Memahami Sutta Menggunakan Logika

Started by Satria, 25 May 2011, 02:02:51 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Satria

apapun yang saya posting di forum ini, adalah disertai dengan kesadaran bahwa "semua itu mungkin saja salah". Justru karena saya berpikir tentang adanya "kemungkinan salah", maka saya posting di forum ini, berharap diluruskan oleh kawan-kawan buddhis. tapi saya tidak pernah menyangka, kalau umat buddhis punya tradisi meluruskan pandangan dengan fallacy, caci maki dan cemooh :

Quote from: indra
benar2 menyedihkan sekali TS ini dan gerombolannya

masih mending sdr. kelana, walaupun dia menggunakan fallacy

Quote from: kelana
Jadi hal ini lucu karena kurang kerjaan. Dan saya jadi ikutan "kurang kerjaan" karena khawatir mereka yang masih "lugu" terjebak dalam artikel yang diragukan ini.

tapi dia juga memberikan jawaban yang argumentatif.

bagaimana seseorang akan dapat meluruskan pandangan orang lain, kalau menyimak apa yang dikatakan orang lain saja tidak mau. tidak tau isinya, tapi langsung memvonis dan mengejek.

Quote from: indra
saya hanya membaca judulnya, dan tidak tertarik utk membaca tulisan anda, karena dari semua tulisan anda tidak ada satu pun yg bermanfaat. hanya seputar logika BADAK (dengan hurud besar) dan urusan seksual dengan PSK dan hal2 tidak penting lainnya.

yang saya tau, di dalam sutta, tidak seperti itu cara sang Buddha meluruskan pandangan orang lain.


Blacquejacque

Quote from: Satria on 28 May 2011, 10:22:18 AM
apapun yang saya posting di forum ini, adalah disertai dengan kesadaran bahwa "semua itu mungkin saja salah". Justru karena saya berpikir tentang adanya "kemungkinan salah", maka saya posting di forum ini, berharap diluruskan oleh kawan-kawan buddhis. tapi saya tidak pernah menyangka, kalau umat buddhis punya tradisi meluruskan pandangan dengan fallacy, caci maki dan cemooh :

masih mending sdr. kelana, walaupun dia menggunakan fallacy

tapi dia juga memberikan jawaban yang argumentatif.

bagaimana seseorang akan dapat meluruskan pandangan orang lain, kalau menyimak apa yang dikatakan orang lain saja tidak mau. tidak tau isinya, tapi langsung memvonis dan mengejek.

yang saya tau, di dalam sutta, tidak seperti itu cara sang Buddha meluruskan pandangan orang lain.

Rekan Satria, Dalam sebuah diskusi, alangkah baik bila diskusi tersebut dapat menambah pengetahuan akan hal-hal yang bermanfaat bagi para peserta diskusi.
Dengan dasar pemikiran untuk belajar (*berharap diluruskan oleh kawan-kawan buddhis), hal ini pun amat baik. Namun anda pun perlu memahami sikap-sikap yang diperlukan dalam perkataan tersebut. Dibutuhkan sikap keikhlasan dan lapang dada dalam menerima opini-opini yang dsampaikan.


Dengan memiliki kedua sikap tersebut, maka anda akan menjadi seseorang yang mudah diajak bicara, yang mana Sifat tersebut, akan memudahkan anda untuk menyerap maksud yang ingin disampaikan oleh lawan diskusi anda, dan juga akan membuat lawan diskusi anda merasa nyaman berdiskusi dengan anda.




Adapun referensi yang dapat anda baca sekaitan sifat-sifat yang menjadikan seseorang sulit dan mudah diajak bicara, dapat anda pelajari di :
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/anumana-sutta/

Satria

#182
Quote from: Kelana on 27 May 2011, 09:28:32 PM
Saya merasa topik TS ini seperti utak-atik gatuk ala non-Buddhis yang berusaha mengklaim Borobudur sebagai milik agamanya.

jika umat buddhis punya argumentasi yang jelas, yang bisa membantah klaim orang lain, akan sangat indah terlihat bila argumentasi itu dikemukakan tanpa harus tampak "marah" dan "jengkel".

Quote
Petikan Angutara Nikaya. TS menggunakan buku ini. Buku apakah ini? Siapa yang menyusunnya? Dalam Bahasa apa? Sampai sekarang mungkin belum ada yang tahu termasuk saya. Kemungkinan besar berbahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia. Indikasinya dapat dilihat dari topik "Kata Temanku tentang Sang Buddha" yang berakhir karena kesalahan terjemahan.

buku tersebut diterbitkan oleh Yayasan Karaniya

Quote

Belajar dari pengalaman di atas maka tidak menutup kemungkinan topik yang menggunakan buku yang sama ini juga berawal dari salah terjemahan. Mari kita coba kita ikuti dulu permainan kata dari TS.
TS mengutip dan menerjemahkan


Mengapa TS menggunakan awalan 'ter-' pada kata "kondisi" pada kata "yang terkondisi" pertama (bold merah)? Saya memperkirakan karena menerjemahkan "fabricated characteristics" (jika TS menggunakan versi Bhikkhu Thanissaro) menjadi "tanda yang terkondisi", padahal yang tepat adalah "karakteristik/tanda kondisi" atau "karakteristik/tanda yang telah menjadi kondisi" (adanya '–ed' pada kata fabricated menunjukkan bentuk lampau, sehingga jika diperlukan digunakan kata "telah" dalam terjemahannya atau dihilangkan.). Jika benar maka sampai di sini semua penjelasan TS selanjutnya menjadi tidak berarti.

saya tidak mengerti hal itu. cuma di buku tersebut, tertulis "yang terkondisi". saya pikir, penulis buku itu juga bukan orang biasa, tapi cendekiawan buddhis. menyalahkan isi buku tersebut, berarti menyalahkan penulis dan sekelompok bikkhu yang terlibat dalam penulisan buku tersebut.

Quote
Dengan kalimat terjemahan TS tersebut dapat menimbulkan pemahaman bahwa keberadaan 'tiga tanda' tersebut dipengaruhi oleh 'yang terkondisi' (kata yang kedua).

benar. "yang terkondisi" tersebut merupakan sifat dari "tiga tanda". seperti pada frasa "batu hitam". sifat hitam mempengaruhi batu.

Quote
Selanjutnya, mari kita lihat kesalahan TS dalam memahami fungsi kata "yang" dari terjemahan kutipan sutta tempaan TS sendiri, jika terjemahan versinya yang benar.

TS menganggap "yang terkondisi" pertama (bold Merah) dengan "yang terkondisi" kedua (bold Biru) adalah sama.

keliru, sama sekali saya tidak menganggapnya sama. bagaimana anda bisa menyimpulkan seperti itu?

Quote
Padahal, kata "yang terkondisi" pertama berbeda dengan yang kedua. Mengapa? Karena pada kata "yang" pada kata "yang terkondisi" pertama di sana berfungsi untuk menjelaskan bahwa bagian kalimat yg berikutnya menjelaskan kata yg di depan. Dengan demikian seharusnya "yang terkondisi" pertama adalah milik/berhubungan dengan "tiga tanda" yang berhubungan juga dengan 3 poin yang disebutkan (asal mula, lenyap, berlangsung)
Sedangkan kata "yang" pada "yang terkondisi"

saya memahami bahwa makna "yang terkondisi" yang pertama dengan yang kedua itu berbeda.

Quote
Pertanyaannya adalah mengapa TS berusaha mengkonversi ke dalam kata benda? Apa tujuannya? Sepemahaman saya, tujuannya adalah untuk menciptakan kalimat baru sesuai dengan pemahamannya sendiri, yaitu "Setiap yang tidak kekal adalah yang terkondisi" dan  untuk mempertanyakan keberadaan kata "setiap" dalam kalimatnya tersebut apakah ada di dalam sutta atau tidak.

menambahkan kata "yang" sudah merupakan hal yang dibolehkan menurut logika.

seperti misalnya "saya itu mengajar Logika disebuah univ"

boleh diubah menjadi "saya itu yang mengajar di sebuah univ".

makna "mengajar" dengan "yang mengajar" tentu saja berbeda. tetapi bila kalimat pertama tersebut tidak dapat melahirkan kesimpulan apapun, maka kita boleh mengubahnya ke dalam bentuk kata benda, dengan syarat isi kalimat itu tetap benar. artinya, kalimat pertama kita simpan saja, dan tidak dimasukan ke dalam syllogisme. kini kita memiliki kalimat kedua, dimana telah ditambahkan kalimat "yang". bila kalimat yang pertama adalah benar, maka setelah kalimat itu ditambahkan "yang", iapun dijamin akan tetap benar. oleh karna tidak mengubah nilai dari kalimat tersebut, maka penambahakan kata "yang" diperbolehkan.

Quote
Singkatnya menciptakan perkataan sendiri dan mencari pengesahannya dalam sutta. Ini adalah hal yang lucu bagi saya.

apa yang saya lakukan sesuai dengan hukum logika.

Quote
Terlebih lagi lucunya TS berusaha mengkonversi 2 kalimat yang pada dasarnya sama yang ia anggap berbeda.

saya tidak akan pernah menganggap kalimat yang sama sebagai beda. dan tidak akan menganggap kalimat beda sebagai sama. hal itu mustahil bagi saya.

Quote
Semua bentukan tidak kekal.
Semua yang terkondisi adalah tidak kekal

Meskipun kalimat yang kedua adalah salah penggunaan awalan 'ter-', namun kedua nya pada dasarnya adalah memiliki makna yang sama yaitu sabbe sankhara anicca (semua bentukan/yang berkondisi/yang bersyarat/yang berpadu adalah tidak kekal).  Jadi hal ini lucu karena kurang kerjaan. Dan saya jadi ikutan "kurang kerjaan" karena khawatir mereka yang masih "lugu" terjebak dalam artikel yang diragukan ini.[/quote]

menyalahkan penggunakan kata "ter" pada kasus tersebut berarti menyalahkan cendekiawan buddhis yang menulis buku "Petikan Angutara NIkaya" tersebut. saya mencopas sesuai redaksi tulisan yang ada di buku itu.

lagi pula, kalimat pertama dan kalimat kedua itu adalah berbeda, dalam arti berntuk yang berbeda. jika maknanya sama, itu adalah menurut orang yang sudah mengetahui, karena ada yang memberi tahu atau telah sampai pada kesimpulan. jika mereka baru membaca dua bentuk kalimat itu saja, belumlah tentu mereka langsung tau, bahwa kedua kalimat tersebut maknanya sama. justru dengan logika, akhirnya diketahui bahwa makna kedua kalimat tersebut adalah sama, dan diketahui bahwa itu merupakan definisi, dan bukan proposisi.

Quote
Terakhir, jika berdasarkan Input output, apa yang disampaikan TS adalah meragukan. TS menggunakan sumber yang meragukan dengan demikian kesimpulan yang disajikan pun diragukan kebenarannya.

meragukan sumber tulisan saya, berarti meragukan penerjemah buddhis, dan sekelompok bikkhu yang terlibat di dalamnya. dan bila meragukan kesimpulannya, sangat mungkin karena anda belum memahami atau belum setuju dengan aturan logikanya.

Quote
NB: buku Petikan Angutara Nikaya yang menjadi sumber TS ternyata juga dipergunakan non-Buddhis untuk hal-hal tertentu seperti mempengaruhi orang lain, memutarbalikkan fakta.
Entah yang menggunakan adalah orang yang sama atau tidak.  Sayang sekali jika ada orang yang percaya begitu saja .

Wasalam.. _/\_



itu opini anda. saya belum melihat fakta yang benar dari yang anda katakan.

Satria

#183
Quote from: Blacquejacque on 28 May 2011, 10:56:54 AM
Rekan Satria, Dalam sebuah diskusi, alangkah baik bila diskusi tersebut dapat menambah pengetahuan akan hal-hal yang bermanfaat bagi para peserta diskusi.
Dengan dasar pemikiran untuk belajar (*berharap diluruskan oleh kawan-kawan buddhis), hal ini pun amat baik. Namun anda pun perlu memahami sikap-sikap yang diperlukan dalam perkataan tersebut. Dibutuhkan sikap keikhlasan dan lapang dada dalam menerima opini-opini yang dsampaikan.

apakah anda melihat saya "tidak ikhlas" dan tidak "lapang dada" dalam menerima opini-opini yang disampaikan kepada saya?

saya menerima seluruh opini, dalam arti "saya mempersilahkan orang berpendapat apapun". tetapi saya tidak memaknai kata "menerima" tersebut sebagai "harus percaya" terahdap seluruh masukan yang diberikan kepada saya. jika ada orang yang memberikan suatu pendapat yang tidak benar, menurut saya, maka tentu saya harus menjelaskan kepadanya "mengapa saya tidak atau belum dapat membenarkan pendapatnya".

Quote

Dengan memiliki kedua sikap tersebut, maka anda akan menjadi seseorang yang mudah diajak bicara, yang mana Sifat tersebut, akan memudahkan anda untuk menyerap maksud yang ingin disampaikan oleh lawan diskusi anda, dan juga akan membuat lawan diskusi anda merasa nyaman berdiskusi dengan anda.

apa saya sulit diajak bicara? saya kira tidak. mungkin maksudnya, saya sulit menerima pendapat yang menurut saya tidak benar. kalau yang itu memang benar saya akui.

bisakah anda memberi tahu, apa yang membuat orang-orang di sini merasa tidak nyaman? apakah karena saya menyampaikan suatu pendapat yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka?



Quote

Adapun referensi yang dapat anda baca sekaitan sifat-sifat yang menjadikan seseorang sulit dan mudah diajak bicara, dapat anda pelajari di :
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/anumana-sutta/

terima kasih atas referensinya.

Satria

Quote
Demikian telah saya dengar : Pada suatu ketika Bhikkhu Mahamoggallana menginap di Sumsumaragira, hutan Bhesakala di Taman Rusa, di daerah suku Bhagga. Kemudian Bhikkhu Mahamoggallana menyapa para bhikkhu, dengan berkata : "Para bhikkhu"."Ya, bhante" jawab para bhikkhu tersebut kepada Bhikkhu Mahamoggallana.Kemudian Bhikkhu Mahamoggallana berkata sebagai berikut :"Para bhikkhu, andaikata seorang bhikkhu mempersilahkan dengan berkata : 'Para bhikkhu, silahkan menegurku, saya patut diberitahu oleh para bhikkhu', tetapi apabila ia merupakan seseorang yang sulit diajak bicara, disertai sifat-sifat yang membuatnya sulit diajak bicara, sukar diatur, tidak mampu menerima petunjuk, maka rekan-rekan pertapanya akan menilai bahwa ia tidak sesuai untuk diajak bicara dan bahwa ia tidak sesuai untuk diberi petunjuk-petunjuk dan orang tersebut tidak patut diberi kepercayaan.

saya mengikuti petunjuk sutta itu.

silahkan menegur saya, silahkan memberi tahu saya, saya patut diberitahu oleh kawan-kawan buddhis di sini. hanya satu yang sya minta, jangan memaksa saya untuk menerima pendapat yang saya belum bisa memahami kebenarannya, dengan kata lain janganlah anda marah, bila saya belum sanggup memahami kebenaran hal-hal yang anda sampaikan kepada saya.

Blacquejacque

Quote from: Satria on 28 May 2011, 11:06:09 AM
apakah anda tidak melihat saya "tidak ikhlas" dan tidak "lapang dada" dalam menerima opini-opini yang disampaikan kepada saya?

saya menerima seluruh opini, dalam arti "saya mempersilahkan orang berpendapat apapun". tetapi saya tidak memaknai kata "menerima" tersebut sebagai "harus percaya" terahdap seluruh masukan yang diberikan kepada saya. jika ada orang yang memberikan suatu pendapat yang tidak benar, menurut saya, maka tentu saya harus menjelaskan kepadanya "mengapa saya tidak atau belum dapat membenarkan pendapatnya".

apa saya sulit diajak bicara? saya kira tidak. mungkin maksudnya, saya sulit menerima pendapat yang menurut saya tidak benar. kalau yang itu memang benar saya akui.


Sebagai seseorang yang telah "mencapai", terlebih dahulu anda harus bertanya kepada diri anda sendiri / batin anda.

Sikap ikhlas dan lapang dada, dengan "menerima" yang anda maksudkan disini berbeda. Tenangkan dahulu hati anda, maka anda akan memahami maksud saya. Saya kuatir bila saya memaksakan menjelaskan, akan jadi kosong karena hati anda saat ini masih tidak tenang dalam menerima.

Saya tidak menyatakan bahwa anda "harus percaya", bahkan saya tidak berharap bahwa anda sebaiknya percaya akan apa yang saya sampaikan.

Quotebisakah anda memberi tahu, apa yang membuat orang-orang di sini merasa tidak nyaman? apakah karena saya menyampaikan suatu pendapat yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka?
saya tidak mengikuti anda sedari awal. Namun beberapa sifat yang akan menjadikan seseorang mudah diajak bicara :
1. Apa yang keluar dari mulut sebaiknya sama dengan apa yang ada di hati ( Keterusterangan). Sebagai contoh : anda berkata bahwa anda "menerima", tetapi di hati anda sebetulnya terjadi pertentangan dan bahkan merendahkan lawan diskusi. Inkonsistensi akan muncul dalam pernyataan anda.
2. Tidak mudah terbawa emosi.
3. Dalam memasuki sebuah diskusi, adalah hal yang lumrah untuk berusaha memperjelas apa yang kurang jelas disampaikan. Dengan ketenangan, hal ini akan dapat dilakukan sehingga lawan bicara pun akan memahami apa maksud anda. 
4. Mampu menunjukkan kesalahan-kesalahan yang dsampaikan oleh lawan bicara secara bijaksana.
5. Mau mengakui kesalahan diri sendiri dengan ikhlas.

Benar atau tidaknya, tidak perlu anda sampaikan kepada saya ataupun kepada yang lain. Cukuplah anda sampaikan ke diri anda sendiri.

Satria

Quote
Para bhikkhu, kemudian seorang bhikkhu memuji-muji dirinya sendiri dan merendahkan yang lainnya. Bhikkhu siapa pun yang memuji-muji dirinya sendiri dan merendahkan yang lainnya, ini pun merupakan sifat-sifat yang membuatnya sukar diajak bicara.


apakah sya termasuk orang sebagaimana yang dimaksud dalam sutta tersebut?

apakah umat buddhis menganggap saya memuji-muji diri sendiri? di mana dan kapan? apakah karena saya mengatakan bahwa saya adalah seorang "ahli logika".

apakah menyatakan keadaan diri sebagaimana adanya itu disebut memuji-muji diri sendiri?

ketika saya mau bekerja di sebuah tempat, direktur perusahaan tersebut bertanya pada saya, "apakah anda seorang programer?"

saya jawab, "ya saya seorang programer".

saya datang ke perusahaan itu karena perusahaan itu mencari seorang programer. dan adalah sia-sia kalo saya datang tanpa keahlian dibidang pemrograman. dan sia-sia pula saya datang dengan keahlian pemrograman kalo kemudian saya menyatakn kepada direktur tersebut "bukan, saya bukan seorang programer. saya tidak pandai dlam bidang programer. saya hanyalah manusia bodoh". bagaimana saya akan diterima bekerja.

coba tunjukan, dimana saya mengaku diri sebagai "ahli logika" dan perhatikan itu dlam konteks apa, apa dalam konteks memuji-muji diri sendiri atau dalam konteks menyatakan keadaan diri sebagaimana adanya?

Satria

Quote from: Blacquejacque on 28 May 2011, 11:24:06 AM

Sebagai seseorang yang telah "mencapai", terlebih dahulu anda harus bertanya kepada diri anda sendiri / batin anda.

sebagaimana telah saya prediksi, bahwa bila orang-orang yang tidak baik telah menyingkir dari thread ini, orang baik akan muncul untuk melanjutkan diskusi di sini. saya melihat anda orang yang baik. semoga benar.

Quote
Sikap ikhlas dan lapang dada, dengan "menerima" yang anda maksudkan disini berbeda. Tenangkan dahulu hati anda, maka anda akan memahami maksud saya. Saya kuatir bila saya memaksakan menjelaskan, akan jadi kosong karena hati anda saat ini masih tidak tenang dalam menerima.

jika saya harus lebih tnang dari keadaan ini, berarti anda harus memberi waktu kepada saya untuk bermeditasi. skarang saya sedng bekerja, belum ada waktu bermeditasi. bagaimana saya meningkatkan ketenangan yang lebih dalam?

Quote
Saya tidak menyatakan bahwa anda "harus percaya", bahkan saya tidak berharap bahwa anda sebaiknya percaya akan apa yang saya sampaikan.
saya tidak mengikuti anda sedari awal. Namun beberapa sifat yang akan menjadikan seseorang mudah diajak bicara :
1. Apa yang keluar dari mulut sebaiknya sama dengan apa yang ada di hati ( Keterusterangan). Sebagai contoh : anda berkata bahwa anda "menerima", tetapi di hati anda sebetulnya terjadi pertentangan dan bahkan merendahkan lawan diskusi. Inkonsistensi akan muncul dalam pernyataan anda.

saya telah berusaha berkata sejujur-jujurnya, sedang berkata jujur dan akan akan berusaha untuk tetap jujur. jika ada hal-hal yang kontradiktif di dalam pernyataan-pernyataan saya, hal itu perlu anda konfirmasikan. karena, seringkali kalimat-kalimat itu tanpak kontradiktif, tapi karna perbedaan makna, jadi sebenarnya tidak kontradiktif.

Quote
2. Tidak mudah terbawa emosi.

ya. saya kadang-kadang marah dan jengkel. sama halnya sperti hampir semua orang buddhis di sini. kendatipun demikian, sepertinya saya lebih menahan diri, dari pada kawan-kawan diskusi yang lainnya di sini.

Quote
3. Dalam memasuki sebuah diskusi, adalah hal yang lumrah untuk berusaha memperjelas apa yang kurang jelas disampaikan. Dengan ketenangan, hal ini akan dapat dilakukan sehingga lawan bicara pun akan memahami apa maksud anda. 

setuju

Quote
4. Mampu menunjukkan kesalahan-kesalahan yang dsampaikan oleh lawan bicara secara bijaksana.

semoga anda bisa memberikan contoh yang terbaik kepada saya dan kepadan kawan-kawan buddhis yang ada di sini.

Quote
5. Mau mengakui kesalahan diri sendiri dengan ikhlas.

akan saya akui, jika saya telah sadar dan tau, bahwa sesuatu itu memang kesalahan saya. seperti misalnya "kemarahan" dan "kejengkelan" yang saya alami, itu saya akui sebagai kesalahan saya. dan saya akui dengan ikhlas.

Quote
Benar atau tidaknya, tidak perlu anda sampaikan kepada saya ataupun kepada yang lain. Cukuplah anda sampaikan ke diri anda sendiri.


maksudnya bagaimana? apakah ini berarti saya tidak boleh memberikan penilaian apapun terhadap komentar-komentar anda dan kawan-kawan lainnya?


Blacquejacque

Quote from: Satria on 28 May 2011, 11:26:06 AM

apakah sya termasuk orang sebagaimana yang dimaksud dalam sutta tersebut?

apakah umat buddhis menganggap saya memuji-muji diri sendiri? di mana dan kapan? apakah karena saya mengatakan bahwa saya adalah seorang "ahli logika".

apakah menyatakan keadaan diri sebagaimana adanya itu disebut memuji-muji diri sendiri?

ketika saya mau bekerja di sebuah tempat, direktur perusahaan tersebut bertanya pada saya, "apakah anda seorang programer?"

saya jawab, "ya saya seorang programer".

saya datang ke perusahaan itu karena perusahaan itu mencari seorang programer. dan adalah sia-sia kalo saya datang tanpa keahlian dibidang pemrograman. dan sia-sia pula saya datang dengan keahlian pemrograman kalo kemudian saya menyatakn kepada direktur tersebut "bukan, saya bukan seorang programer. saya tidak pandai dlam bidang programer. saya hanyalah manusia bodoh". bagaimana saya akan diterima bekerja.

coba tunjukan, dimana saya mengaku diri sebagai "ahli logika" dan perhatikan itu dlam konteks apa, apa dalam konteks memuji-muji diri sendiri atau dalam konteks menyatakan keadaan diri sebagaimana adanya?


Dengan kesaktian yang anda miliki, dapatkah anda melihat batin anda sendiri? Saya tidak berbicara kepada anda selaku umat buddhis. Saya berbicara kepada anda sebagai manusia biasa.

Satria

Quote from: Blacquejacque on 28 May 2011, 11:40:38 AM

Dengan kesaktian yang anda miliki, dapatkah anda melihat batin anda sendiri? Saya tidak berbicara kepada anda selaku umat buddhis. Saya berbicara kepada anda sebagai manusia biasa.

dengan praktik meditasi vippasana, saya bisa melihat ke dalam diri saya sendiri. dan bila saya mencapai pencerahan di dalam vipasana, saya bisa lebih tenang dan bijaksana di dalam menghadapi segala sesuatu. selain itu juga, biasanya "hasrat" diskusi di forum inipun jadi hilang. apakah anda bisa menjelaskan, kenapa bisa begitu?

menjadi bijaksana artinya "pergi dari forum ini".

Satria

sya juga tau, bahwa motivasi saya diskusi di forum ini juga terdorong oleh Lobha, Dosa dan Moha. dan saya membiarkan saja semua itu terjadi. dan saya berpikir, demikian pula motivasi umat buddhis lainnya di forum ini. semua atau hampir semua, terdorong oleh LDM.

Satria

#191
bukan bermaksud sombong, hanya bermaksud menceritakan duduk persoalannya, bahwa melalui meditasi samatha, saya dapat mencapai samadhi. melalui vippasana, saya bisa mencapai pencerahan vippasana. kendatipun dalam kadar yang tidak cukup tinggi, tapi cukup untuk membuat saya tidak lagi dipengaruhi oleh kemarahan, tidak melekat, dan mampu melihat segala sesuatu secara jernih.

tapi, apa yang sedang didiskusikan saat ini bukanlah "persoalan mental", bukan pula persoalan perilaku, melainkan persoalan "sistematika kalimat".

bila saya mengungkapkan masalah-masalah matematika, misalnya, trus ada orang berkata "untuk memahami jawaban dari persoalan ini, anda harus memiliki ketenangan hati, kesabaran, kebijaksanaan, ikhlas dan lapang dada."

saya akui bahwa nasihat untuk menenangkan hati, sabar dan ikhlas itu adalah nasihat yang baik. tapi, masa iya dengan cara seperti itu masalah-masalah matematika bisa terselesaikan. saya hanya butuh jawaban matamatika. kendatipun demikian, saya tidak memaksa seandainya tidak ada yang bisa memberikan jawaban.

anggaplah kita datang berkunjung kepada seorang arahat. kita bisa bertanya berbagai persoalan seperti misalnya tentang akhak, meditasi, dan segala sesuatu menyangkut ajaran sang Buddha. Ia akan dapat menjawbnya. tapi apakah ia akan selalu dapat menjawab semua persoalan matematika? seandainya tidak, berarti ketenangan dan pencerahan vipasana itu tidak bermanfaat untuk menyelesaikan masalah-masalah matematika.

Satria

kendatipun begitu, saya sadar bahwa "menyakiti Perasaan orang lain" berarti menyakiti diri saya sendiri. dan saya sadar, saya telah menyatakan hal-hal yang tidak menyenangkan untuk umat buddhis di forum ini. dan ini adalah suatu kesalahan. dan saya tau, buah karma dari hal-hal ini, akan diterima oleh saya. saya hanya berharap, bisa mengimbanginya dengan perbuatan baik.

Satria

sayapun berharap dapat dimaafkan oleh umat buddhis di sini, agar saya bisa memaafkan diri saya sendiri. terlepas dari anggapan bahwa "mereka tidak sanggup memahami hal-hal yang saya kemukakan", tidak sepatutnya saya memandang dengan "rasa benci", karena kebencian itu sudah pastinya akan merugikan diri saya sendiri. seharusnya saya memandang siapa saja dengan perasaan kasih, bukan benci. bila saya merasa benci kepada seorang penjahat, berarti saya ikut bersamanya menjadi seorang penjahat pula.

Satria

karena saya telah kehilangan kasih, maka timbul perasaan "tidak bisa menerima" atas sikap orang lain yang saya anggap salah dan bodoh. mungkin inilah yang dimaksud "harus bisa menerima" sebagaimana yang dikatakan oleh bro Jaque. saya bisa mempersilahkan orang-orang itu untuk berkomentar apa saja, tapi hati saya "tidak menerima" bila menurut saya mereka berkomentar dengan cara yang salah atau bodoh. maka apa yang dikatakan oleh bro Blacquejacque  adalah hal yang benar.

Quote from: Blacquejacque
Sikap ikhlas dan lapang dada, dengan "menerima" yang anda maksudkan disini berbeda. Tenangkan dahulu hati anda, maka anda akan memahami maksud saya. Saya kuatir bila saya memaksakan menjelaskan, akan jadi kosong karena hati anda saat ini masih tidak tenang dalam menerima.

terima kasih karena anda telah menjelaskan hal yang benar kepada saya.