Bhavaviveka "vs" Hinayana

Started by GandalfTheElder, 01 November 2008, 03:18:41 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Riky_dave

hehehe..that's cool and hot.. :)

Salam hangat,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

chingik

Bro Dilbert tampaknya sudah makin bingung ya.., tapi wajar kok jika mindsetnya sudah terpatri oleh satu konsep tertentu hingga sulit menerima konsep lain. 
Perlu diketahui, semua konsep dalam Mahayana tidak semata-mata menjadikan konsepnya sebagai sesuatu yg perlu dipegang erat2. Jika itu mengganggu kemajuan batin, maka selayaknya ditinggalkan. Makanya mengapa ada yg cocok dengan zen, ada pula yg cocok dgn sukhavati. Semua ini adalah Upaya kausalya. Saya rasa jika ingin benar2 memahami Mahayana, perlu mendalami konsep Upaya Kausalya.

Kembali ke pertanyaan ttg Sukhavati yg kedengarannya membingungkan, kadang dikatakan Sukhavati itu eksis, kadang tidak eksis. Kok gitu? ya ,karena semua ada penjelasan dari perspektif tertentu. Tidak ada jawaban yang statis. SEbenarnya hal2 seperti ini juga dpt ditemukan dalam bentuk ajaran Theravada juga. Contoh yg paling simple deh :
"Aku" itu ada ga? kalo ga ada, mengapa masih menyebutkan 'aku, aku..aku"..
Tapi kalo "Aku" itu ada, mengapa masih menyebutkan tanpa aku, tanpa aku, tanpa aku...
Bukankah kedengarannya saling berlawanan?
Atau sama sepeti kebingungan Vacchagotta tentang paham Anatta, hingga Buddha menghindari utk memberi penjelasan padanya, karena secara batin, dia belum siap.

Intinya, sebuah konsep tidak seharusnya dicerna secara statis. Wejangan Buddha juga bukan seperti kalkulator yang bersifat A tetap A tidak bisa jadi B, semuanya tergantung pada bagaimana kita memahaminya baik dari segi intelektual ataupun pemahaman insight.

Ketika mindset anda terpatri oleh konsep Theravada, maka ajaran Mahayana menjadi sulit diterima. (Maaf, bukan bermaksud supaya anda harus mengubah mindset anda menjadi Mahayana, tapi tujuan disini adalah menjelaskan bahwa konsep Mahayana adalah begini-begini, lalu ini menjadi satu wawasan utk saling memahami masing2 aliran)
Sama dengan mindset orang dari penganut agama lain, karena sudah terpatri oleh konsep agama yang dianut, maka sulit menerima konsep lain. Contohnya, menjelaskan Buddhisme kepada orang kr****n, misalnya, susahnya setengah mati, karena mereka selalu saja berpijak pada konsep kr****n utk bertanya ttg konsep Buddhisme. Sampai "mati" pun tak akan masuk SENSEnya, kalo pake SENSE lho ya. Untung Buddhisme menghindari orang menggunakan SENSE utk menyelami kebenaran. Jadi mudah2an bro Dilbert jangan pakai SENSE lagi, :) ;D




dilbert

#212
Quote from: chingik on 23 November 2008, 01:44:50 PM
Bro Dilbert tampaknya sudah makin bingung ya.., tapi wajar kok jika mindsetnya sudah terpatri oleh satu konsep tertentu hingga sulit menerima konsep lain. 
Perlu diketahui, semua konsep dalam Mahayana tidak semata-mata menjadikan konsepnya sebagai sesuatu yg perlu dipegang erat2. Jika itu mengganggu kemajuan batin, maka selayaknya ditinggalkan. Makanya mengapa ada yg cocok dengan zen, ada pula yg cocok dgn sukhavati. Semua ini adalah Upaya kausalya. Saya rasa jika ingin benar2 memahami Mahayana, perlu mendalami konsep Upaya Kausalya.

Kembali ke pertanyaan ttg Sukhavati yg kedengarannya membingungkan, kadang dikatakan Sukhavati itu eksis, kadang tidak eksis. Kok gitu? ya ,karena semua ada penjelasan dari perspektif tertentu. Tidak ada jawaban yang statis. SEbenarnya hal2 seperti ini juga dpt ditemukan dalam bentuk ajaran Theravada juga. Contoh yg paling simple deh :
"Aku" itu ada ga? kalo ga ada, mengapa masih menyebutkan 'aku, aku..aku"..
Tapi kalo "Aku" itu ada, mengapa masih menyebutkan tanpa aku, tanpa aku, tanpa aku...
Bukankah kedengarannya saling berlawanan?
Atau sama sepeti kebingungan Vacchagotta tentang paham Anatta, hingga Buddha menghindari utk memberi penjelasan padanya, karena secara batin, dia belum siap.

Intinya, sebuah konsep tidak seharusnya dicerna secara statis. Wejangan Buddha juga bukan seperti kalkulator yang bersifat A tetap A tidak bisa jadi B, semuanya tergantung pada bagaimana kita memahaminya baik dari segi intelektual ataupun pemahaman insight.

Ketika mindset anda terpatri oleh konsep Theravada, maka ajaran Mahayana menjadi sulit diterima. (Maaf, bukan bermaksud supaya anda harus mengubah mindset anda menjadi Mahayana, tapi tujuan disini adalah menjelaskan bahwa konsep Mahayana adalah begini-begini, lalu ini menjadi satu wawasan utk saling memahami masing2 aliran)
Sama dengan mindset orang dari penganut agama lain, karena sudah terpatri oleh konsep agama yang dianut, maka sulit menerima konsep lain. Contohnya, menjelaskan Buddhisme kepada orang kr****n, misalnya, susahnya setengah mati, karena mereka selalu saja berpijak pada konsep kr****n utk bertanya ttg konsep Buddhisme. Sampai "mati" pun tak akan masuk SENSEnya, kalo pake SENSE lho ya. Untung Buddhisme menghindari orang menggunakan SENSE utk menyelami kebenaran. Jadi mudah2an bro Dilbert jangan pakai SENSE lagi, :) ;D





lha gak pakai SENSE emang mau pakai IMAN ??

Wejangan BUDDHA yang manakah yang bisa berubah dari A menjadi B ?? yang THERAVADA tuh dari awal sampai akhir kagak ada yang "tumpang tindih" atau "gak nyambung" dan "in-konsisten"... Coba Quote konsep THERAVADA yang tumpang tindih ??
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

GandalfTheElder

Quote from: dilbert on 23 November 2008, 01:36:26 PM
Nah, ketika itu "SAMA" apakah perlu diciptakan banyak TANAH SUCI lainnya... Ingat bahwa hal inilah yang menimbulkan tafsir yang berbeda beda antara pembaca Kitab Mahayana... seolah olah bahwa TANAH SUCI SUKHAWATI itu EKSIS... Karena memang dari awal dalam "NALAR" saya itu TANAH SUCI itu hanya di pikiran... TIDAK ADA ITU...

Para Master ZEN berbicara TANAH SUCI dalam konteks RETORIKA, sedangkan umat awam (bagi yang salah menafsirkan) berbicara TANAH SUCI dalam konteks HARFIAH (dalam pengertian bahwa TANAH SUCI itu ADA dan EKSIS)... Inilah yang bakal menyesatkan...

Dari berbagai aliran Mahayana, maka ZEN-BUDDHISME lah yang saya dalami (diluar mahzab utama THERAVADA) karena memang pengertian di dalam ZEN-BUDDHISME inilah yang menurut saya masih MURNI.

Oh ya postingan sebelum ini saya edit lagi (saya beri tambahan).

Yah... anda lagi-lagi mengatakan "Murni".. Apa yang Murni itu? Yang sesuai dengan nalar anda?

Apakah anda tahu banyak sekali Master Zen yang menghormati aliran Sukhavati, bahkan tidak menentangnya malah menerimanya? Kenapa ya? Di "Nalar" mereka, Sukhavati masuk-masuk aja tuh.......

Mereka nggak bingung, kok anda yang bingung...

Banyaknya Tanah Suci yang dibabarkan Sakyamuni Buddha tentu adalah karena upaya kausalya yang dilakukan Beliau. Ada yang merasa cocok kalau Nirvana itu tampak diwujudkan seperti Sukhavati, ada yang merasa cocok digambarkan seperti Abhirati dsb..... Sama seperti dalam Sutta-sutta Theravada yang menjabarkan Nirvana sebagai suatu kebahagiaan dsb....

Tapi toh semua itu hanya bahasa yang terbatas. Maka dari itu ada ungkapan dalam Mahayana bahwa siapa sebenarnya Amitabha Buddha itu tidaklah dapat dibayangkan, begitu juga dengan tanah Suci-Nya - sama dengan Nirvana yang tidak dapat dibayangkan oleh putthujana (prthagjana) seperti kita-kita ini. Bahasa hanya memberikan arti yang terbatas pada Tanah Suci maupun Nirvana.

Banyaknya Tanah Suci juga adalah salah satu bentuk penjabaran Dharma yaitu bahwa Dharmakaya itu tidak terbatas.

Di samping itu, tidak menutup kemungkinan bukan kalau misalnya Tanah Suci Sukhavati benar-benar ada??  :) Sama dengan tidak menutup kemungkinan adanya "bumi-bumi" lain selain bumi kita.

Gini deh... dalam agama Buddha dikatakan bahwa semua fenomena itu ada dalam pikiran, demikian juga dunia yang kita tempati itu ya adanya di pikiran. Kalau gitu dunia kita ini eksis gak ya?

_/\_
The Siddha wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

dilbert

Quote from: GandalfTheElder on 23 November 2008, 01:56:09 PM
Quote from: dilbert on 23 November 2008, 01:36:26 PM
Nah, ketika itu "SAMA" apakah perlu diciptakan banyak TANAH SUCI lainnya... Ingat bahwa hal inilah yang menimbulkan tafsir yang berbeda beda antara pembaca Kitab Mahayana... seolah olah bahwa TANAH SUCI SUKHAWATI itu EKSIS... Karena memang dari awal dalam "NALAR" saya itu TANAH SUCI itu hanya di pikiran... TIDAK ADA ITU...

Para Master ZEN berbicara TANAH SUCI dalam konteks RETORIKA, sedangkan umat awam (bagi yang salah menafsirkan) berbicara TANAH SUCI dalam konteks HARFIAH (dalam pengertian bahwa TANAH SUCI itu ADA dan EKSIS)... Inilah yang bakal menyesatkan...

Dari berbagai aliran Mahayana, maka ZEN-BUDDHISME lah yang saya dalami (diluar mahzab utama THERAVADA) karena memang pengertian di dalam ZEN-BUDDHISME inilah yang menurut saya masih MURNI.

Oh ya postingan sebelum ini saya edit lagi (saya beri tambahan).

Yah... anda lagi-lagi mengatakan "Murni".. Apa yang Murni itu? Yang sesuai dengan nalar anda?

Apakah anda tahu banyak sekali Master Zen yang menghormati aliran Sukhavati, bahkan tidak menentangnya malah menerimanya? Kenapa ya? Di "Nalar" mereka, Sukhavati masuk-masuk aja tuh.......

Mereka nggak bingung, kok anda yang bingung...

Banyaknya Tanah Suci yang dibabarkan Sakyamuni Buddha tentu adalah karena upaya kausalya yang dilakukan Beliau. Ada yang merasa cocok kalau Nirvana itu tampak diwujudkan seperti Sukhavati, ada yang merasa cocok digambarkan seperti Abhirati dsb..... Sama seperti dalam Sutta-sutta Theravada yang menjabarkan Nirvana sebagai suatu kebahagiaan dsb....

Tapi toh semua itu hanya bahasa yang terbatas. Maka dari itu ada ungkapan dalam Mahayana bahwa siapa sebenarnya Amitabha Buddha itu tidaklah dapat dibayangkan, begitu juga dengan tanah Suci-Nya - sama dengan Nirvana yang tidak dapat dibayangkan oleh putthujana (prthagjana) seperti kita-kita ini. Bahasa hanya memberikan arti yang terbatas pada Tanah Suci maupun Nirvana.

Banyaknya Tanah Suci juga adalah salah satu bentuk penjabaran Dharma yaitu bahwa Dharmakaya itu tidak terbatas.

Di samping itu, tidak menutup kemungkinan bukan kalau misalnya Tanah Suci Sukhavati benar-benar ada??  :) Sama dengan tidak menutup kemungkinan adanya "bumi-bumi" lain selain bumi kita.

Gini deh... dalam agama Buddha dikatakan bahwa semua fenomena itu ada dalam pikiran, demikian juga dunia yang kita tempati itu ya adanya di pikiran. Kalau gitu dunia kita ini eksis gak ya?

_/\_
The Siddha wanderer

lha, memang quote saya menyatakan bahwa MENURUT SAYA Buddhisme ZEn itu masih Murni... itu pendapat saya lo... Makanya kalau saya lihat semua quote-nya Master ZEN tentang Tanah Suci Sukhawati adalah dalam konteks RETORIKA... Tidak ada eksplisit dalam ZEN itu menyatakan bahwa Tanah Suci Sukhawati dan Tanah Tanah Suci Lainnya itu ada... yang ada dalam PIKIRAN...

Ketika ditanyakan apakah dunia ini EKSIS... EKSIS menurut saya... Eksis karena adanya dukkha, karena ada sebab sebab dukkha, karena ada jalan menuju lenyapnya dukkha.

Ketika sebab sebab dukkha dilenyapkan, dukkha itu lenyap, maka dunia itu menjadi tidak EKSIS...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

GandalfTheElder

#215
Yah... kan pendapat... bukti kagak ada....  :))

Nah kalau begitu, kenapa anda mengatakan:

"seolah olah bahwa TANAH SUCI SUKHAWATI itu EKSIS... Karena memang dari awal dalam "NALAR" saya itu TANAH SUCI itu hanya di pikiran... TIDAK ADA ITU..."

Sebab dukkha kan toh ya dari pikiran? Nah yang merasakan dukkha itu kalau bukan pikiran terus apa?

Kalau menurut anda yang ada di pikiran itu tidak eksis, maka dukkha itu sebenarnya ya tidak eksis dong... kalau dukkha tidak eksis, berarti dunia ini tidak eksis. Lah anda kok ngomong dunia ini Eksis?

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

chingik

Quote from: dilbert on 23 November 2008, 01:54:05 PM
Quote from: chingik on 23 November 2008, 01:44:50 PM
Bro Dilbert tampaknya sudah makin bingung ya.., tapi wajar kok jika mindsetnya sudah terpatri oleh satu konsep tertentu hingga sulit menerima konsep lain. 
Perlu diketahui, semua konsep dalam Mahayana tidak semata-mata menjadikan konsepnya sebagai sesuatu yg perlu dipegang erat2. Jika itu mengganggu kemajuan batin, maka selayaknya ditinggalkan. Makanya mengapa ada yg cocok dengan zen, ada pula yg cocok dgn sukhavati. Semua ini adalah Upaya kausalya. Saya rasa jika ingin benar2 memahami Mahayana, perlu mendalami konsep Upaya Kausalya.

Kembali ke pertanyaan ttg Sukhavati yg kedengarannya membingungkan, kadang dikatakan Sukhavati itu eksis, kadang tidak eksis. Kok gitu? ya ,karena semua ada penjelasan dari perspektif tertentu. Tidak ada jawaban yang statis. SEbenarnya hal2 seperti ini juga dpt ditemukan dalam bentuk ajaran Theravada juga. Contoh yg paling simple deh :
"Aku" itu ada ga? kalo ga ada, mengapa masih menyebutkan 'aku, aku..aku"..
Tapi kalo "Aku" itu ada, mengapa masih menyebutkan tanpa aku, tanpa aku, tanpa aku...
Bukankah kedengarannya saling berlawanan?
Atau sama sepeti kebingungan Vacchagotta tentang paham Anatta, hingga Buddha menghindari utk memberi penjelasan padanya, karena secara batin, dia belum siap.

Intinya, sebuah konsep tidak seharusnya dicerna secara statis. Wejangan Buddha juga bukan seperti kalkulator yang bersifat A tetap A tidak bisa jadi B, semuanya tergantung pada bagaimana kita memahaminya baik dari segi intelektual ataupun pemahaman insight.

Ketika mindset anda terpatri oleh konsep Theravada, maka ajaran Mahayana menjadi sulit diterima. (Maaf, bukan bermaksud supaya anda harus mengubah mindset anda menjadi Mahayana, tapi tujuan disini adalah menjelaskan bahwa konsep Mahayana adalah begini-begini, lalu ini menjadi satu wawasan utk saling memahami masing2 aliran)
Sama dengan mindset orang dari penganut agama lain, karena sudah terpatri oleh konsep agama yang dianut, maka sulit menerima konsep lain. Contohnya, menjelaskan Buddhisme kepada orang kr****n, misalnya, susahnya setengah mati, karena mereka selalu saja berpijak pada konsep kr****n utk bertanya ttg konsep Buddhisme. Sampai "mati" pun tak akan masuk SENSEnya, kalo pake SENSE lho ya. Untung Buddhisme menghindari orang menggunakan SENSE utk menyelami kebenaran. Jadi mudah2an bro Dilbert jangan pakai SENSE lagi, :) ;D





lha gak pakai SENSE emang mau pakai IMAN ??

Wejangan BUDDHA yang manakah yang bisa berubah dari A menjadi B ?? yang THERAVADA tuh dari awal sampai akhir kagak ada yang "tumpang tindih" atau "gak nyambung" dan "in-konsisten"... Coba Quote konsep THERAVADA yang tumpang tindih ??

Saya tidak mengatakan pake Iman . Silakan cari sendiri, karena bro sendiri katanya belajar Zen, jadi pake apa ya? hehe

Mahayana juga tidak tumpang tindih, yang tidak memahami saja yang merasa tumpang tindih.
Contoh Theravada yang tumpang tindih:  selalu menjelaskan ttg Anatta, tetapi menganggap segala fenomena sebagai sesuatu yg eksis. Ini adalah konsep saling berlawanan juga di sudut pandang Mahayana. Saya mengerti sebenarnya ini tidak tumpang tindih, tapi kesannya tumpang tindih bukan? yang notabene sebenarnya sama saja dengan Mahayana juga karena disalah pahami makanya terkesan tumpang tindih.  

GandalfTheElder

#217
Quotelha gak pakai SENSE emang mau pakai IMAN ??

La mending Sraddha (iman) yang benar sesuai Dharma, ketimbang jenis Nalar (sense) yang masih dibelepoti Moha dengan tebalnya.

Lagian anda tentu tahu dong, kalau pencapaian Nirvana itu gak cuma pake Nalar?

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

chingik

Quote
lha, memang quote saya menyatakan bahwa MENURUT SAYA Buddhisme ZEn itu masih Murni... itu pendapat saya lo... Makanya kalau saya lihat semua quote-nya Master ZEN tentang Tanah Suci Sukhawati adalah dalam konteks RETORIKA... Tidak ada eksplisit dalam ZEN itu menyatakan bahwa Tanah Suci Sukhawati dan Tanah Tanah Suci Lainnya itu ada... yang ada dalam PIKIRAN...
Jika begitu.....
Master XuYun ketika dalam kesadaran meditatifnya bekunjung ke 'Tanah Murni" Maitreya di dalam surga Tusita . Padahal Beliau adalah pewaris silsilah Zen. Menurut anda master XuYun berbohong atau pikiran beliau menjadi sesat??? :P

GandalfTheElder

QuoteWejangan BUDDHA yang manakah yang bisa berubah dari A menjadi B ?? yang THERAVADA tuh dari awal sampai akhir kagak ada yang "tumpang tindih" atau "gak nyambung" dan "in-konsisten"... Coba Quote konsep THERAVADA yang tumpang tindih ??

Dalam Riwayat Agung Para Buddha, yang sumbernya setahu saya dari Buddhavamsa (salah satu kitab Theravada), Petapa Sumedha berkata:

Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna dari Buddha Dipamkara? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai Kebuddhaan."

"Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai Kebuddhaan dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan."


Wow.... ada naskah Theravada yang menyebutkan bahwa pencapaian Arahat itu egois plus "murid tidak berguna".

:o  :o  :o

_/\_
The Siddha Wanderer


Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

GandalfTheElder

#220
Semoga ini dapat menjawab pertanyaan bro. dilbert:

Question I:
The Diamond Sutra states:
All mundane (conditioned) dharmas are like dreams, illusions' shadows and bubbles.
Therefore, the Saha World being illusory, so is the Land of Ultimate Bliss. Why not enter directly into the True Original Mind instead of seeking rebirth in an illusory world?

Answer:
In truth, all the pure and impure lands in the ten directions are like dreams and illusions; however, only when we have attained the "Illusion-like Samadhi" can we see them as illusory and false. If we have not yet reached that stage, we still see them as real, we are still subject to their sway, we still know sorrow and happiness, we still feel uncomfortable during the summer heat and are even bothered by such small things as mosquito bites. Thus, how can we speak about things being illusory?

We should realize that the Pure Land method is a wonderful expedient of the Buddhas -- borrowing an illusory realm of happiness to help sentient beings escape from an illusory realm of great suffering, full of obstructing conditions and dangers. Then, in that happy, peaceful, illusory realm, cultivation progresses easily, and the ever-silent realm of the True Mind is swiftly attained.

To take an example, in this Saha World of ours, the scenes of stifling family life and noisy downtown business districts are illusory, and so are the scenes of temples and pagodas or mountain wildernesses. However, why is it that cultivators leave the noisy environment of the cities to seek the quiet, sparsely populated landscapes of temples and pagodas hidden in the mountains? Is it not because family life creates many binding ties and bustling urban intersections are not conducive to concentration, while temples, pagodas and mountain wildernesses facilitate cultivation? For this reason, the circumstances of ordinary people are different from those of the saints. For common mortals to put themselves in the place of the saints is far-fetched and unrealistic. We who are still common mortals should follow the path of ordinary people, and cultivate gradually. We should not look with the eyes of saints and comment too far above our level, to avoid the transgression of false speech.

There was once a Zen Master who thought that the Pure Land was illusory and that reciting the Buddha's name seeking rebirth there was useless. Upon hearing this, Elder Master Ch'e Wu said immediately:

This is a mistake. Bodhisattvas of the Seventh Stage and below are all cultivating in a dream. Even those Bodhisattvas who have reached the level of Equal Enlightenment are still fast asleep within the great dream of delusion. Only the Buddhas can be honored with the designation Great Enlightened, i.e., those who have completely awakened. When our own body is in a dream, happiness and suffering are to be expected; we still experience happiness and still know suffering. How can we consider ourselves awakened from a dream and our environment dreamlike?
This being the case, how can remaining in the suffering dream of the Saha World compare with returning to the blissful dream of the Pure Land? Moreover, the Saha World dream goes from dream to dream, subject to the laws of karma, eternally revolving in the cycle of Birth and Death. The Pure Land dream on the other hand, is from dream to Enlightenment and gradual awakening to the ultimate stage of Buddhahood. Although the illusory dreams are the same, the conditions of the dreaming state in the two instances are really different. Thus, it is truly necessary to recite the Buddha's name seeking rebirth in the Pure Land!


These explanations have clearly demonstrated the need to seek rebirth in the Pure Land. However, the stanza from the Diamond Sutra quoted above is still an expedient explanation to help sentient beings abandon the common mortal's concept of attachment. Going one step further, as stated in the Great Prajna Paramita Sutra:

Buddha Sakyamuni explained to those of dull capacities that all dharmas are dreamlike, silent, and still, lest they develop view-attachment. To those of sharp capacities He spoke of the embellishments of the Buddhas, because they are like lotus blossoms, untouched by worldly dusts.

For this reason, Subhuti, who of all the Arhat disciples of Buddha Sakyamuni was foremost in the realization of the Truth of Emptiness (devoid of all names and marks), characteristically received a prediction that he would attain Buddhahood in the future under the title of "Name and Mark Buddha." Thus, the sublime truth of no name or mark is inseparable from name and mark -- all illusory dharmas are the Buddhas' dharmas, true and unchanging.

Going still deeper, to the ultimate and perfect stage, as the Sixth Patriarch has said:

Sentient beings are originally Buddhas, afflictions are Bodhi (Enlightenment), all delusions are the perfect and illuminating state, truly enlightened, of the womb of the Tathagatas

(Buddhism of Wisdom & Faith: Pure Land Principles and Practice oleh Dharma Master Thich Thien Tam)

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

sobat-dharma

#221
Jika mengakui adanya anatta, sebenarnya konsistensi itu tidak pernah ada. Kenapa demikian? Perasaan bahwa adanya suatu "konsistensi" yang menyebabkan seseorang melihat aku (atma) sebagai satu kesatuan, karena mengira "aku di masa lalu" sama dengan "aku di masa kini" dan "aku di masa depan."

Misalkan demikian, seseorang dituntut untuk tetap konsisten dalam bersikap dan bertindak, sebab tidak demikian ia dianggap bukan dirinya lagi. Jika seseorang menjadi tidak konsisten, ia dianggap tidak jujur atau sedang menyembunyikan diri yang sebenarnya. Dengan demikian kita menuntut ia menjadi konsisten. Padahal bagaimana mungkin konsistensi itu ada, jika diri itu sendiri tidak konsisten. Mengapa "diri" itu inkonsisten, saya akan menggunakan contoh di bawah.

Misalkan seseorang yang kita kenal di masa kecil, kita temui lagi di masa dewasanya, ternyata telah berubah sama sekali penampilannya, lantas kita anggap dirinya menjadi berbeda. Oleh karena itu apa yang kita sebut sebagai "diri" pada dasarnya adalah inkonsisten. Jika diri saja inkonsisten, lantas bagaimana kita bisa mengharapkan segala sesuatu di dunia ini harus konsisten?

Ketika kita berusaha menarik sebuah konsistensi kita hanya semakin masuk dalam ilusi adanya "kesamaan" atau "perbedaan" antara satu hal dengan hal yang lain. jelas masalah konsistensi adalah masalah persepsi belaka.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

chingik

#222
Quote from: sobat-dharma on 23 November 2008, 03:56:31 PM
Jika mengakui adanya anatta, sebenarnya konsistensi itu tidak pernah ada. Kenapa demikian? Perasaan bahwa adanya suatu "konsistensi" yang menyebabkan seseorang melihat aku (atma) sebagai satu kesatuan, karena mengira "aku di masa lalu" sama dengan "aku di masa kini" dan "aku di masa depan."

Misalkan demikian, seseorang dituntut untuk tetap konsisten dalam bersikap dan bertindak, sebab tidak demikian ia dianggap bukan dirinya lagi. Jika seseorang menjadi tidak konsisten, ia dianggap tidak jujur atau sedang menyembunyikan diri yang sebenarnya. Atau seseorang yang kita kenal di masa kecil, kita temui lagi di masa dewasanya, ternyata telah berubah sama sekali penampilannya, lantas kita anggap dirinya menjadi berbeda. Oleh karena itu apa yang kita sebut sebagai "diri" pada dasarnya adalah inkonsisten. Jika diri saja inkonsisten, lantas bagaimana kita bisa segala sesuatu di dunia ini harus konsisten?

Ketika kita berusaha menarik sebuah konsistensi kita hanya semakin masuk dalam ilusi adanya "kesamaan" atau "perbedaan" antara satu hal dengan hal yang lain. jelas masalah konsistensi adalah masalah persepsi belaka.
Betul.
Kalo Kitab Theravada 100% konsisten, maka Raja Milindapanha tidak akan mempertanyakan begitu banyak hal yang inkonsistensi dalam ajaran Buddha. Begitu bukan?  ;)


dilbert

Quote from: GandalfTheElder on 23 November 2008, 02:07:27 PM
Yah... kan pendapat... bukti kagak ada....  :))

Nah kalau begitu, kenapa anda mengatakan:

"seolah olah bahwa TANAH SUCI SUKHAWATI itu EKSIS... Karena memang dari awal dalam "NALAR" saya itu TANAH SUCI itu hanya di pikiran... TIDAK ADA ITU..."

Sebab dukkha kan toh ya dari pikiran? Nah yang merasakan dukkha itu kalau bukan pikiran terus apa?

Kalau menurut anda yang ada di pikiran itu tidak eksis, maka dukkha itu sebenarnya ya tidak eksis dong... kalau dukkha tidak eksis, berarti dunia ini tidak eksis. Lah anda kok ngomong dunia ini Eksis?

_/\_
The Siddha Wanderer

Kan sama pendapat saya dengan quote dari Master Zen Tien Ju yang diquote sebelumnya bahwa TANAH SUCI SUKHAWATI ITU HANYA DIPIKIRAN...

Terus yang saya katakan bahwa banyak umat awam MAHAYANA yang salah tafsir seolah olah TANAH SUCI SUKHAWATI itu EKSIS... bahwa ketika mereka meninggal akan dijemput oleh TIGA SEKAWAN (BUDDHA AMITABHA, BODHISATVA AVALOKITESVARA dan BODHISATVA MAHASTAMAPRAPTA). Ketidakjelasan inilah yang seringkali menjadi salah tafsir.

Kemudian yang saya katakan tentang DUNIA ini EKSIS adalah dari segi pandangan saya sebagai seorang Puthujana. Sekarang saya masih puthujana, saya bagaimanapun masih menganggap dunia ini eksis, penderitaan ini eksis. Lha bagaimana tidak... Saya hutang kepada orang lain, apakah ini eksis atau tidak ?? apakah bisa saya tidak bayar hutang kepada orang lain ?? apakah saya kalau sudah tidak bayar hutang, saya bisa menganggap bahwa semua itu hanya ILUSI, hanya KHAYALAN, bahwa semua itu kosong ??

Bahwa untuk mengatakan bahwa pada dasarnya semua itu ILUSI, hanya KHAYALAN dan pada dasarnya KOSONG, adalah sisi pandangan bukan seorang puthujana, tetapi sebagai seorang ARIYA dan dalam hal ini saya bukan.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

dilbert

Quote from: chingik on 23 November 2008, 02:09:26 PM

Saya tidak mengatakan pake Iman . Silakan cari sendiri, karena bro sendiri katanya belajar Zen, jadi pake apa ya? hehe

Mahayana juga tidak tumpang tindih, yang tidak memahami saja yang merasa tumpang tindih.
Contoh Theravada yang tumpang tindih:  selalu menjelaskan ttg Anatta, tetapi menganggap segala fenomena sebagai sesuatu yg eksis. Ini adalah konsep saling berlawanan juga di sudut pandang Mahayana. Saya mengerti sebenarnya ini tidak tumpang tindih, tapi kesannya tumpang tindih bukan? yang notabene sebenarnya sama saja dengan Mahayana juga karena disalah pahami makanya terkesan tumpang tindih.  

Coba quote pernyataan Theravada yang menyatakan bahwa segala fenomena adalah sesuatu yang eksis ?? Nyata nyata ajaran theravada mengajarkan tentang an-atta. Yang menyatakan bahwa segala fenomena itu eksis adalah jalan pikiran seorang awam (puthujana) seperti saya. Makanya saya belajar ajaran BUDDHA (theravada) untuk menyelami dan mempraktekkan konsep an-atta itu.

Malah saya pertanyakan lagi kepada Mahayana... Apakah Mahayana menganut konsep An-atta ?? Bagaimana dengan konsep TRI-KAYA di dalam Mahayana  yang "sering" disalah artikan dengan adanya atta. khususnya di dalam pengertian Sambhogakaya dan Dharmakaya...

Di dalam Theravada jelas dan PASTI menyatakan bahwa dengan pencapaian nibbana itulah pembuktian konsep An-atta.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan