Mungkinkah orang yang telah mencapai Sotapanna pindah agama?

Started by dhammasiri, 11 November 2009, 09:29:47 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 2 Guests are viewing this topic.

Nevada

Quote from: bond on 09 January 2010, 11:54:57 AM
Quote

.........tetapi pada waktu kelahiran akan mencapai penerangan sempurna seorang Bodhisatta hanya akan terlahir diantaranya dengan kondisi berikut:.........
.....
5. usia manusia rata-rata pada waktu itu tak lebih dari 100.000 tahun dan tak kurang dari 100 tahun.

Sorry, numpang lewat sembari bertanya...Saat Buddha Gautama parinibanna umur 80 tahun...dan  YA Mogalana dan YA Sariputta berumur parinibbana dibawah 100 tahun juga.. dan masih banyak lainnya. Artinya hitungannya meleset dong yg dibold?

Usia manusia rata-rata di zaman itu adalah 120 tahun. Seorang Sammasambuddha hanya hidup selama 2/3 dari usia rata-rata manusia di zaman-Nya. YA. Sariputta dan YA. Mahamoggallana memang meninggal ketika belum berusia 100 tahun.

Yang dimaksud usia manusia rata-rata adalah usia mayoritas manusia. Seperti anggap saja usia manusia rata-rata saat ini adalah 70 tahun. Tetapi tetap saja ada manusia yang bisa meninggal dalam usia muda.

K.K.

Quote from: bond on 09 January 2010, 11:54:57 AM
Quote

.........tetapi pada waktu kelahiran akan mencapai penerangan sempurna seorang Bodhisatta hanya akan terlahir diantaranya dengan kondisi berikut:.........
.....
5. usia manusia rata-rata pada waktu itu tak lebih dari 100.000 tahun dan tak kurang dari 100 tahun.

Sorry, numpang lewat sembari bertanya...Saat Buddha Gautama parinibanna umur 80 tahun...dan  YA Mogalana dan YA Sariputta berumur parinibbana dibawah 100 tahun juga.. dan masih banyak lainnya. Artinya hitungannya meleset dong yg dibold?


Yang dimaksud adalah umur rata-rata. Yang Buddha katakan sebelum parinibbana bahwa seorang yang mengembangkan kesadaran bisa hidup sampai akhir "kappa", maksudnya adalah ayu-kappa, yang pada saat itu 100 tahun, bukan hitungan kappa evolusi tata surya. Samma Sambuddha biasanya memang hidup 4/5 dari Ayu Kappa.


bond

Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D

Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Indra

Quote from: bond on 09 January 2010, 12:42:04 PM
Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D

Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.

sptnya udah cocok, yg tak lebih dan tak kurang adalah usia manusia rata-rata, bukan usia buddha, atau usia manusia tertentu

K.K.

Quote from: bond on 09 January 2010, 12:42:04 PM
Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D

Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.
Saya juga rasa memang kurang cocok sebab "rata-rata umur pada waktu tertentu" tersebut kita tidak tahu bagaimana ukurnya, jadi mau dibilang "tak lebih dan tak kurang" juga tidak berarti buat pembaca.


fabian c

Quote
Quote from: fabian c on 08 January 2010, 05:59:17 PM
Tuh kan... bro Kainyn belum apa-apa sudah menghakimi saya.
:) Bro Fabian sendiri yang mengetahuinya dengan baik. Jadi saya tidak membahas lebih jauh.

Yang saya tahu seseorang memberi komentar bukan berarti menghakimi, apalagi dalam forum seperti ini, wajar saling memberi komentar dan berbagi pendapat.

Quote
QuoteYang mengajarkan Satipatthana kan cuma agama Buddha, apakah Paccekabuddha mengajarkan Satipatthana juga? atau Paccekabuddha belajar Satipatthana dari agama lain?
Yang saya katakan, Pacceka Buddha bukan beragama Buddha. Saya tidak mengatakan mereka belajar Satipatthana dari agama lain.

jadi Paccekabuddha agama apa?

Quote
Quote
Quote
QuoteSaya coba jawab pertanyaan ini, seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, dan aspirasi itu yang akan memblokir jalannya, Mereka hanya bisa menembus bila paraminya telah betul-betul matang.
Pada tahap tertentu dalam Vipassana seorang meditator harus melepaskan aspirasinya untuk menjadi Sammasambuddha atau Paccekabuddha agar dapat mencapai Sotapatti Magga-Phala.

Baik, sekarang saya kasih perumpamaan begini:
Ada sekumpulan murid belajar tehnik struktur dari seorang maha guru. Semua diajarkan dengan cara yang sama oleh gurunya, sudah ada ketentuannya pondasi bahannya apa, untuk rangkanya berbahan apa, dan lain-lain. Gaya pembuatannya juga sudah ada, apakah timur tengah, oriental, minimalis, dsb. Ada yang cepat mengerti dan bisa merancang bangunan dengan baik, ada juga yang lambat.

1. Ada pula murid terpandai yang sangat cerdas dan beraspirasi menjadi guru juga. Namun karena aspirasinya untuk menjadi guru begitu kuat, maka menghalanginya untuk mengerti, sehingga gubuk pun tidak mampu dibangunnya. Padahal kalau ia tidak beraspirasi, maka ia bisa merancang bangunan dengan baik.

Kasus dengan contoh aneh, bila orang pandai yang sangat cerdas tentu dengan mudah mewarisi ilmu gurunya, hal yang menghalangi ia mengerti hanya bila ia bodoh. Bila pandai dan sangat cerdas tentu tak akan menghalangi dia, entah beraspirasi atau tidak.
Betul, sangat absurd. Maka saya juga bingung kalau jawaban Bro Fabian sebelumnya mengatakan hal ini:

Quoteseorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, dan aspirasi itu yang akan memblokir jalannya, Mereka hanya bisa menembus bila paraminya telah betul-betul matang.

Apakah menurut bro Kainyn belajar meditasi sama dengan belajar arsitektur atau tehnik sipil?
Quote
Quote
Quote2. Ada pula murid terpandai yang sangat cerdas, dan karena aspirasinya untuk menjadi guru juga, dia tidak mengikuti kelas tersebut, tetapi langsung terjun untuk mempelajari sendiri campuran bahan, kekuatannya dan ketahanannya, mempelajari budaya yang melatarbelakangi gaya orang di daerah tersebut, menyelidiki sendiri keadaan tanah dan lingkungan serta pengaruhnya pada bangunan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, waktu yang dibutuhkannya jauh lebih lama.

Menurut Bro Fabian, yang mana yang cocok?
Murid pandai nomer dua yang sangat cerdas bisa saja menjadi guru, tetapi ilmu yang diajarkannya juga ilmu tersendiri tidak sama dengan bila belajar dari guru, ilmunya bisa baik dan bisa juga buruk. Karena ia belajar ilmu secara autodidak, bahkan orang bodoh sekalipun bisa menjadi guru.Tetapi apakah ia akan menjadi guru yang baik itu soal lain.
Kalau cuma dapat "status" guru, saya tidak akan repot-repot menyinggung pembelajaran. Cukup beli sertifikat saja.
Karena ini juga tidak nyambung, saya tidak lanjutkan.

Saya hanya mau menambahkan sedikit, seseorang menjadi guru tidak menjamin bahwa ia capable.


Quote
Quote
QuoteJadi sebaiknya hanya mengambil jalan Savaka saja? :)
Ada tiga Jenis mahluk yang mencapai Pencerahan sempurna (Savaka, Pacceka dan Sammasambuddha) bro Kainyn boleh memilih mau beraspirasi menjadi yang mana, tidak beraspirasi juga boleh, suka-suka.
Supaya tidak lari dari konteks, saya hanya sekadar mengingatkan.
Awalnya saya katakan kematangan bathin yang menentukan pencapaian seseorang.
Bro Fabian mengatakan ada faktor lain yang menghalangi dan kadang guru juga bisa membantu menghilangkan penghalang tersebut, saya setuju.
Tetapi ketika saya bilang pencerahan tanpa seorang guru tetaplah mungkin, Bro Fabian bilang "Demikian juga kematangan batin tanpa disertai dengan bimbingan yang tepat maka bisa gagal mencapai Magga-Phala, apalagi tanpa bimbingan", bukankah ini seperti sikap pesimis akan jalan Samma Sambodhi dan Pacceka Bodhi? Kalau memang Bro Fabian mengakui jalan Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha, hanya perlu menyetujui bahwa "jalan demikian adalah mungkin walaupun jelas lebih sulit".  

Bukankah saya telah mengatakan sebelumnya bahwa pencapaian kesucian diperlukan bimbingan, kecuali Sammasambuddha dan Paccekabuddha?

Quote
Quote
Walaupun saya juga tidak "beriman", tetapi saya memang terima doktrin mengenai kelahiran terakhir tersebut.

QuoteTetapi fokus saya adalah para Bodhisatta & Pacceka Bodhisatta yang sekarang ini atau kapan pun dalam perjalanan penyempurnaan paraminya, bisa saja terlahir di tempat-tempat yang tidak mengenal Agama Buddha, dan bahkan sangat mungkin juga memeluk ajaran lain. Hal ini berarti mereka mampu mengembangkan kebijaksanaan walaupun tidak mengenal Agama Buddha, bukan?
Biru: sudah jelas Bodhisatta seringkali tak mengenal agama Buddha contohnya bila Bodhisatta terlahir jadi hewan.
OK

QuoteMerah: Mengenai hal ini saya tak tahu pasti, mungkin ya, mungkin tidak, saya tak akan berspekulasi.
Buat saya, kalau berpendapat Bodhisatta selalu agnostik kalau tidak ada Agama Buddha, baru namanya spekulasi.
Pengetahuan saya mengenai Paccekabuddha hanya berasal dari Tipitaka, diluar dari itu saya anggap spekulasi.


Quote
Quote
QuoteHijau: Kan sudah pernah kita bahas? Kebijaksanaan yang bagaimana? Misalnya kebijaksanaan untuk tidak melanggar hukum negara? tentu saja bisa didapat dimanapun.
No comment. Saya tidak akan dan tidak mampu mendebat orang-orang yang sudah mengerti "kebijaksanaan lokuttara" atau "paramatha sacca".
Siapa tuh maksud bro kainyn? Jangan menyebar rumor ah...

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

fabian c

Quote from: Kainyn_Kutho on 09 January 2010, 01:41:56 PM
Quote from: bond on 09 January 2010, 12:42:04 PM
Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D

Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.
Saya juga rasa memang kurang cocok sebab "rata-rata umur pada waktu tertentu" tersebut kita tidak tahu bagaimana ukurnya, jadi mau dibilang "tak lebih dan tak kurang" juga tidak berarti buat pembaca.



Bro Kainyn yang baik, disinilah gunanya "presumed innocence" kita tak tahu pasti kebenarannya selain apa yang tertulis di kitab suci. Jadi Saya lebih suka "take it for granted, for now. Until something else come up".

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

bond

Quote from: fabian c on 09 January 2010, 11:07:58 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 09 January 2010, 01:41:56 PM
Quote from: bond on 09 January 2010, 12:42:04 PM
Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D

Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.
Saya juga rasa memang kurang cocok sebab "rata-rata umur pada waktu tertentu" tersebut kita tidak tahu bagaimana ukurnya, jadi mau dibilang "tak lebih dan tak kurang" juga tidak berarti buat pembaca.



Bro Kainyn yang baik, disinilah gunanya "presumed innocence" kita tak tahu pasti kebenarannya selain apa yang tertulis di kitab suci. Jadi Saya lebih suka "take it for granted, for now. Until something else come up".

_/\_

Kalau saya pribadi apa yang tertulis di kitab(dalam hal ini tipitaka) melihat apa adanya saja as a tool/alat  , sesuatu yg belum diketahui kebenaranya maka tidak menerima atau tidak menolak, menyalahkan atau membenarkan dan judgment/kesimpulan hanya diambil setelah melalui ehipasiko total dan terbukti. ;D. Sesuatu yg sudah terbukti benar dan bermanfaat maka pantas untuk diterima.

Asumsi tidak bersalah/praduga tidak bersalah berarti benar selama belum terbukti dan jika ternyata salah maka akan selalu dalam kondisi salah sampai terbukti benar baru berubah, ini akan membuat kita dalam kungkungan wrong view/pandangan salah selama belum terbukti, apalagi pembuktian itu memakan waktu yg panjang = wasting time(buang2 waktu) karena dan biasanya akan bercampur dengan keyakinan yang kuat bahwa itu adalah hal yang benar padahal salah sehingga menjadi suatu rintangan batin. Kalau ternyata benar ya bagus dan hoki  ;D.
Hal lainnya adalah ragu = bingung/bahkan sering membuat orang tidak berusaha dan mundur.  Maka sikap terbuka pada Dhamma dengan melihat apa adanya maka ehipasiko akan lebih memudahkan kita melihat Dhamma itu sendiri.

Jangan sampai menjalankan Dhamma melepaskan satu belenggu lalu terperangkap belenggu lain.

Just my opinion  _/\_

Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

K.K.

Quote from: fabian c on 09 January 2010, 10:57:30 PM
Yang saya tahu seseorang memberi komentar bukan berarti menghakimi, apalagi dalam forum seperti ini, wajar saling memberi komentar dan berbagi pendapat.
Komentar hanyalah sesuatu yang tertulis. Apakah yang ada di pikiran, seperti saya bilang, Bro Fabian yang mengetahui kebenarannya dengan baik. Bro Fabian sendiri juga mengetahui dengan baik apa yang akan timbul jika kita bahas "Satipatthana" versi saya lebih jauh.

Quotejadi Paccekabuddha agama apa?
Saya tidak tahu. Saya bilang bukan beragama Buddha karena pada masa Pacceka Buddha, tidak ada ajaran Buddha. Jika tidak ada ajaran Buddha, tidaklah mungkin beragama Buddha.

QuoteApakah menurut bro Kainyn belajar meditasi sama dengan belajar arsitektur atau tehnik sipil?
Semua pembelajaran memiliki sejumlah persamaan dan sejumlah perbedaan. Dalam hal ini, saya mengambil aspek yang menurut saya sama.

QuoteSaya hanya mau menambahkan sedikit, seseorang menjadi guru tidak menjamin bahwa ia capable.
Sekali lagi, kalau hanya menyinggung "guru-guru-an" saya tidak perlu menyinggung pembelajaran.

QuotePengetahuan saya mengenai Paccekabuddha hanya berasal dari Tipitaka, diluar dari itu saya anggap spekulasi.
Ada rujukan di Tipitaka bahwa para Pacceka Buddha beragama Buddha?

QuoteSiapa tuh maksud bro kainyn? Jangan menyebar rumor ah...
Saya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut.



-----------------------------
Quote from: fabian c on 09 January 2010, 11:07:58 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 09 January 2010, 01:41:56 PM
Quote from: bond on 09 January 2010, 12:42:04 PM
Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D

Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.
Saya juga rasa memang kurang cocok sebab "rata-rata umur pada waktu tertentu" tersebut kita tidak tahu bagaimana ukurnya, jadi mau dibilang "tak lebih dan tak kurang" juga tidak berarti buat pembaca.



Bro Kainyn yang baik, disinilah gunanya "presumed innocence" kita tak tahu pasti kebenarannya selain apa yang tertulis di kitab suci. Jadi Saya lebih suka "take it for granted, for now. Until something else come up".

_/\_
Maaf, sepertinya saya memang salah baca tentang "tak lebih & tak kurang" tersebut.
Yang saya katakan tidak cocok memang bukan masalah kepercayaan karena memang kita tidak tahu kebenarannya, tetapi dalam hal kita tidak bisa menghitungnya dengan pasti.


fabian c

Quote
Quote from: fabian c on 09 January 2010, 10:57:30 PM
Yang saya tahu seseorang memberi komentar bukan berarti menghakimi, apalagi dalam forum seperti ini, wajar saling memberi komentar dan berbagi pendapat.
Komentar hanyalah sesuatu yang tertulis. Apakah yang ada di pikiran, seperti saya bilang, Bro Fabian yang mengetahui kebenarannya dengan baik. Bro Fabian sendiri juga mengetahui dengan baik apa yang akan timbul jika kita bahas "Satipatthana" versi saya lebih jauh.
Bagaimana saya tahu akan seperti apa bila saya sendiri tidak tahu seperti apa Satipatthana bro Kainyn...?? saya sendiri tidak tahu bagaimana sikap saya, kok bro Kainyn lebih tahu seperti apa sikap saya nantinya? apa sebabnya?


Quote
Quotejadi Paccekabuddha agama apa?
Saya tidak tahu. Saya bilang bukan beragama Buddha karena pada masa Pacceka Buddha, tidak ada ajaran Buddha. Jika tidak ada ajaran Buddha, tidaklah mungkin beragama Buddha.
Kalau Sammasambuddha?

Quote
QuoteApakah menurut bro Kainyn belajar meditasi sama dengan belajar arsitektur atau tehnik sipil?
Semua pembelajaran memiliki sejumlah persamaan dan sejumlah perbedaan. Dalam hal ini, saya mengambil aspek yang menurut saya sama.
Objek berbeda dan cara praktek juga berbeda, apa yang sama?


Quote
QuoteSaya hanya mau menambahkan sedikit, seseorang menjadi guru tidak menjamin bahwa ia capable.
Sekali lagi, kalau hanya menyinggung "guru-guru-an" saya tidak perlu menyinggung pembelajaran.
?

Quote
QuotePengetahuan saya mengenai Paccekabuddha hanya berasal dari Tipitaka, diluar dari itu saya anggap spekulasi.
Ada rujukan di Tipitaka bahwa para Pacceka Buddha beragama Buddha?
Tidak ada... tahukah mengapa dikatakan Buddha?
Quote
QuoteSiapa tuh maksud bro kainyn? Jangan menyebar rumor ah...
Saya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut.
Apakah mereka yang belajar Abhidhamma juga termasuk?



Quote-----------------------------
Quote from: fabian c on 09 January 2010, 11:07:58 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 09 January 2010, 01:41:56 PM
Quote from: bond on 09 January 2010, 12:42:04 PM
Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D

Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.
Saya juga rasa memang kurang cocok sebab "rata-rata umur pada waktu tertentu" tersebut kita tidak tahu bagaimana ukurnya, jadi mau dibilang "tak lebih dan tak kurang" juga tidak berarti buat pembaca.



Bro Kainyn yang baik, disinilah gunanya "presumed innocence" kita tak tahu pasti kebenarannya selain apa yang tertulis di kitab suci. Jadi Saya lebih suka "take it for granted, for now. Until something else come up".

_/\_
Maaf, sepertinya saya memang salah baca tentang "tak lebih & tak kurang" tersebut.
Yang saya katakan tidak cocok memang bukan masalah kepercayaan karena memang kita tidak tahu kebenarannya, tetapi dalam hal kita tidak bisa menghitungnya dengan pasti.
Saya setuju dengan bro kainyn memang kita tak tahu dengan pasti, karena yang mengungkapkan hal ini hanya Tipitaka maka saya terima sebagaimana apa adanya, karena kita tak bisa membuktikan itu benar atau membuktikan bahwa itu salah.

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

K.K.

Quote from: fabian c on 11 January 2010, 12:00:37 PM
Bagaimana saya tahu akan seperti apa bila saya sendiri tidak tahu seperti apa Satipatthana bro Kainyn...??
Jikapun saya bisa ceritakan panjang lebar, memangnya Bro Fabian bisa mengetahui keadaan bathin saya apakah itu Satipatthana atau hanya tulisan belaka? Saya rasa ini tidak perlu dibahas lebih lanjut. Saya mengatakan itu Satipatthana semata-mata karena saya melihat persamaan2. Namun kalau menurut doktrin yang dipercaya Umat Buddha bahwa Satipatthana tidak mungkin dikembangkan orang tanpa mengenal Ajaran Buddha sebelumnya, saya dengan senang hati akan mengatakan meditasi saya BUKAN Satipatthana, 100% tulus tanpa terpaksa. OK?  :)

Quotesaya sendiri tidak tahu bagaimana sikap saya, kok bro Kainyn lebih tahu seperti apa sikap saya nantinya? apa sebabnya?
Kadang memang orang lain yang lebih mudah melihat jerawat di hidung kita.


Quote
QuoteSaya tidak tahu. Saya bilang bukan beragama Buddha karena pada masa Pacceka Buddha, tidak ada ajaran Buddha. Jika tidak ada ajaran Buddha, tidaklah mungkin beragama Buddha.
Kalau Sammasambuddha?
Samma Sambuddha justru "membuat" Agama Buddha, tidak cocok disebut beragama "diri sendiri".
Kalau Bodhisatta sebelum pencerahan juga saya yakin BUKAN beragama Buddha dengan alasan sama, yaitu tidak ada Buddha-dhamma saat itu. Dan kalau mau dilihat lebih jauh, menurut saya para Arahat pun sudah tidak "beragama" lagi karena mereka telah melepas rakit dan telah "lulus". Maka mereka disebut Asekkha Pugala.



Quote
QuoteSemua pembelajaran memiliki sejumlah persamaan dan sejumlah perbedaan. Dalam hal ini, saya mengambil aspek yang menurut saya sama.
Objek berbeda dan cara praktek juga berbeda, apa yang sama?
Saya pinjam kembali perumpamaan di mana orang berjuang mencapai nibbana diumpamakan orang ingin menyeberang dengan rakit. Objeknya beda, cara prakteknya beda, lalu semuanya berbeda?

Persamaan dari perumpamaan saya adalah tekad yang dimiliki seseorang dalam satu bidang, sama sekali tidaklah menghalangi bakat seseorang dalam mengembangkan kemampuan. Mengapa orang yang bertekad menjadi guru malah lulus lebih terlambat? Karena ia mengambil jalan yang lebih panjang dan luas untuk pemahaman yang lebih mendalam. 



Quote
Quote
QuoteSaya hanya mau menambahkan sedikit, seseorang menjadi guru tidak menjamin bahwa ia capable.
Sekali lagi, kalau hanya menyinggung "guru-guru-an" saya tidak perlu menyinggung pembelajaran.
?
Yang saya maksudkan adalah seorang guru sejati, yang berarti ia capable. Untuk menjadi guru, seseorang mengambil pembelajaran yang berbeda dari murid yang sekadar ingin lulus. Saya tidak membahas orang berstatus guru yang sebetulnya tidak capable.


Quote
Quote
QuotePengetahuan saya mengenai Paccekabuddha hanya berasal dari Tipitaka, diluar dari itu saya anggap spekulasi.
Ada rujukan di Tipitaka bahwa para Pacceka Buddha beragama Buddha?
Tidak ada... tahukah mengapa dikatakan Buddha?
Salah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran.



Quote
QuoteSaya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut.
Apakah mereka yang belajar Abhidhamma juga termasuk?
Jika konteksnya sebatas Abhidhamma, saya rasa tidak masalah karena memang ada dibahas. Tetapi di luar itu, saya tidak akan menanggapi.



QuoteSaya setuju dengan bro kainyn memang kita tak tahu dengan pasti, karena yang mengungkapkan hal ini hanya Tipitaka maka saya terima sebagaimana apa adanya, karena kita tak bisa membuktikan itu benar atau membuktikan bahwa itu salah.
Apa yang kita percaya kadang bukan berdasarkan bukti, tetapi juga kecocokan. Bukti konkret secara pasti dari hukum kamma itu tidak bisa dijelaskan, namun saya juga percaya pada kamma yang diajarkan di Tipitaka karena saya cocok.

fabian c

Quote
Quote from: fabian c on 11 January 2010, 12:00:37 PM
Bagaimana saya tahu akan seperti apa bila saya sendiri tidak tahu seperti apa Satipatthana bro Kainyn...??
Jikapun saya bisa ceritakan panjang lebar, memangnya Bro Fabian bisa mengetahui keadaan bathin saya apakah itu Satipatthana atau hanya tulisan belaka? Saya rasa ini tidak perlu dibahas lebih lanjut. Saya mengatakan itu Satipatthana semata-mata karena saya melihat persamaan2. Namun kalau menurut doktrin yang dipercaya Umat Buddha bahwa Satipatthana tidak mungkin dikembangkan orang tanpa mengenal Ajaran Buddha sebelumnya, saya dengan senang hati akan mengatakan meditasi saya BUKAN Satipatthana, 100% tulus tanpa terpaksa. OK?  :)
Ya memang tidak ada yang mengajarkan Satipatthana bila seorang Sammasambuddha tidak muncul. Bila ada yang mengajarkan di jaman tidak ada Sammasambuddha maka tentu akan ada yang mencapai kesucian dengan belajar (Savakabuddha) kan? Tetapi dikatakan di jaman ajaran Sammasambuddha telah lenyap tak ada Savakabuddha.

Quote
Quotesaya sendiri tidak tahu bagaimana sikap saya, kok bro Kainyn lebih tahu seperti apa sikap saya nantinya? apa sebabnya?
Kadang memang orang lain yang lebih mudah melihat jerawat di hidung kita.
Marilah kita menghilangkan prasangka pribadi dan mendahulukan diskusi Dhamma.

Quote
Quote
QuoteSaya tidak tahu. Saya bilang bukan beragama Buddha karena pada masa Pacceka Buddha, tidak ada ajaran Buddha. Jika tidak ada ajaran Buddha, tidaklah mungkin beragama Buddha.
Kalau Sammasambuddha?
Samma Sambuddha justru "membuat" Agama Buddha, tidak cocok disebut beragama "diri sendiri".
Kalau Bodhisatta sebelum pencerahan juga saya yakin BUKAN beragama Buddha dengan alasan sama, yaitu tidak ada Buddha-dhamma saat itu. Dan kalau mau dilihat lebih jauh, menurut saya para Arahat pun sudah tidak "beragama" lagi karena mereka telah melepas rakit dan telah "lulus". Maka mereka disebut Asekkha Pugala.

Mungkin saya belum menyelami pengertian bro Kainyn terhadap agama Buddha. Apa sih agama Buddha itu menurut pengertian bro Kainyn?

Quote
Quote
QuoteSemua pembelajaran memiliki sejumlah persamaan dan sejumlah perbedaan. Dalam hal ini, saya mengambil aspek yang menurut saya sama.
Objek berbeda dan cara praktek juga berbeda, apa yang sama?
Saya pinjam kembali perumpamaan di mana orang berjuang mencapai nibbana diumpamakan orang ingin menyeberang dengan rakit. Objeknya beda, cara prakteknya beda, lalu semuanya berbeda?

Persamaan dari perumpamaan saya adalah tekad yang dimiliki seseorang dalam satu bidang, sama sekali tidaklah menghalangi bakat seseorang dalam mengembangkan kemampuan. Mengapa orang yang bertekad menjadi guru malah lulus lebih terlambat? Karena ia mengambil jalan yang lebih panjang dan luas untuk pemahaman yang lebih mendalam

Apakah benar orang yang bertekad untuk menjadi guru lulus lebih terlambat dibandingkan yang tidak?

Quote
Quote
Quote
QuoteSaya hanya mau menambahkan sedikit, seseorang menjadi guru tidak menjamin bahwa ia capable.
Sekali lagi, kalau hanya menyinggung "guru-guru-an" saya tidak perlu menyinggung pembelajaran.
?
Yang saya maksudkan adalah seorang guru sejati, yang berarti ia capable. Untuk menjadi guru, seseorang mengambil pembelajaran yang berbeda dari murid yang sekadar ingin lulus. Saya tidak membahas orang berstatus guru yang sebetulnya tidak capable.
Saya rasa seorang guru memiliki ilmu yang dimiliki muridnya. Bila seorang murid ingin belajar geografi pada guru yang ahli hukum apakah murid tersebut akan menjadi ahli geografi?

Quote
Quote
Quote
QuotePengetahuan saya mengenai Paccekabuddha hanya berasal dari Tipitaka, diluar dari itu saya anggap spekulasi.
Ada rujukan di Tipitaka bahwa para Pacceka Buddha beragama Buddha?
Tidak ada... tahukah mengapa dikatakan Buddha?
Salah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran.
Apakah itu salah satu penyebab dikatakan Buddha? karena tidak memusingkan "agama mana yang bener"?
apakah si Polan yang sudah melihat kebenaran bahwa yang disebut apricot adalah sejenis buah, ia juga layak disebut Buddha?

Quote
Quote
QuoteSaya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut.
Apakah mereka yang belajar Abhidhamma juga termasuk?
Jika konteksnya sebatas Abhidhamma, saya rasa tidak masalah karena memang ada dibahas. Tetapi di luar itu, saya tidak akan menanggapi.
Apakah diskusi kita tidak melibatkan Abhidhamma?

Quote
QuoteSaya setuju dengan bro kainyn memang kita tak tahu dengan pasti, karena yang mengungkapkan hal ini hanya Tipitaka maka saya terima sebagaimana apa adanya, karena kita tak bisa membuktikan itu benar atau membuktikan bahwa itu salah.
Apa yang kita percaya kadang bukan berdasarkan bukti, tetapi juga kecocokan. Bukti konkret secara pasti dari hukum kamma itu tidak bisa dijelaskan, namun saya juga percaya pada kamma yang diajarkan di Tipitaka karena saya cocok.
Saya kira bukti kamma bukan tak bisa dijelaskan, namun kita memiliki keterbatasan pengetahuan. Ya saya juga percaya karena hukum kamma mampu mejawab banyak teka-teki kehidupan yang tak bisa dijawab dengan konsep lain.

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Sunce™

Kisah Suppabuddha, Si Penderita Kusta

Suppabuddha, penderita kusta, suatu ketika duduk di bagian belakang kumpulan orang dan mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha, mencapai tingkat kesucian sotapatti. Ketika kerumunan orang tersebut sudah membubarkan diri, ia mengikuti Sang Buddha ke vihara. Ia berharap dapat memberitahukan kepada Sang Buddha tentang pencapaiannya.

Sakka, raja para dewa, berkeinginan untuk menguji keyakinan orang kusta tersebut kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha, menampakkan dirinya dan berkata: "Kamu hanya seorang miskin, hidup dari meminta-minta, tanpa seorang pun tempat bersandar. Saya dapat memberi kamu kekayaan yang sangat besar jika kamu mengingkari Buddha, Dhamma, dan Sangha dan katakan bahwa kamu tidak membutuhkan mereka"

Suppabuddha menjawab, "Tentu saja saya bukan orang miskin, tanpa seorang pun tempat bersandar. Saya orang kaya; saya memiliki tujuh ciri yang dimiliki oleh para ariya; saya mempunyai keyakinan (saddha), kesusilaan (sila), rasa malu berbuat jahat (hiri), rasa takut akan akibat perbuatan jahat (ottappa), pengetahuan (suta), murah hati (caga), dan kebijaksanaan (panna)."

Kemudian Sakka menghadap Sang Buddha mendahului Suppabuddha. Sang Buddha menjawab bahwa tidaklah mudah meskipun seratus atau seribu Sakka untuk membujuk Suppabuddha meninggalkan Buddha, Dhamma, dan Sangha.

Setelah Suppabuddha sampai di vihara, ia melapor kepada Sang Buddha bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Dalam perjalanan pulangnya dari Vihara Jetavana, Suppabuddha mati berlumuran darah diseruduk seekor sapi yang sedang marah, yang sesungguhnya adalah seorang yakkhini* yang bersalin rupa menjadi seekor sapi. Yakkhini ini tidak lain adalah pelacur yang dibunuh oleh Suppabuddha pada kehidupannya yang lampau dan bersumpah untuk membalas dendam.

Ketika berita kematian Suppabuddha sampai di Vihara Jetavana, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, dimana Suppabuddha dilahirkan kembali, dan Sang Buddha menjawab bahwa Suppabuddha dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa. Sang Buddha juga menerangkan kepada para bhikkhu bahwa Suppabuddha dilahirkan sebagai seorang kusta karena pada salah satu kelahirannya yang lampau, ia pernah meludahi seorang Pacekabuddha**.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:

"Caranti bālā dummedhā
amitten'eva attanā
karontā pāpakaṃ kammaṃ
yaṃ hoti kaṭukapphalaṃ."

^-^

Orang bodoh yang dangkal pengetahuannya,
memperlakukan diri sendiri seperti musuh;
ia melakukan perbuatan jahat
yang akan menghasilkan buah yang pahit.

Adhitthana

Kisah Suppabuddha mirip dengan kisah Bahiya ....
yaitu di seruduk oleh sapi/kerbau?

kenapa sapi/kerbau zaman dulu galak2 yaaah  ;D ......
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

K.K.

Quote from: fabian c on 12 January 2010, 07:42:03 PM
Ya memang tidak ada yang mengajarkan Satipatthana bila seorang Sammasambuddha tidak muncul. Bila ada yang mengajarkan di jaman tidak ada Sammasambuddha maka tentu akan ada yang mencapai kesucian dengan belajar (Savakabuddha) kan? Tetapi dikatakan di jaman ajaran Sammasambuddha telah lenyap tak ada Savakabuddha.
Saya mau tanya saja. Seandainya ada seorang yang di kehidupan lampau berlatih Satipatthana dengan giat, namun karena buah kamma, ia terlahir kembali bukan di keluarga atau pun lingkungan Buddhis. Menurut Bro Fabian, apakah mungkin atau tidak bahwa ia masih memiliki kecenderungan di masa lampau untuk berlatih Satipatthana, walaupun ia tidak mengenal Agama Buddha?

QuoteMarilah kita menghilangkan prasangka pribadi dan mendahulukan diskusi Dhamma.
Apa yang telah diketahui bukanlah prasangka.

QuoteMungkin saya belum menyelami pengertian bro Kainyn terhadap agama Buddha. Apa sih agama Buddha itu menurut pengertian bro Kainyn?
"Agama" Buddha adalah kumpulan doktrin dari masa lampau yang dikemas dalam kitab-kitab, ditafsirkan pihak tertentu, dan dianggap sebagai kebenaran.
"Ajaran" Buddha adalah panduan bagi masing-masing pribadi untuk menyadari "dunia" apa adanya.

QuoteApakah benar orang yang bertekad untuk menjadi guru lulus lebih terlambat dibandingkan yang tidak?
Untuk sekadar lulus, maka orang hanya perlu melatih apa yang kurang dari dirinya untuk lulus.
Untuk menjadi guru, maka orang perlu melatih seluruh aspek yang diperlukan untuk lulus, dan harus melatih cara mengajar yang baik. Mengajar yang baik adalah dengan mengerti orang lain, dan tidak ada rumus baku untuk mengerti orang lain, baik kekurangan maupun kelebihannya. Semua didapat dari pengalaman dan pembelajaran yang sangat panjang.

QuoteSaya rasa seorang guru memiliki ilmu yang dimiliki muridnya.
Ada ilmu yang bisa "ditransfer" dari guru ke murid, namun lebih banyak ilmu yang tidak bisa. Ilmu tersebut hanya bisa didapatkan sendiri melalui latihan dan pengalaman. Jadi memang bukan guru tersebut payah, namun memang pembelajarannya berbeda.

QuoteBila seorang murid ingin belajar geografi pada guru yang ahli hukum apakah murid tersebut akan menjadi ahli geografi?
Jika ia mencari ilmu geografi pada ahli hukum, maka ia hanya akan menemukan hal-hal yang relevan antara hukum & geografi, jika ada. Namun saya tidak mengatakan dia pasti akan atau tidak akan menjadi seorang ahli geografi, sebab pembelajaran tergantung terutama pada diri sendiri, baru guru sebagai faktor ke dua.

QuoteApakah itu salah satu penyebab dikatakan Buddha? karena tidak memusingkan "agama mana yang bener"?
apakah si Polan yang sudah melihat kebenaran bahwa yang disebut apricot adalah sejenis buah, ia juga layak disebut Buddha?
Jadi ada agama yang bahas status apricot adalah buah atau bukan? Baik, kita andaikan agama tersebut adalah Fabianisme.
Ketika seseorang mengetahui kebenaran bahwa buah atau bukan adalah berdasarkan kesepakatan bersama, yaitu berasal dari bagian ovarium tanaman, maka ia tidak mempermasalahkan kebenaran Apricot Vs Buah, yang dengan demikian, ia juga tidak memusingkan apakah Agama Fabianisme itu bener atau tidak.

Saya tidak bilang dengan begini saja orang jadi Buddha, maka saya bilang "salah satunya." Ketika terlintas "Buddha" di pikiran, maka saya membayangkan orang tersebut adalah tipe yang tidak memusingkan "Fabianisme bener ato ga", namun yang lebih mengajarkan melihat kebenaran "apricot" dan "buah" itu sendiri.

QuoteApakah diskusi kita tidak melibatkan Abhidhamma?
Saya tidak mengerti Abhidhamma, maka tentu saja yang saya katakan tidak berdasarkan dengan Abhidhamma. Jadi apakah melibatkan atau tidak, saya juga tidak tahu.

QuoteSaya kira bukti kamma bukan tak bisa dijelaskan, namun kita memiliki keterbatasan pengetahuan. Ya saya juga percaya karena hukum kamma mampu mejawab banyak teka-teki kehidupan yang tak bisa dijawab dengan konsep lain.
Konsepnya memang unggul, namun tetap tidak bisa dijelaskan. Dan jika memang saya tidak mampu menjelaskan, saya tidak akan berlindung di balik "keterbatasan manusia". Mengapa demikian? Karena akhirnya sama saja seperti yang mengatakan "rencana Tuhan yang selalu indah bisa dijelaskan, namun karena keterbatasan manusia maka tidak bisa mengerti."
Saya lebih memilih untuk mengaktu bahwa semua masih konsep, dan kita memilih karena kecocokan.