News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Kenapa Buddhis, kenapa gak Dhammais

Started by hatRed, 19 November 2008, 10:33:58 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Buddhisme adalah Agama

Harus, karena pandangan Buddhisme sebagai Agama, menyesatkan
0 (0%)
bisa, coz Agama tdk mencerminkan Buddhisme
0 (0%)
may ,,,, maybe yes maybe no
1 (50%)
Bukan hal yg penting, mereka2 orang sesat kan urusan mereka sendiri
0 (0%)
Tidak, karena pengertian Buddhisme dan Agama itu Cocok, liat aja di KBBI
1 (50%)

Total Members Voted: 2

hatRed

 [at] markosprawira

terima kasih anda meanggapi saya dengan serius dan juga dengan menghargai,

hal ini sangat saya perhatikan dan saya sangat2 berterima kasih atas pikiran anda yang terbuka.


tetapi saya tidak mengharuskan diterima kok, karena petisi ini juga akan saya buat di forum2 buddhis yang lain.

jadi kalau sampai sekarang belom ada yang ikut petisi juga gak papa,

dan saya hanya menjawab pertannyaan rekan2 sekalian dan dalam menjawab saya tidak mengunsurkan mengHARUSkan.

Quote from: markos
"Saya setuju dengan anda bahwa Buddhism itu bukan agama kok, namun bagaimana jika nanti Buddhism jadi tidak diakui sebagai agama??? bukankah itu justru akan lebih merepotkan kaum buddhist yg jumlahnya jutaan orang?? mereka justru akan lebih terpencar, anak2nya menjadi anak haram karena pemberkatan secara buddhism, sudah tidak diakui lagi"

saya rasa mereka justru bukan terpencar, melainkan menjadi sadar dan memberikan pandangan baru bagi mereka. dan juga dapat memberikan pengertian benar.
justru kalau mereka berpendapat anak2 mereka akan menjadi haram, bukankah itu adalah efek negatif karena menSakralkan Buddhisme.

untuk saran2 dari markos, saya sangat hargai dan mari kita mencari solusi nya bersama-sama dan jangan takut akan halangan yang ada, sehingga membuat kita mundur.
i'm just a mammal with troubled soul



hatRed

 [at] upasaka

harap jangan memberikan praduga2 yang OOT terhadap saya

tujuan saya cuma agar orang2 yang diluar dari
Quote from: upasaka
sedikit bukti bahwa kami memang tidak melekat pada 'status' yg Anda anggap penting itu.
itu dapat menyadari agar tidak melekat seperti anda anda yang
Quote from: upasaka
sedikit bukti bahwa kami memang tidak melekat pada 'status' yg Anda anggap penting itu.
i'm just a mammal with troubled soul



Gunawan

hahahahah.....Lucu juga yach orang yang buat pertanyaan ini..... :))
Mau Ketawa doeloe ah,,,,,,,,huahahahahahahaha........ :))

Dharmais mah Rumah Sakit di Jl.S.Parman (daerah Slipi)..... :))

Yo kho Vakkali dhamma? passati so ma? passati; yo ma? passati so dhamma? passati.
Dhammañhi, vakkali, passanto ma? passati; ma? passanto dhamma? passati"

hatRed

 [at] Gunawan

iya baru sadar lucu juga ya.... :))
coba deh liat komen karuna_murti tentang judul topik.......  :))
i'm just a mammal with troubled soul



Chandra Rasmi

Dhammapada Bab I - Yamaka Vagga 19: "Meskipun ia telah membaca banyak kitab suci, namun tidak melaksanakan Ajaran Sang Buddha, seperti gembala yang menghitung sapi orang lain, maka ia tidak akan mendapat manfaat hidup dalam pasamuan para bhikkhu/petapa."

Dhammapada Bab I - Yamaka Vagga 20: "Meskipun hanya membaca sedikit kitab suci, namun ia melaksanakan Ajaran Dhamma dengan sungguh-sungguh, melenyapkan pandangan keliru, nafsu raga dan kebencian, tidak melekat pada apapun dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang akan datang, maka ia akan mendapat manfaat dari kehidupan dalam pasamuan para bhikkhu/petapa."



Chandra Rasmi

Quote from: hatRed on 19 November 2008, 02:09:25 PM
[at] moderator

haloooo, i've been bulying by other mod here

Dhammapada Bab III - Citta Vagga 42 : "Betapa buruk pun akibat dari serangan musuh, atau betapa beratnya penderitaan akibat perbuatan dari orang yang membenci, namun pikiran yang tidak terkendali akan membuat seseorang lebih sengsara lagi."

hatRed

 [at] Chandra Rasmi

terima kasih atas semangatnya, ngomong2 Chandra sendiri ingin ikut petisi ini gak?
i'm just a mammal with troubled soul



Chandra Rasmi

Quote from: hatRed on 19 November 2008, 02:59:57 PM
[at] Chandra Rasmi

terima kasih atas semangatnya, ngomong2 Chandra sendiri ingin ikut petisi ini gak?

:o :o :o

oppsss....maaf...
saya tidak menyemangati anda lho.....

alasan saya post ayat Dhammapada karena saya tidak setuju dengan anda...
apakah dengan yang saya post itu anda tidak mengerti???

buddhist adalah agama atau bukan, itu tidak penting...
yang penting adalah melaksanakan ajaran Sang Buddha yang sudah kita buktikan sendiri kebenarannya.



Chandra Rasmi

Dhammapada Bab XIX - Dhammattha Vagga 259: "Bukan karena banyak bicara, seseorang disebut sebagai orang yang pandai dalam Dhamma; tetapi meskipun baru mengerti sedikit dan melaksanakan dengan tekun, maka ia pantas disebut sebagai orang yang menegakkan Dhamma."

hatRed

[at] Chandra

????? gak ngerti  ^:)^


tapi ngomong2 gmana petisinya? mo ikut gak?

kalo gak mao juga gak papa kok
i'm just a mammal with troubled soul



adi lim

QuoteDhammapada Bab XIX - Dhammattha Vagga 259: "Bukan karena banyak bicara, seseorang disebut sebagai orang yang pandai dalam Dhamma; tetapi meskipun baru mengerti sedikit dan melaksanakan dengan tekun, maka ia pantas disebut sebagai orang yang menegakkan Dhamma."

Bro hatRED
Semoga Dhammapada diatas ini, anda memahaminya, sesudah mengerti, semoga anda berbahagia.

_/\_
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

ryu

Hubungan Agama dan Budaya:
Tinjauan Sosiokultural



Pdt. Dr. A. Ginting Suka





1. Pengertian Agama   

Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.

Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi, 1985:71)

Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan  Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.

Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur'an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari'at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari'at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.

Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.

Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.

Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan "Tuhan Allah" (Ulangan 6:3) dalam agama kr****n, Allah subhana wata'ala dalam Islam.

Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut:

        "Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya" ( Sumardi, 1985:75)

Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.



2. Agama dan Budaya

    Budaya menurut Koentjaraningrat (1987:180) adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.

Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam masyarakat  adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan (Wach, 1998:187).

Lebih tegas dikatakan Geertz (1992:13), bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara, ukiran, bangunan.

    Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.

Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama kr****n yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di Maluku tidak begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat dimana pengaruh Hinduisme adalah kuatdengan yang tidak. Demikian juga ada perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India, Buddhisme di Thailan dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga mempengaruhi agama. Budaya agama tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya (Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan inspirasi agama.

3. Agama dan budaya Indonesia

Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak budaya itu  terdiri dari 5 lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan kr****n (Andito, ed,1998:77-79)

Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau  lebih setingkat yaitu Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama pribumi  bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai kekeluargaan yang sangat luhur.

Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku adalah engkau.

Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.

Lapisankeempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan terhadap tata tertib kehidupan melalui syari'ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya bangsa.

Lapisan kelima adalah agama kr****n, baik Katholik maupun Protestan. Agama ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak menuntutbalasan yaitukasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.

Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan agama, suku dan ras.

Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya kr****n telah mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain telah mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan antara Islam  dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan motif rumah Minangkabau (Philipus Tule 1994:159).

Kenyataan adanya legacy tersebut membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia telah membuat manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia untuk menjadi manusia.



4. Agama-agama sebagai aset bangsa

Dari segi budaya, agama-agama di Indonesia adalah aset bangsa, sebab agama-agama itu telah memberikan sesuatu bagi kita sebagai warisan yang perlu dipelihara. Kalau pada waktu zaman lampau agama-agama bekerja sendiri-sendiri maka dalam zaman milenium ke 3 ini agama-agama perlu bersama-sama memelihara dan mengembangkan aset bangsa tersebut. Cita-cita ini barulah dapat diwujudkan apabila setiap golongan agama menghargai legacy tersebut Tetapi yang sering terjadi adalah sebaliknya sebab kita tidak sadar tentang nilai aset itu bagi bagi pengembangan budaya Indonesia. Karena ketidak sadaran itu maka kita melecehkan suatu golongan agama sebagai golongan yang tidak pernah berbuat apa-apa. Kalaupun besar nilainya, tapi karena hasil-hasil itu bukan dari golonganku, maka kita merasa tidak perlu mensyukurinya. Lebih buruk lagi, jika ada yang berpenderian apa yang diluar kita adalah jahat dan patut dicurigai. Persoalan kita, bagaimana kita dapat menghargai monumen-monumen budaya itu sebagai milik bangsa, untuk itu kita perlu:

1.      Mengembangkan religius literacy.

Tujuannya agar dalam kehidupan pluralisme keagamaan perlu dikembangkan religious literacy, yaitu sikap terbuka  terhadap agama lain yaitu dengan jalan melek agama. Pengembangan religious literacy sama dengan pemberantasan buta huruf dalam pendidikan. Kitaakui bahwa selama ini penganut agama buta huruf terhadap agama diluar yang dianutnya. Jadi perlu diadakan upaya pemberantasan buta agama, Karena buta terhadap agama lain maka orang sering tertutup dan fanatik tanpa menh\ghiraukan bahwa ada yang baik dari agama lain. Kalau orang melek agama, maka orang dapat memahami ketulusan orang yang beragama dalam penyerahan diri kepada Allah dalam kesungguhan. Sikap melek agama ini membebaskan umat beragama dari sikap tingkah laku curiga antara satu dengan yang lain. Para pengkhotbah dapat berkhotbah dengan kesejukan dan keselarasan tanpa bertendensi menyerang dan menjelekkan agama lain. (Budi Purnomo, 2003).

2.      Mengembangkan legacy spiritual dari agama-agama.

Telah kita ungkapkan sebelumnya tentang  legacy spiritual dari setiap agama di Indonesia. Legacy itu dapat menjadi wacana bersama menghadapi  krisis-krisis Indonesia yang multi dimensi ini. Masalah yang kita hadapi yang paling berat adalah masalah korupsi, supremasi hukum dan keadilan sosial. Berdasarkan legacy yang tersebut sebelumnya, bahwa setiap agama mempunyai modal dasar dalam menghadapi masal-masalah tersebut, tetapi belum pernah ada suatu wacana bersama-sama untuk melahirkan suatu pendapat bersama yang bersifat operasional.

   Agaknya setiap kelompok agama di Indonesia sudah waktunya bersama-sama membicarakan masalah-masalah bangsa dan penanggulangannya.





KEPUSTAKAAN

Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik,   Bandung, Pustaka Hidayah, 1998.

Budi Purnomo, Alays, Jakarta:  Penerbit Buku Kompas, 2003.

Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Ranaka Cipta,1990

O'Dea, Thomas, Sosiologi Agama, Jakarta: CV Rajawali, 1984.

Mulyono Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Jakarta;  Pustaka Sinar Harapan, 1982.

Tule, Philipus, Wilhelmus Julei, ed Agama-agama, Kerabat Dalam Semesta, Flores:Penerbit Nusa Indah, 1994.

Wach, Jajachim, Ilmu Perbandingan agama, Jakarta : CV Rajawali, 1984.

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

Hubungan Agama Dan Budaya dalam Agama Buddha



Pdt. D.M.Peter Lim S.Ag, MBA, MSc




I. AGAMA BUDDHA

           

Agama Buddha atau Ajaran Sang Buddha Gautama biasanya dikenal dengan sebutan Buddha Dharma, yang dapat disarikan dalam satu kata saja yaitu Dharma (Sansekerta) atau Dhamma (Pali), yang bermakna Kesunyataan Mutlak, Kebenaran Mutlak atau Hukum Abadi yang tidak terikat oleh waktu, keadaan dan kondisi yang bagaimanapun juga.

Pada suatu hari Sang Buddha berada di hutan Simsapa di Kosambi (dekat Allahabad). Beliau kemudian mengambil segenggam daun di tangan-Nya dan bertanya kepada para Bhikkhu : "Coba katakan, O Bhikkhu, mana yang lebih banyak, daun yang ada di genggaman-Ku ataukah daun yang ada di hutan ini?" "Tentu saja daun yang ada di hutan ini lebih banyak daripada daun yang ada di dalam genggaman tangan Bhante" "Begitulah juga, O Bhikkhu, dari apa yang Aku tahu hanya sebagian kecil saja yang telah Aku ajarkan kepadamu dan bagian yang terbesar lagi tidak Aku ajarkan. Mengapa Aku berbuat demikian? Oleh karena hal-hal itu tidak berguna, tidak akan membawamu ke Nibbana. Oleh karena itulah Aku tidak ajarkan hal-hal yang demikian itu kepadamu"

* SAMYUTTA NIKAYA XXII : 94.



Dalam kitab suci DHAMMANIYAMA SUTTA, Sang Buddha menyabdakan : "Upaya vabhikkhave tathagatham anuppada vatathagatanam thita vasa dhatu dhammatthitata dhammaniyamata :  O, Para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul di dunia atau tidak, dhamma akan tetap ada, merupakan hukum yang abadi".

* Sepuluh sebutan / gelar Sang Buddha

1.      Tathagata : Yang Maha Sempurna; Yang mengikuti jalan jalan Para Buddha yang terdahulu.

2.      Arahat : Dihormati seluruh jagad; Yang Mencapai Kesempurnaan Agung.

3.      Samyak Sambuddha : Yang Maha Tahu.

4.      Vijja Carana Sampanna : Yang Berbakat, Pengertian dan Kesucian Luhur; Yang mencapai Bodhi Teragung.

5.      Lokavidu : Yang Telah Memahami Kebenaran Sejagad.

6.      Anuttara : Yang Tidak Dapat Dibandingkan; yang Telah memperoleh segala-galanya dan Mencapai Setinggi tingginya.

7.      Anuttara : Yang Tidak dapat dibandingkan; Yang telah memperoleh segala galanya dan mencapai setinggi tingginya.

8.      Purisa damma sarathi : Petunjuk, pendidik serta pemimpin seluuruh makhluk yang memerlukan pembinaan Nya.

9.      Satta deva manussanam : Guru junjungan Para Dewa dan Manusia.

10.  Buddho Bhagava : Sang Maha Suci Yang Sempurna Kebijaksanaan Nya.



Dhamma akan dapat melepaskan diri seseorang dari "dukkha : derita" untuk mencapai Nibbana, yang merupakan kebahagiaan yang tertinggi, yang telah terbebaskan dari proses kelahiran, ketuaan, kesaktian dan kematian atau akhir dari semua derita. Nibbana tidak akan bisa dicapai dengan hanya bersembahyang, mengadakan upacara upacara atau memohon kepada para dewa. Derita hanya akan berakhir jika adanya peningkatan dalam hal pengembangan bathin, dengan cara berbuat baik, mengendalikan pikiran, menyucikan bathin dan mengembangkan cinta kasih serta kewelas-asihan kepada semua makhluk hidup.

Yang namanya Buddha, bukanlah monopoli pangeran Sidharta Gautama tetapi adalah suatu gelar kesucian, Yang Telah Sadar, Yang Telah Mencapai Kesempurnaan, Yang Telah Mencapai Kebebasan Agung dengan kekuatan sendiri. Dalam hal ini, siapapun akan bisa mencapai proses kebuddhaan asalkan dia mampu dan mau membersihkan "kilesa : kekotoran bathin" yang mencengkram dirinya.

* Wujud dari "kilesa : kekotoran Bathin", tersebut bisa saja dalam bentuk :

a) Dosa yang bermakna kebencian yang senang melihat orang lain menderita dan menderita melihat orang lain senang. "Dosena hi candajatataya dosasadisam nirayam uppajjanti : semua makhluk dilahirkan di alam neraka dengan kekuatan kebencian". ITUVUTTAKA 45.

b) Lobha yang bermakna keserakahan yang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki serta mementingkan diri sendiri atau egois. "Yebhuyyayena hi satta tanhaya pettivisayam uppajjanti : semua makhluk sebagian besar dilahirkan menjadi setan atau raksasa asura dengan kekuatan serakah". ITUVUTTAKA 45.

c) Moha yang bermakna kebodohan yang tidak mampu membedakan, perbuatan mana yang seharusnya diperbuat dan perbuatan mana pula yang seharusnya dihindarkan. "Mohena hi niccasammmulaham tiracchanayoniyam uppajjanti : semua makhluk dilahirkan menjadi binatang dengan kekuatan kebodohan". ITUVUTTAKA 45.



II. OTORITAS TERTINGGI DALAM AGAMA BUDDHA

           

Sangha atau persaudaraan para bhikkhu/ni yang jumlahnya minimal 5 orang, bukanlah pemegang otoritas tertinggi dalam agama Buddha. Dalam kerangka ajaran Sang Buddha, sejauh berhubungan dengan pembebasan dari derita, tidak dikenal adanya "Lembaga Pemegang Otoritas Tertinggi". Dalam Kalama Sutta, Sang Buddha menyabdakan : "Yah, putera-putera Kalama, sudah sewajarnya kamu rag-ragu dan bingung disebabkan oleh sesuatu hal yang memang meragukan dan membingungkan sekali. Nah, dengarlah baik-baik apa yang kukatakan. Jangan percaya begitu saja kepada berita yang disampaikan kepadamu atau karena sesuatu sudah merupakan tradisi atau sesuatu yang didesas-desuskan.

Janganlah percaya begitu saja kepada sesuatu yang katanya sudah diramalkan dalam buku-buku suci; juga kepada sesuatu yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka; juga kepada sesuatu yagn katanya telah direnungkan dengan seksama; juga karena sesuatu yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu; atau karena kamu ingin menghormati seorang pertapa yang menjadi gurumu.

Tetapi, warga suku Kalama, kalau setelah kamu selidiki sendiri kamu mengetahui bahwa 'hal ini tidak berguna, ini tercela, hal ini tidak dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini jika terus dilakukan akan mengakibatkan kerugian dan penderitaan', maka sudah selayaknya kamu menolak hal-hal tersebut di atas. Tetapi, kalau setelah kamu selidiki sendiri kamu mengetahui bahwa 'hal ini berguna, hal ini tidak tercela, hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana, hal ini kalau terus dilakukan akan menimbulkan keberuntungan dan kebahagiaan', maka sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut di atas".

* ANGUTTARA NIKAYA I : 189.



Lebih menegaskan lagi bahwa tiada Lembaga Pemegang Otoritas Tertinggi dalam agama Buddha, Sang Buddha menyabdakan di dalam kitab suci Maha Parinibbana Sutta, Digha Nikaya 16, yang isinya adalah : "Apa yang telah Kutunjukkan dan Kuajarkan (Dharma Vinaya) inilah yang akan menjadi gurumu setelah Aku tiada". Sedangkan fungsi utama dari anggota sangha atau para bhikkhu/ni, hanyalah sebagai perawat atau pelestari ajaran Sang Buddha, yang intinya adalah meluruskan yang tidak lurus serta mempertahankan yang telah lurus.



Dalam kitab suci Sigalovada Sutta, dikatakan bahwa hubungan antara bhikkhu/ni dengan umat awam, hanyalah semata mata bersifat moral religius dan timbal balik. Inilah yang tertera di dalam kitab suci Sigalovada Sutta : "Umat awam hendaknya menghormati bhikkhu dengan membantu dan memperlakukan mereka dengan perbuatan, kata kata dan pikiran yang baik, membiarkan pintu terbuka bagi mereka dan memberikan makanan serta keperluan yang sesuai dengan mereka. Sebaliknya para bhikkhu yang mendapat penghormatan demikian mempunyai kewajiban terhadap umat awam yaitu melindungi dan mencegah seseorang dari perbuatan jahat, memberi petunjuk untuk melakukan perbuatan baik, mencintai mereka dengan hati tulus, menerangkan ajaran yang belum didengar atau diketahui, menjelaskan apa yang belum dimengerti dan menunjukkan jalan untuk menuju Pembebasan".

* SIGALOVADA SUTTA

Para bhikkhu/ni yang benar benar melaksanakan Dharma Vinaya adalah sahabat yang baik, yang sepatutnya mendapatkan pelayanan dan penghormatan yang layak dari umat awam.


III. PENGABDIAN DALAM KONSEPSI BUDDHIS

           

Pengabdian yang diberikan adalah murni adanya, yang tanpa adanya niat niat terselubung atau pemaksanaan kehendak. Disamping itu, juga tidak mengharapkan pahala. Perbuatan baik yang diperbuat adalah murni demi perbuatan baik. "Tidak kepada para pertapa atau Brahmin, tidak pula kepada yang msikin dan yang memerlukan, orang rendah membagikan makanannya atau memberikan minuman dan makanan. Orang orang mengatakan bahwa orang yang egois itu bagaikan kemarau, langit tanpa curah hujan. Ia yang membagikan kekayaannya kepada orang orang tertetnu tetapi tidak dengan senang hati memberikan untuk yang lainnya, hanyalah bagaikan curah hujan setempat. Dengan cara itu orang bijaksana menggambarkannya.

Tetapi orang yang dengan senang hati memberikan banyak bingkisan dimana saja atas dasar belas kasih demi semua makhluk dan selalu berkata, "Memberi, memberi,..." Orang seperti ini bagaikan awan tebal yang berisi air hujan, bergemuruh dan mencurahkan air yang menyegarkan di mana saja, membasahi dataran tinggi dan juga dataran rendah, murah hati tanpa ada pembedaan. Dengan kekayaan yang dihimpun secara benar, yang diperoleh melalui usaha sendiri, ia membagikan makanan dan minuman kepada makhluk makhluk yang membutuhkan".

* ITIVUTTAKA 66.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

IIIa.- SENANG MELIHAT ORANG LAIN BAHAGIA.

"Mantapkan diri sendiri terlebih dahulu dalam kebajikan yang patut, baru kemudian mengajar orang lain. Dengan bertindak demikian, orang bijak tidak akan membuat noda bagi dirinya sendiri". ATTA VAGGA XII : 158.

Kenyataannya, kita sering memproklamirkan bahwa diri kita adalah orang baik. Mengapa...? Karena tidak menyusahkan dan merugikan orang lain. Dan disamping itu, adakala­nya (kadang-kadang) juga senang melakukan perbuatan-perbuatan baik. Apakah (benar) demiki­an adanya, yang hanya semata-mata tidak menyusahkan, merugikan atau kadang-kadang melakukan perbuatan-perbuatan baik, seseorang bisa dikategorikan baik...? Didalam kitab suci ANGUTTARA NIKAYA II : 18, Sang Buddha menyabdakan bahwa seseorang baru bisa dikategorikan baik jika dia mampu (bisa) menyirnakan AGATI 4 (4 macam perangai yang salah). Apakah AGATI 4 itu ...? AGATI 4 itu adalah

* CHANDAGATI : KECENDERUNGAN TERHADAP NAFSU INDERA

            Didalam konsep Buddhis dikatakan bahwa setiap manusia yang terlahirkan normal, akan memiliki enam macam indera, yang terdiri dari : a1) Cakkhu : mata a2) Sota : telinga a3) Ghana : hidung a4) Jivha : lidah a5) Kaya : jasmani (kulit) dan a6) Mano : pikiran. Yang dimaksud dengan Chandagati adalah terjadinya kemelekatan, dikala indera-indera ini "phassa : kontak" atau berhubungan dengan objek (sasaran) yang diluar. Kemelekatan tersebut, bisa saja dalam bentuk ingin menguasai atau menghancurkan. Contoh kasus, setelah melihat idolanya maka spontanitas timbul keinginan si A, untuk bersanding disisinya.

Dan jika keinginan ini tidak bisa direalisasikan maka menderitalah kehidupannya. Dan begitu juga sebaliknya dengan si B yang sangat membenci si C. Setiap kali bertemu, selalu timbul keinginan-keinginan untuk balas dendam. Tetapi, sungguh disayangkan bahwa keinginan-keinginan tersebut, tidak dapat direalisasikan, yang bisa saja karena takut atau tidak ada peluang untuk itu. Apa yang akhirnya dirasakan...? Tiada lain adalah penderitaan.

* DOSAGATI : KECENDERUNGAN TERHADAP KEBENCIAN.

            Pada umumnya, faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kebencian ini adalah b1) Merasa disakiti, disepelekan atau dihina b2) Iri atas keberhasilan orang lain atau b3) Tidak pernah puas atas kondisi-kondisi yang dimiliki. Dan sebagai akibat dari kondisi-kondisi ini, apakah yang lebih cenderung dialami...? Tiada lain adalah kekecewaan, kefrustasian & kestressan. Sang Buddha menyabdakan: "Kebencian membawa kerugian yang besar, kebencian mengacaukan & melukai pikiran. Bahaya yang menakutkan ini, telah ada jauh didalam bathin sendiri. Kebanyakan orang tidak mengetahuinya."

* MOHAGATI : KECENDERUNGAN TERHADAP KEBODOHAN BATHIN.

            Yang dimaksud dengan mohagati, bukanlah semata-mata dilihat (dipandang) dari segi keintelektualan tetapi juga kemampuan, didalam membedakan mana yang pantas (baik) dilaksana­kan/dihindarkan. Seseorang yang senang melakukan perbuatan hura-hura, misalnya : mengkonsumsi narkoba, judi atau mengunjungi tempat-tempat maksiat adalah contoh-contoh nyata dari mohagati. Mengapa...? Karena sudah tahu efek negatifnya tetapi (tetap) pergi juga. Dan disamping itu, menyakini sesuatu yang tidak sepantasnya diyakini, juga termasuk mohagati. Contohnya : a) Kalau tertimpah kemalangan atau musibah, dia akan langsung mencari "dukun : orang sakti", yang katanya, bisa menyelesaikan segala bentuk dari permasalahan atau b) jika sakit, bukannya ke dokter, malahan ke orang-orang yang bisa disusupi oleh makhluk-makhluk halus dan c) jika ada masalah, baru mau ke Vihara.

* BHAYAGATI : KECENDERUNGAN TERHADAP KETAKUTAN.

            Mengapa kondisi ini timbul...? Tiada lain adalah minimnya kepercayaan diri yang dimiliki. Seseorang yang tidak mantap akan dirinya sendiri atau "saddha:keyakinan" nya lemah maka akan senantiasa dicengkram oleh ketakutan, kecemasan dan kegelisahan. Dalam hal ini, disetiap akan, sedang & setelah melakukan suatu perbuatan, dirinya akan senantiasa dibelenggu oleh bhayagati. Sang Buddha menyabdakan : "Jangan takut, tidak akan terjadi sesuatu pada dirimu seandainya itu bukanlah (karma : perbuatan) mu".

Jadi, seseorang tidaklah dapat dikatakan baik jika semata-mata hanya a) Tidak menyusahkan atau menyakiti orang lain atau b) Hanya melakukan perbuatan-perbuatan baik. Seseorang akan bisa dikategorikan baik, disamping tidak menyusahkan, menyakitkan & melakukan perbuatan-perbuatan baik, juga telah terbebas dari :

1) Chandagati (nafsu indera). Dalam hal ini, dikala berbuat baik, indera-inderanya tidak akan terpengaruh walaupun dicela, dihina atau disakiti. Dia sangat menyadari bahwa disaat berbuat baik maka tidaklah tertutup kemungkinan-kemungkinannya, kemalangan-kemalangan akan datang menyerang.

Kemalangan-kemalangan yang dialami, bukanlah sebagai hasil dari perbuatan baik, yang baru saja diperbuat tetapi adalah akibat dari perbuatan-perbuatan jahat, yang telah diperbuat dimasa masa sebelumnya.

2) Dosagati (kebencian). Dikondisi ini, dia tidak akan membalas kebencian dengan kebencian. Sang Buddha menyabdakan: "Bila seseorang memiliki pikiran cinta kasih, dia merasa kasihan kepada semua makhluk di dunia, yang ada di atas, dibawah dan disekelilingnya serta tidak terbatas dimanapun juga"

3) Mohagati (kebodohan). Dikondisi ini, jika tertimpa kemalangan, dia tidak akan lari dari kenyataan & pondasinya, akan tetap pada "dharma : kebenaran" serta tidak akan menyusut. Sang Buddha menyabdakan : "Orang bodoh yang menyadari kebodohannya, masihlah terhitung bijaksana sedangkan si Bodoh yang menganggap dirinya bijaksana, itulah yang disebut benar-benar bodoh."

4) Bhayagati(ketakutan). Pada hakekatnya, yang seyogianya ditakutkan, hanyalah satu yaitu : "hiri & otappa : takut (malu) akan akibat dari perbuatan jahat". Sang Buddha menyabdakan : "Apabila tidak terdapat luka di tangan, seseorang dapat memegang racun sebab racun tidak dapat meresap masuk ke dalam tangan yang tidak terluka. Demikian pula, kejahatan tidak dapat merasuki orang yang tidak berbuat jahat."



IIIb.- IKHLAS MEMBERI.


"Di dunia ini apabila seseorang dikuasai oleh keinginan kotor dan beracun, niscaya kesedihan akan berkembang bagaikan rumput birana yang tumbuh subur karena tersirami air hujan. Tetapi barang siapa yang dapat mengalahkan keinginan yang sukar dikalahkan itu, kesedihan niscaya berlalu dari dirinya seperti butir air yang  jatuh dari daun teratai". TANHA VAGGA XXIV : 335 – 336.    Di awal dari pembabaran ajaran Nya, Sang Buddha menyabdakan bahwa asal mula timbulnya "dukkha : derita" adalah "tanha : nafsu keinginan". Dalam hal ini, semakin erat belenggu "tanha : nafsu keinginan" menggari bathin seseorang maka akan semakin jauh dari kebahagiaan atau semakin dekat dengan penderitaan.

Contoh nyata dari hal ini adalah sering dijumpai orang-orang yang telah beristri/suami yang rupawan atau telah memiliki kekayaan dan kekuasaan, tidak juga mampu menikmati kebahagiaan. Se­telah ditelusuri, ternyata penyebabnya tiada lain adalah bathinnya terlalu erat atau ku­at digari oleh belenggu "tanha : nafsu keinginan" sehingga tidak bisa merasa puas dengan apa yang telah dimiliki. "Nafsu keinginan selalu menghasut dan menipu, ia me­ru­pa­kan satu sumber kesakitan mental, ia merupakan jaring yang dilemparkan oleh "mara : si peng­g­o­da/si jahat" untuk menjerat dan mencemari para makhluk" THERIGATHA 357.

Selanjutnya, agar kehidupan ini senantiasa bahagia dan terbebas dari "tanha : nafsu ke­inginan" maka tiada cara lain yang bisa ditempuh, selain daripada mengurangi atau mengikis habis, yang namanya "tanha : nafsu keinginan".



Caranya adalah dengan rutin me­laksanakan "dana : amal", yang sifatnya universal, yang tanpa adanya lagi batasan batasan etnis, agama, bahasa maupun aliran/sekte yang dianut. Di dalam kitab suci ANGUTTARA NIKAYA IV : 243, Sang Buddha menyabdakan bahwa ada "Sappurisa dana 8 : 8 macam dana/amal" dan jika rutin di­amalkan, akan mampu mengikis "tanha : nafsu keinginan", yang dampaknya selain mem­bahagiakan diri sendiri tetapi juga makhluk makhluk hidup lainnya.

Ke delapan macam "dana : amal" ini adalah :

1.- SUCIM DETI : ber "dana : amal" barang yang ber­sih. Yang dimaksud dengan sucim deti adalah barang "halal", yang diraih melalui ja­lur "dharma : kebenaran", yang tidak menyebabkan penderitaan bagi makhluk hidup la­innya. "Semua makhluk mendambakan kebahagiaan. Barang siapa yang mencari kebahagiaan ba­gi dirinya sendiri dengan tidak menganiaya makhluk lain maka setelah kematiannya, ia niscaya akan memperoleh kebahagiaan". DANDA VAGGA X : 132.

2.- PANITAM DETI : ber "dana : amal" barang yang baik. barang. Barang yang baik adalah barang yang bisa (aman) dimanfaatkan. Misalnya : dikala ber "dana : amal" makanan atau obat obatan maka makanan atau obat-obatan tersebut, kondisinya harus aman dimakan/digunakan dan belum "expired date : kadaluarsa". "Sukhassa data medhavi – sukham so adhigacchati : orang pandai yang memberikan kebahagiaan niscaya akan mendapatkan kebahagiaan" . ANGUTTARA NIKAYA, PANCAKA – CHAKKANIPATA 37.

3.- KALENA DETI : ber "dana : amal" barang yang tepat pada waktunya. Maknanya adalah 3a) Orang sakit, di "dana : amal" kan obat-obatan. 3b) Orang lapar, di "dana : amal" kan ma­kanan. 3c) Orang haus, di "dana : amal" kan air dan lain sebagainya. "Memberi makanan, seseorang memberi kekuatan : memberi pakaian, seseorang mem­be­ri keindahan : memberi penerangan, seseorang memberi penglihatan : memberi angkutan, se­se­o­rang memberi kesenangan : memberi perlindungan, seseorang memberi semuanya. Tetapi seseo­rang yang mengajarkan "dharma : kebenaran", ajaran Sang Buddha yang istimewa, orang seperti itu memberi makanan surgawi". SAMYUTTA NIKAYA I : 32.

4.- KAPPIYAM DETI : ber "dana : amal" barang yang layak. Barang yang layak adalah barang yang pantas di­gunakan/dimanfaatkan, misalnya : ber "dana : amal" pakaian maka pakaian itu, ha­rus­lah yang utuh, tidak koyak/rusak, tidak norak dan layak dipakai. "Dukkhitassa sakkacca karoti kiccam : bantulah orang yang kesusahan dengan kesungguhan hati". KHUDDAKA NIKAYA, JATAKA I : 2466.

5.- VICEYYA DETI : ber "dana : amal" barang dengan bijaksana. Maknanya adalah ber "dana : amal" kepada orang-orang yang patut menerimanya. Di dalam konsep Buddhis ditegaskan bahwa ber "da­na : amal" kepada orang-orang, yang "sila : moral" nya semakin terpuji maka akan se­ma­kin besar pula "punna : pahala" nya. Atau ber "dana : amal" untuk kepentingan orang ban­yak, misalnya : rumah ibadah, sekolah, jalan umum, rumah sakit, panti sosial dan la­in sebagainya, juga termasuk "dana : amal" yang ber "punna : pahala" besar.





"Nekasi labhate sukhana bhunje sadhumekako : Makan sendiri tidaklah membahagiakan. Janganlah me­nyan­tap makanan enak sendirian". KHUDDAKA NIKAYA, JATAKA I : 1674 – II : 949.

6.- ABHINHAM DETI : ber "dana : amal" barang secara tetap. Ini sama ibarat­nya dengan menanam. Jika kita menanam bibit, yang tanpa adanya kerutinasan, baik da­lam hal perawatan maupun pemberian pupuk maka hasilnya, tidaklah akan op­ti­mal. Demikian juga halnya dengan berbuat baik. "Sukho punnassa ucccayo : penimbunan keb­aikan akan memberikan kebahagiaan". KHUDDAKA NIKAYA, UDANA 19.

7.- DADAM CITTM PASADETI : ber "dana : amal" barang dengan pikiran tenang. Di saat akan berbuat baik, hendaknya pikiran telah berada dalam kondisi tenang. Jika tidak maka perbuatan baik yang diperbuat akan lebih cenderung arahnya ke ikut-ikutan, gengsi-gengsian atau pamer-pameran. Dan sebagai hasil dari semuanya ini, tiada lain adalah kekecewaan dan kefrustasian. "Barang siapa yang mampu mengend­a­li­kan pikiran yang berkelana, menyendiri, nirwujud berada di dalam tubuh ini; mereka niscaya akan ter­lepas dari cengkraman "mara : si penggoda/si jahat". CITTA VAGGA III : 37.

8.- DATVA ATTAMANO HOTI : ber "dana : amal" barang yang menimbulkan ke­se­nangan bathin. Pada prinsipnya, setiap kita akan berbuat sesuatu jika tanpa diiringi oleh rasa senang dan suka maka hasilnya tidaklah akan maksimal. Demikian pula hal­nya dengan berbuat baik. Di dalam konsep Buddhis ditegaskan bahwa pada waktu, sedang dan telah berbuat baik, bathin haruslah senang. Jika tidak maka per­bu­a­tan baik itu akan menjadi sia-sia. "Tempuhlah kehidupan benar dan janganlah menjalani ke­hidupan salah. Mereka yang melaksanakan "dharma : kebenaran" niscaya akan hidup ber­ba­ha­gia di dunia ini maupun di dunia mendatang". LOKA VAGGA XIII : 169.

            Agar kehidupan ini senantiasa bahagia maka rutinlah di dalam pelaksanaan "da­na : amal" yang tanpa adanya batasan-batasan, baik etnis, agama, bahasa maupun aliran yang dianut.

Dalam hal ini, perlakukanlah semua makhluk hidup itu, bagaikan mem­perlakukan putra tunggal yang tercinta. "Kebajikan moral adalah sebagai dasar, se­ba­gai pendahulu dan pembentuk  dari semua yang baik dan indah. Oleh karena itu, hendaknya orang me­nyempurnakan kebajikan moral". THERAGATA 612.

Dengan dimengertinya ke­sunyataan ini, hendaknya kita senantiasa senang dan mau melepaskan "upadana : ke­melekatan", baik kepada yang beruntung maupun yang kurang beruntung melalui pe­lak­sanaan "dana : amal" yang rutin dan berkesinambungan. Sang Buddha me­nya­b­da­kan : "Sayam sukham jivitasankhayamhi : kebaikan yang diperbuat oleh diri sendiri, inilah yang men­jadi kekayaan pribadi yang khusus".
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

markosprawira

Quote from: hatRed on 19 November 2008, 02:26:01 PM
Quote from: markos
"Saya setuju dengan anda bahwa Buddhism itu bukan agama kok, namun bagaimana jika nanti Buddhism jadi tidak diakui sebagai agama??? bukankah itu justru akan lebih merepotkan kaum buddhist yg jumlahnya jutaan orang?? mereka justru akan lebih terpencar, anak2nya menjadi anak haram karena pemberkatan secara buddhism, sudah tidak diakui lagi"

saya rasa mereka justru bukan terpencar, melainkan menjadi sadar dan memberikan pandangan baru bagi mereka. dan juga dapat memberikan pengertian benar.
justru kalau mereka berpendapat anak2 mereka akan menjadi haram, bukankah itu adalah efek negatif karena menSakralkan Buddhisme.

untuk saran2 dari markos, saya sangat hargai dan mari kita mencari solusi nya bersama-sama dan jangan takut akan halangan yang ada, sehingga membuat kita mundur.

apa anda YAKIN atau hanya merasa aja nih??

bagaimana jika setelah buddha tidak disebut agama, yg notabene benernya hanya "LABEL" atau "MERK", tapi itu membuat keberadaan buddhist menjadi terkatung2 seperti penganut Khong Hu Cu??

legal atau tidak, itu adalah pengakuan secara hukum loh, bukan secara logika..... sama seperti menikah... disebut resmi menikah jika sudah ada surat dari rumah ibadah, serta dicatat di catatan sipil....

Jadi kalau anda sudah menikah secara adat atau disetujui orang tua dan keluarga kedua belah pihak, tapi tidak diakui secara hukum negara, maka pernikahan itu batal demi hukum.........

semoga bisa memperjelas bahwa jangan sampe perasaan dan pemikiran perorangan, membuat status jutaan org jadi terkatung2