News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Bhavaviveka "vs" Hinayana

Started by GandalfTheElder, 01 November 2008, 03:18:41 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

dilbert

Quote from: chingik on 16 November 2008, 12:01:12 PM
Quote
arahat yang tidak "parinibbana" memang menjadi suatu "pengecualian". Terbatas pada kapasitas kita untuk mengetahui "dimana" para ARAHAT yang tidak parinibbana. Tentunya ini tidak akan menjadi "perdebatan" tentang ARAHAT yang KEMBALI...

Dikatakan bahwa ada 10 dharmadattu... apakah itu ALAM ?? kalau alam berarti ada kelahiran barulah bisa "EKSIS" di alam tersebut. Lantas dikatakan lagi bahwa Arahat Dharmadatu itu berada di bathin ARAHAT itu sendiri... Lagi lagi pernyataan yang AMBIGU... bathin ARAHAT yang mana ?? Apakah di perasaan, pencerapan, ingatan atau kesadaran ARAHAT.

Inilah yang saya katakan In-konsistensi... Satu sisi menyatakan ARAHAT sudah terbebas dari SAMSARA (tidak dilahirkan kembali lagi), satu sisi menyatakan masih bisa mengunjungi SAMSARA...

DAri awal, Saya (dengan versi Theravada saya) tidak menyatakan bahwa Nibbana itu alam... Justru sdr.chingik (dengan versi MAHAYANA-nya) yang menyatakan "seolah-olah" bahwa NIBBANA itu adalah alam, bahwa ada ARAHAT Dharmadattu (tempat para ARAHAT) dsbnya.

Inkonsistensi bagaimana? Analoginya adalah Orang yang terbebas dari penjara masih sanggup datang ke penjara (tapi bukan dalam kapasitas tekurung).  Jika tidak bisa datang ke penjara (seperti pemahaman anda tentang Arahat) maka ini menunjukkan ada satu rintangan yg tidak dapat ditembus oleh Arahat. Jika ada rintangan, bagaimana bisa disebut mencapai kebebasan?   
Saya tidak mengatakan Arahat yang terbebas dari penjara akan "Terlahir Kembali" dlm pengertian konvensional. Tetapi karena telah mematahkan dualitas, maka Arahat yg masuk ke jalur bodhisatva tidak melekat antara samsara dan nibbana, karena tidak melekat, maka ia leluasa, karena leluasa maka dikatakan batinnya bebas. Tidak ada pernyataan bahwa Arahat akan lahir kembali. Yang ada adalah dengan kekuatan pikiran, Arahat yg masuk ke jalur bodhsiatva dapat melakukan aktivitas kebodhisatvaan dgn berbagai jelmaan.  
Jika mengatakan Arahat tidak akan mengunjungi samsara lagi, justru itu menunjukkan pemikiran dualitas Arahat. Jadi penjelasan singkat bro Soba-dharma saya rasa perlu dicamkan juga.


Telah terbebas, tidak melekat, bebas dan leluasa... ARAHAT MASIH INGIN MENCAPAI ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA ??
Apakah tidak kontradiktif ??
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

GandalfTheElder

#166
Quote from: Kelana on 07 November 2008, 01:40:35 AM
Halo semua...numpang lewat sebentar.

Pertama. Mengenai topik Bhavaviveka "vs" Hinayana ,
1.   Hinayana bukanlah Theravada. Polemik Hinayana & Mahayana di India muncul setelah leluhur Theravada (mungkin Vibhajjavāda ) hijrah ke Sri Lanka.
2.   Bhavaviveka tidak menjawab mengenai argumen dari aliran lain seperti argumen no.2, 3, 4, 7, 9

Tanpa menjawab no.2 maka Bhavaviveka mengakui bahwa Mahayana mengajarkan bahwa Tathagata itu abadi.
Tanpa menjawab no.3 maka Bhavaviveka mengakui bahwa Mahayana mengajarkan Mahayana tidak menanggalkan konsep atman...dst sampai no.9

Kedua. Saya masih sangat meragukan Saddharmapundarika Sutra sebagai teks rujukan yang tepat untuk membahas masalah dalam topik ini. Kenapa? Karena ada istilah Hinayana dalam teks Saddharmapundarika Sutra, sebuah istilah yang muncul belakangan yang jelas dan tegas merujuk pada aliran tertentu. Jadi jika ada yang mengajukannya sebagai rujukan, maaf terpaksa saya mengesampingkannya.

Ketiga. Ini adalah jawaban yang seharusnya Bhavaviveka terangkan untuk menanggapi argumen no.3. Saya tidak tahu apakah Bhavaviveka memang tidak menjelaskannya atau Sdr. Gandalf yang tidak mencantumkannya.
Dalam Mahayana, Nirvana = Sunyata = Adi Buddha = Tathagatagarbha = Dharmakaya. Nirvana, Sunyata merupakan "penggambaran" secara negatif dari Yang Absolut. Sedangkan, Adi Buddha, Tathagatagarbha, Dharmakaya merupakan "penggambaran" secara positif dari Yang Absolut.
Mengenai penjelasan versi sutranya silahkan membacanya di The Lankavatara Sutra Chapter VI, Transcendental Intelligence (tapi saya masih sedikit meragukan satu hal akan sutra ini). Dan seharusnya sebagai emanasi Amitabha Buddha, Bhavaviveka mengetahui sutra ini dan menjelaskannya.


Keempat. Bhavaviveka menyimpulkan (atau ini kesimpulan Sdr. Gandalf sendiri, maaf soalnya tidak ada tanda-tanda pemisah):
"Jadi berdasarkan kutipan di atas bahwa ada sesuatu yang tidak diajarkan Sang Buddha dalam sutra-sutra Hinayana, karena para Sravaka dan Pratyekabuddha tidak dapat memahami kebijaksanaan tingkat superior."

Bukankah kita juga bisa mengatakan bahwa ada penambahan atau penempaan sutra yang dilakukan Mahayanis sehingga akhirnya tidak terdapat dalam literatur non-Mahayana?

Jadi, bagi saya ada atau tidak ada sebuah sutra dalam sebuah koleksi bukan menjadi masalah yang penting, karena satu pihak ada yang memang tidak memiliki karena memang tidak pernah ada dan ada pihak lain yang menambahkan koleksi pribadi nya sendiri. Tapi yang penting adalah bertentangan (kontradiksi) atau tidak suatu sutra dengan sutra yang lain.


Kelima. Bhavaviveka dalam Tarkajvala mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka]. Perhatikan kata-kata yang saya tebalkan. Jika saya menyimpulan maka Bhavaviveka mengatakan bahwa para Sravaka adalah kaum yang hina, papa, tidak bermoral. Dalam bahasa Sanskerta maupun Pali, kata "hina" berarti hina, papa, tidak bermoral, dan bukan berarti "kecil" seperti yang digembar-gemborkan. Istilah "hina" jelas-jelas mengacu pada istilah yang negatif. Coba kita bandingkan dengan pembahasan kita di topik The Vajracchedika Prajna Paramita Sutra dengan keberadaan istilah "hīnādhimuktiakaiḥ" yang berarti kecenderungan diri pada hal-hal yang tidak bermoral. http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=735.15

Kata "hina" jelas berarti tidak bermoral. Dan perlu dicatat bahwa salah satu peninggalan dari bahasa Sanskerta yang masih digunakan oleh bahasa Indonesia yaitu kata "hina" itu sendiri yang berarti jelek, buruk. Jika yang dimaksud adalah lawan dari kata "maha" sebagai lawan dari "mahayana", maka seharusnya kata yang digunakan adalah kata "cuula" yang berarti kecil. Jadi "Cuulayana" bukan "hinayana". Inilah alasan mengapa saya katakan bahwa kata "hinayana" bersifat negatif.

Dan kembali lagi, jika dikatakan bahwa Sravaka adalah jalan yang hina, buruk, a-moral, maka pertanyaannya mengapa Sang Buddha yang mulia itu dan piawai dalam mengajar justru mengajarkan jalan yang a-moral itu? Kemudian, Sravaka. Kita tahu arti dari Sravaka, yaitu pendengar atau juga siswa. Apakah Bodhisattva mendengarkan ajaran para Buddha? Apakah Bodhisattva siswa Sang Buddha? Jika Ya, maka Bodhisattva juga adalah seorang Sravaka. Jika dikatakan "Kaum Hinayana (Sravaka)" seperti kata Bhavaviveka dalam Tarkajvala, itu berarti Bodhisattva adalah bagian dari Hinayana (ajaran a-moral) itu sendiri. Jika demikian untuk apa jalan Bodhisattva?  ;D
Semoga rekan-rekan bisa memahami jalan logikanya yang cukup rumit ini :D


Halo bro. Kelana,

Pertama-tama, saya akan kemukakan maksud dari Bhavaviveka mengatakan semua itu, terutama tentang Sutra-sutra Mahayana hanya diperuntukkan bagi para Bodhisattva. Ketika Bhavaviveka mengatakan hal ini, maksud Beliau adalah jawaban bagi klaim-klaim Hinayana tersebut sudah ada dalam Sutra-sutra Mahayana. Maka dari itulah saya katakan Bhavaviveka mempunyai maksud tersendiri dengan tidak menjawabi argumen Hinayana tersebut satu-satu.

Maka untuk melengkapi maksud Bhavaviveka, saya hendak memposting isi Sutra-sutra Mahayana tersebut plus penjelasannya. Namun karena membahas 9 poin tersebut sangatlah panjang (penerjemahan plus pembahasannya), maka saya butuh waktu untuk menyelesaikan semuanya, mungkin nanti Desember saya baru bisa mempostingkannya, lagipula saya masih ada banyak tugas kuliah. Hari ini kebetulan saya agak nyantai dan sudah ada beberapa tugas yang selesai, maka saya meluangkan waktu untuk berdiskusi di forum Dhammacitta.

Hinayana memang tidak identik dengan Theravada. Dan saya sepenuhnya menyadari hal tersebut.

Anda mengatakan:
"Karena ada istilah Hinayana dalam teks Saddharmapundarika Sutra, sebuah istilah yang muncul belakangan yang jelas dan tegas merujuk pada aliran tertentu."

Apa anda mengerti perbedaan antara "vada" dengan "yana"??

Hinayana ini merujuk pada 18 sekte agama Buddha (vada) yang tidak menjalankan jalan Bodhisattva.

Mahayana merujuk pada 18 sekte agama Buddha (vada) yang menjalankan jalan Bodhisattva.

Maka dari itu di Srilanka, Bhiksu Tang Xuanzang melihat bahwa ada 2 kelompok Theravada:
1. Hinayana Theravada (Mahaviharavasin)
2. Mahayana Theravada (Abhayagirivasin)

Namun di kalangan Mahaviharavasin sendiri juga ada tokoh-tokoh yang berikrar menjadi seorang Sammasambuddha, maka dari itu para tokoh-tokoh ini juga dapat digolongkan dalam "Mahayana Theravada".

Atisha Dipamkara yang seorang Mahayana adalah bhiksu sekte Mahasanghika. Shantaraksita yang yang seorang Mahayana adalah bhiksu sekte Mulasarvastivada.

Maka dari itu sebenarnya para bhiksu Mahayana sekarang ini adalah para anggota Sangha sekte Dharmagupta, BUKAN Sangha sekte Mahayana. "Mahayana" adalah sebuah jalan hidup atau kesucian yang dapat ditempuh oleh umat Buddhis dari ke-18 sekte.

Anda menyelewengkan arti "hina" dari Hinayana. Memang "hina" dapat berartio amoral, tetapi "hina" juga memiliki arti lain:

The Monier-Williams Sanskrit-English Dictionary (Oxford, 1899), gives a translation of 'Hīna' as: "deficient, defective, faulty, isufficient, short, incomplete, poor, little, low, vile, bad, base, mean.". According to Pali Text Society Dictionary, the word hina in sanskrit and pali has much derogatory meaning. Hina: 1. inferior, low; poor, miserable; vile, base, abject, contemptible, despicable 2. deprived of, wanting, lacking

Oleh karena itu "Hina" tidak selalu berarti "amoral", bisa juga berarti kecil (little), rendah (low, inferior), kurang (lacking) maupun tidak lengkap (incomplete).

Rendah karena pencapaian Arhat belumlah sempurna. Para Arhat hanya mencapai Nirvana satu sisi atau Nirvana yang egosentris – berpusat pada diri [bukan egois lo, nggak ada Arhat egois], sedangkan Samyaksambuddha telah mencapai Non-Abiding Nirvana.

Dalam Lankavatara Sutra disebutkan:

"Sang Bhagava berkata padanya: Para Bodhisattva Mahasattva yang telah mencapai tingkatan keenam, demikian juga dengan semua Sravaka dan Pratyekabuddha, mencapai ketenangan sempurna. Pada tingkat ketujuh, para Bodhisattva Mahasattva, melepaskan pandangan diri di dalam semua fenomena, mencapai ketenangan sempurna di setiap saat pikiran mereka, namun tidak demikian dengan Sravaka dan Pratyekabuddha."

Bahkan dalam naskah Theravada, Sumedha pernah berkata di hadapan Buddha Dipamkara:

"Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna dari Buddha Dipamkara? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai Kebuddhaan."

"Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai Kebuddhaan dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan."


:o  :o

Oleh karena itu arti Hinayana bukan berarti "Kendaraan Amoral, tetapi lebih ke arah "Kendaraan Kecil, Rendah, Kurang, Tidak lengkap". Oleh karena itu terjemahan Tionghoanya juga "Xiao Cheng" yang artinya Kendaraan Kecil.

Tidak pernah Mahayana mengatakan bahwa para Sravaka dan Pratyekabuddha (Hinayana) itu amoral. Coba lihat Mahayana Mahaparinirvana Sutra:

"Pada waktu itu, hadirlah para perempuan seperti Kuddara dan para bhiksuni seperti Subhadra, Upananda, Sagaramati, dan 6 juta bhiksuni. Mereka semua adalah Arhat agung. Semua asrava (kekotoran batin) telah dilenyapkan, pikiran mereka tidak terganggu dan dapat bertindak sekehendak mereka. Mereka telah terpisah dari semua ilusi dan indra (skandha) mereka semuanya telah ditaklukkan. Bagaikan para naga agung, mereka sempurna dalam kebajikan. Mereka telah mencapai Kebijaksanaan dari Semua Kekosongan."

Tidak hanya dalam Mahayana Mahapairinirvana Sutra para Arhat diagungkan, tetapi juga dalam Sutra-sutra Mahayana lainnya.

Bagi Mahayana, tidak ada kontradiksi antara Hinayana dan Mahayana, karena kaum Mahayana memang mengakui bahwa Hinayana adalah bagian dari Mahayana. Ini disebutkan dalam Manjusri Pariprccha Sutra di mana dikatakan para Sravaka dan Pratyekabuddha termasuk dalam keluarga besar Mahayana.

Mahayana juga menganggap bahwa ajaran para Hinayana tergolong dalam periode Agama, yang merupakan periode awal, maka dari itu tidak heran apabila ajaran yang dibabarkan pada periode tersebut tidak seperti ajaran-ajaran Mahayana (Vaipulya, Prajnaparamita), karena ajaran periode Agama memang hanyalah awal dan dasar, belum berkembang seperti Vaipulya maupun Prajnaparamita.

Dalam Mahayana juga dikenal upaya kausalya. Maka dari itu perbedaan pandangan antara 18 sekte, perbedaan pandangan Hinayana dengan Mahayana itu semuanya adalah upaya kausalya dari Sang Buddha, karena Sang Buddha membabarkan ajaran yang berbeda-beda bagi kondisi batin manusia yang juga berbeda-beda di waktu dan tempat yang berbeda-beda pula.

Namun kita dapat melihat bahwa inti ajaran Sang Buddha yaitu  4 Kebenaran Mulia dan Delapan Ruas Jalan, ada dalam Hinayana maupun Mahayana.

Kalau bagi Hinayana, tentu saja Mahayana berkontradiksi dengan mereka. Tapi bagi Mahayana, tidak ada yang namanya kontradiksi dalam ajaran Buddha, baik itu Theravada, Mahayana maupun Vajrayana (yang juga merupakan bagian dalam Mahayana).

_/\_
The Siddha Wanderer
 
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

chingik

Quote
Telah terbebas, tidak melekat, bebas dan leluasa... ARAHAT MASIH INGIN MENCAPAI ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA ??
Apakah tidak kontradiktif ??
Sudah dijelaskan bahwa ini harus dilihat dari tingkat dan perpektif yang mana dulu. Kalimat Telah terbebas, tidak melekat, bebas dan leluasa..., --> inikan dari perspektif Jalan Arahat.
Sedangkan ARAHAT MASIH INGIN MENCAPAI ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA ?? -->Itukan dilihat dari perpektif jalur bodhisatva.

Bukankah saya sudah menganalogikan tentang penempuhan pendidikan. Seorang siswa SMA telah menamatkan pendidikannya. Apakah disebut Tamat? Iya jika dilihat dari perspektif tingkatan pendidikannya, yakni SMA. Namun dilihat dari perspektif Perguruan tinggi, dia belumlah tamat.  Begitu juga Arahat, dia sudah terbebas, tidak melekat, itu dilihat dari perspektif jalan kearahatan. Namun dilihat dari perspektif jalur bodhisatva, dia masih ada kemelekatan.
Itulah maksud dalam pandangan Mahayana. Jadi kontradiktif bagaimana?

GandalfTheElder

Bro. chingik....

Thank you bangettt udah bantu saya menjawab pertanyaan rekan-rekan di sini.... hehe....  ;)

Gimana kalau nanti kita bicarain majalah SD bro?? Soalnya yang kali ini akan terbit agak beda... nanti kita diskusi lewat email aja....hehe.... ;D

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

dilbert

Quote from: chingik on 16 November 2008, 09:41:43 PM
Quote
Telah terbebas, tidak melekat, bebas dan leluasa... ARAHAT MASIH INGIN MENCAPAI ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA ??
Apakah tidak kontradiktif ??
Sudah dijelaskan bahwa ini harus dilihat dari tingkat dan perpektif yang mana dulu. Kalimat Telah terbebas, tidak melekat, bebas dan leluasa..., --> inikan dari perspektif Jalan Arahat.
Sedangkan ARAHAT MASIH INGIN MENCAPAI ANNUTARA SAMMASAMBUDDHA ?? -->Itukan dilihat dari perpektif jalur bodhisatva.

Bukankah saya sudah menganalogikan tentang penempuhan pendidikan. Seorang siswa SMA telah menamatkan pendidikannya. Apakah disebut Tamat? Iya jika dilihat dari perspektif tingkatan pendidikannya, yakni SMA. Namun dilihat dari perspektif Perguruan tinggi, dia belumlah tamat.  Begitu juga Arahat, dia sudah terbebas, tidak melekat, itu dilihat dari perspektif jalan kearahatan. Namun dilihat dari perspektif jalur bodhisatva, dia masih ada kemelekatan.
Itulah maksud dalam pandangan Mahayana. Jadi kontradiktif bagaimana?


analogi pendidikan SMA dan perguruan tinggi tidak begitu tepat bro... karena keduanya tidak sama...

Analogi yang tepat mungkin begini... Karena ARAHAT disebut SAVAKA BUDDHA, sammasambuddha juga BUDDHA... maka analogi seorang mahasiswa. Teringat sewaktu kuliah dulu, misalnya : IPK saya ketika mendekati akhir kuliah sekitar 2,9... karena ingin lulus dan mendapat predikat Sangat memuaskan (minimal IPK 3,25) maka saya terpaksa harus mengambil beberapa mata kuliah lagi untuk perbaikan nilai. Walaupun dengan IPK 2,9 saya sudah bisa dianggap tamat kuliah, tetapi karena ingin memperbaiki nilai, terpaksa saya harus menambah waktu kuliah saya minimal 1 semester untuk mengambil beberapa mata kuliah yang akan diperbaiki nilainya... Inilah analogi untuk calon ARAHAT yang beraspirasi untuk menambah "nilai" dan "parami"-nya untuk mencapai hasil yang lebih tinggi (annutara sammasambuddha). Apakah untuk mencapai itu, seorang calon ARAHAT sudah bisa disebut dengan ARAHAT, tentu tidak bisa... sama seperti analogi mahasiswa tersebut. Mahasiswa tersebut secara kualitas, IPK sudah mencapai batas untuk bisa LULUS. TEtapi karena ingin mendapat yang "LEBIH" terpaksa harus menempuh jalur tambahan lagi.

Tetapi misalnya mahasiswa tersebut cukup puas dengan nilai IPK 2,9 dan ingin segera menamatkan kuliah dan mencapai gelar sarjana. Maka diwisuda-lah mahasiswa tersebut dengan gelar Sarjana. Lantas apakah ketika sudah mencapai gelar sarjana, apakah Mahasiswa tersebut masih bisa "KEMBALI" untuk meningkatkan nilainya. Tentu tidak bisa donk...
Inilah analogi mengapa seorang INDIVIDU yang sudah merealisasi ARAHAT sudah tidak bisa lagi untuk mencapai apa yang disebut dengan annutara sammasambuddha.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

sobat-dharma

Quote from: dilbert on 16 November 2008, 06:25:29 PM


Lantas Nirvana itu apa ?? Dikatakan bahwa nirvana itu bukan alam (saya juga menyatakan bukan alam), juga bukan kondisi bathin (saya lebih setuju dengan terminologi ini). Benar sekali dalam bathin seorang ARAHAT tidak membedakan lagi antara nibbana dan samsara (karena sudah mencapai egaliter non-dualisme), tetapi ketika berbicara kepada umat AWAM, seorang sammasambuddha bahkan harus menjelaskan apa itu samsara dan apa itu nibbana...

Kalau anda bertanya nirvana itu apa? Anda akan kembali terjebak dalam penjabaran definitif. Saya khawatirnya, jika dipaksakan untuk menjelaskan apakah itu nirvana maka tidak ada kata-kata yang dapat digunakan. Saya rasa apa itu nirvana, hanya bisa dapat "dirasakan" (ini hanya metafora loh) oleh yang merealisasikannya. Saya yang masih umat awam tidak bisa  menjelaskannya. Saya rasa diskusi kita memasuki wilayah yang sulit dikatakan dalam bahasa.

Masalahnya justru adalah ketika kita memisahkan antara aspek internal (batin) dan eksternal (alam) secara terpisah, maka kita akan terjebak dalam "paham yang salah." Pandangan seperti ini kemudian terjebak pada keyakinan adanya "objek di luar subjek" dan "subjek yang terpisah dari objek." Menurut Patriarch Chien-chih Seng-ts'an dalam Hsin-hsin Ming (信心銘):

The object is related to the subject. The subject is related to the object  (境由能境 能由境能)

Oleh karena itu, subjek dan objek pada hakikatnya adalah saling mengadakan. Batin dan alam keduanya saling mengadakan. Tidak ada batin, tanpa alam. Tidak ada alam, tanpa batin.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

sobat-dharma

Tambahan: Oleh karena itu Nirvana adalah kondisi batin sekaligus adalah alam, sekaligus juga bukan dua-duanya.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

dilbert

Quote from: sobat-dharma on 16 November 2008, 10:31:25 PM
Quote from: dilbert on 16 November 2008, 06:25:29 PM


Lantas Nirvana itu apa ?? Dikatakan bahwa nirvana itu bukan alam (saya juga menyatakan bukan alam), juga bukan kondisi bathin (saya lebih setuju dengan terminologi ini). Benar sekali dalam bathin seorang ARAHAT tidak membedakan lagi antara nibbana dan samsara (karena sudah mencapai egaliter non-dualisme), tetapi ketika berbicara kepada umat AWAM, seorang sammasambuddha bahkan harus menjelaskan apa itu samsara dan apa itu nibbana...

Kalau anda bertanya nirvana itu apa? Anda akan kembali terjebak dalam penjabaran definitif. Saya khawatirnya, jika dipaksakan untuk menjelaskan apakah itu nirvana maka tidak ada kata-kata yang dapat digunakan. Saya rasa apa itu nirvana, hanya bisa dapat "dirasakan" (ini hanya metafora loh) oleh yang merealisasikannya. Saya yang masih umat awam tidak bisa  menjelaskannya. Saya rasa diskusi kita memasuki wilayah yang sulit dikatakan dalam bahasa.

Masalahnya justru adalah ketika kita memisahkan antara aspek internal (batin) dan eksternal (alam) secara terpisah, maka kita akan terjebak dalam "paham yang salah." Pandangan seperti ini kemudian terjebak pada keyakinan adanya "objek di luar subjek" dan "subjek yang terpisah dari objek." Menurut Patriarch Chien-chih Seng-ts'an dalam Hsin-hsin Ming (信心銘):

The object is related to the subject. The subject is related to the object  (境由能境 能由境能)

Oleh karena itu, subjek dan objek pada hakikatnya adalah saling mengadakan. Batin dan alam keduanya saling mengadakan. Tidak ada batin, tanpa alam. Tidak ada alam, tanpa batin.

Memang Nirvana tidak bisa dijelaskan DENGAN TEPAT 100% dengan kata kata, tetapi minimal dapat didekati. Jika memang tidak dapat dijelaskan. DARI DULU TIDAK ADA TERMINOLOGI NIBBANA... Bahkan seorang SAMMASAMBUDDHA tidak akan bisa "MENJELASKAN" kepada anda secara memuaskan. Karena seperti kata anda, bahwa harus dirasakan dahulu... Ketika anda sudah "MERASAKAN" NIRVANA, anda kembali kehilangan kata kata untuk menjelaskan... (seperti kata anda).
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

GandalfTheElder

#173
Quote from: El Sol on 05 November 2008, 03:18:26 PM
mana getehe...gw kira itu khan Petavatthu yg lengkap...

tapi dari excerptnya ajah dah bisa dilihat kalo alam peta itu sangat2 menderita..so back to topic...

Hahaha... makanya baca yang teliti........... kalau mau membahas Dharma, jangan asal.

Quoteseorang manusia bisa jadi Anagami memerlukan Kamma baek yg sangat besar!...contoh Angulimala, itu..sang Buddha sebelum menyadarkan Angulimala, beliau melihat dulu kamma Angulimala..apakah cukup bagi dia untuk jadi Arahat, dan ternyata cukup dan kalo dia sempet membunuh ibunya, maka tidak akan cukup kamma baek Angulimala untuk jadi Arahat...

ngerti?..

dan di case Guan gong, itu impossible bagi dia untuk bisa jadi Deva, kenapa?..

1.dia ngebunuh banyak2 orang
2.dia SEMPET JATUH ke alam peta
3.gk gampang keluar dari alam peta, karena isinya hanya penderitaan dan Buddha Dhamma tidak akan dimengerti oleh mereka yg sedang menderita...

Nah anda sudah tahu kan vimanapeta itu apa  ;D

Ngomong-ngomong..... dalam kehidupan lampau kita yang tidak terbatas ini.... sudah berapa banyak karma buruk yang kita lakukan ya?? Pastinya buaaannnyyyaaakkkk nggak terkira deh!!!...... tapi toh saya sekarang bisa seneng-seneng dan nyaman duduk sambil posting di forum Dhammacitta...  ^-^

Quotebah watever the stupid Buddha said...

what I know is that..sang Buddha mengajarkan bahwa nanem jagung keluar jagung...nanem padi keluar padi...mao disalahkan ato didewakan..tetap ajah Kamma tetap berjalan...

Wakakaka..... "Stupid Buddha"?? Wah..wah... ckckck......

Quotegw liat dari quote itu + pancasila gw bisa buat kesimpulan yg lumayan kuat bahwa sang Buddha menolak perang 100% dengan alasan apapun juga!...

Sang Buddha mengatakan hal tersebut karena Jenderal Sinha harus pergi berperang (tentu perintah kerajaan tidak bisa ditolak!) dan Jenderal Sinha bertanya pada Sang Buddha mengenai hal tersebut.

Sang Buddha memang tidak pernah membenarkan perang dan tentu 100% menolak perang.

Tetapi memang ada sebuah kondisi di mana perang tidak terhindarkan lagi, dan Sang Buddha juga mengakui hal tersebut dan tidak menyalahkannya (pihak yang berperang dengan tujuan mulia, bukan tujuan yang buruk).

Quotewatever thing..no comment for this one...nothing to discuss..

:))  :))  :))

Quotewell...gk banget yak kalo loe bilank guan yu itu berperang bukan demi dirinya sendiri...tujuan dia perang apa?..untuk negara dia...kenapa perang untuk negara dia?..agar rakyat2 dia bisa damai dan tentram, dan kalo rakyatnya damai dan tentram, dia juga enak!...bisa buat sesukanya..yg dianggap bener ama dia...yah sama lar kayak pemikiran para Mujahid..gk beda banget..

Wakaka.... ya terserah anda..... tapi emangnya anda tahu klo Guan Yu itu seperti itu??  ^-^

Kita memang sama-sama tidak tahu persisnya kepribadian Guan Yu itu seperti apa. Tapi saya merujuk pada catatan sejarah Sanguo Zhi serta novel Sanguo Yanyi. Jadi kepribadian yang saya tahu itu masih ada sumbernya.

La kalau anda? Interpretasi pribadi? Tebak-tebakan?  ^-^  ^-^

Hati-hati omongan anda ini lo.... kalau ada umat Khonghucu atau Tao yang ketemu anda.... wah bisa abis tuh anda....  ^-^

Quoteok gini ajah...gw dah nanya master gw tentang Vimanapeta, dia bilank dia gk tao...karena katane Petavatthu itu bukan bacaan favorit dia(katane gk berguna baca gituan)...karena skarang loe ada copynya, loe ketik ajah pengenalan Vimanapeta di Thread baru...jangan disini..tambah ribet nanti topikne..

Yah... udah dikasih linknya tuh ama bro. chingik.... hehe....

Quotebah..jangan pake pemikiran Theravada ke dalam Mahayana donk..jelas2 kalo konsep Boddhisatva Mahayana itu mirip2 sama konsep Deva ato Tuhan diagama laen...

Loh, bukannya anda yang nggak paham Mahayana?  ^-^  ^-^

Kalau anda berkata begini sama Bhante atau Pandita Mahayana yang ngerti... anda bisa diketawain nih......

Quote
Think man..THINK!...

mata kalo liat monitor terus..bisa buta..

untuk apa mengorbankan mata gw buat artikel2 yg tidak jelas unsurnya?...ato untuk Dhamma yg notabene belum tentu benar....Ajahn Brahm pernah bilank...Kitab suci agama Buddha adalah meditasi...Tipitaka dll cuma map..

haha..aku mending kuper Dhamma daripada kuper beneran..

kalo kuper beneran nanti gk bisa melihat Dhamma yg sesungguhnya...cape deh..T_T

Lah... cara-cara meditasi Buddhis itu kalau bukan dari Tripitaka terus dari mana? Hayo?? Coba sebutin!

La para Bhante juga taunya dari Tripitaka kok!

Kalo anda kuper sama Dharma, ya otomatis anda juga kuper beneran. la wong Dharma = Kebenaran kok!

La kalau anda kuper sama Kebenaran, ya itu yang namanya kuper beneran!  ^-^  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

sobat-dharma

Quote from: dilbert on 16 November 2008, 10:40:43 PM

Memang Nirvana tidak bisa dijelaskan DENGAN TEPAT 100% dengan kata kata, tetapi minimal dapat didekati. Jika memang tidak dapat dijelaskan. DARI DULU TIDAK ADA TERMINOLOGI NIBBANA... Bahkan seorang SAMMASAMBUDDHA tidak akan bisa "MENJELASKAN" kepada anda secara memuaskan. Karena seperti kata anda, bahwa harus dirasakan dahulu... Ketika anda sudah "MERASAKAN" NIRVANA, anda kembali kehilangan kata kata untuk menjelaskan... (seperti kata anda).

"Nirvana" bukan istilah yang berasal dari Sang Buddha sendiri, begitu juga kata "samsara". Istilah ini digunakan karena memang kata itu yang dipahami oleh masyarakat ia berada. Nah, jika kemudian alat untuk menjelaskan apa yang "dicapai" oleh Sang Buddha kemudian diartikan sebagai realitas itu sendiri, di sana lah letak masalahnya. Begitu juga ketika seseorang menyebut nama "arahant" dan "bodhisattva", sebenar ia tidak dapat dengan tepat 100% menjelaskan apa sebenarnya yang "dicapai" oleh mereka.

Berkaitan dengan diskusi ini, yang mempermasalahkan posisi arahant dan bodhisattva, maka saya merasa absurd sekali kemudian kita memusingkan apakah "seorang" arahant dapat menjadi bodhisattva atau tidak. Tentu saja, anda akan mengatakan bahwa diskusi seperti ini akan meningkatkan pengetahuan kita. Saya sepakat. Tapi kalau memang belum ada jawaban yang memuaskan, saya rasa kita harus lebih banyak membaca sutra lagi dan membandingkannya. Tapi saya rasa tidak terlalu yakin akan membuahkan hasil, sebab dari pengalaman saya sutra-sutra mahayana sangat beragam dan terdiri dari kelompok yang berbeda. Saya takutnya bukan dapat jawaban pasti, tapi kita hanya akan tersesat di antara samudra kata-kata yang tak menentu. Mungkin juga, anda suatu saat akan mendapatkan jawabannya, tapi setelah itu apakah jawabannya akan membantu anda dalam mempraktikkan Ajaran Buddha? Saya koq ragu.

Pilihan kedua, sebenarnya sederhana. Jalan sudah ada di depan mata. Mengapa tidak kita lalui saja.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

hendrako

Quote from: dilbert on 16 November 2008, 10:40:43 PM
Quote from: sobat-dharma on 16 November 2008, 10:31:25 PM
Quote from: dilbert on 16 November 2008, 06:25:29 PM


Lantas Nirvana itu apa ?? Dikatakan bahwa nirvana itu bukan alam (saya juga menyatakan bukan alam), juga bukan kondisi bathin (saya lebih setuju dengan terminologi ini). Benar sekali dalam bathin seorang ARAHAT tidak membedakan lagi antara nibbana dan samsara (karena sudah mencapai egaliter non-dualisme), tetapi ketika berbicara kepada umat AWAM, seorang sammasambuddha bahkan harus menjelaskan apa itu samsara dan apa itu nibbana...

Kalau anda bertanya nirvana itu apa? Anda akan kembali terjebak dalam penjabaran definitif. Saya khawatirnya, jika dipaksakan untuk menjelaskan apakah itu nirvana maka tidak ada kata-kata yang dapat digunakan. Saya rasa apa itu nirvana, hanya bisa dapat "dirasakan" (ini hanya metafora loh) oleh yang merealisasikannya. Saya yang masih umat awam tidak bisa  menjelaskannya. Saya rasa diskusi kita memasuki wilayah yang sulit dikatakan dalam bahasa.

Masalahnya justru adalah ketika kita memisahkan antara aspek internal (batin) dan eksternal (alam) secara terpisah, maka kita akan terjebak dalam "paham yang salah." Pandangan seperti ini kemudian terjebak pada keyakinan adanya "objek di luar subjek" dan "subjek yang terpisah dari objek." Menurut Patriarch Chien-chih Seng-ts'an dalam Hsin-hsin Ming (信心銘):

The object is related to the subject. The subject is related to the object  (境由能境 能由境能)

Oleh karena itu, subjek dan objek pada hakikatnya adalah saling mengadakan. Batin dan alam keduanya saling mengadakan. Tidak ada batin, tanpa alam. Tidak ada alam, tanpa batin.

Memang Nirvana tidak bisa dijelaskan DENGAN TEPAT 100% dengan kata kata, tetapi minimal dapat didekati. Jika memang tidak dapat dijelaskan. DARI DULU TIDAK ADA TERMINOLOGI NIBBANA... Bahkan seorang SAMMASAMBUDDHA tidak akan bisa "MENJELASKAN" kepada anda secara memuaskan. Karena seperti kata anda, bahwa harus dirasakan dahulu... Ketika anda sudah "MERASAKAN" NIRVANA, anda kembali kehilangan kata kata untuk menjelaskan... (seperti kata anda).

Nibbana tidak tergambarkan oleh kata-kata. Yang dapat digambarkan dengan kata2 adalah yang BUKAN Nibbana.
Misal,
Alam dan batin bukan Nibbana.
Nibbana bukan tempat.
yaa... gitu deh

dilbert

Quote from: sobat-dharma on 16 November 2008, 11:00:45 PM
Quote from: dilbert on 16 November 2008, 10:40:43 PM

Memang Nirvana tidak bisa dijelaskan DENGAN TEPAT 100% dengan kata kata, tetapi minimal dapat didekati. Jika memang tidak dapat dijelaskan. DARI DULU TIDAK ADA TERMINOLOGI NIBBANA... Bahkan seorang SAMMASAMBUDDHA tidak akan bisa "MENJELASKAN" kepada anda secara memuaskan. Karena seperti kata anda, bahwa harus dirasakan dahulu... Ketika anda sudah "MERASAKAN" NIRVANA, anda kembali kehilangan kata kata untuk menjelaskan... (seperti kata anda).

"Nirvana" bukan istilah yang berasal dari Sang Buddha sendiri, begitu juga kata "samsara". Istilah ini digunakan karena memang kata itu yang dipahami oleh masyarakat ia berada. Nah, jika kemudian alat untuk menjelaskan apa yang "dicapai" oleh Sang Buddha kemudian diartikan sebagai realitas itu sendiri, di sana lah letak masalahnya. Begitu juga ketika seseorang menyebut nama "arahant" dan "bodhisattva", sebenar ia tidak dapat dengan tepat 100% menjelaskan apa sebenarnya yang "dicapai" oleh mereka.

Berkaitan dengan diskusi ini, yang mempermasalahkan posisi arahant dan bodhisattva, maka saya merasa absurd sekali kemudian kita memusingkan apakah "seorang" arahant dapat menjadi bodhisattva atau tidak. Tentu saja, anda akan mengatakan bahwa diskusi seperti ini akan meningkatkan pengetahuan kita. Saya sepakat. Tapi kalau memang belum ada jawaban yang memuaskan, saya rasa kita harus lebih banyak membaca sutra lagi dan membandingkannya. Tapi saya rasa tidak terlalu yakin akan membuahkan hasil, sebab dari pengalaman saya sutra-sutra mahayana sangat beragam dan terdiri dari kelompok yang berbeda. Saya takutnya bukan dapat jawaban pasti, tapi kita hanya akan tersesat di antara samudra kata-kata yang tak menentu. Mungkin juga, anda suatu saat akan mendapatkan jawabannya, tapi setelah itu apakah jawabannya akan membantu anda dalam mempraktikkan Ajaran Buddha? Saya koq ragu.

Pilihan kedua, sebenarnya sederhana. Jalan sudah ada di depan mata. Mengapa tidak kita lalui saja.

kalau saya untuk sementara ini jadi murid buddha dulu... moga2 cepat jadi savaka
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

GandalfTheElder

Quote from: dilbert on 16 November 2008, 10:28:00 PM
analogi pendidikan SMA dan perguruan tinggi tidak begitu tepat bro... karena keduanya tidak sama...

Analogi yang tepat mungkin begini... Karena ARAHAT disebut SAVAKA BUDDHA, sammasambuddha juga BUDDHA... maka analogi seorang mahasiswa. Teringat sewaktu kuliah dulu, misalnya : IPK saya ketika mendekati akhir kuliah sekitar 2,9... karena ingin lulus dan mendapat predikat Sangat memuaskan (minimal IPK 3,25) maka saya terpaksa harus mengambil beberapa mata kuliah lagi untuk perbaikan nilai. Walaupun dengan IPK 2,9 saya sudah bisa dianggap tamat kuliah, tetapi karena ingin memperbaiki nilai, terpaksa saya harus menambah waktu kuliah saya minimal 1 semester untuk mengambil beberapa mata kuliah yang akan diperbaiki nilainya... Inilah analogi untuk calon ARAHAT yang beraspirasi untuk menambah "nilai" dan "parami"-nya untuk mencapai hasil yang lebih tinggi (annutara sammasambuddha). Apakah untuk mencapai itu, seorang calon ARAHAT sudah bisa disebut dengan ARAHAT, tentu tidak bisa... sama seperti analogi mahasiswa tersebut. Mahasiswa tersebut secara kualitas, IPK sudah mencapai batas untuk bisa LULUS. TEtapi karena ingin mendapat yang "LEBIH" terpaksa harus menempuh jalur tambahan lagi.

Tetapi misalnya mahasiswa tersebut cukup puas dengan nilai IPK 2,9 dan ingin segera menamatkan kuliah dan mencapai gelar sarjana. Maka diwisuda-lah mahasiswa tersebut dengan gelar Sarjana. Lantas apakah ketika sudah mencapai gelar sarjana, apakah Mahasiswa tersebut masih bisa "KEMBALI" untuk meningkatkan nilainya. Tentu tidak bisa donk...
Inilah analogi mengapa seorang INDIVIDU yang sudah merealisasi ARAHAT sudah tidak bisa lagi untuk mencapai apa yang disebut dengan annutara sammasambuddha.

Arhat tuh Bodhisattva tingkat enam.... en terus progress maju, tidak ada "kembali-kembalian" dan terus meningkat ke Bodhisattva tingkat ketujuh.... tapi hal tersebut berlaku pada satu jenis Arahat saja.

Sravaka Buddha, Pratyeka Buddha, Samyaksambuddha memang semuanya "Buddha" tetapi tetap berbeda. Sama dengan hal pencapaian. pencapaian Sravaka, Pratyeka, dan Samyaksambuddha menurut Mahayana adalah Nirvana. Tapi tingkatan Nirvana Sravaka dan Pratyeka itu BEDA dengan Nirvana Samyaksambuddha.

Maka dari itu jangan serta merta karena sama-sama Buddha, maka Sravaka Buddha dan Samyaksambuddha dianalogikan sama yaitu "perguruan tinggi". Menurut Mahayana, tidak bisa begitu.

Analogi kalau pencapaian Arhat itu Perguruan Tinggi adalah tidak dapat diterima dari sudut pandang Mahayana maupun beberapa sekte Buddhis awal.

Jenis Arahat lainnya dapat mengalami "kemunduran" sehingga otomatis "kembali". Tapi statusnya tidak ikut-ikut "kembali". Jadi statusnya tetap Arahat, namun belum sempurna, maka untuk mencapai Arhat yang sempurna, ada beberapa hal yang harus diperbaikinya.

Apa yang dimaksud dengan hal ini?

Menurut Mahasanghika, Arahat masih bisa merosot.

Menurut Sarvastivada ada 2 jenis arahat:
1. Arahat yang telah teguh tak tergoyahkan (Akopyadharma)
2. Arahat yang masih bisa terjatuh/ merosot (Sraddhadhimukta).

Saya lebih suka sebutan "Buddha" di sini dianalogikan sebagai mereka yang sudah menyelesaikan wajib belajar 12 tahun. Mereka yang sudah lulus SMA ke atas bisa disebut sebagai "Buddha".

Di mana SMA kelas X adalah pencapaian Srotapanna (misalnya!) terus sampai tamat kelas XII menjadi Arhat.

Tapi Tamat kan nggak berarti Lulus. Maka dari itu:
1. Arahat yang telah teguh tak tergoyahkan (Akopyadharma) adalah mereka yang lulus
2. Arahat yang masih bisa terjatuh/ merosot (Sraddhadhimukta) adalah mereka yang tamat, tapi tidak lulus dan harus menjalani ujian paket C untuk bisa dapet ijazah yang dapat digunakan untuk kuliah dan untuk bisa lulus [menjadi Arhat yang tidak tergoyahkan].

Di sini kita misalkan orang tersebut lulus ujian paket C tahap satu atau misalkan kalau gagal ya ikut ujian paket C tahap kedua terus lulus.

Lalu taruhlah analogi perkuliahan (kita misalkan semua mata kuliah lulus setiap tahunnya):
1. Lolos tahun pertama (semester 1 dan 2) sebagai Bodhisattva tingkat ketujuh.
2. Lolos tahun kedua (semester 3 dan 4) sebagai Bodhisattva tingkat kedelapan.
3. Lolos tahun ketiga (semester 5 dan 6) sebagai Bodhisattva tingkat kesembilan.
4. Lolos tahun keempat (semester 7 dan 8) sebagai Bodhisattva tingkat kesepuluh.

Lulus jadi sarjana dapat diperbandingkan menjadi Samyaksambuddha. Waktu wisuda bisa diperbandingkan dengan waktu "Abhiseka" Bodhisattva tingkat 10 (Dharmamegha).

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

truth lover

Mas Gandalf mau numpang nanya nih... kalau Arahat nggak mau menjadi Buddha gimana jadinya ya? terus nasibnya gimana ya...?
The truth, and nothing but the truth...

nyanadhana

Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one's own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.