Bhavaviveka "vs" Hinayana

Started by GandalfTheElder, 01 November 2008, 03:18:41 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

sobat-dharma

Quote from: dilbert on 08 November 2008, 09:00:14 PM

Kalau menurut pandangan saya sendiri... bahwa THERAVADA dan MAHAYANA itu tidak berbeda... Di dalam MAHAYANA diajarkan aspirasi untuk mencapai sammasambuddha, dan hal ini OK dalam artian bahwa semua makhluk yang belum mencapai ARAHAT, tentunya masih bisa beraspirasi untuk mencapai annutara sammasambuddha. TETAPI saya TIDAK SETUJU PANDANGAN BAHWA MAHAYANA ITU MENGAJARKAN JALUR KHUSUS BODHISATVA.


Mengapa tidak setuju?
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

dilbert

Quote from: sobat-dharma on 08 November 2008, 10:13:12 PM
Quote from: dilbert on 08 November 2008, 09:00:14 PM

Kalau menurut pandangan saya sendiri... bahwa THERAVADA dan MAHAYANA itu tidak berbeda... Di dalam MAHAYANA diajarkan aspirasi untuk mencapai sammasambuddha, dan hal ini OK dalam artian bahwa semua makhluk yang belum mencapai ARAHAT, tentunya masih bisa beraspirasi untuk mencapai annutara sammasambuddha. TETAPI saya TIDAK SETUJU PANDANGAN BAHWA MAHAYANA ITU MENGAJARKAN JALUR KHUSUS BODHISATVA.


Mengapa tidak setuju?

karena aspirasi itu tidak diajarkan dalam suatu jalur khusus... aspirasi murni dari pribadi masing masing makhluk... Tetapi aspirasi saja tidak cukup, harus dilihat apa punya kemampuan. Aspirasi seorang individu untuk mencapai sammasambuddha itu harus di-"RAMAL"-kan oleh seorang sammasambuddha lainnya, dan apabila telah mendapat RAMALAN PASTI (karena seorang sammasambuddha dikatakan memiliki bala/kekuatan untuk mengetahui tingkat kualitas bathin semua makhluk) maka individu tersebut telah masuk kedalam apa yang anda katakan JALUR BODHISATVA.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

sobat-dharma

at [atas]

Tidak demikian yang diajarkan dalam Mahayana. Jalan Bodhisattva di mulai dari berikrar dan menetapkan niatnya untuk menyelamatkan semua makhluk dari samsara. Ramalan bukanlah "penyebab" seseorang memasuki jalan bodhisattva. Tentu saja ramalan muncul jika seseorang sudah berada di jalur bodhisattva dan akan menjadi sammasambuddha berikutnya. Sifat ramalan dari sammasambuddha hanya bersifat meneguhkan, sekali lagi bukan penentu bagi jalan bodhisattva.

Demikian pandangan dan pengertian saya, berdasarkan pengetahuan saya yang masih minim. Semoga tidak salah.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

chingik

QuoteNah... kalau bodhisatva di dalam THERAVADA itu yang notabene calon Sammasambuddha (bukan dalam jalur khusus bodhisatva) memang dikatakan memiliki empat pengetahuan akan jalan (untuk mengatasi kilesa) yang disertai dengan KEMAHATAHUAN... KEMAHATAHUAN itulah yang disebut di dalam MAHAYANA sebagai menghilangkan halangan paham. Tentunya dengan menghilangkan halangan paham, seorang sammasambuddha mencapai KEMAHATAHUAN... Dengan KEMAHATAHUAN itulah seorang sammasambuddha menurunkan ajaran.

Oleh karena tidak menguasai KEMAHATAHUAN, seorang pacceka buddha tidak bisa menurunkan ajaran. Sedangkan para SAVAKA sendiri dikatakan tidak menurunkan ajaran, tetapi mengajar berdasarkan apa yang diajarkan oleh sammasambuddha (guru para SAVAKA).

Cocok kan CERITA begini... Atau ada cerita yang lain...?
Di sinilah poinnya. Jika Arahat Tidak Mahatahu, maka mau berbicara dari aspek manapun, Arahat belum Sempurna secara absolut. Karena belum sempurna, maka jelaslah pasti ada sesuatu yang belum dituntaskannya. Dalam hal ini , yang belum dituntaskan adalah jneyavarana.
Jika menggunakan persamaan matematis, ya ARahat tentu tidak bisa dikatakan mendapat nilai 100. Taruhlah pencapaiannya 99,99999999999...., tetap saja bukan 100.
Kalau berbicara tentang mencapai pembebasan, ya bisa saja kita katakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara). Analogi saya begini, Arahat ibarat anak yang merasa nyaman dipangkuan ibu. Dalam segi keamanan, kenyamanan, ketentraman , anak dipangkuan ibu sama-sama nyaman, aman, tentram, bahagia. Ini seperti halnya seseorang mencapai Kearahatan, dari segi dukkha, Arahat telah terbebas, sama seperti Buddha.
Tapi bagaimanapun juga anak tidak sebanding dengan ibu. Namun anak tetap masih memiliki ruang utk tumbuh besar seperti seorang ibu. Jadi seperti halnya Arahat jika mau meneruskan pembelajaran ,dia akan tumbuh dewasa menguasai pengetahuan seperti ibunya.     
Di sin bukan bermaksud mengkerdilkan peran Arahat. Tapi hanya ingin menekankan bahwa Jalan meraih Sammsambuddha adalah wajar jika dianggap sebagai jalan tertinggi, karena memang demikian adanya. Dan Jalan Arahat itu bukan jalan yang hina, tapi bagi siapapun yang telah meraih kearahatan, maka kesempatan masuk ke Jalan Sammsambuddha tetap terbuka. Saya pikir ini cukup masuk akal, karena manusia memiliki kebebasan utk menentukannya, karena manusia adalah tuan bagi pikirannya, maka sangat aneh jika Arahat Tidak bisa menjadi Sammasambuddha.
Ini juga tercermin dari Prajnaparamita Sutra dan Saddharmapundarika Sutra. Dalam pandangan Mahayana, Sutra yg tidak mencatat demikian adalah sutra yg fokus pada jalan terampil (upaya kausalya) dan akhirnya akan mengalir ke sutra yg berkategori Jalan sempurna. Ibarat sungai yang mengalir ke samudera luas. SEmuanya berkapasitas mengalir ke Sammasambuddha.

(Saya open minded juga , segala opini menjadi masukan yg berharga, semoga seperti yg dikatakan bro Dilbert , kita bisa diskusi dgn sehat dan elegan. Salut buat bro Dilbert  _/\_)

truth lover

#139
QuoteKalau berbicara tentang mencapai pembebasan, ya bisa saja kita katakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara).

Mas chingik, saya belum mengerti nih, dikatakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara), itu menurut Theravada, bagaimana menurut Mahayana? sebab bingung nih kayaknya ajaran Theravada dan Mahayana berbeda. Mengapa Arahat kok bisa terbebas dari jeratan dukkha coba dong, tolong terangkan menurut Mahayana mengapa demikian?

Terima kasih telah berbagi pengetahuan.
_/\_
The truth, and nothing but the truth...

chingik

Quote from: truth lover on 09 November 2008, 09:54:40 PM
QuoteKalau berbicara tentang mencapai pembebasan, ya bisa saja kita katakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara).

Mas chingik, saya belum mengerti nih, dikatakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara), itu menurut Theravada, bagaimana menurut Mahayana? sebab bingung nih kayaknya ajaran Theravada dan Mahayana berbeda. Mengapa Arahat kok bisa terbebas dari jeratan dukkha coba dong, tolong terangkan menurut Mahayana mengapa demikian?

Terima kasih telah berbagi pengetahuan.
_/\_

Dalam pandangan Mahayana, Arahat terbebas dari siklus samsara dengan mengatasi 10 belenggu batin (samyojana), meskipun ada perbedaan minor ttg isi 10 belenggu dengan Theravada, namun secara garis besar sama , karena sama-sama mengatasi dosa, lobha, dan moha.
Uraian yang lebih luas dalam Mahayana menyebutkan, 10 belenggu merupakan penjabaran dari  Halangan Kekotoran batin (Klesavarana).
Seseorang yang telah mengatasi 10 belenggu akan mencapai kesucian Arahat, dalam Mahayana selevel dengan bodhisatva tingkat ke bhumi ke 7.
Sedangkan Arahat belum mengatasi Halangan Paham (Jneyavarana).
Karena Arahat belum mengatasi Halangan Paham, maka masih menganggap fenomena itu nyata. Sehingga membedakan antara nibbana dan samsara, lalu Arahat memilih 'masuk' ke dalam nibbana.
Jika Seorang Arahat berhasil mengatasi Halangan Paham maka disebut selevel dengan bodhisatva tingkat Keyakinan ke-7. Dengan mengatasi halangan paham, maka Arahat/ Bodhisatva tidak akan berdiam di dalam Nibbana, karena bila halangan paham telah diatasi, konsep nibbana dan samsara tidak terpisahkan lagi, makanya disebut samsara tidak berbeda dengan nibbana, nibbana tidak berbeda dengan samsara, suatu pandangan egaliter non diskriminatif dalam batin seorang bodhisatva.




 


El Sol

Quote from: chingik on 12 November 2008, 05:17:08 PM
Quote from: truth lover on 09 November 2008, 09:54:40 PM
QuoteKalau berbicara tentang mencapai pembebasan, ya bisa saja kita katakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara).

Mas chingik, saya belum mengerti nih, dikatakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara), itu menurut Theravada, bagaimana menurut Mahayana? sebab bingung nih kayaknya ajaran Theravada dan Mahayana berbeda. Mengapa Arahat kok bisa terbebas dari jeratan dukkha coba dong, tolong terangkan menurut Mahayana mengapa demikian?

Terima kasih telah berbagi pengetahuan.
_/\_

Dalam pandangan Mahayana, Arahat terbebas dari siklus samsara dengan mengatasi 10 belenggu batin (samyojana), meskipun ada perbedaan minor ttg isi 10 belenggu dengan Theravada, namun secara garis besar sama , karena sama-sama mengatasi dosa, lobha, dan moha.
Uraian yang lebih luas dalam Mahayana menyebutkan, 10 belenggu merupakan penjabaran dari  Halangan Kekotoran batin (Klesavarana).
Seseorang yang telah mengatasi 10 belenggu akan mencapai kesucian Arahat, dalam Mahayana selevel dengan bodhisatva tingkat ke bhumi ke 7.
Sedangkan Arahat belum mengatasi Halangan Paham (Jneyavarana).
Karena Arahat belum mengatasi Halangan Paham, maka masih menganggap fenomena itu nyata. Sehingga membedakan antara nibbana dan samsara, lalu Arahat memilih 'masuk' ke dalam nibbana.
Jika Seorang Arahat berhasil mengatasi Halangan Paham maka disebut selevel dengan bodhisatva tingkat Keyakinan ke-7. Dengan mengatasi halangan paham, maka Arahat/ Bodhisatva tidak akan berdiam di dalam Nibbana, karena bila halangan paham telah diatasi, konsep nibbana dan samsara tidak terpisahkan lagi, makanya disebut samsara tidak berbeda dengan nibbana, nibbana tidak berbeda dengan samsara, suatu pandangan egaliter non diskriminatif dalam batin seorang bodhisatva.




 


kenapa Boddhisatva Sidharta sebagai Boddhisatva level tertinggi bisa salah berlatih(liat avatar gw)...kurang prajna?

chingik

#142
Quote
kenapa Boddhisatva Sidharta sebagai Boddhisatva level tertinggi bisa salah berlatih(liat avatar gw)...kurang prajna?
Menurut pandangan Mahayana, Siddharta tidaklah salah berlatih. Penjelasannya ada dalam Maha Ratnakuta Sutra, Upaya Kausalya Varga:

" Lagi pula, putra yang berbudi, demi menaklukkan para tirtika (aliran luar) [bodhisattva] melakukan praktik ekstrem selama 6 tahun. Ini bukan rintangan karmanya. Mengapa? Para sramana dan brahmana didunia ini menganggap dengan melakukan praktik keras dengan memakan sebiji wijen dan sebiji beras dapat mencapai kesucian dan pembebasan. Untuk menaklukkan pandangan demikian maka bodhisattva juga memperlihatkan dirinya melakukan praktik keras memakan hanya sebiji wijen atau dan beras dan [membuktikan] bahwa dirinya pun tidak dapat mencapai kesucian dengan melakukan praktik semacam itu, apalagi mencapai pembebasan.   ...
Inilah upaya kausalya yang dilatih oleh bodhisatva mahasatva."

Upaya kausalya adalah cara-cara terampil seorang bodhisatva membimbing para makhluk.



El Sol

 [at] atas

apakah akhirnya dengan melakukan hal seperti itu petapa2 yg berlatih dengan cara salah akhirnya mengikuti dia?..

menurut gw gk make sense banget, karena Boddhisatva Gotama dimata para Petapa2 itu bukan sapa2..

ok Chingik..kita pikir pake logika ajah..

kalo loe Boddhisatva Gotama, akankah loe berbuat hal bodoh seperti itu?...kenapa tidak langsung jadi Buddha dan membabarkan Dhamma yg benar kepada para petapa2 tersebut, seperti yg beliau lakukan setelah beliau menjadi Buddha?..

dilbert

Quote from: chingik on 12 November 2008, 05:17:08 PM
Quote from: truth lover on 09 November 2008, 09:54:40 PM
QuoteKalau berbicara tentang mencapai pembebasan, ya bisa saja kita katakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara).

Mas chingik, saya belum mengerti nih, dikatakan Arahat telah terbebas dari jeratan dukkha (siklus samsara), itu menurut Theravada, bagaimana menurut Mahayana? sebab bingung nih kayaknya ajaran Theravada dan Mahayana berbeda. Mengapa Arahat kok bisa terbebas dari jeratan dukkha coba dong, tolong terangkan menurut Mahayana mengapa demikian?

Terima kasih telah berbagi pengetahuan.
_/\_

Dalam pandangan Mahayana, Arahat terbebas dari siklus samsara dengan mengatasi 10 belenggu batin (samyojana), meskipun ada perbedaan minor ttg isi 10 belenggu dengan Theravada, namun secara garis besar sama , karena sama-sama mengatasi dosa, lobha, dan moha.
Uraian yang lebih luas dalam Mahayana menyebutkan, 10 belenggu merupakan penjabaran dari  Halangan Kekotoran batin (Klesavarana).
Seseorang yang telah mengatasi 10 belenggu akan mencapai kesucian Arahat, dalam Mahayana selevel dengan bodhisatva tingkat ke bhumi ke 7.
Sedangkan Arahat belum mengatasi Halangan Paham (Jneyavarana).
Karena Arahat belum mengatasi Halangan Paham, maka masih menganggap fenomena itu nyata. Sehingga membedakan antara nibbana dan samsara, lalu Arahat memilih 'masuk' ke dalam nibbana.
Jika Seorang Arahat berhasil mengatasi Halangan Paham maka disebut selevel dengan bodhisatva tingkat Keyakinan ke-7. Dengan mengatasi halangan paham, maka Arahat/ Bodhisatva tidak akan berdiam di dalam Nibbana, karena bila halangan paham telah diatasi, konsep nibbana dan samsara tidak terpisahkan lagi, makanya disebut samsara tidak berbeda dengan nibbana, nibbana tidak berbeda dengan samsara, suatu pandangan egaliter non diskriminatif dalam batin seorang bodhisatva.


Ketika kita bicara dalam konteks konseptual, maka seorang individu boleh dibedakan atas halangan kekotoran bathin dan halangan paham. Sdr.Chingik sedemikian "benar"-nya menyatakan tentang pandangan egaliter non diskriminatif (terlepas dari dualisme, baik dan buruk, cantik dan jelek, paham dan tidak paham dsbnya). Arahat justru telah mencapai apa yang disebut dengan non-dualisme. Kitab Vajracheddika (sutra utama mahayana) juga menyatakan tentang hal ini. Dalam kitab vajracheddika dikatakan :

Hyang Buddha memberitahu Subhuti, "Seorang laki-laki atau wanita bajik, yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus berpikiran demikian:"Aku harus membebaskan semua makhluk hidup dari arus tumimbal lahir, tetapi bila semua makhluk hidup sudah dibebaskan dari tumimbal lahir, sebenarnya sama sekali tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan. Mengapa begitu? Subhuti, jika seorang Bodhisattva masih mempunyai ciri keakuan, ciri manusia, ciri makhluk hidup dan ciri kehidupan, maka dia bukanlah seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma tentang tekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi.[/i]

kemudian tentang ikrar menolong makhluk hidup... lebih lanjut didalam sutra vajracheddika dikatakan...

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Jika ada orang yang mengatakan bahwa Tathagatha mempunyai pikiran : "Aku akan membebaskan semua makhluk hidup". Subhuti, jangan mempunyai pikiran demikian. Mengapa? Karena sebenarnya tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha. Jika ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha, maka Tathagatha akan mempunyai konsepsi
keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Subhuti, keberadaan konsepsi keakuan dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan keberadaan konsepsi diri tetapi orang awam menganggapnya sebagai keberadaan konsepsi keakuan. Subhuti, orang awam dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan orang awam. Oleh sebab itu dinamakan orang awam.


artinya bahwa selama dalam "pemikiran" seseorang yang masih ingin "menolong" makhluk hidup dari samsara, maka seseorang itu tidak dapat disebut  tathagatha. Karena ada konsepsi pemikiran dualisme (nibbana dan samsara)
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

chingik

Quote from: El Sol on 12 November 2008, 09:21:19 PM
[at] atas

apakah akhirnya dengan melakukan hal seperti itu petapa2 yg berlatih dengan cara salah akhirnya mengikuti dia?..
是故菩薩以此縁故現六年苦行爲調伏五十二百[千]麤行諸天及外道神仙麤行菩[干]薩是名菩薩摩訶薩行於方便
Ya. lanjutan sutra ini menyebutkan, "itulah sebabnya mengapa bodhisatva memperlihatkan dirinya melakukan praktik ekstrem selama 6 tahun, adalah untuk menaklukkan 5.200.000 praktisi ekstrem yang terdiri dari para dewa, yogi tirtika dan bodhisatva [yg terjebak dalam praktik ekstrem]. Itulah yang dinamakan bodhisatva mempraktikkan metode trampil."

Quote
menurut gw gk make sense banget, karena Boddhisatva Gotama dimata para Petapa2 itu bukan sapa2..
Dari uraian Sutra di atas, toh bagaimanapun juga dinyatakan ada petapa2 yang akhirnya ditaklukkan (disadarkan bahwa praktek ekstrem itu sia-sia) juga.
Quote
ok Chingik..kita pikir pake logika ajah..

kalo loe Boddhisatva Gotama, akankah loe berbuat hal bodoh seperti itu?...kenapa tidak langsung jadi Buddha dan membabarkan Dhamma yg benar kepada para petapa2 tersebut, seperti yg beliau lakukan setelah beliau menjadi Buddha?..
Tentu Buddha jauh lebih tau kondisi apa yang pas untuk dilakukan. Logika kita tidak akan dapat memahami semua tindakan Buddha/bodhisatva. 



chingik

 
Quote
Ketika kita bicara dalam konteks konseptual, maka seorang individu boleh dibedakan atas halangan kekotoran bathin dan halangan paham. Sdr.Chingik sedemikian "benar"-nya menyatakan tentang pandangan egaliter non diskriminatif (terlepas dari dualisme, baik dan buruk, cantik dan jelek, paham dan tidak paham dsbnya). Arahat justru telah mencapai apa yang disebut dengan non-dualisme. Kitab Vajracheddika (sutra utama mahayana) juga menyatakan tentang hal ini. Dalam kitab vajracheddika dikatakan :

Hyang Buddha memberitahu Subhuti, "Seorang laki-laki atau wanita bajik, yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus berpikiran demikian:"Aku harus membebaskan semua makhluk hidup dari arus tumimbal lahir, tetapi bila semua makhluk hidup sudah dibebaskan dari tumimbal lahir, sebenarnya sama sekali tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan. Mengapa begitu? Subhuti, jika seorang Bodhisattva masih mempunyai ciri keakuan, ciri manusia, ciri makhluk hidup dan ciri kehidupan, maka dia bukanlah seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma tentang tekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi.[/i]

kemudian tentang ikrar menolong makhluk hidup... lebih lanjut didalam sutra vajracheddika dikatakan...

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Jika ada orang yang mengatakan bahwa Tathagatha mempunyai pikiran : "Aku akan membebaskan semua makhluk hidup". Subhuti, jangan mempunyai pikiran demikian. Mengapa? Karena sebenarnya tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha. Jika ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha, maka Tathagatha akan mempunyai konsepsi
keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Subhuti, keberadaan konsepsi keakuan dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan keberadaan konsepsi diri tetapi orang awam menganggapnya sebagai keberadaan konsepsi keakuan. Subhuti, orang awam dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan orang awam. Oleh sebab itu dinamakan orang awam.

artinya bahwa selama dalam "pemikiran" seseorang yang masih ingin "menolong" makhluk hidup dari samsara, maka seseorang itu tidak dapat disebut  tathagatha. Karena ada konsepsi pemikiran dualisme (nibbana dan samsara)

Betul bro, saya juga setuju pendapat anda.  Tapi arah pembicaraan saya bukan ke situ. Yang saya kemukakan adalah tentang kedudukan Arahat dilihat dari perspektif mahayana.
Dan sebenarya pada konteks tertentu Arahat memang dapat dikatakan telah mencapai non-dualisme. Tapi pada konteks lain bisa menjadi tidak demikian. Itulah sebabnya mengapa Mahayana membagi bentuk ajaran ke dalam beberapa kategori. Dalam kategori Ajaran Sempurna, Arahat dipandang belum sempurna. Dalam kategori Ajaran rujukan Agama Sutra, Arahat adalah sempurna.
Analoginya, seorang siswa yang telah menamatkan wajib belajar 9 tahun, disebut telah tamat jika dilihat dari perspektif 'wajib belajar 9 tahun'. JIka dilihat dari sekolah kejuruan, tentu dia belum dapat dikatakan tamat karena belajar saja belum. Semua ajaran Mahayana sangat menekankan konteks dan kategori ajaran.   Semoga dapat memahaminya. 

dilbert

Quote from: chingik on 13 November 2008, 10:10:03 AM
Quote
Ketika kita bicara dalam konteks konseptual, maka seorang individu boleh dibedakan atas halangan kekotoran bathin dan halangan paham. Sdr.Chingik sedemikian "benar"-nya menyatakan tentang pandangan egaliter non diskriminatif (terlepas dari dualisme, baik dan buruk, cantik dan jelek, paham dan tidak paham dsbnya). Arahat justru telah mencapai apa yang disebut dengan non-dualisme. Kitab Vajracheddika (sutra utama mahayana) juga menyatakan tentang hal ini. Dalam kitab vajracheddika dikatakan :

Hyang Buddha memberitahu Subhuti, "Seorang laki-laki atau wanita bajik, yang bertekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi harus berpikiran demikian:"Aku harus membebaskan semua makhluk hidup dari arus tumimbal lahir, tetapi bila semua makhluk hidup sudah dibebaskan dari tumimbal lahir, sebenarnya sama sekali tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan. Mengapa begitu? Subhuti, jika seorang Bodhisattva masih mempunyai ciri keakuan, ciri manusia, ciri makhluk hidup dan ciri kehidupan, maka dia bukanlah seorang Bodhisattva. Apa sebabnya? Subhuti, sebenarnya tidak ada Dharma tentang tekad untuk mencapai Anuttara-samyak-sambodhi.[/i]

kemudian tentang ikrar menolong makhluk hidup... lebih lanjut didalam sutra vajracheddika dikatakan...

"Subhuti, bagaimana pendapatmu? Jika ada orang yang mengatakan bahwa Tathagatha mempunyai pikiran : "Aku akan membebaskan semua makhluk hidup". Subhuti, jangan mempunyai pikiran demikian. Mengapa? Karena sebenarnya tidak ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha. Jika ada makhluk hidup yang dibebaskan oleh Tathagatha, maka Tathagatha akan mempunyai konsepsi
keakuan, manusia, makhluk hidup, dan kehidupan. Subhuti, keberadaan konsepsi keakuan dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan keberadaan konsepsi diri tetapi orang awam menganggapnya sebagai keberadaan konsepsi keakuan. Subhuti, orang awam dikatakan oleh Tathagatha sebagai bukan orang awam. Oleh sebab itu dinamakan orang awam.

artinya bahwa selama dalam "pemikiran" seseorang yang masih ingin "menolong" makhluk hidup dari samsara, maka seseorang itu tidak dapat disebut  tathagatha. Karena ada konsepsi pemikiran dualisme (nibbana dan samsara)

Betul bro, saya juga setuju pendapat anda.  Tapi arah pembicaraan saya bukan ke situ. Yang saya kemukakan adalah tentang kedudukan Arahat dilihat dari perspektif mahayana.
Dan sebenarya pada konteks tertentu Arahat memang dapat dikatakan telah mencapai non-dualisme. Tapi pada konteks lain bisa menjadi tidak demikian. Itulah sebabnya mengapa Mahayana membagi bentuk ajaran ke dalam beberapa kategori. Dalam kategori Ajaran Sempurna, Arahat dipandang belum sempurna. Dalam kategori Ajaran rujukan Agama Sutra, Arahat adalah sempurna.
Analoginya, seorang siswa yang telah menamatkan wajib belajar 9 tahun, disebut telah tamat jika dilihat dari perspektif 'wajib belajar 9 tahun'. JIka dilihat dari sekolah kejuruan, tentu dia belum dapat dikatakan tamat karena belajar saja belum. Semua ajaran Mahayana sangat menekankan konteks dan kategori ajaran.   Semoga dapat memahaminya. 

Agama Sutra... apakah yang dimaksud adalah agama sutra yang merupakan salah satu kelompok sutra mahayana (Avatamsaka sutra, agama sutra, vaipulya sutra, mahaprajnaparamitra sutra, saddharmapunarika sutra dan mahaparinirvana sutra) ??
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

chingik

QuoteAgama Sutra... apakah yang dimaksud adalah agama sutra yang merupakan salah satu kelompok sutra mahayana (Avatamsaka sutra, agama sutra, vaipulya sutra, mahaprajnaparamitra sutra, saddharmapunarika sutra dan mahaparinirvana sutra) ??

Agama sutra adalah kelompok sutra yang identik dengan nikaya2 pali. 

Heruka

 [at] bro Gandalf, chingik : Kombinasi yg benar2 luar biasa. =D> Saya mendapat pengetahuan banyak dari tulisan2 bro semua. Salam maju dalam Dharma...  _/\_