Tanya Jawab: Manusia dan Kehendak Bebas

Started by vincentliong, 29 June 2008, 08:44:32 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Umat Awam

Quote from: nyanadhana on 30 June 2008, 09:30:35 AM
masih laku sih kipas angin di rumah be AC, soalnya hemat listrik, yang ga mudeng itu jualan Es krim di musim salju.

:))

K.K.

vincentliong,

Quote from: vincentliong on 29 June 2008, 09:03:24 PM
Kepada Yth: sdr Kainyn_Kutho dan teman-teman di Forum DhammaCitta.

Dari tanya jawab dengan sdr Kainyn_Kutho tsb di atas dan beberapa hari mengikuti Forum DhammaCitta ada beberapa hal yang saya kira perlu saya sampaikan. Pertama-tama mohon maaf kalau saya sebagai non-Budhist mencoba berbicara mengenai hal ini karena ada kemungkinan ada yang akan tersinggung, saya coba menjelaskan sebisa saya...

Saya meyakini (tidak tahu benar atau salah) bahwa dalam tiap kedatangan Nabi, Orang Suci, Titisan Dewa, atau mungkin juga Budha (mohon maaf saya menyebut Budha) adalah bagaimana menjadikan pengalaman yang sifatnya pengalaman orang pertama menjadi pengalaman warisan (orang ke- 2, 3, 4, dlsb...).

Keterbatasan karena menggunakan bahasa verbal dan keterbatasan kemampuan untuki membuat orang mengalami sendiri sebagai pengalaman orang pertama dari apa yang dialami oleh para Nabi, Orang Suci, Titisan Dewa, atau mungkin juga Budha (mohon maaf saya menyebut Budha) membuat ini menjadi kesulitan paling utama.   

Metode mungkin bisa satu-satunya jalan yang mendekati, tetapi penggunaan kata-kata pada akhirnya juga menjadi batasan yang sekali lagi membuat metode gagal karena adanya asumsi. Pada pengembangan kompatiologi saya akhirnya setelah berpusing-pusing mencoba segala macam cara akhirnya menggunakan minuman, sebab pengalaman input indrawi lebih sulit dimanipulasi oleh sugesti dari pikiran dibanding pengalaman yang sifatnya sudah pikiran. Ada metode yang lain juga seperti misalnya meditasi, dlsb yang juga digunakan di orang Budhist dan aliran-aliran lainnya.

Semoga saudara-saudara dapat paham ucapan saya tsb di atas yang sudah saya bahas dalam pernyataan-pernyataan saya sebelumnya. Silahkan dibalas email ini bila perlu... semoga saudara-saudara tidak tersinggung...

Saya juga bukan Buddhist kok. Terlebih lagi, kalau mau membahas, memang harus secara objektif terlepas siapa kita dan yang diajak bicara. Jadi kalau dengan saya, jangan sungkan2  :)

Mengenai pengalaman indrawi ini, justru karena memang tidak terpengaruh sugesti memang sifatnya kurang relatif. Tetapi jika konteksnya adalah 'blue print' dari si pencipta ini, maka tetap saja masih jauh sangat relatif dan objektif. Contohnya satu gelas air dan gula dalam komposisi yang persis sama. A minum dan mungkin mengatakan 'cukup manis', sedangkan B minum dan mengatakan 'kemanisan'. Nah, jadi 'blue print'-nya bagaimana? Lalu apakah relatifitas itu sengaja diciptakan untuk saling berbagi pengalaman yang berbeda?



Quote"Di masa kini Ia yang Mengaku Nabi Asli itu telah merampas Hak manusia-manusia yang dijadikan pengikutnya, untuk bernubuat bagi diri sendiri; Setiap manusia berhak menjadi Nabi Palsu bagi Dirinya Sendiri, tidak untuk meninggikan diri dengan bernubuat bagi orang lain."
Kalau ini, saya mengerti dan setengah setuju.
Setuju karena memang manusia boleh saja berpegangan pada kebijaksanaan dirinya sendiri.
Tidak setuju karena orang mau ngaku nabi asli juga haknya. Dia tidak merampas hak2 siapapun sampai orang2 yang menjadi pengikutnya dengan dasar iman buta, menyerahkan hak2nya dan membelenggu dirinya pada orang lain yang dianggap nabi itu.

ryu

Apa terlalu pintar menyampaikannya sehingga saya yang bodoh ini kaga ngari juga :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

nyanadhana

saya udah baca soal buku kamu dibawah Payung....

do u feel like always insecure?

do u feel like nobody will be beside you?

do u feel lonley because u dont have any friend then ou start to find something to do?

do u feel unable to communicate and nobody trust you?

It;s because you...you....you....yang merasa diri kamu weird,freak,aneh,dijauhin semua orang sehingga menulis buku layaknya pesakitan.
Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one's own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

Edward

 [at]  Vincent...
Terasa "it's all about ME". ME , ME , ME & ME....Problem klasik mengenai si 'aku'...
Kamu tidak indigo, kamu sama seperti semua orang lain yang berusaha mencari 'jati diri' dalam ke'aku'an...Hanya saja cara kamu yang berbeda, dengan pemikiran konsep yang berbeda..

Coba lepaskan semua konsep, lepaskan si pemikir ini, lepaskan si dualisme ini...Maka kamu akan BEBAS sepenuhnya....
"Hanya dengan kesabaran aku dapat menyelamatkan mereka....."

nyanadhana

saya ga perlu berkata apa-apa juga semua orang bisa membacanya

Thanks bro Edward lebih mempertegas lagi pernyataannya.

Di setiap titik selalu keluar "AKU" , tampaknya kita memahami bahwa kamu memang ingin dikenal oleh banyak orang tapi kamu tidak tahu titik komunikasi pembukannya seperti apa. sehingga itu membedakan diri kamu dari sedemikian banyaknya anak2 di luaran sana yang begitu ceria memandang hidupnya, naik sepeda rame-rame ama temen, main basket bareng temen-temen, i think you lost it seperti cerita dalam filem seorang anak dikurung dalam sebuah istana dengan pintu dan jendela tertutup.

Indigo dalam Buddhisme itu hanyalah sejentik pengetahuan yang bisa dimiliki. Indigo bukanlah barang special, bisa baca pikiran, saya yakin banyak orang yang bisa menembus power seperti itu. dan saya lihat kamu juga tidak nyaman akan kata indigo itu sendiri.

Well, permasalahan nya terletak pada kamu...kamu....kamu.....kapan akan melepas?

Sadhana is nothing but where a disciplined one, the love, talks to one's own soul. It is nothing but where one cleans his own mind.

vincentliong

#21
Kainyn_Kutho wrote:

Saya juga bukan Buddhist kok. Terlebih lagi, kalau mau membahas, memang harus secara objektif terlepas siapa kita dan yang diajak bicara. Jadi kalau dengan saya, jangan sungkan2  Smiley

Mengenai pengalaman indrawi ini, justru karena memang tidak terpengaruh sugesti memang sifatnya kurang relatif. Tetapi jika konteksnya adalah 'blue print' dari si pencipta ini, maka tetap saja masih jauh sangat relatif dan objektif. Contohnya satu gelas air dan gula dalam komposisi yang persis sama. A minum dan mungkin mengatakan 'cukup manis', sedangkan B minum dan mengatakan 'kemanisan'. Nah, jadi 'blue print'-nya bagaimana? Lalu apakah relatifitas itu sengaja diciptakan untuk saling berbagi pengalaman yang berbeda?


Vincent Liong answer:

Kalau dibatasi dengan kata gula itu manis, tentunya sudah terbatas pada manis atau tidak manis. Ketika "saya/aku"(bisa diri saya atau diri saya miliknya masing2 bisa siapa saja) meminum (mengalami) "saya/aku" entah berwujud fisik air, pengalaman, kondisi ruangan, pribadi orang lain, kondisi cuaca, dlsb.

Maka yang terjadi pertama-tama yang dia alami adalah "saya/aku"(bisa diri saya atau diri saya miliknya masing2 bisa siapa saja). Lalu keluar dari "saya/aku" yang hanya terdiri dari satu karakter yaitu "saya/aku" maka bertemu dengan berbagai "saya/aku" yang berbeda.

Dari tanpa pembanding lalu muncul variasi. Variasi terdiri dari kumpulan berbagai "saya/aku" yang berbeda dalam titik kordinatnya masing-masing.

Lalu apa blue print nya: Bahwa dalam speedometer sebuah mobil misalnya telah terbentuk range dari nol kilometer per jam sampai sekian kilometer per jam. Alat ukur pengukur isi tangki bensin (kosong-penuh) atau pengukur tekanan oli atau pengukur putaran mesin (x1000RPM), dlsb. Kesamaanya jarum pengukur bisa bergerak dari minimum sampai maksimum.

Tiap kondisi "saya/aku" saat ini entah "saya/aku"-nya dalam varian berwujud fisik air dengan komposisi tertentu, pengalaman tertentu, kondisi ruangan tertentu, pribadi orang lain tertentu, kondisi cuaca tertentu, konsep tertentu, dlsb ternyata memiliki asosiasi dalam jarum penunjuk alat ukur.

Misal: saya meminta seseorang meminum 10 jenis minuman berbeda secara bergantian, tiap sample pencicipan cukup 20ml. Tiap 1 macam sample diminum lalu diberi pertanyaan:
* Apakah rasa minuman tsb ? >> Kalau ini sifatnya sudah judgement sebab rasa itu suatu kesepakatan. Akan tetap ada kemiripan antara jawaban orang yang satu dengan yang lain.
* Apakah perasaan yang dialami ketika meminum minuman tsb? >> Kalau ini sifatnya semi judgement sebab sudah ada teori tentang perasaan yang secara sengaja atau tidak sengaja kita pelajari. Akan tetap ada kemiripan antara jawaban orang yang satu dengan yang lain.

Tetapi kalau pertanyaannya:
* Dari range kepala sampai kaki (minimum - maksimum) ceritakan apa pengalaman fisikal yang terjadi, jelaskan dengan bahasa sendiri untuk menggambarkan sensasi fisikal yang terjadi di tubuh dengan batasan dari kepala sampai kaki? >> Maka tiap orang akan menceritakan berbeda-beda, tetapi konsisten terhadap diri mereka masing-masing. Ada alat ukur alami yang individual "saya/aku" yang konsisten pola kegiatan pengukurannya hanya terhadap "saya/aku".

Biasanya ketika percobaan-percobaan ini dilakukan maka simbol-simbol yang mewakili berbagai   "saya/aku" yang di luar diri kita memiliki pola kegiatan pengukurannya yang konsisten terhadap misalnya asosiasi dari kepala sampai kaki pada badan fisikal kita.

Untuk mendapatkan "saya/aku" yang lain harus dimulai dari "saya/aku" milik diri sendiri baru keluar dari ruang kenyamanan kita bertemu dengan banyak variasi "saya/aku" yang lain yang sejenis (dibandingkan dalam variasi yang sama).


NOTE: "saya/aku" / Ego yang dimaksut dalam tulisan ini memiliki pengertian yang sama dengan kata Ego yang digunakan oleh Sigmund Freud. Ego bukanlah "Egois" (keakuan).

K.K.

QuoteVincent Liong answer:

Kalau dibatasi dengan kata gula itu manis, tentunya sudah terbatas pada manis atau tidak manis. Ketika "saya/aku"(bisa diri saya atau diri saya miliknya masing2 bisa siapa saja) meminum (mengalami) "saya/aku" entah berwujud fisik air, pengalaman, kondisi ruangan, pribadi orang lain, kondisi cuaca, dlsb.

Maka yang terjadi pertama-tama yang dia alami adalah "saya/aku"(bisa diri saya atau diri saya miliknya masing2 bisa siapa saja). Lalu keluar dari "saya/aku" yang hanya terdiri dari satu karakter yaitu "saya/aku" maka bertemu dengan berbagai "saya/aku" yang berbeda.

Dari tanpa pembanding lalu muncul variasi. Variasi terdiri dari kumpulan berbagai "saya/aku" yang berbeda dalam titik kordinatnya masing-masing.

Lalu apa blue print nya: bahwa dalam speedometer sebuah mobil (yang sifatnya dua dimensi) misalnya telah terbentuk range dari nol kilometer per jam sampai sekian kilometer per jam. Jika kita menyambungkan alat ukur speedometer ke pengukur isi tangki bensin (kosong-penuh) atau ke pengukur tekanan oli atau ke pengukur putaran mesin (x1000RPM), dlsb.

Tiap kondisi "saya/aku" saat ini entah "saya/aku"-nya dalam varian berwujud fisik air dengan komposisi tertentu, pengalaman tertentu, kondisi ruangan tertentu, pribadi orang lain tertentu, kondisi cuaca tertentu, konsep tertentu, dlsb ternyata memiliki asosiasi dalam jarum penunjuk alat ukur yang standart.

Misal: saya meminta seseorang meminum 10 jenis minuman berbeda secara bergantian, tiap sample pencicipan cukup 20ml. Tiap 1 macam sample diminum lalu diberi pertanyaan:
* Apakah rasa minuman tsb ? >> Kalau ini sifatnya sudah judgement sebab rasa itu suatu kesepakatan. Akan tetap ada kemiripan antara jawaban orang yang satu dengan yang lain.
* Apakah perasaan yang dialami ketika meminum minuman tsb? >> Kalau ini sifatnya semi judgement sebab sudah ada teori tentang perasaan yang secara sengaja atau tidak sengaja kita pelajari. Akan tetap ada kemiripan antara jawaban orang yang satu dengan yang lain.

Tetapi kalau pertanyaannya:
* Dari range kepala sampai kaki (minimum - maksimum) ceritakan apa pengalaman fisikal yang terjadi, jelaskan dengan bahasa sendiri untuk menggambarkan sensasi fisikal yang terjadi di tubuh dengan batasan dari kepala sampai kaki? >> Maka tiap orang akan menceritakan berbeda-beda, tetapi konsisten terhadap diri mereka masing-masing. Ada alat ukur alami yang individual "saya/aku" yang konsisten pola kegiatan pengukurannya hanya terhadap "saya/aku".

Biasanya ketika percobaan-percobaan ini dilakukan maka simbol-simbol yang mewakili berbagai   "saya/aku" yang di luar diri kita memiliki pola kegiatan pengukurannya yang konsisten terhadap misalnya asosiasi dari kepala sampai kaki pada badan fisikal kita.

Untuk mendapatkan "saya/aku" yang lain harus dimulai dari "saya/aku" milik diri sendiri baru keluar dari ruang kenyamanan kita bertemu dengan banyak variasi "saya/aku" yang lain yang sejenis (dibandingkan dalam variasi yang sama).

Ya, saya setuju tentang varian dan pengalaman yang berbeda dilihat dari "saya/aku" yang juga berbeda dari waktu ke waktu, baik disengaja maupun tidak. Jadi maksudnya dengan belajar dari pengalaman yang berbeda itu, akhirnya bisa ditemukan "saya/aku" yang sejati?


vincentliong

Pengalaman Sebagai Pendekon-Kompatiologi...


PENDAHULUAN

Pendekon (Pen-Dekonstruksi) adalah sebutan bagi pengajar ilmu Kompatiologi. Ada dua macam tipe pendekon kompatiologi:
* Pendekon-Tandem yang sekedar sebagai asisten membantu pendekon independent dalam melakukan tugasnya menjual jasa dekon-kompatiologi kepada 'terdekon' (murid atau peserta dekon-kompatiologi) tanpa mendapatkan imbalan dan penggantian biaya akomodasi (transport dan uang makan).
* Pendekon-Independent yang menjual jasa dekon-kompatiologi dan bertanggungjawab pada program tersebut.

Fenomena yang menarik pada akhir-akhir ini adalah pertambahan jumlah pendekon-tandem yang amat pesat, dengan jumlah pendekon independent yang hampir tidak berubah dalam beberapa bulan terakhir, dan jumlah terdekon yang menurun karena adanya banyak gangguan; dari konflik dan konspirasi untuk menggulingkan kompatiologi. Kadang-kadang untuk mendekon seorang terdekon saja bisa datang antara lima sampai sepuluh sukarelawan pendekon-tandem yang bekerja tanpa mendapat upah atau penggantian biaya akomodasi, malah ada yang secara khusus menelepon pendekon independentnya untuk bertanya;"Kapan ada dekon lagi? Sudah rindu jadi pendekon-tandem."

Bayangkanlah... Seorang pendekon tandem rela naik taxi dari rumahnya ke mall tempat dilakukan dekon-kompatiologi, rela membayar biaya makannya sendiri dalam tiap acara dekon tersebut, tidak kenal pula siapa terdekon yang datang pada hari tersebut; ini semua dilakukan dengan inisiatif sendiri tanpa meminta uang pengganti pengeluaran-pengeluaran tersebut, beberapa yang bekerja sebagai karyawan mengambil cuti atau men-cancel segala kegiatannya hanya untuk datang ke acara dekon. Mulai dari yang tinggal di Jakarta, sampai yang tinggal dan bekerja di Bandung ;secara rutin pergi-pulang ke Jakarta sekedar untuk menjadi pendekon-tandem dengan biaya sendiri. Malah ada yang cukup ekstrim sampai secara rutin setiap minggu (selama beberapa minggu berturut-turut) menginap tiga hari di rumah Vincent Liong untuk menjadi pendekon dan menemani Vincent Liong jalan-jalan.

Tidak sedikit yang kalau ditanya, telah menjadi pendekon tandem sebanyak sepuluh sampai duapuluh kali dan tidak memulai menjadi pendekon independent yang dapat mencari nafkah dari kegiatan dekon kompatiologi yang biasanya dihargai antara Rp.300.000,- sampai Rp.500.000,- per peserta tanpa harus menyetor uang franchise ke pendiri kompatiologi Vincent Liong. Meski Vincent Liong menawarkan secara gratis solusi yang lebih murah bahkan bisa menghasilkan nafkah tambahan dengan menjadi pendekon, kok malah ngotot mau jadi pendekon-tandem saja.

Apa sich yang terjadi dengan mereka sehingga mereka tergila-gila untuk menjadi pendekon-tandem (asisten dari pendekon independent yang tidak mendapatkan gaji yang biaya pengganti akomodasi) ?


PERJALANAN  KERJA  PENDEKON  TANDEM

Pendekon-Tandem memulai perjalanannya dengan datang tepat waktu di foodcourt di sebuah mall, dimana pendekon-independent dan kliennya telah menunggu. Baik pendekon independent dan pendekon tandem diwajibkan untuk datang tepat waktu.

Setelah semua 'peserta' telah datang (terdekon, pendekon-independent dan pendekon-tandem), biasanya pendekon-independent dan pendekon-tandem pergi ke supermarket untuk berbelanja minuman yang dibutuhkan untuk acara dekon hari tersebut, termasuk membeli gelas kosong plastik untuk satu kali pakai dan sedotan. Sesampainya di lorong bagian minuman di supermarket terdekat, pendekon-ndependent selaku penanggungjawab memberikan instruksi singkat sbb:
"Pilih minuman yang dibutuhkan sesuai dengan karakteristik individu terdekon. Hindari minuman yang: bersoda, beralkohol, berkafein tinggi (kecuali kopi) dan susu. Cara memilihnya, lihat minuman yang ada di rak minuman, pilih dan ambil yang menurut feeling anda diperlukan, jangan dilogikalan atau diteorikan. Pilih sejumlah yang menurut feeling anda mencukupi untuk digunakan sebagai sirkuit untuk mendekon si terdekon, biasanya antara 10 sampai 20 macam minuman. Saat memilih bila menurut anda kurang lengkap jumlah karakteristik miniman (jenis minuman) maka anda bisa tambah, tetapi bila cukup maka jangan ditambah lagi. Selamat memilih bahan minuman untuk membuat sirkuit yang digunakan dalam dekon."


Biasanya pendekon-independent lalu meninggalkan para pendekon-tandem tersebut dengan berjalan ke rak lain di supermarket tersebut, agar secara leluasa bisa memilih bahan-bahan yang dibutuhkan tanpa perasaan minder terhadap pendekon-independent. Setelah selesai maka pendekon-independent melihat minuman-minuman yang dipilih dan meminta pendekon-tandem mengganti dengan minuman yang lain bila dianggap beresiko terhadap kesehatan tubuh fisik peserta dekon. Pendekon-independent juga menentukan berapa jumlah botol minuman untuk setiap jenis minuman yang dipilih berdasarkan perkiraan berapa jumlah 'peserta' (terdekon, pendekon-independent dan pendekon-tandem) yang ikut di hari tersebut. 

Yang menarik dalam tahap ini adalah ada suatu hukum keseimbangan (yin-yang) yang cukup bersifat pasti yang berlaku dalam hukum keseimbangan pada pemilihan dan penyusunan sirkuit berbagai jenis minuman dalam sebuah acara dekon-kompatiologi. Contoh: Ketika 'tadi siang' (Selasa, 11 September 2007) saya memimpin sebuah acara dekon, saya sempat menegur Mr.R salahsatu pendekon-tandem yang terlibat memilih jenis minuman yang akan digunakan dengan mengatakan;"Mengapa jenis minuman X yang digunakan adalah yang rasa orange, bukanlah lebih tepat menggunakan yang rasa lemon" Dalam dekon memang tidak ada ilmu pasti yang menjelaskan jenis minuman apa yang harus dipilih sebab tiap manusia mempunyai ilmu yang lebih canggih dan tepat yaitu felling yang ada hukum keseimbangannya yang bersifat pasti. Lalu Mr.R menjawab; "Awalnya saya memilih yang berwarna kuning (lemon) tetapi karena sudah banyak botol yang berwarna kuning jadi logika saya akhirnya memilih yang orange." Lalu saya menjawab;"Saya tidak mengatakan bahwa semua rasa harus lengkap; pilih yang perlu saja, kadang-kadang tidak selalu lengkap dan seimbang jumlah minuman yang dominant manis, asam, asin dan pahit. Ini tergantung karakteristik terdekon hari ini yang anda baca dengan feeling anda." Lalu Mr.R kembali mengganti botol minuman X yang rasa orange ke yang rasa lemon yang adalah sesuai feeling-nya. Hal ini bukan terbaca karena saya sakti.

Kegiatan berlanjut ke proses penyusunan sirkuit botol ketika sekembalinya ke meja makan di foodcourt, saat dimulainya dekon-kompatiologi dengan minuman botol; saya menyuruh para pendekon-tandem untuk bekerjasama menyusun sirkuit posisi botol di atas sebuah baki berbentuk persegi panjang. Yang menarik adalah selalu ada kesepakatan diam-diam yang abstrak, sulit dijelaskan; bila salahsatu pendekon-tandem menyusun sirkuit tidak sesuai dengan pola terdekon yang terbaca oleh feelingnya, maka pendekon-tandem yang lain akan merasa ada yang salah dan berkomentar, lalu membuat suatu koreksi sambil didiskusikan alasannya dengan pendekon-tandem dengan tercampuraduk antara logika formal dan felling tersebut.

Kesepakatan diam-diam itu bersifat absolut seperti kalau ada sekumpulan orang meminum segelas kopi dari gelas yang sama, pada kenyataannya rasa kopi yang dialami oleh tiap orang adalah sama tetapi cara menceritakan rasa tersebut selalu bersifat individual. Maka dari itu permasalahan dari proses penulisan teori (pencatatan atas pengalaman) adalah: Pembaca tidak mampu mengalami rasa yang sama dengan pengalaman tersebut; Karena yang bisa ditulis adalah sudutpandang akan rasa yang bersifat individual, yang ketika dibaca ulang akan menghasilkan perkiraan akan rasa yang hasilnya berbeda dari rasa yang dialami si pelaku.


Dekon-kompatiologi dengan menggunakan minuman botol, lalu berjalan seperti prosedur biasa dengan urutan:

1* Memetakan (Pengelompokan/klasifikasi jenis dan rasa minuman / menyusun sirkuit di atas baki dengan memposisikan botol-botol dalam barisan dua dimensi (panjang dan lebar), dilakukan oleh Pendekon- tandem atau independent.)

2* Mengenal (diikuti oleh pendekon maupun terdekon)
2.1* Merasakan masing-masing minuman dengan urutan tertentu.
2.2* Mendeskripsikan karakterisitk data (rasa pada sample pertama sampai ketiga dan mendeskripsikan efek ke tubuh setelah sample ketiga) yang timbul setelah minum, setiap selesai meminum sample masing-masing minuman. Harus dideskripsikan dengan sudutpandang versi masing-masing bukan disamaratakan.
> Ini dilakukan satu putaran saja.   

Pada tahap ini, umum terjadi perasaan pusing dan agak mabuk pada perserta dekon-kompatiologi terutama pada terdekon. Pusing tersebut hampir sama dengan kondisi ketika seseorang sedang mabuk minuman beralkohol, perbedaannya; Kalau seseorang meminum minuman alkohol maka perasaan pusing dan mabuk terjadi akibat penurunan kemampuan otak untuk memproses data yang jumlah data-nya sama seperti pada kondisi normal. Kalau di dekon-kompatiologi perasaan pusing dan mabuk terjadi akibat pertambahan jumlah data yang diterima dalam waktu yang sama (jumlah data tidak seperti kondisi normal) sedangkan kemampuan otak untuk memproses data pada kondisi normal. Jadi kemiripan perasaan pusing dan agak mabuk seperti yang terjadi pada saat seseorang sedang mabuk minuman beralkohol terjadi karena kemampuan otak untuk memproses data tidak sebanding dengan jumlah data yang diterima.

3* Menerima (diikuti oleh pendekon maupun terdekon)
3.1* Melakukan kombinasi beberapa minuman dengan komposisi bebas.
3.2* Memprediksi karakterstik (efek ke tubuh dan efek ke perasaan yang dapat timbul setelah campuran tersebut di minum), prediksi dilakukan sebelum merasakan minuman hasil campuran tersebut.
3.3* Setelah minum hasil campuran dan merasakannya maka mendeskripsikan efek ke tubuh dan efek ke perasaan yang timbul. Harus dideskripsikan dengan sudutpandang versi masing-masing bukan disamaratakan.
3.4* Membandingkan hasil prediksi sebelum dengan fakta sesudah minum.
> Ini dilakukan dua putaran.   

Pada pertengahan tahap ini, mayoritas peserta (terdekon dan pendekon) biasanya masuk pada kondisi agak fokus. Manusia, minuman, juga benda mati di sekitarnya terasa seperti individu-invidiu yang memberikan informasinya masing-masing secara agak fokus. Efek lain yang biasa terjadi pada tahap ini adalah hilangnya superego pada para peserta dekon-kompatiologi sehingga pembicaraan dan tingkah-laku yang muncul sangat jelas menunjukkan sifat asli masing-masing individu tanpa ditutup-tutupi, tidak dibuat-buat, tidak munafik, tidak gengsi dan jaga image; berprilaku apa adanya dan bersedia berkomunikasi satu sama lain tanpa ada jarak. 

4* Menciptakan (diikuti oleh pendekon maupun terdekon)
4.1* Membuat perencanaan efek ke tubuh atau efek ke perasaan apa yang diharapkan muncul tanpa diketahui oleh peserta lain, ditulis di handphone masing-masing.
4.2* Membuat campuran minuman dengan bebas disesuaikan dengan harapan tersebut tanpa melihat ingredients masing-masing minuman.
4.3* Campuran minuman dibagikan dan di minum oleh masing-masing peserta.
4.4* Membuat deskripsi efek ke tubuh atau efek ke perasaan yang dirasakan. Harus dideskripsikan dengan sudutpandang versi masing-masing bukan disamaratakan.
4.5* Membuat perbandingan antara harapan dan fakta.
4.6* Membuat kesimpulan.
> Ini dilakukan satu putaran saja.   


Hukum keseimbangan (yin-yang) yang cukup bersifat pasti ini tidak hanya sampai pada tahap pemilihan jenis minuman dan penyusunan sirkuit minuman tersebut. Biasanya sejak awal dekon-kompatiologi pendekon-tandem sudah mulai bisa mendiskusikan perkiraan grafik pola pergerakan mental terdekon selama proses dekon-kompatiologi tersebut secara cukup tepat. Sebagai ilmu yang teknis-mekanistik dan bukan sekedar mengkultuskan atau manut pada guru yang ditinggikan; proses kompatiologi memungkinkan terjadinya pergerakan grafik perubahan kondisi mental terdekon dan pendekon selama acara dekon-kompatiologi yang tidak dibatasi oleh rasa takut terhadap kekuasaan guru.


PENUTUP

Oleh karena itu dekon-kompatiologi yang selama ini dibahas oleh berbagai penulis kitab kompatiologi hanyalah setengah bagian dari ilmu kompatiologi. Pengalaman sebagai terdekon di acara dekon-kompatiologi membuat orang mampu membaca dan memetakan data. Lebih jauh lagi, pengalaman sebagai pendekon-tandem maupun pendekon-independent membuat orang mampu menguasai secara sadar dan cukup pasti hukum keseimbangan (yin-yang) yang secara alamiah sudah ada di setiap makhluk hidup sehingga secara teknis-mekanistik mampu menyetir dan memanipulasi (bukan dengan menanamkan sugesti) hubungan sebab-akibat yang ada di alam sekitarnya sebagai hukum yang alamiah karena mengalami pola hukum sebab akibatnya.


Mainan ini mainan yang tidak berkesudahan, seorang pendekon menghadapi terdekon seperti seorang penggemar permainan logika matematika (bukan matematika yang hanya mengerjakan soal berhitung ala pertukangan saja yang bisa digantikan oleh kalkulator) yang tidak ada habisnya mengubah hukum sebab-akibat alamiah yang bersifat pasti, dalam sebuah rumus yang satu yang bisa bertransformasi menjadi rumus yang lain.

Memang seorang pendekon berlatih pada susunan jenis minuman dan para individu terdekon; lebih jauh lagi permainan logika matematika sesungguhnya adalah asosiasi lain dari permainan rumus minuman dan eksperimen terhadap terdekon, yang menciptakan rumus-rumus bentuk lain, sesuai kebutuhan pada sutuasi dan kondisi yang costumize, sesuai kebutuhan sehari-hari (lingkungan kerja, pergaulan dan keluarga) masing-masing individu pendekon sendiri.

Kapan saja, dimana saja, apa saja bentuknya ; data dalam konteks yang satu bisa diasosiasikan ke konteks yang lain. Tidak ada ilmu yang bisa dipatentkan, hanya bentuk rumus yang satu yang bisa bertransformasi ke bentuk rumus yang lain. Sebab ilmu apapun hanyalah sebuah posisi yang satu terhadap posisi yang lain.

SandalJepit

saya kecewa dengan sikap rekan-rekan Buddhist di forum ini, kalau ada orang non Buddhist join di milis, kenapa harus diserang?
bukankah ini suatu kesempatan untuk memberikan pengertian tentang agama Buddha?

Riky_dave

[at]Sandal...
Anda kebanyakkan kecewanya drpd mendalami Buddhisme itu sendiri...
Disini forum apa ya?

Salam,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

ryu

Aye bukan buddhist lho, kainyn juga bukan, sapa yah yang buddhist? :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

El Sol

Quote from: Riky_dave on 30 June 2008, 08:37:59 PM
[at]Sandal...
Anda kebanyakkan kecewanya drpd mendalami Buddhisme itu sendiri...
Disini forum apa ya?

Salam,
Riky

NICE!!

;D

Riky_dave

[at]Rumput yang bergoyang...
Ada yang merasa dibilang umat Buddhis?:)
Dhamma itu tidak pandang bulu....Dhamma itu tidak butuh sebuah "label" tentang sebuah "agama" maupun sebuah "buku" menuju "kebenaran tertinggi" karena Dhamma itu sendiri adalah Kebenaran....

Salam,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Sumedho

Quote from: SandalJepit on 30 June 2008, 08:30:45 PM
saya kecewa dengan sikap rekan-rekan Buddhist di forum ini, kalau ada orang non Buddhist join di milis, kenapa harus diserang?
bukankah ini suatu kesempatan untuk memberikan pengertian tentang agama Buddha?
Yah inilah fakta dunia, dimanapun tidak ada yg selalu memuaskan :). Mari kita mulai dari diri kita sendiri, jadi teladan gituh bahasa sononya. :D
There is no place like 127.0.0.1