TINDAKAN SEKSUAL YANG TIDAK PANTAS DALAM PANDANGAN BUDDHIS

Started by Sumedho, 02 December 2007, 09:04:29 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

K.K.

Quote from: upasaka on 30 January 2009, 01:33:49 PM
Pancasila Buddhis itu standar dasar untuk berjalan di jalan kebaikan = moralitas. Menurut saya, tidak ada perbuatan amoral yang tidak bertentangan dengan konsep moralitas.
Betul, dalam konteks kamma, semua akusala adalah bertentangan dengan dhamma. Tetapi dalam konteks pancasila, perbuatan itu tidak melanggarnya (dengan kata lain, secara umum, walaupun perbuatan menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri, belum tentu membawa orang terlahir pada alam sengsara).


QuoteSudah kita sepakati bahwa pernikahan hanyalah formalitas. Pernikahan adalah kebahagiaan tertinggi di duniawi. Sang Buddha menyatakan demikian tentunya atas dasar konsep pernikahan yang baik, bukan pernikahan demi harta. Sebagai manusia, pelacur bisa lebih mulia dari pemuka agama. Namun perbuatan melacurkan diri itu tidak lebih mulia dari keteguhan dalam sila.
Di sini yang saya tekankan adalah "pelacuran" secara moralitas tidak hanya dilakukan pelacur, tetapi semua orang. Bedanya, ada yang melakukannya dengan terbuka, ada yang dengan kedok hukum. Saya bukan mempermasalahkan pernikahan itu tidak bisa baik. Tentu saja bisa baik.


QuotePoligami masih sah, karena aktivitas seks yang dilakukan berada di bawah naungan mahligai pernikahan. Kawin kontrak adalah pernikahan yang bukan real. Spousal rape ini adalah aktivitas seks yang tidak pantas dalam Buddhadhamma. Ini sudah saya singgung sedikit di posting-posting sebelumnya. Matriach dan patriach juga bukan berdasarkan pernikahan yang seseungguhnya. Pernyataan Sang Buddha mengenai kebahagiaan dari pernikahan itu harus kita lihat dalam konteks pernikahan sesungguhnya, yang baik.
:) Saya menyinggung hal2 tersebut untuk memberikan contoh perbedaan makna pernikahan, yang bukan selalu dengan satu pasangan ataupun 'setia sampai mati'. Kalau menilainya sesuai dengan dhamma atau tidak, sudah beda soal, dan sebaiknya tidak dibicarakan di sini, nanti OOT. Dan juga sebetulnya fokus saya bukanlah pernikahan itu sendiri, tetapi seksualitas dalam pernikahan, dan saya berikan contoh di mana seksualitas dalam pernikahan di berbeda tempat, juga berbeda. Tidak selalu sesuai dengan dhamma (yang berkembang dengan pengaruh budaya India).


QuoteAnggap saja hal itu tidak melanggar pancasila. Jadi perbuatan menganiaya makhluk hidup pun tidak melanggar pancasila. Dan karenanya, umat awam bisa menjalankan pancasila dengan cukup baik namun melakukan penganiayaan terhadap makhluk lain secara konstan dan kontiniu. Apakah kelak orang itu akan terlahir di alam yang menyenangkan?
Mengapa tidak? Terlahir di alam menyenangkan, apakah selalu terhindar dari penyiksaan?
Dalam suatu kisah jataka, seorang petapa pernah dipancang selama beberapa hari sampai setengah mati karena kesalahpahaman raja terhadap dirinya. Bodhisatta yang adalah kawan petapa itu melihat bahwa di masa lalu petapa itu pernah menancapkan serpihan kayu pada seekor lalat dengan sengaja. Namun kemudian menyadari dan menyabutnya, dan tidak membunuh lalat itu. Maka Bodhisatta mengetahui bahwa petapa itu tidak akan mati terpancang dan memberinya semangat dengan duduk di bawahnya sampai darah yang menetes itu menutupi badan Bodhisatta. Melihat keteguhan Bodhisatta, Akhirnya raja percaya dan membatalkan hukumannya itu. Petapa itu tidak lain adalah Sariputta dalam kehidupan lampaunya.
Jadi kalau ada umat Buddha berencana untuk hidup tersiksa di masa depan, silahkan menyiksa mahluk mulai sekarang.
;D


Nevada

Quote from: Kainyn_KuthoBetul, dalam konteks kamma, semua akusala adalah bertentangan dengan dhamma. Tetapi dalam konteks pancasila, perbuatan itu tidak melanggarnya (dengan kata lain, secara umum, walaupun perbuatan menimbulkan penderitaan bagi diri sendiri, belum tentu membawa orang terlahir pada alam sengsara).
Inilah celah-celah yang terbuka dengan jelas. Caution : "Wet Floor". ;D

Quote from: Kainyn_KuthoDi sini yang saya tekankan adalah "pelacuran" secara moralitas tidak hanya dilakukan pelacur, tetapi semua orang. Bedanya, ada yang melakukannya dengan terbuka, ada yang dengan kedok hukum. Saya bukan mempermasalahkan pernikahan itu tidak bisa baik. Tentu saja bisa baik.
Sebaiknya jangan memakai kalimat yang terlalu komprehensif seperti itu. Itu bisa menjadi bumerang. Mungkin perlu saya sedikit klarisifikasi : "pernikahan yang bukan sesungguhnya, pernikahan yang tidak baik, bisa menjadi sarana prostitusi terselubung".

Quote from: Kainyn_Kutho:) Saya menyinggung hal2 tersebut untuk memberikan contoh perbedaan makna pernikahan, yang bukan selalu dengan satu pasangan ataupun 'setia sampai mati'. Kalau menilainya sesuai dengan dhamma atau tidak, sudah beda soal, dan sebaiknya tidak dibicarakan di sini, nanti OOT. Dan juga sebetulnya fokus saya bukanlah pernikahan itu sendiri, tetapi seksualitas dalam pernikahan, dan saya berikan contoh di mana seksualitas dalam pernikahan di berbeda tempat, juga berbeda. Tidak selalu sesuai dengan dhamma (yang berkembang dengan pengaruh budaya India).
Tentu saja, bro. Di dalam pernikahan baik yang dimaksud Sang Buddha, seharusnya ada aktivitas seks antar suami-istri yang benar, sehat dan baik. Ini bukan sesuai standarisasi kebudayaan India Kuno. Ini universal. Dan jenis-jenis pernikahan yang Anda sebutkan itu adalah pernikahan yang tidak baik, menyimpang dari hakikat pernikahan sesungguhnya.

Quote from: Kainyn_KuthoMengapa tidak? Terlahir di alam menyenangkan, apakah selalu terhindar dari penyiksaan?
Dalam suatu kisah jataka, seorang petapa pernah dipancang selama beberapa hari sampai setengah mati karena kesalahpahaman raja terhadap dirinya. Bodhisatta yang adalah kawan petapa itu melihat bahwa di masa lalu petapa itu pernah menancapkan serpihan kayu pada seekor lalat dengan sengaja. Namun kemudian menyadari dan menyabutnya, dan tidak membunuh lalat itu. Maka Bodhisatta mengetahui bahwa petapa itu tidak akan mati terpancang dan memberinya semangat dengan duduk di bawahnya sampai darah yang menetes itu menutupi badan Bodhisatta. Melihat keteguhan Bodhisatta, Akhirnya raja percaya dan membatalkan hukumannya itu. Petapa itu tidak lain adalah Sariputta dalam kehidupan lampaunya.
Jadi kalau ada umat Buddha berencana untuk hidup tersiksa di masa depan, silahkan menyiksa mahluk mulai sekarang.
;D
Bila saya menjalankan pancasila seumur hidup, meski ada bolong-bolongnya ;D, namun saya lebih banyak berbuat kamma baik, dan sebelum meninggal, pikiran saya mengambil objek yang baik, saya juga bisa terlahir di alam yang menyenangkan bukan?


Reenzia

QuoteDi dalam pernikahan baik yang dimaksud Sang Buddha, seharusnya ada aktivitas seks antar suami-istri yang benar, sehat dan baik

apa kriteria pernikahan yang baik? apakah semua kriteria pernikahan yang baik tidak menghasilkan akusala kamma?

Nevada

[at] Reenzia

"Kebahagiaan duniawi terbesar yang dapat dirasakan manusia adalah perpaduan dari pernikahan yang mengikat dua hati yang saling mencintai di dalam Dhamma" (Sutta Pitaka – Digha Nikaya)"

Pernikahan yang baik tentu saja masih bisa memunculkan akusala kamma. Namun dilihat dari fungsi dan sumbangsih positifnya, pernikahan baik dapat berkontribusi untuk :
- memperbanyak perbuatan baik, tidak melakukan kejahatan, menyucikan pikiran (suami-istri saling setia dan mengasihi)
- menjalankan Dhamma dalam naungan kehangatan sebuah keluarga
- menunjukkan keunggulan moralitas manusia dibanding dengan hewan
- mengkondisikan untuk terlahirnya Boddhisatta

Bodhisatta seperti Pangeran Siddhattha itu terlahir dari hasil pernikahan yang baik antara Raja Suddhodana dan Ratu Maha Maya. Pangeran Rahula pun terlahir dari pernikahan baik antara Pangeran Siddhattha dengan Puteri Yasodhara. Tidak ada Calon Sammasambuddha yang terlahir dari pernikahan tidak baik.

Reenzia

pernikahan yang baik memang mengkondisikan orang untuk tak berbuat lebih banyak akusala kamma
tapi tanpa pernikahan, kondisi yg dibentuk untuk mencapai pencerahan bisa lebih baik lagi, contohnya hidup berselibat
[tidak termasuk hidup tanpa pernikahan tapi 'jajan' dimana-mana]
kecuali pernikahan yang dimaksud :
- tidak ada cinta eros [lobha]
- tidak melakukan hubungan suami istri [lobha]
- tidak terikat dengan suami/istri atau dengan orang, mahluk, benda apapun yg lain

hatRed

kalo ngegodain ce itu termasuk tindakan seksual atau tidak?

kalo iya, itu pantas dalam pandangan buddhis gak?
i'm just a mammal with troubled soul



Nevada

[at] Reenzia

Kita sedang membahas seks yang pantas dalam pandangan Buddhisme bukan?
Kalau kita membahas seks yang pantas, artinya harus ada wadah pernikahan yang menaunginya. Kalau ada pernikahan, maka pernikahan yang baiklah yang layak untuk menaunginya.

Argumen Anda benar. Tapi kita bukan membahas mana yang lebih baik antara pernikahan atau pelepasan duniawi.

Nevada

[at] hatRed

Itu termasuk bentuk pelecehan. Tapi tergantung "menggoda" yang Anda maksud itu seperti apa...

Reenzia

;D kalo yg pantas, adalah yang minimal, kalo dalam kebudayaan manusia ya pernikahan lah, tapi tetap tak disarankan ;D

karena pada dasarnya seks itu tak ada yang pantas, karena segala macam seks adalah lobha :))
pantas jika harus diselaraskan dengan kebudayaan, dan norma masyarakat az

bagi saia, pernikahan adalah janji untuk tak banyak melakukan lobha dengan banyak orang
tapi tanpa pernikahan pun, hal itu bisa dilakukan, bahkan bisa lebih baik
karena presepsi masyarakat = orang harus menikah = org menikah pasti melakukan hubungan seks
bisa kira-kira gak apa pendapat masyarakat ttg org menikah tapi tak melakukan hubungan seks? :))


Nevada

Quote from: Reenzia on 30 January 2009, 03:04:38 PM
;D kalo yg pantas, adalah yang minimal, kalo dalam kebudayaan manusia ya pernikahan lah, tapi tetap tak disarankan ;D

karena pada dasarnya seks itu tak ada yang pantas, karena segala macam seks adalah lobha :))
pantas jika harus diselaraskan dengan kebudayaan, dan norma masyarakat az

bagi saia, pernikahan adalah janji untuk tak banyak melakukan lobha dengan banyak orang
tapi tanpa pernikahan pun, hal itu bisa dilakukan

Nah, kalimat yang saya cetak biru itu = :yes:

Seks bukanlah masalah pantas atau tidak pantas. Namun pada dasarnya seks akan memberi pemuasan indera dan kemelekatan, dan ini adalah wujud yang harus kita tanggalkan untuk merealisasi Nibbana.

Namun dalam aktivitas seks yang wajar, tentu ada ketentuan dan kelayakannya. Dan salah satu yang menjadi fondasinya adalah seks dalam ikatan pernikahan yang baik, yaitu sebagai hubungan suami-isteri.

Reenzia

QuoteNamun dalam aktivitas seks yang wajar, tentu ada ketentuan dan kelayakannya. Dan salah satu yang menjadi fondasinya adalah seks dalam ikatan pernikahan yang baik, yaitu sebagai hubungan suami isteri.

wajar menurut masyarakat yakkkkkkkkkkk :))
ketentuan dan kelayakan menurut masyarakat yaaaakkkkkkkkkkkk [again] :))
fondasinya adalah seks dalam ikatan pernikahan menurut masyarakat yakkkkkkkkkk [again] :))
apa lagi dibuat persepsi bahwa manusia sudah seharusnya/sewajibnya/disarankan untuk menikah
bila tidak jadi bhikku/pendeta/dll, pasti diasumsikan yg negatif
krn menurut masyarakat : MANUSIA NORMAL YANG SEHAT ADALAH YANG MELAKUKAN HUBUNGAN SEKS DENGAN PASANGANNYA YG SAH

:-w :-w :-w lagi-lagi tipu muslihat agar org mau menikah

Nevada

Aktivitas seks yang layak dan wajar adalah :
- tidak melakukan aktivitas senggama secara oral maupun anal
- tidak melakukan pemaksaan
- tidak mengkasari pasangan
- tidak melakukan hubungan intim saat istri datang bulan
- dilakukan atas dasar saling mengasihi dan menghormati
- di bawah naungan pernikahan yang sah secara adat, hukum dan agama
- dan dilakukan pada waktu dan tempat yang sesuai

Ini universal, bukan semata-mata paradigma masyarakat yang sudah mendarah-daging. Ini moralitas.

hatRed

gaya seks yg pantas dalam buddhisme itu kek gmana ya ???
i'm just a mammal with troubled soul



Reenzia


g.citra

Quote:-w :-w :-w lagi-lagi tipu muslihat agar org mau menikah

mang sis Reenzia gak mau nikah yakkkkkkkkkkk  :)) ... :hammer: :hammer: :hammer: