dan anda akan semakin SADDHA (yakin) dengan yang mana ajaran pembebasan yang sejati.

Tapi bagi Mahayana, mereka tidak melekat pada konsep "menolong semua makhluk".

Bagaimanapun argumen anda, menurut Mahayana para Arhat melekat pada "kedamaian ekstrim" dan para Bodhisattva tidak melekat pada  "menolong semua makhluk".


pernyataan tentang Savaka Arahat (Theravada) yang melekat pada "kedamaian ekstrim" saya kembalikan dengan pernyataan serupa tentang bodhisatva dan buddha (Mahayana) yang melekat pada ikrar "menyelamatkan makhluk hidup".


Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 11:05:41 AM

Jangan langsung ceplas ceplos secara intelektual bales sana sini mboh gak karuan tapi akhirnya cuma main kata-kata saja.

Renungkan anda baru bisa paham..... Srotapanna aja belum nyampe.... mau sepenuhnya memahami pencapaian para Arhat dan Bodhisattva... hebatttt.

Tidak usah seseorang sependapat dengan saya. Tapi hendaknya seseorang sebagai umat Buddhis sependapat dengan Guru Agung Buddha Sakyamuni.


Ketika kehabisan kata-kata untuk "berdiskusi"/"berdebat" tentang topik, mulai-lah penyerangan pribadi dengan pernyataan pernyataan "Srotapana pun anda belum"...
Pertanyaannya ? Darimana di-kau tahu beta belum Srotapanna ? Bila beta katakan beta sudah Srotapanna, dengan apakah pula di-kau bisa me-negasi (menolak) pernyataan beta ?

Hendak-nya pernyataan-pernyataan yang "menyerang" pribadi orang lain yang TIDAK ADA DASAR sama sekali, dikurangi...

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 16 February 2009, 12:22:34 PM
Quote from: chingik on 14 February 2009, 09:40:29 PM
Quote from: BlackDragon on 13 February 2009, 03:10:22 AM
Thx Bro Chingik atas jawabannya,
tapi ada satu hal yg masih mengganjal pikiran saya.

QuoteLebih lanjut Bhavaviveka dalam Tarkajvala juga menyanggah klaim Hinayana dengan ofensif, yaitu dengan mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka], tetapi untuk para Bodhisattva. Wajar saja kalau Hinayana tidak tahu.

Sebagai klimaks Bhavaviveka mengutip Simsapavana Sutra:
"Ananda, Dharma yang kumengerti tetapi tidak kuajarkan padamu lebih banyak daripada dedaunan di hutan pohon simsapa ini."

Di sana jelas bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan semua Dharma pada kaum Sravaka. Yang tidak diajarkan pada kaum Sravaka itu, diajarkan sang Buddha pada para Bodhisattva.

Kisah hutan Simsapa ini juga disebutkan dalam Mahaparinirvana Sutra:

Kasyapa berkata pada sang Buddha: "O Bhagava! Ketika Sang Buddha berada di tepi sungai Gangga, di hutan Simsapavana, Pada waktu itu, sang Tathagata mengambil satu dahan pohon simsapa yang kecil dengan beberapa daun di batang tersebut dan berkata pada para bhiksu:
"Apakah daun yang berada di dalam genggaman tangan-Ku banyak atau semua daun dari rerumputan dan pepohonan di seluruh hutan banyak?"
Semua bhiksu menjawab: "O Bhagava! Dedaunan dari rerumputan dan pepohonan dari seluruh hutan sangat banyak dan tidak dapat dihitiung. Apa yang Tathagata pegang di tangan-Nya sangat sedikit dan tidak berharga untuk disebutkan."
"O para bhiksu! Pengetahuan yang aku ketahui adalah seperti dedaunan dari rerumputan dan pepohonan di muka bumi; apa yang Aku berikan pada semua makhluk bagaikan daun dalam genggaman tangan-Ku."
Sang Bhagava kemudian berkata: Hal-hal yang tidak terbatas yang diketahui oleh Tathagata adalah merupakan ajaran-Ku apabila mereka mencakup Empat Kebenaran Mulia. Jika tidak, maka akan ada 5 Kebenaran."
...........
Bodhisattva Kasyapa berkata pada Buddha: "Jika semua hal tersebut berada dalam Empat kebenaran Mulia, mengapa Anda mengatakan bahwa mereka belum dibabarkan?"
Sang Buddha menjawab: "O pria yang berbudi! Meskipun mereka berada di dalam Empat kebenaran Mulia, kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka telah dibabarkan. Mengapa tidak? O pria yang berbudi! Ada 2 macam kebijaksanaan berkaitan dengan pengetahuan Kebenaran Mulia. Yang pertama adalah tingkat menengah dan yang lainnya adalah tingkat superior. Apa yang dinamakan sebagai kebijaksanaan tingkat menengah adalah para Sravaka dan Pratyekabuddha; apa yang dimaksud sebagai tingkat superior adalah para Buddha dan Bodhisattva.


Dikatakan bahwa karena Kausala nya, maka Buddha Sakyamuni tidak mengajarkan sutta2 mahayana kpd para arahat pada jaman Beliau hidup.
Karena Sang Buddha mengetahui bahwa para arahat tsb tidak dapat memahami Ajaran Mahayana.
Dan Beliau mengajarkan sutta2 Mahayana hanya kpd Bodhisatva yg berada di suatu surga (saya lupa) :)
Tapi secara jelas di dalam Mahayana para Arahat diakui sebagai Bodhisatva tingkat 7.
Yg jadi pertanyaan saya:
Apabila arahat sudah mencapai Bodhisatva tingkat 7, mengapa masih tidak bisa memahami ajaran sutta2 Mahayana???
Dan aneh nya lagi, apabila Arahat (Bodhisatva tingkat 7) saja tidak dapat memahami, mengapa skrg malah banyak umat2 awam yg bisa menjelaskan ttg isi sutta2 Mahayana, yg menandakan mereka MENGERTI dan MEMAHAMI?
Seperti anda dan Bro Gandalf, yg saya rasa paham sekali ttg ajaran Mahayana.

Mohon diberi penjelasan, krn saya benar2 ingin mengerti.

_/\_

Jangan salah paham. Buddha tidak pernah tidak mengajarkan para Arahat tentang jalan Bodhisatva. Contoh saja, Setiap pembabaran dharma Budha selalu dihadiri serombongan besar Bhikkhu Arahat.
QuoteYang dimaksud Arahat tidak mengetahui jalan Bodhisatva adalah Arahat tidak sanggup memahami jalan Bodhisatva. Buddha tetap berkotbah tentang jalan Bodhisatva, namun para Arahat tidak memahaminya sehingga dianalogikan bahwa Arahat tidak mendengar ajaran Mahayana. Kotbah Sang Buddha seperti guyuran hujan dari angkasa,
para makhluk ibarat tanaman yg terguyur, rumput kecil hanya sanggup menyerap air sedikit, pohon besar menyerap air hujan dgn lebih banyak, semua terguyur, namun kapasitas menerima air (ajaran) tergantung masing-masing tanaman. Begitu juga umat awam hanya sanggup menyerap ajaran lokiya, sedangkan mereka yg menjadi bhikkhu dapat memahami ajaran yg lebih tinggi sehingga menyerap lebih banyak ajaran Buddha seperti pohon besar. Demikian seterusnya semua ini tergantung pada kapasitas masing2. 

Wah saya jadi bingung nih mas Chingik, berdasarkan beberapa hal:

Jika Arahat tak mampu memahami jalan Bodhisattva lantas apakah mahluk yang lebih rendah dari Arahat yang mampu memahami jalan Bodhisattva? jika jalan Arahat merupakan penghalang untuk memahami jalan Bodhisattva, mengapa Sang Buddha mengajarkan jalan Arahat? bagaimana dengan mahluk non Arahat seperti kita, mampukah memahami jalan Bodhisattva?

mohon penjelasannya

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 16 February 2009, 12:27:08 PM
Quote from: tesla on 16 February 2009, 12:02:58 PM
QuoteTapi bagi Mahayana, mereka tidak melekat pada konsep "menolong semua makhluk".

Bagaimanapun argumen anda, menurut Mahayana para Arhat melekat pada "kedamaian ekstrim" dan para Bodhisattva tidak melekat pada  "menolong semua makhluk".

Kalau anda sebagai Theravadin tidak cocok, it's OK. Tahu konsepnya, hargai dan hormati konsep Mahayana.

pointless, saya rangkum saja:

theravadin beropini: arahat tidak melekat, bodhisatta "mahayanist" melekati sumpahnya.
mahayanist beropini: arahat theravadin & mahayanist melekat pada kedamaian ekstrim, bodhisatta mahayanist tidak melekati sumpahnya.

perang opini aja... terserah deh... pegang yg cocok bagi masing2 saja
kedua-dua nya tidak perlu di nilai dulu ^^...
tapi coba belajar basic tentang 4 kesunyataan mulia....kan kita semua sepakat 4 kesunyataan mulia adalah hukum paramatha(absolut)....

dari sanalah titik awal melihat pandangan...mana yang cocok sesuai kenyataan,bukan sesuai pikiran
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 16 February 2009, 12:38:40 PM
Quote from: dilbert on 16 February 2009, 10:56:20 AM
Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 06:47:45 AM
QuoteOh Jadi pada jaman Buddha ternyata ajaran Mahayana sudah di ajarkan dan ada murid yg bisa memahami  Namaste
Tapi bagaimanapun juga... Arahat (Bodhisatva tgkt 7) dgn batinnya yg jernih dimana mereka sudah menghapus kilesa, seharusnya bisa lebih memahami ajaran Mahayana.
Dibanding dgn kita (umat awam), yg mgkn juga sudah termasuk Bodhisatva, tp masih di bawah tgkt 7 pastinya kan. Roll Eyes

Ini karena para Arhat menurut Mahayana masih memiliki kemelekatan akan "kedamaian ekstrim". Inilah yang menyebabkan ada beberapa dari para Arhat Hinayana yang lebih sulit memahami jalan Bodhisattva ketimbang umat awam seperti kita-kita ini.


Jika nibbana theravada dikatakan "kedamaian ekstrim" dan para savaka arahat itu dikatakan melekat pada kedamaian ekstrim. Bukankah para bodhisatva dan buddha dari jalur Mahayana juga melekat pada ikrar "menolong semua makhluk".
logika ajaran pembebasan sejati ajaran Theravada adalah pembebasan individu. Karena mengapa ? Hanya diri sendiri-lah yang bisa membebaskan diri sendiri, tiada orang yang bisa mensuci-kan diri orang lain. Oleh diri sendiri-lah kesucian itu bisa dicapai.

BUDDHA HAS SHOWN THE PATH OF LIBERATION, NOW DEPEND ON EACH INDIVIDUAL TO TAKE THE PATH AND JOURNEY HIMSELF.

Siapa yang sependapat dengan saya ? Cukup sependapat di dalam hati saja... dan anda akan semakin SADDHA (yakin) dengan yang mana ajaran pembebasan yang sejati.

Jika dikatakan melekat, saya mau nambahin mas Dilbert nih, pakai baju juga melekat kan? makan nasi juga melekat kan? pandangan salah dll adalah kemelekatan kan? lantas apa yang tidak melekat di dunia ini? Jika demikian cita-cita Bodhisattva juga suatu bentuk kemelekatan yang harus dilepaskan.

Ke-Buddha-an juga adalah suatu bentuk kemelekatan yang harus dilepaskan dong... (jadi manusia biasa lagi?) kalau begitu suami jangan melekat pada isteri dan sebaliknya, warga negara jangan patuh hukum karena menimbulkan kemelekatan dsbnya.

Inikah yang dimaksud kemelekatan? apa batasan kemelekatan? mas Dilbert, saya prihatin dengan orang-orang yang demikian mudah mengucapkan kata kemelekatan tanpa mengerti batasannya.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: cunda on 16 February 2009, 12:46:26 PM
namaste suvatthi hotu

adakah yang punya naskah Sanskrit "Simsapavana Sutra" yang dikutip Bhavaviveka atau teks Sanskrit "Mahaparinirvana Sutra"?


apabila ada tolong di kirim ke email aku cundajs [at] yahoo.com

Thuti
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: bond on 16 February 2009, 12:58:29 PM
Tambahan saja :

Kedamaian itu tidak ada yg ekstrim, yg ekstrem kalau seseorang melekatinya. Jalan tengah adalah menghindari keekstreman.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 16 February 2009, 01:15:48 PM
Quote from: marcedes on 16 February 2009, 12:27:08 PM
Quote from: tesla on 16 February 2009, 12:02:58 PM
pointless, saya rangkum saja:

theravadin beropini: arahat tidak melekat, bodhisatta "mahayanist" melekati sumpahnya.
mahayanist beropini: arahat theravadin & mahayanist melekat pada kedamaian ekstrim, bodhisatta mahayanist tidak melekati sumpahnya.

perang opini aja... terserah deh... pegang yg cocok bagi masing2 saja
kedua-dua nya tidak perlu di nilai dulu ^^...
tapi coba belajar basic tentang 4 kesunyataan mulia....kan kita semua sepakat 4 kesunyataan mulia adalah hukum paramatha(absolut)....

dari sanalah titik awal melihat pandangan...mana yang cocok sesuai kenyataan,bukan sesuai pikiran
maaf, saya tidak melihat ada hubungan antara 4 Kebenaran Ariya dg "opini tentang arahat & boddhisatta"... bisa diperjelas?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 16 February 2009, 05:40:28 PM
Quote from: tesla on 16 February 2009, 01:15:48 PM
Quote from: marcedes on 16 February 2009, 12:27:08 PM
Quote from: tesla on 16 February 2009, 12:02:58 PM
pointless, saya rangkum saja:

theravadin beropini: arahat tidak melekat, bodhisatta "mahayanist" melekati sumpahnya.
mahayanist beropini: arahat theravadin & mahayanist melekat pada kedamaian ekstrim, bodhisatta mahayanist tidak melekati sumpahnya.

perang opini aja... terserah deh... pegang yg cocok bagi masing2 saja
kedua-dua nya tidak perlu di nilai dulu ^^...
tapi coba belajar basic tentang 4 kesunyataan mulia....kan kita semua sepakat 4 kesunyataan mulia adalah hukum paramatha(absolut)....

dari sanalah titik awal melihat pandangan...mana yang cocok sesuai kenyataan,bukan sesuai pikiran
maaf, saya tidak melihat ada hubungan antara 4 Kebenaran Ariya dg "opini tentang arahat & boddhisatta"... bisa diperjelas?
coba lihat yang pertama anda post..disitu ada disebut mahayana tidak melekat akan sumpah nya....
akan tetapi pada kenyataannya? melanggar 4 kesunyataan mulia bukan.
dimana kelahiran,kematian,usia tua,kelapukan itu mencakup dukkha...

sedangkan bagian mananya Seorang Buddha dikatakan bebas dari penderitaan oleh mahayana yang notabane nya terus tumimbal lahir.
berarti buddha gotama dalam pandangan mahayana jelas terus menerus menyukai Bhava(kelahiran) sedangkan dalam pelajaran dasar 4 kesunyataan bhava itu merupakan penderitaan.

dan pada puncak nya seorang user mahayana disini mengatakan...
memang lahir adalah penderitaan fisik, dan buddha batin nya tidak pernah menderita.
jadi bagaimana dikatakan bebas dari penderitaan kalau fisik nya saja masih menderita.

bahkan sebelum buddha menyatakan
"segala sesuatu bentukan/kondisi merupakan penderitaan"
sabbe sankhara anicca.

jadi opini mengenai 4 kesunyataan mulia itu berhubungan dengan semua nya bahkan saling berantai-berantai dengan semua.
pilih pandangan mana?....yah jelas sesuai kenyataan. ^^

dan jikalau kita meneliti lebih dalam...coba tanyakan apa untung nya menjadi seorang sammasambuddha dalam pandangan mahayana....bagian mana yang betul-betul bebas dari penderitaan.

1. jadi arahat---masih juga harus tumimbal lahir, bahkan ada pelajaran lanjutan untuk menjadi sammasambuddha,
2. jadi sammasambuddha---masih juga harus lahir,,bahkan harus terus lahir^^ (sesuai sumpah) dan harus melawan usia tua,sakit,bahkan kematian.

lalu...bagian mananya sih enak nya buddha? toh mending ga jadi buddha,,mending menikmati ke-duniawian...
apa bedanya dengan manusia biasa?...toh sama-sama juga bakalan lahir terus dan menderita....
buddha seperti menjadi service bagi makhluk hidup selamanya........


^^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 16 February 2009, 05:53:13 PM
Quote from: truth lover on 16 February 2009, 12:38:40 PM
Quote from: dilbert on 16 February 2009, 10:56:20 AM
Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 06:47:45 AM
QuoteOh Jadi pada jaman Buddha ternyata ajaran Mahayana sudah di ajarkan dan ada murid yg bisa memahami  Namaste
Tapi bagaimanapun juga... Arahat (Bodhisatva tgkt 7) dgn batinnya yg jernih dimana mereka sudah menghapus kilesa, seharusnya bisa lebih memahami ajaran Mahayana.
Dibanding dgn kita (umat awam), yg mgkn juga sudah termasuk Bodhisatva, tp masih di bawah tgkt 7 pastinya kan. Roll Eyes

Ini karena para Arhat menurut Mahayana masih memiliki kemelekatan akan "kedamaian ekstrim". Inilah yang menyebabkan ada beberapa dari para Arhat Hinayana yang lebih sulit memahami jalan Bodhisattva ketimbang umat awam seperti kita-kita ini.


Jika nibbana theravada dikatakan "kedamaian ekstrim" dan para savaka arahat itu dikatakan melekat pada kedamaian ekstrim. Bukankah para bodhisatva dan buddha dari jalur Mahayana juga melekat pada ikrar "menolong semua makhluk".
logika ajaran pembebasan sejati ajaran Theravada adalah pembebasan individu. Karena mengapa ? Hanya diri sendiri-lah yang bisa membebaskan diri sendiri, tiada orang yang bisa mensuci-kan diri orang lain. Oleh diri sendiri-lah kesucian itu bisa dicapai.

BUDDHA HAS SHOWN THE PATH OF LIBERATION, NOW DEPEND ON EACH INDIVIDUAL TO TAKE THE PATH AND JOURNEY HIMSELF.

Siapa yang sependapat dengan saya ? Cukup sependapat di dalam hati saja... dan anda akan semakin SADDHA (yakin) dengan yang mana ajaran pembebasan yang sejati.

Jika dikatakan melekat, saya mau nambahin mas Dilbert nih, pakai baju juga melekat kan? makan nasi juga melekat kan? pandangan salah dll adalah kemelekatan kan? lantas apa yang tidak melekat di dunia ini? Jika demikian cita-cita Bodhisattva juga suatu bentuk kemelekatan yang harus dilepaskan.

Ke-Buddha-an juga adalah suatu bentuk kemelekatan yang harus dilepaskan dong... (jadi manusia biasa lagi?) kalau begitu suami jangan melekat pada isteri dan sebaliknya, warga negara jangan patuh hukum karena menimbulkan kemelekatan dsbnya.

Inikah yang dimaksud kemelekatan? apa batasan kemelekatan? mas Dilbert, saya prihatin dengan orang-orang yang demikian mudah mengucapkan kata kemelekatan tanpa mengerti batasannya.

_/\_
tidak ada dan tidak ada tiada.....bebas dari itu semua...itulah kedamaian.

misalkan contoh anda yaitu baju...
ketika baju kita yang kita sayangi/favorit( melekat ^^) begitu baju kita rusak atau pudar/sobek.
coba tanya batin kita...menderita bukan^^ ----- pelajaran dan contoh dasar. ^^

andaikata kita memakai baju hanya memakai baju....begitu baju kita rusak atau pudar...toh tidak sedih dan juga tidak bahagia...memang kok begitu sifat baju tsb.....-----disini ada kedamaian.


begitu juga dengan kebuddha-an...pada saat kita belum mencapai pencerahan kita melekat dengan ke-inginan kita "ingin mencapai tahap itu"..
tetapi pada saat kita mencapai...ternyata kenyataan nya malah
"semakin ingin mencapai semakin jauh dari tahap itu"

disitu lah muncul kata Buddha pada Angulimala
"aku sudah lama berhenti,mengapa kamu masih terus berlari?"

jadi jelas donk....
bahkan lebih halus lagi seperti ketika kita mau meditasi memakai objek nafas..coba tanyakan pada batin,,mengapa nafas?
mengapa bukan lain....kalau dengan alasan sudah sangat terbiasa dengan nafas...itu juga kemelekatan..
yah bersifat halus lah.^^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 16 February 2009, 06:04:11 PM
bagaimana jikalau saya tanya "sedang apa buddha saat ini"?

kalau di jawab dari sudut pandang theravada jelas saja...buddha sudah lenyap...seperti api lilin yang padam...lenyap entah ke-mana...bisa dibilang benar-benar hilang/lenyap/tiada lagi.
jadi pertanyaan ini tdk berlaku

kalau dijawab dari sudut mahayana...buddha akan bertumimbal lahir lagi entah dimana...dan akan mencapai pencerahan entah dimana...pertanyaan nya "buddha sedang apa saat ini"?
toh karena sistem nya demikian maka timbul pertanyaan ini.

mohon di jawab......
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Sumedho on 16 February 2009, 09:15:54 PM
Quote
disitu lah muncul kata Buddha pada Angulimala
"aku sudah lama berhenti,mengapa kamu masih terus berlari?"

OOT sih. Hmm sebenarnya lanjutan bait itu yg lebih menjelaskan.

Quote
[The Buddha:]
"I have stopped, Angulimala,
once & for all,
having cast off violence
toward all living beings.

You, though,
are unrestrained toward beings.
That's how I've stopped
and you haven't."

:backtotopic:
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 16 February 2009, 09:38:50 PM
Quote from: marcedes on 16 February 2009, 05:40:28 PM
coba lihat yang pertama anda post..disitu ada disebut mahayana tidak melekat akan sumpah nya....
akan tetapi pada kenyataannya? melanggar 4 kesunyataan mulia bukan.
dimana kelahiran,kematian,usia tua,kelapukan itu mencakup dukkha...

oh, jika dilihat dari kebenaran ariya yg pertama:

lahir adalah dukkha; menjadi-tua adalah dukkha; mati adalah dukkha; bertemu dg yg disukai adalah dukkha; berpisah dg yg disukai adalah dukkha; menginginkan sesuatu yg tidak tercapai adalah dukkha;

jika dibaca sepotong dari contoh di atas, maka memang dapat disimpulkan bahwa kelahiran berulang adalah dukkha. namun hal tsb tidak sepenuhnya benar. karena nibbana bukan hanya terjadi setelah kematian Arahat atau Buddha. setelah pencerahannya Arahat atau Buddha mereka mengalami nibbana dengan sisa (anupadisesa nibbana, cmiiw). kita lanjutkan kebenaran ariya tadi yah:

singkatnya, kemelekatan terhadap lima kelompok pembentuk mahkluk adalah dukkha

jadi inti masalahnya adalah kemelekatannya, dan pada pencerahannya, baik Arahat dan Buddha telah memadamkan kemelekatannya, oleh karena itu mereka tidak mengalami dukkha lagi.

Quote
dan pada puncak nya seorang user mahayana disini mengatakan...
memang lahir adalah penderitaan fisik, dan buddha batin nya tidak pernah menderita.
jadi bagaimana dikatakan bebas dari penderitaan kalau fisik nya saja masih menderita.
saya setuju dg pendapat mahayana itu ;) bahwa penderitaan fisik dapat dialami oleh Buddha dan Arahat, sedangkan penderitaan bathin tidak terjadi. namun bukan berarti saya setuju bahwa Arahat & Buddha masih terlahir...

jika dilihat dari struktur paticca-samupadda, yg mengkondisikan jati(lahir) adalah bhava(menjadi). sedangkan yg mengkondisikan bhava adalah upadana(kemelekatan). jadi Arahat dan Buddha tidak terlahir lagi karena upadana mereka telah berakhir. sedangkan nama&rupa (fisik & bathin) yg sekarang tetap masih ada hanya merupakan sisa dari kemelekatannya yg lalu. setelah nama&rupa itu padam, berarti seluruh proses telah berakhir. imo sih begitu... (tidak ada kelahiran lanjutan lagi)

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 16 February 2009, 10:14:43 PM
jadi jika mahayana ngotot bahwa lahir terus bukan penderitaan....maka hukum paticcasamupadda dilanggar. ^^

Quotejika dilihat dari struktur paticca-samupadda, yg mengkondisikan jati(lahir) adalah bhava(menjadi). sedangkan yg mengkondisikan bhava adalah upadana(kemelekatan). jadi Arahat dan Buddha tidak terlahir lagi karena upadana mereka telah berakhir. sedangkan nama&rupa (fisik & bathin) yg sekarang tetap masih ada hanya merupakan sisa dari kemelekatannya yg lalu. setelah nama&rupa itu padam, berarti seluruh proses telah berakhir. imo sih begitu... (tidak ada kelahiran lanjutan lagi)
karena lahir maka jara-marana ada. ^^

jadi seorang yang dikatakan menderita fisik tetapi batin-nya tidak menderita paling cocok dikatakan seperti anupadisesa.
tetapi setelah anupadisesa tentu selanjut nya nibbana tanpa sisa..
ke-dua nibbana ini berkaitan erat...tidak mungkin memilih anupadisesa lalu yang satu nya tidak di-inginkan.

ketika kita makan gula...mana mungkin lidah kita hanya mau ampas gula..dan tidak mau menerima rasa gula....^^
adalah tidak mungkin bukan. ^^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: BlackDragon on 17 February 2009, 12:17:37 AM
QuoteWah saya jadi bingung nih mas Chingik, berdasarkan beberapa hal:

Jika Arahat tak mampu memahami jalan Bodhisattva lantas apakah mahluk yang lebih rendah dari Arahat yang mampu memahami jalan Bodhisattva? jika jalan Arahat merupakan penghalang untuk memahami jalan Bodhisattva, mengapa Sang Buddha mengajarkan jalan Arahat? bagaimana dengan mahluk non Arahat seperti kita, mampukah memahami jalan Bodhisattva?

mohon penjelasannya


at] atas
Idem dgn pertanyaan saya, tapi sepertinya tidak bisa dijawab bro.

at] Bro cingik.
Apa paramitha yg sudah dijalani oleh Arahat (Bodhisatva tgkt 7) malah lebih rendah/sedikit drpd umat awam, atau Bodhisatva 1 s/d 6 ?
Sehingga yg lebih memahami adalah tingkatan yg lebih rendah/ tgkt 1 s/d 6, dan langsung loncat ke tgkt 8,9 dan 10?
Apa hanya Bodhisatva tgkt 7 saja yg begitu kasihan, sehingga tdk sanggup memahami ajaran yg Superior?

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 17 February 2009, 08:54:50 PM
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit
Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 17 February 2009, 09:27:16 PM
Seperti yang telah dijelaskan, Pacceka Buddha dan Siswa Mulia adalah makhluk Tarita. Dengan demikian, setelah mereka menembus Jalan menuju Kearahattaan, selanjutnya mereka memasuki tahap pencapaian Buah (Phàla samàpatti) dan pencapaian Penghentian (Nirodha Samàpatti) demi kebahagiaan dan kedamaian mereka sendiri, tidak bekerja demi kebaikan makhluk-makhluk lain. Di lain pihak, seorang Buddha Yang Mahatahu (Samma-Sambuddha) tidak akan berusaha demi dirinya sendiri saja.   Bahkan sebenarnya, dalam masa pemenuhan Kesempurnaan pun ia telah bertekad, "Setelah memahami Empat Kebenaran Mulia, Aku akan membantu yang lain untuk memahaminya juga (Buddho bodheyyaÿ) dan seterusnya. (Sumber : Riwayat Agung Para Buddha)


Di jaman Buddha Dipankara, banyak sekali siswa Buddha Dipankara, ada yg mencapai Arahat, ada yg belum. Pertapa Sumedha saat itu telah sanggup mencapai Kearahatan, namun Beliau tidak mau menjadi Arahat. Karena menjadi Arahat akan menghambatnya utk menjadi Sammasambuddha. (Dalam Mahayana, Arahat akan menjadi Buddha juga karena aspek lain yg dibicarakan secara lebih luas yg tidak dibahas dlm Theravada).  Para siswa lain yg tidak memiliki cita2 seperti Sumedha, sudah jelas karena mereka belum memahami keistimewaan dari memilih jalur Sammasambuddha.  Sumedha sendiri dapt menjadi Arahat toh menolaknya, padahal saat itu Sumedha masih putthujana (blm mencapai kesucian seperti para siswa ARahat dari Buddha Dipankara). Nah...ini bersumber dari Theravada sendiri lho, apakah para siswa Dipankara yg sudah Arahat yg notabene sudah suci tidak memilih seperti pilihan Sumedha? Sumedha yg cuma bercita-cita menjadi Buddha (blm benar2 mencapai Kebuddhaan) tapi para penduduk dan dewa sudah menhujani beliau dgn bunga2 layaknya seorang yg telah suci.

Saya tidak bermaksud mengatakan para Arahat tidak mulia. Jangan Salah paham. Selama ini saya juga sangat sangat respek kepada para Arahat. hehe...   
Cuma di sini kita hanya saling belajar, saling mencari masukan. Toh saya juga senang kalo anda2 menjadi Arahat dan mendatangi saya utk mengajar.
Saya mempelajari Theravada dan Mahayana secara terbuka. Kalo dlm theravada mengatakan Arahat telah selesai. Saya setuju,tetapi setelah saya lihat mahayana mengatakan Arahat masih punya "ruang" utk maju, saya tidak akan membantahnya juga tidak mengatakan bahwa hanya ini yg benar. Kita tidak bisa membuktikan secara teoritis, ini tentu kita sama2 setuju, karena sama2 paham bahwa harus ehipassiko, praktikkan. Saya sendiri blm tahu siapa sesungguhnya diri saya, lantas utk apa saya harus membela salah satu aliran religius, emangnya aliran itu punya bapa saya, kira2 begitu , hehe..
Saya hanya menerima informasi dan menyadari ooooo....ajarannya begitu. Kemudian terdapat perbedaan pendapat antar aliran, okelah..masing2 punya pendapat masing2, si A bilang dia benar, si B bilang dia benar, okelah.., saya tidak mau membela. Akhirnya saya akui karena saya cocok ke Mahayana, maka saya memberi peluang kepada pikiran saya utk membuktikan apakah suatu saat pilihan saya benar atau salah. Toh jika salahpun ,saya tidak akan menyesal, karena semua orang belajar dari kesalahan. Setelah baca RIWAYAT AGUNG PARA BUDDHA yg notabene kitab dari Theravada, terus terang saya semakin kokoh dgn cita-cita menjadi SAMMASAMBUDDHA saya yg saya canangkan seperti nasihat dalam Mahayana agar membangkitkan Bodhicitta yg ternyata SAMA dgn ABHINAHARA dalam Theravada.       
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 17 February 2009, 09:37:32 PM
Quote from: BlackDragon on 17 February 2009, 12:17:37 AM
QuoteWah saya jadi bingung nih mas Chingik, berdasarkan beberapa hal:

Jika Arahat tak mampu memahami jalan Bodhisattva lantas apakah mahluk yang lebih rendah dari Arahat yang mampu memahami jalan Bodhisattva? jika jalan Arahat merupakan penghalang untuk memahami jalan Bodhisattva, mengapa Sang Buddha mengajarkan jalan Arahat? bagaimana dengan mahluk non Arahat seperti kita, mampukah memahami jalan Bodhisattva?

mohon penjelasannya


at] atas
Idem dgn pertanyaan saya, tapi sepertinya tidak bisa dijawab bro.

at] Bro cingik.
Apa paramitha yg sudah dijalani oleh Arahat (Bodhisatva tgkt 7) malah lebih rendah/sedikit drpd umat awam, atau Bodhisatva 1 s/d 6 ?
Sehingga yg lebih memahami adalah tingkatan yg lebih rendah/ tgkt 1 s/d 6, dan langsung loncat ke tgkt 8,9 dan 10?
Apa hanya Bodhisatva tgkt 7 saja yg begitu kasihan, sehingga tdk sanggup memahami ajaran yg Superior?

_/\_

Sang Buddha tidak mengajar jalan Arahat lho ya. Sang Buddha hanya mengajarkan dhamma. ketika pendengarnya cenderung lebih refer ke salah satu tingkatan , maka ke situlah arah bimbingannya. Bukan salah Buddha. Toh jika orang2 tidak ada kecenderungan apapun, atau belum sanggup menerima ajaran, Buddha juga tidak mungkin memaksakan diri mengajar. Ini tercermin dari ada yg sekedar belajar sebagai siswa perumah tangga, ada yg sekedar menjalani Pancasila dan masih cenderung ke hal2 duniawi  maka Buddha mengajar dhamma yg sesuai dgn kapasitasnya, akhirnya orang tersebut lahir ke alam dewa. Mengapa Buddha tidak megajar dia utk mencapai Arahat saja, mengapa hanya mengajar agar dia terlahir di alam dewa yg makin membuatnya melekat pd kenikmatan alam dewa, bukankah semakin menjerumuskannya? Jadi  seperti dalam Mahayana yg mengatakan bhwa semua ini tergantung pada kapasitas para makhluk itu sendiri.   

Arahat walaupun sudah suci, mereka tetap tidak dapat memahami jalur Sammasambuddha , sedangkan seorang putthujana yg belum suci bisa saja memahami keistimewaan jalur Sammasambuddha. Silakan rujuk ke riwayat petapa Sumedha yg masih putthujana sanggup mengembangkan Abhinihara (cita2 Agung) dibandingkan dgn para Sotapanna yg sudah mencapai tingkat kesucian pertama.   
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 17 February 2009, 10:37:52 PM
Quote from: chingik on 17 February 2009, 09:27:16 PM
Seperti yang telah dijelaskan, Pacceka Buddha dan Siswa Mulia adalah makhluk Tarita. Dengan demikian, setelah mereka menembus Jalan menuju Kearahattaan, selanjutnya mereka memasuki tahap pencapaian Buah (Phàla samàpatti) dan pencapaian Penghentian (Nirodha Samàpatti) demi kebahagiaan dan kedamaian mereka sendiri, tidak bekerja demi kebaikan makhluk-makhluk lain. Di lain pihak, seorang Buddha Yang Mahatahu (Samma-Sambuddha) tidak akan berusaha demi dirinya sendiri saja.   Bahkan sebenarnya, dalam masa pemenuhan Kesempurnaan pun ia telah bertekad, "Setelah memahami Empat Kebenaran Mulia, Aku akan membantu yang lain untuk memahaminya juga (Buddho bodheyyaÿ) dan seterusnya. (Sumber : Riwayat Agung Para Buddha)


Di jaman Buddha Dipankara, banyak sekali siswa Buddha Dipankara, ada yg mencapai Arahat, ada yg belum. Pertapa Sumedha saat itu telah sanggup mencapai Kearahatan, namun Beliau tidak mau menjadi Arahat. Karena menjadi Arahat akan menghambatnya utk menjadi Sammasambuddha. (Dalam Mahayana, Arahat akan menjadi Buddha juga karena aspek lain yg dibicarakan secara lebih luas yg tidak dibahas dlm Theravada).  Para siswa lain yg tidak memiliki cita2 seperti Sumedha, sudah jelas karena mereka belum memahami keistimewaan dari memilih jalur Sammasambuddha.  Sumedha sendiri dapt menjadi Arahat toh menolaknya, padahal saat itu Sumedha masih putthujana (blm mencapai kesucian seperti para siswa ARahat dari Buddha Dipankara). Nah...ini bersumber dari Theravada sendiri lho, apakah para siswa Dipankara yg sudah Arahat yg notabene sudah suci tidak memilih seperti pilihan Sumedha? Sumedha yg cuma bercita-cita menjadi Buddha (blm benar2 mencapai Kebuddhaan) tapi para penduduk dan dewa sudah menhujani beliau dgn bunga2 layaknya seorang yg telah suci.

Saya tidak bermaksud mengatakan para Arahat tidak mulia. Jangan Salah paham. Selama ini saya juga sangat sangat respek kepada para Arahat. hehe...   
Cuma di sini kita hanya saling belajar, saling mencari masukan. Toh saya juga senang kalo anda2 menjadi Arahat dan mendatangi saya utk mengajar.
Saya mempelajari Theravada dan Mahayana secara terbuka. Kalo dlm theravada mengatakan Arahat telah selesai. Saya setuju,tetapi setelah saya lihat mahayana mengatakan Arahat masih punya "ruang" utk maju, saya tidak akan membantahnya juga tidak mengatakan bahwa hanya ini yg benar. Kita tidak bisa membuktikan secara teoritis, ini tentu kita sama2 setuju, karena sama2 paham bahwa harus ehipassiko, praktikkan. Saya sendiri blm tahu siapa sesungguhnya diri saya, lantas utk apa saya harus membela salah satu aliran religius, emangnya aliran itu punya bapa saya, kira2 begitu , hehe..
Saya hanya menerima informasi dan menyadari ooooo....ajarannya begitu. Kemudian terdapat perbedaan pendapat antar aliran, okelah..masing2 punya pendapat masing2, si A bilang dia benar, si B bilang dia benar, okelah.., saya tidak mau membela. Akhirnya saya akui karena saya cocok ke Mahayana, maka saya memberi peluang kepada pikiran saya utk membuktikan apakah suatu saat pilihan saya benar atau salah. Toh jika salahpun ,saya tidak akan menyesal, karena semua orang belajar dari kesalahan. Setelah baca RIWAYAT AGUNG PARA BUDDHA yg notabene kitab dari Theravada, terus terang saya semakin kokoh dgn cita-cita menjadi SAMMASAMBUDDHA saya yg saya canangkan seperti nasihat dalam Mahayana agar membangkitkan Bodhicitta yg ternyata SAMA dgn ABHINAHARA dalam Theravada.       

Nah... dalam RAPB, jelas dikatakan bahwa petapa sumedha telah memenuhi semua persyaratan untuk pencapaian ARAHAT (savaka buddha), tetapi karena chanda (keinginan luhur) beliau untuk mencapai sammasambuddha, maka pencapaian ARAHAT ditinggalkan (petapa sumedha tidak mencapai tingkat ARAHAT atau NIBBANA yang dimana kalau mencapai nibbana dan parinibbana maka tidak terlahirkan lagi di alam manapun lagi). Oleh karena ikrar-nya tersebut, Petapa Sumedha harus menjalani tumimbal lahir selama 4 asankheya kappa dan 100 ribu kappa untuk menyempurnakan parami...

Sedangkan dalam konsep MAHAYANA (terutama dilihat dari Saddharmapundarika Sutra), dikatakan bahwa para Sravaka (Arahat) --- Dalam hal ini yang telah mencapai Arahat / tidak ditunda ---- disetarkan dengan bodhisatva tingkat 7, dan jika para Sravaka ingin menempuh jalan bodhisatva dan bertujuan mencapai sammasambuddha, dapat keluar dari nibbana ekstrim (katanya nibbana para sravaka) untuk mencapai sammasambuddha. (Demikian juga BUDDHA GOTAMA dalam sutra saddharmapundarika meramalkan pencapaian sammasambuddha di masa mendatang dari beberapa sravaka/Arahat seperti Arahat Ananda dsbnya)...

Nah, persoalannya terjadi perbedaan di sini... Dari cerita penempuhan jalur bodhisatta (karir bodhisatta calon sammasambuddha seperti petapa sumedha) versi Theravada (sumber RAPB), jelas dikatakan bahwa Petapa Sumedha tidak merealisasikan pencapaian Savaka Buddha / Arahat, tetapi memasuki jalur/karir bodhisatta untuk pencapaian sammasambuddha. BEDA DENGAN KONSEP MAHAYANA, dimana setelah seorang individu merealisasikan ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA, seorang ARAHAT dalam kembali menempuh jalur bodhisatva dengan bertumimbal lahir atau beremanasi atau berinkarnasi atau semacamnya dalam rangka pencapaian sammasambuddha.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 17 February 2009, 10:45:37 PM
Quote from: chingik on 17 February 2009, 09:27:16 PM
Seperti yang telah dijelaskan, Pacceka Buddha dan Siswa Mulia adalah makhluk Tarita. Dengan demikian, setelah mereka menembus Jalan menuju Kearahattaan, selanjutnya mereka memasuki tahap pencapaian Buah (Phàla samàpatti) dan pencapaian Penghentian (Nirodha Samàpatti) demi kebahagiaan dan kedamaian mereka sendiri, tidak bekerja demi kebaikan makhluk-makhluk lain. Di lain pihak, seorang Buddha Yang Mahatahu (Samma-Sambuddha) tidak akan berusaha demi dirinya sendiri saja.   Bahkan sebenarnya, dalam masa pemenuhan Kesempurnaan pun ia telah bertekad, "Setelah memahami Empat Kebenaran Mulia, Aku akan membantu yang lain untuk memahaminya juga (Buddho bodheyyaÿ) dan seterusnya. (Sumber : Riwayat Agung Para Buddha)


Di jaman Buddha Dipankara, banyak sekali siswa Buddha Dipankara, ada yg mencapai Arahat, ada yg belum. Pertapa Sumedha saat itu telah sanggup mencapai Kearahatan, namun Beliau tidak mau menjadi Arahat. Karena menjadi Arahat akan menghambatnya utk menjadi Sammasambuddha. (Dalam Mahayana, Arahat akan menjadi Buddha juga karena aspek lain yg dibicarakan secara lebih luas yg tidak dibahas dlm Theravada).  Para siswa lain yg tidak memiliki cita2 seperti Sumedha, sudah jelas karena mereka belum memahami keistimewaan dari memilih jalur Sammasambuddha.  Sumedha sendiri dapt menjadi Arahat toh menolaknya, padahal saat itu Sumedha masih putthujana (blm mencapai kesucian seperti para siswa ARahat dari Buddha Dipankara). Nah...ini bersumber dari Theravada sendiri lho, apakah para siswa Dipankara yg sudah Arahat yg notabene sudah suci tidak memilih seperti pilihan Sumedha? Sumedha yg cuma bercita-cita menjadi Buddha (blm benar2 mencapai Kebuddhaan) tapi para penduduk dan dewa sudah menhujani beliau dgn bunga2 layaknya seorang yg telah suci.

Saya tidak bermaksud mengatakan para Arahat tidak mulia. Jangan Salah paham. Selama ini saya juga sangat sangat respek kepada para Arahat. hehe...   
Cuma di sini kita hanya saling belajar, saling mencari masukan. Toh saya juga senang kalo anda2 menjadi Arahat dan mendatangi saya utk mengajar.
Saya mempelajari Theravada dan Mahayana secara terbuka. Kalo dlm theravada mengatakan Arahat telah selesai. Saya setuju,tetapi setelah saya lihat mahayana mengatakan Arahat masih punya "ruang" utk maju, saya tidak akan membantahnya juga tidak mengatakan bahwa hanya ini yg benar. Kita tidak bisa membuktikan secara teoritis, ini tentu kita sama2 setuju, karena sama2 paham bahwa harus ehipassiko, praktikkan. Saya sendiri blm tahu siapa sesungguhnya diri saya, lantas utk apa saya harus membela salah satu aliran religius, emangnya aliran itu punya bapa saya, kira2 begitu , hehe..
Saya hanya menerima informasi dan menyadari ooooo....ajarannya begitu. Kemudian terdapat perbedaan pendapat antar aliran, okelah..masing2 punya pendapat masing2, si A bilang dia benar, si B bilang dia benar, okelah.., saya tidak mau membela. Akhirnya saya akui karena saya cocok ke Mahayana, maka saya memberi peluang kepada pikiran saya utk membuktikan apakah suatu saat pilihan saya benar atau salah. Toh jika salahpun ,saya tidak akan menyesal, karena semua orang belajar dari kesalahan. Setelah baca RIWAYAT AGUNG PARA BUDDHA yg notabene kitab dari Theravada, terus terang saya semakin kokoh dgn cita-cita menjadi SAMMASAMBUDDHA saya yg saya canangkan seperti nasihat dalam Mahayana agar membangkitkan Bodhicitta yg ternyata SAMA dgn ABHINAHARA dalam Theravada.       

Bagus sekali kalau sdr.chingik memiliki chanda (keinginan luhur) untuk mencapai sammasambuddha. Dan nasihat nasihat seperti itu tidak salah kalau dari sisi pandang paham mahayana yang luhur. Tetapi yang di-kritis-i adalah pencapaian ARAHAT itu sendiri dari sisi Theravada dan Mahayana yang berbeda...
Theravada = BEgitu merealisasikan ARAHAT / SAVAKA BUDDHA = FINAL
Mahayana = Merealisasikan ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA = Bodhisatva tingkat 7... Jika berkenan lagi, seorang ARAHAT/Bodhisatva tgkt 7 dapat keluar dari NIBBANA Ekstrim ala Hinayana dan kembali menjalani jalur/karir bodhisatva untuk menuju penerangan sempurna ala seorang samyaksambuddha/bodhisatva tingkat 10...
(Dalam hal ini, SAVAKA BUDDHA (Theravada/Hinayana) TIDAK SAMA dengan SRAVAKA BUDDHA (Mahayana))

Dan kembali lagi, saya juga tidak menyatakan bahwa konsep SAVAKA BUDDHA ala Theravada/Hinayana itu benar... tetapi kenyataannya BEDA dengan SRAVAKA BUDDHA ala Mahayana... yang satu sudah FINAL, yang satu lagi masih bisa LANJUT... Dan perbedaan ini cukup prinsipil.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 17 February 2009, 10:55:08 PM
Quote from: chingik on 17 February 2009, 09:37:32 PM
Quote from: BlackDragon on 17 February 2009, 12:17:37 AM
QuoteWah saya jadi bingung nih mas Chingik, berdasarkan beberapa hal:

Jika Arahat tak mampu memahami jalan Bodhisattva lantas apakah mahluk yang lebih rendah dari Arahat yang mampu memahami jalan Bodhisattva? jika jalan Arahat merupakan penghalang untuk memahami jalan Bodhisattva, mengapa Sang Buddha mengajarkan jalan Arahat? bagaimana dengan mahluk non Arahat seperti kita, mampukah memahami jalan Bodhisattva?

mohon penjelasannya


at] atas
Idem dgn pertanyaan saya, tapi sepertinya tidak bisa dijawab bro.

at] Bro cingik.
Apa paramitha yg sudah dijalani oleh Arahat (Bodhisatva tgkt 7) malah lebih rendah/sedikit drpd umat awam, atau Bodhisatva 1 s/d 6 ?
Sehingga yg lebih memahami adalah tingkatan yg lebih rendah/ tgkt 1 s/d 6, dan langsung loncat ke tgkt 8,9 dan 10?
Apa hanya Bodhisatva tgkt 7 saja yg begitu kasihan, sehingga tdk sanggup memahami ajaran yg Superior?

_/\_

Sang Buddha tidak mengajar jalan Arahat lho ya. Sang Buddha hanya mengajarkan dhamma. ketika pendengarnya cenderung lebih refer ke salah satu tingkatan , maka ke situlah arah bimbingannya. Bukan salah Buddha. Toh jika orang2 tidak ada kecenderungan apapun, atau belum sanggup menerima ajaran, Buddha juga tidak mungkin memaksakan diri mengajar. Ini tercermin dari ada yg sekedar belajar sebagai siswa perumah tangga, ada yg sekedar menjalani Pancasila dan masih cenderung ke hal2 duniawi  maka Buddha mengajar dhamma yg sesuai dgn kapasitasnya, akhirnya orang tersebut lahir ke alam dewa. Mengapa Buddha tidak megajar dia utk mencapai Arahat saja, mengapa hanya mengajar agar dia terlahir di alam dewa yg makin membuatnya melekat pd kenikmatan alam dewa, bukankah semakin menjerumuskannya? Jadi  seperti dalam Mahayana yg mengatakan bhwa semua ini tergantung pada kapasitas para makhluk itu sendiri.   

Arahat walaupun sudah suci, mereka tetap tidak dapat memahami jalur Sammasambuddha , sedangkan seorang putthujana yg belum suci bisa saja memahami keistimewaan jalur Sammasambuddha. Silakan rujuk ke riwayat petapa Sumedha yg masih putthujana sanggup mengembangkan Abhinihara (cita2 Agung) dibandingkan dgn para Sotapanna yg sudah mencapai tingkat kesucian pertama.  

Saya setuju dengan pandangan bahwa BUDDHA tidak menggiring pengikut ajarannya ke jalur tertentu (SAVAKA atau SAMMASAMBUDDHA). BUDDHA hanya mengajarkan jalan pembebasan. Ketika seorang murid merealisasikan jalan pembebasan bagi diri-nya sendiri maka jalur SAVAKA-lah yang duluan dicapai. Tetapi ketika seorang murid memiliki Chanda (keinginan luhur) ditambah dengan kapasitas-nya (tentunya semua harus dengan adanya keinginan dan kapasitas), maka seorang murid dapat menempuh jalur/karir bodhisatta untuk pencapaian Sammasambuddha, dimana ketika Chanda (keinginan luhur) itu mendapat ramalan pasti dari seorang sammasambuddha, maka resmi-lah individu tersebut masuk ke jalur bodhisatta yang mana ketika jalur bodhisatta ini telah dibuka/dijalani, maka jalur SAVAKA sudah tertutup sendiri-nya karena tingkatan yang lebih tinggi akan ditempuh dan konsekuensinya adalah tambahan tumimbal lahir selama beberapa asankheya kappa untuk penyempurnaan PARAMI-nya.

Setiap individu terbuka untuk mencapai tingkat sammasambuddha, tetapi harus-lah memiliki Chanda (keinginan luhur). Dalam hal ini memang dalam MAHAYANA, konsep keinginan luhur untuk pencapaian samyaksambuddha (mungkin yang sering didengungkan MAHAYANA adalah konsep bodhicitta) adalah yang sering ditekankan. Tetapi tidak dalam artian bahwa para ARAHAT/SRAVAKA yang sudah terealisasi masih bisa kembali lagi ke jalur bodhisatta.

Dan pendapat bahwa petapa sumedha adalah masih puthujanna saya kira tidaklah benar. Karena seorang petapa sumedha sudah memiliki kapasitas dan persyaratan untuk pencapaian ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA. Ibarat perjalanan, maka petapa sumedha sudah hampir mendekati garis finish/tiba di tujuan pembebasan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 17 February 2009, 11:42:26 PM
Quote from: chingik on 17 February 2009, 08:54:50 PM
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit
Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)
yah,mungkin saja BAKAL BUDDHA tidak pernah sakit..ibarat tenggelam dalam kebahagiaan jhana
misalkan kalau kita saja sudah begitu semangat untuk menonton match football.
biar lapar pun tidak terasa......tapi setelah selesai nonton barulah lapar nya terasa.

saya pernah "jalan-jalan" menemani orang tua saya berserta familiy shoping.di LN
(semua nya wanita, saya sendiri pria )
bayangkan jalan kaki dari jam 2 siang sampai jam 10 malam cuma makan semangkuk nasi...dan itupun dikatakan "sudah kenyang"...
saya sendiri sudah letih nya minta ampun, bahkan porsi makanan saya bisa lebih banyak dari biasanya.

tapi begitu tiba di hotel...langsung ibu saya minta di pijat-pijat...katanya capek...
saya tanya "apa tidak lapar"?
terus dibilang "memang begini kalau lagi asik shoping"
------------------------------------------------------------
dalam RAPB itu "bakal buddha"...jadi bukan sammasambuddha.

seorang Buddha tentu lebih memperhatikan dan fokus pada pengendalian diri menuju kesucian...coba lihat pratek Satipatthana...
bagaimana dikatakan tenggelam dalam perasaan bahagia lalu sampai lupa sakit?..
seorang pratek Satipatthana tidak mungkin,tidak merasa sakit atau mati rasa.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 17 February 2009, 11:57:03 PM
Quote from: chingik on 17 February 2009, 09:27:16 PM
Seperti yang telah dijelaskan, Pacceka Buddha dan Siswa Mulia adalah makhluk Tarita. Dengan demikian, setelah mereka menembus Jalan menuju Kearahattaan, selanjutnya mereka memasuki tahap pencapaian Buah (Phàla samàpatti) dan pencapaian Penghentian (Nirodha Samàpatti) demi kebahagiaan dan kedamaian mereka sendiri, tidak bekerja demi kebaikan makhluk-makhluk lain. Di lain pihak, seorang Buddha Yang Mahatahu (Samma-Sambuddha) tidak akan berusaha demi dirinya sendiri saja.   Bahkan sebenarnya, dalam masa pemenuhan Kesempurnaan pun ia telah bertekad, "Setelah memahami Empat Kebenaran Mulia, Aku akan membantu yang lain untuk memahaminya juga (Buddho bodheyyaÿ) dan seterusnya. (Sumber : Riwayat Agung Para Buddha)


Di jaman Buddha Dipankara, banyak sekali siswa Buddha Dipankara, ada yg mencapai Arahat, ada yg belum. Pertapa Sumedha saat itu telah sanggup mencapai Kearahatan, namun Beliau tidak mau menjadi Arahat. Karena menjadi Arahat akan menghambatnya utk menjadi Sammasambuddha. (Dalam Mahayana, Arahat akan menjadi Buddha juga karena aspek lain yg dibicarakan secara lebih luas yg tidak dibahas dlm Theravada).  Para siswa lain yg tidak memiliki cita2 seperti Sumedha, sudah jelas karena mereka belum memahami keistimewaan dari memilih jalur Sammasambuddha.  Sumedha sendiri dapt menjadi Arahat toh menolaknya, padahal saat itu Sumedha masih putthujana (blm mencapai kesucian seperti para siswa ARahat dari Buddha Dipankara). Nah...ini bersumber dari Theravada sendiri lho, apakah para siswa Dipankara yg sudah Arahat yg notabene sudah suci tidak memilih seperti pilihan Sumedha? Sumedha yg cuma bercita-cita menjadi Buddha (blm benar2 mencapai Kebuddhaan) tapi para penduduk dan dewa sudah menhujani beliau dgn bunga2 layaknya seorang yg telah suci.

Saya tidak bermaksud mengatakan para Arahat tidak mulia. Jangan Salah paham. Selama ini saya juga sangat sangat respek kepada para Arahat. hehe...   
Cuma di sini kita hanya saling belajar, saling mencari masukan. Toh saya juga senang kalo anda2 menjadi Arahat dan mendatangi saya utk mengajar.
Saya mempelajari Theravada dan Mahayana secara terbuka. Kalo dlm theravada mengatakan Arahat telah selesai. Saya setuju,tetapi setelah saya lihat mahayana mengatakan Arahat masih punya "ruang" utk maju, saya tidak akan membantahnya juga tidak mengatakan bahwa hanya ini yg benar. Kita tidak bisa membuktikan secara teoritis, ini tentu kita sama2 setuju, karena sama2 paham bahwa harus ehipassiko, praktikkan. Saya sendiri blm tahu siapa sesungguhnya diri saya, lantas utk apa saya harus membela salah satu aliran religius, emangnya aliran itu punya bapa saya, kira2 begitu , hehe..
Saya hanya menerima informasi dan menyadari ooooo....ajarannya begitu. Kemudian terdapat perbedaan pendapat antar aliran, okelah..masing2 punya pendapat masing2, si A bilang dia benar, si B bilang dia benar, okelah.., saya tidak mau membela. Akhirnya saya akui karena saya cocok ke Mahayana, maka saya memberi peluang kepada pikiran saya utk membuktikan apakah suatu saat pilihan saya benar atau salah. Toh jika salahpun ,saya tidak akan menyesal, karena semua orang belajar dari kesalahan. Setelah baca RIWAYAT AGUNG PARA BUDDHA yg notabene kitab dari Theravada, terus terang saya semakin kokoh dgn cita-cita menjadi SAMMASAMBUDDHA saya yg saya canangkan seperti nasihat dalam Mahayana agar membangkitkan Bodhicitta yg ternyata SAMA dgn ABHINAHARA dalam Theravada.       
sadhu-sadhu-sadhu...semoga cita-cita luhur itu terealisasikan.

tetapi pada waktu di hadapkan pada pencapaian arahat atau sammasambuddha...
dan sumedha sendiri belum pernah merasakan "nibbana se-utuh-nya"...

dalam Theravada sendiri "nibbana" arahat dan "nibbana" sammasambuddha itu sama kualitas nya.
tidak ada beda-nya.....sama-sama padam.
ini jika di lihat dari segi "pencapaian nibbana"
tetapi kalau ukuran luhur tentu sammasambuddha lebih luhur.

-----------------------------------------
saat ini bukanlah topik pencapaian Sammasambuddha...melainkan masalah disini dibahas adalah
1. arahat masih bisa merosot..

2. bagian mana yang dikatakan sammasambuddha bebas dari penderitaan
(toh 4 kesunyataan mulia di langgar dan hukum paticasammupada di langgar)

3.pengertian "nirvana" dalam mahayana itu sebenarnya apa....soalnya tidak sesuai dengan "nibbana" dalam theravada.
(nibbana theravada = padam...
sedangkan nirvana mahayana = pergi ke suatu alam/tempat...lalu bisa milih mau lahir dimana terus mengajarkan dhamma lagi)

4.apakah enak nya menjadi sammasambuddha?...toh sama-sama akan lahir lagi.
dan sama-sama akan menderita ( jara-marana )

5.muncul 1 pertanyaan lagi. ^^
jika dikatakan Buddha gotama telah mencapai "pencerahan beberapa kalpa sebelum nya"
mengapa Buddha gotama menghina seorang sammasambuddha, sehingga harus melunasi kamma nya dengan meditasi selama 6 tahun dan begitu menderita,barulah mencapai kesempurnaan.

mengapa buddha gotama bisa menghina...padahal kenyataan nya orang yang telah tercerahkan sudah tahu akibat hal itu...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 18 February 2009, 11:59:22 AM
Quote from: chingik on 17 February 2009, 08:54:50 PM
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit
Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)

mas Chingiiikkkk......

Mohon jangan dicampur aduk konsep Mahayana dan Theravada, saya yakin member yang lain seperti saya juga ingin mendapatkan penjelasan secara Mahayana bukan dicampur aduk.

Golongan Theravada menganggap bahwa ajaran yang mereka terima dari Sang Buddha Shakyamuni sudah lengkap sehingga tak perlu mengutip ajaran-ajaran lain bahkan dijaga jangan sampai ada ajaran non Theravada yang menyusup.

Bagaimana dengan Mahayana? apakah ajaran Mahayana kurang komplit, sehingga harus mengutip kitab yang berlandaskan kitab suci Theravada seperti RAPB? malu donggg...... kutip sumber Mahayana saja dong mas...

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 18 February 2009, 12:07:07 PM
Quote from: marcedes on 16 February 2009, 05:53:13 PM
Quote from: truth lover on 16 February 2009, 12:38:40 PM
Quote from: dilbert on 16 February 2009, 10:56:20 AM
Quote from: GandalfTheElder on 16 February 2009, 06:47:45 AM
QuoteOh Jadi pada jaman Buddha ternyata ajaran Mahayana sudah di ajarkan dan ada murid yg bisa memahami  Namaste
Tapi bagaimanapun juga... Arahat (Bodhisatva tgkt 7) dgn batinnya yg jernih dimana mereka sudah menghapus kilesa, seharusnya bisa lebih memahami ajaran Mahayana.
Dibanding dgn kita (umat awam), yg mgkn juga sudah termasuk Bodhisatva, tp masih di bawah tgkt 7 pastinya kan. Roll Eyes

Ini karena para Arhat menurut Mahayana masih memiliki kemelekatan akan "kedamaian ekstrim". Inilah yang menyebabkan ada beberapa dari para Arhat Hinayana yang lebih sulit memahami jalan Bodhisattva ketimbang umat awam seperti kita-kita ini.


Jika nibbana theravada dikatakan "kedamaian ekstrim" dan para savaka arahat itu dikatakan melekat pada kedamaian ekstrim. Bukankah para bodhisatva dan buddha dari jalur Mahayana juga melekat pada ikrar "menolong semua makhluk".
logika ajaran pembebasan sejati ajaran Theravada adalah pembebasan individu. Karena mengapa ? Hanya diri sendiri-lah yang bisa membebaskan diri sendiri, tiada orang yang bisa mensuci-kan diri orang lain. Oleh diri sendiri-lah kesucian itu bisa dicapai.

BUDDHA HAS SHOWN THE PATH OF LIBERATION, NOW DEPEND ON EACH INDIVIDUAL TO TAKE THE PATH AND JOURNEY HIMSELF.

Siapa yang sependapat dengan saya ? Cukup sependapat di dalam hati saja... dan anda akan semakin SADDHA (yakin) dengan yang mana ajaran pembebasan yang sejati.

Jika dikatakan melekat, saya mau nambahin mas Dilbert nih, pakai baju juga melekat kan? makan nasi juga melekat kan? pandangan salah dll adalah kemelekatan kan? lantas apa yang tidak melekat di dunia ini? Jika demikian cita-cita Bodhisattva juga suatu bentuk kemelekatan yang harus dilepaskan.

Ke-Buddha-an juga adalah suatu bentuk kemelekatan yang harus dilepaskan dong... (jadi manusia biasa lagi?) kalau begitu suami jangan melekat pada isteri dan sebaliknya, warga negara jangan patuh hukum karena menimbulkan kemelekatan dsbnya.

Inikah yang dimaksud kemelekatan? apa batasan kemelekatan? mas Dilbert, saya prihatin dengan orang-orang yang demikian mudah mengucapkan kata kemelekatan tanpa mengerti batasannya.

_/\_
tidak ada dan tidak ada tiada.....bebas dari itu semua...itulah kedamaian.

misalkan contoh anda yaitu baju...
ketika baju kita yang kita sayangi/favorit( melekat ^^) begitu baju kita rusak atau pudar/sobek.
coba tanya batin kita...menderita bukan^^ ----- pelajaran dan contoh dasar. ^^

andaikata kita memakai baju hanya memakai baju....begitu baju kita rusak atau pudar...toh tidak sedih dan juga tidak bahagia...memang kok begitu sifat baju tsb.....-----disini ada kedamaian.

begitu juga dengan kebuddha-an...pada saat kita belum mencapai pencerahan kita melekat dengan ke-inginan kita "ingin mencapai tahap itu"..
tetapi pada saat kita mencapai...ternyata kenyataan nya malah
"semakin ingin mencapai semakin jauh dari tahap itu"

disitu lah muncul kata Buddha pada Angulimala
"aku sudah lama berhenti,mengapa kamu masih terus berlari?"

jadi jelas donk....
bahkan lebih halus lagi seperti ketika kita mau meditasi memakai objek nafas..coba tanyakan pada batin,,mengapa nafas?
mengapa bukan lain....kalau dengan alasan sudah sangat terbiasa dengan nafas...itu juga kemelekatan..
yah bersifat halus lah.^^

Maksud saya kemana-mana kita pakai baju itu kemelekatan kan? sekali-sekali keluar rumah tanpa pakaian mas... untuk membuktikan jangan melekat   ;D

gimana yang punya isteri dan suami? kemelekatan kan? sekali sekali suami atau isteri orang lain?  untuk membuktikan tidak melekat   ;D

Maksud saya: apa batasan kemelekatan?
_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Indra on 18 February 2009, 12:13:50 PM
Quote from: dilbert on 17 February 2009, 10:55:08 PM
Dan pendapat bahwa petapa sumedha adalah masih puthujanna saya kira tidaklah benar. Karena seorang petapa sumedha sudah memiliki kapasitas dan persyaratan untuk pencapaian ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA. Ibarat perjalanan, maka petapa sumedha sudah hampir mendekati garis finish/tiba di tujuan pembebasan.

Bro Dilbert,
saya hanya ingin meluruskan bahwa berdasarkan banyak rujukan, Petapa Sumedha dapat dipastikan memang masih Puthujanna, karena jika Petapa Sumedha adalah seorang Ariya bahkan hanya tingkat 1, maka Beliau tidak mungkin terlahir kembali selama jutaan kali sebelum akhirnya Parinibbana.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 18 February 2009, 12:20:22 PM
Mas Chingik dan mas Gandallf,

sudah berapa kali saya bertanya persoalan yang sama tapi belum dijawab nih.

Saya masih belum tahu bagaimanakah proses pencapaian Samyak Sambodhi yang dialami oleh pangeran Siddharta dibawah pohon Bodhi menurut kitab Mahayana?

Tolong dijelaskan untuk menghilangkan kebingungan saya mas.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 18 February 2009, 12:28:51 PM
Quote from: chingik on 17 February 2009, 08:54:50 PM
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)

Ini pernyataan yang agak kontroversial, apa iya Bakal Buddha mati rasa (ba'al)? mau bertanya kepada mas Momod Indra ahh... apakah kutipan ini benar menurut RAPB mas Indra?

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Indra on 18 February 2009, 12:35:02 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 12:28:51 PM
Quote from: chingik on 17 February 2009, 08:54:50 PM
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)

Ini pernyataan yang agak kontroversial, apa iya Bakal Buddha mati rasa (ba'al)? mau bertanya kepada mas Momod Indra ahh... apakah kutipan ini benar menurut RAPB mas Indra?

_/\_

Itu adalah terjemahan apa adanya tanpa penambahan dan tanpa pengurangan, tapi tetap diperlukan kedewasaan pembaca untuk mencerna makna yg terkandung di dalamnya.

saya ilusitrasikan begini
misalnya, ada 1 kg emas murni terletak di tumpukan sampah yang sedang terbakar dan di dekat2 situ tidak ada tongkat atau alat untuk megambil emas itu, maka saya akan rela menahankan tangan saya terbakar untuk mengambil emas itu. bukan saya tidak merasa sakit secara fisik, tapi saya rela menahankan sakitnya.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 18 February 2009, 02:36:01 PM
Quote from: Indra on 18 February 2009, 12:35:02 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 12:28:51 PM
Quote from: chingik on 17 February 2009, 08:54:50 PM
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)

Ini pernyataan yang agak kontroversial, apa iya Bakal Buddha mati rasa (ba'al)? mau bertanya kepada mas Momod Indra ahh... apakah kutipan ini benar menurut RAPB mas Indra?

_/\_

Itu adalah terjemahan apa adanya tanpa penambahan dan tanpa pengurangan, tapi tetap diperlukan kedewasaan pembaca untuk mencerna makna yg terkandung di dalamnya.

saya ilusitrasikan begini
misalnya, ada 1 kg emas murni terletak di tumpukan sampah yang sedang terbakar dan di dekat2 situ tidak ada tongkat atau alat untuk megambil emas itu, maka saya akan rela menahankan tangan saya terbakar untuk mengambil emas itu. bukan saya tidak merasa sakit secara fisik, tapi saya rela menahankan sakitnya.

_/\_

Tuhhh.. mas Chingik, penerjemahnya sendiri mengatakan bahwa bakal Buddha bukannya tidak merasakan sakit. Bakal Buddha juga merasakan sakit, cuma mereka menahan rasa sakit tsb.
Bagaimana pendapat mas Chingik?

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 03:48:56 PM
Quote from: dilbert on 17 February 2009, 10:45:37 PM
Quote from: chingik on 17 February 2009, 09:27:16 PM
Seperti yang telah dijelaskan, Pacceka Buddha dan Siswa Mulia adalah makhluk Tarita. Dengan demikian, setelah mereka menembus Jalan menuju Kearahattaan, selanjutnya mereka memasuki tahap pencapaian Buah (Phàla samàpatti) dan pencapaian Penghentian (Nirodha Samàpatti) demi kebahagiaan dan kedamaian mereka sendiri, tidak bekerja demi kebaikan makhluk-makhluk lain. Di lain pihak, seorang Buddha Yang Mahatahu (Samma-Sambuddha) tidak akan berusaha demi dirinya sendiri saja.   Bahkan sebenarnya, dalam masa pemenuhan Kesempurnaan pun ia telah bertekad, "Setelah memahami Empat Kebenaran Mulia, Aku akan membantu yang lain untuk memahaminya juga (Buddho bodheyyaÿ) dan seterusnya. (Sumber : Riwayat Agung Para Buddha)


Di jaman Buddha Dipankara, banyak sekali siswa Buddha Dipankara, ada yg mencapai Arahat, ada yg belum. Pertapa Sumedha saat itu telah sanggup mencapai Kearahatan, namun Beliau tidak mau menjadi Arahat. Karena menjadi Arahat akan menghambatnya utk menjadi Sammasambuddha. (Dalam Mahayana, Arahat akan menjadi Buddha juga karena aspek lain yg dibicarakan secara lebih luas yg tidak dibahas dlm Theravada).  Para siswa lain yg tidak memiliki cita2 seperti Sumedha, sudah jelas karena mereka belum memahami keistimewaan dari memilih jalur Sammasambuddha.  Sumedha sendiri dapt menjadi Arahat toh menolaknya, padahal saat itu Sumedha masih putthujana (blm mencapai kesucian seperti para siswa ARahat dari Buddha Dipankara). Nah...ini bersumber dari Theravada sendiri lho, apakah para siswa Dipankara yg sudah Arahat yg notabene sudah suci tidak memilih seperti pilihan Sumedha? Sumedha yg cuma bercita-cita menjadi Buddha (blm benar2 mencapai Kebuddhaan) tapi para penduduk dan dewa sudah menhujani beliau dgn bunga2 layaknya seorang yg telah suci.

Saya tidak bermaksud mengatakan para Arahat tidak mulia. Jangan Salah paham. Selama ini saya juga sangat sangat respek kepada para Arahat. hehe...   
Cuma di sini kita hanya saling belajar, saling mencari masukan. Toh saya juga senang kalo anda2 menjadi Arahat dan mendatangi saya utk mengajar.
Saya mempelajari Theravada dan Mahayana secara terbuka. Kalo dlm theravada mengatakan Arahat telah selesai. Saya setuju,tetapi setelah saya lihat mahayana mengatakan Arahat masih punya "ruang" utk maju, saya tidak akan membantahnya juga tidak mengatakan bahwa hanya ini yg benar. Kita tidak bisa membuktikan secara teoritis, ini tentu kita sama2 setuju, karena sama2 paham bahwa harus ehipassiko, praktikkan. Saya sendiri blm tahu siapa sesungguhnya diri saya, lantas utk apa saya harus membela salah satu aliran religius, emangnya aliran itu punya bapa saya, kira2 begitu , hehe..
Saya hanya menerima informasi dan menyadari ooooo....ajarannya begitu. Kemudian terdapat perbedaan pendapat antar aliran, okelah..masing2 punya pendapat masing2, si A bilang dia benar, si B bilang dia benar, okelah.., saya tidak mau membela. Akhirnya saya akui karena saya cocok ke Mahayana, maka saya memberi peluang kepada pikiran saya utk membuktikan apakah suatu saat pilihan saya benar atau salah. Toh jika salahpun ,saya tidak akan menyesal, karena semua orang belajar dari kesalahan. Setelah baca RIWAYAT AGUNG PARA BUDDHA yg notabene kitab dari Theravada, terus terang saya semakin kokoh dgn cita-cita menjadi SAMMASAMBUDDHA saya yg saya canangkan seperti nasihat dalam Mahayana agar membangkitkan Bodhicitta yg ternyata SAMA dgn ABHINAHARA dalam Theravada.       

Bagus sekali kalau sdr.chingik memiliki chanda (keinginan luhur) untuk mencapai sammasambuddha. Dan nasihat nasihat seperti itu tidak salah kalau dari sisi pandang paham mahayana yang luhur. Tetapi yang di-kritis-i adalah pencapaian ARAHAT itu sendiri dari sisi Theravada dan Mahayana yang berbeda...
Theravada = BEgitu merealisasikan ARAHAT / SAVAKA BUDDHA = FINAL
Mahayana = Merealisasikan ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA = Bodhisatva tingkat 7... Jika berkenan lagi, seorang ARAHAT/Bodhisatva tgkt 7 dapat keluar dari NIBBANA Ekstrim ala Hinayana dan kembali menjalani jalur/karir bodhisatva untuk menuju penerangan sempurna ala seorang samyaksambuddha/bodhisatva tingkat 10...
(Dalam hal ini, SAVAKA BUDDHA (Theravada/Hinayana) TIDAK SAMA dengan SRAVAKA BUDDHA (Mahayana))

Dan kembali lagi, saya juga tidak menyatakan bahwa konsep SAVAKA BUDDHA ala Theravada/Hinayana itu benar... tetapi kenyataannya BEDA dengan SRAVAKA BUDDHA ala Mahayana... yang satu sudah FINAL, yang satu lagi masih bisa LANJUT... Dan perbedaan ini cukup prinsipil.

Perbedaan minor tentu ada. Bagi saya sih tidak begitu prinsipil. Ketika mengatakan Arahat telah final, orang tetap saja bisa berlatih menjadi Arahat. Ketika mengatakan Arahat blm final orang juga masih bisa berlatih menjadi Arahat, dan saat pelatihannya mencapai Arahat ini bukan menjadi masalah lagi.  Sama-sama bisa menjadi Arahat, walaupun yg satu bilang blm final, yg satu bilang final. Jadi ga prinsipil kok. Ya...kalo menurut bro sangat prinsipil, ya just do it. hehe..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 03:59:31 PM
Quote
Nah... dalam RAPB, jelas dikatakan bahwa petapa sumedha telah memenuhi semua persyaratan untuk pencapaian ARAHAT (savaka buddha), tetapi karena chanda (keinginan luhur) beliau untuk mencapai sammasambuddha, maka pencapaian ARAHAT ditinggalkan (petapa sumedha tidak mencapai tingkat ARAHAT atau NIBBANA yang dimana kalau mencapai nibbana dan parinibbana maka tidak terlahirkan lagi di alam manapun lagi). Oleh karena ikrar-nya tersebut, Petapa Sumedha harus menjalani tumimbal lahir selama 4 asankheya kappa dan 100 ribu kappa untuk menyempurnakan parami...

Sedangkan dalam konsep MAHAYANA (terutama dilihat dari Saddharmapundarika Sutra), dikatakan bahwa para Sravaka (Arahat) --- Dalam hal ini yang telah mencapai Arahat / tidak ditunda ---- disetarkan dengan bodhisatva tingkat 7, dan jika para Sravaka ingin menempuh jalan bodhisatva dan bertujuan mencapai sammasambuddha, dapat keluar dari nibbana ekstrim (katanya nibbana para sravaka) untuk mencapai sammasambuddha. (Demikian juga BUDDHA GOTAMA dalam sutra saddharmapundarika meramalkan pencapaian sammasambuddha di masa mendatang dari beberapa sravaka/Arahat seperti Arahat Ananda dsbnya)...

Nah, persoalannya terjadi perbedaan di sini... Dari cerita penempuhan jalur bodhisatta (karir bodhisatta calon sammasambuddha seperti petapa sumedha) versi Theravada (sumber RAPB), jelas dikatakan bahwa Petapa Sumedha tidak merealisasikan pencapaian Savaka Buddha / Arahat, tetapi memasuki jalur/karir bodhisatta untuk pencapaian sammasambuddha. BEDA DENGAN KONSEP MAHAYANA, dimana setelah seorang individu merealisasikan ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA, seorang ARAHAT dalam kembali menempuh jalur bodhisatva dengan bertumimbal lahir atau beremanasi atau berinkarnasi atau semacamnya dalam rangka pencapaian sammasambuddha.
Yaah....karena pada dasarnya Sammasambuddha lebih luhur. Lihat saja Sumedha walapun belum mencapai kesucian (cuma 4 jhana 5 abhinna), toh ketika mencanangkan ikrarnya, Api neraka aja menjadi padam (lihat RAPB).  Dan masih banyak lagi memuji keluhuran ikrar ini. Semua ini menurut saya membuka kemungkinan bahwa jalur Arahat utk menempuh Sammasambuddha adalah memungkinkan. Oya , perlu dicatat walaupun Mahayana mengatakan Arahat masih ada ruang utk maju lagi, tetapi ruang ini sangat kecil alias sangat sulit seorang Arahat sampai bisa membangkitkan cita2 Agung ini. (SEbenarnya ini secara implisit mengatakan bahwa Arahat memang sudah final sama seperti pandangan Theravada, tetapi Mahayana tidak mau menutup pintu kemungkinan ini rapat2, karena bagaimanapun Arahat blm tahu apa yg Buddha tahu, ini yg menjadi kunci bahwa bisa saja dia belajar lagi dlm arti belajar utk meraih pengetahuan sempurna)
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 04:07:09 PM
Quote
Dan pendapat bahwa petapa sumedha adalah masih puthujanna saya kira tidaklah benar. Karena seorang petapa sumedha sudah memiliki kapasitas dan persyaratan untuk pencapaian ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA. Ibarat perjalanan, maka petapa sumedha sudah hampir mendekati garis finish/tiba di tujuan pembebasan.

Bukannya rekan2 Theravada yg mengatakan begitu? karena Sumedha kan blm mencapai kesucian (baru 4 jhana dan 5 abhinna).
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 04:12:05 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 11:59:22 AM
Quote from: chingik on 17 February 2009, 08:54:50 PM
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit
Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)

mas Chingiiikkkk......

Mohon jangan dicampur aduk konsep Mahayana dan Theravada, saya yakin member yang lain seperti saya juga ingin mendapatkan penjelasan secara Mahayana bukan dicampur aduk.

Golongan Theravada menganggap bahwa ajaran yang mereka terima dari Sang Buddha Shakyamuni sudah lengkap sehingga tak perlu mengutip ajaran-ajaran lain bahkan dijaga jangan sampai ada ajaran non Theravada yang menyusup.

Bagaimana dengan Mahayana? apakah ajaran Mahayana kurang komplit, sehingga harus mengutip kitab yang berlandaskan kitab suci Theravada seperti RAPB? malu donggg...... kutip sumber Mahayana saja dong mas...

_/\_

Di Mahayana tentu lebih banyak, saya cuma ingin nunjukin bahwa itu lho..di Theravada juga bilang begitu...
hehe..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 04:13:37 PM
Quote from: Indra on 18 February 2009, 12:35:02 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 12:28:51 PM
Quote from: chingik on 17 February 2009, 08:54:50 PM
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)

Ini pernyataan yang agak kontroversial, apa iya Bakal Buddha mati rasa (ba'al)? mau bertanya kepada mas Momod Indra ahh... apakah kutipan ini benar menurut RAPB mas Indra?

_/\_

Itu adalah terjemahan apa adanya tanpa penambahan dan tanpa pengurangan, tapi tetap diperlukan kedewasaan pembaca untuk mencerna makna yg terkandung di dalamnya.

saya ilusitrasikan begini
misalnya, ada 1 kg emas murni terletak di tumpukan sampah yang sedang terbakar dan di dekat2 situ tidak ada tongkat atau alat untuk megambil emas itu, maka saya akan rela menahankan tangan saya terbakar untuk mengambil emas itu. bukan saya tidak merasa sakit secara fisik, tapi saya rela menahankan sakitnya.

_/\_
Maka demikian juga penjelasan dlm Mahayana, yakni perlu kedewasaan utk mencerna maknanya..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 04:17:34 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 02:36:01 PM
Quote from: Indra on 18 February 2009, 12:35:02 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 12:28:51 PM
Quote from: chingik on 17 February 2009, 08:54:50 PM
Bakal Buddha Tidak Pernah Merasakan Sakit Pada siang hari yang panas, seseorang akan pergi ke danau, mandi dan menyelam; dalam keadaan demikian ia tidak merasakan panas dan teriknya matahari. Demikian pula halnya dengan Bakal Buddha yang meliputi dirinya dengan welas asih, dalam usahanya menyejahterakan makhluk-makhluk lain, masuk ke dalam samudra Kesempurnaan dan menyelam di sana. Karena ia diliputi oleh perasaan welas asih, ia tidak merasakan sakit, sekalipun bagian-bagian tubuhnya terpotong, atau oleh berbagai penyiksaan. (RAPB)

Ini pernyataan yang agak kontroversial, apa iya Bakal Buddha mati rasa (ba'al)? mau bertanya kepada mas Momod Indra ahh... apakah kutipan ini benar menurut RAPB mas Indra?

_/\_

Itu adalah terjemahan apa adanya tanpa penambahan dan tanpa pengurangan, tapi tetap diperlukan kedewasaan pembaca untuk mencerna makna yg terkandung di dalamnya.

saya ilusitrasikan begini
misalnya, ada 1 kg emas murni terletak di tumpukan sampah yang sedang terbakar dan di dekat2 situ tidak ada tongkat atau alat untuk megambil emas itu, maka saya akan rela menahankan tangan saya terbakar untuk mengambil emas itu. bukan saya tidak merasa sakit secara fisik, tapi saya rela menahankan sakitnya.

_/\_

Tuhhh.. mas Chingik, penerjemahnya sendiri mengatakan bahwa bakal Buddha bukannya tidak merasakan sakit. Bakal Buddha juga merasakan sakit, cuma mereka menahan rasa sakit tsb.
Bagaimana pendapat mas Chingik?

_/\_

Memang yg namanya makna ya berlapis.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 04:21:40 PM
1. arahat masih bisa merosot..

Jangan kuatir, mahayana memang membagi beberapa jenis Arahat, ada juga yg tidak merosot.
Yg pentingkan kita jangan sampai menjadi Arhat yg merosot.
Dari yg saya baca ttg Arahat dlm Theravada, saya percaya adlaah ttg Arahat yg tidak merosot.  Jadi santai aja..hehe..

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 04:23:37 PM
Quote
2. bagian mana yang dikatakan sammasambuddha bebas dari penderitaan
(toh 4 kesunyataan mulia di langgar dan hukum paticasammupada di langgar)
Memangnya Buddha blm bebas dari penderitaan? Sudah kok...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 04:30:06 PM
Quote
3.pengertian "nirvana" dalam mahayana itu sebenarnya apa....soalnya tidak sesuai dengan "nibbana" dalam theravada.
(nibbana theravada = padam...
sedangkan nirvana mahayana = pergi ke suatu alam/tempat...lalu bisa milih mau lahir dimana terus mengajarkan dhamma lagi)
Fenomenanya memang terlihat seperti itu, tetapi secara pirnsipil tetap sama, karena padamnya lobha dosa moha. Lalu mengapa lahir? Tidak, Buddha tidak lahir lagi. Tapi kok Mahayana mengatakan pergi ke suatu tempat dan lahir dan mengajar lagi??? Inilah kemampuan sejati yg ditunjukkan Buddha yg tidak bisa dipahami oleh logika awam bro. hahaha..

Oya, Memangnya Theravada bukan padam lobha dosa moha? iya tentu padam itu juga. Tapi hati2 jangan anggap Theravada mengatakan padam lalu lenyap. Banyak yg bilang lenyap,  Itu ekstrim namanya sama seperti paham nihilis.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 04:33:15 PM
Quote
4.apakah enak nya menjadi sammasambuddha?...toh sama-sama akan lahir lagi.
dan sama-sama akan menderita ( jara-marana )
Aduuh....hehe...
Buddha itu tidak lahir maupun lenyap. Harus punya kedewasaaan berpikir utk mencerna makna ini.  Yg sering dikatakan Buddha lahir lagi disuatu tempat  lalu begini begitu, itu jangan disamakan dgn kondisi makhluk awam. 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 04:37:46 PM
Quote
5.muncul 1 pertanyaan lagi. ^^
jika dikatakan Buddha gotama telah mencapai "pencerahan beberapa kalpa sebelum nya"
mengapa Buddha gotama menghina seorang sammasambuddha, sehingga harus melunasi kamma nya dengan meditasi selama 6 tahun dan begitu menderita,barulah mencapai kesempurnaan.

mengapa buddha gotama bisa menghina...padahal kenyataan nya orang yang telah tercerahkan sudah tahu akibat hal itu...

Tujuannya untuk mengajari kita agar jangan menghina. Orang tercerahkan sanggup melakukan hal2 yg bermanfaat tanpa melekat pd egonya, karena tanpa ego itulah maka dia bebas secara leluasa bermanifestasi dlm wujud apa saja utk menyadarkan orang yg kondisinya tepat utk tersadarkan.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 04:42:16 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 12:20:22 PM
Mas Chingik dan mas Gandallf,

sudah berapa kali saya bertanya persoalan yang sama tapi belum dijawab nih.

Saya masih belum tahu bagaimanakah proses pencapaian Samyak Sambodhi yang dialami oleh pangeran Siddharta dibawah pohon Bodhi menurut kitab Mahayana?

Tolong dijelaskan untuk menghilangkan kebingungan saya mas.

_/\_
Prosesnya sama. Lihat di Agama Sutra aja..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 18 February 2009, 04:50:14 PM
Quote from: chingik on 18 February 2009, 04:30:06 PM
Oya, Memangnya Theravada bukan padam lobha dosa moha? iya tentu padam itu juga. Tapi hati2 jangan anggap Theravada mengatakan padam lalu lenyap. Banyak yg bilang lenyap,  Itu ekstrim namanya sama seperti paham nihilis.

hampir tidak ditemukan penjelasan apapun setelah LDM padam (nibbana)
& panca khandha tercerai (pari-nibbana) dalam sutta Theravada.

setahu saya, Buddha tidak pernah menjelaskan apa2 lagi di luar itu. (tentunya dalam kitab Theravada yah)

yg ditemukan mungkin cuma sepenggal kecil di Udana 8.3 & itupun tidak menjelaskan apa-apa, kecuali bahwa "ITU" ada.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 18 February 2009, 04:50:52 PM
QuoteThere is, monks, an unborn — unbecome — unmade — unfabricated. If there were not that unborn — unbecome — unmade — unfabricated, there would not be the case that emancipation from the born — become — made — fabricated would be discerned. But precisely because there is an unborn — unbecome — unmade — unfabricated, emancipation from the born — become — made — fabricated is discerned.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 04:57:24 PM
Quote from: tesla on 18 February 2009, 04:50:14 PM
Quote from: chingik on 18 February 2009, 04:30:06 PM
Oya, Memangnya Theravada bukan padam lobha dosa moha? iya tentu padam itu juga. Tapi hati2 jangan anggap Theravada mengatakan padam lalu lenyap. Banyak yg bilang lenyap,  Itu ekstrim namanya sama seperti paham nihilis.

hampir tidak ditemukan penjelasan apapun setelah LDM padam (nibbana)
& panca khandha tercerai (pari-nibbana) dalam sutta Theravada.

setahu saya, Buddha tidak pernah menjelaskan apa2 lagi di luar itu. (tentunya dalam kitab Theravada yah)

yg ditemukan mungkin cuma sepenggal kecil di Udana 8.3 & itupun tidak menjelaskan apa-apa, kecuali bahwa "ITU" ada.

yo..i..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 18 February 2009, 05:12:42 PM
Quote from: chingik on 18 February 2009, 04:42:16 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 12:20:22 PM
Mas Chingik dan mas Gandallf,

sudah berapa kali saya bertanya persoalan yang sama tapi belum dijawab nih.

Saya masih belum tahu bagaimanakah proses pencapaian Samyak Sambodhi yang dialami oleh pangeran Siddharta dibawah pohon Bodhi menurut kitab Mahayana?

Tolong dijelaskan untuk menghilangkan kebingungan saya mas.

_/\_
Prosesnya sama. Lihat di Agama Sutra aja..

mas Chingik,

mana? mannnaaaa.....?

_/\_

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 05:21:14 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 05:12:42 PM
Quote from: chingik on 18 February 2009, 04:42:16 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 12:20:22 PM
Mas Chingik dan mas Gandallf,

sudah berapa kali saya bertanya persoalan yang sama tapi belum dijawab nih.

Saya masih belum tahu bagaimanakah proses pencapaian Samyak Sambodhi yang dialami oleh pangeran Siddharta dibawah pohon Bodhi menurut kitab Mahayana?

Tolong dijelaskan untuk menghilangkan kebingungan saya mas.

_/\_
Prosesnya sama. Lihat di Agama Sutra aja..

mas Chingik,

mana? mannnaaaa.....?

_/\_


sorry lupa, yg jelas secara garis besar Agama Sutra sama dgn Nikaya pali.
nanti deh kalo sempat di pos .
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 05:31:37 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 05:12:42 PM
Quote from: chingik on 18 February 2009, 04:42:16 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 12:20:22 PM
Mas Chingik dan mas Gandallf,

sudah berapa kali saya bertanya persoalan yang sama tapi belum dijawab nih.

Saya masih belum tahu bagaimanakah proses pencapaian Samyak Sambodhi yang dialami oleh pangeran Siddharta dibawah pohon Bodhi menurut kitab Mahayana?

Tolong dijelaskan untuk menghilangkan kebingungan saya mas.

_/\_
Prosesnya sama. Lihat di Agama Sutra aja..

mas Chingik,

mana? mannnaaaa.....?

_/\_


oya, yg di theravada kira2 di kitab mana, nanti saya bisa ketemu yg Agama Sutra.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 18 February 2009, 06:24:17 PM
Quote from: chingik on 18 February 2009, 05:31:37 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 05:12:42 PM
Quote from: chingik on 18 February 2009, 04:42:16 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 12:20:22 PM
Mas Chingik dan mas Gandallf,

sudah berapa kali saya bertanya persoalan yang sama tapi belum dijawab nih.

Saya masih belum tahu bagaimanakah proses pencapaian Samyak Sambodhi yang dialami oleh pangeran Siddharta dibawah pohon Bodhi menurut kitab Mahayana?

Tolong dijelaskan untuk menghilangkan kebingungan saya mas.

_/\_
Prosesnya sama. Lihat di Agama Sutra aja..

mas Chingik,

mana? mannnaaaa.....?

_/\_


oya, yg di theravada kira2 di kitab mana, nanti saya bisa ketemu yg Agama Sutra.

Mas Chingik kalau tidak salah mengenai proses pencerahan itu di Tipitaka Pali ada di Vinaya Pali.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 18 February 2009, 07:05:40 PM

QuoteMaksud saya kemana-mana kita pakai baju itu kemelekatan kan? sekali-sekali keluar rumah tanpa pakaian mas... untuk membuktikan jangan melekat   Grin

gimana yang punya isteri dan suami? kemelekatan kan? sekali sekali suami atau isteri orang lain?  untuk membuktikan tidak melekat   Grin

Maksud saya: apa batasan kemelekatan?
Namaste
ada penderitaan maka ada kemelekatan, tidak ada kemelekatan, maka penderitaan tidak ada. ^^

Quote from: chingik on 18 February 2009, 03:59:31 PM
Quote
Nah... dalam RAPB, jelas dikatakan bahwa petapa sumedha telah memenuhi semua persyaratan untuk pencapaian ARAHAT (savaka buddha), tetapi karena chanda (keinginan luhur) beliau untuk mencapai sammasambuddha, maka pencapaian ARAHAT ditinggalkan (petapa sumedha tidak mencapai tingkat ARAHAT atau NIBBANA yang dimana kalau mencapai nibbana dan parinibbana maka tidak terlahirkan lagi di alam manapun lagi). Oleh karena ikrar-nya tersebut, Petapa Sumedha harus menjalani tumimbal lahir selama 4 asankheya kappa dan 100 ribu kappa untuk menyempurnakan parami...

Sedangkan dalam konsep MAHAYANA (terutama dilihat dari Saddharmapundarika Sutra), dikatakan bahwa para Sravaka (Arahat) --- Dalam hal ini yang telah mencapai Arahat / tidak ditunda ---- disetarkan dengan bodhisatva tingkat 7, dan jika para Sravaka ingin menempuh jalan bodhisatva dan bertujuan mencapai sammasambuddha, dapat keluar dari nibbana ekstrim (katanya nibbana para sravaka) untuk mencapai sammasambuddha. (Demikian juga BUDDHA GOTAMA dalam sutra saddharmapundarika meramalkan pencapaian sammasambuddha di masa mendatang dari beberapa sravaka/Arahat seperti Arahat Ananda dsbnya)...

Nah, persoalannya terjadi perbedaan di sini... Dari cerita penempuhan jalur bodhisatta (karir bodhisatta calon sammasambuddha seperti petapa sumedha) versi Theravada (sumber RAPB), jelas dikatakan bahwa Petapa Sumedha tidak merealisasikan pencapaian Savaka Buddha / Arahat, tetapi memasuki jalur/karir bodhisatta untuk pencapaian sammasambuddha. BEDA DENGAN KONSEP MAHAYANA, dimana setelah seorang individu merealisasikan ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA, seorang ARAHAT dalam kembali menempuh jalur bodhisatva dengan bertumimbal lahir atau beremanasi atau berinkarnasi atau semacamnya dalam rangka pencapaian sammasambuddha.
Yaah....karena pada dasarnya Sammasambuddha lebih luhur. Lihat saja Sumedha walapun belum mencapai kesucian (cuma 4 jhana 5 abhinna), toh ketika mencanangkan ikrarnya, Api neraka aja menjadi padam (lihat RAPB).  Dan masih banyak lagi memuji keluhuran ikrar ini. Semua ini menurut saya membuka kemungkinan bahwa jalur Arahat utk menempuh Sammasambuddha adalah memungkinkan. Oya , perlu dicatat walaupun Mahayana mengatakan Arahat masih ada ruang utk maju lagi, tetapi ruang ini sangat kecil alias sangat sulit seorang Arahat sampai bisa membangkitkan cita2 Agung ini. (SEbenarnya ini secara implisit mengatakan bahwa Arahat memang sudah final sama seperti pandangan Theravada, tetapi Mahayana tidak mau menutup pintu kemungkinan ini rapat2, karena bagaimanapun Arahat blm tahu apa yg Buddha tahu, ini yg menjadi kunci bahwa bisa saja dia belajar lagi dlm arti belajar utk meraih pengetahuan sempurna)
saudara Chingik .... Nibbana itu tidak ada yang namanya "ragu-ragu" masih bisa maju atau tidak bisa maju..semua itu telah di ketahui nya dengan sempurna...

apabila ada seseorang arahat telah mencapai Nibbana, dan dirinya sendiri tidak tahu/tidak yakin dalam pencapaiannya...itu bukan arahat. ^^

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 18 February 2009, 07:26:07 PM
Quote from: chingik on 18 February 2009, 04:21:40 PM
1. arahat masih bisa merosot..

Jangan kuatir, mahayana memang membagi beberapa jenis Arahat, ada juga yg tidak merosot.
Yg pentingkan kita jangan sampai menjadi Arhat yg merosot.
Dari yg saya baca ttg Arahat dlm Theravada, saya percaya adlaah ttg Arahat yg tidak merosot.  Jadi santai aja..hehe..
masalah nnya...Mahayana menulis arahat masih bisa merosot.....jadi maksud nya itu apa?
Theravada sendiri tidak pernah mengatakan arahat masih bisa merosot...

apa seorang arahat masih bisa menjadi perumah tangga....
dalam arti kesucian itu bisa pelan-pelan kotor kembali.. ^^

dalam arti lain Sammasambuddha masih bisa kotor?
apabila dialasankan menjadi Arahat tidak sama Sammasambuddha dalam pencapaian..
berarti hal ini menujukkan perbedaan Nirvana kelas Arahat dan kelas Sammasambuddha.?

kalau Theravada kan tidak ada beda nibbana arahat(savaka) dan nibbana sammasambuddha( arahat juga)
sedangkan mahayana ada beda?...tolong infonya _/\_

Quote from: chingik on 18 February 2009, 04:23:37 PM
Quote
2. bagian mana yang dikatakan sammasambuddha bebas dari penderitaan
(toh 4 kesunyataan mulia di langgar dan hukum paticasammupada di langgar)
Memangnya Buddha blm bebas dari penderitaan? Sudah kok...
coba jelaskan secara 4 kesunyataan mulia sesuai aja deh dengan kitab mahayana...
kan sammasambuddha lahir terus..
jadi masih menderita lah...
Quote from: chingik on 18 February 2009, 04:30:06 PM
Quote
3.pengertian "nirvana" dalam mahayana itu sebenarnya apa....soalnya tidak sesuai dengan "nibbana" dalam theravada.
(nibbana theravada = padam...
sedangkan nirvana mahayana = pergi ke suatu alam/tempat...lalu bisa milih mau lahir dimana terus mengajarkan dhamma lagi)
Fenomenanya memang terlihat seperti itu, tetapi secara pirnsipil tetap sama, karena padamnya lobha dosa moha. Lalu mengapa lahir? Tidak, Buddha tidak lahir lagi. Tapi kok Mahayana mengatakan pergi ke suatu tempat dan lahir dan mengajar lagi??? Inilah kemampuan sejati yg ditunjukkan Buddha yg tidak bisa dipahami oleh logika awam bro. hahaha..

Oya, Memangnya Theravada bukan padam lobha dosa moha? iya tentu padam itu juga. Tapi hati2 jangan anggap Theravada mengatakan padam lalu lenyap. Banyak yg bilang lenyap,  Itu ekstrim namanya sama seperti paham nihilis.
saudara chingik, buddha sendiri yang ngomong dan mengajar tentang hal itu...
lalu Buddha mengikari ajarannya sendiri? dan bermaksud "ada pengecualian jikalau saya"

masalah paham nihilis......itu jikalau kita beranggapan bahwa sesudah kita meninggal, maka tidak ada sama sekali lagi apa-apa...tamat sudah.
tentu hal ini dianggap nihilisme dikarenakan masih ada sebab...tetapi tidak ada akibat.

sedangkan arahat telah mematahkan sebab itu...bagaimana mungkin timbul akibat?
jika kita merujuk pada mengatakan Lenyap...
dan saya bertanya..apa lenyap itu ada? tentu orang katakan lenyap itu "ada."

tetapi tidak merujuk pada keadaan "ada" sebenarnya.

jika dikatakan tidak ada. bagaimana mungkin ada kebebasan dari kelahiran-kematian?
maka dikatakan "ada" atau "tiada"..itu masih perspektif.

selanjut nya...tidak ada kehidupan suci yang berpikiran
"apakah aku ada dimasa depan?"
"apakah aku ada dimasa lampau?"
atau apakah aku ada dimasa sekarang?"

karenanya tidak dikatakan "ada dan tiada" ,tetapi ada kondisi seperti itu...
maka lebih baik diperumpakan menjadi
"api pada lilin yang sumbu-nya berserta lilinnya,serta minyak nya pula habis.."

contoh saja jika buah mangga yang belum berbuah..apa bisa dikatakan buah mangga itu tidak ada di pohon, atau ada di pohon?
dikatakan "ada"...tetapi tidak ada dan belum terlihat.
dikatakan "tidak ada"...tetapi kok bisa muncul buah mangga?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 18 February 2009, 07:35:30 PM
Quote from: chingik on 18 February 2009, 04:33:15 PM
Quote
4.apakah enak nya menjadi sammasambuddha?...toh sama-sama akan lahir lagi.
dan sama-sama akan menderita ( jara-marana )
Aduuh....hehe...
Buddha itu tidak lahir maupun lenyap. Harus punya kedewasaaan berpikir utk mencerna makna ini.  Yg sering dikatakan Buddha lahir lagi disuatu tempat  lalu begini begitu, itu jangan disamakan dgn kondisi makhluk awam. 
tetapi pernah "ada"  dibumi ini bukan....jadi tidak lahir maupun lenyap itu apa?...
anda mau mengartikan "ada" dan "tiada"....
jadi "siddhartaGotama" itu bagaimana?....menikah, bermain, bermeditasi menderita sampai kurus kering...lalu apa tujuannya mendengar para pemain musik yang menyelamatkan dengan memberi saran pada waktu itu

"senar ini jika ditarik kencang, maka akan putus"
"senar ini jika di kendurkan terlalu kendur, maka sumbang"

mendengar itu mengubah metode meditasi nya?....mengapa harus tunggu mendengar nasehat baru merubah cara?
apakah Sammasambuddha episode sebelum Gotama, sampai sekarang "lupa cara mencapai pencerahan"?

tambah kacau saja alur cerita nya. ^^
Quote from: chingik on 18 February 2009, 04:37:46 PM
Quote
5.muncul 1 pertanyaan lagi. ^^
jika dikatakan Buddha gotama telah mencapai "pencerahan beberapa kalpa sebelum nya"
mengapa Buddha gotama menghina seorang sammasambuddha, sehingga harus melunasi kamma nya dengan meditasi selama 6 tahun dan begitu menderita,barulah mencapai kesempurnaan.

mengapa buddha gotama bisa menghina...padahal kenyataan nya orang yang telah tercerahkan sudah tahu akibat hal itu...

Tujuannya untuk mengajari kita agar jangan menghina. Orang tercerahkan sanggup melakukan hal2 yg bermanfaat tanpa melekat pd egonya, karena tanpa ego itulah maka dia bebas secara leluasa bermanifestasi dlm wujud apa saja utk menyadarkan orang yg kondisinya tepat utk tersadarkan.

maksud saya...Diselamatkan dari apa?....

di theravada....Buddha menyelamatkan dari penderitaan hingga benar-benar bebas dari jara-marana
bebas dari lahir-mati
bebas dari untung-rugi
bebas dari bahagia dan penderitaan dan seterusnya.
karena Sang buddha menyadari hal-hal yang berkondisi..dan tidak mungkin mau lahir tetapi tidak mau mati...
begitu pula kebahagiaan yang berkondisi dan ingin bahagia tetapi tidak mau menderita.

kalau mahayana menyelamatkan orang-orang dari apa??
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 18 February 2009, 08:04:25 PM
jika di lihat dari Brahmajala Sutta...
disitu ada pandangan-pandangan keliru yang sesuai kita bahas

Quote24. "Para bhikkhu, siapa pun, apakah ia pertapa dan brahmana yang ajaran atau paham mereka berkenaan dengan keadaan masa lampau atau berkenaan dengan keadaan masa yang akan datang, atau pun berpaham kedua-duanya, berspekulasi mengenai keadaan yang lampau dan yang akan datang, yang dengan bermacam-macam dalil menerangkan tentang keadaan yang lampau dan yang akan datang, mereka semua telah terjerat di dalam jala 62 pandangan ini. Dengan berbagai keadaan mereka jatuh dan berada di dalamnya, dan dengan berbagai cara mereka berusaha melepaskan diri, tetapi sia-sia belaka karena mereka terjerat di dalamnya. Bagaikan seorang penjala ikan yang pandai akan menjala di sebuah kolam kecil dengan sebuah jala yang baik, berpikir: ikan apa pun yang berada dalam kolam ini, walaupun berusaha membebaskan diri, tetap semuanya akan terperangkap di dalam jala ini."


kalau ada salah mohon dikoreksi
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 18 February 2009, 08:11:31 PM
Setelah point2 penjelasan sudah dijelaskan.
Setelah dapat dilihat perbedaan yg memank jelas dari kedua aliran mainstream.
Kesimpulan-kesimpulan pun sudah dapat diperoleh, sesuai dengan keinginan diri sendiri...
Berbagai thread dan topik sudah dibuka, yang hasilnya selalu sama aja.

Terus, apalagi sih yg mo dicari? ;D
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 18 February 2009, 08:20:07 PM
Quote1. Demikian telah kudengar, pada suatu saat Sang Bhagava (Sang Buddha) sedang dalam perjalanan dari kota Rajagaha menuju Nalanda dengan diikuti oleh 500 orang bhikkhu (siswa Sang Buddha). Pada saat itu pula pertapa Suppiya bersama muridnya, seorang pemuda bernama Brahmadatta, juga sedang dalam perjalanan antara Rajagaha dan Nalanda. Ketika itu, pertapa Suppiya mengucapkan berbagai perkataan yang merendahkan Sang Buddha, Dhamma (ajaranNya) dan Sangha (para siswaNya). Tetapi sebaliknya, muridnya, Brahmadatta, memuji Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, dan keduanya sambil berjalan mengikuti rombongan Sang Bhagava.

2. Kemudian, Sang Bhagava bersama-sama dengan para bhikkhu berhenti dan bermalam di Ambalatthika (suatu tempat peristirahatan raja). Demikian pula pertapa Suppiya dan muridnya, Brahmadatta, berhenti di Ambalatthika. Di tempat itu, mereka berdua melanjutkan perbincangan mereka tadi.

3. Pagi harinya, sekelompok bhikkhu berkumpul di Mandalamale (semacam pavilyun) sambil membincangkan kata-kata berikut: "Sahabat, sungguh mengherankan, bukankah Sang Bhagava sebagai seorang Arahat (seseorang yang memiliki kesucian tertinggi), Sammasambuddha (Buddha yang maha sempurna), telah melihat dan menyadari dengan jelas kecenderungan yang berlainan yang ada pada setiap manusia. Bukankah Beliau mengetahui bagaimana pertapa Suppiya merendahkan Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha. Demikian pula bukankah Sang Bhagava mengetahui pandangan yang berbeda antara guru dan murid yang berjalan mengikuti rombongan Beliau?"

4. Ketika Sang Bhagava mengetahui masalah yang sedang mereka bicarakan, Beliau lalu pergi ke Mandalamale dan duduk di tempat yang telah disediakan. Setelah duduk, Beliau bertanya, "Apakah yang sedang kalian bicarakan? Apa pula yang akan menjadi pokok pembicaraan dalam pertemuan ini?" Mereka lalu menceritakan permasalahan yang mereka bicarakan tadi.

5. Sang Buddha bersabda, "Para bhikkhu, seandainya ada orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, janganlah lalu kamu membenci, dendam, atau memusuhinya. Seandainya karena hal tersebut kalian menjadi marah atau merasa tersinggung, maka hal itu hanyalah akan menghalangi jalan Pembebasan kalian, dan mengakibatkan kalian menjadi marah dan tidak senang. Apakah kalian dapat merenungkan ucapan mereka itu baik atau tidak baik?"

"Tidak baik, Bhante "

"Karena itulah seandainya ada orang mengucapkan kata-kata yang merendahkan Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, maka kalian harus menyatakan mana yang salah dan menunjukkan kesalahannya, dengan mengatakan bahwa berdasarkan hal ini atau itu, ini tidak benar, atau itu bukan begitu, hal demikian tidak ada pada kami, dan bukan pada kami."

6. "Tetapi, para bhikkhu, seandainya ada orang lain memuji Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, janganlah karena hal tersebut kamu merasa bangga, gembira dan senang hati. Seandainya kamu bersikap demikian, maka hal itu akan menghalangi jalan Pembebasan kalian. Maka itulah, seandainya ada orang lain memuji Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, maka kamu harus menyatakan mana yang benar dan menunjukkan faktanya dengan mengatakan bahwa berdasarkan hal ini atau itu, ini benar, itu memang begitu, hal demikian ada pada kami, dan benar pada kami."

salam metta.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 18 February 2009, 08:34:22 PM
Maksud dari masukin cerita tersebut?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 18 February 2009, 09:07:02 PM
ikut nimbrung akh.....,

kutipan dari tesla :
hampir tidak ditemukan penjelasan apapun setelah LDM padam (nibbana)
& panca khandha tercerai (pari-nibbana) dalam sutta Theravada.
setahu saya, Buddha tidak pernah menjelaskan apa2 lagi di luar itu. (tentunya dalam kitab Theravada yah)
yg ditemukan mungkin cuma sepenggal kecil di Udana 8.3 & itupun tidak menjelaskan apa-apa, kecuali bahwa "ITU" ada.


nah sebenarnya petunjuk yang paling penting bagi umat buddhist adalah untuk menyelidiki, melihat, merujuk kata 'ITU' pada udana 8.3 dari pemahaman bahasa aslinya menggambarkan apa arti yang sesungguhnya. Seperti yang selama ini dipaksakan oleh umat kata 'SESUATU ITU' ini diartikan sebagai kondisi (Nibana), sedangkan kalau memang itu kondisi kenapa tidak dikatakan langsung 'ada KONDISI' bukan dirujuk sebagai kata 'SESUATU' (oleh sang guru) dalam penterjemahannya.
Bila kepastiannya bahwa sesuatu itu bukan seperti yang dirujuk umat sebagai 'kondisi', tetapi sebagai 'sesuatu', maka disitulah jelasnya apa maksud ada kata hinayana (jalan umum) dan mahayana (jalan mulia) seperti contoh kasus-kasus pencerahan dari Buddha, kassapa yang melihat guru Buddha mencium bunga, ananda yang lelah menguras intelektualnya memikirkan petunjuk kassapa dan guru-guru zen yang tercerahkan (tetapi dengan catatan bukan cara-cara yang aneh-aneh dicari-cari atau dibuat-buat seperti guru-guru yang lain, menurutku itu bukan pencerahan (campuran khayal/imaginasi dan takhayul). Ingat, seperti cerita 2 orang memperdebatkan bendera yang bergerak, dan Hui neng memperkatakan).


semoga membantu
good hope and love

sori aku ga ngerti bahasa pali, siapa disini yang ahli?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 09:12:00 PM
Quote from: marcedes on 18 February 2009, 07:05:40 PM

QuoteMaksud saya kemana-mana kita pakai baju itu kemelekatan kan? sekali-sekali keluar rumah tanpa pakaian mas... untuk membuktikan jangan melekat   Grin

gimana yang punya isteri dan suami? kemelekatan kan? sekali sekali suami atau isteri orang lain?  untuk membuktikan tidak melekat   Grin

Maksud saya: apa batasan kemelekatan?
Namaste
ada penderitaan maka ada kemelekatan, tidak ada kemelekatan, maka penderitaan tidak ada. ^^

Quote from: chingik on 18 February 2009, 03:59:31 PM
Quote
Nah... dalam RAPB, jelas dikatakan bahwa petapa sumedha telah memenuhi semua persyaratan untuk pencapaian ARAHAT (savaka buddha), tetapi karena chanda (keinginan luhur) beliau untuk mencapai sammasambuddha, maka pencapaian ARAHAT ditinggalkan (petapa sumedha tidak mencapai tingkat ARAHAT atau NIBBANA yang dimana kalau mencapai nibbana dan parinibbana maka tidak terlahirkan lagi di alam manapun lagi). Oleh karena ikrar-nya tersebut, Petapa Sumedha harus menjalani tumimbal lahir selama 4 asankheya kappa dan 100 ribu kappa untuk menyempurnakan parami...

Sedangkan dalam konsep MAHAYANA (terutama dilihat dari Saddharmapundarika Sutra), dikatakan bahwa para Sravaka (Arahat) --- Dalam hal ini yang telah mencapai Arahat / tidak ditunda ---- disetarkan dengan bodhisatva tingkat 7, dan jika para Sravaka ingin menempuh jalan bodhisatva dan bertujuan mencapai sammasambuddha, dapat keluar dari nibbana ekstrim (katanya nibbana para sravaka) untuk mencapai sammasambuddha. (Demikian juga BUDDHA GOTAMA dalam sutra saddharmapundarika meramalkan pencapaian sammasambuddha di masa mendatang dari beberapa sravaka/Arahat seperti Arahat Ananda dsbnya)...

Nah, persoalannya terjadi perbedaan di sini... Dari cerita penempuhan jalur bodhisatta (karir bodhisatta calon sammasambuddha seperti petapa sumedha) versi Theravada (sumber RAPB), jelas dikatakan bahwa Petapa Sumedha tidak merealisasikan pencapaian Savaka Buddha / Arahat, tetapi memasuki jalur/karir bodhisatta untuk pencapaian sammasambuddha. BEDA DENGAN KONSEP MAHAYANA, dimana setelah seorang individu merealisasikan ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA, seorang ARAHAT dalam kembali menempuh jalur bodhisatva dengan bertumimbal lahir atau beremanasi atau berinkarnasi atau semacamnya dalam rangka pencapaian sammasambuddha.
Yaah....karena pada dasarnya Sammasambuddha lebih luhur. Lihat saja Sumedha walapun belum mencapai kesucian (cuma 4 jhana 5 abhinna), toh ketika mencanangkan ikrarnya, Api neraka aja menjadi padam (lihat RAPB).  Dan masih banyak lagi memuji keluhuran ikrar ini. Semua ini menurut saya membuka kemungkinan bahwa jalur Arahat utk menempuh Sammasambuddha adalah memungkinkan. Oya , perlu dicatat walaupun Mahayana mengatakan Arahat masih ada ruang utk maju lagi, tetapi ruang ini sangat kecil alias sangat sulit seorang Arahat sampai bisa membangkitkan cita2 Agung ini. (SEbenarnya ini secara implisit mengatakan bahwa Arahat memang sudah final sama seperti pandangan Theravada, tetapi Mahayana tidak mau menutup pintu kemungkinan ini rapat2, karena bagaimanapun Arahat blm tahu apa yg Buddha tahu, ini yg menjadi kunci bahwa bisa saja dia belajar lagi dlm arti belajar utk meraih pengetahuan sempurna)
saudara Chingik .... Nibbana itu tidak ada yang namanya "ragu-ragu" masih bisa maju atau tidak bisa maju..semua itu telah di ketahui nya dengan sempurna...

apabila ada seseorang arahat telah mencapai Nibbana, dan dirinya sendiri tidak tahu/tidak yakin dalam pencapaiannya...itu bukan arahat. ^^


tahu atau tidak tahu yg saya maksudkan bukan mengenai nibbananya, tetapi pada pengetahuan sempurna yg mencakup aspek sabbanu nana. Arahat tidak memilikinya.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 09:20:04 PM
 
Quote
masalah nnya...Mahayana menulis arahat masih bisa merosot.....jadi maksud nya itu apa?
Theravada sendiri tidak pernah mengatakan arahat masih bisa merosot...

apa seorang arahat masih bisa menjadi perumah tangga....
dalam arti kesucian itu bisa pelan-pelan kotor kembali.. ^^

dalam arti lain Sammasambuddha masih bisa kotor?
apabila dialasankan menjadi Arahat tidak sama Sammasambuddha dalam pencapaian..
berarti hal ini menujukkan perbedaan Nirvana kelas Arahat dan kelas Sammasambuddha.?

kalau Theravada kan tidak ada beda nibbana arahat(savaka) dan nibbana sammasambuddha( arahat juga)
sedangkan mahayana ada beda?...tolong infonya
Tafsiran kemerosotan Arahat bukan pernyataan sepihak Mahayana. Hal ini sudah terjadi perdebatan dari berbagai sekte. Sarvastivada yg bagian dari pecahan Theravada juga menyatakan kemerosotan Arahat. Masing2 punya pandangan masing2, mereka saja saling berdebat Arahat jenis apa yg merosot, jenis apa yg tidak merosot. Merosot sebatas apa, dll.
Coba kaji juga ttg Arahat yg tidak sanggup menahan sakit dan memilih bunuh diri, apa karena ada kaitan dgn kekuatiran mengalami kemerosotan, saya sejujurnya blm tahu, tapi silakan kemukakan pandangan anda. NO problem. hehe..
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 09:25:01 PM
Quote from: Edward on 18 February 2009, 08:11:31 PM
Setelah point2 penjelasan sudah dijelaskan.
Setelah dapat dilihat perbedaan yg memank jelas dari kedua aliran mainstream.
Kesimpulan-kesimpulan pun sudah dapat diperoleh, sesuai dengan keinginan diri sendiri...
Berbagai thread dan topik sudah dibuka, yang hasilnya selalu sama aja.

Terus, apalagi sih yg mo dicari? ;D

Masalahnya dia mau sampai mendapat kesimpulan bahwa ajaran yg dia anut benar, dan kita salah. haha... :P
Ga lah..santai aja bro marcedes, pertanyaan mu sangat bagus,
kayak Bodhisatva Mahakasyapa (bukan Y.A Maha Kassapa) yg selalu meragukan penjelasan Hyang Buddha dalam Mahaparinirvana Sutra. Buddha udh bilang begini2, dia lalu membantah bahwa ah..masak begtiu, kalo begitu bukankah jadi begitu begitu...., hehe..menarik juga ya bentuk dialog Mahaparinirvana Sutra yg terbuka, debatif. 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 09:43:06 PM
 
Quote
coba jelaskan secara 4 kesunyataan mulia sesuai aja deh dengan kitab mahayana...
kan sammasambuddha lahir terus..
jadi masih menderita lah...
Wah..4 kebenaran mulia, bahkan dalam Dasabhumika Sutra yg membahas tingkatan bodhisatva juga menjabarkan 4 kebenaran mulia dan pattica sammpuda dgn masing2 tingkatan dgn tingkat pemahaman yg berbeda2. Cukup menarik, bahkan tidak mudah dipahami oleh orang awam seperti saya. Tapi saya percaya Isi kitab ini tidak se'naif" yg bro bayangkan, karena mereka bisa membahas panjang lebar ttg 4 kebenaran mulia yg dikaitkan dgn jalan bodhisatva. Entah mereka sekedar ngarang2 sambil makan kacang, ah...ga mungkin deh...

Oya sammasambbudha telah mencapai kondisi tidak lahir dan tidak lenyap, bebas dari dualitas. Di Mahayana tulisan seperti ini buaanyaakknya minta ampun. Apa ga cukup ? Jangan terpaku pada Buddha lahir lagi di lokasi x. dll, itu kan sudah dikatakan bahwa ini bukan jenis kelahiran yg mengikuti siklus 21 musabab saling bergantungan. Buddha yg transeden memiliki abhinna yg tidak kita pahami, jadi bukan Buddha melanggar ucapannya sendiri.

 
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 18 February 2009, 09:48:42 PM
Quote
masalah paham nihilis......itu jikalau kita beranggapan bahwa sesudah kita meninggal, maka tidak ada sama sekali lagi apa-apa...tamat sudah.
tentu hal ini dianggap nihilisme dikarenakan masih ada sebab...tetapi tidak ada akibat.
nah..bro bisa membedakan kondisi nihilis/lenyap antara orang awam yg beranggapan salah dengan seorang Buddha yg mencapai anutpadisesa nibbana.
Seharusnya juga  bisa membedakan antara kondisi Buddha yg bisa bermanifestasi lagi di tempat lain dengan orang awam yg dilahirkan kembali.   
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 18 February 2009, 10:50:12 PM
mas Chingik nanya dong.

Kan dikatakan Arahat belum sungguh sungguh mencapai Nirvana. Jadi siapa sih yang dibimbing oleh Shakyamuni Buddha yang telah mengalami Nirvana seutuhnya seperti Sang Buddha?

Terima kasih atas penjelasannya.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 19 February 2009, 01:22:49 AM
Quote from: chingik on 18 February 2009, 09:12:00 PM
Quote from: marcedes on 18 February 2009, 07:05:40 PM

QuoteMaksud saya kemana-mana kita pakai baju itu kemelekatan kan? sekali-sekali keluar rumah tanpa pakaian mas... untuk membuktikan jangan melekat   Grin

gimana yang punya isteri dan suami? kemelekatan kan? sekali sekali suami atau isteri orang lain?  untuk membuktikan tidak melekat   Grin

Maksud saya: apa batasan kemelekatan?
Namaste
ada penderitaan maka ada kemelekatan, tidak ada kemelekatan, maka penderitaan tidak ada. ^^

Quote from: chingik on 18 February 2009, 03:59:31 PM
Quote
Nah... dalam RAPB, jelas dikatakan bahwa petapa sumedha telah memenuhi semua persyaratan untuk pencapaian ARAHAT (savaka buddha), tetapi karena chanda (keinginan luhur) beliau untuk mencapai sammasambuddha, maka pencapaian ARAHAT ditinggalkan (petapa sumedha tidak mencapai tingkat ARAHAT atau NIBBANA yang dimana kalau mencapai nibbana dan parinibbana maka tidak terlahirkan lagi di alam manapun lagi). Oleh karena ikrar-nya tersebut, Petapa Sumedha harus menjalani tumimbal lahir selama 4 asankheya kappa dan 100 ribu kappa untuk menyempurnakan parami...

Sedangkan dalam konsep MAHAYANA (terutama dilihat dari Saddharmapundarika Sutra), dikatakan bahwa para Sravaka (Arahat) --- Dalam hal ini yang telah mencapai Arahat / tidak ditunda ---- disetarkan dengan bodhisatva tingkat 7, dan jika para Sravaka ingin menempuh jalan bodhisatva dan bertujuan mencapai sammasambuddha, dapat keluar dari nibbana ekstrim (katanya nibbana para sravaka) untuk mencapai sammasambuddha. (Demikian juga BUDDHA GOTAMA dalam sutra saddharmapundarika meramalkan pencapaian sammasambuddha di masa mendatang dari beberapa sravaka/Arahat seperti Arahat Ananda dsbnya)...

Nah, persoalannya terjadi perbedaan di sini... Dari cerita penempuhan jalur bodhisatta (karir bodhisatta calon sammasambuddha seperti petapa sumedha) versi Theravada (sumber RAPB), jelas dikatakan bahwa Petapa Sumedha tidak merealisasikan pencapaian Savaka Buddha / Arahat, tetapi memasuki jalur/karir bodhisatta untuk pencapaian sammasambuddha. BEDA DENGAN KONSEP MAHAYANA, dimana setelah seorang individu merealisasikan ARAHAT / SRAVAKA BUDDHA, seorang ARAHAT dalam kembali menempuh jalur bodhisatva dengan bertumimbal lahir atau beremanasi atau berinkarnasi atau semacamnya dalam rangka pencapaian sammasambuddha.
Yaah....karena pada dasarnya Sammasambuddha lebih luhur. Lihat saja Sumedha walapun belum mencapai kesucian (cuma 4 jhana 5 abhinna), toh ketika mencanangkan ikrarnya, Api neraka aja menjadi padam (lihat RAPB).  Dan masih banyak lagi memuji keluhuran ikrar ini. Semua ini menurut saya membuka kemungkinan bahwa jalur Arahat utk menempuh Sammasambuddha adalah memungkinkan. Oya , perlu dicatat walaupun Mahayana mengatakan Arahat masih ada ruang utk maju lagi, tetapi ruang ini sangat kecil alias sangat sulit seorang Arahat sampai bisa membangkitkan cita2 Agung ini. (SEbenarnya ini secara implisit mengatakan bahwa Arahat memang sudah final sama seperti pandangan Theravada, tetapi Mahayana tidak mau menutup pintu kemungkinan ini rapat2, karena bagaimanapun Arahat blm tahu apa yg Buddha tahu, ini yg menjadi kunci bahwa bisa saja dia belajar lagi dlm arti belajar utk meraih pengetahuan sempurna)
saudara Chingik .... Nibbana itu tidak ada yang namanya "ragu-ragu" masih bisa maju atau tidak bisa maju..semua itu telah di ketahui nya dengan sempurna...

apabila ada seseorang arahat telah mencapai Nibbana, dan dirinya sendiri tidak tahu/tidak yakin dalam pencapaiannya...itu bukan arahat. ^^


tahu atau tidak tahu yg saya maksudkan bukan mengenai nibbananya, tetapi pada pengetahuan sempurna yg mencakup aspek sabbanu nana. Arahat tidak memilikinya.
arahat mengetahui dirinya telah sampai dimana, dan tidak ada keraguan untuk itu.
bisa baca ref Raungan Sariputta.

tetapi memang Arahat(savaka) bukan maha tahu....
tetapi arahat telah menyelami nibbana sampai tahu dimana-mana....jadi tidak ada vicikiccha pada pencapaian nya.

(ref.raungan sariputta)
QuoteBhante, sebenarnya kami tidak memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengetahui pikiran para Arahat, Sammasambuddha, baik dari masa lampau, yang akan datang maupun sekarang. Tetapi, meskipun demikian kami memiliki pengetahuan tentang tradisi Dhamma (Dhammanvayo)."
    "Bhante, sama seperti perbatasan-negara milik seorang raja yang mempunyai benteng yang kokoh, dengan dinding dan menara penjagaan yang kuat dan hanya mempunyai sebuah pintu saja. Dan di sana, ada seorang penjaga pintu yang pandai, berpengalaman serta cerdas, yang akan mengusir orang-orang yang tidak dikenal dan hanya mengijinkan masuk orang-orang yang dikenal saja. Ketika ia memeriksa dengan menyusuri jalan yang mengelilingi dinding benteng-negara itu, ia tidak melihat adanya sebuah lubang atau celah, di dinding benteng-negara itu, yang cukup untuk dilewati oleh binatang, sekali pun hanya sekecil seekor kucing. Dan ia berpikir: "Seberapa pun besarnya mahluk-mahluk yang akan masuk atau meninggalkan negara ini, mereka semua hanya dapat melalui pintu ini."

dari sini bukankah sudah jelas kalau "arahat" telah tahu secara sempurna nibbana itu.

Quote from: chingik on 18 February 2009, 09:20:04 PM
Quote
masalah nnya...Mahayana menulis arahat masih bisa merosot.....jadi maksud nya itu apa?
Theravada sendiri tidak pernah mengatakan arahat masih bisa merosot...

apa seorang arahat masih bisa menjadi perumah tangga....
dalam arti kesucian itu bisa pelan-pelan kotor kembali.. ^^

dalam arti lain Sammasambuddha masih bisa kotor?
apabila dialasankan menjadi Arahat tidak sama Sammasambuddha dalam pencapaian..
berarti hal ini menujukkan perbedaan Nirvana kelas Arahat dan kelas Sammasambuddha.?

kalau Theravada kan tidak ada beda nibbana arahat(savaka) dan nibbana sammasambuddha( arahat juga)
sedangkan mahayana ada beda?...tolong infonya
Tafsiran kemerosotan Arahat bukan pernyataan sepihak Mahayana. Hal ini sudah terjadi perdebatan dari berbagai sekte. Sarvastivada yg bagian dari pecahan Theravada juga menyatakan kemerosotan Arahat. Masing2 punya pandangan masing2, mereka saja saling berdebat Arahat jenis apa yg merosot, jenis apa yg tidak merosot. Merosot sebatas apa, dll.
Coba kaji juga ttg Arahat yg tidak sanggup menahan sakit dan memilih bunuh diri, apa karena ada kaitan dgn kekuatiran mengalami kemerosotan, saya sejujurnya blm tahu, tapi silakan kemukakan pandangan anda. NO problem. hehe..

sudah dikatakan berulang ^^
kemorosotan arahat hanya ada dalam kitab komentar para murid-murid....bukan pada ajaran.

dan untungnya theravada dalam kitab komentar belum pernah terjadi kemerosotan arahat.
jika memang sarvastivada menulis demikian...ada baiknya di post disini..biar menambah wawasan semua rekan-rekan se-dhamma. ^^

Quote from: chingik on 18 February 2009, 09:25:01 PM
Quote from: Edward on 18 February 2009, 08:11:31 PM
Setelah point2 penjelasan sudah dijelaskan.
Setelah dapat dilihat perbedaan yg memank jelas dari kedua aliran mainstream.
Kesimpulan-kesimpulan pun sudah dapat diperoleh, sesuai dengan keinginan diri sendiri...
Berbagai thread dan topik sudah dibuka, yang hasilnya selalu sama aja.

Terus, apalagi sih yg mo dicari? ;D

Masalahnya dia mau sampai mendapat kesimpulan bahwa ajaran yg dia anut benar, dan kita salah. haha... :P
Ga lah..santai aja bro marcedes, pertanyaan mu sangat bagus,
kayak Bodhisatva Mahakasyapa (bukan Y.A Maha Kassapa) yg selalu meragukan penjelasan Hyang Buddha dalam Mahaparinirvana Sutra. Buddha udh bilang begini2, dia lalu membantah bahwa ah..masak begtiu, kalo begitu bukankah jadi begitu begitu...., hehe..menarik juga ya bentuk dialog Mahaparinirvana Sutra yg terbuka, debatif. 

^^
santai lah..
saya sendiri lebih suka berpandangan sesuai kenyataan. yakni sebenar-benarnya.
dhamma 4 kesunyataan mulia itu merupakan kenyataan hakekat yang sudah mutlak sesuai kenyataan....
masalah nya. "aliran mahayana" merubah kenyataan tersebut dan berkata lain.....
dan saya jadi ingin tahu sampai dimana pikiran tersebut melayang.....
apakah masih sesuai kenyataan?

sangat disayangkan buddha dhamma yang sangat demokratis..bebas berpikir....
tetapi jika ternyata hanya khayalan....bukankah itu semua fenomena yang sia-sia?

"selama saya belajar dhamma...saat ini Aliran Theravada yang memberikan gambaran sesuai kenyataan"

maka oleh sebab itu saya tidak menutup diri
"untuk mempersilahkan jika ada yang salah dalam aliran yang saya pelajari ini"
---------------------------------------------------------
Quote from: chingik on 18 February 2009, 09:43:06 PM

Quote
coba jelaskan secara 4 kesunyataan mulia sesuai aja deh dengan kitab mahayana...
kan sammasambuddha lahir terus..
jadi masih menderita lah...
Wah..4 kebenaran mulia, bahkan dalam Dasabhumika Sutra yg membahas tingkatan bodhisatva juga menjabarkan 4 kebenaran mulia dan pattica sammpuda dgn masing2 tingkatan dgn tingkat pemahaman yg berbeda2. Cukup menarik, bahkan tidak mudah dipahami oleh orang awam seperti saya. Tapi saya percaya Isi kitab ini tidak se'naif" yg bro bayangkan, karena mereka bisa membahas panjang lebar ttg 4 kebenaran mulia yg dikaitkan dgn jalan bodhisatva. Entah mereka sekedar ngarang2 sambil makan kacang, ah...ga mungkin deh...

Oya sammasambbudha telah mencapai kondisi tidak lahir dan tidak lenyap, bebas dari dualitas. Di Mahayana tulisan seperti ini buaanyaakknya minta ampun. Apa ga cukup ? Jangan terpaku pada Buddha lahir lagi di lokasi x. dll, itu kan sudah dikatakan bahwa ini bukan jenis kelahiran yg mengikuti siklus 21 musabab saling bergantungan. Buddha yg transeden memiliki abhinna yg tidak kita pahami, jadi bukan Buddha melanggar ucapannya sendiri.
kita tidaklah perlu membahas boddhisatva ada berapa tingkatan....
langsung saja ke pokok kenyataan

diselamatkan dari apa ajaran buddha?
dan mengapa buddha lupa cara pencapaian ke-buddha-an dan harus mendengarkan nasehat pemusik yang lewat?

(apakah bagian sini buddha sengaja bersandiwara seperti aktor laga?)

(buddha yang sudah memiliki pengetahuan maha tahu, kok bisa harus melihat 4 tanda barulah muncul perasaan samvega pada diri-nya?...bersandiwara lagi?)

(Buddha sudah mencapai pencerahan, mengapa harus menunggu umur 35 barulah mengajar?...
mengapa bukan dari kecil seperti umur 25 atau lainnya saja,,
bahkan sengaja menikah...
disatu sisi ini melecehkan kesucian buddha,dimana kita tahu kehidupan suci adalah meninggalkan hidup berumah tangga....lalu?)
bagian ini bisa di delete jika tidak berkenaan oleh moderator...
tetapi saya sungguh bukan dengan maksud menghina, melainkan bertanya apakah ada alasan special untuk ini?

apa buddha sudah hampir seperti Tuh*n dalam agama lain?
"tidak dapat dipikirkan dengan logika dan akal sehat" ^^

mari kita flash back sedikit. ^^
di agama tetangga, Tuh*n katanya sangat welas asih !!!.
bayangkan "mengizinkan iblis menguji anak domba-nya(manusia) untuk dihasut menuju neraka"
ketika saya tanyakan hal ini, dan mempertanyakan

"Orang Tua mana yang TEGA-TEGA nya membiarkan penjahat menghasut anak-nya?"
dan lagi ini "dapat restu dari orang tua"

saya bahkan di beri satu penjelasan yang saya anggap penjelasan crazy think.
yakni " welas asih Tuh*n tidak dapat dipikirkan oleh logika manusia "

tahu kan arti welas asih, cinta kasih,dsb-nya......orang tua kandung kita memiliki semua itu.

disini jelas "kenyataan" Tuh*n itu tidaklah memiliki welas asih,cintakasih,dsb-nya..
tetapi mengapa di "benarkan memiliki semua itu?"
saya kira hanya ketakutan akan kepercayaan yang dipegang itu ternyata tidak sesuai kenyataan.
inilah kebodohan batin. ^^

---------------------------------------------------
sama seperti kenyataan... "buddha" lahir di India... dan dikatakan buddha akan lahir lagi entah dimana, dan mengajarkan dhamma....

ketika kita mempertanyakan "berarti Buddha" itu masih ada sampai sekarang?
masa mau di bilang "jangan dibilang ada, atau tiada".....ini bukan-kah perumitan namanya?

kenyataan-nya kan akan "ada"..berarti proses nya
ketika buddha ada ( di bumi ) kemudian meninggal -----> pindah entah kemana ----> ada lagi entah dimana mengajarkan dhamma..

berarti ADA ---> XXX -----> ADA.
mau dikatakan apa itu coba?..

Quote from: chingik on 18 February 2009, 09:48:42 PM
Quote
masalah paham nihilis......itu jikalau kita beranggapan bahwa sesudah kita meninggal, maka tidak ada sama sekali lagi apa-apa...tamat sudah.
tentu hal ini dianggap nihilisme dikarenakan masih ada sebab...tetapi tidak ada akibat.
nah..bro bisa membedakan kondisi nihilis/lenyap antara orang awam yg beranggapan salah dengan seorang Buddha yg mencapai anutpadisesa nibbana.
Seharusnya juga  bisa membedakan antara kondisi Buddha yg bisa bermanifestasi lagi di tempat lain dengan orang awam yg dilahirkan kembali.   
kita kembali ke hukum sebab akibat..

pernahkah ada akibat tanpa sebab?
disitu dikatakan buddha akan bermanifestasi entah dimana...."sebab" - nya?

berarti buddha itu masih ada donk sampai sekarang....

---------------------------------------------
kalau mau di persingkat...pada inti nya adalah

kan kalau di Theravada buddha menyelamatkan dari Penderitaan.
dimana jara-marana ada karena ada kondisi....
dan ketika kondisi itu sudah tiada...maka jara-marana tidak akan ada.
lahir-mati, untung-rugi, bahagia-derita, dan seterusnya......
bahkan termasuk bentuk pikiran yang memikirkan hal ini pun, juga telah padam.

kalau mahayana apa donk visi-misi Buddha?
selama buddha mengajarkan dhamma dari kappa ke kappa yang sudah sekian banyak.

"buddha menyelamatkan makhluk hidup dari apa?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 19 February 2009, 01:50:19 AM
Nah, gini kan jelas....
Ternyata yg dicari emank pembuktian tanpa ujung...
Bahwa MERASA A paling benar, jadi, klo B kaga sama kyk A, bearti B slh...

Meributkan apa yg tertulis dan tidak tertulis, ujung2nya pepesan kosong...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 19 February 2009, 09:07:52 AM
ajaran yang disempal sempal dan di-utak atik itu biasanya inkonsisten di dalam konsep ajarannya sendiri... TIDAK NYAMBUNG SENDIRI...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: hendrako on 19 February 2009, 11:40:15 PM
Quote from: chingik on 18 February 2009, 09:20:04 PM
Quote
masalah nnya...Mahayana menulis arahat masih bisa merosot.....jadi maksud nya itu apa?
Theravada sendiri tidak pernah mengatakan arahat masih bisa merosot...

apa seorang arahat masih bisa menjadi perumah tangga....
dalam arti kesucian itu bisa pelan-pelan kotor kembali.. ^^

dalam arti lain Sammasambuddha masih bisa kotor?
apabila dialasankan menjadi Arahat tidak sama Sammasambuddha dalam pencapaian..
berarti hal ini menujukkan perbedaan Nirvana kelas Arahat dan kelas Sammasambuddha.?

kalau Theravada kan tidak ada beda nibbana arahat(savaka) dan nibbana sammasambuddha( arahat juga)
sedangkan mahayana ada beda?...tolong infonya
Tafsiran kemerosotan Arahat bukan pernyataan sepihak Mahayana. Hal ini sudah terjadi perdebatan dari berbagai sekte. Sarvastivada yg bagian dari pecahan Theravada juga menyatakan kemerosotan Arahat. Masing2 punya pandangan masing2, mereka saja saling berdebat Arahat jenis apa yg merosot, jenis apa yg tidak merosot. Merosot sebatas apa, dll.
Coba kaji juga ttg Arahat yg tidak sanggup menahan sakit dan memilih bunuh diri, apa karena ada kaitan dgn kekuatiran mengalami kemerosotan, saya sejujurnya blm tahu, tapi silakan kemukakan pandangan anda. NO problem. hehe..

Apakah ada contoh bahwa ada Arahat yg bunuh diri?
Setahu saya, di dalam Theravada, seorang Sotapana "saja" tidak akan bisa melakukan tindakan bunuh diri. Apalagi seorang Arahat?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Nevada on 19 February 2009, 11:55:55 PM
Batin seorang Arahanta bisa merosot? Itu sama saja memberi pernyataan bahwa Nibbana adalah sementara...
*geleng-geleng kepala*

Dalam Silavanta Sutta (Pali Canon), dijelaskan secara implisit bahwa seorang Arahanta tidak akan mengalami kemerosotan batin. Namun seorang Arahanta akan tetap teguh dalam perhatiaan dan kewaspadannya...


...

YA. Sariputta berkata : "Sahabatku Kotthita, seorang bhikkhu yang baik harus penuh dengan perhatian dalam mengamati kelima unsur kemelekatan sebagai tidak kekal, tidak memuaskan, penyakit, kanker, anak panah, menyakitkan, beban, asing, melenyap, kehampaan, dan tanpa substansi inti. Yang manakah lima unsur kemelakatan itu? Itu adalah pancakkhandha..."

...

"Seorang bhikkhu yang telah mencapai tingkat Arahat harus tetap penuh dengan perhatian untuk mengamati kelima unsur kemelekatan itu. Walaupun bagi seseorang yang sudah mencapai tingkat Arahat tidak lagi memiliki tugas yang harus dikerjakan, dan tidak ada hal lain yang perlu ditambahkan, namun tetap saja hal-hal ini jika diteguhkan dan dikembangkan akan membawa pada kehidupan yang menyenangkan di sini, saat ini, serta perhatian dan kewaspadaan."
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 20 February 2009, 07:51:51 AM
Quote from: hendrako on 19 February 2009, 11:40:15 PM
Quote from: chingik on 18 February 2009, 09:20:04 PM
Quote
masalah nnya...Mahayana menulis arahat masih bisa merosot.....jadi maksud nya itu apa?
Theravada sendiri tidak pernah mengatakan arahat masih bisa merosot...

apa seorang arahat masih bisa menjadi perumah tangga....
dalam arti kesucian itu bisa pelan-pelan kotor kembali.. ^^

dalam arti lain Sammasambuddha masih bisa kotor?
apabila dialasankan menjadi Arahat tidak sama Sammasambuddha dalam pencapaian..
berarti hal ini menujukkan perbedaan Nirvana kelas Arahat dan kelas Sammasambuddha.?

kalau Theravada kan tidak ada beda nibbana arahat(savaka) dan nibbana sammasambuddha( arahat juga)
sedangkan mahayana ada beda?...tolong infonya
Tafsiran kemerosotan Arahat bukan pernyataan sepihak Mahayana. Hal ini sudah terjadi perdebatan dari berbagai sekte. Sarvastivada yg bagian dari pecahan Theravada juga menyatakan kemerosotan Arahat. Masing2 punya pandangan masing2, mereka saja saling berdebat Arahat jenis apa yg merosot, jenis apa yg tidak merosot. Merosot sebatas apa, dll.
Coba kaji juga ttg Arahat yg tidak sanggup menahan sakit dan memilih bunuh diri, apa karena ada kaitan dgn kekuatiran mengalami kemerosotan, saya sejujurnya blm tahu, tapi silakan kemukakan pandangan anda. NO problem. hehe..

Apakah ada contoh bahwa ada Arahat yg bunuh diri?
Setahu saya, di dalam Theravada, seorang Sotapana "saja" tidak akan bisa melakukan tindakan bunuh diri. Apalagi seorang Arahat?

Ada (coba tanya sdr. Wolverine utk referensinya)

Bagi saya, bunuh diri seorang Arahat dan putthujana adalah berbeda. Ketika seorang putthujana bunuh diri, ada "dirinya" yg menolak eksistensinya sendiri. Ketika seorang telah mencapai "sotapanna" saja, artinya orang tsb telah melenyapkan sakkaya-ditthi. di situ, tidak ada lagi "diri" yg menolak eksistensi lagi, walau aktifitas yg tampak di luar bagi kita putthujana di sana adalah bunuh diri. padahal setelah pandangan salah tentang adanya diri lenyap, "diri" mana yg mau di bunuh?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 20 February 2009, 08:05:32 AM
kutipan dari tesla :
Bagi saya, bunuh diri seorang Arahat dan putthujana adalah berbeda. Ketika seorang putthujana bunuh diri, ada "dirinya" yg menolak eksistensinya sendiri. Ketika seorang telah mencapai "sotapanna" saja, artinya orang tsb telah melenyapkan sakkaya-ditthi. di situ, tidak ada lagi "diri" yg menolak eksistensi lagi, walau aktifitas yg tampak di luar bagi kita putthujana di sana adalah bunuh diri. padahal setelah pandangan salah tentang adanya diri lenyap, "diri" mana yg mau di bunuh?


klo memang arahat tersbut melakukan bunuh diri, kenapa dia melakukan bunuh diri?.
Seperti pernyataan kebenaran dari hui neng pada kisah 2 orang yang berdebat (seolah-olah intelektual bijaksana) tentang bendera yang bergerak, mengada-ada dan mencari-cari, khayal, apalagi ditambah praktek-praktek berdasarkan pengajaran keyakinan takhayul untuk pencerahan, (seolah-olah) kebenarannya semakin oke punya.

semoga menambah wawasan pertimbangan

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: ENCARTA on 20 February 2009, 08:41:23 AM
bisa diceritakan tentang 2 orang yg berdebat tentang bendera?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 20 February 2009, 08:46:39 AM
Quote from: coedabgf on 20 February 2009, 08:05:32 AM
kutipan dari tesla :
Bagi saya, bunuh diri seorang Arahat dan putthujana adalah berbeda. Ketika seorang putthujana bunuh diri, ada "dirinya" yg menolak eksistensinya sendiri. Ketika seorang telah mencapai "sotapanna" saja, artinya orang tsb telah melenyapkan sakkaya-ditthi. di situ, tidak ada lagi "diri" yg menolak eksistensi lagi, walau aktifitas yg tampak di luar bagi kita putthujana di sana adalah bunuh diri. padahal setelah pandangan salah tentang adanya diri lenyap, "diri" mana yg mau di bunuh?


klo memang arahat tersbut melakukan bunuh diri, kenapa dia melakukan bunuh diri?.
Seperti pernyataan kebenaran dari hui neng pada kisah 2 orang yang berdebat (seolah-olah intelektual bijaksana) tentang bendera yang bergerak, mengada-ada dan mencari-cari, khayal, apalagi ditambah praktek-praktek berdasarkan pengajaran keyakinan takhayul untuk pencerahan, (seolah-olah) kebenarannya semakin oke punya.

semoga menambah wawasan pertimbangan
ketika arahat melakukan bunuh diri....disitu ada 3 hal.
1.seperti perumah tangga yang dengan kebencian, atau tidak menerima kenyataan........ ini dicela oleh bijaksana

2.ketika menggorok leher(belum arahat), sesaat sebelum meninggal.... muncul perenungan yang dalam akhir nya melihat magga dan phala..dan mengikuti untuk mencapai arahat..

3.seorang arahat sudah mengetahui batas usia nya, dan akhir nya meninggal dengan berbagai cara.
seperti SangBuddha...beliau tidak meninggal seperti umat awam...tetapi meninggal dengan penuh kewaspadaan.
seperti Ananda...dengan melihat batas usianya dan sudah waktu nya....beliau meninggal dengan membakar diri...

Buddha saja membunuh diri nya dengan memasuki dan merenungkan jhana...sama seperti Ananda.
apakah bisa dikatakan Buddha dan Ananda bunuh diri?

Sariputta saja ketika mengetahui bahwa sudah waktu nya batas dari usia nya...lebih memilih langsung untuk berpisah dari Guru....

jadi seorang "arahat" mengetahui bahwa batas waktu
dan tidak memilih untuk mempercepat mengakhiri usia....
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 20 February 2009, 08:51:03 AM
 [at] marcedes,
tambahan,
dengan cara apa?
cara-cara wajar/alamiah atau memaksakan kehendak dengan cara-cara tindakan yang dibuat-buat/dicari-cari?

[at] encarta,
sori, cari di forum mahayana.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 20 February 2009, 08:54:57 AM
Quote from: coedabgf on 20 February 2009, 08:51:03 AM
[at] marcedes,
tambahan,
dengan cara apa?
cara-cara wajar/alamiah atau memaksakan kehendak dengan cara-cara tindakan yang dibuat-buat/dicari-cari?

[at] encarta,
sori, cari di forum mahayana.
maaf, maksud dari postingan anda saya tidak mengerti. ^^
bisa diperjelas....sorry saya ini telat mikir.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: BlackDragon on 20 February 2009, 11:54:43 PM
Wah baru tahu neh ada arahat bunuh diri? :o
Setahu saya seorang Arahat mempunyai Batin yg stabil, walaupun jasmani nya menderita. :-?
Beneran kah? :-?
Atas alasan apa beliau bunuh diri?
atau penafsiran semata? ::)

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 21 February 2009, 07:47:59 AM
 [at] mercedes,

kutipan dari : Re: Apa yang dipikirkan oleh Buddha Gotama?
sebenarnya dengan proses cara-cara jalan awam/umum, menanggalkan atta dengan tetap memakai jubah atta menemukan kebenaran sejati (the Truth) atau menemukan/mendapatkan (pengetahuan kebenaran) baru dapat membedakan dan melepaskan segala kesia-siaan atta yang bersifat anicca dukkha anatta?
seperti guru Buddha, kasyapa, ananda, guru-gur Zen dan mereka yang tercerahkan, seperti yang ditanyakan umat buddhist seberapa lama sesungguhnya mereka mencapai pencerahan?
jawabannya bisa ada dari dua sudut pandang :
1. awam bilang dari jalan umum, proses yang panjang.
2. yang tercerahkan bilang saat pencerahan (mendapatkan pengetahuan kebenaran), tidak lagi melihat jalan yang panjang.
oleh karena itu mengapa yang tercerahkan tetap bersikap samadhi, senantiasa tidak lengah/berjaga/sadar.

Sesuatu itu.
sebab saat keluar dari realitas (keberadaan) kesadaran kehidupan pengetahuan kebenaran sejati tersebut (the Truth), seorang yang tercerahkan kembali berada dalam keadaan yang terkondisi (sementara/khayal). Yang tercerahkan memandang segala sesuatu di dunia ini sudah dalam keadaan non dualisme atau sunya oleh karena yang tercerahkan sudah mendapatkan pengetahuan kebenaran dan menyelami kenyataan kebenaran yang sesungguhnya sehingga (sudah) dapat  membedakan dan melepaskan segala kesia-siaan atta yang bersifat anicca dukkha anatta, tak terikat atau mengikatkan diri lagi kepada ciri dunia meskipun hidup berada, terlibat dan menggunakan segala apa yang ada di dunia.
Menjawab pertanyaan apakah seorang tercerahkan dapat mengalami kemerosotan, seperti syair 'sedetik manusia bisa menjadi Buddha, Buddha bisa menjadi manusia', (yaitu) ketika yang tercerahkan mengikatkan diri (menyenangi) lagi kepada yang terkondisi, duniawi/ciri yang sementara/khayal.



maksudnya mereka menjaga senantiasa tidak lengah/berjaga/sadar selalu bersikap samadhi sampai waktu kehidupan mereka berakhir (secara alamiah), bukan memotong waktu kehidupan mereka menurut kehendak dan cara (yang dibuat/dicari-cari oleh) mereka. sebab waktu itulah saat yang paling menentukan, maha parinibana atau bukan, terseret lagi oleh arus khayal kepalsuan atta pikiran (skandhas).
Terserah mereka meninggal, mungkin secara wajar atau mungkin terseruduk mobil atau mungkin karena terjatuh atau mungkin terhukum mati dan sebagainya tetapi bukan oleh cara-cara yang dirancang sendiri lalu dikerjakan oleh mereka. (hal ini mungkin ada kemiripan kasusnya seperti juga pada cara pencerahan pengajaran guru-guru lain yang menyatakan mencapai pencerahan dengan melalui sadhana sex.)

eh btw cmiiw lah, aku belum mati....
tapi klo aku ada tiga pegangan, bukan hanya dua (proses 1 & 2 saja) yaitu :
1. Cara atau jalan, 2. Pengetahuan yang benar atau kebijaksanaan, dan terakhir 3. Keyakinan/iman. (The way, the truth, the life.)

semoga menambah wawasan pengetahuan benar atau pencerahan.
good hope and love
   
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 21 February 2009, 08:30:59 AM
Quotemenemukan kebenaran sejati (the Truth) atau menemukan/mendapatkan (pengetahuan kebenaran) baru dapat membedakan dan melepaskan segala kesia-siaan atta yang bersifat anicca dukkha anatta?

utk apa membedakan? adakah "atta" dapat menemui sesuatu diluar anicca-dukkha?

Quoteoleh karena itu mengapa yang tercerahkan tetap bersikap samadhi, senantiasa tidak lengah/berjaga/sadar.
Buddha & para Arahat selalu dalam keadaan sati (mindfullness) sampajana (awareness).
sati tidak sama dg samadhi

Quoteseorang yang tercerahkan kembali berada dalam keadaan yang terkondisi (sementara/khayal).
terkondisi bukanlah sementara atau khayal.

Quotesebab waktu itulah saat yang paling menentukan, maha parinibana atau bukan, terseret lagi oleh arus khayal kepalsuan atta pikiran (skandhas).
ngawur...
ketika seseorang telah mencapai arahat, walau ia bunuh diri, itu tidak menandakan ia terseret oleh atta.

Quotetetapi bukan oleh cara-cara yang dirancang sendiri lalu dikerjakan oleh mereka. (hal ini mungkin ada kemiripan kasusnya seperti juga pada cara pencerahan pengajaran guru-guru lain yang menyatakan mencapai pencerahan dengan melalui sadhana sex.)
bukti yg paling nyata adalah Buddha Gotama mengakhiri hidupnya dg masuk ke jhana berurutan, kemudian ke nirodha samapatti dan parinibbana (atas keinginannya sendiri).
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 21 February 2009, 02:24:16 PM
Quote from: BlackDragon on 20 February 2009, 11:54:43 PM
Wah baru tahu neh ada arahat bunuh diri? :o
Setahu saya seorang Arahat mempunyai Batin yg stabil, walaupun jasmani nya menderita. :-?
Beneran kah? :-?
Atas alasan apa beliau bunuh diri?
atau penafsiran semata? ::)

_/\_


Mas Naga Hitam,

Menurut pandangan aliran "T", seorang Arahat meneruskan sisa kehidupan bukan berdasarkan kemelekatan terhadap kehidupan, tetapi disebabkan kesadaran sebagai bentuk belas kasihan terhadap mahluk lain, dengan mengetahui Ia dapat membimbing mahluk lain mencapai Nirvana seperti dirinya, selain itu untuk mereka yang kurang berkembang batinnya seorang Arahat dapat memberikan berkah dengan menerima dana yang diberikan oleh orang lain.

Seorang Arahat memasuki Nirvana, menurut aliran "T" disebut Parinibbana, karena merasa sudah cukup berbuat bagi mahluk lain, mereke Parinirvana dengan salah satu dari empat posisi, yaitu posisi duduk, berdiri, berbaring dan berjalan.

Dalam salah satu cerita dikatakan ada seorang bhikkhu senior yang ingin mendorong para yunior agar rajin berlatih, Ia memperagakan cara Parinirvana dengan berjalan, ceritanya demikian:

"Suatu ketika Bhikkhu senior ini melihat usia kehidupannya sudah habis, lalu bertanya kepada para yunior, "avuso, ada berapa macamkah cara Parinibbana yang anda ketahui?  para Bhikkhu ada yang menjawab saya perlnah melihat dalam posisi duduk bhantek, saya melihat dalam posisi berbaring, saya melihat dalam posisi tidur bhante>"

"Apakah ada diantara kalian yang pernah melihat Parinibbana dalam posisi berjalan? Semua bhikkhu menjawab 'belum bhante', 'nah kalau begitu perhatikan baik-baik, saya akan berjalan dari sini ke arah sana kemudian Parinibbana' (Beliau kemudian memasang garis, lalu kembali ke tempat semula) setelah kembali ke garis semula Beliau mulai berjalan, setelah sampai di garis akhir Beliau langsung Parinirvana.

Jadi bedakan, memasuki Parinirvana adalah melepaskan semua kondisi tanpa sisa.
Sedangkan bunuh diri yang dilakukan oleh umat awam adalah membunuh sesosok mahluk hidup.
Gitu lho mas pendapat saya.


Mas Chingikkkkk..... abdi dicuekin euy  :) 
Quoteauthor=truth lover link=topic=5941.msg151763#msg151763 date=1234972212]
Kan dikatakan Arahat belum sungguh sungguh mencapai Nirvana? Jadi siapa sih yang dibimbing oleh Shakyamuni Buddha yang telah mengalami Nirvana seutuhnya seperti Sang Buddha?

Terima kasih atas penjelasannya.

Mana dong penjelasannya? siapa sih yang dibimbing hingga mencapai seperti Shakyamuni Buddha?


_/\_
[/quote]
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: chingik on 21 February 2009, 02:59:15 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 10:50:12 PM
mas Chingik nanya dong.

Kan dikatakan Arahat belum sungguh sungguh mencapai Nirvana. Jadi siapa sih yang dibimbing oleh Shakyamuni Buddha yang telah mengalami Nirvana seutuhnya seperti Sang Buddha?

Terima kasih atas penjelasannya.

_/\_
Tenang aja, semua siswa Buddha telah dibimbing utk mencapai nirvana.  Karena ini memang ikrar dari Sang Buddha saat menjadi Bodhisatta.
Dalam Sutra BaoYuJing , Ketika Cahaya tubuh Buddha Sakyamuni memancar hingga ke sebuah semesta lain bernama dunia Padma, di sana Bodhisatva ZiGai bertanya kpd Buddha Padmacaksu, ........................................

Stop, stop, ...percuma deh kalo dilanjutin , karena bro sekali dengar terdapat sebuah dunia bernama Padma saja, batin bro sudah langsung antipati, apalagi penjelasan lanjutannya..huehue...
Benar kata bro Edward, Gak ada abisnya kalo dibahas...
Wong,  Avatamsaka Sutra yang bisa menjelaskan tentang kosmologi Buddhis yg ilustrasinya sama seperti galaksi2 temuan para ilmuan aja juga kagak diterima sama 'T', mau ngomong apa lagi...hehe..
 


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Sumedho on 21 February 2009, 08:22:15 PM
 [at] om tesla:

wafatnya setelah keluar dr jhana ke 4 sih.

Quote from: Mahaparinibbana sutta
...
6.8. Kemudian Sang Bhagava memasuki jhana pertama. Dan meninggalkan jhana itu Beliau memasuki jhana kedua, ketiga, keempat. Kemudian meninggalkan jhana keempat Beliau memasuki Alam Ruang Tanpa Batas, kemudian Alam Kesadaran Tanpa Batas, kemudian Alam Kekosongan, kemudian Alam Bukan Persepsi dan juga Bukan Bukan-Persepsi, dan kemudian meninggalkan alam itu Beliau mencapai Lenyapnya Perasaan dan Persepsi.92

Kemudian Yang Mulia Ananda berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: "Yang Mulia Anuruddha, Sang Bhagava telah meninggal dunia." "Belum, sahabat Ananda,93 Sang Bhagava belum meninggal dunia, Beliau mencapai Lenyapnya Perasaan dan Persepsi."

6.9. Kemudian Sang Bhagava, meninggalkan pencapaian Lenyapnya Perasaan dan Persepsi, memasuki ke dalam Alam Bukan Persepsi dan juga Bukan Bukan-Persepsi, dari sana Beliau memasuki Alam Kekosongan, Alam Kesadaran Tanpa Batas, Alam Ruang Tanpa Batas. Dari Alam Ruang Tanpa Batas, Beliau memasuki jhana keempat, dari sana masuk ke jhana ketiga, jhana kedua dan jhana pertama. Meninggalkan jhana pertama, Beliau memasuki jhana kedua, jhana ketiga, jhana keempat. Dan, akhirnya, meninggalkan jhana keempat, Sang Bhagava akhirnya wafat.
...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 21 February 2009, 08:32:52 PM
Quote from: Sumedho on 21 February 2009, 08:22:15 PM
[at] om tesla:

wafatnya setelah keluar dr jhana ke 4 sih.

Quote from: Mahaparinibbana sutta
...
6.8. Kemudian Sang Bhagava memasuki jhana pertama. Dan meninggalkan jhana itu Beliau memasuki jhana kedua, ketiga, keempat. Kemudian meninggalkan jhana keempat Beliau memasuki Alam Ruang Tanpa Batas, kemudian Alam Kesadaran Tanpa Batas, kemudian Alam Kekosongan, kemudian Alam Bukan Persepsi dan juga Bukan Bukan-Persepsi, dan kemudian meninggalkan alam itu Beliau mencapai Lenyapnya Perasaan dan Persepsi.92

Kemudian Yang Mulia Ananda berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: "Yang Mulia Anuruddha, Sang Bhagava telah meninggal dunia." "Belum, sahabat Ananda,93 Sang Bhagava belum meninggal dunia, Beliau mencapai Lenyapnya Perasaan dan Persepsi."

6.9. Kemudian Sang Bhagava, meninggalkan pencapaian Lenyapnya Perasaan dan Persepsi, memasuki ke dalam Alam Bukan Persepsi dan juga Bukan Bukan-Persepsi, dari sana Beliau memasuki Alam Kekosongan, Alam Kesadaran Tanpa Batas, Alam Ruang Tanpa Batas. Dari Alam Ruang Tanpa Batas, Beliau memasuki jhana keempat, dari sana masuk ke jhana ketiga, jhana kedua dan jhana pertama. Meninggalkan jhana pertama, Beliau memasuki jhana kedua, jhana ketiga, jhana keempat. Dan, akhirnya, meninggalkan jhana keempat, Sang Bhagava akhirnya wafat.
...


oh iya, ralat... jadi kejadiannya bukan 1,2,3,4,5,6,7,8,9,* tapi 1,2,3,4,5,6,7,8,7,6,5,4,3,2,1,2,3,4,*

rumit amat ya? :))
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 21 February 2009, 09:20:09 PM
 [at] tesla,
klo itu bunuh diri bukan? atau guru Buddha tetap berjaga sampai batas waktunya (tidak memperpendek atau memperpanjang, bukan keputusan diri tetapi mengikuti jalan/proses alamiah sampai habis genap waktunya?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 21 February 2009, 09:45:00 PM
kutipan dari tesla :
Quote
menemukan kebenaran sejati (the Truth) atau menemukan/mendapatkan (pengetahuan kebenaran) baru dapat membedakan dan melepaskan segala kesia-siaan atta yang bersifat anicca dukkha anatta?

utk apa membedakan? adakah "atta" dapat menemui sesuatu diluar anicca-dukkha?

sebenarnya ini merupakan kalimat perbandingan pertanyaan panjang saya :
sebenarnya dengan proses cara-cara jalan awam/umum, menanggalkan atta dengan tetap memakai jubah atta menemukan kebenaran sejati (the Truth)
atau
menemukan/mendapatkan (pengetahuan kebenaran) baru dapat membedakan dan melepaskan segala kesia-siaan atta yang bersifat anicca dukkha anatta?

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 21 February 2009, 09:49:16 PM
kutipan dari tesla :
quote :
oleh karena itu mengapa yang tercerahkan tetap bersikap samadhi, senantiasa tidak lengah/berjaga/sadar.

Buddha & para Arahat selalu dalam keadaan sati (mindfullness) sampajana (awareness).
sati tidak sama dg samadhi


oleh karena itu mengapa yang tercerahkan tetap bersikap samadhi, senantiasa tidak lengah/berjaga/sadar.



Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 21 February 2009, 09:54:16 PM
Quote from: coedabgf on 21 February 2009, 09:20:09 PM
[at] tesla,
klo itu bunuh diri bukan? atau guru Buddha tetap berjaga sampai batas waktunya (tidak memperpendek atau memperpanjang, bukan keputusan diri tetapi mengikuti jalan/proses alamiah sampai habis genap waktunya?
kalau arahat atau buddha mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak bisa disebut bunuh diri, karena tidak ada diri di sana, terserah bagaimanapun cara mereka mengakhirinya.

bisa dengan kesaktian (dg meninggal diam atau bahkan dg membakar tubuh sendiri), ataupun kalau tidak punya kesaktian bisa dg alat bantu seperti pisau.

utk kasus Buddha Gotama, ada banyak pendapat mengenai parinibbananya. Dalam kitab pali sepertinya ada dijelaskan bahwa seorang Buddha tidak dapat mati kecuali dirinya menginginkannya. artinya parinibbananya adalah "keinginannya". (tentu saja saya tidak menganggap itu bunuh diri, dan ini bukan diskriminasi tanpa sebab antara putthujana & arahat)
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 21 February 2009, 09:55:27 PM
kutipan dari tesla :
Quote
seorang yang tercerahkan kembali berada dalam keadaan yang terkondisi (sementara/khayal).

terkondisi bukanlah sementara atau khayal.


kalimat lengkapnya :
sebab saat keluar dari realitas (keberadaan) kesadaran kehidupan pengetahuan kebenaran sejati tersebut (the Truth), seorang yang tercerahkan kembali berada dalam keadaan yang terkondisi (sementara/khayal).
Yang tercerahkan memandang segala sesuatu di dunia ini sudah dalam keadaan non dualisme atau sunya oleh karena yang tercerahkan sudah mendapatkan pengetahuan kebenaran dan menyelami kenyataan kebenaran yang sesungguhnya sehingga (sudah) dapat  membedakan dan melepaskan segala kesia-siaan atta yang bersifat anicca dukkha anatta, tak terikat atau mengikatkan diri lagi kepada ciri dunia meskipun hidup berada, terlibat dan menggunakan segala apa yang ada di dunia.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 21 February 2009, 10:01:19 PM
Quote from: coedabgf on 21 February 2009, 09:49:16 PM
oleh karena itu mengapa yang tercerahkan tetap bersikap samadhi, senantiasa tidak lengah/berjaga/sadar.


kalau senantiasa sadar (sati) sih saya setuju2 aja... dalam sutta bisa ditemukan Sang Buddha mengajarkan utk sati ketika berjalan, berdiri, duduk, berbaring, makan, minum, ngunyah, boker, pipis, tidur, diam, dst...

sati bisa diterapkan dalam segala kegiatan & memang harus demikian, namun samadhi tidak (setidaknya dalam sutta, Sang Buddha tidak mengajarkan utk samadhi ketika boker). oleh karena itu Buddha & murid2nya membagi waktu, ada waktu samadhi, ada waktu pindapata, ada waktu kotbah, dst...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 21 February 2009, 10:06:08 PM
kutipan tesla :
ngawur...
ketika seseorang telah mencapai arahat, walau ia bunuh diri, itu tidak menandakan ia terseret oleh atta.

Quote from: coedabgf on Today at 09:20:09 PM
[at] tesla,
klo itu bunuh diri bukan? atau guru Buddha tetap berjaga sampai batas waktunya (tidak memperpendek atau memperpanjang, bukan keputusan diri tetapi mengikuti jalan/proses alamiah sampai habis genap waktunya?
kalau arahat atau buddha mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak bisa disebut bunuh diri, karena tidak ada diri di sana, terserah bagaimanapun cara mereka mengakhirinya.

bisa dengan kesaktian (dg meninggal diam atau bahkan dg membakar tubuh sendiri), ataupun kalau tidak punya kesaktian bisa dg alat bantu seperti pisau.

utk kasus Buddha Gotama, ada banyak pendapat mengenai parinibbananya. Dalam kitab pali sepertinya ada dijelaskan bahwa seorang Buddha tidak dapat mati kecuali dirinya menginginkannya. artinya parinibbananya adalah "keinginannya". (tentu saja saya tidak menganggap itu bunuh diri, dan ini bukan diskriminasi tanpa sebab antara putthujana & arahat)

[at] tesla,
klo itu bunuh diri bukan? atau guru Buddha tetap berjaga sampai batas waktunya (tidak memperpendek atau memperpanjang, bukan keputusan diri tetapi mengikuti jalan/proses alamiah sampai habis genap waktunya?

sebenarnya hal ini karena dia sudah tahu atau bukan bahwa waktunya sudah habis, sehingga dia tidak memperpendek atau memperpanjang hidupnya menurut kehendak jidatnya sendiri, apalagi dengan cara-cara sendiri (menimbulkan bentuk-bentuk cara-cara (pikiran) baru bukan malah seharusnya berjaga)?


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 21 February 2009, 10:09:06 PM
Quote from: coedabgf on 21 February 2009, 09:55:27 PM
kalimat lengkapnya :
sebab saat keluar dari realitas (keberadaan) kesadaran kehidupan pengetahuan kebenaran sejati tersebut (the Truth), seorang yang tercerahkan kembali berada dalam keadaan yang terkondisi (sementara/khayal).
Yang tercerahkan memandang segala sesuatu di dunia ini sudah dalam keadaan non dualisme atau sunya oleh karena yang tercerahkan sudah mendapatkan pengetahuan kebenaran dan menyelami kenyataan kebenaran yang sesungguhnya sehingga (sudah) dapat  membedakan dan melepaskan segala kesia-siaan atta yang bersifat anicca dukkha anatta, tak terikat atau mengikatkan diri lagi kepada ciri dunia meskipun hidup berada, terlibat dan menggunakan segala apa yang ada di dunia.

menurut hemat saya, keterkondisian itu bukanlah suatu khayalan.
seorang putthujanalah yg melihat keterkondisian sebagai suatu khayalan, sehingga ia selalu melihat sesuatu ketidakterkondisian. sankhara (keterkondisian) adalah sebuah kenyataan. karena tidak melihat inilah putthujana, melihat adanya diri yg tak terkondisi, dg kata lain, adanya diri yg kekal, atta, atman, roh, jiwa, dsb... jika seorang putthujana berhasil melihat keterkondisian ini, otomatis ia bukan putthujana lagi.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 21 February 2009, 10:13:02 PM
kutipan dari tesla :
Quote from: coedabgf on Today at 09:49:16 PM
oleh karena itu mengapa yang tercerahkan tetap bersikap samadhi, senantiasa tidak lengah/berjaga/sadar.


kalau senantiasa sadar (sati) sih saya setuju2 aja... dalam sutta bisa ditemukan Sang Buddha mengajarkan utk sati ketika berjalan, berdiri, duduk, berbaring, makan, minum, ngunyah, boker, pipis, tidur, diam, dst...

sati bisa diterapkan dalam segala kegiatan & memang harus demikian, namun samadhi tidak (setidaknya dalam sutta, Sang Buddha tidak mengajarkan utk samadhi ketika boker). oleh karena itu Buddha & murid2nya membagi waktu, ada waktu samadhi, ada waktu pindapata, ada waktu kotbah, dst...


maksud saya tulis sikap itu bukan secara jasmaniah, tetapi pengetahuan kesadaran secara batiniah dan rohaniah, yang dibilang selalu terjaga.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 21 February 2009, 10:29:06 PM
kutipan dari tesla :
Quote from: coedabgf on Today at 09:55:27 PM
kalimat lengkapnya :
sebab saat keluar dari realitas (keberadaan) kesadaran kehidupan pengetahuan kebenaran sejati tersebut (the Truth), seorang yang tercerahkan kembali berada dalam keadaan yang terkondisi (sementara/khayal).
Yang tercerahkan memandang segala sesuatu di dunia ini sudah dalam keadaan non dualisme atau sunya oleh karena yang tercerahkan sudah mendapatkan pengetahuan kebenaran dan menyelami kenyataan kebenaran yang sesungguhnya sehingga (sudah) dapat  membedakan dan melepaskan segala kesia-siaan atta yang bersifat anicca dukkha anatta, tak terikat atau mengikatkan diri lagi kepada ciri dunia meskipun hidup berada, terlibat dan menggunakan segala apa yang ada di dunia.

menurut hemat saya, keterkondisian itu bukanlah suatu khayalan.
seorang putthujanalah yg melihat keterkondisian sebagai suatu khayalan, sehingga ia selalu melihat sesuatu ketidakterkondisian. sankhara (keterkondisian) adalah sebuah kenyataan. karena tidak melihat inilah putthujana, melihat adanya diri yg tak terkondisi, dg kata lain, adanya diri yg kekal, atta, atman, roh, jiwa, dsb... jika seorang putthujana berhasil melihat keterkondisian ini, otomatis ia bukan putthujana lagi.


(kenyataan) ada/terlihatnya yang terkondisi atau tak terkondisi, fenomena atau bukan fenomena, yang tercerahkan hidup dalam realitas kebenaran sejati.
awam melihat keterkondisian bukan suatu khayalan, sebab belum dapat melihat kenyataan kebenaran sesungguhnya sebagai suatu kesementaraan, belum dapat  membedakan dan melepaskan segala kesia-siaan atta yang bersifat anicca dukkha anatta, meskipun berpengetahuan atau membilang yang terkondisi bersifat anicca dukkha anatta.
Yang tercerahkan memandang segala sesuatu di dunia ini sudah dalam keadaan non dualisme atau sunya oleh karena yang tercerahkan sudah mendapatkan/memiliki pengetahuan/kebijaksanaan kebenaran dan menyelami kenyataan kebenaran yang sesungguhnya sehingga (sudah) dapat  membedakan dan melepaskan segala kesia-siaan atta yang bersifat anicca dukkha anatta, sehingga tak terikat atau mengikatkan diri lagi kepada ciri-ciri dunia meskipun hidup berada, terlibat dan menggunakan segala apa yang ada di dunia.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 21 February 2009, 10:29:19 PM
Quote from: coedabgf on 21 February 2009, 10:06:08 PM
[at] tesla,
klo itu bunuh diri bukan? atau guru Buddha tetap berjaga sampai batas waktunya (tidak memperpendek atau memperpanjang, bukan keputusan diri tetapi mengikuti jalan/proses alamiah sampai habis genap waktunya?

sebenarnya hal ini karena dia sudah tahu atau bukan bahwa waktunya sudah habis, sehingga dia tidak memperpendek atau memperpanjang hidupnya menurut kehendak jidatnya sendiri, apalagi dengan cara-cara sendiri (menimbulkan bentuk-bentuk cara-cara (pikiran) baru bukan malah seharusnya berjaga)?

seperti yg saya tulis sebelumnya, ada byk pendapat soal parinibbana Sang Buddha, mis:
1 kematiannya mendadak, alami, tidak terencana karena penyakit & usia yg tua (maka mahaparinibbana sutta menjadi absurb dimana Buddha menunda & menjadwalkan akan parinibbana utk memberitahu orang2 yg telah mengikutinya)
2 kematiannya sesuai dg rencananya

anda memilih no.1 itu hak anda, saya tidak memilih salah satupun dari jawaban tsb.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 21 February 2009, 10:39:59 PM
Quote from: coedabgf on 21 February 2009, 10:29:06 PM
awam melihat keterkondisian bukan suatu khayalan, sebab belum dapat melihat kenyataan kebenaran sesungguhnya sebagai suatu kesementaraan, belum dapat  membedakan dan melepaskan segala kesia-siaan atta yang bersifat anicca dukkha anatta, meskipun berpengetahuan atau membilang yang terkondisi bersifat anicca dukkha anatta.
bagaimana mungkin "atta" bisa melepas kesia-siaan "atta"?
bagaimana x dapat melepas x?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 21 February 2009, 10:44:21 PM
alami : marapun tahu (ciri-ciri) bahwa waktunya sudah (mendekat) habis, tetapi bukan karena atas perintah (permintaan) atau kehendak (rancangan) mara guru Buddha meninggal.

tulisan untuk pernyatan dibawah : ada ceritanyakan atau tertulis di sutta.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 21 February 2009, 10:48:43 PM
Quote from: coedabgf on 21 February 2009, 10:44:21 PM
alami : marapun tahu bahwa waktunya sudah (mendekat) habis, tetapi bukan karena atas perintah atau kehendak (rancangan) mara guru Buddha meninggal.

lho kok malah ada issue perintah atau kehendak mara? ???
bukankah kalau kehendak mara, buddha parinibbana seketika juga?
kemudian Buddha memberitahukan rancangannya sendiri.

saya rasa kita sudah terlalu jauh dari topik, & saya pun tidak tertarik atas misteri parinibbana Buddha.

dan lagi sepertinya tidak ada apa2 lagi yg baru utk kita diskusikan...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: ENCARTA on 21 February 2009, 10:49:15 PM
apa buddha mengajarkan keseimbangan? alami?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 21 February 2009, 10:50:10 PM
kutipan tesla :
Quote from: coedabgf on Today at 10:29:06 PM
awam melihat keterkondisian bukan suatu khayalan, sebab belum dapat melihat kenyataan kebenaran sesungguhnya sebagai suatu kesementaraan, belum dapat  membedakan dan melepaskan segala kesia-siaan atta yang bersifat anicca dukkha anatta, meskipun berpengetahuan atau membilang yang terkondisi bersifat anicca dukkha anatta.

bagaimana mungkin "atta" bisa melepas kesia-siaan "atta"?
bagaimana x dapat melepas x?


makanya dibilang 'awam melihat keterkondisian bukan suatu khayalan', 'sebab belum dapat melihat kenyataan kebenaran sesungguhnya sebagai suatu kesementaraan, belum dapat  membedakan dan melepaskan segala kesia-siaan atta yang bersifat anicca dukkha anatta, meskipun berpengetahuan atau membilang yang terkondisi bersifat anicca dukkha anatta.'
sehingga membacapun menimbulkan kebingungan/kekacauan melihat apa sih yang tertulis sebenarnya?.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 21 February 2009, 10:55:03 PM
kutipan tulisan encarta :
apa buddha mengajarkan keseimbangan? alami?


Alami menurut ukuran siapa?
yang alami atau awan/wajar menurut pandangan yang tercerahkan beda gak.. dengan apa yang dilihat awam tentang sesuatu yang alami atau yang disebut awam/wajar oleh mereka yang belum tercerahkan?

kutipan :
Subhuti, bagaimana pendapatmu? Jika ada orang yang mengatakan bahwa Tathagatha mempunyai pikiran : "Aku akan membebaskan semua makhluk hidup".
Subhuti, jangan mempunyai pikiran demikian. Mengapa?
Karena sebenarnya tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha.
Jika ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha, maka Tathagatha akan mempunyai konsepsi keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan.
Subhuti, keberadaan konsepsi keakuan dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan keberadaan konsepsi diri
tetapi orang awam menganggapnya sebagai keberadaan konsepsi keakuan.
Subhuti, orang awam dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan orang awam. Oleh sebab itu dinamakan orang awam.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 21 February 2009, 11:32:37 PM
Quote from: coedabgf on 21 February 2009, 10:50:10 PM
sehingga membacapun menimbulkan kebingungan/kekacauan melihat apa sih yang tertulis sebenarnya?.
tulisan anda tidak membingungkan, hanya saja fondasi pemikiran kita memang berbeda & tidak dapat dipertemukan lagi:

saya berpendapat, seorang (orang biasa) putthujana tidak melihat keterkondisian. apabila ia melihat keterkondisian, ia dapat mengerti anicca-dukkha-anatta & seketika itu ia bukan lagi putthujana, melainkan ariya.

anda berpendapat, seorang awam melihat keterkondisian bukan suatu khayalan dst...

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: BlackDragon on 22 February 2009, 12:46:11 AM
QuoteQuote from: BlackDragon on 20 February 2009, 11:54:43 PM
Wah baru tahu neh ada arahat bunuh diri?
Setahu saya seorang Arahat mempunyai Batin yg stabil, walaupun jasmani nya menderita.
Beneran kah?
Atas alasan apa beliau bunuh diri?
atau penafsiran semata?





Mas Naga Hitam,

Menurut pandangan aliran "T", seorang Arahat meneruskan sisa kehidupan bukan berdasarkan kemelekatan terhadap kehidupan, tetapi disebabkan kesadaran sebagai bentuk belas kasihan terhadap mahluk lain, dengan mengetahui Ia dapat membimbing mahluk lain mencapai Nirvana seperti dirinya, selain itu untuk mereka yang kurang berkembang batinnya seorang Arahat dapat memberikan berkah dengan menerima dana yang diberikan oleh orang lain.

Seorang Arahat memasuki Nirvana, menurut aliran "T" disebut Parinibbana, karena merasa sudah cukup berbuat bagi mahluk lain, mereke Parinirvana dengan salah satu dari empat posisi, yaitu posisi duduk, berdiri, berbaring dan berjalan.

Dalam salah satu cerita dikatakan ada seorang bhikkhu senior yang ingin mendorong para yunior agar rajin berlatih, Ia memperagakan cara Parinirvana dengan berjalan, ceritanya demikian:

"Suatu ketika Bhikkhu senior ini melihat usia kehidupannya sudah habis, lalu bertanya kepada para yunior, "avuso, ada berapa macamkah cara Parinibbana yang anda ketahui?  para Bhikkhu ada yang menjawab saya perlnah melihat dalam posisi duduk bhantek, saya melihat dalam posisi berbaring, saya melihat dalam posisi tidur bhante>"

"Apakah ada diantara kalian yang pernah melihat Parinibbana dalam posisi berjalan? Semua bhikkhu menjawab 'belum bhante', 'nah kalau begitu perhatikan baik-baik, saya akan berjalan dari sini ke arah sana kemudian Parinibbana' (Beliau kemudian memasang garis, lalu kembali ke tempat semula) setelah kembali ke garis semula Beliau mulai berjalan, setelah sampai di garis akhir Beliau langsung Parinirvana.

Jadi bedakan, memasuki Parinirvana adalah melepaskan semua kondisi tanpa sisa.
Sedangkan bunuh diri yang dilakukan oleh umat awam adalah membunuh sesosok mahluk hidup.
Gitu lho mas pendapat saya.

Oh begitu toh ceritanya...

menurut saya ini seh cuma di Dramalisir kalo dibilang bunuh diri.
saya pikir ada Arahat yg krn tdk betah dgn kondisi hidup nya lantas bunuh diri. ;D

Thx Bro Truth, saya jd jelas skrg. :)

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: BlackDragon on 22 February 2009, 12:51:49 AM
Quote from: chingik on 21 February 2009, 02:59:15 PM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 10:50:12 PM
mas Chingik nanya dong.

Kan dikatakan Arahat belum sungguh sungguh mencapai Nirvana. Jadi siapa sih yang dibimbing oleh Shakyamuni Buddha yang telah mengalami Nirvana seutuhnya seperti Sang Buddha?

Terima kasih atas penjelasannya.

_/\_
Tenang aja, semua siswa Buddha telah dibimbing utk mencapai nirvana.  Karena ini memang ikrar dari Sang Buddha saat menjadi Bodhisatta.
Dalam Sutra BaoYuJing , Ketika Cahaya tubuh Buddha Sakyamuni memancar hingga ke sebuah semesta lain bernama dunia Padma, di sana Bodhisatva ZiGai bertanya kpd Buddha Padmacaksu, ........................................

Stop, stop, ...percuma deh kalo dilanjutin , karena bro sekali dengar terdapat sebuah dunia bernama Padma saja, batin bro sudah langsung antipati, apalagi penjelasan lanjutannya..huehue...
Benar kata bro Edward, Gak ada abisnya kalo dibahas...
Wong,  Avatamsaka Sutra yang bisa menjelaskan tentang kosmologi Buddhis yg ilustrasinya sama seperti galaksi2 temuan para ilmuan aja juga kagak diterima sama 'T', mau ngomong apa lagi...hehe..

Masa seh Bro chingik, kayanya di ajaran T saya pernah deh membaca sutta yg membabarkan ttg alam semesta.

Neh kutipannya:

Alam Semesta

Menurut pandangan Buddhis, alam semesta ini luas sekali. Dalam alam semesta terdapat banyak tata surya yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Hal ini diterangkan oleh Sang Buddha sebagai jawaban atas pertanyaan bhikkhu Ananda dalam Anguttara Nikaya sebagai berikut :

Ananda apakah kau pernah mendengar tentang seribu Culanika loka dhatu (tata surya kecil) ? ....... Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu jambudipa, seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana ....... Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu). *
Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan "Dvisahassi majjhimanika lokadhatu". Ananda, seribu kali Dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan "Tisahassi Mahasahassi Lokadhatu".

Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suara-Nya sampai terdengar di Tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.
Sesuai dengan kutipan di atas dalam sebuah Dvisahassi Majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam Tisahassi Mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyard tata surya saja, tetapi masih melampauinya lagi.


(CMIIW)


_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 22 February 2009, 01:08:48 AM
Quote from: truth lover on 18 February 2009, 10:50:12 PM
Quotemas Chingik nanya dong.

Kan dikatakan Arahat belum sungguh sungguh mencapai Nirvana. Jadi siapa sih yang dibimbing oleh Shakyamuni Buddha yang telah mengalami Nirvana seutuhnya seperti Sang Buddha?

Terima kasih atas penjelasannya.

QuoteTenang aja, semua siswa Buddha telah dibimbing utk mencapai nirvana.  Karena ini memang ikrar dari Sang Buddha saat menjadi Bodhisatta.
Dalam Sutra BaoYuJing , Ketika Cahaya tubuh Buddha Sakyamuni memancar hingga ke sebuah semesta lain bernama dunia Padma, di sana Bodhisatva ZiGai bertanya kpd Buddha Padmacaksu, ........................................

Terima kasih atas penjelasannya mas Chingik, tapi saya merasa belum mendapat jawaban dari mas Chingik, karena saya ingin mengetahui siapakah orang yang telah dibimbing Sang Buddha Shakyamuni hingga mencapai Nirvana (tentu Nirvana sepenuhnya bukan Nirvana sebagian seperti yang dicapai Arahat). tolong sebutkan namanya mas.
QuoteStop, stop, ...percuma deh kalo dilanjutin , karena bro sekali dengar terdapat sebuah dunia bernama Padma saja, batin bro sudah langsung antipati, apalagi penjelasan lanjutannya..huehue...Benar kata bro Edward, Gak ada abisnya kalo dibahas...
Wong,  Avatamsaka Sutra yang bisa menjelaskan tentang kosmologi Buddhis yg ilustrasinya sama seperti galaksi2 temuan para ilmuan aja juga kagak diterima sama 'T', mau ngomong apa lagi...hehe..

Mengapa mas Chingik kok merasa demikian? Bukankah hanya orang bodoh yang tak mau menerima penjelasan yang masuk diakal? Saya rasa saya senang-senang saja mendapat penjelasan, wong saya memang meminta penjelasan kok.

Boleh tahu apa relevansinya kosmologi dengan mereka yang diselamatkan oleh Sang Buddha Shakyamuni? Memang bicara mengenai Kosmologi ada yang lebih kompeten untuk mendiskusikan mengenai kosmologi, yaitu pengarang buku kosmologi yang versi ebooknya sudah bisa di download di website ini.  Untuk mengetahui lebih jelas buku itu tanyakan kepada mas Sumedho.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 22 February 2009, 08:59:54 AM
Quote from: tesla on 21 February 2009, 09:54:16 PM
Quote from: coedabgf on 21 February 2009, 09:20:09 PM
[at] tesla,
klo itu bunuh diri bukan? atau guru Buddha tetap berjaga sampai batas waktunya (tidak memperpendek atau memperpanjang, bukan keputusan diri tetapi mengikuti jalan/proses alamiah sampai habis genap waktunya?
kalau arahat atau buddha mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak bisa disebut bunuh diri, karena tidak ada diri di sana,  terserah bagaimanapun cara mereka mengakhirinya.

bisa dengan kesaktian (dg meninggal diam atau bahkan dg membakar tubuh sendiri), ataupun kalau tidak punya kesaktian bisa dg alat bantu seperti pisau.

utk kasus Buddha Gotama, ada banyak pendapat mengenai parinibbananya. Dalam kitab pali sepertinya ada dijelaskan bahwa seorang Buddha tidak dapat mati kecuali dirinya menginginkannya. artinya parinibbananya adalah "keinginannya". (tentu saja saya tidak menganggap itu bunuh diri, dan ini bukan diskriminasi tanpa sebab antara putthujana & arahat)

Maaf mas Tesla mau bertanya nih, apakah hanya Buddha dan Arahat yang tidak punya diri? bagaimana dengan kita atau Anagami hingga Sotapanna?

terima kasih atas penjelasannya.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 22 February 2009, 09:27:42 AM
Quote from: truth lover on 22 February 2009, 08:59:54 AM
Quote from: tesla on 21 February 2009, 09:54:16 PM
Quote from: coedabgf on 21 February 2009, 09:20:09 PM
[at] tesla,
klo itu bunuh diri bukan? atau guru Buddha tetap berjaga sampai batas waktunya (tidak memperpendek atau memperpanjang, bukan keputusan diri tetapi mengikuti jalan/proses alamiah sampai habis genap waktunya?
kalau arahat atau buddha mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak bisa disebut bunuh diri, karena tidak ada diri di sana,  terserah bagaimanapun cara mereka mengakhirinya.

bisa dengan kesaktian (dg meninggal diam atau bahkan dg membakar tubuh sendiri), ataupun kalau tidak punya kesaktian bisa dg alat bantu seperti pisau.

utk kasus Buddha Gotama, ada banyak pendapat mengenai parinibbananya. Dalam kitab pali sepertinya ada dijelaskan bahwa seorang Buddha tidak dapat mati kecuali dirinya menginginkannya. artinya parinibbananya adalah "keinginannya". (tentu saja saya tidak menganggap itu bunuh diri, dan ini bukan diskriminasi tanpa sebab antara putthujana & arahat)

Maaf mas Tesla mau bertanya nih, apakah hanya Buddha dan Arahat yang tidak punya diri? bagaimana dengan kita atau Anagami hingga Sotapanna?

terima kasih atas penjelasannya.

_/\_

anicca = not self... bukan no self (tidak ada diri)...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 22 February 2009, 12:38:19 PM
Quote from: truth lover on 22 February 2009, 08:59:54 AM
Maaf mas Tesla mau bertanya nih, apakah hanya Buddha dan Arahat yang tidak punya diri? bagaimana dengan kita atau Anagami hingga Sotapanna?

terima kasih atas penjelasannya.

_/\_

kata "punya"/"tidak punya" sendiri mengandung arti ada subjek (diri) yg memiliki/tidak memiliki, shg utk menjawab pertanyaan tersebut berarti saya harus menganggap bahwa Arahat atau Buddha adalah suatu subjek (diri) yg dapat memiliki ataupun tidak memiliki. dan ini menjadi tidak valid.

---

dalam diri kita, seorang putthujana (saya asumsikan anda & saya adalah putthujana), ketika mencerapi sesuatu selalu ada pikiran "aku & milikku" sebagai manifestasi kelekatan thd 5 kelompok penyusun mahkluk hidup. sederhananya kita tidak pernah mau menerima fakta anicca, dukkha & anatta.

seorang sekha (ariya non arahat), sudah pernah mengalami fakta secara utuh, shg ia tidak menolak lagi fakta anicca,dukkha & anatta. namun kelekatan itu sendiri belum musnah total, shg ketika mencerapi, kadang2 ada pikiran "aku & milikku" yg muncul. kadang2 tidak.

seorang arahat (dan Buddha tentunya), telah berhasil memusnahkan kemelekatannya secara tuntas, shg pikiran "ini aku, ini milikku" tidak muncul sama sekali.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 22 February 2009, 12:42:55 PM
Quote from: dilbert on 22 February 2009, 09:27:42 AM
Quote from: truth lover on 22 February 2009, 08:59:54 AM
Quote from: tesla on 21 February 2009, 09:54:16 PM
Quote from: coedabgf on 21 February 2009, 09:20:09 PM
[at] tesla,
klo itu bunuh diri bukan? atau guru Buddha tetap berjaga sampai batas waktunya (tidak memperpendek atau memperpanjang, bukan keputusan diri tetapi mengikuti jalan/proses alamiah sampai habis genap waktunya?
kalau arahat atau buddha mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak bisa disebut bunuh diri, karena tidak ada diri di sana,  terserah bagaimanapun cara mereka mengakhirinya.

bisa dengan kesaktian (dg meninggal diam atau bahkan dg membakar tubuh sendiri), ataupun kalau tidak punya kesaktian bisa dg alat bantu seperti pisau.

utk kasus Buddha Gotama, ada banyak pendapat mengenai parinibbananya. Dalam kitab pali sepertinya ada dijelaskan bahwa seorang Buddha tidak dapat mati kecuali dirinya menginginkannya. artinya parinibbananya adalah "keinginannya". (tentu saja saya tidak menganggap itu bunuh diri, dan ini bukan diskriminasi tanpa sebab antara putthujana & arahat)

Maaf mas Tesla mau bertanya nih, apakah hanya Buddha dan Arahat yang tidak punya diri? bagaimana dengan kita atau Anagami hingga Sotapanna?

terima kasih atas penjelasannya.

_/\_

anicca = not self... bukan no self (tidak ada diri)...

anatta kali yah...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 22 February 2009, 08:48:53 PM
Quote from: dilbert on 22 February 2009, 09:27:42 AM
Quote from: truth lover on 22 February 2009, 08:59:54 AM
Quote from: tesla on 21 February 2009, 09:54:16 PM
Quote from: coedabgf on 21 February 2009, 09:20:09 PM
[at] tesla,
klo itu bunuh diri bukan? atau guru Buddha tetap berjaga sampai batas waktunya (tidak memperpendek atau memperpanjang, bukan keputusan diri tetapi mengikuti jalan/proses alamiah sampai habis genap waktunya?
kalau arahat atau buddha mengakhiri hidupnya, sebenarnya tidak bisa disebut bunuh diri, karena tidak ada diri di sana,  terserah bagaimanapun cara mereka mengakhirinya.

bisa dengan kesaktian (dg meninggal diam atau bahkan dg membakar tubuh sendiri), ataupun kalau tidak punya kesaktian bisa dg alat bantu seperti pisau.

utk kasus Buddha Gotama, ada banyak pendapat mengenai parinibbananya. Dalam kitab pali sepertinya ada dijelaskan bahwa seorang Buddha tidak dapat mati kecuali dirinya menginginkannya. artinya parinibbananya adalah "keinginannya". (tentu saja saya tidak menganggap itu bunuh diri, dan ini bukan diskriminasi tanpa sebab antara putthujana & arahat)

Maaf mas Tesla mau bertanya nih, apakah hanya Buddha dan Arahat yang tidak punya diri? bagaimana dengan kita atau Anagami hingga Sotapanna?

terima kasih atas penjelasannya.

_/\_

anicca = not self... bukan no self (tidak ada diri)...

Bila bukan no self (tidak ada diri); apakah ada diri?

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 22 February 2009, 08:53:14 PM
gini ajah deh
no permanent self
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 22 February 2009, 08:56:54 PM
Quote from: tesla on 22 February 2009, 12:38:19 PM
Quote from: truth lover on 22 February 2009, 08:59:54 AM
Maaf mas Tesla mau bertanya nih, apakah hanya Buddha dan Arahat yang tidak punya diri? bagaimana dengan kita atau Anagami hingga Sotapanna?

terima kasih atas penjelasannya.

_/\_

kata "punya"/"tidak punya" sendiri mengandung arti ada subjek (diri) yg memiliki/tidak memiliki, shg utk menjawab pertanyaan tersebut berarti saya harus menganggap bahwa Arahat atau Buddha adalah suatu subjek (diri) yg dapat memiliki ataupun tidak memiliki. dan ini menjadi tidak valid.

maaf salah kata, saya ulangi pertanyaannya: Maaf mas Tesla mau bertanya nih, apakah hanya Buddha dan Arahat yang tidak ada diri? bagaimana dengan kita atau Anagami hingga Sotapanna?

terima kasih atas penjelasannya.
---
Quote
dalam diri kita, seorang putthujana (saya asumsikan anda & saya adalah putthujana), ketika mencerapi sesuatu selalu ada pikiran "aku & milikku" sebagai manifestasi kelekatan thd 5 kelompok penyusun mahkluk hidup. sederhananya kita tidak pernah mau menerima fakta anicca, dukkha & anatta
.
Ada diri atau tidak?

Quoteseorang sekha (ariya non arahat), sudah pernah mengalami fakta secara utuh, shg ia tidak menolak lagi fakta anicca,dukkha & anatta. namun kelekatan itu sendiri belum musnah total, shg ketika mencerapi, kadang2 ada pikiran "aku & milikku" yg muncul. kadang2 tidak.

Masih tidak menghilangkan kebingungan saya, ada diri atau tidak?

Quoteseorang arahat (dan Buddha tentunya), telah berhasil memusnahkan kemelekatannya secara tuntas, shg pikiran "ini aku, ini milikku" tidak muncul sama sekali.

Yang ini mas Tesla sendiri sudah bilang tidak ada diri kan?

Terima kasih atas penjelasannya.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 22 February 2009, 09:00:04 PM
Quote from: Wolverine on 22 February 2009, 08:53:14 PM
gini ajah deh
no permanent self

Mas Wolverine,

jika demikian self tidak permanen, berarti kadang ada self kadang tidak ada self,
atau suatu ketika kita pernah ada self lalu suatu ketika self kita akan lenyap, apakah demikian?

Terima kasih atas penjelasannya

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Indra on 22 February 2009, 09:34:08 PM
Saudara pencinta kebenaran, ijinkan saya promosi sejenak. Silahkan anda baca buku Komentar Anattalakkhana Sutta & Malukyaputta Sutta, dalam buku ini Anatta dijelaskan dengan sangat baik sekali oleh YM Mahasi Sayadaw. silahkan download dan baca.
http://dhammacitta.org/perpustakaan/ebook/theravada/komentar-anattalakkhana-sutta-dan-malukyaputta-sutta

GRATIS!!
_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 22 February 2009, 10:10:55 PM
Quote from: truth lover on 22 February 2009, 08:56:54 PM
Quote
dalam diri kita, seorang putthujana (saya asumsikan anda & saya adalah putthujana), ketika mencerapi sesuatu selalu ada pikiran "aku & milikku" sebagai manifestasi kelekatan thd 5 kelompok penyusun mahkluk hidup. sederhananya kita tidak pernah mau menerima fakta anicca, dukkha & anatta
.
Ada diri atau tidak?

Quoteseorang sekha (ariya non arahat), sudah pernah mengalami fakta secara utuh, shg ia tidak menolak lagi fakta anicca,dukkha & anatta. namun kelekatan itu sendiri belum musnah total, shg ketika mencerapi, kadang2 ada pikiran "aku & milikku" yg muncul. kadang2 tidak.

Masih tidak menghilangkan kebingungan saya, ada diri atau tidak?

Quoteseorang arahat (dan Buddha tentunya), telah berhasil memusnahkan kemelekatannya secara tuntas, shg pikiran "ini aku, ini milikku" tidak muncul sama sekali.

Yang ini mas Tesla sendiri sudah bilang tidak ada diri kan?

Terima kasih atas penjelasannya.

_/\_

saya telah menjawab anda dalam pemahaman saya tentang apa itu diri (atta).
sebagaimana kita tahu manusia (mahkluk) tersusun atas 5 kelompok (tubuh, perasaan, percerapan, bentukan mental & kesadaran). krn ada kelekatan (upadana) di dalamnya, disitulah muncul diri. paham tentang diri, adalah kelekatan yg paling mendasar.

oleh karena itu saya menjawab dg manifestasi dari kelekatan itu terhadap pikiran. karena kelekatanan (upadana) ini tidak dapat terpisah dari panca khanda itu sendiri.
dalam pikiran seorang putthujana, pikirannya selalu 'ini aku, ini milikku'...

bagaimana denganmu? apakah yg kamu maksud dg "diri"?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 22 February 2009, 10:15:16 PM
CULAMALUNKYAPUTTA SUTTA

(Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya II,
Oleh : Team Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Proyek Sarana Kehidupan Beragama Buddha Departemen Agama RI, 1994)

Demikian yang saya dengar.
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, taman milik Anathapindika, Savatthi. Kotbah ini dibabarkan berkenaan dengan pertanyaan Malunkyaputta kepada Sang Buddha.


Pada suatu ketika bhikkhu Malunkyaputta sedang berdedikasi sendiri dan muncul tentang:




Dunia kekal
Dunia tidak kekal
Dunia terbatas
Dunia tak terbatas
Jiwa sama dengan jasmani
Jiwa tidak sama dengan jasmani
Setelah meninggal, Tathagata ada
Setelah meninggal, Tathagata tidak ada
Setelah meninggal, Tathagata ada dan tidak ada
Setelah meninggal, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada
Saya akan menanyakan hal-hal ini kepada Sang Bhagava. Jika, Sang Bhagava menerangkan salah satu diri hal-hal itu, maka saya akan tetap melaksanakan penghidupan suci di bawah bimbingan beliau; bila ia tidak menerangkannya, saya akan meninggalkan penghidupan suci.

Ketika hari telah petang, Malunkyaputta bangun dari meditasi dan pergi menjumpai Sang Buddha. Malunkyaputta menanyakan sepuluh hal itu dan mohon Sang Buddha memberikan jawaban dapat menjawabnya atau tidak. "Malunkyaputta, apakah saya pernah mengatakan kepadamu: Malunkyaputta, datang dan laksanakanlah penghidupan suci (brahmacari) di bawah bimbinganku dan saya akan menerangkan padamu bahwa, 'dunia kekal', 'dunia tidak kekal', setelah menilai, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada."
"Tidak. Bhante." "Apakah engkau pernah mengatakan kepadaku: 'Saya akan melaksanakan penghidupan suci di bawah bimbingan Sang Bhagava, dan Sang Bhagava akan menerangkan kepadaku tentang 'dunia kekal', 'dunia tidak kekal', .... setelah meninggal, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada."
"Tidak, Bhante."
"Bila demikian, siapakah anda dan yang akan kau tinggalkan?


Jika ada orang berkata: 'Saya tidak akan melaksanakan penghidupan suci di bawah bimbingan Sang Bhagava bila Sang Bhagava tidak menerangkan padamu 'dunia kekal', ....... setelah meninggal, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada'; karena hal itu belum diterangkan oleh Sang Tathagata maka orang itu akan mati. Misalnya, ada orang yang terkena panah beracun, lukanya dalam, karena kenalan dan keluarganya membawa seorang dokter operasi, tetapi orang itu berkata: 'Saya tak mau dokter saya, kedudukannya, aramanya, apakah ia pendek atau tinggi, hitam atau cerah kulitnya, ia tinggal di kota atau di desa .... bentuk panah yang melukai itu. Hal-hal itu belum dapat diketahui, orang itu telah meninggal, demikian pula halnya dengan kamu Malunkyaputta.


Tidak ada penghidupan suci (brahmacari) bila masih ada pandangan, 'dunia kekal', 'dunia tidak kekal', .... setelah meninggal, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada, juga masih ada kelahiran, usia tua, kematian, penderitaan, kesedihan, kesakitan, ratap tangis dan putus asa, yang saya terangkan untuk dilenyapkan sekarang di sini.


Malunkyaputta ingatlah apa yang saya tidak terangkan adalah tidak diterangkan, apa yang saya terangkan adalah diterangkan. Apakah yang saya tidak terangkan? Itu adalah 'dunia kekal, dunia tidak kekal, ..... setelah meninggal Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada.' Apa yang saya tidak terangkan ini adalah tidak menghubungkan dengan kesejahteraan, itu tidak termasuk dalam prinsip berhubungan dengan kesejahteraan, itu tidak termasuk dalam prinsip penghidupan suci (brahmacari) itu tidak mengarah ke pelenyapan nafsu, pemusnahan, kedamaian. Pengetahuan langsung (abhinna), penerangan agung (sambodhi), nibbana.


Apakah yang saya terangkan ? Itu adalah dukkha, asal mula dukkha, lenyapnya dukkha serta jalan melenyapkan dukkha (magga).


Mengapa saya terangkan ? Karena itu berhubungan dengan kesejahteraan, termasuk dalam prinsip brahmacari, mengarah ke pelenyapan nafsu, pemusnahan, kedamaian, pengetahuan langsung, penerangan agung (sambodhi), nibbana."
Itulah yang dibabarkan Sang Bhagava Bhikkhu Malunkyaputta menjadi puas dan gembira.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 22 February 2009, 11:13:20 PM
Quote from: truth lover on 22 February 2009, 08:56:54 PM
Quote
dalam diri kita, seorang putthujana (saya asumsikan anda & saya adalah putthujana), ketika mencerapi sesuatu selalu ada pikiran "aku & milikku" sebagai manifestasi kelekatan thd 5 kelompok penyusun mahkluk hidup. sederhananya kita tidak pernah mau menerima fakta anicca, dukkha & anatta
.
Ada diri atau tidak?

Quoteseorang sekha (ariya non arahat), sudah pernah mengalami fakta secara utuh, shg ia tidak menolak lagi fakta anicca,dukkha & anatta. namun kelekatan itu sendiri belum musnah total, shg ketika mencerapi, kadang2 ada pikiran "aku & milikku" yg muncul. kadang2 tidak.

Masih tidak menghilangkan kebingungan saya, ada diri atau tidak?

Quoteseorang arahat (dan Buddha tentunya), telah berhasil memusnahkan kemelekatannya secara tuntas, shg pikiran "ini aku, ini milikku" tidak muncul sama sekali.

Yang ini mas Tesla sendiri sudah bilang tidak ada diri kan?

Terima kasih atas penjelasannya.

_/\_

Quotesaya telah menjawab anda dalam pemahaman saya tentang apa itu diri (atta).
sebagaimana kita tahu manusia (mahkluk) tersusun atas 5 kelompok (tubuh, perasaan, percerapan, bentukan mental & kesadaran). krn ada kelekatan (upadana) di dalamnya, disitulah muncul diri. paham tentang diri, adalah kelekatan yg paling mendasar.

Mas Tesla, terima kasih atas jawabannya, tapi yang mana yang benar nih karena kelekatan muncul diri   atau karena kelekatan muncul paham tentang diri atau dua-duanya?

Quoteoleh karena itu saya menjawab dg manifestasi dari kelekatan itu terhadap pikiran. karena kelekatanan (upadana) ini tidak dapat terpisah dari panca khanda itu sendiri.
dalam pikiran seorang putthujana, pikirannya selalu 'ini aku, ini milikku'...

bolehkah saya bertanya? mengapa kadang-kadang saya berpikir ini bukan aku, ini bukan milikku? contohnya:
bila saya melihat orang lain, saya tidak berpikir bahwa itu adalah aku, pikiran yang muncul adalah: itu bukan aku,
begitu juga bila saya melihat barang milik orang lain, saya tidak berpikir ini milikku, pikiran yang muncul adalah: ini bukan milikku...

Quotebagaimana denganmu? apakah yg kamu maksud dg "diri"?

Maaf lho mas, selama saya belajar agama Buddha selalu hanya dikatakan batin dan jasmani, saya bingung yang dimaksud mas Tesla dengan diri itu apa yah? Oleh sebab itu saya bertanya.

Mohon penjelasan lebih lanjut

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 22 February 2009, 11:32:07 PM
Quote from: dilbert on 22 February 2009, 10:15:16 PM
CULAMALUNKYAPUTTA SUTTA

(Sumber : Kumpulan Sutta Majjhima Nikaya II,
Oleh : Team Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Proyek Sarana Kehidupan Beragama Buddha Departemen Agama RI, 1994)

Demikian yang saya dengar.
Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, taman milik Anathapindika, Savatthi. Kotbah ini dibabarkan berkenaan dengan pertanyaan Malunkyaputta kepada Sang Buddha.


Pada suatu ketika bhikkhu Malunkyaputta sedang berdedikasi sendiri dan muncul tentang:




Dunia kekal
Dunia tidak kekal
Dunia terbatas
Dunia tak terbatas
Jiwa sama dengan jasmani
Jiwa tidak sama dengan jasmani
Setelah meninggal, Tathagata ada
Setelah meninggal, Tathagata tidak ada
Setelah meninggal, Tathagata ada dan tidak ada
Setelah meninggal, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada
Saya akan menanyakan hal-hal ini kepada Sang Bhagava. Jika, Sang Bhagava menerangkan salah satu diri hal-hal itu, maka saya akan tetap melaksanakan penghidupan suci di bawah bimbingan beliau; bila ia tidak menerangkannya, saya akan meninggalkan penghidupan suci.

Ketika hari telah petang, Malunkyaputta bangun dari meditasi dan pergi menjumpai Sang Buddha. Malunkyaputta menanyakan sepuluh hal itu dan mohon Sang Buddha memberikan jawaban dapat menjawabnya atau tidak. "Malunkyaputta, apakah saya pernah mengatakan kepadamu: Malunkyaputta, datang dan laksanakanlah penghidupan suci (brahmacari) di bawah bimbinganku dan saya akan menerangkan padamu bahwa, 'dunia kekal', 'dunia tidak kekal', setelah menilai, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada."
"Tidak. Bhante." "Apakah engkau pernah mengatakan kepadaku: 'Saya akan melaksanakan penghidupan suci di bawah bimbingan Sang Bhagava, dan Sang Bhagava akan menerangkan kepadaku tentang 'dunia kekal', 'dunia tidak kekal', .... setelah meninggal, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada."
"Tidak, Bhante."
"Bila demikian, siapakah anda dan yang akan kau tinggalkan?


Jika ada orang berkata: 'Saya tidak akan melaksanakan penghidupan suci di bawah bimbingan Sang Bhagava bila Sang Bhagava tidak menerangkan padamu 'dunia kekal', ....... setelah meninggal, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada'; karena hal itu belum diterangkan oleh Sang Tathagata maka orang itu akan mati. Misalnya, ada orang yang terkena panah beracun, lukanya dalam, karena kenalan dan keluarganya membawa seorang dokter operasi, tetapi orang itu berkata: 'Saya tak mau dokter saya, kedudukannya, aramanya, apakah ia pendek atau tinggi, hitam atau cerah kulitnya, ia tinggal di kota atau di desa .... bentuk panah yang melukai itu. Hal-hal itu belum dapat diketahui, orang itu telah meninggal, demikian pula halnya dengan kamu Malunkyaputta.


Tidak ada penghidupan suci (brahmacari) bila masih ada pandangan, 'dunia kekal', 'dunia tidak kekal', .... setelah meninggal, Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada, juga masih ada kelahiran, usia tua, kematian, penderitaan, kesedihan, kesakitan, ratap tangis dan putus asa, yang saya terangkan untuk dilenyapkan sekarang di sini.


Malunkyaputta ingatlah apa yang saya tidak terangkan adalah tidak diterangkan, apa yang saya terangkan adalah diterangkan. Apakah yang saya tidak terangkan? Itu adalah 'dunia kekal, dunia tidak kekal, ..... setelah meninggal Tathagata bukan ada dan bukan tidak ada.' Apa yang saya tidak terangkan ini adalah tidak menghubungkan dengan kesejahteraan, itu tidak termasuk dalam prinsip berhubungan dengan kesejahteraan, itu tidak termasuk dalam prinsip penghidupan suci (brahmacari) itu tidak mengarah ke pelenyapan nafsu, pemusnahan, kedamaian. Pengetahuan langsung (abhinna), penerangan agung (sambodhi), nibbana.


Apakah yang saya terangkan ? Itu adalah dukkha, asal mula dukkha, lenyapnya dukkha serta jalan melenyapkan dukkha (magga).


Mengapa saya terangkan ? Karena itu berhubungan dengan kesejahteraan, termasuk dalam prinsip brahmacari, mengarah ke pelenyapan nafsu, pemusnahan, kedamaian, pengetahuan langsung, penerangan agung (sambodhi), nibbana."
Itulah yang dibabarkan Sang Bhagava Bhikkhu Malunkyaputta menjadi puas dan gembira.



24. "Para bhikkhu, siapa pun, apakah ia pertapa dan brahmana yang ajaran atau paham mereka berkenaan dengan keadaan masa lampau atau berkenaan dengan keadaan masa yang akan datang, atau pun berpaham kedua-duanya, berspekulasi mengenai keadaan yang lampau dan yang akan datang, yang dengan bermacam-macam dalil menerangkan tentang keadaan yang lampau dan yang akan datang, mereka semua telah terjerat di dalam jala 62 pandangan ini. Dengan berbagai keadaan mereka jatuh dan berada di dalamnya, dan dengan berbagai cara mereka berusaha melepaskan diri, tetapi sia-sia belaka karena mereka terjerat di dalamnya. Bagaikan seorang penjala ikan yang pandai akan menjala di sebuah kolam kecil dengan sebuah jala yang baik, berpikir: ikan apa pun yang berada dalam kolam ini, walaupun berusaha membebaskan diri, tetap semuanya akan terperangkap di dalam jala ini."

25. "Para bhikkhu, bagi Dia yang di luar jala, Ia yang telah mencapai kesempurnaan, Tathagata, yang sedang berada di hadapan kamu, karena segala belenggu pengikat penyebab kelahiran kembali telah diputuskannya. Selama kehidupan jasmaninya masih ada, maka selama itu para dewa dan manusia dapat melihatnya. Tetapi tatkala kehidupan jasmaninya terputus di akhir masa kehidupannya, maka para dewa dan manusia tidak dapat lagi melihatnya. Bagaikan sebatang pohon mangga yang ditebang, maka semua buah yang ada di pohon mengikutinya. Demikian pula, walaupun tubuh jasmani dari Dia yang telah mencapai kesempurnaan, Tathagata, masih berada di depan kamu, namun demikian semua belenggu penyebab kelahiran kembali telah diputuskannya. Selama kehidupan jasmaninya masih ada, maka selama itu para dewa dan manusia dapat melihatnya. Tetapi tatkala kehidupan jasmaninya terputus di akhir masa kehidupannya, maka para dewa dan manusia tidak dapat lagi melihatnya."
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 22 February 2009, 11:42:55 PM
QuoteMas Tesla, terima kasih atas jawabannya, tapi yang mana yang benar nih karena kelekatan muncul diri   atau karena kelekatan muncul paham tentang diri  atau dua-duanya?
paham tentang diri adalah wujud kelekatan yg paling mendasar, sedangkan wujud lainnya masih banyak. utk bahasa normalnya yg bisa dilihat dipermukaannya adalah 'ego'.

Quotebolehkah saya bertanya? mengapa kadang-kadang saya berpikir ini bukan aku, ini bukan milikku? contohnya:
bila saya melihat orang lain, saya tidak berpikir bahwa itu adalah aku, pikiran yang muncul adalah: itu bukan aku,
begitu juga bila saya melihat barang milik orang lain, saya tidak berpikir ini milikku, pikiran yang muncul adalah: ini bukan milikku...
pikiran "ini aku, ini milikku" selalu muncul dalam diri putthujana dalam artian ia selalu menghubungkan apa yg dicerapinya dg pikiran tersebut.
pikiran "bukan aku, bukan milikku" jg muncul karena hubungannya (sbg lawan) pikiran "ini aku, ini milikku".

jika tidak ada pikiran ini aku, bagaimana mungkin ada pikiran ini bukan aku?

Quote
Maaf lho mas, selama saya belajar agama Buddha selalu hanya dikatakan batin dan jasmani,
batin dan jasmani itu sama dg kelima kelompok penyusun mahkluk (panca khanda).
1. jasmani (rupa)
2. batin (perasaan; pencerapan; bentukan mental; kesadaran)

batin & jasmani sendiri belum bisa disebut sebagai diri (atta). kelekatan terhadap batin & jasmanilah baru memunculkan diri. bisa dilihat para arahat & buddha, setelah pencerahannya tetap saja memiliki batin & jasmani kan? ;)

    Melekat pada jasmani, maka 'aku ada', ...;
    melekat pada perasaan ...;
    melekat pada persepsi ...;
    melekat pada bentukan ...;
    melekat pada kesadaran, maka 'aku ada', ...."
    Khandha Samyutta ix,1

Quotesaya bingung yang dimaksud mas Tesla dengan diri itu apa yah? Oleh sebab itu saya bertanya.
lho kan sudah saya jawab:
Quotesaya telah menjawab anda dalam pemahaman saya tentang apa itu diri (atta).
sebagaimana kita tahu manusia (mahkluk) tersusun atas 5 kelompok (tubuh, perasaan, percerapan, bentukan mental & kesadaran). krn ada kelekatan (upadana) di dalamnya, disitulah muncul diri. paham tentang diri, adalah kelekatan yg paling mendasar.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: hendrako on 23 February 2009, 08:27:01 AM
Quote from: tesla on 20 February 2009, 07:51:51 AM
Quote from: hendrako on 19 February 2009, 11:40:15 PM
Quote from: chingik on 18 February 2009, 09:20:04 PM
Quote
masalah nnya...Mahayana menulis arahat masih bisa merosot.....jadi maksud nya itu apa?
Theravada sendiri tidak pernah mengatakan arahat masih bisa merosot...

apa seorang arahat masih bisa menjadi perumah tangga....
dalam arti kesucian itu bisa pelan-pelan kotor kembali.. ^^

dalam arti lain Sammasambuddha masih bisa kotor?
apabila dialasankan menjadi Arahat tidak sama Sammasambuddha dalam pencapaian..
berarti hal ini menujukkan perbedaan Nirvana kelas Arahat dan kelas Sammasambuddha.?

kalau Theravada kan tidak ada beda nibbana arahat(savaka) dan nibbana sammasambuddha( arahat juga)
sedangkan mahayana ada beda?...tolong infonya
Tafsiran kemerosotan Arahat bukan pernyataan sepihak Mahayana. Hal ini sudah terjadi perdebatan dari berbagai sekte. Sarvastivada yg bagian dari pecahan Theravada juga menyatakan kemerosotan Arahat. Masing2 punya pandangan masing2, mereka saja saling berdebat Arahat jenis apa yg merosot, jenis apa yg tidak merosot. Merosot sebatas apa, dll.
Coba kaji juga ttg Arahat yg tidak sanggup menahan sakit dan memilih bunuh diri, apa karena ada kaitan dgn kekuatiran mengalami kemerosotan, saya sejujurnya blm tahu, tapi silakan kemukakan pandangan anda. NO problem. hehe..

Apakah ada contoh bahwa ada Arahat yg bunuh diri?
Setahu saya, di dalam Theravada, seorang Sotapana "saja" tidak akan bisa melakukan tindakan bunuh diri. Apalagi seorang Arahat?

Ada (coba tanya sdr. Wolverine utk referensinya)

Bagi saya, bunuh diri seorang Arahat dan putthujana adalah berbeda. Ketika seorang putthujana bunuh diri, ada "dirinya" yg menolak eksistensinya sendiri. Ketika seorang telah mencapai "sotapanna" saja, artinya orang tsb telah melenyapkan sakkaya-ditthi. di situ, tidak ada lagi "diri" yg menolak eksistensi lagi, walau aktifitas yg tampak di luar bagi kita putthujana di sana adalah bunuh diri. padahal setelah pandangan salah tentang adanya diri lenyap, "diri" mana yg mau di bunuh?

Sejauh pengetahuan saya, Arahat yg membunuh diri tidak ada.
Yang ada adalah siswa yang menjadi arahat diantara aktivitas bunuh diri (dengan menggorok leher) menjelang kematian.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 23 February 2009, 09:44:30 AM
jika anda membaca hanya sutta (MN144) maka kuat kesannya bahwa Channa telah arahat sebelum ia menggunakan pisau utk menggorok lehernya.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Sumedho on 23 February 2009, 10:22:56 AM
MN 114: Sevitabbasevitabba Sutta (Things that should and should not be practiced) ?

didalamnya hanya dialog antara Sang Buddha dengan YM Sariputta. Yang ini bukan?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 23 February 2009, 11:13:46 AM
bukan suhu, MN 144,

didalamnya ada dialog Sariputta bersama Maha Cunda berusaha mencegah Channa utk menggunakan pisau.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Sumedho on 23 February 2009, 11:16:51 AM
upss, salah nomor :))
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: cunda on 23 February 2009, 04:00:43 PM
Quote from: Sumedho on 23 February 2009, 11:16:51 AM
upss, salah nomor :))

namaste suvatthi hotu

coba suhu lihat di


Majjhimanikāye; Uparipaṇṇāsapāḷi; 5. Saḷāyatanavaggo; 2. Channovādasuttaṃ 389


thuti
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: BlackDragon on 23 February 2009, 09:21:33 PM
Quote from: tesla on 23 February 2009, 09:44:30 AM
jika anda membaca hanya sutta (MN144) maka kuat kesannya bahwa Channa telah arahat sebelum ia menggunakan pisau utk menggorok lehernya.

Permisi Bro, kalo saya mau liat cari nya dmn yah?
thx
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 23 February 2009, 10:38:05 PM
Untung sang guru Buddha tidak merancang melakukan hal itu yach pada akhir hidupnya (pada kondisi sakit), apa akibatnya klo sang Guru melakukan hal ini sebagai panutan, begitu juga pada orang-orang (murid-muridNya) yang dihormati sebagai orang bijaksana. Bisa-bisa sperti di suatu daerah di pulau jawa atau tradisi di jepang sana, dimana penduduknya cenderung menyelesaikan masalah dengan cara tersebut.  :o  ???
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 24 February 2009, 01:10:43 AM
Quote from: tesla on 22 February 2009, 11:42:55 PM
QuoteMas Tesla, terima kasih atas jawabannya, tapi yang mana yang benar nih karena kelekatan muncul diri   atau karena kelekatan muncul paham tentang diri  atau dua-duanya?
paham tentang diri adalah wujud kelekatan yg paling mendasar, sedangkan wujud lainnya masih banyak. utk bahasa normalnya yg bisa dilihat dipermukaannya adalah 'ego'.

Quotebolehkah saya bertanya? mengapa kadang-kadang saya berpikir ini bukan aku, ini bukan milikku? contohnya:
bila saya melihat orang lain, saya tidak berpikir bahwa itu adalah aku, pikiran yang muncul adalah: itu bukan aku,
begitu juga bila saya melihat barang milik orang lain, saya tidak berpikir ini milikku, pikiran yang muncul adalah: ini bukan milikku...
pikiran "ini aku, ini milikku" selalu muncul dalam diri putthujana dalam artian ia selalu menghubungkan apa yg dicerapinya dg pikiran tersebut.
pikiran "bukan aku, bukan milikku" jg muncul karena hubungannya (sbg lawan) pikiran "ini aku, ini milikku".

jika tidak ada pikiran ini aku, bagaimana mungkin ada pikiran ini bukan aku?

Quote
Maaf lho mas, selama saya belajar agama Buddha selalu hanya dikatakan batin dan jasmani,
batin dan jasmani itu sama dg kelima kelompok penyusun mahkluk (panca khanda).
1. jasmani (rupa)
2. batin (perasaan; pencerapan; bentukan mental; kesadaran)

batin & jasmani sendiri belum bisa disebut sebagai diri (atta). kelekatan terhadap batin & jasmanilah baru memunculkan diri. bisa dilihat para arahat & buddha, setelah pencerahannya tetap saja memiliki batin & jasmani kan? ;)

    Melekat pada jasmani, maka 'aku ada', ...;
    melekat pada perasaan ...;
    melekat pada persepsi ...;
    melekat pada bentukan ...;
    melekat pada kesadaran, maka 'aku ada', ...."
    Khandha Samyutta ix,1

Quotesaya bingung yang dimaksud mas Tesla dengan diri itu apa yah? Oleh sebab itu saya bertanya.
lho kan sudah saya jawab:
Quotesaya telah menjawab anda dalam pemahaman saya tentang apa itu diri (atta).
sebagaimana kita tahu manusia (mahkluk) tersusun atas 5 kelompok (tubuh, perasaan, percerapan, bentukan mental & kesadaran). krn ada kelekatan (upadana) di dalamnya, disitulah muncul diri. paham tentang diri, adalah kelekatan yg paling mendasar.


terima kasih atas penjelasannya,

Jadi benar menurut pendapat mas Tesla bahwa semula ada diri, setelah mencapai pencerahan diri menjadi tiada.

Diri muncul karena pikiran "ini aku, ini milikku" selalu muncul dalam diri putthujana dalam artian ia selalu menghubungkan apa yg dicerapinya dg pikiran tersebut.

Setelah mencapai pencerahan yang tinggal hanya batin dan jasmani, karena diri yang timbul karena pikiran selalu menghubungkan apa yang dicerapinya sebagai "ini aku, ini milikku" telah lenyap.

Dengan demikian bila pikiran yang selalu menghubungkan apa yang dicerapinya sebagai "ini aku, ini milikku" telah lenyap maka ia telah mencapai pencerahan.

Begitukah?

QuoteMelekat pada jasmani, maka 'aku ada', ...;
    melekat pada perasaan ...;
    melekat pada persepsi ...;
    melekat pada bentukan ...;
    melekat pada kesadaran, maka 'aku ada', ...."
    Khandha Samyutta ix,1

ada di website mana nih mas? kok saya nggak ketemu?

Mohon penjelasan lebih lanjut.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 24 February 2009, 01:29:15 AM
Quote from: truth lover on 24 February 2009, 01:10:43 AM
Jadi benar menurut pendapat mas Tesla bahwa semula ada diri, setelah mencapai pencerahan diri menjadi tiada.
justru itu, tergantung definisi "diri" mas truth lover dahulu.
jika dalam pengertian bahwa ada diri yg merupakan dasar atau esensi dari kelima kelompok (tubuh dan bathin), maka sejak semula itu tidak ada.

diri yg saya maksud adalah kelekatan terhadap kelima kelompok itu sendiri.

Quote
Setelah mencapai pencerahan yang tinggal hanya batin dan jasmani, karena diri yang timbul karena pikiran selalu menghubungkan apa yang dicerapinya sebagai "ini aku, ini milikku" telah lenyap.

sepertinya terbalik, justru karena ada "diri" maka, pikiran tersebut selalu muncul, bahwa "ini aku, ini milikku".

Quote
Dengan demikian bila pikiran yang selalu menghubungkan apa yang dicerapinya sebagai "ini aku, ini milikku" telah lenyap maka ia telah mencapai pencerahan.

Begitukah?
jika pandangan yg salah ini telah berhasil dihancurkan, maka artinya ia berhasil menghancurkan satu (cuma satu) belenggu rendah, yaitu sakkaya ditthi.

utk pencerahan menjadi ariya, mis: sotapanna, harus ada 3 belenggu yg dihancurkan.
pandangan tentang diri, keraguan dan kemelekatan terhadap ritual atau latihan2.

Quote
QuoteMelekat pada jasmani, maka 'aku ada', ...;
    melekat pada perasaan ...;
    melekat pada persepsi ...;
    melekat pada bentukan ...;
    melekat pada kesadaran, maka 'aku ada', ...."
    Khandha Samyutta ix,1

ada di website mana nih mas? kok saya nggak ketemu?
bagian dari tipitaka

Quote
Mohon penjelasan lebih lanjut.

_/\_
bagian mana yg ingin diperjelas?
coba lihat juga Nibbana, Atta & Anatta (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=9149.0), essay tentang nibbana yg ditulis oleh Nyanavira Thera
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 24 February 2009, 01:45:34 AM
Quoteada di website mana nih mas? kok saya nggak ketemu?
ini versi lengkapnya:

Quote
9. Theravaggo

1. Ānandasuttaṃ

83. Sāvatthinidānaṃ . Tatra kho āyasmā ānando bhikkhū āmantesi – ''āvuso, bhikkhave''ti. ''Āvuso''ti kho te bhikkhū āyasmato ānandassa paccassosuṃ. Āyasmā ānando etadavoca –

''Puṇṇo nāma, āvuso, āyasmā mantāṇiputto [mantāniputto (ka. sī. syā. kaṃ. pī. ka.)] amhākaṃ navakānaṃ sataṃ bahūpakāro hoti. So amhe iminā ovādena ovadati – 'upādāya, āvuso ānanda, asmīti hoti, no anupādāya. Kiñca upādāya asmīti hoti, no anupādāya? Rūpaṃ upādāya asmīti hoti, no anupādāya. Vedanaṃ... saññaṃ... saṅkhāre... viññāṇaṃ upādāya asmīti hoti, no anupādāya'''.

''Seyyathāpi, āvuso ānanda, itthī vā puriso vā daharo yuvā maṇḍanakajātiko ādāse vā parisuddhe pariyodāte acche vā udakapatte sakaṃ mukhanimittaṃ paccavekkhamāno upādāya passeyya, no anupādāya; evameva kho, āvuso ānanda, rūpaṃ upādāya asmīti hoti, no anupādāya. Vedanaṃ... saññaṃ... saṅkhāre... viññāṇaṃ upādāya asmīti hoti, no anupādāya.

''Taṃ kiṃ maññasi, āvuso ānanda, 'rūpaṃ niccaṃ vā aniccaṃ vā'''ti? 'Aniccaṃ, āvuso'. Vedanā... saññā ... saṅkhārā... viññāṇaṃ niccaṃ vā aniccaṃ vā'ti? 'Aniccaṃ, āvuso'. Tasmātiha...pe... evaṃ passaṃ...pe... nāparaṃ itthattāyāti pajānātīti. Puṇṇo nāma āvuso āyasmā mantāṇiputto amhākaṃ navakānaṃ sataṃ bahūpakāro hoti. So amhe iminā ovādena ovadati. Idañca pana me āyasmato puṇṇassa mantāṇiputtassa dhammadesanaṃ sutvā dhammo abhisamitoti. Paṭhamaṃ.

Rūpaṃ upādāya asmīti hoti, no anupādāya. Vedanaṃ... saññaṃ... saṅkhāre... viññāṇaṃ upādāya asmīti hoti, no anupādāya'''.

melekat pada rupa (tubuh), maka aku ada (asmiti), bukan tidak melekat (anupadaya). perasaan (vedana)... pencerapan (sanna)... bentukan mental (sankhara)... melekat pada kesadaran (vinnana), maka aku ada, bukan tidak melekat
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 24 February 2009, 01:54:02 AM
Quote from: coedabgf on 23 February 2009, 10:38:05 PM
Untung sang guru Buddha tidak merancang melakukan hal itu yach pada akhir hidupnya (pada kondisi sakit), apa akibatnya klo sang Guru melakukan hal ini sebagai panutan, begitu juga pada orang-orang (murid-muridNya) yang dihormati sebagai orang bijaksana. Bisa-bisa sperti di suatu daerah di pulau jawa atau tradisi di jepang sana, dimana penduduknya cenderung menyelesaikan masalah dengan cara tersebut.  :o  ???
tahu darimana Sang Buddha tidak merancang parinibbananya?
di parinibbana sutta, ada dalam pikiran Buddha, bahwa ia akan memberitahukan dulu pada yg mengikutinya & kemudian baru parinibbana. (seharusnya ada jg di parinirvana sutra versi mahayana)

yg kamu katakan mengenai cara tersebut, saya yakini adalah bunuh diri. pada zaman Buddha, ada beberapa bhikkhu yg bunuh diri, namun dinyatakan tidak tercela oleh Sang Buddha, diantaranya adalah: Godhika, Vakkali, Channa.

saran saya, jgn menilai suatu tindakan dari permukaannya. niat yg mendasarinyalah yg harus ditelusuri
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 24 February 2009, 03:28:26 AM
Quote
Quote from: truth lover on 24 February 2009, 01:10:43 AM
Jadi benar menurut pendapat mas Tesla bahwa semula ada diri, setelah mencapai pencerahan diri menjadi tiada.
justru itu, tergantung definisi "diri" mas truth lover dahulu.
jika dalam pengertian bahwa ada diri yg merupakan dasar atau esensi dari kelima kelompok (tubuh dan bathin), maka sejak semula itu tidak ada.

diri yg saya maksud adalah kelekatan terhadap kelima kelompok itu sendiri.

Setelah mencapai pencerahan diri ada atau tidak ada?

Quote
Quote
Setelah mencapai pencerahan yang tinggal hanya batin dan jasmani, karena diri yang timbul karena pikiran selalu menghubungkan apa yang dicerapinya sebagai "ini aku, ini milikku" telah lenyap.

sepertinya terbalik, justru karena ada "diri" maka, pikiran tersebut selalu muncul, bahwa "ini aku, ini milikku".

Setelah mencapai pencerahan diri ada atau tidak ada?

Quote
Quote
Dengan demikian bila pikiran yang selalu menghubungkan apa yang dicerapinya sebagai "ini aku, ini milikku" telah lenyap maka ia telah mencapai pencerahan.

Begitukah?
jika pandangan yg salah ini telah berhasil dihancurkan, maka artinya ia berhasil menghancurkan satu (cuma satu) belenggu rendah, yaitu sakkaya ditthi.

Setelah mencapai pencerahan diri ada atau tidak ada?

Quoteutk pencerahan menjadi ariya, mis: sotapanna, harus ada 3 belenggu yg dihancurkan.
pandangan tentang diri, keraguan dan kemelekatan terhadap ritual atau latihan2.

Setelah mencapai pencerahan diri ada atau tidak ada?

Quote
Quote
QuoteMelekat pada jasmani, maka 'aku ada', ...;
    melekat pada perasaan ...;
    melekat pada persepsi ...;
    melekat pada bentukan ...;
    melekat pada kesadaran, maka 'aku ada', ...."
    Khandha Samyutta ix,1

ada di website mana nih mas? kok saya nggak ketemu?
bagian dari tipitaka

tolong lebih jelas dan lebih detil bagian tipitaka yang mana?


Mohon penjelasan lebih lanjut.

_/\_


Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 24 February 2009, 07:21:18 AM
kutipan coeda :
Untung sang guru Buddha tidak merancang melakukan hal itu yach pada akhir hidupnya (pada kondisi sakit), apa akibatnya klo sang Guru melakukan hal ini sebagai panutan, begitu juga pada orang-orang (murid-muridNya) yang dihormati sebagai orang bijaksana. Bisa-bisa sperti di suatu daerah di pulau jawa atau tradisi di jepang sana, dimana penduduknya cenderung menyelesaikan masalah dengan cara tersebut.

kutipan tesla :
yg kamu katakan mengenai cara tersebut, saya yakini adalah bunuh diri. pada zaman Buddha, ada beberapa bhikkhu yg bunuh diri, namun dinyatakan tidak tercela oleh Sang Buddha, diantaranya adalah: Godhika, Vakkali, Channa.


'guru kencing berdiri, murid kencing berlari'.
Untung-untung.... guru Buddha tidak.  _/\_  :o  ^:)^
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 24 February 2009, 08:28:22 AM
QuoteSetelah mencapai pencerahan diri ada atau tidak ada?
jika berdasarkan definisi saya, diri adalah kelekatan thd kelima kelompok (panca upadana khanda), maka ketelah pencerahan yg tidak ada lagi kelekatan itu, shg yg tertinggal hanyalah kelima kelompok saja (panca khanda)

definisi "diri" menurut mas truth lover apa?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 24 February 2009, 08:47:50 AM
Bukan merancang-rancang sendiri menurut keinginan/kehendak bebas diri sendiri (delusi) sebagai entitas keberadaan kehidupan manusia dalam nama dan rupa, melakukan tindakan (pengrusakan, pemusnahan/penghancuran fisik (dalam hal ini dalam melakukan tindakan bunuh diri/kematian yang disengaja)) dalam menuju pencapaian Nibanna, tetapi batin mereka yang mengetahui,  ketika seseorang merasakan tubuhnya akan berakhir, ia mengerti 'Saya merasakan tubuh ini akan berakhir' dan bertindak selalu mengawasi, selalu waspada dan terjaga sampai berakhirnya (kehidupan) tubuh ini, (seperti) sesederhana ketika lampu kehabisan minyak dan sumbu.
Ini kata/pengajaran Buddha loh!

kutipan dari Nibanna, atta dan anatta tulisan tesla :
     "Saya mendengar ini dikatakan oleh Sang Bhagava, Sang Arahat:
     'Para bhikkhu, ada dua Unsur Kepadaman (nibbaanadhaatu). Apakah
     yang dua itu? Unsur Kepadaman Dengan Sisa (saupaadisesaa) dan
     Unsur Kepadaman Tanpa Sisa (anupaadisesaa).
     Para bhikkhu, yang manakah Unsur Kepadaman Dengan Sisa? Para
     bhikkhu, seorang bhikkhu adalah Arahat, yang arus kotoran batinnya
     (asava) telah musnah, yang telah menjalani hidup dan melakukan apa
     yang harus dilakukan, telah meletakkan beban, mencapai
     kesejahteraannya sendiri, memusnahkan kelekatan pada kehidupan,
     yang bebas melalui pemahaman benar. Di dalam dirinya tersisa lima
     daya (indriyaa); karena belum hancur ia menderita hal-hal yang enak
     dan yang tidak enak, ia mengalami hal-hal yang nikmat dan yang
     menyakitkan. Musnahnya nafsu, kebencian dan ketidaktahuan, para
     bhikkhu, itulah yang dinamakan Unsur Kepadaman Dengan Sisa.
     Para bhikkhu, yang manakah Unsur Kepadaman Tanpa Sisa? Para
     bhikkhu, seorang bhikkhu adalah Arahat ...(dst)... Para bhikkhu, semua
     perasaannya, yang tidak lagi menyenangi apa yang ada di sini
     sekarang, akan menjadi dingin; inilah, para bhikkhu, yang dinamakan
     Unsur Kepadaman Tanpa Sisa.
     Inilah, para bhikkhu, kedua Unsur Kepadaman.'

     Sang Bhagava mengucapkan kata-kata itu. Ini pula yang dikatakannya:
     'Kedua Unsur Kepadaman ini telah dijelaskan Oleh Yang Tak
     Terbelenggu, Sang Suci, Sang Waspada:
     Di sini, melalui penghancuran semua yang membawa pada keberadaan,
     Satu Unsur Dengan Sisa masih ada, dalam hidup ini;
     Dan satu Unsur Tanpa Sisa, yang akan datang
     Di mana makhluk-makhluk (eksistensi) semuanya berakhir.
 Batin mereka yang mengetahui keadaan tak terbentuk ini
      Bebas, melalui penghancuran semua yang membawa pada kehidupan:
      Intisari Ajaran tercapai, orang-orang ini bersukacita
      Dalam penghancuran, segala keberadaan ditanggalkan.
'
     Kata-kata ini juga diucapkan oleh Sang Bhagava, demikian kudengar."
     (Itivuttaka, Dukanipáta, II,7)


 Tanpa meninggalkan nafsu, kebencian, dan delusi, tidak ada yg bebas
     dari kelahiran...

     (Anguttara II,i,6)


 Bhikku, seperti sebuah lampu minyak yg bergantung pada minyak dan
     sumbu, dan sesederhana ketika kehabisan minyak dan sumbu, sehingga
     tanpa pendukung, lampu tersebut padam; Demikianlah, Bhikkhu, ketika
     seorang bhikkhu merasakan tubuhnya akan berakhir, ia mengerti 'Saya
     merasakan tubuh ini akan berakhir', dan ketika ia merasakan hidupnya
     akan berakhir, ia mengerti 'saya merasakan hidup ini akan berakhir', dan
     dia mengerti 'Dengan berakhirnya tubuh ini dan dengan berakhirnya
     hidup ini, semua perasaan tidak bersukacita di dalamnya, di sini dan
     sekarang akan menjadi dingin
'.
      (Vedaná Samyutta, 7)

 Para pertapa dan brahmana, bhikkhu, yg berpikir diri dalam berbagai
     bentuk, mereka semua berpikir dalam kelima kelompok kelekatan atau
     salah satu darinya.

    (Khandha Samyutta 47)

     Nibbana, bhikkhu, adalah bukan diri. Jika nibbana adalah diri, bhikkhu,
     maka nibbana tidak akan menghasilkan penderitaan, dan orang bisa
     mendapatkan nibbana, 'Biarlah nibbanaku begini, biarlah nibbanaku tidak
     begitu'.


     Dan memang, bhikkhu, nibbana adalah bukan diri, jadi nibbana
     menghasilkan penderitaan
, dan tidak seorangpun mendapat nibbana,
     'Biarlah nibbanaku begini, biarlah nibbanaku tidak begitu.
'


semoga dimengerti
good hope and love
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 24 February 2009, 09:09:10 AM
Quote
tolong lebih jelas dan lebih detil bagian tipitaka yang mana?
kan udah ditulis sejak semula: Khandha Samyutta ix,1

dan udah saya post di reply #647
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: cunda on 24 February 2009, 02:46:46 PM
Quote from: truth lover on 24 February 2009, 01:10:43 AM

terima kasih atas penjelasannya,

Jadi benar menurut pendapat mas Tesla bahwa semula ada diri, setelah mencapai pencerahan diri menjadi tiada.

Diri muncul karena pikiran "ini aku, ini milikku" selalu muncul dalam diri putthujana dalam artian ia selalu menghubungkan apa yg dicerapinya dg pikiran tersebut.

Setelah mencapai pencerahan yang tinggal hanya batin dan jasmani, karena diri yang timbul karena pikiran selalu menghubungkan apa yang dicerapinya sebagai "ini aku, ini milikku" telah lenyap.

Dengan demikian bila pikiran yang selalu menghubungkan apa yang dicerapinya sebagai "ini aku, ini milikku" telah lenyap maka ia telah mencapai pencerahan.

Begitukah?

QuoteMelekat pada jasmani, maka 'aku ada', ...;
    melekat pada perasaan ...;
    melekat pada persepsi ...;
    melekat pada bentukan ...;
    melekat pada kesadaran, maka 'aku ada', ...."
    Khandha Samyutta ix,1

ada di website mana nih mas? kok saya nggak ketemu?

Mohon penjelasan lebih lanjut.

_/\_


namaste suvatthi hotu

coba lihat di

Saṃyuttanikāyo; Khandhavaggo; 1. Khandhasaṃyuttaṃ; 1. Nakulapituvaggo; 1. Nakulapitusuttaṃ


thuti
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 24 February 2009, 02:52:58 PM
bukan di Nakulapituvaggo romo, tapi:

Saṃyuttanikāyo > Khandhavaggo > 9. Theravaggo > 1. Ānandasuttaṃ > 83. > bagian akhir paragraf ke 2

thuti
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: cunda on 24 February 2009, 03:48:45 PM
Quote from: tesla on 24 February 2009, 02:52:58 PM
bukan di Nakulapituvaggo romo, tapi:

Saṃyuttanikāyo > Khandhavaggo > 9. Theravaggo > 1. Ānandasuttaṃ > 83. > bagian akhir paragraf ke 2

thuti


namaste suvatthi hotu

anda benar lht di

Saṃyuttanikāyo; Khandhavaggo; 1. Khandhasaṃyuttaṃ; 9. Theravaggo
1. Ānandasuttaṃ 83



thuti

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: BlackDragon on 24 February 2009, 05:33:32 PM
QuoteQuote from: coedabgf on Today at 08:47:50 AM
Bukan merancang-rancang sendiri menurut keinginan/kehendak bebas diri sendiri (delusi) sebagai entitas keberadaan kehidupan manusia dalam nama dan rupa, melakukan tindakan (pengrusakan, pemusnahan/penghancuran fisik (dalam hal ini dalam melakukan tindakan bunuh diri/kematian yang disengaja)) dalam menuju pencapaian Nibanna, tetapi batin mereka yang mengetahui,  ketika seseorang merasakan tubuhnya akan berakhir, ia mengerti 'Saya merasakan tubuh ini akan berakhir' dan bertindak selalu mengawasi, selalu waspada dan terjaga sampai berakhirnya (kehidupan) tubuh ini, (seperti) sesederhana ketika lampu kehabisan minyak dan sumbu.
Ini kata/pengajaran Buddha loh!

Saya setuju dgn Bro Tesla bahwa kita tdk bisa menilai dari apa yg terlihat di permukaan.
Tapi jelas dari kutipan di atas Sang Buddha tidak membenarkan seorang Arahat membunuh diri nya sendiri dgn alasan apapun, melainkan hanya menyadari saja pada saat proses kematian diri terjadi.
Andai kata Sang Buddha pun memberitahu kpd murid2nya bahwa dia akan parinibana, saya rasa itu hanya sekedar memberitahu, bukannya merencanakan kematiannya/Parinibana.(CMIIW)
_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 24 February 2009, 05:45:41 PM
-- deleted --
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: BlackDragon on 24 February 2009, 06:18:47 PM
Quotebukan suhu, MN 144,

didalamnya ada dialog Sariputta bersama Maha Cunda berusaha mencegah Channa utk menggunakan pisau.

Permisi Bro, kalo saya mau liat cari nya dmn yah?
Kalo bisa tlg di post disini.
Maklum saya masih junior jd byk yg tdk mengerti utk buka2 perpustakaan.
Penasaran, mdh2an bisa membawa pemahaman baru.
thx  _/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 24 February 2009, 07:01:33 PM
Quote from: tesla on 24 February 2009, 08:28:22 AM
QuoteSetelah mencapai pencerahan diri ada atau tidak ada?
jika berdasarkan definisi saya, diri adalah kelekatan thd kelima kelompok (panca upadana khanda), maka ketelah pencerahan yg tidak ada lagi kelekatan itu, shg yg tertinggal hanyalah kelima kelompok saja (panca khanda)

definisi "diri" menurut mas truth lover apa?

Setelah mencapai pencerahan, diri ada atau tidak ada?


_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 24 February 2009, 09:00:43 PM
Quote from: truth lover on 24 February 2009, 07:01:33 PM
Quote from: tesla on 24 February 2009, 08:28:22 AM
QuoteSetelah mencapai pencerahan diri ada atau tidak ada?
jika berdasarkan definisi saya, diri adalah kelekatan thd kelima kelompok (panca upadana khanda), maka ketelah pencerahan yg tidak ada lagi kelekatan itu, shg yg tertinggal hanyalah kelima kelompok saja (panca khanda)

definisi "diri" menurut mas truth lover apa?

Setelah mencapai pencerahan, diri ada atau tidak ada?
_/\_
jika anda ingin tahu, baca ulang sampai tahu apa yg saya tulis



pura2 binggung, dalam hati siapa yg tau... :whistle:
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 24 February 2009, 10:01:03 PM
Quote from: BlackDragon on 24 February 2009, 05:33:32 PM
QuoteQuote from: coedabgf on Today at 08:47:50 AM
Bukan merancang-rancang sendiri menurut keinginan/kehendak bebas diri sendiri (delusi) sebagai entitas keberadaan kehidupan manusia dalam nama dan rupa, melakukan tindakan (pengrusakan, pemusnahan/penghancuran fisik (dalam hal ini dalam melakukan tindakan bunuh diri/kematian yang disengaja)) dalam menuju pencapaian Nibanna, tetapi batin mereka yang mengetahui,  ketika seseorang merasakan tubuhnya akan berakhir, ia mengerti 'Saya merasakan tubuh ini akan berakhir' dan bertindak selalu mengawasi, selalu waspada dan terjaga sampai berakhirnya (kehidupan) tubuh ini, (seperti) sesederhana ketika lampu kehabisan minyak dan sumbu.
Ini kata/pengajaran Buddha loh!

Saya setuju dgn Bro Tesla bahwa kita tdk bisa menilai dari apa yg terlihat di permukaan.
Tapi jelas dari kutipan di atas Sang Buddha tidak membenarkan seorang Arahat membunuh diri nya sendiri dgn alasan apapun, melainkan hanya menyadari saja pada saat proses kematian diri terjadi.

benar sekali, dalam kaitannya dg tulisan saya (tulisan Nyanavira Thera yg saya terjemahkan), sama sekali tidak ada Buddha membenarkan ataupun menyalahkan tindakan bunuh diri. bahkan tulisan saya yg dikutip oleh sdr. coed itu sama sekali tidak membahas tentang bunuh diri. tidak tahu mengapa sdr. coed menghubungkannya dg bunuh diri.

menanggapi pernyataan sdr. Black Dragon, mengenai apakah Sang Buddha membenarkan bunuh diri, tentu saja saya setuju, hal itu tidak ditemukan di sutta. namun ada kisah dimana Sang Buddha mempertegas bahwa bhikkhu yg bunuh diri (Channa) tidak tercela / tidak bersalah dapat ditemukan dalam sutta.

kemudian permasalahan ke2, apakah Channa mencapai kearahatannya sebelum menggunakan pisau atau sesudah menggunakan pisau? utk ini, sdr. Black Dragon harus membaca suttanya sendiri...

Quote
Andai kata Sang Buddha pun memberitahu kpd murid2nya bahwa dia akan parinibana, saya rasa itu hanya sekedar memberitahu, bukannya merencanakan kematiannya/Parinibana.(CMIIW)
_/\_
FYI, setidaknya umat Theravada percaya bahwa seorang Sammasam Buddha dapat memiliki umur hingga 1 kalpa. Dan parinibbana Buddha Gotama berada pada usianya 80 thn (bukan 1 kalpa). bagaimana menurutmu?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 24 February 2009, 10:41:35 PM
Quote from: BlackDragon on 24 February 2009, 06:18:47 PM
Quotebukan suhu, MN 144,

didalamnya ada dialog Sariputta bersama Maha Cunda berusaha mencegah Channa utk menggunakan pisau.

Permisi Bro, kalo saya mau liat cari nya dmn yah?


Utk yg bahasa inggriss, saya pakai tipitaka di website access-to-insight: http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/index.html

sayangnya MN144, belum tersedia di web access-to-insight ini...

Utk yg bahasa Pali, bisa di lihat di: http://www.tipitaka.org/romn/

QuoteKalo bisa tlg di post disini.
Maklum saya masih junior jd byk yg tdk mengerti utk buka2 perpustakaan.
Penasaran, mdh2an bisa membawa pemahaman baru.

saya akan menampilkan ringkasannya bersama dg kosakata Pali yg dianggap perlu utk menghindari kesalahan penterjemahan:


MN144. Nasehat utk Channa

[...], pada waktu itu YM Channa sedang sakit keras. YM Sariputta keluar dari samadhi menemui YM Mahacunda dan berkata, "Sahabat Cunda, mari kita temui YM Channa utk menanyakan kesehatannya". YM Mahacunda menerima ajakan YM Sariputta, mereka berdua menemui YM Channa. Setelah bertukar salam dg YM Channa, mereka duduk pada satu sisi dan YM Sariputta berkata, "Sahabat Channa, bagaimana perasaanmu? Apa dapat bertahan?[...]

"Sahabat Sariputta, aku tidak merasa baik, aku tidak akan bertahan. Rasa sakitku semakin kuat dan terus bertambah, bukan berkurang. [...menjelaskan rasa sakitnya...]. Sahabat Sariputta, aku akan menggunakan pisau, aku sudah tidak ingin hidup."

"Janganlah YM Channa menggunakan pisau! Biarlah YM Channa tetap hidup -- kami ingin YM Channa tetap hidup!"

"Jika ia kurang makanan, aku akan mencarikan makanan utknya. Jika ia kurang obat, aku akan mencarikan obat utknya. Jika ia kurang perhatian, aku akan bersamanya. Janganlah YM Channa menggunakan pisau! Biarlah YM Channa tetap hidup -- kami ingin YM Channa tetap hidup!"

"Sahabat Sariputta, bukan karena aku kekurangan makanan, atau obat, atau perhatian, namun tugasku pada Sang Guru telah selesai dari dahulu, dengan cinta dan bukan tanpa cinta.
Sahabat Saripuuta, utk murid yg telah menyelesaikan tugasnya pada Sang Guru dg cinta, ingatlah ini:
YM Channa menggunakan pisau tanpa tercela (anupavajja)"

[...kemudian YM Sariputta mengajukan pertanyaan tentang doktrin & dijawab oleh YM Channa... disusul dg YM Mahacunda memberi penjelasan tentang doktrin...]

Setelah itu, YM Sariputta bersama YM Mahacunda pergi meninggalkannya. Setelah mereka pergi, YM Channa mengambil pisau dan mengakhiri hidupnya. Kemudian YM Sariputta pergi menemui Buddha dan bertanya, "Bhante, YM Channa telah mengakhiri hidupnya, akan kemanakah ia setelah kematian?"

"Tetapi Sariputta", jawabnya, "Bukankah YM Channa mengatakannya langsung kepadamu bahwa ia tanpa cela  (anupavajjataa)!"

"Bhante, di Pajjabajira, desa Vajja, famili bhikkhu Channa adalah tidak tercela." (sepertinya Sariputta menangkap arti anupavajjataa berbeda... apa tulalit? :hammer:)

"Saripuuta, memang ada famili bhikkhu Channa yg tidak tercela, namun disini yg kukatakan adalah, seseorang yg meninggalkan jasmani sekarang dan mengambil yg lainnya, itulah yg kusebut tercela ("saupavajja"). Dan bhikkhu Channa tidak demikian. Ia mengakhiri hidupnya tanpa cela."

Setelah Sang Buddha berkata demikian, Sariputtapun bersukacita dalam penjelasan Sang Buddha.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: truth lover on 24 February 2009, 11:17:43 PM
Quote from: tesla on 24 February 2009, 09:00:43 PM
Quote from: truth lover on 24 February 2009, 07:01:33 PM
Quote from: tesla on 24 February 2009, 08:28:22 AM
QuoteSetelah mencapai pencerahan diri ada atau tidak ada?
jika berdasarkan definisi saya, diri adalah kelekatan thd kelima kelompok (panca upadana khanda), maka ketelah pencerahan yg tidak ada lagi kelekatan itu, shg yg tertinggal hanyalah kelima kelompok saja (panca khanda)

definisi "diri" menurut mas truth lover apa?

Setelah mencapai pencerahan, diri ada atau tidak ada?
_/\_
jika anda ingin tahu, baca ulang sampai tahu apa yg saya tulis



pura2 binggung, dalam hati siapa yg tau... :whistle:

^-^  Setelah mencapai pencerahan, diri ada atau tidak ada?   mana jawabannya, mannaaaa.....? ;D

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: ENCARTA on 24 February 2009, 11:24:58 PM
setelah orang meningal kelihatannya eternalis.. tapi sebenarnya juga "tidak ada" ;D
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Indra on 24 February 2009, 11:29:51 PM
Sebagian besar berbeda dgn MN 144 versi Bhikkhu Bodhi, terutama yang menyolok adalah:

Quote from: tesla on 24 February 2009, 10:41:35 PM

"Sahabat Sariputta, bukan karena aku kekurangan makanan, atau obat, atau perhatian, namun tugasku pada Sang Guru telah selesai dari dahulu, dengan cinta dan bukan tanpa cinta.
Sahabat Saripuuta, utk murid yg telah menyelesaikan tugasnya pada Sang Guru dg cinta, ingatlah ini:
YM Channa menggunakan pisau tanpa tercela (anupavajja)"


Quote
"Friend Sariputta, it is not that I have no suitable food and medicine or no proper attendant. But Rather, friend Sariputta, the Teacher has long been worshipped by me with love, not without love; for it is proper for the disciple to worship the Teacher with love, not without love. Friend Sariputta, remember this: Bhikkhu Channa will use the knife blamelessly."


Kemudian ada footnote pada bagian Channa mengakhiri hidupnya.

Quote
MA(Majjhima Nikaya Atthakatha): He cut his throat, and just as that moment the fear of death descended on him and sign of future rebirth appeared. Recognising that he was still an ordinary person, he was aroused and developed insight. Comprehending the formations, he attained arahantship just before he expired.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: BlackDragon on 25 February 2009, 04:10:34 AM
QuoteQuote
Andai kata Sang Buddha pun memberitahu kpd murid2nya bahwa dia akan parinibana, saya rasa itu hanya sekedar memberitahu, bukannya merencanakan kematiannya/Parinibana.(CMIIW)


FYI, setidaknya umat Theravada percaya bahwa seorang Sammasam Buddha dapat memiliki umur hingga 1 kalpa. Dan parinibbana Buddha Gotama berada pada usianya 80 thn (bukan 1 kalpa). bagaimana menurutmu?

:-? mgkn dgn menggunakan kesaktiannya Sang Buddha dapat hidup hingga 1 kalpa, tp justru yg dilakukan Sang Buddha hanyalah membiarkan dan menyadari proses lapuknya jasmani secara alami.

QuoteMN144. Nasehat utk Channa

[...], pada waktu itu YM Channa sedang sakit keras. YM Sariputta keluar dari samadhi menemui YM Mahacunda dan berkata, "Sahabat Cunda, mari kita temui YM Channa utk menanyakan kesehatannya". YM Mahacunda menerima ajakan YM Sariputta, mereka berdua menemui YM Channa. Setelah bertukar salam dg YM Channa, mereka duduk pada satu sisi dan YM Sariputta berkata, "Sahabat Channa, bagaimana perasaanmu? Apa dapat bertahan?[...]

"Sahabat Sariputta, aku tidak merasa baik, aku tidak akan bertahan. Rasa sakitku semakin kuat dan terus bertambah, bukan berkurang. [...menjelaskan rasa sakitnya...]. Sahabat Sariputta, aku akan menggunakan pisau, aku sudah tidak ingin hidup."

"Janganlah YM Channa menggunakan pisau! Biarlah YM Channa tetap hidup -- kami ingin YM Channa tetap hidup!"

"Jika ia kurang makanan, aku akan mencarikan makanan utknya. Jika ia kurang obat, aku akan mencarikan obat utknya. Jika ia kurang perhatian, aku akan bersamanya. Janganlah YM Channa menggunakan pisau! Biarlah YM Channa tetap hidup -- kami ingin YM Channa tetap hidup!"

"Sahabat Sariputta, bukan karena aku kekurangan makanan, atau obat, atau perhatian, namun tugasku pada Sang Guru telah selesai dari dahulu, dengan cinta dan bukan tanpa cinta.
Sahabat Saripuuta, utk murid yg telah menyelesaikan tugasnya pada Sang Guru dg cinta, ingatlah ini:
YM Channa menggunakan pisau tanpa tercela (anupavajja)"

[...kemudian YM Sariputta mengajukan pertanyaan tentang doktrin & dijawab oleh YM Channa... disusul dg YM Mahacunda memberi penjelasan tentang doktrin...]

Setelah itu, YM Sariputta bersama YM Mahacunda pergi meninggalkannya. Setelah mereka pergi, YM Channa mengambil pisau dan mengakhiri hidupnya. Kemudian YM Sariputta pergi menemui Buddha dan bertanya, "Bhante, YM Channa telah mengakhiri hidupnya, akan kemanakah ia setelah kematian?"

"Tetapi Sariputta", jawabnya, "Bukankah YM Channa mengatakannya langsung kepadamu bahwa ia tanpa cela  (anupavajjataa)!"

"Bhante, di Pajjabajira, desa Vajja, famili bhikkhu Channa adalah tidak tercela." (sepertinya Sariputta menangkap arti anupavajjataa berbeda... apa tulalit? )

"Saripuuta, memang ada famili bhikkhu Channa yg tidak tercela, namun disini yg kukatakan adalah, seseorang yg meninggalkan jasmani sekarang dan mengambil yg lainnya, itulah yg kusebut tercela ("saupavajja"). Dan bhikkhu Channa tidak demikian. Ia mengakhiri hidupnya tanpa cela."

Setelah Sang Buddha berkata demikian, Sariputtapun bersukacita dalam penjelasan Sang Buddha.

Thx Bro atas Postingannya, setidaknya saya bisa sedikit mengerti apa yg dibicarakan.
Tapi untuk yg ini sy no comment deh, krn bingung ;D
Masih tdk bisa memahami, kenapa Sang Buddha berkata demikian. ;D

Ada yg bisa comment???

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 25 February 2009, 04:42:42 AM
Quote from: Indra on 24 February 2009, 11:29:51 PM
Sebagian besar berbeda dgn MN 144 versi Bhikkhu Bodhi, terutama yang menyolok adalah:

Quote from: tesla on 24 February 2009, 10:41:35 PM

"Sahabat Sariputta, bukan karena aku kekurangan makanan, atau obat, atau perhatian, namun tugasku pada Sang Guru telah selesai dari dahulu, dengan cinta dan bukan tanpa cinta.
Sahabat Saripuuta, utk murid yg telah menyelesaikan tugasnya pada Sang Guru dg cinta, ingatlah ini:
YM Channa menggunakan pisau tanpa tercela (anupavajja)"


Quote
"Friend Sariputta, it is not that I have no suitable food and medicine or no proper attendant. But Rather, friend Sariputta, the Teacher has long been worshipped by me with love, not without love; for it is proper for the disciple to worship the Teacher with love, not without love. Friend Sariputta, remember this: Bhikkhu Channa will use the knife blamelessly."

benar sekali, saya sendiri menemui banyak kejanggalan dari terjemahan sutta ini. mis paragraf berikut:

"Sahabat Sariputta, bukan karena aku kekurangan makanan, atau obat, atau perhatian, namun tugasku pada Sang Guru telah selesai dari dahulu, dengan cinta dan bukan tanpa cinta.
Sahabat Saripuuta, utk murid yg telah menyelesaikan tugasnya pada Sang Guru dg cinta, ingatlah ini:
YM Channa menggunakan pisau tanpa tercela (anupavajja)"


jika bhikkhu Boddhi mengusulkan kalimat ke2 menggunakan kata kerja worship (menyembah), saya mengusulkan kata kerja tugas (melayani). kedua2nya sama-sama janggal, namun kalimat berikutnya itu menambah kejanggalannya: sudah seharusnya (proper) bagi murid/pengikut "menyembah" gurunya? (tidak heran jika sekarang umat Buddha menjadi penuh ritual penyembahan yah ;) )

& bagaimanapun kalimat ke2 ini diterjemahkan dalam arti2 yg lain, tidak dapat menghilangkan misteri apakah Channa telah arahat yg berada di akhir kalimat (misalnya kalimat itu saya hilangkan):

"Sahabat Sariputta, bukan karena aku kekurangan makanan, atau obat, atau perhatian, --- deleted -- ingatlah ini:
YM Channa menggunakan pisau tanpa tercela (anupavajja)"


misterinya adalah bagaimana mungkin Channa dapat mengklaim bahwa pisau yg digunakan adalah tanpa cela (anupavajja)? dan dalam hubungannya dg jawaban Buddha thd Sariputta:

namun disini yg kukatakaan adalah, seseorang yg meninggalkan jasmani sekarang dan mengambil yg lainnya, itulah yg kusebut tercela ("saupavajja")

Quote
Kemudian ada footnote pada bagian Channa mengakhiri hidupnya.

Quote
MA(Majjhima Nikaya Atthakatha): He cut his throat, and just as that moment the fear of death descended on him and sign of future rebirth appeared. Recognising that he was still an ordinary person, he was aroused and developed insight. Comprehending the formations, he attained arahantship just before he expired.
a
justru krn itulah... saya meragukan kitap komentar ini. bagi saya, kitap komentar ini berusaha menutup kemungkinan bahwa arahat dapat bunuh diri. selain di kitab ini, di kitab Milinda-Panha yg ditulis 500 thn setelah Buddha parinibbana jg bertujuan demikian. sedangkan dalam 4 Nikaya tertua, tidak ada cerita demikian. kejanggalan kitab ini adalah:

1. he cut his throat --- ini adalah asumsi penulis kitab komentar. tau dari mana ia bahwa pisau itu utk ke leher, bukan ke perut atau ke jantung? yg tercatat dalam Majjhima Nikaya adalah kata "menggunakan pisau" saja...

2. Recognising that he was still an ordinary person --- bagaimana jika seorang yg telah punya claim ia tidak tercela, mendapati ternyata ia adalah tercela? tentu saja Buddha akan menjawab Sariputta akan pencapaian kearahatannya menjelang kematian. Namun Buddha menjawab Sariputta dg klaim Channa sendiri & artinya tidak ada masalah dg klaim tersebut:
"Tetapi Sariputta", jawabnya, "Bukankah YM Channa mengatakannya langsung kepadamu bahwa ia tanpa cela  (anupavajjataa)!"


bagi saya di sini, kitab komentar hanya menambah kebinggungan saja.

bagaimana menurutmu?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: marcedes on 25 February 2009, 08:12:23 AM
jadilah arahat terlebih dahulu, setelah itu kalau mau hara kiri...lapor lah ke teman-teman dhamma citta disini...

beda-nya adalah kalau Ananda menggunakan Iddhi,
disitu mungkin arahat Channa tidak memiliki Iddhi, jadi pakai manual alias pisau.

dan bisa saja arahat Channa mau mengakhiri hidup karena sudah mengetahui "waktu" -nya
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 25 February 2009, 08:19:42 AM
 [at] marcedes

betul... konon, Ananda dg iddhi, membakar tubuhnya utk mengakhiri hidup. bisa bantu referensinya? saya tidak ketemu...

Anumodana
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 25 February 2009, 08:47:28 AM
mengenai apakah yg bebas bunuh diri adalah arahat. saya tidak berpikir demikian... misalnya Godhika Thera, beliau bukanlah arahat. namun pencapaiannya terhambat pada kesehatannya. Akhirnya ia memutuskan utk menggunakan pisau, dan mencapai tingkat kesucian arahat pada akhir hidupnya.

walaupun Godhika Thera konon belum arahat ketika menggunakan pisau, namun ia telah mencapai tingkat kesucian tertentu (tidak tahu apakah sotapanna, sakadagami, atau anagami). namun bukan karena pencapaian tingkat kesuciannya jg yg membuat ia tanpa cela. saya melihat, tindakan bunuh diri tsb adalah bukti bahwa bhikhu2 zaman itu tidak lagi melekat pada tubuh. shg jika tubuh mereka tidak mendukung dalam latihan mereka, mereka akan mengakhirinya. bukan karena keserakahan, namun karena kebijaksanaan...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 25 February 2009, 10:02:27 AM
 [at] bro tesla

hati-hati loh bro klo mengkutip sutta, jangan ada yang dikurang atau ditambahkan untuk karena versi pandangan batas pemahaman kita atau bahkan untuk mendukung menutupi atau meyakinkan keragu-raguan atau kebingungan kita (oleh usaha kita sendiri yang masih dipenuhi lobha dan moha). Ini bisa menjadi penyebab ajaran Dhamma (pengertian) yang benar ajaran guru Buddha akan menghilang di dunia, seperti banyak ajaran-ajaran (pengertian-pengertian Dharma) guru-guru spiritual (new-age) yang bergeser dari sutta-sutta/sutra-sutra asal/awal/otentik, (kasusnya seperti) sehingga banyak orang (bahkan hanya mau) melihat sebatas pengertian-pemahaman pengajaran yang diberikan dari guru-guru tersebut (membabi buta). Membilang ehipassiko, tetapi dimana berehipassikonya. Apakah kitab-kitab awal dokumentasi pengajaran sang guru Buddha kurang atau tidak sempurna sehingga perlu ditambahkan jalan atau cara-cara lain lagi atau diganti dengan kitab-kitab ajaran-ujaran guru-guru yang baru belakangan.


mari kita ulas bukan percakapan yang berasal dari muridnya tetapi apa yang diujarkan oleh guru Buddha, dan bukan karena hanya sebatas pemikiran kita saja tetapi kita lihat catatan otentik sutta pendukung pemikiran kita secara menyeluruh.
kutipan dari indra :
Quote
"Friend Sariputta, it is not that I have no suitable food and medicine or no proper attendant. But Rather, friend Sariputta, the Teacher has long been worshipped by me with love, not without love; for it is proper for the disciple to worship the Teacher with love, not without love. Friend Sariputta, remember this: Bhikkhu Channa will use the knife blamelessly."
siapa yang mengatakan ini? (Banthe Channa), kata-kata ini hanya menjelaskan dari sudut pandang dia atas pertanggung jawab tindakan dia dalam (sepanjang) pengabdiannya (menyembah) kepada guru Buddha dalam kelemahan sakitnya sebelum melakukan bunuh diri. So he told 'remember this: Bhikkhu Channa will use the knife blamelessly'

Kemudian ada footnote pada bagian Channa mengakhiri hidupnya.
Quote
MA(Majjhima Nikaya Atthakatha): He cut his throat, and just as that moment the fear of death descended on him and sign of future rebirth appeared. Recognising that he was still an ordinary person, he was aroused and developed insight. Comprehending the formations, he attained arahantship just before he expired.
dan penjelasan dokumentasi kejadian inilah yang paling penting yang menjelaskan tentang proses kematian sesungguhnya seperti yang saya jelaskan
kutipan coeda :
Bukan merancang-rancang sendiri menurut keinginan/kehendak bebas diri sendiri (delusi) sebagai entitas keberadaan kehidupan manusia dalam nama dan rupa, melakukan tindakan (pengrusakan, pemusnahan/penghancuran fisik (dalam hal ini dalam melakukan tindakan bunuh diri/kematian yang disengaja)) dalam menuju pencapaian Nibanna, tetapi batin mereka yang mengetahui,  ketika seseorang merasakan tubuhnya akan berakhir, ia mengerti 'Saya merasakan tubuh ini akan berakhir' dan bertindak selalu mengawasi, selalu waspada dan terjaga sampai berakhirnya (kehidupan) tubuh ini, (seperti) sesederhana ketika lampu kehabisan minyak dan sumbu. (Ini kata/pengajaran Buddha loh!)
Sebab jika tidak mengalami proses seperti itu, bhante channa menjadi bablas kematiannya atas segala pencapaian hasil pelatihannya.


kutipan tesla :
Setelah itu, YM Sariputta bersama YM Mahacunda pergi meninggalkannya. Setelah mereka pergi, YM Channa mengambil pisau dan mengakhiri hidupnya.
Kemudian YM Sariputta pergi menemui Buddha dan bertanya, "Bhante, YM Channa telah mengakhiri hidupnya, akan kemanakah ia setelah kematian?"
"Tetapi Sariputta", jawabnya, "Bukankah YM Channa mengatakannya langsung kepadamu bahwa ia tanpa cela  (anupavajjataa)!"
"Bhante, di Pajjabajira, desa Vajja, famili bhikkhu Channa adalah tidak tercela."
"Sariputta, memang ada famili bhikkhu Channa yg tidak tercela, namun disini yg kukatakan adalah, seseorang yg meninggalkan jasmani sekarang dan mengambil yg lainnya, itulah yg kusebut tercela ("saupavajja"). Dan bhikkhu Channa tidak demikian. Ia mengakhiri hidupnya tanpa cela."

Setelah Sang Buddha berkata demikian, Sariputtapun bersukacita dalam penjelasan Sang Buddha.

Kutipan pembicaraan diatas dilakukan setelah semua kejadian kematian Banthe Channa, dimana YM Sariputta menanyakan hal ini 'Bhante, YM Channa telah mengakhiri hidupnya, akan kemanakah ia setelah kematian?' kepada guru Buddha.
"Tetapi Sariputta", jawabnya, "Bukankah YM Channa mengatakannya langsung kepadamu bahwa ia tanpa cela  (anupavajjataa)!"
"Bhante, di Pajjabajira, desa Vajja, famili bhikkhu Channa adalah tidak tercela."
"Sariputta, memang ada famili bhikkhu Channa yg tidak tercela"
pada tulisan cerita perbandingan ini, guru Buddha bisa menjelaskan tentang prilaku tindakan YM Channa selama masa hidupnya dan bisa menggambarkan juga, menjelaskan seluruh proses akhir kematian Bhante Channa, dimana pada akhir kata guru Buddha mengatakan (memberi suatu pernyataan)  'namun disini yg kukatakan adalah, seseorang yg meninggalkan jasmani sekarang dan mengambil yg lainnya, itulah yg kusebut tercela ("saupavajja"). Dan bhikkhu Channa tidak demikian. Ia mengakhiri hidupnya tanpa cela'.
Disini penjelasan bukan karena proses tindakan bunuh dirinya, tetapi pencapaian proses akhir kematiannya, sebab ada peneguhan berdasarkan pada catatan dokumentasi footnote sutta ini (bukan kata-kata tambahan saya loh!) yaitu :
Quote :
MA(Majjhima Nikaya Atthakatha): He cut his throat, and just as that moment the fear of death descended on him and sign of future rebirth appeared. Recognising that he was still an ordinary person, he was aroused and developed insight. Comprehending the formations, he attained arahantship just before he expired.
Seperti ungkapan pemahaman saya :
Bukan merancang-rancang sendiri menurut keinginan/kehendak bebas diri sendiri (delusi) sebagai entitas keberadaan kehidupan manusia dalam nama dan rupa, melakukan tindakan (pengrusakan, pemusnahan/penghancuran fisik (dalam hal ini dalam melakukan tindakan bunuh diri/kematian yang disengaja)) dalam menuju pencapaian Nibanna, tetapi batin mereka yang mengetahui,  ketika seseorang merasakan tubuhnya akan berakhir, ia mengerti 'Saya merasakan tubuh ini akan berakhir' dan bertindak selalu mengawasi, selalu waspada dan terjaga sampai berakhirnya (kehidupan) tubuh ini, (seperti) sesederhana ketika lampu kehabisan minyak dan sumbu.

sehingga pada akhirnya Sariputta menangkap makna sang guru dan menjadi bersuka-cita atas hasil kematian Bhante Channa. (Setelah Sang Buddha berkata demikian, Sariputtapun bersukacita dalam penjelasan Sang Buddha) menjadi percaya.

Semoga berguna dapat meluruskan dan menambah wawasan pencerahan
good hope and love




Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Indra on 25 February 2009, 10:20:53 AM
Quote from: tesla on 25 February 2009, 04:42:42 AM
bagaimana menurutmu?

Menurut saya, saya lebih mempercayai para penulis kitab komentar daripada Bro Tesla, saya yakin mrk tentunya memiliki kualifikasi untuk itu.

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 25 February 2009, 10:24:49 AM
Quote from: coedabgf on 25 February 2009, 10:02:27 AM
[at] bro tesla

hati-hati loh bro klo mengkutip sutta, jangan ada yang dikurang atau ditambahkan untuk karena versi pandangan batas pemahaman kita atau bahkan untuk mendukung menutupi atau meyakinkan keragu-raguan atau kebingungan kita (oleh usaha kita sendiri yang masih dipenuhi lobha dan moha).
terimakasih atas nasehatnya,

justru itulah makanya saya menyajikan suttanya secara lengkap. bagian yg tidak saya tampilkan saya beri tanda [...] krn saya tidak berniat utk mengetiknya, bukan saya abaikan.

kemudian karena itu jugalah saya tidak menggunakan kitab komentar krn itu adalah pemahaman individu (bhikkhu) setelah Buddha parinibbana... seperti kata anda, masih ditutupi oleh moha.

Quote
Ini bisa menjadi penyebab ajaran Dhamma (pengertian) yang benar ajaran guru Buddha akan menghilang di dunia, seperti banyak ajaran-ajaran (pengertian-pengertian Dharma) guru-guru spiritual (new-age) yang bergeser dari sutta-sutta/sutra-sutra asal/awal/otentik, (kasusnya seperti) sehingga banyak orang (bahkan hanya mau) melihat sebatas pengertian-pemahaman pengajaran yang diberikan dari guru-guru tersebut (membabi buta). Membilang ehipassiko, tetapi dimana berehipassikonya. Apakah kitab-kitab awal dokumentasi pengajaran sang guru Buddha kurang atau tidak sempurna sehingga perlu ditambahkan jalan atau cara-cara lain lagi atau diganti dengan kitab-kitab ajaran-ujaran guru-guru yang baru belakangan.
penambahan kitab-kitab adalah fakta yg telah terjadi.

Quote...berdasarkan pada dokumentasi footnote (bukan kata-kata tambahan saya loh!) yaitu :
FYI, footnote yg anda pakai adalah kitab komentar yg muncul belakangan. sebaiknya anda konsisten pada kata anda sendiri utk memakai kitab awal saja, bukan kitab belakangan.

Quote
Seperti ungkapan pemahaman saya :
Bukan merancang-rancang sendiri menurut keinginan/kehendak bebas diri sendiri (delusi) sebagai entitas keberadaan kehidupan manusia dalam nama dan rupa, melakukan tindakan (pengrusakan, pemusnahan/penghancuran fisik (dalam hal ini dalam melakukan tindakan bunuh diri/kematian yang disengaja)) dalam menuju pencapaian Nibanna, tetapi batin mereka yang mengetahui,  ketika seseorang merasakan tubuhnya akan berakhir, ia mengerti 'Saya merasakan tubuh ini akan berakhir' dan bertindak selalu mengawasi, selalu waspada dan terjaga sampai berakhirnya (kehidupan) tubuh ini, (seperti) sesederhana ketika lampu kehabisan minyak dan sumbu.
rekan marcedes jg menanggapi bahwa tidak tertutup kemungkinan YM Channa telah mengetahui batas umurnya. saya tidak menolak kemungkinan ini. yg jadi pertanyaan cuma, kenapa harus pakai pisau lagi kalau emang umurnya sudah sampai?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 25 February 2009, 10:25:15 AM
Quote from: Indra on 25 February 2009, 10:20:53 AM
Quote from: tesla on 25 February 2009, 04:42:42 AM
bagaimana menurutmu?

Menurut saya, saya lebih mempercayai para penulis kitab komentar daripada Bro Tesla, saya yakin mrk tentunya memiliki kualifikasi untuk itu.

_/\_
_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: coedabgf on 25 February 2009, 10:39:26 AM
kutipan tesla :
rekan marcedes jg menanggapi bahwa tidak tertutup kemungkinan YM Channa telah mengetahui batas umurnya. saya tidak menolak kemungkinan ini. yg jadi pertanyaan cuma, kenapa harus pakai pisau lagi kalau emang umurnya sudah sampai?


just like indra said : 'Menurut saya, saya lebih mempercayai para penulis kitab komentar daripada Bro Tesla, saya yakin mrk tentunya memiliki kualifikasi untuk itu.'

saya gak tahu berapa lama klo dibilang catatan komentar itu muncul dan ujaran siapa sehingga ditambahkan, tetapi itu dapat meluruskan penangkapan pemahaman yang salah pembaca dari cerita yang tidak lengkap.
coba bro tesla lihat apa hubungannya pertanyaan bro tesla :
rekan marcedes jg menanggapi bahwa tidak tertutup kemungkinan YM Channa telah mengetahui batas umurnya. saya tidak menolak kemungkinan ini. yg jadi pertanyaan cuma, kenapa harus pakai pisau lagi kalau emang umurnya sudah sampai?
dengan footnote sutta :
MA(Majjhima Nikaya Atthakatha): He cut his throat, and just as that moment the fear of death descended on him and sign of future rebirth appeared. Recognising that he was still an ordinary person, he was aroused and developed insight. Comprehending the formations, he attained arahantship just before he expired.
dengan ungkapan pemahaman saya :
Bukan merancang-rancang sendiri menurut keinginan/kehendak bebas diri sendiri (delusi) sebagai entitas keberadaan kehidupan manusia dalam nama dan rupa, melakukan tindakan (pengrusakan, pemusnahan/penghancuran fisik (dalam hal ini dalam melakukan tindakan bunuh diri/kematian yang disengaja)) dalam menuju pencapaian Nibanna, tetapi batin mereka yang mengetahui,  ketika seseorang merasakan tubuhnya akan berakhir, ia mengerti 'Saya merasakan tubuh ini akan berakhir' dan bertindak selalu mengawasi, selalu waspada dan terjaga sampai berakhirnya (kehidupan) tubuh ini, (seperti) sesederhana ketika lampu kehabisan minyak dan sumbu.

semoga menjelaskan
good hope and love
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: ENCARTA on 25 February 2009, 10:56:41 AM
saya lebih percaya bro tesla yg belajar sambil praktek ;D
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Hendra Susanto on 25 February 2009, 11:11:36 AM
belajar sambil praktek belum tentu benar bos... kemungkinan miss persecption bisa saja terjadi...
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: ENCARTA on 25 February 2009, 11:20:43 AM
he.. jadi kembali lagi ke self-atta ;D
mengandalkan diri sendiri yg belum tentu bisa dipercaya
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: dilbert on 25 February 2009, 11:29:56 AM
[at] Sdr.Tesla...

Tentang Parinibbana Ananda yang menggunakan idhi dengan objek kasina api, dapat ditemukan pada RAPB bagian ke-3, bagian siswa utama sang buddha.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 25 February 2009, 12:02:57 PM
Quote from: ENCARTA on 25 February 2009, 10:56:41 AM
saya lebih percaya bro tesla yg belajar sambil praktek ;D

_/\_

Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 25 February 2009, 12:04:47 PM
Quote from: Hendra Susanto on 25 February 2009, 11:11:36 AM
belajar sambil praktek belum tentu benar bos... kemungkinan miss persecption bisa saja terjadi...

ya,

miss perception bisa terjadi pada guru2 yg menulis kitab komentar juga.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 25 February 2009, 12:05:22 PM
Quote from: ENCARTA on 25 February 2009, 11:20:43 AM
he.. jadi kembali lagi ke self-atta ;D
mengandalkan diri sendiri yg belum tentu bisa dipercaya

betul,

sesuai nasehat dalam Kalama Sutta
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: tesla on 25 February 2009, 12:09:15 PM
Quote from: dilbert on 25 February 2009, 11:29:56 AM
[at] Sdr.Tesla...

Tentang Parinibbana Ananda yang menggunakan idhi dengan objek kasina api, dapat ditemukan pada RAPB bagian ke-3, bagian siswa utama sang buddha.

Anumodana

_/\_
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Hendra Susanto on 25 February 2009, 12:16:13 PM
Quote from: tesla on 25 February 2009, 12:04:47 PM
Quote from: Hendra Susanto on 25 February 2009, 11:11:36 AM
belajar sambil praktek belum tentu benar bos... kemungkinan miss persecption bisa saja terjadi...

ya,

miss perception bisa terjadi pada guru2 yg menulis kitab komentar juga.

betul sekali, hanya ada sedikit perbedaan kualitas yang pastinya kita be 2 memahami nya
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Kelana on 25 February 2009, 12:52:17 PM
OOT
Saran saya sebaiknya mengenai arahat dan bunuh diri di adakan topik tersendiri.
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 25 February 2009, 02:40:46 PM
Dan jika kejanggalan terjadi dalam kitab Tipitaka, tidak ada keributan d sana...
Tapi lihat klo ada yg post mengenai sutra dalam Tripitaka, wuih.....BISA RAME BANGET....
Tidak otentik lha, palsu, ditambah2kan, cma untuk menyaingi aliran laen...

Dimanakah yang namanya pandangan NETRAL?
Title: Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
Post by: Edward on 25 February 2009, 02:42:25 PM
Karena pembahasan sudah berkembang sangat jauh dari pembahasan awal,
Thread ini saya LOCK...