Dari awal saya juga sudah mengatakan bahwa jalan dengan mengandalkan diri sah-sah saja dalam praktik, namun pada satu titik ego-diri harus ditanggalkan untuk merealisasi nirvana. Begitu juga dengan cara memohon bantuan “yang lain” tidak berbeda dengan mengandalkan diri sendiri, karena pada satu titik harus menyadari bahwa “tidak ada yang dibantu ataupun yang membantu.” Tapi anda tidak paham juga... jadinya saya berkata bahwa diri itu pada hakikatnya adalah pancakandha, maka mengandalkannya tidak akan membantu seseorang merealisasi nirvana.
Lantas anda mengatakan kalau saya menyelewengkan maksud yang kamu katakan dengan bersikeras dengan analogi makan dan kenyang ini. Saya lalu menolak bahwa analogi tersebut tidak tepat untuk Nirvana. Penolakan saya jelas maksudnya, karena bagaimanapun yang saya maksudkan dari awal adalah bahwa nirvana adalah pelepasan dan penyadaran akan diri sebagai sesuatu yang kekal. Sedangkan kenyang berkaitan dengan sensai subjektif aku. So..?
OK.
Lalu bagaimana dengan konsep menolong makhluk lain di Aliran Mahayana? Sejauh apakah pertolongan yang dapat diberikan...?
Mengenai analogi itu, sudah berkali-kali saya katakan bahwa contoh itu hanya berjalan di koridor "cara pencapaian". Jadi Anda tidak perlu mencari-cari ketidakselarasan analogi itu dengan hakikat Nirvana. Kalau Anda menganggap analogi saya itu sungguh amat sangat tidak tepat sekali, silakan Anda kemukakan analogi yang paling tepat untuk mendekripsikan perealisasian Nirvana.
Maksudku isi pertimbangannya... Bukan pertimbangan itu sendiri.
Saya menganalisa sesuatu dengan tingkat intelejensial, pengalaman dan cara pandang saya. Setelah itu, saya akan mencoba membuktikannya. Jadi saya tidak akan menelan doktrin bulat-bulat, untuk kelak kemudian baru saya buktikan. Saya percaya pada apa yang sudah terbukti kebenarannya, dan berusaha untuk mencari fakta dari sesuatu yang belum terbukti kebenarannya.
Menurut Anda sendiri, akal sehat dan logika tidak perlu menjadi panduan awal bukan?
Kalau begitu apakah Anda mau minum Baygon, untuk membuktikan bahwa Baygon itu bisa membunuh kita atau tidak?
Hanya saja nada anda bertanya tentang Iman mengingatkan saya pada para gembala... Biasanya hanya para teolog yang melawankan akal sehat dengan iman Sori kalo membuat diskusi menjadi agak keluar dari topik
Kalau panduan awal bukan kah sudah kujawab, kalau untuk urusan realisasi nirvana tentunya Buddha Dharma panduannya. Kalau berdagang, tentu panduannya untung dan rugi, kalau berdebat tentu panduannya retorika, kalau berteman tentu panduannya perasaan dan kasih sayang, kalau sedang melukis panduannya estetika dll. Nggak ada panduan yang seragam bro. Apalagi satu panduang untuk segalanya... Jika ada yang meyakini adanya satu panduan untuk segalanya, wah serem bro...
Kalau panduan awal untuk menerima Buddha-Dharma apa...? Imin...?
Nggak ada yang bener bro... Itulah kehidupan, nggak ada yang bisa pake satu ukuran.
Hmmm... Begitu yah, bro. Buddha-Dharma juga tidak benar dong...?
Anda mengatakan bahwa akal sehat dan logika tidak bisa dipercaya sebagai panduang awal. Pun Anda mengatakan bahwa dalam mengkaji sesuatu, kita harus memakai berbagai variasi ukuran sebagai bahan perhitungan. Jadi ketika bertemu suatu hal yang kompleks, untuk menganalisanya kita harus mencampur-adukkan ukuran-ukuran itu yah...?
Kalau tidak merealisasi nirvana untuk apa?
Jadi menurut Anda, Nirvana adalah hasil...?
Mana aku tahu... Aku bukan Arahat, Boddhisattva, apalagi Buddha yang Sempurna.... Kedengarannya nggak asing ya bro Dalam diskusi soal seperti jawabanku sudah paten bro
Kedengarannya klise, bro...
Tapi yang saya tanyakan adalah pandangan dari Aliran Mahayana.
Ya...iya dong bro. Kalau saat ini tumpukan paramita dari kehidupan masa lampau sudah mencukupi, ya bisa saya merealisasi pembebasan. Tapi siapa yang tahu apakah saya saat ini saya sudah layak atau belum... jadi ya saya berusaha sekeras semangat saja.. Lalu apa bedanya?
Bedanya...
- Konsep di Aliran Theravada, seseorang bisa merealisasi Nibbana (Pembebasan Mutlak) di kehidupan kali ini juga - meskipun 'hanya' sebagai Savaka Buddha.
- Konsep di Aliran Mahayana, seseorang baru bisa merealisasi Nirvana (Pembebasan Mutlak) di kehidupan ini - yakni ketika menjadi Samyaksambuddha.
Berhubung Buddha Sasana masih eksis sampai detik ini, saya punya kabar buruk bagi Anda...
"Anda belum bisa merealisasi Nirvana, karena Anda tidak mungkin menjadi Samyaksambuddha di kehidupan ini."
Wah... prasangka ini namanya bro
Saya berprasangka demikian pun karena saya menanggapi prasangka dari Umat Mahayanis kepada Umat Theravadin...
Umat Mahayanis berprasangka bahwa :
- Umat Mahayanis mengutamakan semua makhluk
- Umat Theravadin lebih mengutamakan diri sendiri
Saya rasa Anda tahu bagaimana wujud aplikasi Umat Mahayanis yang dikatakan mengutamakan semua makhluk itu. Yaitu dengan bertekad untuk menolong semua makhluk terlepas dari penderitaan, baru kemudian turut memasuki Mahaparinirvana. Berangkat dari prasangka inilah maka saya berprasangka bahwa konsep Aliran Mahayana adalah membentuk pola pikir untuk perencanaan di masa depan. Masa kini hanya dijadikan batu loncatan semata, bukan prioritas awal.
Wah bro saya nggak ingat lagi, yang mana asli yang mana tidak.... Tapi kelanjutannya adalah hakikat semua makhluk hidup adalah Buddha di dalam dirinya. Terserah deh, kalau mau disebut sebagai pengaruh Hindu atau apapun itu... Saat ini saya sedang tidak berminat mendiskusikan hal seperti itu.
Di postingan sebelumnya Anda mengatakan bahwa "diri sendiri", "orang lain" dan "alam sekitar" pada hakikatnya adalah satu. Pada postingan di atas, Anda menyatakan bahwa hakikat semua makhluk hidup adalah Buddha di dalam dirinya. Lalu di mana "alam sekitar" gerangan...?
Meski Anda membawa arah pembicaraan sampai mengenai sifat kebuddhaan di setiap makhluk, tetap saja Anda belum bisa mengingkari pernyataan saya dahulu; "bahwa merugikan diri sendiri, meski untuk menolong orang lain, adalah kurang bijaksana".
Apakah Anda tega melukai seorang Buddha untuk menolong Buddha yang lain...?
Itukan perspektif anda bro...(sekali lagi koq agak mirip perspektif sang gembala ya?) Tidak ada yang jadi tumbal ataupun yang mengorbankan di sini, karena dikotomi “aku dan orang” sebagai sesuatu yang berbeda hanyalah muncul dalam pikiran yang masih tercemar. Oleh karena itu hal demikian tidak berlaku untuk Jalan Bodhisattva.
Saya paham mengenai konsep Mahayana yang memegang doktrin anatta. Maksud saya, yang disebut sebagai "aku" (diri sendiri) adalah Bodhisattva yang bersangkutan. Dan yang disebut sebagai "dia" / "mereka" (orang lain) adalah makhluk lain yang ditolong oleh Bodhisattva. Bukankah seorang Bodhisattva rela mengorbankan nyawanya sendiri (baca : tumbal) untuk menolong semua makhluk...?