Tanya Jawab: Manusia dan Kehendak Bebas

Started by vincentliong, 29 June 2008, 08:44:32 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

K.K.

Edward,

QuoteDoktrin adalah sesuatu yang mutlak, tidak dapat disanggah walaupun tidak dapat ditelusuri kebenarannya..Dalam Buddhism, tidak ada doktrin, karena semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya..

Doktrin atau sistematika ajaran yang khas selalu ada dalam tiap ajaran. Yang tidak ada dalam Buddhisme adalah dogma, sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti.

Edward

ow iya...maap2...Salah pengertian..Thax Bro Kainyn sudah mengoreksi...
"Hanya dengan kesabaran aku dapat menyelamatkan mereka....."

K.K.

Quote from: Edward on 04 July 2008, 10:17:38 AM
ow iya...maap2...Salah pengertian..Thax Bro Kainyn sudah mengoreksi...

Maksudnya "thanx"?  ;D
sama2!
_/\_

Edward

Quote from: Edward on 04 July 2008, 10:17:38 AM
ow iya...maap2...Salah pengertian..Thax Bro Kainyn sudah mengoreksi...
Itu "a"-nya nyangkut, mo-nya tulis thx doank... :))
"Hanya dengan kesabaran aku dapat menyelamatkan mereka....."

williamhalim

 [at]  Vincent,

Supaya anda tidak mabok, maka akan sy berikan sedikit gambaran apa yg Buddha ajarkan mengenai mental.

Menurut Buddhism:
Hidup ini adalah 'tidak memuaskan' karena 'keinginan kita yg terlalu kuat' terhadap segala sesuatu. Padahal sifat alami segala sesuatu di alam ini adalah 'selalu berubah'. Nah Buddhism mengajarkan, untuk keluar dari penderitaan tiap detik ini, yg dapat kita lakukan adalah memanage 'keinginan' kita tsb, krn tidaklah mungkin memanage faktor2 luar yg terlalu kompleks dan yg selalu berubah tsb, hal tsb tidaklah mungkin. Yg mungkin adalah memanage pikiran/keinginan kita agar dapat menyikapi segala kondisi dengan 'apa adanya' (kebijaksanaan).

Untuk bisa begitu, Buddhism mengajarkan juga mengenai 'pikiran' yg akan kita manage ini. Pikiran/batin, sifatnya selalu berubah, timbul dan lenyap dgn sangat cepatnya (milyaran kali perdetik). Pikiran yg timbul n lenyap dgn sangat cepatnya ini kemunculannya dikondisikan oleh input yg masuk melalui ke 6 indra kita. Tidak ada jiwa/roh, yg ada hanyalah batin/pikiran yg timbul n lenyap dgn sangat cepatnya ini. Respon yg kita berikan juga termasuk dlm kelompok batin/pikiran ini. Bila kita selalu memberikan respon yg negatif, maka batin kita akan terpoles menjadi negatif, demikian seterusnya tren batin kita akan cenderung negatif terus. Hasilnya, kita akan menderita terus krn kebiasaan kita sendiri sedikit demi sedikit tsb yg berakumulasi.

Jadi inti Ajaran Buddhism terletak pada 'Respon Batin' yg kita berikan thp segala sesuatu yg terjadi disekitar kita.

Untuk itu tentu pikiran kita harus 'Kuat' (berkonsentrasi). Buddhism memberikan latihan meditasi untuk menguatkan konsentrasi ini. Juga penjagaan kelakuan (sila/moral) agar mempermudah kita mengikis kebiasaan2 jelek kita yg telah terbentuk sejak lama. Untuk meningkatkan pemahaman kita akan sifat alami segala sesuatu di alam ini, Buddhism menganjurkan kita meningkatkan kebijaksanaan kita melalui pembacaan, diskusi, perenungan dan implementasi.

Lebih dari setengah kitab Tipitaka (total 84.000 bab) membahas trik mengenai 'pikiran' ini. Dan selama 2500 tahun ini, alhamdulilah, ke 84.000 bab ini cukup dapat membantu umat Buddhist dalam menghadapi masalah2 kesehariannya   

Nah, Sdr Vincent setelah membaca sekilas mengenai apa itu Buddhism, kini anda tentu mengerti bahwa umat Buddha mempunyai metoda yg sgt lengkap untuk menghadapi kehidupan ini. Bisa anda renungkan sendiri apakah Kompatiologi masih dibutuhkan oleh umat Buddha? 

::
 
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

vincentliong

willibordus wrote:

Hidup ini adalah 'tidak memuaskan' karena 'keinginan kita yg terlalu kuat' terhadap segala sesuatu. Padahal sifat alami segala sesuatu di alam ini adalah 'selalu berubah'. Nah Buddhism mengajarkan, untuk keluar dari penderitaan tiap detik ini, yg dapat kita lakukan adalah memanage 'keinginan' kita tsb, krn tidaklah mungkin memanage faktor2 luar yg terlalu kompleks dan yg selalu berubah tsb, hal tsb tidaklah mungkin. Yg mungkin adalah memanage pikiran/keinginan kita agar dapat menyikapi segala kondisi dengan 'apa adanya' (kebijaksanaan).


Vincent Liong wrote:

"Memanage keinginan" dan "Apa Adanya" adalah dua hal yang bertentangan. Dalam "memanage keinginan" ada usaha untuk dari kondisi tertentu menjadi kondisi tertentu "yang diyakini akan lebih baik". Sesuatu yang memiliki nilai usaha adalah hasil manipulasi oleh diri secara sengaja atas dorongan "yang diyakini akan lebih baik", lalu bagaimana bisa terjadi kondisi yang disebut "Apa Adanya" bila telah ada pengaruh dari pihak lain atau ajaran warisan bahwa ada "yang diyakini akan lebih baik", lebih bijaksana, dlsb?




willibordus wrote:

Untuk bisa begitu, Buddhism mengajarkan juga mengenai 'pikiran' yg akan kita manage ini. Pikiran/batin, sifatnya selalu berubah, timbul dan lenyap dgn sangat cepatnya (milyaran kali perdetik). Pikiran yg timbul n lenyap dgn sangat cepatnya ini kemunculannya dikondisikan oleh input yg masuk melalui ke 6 indra kita. Tidak ada jiwa/roh, yg ada hanyalah batin/pikiran yg timbul n lenyap dgn sangat cepatnya ini. Respon yg kita berikan juga termasuk dlm kelompok batin/pikiran ini. Bila kita selalu memberikan respon yg negatif, maka batin kita akan terpoles menjadi negatif, demikian seterusnya tren batin kita akan cenderung negatif terus. Hasilnya, kita akan menderita terus krn kebiasaan kita sendiri sedikit demi sedikit tsb yg berakumulasi.

Jadi inti Ajaran Buddhism terletak pada 'Respon Batin' yg kita berikan thp segala sesuatu yg terjadi disekitar kita.


Vincent Liong wrote:

Penjelasan di dua paragraph di atas memiliki kesamaan dengan ilmu-ilmu berbasis "motivasi/positif thinking" yang mengabaikan/menyangkal hal-hal yang dianggap negatif atau tidak disukai. Memang kalau bermain di pikiran ada batasan intepretasi negatif dan positif, ini yang menjadi kesulitan. Manusia memiliki kesukaan dan ketidaksukaan, maka biasanya lebih memilih yang disukai saja dengan alasan label pencerahan, konsentrasi, dlsb. Apakah Buddhist seperti yang diceritakan tsb di atas adalah positif thinking? Saya kira kok ngak gitu yach? Apakah saya yang salah atau ada di penjelasan ini yang telah terdistorsi dari non-buddhist?




willibordus wrote:

Untuk itu tentu pikiran kita harus 'Kuat' (berkonsentrasi). Buddhism memberikan latihan meditasi untuk menguatkan konsentrasi ini. Juga penjagaan kelakuan (sila/moral) agar mempermudah kita mengikis kebiasaan2 jelek kita yg telah terbentuk sejak lama. Untuk meningkatkan pemahaman kita akan sifat alami segala sesuatu di alam ini, Buddhism menganjurkan kita meningkatkan kebijaksanaan kita melalui pembacaan, diskusi, perenungan dan implementasi.

Lebih dari setengah kitab Tipitaka (total 84.000 bab) membahas trik mengenai 'pikiran' ini. Dan selama 2500 tahun ini, alhamdulilah, ke 84.000 bab ini cukup dapat membantu umat Buddhist dalam menghadapi masalah2 kesehariannya   

Nah, Sdr Vincent setelah membaca sekilas mengenai apa itu Buddhism, kini anda tentu mengerti bahwa umat Buddha mempunyai metoda yg sgt lengkap untuk menghadapi kehidupan ini. Bisa anda renungkan sendiri apakah Kompatiologi masih dibutuhkan oleh umat Buddha?   


Vincent Liong wrote:

Membicarakan pikiran adalah suatu hal yang sudah sangat terbatas karena sifat pikiran itu sudah penghakiman sepihak (judgement) berupa pendapat, sudutpandang, kepentingan, menguntungkan diri sendiri atau tidak, positif atau negatif untuk saya, dlsb. Permasalahannya selama hidup masih memiliki badan maka menyeleksi mana yang disukai atau tidak disukai, positif atau negatif; dengan pembelaan label-label pencerahan, konsentrasi, dlsb. Manusia melakukan apa yang menguntungkan dirinya. Permasalahannya ajaran mau tidak mau sudah bersifat pikiran karena ada sifatnya yaitu diajarkan. Tentunya yang sang budha alami bukan buah pikiran tetapi pengalaman, yang terpaksa diwariskan dalam bentuk pemikiran-pemikiran karena keterbatasan alat komunikasi manusia itu sendiri.

Kompatiologi (metode dekon-kompatiologi bukan pembahasan-pembahasan saya yang lain) digunakan untuk membawa ke sebelum penghakiman sepihak (judgement). Meskipun dalam pengiklanan mau tidak mau jadi seperti ajaran, tetapi dalam penerapan metode/tekhnik dekon-kompatiologi samasekali tidak ada ajaran yang diberikan, hanya pengalamanan makan dan minum saja. Ketika sesuatu sudah sampai pada pemikiran maka sifatnya menjadi benar salah, disukai dan tidak disukai. Ketika sesuatu baru sampai pada pengalaan indrawi maka sifatnya adalah suatu posisi diri data terhadap jangkauan variasi data sejenis. Ada berbagai jenis data dengan jangkauan variasinya masing-masing. Pada akhirnya data tersebut diproses dengan pikiran juga, tetapi proses berpikirnya dibiarkan apa adanya tidak dipengaruhi oleh ajaran dan manipulasi pengajar atau pengguna sendiri. 

williamhalim

Pertama,
Mengenai 'manage keinginan' dan 'melihat n menerima apa adanya' menurut anda kedua hal ini bertentangan. Padahal tidak, kedua hal ini saling berkaitan erat. Memanage keinginan agar tidak terlalu melekat terhadap hasil berhubungan dengan kemampuan menerima apapun hasil sebagaimana adanya. Memang pada tahapan awal diperlukan usaha yg sangat kuat untuk bisa begini dikarenakan kebiasaan yg telah kita pupuk sejak lama. Seerti yg anda tulis, kita terbiasa mengharapkan yg 'disukai', kita belum terbiasa untuk menerima 'apa adanya'. Kita ambil contoh berdiskusi di forum ini, pada mulanya ketika pendapat kita ditentang, kita tidak menerima dan  membalas dengan gencar akhirnya akan timbul debat panjang yg tidak berkesudahan, selama itu batin kita penuh emosi, kekesalan dan kemarahan. Batin kita bergejolak, batin yg bergejolak ini adalah 'ketidakpuasan'. Supaya tidak 'menderita' begini, kita seharusnya memanage batin agar tidak terlalu mengharapkan hasil (agar pendapat kita harus diterima) dan juga bisa melihat kenyataan apa adanya. Ini tentu tidak mudah, perlu USAHA. Namun bila dilatih terus menerus maka akan menjadi kebiasaan batin/pikiran yg baru.

Sy tambahkan satu lagi sifat pikiran, yakni: pikiran perlu dilatih sedikit demi sedikit, maka akan menjadi kebiasaan.

Kedua,
Anda telah salah menilai tulisan sy. Bisa anda baca ulang, sy tidak pernah sama sekali berpendapat bahwa kita harus positive thinking. 'Melihat dan menerima apa adanya' adalah 'Realistic thinking'. Metoda kompatiologi anda rupanya telah gagal dalam menyikapi tulisan sy. Anda tidak dapat melihat tulisan saya 'sebagaimana adanya'. Anda membaca tulisan sy disertai persepsi2 dan ditempeli label2: Buddhist dan Non Buddhist, Ajaran turun temurun, dsbnya. Sebenarnya kita mendiskusikan METODA, tanpa melihat ini adalah ajaran turun temurun atau si penulis adalah Buddhist / bukan.

Jadi, sy masih melihat Ajaran Buddha mudah dimengerti dan bermanfaat.

::

   
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

vincentliong

Willibordus wrote:

Pertama,
Mengenai 'manage keinginan' dan 'melihat n menerima apa adanya' menurut anda kedua hal ini bertentangan. Padahal tidak, kedua hal ini saling berkaitan erat. Memanage keinginan agar tidak terlalu melekat terhadap hasil berhubungan dengan kemampuan menerima apapun hasil sebagaimana adanya. Memang pada tahapan awal diperlukan usaha yg sangat kuat untuk bisa begini dikarenakan kebiasaan yg telah kita pupuk sejak lama. Seerti yg anda tulis, kita terbiasa mengharapkan yg 'disukai', kita belum terbiasa untuk menerima 'apa adanya'. Kita ambil contoh berdiskusi di forum ini, pada mulanya ketika pendapat kita ditentang, kita tidak menerima dan  membalas dengan gencar akhirnya akan timbul debat panjang yg tidak berkesudahan, selama itu batin kita penuh emosi, kekesalan dan kemarahan. Batin kita bergejolak, batin yg bergejolak ini adalah 'ketidakpuasan'. Supaya tidak 'menderita' begini, kita seharusnya memanage batin agar tidak terlalu mengharapkan hasil (agar pendapat kita harus diterima) dan juga bisa melihat kenyataan apa adanya. Ini tentu tidak mudah, perlu USAHA. Namun bila dilatih terus menerus maka akan menjadi kebiasaan batin/pikiran yg baru.

Sy tambahkan satu lagi sifat pikiran, yakni: pikiran perlu dilatih sedikit demi sedikit, maka akan menjadi kebiasaan.


Vincent Liong answer:

Melatih pikiran dengan sengaja, yang terjadi adalah menggantikan pikiran yang satu dengan pikiran yang lain. Tetap tidak akan mampu mencapai 'melihat n menerima apa adanya' karena yang apa adanya tidak memiliki usaha apapun yang disengaja nama jenis usahanya.


Willibordus wrote:

Kedua,
Anda telah salah menilai tulisan sy. Bisa anda baca ulang, sy tidak pernah sama sekali berpendapat bahwa kita harus positive thinking. 'Melihat dan menerima apa adanya' adalah 'Realistic thinking'. Metoda kompatiologi anda rupanya telah gagal dalam menyikapi tulisan sy. Anda tidak dapat melihat tulisan saya 'sebagaimana adanya'. Anda membaca tulisan sy disertai persepsi2 dan ditempeli label2: Buddhist dan Non Buddhist, Ajaran turun temurun, dsbnya. Sebenarnya kita mendiskusikan METODA, tanpa melihat ini adalah ajaran turun temurun atau si penulis adalah Buddhist / bukan.

Jadi, sy masih melihat Ajaran Buddha mudah dimengerti dan bermanfaat.


Vincent Liong answer:

Tulisan membahas kompatiologi adalah tulisan bukan tekhnik/metode kompatiologi. Tulisan anda yang membahas Buddha adalah tulisan bukan tekhnik/metode yang digunakan di Buddha.

Sebenarnya saya sudah siapkan jawaban untuk pembahasan ini di e-link: http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=3541.0

Subject: Meditation (from From Wikipedia, the free encyclopedia)

Selamat membaca...

Johsun

vincent liong seorng filsuf? setiap kata-kata yang ditlis sangat panjaaaang..
CMIIW.FMIIW.

vincentliong

Quote from: JHONSON on 08 July 2008, 06:50:37 PM
vincent liong seorng filsuf? setiap kata-kata yang ditlis sangat panjaaaang..

Sejak tahun 2003 saya banyak bermain di dunia maillist terutama yahoogroups.com . Di forum orang biasa menulis pendek-pendek seperti balas-berbalas chatting, tetapi di maillist orang biasa menulis panjang dalam bentuk artikel. Sampai hari ini saya lebih terbiasa di maillist daripada di forum, kalau di forum saya hanya nulis kalau ada yang mengundang saja.

vincentliong

Meditation (from From Wikipedia, the free encyclopedia)
e-link: http://en.wikipedia.org/wiki/Meditation
" Meditation is discipline in which one attempts to get beyond the conditioned, "thinking" mind into a deeper state of relaxation or awareness. ..."

1a. "beyond - thinking" adalah/jelaskan:
1b. "conditioned thinking" adalah/jelaskan:
2. "deeper state of relaxation or awareness" adalah/jelaskan:




1a. "beyond - thinking"

input indrawi -> naluri/insting -> output spontan.
input indrawi -> thinking -> output tidak spontan.
input berupa pemikiran -> thinking -> output tidak spontan.
Bilamana suatu data telah bersifat thinking maka pengalaman indrawi akan. kalah/tertutupi oleh kegiatan berpikir (thinking) sehingga bersifat tidak spontan.
Kondisi beyond thinking hanya bisa terjadi bila samasekali belum berpikir (thinking).

Problemnya: penjelasan berupa ajaran lisan/tertulis diproses menggunakan kegiatan berpikir (thinking). Jadi bagaimana mengakali agar suatu kegiatan yang sudah memiliki ajaran (thinking) menjadi before/beyond thingking?

Ketika orang bertemu maka mengucapkan salam: "Apakabar?" dan jawaban yang standart "baik". "How are you ?" dijawab "I'am fine thank you.". Mengapa hal ini dilakukan? Jawab: untuk mencairkan suasana, untuk menghilangkan praduga/asumsi. Sama seperti apa rasa minuman ini? Jawab: Manis.   

Jadi selama sebuah kegiatan meditasi mampu mencaikan suasana, mencairkan praduga, asumsi/penghakiman, dlsb maka memenuhi definisi meditasi menurut point "1a" tsb di atas.


1b. "conditioned thinking"

"conditioned thinking" adalah pikiran yang dikondisikan oleh pihak lain; ajaran lisan/tertulis adalah contoh "conditioned thinking".

Jadi bagaimana "mengajarkan suatu ajaran" (conditioned thinking) yang tidak "conditioned thinking"?
* Saat memperkenalkan suatu jenis produk meditasi, mau tidak mau ada ajaran yang diceritakan untuk menjelaskan apa sich produk meditasi tsb, apa gunanya, dlsb; jadi sangat mustahil mengajarkan meditasi tanpa melanggar point "beyond conditioned thinking" ini meskipun pada akhir sesi meditasi dan setelah mengalami meditasi maka hal ini harus terpenuhi sebagai hasil akhir.
* Jadi ada dua cara yang bertolakbelakang satu sama lain dalam mengajarkan suatu metode/tekhnik meditasi; pertama-tama melanggar point "beyond conditioned thinking" terlebih dahulu, sampai orangnya berminat dan memutuskan untuk mencoba, lalu setelah itu "conditioned thinking" harus dibunuh dengan metode/tekhnik yang melunturkan "conditioned thinking" tersebut kembali menjadi "beyond conditioned thinking".
* Bagaimana keterampilan seorang guru harus mampu menentukan kapan dia menjadi guru yang bersikap "conditioned thinking" dan kapan harus mampu menghancurkan/melunturkan "conditioned thinking" tersebut.

Seperti orang membuat batik tulis, setelah digambar dengan lilin, lalu dicelup ke dalam pewarna lalu lilinnya disingkirkan, fungsi lilin adalah agar pewarna mewarnai daerah yang diinginkan saja dan tidak mewarnai daerah yang tertutup lilin. Berbagai tindakan yang berlawanan dilakukan demi mencapai hasil yang diharapkan.


2. "deeper state of relaxation or awareness"

"deeper state of relaxation or awareness" adalah bahasa keren/indah untuk menjelaskan kondisi "beyond conditioned thinking" meskipun penjelasan yang digunakan oleh pengajar pada saat menerangkan produk meditasi kepada calon pengguna sudah bersifat "conditioned thinking" yang harus dilunturkan pada tahap praktikum metode/tekhnik meditasi.
* Apa sich arti orang sedang di kondisi "deeper state of relaxation"?
Jawab: belum/tidak sedang berpikir.
* Apa sich arti seseorang sedang di kondisi "aware"?
Jawab: Mengalami data secara utuh/lengkap, kondisi ini hanya bisa didapatkan saat seseorang belum berpikir yaitu saat seseorang mengalami pengalaan indrawi yang tidak terbatasi oleh kata-kata.   


Prasyarat-prasyarat tersebut di atas adalah prasyarat suatu kegiatan/tekhnik/metode/ritual yang dinamakan "meditasi" memiliki standart yang memenuhi criteria untuk pantas disebut "meditasi". Bila hal-hal tsb di atas tidak terpenuhi maka meski namanya "meditasi", menggunakan berbagai atribut budaya yang berkesan pencerahan spiritual, sebenarnya hal tsb tidak pantas disebut "meditasi". Jadi keberhasilan "meditasi" sangat ditentukan oleh keterampilan guru dan efektifitas metode untuk menciptakan kondisi "meditasi".

Ada komentar?

Johsun

jadi bro, kesimpulannya, anda mendukung meditasi atau tidak?
anda memiliki pengalaman dalam bermeditasi gak?
kamu tertarik ajaran sang Buddha gak??

bro, diliat dari tulisan lu, mungkin bisa jadi penulis untuk membuat
novel, artikel atau sebuah buku.
CMIIW.FMIIW.

vincentliong

Quote from: Kainyn_Kutho on 04 July 2008, 10:04:45 AM
Edward,

QuoteDoktrin adalah sesuatu yang mutlak, tidak dapat disanggah walaupun tidak dapat ditelusuri kebenarannya..Dalam Buddhism, tidak ada doktrin, karena semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya..

Doktrin atau sistematika ajaran yang khas selalu ada dalam tiap ajaran. Yang tidak ada dalam Buddhisme adalah dogma, sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti.

Bilamana dalam Buddhisme tidak ada "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" maka tentunya harus ada sikap skeptisme/tanpa prasangka baik maupun buruk dalam Buddhisme sendiri untuk mempertanyakan apa yang ada di dalam Buddhisme itu sendiri.

Diakui atau tidak yang namanya manusia itu tetap memiliki "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" , hal ini sudah ada pada mekanisme mental manusia itu sendiri. Kalau tidak maka tidak ada pembelaan terhadap sesuatu yang masing-masing dari kita "yakini" benar (yakin: mempercayai sesuatu yang tidak kelihatan dan tidak memerlukan bukti).

Mengatakan bahwa dalam Buddhism tidak memiliki dogma "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" adalah sombong sekali... Karena mengatakan bahwa "semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya" adalah juga asumsi yang di-"yakin"-i tanpa keharusan untuk bersifat skeptis/tanpa prasangka baik maupun buruk untuk membuktikannya.

Pada akhirnya perjalanan setiap umat Buddhis bisa bersifat "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti", bisa pula "semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya" adalah tergantung diri masing-masing.

vincentliong

Quote from: JHONSON on 08 July 2008, 07:55:46 PM
jadi bro, kesimpulannya, anda mendukung meditasi atau tidak?
anda memiliki pengalaman dalam bermeditasi gak?
kamu tertarik ajaran sang Buddha gak??

bro, diliat dari tulisan lu, mungkin bisa jadi penulis untuk membuat
novel, artikel atau sebuah buku.


Masalahnya ketika menggunakan kata "meditasi" maka ada suatu paksaan tidak tertulis bahwa terikat pada salahsatu metode meditasi yang ada diantara banyak metode meditasi yang ada. Kalau di forum ini maka terikat ke kata "meditasi" yang terikat dengan metode meditasi umat Buddhist.

Siapa saja bisa mengatakan memiliki pengalaman dalam bermeditasi, permasalahannya; meditasi metode/tekhnik/aliran-nya siapa yang dimaksut dalam penggunakan kata "meditasi" tersebut.

"setiap manusia mempunyai benih keBuddhaan". Saya membahas hal-hal seperti meditasi, keBuddhaan, dlsb sebagai variasi pilihan metode/tekhnik di forum ini tidak mengikatkan diri dengan aliran tertentu karena "benih keBuddhaan" maupun meditasi bukan barang milik siapa-siapa.

Meditasi pada akhirnya adalah suatu kondisi. Cara mencapai kondisi tersebut bisa dipilih oleh masing-masing orang, yang penting tujuannya sampai pada kondisi tersebut, caranya bisa macam-macam tidak ada yang salah atau benar.

Apakah pilihan cara sudah dibatasi dalam diskusi ini? Atau hanya boleh menggunakan satu cara yang dianggap paling benar dan cara yang lain salah?

Sumedho

duh ribetnya, kenapa tidak bilang "meditasi tanpa metoda" ataupun "meditasi metoda A" saja?
There is no place like 127.0.0.1