Bagaimanakah Cara Bertanya Tentang Satu Aliran?

Started by ryu, 07 September 2011, 03:18:44 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

adi lim

#180
Quote from: Mr. Wei on 11 September 2011, 09:02:14 PM
Saya juga gak bilang ada yang maksa2in sama, kan saya cuma bilang gak perlu dipaksa2in, hihihi...

Kalau pendapat saya, ya beda paham. Saya gak tahu kenapa bisa beda paham begitu, entah karena (1) pas konsili dan pecah jadi 2 aliran, ada sutta/sutra penting yang berisi kesinkronan M-T yang hilang/rusak, (2) ada bhikkhu palsu yang sengaja ingin memecah belah sangha dengan bikin aliran baru yg melenceng (dan kita tidak tahu mana yang melenceng), atau (3) ada penafsiran dari guru masing2 sehingga tercipta aliran2 baru.

Kemungkinannya: (1) M benar-T salah, (2) T benar-M salah, (3) M benar-T benar tapi ada ketidaksinkronan penafsiran kita, (4) M salah-T salah, K yanbenar :hammer:.Saya juga mau tahu, kalau menurut bro adilim, mengapa bisa berbeda? Mungkin bisa dishare.

saya tanya bro Wei apakah Arahat sudah bebas lahir, jawabnya Ya atau tidak,
tidak usah di putar2 jawaban dan pertanyaan yang bingung !

saya ajarin cara jawab : saya yakin Arahat bebas kelahiran
bagaimana bro Wei ? atau bingung !
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

No Pain No Gain

Quote from: adi lim on 11 September 2011, 09:06:26 PM
saya tanya bro Wei apakah Arahat sudah bebas lahir, jawabnya Ya atau tidak,
tidak usah di putar2 jawaban dan pertanyaan yang bingung !

saya ajarin cara jawab : saya yakin Arahat bebas kelahiran



gini aja...yang patut dipertanyakan di sini sebenarnya adalah apakah terdapat perbedaan antar kedua tradisi dalam mewujudkan nibbana?

jika terdapat perbedaan, maka ada something wrong di salah satu tradisi
jika sama/mirip, maka tidak ada yg perlu diperdebatkan..knp? anda harusnya akan tahu kalo anda sdh mencapai nibbana...
No matter how dirty my past is,my future is still spotless

adi lim

#182
Quote from: DragonHung on 11 September 2011, 09:02:36 PM
Jadi apa salahnya dengan mahayanis yang tidak bisa membuktikan tentang buddha dan bodhisatva?  Apakah mereka tidak boleh ada saddha terhadap buddha dan bodhisatva lain?

yakin adanya Buddha atau buda,  yang mana ?  :)
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

adi lim

Quote from: No Pain No Gain on 11 September 2011, 09:10:04 PM
gini aja...yang patut dipertanyakan di sini sebenarnya adalah apakah terdapat perbedaan antar kedua tradisi dalam mewujudkan nibbana?

jika terdapat perbedaan, maka ada something wrong di salah satu tradisi
jika sama/mirip, maka tidak ada yg perlu diperdebatkan..knp? anda harusnya akan tahu kalo anda sdh mencapai nibbana...

jauh bedanya bro NPNG, bisa terlahir dan tidak terlahir
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Mr. Wei

#184
Quote from: adi lim on 11 September 2011, 09:06:26 PM
saya tanya bro Wei apakah Arahat sudah bebas lahir, jawabnya Ya atau tidak,
tidak usah di putar2 jawaban dan pertanyaan yang bingung !

saya ajarin cara jawab : saya yakin Arahat bebas kelahiran
bagaimana bro Wei ? atau bingung !

Ya elah adi lim  ::), saya uda jawab dari tadi kali kalau saya tidak tahu kenapa bisa beda begitu, lalu saya juga menjabarkan berbagai kemungkinan itu.

Adi lim: mengapa Arahat bisa berbeda, yang satu bisa terlahir (Mahayana) yang satu sudah tidak terlahir lagi (Theravada)
Mr. Wei: gak tahu

Lalu di postingan sebelumnya saya juga uda bilang kalau saya itu lebih ke Theravada, sehingga saya lebih yakin kalau Arahat itu bebas dari kelahiran kembali.

Semuanya uda saya jawab kok, dan kalau saya gak tahu saya uda jawab gak tahu :hammer:

Quote from: Mr. Wei
Quote from: adi lim on 11 September 2011, 08:53:13 PM
bold : tidak ada yang paksa harus sama

tapi karena penasaran aja mengapa Arahat bisa berbeda, yang satu bisa terlahir (Mahayana) yang satu sudah tidak terlahir lagi (Theravada)

menurut bro Wei, Arahat bebas lahir ?



Saya juga gak bilang ada yang maksa2in sama, kan saya cuma bilang gak perlu dipaksa2in, hihihi...

Kalau pendapat saya, ya beda paham. Saya gak tahu kenapa bisa beda paham begitu, entah karena (1) pas konsili dan pecah jadi 2 aliran, ada sutta/sutra penting yang berisi kesinkronan M-T yang hilang/rusak, (2) ada bhikkhu palsu yang sengaja ingin memecah belah sangha dengan bikin aliran baru yg melenceng (dan kita tidak tahu mana yang melenceng), atau (3) ada penafsiran dari guru masing2 sehingga tercipta aliran2 baru.

Kemungkinannya: (1) M benar-T salah, (2) T benar-M salah, (3) M benar-T benar tapi ada ketidaksinkronan penafsiran kita, (4) M salah-T salah, K yang benar :hammer:.

Saya juga mau tahu, kalau menurut bro adilim, mengapa bisa berbeda? Mungkin bisa dishare.

ryu

Quote from: Mr. Wei on 11 September 2011, 08:44:09 PM
Kalau dalam pandangan saya setelah membaca semua link rujukan dari Bro Morpheus mengenai jawaban2 dari Bro Gandalf...

Praktik Nian Fo adalah samadhi dgn fokus nama Buddha (entah Amitabha, Bhaijasjya, Avalokitesvara, dsb.). Mengenai ikrar2 Amitabha/Avalokitesvara mengenai 'yang melafal namaku akan dijauhkan dari marabahaya, dsb.', itu adalah perumpamaan/simbol. Misalnya begini, jika kita sering samadhi (dalam praktik Mahayana, samadhi nama Buddha), kita jadi lebih eling, sehingga dalam bertindak kita jadi lebih mawas diri dan tahu diri. Karena kita lebih mawas diri dan tahu diri, kita bertindak dengan bajik sehingga terhindar dari karma buruk atau cibiran orang lain.

Mengenai surga Sukhavati yang dikatakan Amitabha, itu menurut saya juga perumpamaan/simbol. Dikatakan jika menyebut nama Amitabha kita akan dibawa ke surga Sukhavati dengan kehidupan yang sangat panjang dan bisa belajar Dharma dengan baik. Menurut saya itu maksudnya, dengan sering samadhi (dalam praktik Mahayana, samadhi nama Buddha), kita menjadi lebih eling/mawas diri sehingga menjauhi perbuatan2 buruk. Sehingga di kehidupan selanjutnya kita terlahir di alam yang lebih baik (jangka hidupnya lebih panjang daripada manussa bhumi) dan berkesempatan untuk belajar Dharma lagi, atau jika syukur-syukurnya samadhi hingga jhana, itu juga konon katanya rasanya menyenangkan sekali sehingga diumpamakan 'surga'.

Atau bisa juga,

Dengan sering samadhi (dalam praktik Mahayana, samadhi nama Buddha), kita mendapatkan ketenangan secara batiniah. Bukannya kalau bisa hidup dengan tenang, itu rasanya seperti 'surga'? ;D Lalu dengan ketenangan itu, kita bisa belajar Dharma lebih baik lagi.

Lalu mengenai akan diselamatkan bila menyebut nama Amitabha/Avalokitesvara, nah itu juga simbol lagi.
Dengan sering samadhi (dalam praktik Mahayana, samadhi nama Buddha), kita jadi lebih tenang dan mawas diri, dampaknya jadi lebih suka berbuat baik, kalau suka berbuat baik, karma baik bertambah; sehingga jika kita ada masalah, ya vipaka baik kita itu yang melindungi kita. Itu disimbolkan dengan Amitabha/Avalo yang menyelamatkan kita.

Kalau simpulan dari saya, Mahayana itu memang sarat simbol. Bahkan Amitabha/Avalo itu saya sendiri tidak yakin benar2 pernah hidup di dunia ini, bisa saja cuma cerita kiasan dari seorang guru Buddhis di zaman dulu untuk mengajarkan metta/saddha/karuna/dsb.

Mengenai Mahayana yang mengatakan bahwa Arhat itu masih belum sepenuhnya terlepas dari kilesa sehingga perlu mengambil jalur Samma Sambuddha, itu menurut saya memang berbeda dengan Theravada (yang saya anut) yang mengajarkan Arahat sudah terbebaskan dari kilesa.
Kalau bagi saya, itu memang berbeda, tidak perlu dipaksa2kan sama, biarkan berjalan secara sendiri2. Biarkan keyakinan dan kecocokan masing2 yang membuat kita memilih Mahayana atau Theravada.

Itu pendapat saya, bro Ryu; bagaimana pendapat bro Ryu? *ini tanya sungguhan lo, bukan nantang* :)
soal simbolisasi saya sudah mengerti, itu hanya ilmu tafsir, sedangkan dalam sutra itu tidak menjelaskan itu sebuah simbolisasi, betul khan?
apakah menurut mr wei buda memang suka membabarkan dama yang area abu2?

bagi umat awam atau yang tidak mengenal budis akan membaca sutra itu pastinya dengan apa yang dibacanya bukan harus ditafsirkan dengan simbolisasi betul tidak?

anggap saja saya umat yang tidak mengenal ajaran buda, ketika saya membaca sutra2 itu setidaknya akan merasa aneh dengan ikrar2 buda amitaba yang begitu banyak, juga dengan sutra2 yang memperbanyak sutra, itu bagi saya hanya seperti hal yang aneh dan perlu saya tanyakan, dan apabila jawaban akhir yaitu kepada kepercayaan ya sudah rasanya akan selesai diskusi ini.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Mr. Wei

#186
Quote from: ryu on 11 September 2011, 09:20:07 PM
soal simbolisasi saya sudah mengerti, itu hanya ilmu tafsir, sedangkan dalam sutra itu tidak menjelaskan itu sebuah simbolisasi, betul khan?
apakah menurut mr wei buda memang suka membabarkan dama yang area abu2?

bagi umat awam atau yang tidak mengenal budis akan membaca sutra itu pastinya dengan apa yang dibacanya bukan harus ditafsirkan dengan simbolisasi betul tidak?

anggap saja saya umat yang tidak mengenal ajaran buda, ketika saya membaca sutra2 itu setidaknya akan merasa aneh dengan ikrar2 buda amitaba yang begitu banyak, juga dengan sutra2 yang memperbanyak sutra, itu bagi saya hanya seperti hal yang aneh dan perlu saya tanyakan, dan apabila jawaban akhir yaitu kepada kepercayaan ya sudah rasanya akan selesai diskusi ini.

Kalau pendapat saya seperti ini...

Buddha kan suka mengajarkan Dhamma kepada orang2 dengan cara yang berbeda2, sesuai dengan perkembangan batin orang tersebut. Saya gak tahu deh referensi Tipitakanya ada di mana aja, saya gak ahli Tipitaka maupun hafal nama Sutta :hammer:, tapi kalau saya baca di Tipitaka2, sering saya temui kisah seperti itu.

Nah, saya gak tahu kenapa Buddha bisa ngajarin dengan perumpamaan seperti itu, tapi saya menduga Buddha melihat bahwa orang itu lebih bisa mudah mengerti Dhamma dengan membangkitkan saddha-nya terlebih dahulu sehingga diberikan perumpamaan seperti itu. Dibangkitkan saddha-nya, dia praktikkan ajaran itu, lalu kebijaksanaan yang muncul dari samadhi tersebutlah yang membuat ia paham apa yang diumpamakan itu. (saya jadi teringat tentang 3 Bodhisatta, panna-dhika, viriya-dhika, saddha-dhika)

Nah bagi bbrp orang, mungkin cara itu kurang cocok untuk melatih perkembangan batinnya.

ryu

Quote from: Mr. Wei on 11 September 2011, 09:31:05 PM
Kalau pendapat saya seperti ini...

Buddha kan suka mengajarkan Dhamma kepada orang2 dengan cara yang berbeda2, sesuai dengan perkembangan batin orang tersebut. Saya gak tahu deh referensi Tipitakanya ada di mana aja, saya gak ahli Tipitaka maupun hafal nama Sutta :hammer:, tapi kalau saya baca di Tipitaka2, sering saya temui kisah seperti itu.

Nah, saya gak tahu kenapa Buddha bisa ngajarin dengan perumpamaan seperti itu, tapi saya menduga Buddha melihat bahwa orang itu lebih bisa mudah mengerti Dhamma dengan membangkitkan saddha-nya terlebih dahulu sehingga diberikan perumpamaan seperti itu. Dibangkitkan saddha-nya, dia praktikkan ajaran itu, lalu kebijaksanaan yang muncul dari samadhi tersebutlah yang membuat ia paham apa yang diumpamakan itu. (saya jadi teringat tentang 3 Bodhisatta, panna-dhika, viriya-dhika, saddha-dhika)

Nah bagi bbrp orang, mungkin cara itu kurang cocok untuk melatih perkembangan batinnya.
itu pun menjadi perkiraan jadinya, makanya saya ingin bertanya referensi2, catatan sejarah, bukti2 ilmiah, juga apakah ada bersinggungan dengan ajaran lain sehingga ada pebelokan inti ajaran buda, sehingga keyakinan itu bisa menguatkan seseorang untuk menjalaninya, bukannya dengan mempercayai begitu saja.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

morpheus

Quote from: ryu on 11 September 2011, 07:36:22 PM
hmm, berarti memang di ajaran buda ada zona kepercayaan juga yang tidak bisa di buktikan, dan kalau dipertanyakan juga memang susah juga ya jawabannya, intinya memang harus percaya dengan iman juga ujung2nya.
paccatam veditabbo vinnuhi'ti
dapat diselami dalam batin masing2.

dengan kata lain:
tidak bisa dibuktikan di luar, hanya bisa "dilihat" di dalam batin masing2.
ini berlaku untuk ajaran mahayana maupun theravada.

dan saya kurang setuju dengan quote di atas "harus percaya".
imo, buddha dhamma bisa dipelajari dengan sikap skeptis, dicoba untuk dipraktikkan dan diselami di dalam batin sendiri.
mereka yg melihat dukkha di batinnya sendiri tidak perlu lagi "percaya" dukkha. mereka tahu.
yg tidak bisa dialami dan diselami, skip aja, ndak perlu dipegang erat2, apalagi dipertentangkan.
* disclaimer: ini mungkin bukan pemikiran buddhis mainstream *

Quote from: DragonHung on 11 September 2011, 09:02:36 PM
Jadi apa salahnya dengan mahayanis yang tidak bisa membuktikan tentang buddha dan bodhisatva?  Apakah mereka tidak boleh ada saddha terhadap buddha dan bodhisatva lain?
om dragon, bingo! you've nailed it!

itulah pertanyaan yg jitu kepada mereka yg bias kepada aliran lain.
bagi mereka:
* punyamu itu buda, punyaku itu buddha
* punyamu itu tahayul, punyaku itu logika
* punyamu itu bengkok, punyaku itu lurus
* punyamu itu kepercayaan, punyaku itu saddha
padahal setelah ditelusuri dan ditanyakan di manakah bukti2nya sesuatu yg ajatam abhutam akatam asankhatam, oops... itu hanyalah saddhaku.
ternyata sama2 kepercayaan alias iman alias faith.

karena sama2 kepercayaan, sepertinya konyol mempertentangkan kepercayaan atau keyakinan, sesuatu yg subjektif, sesuatu yg personal.
tidak ada lurus, tidak ada bengkok. tidak ada yg lebih superior, tidak ada yg lebih inferior.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

adi lim

Quote from: Mr. Wei on 11 September 2011, 09:20:02 PM
Saya juga mau tahu, kalau menurut bro adilim, mengapa bisa berbeda? Mungkin bisa dishare.

sumber saya Tipitaka kanon Pali. Arahat tidak terlahir lagi.
kalau di mazhab lain, Arahat masih belum bebas dari kelahiran, harusnya bro Wei tanya yang membuat karangan cerita tsb atau para pakarnya.
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

adi lim

Quote from: morpheus on 12 September 2011, 12:01:58 AM
itulah pertanyaan yg jitu kepada mereka yg bias kepada aliran lain.
bagi mereka:
* punyamu itu buda, punyaku itu buddha
* punyamu itu tahayul, punyaku itu logika
* punyamu itu bengkok, punyaku itu lurus
* punyamu itu kepercayaan, punyaku itu saddha
padahal setelah ditelusuri dan ditanyakan di manakah bukti2nya sesuatu yg ajatam abhutam akatam asankhatam, oops... itu hanyalah saddhaku.
ternyata sama2 kepercayaan alias iman alias faith.

karena sama2 kepercayaan, sepertinya konyol mempertentangkan kepercayaan atau keyakinan, sesuatu yg subjektif, sesuatu yg personal.
tidak ada lurus, tidak ada bengkok. tidak ada yg lebih superior, tidak ada yg lebih inferior.


kalau teori memang begitu.
disinilah memang beda Saddha dan kepercayaan
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

ryu

Quote from: morpheus on 12 September 2011, 12:01:58 AM
paccatam veditabbo vinnuhi'ti
dapat diselami dalam batin masing2.

dengan kata lain:
tidak bisa dibuktikan di luar, hanya bisa "dilihat" di dalam batin masing2.
ini berlaku untuk ajaran mahayana maupun theravada.

dan saya kurang setuju dengan quote di atas "harus percaya".
imo, buddha dhamma bisa dipelajari dengan sikap skeptis, dicoba untuk dipraktikkan dan diselami di dalam batin sendiri.
mereka yg melihat dukkha di batinnya sendiri tidak perlu lagi "percaya" dukkha. mereka tahu.
yg tidak bisa dialami dan diselami, skip aja, ndak perlu dipegang erat2, apalagi dipertentangkan.
* disclaimer: ini mungkin bukan pemikiran buddhis mainstream *
mari kita bahas lebih spesifik, hal-hal mengenai buda amitaba, hal2 yang dipelajari dengan sikap skeptik, seseorang dengan sikap skeptik apakah bisa melihat buda amitaba? rasanya justru dengan sikap skeptiknya dia tidak akan bisa melihat buda amitaba, atau hanya orang2 yang di beri "gift" baru bisa melihat buda amitaba? atau hanya buda amitaba saja yang menentukan dia mau menemui siapa atau mau menolong siapa?
jangan bilang kerusakan pada tipi nya ya soalnya kalau gitu mah apa bedanya dengan ajaran lain :P

Quoteom dragon, bingo! you've nailed it!

itulah pertanyaan yg jitu kepada mereka yg bias kepada aliran lain.
bagi mereka:
* punyamu itu buda, punyaku itu buddha
* punyamu itu tahayul, punyaku itu logika
* punyamu itu bengkok, punyaku itu lurus
* punyamu itu kepercayaan, punyaku itu saddha
padahal setelah ditelusuri dan ditanyakan di manakah bukti2nya sesuatu yg ajatam abhutam akatam asankhatam, oops... itu hanyalah saddhaku.
ternyata sama2 kepercayaan alias iman alias faith.

karena sama2 kepercayaan, sepertinya konyol mempertentangkan kepercayaan atau keyakinan, sesuatu yg subjektif, sesuatu yg personal.
tidak ada lurus, tidak ada bengkok. tidak ada yg lebih superior, tidak ada yg lebih inferior.
hehehehe... baguslah kalau gitu ternyata dalam budis juga ada iman :P
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

adi lim

Quote from: ryu on 12 September 2011, 07:16:49 AM
mari kita bahas lebih spesifik, hal-hal mengenai buda amitaba, hal2 yang dipelajari dengan sikap skeptik, seseorang dengan sikap skeptik apakah bisa melihat buda amitaba? rasanya justru dengan sikap skeptiknya dia tidak akan bisa melihat buda amitaba, atau hanya orang2 yang di beri "gift" baru bisa melihat buda amitaba? atau hanya buda amitaba saja yang menentukan dia mau menemui siapa atau mau menolong siapa?

Quote
jangan bilang kerusakan pada tipi nya ya soalnya kalau gitu mah apa bedanya dengan ajaran lain :P
hehehehe... baguslah kalau gitu ternyata dalam budis juga ada iman :P

kalau Buddhis (ajaran Buddha Gotama) tidak ada imam seperti kepercayaan tetangga

kalau budis memang hampir sama dengan kepercayaan tetangga
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

dilbert

Quote from: DragonHung on 11 September 2011, 07:01:37 PM
Anda sudah pernah merasakan sendiri keadaan bebas total dari Lobha, Dosa dan Moha?

Ketika ada keadaan Lobha, Dosa dan Moha, tentu ada keadaan aLobha, aDosa dan aMoha... masalah realisasi itu masalah kedua... Menurut anda Lobha, Dosa dan Moha itu nyata atau tidak dulu ? jangan melebar ke masalah realisasi.
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

dilbert

Quote from: No Pain No Gain on 11 September 2011, 08:46:38 PM
selama belum menembus paticcasamupadda, nibbana hanyalah sebuah kepercayaan/keyakinan..

anda pernah minum racun serangga ? kalau belum pernah minum racun serangga, berarti anda tidak harus yakin bahwa minum racun serangga bisa mematikan....
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan