Abhidhamma & vipassana

Started by hudoyo, 29 July 2008, 09:45:38 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

hudoyo

Quote from: willibordus on 01 August 2008, 08:51:47 AM
Quote from: hudoyo on 30 July 2008, 08:24:24 PM
Kalau dibilang "Abhidhamma adalah detail dari Dhamma", jadi "Dhamma" itu detailnya bisa bermacam-macam? ... Ada Abhidhamma Theravada, ada Abhidharma Sarvastivada ...
Lalu "Dhamma" itu sendiri apa?
Salam,
hudoyo

Detail-nya bisa bermacam-macam tergantung cara membedahnya... Namun Dhamma tetaplah Dhamma, kebenaran tetaplah kebenaran.... cara melihatnya saja yg berbeda.
Saya tidak terlalu mengetahui perbedaan2 diantara banyaknya aliran Abhidhamma, atau ajaran2 Tibetan, Mahayana, dsbnya....Sy tidak terlalu mau memusingkannya. Bagi saya, disaat sy sudah menemukan suatu ajaran yg masuk logika saya, dan bermanfaat bagi perkembangan batin sy, sudah cukup bagi sy. Mempelajari terlalu banyak malah akan membuat sy menjadi 'haus intelektual'.....
Sd saat ini sy sama sekali tidak menemukan kesulitan dengan ajaran Abhidhamma, Tipitaka Pali, meditasi Vipassana dan segala macam aturan Sila.
Kesemuanya itu bagi sy, sangatlah bermanfaat...  :)

OK, kalau begitu, tidak ada lagi yang perlu didiskusikan dengan Anda. Sampai di sini saja.

Salam,
hudoyo

hudoyo

Quote from: dilbert on 01 August 2008, 09:00:38 AM
Gimana bukti-in Roberts sampai pada keadaan anatta ??

Gimana buktiin Buddha sampai pada pencerahan sempurna? ... Dari kata-katanya, bukan. ... Begitu pula dengan Roberts.

Quotemenjalankan vipasanna tidak berarti dalam sekejap debu akan hilang, bagaimanapun itu adalah latihan. perlu tahapan dan waktu. jadi ketika orang yang masih "berdebu" mata-nya tetapi menjalankan ajaran buddha, dan seiring dengan kedisplinan menjalankan ajaran buddha, "debu" di matanya berkurang sedikit demi sedikit, terjadi perubahan prilaku ke arah yang lebih baik, terjadi perubahan mental ke arah yang lebih baik. Orang yang menjalankan praktek ini yang saya sebut telah menjalankan ajaran para buddha.

Itu pandangan Anda. ... Pandangan saya berbeda. Vipassana bukan latihan, tidak ada tahapan, tidak ada waktu. Vipassana adalah sadar akan saat kini, tidak memandang ke depan. Pada saat kinilah 'debu' harus lenyap. ... Kalau 'debu' itu muncul lagi, 'debu' itu harus disadari pada saat kini lagi, sehingga lenyap kembali pada saat kini ... demikian seterusnya, tetap berada pada saat kini. Itulah vipassana. ... Tidak ada "menjalankan ajaran buddha", tidak ada "debu berkurang sedikit demi sedikit", tidak ada "perubahan perilaku atau perubahan mental ke arah yang lebih baik [berangsur-angsur]".

Salam,
hudoyo

williamhalim

 [at]  Bro Suchamda,

"Jangan semata-mata percaya hanya karena dikatakan oleh orang suci...dstnya...." Kalama Sutta, sy juga sepaham dengan Bro Suchamda.

Postingan sy diatas -yg mengkonfirmasi pandangan kalangan lain terhadap Madam Nina tsb- hanya untuk menjelaskan jika ada yg beranggapan bahwa Madam Nina tidak layak berbicara soal "Vipassana dan Abhdihamma", karena sesungguhnya -bagi kalangan luas- Madam Nina lebih 'dikenal' daripada kita-kita disini ini.

Jadi, percakapan Madam Nina sy pikir cukup berbobot untuk kita jadikan rujukan.

::

Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Suchamda

#243
Quote from: WillibordusEgo itu mesti disadari(1), ketika kita sadar bahwa pada saat itu kita sedang marah, selanjutnya kita mempunyai pilihan, mau marah terus atau mau disudahi? Biasanya ketika kegiatan memilih*)(2) ini berlangsung, kekuatan EGO (kemarahan) tadi sudah sedikit melemah.... selanjutnya terserah kita(3)....
(Pada saat 'memilih' tsb, segala pemahaman yg telah kita pelajari biasanya akan muncul dan akan menjadi bahan pertimbangan kita; jika makin sering dipelajari dan direnungkan, maka akan semakin kuat mengontrol pertimbangan kita).

(1) Siapakah yang menyadari?
(2) Memilih adalah suatu usaha. Siapakah yang berusaha?
(3)"....terserah kita.." --> terserah berdasarkan apa? suatu reference pasti mengandung kriteria. apakah itu bukan pikiran lagi?

Quote from: willibordusBandingkan jika tanpa memahami Dhamma (bahwa kemarahan itu tidak baik bagi kita, bahwa pikiran merupakan busa yg menyerap setiap pikiran baru; berakumulasi, dsbnya), jika tidak memahami hal2 begitu maka kita akan terus 'menikmati' kemarahan kita dengan semakin berapi-api... akibatnya sudah bisa ditebak: jantung semakin keras berdebar (sumber segala penyakit) dan batin kita sudah terupgrade menjadi 'semakin pemarah' (lama kelamaan akan menjadi 'sifat' kita).

Menurut saya, untuk memahami amarah tidak baik itu tidak perlu teori apa pun. Orang tanpa agama pun juga sudah tahu bahwa amarah itu tidak enak, dan ingin menghindari amarah (kalo bisa).
Cukup dengan merasakan rasa amarah itu sendiri langsung mengetahui bahwa itu tidak baik.
Yang menjadi masalah, adalah orang tidak menyadari secara aktual bahwa dalam suatu gerak-gerik pikiran di dasar yg paling dalamnya mengandung kemarahan.

Quote from: willibordusBagi seseorang yg mempraktikkan Abhidhamma, pemahaman2 dasar begini akan membantunya mengambil sikap ketika EGO-nya muncul.

Perhatikan bold warna biru.
Siapakah yang mengambil sikap itu?
Bukankah itu adalah Ego yang mengambil sikap terhadap Ego?
Ego2 muncul utk mengendalikan Ego1, bukankah begitu?

Quote from: willibordusPemahaman2 yg didapat dari belajar, membaca adan diskusi (Suttamayapanna) akan meningkat menjadi pemahaman realisasi (Cintamayapanna) yg untuk selanjutnya jika dilakukan dengan intents (vipassana) maka akan menjadi pemahaman penembusan (Bhavanamayapanna).

Menurut saya, apa yang anda lakukan itu bukan vipassana.
Oleh karena itu, tidak mungkin akan membawa secara faktual kepada realisasi (Bhavanamayapanna).
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

hudoyo

Quote from: willibordus on 01 August 2008, 09:04:42 AM
Maaf Pak, mungkin in hanya perbedaan pemahaman (lagi)...
Kalau tidak ada teori, apa yg mau dilakukan Pak?
Ketika para peserta datang, kita bilang: "Silahkan vipassana...."
Lantas orang2 akan bingung, gimana caranya Pak?
Pasti kita akan bilang, "Silahkan duduk di bantal masing-masing, sadarilah segala reaksi batin yg timbul, jangan berusaha dikontrol, lepaskan saja, sadari saja...."
Dan segala macam peraturan lain yg kita tetapkan selama itu (misal menutup patung2 Buddha yg ada diruangan tsb, tidak usah membungkuk2kan badan ke pembimbing, dsbnya."
IMO, segala instruksi ini adalah 'Teori' Pak....

Maaf juga, semua yang Anda katakan itu bukan 'teori'. Instruksi bukan 'teori' ...

Pada dasarnya, instruksi dalam MMD adalah "diamlah, berhentilah". Itu sama sekali BUKAN teori.

Yang disebut 'teori' adalah 'pengetahuan yang belum dan harus dibuktikan'. Segala ajaran Abhidhamma tentang citta, cetasika, rupa & nibbana, itulah TEORI.

Salam,
hudoyo

hudoyo

Quote from: Kainyn_Kutho on 01 August 2008, 09:09:09 AM
Quote from: dilbert on 01 August 2008, 09:00:38 AM
Gimana bukti-in Roberts sampai pada keadaan anatta ??

Tidak akan bisa karena seseorang tidak bisa mengetahui bathin orang lain. Tapi sedikitnya pola pikir dan tulisannya tentang pengalaman spiritualnya memiliki banyak kesamaan dengan ajaran "anatta" di Buddhisme. Dan kalau memang dibaca di Alkitab, ajaran  itu berbeda dengan doktrin Krist3n yang muncul belakangan.

Betul.  _/\_

hudoyo

Quote from: willibordus on 01 August 2008, 09:19:40 AM
Selama ini sy mengalami bahwa panna bertambah sedikit demi sedikit, panna mengalami progress kualitas...

Itu 'panna' intelektual, bukan panna dari pencerahan. Panna dari pencerahan selalu terjadi seketika, mendadak.


QuoteSang Buddha malah memerlukan waktu berkalpa-kalpa lamanya untuk menyempurnakan parami-Nya, sedikit demi sedikit, salah satunya ialah: Panna-parami

Ini dongeng atau teori untuk menggambarkan betapa sulitnya menjadi buddha atau arahat. Akibatnya banyak umat Buddha merasa kecil hati dan bergantung pada Buddha untuk selamanya.

Bagi orang yang menyadari saat kini di mana terdapat pembebasan, masa lampau tidak relevan. Pembebasan bukan hasil parami atau karma di masa lampau, tidak terkondisi.

Salam,
hudoyo

hudoyo

Quote from: nyanadhana on 31 July 2008, 04:24:28 PM
ada kok anak TK yang disuruh lompat ke universitas contohnya xxxxxxx(ge sensor sendiri namanya).....alhasil keblinger soal Dhamma dan cuman bisa berkoak koak untuk diam tapi ga bisa diam. salah siapa?

Awak nan tak pandai menari, dikatakan lantai nan terjungkat.
(Diri sendiri yang tak mampu, orang lain yang disalahkan.)

hudoyo

Quote from: Lily W on 01 August 2008, 10:49:51 AM
Apabila kita dicela, kita harus berpikir bahwa saat itu diberi kesempatan untuk melatih kesabaran, bukannya kita sakit hati, malahan kita harus merasa berterima kasih kepada lawan-lawan kita.
Itu merupakan pelajaran yang patut kita ingat selalu dan harus kita praktekkan.... tetapi praktek gitu bukan berarti mudah lho tapi juga bukan berarti kita ga bisa... Marilah kita praktek...

_/\_ :lotus:

Selama kita melihat orang lain yang berbeda pendapat sebagai "lawan", maka kita harus terus melatih KESABARAN.

Tetapi kalau 'aku' dan 'orang lain' bisa lenyap, maka apa pun perbedaan pendapat yang ada, "kesabaran" tidak relevan lagi.

Salam,
hudoyo


hudoyo

Quote from: Lily W on 01 August 2008, 12:00:06 PM
Pujian dan celaan adalah dua kondisi dunia lainnya yang harus dialami tiap orang. Adalah wajar menjadi gembira bila dipuji, dan menjadi kecewa bila dicela. Sang Buddha berkata : Orang Bijaksana tidak menunjukkan rasa gembira maupun kecewa di tengah-tengah pujian dan celaan. Mereka tetap teguh bagaikan batu karang yang tak tergoyahkan oleh badai.
Jadi kapan kita jadi orang bijaksana itu? marilah kita renungkan....

_/\_ :lotus:

Ibu Lily bertanya: "Kapan kita jadi orang bijaksana itu?" ...
Menjadi orang bijaksana bukan berarti sengaja "tidak MENUNJUKKAN rasa gembira maupun kecewa di tengah-tengah pujian dan celaan", mengutip kata-kata Buddha di atas, padahal di dalam hatinya penuh rasa gembira kalau dipuji dan penuh rasa kecewa kalau dicela. ...

'Menjadi orang bijaksana' berarti "menyadari si aku/pikiran, sampai diam dengan sendirinya". Jadi 'menjadi orang bijaksana' berarti tidak ada keinginan untuk 'menjadi orang bijaksana'. ...
Bila si aku/pikiran ini diam, di situlah 'orang bijaksana' tidak menunjukkan rasa gembira maupun kecewa di tengah-tengah pujian dan celaan, KARENA memang tidak ada rasa gembira maupun kecewa itu di dalam batinnya, bukan karena SENGAJA ingin memamerkan "tidak gembira maupun kecewa" secara lahiriah.

Salam,
hudoyo 

Riky_dave

QuoteKata2 manis yang anda maksudkan itu adalah bersumber dari Sutta, jadi ...
dalam hal ini saya tidak tertarik untuk bertukar pikiran(baca: bertukar pandangan salah) dengan anda, tapi demi kenyamanan, ijinkan saya mengkritik gaya bahasa anda. sebagai orang yang sudah TANPA-AKU tentunya anda bisa menerima kritikan bukan?
Saya ingin bertanya kepada anda,"Apakah sutta itu manis dan indah bagi anda,dan rekan2 anda?"
Jawab dulu,nanti kita baru lanjutkan diskusi ini....:)
Dan perlu anda ralat pernyataan anda yang saya bold itu,karena saya tidak pernah berkata bahwa saya adalah orang TANPA AKU...:)

Quotekita tidak hidup sendirian di semesta ini, dan kita tidak bisa berharap dunia di sekeliling kita menuruti keinginan kita, dan lingkungan di sekeliling kita akan menilai dari perbuatan dan ucapan kita, anda boleh menganggap diri anda sudah "memasuki arus" seperti di posting lainnya, atau sudah "sotapanna" tapi banyak orang menilai anda sebaliknya. baiklah, anda mungkin akan menjawab, "ah, itu kan penilaian anda, yang penting I know what I am". that's all up to you
Saya tidak tahu apakah anda hidup sendiri atau hidup dengan banyak orang...Tapi yang pasti bagi saya,saya adalah awal dan juga akhir dari dunia,saya tercipta dan akan tidak tercipta...Saya muncul dan saya akan lenyap...Itulah saya,saya tidak tahu apa makna kehidupan bagi anda dan yang pasti itu bukan urusan saya....Dunia tidak pernah mengelilingi kita,tapi kita yang mengelilingi dunia...:)
Keinginan hanyalah ilusi manusia,saya ingin ini dan itu,jika tercapai berati saya puas,jika tidak tercapai maka itu dukkha...Setelah tercapai,ingin lagi ingin lagi,kalau tidak tercapai menghalalkan segala cara untuk mencapai...
"Siapa yang menilai kita?"
Bagi saya yang menilai saya adalah AKU saya,saya akan membiarkan AKU saya menilai saya apapun itu,saya tetap tidak akan bergeming...Jika AKU saya diperbolehkan mencerca saya,kenapa anda dan seluruh manusia yang ada dimuka bumi ini tidak boleh?
Sori ya,saya harus menerjemahkan dahulu arti kata2 saya kepada saudara wei tentang "memasuki arus".
Saya quote kan kepada anda...:
Quote[at]Wei
Cia you,berhubung kita masih muda...Setelah memasuki arus jangan berbalik lagi...
Teruskan....Good Luck ya...Smiley
Saya berkata kepada saudara Wei ketika saya dan dia masih dalam tahap yang masih muda,harus rajin bermeditasi jangan lengah terhadap "pemuasaan intelektual" "Pemuasan teori" "kekuasaan" "Pujian" "Kehormatan" dll...
Kemudian saya tambahkan "setelah" memasuki arus,apakah anda paham maksudnya?
"Setelah" menjelaskan bahwa pada saat yang akan datang,jika kita(Saya dan saudara wei,atau lebih tepatnya salah satu dari kami) sudah memasuki arus jangan berbalik lagi...
Sekarang apakah sudah jelas pernyataan saya yang anda sendiri menerka dan mengklarifikasikan semau anda?:)
Saya mungkin tahu bahwa ego dari para penghapal teori yang sering
merasa bahwa "kata2 kosong" adalah MILIKKU,PUNYAKU,AKU....

Salam,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

hudoyo

Quote from: nyanadhana on 01 August 2008, 01:18:19 PM
saya tidak mau ikutan menyindir sih tadi tapi karena demi menyadarkan kalian,saya sengaja tenggelam dalam akusala kamma hanya demi menyadarkan kalian  :P

Dhamma itu pemahaman ke dalam dan tergantung batin masing-masing dalam pencerapan,apapun itu Sang Buddha bisa melihat bahwa proses pencerahan setiap orang berbeda dan tidak sama, adayang bisa lewat Vipasana,ada yang cukup baca secuplik Sutra, ada yang bisa disentil. untuk apa kita merasa lebih jago, bukankah kita sudah terjebak dalam kemelekatan untuk menjadi sesuatu yang lebih hebat,superior, bahkan dalam membahas MMD sendiri,kemelekatan itu sering terjadi. ngapain maksa orang menjadi pro dan kontra....ga perlu kok, pemahaman itu tidak terjadi karena paksaan namun acceptance.

Lo mau jelasin Dhamma dengan baik tapi cara kamu komunikasi malah membuat orang merasa dengki,itu tidak membuat orang lain tercerahkan ataupun kamu tersadarkan dalam Dhamma, bahkan anda bisa terjebak dalam pandangan salah dalam pandangan benar.

Sang Buddha tidak mengkomunikasikan Dhamma dengan hantaman, tapi mencari celah penerimaan seseorang baru setelah orang itu menerima Dhamma, pandangan salah diruntuhkan.bukan dengan gaya sok pintar,sok benar dan sok sana sini

Nasehat yang baik untuk orang lain, tapi terutama untuk diri sendiri.

Salam,
hudoyo

hudoyo

Quote from: Kainyn_Kutho on 01 August 2008, 01:20:24 PM
QuoteCoba kalau anda simak diskusi2 ini, secara tidak langsung kita sudah belajar vipassana. Belajar mengamati reaksi batin masing-masing. Ada yang sadar, ada yang tidak.

Dalam vipassana, yang diamati bathin sendiri, bukan orang lain. Tidak bisa mengatakan ada yang sadar, ada yang tidak, kecuali kita sendiri sudah sadar dan memiliki abhinna cetopariyanana.

Pernyataan umum "Ada yang sadar, ada yang tidak," bisa dan boleh-boleh saja dibuat tanpa perlu cetopariyanyana. Yang memerlukan abhinnya itu kalau kita ingin bilang "Si A sadar", "Si B tidak sadar".

Salam,
hudoyo

Riky_dave

QuoteUntuk klarifikasi supaya tidak terjadi kesimpangsiuran dan fitnah, ijinkan saya bertanya , mohon dijawab dengan jujur, tegas dan tidak bertele-tele :
1. Riky, apakah kamu memang merasa sudah mencapai realisasi anatta / "tanpa aku" eg. sotapanna,dll? Kalau memang merasa iya, katakan aja juga gak apa.
Selama saya bermeditasi selama mungkin 2bln ini atas arahan bimbingan pak hudoyo sampai saat ini dan detik ini ketika saya mengetik jawaban yang ditanyakan saudara suchamda saya katakan dengan jelas dan tegas bahwa selama saya bermeditasi saya tidak peduli akan apa yang saya peroleh apakah itu SOTAPANNA,SAKADAGAMI,ANAGAMI BAHKAN ARAHAT SEKALIPUN karena saya "sadar" bahwa semua itu hanyalah "konsep dan label" dari si AKU...
Dan juga selama saya bermeditasi saya tidak pernah merasa sekalipun bahwa saya sudah mencapai realisasi anatta / "tanpa aku" eg. sotapanna,dll?
Apakah ini sudah cukup jelas bagi saudara suchamda dan rekan2 yang lainnya?:)

Quote2. Apakah kamu memang pernah menyatakan diri bahwa kamu sudah "tanpa aku" di forum ini?
Saya rasa TIDAK PERNAH,kecuali mereka sendiri yang "menjudge" saya dengan "aha2nya" mereka... :)

Salam,
Riky

Terimakasih.
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

hudoyo

#254
Quote from: willibordus on 01 August 2008, 01:32:11 PM
Quote from: Suchamda on 01 August 2008, 01:05:34 PM
Coba kalau anda simak diskusi2 ini, secara tidak langsung kita sudah belajar vipassana. Belajar mengamati reaksi batin masing-masing. Ada yang sadar, ada yang tidak.
Tapi lihatlah,.....semua ini bisa berlangsung tanpa teori apa pun.
Justru yang pakai teori-teorian malah jadi kontradiksi sendiri, bukan?? ;D

Ini saya setuju Bro...
Dan ini pula yg saya anggap esensi Abhidhamma dikaitkan dengan Vipassana.

Bila kita belajar Abhidhamma, kita akan mengetahui jenis2 citta yg bermanfaat dan yg tidak.
Mengetahui hal2 tsb akan mengkondisikan kita untuk mengamati batin kita sendiri....
Akhirnya, secara tidak langsung, kita telah menerapkan Vipassana, yakni: mengamati reaksi batin yg muncul ketika menghadapi berbagai objek.

::

Di dalam vipassana yang sesungguhnya tidak perlu mengetahui jenis-jenis citta apa saja yang muncul (berbeda dengan orang yang belajar Abhidhamma), bahkan tidak perlu membedakan apakah citta ini bermanfaat dan citta itu tidak bermanfaat. Di dalam vipassana, orang tidak melekat pada citta yang "baik" dan tidak menolak citta yang "buruk". Semua citta diamati, baik atau buruk, sampai diam dengan sendirinya.

Vipassana bukan "mengkondisikan" batin. "Mengkondisikan" itu tindakan aktif. Di dalam vipassana, orang justru sekadar mengamati secara pasif. Hal itu berarti justru membongkar segala keterkondisian batin yang ada, dinamakan juga 'deconditioning'.

Salam,
hudoyo