TINDAKAN SEKSUAL YANG TIDAK PANTAS DALAM PANDANGAN BUDDHIS

Started by Sumedho, 02 December 2007, 09:04:29 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Reenzia

 [at] niar

sama semua menghasilkan dan disebabkan oleh lobha
bedanya di objek, yg juga menyebabkan perbedaan akibat

N1AR


Reenzia

apa itu cinta sejati?

copas dari papa bond : cinta is the real lobha :))

kecuali cinta universal, metta, do you know that? cinta yang tak didasari dan tak menyebabkan lobha

N1AR

cinta sejati seperti ibu mencintai anaknya
seperti seorang Buddha mengajrakan dhamma kepada pendengarnya
tak perlu dibalas dan dibelikan seutuhnya tanpa ember :))
metta gitu mahn.. :hammer:

Nevada

Quote from: Kainyn_KuthoLagi-lagi anda keliru menangkap. Saya katakan sekali lagi, manfaat itu bukan karena objeknya, tetapi karena kita masing-masing. Apakah pelacuran ditingkatkan atau dikurangi, selama kita menyikapinya dengan tidak benar, maka tidak akan bermanfaat. Yang saya berikan contohnya (mengurangi pemerkosaan & kemunafikan) adalah manfaat adanya pelacur bagi mereka yang menyikapi dengan benar. Anda tidak netral kalau mengatakan produk pelacuran tidak bermanfaat, sedangkan produk lagu ga mutu itu bermanfaat. Saya bilang bermanfaat atau tidak, tergantung dari kitanya masing-masing.
Sama seperti pertambahan/pengurangan pelacuran, pertambahan/pengurangan lagu tak bermutu TIDAK menjamin kemajuan bathin masyarakat. Lalu apakah suatu produk bermanfaat atau tidak, itu tergantung kita menyikapinya, dan saya sudah memberikan contoh bagaimana pelacuran bisa bermanfaat.
Apakah saya harus netral dengan menyatakan bahwa melanggar sila adalah bermanfaat?
Jawaban Anda kembali pada uaraian sebelumnya. Padahal saya berusaha mengangakat pembicaraan pada level sumbangsih positif dalam kemajuan batin dan moralitas. Namun Anda tetap saja tidak bisa membuktikan bahwa bisnis prostitusi adalah bisnis yang berfondasi di jalan kebaikan. Saya tidak mengecam orang yang melacurkan diri atau orang yang menghibahkan tubuhnya di atas bentuk pelacuran. Saya hanya mengungkapkan realitas, bahwa tidak ada nilai postif yang disumbangkan dari pelacuran pada kemajuan batin seseorang. Di luar dari itu, tentunya ada nilai positif, seperti mencari nafkah dll.

Quote from: Kainyn_KuthoBetulkah hanya tata-cara pernikahannya? Betulkah menurut anda aspek fungsinya tetap sama? Saya kasih contoh sederhana. Apakah perkawinan dalam masyarakat India kuno yang mengenal Kasta sama dengan kita sekarang? Apakah aspek fungsi pernikahan kakak-beradik, asal mula suku Sakya, sama seperti dalam masyarakat sekarang? Kalau anda masih bilang sama, coba research tentang nikah mut'ah.
Apakah ada pernikahan di mana suami-istri tidak terikat dalam satu hubungan? Apakah ada status pernikahan yang melegalkan hubungan seks dengan orang ke tiga?

Quote from: Kainyn_KuthoIni yang saya cari. Dulu saya baca dari Samaggi-phala, ayatnya ada di Anguttara Nikaya IV,55. Tetapi ternyata tidak ada dikatakan tentang setia pada satu pasangan adalah pertapaan juga. Bisa bantu saya?
Saya lupa pernah membaca di mana. Saya rasa rekan-rekan di sini juga pernah membaca pernyataan seperti itu di sutta. Mungkin rekan-rekan yang lain bisa membantu.

Quote from: Kainyn_KuthoBetul, maka saya bilang umat Buddha harus mematuhi norma yang berlaku dan hukum negara, walaupun dalam dhamma tidak dikatakan bertentangan. Dan ya, "kumpul kebo" yang setia pada satu pasangan adalah satu bentuk pertapaan juga (walaupun tidak sesuai dilakukan di negara yang tidak melegalkannya, seperti Indonesia).
Betul. Di Inggris, sepasang kekasih yang mempunyai anak di luar pernikahan adalah dilegalkan. Oleh karena itu, di negara barat banyak pernikahan yang dihadiri oleh anak dari sepasang pengantin itu. Sampai di sini, kita harus sepakat bahwa pernikahan hanyalah formalitas untuk mengesahkan suatu hubungan sepasang kekasih.

Quote from: Kainyn_KuthoYang saya sebut munafik adalah mengutuk para pelacur sementara menikmati keindahan pelacur; bathinnya terusik oleh pelacur, tapi mengaku suci. Tidak ada yang munafik dalam memuaskan hasrat secara benar dengan istri.
Saya tidak termasuk orang munafik.

Quote from: Kainyn_KuthoLagi-lagi anda menyalahkan objek luar. Baiklah, kalau berhadapan dengan bayi yang harus disuapi dogma-dogma tentang sila, saya tidak akan menjawab.
Kalau berhadapan dengan orang yang berusaha dewasa dan mengerti tentang dhamma, saya akan menjawab dengan jujur bahwa itu tidak bertentangan dengan sila ke tiga. Anda mungkin sudah kena AIDS? Saya telah menggenggam pelacur tidak bersalah lebih dari 10 tahun. Begitu pula sejak belajar Dhamma, (dalam kondisi tertentu) saya melihat tetap tidak melanggar sila ke tiga. Ironisnya, saya tidak pernah menggunakan jasa pelacur sama sekali. Jadi saya atau anda yang ngaco? Atau jika anda terkena AIDS, anda mau melemparkan kesalahan pada sila ke tiga-nya?
:)
Bailah kalau Anda adalah seorang yang cukup memahami Dhamma, dan bisa menghindari dunia pelacuran. Namun bagaimana dengan Umat Buddha lainya? Belum tentu semua orang memiliki pemahaman seperti Anda. Bisa saja ketika mereka mendengar bahwa menyewa WTS tidak melanggar sila, lalu mereka pun gencar mengadakan perburuannya.
Saya tidak melihat pelacur itu rendah. Saya juga sudah menggenggam pemahaman bahwa pelacur tak bersalah selama lebih dari 20 tahun. Yang saya sayangkan adalah bisnis prostitusinya, dan konsumen yang memakai produk prostitusi ini. Saat ini saya tidak mengidap AIDS. Saya tidak pernah melihat sila ke tiga sebagai pembatas saya dalam berperilaku. Saya melihat sila ke tiga sebagai batasan yang jelas, untuk berjalan di sisi kebaikan atau berjalan di sisi keburukan. Saya sudah pernah menjelaskan di postingan kemarin, kalau sila untuk puttuhjana hanyalah garis batas yang membedakan antara kebaikan dengan keburukan.
:)

K.K.

Quote from: upasaka on 30 January 2009, 11:55:28 AM
Apakah saya harus netral dengan menyatakan bahwa melanggar sila adalah bermanfaat?
Pertama, anda tidak netral karena sudah memvonisnya melanggar sila, padahal sudah dijelaskan bahwa dalam uraian sila ke tiga, pelacur tidak termasuk.


QuoteJawaban Anda kembali pada uaraian sebelumnya. Padahal saya berusaha mengangakat pembicaraan pada level sumbangsih positif dalam kemajuan batin dan moralitas. Namun Anda tetap saja tidak bisa membuktikan bahwa bisnis prostitusi adalah bisnis yang berfondasi di
jalan kebaikan. Saya tidak mengecam orang yang melacurkan diri atau orang yang menghibahkan tubuhnya di atas bentuk pelacuran. Saya hanya mengungkapkan realitas, bahwa tidak ada nilai postif yang diseumbangkan dari pelacuran pada kemajuan batin seseorang. Di luar dari itu, tentunya ada nilai positif, seperti mencari nafkah dll.
Ya, saya memang berusaha tetap pada konteks. Dalam hal ini, anda sudah menetapkan yang mana fondasi jalan kebaikan dan yang mana yang bukan. Saya di lain pihak, tidak bisa membaca pikiran orang lain dan tidak tahu keterkondisian seseorang sehingga harus menempuh jalan yang menyedihkan itu. Maka saya tidak berani menilainya apakah itu didasarkan asas manfaat atau apa. Setidaknya, saya menemukan keberadaan pelacur itu bisa bermanfaat, dan juga bagi saya, mereka tidak mengganggu (tidak seperti kriminal yang merugikan orang lain). 
Di lain pihak, di ekstrem lainnya, membangun rumah ibadah juga BELUM TENTU berdasarkan fondasi jalan kebaikan.


QuoteApakah ada pernikahan di mana suami-istri tidak terikat dalam satu hubungan? Apakah ada status pernikahan yang melegalkan hubungan seks dengan orang ke tiga?
:) Makanya saya suruh anda research tentang kebudayaan di seluruh dunia. Nanti akan anda temukan sendiri jawaban yang sangat menarik. Bahkan lebih menarik dari sekadar melegalkan hubungan dengan orang ke tiga dan keterikatan hubungan. ;D


Quote
Quote from: Kainyn_KuthoIni yang saya cari. Dulu saya baca dari Samaggi-phala, ayatnya ada di Anguttara Nikaya IV,55. Tetapi ternyata tidak ada dikatakan tentang setia pada satu pasangan adalah pertapaan juga. Bisa bantu saya?
Saya lupa pernah membaca di mana. Saya rasa rekan-rekan di sini juga pernah membaca pernyataan seperti itu di sutta. Mungkin rekan-rekan yang lain bisa membantu.
OK.


QuoteBetul. Di Inggris, sepasang kekasih yang mempunyai anak di luar pernikahan adalah dilegalkan. Oleh karena itu, di negara barat banyak pernikahan yang dihadiri oleh anak dari sepasang pengantin itu. Sampai di sini, kita harus sepakat bahwa pernikahan hanyalah formalitas untuk mengesahkan suatu hubungan sepasang kekasih.
Ya, menurut saya begitu.


Quote
Quote from: Kainyn_KuthoYang saya sebut munafik adalah mengutuk para pelacur sementara menikmati keindahan pelacur; bathinnya terusik oleh pelacur, tapi mengaku suci. Tidak ada yang munafik dalam memuaskan hasrat secara benar dengan istri.
Saya tidak termasuk orang munafik.
Saya sama sekali tidak ada maksud mengatakan anda atau siapapun munafik.


QuoteBailah kalau Anda adalah seorang yang cukup memahami Dhamma, dan bisa menghindari dunia pelacuran. Namun bagaimana dengan Umat Buddha lainya? Belum tentu semua orang memiliki pemahaman seperti Anda. Bisa saja ketika mereka mendengar bahwa menyewa WTS tidak melanggar sila, lalu mereka pun gencar mangadakan perburuannya.
Tidak bisa dikatakan saya telah paham Dhamma. Lalu, bagaimanapun juga sila dibuat, sama seperti hukum, pasti tetap ada celahnya. Ini berhubungan dengan topik sebelah, "Sati adalah sila tertinggi". Itulah yang harus "dicekoki" ke semua umat Buddha disamping pengetahuan tentang sila. Di manapun orang mengembangkan sati, mengamati lobha yang muncul dalam dirinya, semua sila apakah mengenai pelanggaran karena objek, pengetahuan akusala kamma vipaka serta nilai-nilai hafalan yang diajarkan di pelajaran agama, sudah tidak relevan lagi. Ia hanya melihat bagaimana lobha muncul lewat kontak indriah, dan lobha tetaplah lobha bagaimanapun sila dan agama mengaturnya.
Tanpa sati, orang tetap mencari pembenaran. Contoh gampangnya adalah berselingkuh dengan dalih "ah, tunangannya 'kan blom resmi" ataupun "dia juga udah ga cinta lagi dan udah mau cerai ama suaminya, jadi technically dia udah bukan bini orang". Tidak ada habisnya.
Umat Buddha bukan konsumen dogma, tetapi orang yang berusaha lebih baik mengerti dan membuktikan dhamma.


QuoteSaya tidak melihat pelacur itu rendah. Saya juga sudah menggenggam pemahaman bahwa pelacur tak bersalah selama lebih dari 20 tahun. Yang saya salahkan adalah bisnis prostitusinya, dan konsumen yang memakai produk prostitusi ini. Saat ini saya tidak mengidap AIDS. Saya tidak pernah melihat sila ke tiga sebagai pembatas saya dalam berperilaku. Saya melihat sila ke tiga sebagai batasan yang jelas, untuk berjalan di sisi kebaikan atau berjalan di sisi keburukan. Saya sudah pernah menjelaskan di portingan kemarin, kalau sila puttuhjana hanyalah garis batas yang membedakan antara kebaikan dengan keburukan.
:)
Ya, saya tahu anda tidak mengidap AIDS. Juga saya rasa anda bukanlah konsumen prostitusi. :) Itu hanya perumpamaan aja bahwa seorang tidak boleh menyalahkan pihak luar atas akibat perbuatan buruknya.


Nevada

Quote from: Kainyn_KuthoPertama, anda tidak netral karena sudah memvonisnya melanggar sila, padahal sudah dijelaskan bahwa dalam uraian sila ke tiga, pelacur tidak termasuk.
Menurut saya, perbuatan di jalan keburukan (akusala kamma) adalah pelanggaran sila.

Quote from: Kainyn_KuthoYa, saya memang berusaha tetap pada konteks. Dalam hal ini, anda sudah menetapkan yang mana fondasi jalan kebaikan dan yang mana yang bukan. Saya di lain pihak, tidak bisa membaca pikiran orang lain dan tidak tahu keterkondisian seseorang sehingga harus menempuh jalan yang menyedihkan itu. Maka saya tidak berani menilainya apakah itu didasarkan asas manfaat atau apa. Setidaknya, saya menemukan keberadaan pelacur itu bisa bermanfaat, dan juga bagi saya, mereka tidak mengganggu (tidak seperti kriminal yang merugikan orang lain). 
Di lain pihak, di ekstrem lainnya, membangun rumah ibadah juga BELUM TENTU berdasarkan fondasi jalan kebaikan.
Membunuh dengan alasan kebaikan pun tetap saja pelanggaran sila. Orang yang melacurkan diri bisa didorong oleh berbagai modus, baik karena terhimpit kebutuhan ekonomi sampai pemuasan indera. Apapun alasannya, tetap saja akusala kamma. Dan begitu pula sebaliknya ketika berbuat sesuatu di jalan kebaikan.

Quote from: Kainyn_Kutho:) Makanya saya suruh anda research tentang kebudayaan di seluruh dunia. Nanti akan anda temukan sendiri jawaban yang sangat menarik. Bahkan lebih menarik dari sekadar melegalkan hubungan dengan orang ke tiga dan keterikatan hubungan. ;D
Sekarang saya yang gantian ingin meminta referensi dari Anda. ;D

Quote from: Kainyn_kuthoTidak bisa dikatakan saya telah paham Dhamma. Lalu, bagaimanapun juga sila dibuat, sama seperti hukum, pasti tetap ada celahnya. Ini berhubungan dengan topik sebelah, "Sati adalah sila tertinggi". Itulah yang harus "dicekoki" ke semua umat Buddha disamping pengetahuan tentang sila. Di manapun orang mengembangkan sati, mengamati lobha yang muncul dalam dirinya, semua sila apakah mengenai pelanggaran karena objek, pengetahuan akusala kamma vipaka serta nilai-nilai hafalan yang diajarkan di pelajaran agama, sudah tidak relevan lagi. Ia hanya melihat bagaimana lobha muncul lewat kontak indriah, dan lobha tetaplah lobha bagaimanapun sila dan agama mengaturnya.
Tanpa sati, orang tetap mencari pembenaran. Contoh gampangnya adalah berselingkuh dengan dalih "ah, tunangannya 'kan blom resmi" ataupun "dia juga udah ga cinta lagi dan udah mau cerai ama suaminya, jadi technically dia udah bukan bini orang". Tidak ada habisnya.
Umat Buddha bukan konsumen dogma, tetapi orang yang berusaha lebih baik mengerti dan membuktikan dhamma.
Makanya, manusia itu cenderung mencari celah dalam suatu peraturan. "Jangan berbohong". Tetap saja ada yang berdalih saya berbohong untuk kebaikan. Saya berbohong karena takut dibunuh, dan sebagainya. Celah-celah dan pembenaran selalu ada dan bisa ditemukan. Apalagi dengan keterbatasan padanan kata di Alam Semesta ini. Ujung-ujungnya, kalau dalam Buddhisme sering diberi ultimatum : "terima saja buah kammamu kelak". End of story.

Quote from: Kainyn_KuthoYa, saya tahu anda tidak mengidap AIDS. Juga saya rasa anda bukanlah konsumen prostitusi. :) Itu hanya perumpamaan aja bahwa seorang tidak boleh menyalahkan pihak luar atas akibat perbuatan buruknya.
Tentu saja saya tidak akan menyalahkan pihak luar. Dan semoga saya selalu konsisten dalam prinsip ini. :)


Reenzia

QuoteMenurut saya, perbuatan di jalan keburukan (akusala kamma) adalah pelanggaran sila.

mendengarkan lagu, dan melekat padanya apakah pelanggaran sila? padahal termasuk faktor batin tak bermanfaat

sama seperti kegiatan seksual terhadap orang yang tepat yang tergolong dalam sila-3
kegiatan seksual terhadap pekerja seks memang tak melanggar sila ke-3
namun termasuk akusala kamma, karena merupakan faktor batin yang tidak bermanfaat, yaitu lobha

kegiatan seksual terhadap istri pun tak melanggar sila ke-3
tapi juga termasuk akusala kamma, semua kegiatan seks, terhadap siapapun, apapun, bagaimanapun adalah
menghasilkan faktor batin tak bermanfaat, yaitu menghasilkan lobha

K.K.

Quote from: upasaka on 30 January 2009, 12:41:37 PM
Menurut saya, perbuatan di jalan keburukan (akusala kamma) adalah pelanggaran sila.
Secara umum, dikatakan bahwa pancasila adalah yang menjaga seseorang lahir di alam baik (sedikitnya manusia). Soal akusala dan kusala, itu sudah terlalu luas untuk diatur dalam sila.


QuoteMembunuh dengan alasan kebaikan pun tetap saja pelanggaran sila. Orang yang melacurkan diri bisa didorong oleh berbagai modus, baik karena terhimpit kebutuhan ekonomi sampai pemuasan indera. Apapun alasannya, tetap saja akusala kamma. Dan begitu pula sebaliknya ketika berbuat sesuatu di jalan kebaikan.
Memang itu adalah akusala kamma. Tapi saya tidak melihatnya sebagai pelanggaran sila. Mengapa demikian? Seorang wanita, dengan maksud mendapatkan harta dari pria, mengikatnya dalam suatu ikatan, termasuk berhubungan seksual, mendapatkan keuntungan dari harta si pria, kemudian memutuskan hubungan. Apa anda lihat ini hanya dalam pelacuran, atau ada juga dalam pernikahan?
Dari konteks hukum dan budaya, sudah jelas hubungan yang disahkan adalah benar dan pelacuran adalah salah. Tetapi secara kesadaran moral, keduanya tidak terlalu berbeda bukan? Banyak pelacur yang terlihat terhormat, bahkan di antara kita.


Quote
Quote from: Kainyn_Kutho:) Makanya saya suruh anda research tentang kebudayaan di seluruh dunia. Nanti akan anda temukan sendiri jawaban yang sangat menarik. Bahkan lebih menarik dari sekadar melegalkan hubungan dengan orang ke tiga dan keterikatan hubungan. ;D
Sekarang saya yang gantian ingin meminta referensi dari Anda. ;D
Saya beri contekan, nanti anda coba cari sumber lain. Anda tahu di kepercayaan lain ada yang memperbolehkan poligami? Itu adalah pengesahan berhubungan dengan orang ke tiga, dan seterusnya. Mungkin anda juga tahu mengenai kawin kontrak? Itu adalah hubungan seksual yang disahkan dalam jangka waktu tertentu. Saya melihatnya secara sederhana adalah prostitusi jangka panjang (lebih dari semalam). Beberapa budaya juga tidak mengenal "pemerkosaan pasangan" (spousal rape), jadi pemaksaan hubungan seksual kepada pasangan tidak dilihat sebagai pemerkosaan, sedangkan di tempat lain tidak begitu. Di budaya tertentu juga menganut sistem Matriach dan tempat lain Patriach. Di situ nilai pernikahan dan peran pria dan wanita bisa berbeda jauh.


QuoteMakanya, manusia itu cenderung mencari celah dalam suatu peraturan. "Jangan berbohong". Tetap saja ada yang berdalih saya berbohong untuk kebaikan. Saya berbohong karena takut dibunuh, dan sebagainya. Celah-celah dan pembenaran selalu ada dan bisa ditemukan. Apalagi dengan keterbatasan padanan kata di Alam Semesta ini. Ujung-ujungnya, kalau dalam Buddhisme sering diberi ultimatum : "terima saja buah kammamu kelak". End of story.
Ya betul, orang dengan kesadaran diri tidak perlu ditakuti dengan hukuman ataupun diimingi hadiah untuk melakukan hal yang bermanfaat. Sebaliknya orang yang memang kriminal, tetap saja bisa mencari pembenaran atas perbuatannya. Maka saya tetap "keras kepala" mengatakan itu tidak melanggar sila, walaupun akan kontroversial.


Quote
Quote from: Kainyn_KuthoYa, saya tahu anda tidak mengidap AIDS. Juga saya rasa anda bukanlah konsumen prostitusi. :) Itu hanya perumpamaan aja bahwa seorang tidak boleh menyalahkan pihak luar atas akibat perbuatan buruknya.
Tentu saja saya tidak akan menyalahkan pihak luar. Dan semoga saya selalu konsisten dalam prinsip ini. :)
Semoga demikian.
Berarti terperosoknya seseorang pada pelacur, tidak bisa disalahkan kepada keberadaan prostitusinya, bukan? :) Ini juga supaya umat Buddha tidak ada yang merazia rumah makan yang buka setelah pukul 12 siang pada hari Uposatha. Jangan menyalahkan objek luar.


Nevada

[at] Reenzia

Begini deh...
Tidak ada ketentuan "aku bertekad untuk menghindari diri dari aktivitas menyiksa makhluk lain" dalam Pancasila Buddhis. Kita bicara dalam tataran putthujana saja...

Lalu bila saya menganiaya orang lain, saya tidak melanggar sila yah?
Menurut Anda perbuatan ini termasuk kamma baik atau kamma buruk?
Kalau kamma buruk, kenapa Sang Buddha tidak menyisipkan ketentuan ini di dalam latihan sila untuk umat awam?

Duh, OOT... :hammer:

Reenzia

saia rasa sudah diperjelas oleh ko kaiyn

QuoteSecara umum, dikatakan bahwa pancasila adalah yang menjaga seseorang lahir di alam baik (sedikitnya manusia). Soal akusala dan kusala, itu sudah terlalu luas untuk diatur dalam sila.

menganiaya memang tak melanggar sila kok, tapi sayang sekali bahwa
melaksanakan semua sila secara sempurna blm tentu menghindarkan kita dari akusala kamma

Nevada

Quote from: Kainyn_KuthoSecara umum, dikatakan bahwa pancasila adalah yang menjaga seseorang lahir di alam baik (sedikitnya manusia). Soal akusala dan kusala, itu sudah terlalu luas untuk diatur dalam sila.
Pancasila Buddhis itu standar dasar untuk berjalan di jalan kebaikan = moralitas. Menurut saya, tidak ada perbuatan amoral yang tidak bertentangan dengan konsep moralitas.

Quote from: Kainyn_KuthoMemang itu adalah akusala kamma. Tapi saya tidak melihatnya sebagai pelanggaran sila. Mengapa demikian? Seorang wanita, dengan maksud mendapatkan harta dari pria, mengikatnya dalam suatu ikatan, termasuk berhubungan seksual, mendapatkan keuntungan dari harta si pria, kemudian memutuskan hubungan. Apa anda lihat ini hanya dalam pelacuran, atau ada juga dalam pernikahan?
Dari konteks hukum dan budaya, sudah jelas hubungan yang disahkan adalah benar dan pelacuran adalah salah. Tetapi secara kesadaran moral, keduanya tidak terlalu berbeda bukan? Banyak pelacur yang terlihat terhormat, bahkan di antara kita.
Sudah kita sepakati bahwa pernikahan hanyalah formalitas. Pernikahan adalah kebahagiaan tertinggi di duniawi. Sang Buddha menyatakan demikian tentunya atas dasar konsep pernikahan yang baik, bukan pernikahan demi harta. Sebagai manusia, pelacur bisa lebih mulia dari pemuka agama. Namun perbuatan melacurkan diri itu tidak lebih mulia dari keteguhan dalam sila.

Quote from: Kainyn_KuthoSaya beri contekan, nanti anda coba cari sumber lain. Anda tahu di kepercayaan lain ada yang memperbolehkan poligami? Itu adalah pengesahan berhubungan dengan orang ke tiga, dan seterusnya. Mungkin anda juga tahu mengenai kawin kontrak? Itu adalah hubungan seksual yang disahkan dalam jangka waktu tertentu. Saya melihatnya secara sederhana adalah prostitusi jangka panjang (lebih dari semalam). Beberapa budaya juga tidak mengenal "pemerkosaan pasangan" (spousal rape), jadi pemaksaan hubungan seksual kepada pasangan tidak dilihat sebagai pemerkosaan, sedangkan di tempat lain tidak begitu. Di budaya tertentu juga menganut sistem Matriach dan tempat lain Patriach. Di situ nilai pernikahan dan peran pria dan wanita bisa berbeda jauh.
Poligami masih sah, karena aktivitas seks yang dilakukan berada di bawah naungan mahligai pernikahan. Kawin kontrak adalah pernikahan yang bukan real. Spousal rape ini adalah aktivitas seks yang tidak pantas dalam Buddhadhamma. Ini sudah saya singgung sedikit di posting-posting sebelumnya. Matriach dan patriach juga bukan berdasarkan pernikahan yang seseungguhnya. Pernyataan Sang Buddha mengenai kebahagiaan dari pernikahan itu harus kita lihat dalam konteks pernikahan sesungguhnya, yang baik.

Quote from: Kainyn_KuthoYa betul, orang dengan kesadaran diri tidak perlu ditakuti dengan hukuman ataupun diimingi hadiah untuk melakukan hal yang bermanfaat. Sebaliknya orang yang memang kriminal, tetap saja bisa mencari pembenaran atas perbuatannya. Maka saya tetap "keras kepala" mengatakan itu tidak melanggar sila, walaupun akan kontroversial.
Anggap saja hal itu tidak melanggar pancasila. Jadi perbuatan menganiaya makhluk hidup pun tidak melanggar pancasila. Dan karenanya, umat awam bisa menjalankan pancasila dengan cukup baik namun melakukan penganiayaan terhadap makhluk lain secara konstan dan kontiniu. Apakah kelak orang itu akan terlahir di alam yang menyenangkan?

Quote from: Kainyn_KuthoSemoga demikian.
Berarti terperosoknya seseorang pada pelacur, tidak bisa disalahkan kepada keberadaan prostitusinya, bukan? :) Ini juga supaya umat Buddha tidak ada yang merazia rumah makan yang buka setelah pukul 12 siang pada hari Uposatha. Jangan menyalahkan objek luar.
Saya sependapat dengan Anda.

Sunkmanitu Tanka Ob'waci

masalahnya bukan sekedar moralitas, dari moralitas kita sudah tahu itu salah

tetapi ini dibahas secara definisi

anda jalan lagi bawa pisau, terus tersandung dan menusuk teman anda sampai mati (gak sengaja). apakah hal tersebut melanggar sila? kalau tidak ada definisi, bisa terjadi keributan apakah hal itu salah atau tidak.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Nevada

[at] Wolverine

Dalam skenario yang Anda buat, hal itu tidak memenuhi syarat suatu kejadian untuk disebut sebagai pembunuhan. Jadi tidak melanggar sila.

Sunkmanitu Tanka Ob'waci

demikian pula adanya dengan sila ketiga, ada syaratnya

jika seseorang diperkosa dan tidak punya niat, apakah melanggar sila ketiga?
jika seseorang melakukan dengan pasangan yang sah (tetap ada lobhanya loh), apakah melanggar sila ketiga?
sesuai kondisi jaman dahulu di india, pelacur dianggap sebagai istri (temporer), dan masih banyak di kebudayaan di seluruh dunia. contohnya di negara bagian nevada, amerika serikat, pelacuran dianggap sah. demikian pula yang tercatat adalah 20 jenis wanita yang tidak patut disentuh (bagi pria umat awam)
demikian pula adanya dengan gay, di masyarakat tertentu ditabukan, apakah berarti semua gay melanggar sila ketiga? saya tahu beberapa praktisi buddhis yang gay secara terbuka, tingkah lakunya sangat terhormat, praktiknya sangat baik.
hal ini sangat kompleks, Sang Buddha bukan algojo atau pemaksa, hanya menganjurkan.
setiap orang bebas mau masturbasi keq, mau ngapain keq, tetapi bagi yang berlatih di jm8 seharusnya tahu hal mana yang patut dilaksanakan, mana yang tidak patut

secara kemelekatan bahkan dengan pasangan yang sah (menurut budaya impor, yaitu menikah) bila dilakukan dengan lobha juga gak baik...

budaya menikah di hadapan penghulu atau pandita itu budaya impor...
jaman dulu gak ada begituan, cuma pai langit dan bumi, gak perlu saksi, tetapi gak dianggap kumpul kebo... apakah hal itu sah atau tidak?

demikian pula adanya, pelacur dianggap keji karena pengaruh budaya tetangga..., padahal menurut buddhis kembali lagi ke diri masing-masing..., mau nafsu makan es krim juga gak sepatutnya dilaksanakan, tetapi Sang Buddha gak pernah maksa kamu gak boleh ngiler liat makanan enak
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days