Hubungan Musik dengan Dhamma?

Started by M14ka, 23 March 2011, 12:34:44 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Kelana

Quote from: morpheus on 20 April 2011, 01:44:24 PM

yg saya maksudkan tentulah 12 bait jawaban dari Buddha.
dan saya gak sependapat dengan anda.
thanks anyway.

Thanks atas komennya juga, walaupun alasan anda tidak jelas bagi saya.
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

K.K.

Quote from: morpheus on 22 April 2011, 12:59:21 AM
om kainyn, saya kok merasa ada kontradiksi di quotation atas.

ala abhidhamma, objek apapun yg masuk lewat mata dan telinga (istilah anda mungkin 'fisik' atau 'objektif') adalah netral, tidak ada penilaian di sana, tidak indah, tidak jelek. sederet tulisan prosa, bait2 puisi, simfony beethoven atau raungan kucing semuanya hanyalah bunyi. singkat kata di step berikutnya, di saat "aku mendengar", di situ ada penilaian indah, jelek, nikmat, menyebalkan, dsb. imo, tidak ada perbedaan antara musik dengan puisi pada proses ini. dua2nya subjektif. sesuatu yg didambakan atau cocok dengan persepsi indah akan dinilai sebagai indah.
Bukan begitu. Justru dalam Abhidhamma, ada pembagian perasaan dalam lima kelompok: sukha (fisik-menyenangkan), dukkha (fisik-menyakitkan), somanassa (mental-menyenangkan), domanassa (mental-tidak menyenangkan) & upekkha (mental-netral). Kalau dengan istilah saya, perasaan fisik ini hanyalah 'bisa diterima/acceptable' atau 'tidak bisa diterima/unacceptable'. Dalam lingkup ini, hanya ada tubuh yang bereaksi pada perasaan, pikiran belum berperan dalam penilaian. Karena itulah hanya dipersepsi sebagai menyenangkan atau tidak, tidak ada netral. Baru kemudian setelah pikiran mempersepsi perasaan tersebut dan memberi penilaian, maka muncul perasaan mental di mana ada menyenangkan, tidak, dan netral.


Quotekembali ke puisi, banyak yg bisa dikatakan indah. memang bisa saja seperti yg anda bilang, maknanya.
namun ada juga yg merasakan keindahannya dari susunan katanya, pemilihan katanya ataupun rimanya.
memang keindahan ini bukan kemerduan suara (objek untuk telinga), bukan pemandangan indah (objek untuk mata), namun keindahan puisi ini adalah objek mental untuk intelek.

saya mengacu pada konsep buddhism mengenai enam macam objek dan inderanya (salayatana?). inilah mengapa Buddha mengatakan semuanya terbakar: telinga, hidung, lidah, tubuh / kulit dan intelek. sesuatu yg kita senangi dan lekati secara intelek, itu adalah pemuasan indera. jadi selain orgasme sentuhan, juga ada orgasme intelek.
referensi: kotbah api, http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.028.than.html
Pembagian perasaan umum berdasarkan salayatana memang sedikit berbeda dan sudut pandangnya juga beda. Dalam hal ini, setiap perasaan pada indera sudah termasuk perasaan mental yang berhubungan dengan indera tersebut. Jadi memang puisi bisa saja disebut indah seperti juga sesosok wanita juga disebut indah. Namun sebetulnya hal tersebut masih terpengaruh keterkondisian mental orang yang mempersepsinya.


Quoteapakah saya nyambung di sini? ataukah kita udah muter satu puteran untuk disagree?
Sebaliknya justru saya merasa makin nyambung.


Quotemungkin anda benar pada konteks dukkha dan lenyapnya dukkha.
namun pada level duniawi, bagaimanapun emosi2 positif lebih berguna ketimbang emosi2 negatif, bukan?
kesadaran dan tergugah kecil2an masih lumayan kan?
Tentu saja bagaimanapun juga emosi positif lebih berguna, bahkan sangat berguna. Yang saya maksud adalah orang bisa paham lewat penyelidikannya, 'melihat' apa adanya, bukan 'digiring' oleh perasaannya. Contohnya, saya ga sreg kalau lihat orang menyanyi lagu Buddhis (atau religius lain) sampai menangis2 lalu merasa sedang dalam kondisi spiritual akut. Menurut saya, ia sedang dibohongi perasaannya belaka.


Quotesaya mengerti maksud anda yg melihat dari sisi purist atau fundamentalis.
yg saya takutkan di sini, yg berada di level indera menghipnotis dan memaksakan dirinya pada level ariya.
yg seharusnya nafsu itu padam secara alami, jadinya malah nafsu yg terkekang dan pada waktunya bisa meledak atau muncul sebagai split personality...
ini yg saya ingin hindarkan dari pembaca, apalagi yg baru belajar.
Masa' saya dibilang fundamentalist sih? ;D
Saya membahas sejauh ini karena bro morph menggunakan perbandingan sulit yaitu puisi & musik. Saya tidak mampu menjelaskan perbedaannya menurut pandangan saya, tanpa membahas sampai ke unsur yang detail. Kalau mau disepakati pada yang umum, saya juga bisa setuju saja seperti pandangan bro morph (bahwa puisi & syair lebih ke arah kebiasaan dan mudah diingat).

hemayanti

Quote from: Kainyn_Kutho on 23 April 2011, 10:45:36 AM
Yang Visakhasutta saya tidak ketemu linknya, jadi saya coba terjemahkan seadanya:

Anguttara Nikaya, Tikanipata, Dutiyapaṇṇāsakaṃ, Mahāvaggo, Uposathasutta.

[spoiler]Demikian yang kudengar. Suatu ketika, Sang Bhagava berdiam di Vihara Pubba, kediaman Migaramata di Savatthi. Migaramata pada saat uposatha mendekati Sang Bhagava, menghormat dan duduk di satu sisi.
Sang bhagava berkata kepadanya: 'Visakha, mengapa engkau datang di waktu siang hari?'
'Hari ini uposatha, Bhante, dan saya menjalankan atthasila.'
'Visakha, ada tiga macam uposatha. Apakah tiga tersebut? Uposatha Ternak, uposatha Nigantha, dan uposatha Ariya.
Visakha, apakah Uposatha Ternak? Visakha, seperti gembala ternak yang mengembalikan kawanan ternak kepada pemiliknya dan berpikir, hari ini ternak makan di tempat ini dan ini, dan minum air di tempat ini dan ini, dan besok ternak akan makan di tempat ini dan ini, minum di tempat ini dan ini.
Visakha, dengan cara yang sama pula seseorang menjalankan atthasila berpikir: hari ini saya makan makanan ini dan ini, minum minuman bergizi ini dan ini. Besok saya akan makan makanan ini dan ini, minum minuman bergizi ini dan ini. Demikianlah ia menghabiskan hari dengan pikiran dikuasai keserakahan dan keinginan. Visakha, ini adalah Uposatha Ternak dan tidak berbuah banyak, tidak berpahala besar.

Visakha, apakah Uposatha Nigantha? Visakha, ada para petapa yang disebut Nigantha, mereka mengajarkan muridnya demikian: Marilah, orang baik, jangan melukai makhluk hidup di arah timur ... barat ... utara ... selatan sejauh seratus yojana.
Demikianlah uposathanya disertai belas kasih dan kebaikan untuk sebagian, dan tanpa belas kasih dan kebaikan untuk sebagian lain.
Seorang tertentu pada saat hari bulan penuh mengajarkan pada muridnya: Marilah, orang baik. Tanggalkan pakaianmu dan katakan dengan ini aku tidak memiliki keinginan akan tempat atau hal apapun dan aku tidak memiliki kemelekatan pada tempat atau hal apapun. Ibu dan ayahnya mengetahui ini anak kami, dan dia pun mengetahui, ini adalah ibu dan ayahku. Istri dan anaknya mengetahui, ini suami dan ini ayahku. Iapun mengetahui ini anak dan istriku. Budak dan pekerjanya mengetahui ini tuanku, dan iapun mengetahui bahwa ini budak dan pekerjaku. 
Demikianlah ketika ia memperhatikan semua sila, ia memperhatikan sila menghindari kebohongan. Ini adalah penghindaran kebohongan bagi dia. Pada akhir malam itu, ia mengambil kekayaannya bahkan sebelum diberikan. Ini adalah menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Visakha, ini adalah Uposatha Nigantha, dan tidak berbuah banyak, tidak berpahala besar.

Visakha, apakah Uposatha Ariya?
Visakha, ini adalah cara pembersihan noda pikiran. Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan Tathagata, 'Arahat, Samma Sambuddha ... [Buddhanussati].' Ketika merenungkan Sang Tathagata, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar. Visakha, ini seperti kepala yang kotor dibersihkan.
Visakha, bagaimanakah kepala yang kotor dibersihkan? Denga adonan, tanah liat, air dan usaha yang sesuai dari seseorang, kepala seseorang dibersihkan. Demikian halnya pikiran ternoda dibersihkan.

Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan Dhamma, 'Ajaran Sang Bhagava ... [Dhammanussati].' Ketika merenungkan Dhamma, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar. Visakha, ini seperti tubuh yang kotor dibersihkan.
Visakha, bagaimanakah tubuh kotor dibersihkan? Dengan sikat, kapur, air dan usaha yang sesuai dari seseorang, tubuh kotor dibersihkan. Demikian pula pikiran ternoda dibersihkan. 

Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan Sangha [Sanghanussati].
Ketika merenungkan Sangha, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar. Visakha, ini seperti pakaian yang kotor dibersihkan.
Visakha, bagaimanakah pakaian kotor dibersihkan? Dengan alkali, kotoran sapi, dan air, dan usaha yang sesuai seseorang, pakaian kotor dibersihkan. Demikian halnya pikiran ternoda dibersihkan.

Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan Sangha: [Empat pasang siswa Ariya].
Ketika merenungkan Sangha, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar.

Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan silanya sendiri yang tidak terputus, terpatah atau ternoda ... [Silanussati].
Ketika merenungkan sila, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar. Visakha, ini seperti cermin kotor yang dibersihkan.
Visakha, bagaimanakah caranya cermin kotor dibersihkan? Dengan minyak, kapur, dan kuas dan usaha yang sesuai dari seseorang, cermin kotor dibersihkan. Demikian halnya pikiran ternoda dibersihkan. 

Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan para deva ... [Devanussati].
Ketika merenungkan para deva, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar. Visakha, ini seperti emas dan perak kotor yang dibersihkan.
Visakha, bagaimanakah caranya emas dan perak dibersihkan? Dengan perapian, garam, pelapisan merah, tabung dan pipa dan penjepit dan usaha yang sesuai dari seseorang, emas dan perak dibersihkan. Demikian halnya pikiran ternoda dibersihkan. 

Visakha, bagaimanakah cara pembersihan noda pikiran?
Di sini Visakha, seorang siswa ariya merenungkan para deva: ada deva Catumaharajika, Tavatimsa ... Brahma, dan di atasnya. Dengan keyakinan, pengertian, kebaikan dan kebijaksanaan, mereka hilang dari sini dan muncul di sana; Keyakinan, pengertian, kebaikan dan kebijaksanaan yang demikian juga aku miliki. Maka ketika ia merenungkan keyakinan, pengertian, kebaikan dan kebijaksanaan para deva dan dirinya, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar.
Visakha, ini disebut siswa ariya memperhatikan sila dari para deva dan hidup di kumpulan para deva yang sehubungan dengan hal itu, pikirannya cerah dan kebahagiaan muncul, dan kotoran di pikiran memudar.  Demikian halnya pikiran ternoda dibersihkan. 

Visakha, Siswa ariya merenungkan demikian: Selama hidup, para ariya menghindari pembunuhan ... menghindari pencurian ... menghindari hidup tidak suci ... menghindari berbohong ...
tidak mengkonsumsi minuman memabukkan ... makan hanya sekali ... menghindari tarian, nyanyian dan musik, hiburan, memperindah diri ... menghindari duduk di tempat tinggi, duduk di tempat yang rendah, tidur di alas rumput ...
Sesuai sifat ini, saya mengikuti para ariya dan semoga sila saya sempurna.

Visakha, ini adalah Uposatha Ariya, ketika dijalankan, akan memberikan buah dan pahala yang besar.
Visakha, bagaimanakah buah, hasil dan keindahan dari Uposatha Ariya?
Visakha, seseorang memerintah atas enam belas negara seperti Anga, Magadha, Kasi, Kosala, Vajji, Malla, Ceti, Vanga, Kuru, Pancala, Maccha, Surasena, Assaka, Avanti, Gandhara, dan Kamboja dengan semua sumber daya kekayaanya, adalah tidak sebanding dengan seperempat, bahkan seperenambelas Uposatha ini.
Mengapa Demikian? Visakha, kesenangan manusia itu rendah ketika dibandingkan dengan kesenangan surgawi.

Visakha, limapuluh tahun umur manusia adalah semalam dan sehari bagi Deva Catumaharajika.
Tigapuluh kalinya adalah sebulan dan dua belas bulan adalah setahun. Limaratus tahunnya adalah umur dari deva Catumaharajika.
Adalah mungkin bagi seorang wanita atau pria, menjalankan atthasila pada hari Uposatha, setelah kematian, terlahir kembali di antara deva Catumaharajika.
Visakha, sehubungan dengan inilah dikatakan bahwa kesenangan manusia adalah rendah dibandingkan dengan kesenangan surgawi.

Visakha, seratus tahun ... dua ratus tahun ... empat ratus tahun ... delapan ratus tahun ... seribu enam ratus tahun umur manusia adalah semalam dan sehari di Tavatimsa ... Yama ... Tusita ... Nimmanarati ... Parinimmitavasavati.
Tigapuluh kalinya adalah sebulan dan dua belas bulan adalah setahun. Seribu tahunnya ... dua ribu tahunnya ... empat ribu tahunnya ... delapan ribu tahunnya ... enam belas ribu tahunnya adalah umur bagi deva Tavatimsa ... Yama ... Tusita ... Nimmanarati ... Parinimmitavasavati.
Adalah mungkin bagi seorang wanita atau pria, menjalankan atthasila pada hari Uposatha, setelah kematian, terlahir kembali di antara deva Tavatimsa ... Yama ... Tusita ... Nimmanarati ... Parinimmitavasavati. .
Visakha, sehubungan dengan inilah dikatakan bahwa kesenangan manusia adalah rendah dibandingkan dengan kesenangan surgawi.

Jangan membunuh, mengambil yang tidak diberikan,
berbohong atau mengkonsumsi zat memabukkan.
Jalankan kehidupan suci, menghindari hubungan seksual.
Tidak makan pada malam hari atau pada waktu yang tidak sesuai.
Tidak mengenakan bunga dan wewangian.
Alas tidur adalah lantai, lapisi dengan sesuai.
Ini adalah delapan sila pada hari Uposatha.
Dibabarkan oleh Buddha untuk mengakhiri dukkha.
Bulan dan Matahari bersinar tak terhalangi
Menghalau kegelapan di langit
Jika kekayaan terlihat di dalam, seperti mutiara, permata, emas dan logam
Mereka tidak senilai seperempat atau bahkan seperenambelas bagian
delapan sila pada hari uposatha
Demikianlah melakukan kebajikan yang menyenangkan,
mendapatkan tempat di sorga.
[/spoiler]

_/\_ wahh..terima kasih banyak om kainyn... sangat bermanfaat bagi saya...
"Sekarang, para bhikkhu, Aku mengatakan ini sebagai nasihat terakhir-Ku: kehancuran adalah sifat dari segala sesuatu yang terbentuk. Oleh karena itu, berjuanglah dengan penuh kesadaran."

morpheus

Quote from: Kainyn_Kutho on 23 April 2011, 03:37:22 PM
Bukan begitu. Justru dalam Abhidhamma, ada pembagian perasaan dalam lima kelompok: sukha (fisik-menyenangkan), dukkha (fisik-menyakitkan), somanassa (mental-menyenangkan), domanassa (mental-tidak menyenangkan) & upekkha (mental-netral). Kalau dengan istilah saya, perasaan fisik ini hanyalah 'bisa diterima/acceptable' atau 'tidak bisa diterima/unacceptable'. Dalam lingkup ini, hanya ada tubuh yang bereaksi pada perasaan, pikiran belum berperan dalam penilaian. Karena itulah hanya dipersepsi sebagai menyenangkan atau tidak, tidak ada netral. Baru kemudian setelah pikiran mempersepsi perasaan tersebut dan memberi penilaian, maka muncul perasaan mental di mana ada menyenangkan, tidak, dan netral.

Pembagian perasaan umum berdasarkan salayatana memang sedikit berbeda dan sudut pandangnya juga beda. Dalam hal ini, setiap perasaan pada indera sudah termasuk perasaan mental yang berhubungan dengan indera tersebut. Jadi memang puisi bisa saja disebut indah seperti juga sesosok wanita juga disebut indah. Namun sebetulnya hal tersebut masih terpengaruh keterkondisian mental orang yang mempersepsinya.
cmiiw singkat kata perbedaan kita:
* menurut anda, musik menyenangkan - tidak menyenangkan itu tidak terpengaruh keterkondisian seseorang, sedangkan puisi itu menyenangkan - tidak menyenangkan, indah - tidak indah itu terpengaruh keterkondisian seseorang. therefore, musik itu menimbulkan kemelekatan dan merupakan kenikmatan indera, sementara itu puisi tidak menimbulkan kemelekatan dan bukan kenikmatan indera.
* menurut saya, musik dan puisi sama saja.

kalo bener, cukup sampai di sini saja, tidak bisa dibicarakan lebih jauh.


Quote from: Kainyn_Kutho on 23 April 2011, 03:37:22 PM
Tentu saja bagaimanapun juga emosi positif lebih berguna, bahkan sangat berguna. Yang saya maksud adalah orang bisa paham lewat penyelidikannya, 'melihat' apa adanya, bukan 'digiring' oleh perasaannya. Contohnya, saya ga sreg kalau lihat orang menyanyi lagu Buddhis (atau religius lain) sampai menangis2 lalu merasa sedang dalam kondisi spiritual akut. Menurut saya, ia sedang dibohongi perasaannya belaka.
dalam hal ini saya setuju. tidak ada perbedaan di sini.

Quote from: Kainyn_Kutho on 23 April 2011, 03:37:22 PM
Masa' saya dibilang fundamentalist sih? ;D
Saya membahas sejauh ini karena bro morph menggunakan perbandingan sulit yaitu puisi & musik. Saya tidak mampu menjelaskan perbedaannya menurut pandangan saya, tanpa membahas sampai ke unsur yang detail. Kalau mau disepakati pada yang umum, saya juga bisa setuju saja seperti pandangan bro morph (bahwa puisi & syair lebih ke arah kebiasaan dan mudah diingat).
di sini bukan berarti fundamentalis yg buruk, melainkan fundamentalis yg selalu melihat segala sesuatu dari sisi yg fundamental, yaitu bahwa pada dasarnya musik itu pada level emosional, bukan spiritual, therefore musik itu gak ada gunanya (dalam konteks dukkha dan lenyapnya dukkha).
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

K.K.

Quote from: morpheus on 25 April 2011, 03:41:04 PM
cmiiw singkat kata perbedaan kita:
* menurut anda, musik menyenangkan - tidak menyenangkan itu tidak terpengaruh keterkondisian seseorang, sedangkan puisi itu menyenangkan - tidak menyenangkan, indah - tidak indah itu terpengaruh keterkondisian seseorang. therefore, musik itu menimbulkan kemelekatan dan merupakan kenikmatan indera, sementara itu puisi tidak menimbulkan kemelekatan dan bukan kenikmatan indera.
* menurut saya, musik dan puisi sama saja.

kalo bener, cukup sampai di sini saja, tidak bisa dibicarakan lebih jauh.
Saya membaginya ke dalam kategori perasaan fisik dan mental.
Secara fisik: musik masuk dalam kategori menyenangkan sedangkan puisi tidak memiliki kontak fisikal.
Secara mental: baik penilaian musik atau puisi adalah tergantung keterkondisian masing-masing.

[spoiler]Berbeda dengan suara, musik adalah gabungan dari suara dengan frekuensi tertentu yang memiliki perbandingan teratur antar intervalnya. Sistem auditorial manusia yang kompleks dapat mengenali dan membedakan musik dari suara biasa sehingga memberikan rangsang pada bagian otak tertentu dengan cara yang berbeda.
Puisi di lain pihak, hanyalah suara yang kemudian dikenali sebagai bahasa/unit komunikasi. Jika seseorang tidak memahami puisi tersebut, misalnya katakanlah puisi itu digubah dalam bahasa asing yang tidak dimengerti, maka 'puisi' itu menjadi tidak ada berbeda dengan suara-suara umum lainnya.[/spoiler]


Quotedi sini bukan berarti fundamentalis yg buruk, melainkan fundamentalis yg selalu melihat segala sesuatu dari sisi yg fundamental, yaitu bahwa pada dasarnya musik itu pada level emosional, bukan spiritual, therefore musik itu gak ada gunanya (dalam konteks dukkha dan lenyapnya dukkha).
Betul begitu maksud saya. Bukan berarti saya seperti menganggap musik itu 'haram' tapi maksudnya jangan sampai orang berpikir jika musik (atau hal lain) diberi embel-embel spiritual, maka bisa memiliki nilai spiritual. Menurut saya, karena tidak mampu membedakan hal fundamental inilah yang menyebabkan orang berpandangan salah dan akhirnya muncul kasus 'biku bergitar' dan fans-club-nya.

Nabixl168

 _/\_

yang penting makna dari isi dari parita yang dibacakan.....

music.....membantu kita untuk tetap konsentrasi dalam membaca parita.....

so..........nikmati saja.....

_/\_
Manfaatkan Waktu mu dengan Sebaik-baiknya

K.K.

Quote from: Nabixl168 on 27 April 2011, 08:01:29 PM
_/\_

yang penting makna dari isi dari parita yang dibacakan.....

music.....membantu kita untuk tetap konsentrasi dalam membaca parita.....

so..........nikmati saja.....

_/\_
Yang penting dari olah raga adalah kesehatannya. Doping membantu meningkatkan performa dalam olah raga. So, nikmati saja.

Indra

Quote from: Nabixl168 on 27 April 2011, 08:01:29 PM
_/\_

yang penting makna dari isi dari parita yang dibacakan.....

music.....membantu kita untuk tetap konsentrasi dalam membaca parita.....

so..........nikmati saja.....

_/\_
Quote from: Kainyn_Kutho on 28 April 2011, 09:09:23 AM
Yang penting dari olah raga adalah kesehatannya. Doping membantu meningkatkan performa dalam olah raga. So, nikmati saja.

doping hanya "seolah-olah" meningkatkan performa olah raga, padahal sesungguhnya lebih merusak kesahatan

hendrako

Quote from: Kainyn_Kutho on 27 April 2011, 03:48:13 PM
Saya membaginya ke dalam kategori perasaan fisik dan mental.
Secara fisik: musik masuk dalam kategori menyenangkan sedangkan puisi tidak memiliki kontak fisikal.
Secara mental: baik penilaian musik atau puisi adalah tergantung keterkondisian masing-masing.

[spoiler]Berbeda dengan suara, musik adalah gabungan dari suara dengan frekuensi tertentu yang memiliki perbandingan teratur antar intervalnya. Sistem auditorial manusia yang kompleks dapat mengenali dan membedakan musik dari suara biasa sehingga memberikan rangsang pada bagian otak tertentu dengan cara yang berbeda.
Puisi di lain pihak, hanyalah suara yang kemudian dikenali sebagai bahasa/unit komunikasi. Jika seseorang tidak memahami puisi tersebut, misalnya katakanlah puisi itu digubah dalam bahasa asing yang tidak dimengerti, maka 'puisi' itu menjadi tidak ada berbeda dengan suara-suara umum lainnya.[/spoiler]



Sama halnya dengan musik, puisi berhubungan dengan bunyi, terlepas dari isi, ritme, penekanan pada beberapa bagian, emosi pada saat pembacaan adalah hal yang sangat penting, ada unsur estetis suara. Jadi terdapat kontak secara fisik pada puisi yaitu bunyi.
yaa... gitu deh

K.K.

Quote from: Indra on 28 April 2011, 09:14:32 AM
doping hanya "seolah-olah" meningkatkan performa olah raga, padahal sesungguhnya lebih merusak kesahatan
Performanya betulan meningkat sih, namun memang benar, tidak mendukung kesehatan sebagaimana diperoleh dari olah raga tanpa doping. Ini adalah hal dan tujuan berbeda.
Olah raga -> tubuh sehat
Doping -> meningkatkan performa olah-raga
Namun olah raga dengan doping belum tentu menyehatkan

Baca paritta -> konsentrasi pada isinya
Musik -> meningkatkan performa baca paritta
Namun baca paritta dengan musik belum tentu membantu konsentrasi pada isi paritta.

Konsentrasi terjadi ketika objek pikiran berkurang, menyempit, dan terfokus. Menambah objek pikiran berarti melebarkan pikiran dan membuyarkan fokus, alias kebalikan dari konsentrasi. Sesungguhnya yang biasa orang bilang 'musik membantu konsentrasi baca paritta' adalah 'musik membantu performa baca paritta' tapi tidak membantu konsentrasinya, sama seperti doping membantu performa olah raga, tapi bukan kualitas kesehatan.


K.K.

Quote from: hendrako on 28 April 2011, 09:24:57 AM
Sama halnya dengan musik, puisi berhubungan dengan bunyi, terlepas dari isi, ritme, penekanan pada beberapa bagian, emosi pada saat pembacaan adalah hal yang sangat penting, ada unsur estetis suara. Jadi terdapat kontak secara fisik pada puisi yaitu bunyi.
Pertama-tama menyampaikan puisi tidak harus selalu lewat pendengaran, bisa juga lewat tulisan (visual) kemudian diproses oleh pikiran dan ditentukan apakah hal tersebut puisi atau bukan, dst.

Kemudian jika lewat kontak telinga: emosi dalam pembacaan tidak dikenali sebagai musik karena frekuensinya bukan teratur dalam interval tertentu. Tidak harmonik/tidak, tidak ada konsonan/disonan dalam puisi. Penekanan memang ada juga, tetapi berbeda dengan musik yang memiliki ritme dan time sign. Ini yang membuat kita bisa membedakan puisi dan musik rap.
'Estetika' di sini bukanlah sesuatu yang objektif dinilai sistem pendengaran, tapi lebih ke penilaian mental seseorang. Ada orang suka dengan kualitas/warna suara (timbre) bass, ada yang suka ke sopran.

hendrako

Quote from: Kainyn_Kutho on 28 April 2011, 09:58:24 AM
Pertama-tama menyampaikan puisi tidak harus selalu lewat pendengaran, bisa juga lewat tulisan (visual) kemudian diproses oleh pikiran dan ditentukan apakah hal tersebut puisi atau bukan, dst.

Kemudian jika lewat kontak telinga: emosi dalam pembacaan tidak dikenali sebagai musik karena frekuensinya bukan teratur dalam interval tertentu. Tidak harmonik/tidak, tidak ada konsonan/disonan dalam puisi. Penekanan memang ada juga, tetapi berbeda dengan musik yang memiliki ritme dan time sign. Ini yang membuat kita bisa membedakan puisi dan musik rap.
'Estetika' di sini bukanlah sesuatu yang objektif dinilai sistem pendengaran, tapi lebih ke penilaian mental seseorang. Ada orang suka dengan kualitas/warna suara (timbre) bass, ada yang suka ke sopran.


Yg saya tekankan pada post sebelumnya adalah bahwa puisi memiliki apa yg disebut kontak fisik sebagaimana musik, yaitu bunyi.

Memang benar puisi bisa disampaikan lewat tulisan sebagaimana sebuah lagu dengan not/tangga nada,  yaitu awalnya dengan "kontak" mata yang selanjutnya menjadi "suara" batin (lewat persepsi).
yaa... gitu deh

hendrako

#237
Quote from: Kainyn_Kutho on 28 April 2011, 09:30:08 AM

Baca paritta -> konsentrasi pada isinya
Musik -> meningkatkan performa baca paritta
Namun baca paritta dengan musik belum tentu membantu konsentrasi pada isi paritta.

Konsentrasi terjadi ketika objek pikiran berkurang, menyempit, dan terfokus. Menambah objek pikiran berarti melebarkan pikiran dan membuyarkan fokus, alias kebalikan dari konsentrasi. Sesungguhnya yang biasa orang bilang 'musik membantu konsentrasi baca paritta' adalah 'musik membantu performa baca paritta' tapi tidak membantu konsentrasinya, sama seperti doping membantu performa olah raga, tapi bukan kualitas kesehatan.


Sebenarnya obyek pikiran bukan bertambah atau berkurang, sebagaimana seseorang hanya bisa membaca 1 buku dalam waktu yang bersamaan. Obyek pikiran pada satu momen hanya satu, namun karena kecepatan berubahnya obyek pikiran dari satu ke lainnya seolah-olah ada banyak obyek pikiran. Konsentrasi adalah keterpusatan pada sesuatu (termasuk satu obyek pikiran), sedangkan pikiran yang tidak terkonsentrasi adalah pikiran yang mengikuti perubahan obyek pikiran yang cepat seperti seekor monyet yang berpindah dari satu dahan ke dahan lainnya dengan cepat.

Musik pada parita adalah sebagaimana kata parikama di dalam meditasi, membantu konsentrasi (pembacaan parita). Dengan musik pada saat pembacaan parita, seseorang lebih mudah mengetahui konsentrasinya kurang pada saat membaca parita karena nada yang dilakukannya salah, sebagaimana seorang yogi mengetahui konsentrasinya melantur karena kata parikamanya tidak sesuai dengan keluar masuk nafas, misalnya.
yaa... gitu deh

K.K.

Quote from: hendrako on 28 April 2011, 10:08:23 AM
Yg saya tekankan pada post sebelumnya adalah bahwa puisi memiliki apa yg disebut kontak fisik sebagaimana musik, yaitu bunyi.
Kembali lagi bahwa puisi yang tidak dimengerti maknanya, tidak ada bedanya dengan bunyi lain, maka saya katakan puisi dikenali pikiran, bukan oleh indera telinga. Coba bro hendrako cari sebuah monolog naratif dan sebuah puisi, keduanya dalam bahasa yang tidak kita mengerti sama sekali. Nanti secara suara, coba beritahu saya bagaimana cara membedakan mana puisi dan mana monolog.

QuoteMemang benar puisi bisa disampaikan lewat tulisan sebagaimana sebuah lagu dengan not/tangga nada,  yaitu awalnya dengan "kontak" mata yang selanjutnya menjadi "suara" batin (lewat persepsi).
Jadi orang tuli tidak bisa membuat puisi? Lalu estetika 'suara bathin' tersebut, bagaimana menilainya? Misalkan seorang tenor membaca puisi di panggung, lalu orang menyalin dalam tulisan dan memberikan pada orang lain yang tidak mendengarnya. Kemudian dalam pikirannya, puisi itu dibaca dengan suara 'chipmunk', apakah nilai estetikanya berubah?


hendrako

Quote from: Kainyn_Kutho on 28 April 2011, 10:55:57 AM
Kembali lagi bahwa puisi yang tidak dimengerti maknanya, tidak ada bedanya dengan bunyi lain, maka saya katakan puisi dikenali pikiran, bukan oleh indera telinga. Coba bro hendrako cari sebuah monolog naratif dan sebuah puisi, keduanya dalam bahasa yang tidak kita mengerti sama sekali. Nanti secara suara, coba beritahu saya bagaimana cara membedakan mana puisi dan mana monolog.
Jadi orang tuli tidak bisa membuat puisi? Lalu estetika 'suara bathin' tersebut, bagaimana menilainya? Misalkan seorang tenor membaca puisi di panggung, lalu orang menyalin dalam tulisan dan memberikan pada orang lain yang tidak mendengarnya. Kemudian dalam pikirannya, puisi itu dibaca dengan suara 'chipmunk', apakah nilai estetikanya berubah?



Orang tuli tidak dapat menikmati dan mengerti keindahan "bunyi" dari puisi, yang dapat ditangkap orang tuli hanyalah ritme secara visual.

Sebelum meragi lagi, begini:
Sebelumnya anda menyatakan bahwa pada puisi tidak ada "kontak fisik"
dan saya tanggapi bahwa pada puisi "ada kontak fisik" yaitu bunyi.

Puisi yang tidak dibacakan dengan "bunyi" adalah sama halnya dengan membaca lagu dengan tangga nada tanpa suara (fisik).


yaa... gitu deh