Hubungan Musik dengan Dhamma?

Started by M14ka, 23 March 2011, 12:34:44 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

ChandraOyuget

Quote from: morpheus on 19 April 2011, 09:02:41 PM
keindahan musik dikatakan memanjakan indera dan menimbulkan kemelekatan.
kenapa mangala sutta disusun sebagai puisi yg indah, berstruktur 12 bait, tiap bait ada 4 kalimat, tiap kalimat terdiri dari 8-9 suku kata?
kenapa mangala sutta tidak disusun sebagai penjelasan datar seperti teks dunia dalam berita?
apakah keindahan puisi ini tidak memanjakan indera dan menimbulkan kemelekatan?
menurut saya... seorang Brahmana sejati tidak akan melekat dengan musik deh.. walaupun denger musik atau puisi yang indah sekalipun....

morpheus

Quote from: Dhamma Sukkha on 19 April 2011, 10:26:15 PM
teks ini mana bisa memanjakan indera, biar bagaimanapun mangala sutta hanyalah sebuah kumpulan kata yg membentuk sebuah kalimat, mana bisa memanjakan indera.... \Y__Y/"""
kan bentuknya puisi, sesuatu yg mengandung ekspresi seni dan terdapat keindahan di dalamnya.
sesuatu yg indah itu menyenangkan indera dan otomatis bisa menimbulkan kemelekatan.
bukankah begitu?

Quote from: Dhamma Sukkha on 19 April 2011, 10:26:15 PM
mangala sutta itu ada dalam buku paritta...kenapa yg u tanya mangala sutta, bukan ratana sutta yg ada musiknya, yg pernah c susi post? kenapa bukan dhammacakkapavatthana sutta? :D :D :D
pdhl itu juga termsk inti ajaran Buddha, jauhilah kejahatan, perbanyaklah kebajikan, sucikan hati dan pikiran...
lha, saya mau menanyakan mangala sutta yg disusun dalam bentuk puisi, gak boleh? :)
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

K.K.

#197
Quote from: morpheus on 19 April 2011, 09:02:41 PM
keindahan musik dikatakan memanjakan indera dan menimbulkan kemelekatan.
kenapa mangala sutta disusun sebagai puisi yg indah, berstruktur 12 bait, tiap bait ada 4 kalimat, tiap kalimat terdiri dari 8-9 suku kata?
kenapa mangala sutta tidak disusun sebagai penjelasan datar seperti teks dunia dalam berita?
apakah keindahan puisi ini tidak memanjakan indera dan menimbulkan kemelekatan?

Susunan kalimat, banyak suku kata dsb hanyalah sebuah struktur bahasa saja, berhubungan dengan keteraturan kata tapi tidak berurusan dengan indah atau tidak. Mungkin seperti perbandingan baris-berbaris dengan tarian.

Soal bagaimana pikiran mengenali objek sebagai menyenangkan/tidak, maka itu tergantung kemelekatan masing-masing saja. Tidak jauh ke puisi, bahkan pengalaman meditasi pun bisa dilekati dan berbahaya akibatnya.


Tambahan:
Kalau bro morph tanya puisi yang bacanya pakai ekspresi, intonasi, dsb itu, menurut saya itu juga tidak sesuai.

morpheus

Quote from: Kainyn_Kutho on 20 April 2011, 09:45:42 AM
Susunan kalimat, banyak suku kata dsb hanyalah sebuah struktur bahasa saja, berhubungan dengan keteraturan kata tapi tidak berurusan dengan indah atau tidak. Mungkin seperti perbandingan baris-berbaris dengan tarian.
bagi saya, puisi adalah ekspresi seni dan memiliki nilai2 keindahan pada kata2nya maupun keteraturannya.
apa maksudnya dibikin indah ataupun teratur?
kenapa tidak dibikin dengan format prosa atau percakapan atau paragraf informasi ilmiah aja?
kalo argumennya adalah memanjakan indera dan kemelekatan, jelas terdapat perbedaan antara format puisi dan informasi ilmiah.

Quote from: Kainyn_Kutho on 20 April 2011, 09:45:42 AM
Soal bagaimana pikiran mengenali objek sebagai menyenangkan/tidak, maka itu tergantung kemelekatan masing-masing saja. Tidak jauh ke puisi, bahkan pengalaman meditasi pun bisa dilekati dan berbahaya akibatnya.
lalu di mana garis batas antara musik, puisi dan hal2 menyenangkan lainnya yg membedakan mana yang recommended dan not recommended?

ada beberapa faktor:
* formatnya (misal: prosa ok, puisi ok)
* cara pelantunannya (misal: baca datar ok, dangdut dan rock gak ok. atau semua musik gak ok)
* pikiran individu
* pendengar (misal: bhikkhu gak ok, else ok)
* etc?

yg mana dan di mana garis batasnya?
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Indra

Quote from: morpheus on 20 April 2011, 10:19:42 AM
bagi saya, puisi adalah ekspresi seni dan memiliki nilai2 keindahan pada kata2nya maupun keteraturannya.
apa maksudnya dibikin indah ataupun teratur?
kenapa tidak dibikin dengan format prosa atau percakapan atau paragraf informasi ilmiah aja?
kalo argumennya adalah memanjakan indera dan kemelekatan, jelas terdapat perbedaan antara format puisi dan informasi ilmiah.
lalu di mana garis batas antara musik, puisi dan hal2 menyenangkan lainnya yg membedakan mana yang recommended dan not recommended?

ada beberapa faktor:
* formatnya (misal: prosa ok, puisi ok)
* cara pelantunannya (misal: baca datar ok, dangdut dan rock gak ok. atau semua musik gak ok)
* pikiran individu
* pendengar (misal: bhikkhu gak ok, else ok)
* etc?

yg mana dan di mana garis batasnya?


selain Mangala Sutta, seluruh Sagatha Vagga dari Samyutta Nikaya juga berisi syair2 puisi, IMO ini bukan dimaksudkan sebagai suatu karya seni, tapi lebih semacam gaya bahasa saja katika Sang Buddha berdialog dengan para dewa. jika anda pergi ke daerah pesisir Sumatera Utara (mungkin sampai ke malaysia), anda mungkin masih menjumpai beberapa penduduk asli yg memiliki gaya bahasa berpantun, dan pantun ini diucapkan secara spontan dalam komunikasi.

Dhamma Sukkha

Quote from: M14ka on 23 March 2011, 01:43:28 PM
got the point kk kainyn ^^
Tapi kalo mantra bukannya bernada ya? ada nadanya seperti ta pei cou bahasa mandarin n bahasa sansekerta nadanya beda, tapi tetap dari 12 tangga nada atau sebenarnya asal mantra itu tidak bernada, tapi diciptakan nadanya oleh seseorang supaya mudah dilafalkan? ato sebenarnya mantra itu tidak ada dalam Dhamma?  _/\_


bukannya mantra itu tdk ada dalam dhamma, bagiku, paritta adalah paritta, mantra adalah mantra, tetapi mantra bisa termasuk paritta, dari sini kita harus melihat kontekstual artinyaa.... paritta = perlindungan, pemeliharaan... klo mantra ya mantraa...
mantra dalam kamus wnya komat kamit gak jelasnya mbah dukun.... tapi ini persepsi negatif dari wnya.... mantra ya mantra, ada sebuah lagu buddhis yg w suka dari obhassati foundation di fb, lagunya terlanjur di download, judulnya tibetan lullaby enak banget lho musiknya, w gak tau apa yg dicakapin, pokoknya berulang2, yg w denger sih ngomongnya kyk gini : om dare tu dare dure soha, om dare to dare dure sooha... om dare tu dare tu dare ture sooha... om dare tu dare ture dare ture soha.... gitu dehh.... w suka musiknya krn lagu buddhis, w buka krn lagunya sederhana sekali, tibetan lullaby tapi enak didengerr.... w tipe yg suka musik slowly.... kyk tibetan lullaby ini.... ^^/
May All being Happy in the Dhamma ^^ _/\_

Karena Metta merupakan kebahagiaan akan org lain yg tulus \;D/

"Vinayo ayusasanam"
sasana/ajaran Buddha akan bertahan lama karena vinaya yg terjaga... _/\_ \;D/

Kelana

Quote from: morpheus on 19 April 2011, 09:02:41 PM
kenapa mangala sutta disusun sebagai puisi yg indah, berstruktur 12 bait, tiap bait ada 4 kalimat, tiap kalimat terdiri dari 8-9 suku kata?
kenapa mangala sutta tidak disusun sebagai penjelasan datar seperti teks dunia dalam berita?
IMO, Sebenarnya tidak ada bait di sana, yang ada hanyalah 24 kalimat (dari pertanyaan dewa sampai akhir). Hanya baru belakangan saja diurutkan menjadi bait-bait tersendiri dan diberi penomoran agar mudah dihafalnya.

''Bahū devā manussā ca, maṅgalāni acintayuṃ; Ākaṅkhamānā sotthānaṃ, brūhi maṅgalamuttamaṃ.''
"Banyak dewa dan manusia berselisih paham tentang berkah yang diharapkan membawa keselamatan; Terangkanlah, apa berkah utama itu."

Ini 2 kalimat bukan 4 kalimat. Dan jika disambung terus akan menjadi prosa. Dan adanya pengulangan kata adalah wajar dalam prosa, jadi tidak harus puisi saja yang ada pengulangan katanya. Dan selebihnya ada unsur logat dalam bahasa, seperti "ca" dan "ng" (ciiiw).

Hanya itu saja yang saja pendapat saya.
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

K.K.

Quote from: morpheus on 20 April 2011, 10:19:42 AM
bagi saya, puisi adalah ekspresi seni dan memiliki nilai2 keindahan pada kata2nya maupun keteraturannya.
apa maksudnya dibikin indah ataupun teratur?
Ini memang rumit, saya coba jelaskan maksud saya.
Rangkaian kata apapun (selama tidak dinyanyikan), maka di telinga 'nilainya' itu sama. Baru kata-kata itu dikenali dan diproses pikiran menjadi satu bentuk informasi. Baru lebih lanjut lagi, pikiran menilainya indah atau tidak.

Rangkaian nada di lain pihak, sudah dikenali oleh telinga sebagai indah/tidak. Contoh sederhana, nada dalam alat musik out of tone alias ga stem, langsung dikenali telinga. Begitu pula dengan seorang amusia (=fals dalam bahasa sini) bernyanyi, bisa langsung dikenali karena tidak indah di telinga.

Teratur hanya berkenaan dengan strukturnya saja, misalnya panjang pendek, jenis kata, pengulangan, dsb. Keindahan lebih pada sesuatu yang menimbulkan perasaan menyenangkan. Teratur tidak selalu indah, walaupun tidak menutup kemungkinan dipersepsi sebagai indah. Di lain pihak, Indah pun tidak selalu harus teratur/rapi secara strukturnya. Misalnya musik jazz, alternative atau metal, banyak perubahan tempo atau ketukan, tapi tetap indah.


Quotekenapa tidak dibikin dengan format prosa atau percakapan atau paragraf informasi ilmiah aja?
kalo argumennya adalah memanjakan indera dan kemelekatan, jelas terdapat perbedaan antara format puisi dan informasi ilmiah.
Hanya perbedaan cara saja. Kalau dalam syair, isinya biasanya singkat. Satu point disampaikan dalam satu-dua baris atau satu bait, lalu lanjut point berikutnya. Ini bukan memanjakan indera, tapi mengutamakan komunikasinya saja. Mungkin untuk perbandingan lain, bisa dilihat format 'alay'. Ini adalah contoh format lain. Apakah saya menghindari format itu karena melekat pada format lain? Tidak, hal ini bukan masalah perasaan menyenangkan atau tidak, tapi masalah pemilihan cara komunikasi saja.


Quotelalu di mana garis batas antara musik, puisi dan hal2 menyenangkan lainnya yg membedakan mana yang recommended dan not recommended?

ada beberapa faktor:
* formatnya (misal: prosa ok, puisi ok)
* cara pelantunannya (misal: baca datar ok, dangdut dan rock gak ok. atau semua musik gak ok)
* pikiran individu
* pendengar (misal: bhikkhu gak ok, else ok)
* etc?

yg mana dan di mana garis batasnya?
Ini akan sangat teknis kalau dibahas, mungkin malah akan membingungkan. Kalau saya pakai ukuran sederhana, jika hal tersebut lebih mengarah pada pembangkitan perasaan menyenangkan dibanding makna dan komunikasinya, maka itu adalah hal kesenangan indera. Contoh sederhana: saya menyukai lagu gospel, bisa menyanyikannya dengan perasaan senang, terlepas dari isi syairnya. Hal ini karena rangkaian nadanya indah. Sementara liriknya yang adalah sebuah unit komunikasi, tidak dipersepsi sebagai indah/tidak. Penilaiannya tergantung bagaimana orang mempersepsikannya. Untuk orang Kr1sten akan cenderung indah, untuk Satanist cenderung tidak indah, sementara bagi non-theist seperti saya, hanyalah kata-kata netral.

hendrako

Seingat ane ada siswa Arahat yang ahli dalam menciptakan puisi dan dipuji oleh Sang Buddha, tapi ane lupa namanya....

Di Samyutta Nikaya 20.7, ada yg berhubungan ama puisi nih:

7 Pasak Tambur
Di Sāvatthī. "Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau para Dasāraha
memiliki sebuah tambur yang bernama Pemanggil.367 Ketika Pemanggil
pecah, para Dasāraha menyisipkan pasak tambahan. [267] akhirnya
tiba waktunya bagian atas tambur menjadi hilang dan hanya sejumlah
pasak tersisa.
"Demikian pula, para bhikkhu, hal yang sama akan terjadi
dengan para bhikkhu di masa depan. Ketika khotbah-khotbah ini
yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata yang dalam, dalam maknanya,
Lokuttara, menjelaskan kekosongan, sedang dibacakan,368 mereka
tidak bersemangat mendengarnya, juga tidak bersungguhsungguh
mendengarnya, tidak mengarahkan pikiran mereka untuk
memahaminya; dan mereka tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran
itu harus dipelajari dan dikuasai. Tetapi ketika khotbah-khotbah
itu yang lebih puitis yang digubah oleh para penyair, dengan katakata
dan kalimat indah, diciptakan oleh pihak luar, dibabarkan oleh
siswa-siswa [mereka]
,369 sedang dibacakan, mereka akan bersemangat
mendengarnya, akan mendengarkan dengan sungguh-sungguh, akan
mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; dan mereka
berpikir bahwa ajaran-ajaran itu harus dipelajari dan dikuasai.
Demikianlah para bhikkhu, khotbah-khotbah ini yang dibabarkan oleh
Sang Tathāgata yang dalam, dalam maknanya, Lokuttara, menjelaskan
kekosongan, akan lenyap.
"Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut:
'Ketika khotbah-khotbah ini yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata
yang dalam, dalam maknanya, Lokuttara, menjelaskan kekosongan,
sedang dibacakan, maka kami akan bersemangat mendengarnya, akan
bersungguh-sungguh mendengarnya, akan mengarahkan pikiran kami
untuk memahaminya; dan kami akan berpikir bahwa ajaran-ajaran itu
harus dipelajari dan dikuasai.' Demikianlah kalian harus berlatih."



So.....hati2 dengan kata2 "Indah".
yaa... gitu deh

morpheus

Quote from: Indra on 20 April 2011, 10:23:51 AM
selain Mangala Sutta, seluruh Sagatha Vagga dari Samyutta Nikaya juga berisi syair2 puisi, IMO ini bukan dimaksudkan sebagai suatu karya seni, tapi lebih semacam gaya bahasa saja katika Sang Buddha berdialog dengan para dewa. jika anda pergi ke daerah pesisir Sumatera Utara (mungkin sampai ke malaysia), anda mungkin masih menjumpai beberapa penduduk asli yg memiliki gaya bahasa berpantun, dan pantun ini diucapkan secara spontan dalam komunikasi.
makasih penjelasannya.

gaya bahasa?
setahu saya yg namanya gaya bahasa itu semacam phrase singkat.
dalam sutta ini 12 bait berisikan satu ajaran mengenai berkah utama mulai dari yg sederhana sampai tertinggi.
dalam pantun spontan pun, biasanya sekadar 1 bait untuk menyampaikan maksud yg sederhana.

dan apakah dalam berbicara dengan dewa, Buddha selalu memakai format puisi?
dan apakah dalam berbicara dengan non-dewa, Buddha selalu memakai percakapan biasa?


Quote from: Kelana on 20 April 2011, 11:30:13 AM
Ini 2 kalimat bukan 4 kalimat. Dan jika disambung terus akan menjadi prosa. Dan adanya pengulangan kata adalah wajar dalam prosa, jadi tidak harus puisi saja yang ada pengulangan katanya. Dan selebihnya ada unsur logat dalam bahasa, seperti "ca" dan "ng" (ciiiw).

Hanya itu saja yang saja pendapat saya.
yg saya maksudkan tentulah 12 bait jawaban dari Buddha.
dan saya gak sependapat dengan anda.
thanks anyway.

Quote from: Kainyn_Kutho on 20 April 2011, 12:07:00 PM
Ini memang rumit, saya coba jelaskan maksud saya.
Rangkaian kata apapun (selama tidak dinyanyikan), maka di telinga 'nilainya' itu sama. Baru kata-kata itu dikenali dan diproses pikiran menjadi satu bentuk informasi. Baru lebih lanjut lagi, pikiran menilainya indah atau tidak.

Rangkaian nada di lain pihak, sudah dikenali oleh telinga sebagai indah/tidak. Contoh sederhana, nada dalam alat musik out of tone alias ga stem, langsung dikenali telinga. Begitu pula dengan seorang amusia (=fals dalam bahasa sini) bernyanyi, bisa langsung dikenali karena tidak indah di telinga.

Teratur hanya berkenaan dengan strukturnya saja, misalnya panjang pendek, jenis kata, pengulangan, dsb. Keindahan lebih pada sesuatu yang menimbulkan perasaan menyenangkan. Teratur tidak selalu indah, walaupun tidak menutup kemungkinan dipersepsi sebagai indah. Di lain pihak, Indah pun tidak selalu harus teratur/rapi secara strukturnya. Misalnya musik jazz, alternative atau metal, banyak perubahan tempo atau ketukan, tapi tetap indah.
apa yg anda tulis di atas memang benar, tapi saya pikir gak relevan.
bagi saya sederhana aja, itu format dan bentuk puisi, digubah berdasarkan nilai2 seni dan keindahan tersendiri. puisi berbeda dengan karangan ilmiah atau dialog percakapan.
sepertinya cukup di sini untuk yg ini. thanks.


Quote from: Kainyn_Kutho on 20 April 2011, 12:07:00 PM
Hanya perbedaan cara saja. Kalau dalam syair, isinya biasanya singkat. Satu point disampaikan dalam satu-dua baris atau satu bait, lalu lanjut point berikutnya. Ini bukan memanjakan indera, tapi mengutamakan komunikasinya saja. Mungkin untuk perbandingan lain, bisa dilihat format 'alay'. Ini adalah contoh format lain. Apakah saya menghindari format itu karena melekat pada format lain? Tidak, hal ini bukan masalah perasaan menyenangkan atau tidak, tapi masalah pemilihan cara komunikasi saja.
saya simpulkan, point anda sama dengan point om indra.
yaitu ini hanyalah cara berkomunikasi, tidak ada hubungannya dengan nilai keindahan dan seni di sana.

Quote from: Kainyn_Kutho on 20 April 2011, 12:07:00 PM
Ini akan sangat teknis kalau dibahas, mungkin malah akan membingungkan. Kalau saya pakai ukuran sederhana, jika hal tersebut lebih mengarah pada pembangkitan perasaan menyenangkan dibanding makna dan komunikasinya, maka itu adalah hal kesenangan indera. Contoh sederhana: saya menyukai lagu gospel, bisa menyanyikannya dengan perasaan senang, terlepas dari isi syairnya. Hal ini karena rangkaian nadanya indah. Sementara liriknya yang adalah sebuah unit komunikasi, tidak dipersepsi sebagai indah/tidak. Penilaiannya tergantung bagaimana orang mempersepsikannya. Untuk orang Kr1sten akan cenderung indah, untuk Satanist cenderung tidak indah, sementara bagi non-theist seperti saya, hanyalah kata-kata netral.
"jika hal tersebut lebih mengarah pada pembangkitan perasaan menyenangkan dibanding makna dan komunikasinya" kan bisa berlaku untuk puisi maupun musik? ataukah maksud anda untuk mengatakan tergantung pada usernya masing2, semua format dan cara pengucaran netral? atau lain lagi?
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

K.K.

Quote from: hendrako on 20 April 2011, 12:55:26 PM
Seingat ane ada siswa Arahat yang ahli dalam menciptakan puisi dan dipuji oleh Sang Buddha, tapi ane lupa namanya....

[...]
Mungkin Thera Vangisa, Mahasavaka terunggul dalam pemahaman kata, yang dulu bisa menebak tempat tujuan tumimbal lahir seseorang dengan menyentuh tengkoraknya dan kebingungan setelah menyentuh tengkorak dari Arahat. 

Indra

Quote from: morpheus on 20 April 2011, 01:44:24 PM
makasih penjelasannya.

gaya bahasa?
setahu saya yg namanya gaya bahasa itu semacam phrase singkat.
dalam sutta ini 12 bait berisikan satu ajaran mengenai berkah utama mulai dari yg sederhana sampai tertinggi.
dalam pantun spontan pun, biasanya sekadar 1 bait untuk menyampaikan maksud yg sederhana.


ini pendapat pribadi,
mungkin saja dikalangan para dewa, jika berbicara kepada orang yg lebih dimuliakan, adalah dianggap tidak sopan jika berbicara secara langsung dengan gaya bahasa prosa, dan dianggap lebih menghormat jika berbicara dalam bentuk syair.

misalnya dalam pergaulan manusia sehari2, kita tidak ber"loe-gue" kepada orang yg lebih dihormati, misalnya kepada bhikkhu/guru/orang tua/dsb.

K.K.

Quote from: morpheus on 20 April 2011, 01:44:24 PM
apa yg anda tulis di atas memang benar, tapi saya pikir gak relevan.
bagi saya sederhana aja, itu format dan bentuk puisi, digubah berdasarkan nilai2 seni dan keindahan tersendiri. puisi berbeda dengan karangan ilmiah atau dialog percakapan.
sepertinya cukup di sini untuk yg ini. thanks.
OK, saya bisa tangkap maksudnya. Puisi memang ada pemilihan kata dan aturan susunan yang rumit, yang bisa dinilai sebagian orang sebagai seni, maka bro morph bilang itu tetap indah. Kalau saya hanya melihat itu sebagai cara komunikasi yang berbeda di mana bahasa + rumus = puisi, dan cenderung pada intelijensia (linguistik) ketimbang estetika.

Quotesaya simpulkan, point anda sama dengan point om indra.
yaitu ini hanyalah cara berkomunikasi, tidak ada hubungannya dengan nilai keindahan dan seni di sana.
Betul begitu, bro morph. Bukan indah/tidak indah, tapi hanya sebuah cara komunikasi saja.

[spoiler]Demikian, Morpheus
Tiada indah pun sedap
Dengan kata terbaris
Buah fikirmu terucap[/spoiler]

[spoiler]eah kk m0rPh, bkи j3l3k at0 b4gu5, yG P3иt1и6 di4n66ep k3r3и 4m4 t3m3и2-q[/spoiler]


Quote"jika hal tersebut lebih mengarah pada pembangkitan perasaan menyenangkan dibanding makna dan komunikasinya" kan bisa berlaku untuk puisi maupun musik? ataukah maksud anda untuk mengatakan tergantung pada usernya masing2, semua format dan cara pengucaran netral? atau lain lagi?
Seperti saya bilang, musik (dengan definisi benar) itu indah di setiap telinga. Ketika ada yang fals, semua orang (dengan pendengaran normal) mengetahui dan mempersepsi suara tersebut sebagai "tidak enak". Ini bukan subjektif, namun memang demikianlah indera telinga mempersepsi suara. Bagaimana orang menyukai/tidak lagu tersebut, barulah subjektif tergantung selera (baca: kemelekatan) masing-masing.

Kalau puisi, secara suara & bahasa, saya pikir netral saja, entah yang mana yang bisa dinyatakan indah. Memangnya kalau menurut bro morph, di mana indahnya?


morpheus

Quote from: Kainyn_Kutho on 20 April 2011, 02:51:17 PM
OK, saya bisa tangkap maksudnya. Puisi memang ada pemilihan kata dan aturan susunan yang rumit, yang bisa dinilai sebagian orang sebagai seni, maka bro morph bilang itu tetap indah. Kalau saya hanya melihat itu sebagai cara komunikasi yang berbeda di mana bahasa + rumus = puisi, dan cenderung pada intelijensia (linguistik) ketimbang estetika.

Betul begitu, bro morph. Bukan indah/tidak indah, tapi hanya sebuah cara komunikasi saja.

Seperti saya bilang, musik (dengan definisi benar) itu indah di setiap telinga. Ketika ada yang fals, semua orang (dengan pendengaran normal) mengetahui dan mempersepsi suara tersebut sebagai "tidak enak". Ini bukan subjektif, namun memang demikianlah indera telinga mempersepsi suara. Bagaimana orang menyukai/tidak lagu tersebut, barulah subjektif tergantung selera (baca: kemelekatan) masing-masing.

Kalau puisi, secara suara & bahasa, saya pikir netral saja, entah yang mana yang bisa dinyatakan indah. Memangnya kalau menurut bro morph, di mana indahnya?
anda orang pertama yg mempertanyakan keindahan puisi. setahu saya itu common knowledge...

po·em
noun /ˈpōəm/  /ˈpōim/  /pōm/
poems, plural

...
2. Something that arouses strong emotions because of its beauty

Poetry (from the Greek "ποίησις", , a "making") is a form of literary art in which language is used for its aesthetic and evocative qualities in addition to, or in lieu of, its apparent meaning. ...
en.wikipedia.org/wiki/Poem

a literary piece written in verse; a piece of writing in the tradition of poetry, an instance of poetry; a piece of poetic writing, that is with an intensity or depth of expression or inspiration greater than is usual in prose
en.wiktionary.org/wiki/poem

===

bicara soal fals, sampe sekarang saya gak bisa mengapresiasi sitar yg kedengeran kayak ngaco dan fals, walaupun temen saya dengernya bisa sampe merem geleng2...

kalo teori saya, sutta banyak dibikin dalam bentuk puisi itu bertujuan untuk kemudahan menghapal dan juga kenyamanan mengucarkannya. ini bisa dilihat dari tradisi india dan hindu, di mana banyak terdapat ajaran2 yg juga diajarkan dalam bentuk puisi karena mereka punya kebiasaan chanting ayat2 suci ini dalam lagu atau intonasi tertentu. yg paling ekstrim mungkin adalah orang sikh yg chant buku sucinya dengan alat musik menjadi sejenis... dangdut.

saya juga bisa menerima kalo puisi ini dikatakan salah satu cara komunikasi (termasuk Sang Buddha) di mana kadang bentuk puisi bisa diserap dan dipahami dengan lebih mudah. point lain, saya menilai ada segi2 tertentu dari puisi (entah karena keindahannya ataukah ekspresinya kuat secara emosional) yg bisa membuat orang tergugah dan tersadar. walaupun gak pernah mengalami dan gak ada contohnya, saya berpikir mungkin lagu tertentu juga bisa memberikan efek yg sama...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

hemayanti

#209
menarik..  :)
saya mencoba membaca dan memahami dari awal hingga akhir..  ;D
jawaban2 disini mungkin berusaha untuk menerangkan judul treat ini..  :)
tapi saya tiba2 terpikir, apa iya hubungan musik dan dhamma sebegitu eratnya?
IMO, musik ya musik, dhamma ya dhamma.  ;D
walaupun mungkin ada sedikit hubungan antara keinginan yang terus-menerus ingin bermain musik dengan kemelekatan, tapi menurut saya tidak selamanya terjadi.
ketika seseorang bermain musik karena ia punya ketertarikan dan bakat dalam bidang tersebut, lalu ingin melatih bakatnya dengan latihan yang terus-menerus, menurut saya ini sama sekali tidak berhubungan dengan kemelekatan.
sama hal seperti seorang tukang kayu yang ingin terus melatih kemampuannya dalam hal pertukangan, apakah ini termasuk kemelekatan?
akan sangat tidak adil jadinya kalau seorang pemusik dianggap melekat dan seorang tukang kayu tidak, toh setiap orang punya ketertarikan yang berbeda terhadap sesuatu.   :)
malah menurut saya, seseorang yang mempunyai bakat sebaiknya terus berusaha untuk mengembangkan dan mengasah bakat yang ia punya, baik itu dalam bidang musik dan sebagainya, selama itu bukanlah hal yang negatif dan merugikan diri sendiri dan orang lain.
_/\_ bagaimana pendapat teman2?
dan saya pikir musik sama sekali tidak merugikan buat orang lain (kecuali jika menghasilkan nada yang sumbang dan membuat sakit telinga  ;D), tapi itulah guna latihan untuk membuat musik2 yang indah, juga tidak ada ruginya bagi diri sendiri.
apakah hanya karena larangan bermain musik masuk dalam dalam satu sila yang harus dilaksanakan dalam 8sila, lalu musik mendapatkan diskriminasi?
jangan sampai dhamma menghalangi bakat musik seseorang..  :)
saya setuju dengan pendapat om harpuia, umat awam bukanlah bhikkhu jadi tidak perlu berlagak seperti bhikkhu.
namun jika sedang melaksankan atthasila, idealnya sih memang tidak memanjakan indria, salah satunya dengan bermain ataupun mendengarkan musik..
kalo yang ini saya setuju..  ;D
**hanya pendapat pribadi, kalau ada yang g sesuai, mohon dikoreksi...  ;D

saya teringat beberapa hari yang lalu pernah bertanya ke bhante, apakah ketika seseorang melakukan satu perbuatan yang menurutnya membawa kebahagiaan, misalnya memberikan dana makanan kepada para bhikkhu, lalu ia ingin dan ingin lagi melakukannya, apakah itu termasuk kemelekatan?
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."