Jadi, karena Bro Deva19 memakai algoritma berpikir sendiri, maka saya juga bisa memakai algoritma berpikir sendiri. Saya menyatakan bahwa Buddha adalah Y. Y adalah bukan Muhammad. Maka Buddha bukanlah Muhammad.
Sesuai dengan pernyataan Anda sendiri, Anda memakai algoritma sesuai pemikiran Anda sendiri. Di sini kita bisa melihat bahwa kaidah berpikir logika pun sudah tercemar oleh persepsi. Lantas apa yang Anda mau jelaskan lebih lanjut setelah kita sampai di titik ini?
nah, hal yang ingin saya jelaskan adalah :
setiap manusia itu bisa menggunakan algoritma sendiri-sendiri. dan faktanya, inilah yang terjadi pada kehidupan manusia. kita dapat meihat diskusi dan perdebatan dimana-mana, satu sama lain tidak dapat saling memahami, karena selalu berpikir secara sadar ataupun tidak bahwa algoritma berpikirnya digunakan juga oleh algoritma orang lain.
bila kita mengetahui bahwa setiap manusia itu menggunakan algoritmanya sendir-sendiri, berarti di situ akan ada dorongan untuk saling memahami "apa" yang dimaksud oleh orang lain. jika ini sudah berjalan pada kedua belah pihak yang berdisusi, maka tidak akan ada pertentangan. yang ada hanya usaha untuk saling mengetahui bagaimana "logika" atau "alogritma" yang digunakan orang lain. dengan cara ini jga, kebenarna lebih mudah difahami.
Ini sudah saya pahami. Makanya saya lebih suka menerapkan kaidah ilmiah, atau yang lebih sering Anda istilahkan sebagai kaidah berpikir logika semantik.
syukurlah kalau anda sudah memahami.
menurut fakta ilmiah, orang-orang seringkali membuat kesimpulan-kesimpulan secara sadar ataupun secara tidak sadar. kesimpuln-kesimpulan ini berarti menggunakan logika. tetapi sayangnya lebih banyak orang tidak mengerti kaidah ilmu logika, sehingga menimbulkan "kesalah fahaman".
orang-orang membuat kesimpulan dengan berbagai bahasan argumntasi. argumentasi yang digunakan ada argumentasi ilmiah ada pula yang non ilmiah. seseorang yang menggunakan bahan dasar ilmiah sekalipun, bisa jadi membuat kesimpulan yang salah. sehingga orang itu "benar dalam berpikir ilmiah" tapi "salah dalam berpikir logic".
sebagai contoh. sang budha berkata bahwa "membunuh merupakan kusala kamma". tetapi kemudian seorang umat budha menyatakan "setiap memunuh adalah kusala kamma". maka pemberian sifat "setiap" dari term "membunuh" tersebut harus jelas asal-usulnya dari mana? jika sang Budha sendiri tidak menyatakan "setiap membunuh merupakan kusalam kamma" dan bila "tidak ada bahan lainnya" untuk memunculkan sifat "setiap" pada term "membunuh", berarti pemberian sifat "setiap" tersebut adalah tidak logic.
tetapi, bisa jadi secara fakta ilmiah memang benar bahwa anda melihat di dalam dhamma bahwa "setiap membunuh" adalah kusala kamma. persoalannya, orang lain belum melihat dhamma seperti anda. dan mereka menyimpulkan dengan fakta-fakta yang mereka lihat sendiri. sehingga seharusnya anda mengerti "mengapa" orang lain tidak dapat mengatakan "setiap membunuh adalah kusala kamma".
dengan ilmu logika, maka saya dengan mudah memahami apa yang anda maksud. tapi dengan apa anda dengan mudah memahami maksud saya?
rasa prihatin karena banyak terjadinya kesalahan fahaman yang terjadi antar manusia, itulah yang mendorong saya "belajar dhamma" dengan ilmu logika, "menjelaskan dhamma" dengan ilmu logika pula. dan bila saya mempunya guru yang tidak mengerti ilmu logika, maka dia akan "banyak salah faham" terhadap diri saya atau orang lain.