Hubungan Musik dengan Dhamma?

Started by M14ka, 23 March 2011, 12:34:44 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

hemayanti

Quote from: Kainyn_Kutho on 13 April 2011, 11:11:35 AM
Tidak wajib, tapi dianjurkan.

Sutta Nipata, Dhammikasutta:

[...]
Aku akan memberitahukan kewajiban dari perumahtangga, yang melakukannya akan membawa manfaat, karena -tidak mungkin seorang perumahtangga melakukan apa yang dilakukan bhikkhu sepenuhnya.
-Tidak membunuh ...
-Tidak mengambil apa yang tidak diberikan ...
-Menghindari kehidupan tidak suci sebagaimana orang bijaksana menghindari lubang dengan bara yang menyala, mereka yang tidak hidup suci, sedikitnya tidak pergi ke istri orang lain.
[...]
Menghindari pembunuhan, pencurian, berbohong, dan zat memabukkan;
Hidup suci, menjauhkan diri dari hubungan seksual
Tidak makan pada malam hari dan pada waktu yang tidak tepat
Tidak mengenakan bunga, wangi-wangian
Tidur di lantai atau menggunakan tikar

Delapan sila ini dilaksanakan pada hari bulan penuh, oleh Sang Bhagava untuk mengakhiri dukkha.
Pada hari ke empat belas, lima belas dan delapan ketika bulan mengembang, jalankanla delapan sila.
Pada pagi hari, dengan pikiran bersih dan bahagia, seorang bijak, setelah menjalankan uposatha, memberikan makanan dan minuman yang sesuai untuk sangha.
Ia harus menyokong ibu dan ayahnya sebagai kewajibannya dan melakukan perdagangan yang jujur.
Ini yang harus dilakukan dengan giat bagi seorang perumahtangga agar terlahir di antara deva yang disebut menyinari diri sendiri (sayampabhe).



Yang menarik, dalam sutta ini tidak disinggung mengenai musik, nyanyian, dan hiburan.

iya kok bisa ya om?
kalo begitu, asalnya sila ke 7 dari mana ya?  ;D



Quote from: Indra on 13 April 2011, 09:46:07 AM
pancasila juga tidak wajib, hanya patimokha yg wajib bagi para bhikkhu, bagi umat awam tidak ada yg wajib. bagi umat awam semua peraturan hanya bersifat anjuran, tapi bagi umat yg sungguh2 ingin menjalani kehidupan spiritual buddhis, maka ia akan mengambil atthasila sebagai wajib pada hari Uposatha, attha sila ini juga disebut sbg Uposatha sila
om, kalau misalnya seorang upasaka-upasika apakah g wajib juga melaksanakan 5sila dan 8sila pada hari uposatha?
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

lobsangchandra

hubungannya...baik-baik saja... ;D :P :>-

hemayanti

"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

Indra

Quote from: hemayanti on 21 April 2011, 12:25:57 AM
om, kalau misalnya seorang upasaka-upasika apakah g wajib juga melaksanakan 5sila dan 8sila pada hari uposatha?

kalau diperhatikan dari kalimat2 pada sila, "saya bertekad untuk melatih diri ....", IMO ini adalah ungkapan atas suatu komitmen pribadi. jadi kita sendiri lah yg bertekad untuk melaksanakan, tidak ada kewajiban atau paksaan dari pihak eksternal. dan jika dalam melaksanakan itu kita melakukan pelanggaran, juga tidak ada pihak eksternal yg akan menjatuhkan hukuman. ini yg saya maksudkan dengan "tidak wajib". tetapi sebagai buddhis yg baik, tentu saja kita harus berusaha "wewajibkan" melaksanakan pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan atthasila pada hari Uposatha.

hemayanti

Quote from: Indra on 21 April 2011, 02:38:56 AM
kalau diperhatikan dari kalimat2 pada sila, "saya bertekad untuk melatih diri ....", IMO ini adalah ungkapan atas suatu komitmen pribadi. jadi kita sendiri lah yg bertekad untuk melaksanakan, tidak ada kewajiban atau paksaan dari pihak eksternal. dan jika dalam melaksanakan itu kita melakukan pelanggaran, juga tidak ada pihak eksternal yg akan menjatuhkan hukuman. ini yg saya maksudkan dengan "tidak wajib". tetapi sebagai buddhis yg baik, tentu saja kita harus berusaha "wewajibkan" melaksanakan pancasila dalam kehidupan sehari-hari dan atthasila pada hari Uposatha.
_/\_ oh.. iya iya.. makasih penjelasannya om..
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

fran

DhammaGosa termasuk DhammaDosa-kah ?
Apa yg bisa saya "lepaskan" jika saya memilih agama Buddha ?

K.K.

#216
Quote from: morpheus on 20 April 2011, 04:11:35 PM
anda orang pertama yg mempertanyakan keindahan puisi. setahu saya itu common knowledge...

[spoiler]po·em
noun /ˈpōəm/  /ˈpōim/  /pōm/
poems, plural

...
2. Something that arouses strong emotions because of its beauty

Poetry (from the Greek "ποίησις", , a "making") is a form of literary art in which language is used for its aesthetic and evocative qualities in addition to, or in lieu of, its apparent meaning. ...
en.wikipedia.org/wiki/Poem

a literary piece written in verse; a piece of writing in the tradition of poetry, an instance of poetry; a piece of poetic writing, that is with an intensity or depth of expression or inspiration greater than is usual in prose
en.wiktionary.org/wiki/poem
[/spoiler]
===
Benar, itu common knowledge/sense. Hanya saja, dalam pembahasan lingkup tertentu, saya tidak selalu setuju dengan orang kebanyakan.

Saya coba ulang lagi, harap tidak bosan. Perasaan menyenangkan ada yang berhubungan langsung dengan indera, ada yang berhubungan dengan pikiran. Yang berhubungan dengan indera ini sifatnya lebih objektif, sedangkan yang berhubungan dengan pikiran lebih subjektif.

Contoh ekstrem: Dipukul sampai luka adalah perasaan tubuh menyakitkan (objektif). Tapi apakah merupakan perasaan pikiran tidak menyenangkan? Belum tentu. Bagi orang masokis, justru bisa bikin orgasme.

Kalau musik, sudah saya jelaskan bahwa kelompok nada (bunyi dalam perbandingan frekuensi dan waktu) tertentu memang indah di telinga. Jika perbandingannya ngaco (misalnya alat musik yang tidak stem), telinga menerimanya sebagai tidak menyenangkan, terlepas dari intensitas tidak menyenangkannya. Ini dari segi indera, memang menyangkut hal menyenangkan dan tidak.

Dari segi pikiran, sangat tergantung pada subjeknya, maka ada yang suka rock, ada yang suka blues, bahkan ada juga beberapa orang yang tidak menyukai musik sama sekali. Ini berkenaan dengan kecenderungan seseorang.

Sekarang kita bahas ke puisi, secara 'fisik', apanya yang indah? Susunan katanya, bunyinya, atau apanya?

Kalau yang indah adalah maknanya, berarti adalah sebuah ide, yang berhubungan langsung dengan pikiran. Ini saya setuju bisa indah, namun tetap sangat subjektif sekali. Jika secara panca-indera tidak ada batasan menyenangkan atau tidak, maka batasannya hanyalah tergantung pikiran seseorang saja. Dengan kata lain, lebih subjektif dari masokisme. Berdasarkan hal tersebut, saya tidak mengatakan syair sebagai kesenangan indriah.


Quotebicara soal fals, sampe sekarang saya gak bisa mengapresiasi sitar yg kedengeran kayak ngaco dan fals, walaupun temen saya dengernya bisa sampe merem geleng2...
Ini memang preference seseorang. Seseorang belum tentu menikmati suaranya ketika mendengar musik, namun menikmati ide yang muncul di pikirannya ketika mendengar musik.


Quotekalo teori saya, sutta banyak dibikin dalam bentuk puisi itu bertujuan untuk kemudahan menghapal dan juga kenyamanan mengucarkannya. ini bisa dilihat dari tradisi india dan hindu, di mana banyak terdapat ajaran2 yg juga diajarkan dalam bentuk puisi karena mereka punya kebiasaan chanting ayat2 suci ini dalam lagu atau intonasi tertentu. yg paling ekstrim mungkin adalah orang sikh yg chant buku sucinya dengan alat musik menjadi sejenis... dangdut.

saya juga bisa menerima kalo puisi ini dikatakan salah satu cara komunikasi (termasuk Sang Buddha) di mana kadang bentuk puisi bisa diserap dan dipahami dengan lebih mudah.
Ya, menurut saya, teori bro morph ini sangat masuk akal.


Quotepoint lain, saya menilai ada segi2 tertentu dari puisi (entah karena keindahannya ataukah ekspresinya kuat secara emosional) yg bisa membuat orang tergugah dan tersadar. walaupun gak pernah mengalami dan gak ada contohnya, saya berpikir mungkin lagu tertentu juga bisa memberikan efek yg sama...
Menurut saya tidak demikian. Pemahaman dan pengertian seharusnya bebas dari bias emosi/perasaan. Beberapa pihak senang sekali menggunakan teknik manipulasi perasaan untuk membuat orang tergugah dan mengarahkan sugesti agar membentuk delusi sesuai doktrin yang diajarkan. Ketika orang terbawa perasaan (apakah sedih, takut, marah, dsb), maka mentalnya lemah dan tidak stabil. Keadaan tersebut sangat tidak kondusif untuk mengerti sebuah kebenaran. Yang saya pahami, justru Buddha selalu 'menetralkan' perasaan dahulu, baru mengajarkan kebenaran.

[spoiler]Misalnya Bahiya yang perasaan antuiasnya diredakan dengan menolak menjawab atau perasaan senang Vakalli terhadap Buddha yang dikurangi dengan menyuruhnya tinggal di tempat jauh.[/spoiler]

K.K.

Quote from: hemayanti on 21 April 2011, 12:25:57 AM
iya kok bisa ya om?
kalo begitu, asalnya sila ke 7 dari mana ya?  ;D
Dhammikasutta itu berasal dari suttanipata yang memang salah satu teks dianggap paling tua. Di sutta2 lain seperti dalam uposathavaggo (bab tentang uposatha) banyak membahas sila-sila uposatha secara detail, di mana sila ke 7 mencakup tarian, musik dan hiburan. Ada juga membahas sikap kita terhadap atthasila hendaknya bukan karena kebiasaan atau ritual, tetapi dengan pandangan benar.

hemayanti

Quote from: Kainyn_Kutho on 21 April 2011, 04:34:14 PM
Dhammikasutta itu berasal dari suttanipata yang memang salah satu teks dianggap paling tua. Di sutta2 lain seperti dalam uposathavaggo (bab tentang uposatha) banyak membahas sila-sila uposatha secara detail, di mana sila ke 7 mencakup tarian, musik dan hiburan. Ada juga membahas sikap kita terhadap atthasila hendaknya bukan karena kebiasaan atau ritual, tetapi dengan pandangan benar.
ada link buat membacanya g om kainyn?
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

morpheus

Quote from: Kainyn_Kutho on 21 April 2011, 04:22:16 PM
Benar, itu common knowledge/sense. Hanya saja, dalam pembahasan lingkup tertentu, saya tidak selalu setuju dengan orang kebanyakan.

Saya coba ulang lagi, harap tidak bosan. Perasaan menyenangkan ada yang berhubungan langsung dengan indera, ada yang berhubungan dengan pikiran. Yang berhubungan dengan indera ini sifatnya lebih objektif, sedangkan yang berhubungan dengan pikiran lebih subjektif.

Contoh ekstrem: Dipukul sampai luka adalah perasaan tubuh menyakitkan (objektif). Tapi apakah merupakan perasaan pikiran tidak menyenangkan? Belum tentu. Bagi orang masokis, justru bisa bikin orgasme.

Kalau musik, sudah saya jelaskan bahwa kelompok nada (bunyi dalam perbandingan frekuensi dan waktu) tertentu memang indah di telinga. Jika perbandingannya ngaco (misalnya alat musik yang tidak stem), telinga menerimanya sebagai tidak menyenangkan, terlepas dari intensitas tidak menyenangkannya. Ini dari segi indera, memang menyangkut hal menyenangkan dan tidak.

Dari segi pikiran, sangat tergantung pada subjeknya, maka ada yang suka rock, ada yang suka blues, bahkan ada juga beberapa orang yang tidak menyukai musik sama sekali. Ini berkenaan dengan kecenderungan seseorang.

Sekarang kita bahas ke puisi, secara 'fisik', apanya yang indah? Susunan katanya, bunyinya, atau apanya?

Kalau yang indah adalah maknanya, berarti adalah sebuah ide, yang berhubungan langsung dengan pikiran. Ini saya setuju bisa indah, namun tetap sangat subjektif sekali. Jika secara panca-indera tidak ada batasan menyenangkan atau tidak, maka batasannya hanyalah tergantung pikiran seseorang saja. Dengan kata lain, lebih subjektif dari masokisme. Berdasarkan hal tersebut, saya tidak mengatakan syair sebagai kesenangan indriah.
om kainyn, saya kok merasa ada kontradiksi di quotation atas.

ala abhidhamma, objek apapun yg masuk lewat mata dan telinga (istilah anda mungkin 'fisik' atau 'objektif') adalah netral, tidak ada penilaian di sana, tidak indah, tidak jelek. sederet tulisan prosa, bait2 puisi, simfony beethoven atau raungan kucing semuanya hanyalah bunyi. singkat kata di step berikutnya, di saat "aku mendengar", di situ ada penilaian indah, jelek, nikmat, menyebalkan, dsb. imo, tidak ada perbedaan antara musik dengan puisi pada proses ini. dua2nya subjektif. sesuatu yg didambakan atau cocok dengan persepsi indah akan dinilai sebagai indah.

kembali ke puisi, banyak yg bisa dikatakan indah. memang bisa saja seperti yg anda bilang, maknanya.
namun ada juga yg merasakan keindahannya dari susunan katanya, pemilihan katanya ataupun rimanya.
memang keindahan ini bukan kemerduan suara (objek untuk telinga), bukan pemandangan indah (objek untuk mata), namun keindahan puisi ini adalah objek mental untuk intelek.

saya mengacu pada konsep buddhism mengenai enam macam objek dan inderanya (salayatana?). inilah mengapa Buddha mengatakan semuanya terbakar: telinga, hidung, lidah, tubuh / kulit dan intelek. sesuatu yg kita senangi dan lekati secara intelek, itu adalah pemuasan indera. jadi selain orgasme sentuhan, juga ada orgasme intelek.
referensi: kotbah api, http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.028.than.html

apakah saya nyambung di sini? ataukah kita udah muter satu puteran untuk disagree?


Quote from: Kainyn_Kutho on 21 April 2011, 04:22:16 PM
Menurut saya tidak demikian. Pemahaman dan pengertian seharusnya bebas dari bias emosi/perasaan. Beberapa pihak senang sekali menggunakan teknik manipulasi perasaan untuk membuat orang tergugah dan mengarahkan sugesti agar membentuk delusi sesuai doktrin yang diajarkan. Ketika orang terbawa perasaan (apakah sedih, takut, marah, dsb), maka mentalnya lemah dan tidak stabil. Keadaan tersebut sangat tidak kondusif untuk mengerti sebuah kebenaran. Yang saya pahami, justru Buddha selalu 'menetralkan' perasaan dahulu, baru mengajarkan kebenaran.

[spoiler]Misalnya Bahiya yang perasaan antuiasnya diredakan dengan menolak menjawab atau perasaan senang Vakalli terhadap Buddha yang dikurangi dengan menyuruhnya tinggal di tempat jauh.[/spoiler]
mungkin anda benar pada konteks dukkha dan lenyapnya dukkha.
namun pada level duniawi, bagaimanapun emosi2 positif lebih berguna ketimbang emosi2 negatif, bukan?
kesadaran dan tergugah kecil2an masih lumayan kan?

saya mengerti maksud anda yg melihat dari sisi purist atau fundamentalis.
yg saya takutkan di sini, yg berada di level indera menghipnotis dan memaksakan dirinya pada level ariya.
yg seharusnya nafsu itu padam secara alami, jadinya malah nafsu yg terkekang dan pada waktunya bisa meledak atau muncul sebagai split personality...
ini yg saya ingin hindarkan dari pembaca, apalagi yg baru belajar.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

K.K.


Kelana

Bagaimana dengan kisah Ratu Khema yang terbujuk oleh lagu mengenai Vihara Veluvana sehingga ia akhirnya mau berkunjung ke kediaman Sang Buddha dan akhirnya ia mencapai tingkat kesucian?
[spoiler]http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/kisah-khema-theri/[/spoiler]
Ada yang mau berkomentar?

GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

ryu

Quote from: Kelana on 23 April 2011, 09:49:20 AM
Bagaimana dengan kisah Ratu Khema yang terbujuk oleh lagu mengenai Vihara Veluvana sehingga ia akhirnya mau berkunjung ke kediaman Sang Buddha dan akhirnya ia mencapai tingkat kesucian?
[spoiler]http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/kisah-khema-theri/[/spoiler]
Ada yang mau berkomentar?


Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 347 berikut :

Mereka yang bergembira dengan nafsu indria,
akan jatuh ke dalam arus (kehidupan),
seperti laba-laba yang jatuh
ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri.
Tapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu,
mereka meniggalkan kehidupan duniawi, tanpa ikatan,
serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

adi lim

Quote from: fran on 21 April 2011, 02:05:02 PM
DhammaGosa termasuk DhammaDosa-kah ?

tahukah arti kata Dosa dalam ajaran Buddha ?
atau anda mengerti kata Dosa menurut kepercayaan agama 'tetangga' ?
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

K.K.

#224
Quote from: hemayanti on 21 April 2011, 10:08:40 PM
ada link buat membacanya g om kainyn?
Yang Visakhasutta saya tidak ketemu linknya, jadi saya coba terjemahkan seadanya:

Anguttara Nikaya, Tikanipata, Dutiyapaṇṇāsakaṃ, Mahāvaggo, Uposathasutta.

Demikian yang kudengar. Suatu ketika, Sang Bhagava berdiam di Vihara Pubba, kediaman Migaramata di Savatthi. Migaramata pada saat uposatha mendekati Sang Bhagava, menghormat dan duduk di satu sisi.
Sang bhagava berkata kepadanya: 'Visakha, mengapa engkau datang di waktu siang hari?'
'Hari ini uposatha, Bhante, dan saya menjalankan atthasila.'
'Visakha, ada tiga macam uposatha. Apakah tiga tersebut? Uposatha Ternak, uposatha Nigantha, dan uposatha Ariya.
Visakha, apakah Uposatha Ternak? Visakha, seperti gembala ternak yang mengembalikan kawanan ternak kepada pemiliknya dan berpikir, hari ini ternak makan di tempat ini dan ini, dan minum air di tempat ini dan ini, dan besok ternak akan makan di tempat ini dan ini, minum di tempat ini dan ini.
Visakha, dengan cara yang sama pula seseorang menjalankan atthasila berpikir: hari ini saya makan makanan ini dan ini, minum minuman bergizi ini dan ini. Besok saya akan makan makanan ini dan ini, minum minuman bergizi ini dan ini. Demikianlah ia menghabiskan hari dengan pikiran dikuasai keserakahan dan keinginan. Visakha, ini adalah Uposatha Ternak dan tidak berbuah banyak, tidak berpahala besar.

Visakha, apakah Uposatha Nigantha? Visakha, ada para petapa yang disebut Nigantha, mereka mengajarkan muridnya demikian: Marilah, orang baik, jangan melukai makhluk hidup di arah timur ... barat ... utara ... selatan sejauh seratus yojana.
Demikianlah uposathanya disertai belas kasih dan kebaikan untuk sebagian, dan tanpa belas kasih dan kebaikan untuk sebagian lain.
Seorang tertentu pada saat hari bulan penuh mengajarkan pada muridnya: Marilah, orang baik. Tanggalkan pakaianmu dan katakan dengan ini aku tidak memiliki keinginan akan tempat atau hal apapun dan aku tidak memiliki kemelekatan pada tempat atau hal apapun. Ibu dan ayahnya mengetahui ini anak kami, dan dia pun mengetahui, ini adalah ibu dan ayahku. Istri dan anaknya mengetahui, ini suami dan ini ayahku. Iapun mengetahui ini anak dan istriku. Budak dan pekerjanya mengetahui ini tuanku, dan iapun mengetahui bahwa ini budak dan pekerjaku. 
Demikianlah ketika ia memperhatikan semua sila, ia memperhatikan sila menghindari kebohongan. Ini adalah penghindaran kebohongan bagi dia. Pada akhir malam itu, ia mengambil kekayaannya bahkan sebelum diberikan. Ini adalah menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Visakha, ini adalah Uposatha Nigantha, dan tidak berbuah banyak, tidak berpahala besar.

Visakha, apakah Uposatha Ariya?
Visakha, ini adalah cara pembersihan noda pikiran. Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan Tathagata, 'Arahat, Samma Sambuddha ... [Buddhanussati].' Ketika merenungkan Sang Tathagata, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar. Visakha, ini seperti kepala yang kotor dibersihkan.
Visakha, bagaimanakah kepala yang kotor dibersihkan? Denga adonan, tanah liat, air dan usaha yang sesuai dari seseorang, kepala seseorang dibersihkan. Demikian halnya pikiran ternoda dibersihkan.

Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan Dhamma, 'Ajaran Sang Bhagava ... [Dhammanussati].' Ketika merenungkan Dhamma, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar. Visakha, ini seperti tubuh yang kotor dibersihkan.
Visakha, bagaimanakah tubuh kotor dibersihkan? Dengan sikat, kapur, air dan usaha yang sesuai dari seseorang, tubuh kotor dibersihkan. Demikian pula pikiran ternoda dibersihkan. 

Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan Sangha [Sanghanussati].
Ketika merenungkan Sangha, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar. Visakha, ini seperti pakaian yang kotor dibersihkan.
Visakha, bagaimanakah pakaian kotor dibersihkan? Dengan alkali, kotoran sapi, dan air, dan usaha yang sesuai seseorang, pakaian kotor dibersihkan. Demikian halnya pikiran ternoda dibersihkan.

Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan Sangha: [Empat pasang siswa Ariya].
Ketika merenungkan Sangha, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar.

Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan silanya sendiri yang tidak terputus, terpatah atau ternoda ... [Silanussati].
Ketika merenungkan sila, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar. Visakha, ini seperti cermin kotor yang dibersihkan.
Visakha, bagaimanakah caranya cermin kotor dibersihkan? Dengan minyak, kapur, dan kuas dan usaha yang sesuai dari seseorang, cermin kotor dibersihkan. Demikian halnya pikiran ternoda dibersihkan. 

Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan para deva ... [Devanussati].
Ketika merenungkan para deva, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar. Visakha, ini seperti emas dan perak kotor yang dibersihkan.
Visakha, bagaimanakah caranya emas dan perak dibersihkan? Dengan perapian, garam, pelapisan merah, tabung dan pipa dan penjepit dan usaha yang sesuai dari seseorang, emas dan perak dibersihkan. Demikian halnya pikiran ternoda dibersihkan. 

Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan para deva: ada deva Catumaharajika, Tavatimsa ... Brahma, dan di atasnya. Dengan keyakinan, pengertian, kebaikan dan kebijaksanaan, mereka hilang dari sini dan muncul di sana; Keyakinan, pengertian, kebaikan dan kebijaksanaan yang demikian juga aku miliki. Maka ketika ia merenungkan keyakinan, pengertian, kebaikan dan kebijaksanaan para deva dan dirinya, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar.
Visakha, ini disebut siswa ariya memperhatikan sila dari para deva dan hidup di kumpulan para deva yang sehubungan dengan hal itu, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar.  Demikian halnya pikiran ternoda dibersihkan. 

Visakha, Siswa ariya merenungkan demikian: Selama hidup, para ariya menghindari pembunuhan ... menghindari pencurian ... menghindari hidup tidak suci ... menghindari berbohong ...
tidak mengkonsumsi minuman memabukkan ... makan hanya sekali ... menghindari tarian, nyanyian dan musik, hiburan, memperindah diri ... menghindari duduk di tempat tinggi, duduk di tempat yang rendah, tidur di alas rumput ...
Sesuai sifat ini, saya mengikuti para ariya dan semoga sila saya sempurna.

Visakha, ini adalah Uposatha Ariya, ketika dijalankan, akan memberikan buah dan pahala yang besar.
Visakha, bagaimanakah buah, hasil dan keindahan dari Uposatha Ariya?
Visakha, seseorang memerintah atas enam belas negara seperti Anga, Magadha, Kasi, Kosala, Vajji, Malla, Ceti, Vanga, Kuru, Pancala, Maccha, Surasena, Assaka, Avanti, Gandhara, dan Kamboja dengan semua sumber daya kekayaanya, adalah tidak sebanding dengan seperempat, bahkan seperenambelas Uposatha ini.
Mengapa Demikian? Visakha, kesenangan manusia itu rendah ketika dibandingkan dengan kesenangan surgawi.

Visakha, limapuluh tahun umur manusia adalah semalam dan sehari bagi Deva Catumaharajika.
Tigapuluh kalinya adalah sebulan dan dua belas bulan adalah setahun. Limaratus tahunnya adalah umur dari deva Catumaharajika.
Adalah mungkin bagi seorang wanita atau pria, menjalankan atthasila pada hari Uposatha, setelah kematian, terlahir kembali di antara deva Catumaharajika.
Visakha, sehubungan dengan inilah dikatakan bahwa kesenangan manusia adalah rendah dibandingkan dengan kesenangan surgawi.

Visakha, seratus tahun ... dua ratus tahun ... empat ratus tahun ... delapan ratus tahun ... seribu enam ratus tahun umur manusia adalah semalam dan sehari di Tavatimsa ... Yama ... Tusita ... Nimmanarati ... Parinimmitavasavati.
Tigapuluh kalinya adalah sebulan dan dua belas bulan adalah setahun. Seribu tahunnya ... dua ribu tahunnya ... empat ribu tahunnya ... delapan ribu tahunnya ... enam belas ribu tahunnya adalah umur bagi deva Tavatimsa ... Yama ... Tusita ... Nimmanarati ... Parinimmitavasavati.
Adalah mungkin bagi seorang wanita atau pria, menjalankan atthasila pada hari Uposatha, setelah kematian, terlahir kembali di antara deva Tavatimsa ... Yama ... Tusita ... Nimmanarati ... Parinimmitavasavati. .
Visakha, sehubungan dengan inilah dikatakan bahwa kesenangan manusia adalah rendah dibandingkan dengan kesenangan surgawi.

Jangan membunuh, mengambil yang tidak diberikan,
berbohong atau mengkonsumsi zat memabukkan.
Jalankan kehidupan suci, menghindari hubungan seksual.
Tidak makan pada malam hari atau pada waktu yang tidak sesuai.
Tidak mengenakan bunga dan wewangian.
Alas tidur adalah lantai, lapisi dengan sesuai.
Ini adalah delapan sila pada hari Uposatha.
Dibabarkan oleh Buddha untuk mengakhiri dukkha.
Bulan dan Matahari bersinar tak terhalangi
Menghalau kegelapan di langit
Jika kekayaan terlihat di dalam, seperti mutiara, permata, emas dan logam
Mereka tidak senilai seperempat atau bahkan seperenambelas bagian
delapan sila pada hari uposatha
Demikianlah melakukan kebajikan yang menyenangkan,
mendapatkan tempat di sorga.