Godhika Thera pada suatu kesempatan, melatih meditasi ketenangan dan
pandangan terang di atas lempengan batu di kaki gunung Isigili di Magadha. Ketika beliau telah mencapai Jhana, (1) beliau jatuh sakit dan kondisi ini mempengaruhi latihannya. Dengan mengabaikan rasa sakitnya, beliau tetap berlatih dengan keras. Namun setiap kali beliau mencapai kemajuan, beliau merasa kesakitan. Beliau mengalami hal ini sebanyak enam kali. (2) Akhirnya, beliau memutuskan untuk berjuang keras untuk mencapai tingkat arahat, walaupun ia harus mati untuk itu.
Tanpa beristirahat, beliau melanjutkan meditasinya dengan rajin. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.(3) Dengan memilih perasaan sakit sebagai objek meditasi, beliau memotong lehernya sendiri dengan pisau. Dengan berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat memusatkan pikirannya dan mencapai tingkat kesucian arahat, tepat sebelum beliau meninggal dunia.
Ketika Mara mendengar bahwa Godhika Thera telah meninggal dunia, ia mencoba
untuk menemukan di mana Godhika Thera tersebut dilahirkan, tetapi gagal. Maka
dengan menyamar sebagai seorang laki-laki muda, Mara menghampiri Sang Buddha dan bertanya di mana Godhika Thera sekarang. Sang Buddha menjawab;
"Tidak ada manfaatnya bagi kamu untuk mengetahui Godhika Thera. Setelah terbebas dari kekotoran-kekotoran moral, ia mencapai tingkat kesucian arahat. Seseorang seperti kamu, Mara, dengan seluruh kekuatanmu tidak akan dapat menemukan ke mana para arahat pergi setelah meninggal dunia."
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 57 berikut:
"Mara tak dapat menemukan jejak mereka yang memiliki sila,
yang hidup tanpa kelengahan,
dan yang telah terbebas melalui Pengetahuan Sempurna"
sepintas membaca
apalah bedanya cara meditasi si Godhika sama pertapa Gotama saat menyiksa diri?
Esensinya pasti beda...
Coba bayangkan... BAHIYA dengan mendengarkan petunjuk Dharma dalam 1 bait saja sudah mendapat penembusan sehingga mencapai tingkat kesucian ARAHAT... Saya yang sudah berkali kali bahkan beratus ratus kali membaca kembali petunjuk BUDDHA sesuai dengan apa yang tertulis dalam BAHIYA SUTTA itu "mungkin" tidak memetik apa apa.
apa yak,
satu hal yg menarik sih, "godhika menggunakan perasaan sakit sebagai objek meditasi"
tapi bila hal demikian bisa menuntun seseorang mencapai nibbana. trus kenapa Gotama saat menyiksa diri tidak mencapai nibbana?
Katanya pengetahuan bahwa pencerahannya akan didapat dari rasa sakit bukan sembarangan, melainkan sudah berada dalam nana vipassana.
Jadi sudah dalam pengetahuan vipassana, tapi masih belum pasti (bukan anuloma nana), masih timbul dan tenggelam, muncul pengetahuan bahwa dengan menggorok leher akan mencapai nibanna.
Katanya pengetahuan bahwa pencerahannya akan didapat dari rasa sakit bukan sembarangan, melainkan sudah berada dalam nana vipassana.
Jadi sudah dalam pengetahuan vipassana, tapi masih belum pasti (bukan anuloma nana), masih timbul dan tenggelam, muncul pengetahuan bahwa dengan menggorok leher akan mencapai nibanna.
samayika cetovimutti -> bukan pencapaian sembarangan
kayaknya Bodhisattva cuma sampai arupa jhana aja deh
...namun ia hanya berhasil meraih pembebasan pikiran yang bersifat duniawi (samayika cetovimutti).
[at] upasaka
kalau melihat dari cerita dua maka seorang Godhika pertama mempunyai keinginan untuk tidak terlahir di alam menyedihkan jadi dia bertekad membunuh dirinya sendiri (yg padahal malah membuat karma buruk keknya) saat sedang berada dalam jhana agar terlahir di alam yg baik (ibaratnya maen cheat).
dan disambung dari cerita satu maka, pada saat terdapat kesakitan saat bermeditasi dia memakainya sebagai objek. Pikiran adalah pelopor, jadi saat itu yg disiksa bukanlah jasmaninya melainkan pikiran godhika terhadap perasaan sakit tersebut. lain halnya saat Gotama menyiksa diri, dia memakai jasmaninya yg disiksa tetapi bukan pikirannya.
hal demikian membuat Godhika mencapai nibbana sehingga ibarat pepatah "sambil menyelam minum air"
CMIIW
[at] upasaka
kalau melihat dari cerita dua maka seorang Godhika pertama mempunyai keinginan untuk tidak terlahir di alam menyedihkan jadi dia bertekad membunuh dirinya sendiri (yg padahal malah membuat karma buruk keknya) saat sedang berada dalam jhana agar terlahir di alam yg baik (ibaratnya maen cheat).
dan disambung dari cerita satu maka, pada saat terdapat kesakitan saat bermeditasi dia memakainya sebagai objek. Pikiran adalah pelopor, jadi saat itu yg disiksa bukanlah jasmaninya melainkan pikiran godhika terhadap perasaan sakit tersebut. lain halnya saat Gotama menyiksa diri, dia memakai jasmaninya yg disiksa tetapi bukan pikirannya.
hal demikian membuat Godhika mencapai nibbana sehingga ibarat pepatah "sambil menyelam minum air"
CMIIW
Justru saya melihat Godhika Thera seolah tidak ingin terlahir di alam-alam rendah, mungkin karena 'takut' penyakitnya akan semakin parah dan meninggal.
Karenanya, Godhika Thera 'ingin' terlahir di Alam Brahma, sehingga beliau membunuh diri sendiri ketika batinnya berada dalam kondisi jhana.
Namun bagaimana mungkin dalam kondisi itu akhirnya beliau mencapai tingkat Arahat. Dan apakah seorang Arahanta masih memiliki 'keinginan' untuk membunuh diri sendiri dengan memotong lehernya sendiri?
Bukankah tindakan itu sangat jelas mencerminkan perilaku keduniawian?
saia rasa ada hubungannya dengan pemahaman godhika thera dan SB
keduanya memiliki pemahaman yang berbeda saat melakukan hal itu
saia rasa ada hubungannya dengan pemahaman godhika thera dan SB
keduanya memiliki pemahaman yang berbeda saat melakukan hal itu
pemahamannya seperti apa ya?
saia rasa ada hubungannya dengan pemahaman godhika thera dan SB
keduanya memiliki pemahaman yang berbeda saat melakukan hal itu
pemahamannya seperti apa ya?
:)) bagaimana saia bisa menjelaskan bagaimana pemahaman arahat dan buddha?
:hammer:
kan di tulis disitu ma i, emang si godhika itu tujuan awalnya ya supaya gak terlahir di alam rendah/menyedihkan.
tapi ya "sambil menyelam minum air" jadi saat dia sedang sekarat dia memakainya sebagai objek meditasi, sehingga dia malah mencapai Arahat sebelum parinibbana.
dan saat dia memutuskan tuk membunuh diri kan dia belum arahat. jadi wajar bagi dia yg belum mencapai tingkat kesucian berpikir seperti itu.
ya itu kan cm dugaan saja....
seperti ini...
seorang anak terjatuh, terluka dan menangis...
kondisi 1 : mamanya mengatakan, sakitnya jangan terlalu dirasakan...abaikan saja...si anak diberi mainan atau makanan agar tidak terlalu memperhatikan rasa sakit itu
kondisi 2: si anak memperhatikan dengan baik rasa sakit itu...bahkan ketika diberi obat, rasa sakit itu makin terasa, dan makin disadari walaupun tetap berusaha menahan nyeri
Tanpa beristirahat, beliau melanjutkan meditasinya dengan rajin. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.(3) Dengan memilih perasaan sakit sebagai objek meditasi, beliau memotong lehernya sendiri dengan pisau. Dengan berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat memusatkan pikirannya dan mencapai tingkat kesucian arahat, tepat sebelum beliau meninggal dunia.
QuoteTanpa beristirahat, beliau melanjutkan meditasinya dengan rajin. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.(3) Dengan memilih perasaan sakit sebagai objek meditasi, beliau memotong lehernya sendiri dengan pisau. Dengan berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat memusatkan pikirannya dan mencapai tingkat kesucian arahat, tepat sebelum beliau meninggal dunia.
di cerita diatas, mencapainya tepat sebelum meninggal jadi saat memotong leher belum mencapai.
ya itu kan cm dugaan saja....
seperti ini...
seorang anak terjatuh, terluka dan menangis...
kondisi 1 : mamanya mengatakan, sakitnya jangan terlalu dirasakan...abaikan saja...si anak diberi mainan atau makanan agar tidak terlalu memperhatikan rasa sakit itu
kondisi 2: si anak memperhatikan dengan baik rasa sakit itu...bahkan ketika diberi obat, rasa sakit itu makin terasa, dan makin disadari walaupun tetap berusaha menahan nyeri
Tapi anak itu tidak mungkin 'mencapai' kesembuhan dengan menggorok kulit yang terluka itu kan? ;D
QuoteTanpa beristirahat, beliau melanjutkan meditasinya dengan rajin. Akhirnya beliau memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri.(3) Dengan memilih perasaan sakit sebagai objek meditasi, beliau memotong lehernya sendiri dengan pisau. Dengan berkonsentrasi terhadap rasa sakit, beliau dapat memusatkan pikirannya dan mencapai tingkat kesucian arahat, tepat sebelum beliau meninggal dunia.
di cerita diatas, mencapainya tepat sebelum meninggal jadi saat memotong leher belum mencapai.
Lalu apakah Sang Buddha membenarkan tindakan bunuh diri untuk kasus-kasus tertentu?
ya itu kan cm dugaan saja....
seperti ini...
seorang anak terjatuh, terluka dan menangis...
kondisi 1 : mamanya mengatakan, sakitnya jangan terlalu dirasakan...abaikan saja...si anak diberi mainan atau makanan agar tidak terlalu memperhatikan rasa sakit itu
kondisi 2: si anak memperhatikan dengan baik rasa sakit itu...bahkan ketika diberi obat, rasa sakit itu makin terasa, dan makin disadari walaupun tetap berusaha menahan nyeri
Tapi anak itu tidak mungkin 'mencapai' kesembuhan dengan menggorok kulit yang terluka itu kan? ;D
bukan masalah lukanya, tapi sikap dan pemahaman terhadap luka tsb
1. sepertinya sih tidak
2. sepertinya tidak
saia blm bisa melihat bagaimana proses karma sih :))
Pertanyaannya :
(1) Apakah baik bila seseorang yang ingin terlahir di Alam Brahma melakukan aksi bunuh diri?
(2) Bukankah justru itu adalah kamma buruk?
Kesimpulannya, Godhika Thera 'berjudi' untuk terhindar dari alam-alam menderita, dan justru beliau 'beruntung' sehingga mencapai tingkat Arahat...
Kalau menurut Anda bagaimana?
Pertanyaannya :
(1) Apakah baik bila seseorang yang ingin terlahir di Alam Brahma melakukan aksi bunuh diri?
(2) Bukankah justru itu adalah kamma buruk?
Kesimpulannya, Godhika Thera 'berjudi' untuk terhindar dari alam-alam menderita, dan justru beliau 'beruntung' sehingga mencapai tingkat Arahat...
Kalau menurut Anda bagaimana?
Thera Godhika tidak bunuh diri dalam keadaan jhana. Juga bukan karena ketakutan terlahir di alam rendah karena penyakitnya. Thera Godhika mengalami gangguan dari fisiknya yang menghalangi pencapaian kesucian yang seharusnya bisa dicapainya. Maka kemudian Thera Godhika menggorok lehernya sendiri dan sesaat ketika akan meninggal, ia mencapai Arahatta-phala.
Ya, saya paham kalau Godhika Thera mengalami keterbatasan secara fisik untuk mencapai Arahat. Lalu apa maksud dari keinginan untuk menggorok lehernya itu?
Apakah Godhika Thera ingin 'melepaskan diri' dari fisik itu?
Ya, saya paham kalau Godhika Thera mengalami keterbatasan secara fisik untuk mencapai Arahat. Lalu apa maksud dari keinginan untuk menggorok lehernya itu?
Apakah Godhika Thera ingin 'melepaskan diri' dari fisik itu?
Mungkin begitu, atau mungkin juga karena sakit yang tak tertahankan.
Godhika Thera adalah putra pemuka Malla di Pava. Ketika pergi ke Kapilavatthu bersama kerabatnya, ia melihat Mukjizat Ganda yang diperlihatkan oleh Sang Buddha. Selanjutnya ia tertarik untuk memasuki hidup kebhikkhuan. Ia telah menimbun kebajikan bersama kerabatnya dalam kehidupan-kehidupan lampau, khususnya pada zaman Buddha Siddhattha dan Kassapa. Delapan puluh tujuh kappa yang lampau, ia pernah menjadi raja sebanyak tujuh kali, dengan nama Mahasena. Dalam kehidupan sekarang, setelah menjadi bhikkhu, ia bertempat-tinggal di Kaïasila di Isigiïipassa. Di sana ia berusaha keras untuk meraih kesucian tertinggi (Arahat), namun ia hanya berhasil meraih pembebasan pikiran yang bersifat duniawi (samayika cetovimutti).
Pencapaian itu pun kemudian memudar, lenyap kembali karena (menurut Buddhaghosa Thera) Godhika Thera sedang menderita suatu penyakit yang akut (berhubungan dengan empedu, dan mengeluarkan dahak). Itu terjadi berulang-ulang hingga enam kali. Pada pencapaian ketujuh, ia sempat berpikir bahwa suatu makhluk yang pudar dari Pencerapan (Jhana), kehidupan mendatangnya tidaklah menentu (mungkin terlahirkan di alam rendah karena akibat kamma buruknya). Sementara itu, mereka yang berada dalam Jhana akan lahir kembali di Alam Brahma yang luhur. Dengan berpikir demikian, ia kemudian mengambil pisau cukur, dan dengan membaringkan tubuhnya, ia menggorok lehernya sendiri.
Mara, si Jahat yang melihat kejadian itu segera melaporkan kepada Sang Buddha. Beliau datang terlambat, Godhika Thera dijumpai dalam keadaan mati terkapar dengan leher terputus. Kendati demikian, Sang Buddha menyatakan bahwa Godhika Thera telah berhasil meraih Pembebasan Sejati (Nibbana).
"Orang bijaksana tidak mempunyai kemelekatan terhadap badan jasmaniah. Godhika telah melenyapkan keinginannya, meraih Nibbâna."
Demikianlah sabda Sang Buddha...
kalau ditilik dari cerita diatas, saya menanggapinya sbb:
Godhika menggorok leher/bunuh diri/melepas jasmani agar dia dapat mati di Alam Brahma.
Kalau karena hambatan fisik lalu Godhika Thera membunuh dirinya sendiri, itu seperti orang yang frustasi dan menyerah... Itu tindakan yang tidak baik. Apalagi dengan modus untuk mencapai Alam Brahma...
Lalu sekejap setelah Godhika Thera mencapai Arahat, apakah semua kamma yang pernah beliau lakukan menjadi ahosi? Hal ini mengingat beliau sudah tidak terlahir di mana pun juga...Ya, sudah tidak terlahir di manapun, sehingga tidak terkondisi oleh kamma lagi.
[at] kainyn
kalau ditilik dari cerita diatas, saya menanggapinya sbb:
Godhika menggorok leher/bunuh diri/melepas jasmani agar dia dapat mati di Alam Brahma.
Kalau karena hambatan fisik lalu Godhika Thera membunuh dirinya sendiri, itu seperti orang yang frustasi dan menyerah... Itu tindakan yang tidak baik. Apalagi dengan modus untuk mencapai Alam Brahma...
Memang itu tindakan yang tidak baik. (1) Pada saat itu 'kan memang Thera Godhika belum mencapai kesucian apapun.QuoteLalu sekejap setelah Godhika Thera mencapai Arahat, apakah semua kamma yang pernah beliau lakukan menjadi ahosi? Hal ini mengingat beliau sudah tidak terlahir di mana pun juga...Ya, sudah tidak terlahir di manapun, (2) sehingga tidak terkondisi oleh kamma lagi.[at] kainyn
kalau ditilik dari cerita diatas, saya menanggapinya sbb:
Godhika menggorok leher/bunuh diri/melepas jasmani agar dia dapat mati di Alam Brahma.
Mungkin saja. Seperti saya katakan, Thera Godhika saat memutuskan hal itu, belum mencapai kesucian.
Saya setuju dengan Anda...
Namun di luar dugaan sebelumnya, Godhika Thera ternyata mampu mencapai tingkat kesucian Arahat... (miss-scenario)
1. sepertinya sih tidak
2. sepertinya tidak
saia blm bisa melihat bagaimana proses karma sih :))
(1) Sepertinya sih tidak -> maksudnya tidak baik yah? :)
(2) sepertinya tidak -> maksudnya tidak merupakan kamma buruk yah? :-?
LOGIKA :
tidak merupakan kamma buruk = bukan kamma buruk
tidak baik = buruk
Kesimpulan logika:
bukan kamma buruk adalah buruk ???
Saya setuju dengan Anda...
Namun di luar dugaan sebelumnya, Godhika Thera ternyata mampu mencapai tingkat kesucian Arahat... (miss-scenario)
Tambahan: mereka juga TIDAK menskenariokan "pencapaian Arahatta"-nya. Dalam kasus Thera Godhika, ia mempertimbangkan bahwa kehidupan di alam rendah menghalanginya untuk mencapai kesucian. Sedangkan dalam kasus Thera Channa, ia mengambil keputusan itu karena sakit yang tak tertahankan. Mereka mencapai Arahatta Phala karena perhatian murninya menjelang kematian.
1. sepertinya sih tidak
2. sepertinya tidak
saia blm bisa melihat bagaimana proses karma sih :))
(1) Sepertinya sih tidak -> maksudnya tidak baik yah? :)
(2) sepertinya tidak -> maksudnya tidak merupakan kamma buruk yah? :-?
LOGIKA :
tidak merupakan kamma buruk = bukan kamma buruk
tidak baik = buruk
Kesimpulan logika:
bukan kamma buruk adalah buruk ???
hah salah tulis, bunuh dirinya adalah hal buruk, tapi dari proses mungkin dia mendapatkan 'aha'
dapat kamma buruk lah, tapi mungkin dy tau bakal dapat 'aha' ..dy jadi rela dapat kamma buruk demi 'aha'
(1) Apa benar Godhika Thera belum mencapai tingkat kesucian apapun? Lalu dalam sekejap batinnya berkembang sampai ke taraf Arahat?
(2) Berarti semua buah kamma Godhika Thera 'terhapuskan' setelah memasuki Parinibbana seperti itu? Bagaimana jika di kehidupan lalu Godhika Thera pernah membunuh orang tuanya, dan vipaka-nya belum muncul? Buddha Gotama sendiri masih menerima vipaka buruk dari perbuatan-perbuatan-Nya dahulu, seperti menghina Pacceka Buddha...
untuk pertanyaan no 2, saya jadi ingat ada perkataan, seorang Buddha pun harus menghabiskan buah karmanya.Menghabiskan kamma adalah paham Makkhali Gosala.
[at] upasaka
yaaaa...saia sebut itu 'aha' :))
yah ibarat gini deh...
tangan saia terluka parah, sedangkan saia hampir pingsan di dalam hutan
saia pasti mati jika tak ditemukan orang bila pingsan, tapi
saia menemukan kastil dengan pintu besar dan berat
saia berusaha mencari pertolongan dengan mengetuk pintu, tapi sia-sia
tangan saia sakit sekali, sedangkan pintu itu pun tak bersuara karena terlalu besar dan berat
sedangkan tangan saia terasa sakit sekali ketika mengetuk, jadi saia hanya bisa mengetuk dengan sangat pelan
tapi karena saia menyadari bahwa saia akan segera pingsan
saia memaksakan diri untuk mengetuk pintu itu 1x saja walaupun akan sangat menyakitkan
yang pasti diusahakan agar orang didalamnya bisa mendengar ketukan saia saja
dalam cerita ghodika thera
ternyata pintu itu bersuara setelah dipukul sekuat tenaga, bahkan sampai mematahkan lengannya
dan ternyata disaat terakhir sebelum ia pingsan, ternyata ketukan terakhirnya itu memang didengar oleh orang didalam kastil
[at] upasaka
yaaaa...saia sebut itu 'aha' :))
yah ibarat gini deh...
tangan saia terluka parah, sedangkan saia hampir pingsan di dalam hutan
saia pasti mati jika tak ditemukan orang bila pingsan, tapi
saia menemukan kastil dengan pintu besar dan berat
saia berusaha mencari pertolongan dengan mengetuk pintu, tapi sia-sia
tangan saia sakit sekali, sedangkan pintu itu pun tak bersuara karena terlalu besar dan berat
sedangkan tangan saia terasa sakit sekali ketika mengetuk, jadi saia hanya bisa mengetuk dengan sangat pelan
tapi karena saia menyadari bahwa saia akan segera pingsan
saia memaksakan diri untuk mengetuk pintu itu 1x saja walaupun akan sangat menyakitkan
yang pasti diusahakan agar orang didalamnya bisa mendengar ketukan saia saja
dalam cerita ghodika thera
ternyata pintu itu bersuara setelah dipukul sekuat tenaga, bahkan sampai mematahkan lengannya
dan ternyata disaat terakhir sebelum ia pingsan, ternyata ketukan terakhirnya itu memang didengar oleh orang didalam kastil
[at] upasaka
yaaaa...saia sebut itu 'aha' :))
yah ibarat gini deh...
tangan saia terluka parah, sedangkan saia hampir pingsan di dalam hutan
saia pasti mati jika tak ditemukan orang bila pingsan, tapi
saia menemukan kastil dengan pintu besar dan berat
saia berusaha mencari pertolongan dengan mengetuk pintu, tapi sia-sia
tangan saia sakit sekali, sedangkan pintu itu pun tak bersuara karena terlalu besar dan berat
sedangkan tangan saia terasa sakit sekali ketika mengetuk, jadi saia hanya bisa mengetuk dengan sangat pelan
tapi karena saia menyadari bahwa saia akan segera pingsan
saia memaksakan diri untuk mengetuk pintu itu 1x saja walaupun akan sangat menyakitkan
yang pasti diusahakan agar orang didalamnya bisa mendengar ketukan saia saja
dalam cerita ghodika thera
ternyata pintu itu bersuara setelah dipukul sekuat tenaga, bahkan sampai mematahkan lengannya
dan ternyata disaat terakhir sebelum ia pingsan, ternyata ketukan terakhirnya itu memang didengar oleh orang didalam kastil
:o hebat hebat ^:)^ ^:)^ ^:)^ ^:)^ =D> =D> =D> =D> =D> =D>
(1) Apa benar Godhika Thera belum mencapai tingkat kesucian apapun? Lalu dalam sekejap batinnya berkembang sampai ke taraf Arahat?
(2) Berarti semua buah kamma Godhika Thera 'terhapuskan' setelah memasuki Parinibbana seperti itu? Bagaimana jika di kehidupan lalu Godhika Thera pernah membunuh orang tuanya, dan vipaka-nya belum muncul? Buddha Gotama sendiri masih menerima vipaka buruk dari perbuatan-perbuatan-Nya dahulu, seperti menghina Pacceka Buddha...
1. Untuk memastikannya sekarang adalah tidak mungkin karena: 1. saya bukan Samma Sambuddha; 2. Thera Godhika tidak ada. Jadi hanya bisa merujuk pada naskah Dhamma yang ada saja.
2. Orang yang pernah membunuh orang tuanya, tidak akan mencapai kesucian di kehidupan tersebut. Bukan berarti pada kehidupan2 berikutnya tidak bisa mencapai kesucian. Vipaka akan muncul jika kondisinya mendukung. Angulimala juga tidak menerima vipakanya terlahir di Niraya karena membunuh 999 orang dengan menjadi Arahat.untuk pertanyaan no 2, saya jadi ingat ada perkataan, seorang Buddha pun harus menghabiskan buah karmanya.Menghabiskan kamma adalah paham Makkhali Gosala.
Ajaran Buddha adalah bahwa para Arahat masih menerima Vipaka, namun bukan berarti harus menghabiskan semuanya, karena sesungguhnya jumlah kamma adalah tidak terhingga.
Kisah Thera Channa ada di Majjhima Nikaya 144. Saya tidak punya tulisan dalam Bahasa Indonesia.
[at] upasaka
setuju....untuk hal yang belum diketahui secara jelas, mungkin lebih baik tidak dikira-kira saja
soalnya berpotensi besar mengakibatkan ketersesatan, yang menghasilkan moha yang gendut :))
pa lagi kalo sampe menyatakan hal tersebut adalah kebenaran
layaknya manusia yang mencari 'dia'
Saya rasa agak kontradiksi apabila seseorang yang melenyapkan kehidupan dan berfokus pada batinnya malah mencapai Pembebasan...
Ini bisa disalah-artikan oleh orang lain sebagai salah satu bentuk mati jihad...
Dan malah mengukuhkan statement "kekerasan / pembunuhan bisa mengantar atau mendekatkan kita pada pencapaian Nibbana"
Lalu apakah Sang Buddha membenarkan tindakan bunuh diri untuk kasus-kasus tertentu?Jangan berasumsi terlalu jauh.. Ntar seperti kasus yg udah-udah, krn Sang Buddha tdk pernah menyatakan eksplisit ttg ketidaksetujuan terhadap satu hal, berarti ada tindakan tertentu berkenaal hal itu yg mungkin disetujui. ;)
Apakah Godhika Thera ingin 'melepaskan diri' dari fisik itu?
Apa benar Godhika Thera belum mencapai tingkat kesucian apapun? Lalu dalam sekejap batinnya berkembang sampai ke taraf Arahat?Mungkin saja - dikatakan mungkin krn masih sekedar pemahaman konseptual dan bkn ehipassiko -
Berarti semua buah kamma Godhika Thera 'terhapuskan' setelah memasuki Parinibbana seperti itu? Bagaimana jika di kehidupan lalu Godhika Thera pernah membunuh orang tuanya, dan vipaka-nya belum muncul? Buddha Gotama sendiri masih menerima vipaka buruk dari perbuatan-perbuatan-Nya dahulu, seperti menghina Pacceka Buddha...mungkin saja semua buah kammanya telah terhapus dan memang itulah 1 1 nya kamma pendukung dia utk parinibbana? <lagi-lagi masih kemungkinan> :P
Mereka mencapai Arahatta Phala karena perhatian murninya menjelang kematian.setuju banget.. _/\_
sebuah perkataan, seorang Buddha pun harus menghabiskan buah karmanya.Yup, sperti dikatakan om K-9 (baca: Canine) ;D itu paham Makkhali Gosaliputta, lingkaran pemurnian. Diibaratkan sebuah gulungan wol yg dilempar dan terbentang hingga habis, demikian pula si baik dan si jahat harus menjalani hingga selesai. Paham ini mengajarkan hidup ditentukan oleh kamma lampau dan tidak pentingnya sebuah usaha, krn toh satu hari Nibbana akan tercapai sendirinya.
sayangnya banyak orang tak menyikapi kisah dhamma dengan bijaksana
sehingga banyak yang membenarkan tindakan mereka berdasar cerita tsb tanpa pemahaman yang benar
bahkan hingga membuat pernyataan-pernyataan dan pemahaman baru dari SEBAGIAN cerita tsb
ato dari yang telah dikatakan SB
sayangnya banyak orang tak menyikapi kisah dhamma dengan bijaksana
sehingga banyak yang membenarkan tindakan mereka berdasar cerita tsb tanpa pemahaman yang benar
bahkan hingga membuat pernyataan-pernyataan dan pemahaman baru dari SEBAGIAN cerita tsb
ato dari yang telah dikatakan SB
Ya, betul. Dari kisah2 itu kita mengerti bahwa pencapaian kesucian adalah dengan "perhatian murni", bukan karena kegiatan lainnya. Bagi saya pribadi, orang bunuh diri yang menganggap bunuh diri bisa membawa orang pada kesucian (meniru Thera Godhika/Thera Channa), sama ngaconya dengan orang yang duduk di bawah pohon bodhi yang berpikir "dengan duduk di bawah pohon yang sama, maka saya akan mencapai pencerahan yang sama seperti Buddha". Tingkat ekstremnya berbeda, tapi tingkat "salah paham"-nya sama.
apakah sebelum mencapai kesucian di bawah pohon bodhi, petapa gotama sudah bisa mencapai jhana?
Semoga penjelasan dari rekan-rekan mengenai kasus ini bisa mengakhiri spekulasi dari teman-teman di luar sana juga... :)
apakah sebelum mencapai kesucian di bawah pohon bodhi, petapa gotama sudah bisa mencapai jhana?
sayangnya banyak orang tak menyikapi kisah dhamma dengan bijaksana
sehingga banyak yang membenarkan tindakan mereka berdasar cerita tsb tanpa pemahaman yang benar
bahkan hingga membuat pernyataan-pernyataan dan pemahaman baru dari SEBAGIAN cerita tsb
ato dari yang telah dikatakan SB
Ya, betul. Dari kisah2 itu kita mengerti bahwa pencapaian kesucian adalah dengan "perhatian murni", bukan karena kegiatan lainnya. Bagi saya pribadi, orang bunuh diri yang menganggap bunuh diri bisa membawa orang pada kesucian (meniru Thera Godhika/Thera Channa), sama ngaconya dengan orang yang duduk di bawah pohon bodhi yang berpikir "dengan duduk di bawah pohon yang sama, maka saya akan mencapai pencerahan yang sama seperti Buddha". Tingkat ekstremnya berbeda, tapi tingkat "salah paham"-nya sama.
betul sekali bro,
bahkan bnyk sekali yg "tersesat" dgn menganggap bhw kesucian itu datang dengan mudah... misal hanya dengar sutta, sudah suci
mereka tidak melihat keseluruhan cerita dimana sebenarnya batin org itu sudah matang dengan timbunan pengalaman selama banyak kehidupan lampaunya
semnoga besok jgn sampe ada kasus org yg membunuh diri, dengan mencontoh YM Godhika ini....
kalau gitu pertanyaannya,
"Kenapa saat bertapa menyiksa diri beliau tidak mencapai kesempurnaan, toh Godhika saat "bertapa" "menyiksa diri" bisa mencapai kesempurnaan.
Perbedaan Esensinya apa?
kalau gitu pertanyaannya,
"Kenapa saat bertapa menyiksa diri beliau tidak mencapai kesempurnaan, toh Godhika saat "bertapa" "menyiksa diri" bisa mencapai kesempurnaan.
Perbedaan Esensinya apa?
Perbedaannya, Thera Godhika dan Thera Channa bunuh diri BUKAN untuk menyiksa diri, juga tidak dengan pandangan salah bahwa pencerahan dicapai dengan "menghabiskan kamma buruk".
kalau gitu pertanyaannya,
"Kenapa saat bertapa menyiksa diri beliau tidak mencapai kesempurnaan, toh Godhika saat "bertapa" "menyiksa diri" bisa mencapai kesempurnaan.
Perbedaan Esensinya apa?
Perbedaannya, Thera Godhika dan Thera Channa bunuh diri BUKAN untuk menyiksa diri, juga tidak dengan pandangan salah bahwa pencerahan dicapai dengan "menghabiskan kamma buruk".
saya rasa secara harafiah benar "menyiksa diri" dan persamaan keduanya (Gotama dan Godhika) adalah mengambil rasa sakit sebagai objek pertapaan mereka, tetapi hasil nya kok beda?
kalo gitu kan pasti ada bedanya?
kalau gitu pertanyaannya,
"Kenapa saat bertapa menyiksa diri beliau tidak mencapai kesempurnaan, toh Godhika saat "bertapa" "menyiksa diri" bisa mencapai kesempurnaan.
Perbedaan Esensinya apa?
Perbedaannya, Thera Godhika dan Thera Channa bunuh diri BUKAN untuk menyiksa diri, juga tidak dengan pandangan salah bahwa pencerahan dicapai dengan "menghabiskan kamma buruk".
saya rasa secara harafiah benar "menyiksa diri" dan persamaan keduanya (Gotama dan Godhika) adalah mengambil rasa sakit sebagai objek pertapaan mereka, tetapi hasil nya kok beda?
kalo gitu kan pasti ada bedanya?
Dengan mengabaikan rasa sakitnya...
Kontroversinya di mana om?
Arahat yang mati di tempat bukan cuma Channa. Ada juga arahat yang mati dengan iddhi, tubuhnya terbakar. Lalu apakah hal tersebut berbeda dengan bunuh diri pakai pisau cukur?
Saya rasa untuk arahat istilahnya bukan bunuh diri, tugasnya sudah selesai dan parinibanna.
Kan gak semua Arahat punya abhina api... kalau gak punya abhina, dan sudah waktunya parinibanna?
Kan gak semua Arahat punya abhina api... kalau gak punya abhina, dan sudah waktunya parinibanna?
Kan gak semua Arahat punya abhina api... kalau gak punya abhina, dan sudah waktunya parinibanna?
dear bro,
ada 5 cara seorang arahat sebelum parinibbana....
salah satunya adalah dalam kondisi sedang mempertunjukkan abhinna.
Kondisi lainnya adalah :
- sedang dalam jhana
- merenungkan jhana
- merenungkan kilesa yg sudah dibasmi, dsbnya
jadi sebenarnya, parinibbana dalam kondisi batin sedang berada dalam abhinna, hanya merupakan salah satu kondisi batin sebelum meninggalnya (maranasanna vitthi) arahat
semoga bs bermanfaat yah