News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Kenapa Buddhis, kenapa gak Dhammais

Started by hatRed, 19 November 2008, 10:33:58 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Buddhisme adalah Agama

Harus, karena pandangan Buddhisme sebagai Agama, menyesatkan
0 (0%)
bisa, coz Agama tdk mencerminkan Buddhisme
0 (0%)
may ,,,, maybe yes maybe no
1 (50%)
Bukan hal yg penting, mereka2 orang sesat kan urusan mereka sendiri
0 (0%)
Tidak, karena pengertian Buddhisme dan Agama itu Cocok, liat aja di KBBI
1 (50%)

Total Members Voted: 2

ryu

IIIc.- MEMENTINGKAN ORANG LAIN

           

Sang Buddha menceritakan bahwa di suatu hutan yang rindang, berdiamlah dua orang pertapa yang berbeda sifat. Mereka mempunyai keinginan yang sama.

Keduanya berkeinginan menjadi orang yang hebat, berwibawa dan agung. Dikarenakan oleh keinginan yang begitu kuat maka mereka bertapa bertahun tahun lamanya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan akhirnya tahun pun berganti tahun. Mereka bertapa dengan sungguh sungguh dan tanpa adanya gangguan apapun. Pada suatu malam yang sepi, terdengar suara ketukan pintu dan suara seseorang yang meminta pertolongan. Jika menghentikan pertapaan maka pertapaan yang dilakukan (bertahun tahun lamanya) akan menjadi sia sia dan apa yang dicita citakan, tidak akan tercapai sehingga harus dimulai dari awal lagi.

Tetapi suara minta tolong itu terus menerus kedengaran. "Tolonglah saya,...saya kelaparan dan kedinginan. Saya mempunyai seorang anak kecil. Tolong bukakan pintu...jika tidak...kami berdua akan mati". Suara wanita itu tedengar sangat jelas dan merintih karena kedinginan. Mendengar permintaan itu, pertapa pertama tidak mengacuhkannya. Ia berkata dalam hati. "Ah...biarkan saja mereka, ini malam terakhir aku bertapa, besok aku akan mencapai cita citaku itu. Jika kuhentikan tapaanku maka aku akan gagal meraih cita citaku". Setelah mengambil keputusan itu, ia melanjutkan pertapaannya. Karena merasa tidak diacuhkan oleh pertapa pertama maka si wanita tersebut melangkah kerumah sebelah. Mendengar ketukan dan permintaan minta tolong dari wanita itu, pertapa kedua tersentuh hatinya.

Dia berpikir, "Meskipun wanita ini adalah orang jahat yang ingin menggangguku, aku akan tetap menolongnya, kasihan sekali si bayi dan ibunya, yang pasti sangat menderita. Aku akan segera menolongnya". Dia berhenti bertapa dan membuka pintu. Di luar, si Ibu dan bayinya sedang menggigil kedinginan dan hujan turun dengan lebatnya. Segera si pertapa kedua mempersilakan si Ibu dan bayinya masuk. Pertapa pertama yang mendengar tindakan kawannya itu, berkata : "Tolol ! Untuk apa dia menyia-nyiakan tapanya yang dilakukan sekian tahun lamanya, hanya untuk menolong seseorang  yang tidak dikenal". Pertapa kedua menjamu si Ibu dan bayinya dengan sepenuh hati.

Dengan penuh cinta kasih dan belas kasihan, dia memberikan makanan yang ada dan juga minuman yang hangat. Si Ibu sangat berterima kasih kepada si pertapa kedua. Setelah menyantap hidangan yang disuguhkan, si Ibu meminta air hangat untuk membersihkan bayinya. Permintaan itu disediakan dengan senang hati. Melihat hal ini, si Ibu sangat kagum dan berkata : "Saya tahu anda berhenti bertapa demi kami. Saya akan membalas budi baik anda yang sedemikian besar. Besok pagi, basuhlah muka anda dengan air hangat sisa air mandi anak saya". Kemudian, malam itu juga si pertapa kedua tertidur nyenyak.

Ke-esokan harinya, si pertapa tidak melihat si Ibu dan bayinya. Namun ia teringat akan pesan wanita itu. Lalu mukanya dibasuh dengan air hangat, sisa dari yang diberikan pada bayi si wanita. Setelah membasuhnya dengan air tersebut, tiba tiba wajahnya memancarkan kewibawaan dan keagungan. Ia mendapatkan cita cita nya. Dengan penuh suka cita, dia pergi ke rumah tetangganya yaitu pertapa pertama. Saat itu, pertapa pertama sedang merenung karena cita citanya tidak tercapai. Namun, begitu melihat temannya datang dengan muka dan badan yang basah, pertapa pertama segera mengerti bahwa wanita yang datang kemarin adalah untuk mengujinya.

Ternyata, untuk menjadi orang yang bijaksana, berwibawa dan penuh keagungan, bukan hanya diraih dengan bertapa tetapi juga harus mendahulukan kepentingan orang lain dan jiwa manusia. Sang Buddha menekankan bahwa searing berbuat baik, senang berdana, berprilaku yang terpuji dan suka menolong orang yang susah adalah inti dari kebahagiaan. "Disini, di dunia ini, orang harus berlatih dengan cermat untuk menyempurnakan kebajikan moral; karena kebajikan moral bila dikembangkan dengan baik akan menghantarkan semua keberhasilan ke dalam genggaman".

* THERAGATA 608.



IV. TOLERANSI YANG TANPA KEMELEKATAN



Pada suatu waktu di Nalanda, seorang terkemuka dan kaya-raya yang bernama Upali, siswa Nigantha Nataputta (Jaina Mahavira) yang termashur, dikirim oleh gurunya untuk menemui Sang Buddha dengan maksud berdebat tentang beberapa bagian tertentu dari Hukum Karma yang berbeda dengan pandangan Mahavira tersebut. Tetapi, di luar dugaan, pada akhir perdebatan Upali memperoleh keyakinan bahwa pandangan Sang Buddha-lah yang benar dan pandangan Gurunya sendiri yang salah. Oleh karena itu, ia mohon kepada Sang Buddha untuk menerimanya sebagai seorang Upasaka.

Tetapi, Sang Buddha memperingatkan Upali untuk menimbang lagi secara tenang dan jangan terburu nafsu karena Upali adalah seorang yang terkemuka di kota itu. Setelah Upali menimbang-nimbang dan kemudian tetap memohon untuk dapat diterima sebagai upasaka, maka diterimalah permohonan itu disertai syarat agar Upali tetap memberikan penghormatan dan dana kepada Gurunya yang lama

* UPALI-SUTTA, MAJJHIMA NIKAYA 56.



Sebuah rakit untuk menyeberang ke pantai yang aman. "O Bhikkhu, ada orang yang melakukan perjalanan. Pada suatu ketika ia tiba di pantai laut. Di sebelah sini pantainya berbahaya, tetapi dipantai lain aman dan tidak ada bahaya apapun. Tidak ada kapal yang pergi ke pantai seberang sana yang aman dan sentosa dan juga tidak ada jembatan untuk dipakai menyeberang. Ia berkata kepada dirinya sendiri : "Lautan ini lebar dengan pantai di sebelah sini yang penuh dengan mara bahaya, tetapi pantai di seberang sana aman dan sentosa. Tidak ada kapal yang berlayar ke pantai sana dan juga tidak ada jembatan yang dapat dipakai untuk menyeberang.

Alangkah baiknya kalau aku mengumpulkan rumput, kayu, tangkai-tangkai dan daun-daun untuk membuat sebuah rakit dan dengan pertolongan rakit itu aku akan menyeberang ke pantai sana dengan menggunakan tangan dan kakiku." Orang ini, O Bhikkhu, lantas mengumpulkan rumput, kayu, tangkai-tangkai dan daun-daun untuk membuat sebuah rakit dan dengan pertolongan rakit itu, ia tiba dengan selamat di pantai sebelah sana dengan menggunakan tangan dan kakinya.

Tiba di seberang sana ia berfikir, rakit ini banyak menolong aku. Dengan pertolongannya aku dapat menyeberang dengan selamat dengan menggunakan tangan dan kakiku. Alangkah baiknya kalau aku menjinjing rakit itu di atas kepalaku atau menggendong rakit itu di pundakku ke mana saja aku pergi. Bagaimana pendapatmu, O Bhikkhu, apakah dengan berbuat demikian ia telah melakukan perbuatan yang benar?" "Tidak Bhante" "Bagaimana seharusnya ia berbuat setelah dengan selamat tiba di seberang sana ?. Mungkin ia berpikir : "Rakit ini telah banyak jasanya. Dengan pertolongannya, aku telah tiba di seberang sini dengan menggunakan tangan dan kakiku.

Alangkah baiknya kalau aku menarik rakit ke pantai, atau mengikatnya dan membiarkan ia terapung-apung dan aku dapat melanjutkan perjalananku". Dengan berbuat begini orang itu telah melakukan perbuatan yang benar. "O, Bhikkhu, Aku pun mengajarkan doktrin yang sama seperti rakit tersebut dan dapat dipakai menyeberang ke pantai sana tetapi bukan untuk terus diganduli. O Bhikkhu, kalau kamu mengerti dengan baik ajaran-Ku yang dapat diumpamakan sebagai sebuah rakit maka kamu seyogianya tidak lagi melekat kepada benda-benda  (hal-hal) yang tidak baik (dhamma).

ALAGADDUPAMA – SUTTA, MAJJHIMA NIKAYA 22.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

V.- AGAMA BUDDHA DAN BUDAYA



            Sang Buddha menyabdakannya kepada Yang Arya Bhikkhu Ananda  : "Pernahkah kau mendengar bahwa suku Vajji itu :

a) Sering berkumpul untuk mengadakan musyawarah dan berlangsung dengan lancar serta selalu dicapai kata mufakat ?

b) Dalam permusyawarahan permusyawarahannya, suku Vajji itu selalu menganjurkan perdamaian dan dalam menyelesaikan berbagai masalah yang mereka hadapi, mereka selalu dapat menyelesaikannya dengan damai ?

c) Telah menetapkan hukum hukum baru dan merubah tradisi mereka yang lama atau mereka meneruskan pelaksanaan peraturan peraturan lama yang sesuai dengan dharma (kebenaran) ?"

d) Selalu menunjukkan rasa hormat dan bhakti serta menghargai kepada orang yang lebih tua dan menganggap sangat berharga dan bermanfaat untuk selalu mengindahkan mereka ?"

e) Melarang dengan keras adanya penculikan atau penahanan wanita wanita atau gadis gadis dari keluarga baik baik ?"

f) Sangat menghormati dan menghargai tempat tempat suci mereka dan mereka dengan taat melaksanakan puja bhakti, baik di tempat suci yang ada di kota maupun yang ada di luar kota ?"

g) Melindungi serta menjaga orang orang suci dengan sepatutnya.



Bagi mereka yang belum memiliki pekerjaan diusahakan supaya memiliki pekerjaan, hidup dengan aman dan damai ?" "Demikianlah yang pernah kami dengar, bhante." "Kalau demikian halnya, perkembangan dan kemajuan suku Vajji yang kita harapkan, bukan kemundurannya."

Dari sabda Sang Buddha yang tertera diatas maka akan bisa ditarik beberapa kesimpulan bahwa suatu bangsa akan sejahtera dan maju jika :

1.- SERING MENGADAKAN MUSYAWARAH DAN MENGHASILKAN KATA MUFAKAT. Didasarkan oleh adanya keragaman "karma : perbuatan" yang telah diperbuat pada kehidupan kehidupan yang sebelumnya maka setiap orang akan mewarisi keragaman sifat dan pola pikir. Sifat dan pola pikir ini jika tidak diarahkan dengan baik dan benar maka tidaklah tertutup kemungkinan kemungkinannya bahwa dampak yang lebih dominan muncul adalah yang destruktif daripada yang konstruktif. Oleh karena itu, musyawarah yang rutin dilaksanakan dan melibatkan berbagai lapisan masyarakat dari kompetensi yang beragam, sangatlah vital peranannya agar senantiasa menghasilkan suatu kata mufakat yang arahnya konstruktif.

Bagaimanapun cemerlangnya suatu ide jika ditangani atau diputuskan secara individual, tidaklah akan memberikan hasil yang optimal karena keterbatasan wawasan dan ruang lingkup. Disamping itu, pemutusan suatu permasalahan yang tanpa adanya permusyawarahan atau pemaksaan kehendak, selain hasilnya tidak akan memuaskan, juga tidak akan didukung atau  bisa saja antipati oleh pihak pihak lain, yang mana dampak akhirnya, tiada lain adalah destruktif.

2.- SETIAP PERMUSYAWARAHAN SELALU MENGANJURKAN PERDAMAIAN. Kondisi ini akan bisa diraih jika :

2a.- Tidak mencari kelemahan kelemahan orang lain. "Nobody is perfect !" Tetapi yang dicari adalah kelebihan kelebihan orang lain. Seandainya ada kelemahannya, janganlah dipojokkan tetapi diarahkan atau dibimbing, yang sifatnya adalah "sharing" pengalaman dan bukan mengajar.

2b.- Tidak fanatik atau rasialis. Realitanya, baik tidaknya diri seseorang, tidaklah pantas ditinjau dari etnis, agama, bahasa, jenis kelamin atau aliran yang dianut tetapi adalah kontribusinya. Jika kontribusinya senantiasa positif, pantaskah disingkirkan ? Atau sebaliknya, logiskah di prioritaskan jika kontribusinya selalu negatif ?

3.- TIDAK MERUBAH TRADISI DAN MENERUSKAN PELAKSANAAN PERATURAN PERATURAN YANG LAMA, YANG SESUAI DENGAN KEBENARAN. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu dan bisa menghargai serta melestarikan tradisinya. Karena tradisi adalah cerminan atau identitas diri bagi seseorang. Tanpa adanya tradisi, tidaklah mungkin (seseorang) akan "bisa" mengetahui latar belakangnya dan tidaklah tertutup kemungkinannya, bahwa dia akan merasa asing bagi dirinya sendiri.

Jadi, tradisi, haruslah dipertahankan. Seandainya perlu pengadaptasian, haruslah berpedoman kepada kebenaran.

4.- BERBHAKTI, MENGHARGAI DAN MENGHORMATI ORANG ORANG YANG LEBIH TUA. Dikarenakan oleh adanya pengalaman maka segala sesuatunya akan semakin mudah direalisasikan, contohnya : pembuatan alat alat elektronik.

Dalam hal ini, tidaklah mungkin akan bisa menghasilkan elektronik yang canggih jika tanpa adanya landasan pengalaman yg lalu (pernah buat). Demikian juga halnya dengan kondisi yang dialami disaat ini. Tanpa adanya kontribusi dari orang orang yang lebih tua, tidaklah mungkin akan "bisa" meraih yang lebih baik. Didasarkan oleh hal ini maka sudah seharusnya bahwa orang orang yang lebih tua dihargai dan dihormati.

5.- TIDAK MENGHALALKAN KEKERASAN. Segala bentuk kekerasan, yang arahnya pemaksaan kehendak, pastilah berefek destruktif. Hal ini, haruslah dicegah atau dihindari sedini mungkin. Penakluk sejati adalah orang yang mampu menaklukkan orang orang secara psikologi, yang tanpa adanya kekerasan atau pertumpahan darah. Di samping itu, tidak menimbulkan ekses ekses negatif, misalnya : kebencian, dendam atau antipati. Dan tidaklah tertutup kemungkinannya bahwa si tertakluk suatu saat akan bersedia kerjasama atau dijadikan partner. Inilah penaklukkan yang sesungguhnya, yang konstruktif dua arah, baik bagi si penakluk maupun si tertakluk.

6.- MENGHARGAI DAN MENGHORMATI TEMPAT TEMPAT SUCI SERTA TAAT MELAKSANAKAN PUJA BHAKTI. Dalam hidup ini, jika kekayaan materi tidak diimbangi dengan kekayaan bathin maka bisa saja menyebabkan  :

6a.- Stress dikala bertemu dengan yang dibenci atau berpisah dengan yang dicintai.

6b.- Gila karena ketidakmampuan menerima kerealitaaan yang terjadi, misalnya : bangkrut.

6c.- Frustasi karena tidak dihargai setelah berbuat baik. Begitu juga sebaliknya, jika kekayaan bathin tidak diiringi dengan kekayaan materi maka bisa saja menyebabkan seseorang senang atau suka melakukan KKN, manipulasi atau melakukan aneka ragam tindakan tercela. Atau bagaimanapun baiknya (kaya bathin) seseorang jika perutnya senantiasa lapar dan tidak ada "dana" sama sekali untuk memenuhinya maka pikirannya akan selalu terfokus kepada "perut" nya. Di kondisi ini, mungkinkah dia memikirkan orang lain ?

Didasarkan oleh hal ini, kekayaan materi dan bathin, haruslah "balance" agar terbebas dari hal hal yang sifatnya negatif.

7.- MENJAGA DAN MELINDUNGI ORANG ORANG YANG "SILA : MORAL" NYA BAIK. Cara melindungi dan menjaganya adalah

a)      Bagi kaum perumah tangga, berikan pekerjaan yang sesuai dengan kompetensinya.

b) Bagi kaum non perumah tangga (bhikshu/bhikshuni), kebutuhan sandang pangannya dipenuhi, misalnya : kuti (tempat tinggal), civara (jubah), ahara (makanan) dan bhesajja (0bat obatan). "Dadamano piyo hoti : mereka yang suka memberi; niscaya akan dicintai". KHUDDAKAPATHA 35. Kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa, sangatlah ditentukan oleh bangsa itu sendiri dan alangkah ironisnya jika ada bangsa lain yang mau murni "care" atas kesejahteraan dan kemajuan bangsa lain.

Didasarkan oleh hal ini agar kesejahteraan dan kemajuan itu berhasil diraih maka

a) Rutin dan seringlah musywarah untuk mendapatkan suatu kata mufakat. Melalui mufakat ini akan diketemukan kiat kiat terbaik, untuk menggapai hal hal yang sifatnya konstruktif.

b) Setiap permusyawarahan yang diadakan, arahnya haruslah damai.

c) Mempertahankan tradisi yang berlandaskan pada kebenaran.

d) Berbhakti, menghargai dan menghormati orang orang yang lebih tua.

e) Tidak menghalalkan kekerasan. Di era modernisasi ini, segala sifat yang arahnya primitif, yang membenarkan hukum rimba (Siapa yang kuat maka dialah yang menang), haruslah disingkirkan.

f) Menghargai dan menghormati tempat tempat suci serta taat melaksanakan puja bhakti.

g) Menjaga dan melindungi orang orang yang ber "sila : moral" baik.



KESIMPULAN :

            Buddha dharma yang dibabarkan oleh Sang Buddha Gautama, intinya adalah cinta kasih, kasih sayang dan toleransi yang tanpa adanya niat niat terselubung. Jika dilaksanakan dengan baik dan benar maka akan menimbulkan kebahagiaan, baik di kehidupan ini maupun mendatang. Didasarkan oleh intinya ini maka penyebaran Buddha Dharma akan senantiasa menyatu dengan

budaya dan adat istiadat setempat.

Di Indonesia, agama Buddha dikenal dengan ciri khas ke-indonesian-nya dan di Thailand, agama Buddha juga di kenal dengan agama Buddha ke-thailand-an. Sedangkan di Jepang, juga dikenal dengan agama Buddha ke-jepang-an. Itulah salah satu keunikan dari agama Buddha, yang kehadirannya dimanapun juga, tidak akan mempengaruhi atau merubah budaya atau adat istiadat setempat.



Dalam kitab suci Anguttara Nikaya, Sang Buddha menyabdakan bahwa beberapa keinginan manusia biasa yang wajar yaitu :

1.      Semoga saya menjadi kaya dan kekayaan itu terkumpul dengan cara yang benar dan pantas.

2.      Semoga saya beserta sanak keluarga dan kawan-kawan dapat kedudukan sosial yang tinggi.

3.      Semoga saya selalu berhati-hati di dalam kehidupan ini, sehingga saya dapat berusia panjang.

4.      Apabila kehidupan dalam dunia ini telah berakhir, semoga saya dapat dilahirkan kembali di alam kebahagiaan (surga). "Dalam dunia ini, siapapun yang dikuasai oleh nafsu keinginan rendah dan beracun, pen­de­ritaannya akan bertambah seperti rumput Birana yang tumbuh dengan cepat karena disirami dengan baik. Tetapi barang siapa yang dapat mengatasi nafsu keinginan yang beracun dan su­kar dikalahkan itu maka kesedihan akan berlalu dari dirinya seperti air yang jatuh dari daun te­ra­tai".*

Kesemua keinginan ini akan bisa terpenuhi dengan baik jika kehidupan ini senantiasa dilalui dengan kebajikan. "Kamu sendiri harus melakukan pekerjaan itu, sebab Sang Tathagata (Sang Buddha) hanya sebagai penunjuk Jalan"**.

* TANHA VAGGA XXIV : 335 – 336.

** MAJJHIMA NIKAYA 107
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

rika

kalo mo ikut petisi boleh ga.... dapet hadiah apa  ??? ???

SURGA ya......

ryu

Filosofi Kerukunan dalam Pemikiran Cendikiawan Buddhis.



Pdt. Albert  Kumala, S.Ag.



Dalam negara Pancasila ini yang bukan negara agama dan negara sekuler, kebebasan beragama dan kerukunan hidup umat beragama yang berjiwa toleransi positip mendapatkan tempat. Dari rumusan pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Dalam arti ini, negara tidak hanya melindungi dan memberikan kebebasan, tetapi juga memberikan bantuan dan dorongan kepada pemeluk agama untuk memajukan agamanya masing-masing. Kehidupan beragama di Indonesia tercermin pada eksistensi lima agama besar, yaitu: Islam, kr****n protestan, Katholik, Hindu dan Buddha. Tata organisasi dan tradisi pelembagaan agama-agama itu merupakan potensi dan kekayaan yang besar bagi pembinaan mental dan spritual bangsa, dan sekaligus menjadi jembatan untuk memasyarakatkan pembangunan dalam bahasa agama yang dipahami oleh masyarakat. Umat Buddha yang berada di negara Indonesia yang berdasarkan Pancalisa ini juga berkepentingan untuk turut mewujudkan kerukunan hidup beragama dengan sebaik-baiknya. Untuk itu umat Buddha hendaklah selalu  berpedoman kepada Buddha Dhamma dan tidak meninggalkan budaya kehidupan beragama yang penuh toleransi, sebagai mana kita mengikuti Cendikiawan Buddhis yang telah mendunia atas filisofi hidupnya yang tertulis dalam "Piagam Piyadassi (yang penuh kemanusiaan)" dari raja Ashoka sebagai berikut "Dalam memberikan penghormatan kepada agamanya sendiri, janganlah sekaji-kali mencemoohkan atau menghina agama-agama lainnya. Dengan berbuat demikian selain membuat agamanya sendiri berkembang, juga akan memberikan bantuan kepada agama-agama lainnya berkembang. Jika berbuat sebaliknya,  kita menggali lubang kubur untuk agama kita sendiri disamping juga mencelakakan agama lain.. Barang siapa menghormati agama sendiri, tetapi menghina agama lainnya dengan berpikir bahwa berbuat demikian adalah telah melakukan suatu yang baik sebagai pemeluk agama yang taat, hal ini malahan akan berakibat sebaliknya, yaitu akan menghancurkan agama sendiri".  Pada kesempatan lain Raja Asoka yang bijaksana berkata "Aku tidak semata-mata puas hanya dengan melakukan pekerjaan berat dan menjalankan tugas-sehari-hari negara. Aku yakin tugasku yang utama adalah kesejahteraan seluruh dunia. Bekerja keras dan menjalankan tugas sehari-hari negara hanyalah dasar tugas itu" Firman Batu Karang Keenam Raja Asoka.   Jadi "Jelas sekali bahwa setiap orang membutuhkan kerukunan dan kedamaian hidup, pertanyaannya adalah, bagaimana meraihnya. Dengan amarah, kita tidak akan mendapatkannya, tetapi melalui kebaikan, cinta, kemurahan hati, kita bisa mendapatkan semuanya" Dalai Lama :The Dalai Lama: A Policy of Kindness, hl.51.



   Menilik dari sejarah perkembangan agama Buddha di dunia  dari literature tulisan Huan Tsang bahwa pada masa pemerintahan raja Harsha di India (606-647) telah mempraktekkan sifat-siafat bangsa Arya sejati, yaitu rasa toleransi yang tinggi dalam penguasaannya untuk kedamaiaan agama Brahma dan Buddha dimana semua agama pada masa itu  mendapatkan perlindungan resmi dari raja, Kemudian pada masa pemerintahan raja Kittisiri Rajaseha (1747-1781) telah terjadi kedamaiaan antara agama agama di India yang terbagi menjadi banyak aliran-aliran. Pada saat itu Raja menetapkan peraturan –peraturan tentang agama dan aliran (sekte) yang melibatkan tokoh-tokoh agama dari negara lain yang memahami agamanya dengan mendalam. Raja memiliki prinsip dalam kepemimpinannya "Kita tidak menjadi terhormat karena mencelakai, kita mendapatkan nama karena berbuat baik  kepada semua orang tanpa perbedaan".



Sepanjang sejarah perkembangan agama Buddha di Cina memberikan gambaran toleransi yang mendalam, bahwa agama Buddha hidup berdampingan dengan Filsafat etika (moral) dari Kong Hu Chu atau Confusius (551-479 s.M) yang mengajarkan "Jen" sebagai azas kesatuan, Mencius (sekitar 372-289 s.M) dengan konsep "Yi" serta filsafat yang di anut rakyat Cina masa itu  pada ajaran Hsun Tzu (306-212) dan Lao Tzu (575-485 sM) Seorang Biksu Vimalakirti dipuji oleh semua tokoh agama dan Budaya dengan dengan kalimat  " Ia menguasai kearifan tentang kebenaran yang sejati, ia amat pandai menjelaskan kerukunan dan damai dengan lawannya. Kearifannya tidak berkesudahan, kebijaksanaannya tidak dapat dibendung" Sutra Vimalakirtinirdesha 5.



Dalam pertemuan besar, Dalai Lama di Amerika Serikat menyatakan "Saya kira, ini pertama kalinya saya berjumpa dengan sebagian besar anda. Tetapi bagi saya, entah kawan lama atau kawan baru, tak banyak bedanya karena saya selalu percaya bahwa kita sama, kita semua sama-sama manusia. Tentu saja, mungkin ada perbedaan latar belakang budaya atau gaya hidup, mungkin ada perbedaan keyakinan, atau mungkin ada perbedaan  warna kulit. Tetapi kita sama-sama manusia, yang terdiri atas tubuh dan pikiran. Struktur fisik kita sama, dan pikiran serta emosi kita juga sama. Di mana pun saya bertemu dengan orang lain, saya selalu punya perasaan bahwa saya sedang berhadapan dengan seorang manusia yang sama seperti diri saya sendiri. Saya merasa jauh lebih mudah berkomunikasi dengan orang lain pada tataran seperti itu. Andaikata saya menekankan karakteristik khusus, misalnya bahwa saya orang Tibet atau saya orang Buddhis, perbedaan akan tampak. Tetapi hal-hal itu bersifat sekunder. Kalau kita bisa menyisihkan perbedaan-perrbedaan itu, saya kira kita dapat mudah berkomunikasi, bertukar gagasan, dan berbagi pengalamana."
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

   Buddhisme mengakui bahwa peraturan, hukum dan rumusan hak masyarakat telah menciptakan ketertiban dalam masyarakat yang mungkin sebelumnya kacau tak terkendali. dimana peraturan-peraturan tersebut membantu meningkatkan kesejahteraan baik individu maupun kolektif. Namun betapapun bermanfaatnya ini, Buddhisme berpandangan bahwa peraturan, hukum, pegangan hukum, dan rumusan hak yang dibuat manusia hanyalah berupa kebenaran (realitas) sekunder. Kecuali kalau mereka berlandaskan prinsip-prinsip "Dharma" (hukum alam, realitas sesungguhnya, sebab akibat yang benar), serta telah diselami oleh orang-orang yang memiliki pemahaman mendalam atas prinsip-prinsip demikian. Bila tidak, pengembangan kualitas manusia  yang bermakna serta ihwal hidup berdampingan secara damai di antara sesama manusia baik secara lokal maupun global, tampaknya takkan tercapai terutama dalam lingkungan di mana demokrasi telah menciptakan ketegangan di antara beragam unsur yang sifatnya multi dimensi dan oleh karena itu sangat memerlukan rasa kebersamaan masyarakat. Menurut Buddhisme ada dua tingkat relaitas : sosial dan hakiki, di mana keduanya memiliki hubungan kausal dan hukum tersendiri. Realitas hakiki berlaku di mana saja, keberadaannya tidak bergantung pada umat manusia, tetapi dapat diselami melalui kebijaksanaan manusia (panna). Realitas sosial, di pihak lain, merupakan konstruksi manusia dimana pengertian dan pelaksanaannya bergantung pada kesepakatan di antara orang-orang yang menciptakannya. Karena umat manusia baik secara individu maupun secara kelompok tidak dapat hidup terpisah dari alam, oleh karena itu salah satu persyaratan untuk memperoleh tatanan sosial yang efektif adalah mempelajari hukum-hukum di alam atau lingkungan serta secara bijaksana menerapkannya dalam penciptaan atau perancangan peraturan, hukum dan rumusan hak masyarakat. Kalau kontruksi sosial ini tidak berlandaskan hukum-hukum alam, maka tatanan sosialnya bukan hanya akan memiliki cacat tetapi juga menjadi dangkal dan tidak berarti. Hidup di dalam lingkungan demikian, orang-orang pasti akan merasa terasing, terkucil, putus asa atau tertekan, sehingga mungkin mereka akan kehilangan vitalitas dan kesanggupan untuk mengambil tindakan bagi perbaikan hidup maupun lingkungan mereka. Oleh karena itu, esensi peraturan, hukum dan rumusan hak sosial harus secara terus menerus dinilai kembali. Dan tolok ukurnya adalah hukum-hukum alam.



   Makiguchi berpendapat, "Aku tidak hanya menunjukkan jalan dengan jari saja, sebaliknya dengan sikap menghormat kepada semua orang, merentangkan tangan dengan pantas, aku akan menunjukkan jalan kedepan"(Bodhicharyavatara 5.94.).  Kemudian di dalam Dhammapada 204 di katakana " Kesehatan adalah karunia terbesar, kerukunan adalah kekayaan terindah, keyakinan adalah pengikat terkuat, nirvana adalah kebahagiaan tertinggi"



Pendeta Cina Miao-Lo (718-782), pemimpin kesembilan dari Sekte T"ien t'ai menulis bahwa, "manusia takut akan sanksi social dan bersuka cita apabila dibenarkan, yang berarti bahwa manusia mengetahui adalah penaralan bekerja dalam masyarakat.... Masyarakat, sebagai mana pribadi manusia, harus diakui memiliki kegiatan mental: kebijakan, emosi, gagasan yang bersifat jiwa social. Jiwa kemanusiaan memperhalus sifatnya, akan terdapat kemungkinan untuk hidup dalam kedamaiaan dan kebahagiaan yang lengkap, pribadi- pribadi dalam alam kemanusiaan ini menempati tempat bermukim yang sama. Pikiran kita menyatakan bahwa yang dimaksud"bumi" adalah planet bumi kita. Yang mempersatukan spritual bersama menuju persatukan umat manusia.Termasuk hasrat-hasrat  untuk hidup dan dorongan-dorongan hati lain yang diperlukan untuk mempertahankan hidup saling percaya, mengasihi, memahami, dan menghidupi cita-cita yang kita yakini bersama. Kemudinan kita membutuhkan kaidah dan cara berpikir social yang sebagai manusia dapat kita setujui bersama serta di atas semua, kita harus mempunyai kendali tertentu atas hasrat manusia itu"



Akhir dari tulisan ini saya mengambil tulisan Prof. Toynbee dalam Hidup mutiara penuh rahasia karangan Daisaku Ikeda.1990, menyatakan  "bahwa:  adanya penghidupan secara bersama, merupakan himpunan kearifan dalam ajaran agama-agama yang luhur, berasal dari pemikir terdahulu yang mencari kemanunggalan hidup dengan kenyataan spritual yang tercerahkan".
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

rika

wah ryu blom baca jg udah mabok kale....

Chandra Rasmi

Quote from: hatRed on 19 November 2008, 03:33:47 PM
[at] Chandra

????? gak ngerti  ^:)^


tapi ngomong2 gmana petisinya? mo ikut gak?

kalo gak mao juga gak papa kok



yah udahlah kalo kagak ngerti....

saya tidak ikut... thanks...

buatlah petisi yang lebih berarti...

misalnya, setujukah anda semua agama, suku, apapun itu, sama-sama hidup saling tolong menolong?? kalo setuju, mari kita lakukan...



[at] ko ryu....

wadohh.. kagak ada PR yang lebih pendek nich?? puanjanggg bangetttttttttttt
minus w bisa tambah nihh...

Riky_dave

Quote from: hatRed on 19 November 2008, 10:39:14 AM
Buddha Dhamma,

kenapa gak Dhamma saja toh Buddha adalah bagian dari Dhamma
Lho?Buddha bukan bagian dari Dhamma!!
Buddha itu adalah Dhamma(Kebenaran) ... :)

Salam hangat,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

hatRed

 [at] ryu

trim sudah nambahin, info dan koreksinya

yup, saya keliru saat menyatakan harus mengambil semua daun untuk menjadi arahat.
tapi saya iyakan jika tujuan untuk menjadi arahat itu hanyalah untuk mencapai pelepasan

tetapi saya tidak melihat sisa bacaan yang lainnya yang menyangkut langsung ke topik saya
"Buddhisme bukan agama"

dan sisa tulisan yang laen buat siapa ya???? buat si bond kali ya?
i'm just a mammal with troubled soul



hatRed

Quote from: Riky_dave on 19 November 2008, 03:54:16 PM
Quote from: hatRed on 19 November 2008, 10:39:14 AM
Buddha Dhamma,

kenapa gak Dhamma saja toh Buddha adalah bagian dari Dhamma
Lho?Buddha bukan bagian dari Dhamma!!
Buddha itu adalah Dhamma(Kebenaran) ... :)

Salam hangat,
Riky

coba pelan pelan lagi bacanya Rick
i'm just a mammal with troubled soul



Riky_dave

Quote from: hatRed on 19 November 2008, 01:01:36 PM
[at] Indra

saya tidak peduli apakah anda kompeten dan menjawab bagaimana mencarinya

berikut saya copast lagi goal dari Thread saya

"Ujung dari Post ini saya harap kita dapat membuat Petisi untuk merubah dan menginformasikan kepada rekan2 Buddhis yang lain bahwa :

1. Buddhisme bukanlah suatu agama, melainkan suatu pandangan filosofi saja.
Buddhisme yang mana ini?Jadi bingung saya,maklum umat awam ni...Setahu saya Ajaran Buddha bukanlah Agama,jika Buddhisme dinamakan agama Buddha(mungkin2 saja...),seperti Christian dinamakan sebagai agama kr****n(lebih tepatnya beragama kr****n mungkin?)

Quote2. Agama Buddha, bukan berarti kita terBoundary pada suatu lingkup kecil apa yang Buddha Gautama/ aliran lain seperti Buddha Maitreya ajarkan, karena Buddhisme lebih luas dari pada itu
dan Buddhisme bukan suatu Agama yang dapat dijadikan sangat Sakral.
Ajaran Buddha tetap hanya Dukkha dan akhir dukkha,dan saya setuju Ajaran Buddha seharusnya tidak "Disakralkan" tapi kalau Agama itu urusan departemen agama,bukan urusan kita... :)

_/\_

Salam hangat,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

hatRed

Quote from: rika on 19 November 2008, 03:43:27 PM
kalo mo ikut petisi boleh ga.... dapet hadiah apa  ??? ???

SURGA ya......

heeheh........ :)) apa anda pikir saya orang yang dapat menjanjikan SURGA bagi anda...??????
i'm just a mammal with troubled soul



rika

[at] atas

kalo dilihat dari cara kerja anda sih bisa yah...

Riky_dave

Quote from: hatRed on 19 November 2008, 04:03:14 PM
Quote from: Riky_dave on 19 November 2008, 03:54:16 PM
Quote from: hatRed on 19 November 2008, 10:39:14 AM
Buddha Dhamma,

kenapa gak Dhamma saja toh Buddha adalah bagian dari Dhamma
Lho?Buddha bukan bagian dari Dhamma!!
Buddha itu adalah Dhamma(Kebenaran) ... :)

Salam hangat,
Riky

coba pelan pelan lagi bacanya Rick
Pada bagian mana yang harus saya baca dengan "pelan2" lagi saudaraku?
Buddha adalah Dhamma,Dhamma adalah Buddha,melihat Dhamma sama saja dengan melihat Buddha...
Jika dibilang Buddha adalah bagian Dhamma itu dapat diasumsikan bahwa Dhamma itu luas  bukan mencakup Buddha belaka,dengan begitu bisa disimpulkan Buddha tidak tercerahkan oleh karena dia adalah bagian dari "Kebenaran"(dhamma) bukan Dhamma itu sendiri.... :)

_/\_
Salam hangat,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...