News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Abhidhamma & vipassana

Started by hudoyo, 29 July 2008, 09:45:38 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

ryu

Quote from: Suchamda on 02 August 2008, 01:25:23 AM
Quote from: Semit on 02 August 2008, 01:19:56 AM
Quote from: Suchamda on 02 August 2008, 01:10:13 AM
Quote from: Semit on 02 August 2008, 01:08:12 AM
Sdr. Suchamda, Hanya itukah komentar anda

Gak.
Saya sedang menunggu jawaban Riky dulu sebelum memberi komentar lebih lanjut.
Yang berimbang donk. Dua belah pihak kita dengar dulu baru. ok?

Anda mulai beralih menjadi hakim sekarang? apa yang akan anda lakukan setelah terbukti siapa yang menang/kalah? bukankah seandainya tindakan itu diperlukan, itu adalah tugas moderator?

Terus terang saya tidak ingin menjadi hakim. Hanya ingin mencari kebenaran saja.
Ingin mencari mengapa diskusi yg seharusnya bisa straight begini cukup sulit utk dilakukan dengan komunikasi yg dewasa di lingkungan buddhist.
Saya perhatikan, sudah terjadi 2 kubu: kubu MMD dan kubu Abhidhammaist.
Dari kubu MMD, pak Hud terutama, sudah memberikan banyak kontribusi masukan yg memiliki isi. Sedangkan dari kubu Abhidhamma, walaupun ada netter2 yg berbobot juga, namun banyak diwarnai oleh junkers2 yang menimbulkan flaming. Menurut saya ini sangat mengganggu diskusi.
Saya tadinya memang cuek aja, dan saya melihat pak Hud juga mencuekin junkers, makanya saya putuskan utk terjun saja sebagai bad guy.

Anda online? Kita chat yuk?

Aye merasa kesindir nich :)) ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Suchamda

#226
Kesindir........hmmm .......itu jelas suatu yang tidak enak.
Yang tidak enak ini adalah tongkat yang membangunkan saya dari tidur, ataukah
tongkat yang merusak Kebenaran yang telah aku raih?
ataukah sindiran itu sendirilah ketidakbenaran yang harus dipatahkan?

Bagaimana yah, mengungkapkan suatu hal yang berkaitan dengan kita2 disini tanpa harus ada merasa yg tersanjung atau tersindir?
- Hal yang baik, tersanjung tapi pasti diem2 aja. senyum2 sendiri di belakang komputer.
- Hal yang buruk, wah ini sensitive sekali. Nowel saya sedikit berarti you adalah musuh gw. You emang biang kerok yang cuman bikin orang dengki. ;D
Hmmm..........tapi bagaimana aku menyampaikan semua kekesalan ku dengan kata-kata yang buddhistik, yang indah dan penuh kelembutan? ;D
Tapi .......wait a minute........kok semua kata-kata baik-ku toh selalu ditanggapi dengan sengit?
Ku tidak terima, ku meronta.
Lalu ku bertanya :
Apakah persaudaraan antar sesama buddhis itu hanya sebatas hal-hal yang indah dan lembut?
Apakah harus senantiasa dibungkus dengan kata-kata manis dan bunga?
Apakah kata-kata yang indah lebih berharga daripada sebuah kejujuran yg 'telanjang'?
Tapi, OH......itu kan semua harapanku. Itulah idealku. Seorang buddhis yang tauladan semestinya begitu...
Tapi, OH......cuba lihat apa yang kulakuken? Mengapa kata-kata ku selalu menikem?

Apa artinya semua ini? Apa artinya saya sebagai Buddhis?
Disatu sisi aku ingin melenyapkan egoku,
tapi disisi lain aku sangat menyayangi egoku...
Ahhhh..........barangkali supaya tidak terlalu kelihatan mencolok, aku bungkus saja egoku dalam agamaku.
Hmmmm, tapi mengapa semua kontradiksi ini terjadi? Bukankah aku seorang pemeditator vipassana?
What happened? What happened? :'(

Apakah Buddhism yang saya pahami itu adalah mimpi indah?
Ataukah Buddhism yang saya pahami itu membangunkan saya dari mimpi indah?
Sebagai seorang pemeditator vipassana, sebetulnya apakah yang aku lihat?

Bagaimana semua pertanyaan ini dijawab oleh vipasana Abhidhamma maupun vipasana MMD?
Bagaimanakah solusinya?
Silaken dua-duanya menjawab. Karya pena keyboard anda kami nantiken.

Silaken. Silaken.  ;D
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

K.K.

Quote from: Riky_dave on 01 August 2008, 07:36:38 PM
Berati dengan kata lain bahwa Abhidhamma adalah "sebuah alat netral" dan "pengendalinya" adalah orang2 yang belajar tentang Abhidhamma,lantas jika begitu maka "Abhidhamma" yang banyak orang2 pelajari adalah "kotoran"...:)
Karena kotoran yang dipungut oleh para pembelajar abhidhamma mungkin saja seperti kata anda dikira "telur"...
Karena banyak dari pembelajar teori menganggap bahwa "teori2" tersebut adalah MUTLAK BENAR atau KELUAR DARI MULUT SANG BUDDHA...^-^
Lantas bisakah anda jelaskan dimanakah letak sang "telur nibbana?" didalam Abhidhamma teori anda?
Betul, itu hanya "alat yang netral". Pengendalinya adalah orang2 itu sendiri, seperti misalnya anda bilang yang dipelajari orang adalah "kotoran", maka pikiran anda yang membuat itu tidak netral.
"Telur" nibbana tidak terletak di manapun, bahkan tidak pula dalam "khotbah" anda yang penuh "inspirasi".
Saya tidak menggunakan Abhidhamma sebagai "pegangan", tetapi saya melihat "telur" dan "kotoran" dalam Abhidhamma.
Untuk orang yang pikirannya dipenuhi ide tentang "Abhidhamma adalah kotoran", tidak akan mampu melihat "Abhidhamma sebagai telur", juga sebaliknya.


Quote
QuoteKetika orang belajar sesuatu (apakah Abhidhamma ataupun hal lain), kemudian Lobha-Dosa-Moha-nya berkurang, bukannya bertambah, maka dia memungut "telur", walaupun orang lain mengatakan dia memungut "kotoran".
Benarkah bahwa orang yang belajar tentang Abhidhamma bisa mengurangi LDM sampai terkikis habis?Dan disebut memunggut "telur?"
LDM ini adalah sesuatu yang sangat "halus" dia muncul sangat cepat bahkan mungkin lebih cepat daripada kecepatan cahaya ^-^
Hebat sekali analisa anda. Ini sudah ditembus oleh bathin anda dalam meditasi, atau hanya tebak2an alias teori?


QuoteLantas apakah "teori" itu bisa mencegah/mengurangi LDM sampai terkikis penuh atau bahkan setengahnya saja?
Kalau hanya dibaca, tentu saja tidak bisa sama sekali.


QuoteSetahu saya ketika kita "marah" maka "marah" itu sudah "muncul" duluan dan tidak bisa dicegah oleh "teori apapun" yang ada dimuka bumi ini...Dan baru ketika "marah" muncul dia akan melakukan aktivitasnya melalui ucapan,perbuatan,pikiran....Ketika itu berlangsung maka "teori" baru mengikisnya dengan berkata,"Sabar" "Cuekin" dstnya...
Apakah hal tsb bukan disebut "penguatkan aku" "pemuasaan aku"?
"Aku" dipuaskan oleh "teori" tentang "kebaikan" "kesabaran" "lapang dada" "pemaaf" "mulia" "baik" dll...Dengan begitu Sang AKU pun puas dan semakin berkuasa,lantas apakah itu masih belum bisa disebut dengan memunggut "kotoran?"
Menurutmu, aplikasi teori (Abhidhamma) adalah demikian? Berarti anda memang tidak tahu apa-apa.
Coba belajar tentang Abhidhamma. Tapi sebelumnya, kosongkan "cangkir" anda yang penuh "kotoran" sebelum belajar.

K.K.

Quote from: Riky_dave on 01 August 2008, 07:54:59 PM
Dan saya berharap bahwa "teori2" tersebut tidak digunakan sebagai suatu "pembenaran" atas sebuah "ketidaktahuan/kebodohan" yang sering kali ditunjukan dari berbagai netter disini...:)
Dan terakhir saya ingin berkata bahwa,"Jika kita belum menembus "teori" yang sering kita tuliskan dan bicarakan alangkah baiknya kita sendiri membuktikannya terlebih dahulu daripada bercuap2 kepada orang lain,padahal kita sendiri tidak tahu apa2...."

Saya setuju sekali dengan anda, Riky_dave. Tapi saya penasaran, sebetulnya anda sendiri setuju atau tidak dengan pernyataan itu?

ryu

Kalo dari sudut pandang aye, kita sebagai sahabat terkasih dalam kristus sebaiknya bertobatlah semua, karena kerajaan Tuhan  sebentar lagi akan datang, Sebagai sesama manusia kita diciptakan untuk memuliakan Tuhan, kita sebaiknya menghargai sesama kita sama seperti kita menghargai Junjungan Kita.
Apa yang kita ingin orang lalin perbuat terhadap kita sebaiknya kita pun perbuat juga terhadap orang lain. sekian dari saya Out dari sini kakakakak
Semoga kasih Kristus selalu bersama Kita.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: ryu on 02 August 2008, 09:07:02 AM
Kalo dari sudut pandang aye, kita sebagai sahabat terkasih dalam kristus sebaiknya bertobatlah semua, karena kerajaan Tuhan  sebentar lagi akan datang, Sebagai sesama manusia kita diciptakan untuk memuliakan Tuhan, kita sebaiknya menghargai sesama kita sama seperti kita menghargai Junjungan Kita.
Apa yang kita ingin orang lalin perbuat terhadap kita sebaiknya kita pun perbuat juga terhadap orang lain. sekian dari saya Out dari sini kakakakak
Semoga kasih Kristus selalu bersama Kita.

ryu, "Kerajaan Allah sudah dekat" itu dikatakan oleh John the Baptist (Yohanes Pembaptis) sebelum kedatangan .  datang sudah membawa "kerajaan Allah" pada manusia. Di manakah "Kerajaan Allah" itu? Jangan dicari di luar, itu ada di dalam dirimu (Luke 17:21). Lalu, bagaimana caranya "masuk" ke dalam "Kerajaan Allah" itu? Ikutilah (cara) , dengan "menyangkal diri (aku)" dan memikul "salib" (pengorbanan akan hal duniawi) -nya (Matthew 16:24).

Quote from: HokBen on 31 July 2008, 08:39:15 PM
Quote from: ryu on 31 July 2008, 08:28:40 PM
Mungkin karena ada ehipassiko yak, coba kalo di Buddha ada Iman , gak akan ada kek gini :))

:hammer: kayak tetangga dg, ada Iman, Taqwa, pasrah, berserah pada keputusanNya.... :D
Sebetulnya, "tetangga" juga tidak sedangkal itu.  :)

bond

#231
Sebenarnya Abhidhamma dan vipasanna itu bisa saling mendukung dan saling sinergi asalkan kita menempatkan keduanya dalam sebuah kesatuan yg proposional. Jikalau ada mereka yg mempelajari Abhidhamma secara text book dan mendapatkan manfaatnya ok2 saja, apalagi jika belum ada kesempatan melatih vipasanna langsung yg dikarenakan kondisi dan buah karma baik yg mendukung belum berbuah. Perbedaan hanya terjadi hanya ketika kita masing menggenggam kuat persepsi kita sendiri dan ini tidak terjadi pada yg mengandalkan teori tetapi bisa juga terjadi pada praktisi vipasanna yg menanggap apa yg dialami sebagai kebenaran mutlak dan memiliki keyakinan yg berlebihan dan semangat terhadap pengetahuan yg dimilikinya tetapi mereka lupa bahwa mereka sedang terperangkap dalam rintangan meditasi, yg mana mereka berpikir telah maju tetapi sebenarnya hanya jalan ditempat atau OMONG KOSONG BELAKA. Sampai2 dengan gampangnya loncat untuk "tanpa aku" tidak perlu sutta, harus dari mulut Sang Buddha lha, tidak ada tujuan dalam vipasanna di saat awal. Itu semua sebenarnya masih dalam sebuah ilusi yg menyesatkan sebuah pandangan. Melatih mencapai nibanna harus ada tahapan sesuai kondisi batin masing yg harus disikapi secara bijaksana. Contohnya : kalau kita akan duduk meditasi, disitu ada "ingin" , "duduk" dsb bukankah itu tujuan, mau makan saja sudah tujuan, jadi banyak orang membuat vipasana ngejlimet dengan khayalan2 belaka saja. Demikian sebaliknya teori bisa membawa kemajuan hanya pada tahap tertentu saja, selanjutnya harus praktek. Bagaimana membawa vipasanna berguna bagi kehidupan sehari2, kekuatan dari latihan khusus meditasi vipasanalah yg digunakan yg mana terdapat kekuatan sati yg murni. Hendaknya juga mereka yg telah berlatih dalam Dhamma tidaklah menambah ego karena pengetahuan. jangan berpikir semua serba instant dan tidak ada tahapan, tidak ada jalan dan tidak ada konsep yg benar dsb, kalau begini , orang semacam ini lupa akan realita kehidupan yg sebenarnya dan mungkin salah satu pandangan ekstrem kiri atau kanan bukan jalan tengahlah yg diajarkan Sang Tathagata. Belajarlah langsung dari mereka yg telah benar2 mencapai apa yg harus dicapai sebagai kalyanimita, jangan  takabur bahwa kita bisa seperti Buddha mencapai pencerahan sendiri. Sang Buddha pun mencapainya karena parami yg luar biasa disertai tanda khusus yg menyertainya. Marilah renungkan kembali apa yg terjadi pada diri kita.




Jadi perkembangan batin masing2 tentu titik awal kemajuannya berbeda-beda. Ada yg mulai dari teori (dalam hal ini Abhidhamma) dan ada yg berawal dari praktek dan ada juga dari keduanya.  Dengan menganggap meniadakan salah satu adalah kebodohan yg amat sangat. Janganlah berpikir kita telah mahir dalam praktek Dhamma atau merasa sebagai praktisi yg hebat kalau menjadi manusia seutuhnya  saja belum becus dan mulailah dari hal2 yg kecil dalam keseharian kita , kalau itu saja sudah bisa kita lakukan maka baru bisa maju selangkah demi selangkah.Demikian pula yg memilki intelektual yg baik hendaknya tidak memahami Dhamma sebatas pemikiran saja. Seperti Anda memilki 2 tangan dan kaki, bila salah satu tidak ada maka disebut cacat, yg parah kalau terjadi cacat mental. ;D

_/\_


Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Sunkmanitu Tanka Ob'waci

tidak ada aku
tidak ada jalan
tidak ada usaha
tidak ada pencerahan
tidak ada teori
tidak ada praktek

yang ada hanya diam
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Indra


Suchamda

Ego itu tidak bisa disembunyikan.

Kita berlatih vipassana untuk berhadapan dengan ego itu secara langsung.

Bukan untuk menyembunyikan ego itu supaya terlihat kecil atau hilang.

Bila demikian adanya, maka itu adalah ego baru yang sangat halus tapi kuat sekali.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Sunkmanitu Tanka Ob'waci

Quote from: Indra on 02 August 2008, 11:52:45 AM
Pengikut Purana Kassapa

Siapa yah?

Buddhang Saranang Gachami
Dhammang Saranang Gachami
Sanghang Saranang Gachami
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Indra

Demikianlah, Bhagavà, Purana Kassapa, ketika ditanya tentang buah saat ini dari kehidupan tanpa rumah, menjelaskan tentang tidak melakukan apa-apa kepadaku. (Samanaphala Sutta)

williamhalim

Quote from: Suchamda on 02 August 2008, 12:07:51 PM
Ego itu tidak bisa disembunyikan.

Kita berlatih vipassana untuk berhadapan dengan ego itu secara langsung.

Bukan untuk menyembunyikan ego itu supaya terlihat kecil atau hilang.

Bila demikian adanya, maka itu adalah ego baru yang sangat halus tapi kuat sekali.

Setuju...

Kalo ditinjau dari praktik Abhdihamma-nya:

Ego itu mesti disadari, ketika kita sadar bahwa pada saat itu kita sedang marah, selanjutnya kita mempunyai pilihan, mau marah terus atau mau disudahi? Biasanya ketika kegiatan memilih*) ini berlangsung, kekuatan EGO (kemarahan) tadi sudah sedikit melemah.... selanjutnya terserah kita....
(Pada saat 'memilih' tsb, segala pemahaman yg telah kita pelajari biasanya akan muncul dan akan menjadi bahan pertimbangan kita; jika makin sering dipelajari dan direnungkan, maka akan semakin kuat mengontrol pertimbangan kita).

Bandingkan jika tanpa memahami Dhamma (bahwa kemarahan itu tidak baik bagi kita, bahwa pikiran merupakan busa yg menyerap setiap pikiran baru; berakumulasi, dsbnya), jika tidak memahami hal2 begitu maka kita akan terus 'menikmati' kemarahan kita dengan semakin berapi-api... akibatnya sudah bisa ditebak: jantung semakin keras berdebar (sumber segala penyakit) dan batin kita sudah terupgrade menjadi 'semakin pemarah' (lama kelamaan akan menjadi 'sifat' kita).

Bagi seseorang yg mempraktikkan Abhidhamma, pemahaman2 dasar begini akan membantunya mengambil sikap ketika EGO-nya muncul. Pemahaman2 yg didapat dari belajar, membaca adan diskusi (Suttamayapanna) akan meningkat menjadi pemahaman realisasi (Cintamayapanna) yg untuk selanjutnya jika dilakukan dengan intents (vipassana) maka akan menjadi pemahaman penembusan (Bhavanamayapanna).

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

williamhalim

Quote from: hudoyo on 31 July 2008, 10:47:26 PM
hehe ... judul posting ini "Vipassana"  ... tapi isi tanya jawab itu tidak lebih dari uraian abhidhamma. ... Si A dan si B itu tidak sedang bervipassana, melainkan berdiskusi tentang abhidhamma. :))

Di antara dua orang yang bermeditasi vipassana dengan betul, tidak akan terjadi diskusi seperti ditampilkan oleh Nina itu.

Barusan teringat...

(maaf frens semua, bukan mo promosi, ini menyangkut topik juga, untuk menegaskan sumber berita yg menjadi kutipan kita)

SY teringat ketika berdiskusi dengan Bp. Ngestoe Rahardjo (pemilik milis BeCeKa), Beliau -yg cukup netral, tidak berpihak kepada salah satu aliran dan kebetulan agama asli Beliau adalah Agama Hindu- mengatakan bahwa "Madam Nina Van Golkom diduga oleh banyak orang sebagai sedikit dari mereka yg telah mencapai sotapanna."

Padahal sy sendiri waktu itu tidak berbicara apapun soal Madam Nina ini.

Selengkapnya bisa baca di:

http://groups.yahoo.com/group/BeCeKa/message/7090

----

Sehubungan hal tsb diatas, sy pikir percakapan Madam Nina cukup bisa kita pertimbangkan.

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Suchamda

#239
Kalau menurut saya,
belajar (spiritual) itu bisa kepada semua orang. Tidak selalu harus kepada orang yg udah tercerahkan.
Problem yg sering terjadi pada akhirnya adalah suatu belief bahwa si anu atau si ani udah tercerahkan.
Ini bisa jadi polemik, pro dan kontra.

Menurut saya,
kualitas suatu saran/ nasihat/pernyataan bisa diteliti dari isi pernyataan itu tersendiri. Terlepas dari siapa yg ngomong.

Kalau kita tidak paham dengan apa yg dia omongkan, ya galilah, pertanyakanlah, dengan penuh perhatian dan rasa keingintahuan. Jangan terburu2 utk judging.

Setelah paham di level mana dia berbicara, barulah kita bisa menilai, apakah kita perlu menuruti nasihat orang itu.

Tapi seringkali, kita perlu openness (keterbukaan) untuk bereksperimen , untuk melihat benar tidaknya suatu aspek yg dibicarakan.

Seringkali kita marah-marah mendengar kalimat2 kasar yg dilontarkan. Tapi begitu mengetahui bahwa kalimat2 itu berasal dari mulut orang yang dia anggap tercerahkan / suci. Serta merta kemarahan itu berubah menjadi kepatuhan tanpa syarat yang manggut manggut tanpa reserve. Kemarahan berbalik menjadi pujian kebijaksanaan.
Sebaliknya, kata2 bijaksana yang kita dengar dari seorang berpendidikan rendah atau seorang yg sepertinya gelandangan, seringkali kita abaikan karena otak kita sudah menolak terlebih dahulu karena mengkategorikan orang tersebut ke kotak sampah.
Ini semua terjadi, krn kita tidak menyadari cara bekerja pikiran.

SO,
aspek investigasi itu tidak terlepas dari aspek keterbukaan.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho