Dapatkah kebencian dipadamkan dg kebencian? rasanya udah pada tau ya... jawabannya ada di Dhammapada yg terkenal...
bagaimana, kalau:
"Dapatkah nafsu dipadamkan dengan nafsu?"
let's see cuplikan berikut, bukan oleh Buddha ya, (bukan Itivuttaka :P)
[spoiler]
I have heard that on one occasion Ven. Ananda was staying in Kosambi, at Ghosita's Park. Then the Brahman Unnabha went to where Ven. Ananda was staying and on arrival greeted him courteously. After an exchange of friendly greetings & courtesies, he sat to one side. As he was sitting there, he said to Ven. Ananda: "Master Ananda, what is the aim of this holy life lived under Gotama the contemplative?"
"Brahman, the holy life is lived under the Blessed One with the aim of abandoning desire."
"Is there a path, is there a practice, for the abandoning of that desire?"
"Yes, there is a path, there is a practice, for the abandoning of that desire."
"What is the path, the practice, for the abandoning of that desire?"
"Brahman, there is the case where a monk develops the base of power endowed with concentration founded on desire & the fabrications of exertion. He develops the base of power endowed with concentration founded on persistence... concentration founded on intent... concentration founded on discrimination & the fabrications of exertion. This, Brahman, is the path, this is the practice for the abandoning of that desire."
"If that's so, Master Ananda, then it's an endless path, and not one with an end, for it's impossible that one could abandon desire by means of desire."
"In that case, brahman, let me question you on this matter. Answer as you see fit. What do you think: Didn't you first have desire, thinking, 'I'll go to the park,' and then when you reached the park, wasn't that particular desire allayed?"
"Yes, sir."
"Didn't you first have persistence, thinking, 'I'll go to the park,' and then when you reached the park, wasn't that particular persistence allayed?"
"Yes, sir."
"Didn't you first have the intent, thinking, 'I'll go to the park,' and then when you reached the park, wasn't that particular intent allayed?"
"Yes, sir."
"Didn't you first have [an act of] discrimination, thinking, 'I'll go to the park,' and then when you reached the park, wasn't that particular act of discrimination allayed?"
"Yes, sir."
"So it is with an arahant whose mental effluents are ended, who has reached fulfillment, done the task, laid down the burden, attained the true goal, totally destroyed the fetter of becoming, and who is released through right gnosis. Whatever desire he first had for the attainment of arahantship, on attaining arahantship that particular desire is allayed. Whatever persistence he first had for the attainment of arahantship, on attaining arahantship that particular persistence is allayed. Whatever intent he first had for the attainment of arahantship, on attaining arahantship that particular intent is allayed. Whatever discrimination he first had for the attainment of arahantship, on attaining arahantship that particular discrimination is allayed. So what do you think, brahman? Is this an endless path, or one with an end?"
"You're right, Master Ananda. This is a path with an end, and not an endless one. Magnificent, Master Ananda! Magnificent! Just as if he were to place upright what was overturned, to reveal what was hidden, to show the way to one who was lost, or to carry a lamp into the dark so that those with eyes could see forms, in the same way has Master Ananda — through many lines of reasoning — made the Dhamma clear. I go to Master Gotama for refuge, to the Dhamma, and to the Sangha of monks. May Master Ananda remember me as a lay follower who has gone for refuge, from this day forward, for life."
[/spoiler]
jika demikian, bagaimana jika kebencian sudah terlampiaskan? pikirkan >:D
sumber: SN 51.15
masuk akalnya, ketika seseorang bernafsu menginginkan sesuatu, berusaha mendapatkannya, ketika sudah berhasil mendapatkan nya maka nafsu itu hilang.
Quote from: ryu on 20 January 2011, 05:16:52 PM
masuk akalnya, ketika seseorang bernafsu menginginkan sesuatu, berusaha mendapatkannya, ketika sudah berhasil mendapatkan nya maka nafsu itu hilang.
hehe... pikirkan lagi... ingin sepeda dapat sepeda. selesai?
Quote from: tesla on 20 January 2011, 05:37:36 PM
hehe... pikirkan lagi... ingin sepeda dapat sepeda. selesai?
ingin sepedanya menjadi hilang setelah dapat sepeda, tapi mungkin muncul ingin mobil
Quote from: Indra on 20 January 2011, 05:42:18 PM
ingin sepedanya menjadi hilang setelah dapat sepeda, tapi mungkin muncul ingin mobil
benar...
dapatkah nafsu dipadamkan dg nafsu?
dapatkah kebencian dipadamkan dg kebencian?
dapatkah kebodohan dipadamkan dg kebodohan pula?
Dengan penjelasan yg sederhana oleh Ananda diatas, si Brahman sudah mengerti..
Sedangkan kita, mengkaji dan membandingkan dengan apa yg sudah banyak kita pelajari, jadinya lebih rumit dalam memahami sesutu...
Memang pemikiran kita skrg sudah sangat kompleks, tidak disalahkan juga, krn perkembangan ilmu pengetahuan yg membuat pemikiran kita otomatis bersikap kritis dan banyak pengkajian...
Saya menawarkan penjelasan yg dibahas dr konteks pemikiran 'tradisional'...
- kebencian, kemarahan, nafsu seksual, dstnya adalah: faktor batin negatif
- keinginan untuk menjadi baik, keinginan untuk berdana, keinginan untuk menolong adalah: faktor batin positif.
Sampai disini pasti sebgn praktisi banyak yg menentang. Alasannya: tidak ada itu batin negatif dan positif. 'Keinginan' adalah sama, yakni sama-sama 'fuel' / bahan bakar (=untuk terlahir kembali). Hal ini masih kontroversi diantara praktisi meditasi.
Memang, sama2 'keinginan', tapi yg satu adalah 'keinginan' yg didasari tanha, hawa nafsu, emosi, pelampiasan, yg akan meminta ulangan, yg akan menimbulkan penderitaan pada batin dan fisik jika tidak dilampiaskan maupun jika sudah terlampiaskan (muncul keinginan baru).
Sedangkan 'keinginan' yg satu lagi, adalah 'keinginan' yg dimotivasi oleh metta, karuna, mudita dan upekkha (jadi klise ni, teoritis banget). Keinginan begini berdasarkan pertimbangan tenang dan tidak dilekati. Terlaksana oke, tidak terlaksana ya weis, gpp....
Namun...... keinginan yg baik ini juga akan menjadi penderitaan jika 'dilekati'. Contoh, niat ke vihara, tdk terwujud, jadinya uring2an... ini kemelekatan atas perbuatan baik yg menimbulkan penderitaan.
::
Quote from: tesla on 20 January 2011, 05:48:45 PM
benar...
dapatkah nafsu dipadamkan dg nafsu?
dapatkah kebencian dipadamkan dg kebencian?
dapatkah kebodohan dipadamkan dg kebodohan pula?
nafsu (tanha) tdk dapat memadamkan nafsu (tanha)
kebencian (dosa) tidak dapat memadamkan kebencian (dosa)
kebodohan (moha) tidak dapat memadamkan kebodohan (moha)
yang terjadi adalah kebalikannya... menjadi semakin subur tanha, dosa dan mohanya...
::
Quote from: tesla on 20 January 2011, 05:37:36 PM
hehe... pikirkan lagi... ingin sepeda dapat sepeda. selesai?
ingin sepeda dapat sepeda, ketika sudah jadi miliknya maka muncul ini miliku, ini barangku, apabila hilang rusak atau pun apapun maka muncul masalah baru.
sekarang dilihat dulu apanya yang mau di uraikan.
sama seperti kata salah seorang pakar, tanpa usaha tanpa bla bla bla maka berhenti apakah selesai?
Kalau menurut saya, tujuannya berbeda di mana keinginan yang satu adalah keinginan yang menuju pada terpuaskannya keinginan, sedangkan yang satunya lagi adalah keinginan yang menuju pada terhentinya keinginan.
Kalau saya dalam perumpamaan mungkin seperti orang yang kecanduan merokok. Yang dimaksud si Brahmana seperti menggantikan rokok dengan ganja, ganja diganti dengan ecstasy, dst, namun adalah untuk kepuasan dari keinginan tersebut. Hal ini tidak akan berakhir karena kondisi berubah, dalam hal ini adalah tubuh. Efek 'menyenangkan' itu akan berakhir sehingga keinginan untuk mencari dan mempertahankan keadaan 'menyenangkan' tersebut akan timbul kembali.
Yang dimaksud dengan Ananda adalah keinginan menghentikan kecanduannya. Dalam mencapai tujuannya, mungkin ia akan menggunakan segala cara untuk menghentikannya dari konsumsi rokok tersebut seperti, katakanlah yang ekstrem, merantai diri sendiri. Tetapi ketika sudah tercapai, maka keinginan dan usaha itu dengan sendirinya berhenti. Kondisi berubahnya zat dalam tubuh tidak lagi menyebabkannya mencari rokok maupun merantai diri sendiri. Ia telah meletakkan bebannya, dan karena itu dikatakan bukan jalan yang tidak memiliki akhir.
[spoiler]Dalam perumpamaan ini kondisi tubuh adalah samsara yang berubah, kecanduan merokok adalah nafsu/kebencian, usaha menghilangkan kecanduan adalah "sang jalan".[/spoiler]
Quote from: Indra on 20 January 2011, 05:42:18 PM
ingin sepedanya menjadi hilang setelah dapat sepeda, tapi mungkin muncul ingin mobil
Apakah benar keinginan untuk mendapatkan/mempertahankan sepedanya sudah hilang?
Bagaimana jika sepedanya rusak atau hilang? Apakah tidak ada keinginan lagi?
Quote from: williamhalim on 20 January 2011, 05:51:27 PM
Saya menawarkan penjelasan yg dibahas dr konteks pemikiran 'tradisional'...
- kebencian, kemarahan, nafsu seksual, dstnya adalah: faktor batin negatif
- keinginan untuk menjadi baik, keinginan untuk berdana, keinginan untuk menolong adalah: faktor batin positif.
Sampai disini pasti sebgn praktisi banyak yg menentang. Alasannya: tidak ada itu batin negatif dan positif. 'Keinginan' adalah sama, yakni sama-sama 'fuel' / bahan bakar (=untuk terlahir kembali). Hal ini masih kontroversi diantara praktisi meditasi.
Memang, sama2 'keinginan', tapi yg satu adalah 'keinginan' yg didasari tanha, hawa nafsu, emosi, pelampiasan, yg akan meminta ulangan, yg akan menimbulkan penderitaan pada batin dan fisik jika tidak dilampiaskan maupun jika sudah terlampiaskan (muncul keinginan baru).
Sedangkan 'keinginan' yg satu lagi, adalah 'keinginan' yg dimotivasi oleh metta, karuna, mudita dan upekkha (jadi klise ni, teoritis banget). Keinginan begini berdasarkan pertimbangan tenang dan tidak dilekati. Terlaksana oke, tidak terlaksana ya weis, gpp....
perbuatan baik berbuah baik, perbuatan jahat berbuah jahat (buruk) pula.
metta, karuna, mudita memang akan memberikan hidup yg lebih baik, namun bukan utk berhenti terlahir, bukan padam ;)
Quote
Namun...... keinginan yg baik ini juga akan menjadi penderitaan jika 'dilekati'. Contoh, niat ke vihara, tdk terwujud, jadinya uring2an... ini kemelekatan atas perbuatan baik yg menimbulkan penderitaan.
sebenarnya baik atau buruk itu dualitas kok... niat pergi ke vihara ya niat pergi ke vihara, niat mencapai nibbana jg ya niat mencapai nibbana... kalau diklasifikasikan baik atau buruk sih sebenarnya udah preferensi (kesukaan masing2). saya suka vihara, jadi saya bilang vihara = baik, coba ganti ke yg lain... mis pasar, mall, tempat dugem, rumah sendiri --- objek adalah netral lho ;)
anyway saya setuju dg sutta ini sampai di bagian awal...bagaimana memadamkan nafsu, ya dg mengabaikan nafsu... ini udah praktis, tidak perlu diuraikan lagi. sama dg
dhammapada bagaimana mengakhiri kebencian,
ya dengan tidak membenci titik. praktis, simple, hanya sebatas antara
kita mau melepas atau tidak mau melepas.
Quote from: ryu on 20 January 2011, 05:58:54 PM
ingin sepeda dapat sepeda, ketika sudah jadi miliknya maka muncul ini miliku, ini barangku, apabila hilang rusak atau pun apapun maka muncul masalah baru.
sekarang dilihat dulu apanya yang mau di uraikan.
sama seperti kata salah seorang pakar, tanpa usaha tanpa bla bla bla maka berhenti apakah selesai?
yg saya tanya cuma, dapatkah nafsu dipadamkan dg nafsu?
itu aja om... ga ada soal aku & milikku, apalagi kata
salah seorang pakar... ini kata
benar seorang Arahat (YA Ananda) :))
tanpa usaha? tentang apa nih?
Quote from: tesla on 20 January 2011, 06:14:33 PM
yg saya tanya cuma, dapatkah nafsu dipadamkan dg nafsu?
itu aja om... ga ada soal aku & milikku, apalagi kata salah seorang pakar... ini kata benar seorang Arahat (YA Ananda) :))
tanpa usaha? tentang apa nih?
nafsunya nafsu apa?
Quote from: Kainyn_Kutho on 20 January 2011, 06:05:56 PM
Kalau menurut saya, tujuannya berbeda di mana keinginan yang satu adalah keinginan yang menuju pada terpuaskannya keinginan, sedangkan yang satunya lagi adalah keinginan yang menuju pada terhentinya keinginan.
tujuannya tidak berbeda kok, jakarta, tokyo, kaya, terkenal, sakti, pintar, dst...
bagaimana dg nibbana? maaf ya newbie sok komen soal ini. sejauh yg saya pahami, yg ingin mencapai nibbana , sebenarnya udah masuk ke konsep nibbana-nya (dapat dimiliki) :) sederhana bagi saya, nibbana hanya tercapai jika saya sudah melepas semua,
cuma mau atau tidak aja saya (kita) melepas. sutta bagian bawah ini sebenarnya ga ada hubungannya, cuma debat filsafat saja... & bagi saya itu sampah dalam kitab. peace.
dalam kisah di atas, baik si Brahmana maupun Ananda sudah sepakat mengenai kondisi Nibbana yg bermakna padamnya nafsu, sekarang yg dipertanyakan oleh si brahmana adalah mungkinkah keadaan tanpa nafsu dicapai melalui nafsu (ie, nafsu untuk mencapai itu). IMO obyek Nibbana ini tidak dapat dibandingkan dengan obyek materi duniawi. pertanyaan dan jawaban ini tidak applicable untuk hal-hal duniawi.
Quote from: ryu on 20 January 2011, 06:19:10 PM
nafsunya nafsu apa?
Quote from: Indra on 20 January 2011, 06:29:06 PM
dalam kisah di atas, baik si Brahmana maupun Ananda sudah sepakat mengenai kondisi Nibbana yg bermakna padamnya nafsu, sekarang yg dipertanyakan oleh si brahmana adalah mungkinkah keadaan tanpa nafsu dicapai melalui nafsu (ie, nafsu untuk mencapai itu). IMO obyek Nibbana ini tidak dapat dibandingkan dengan obyek materi duniawi. pertanyaan dan jawaban ini tidak applicable untuk hal-hal duniawi.
intinya sama dg jawaban bro Kainyn ya :)
kalau ingin sepeda = tidak padam
kalau ingin padam (nibbana) = (maka) padam lah...
Tambahkan dua lagi:
- Bergantung pada makanan, makanan (kebutuhan makan) bisa dilenyapkan
- Bergantung pada kesombongan, kesombongan bisa dilenyapkan.
Mettacittena,
Quote from: Kainyn_Kutho on 20 January 2011, 06:07:48 PM
Apakah benar keinginan untuk mendapatkan/mempertahankan sepedanya sudah hilang?
Bagaimana jika sepedanya rusak atau hilang? Apakah tidak ada keinginan lagi?
jika sepedanya rusak atau hilang, maka mungkin saja muncul keinginan baru untuk mendapatkan lagi, tapi ini bukan keinginan yg sama dengan yg sebelumnya, karena keinginan yg sebelumnya sudah lenyap.
Quote from: tesla on 20 January 2011, 06:26:17 PM
tujuannya tidak berbeda kok, jakarta, tokyo, kaya, terkenal, sakti, pintar, dst...
bagaimana dg nibbana? maaf ya newbie sok komen soal ini. sejauh yg saya pahami, yg ingin mencapai nibbana , sebenarnya udah masuk ke konsep nibbana-nya (dapat dimiliki) :) sederhana bagi saya, nibbana hanya tercapai jika saya sudah melepas semua, cuma mau atau tidak aja saya (kita) melepas.
sutta bagian bawah ini sebenarnya ga ada hubungannya, cuma debat filsafat saja... & bagi saya itu sampah dalam kitab. peace.
Saya melihat kita semua adalah newbie yang berusaha belajar. Sepertinya sah-sah saja 'sok tau dikit', asal jangan kebanyakan. :D
Saya rasa bukan hanya masalah mau atau tidak kita melepas, tapi juga ada masalah mampu atau tidak kita melepas. Kalau kita dalam konsep/teori, tentu bisa menganalisa nafsu, tetapi kalau dalam kehidupan sehari-hari, walaupun kita sudah tahu teorinya dengan benar, belum tentu kita mampu menyadari ketika nafsu datang dan menghindarinya. Karena itulah dilakukan latihan-latihan yang didasari 'keinginan' untuk mencapai terhentinya nafsu tersebut.
Konsep nibbana ini juga menurut saya bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Tidak ada konsep 'mati' untuk menggambarkannya. Misalnya dalam konsep satu adalah pohon dengan akarnya, penghentian pemberian nutrisi pada akar yang membawa pada nibbana. Sedangkan konsep lain adalah nibbana sebagai pantai seberang di mana kita menggunakan rakit, mencapai pantai seberang dan meninggalkan rakit tersebut.
Menurut saya, yang dibahas oleh Ananda dan brahmana tersebut lebih ke konsep 'rakit', sedangkan bro tesla lebih kepada 'akar pohon' maka merasa tidak cocok.
Quote from: tesla on 20 January 2011, 06:29:31 PM
intinya sama dg jawaban bro Kainyn ya :)
kalau ingin sepeda = tidak padam
kalau ingin padam (nibbana) = (maka) padam lah...
Perbandingan 'duniawi' sederhana:
kalau ingin merokok dan mendapat rokok = keinginan hilang sementara kondisi memuaskan (rokok) masih ada.
kalau ingin berhenti merokok dan berhasil = tidak ada lagi keinginan merokok.
Quote from: tesla on 20 January 2011, 06:10:44 PM
perbuatan baik berbuah baik, perbuatan jahat berbuah jahat (buruk) pula.
metta, karuna, mudita memang akan memberikan hidup yg lebih baik, namun bukan utk berhenti terlahir, bukan padam ;)
Untuk 'padam' perlu cara.
Api kecil segede lilin, yg jauh dari segala macam bahan bakar mungkin
hanya perlu mengamati, tanpa usaha, pada akhirnya akan padam...
Tapi,
Api yg berkobar gede, yg disekitarnya banyak kayu, minyak, dan segala macam bahan bakar lainnya, p
erlu usaha untuk memadamkannya: dengan menyingkirkan bahan bakarnya, menyiram dengan racun api, dsbnya..
Jadi,
tidak semua teknik cocok dengan kita. Kita harus sadar diri dengan kondisi batin kita.
Apakah hanya dengan 'sadari' saja, batin kita bisa terkikis LDM-nya, atau mesti dengan tekad yg kuat, daya upaya yg konsisten, disiplin, keteguhan dan latihan yg intens...
Kitalah yg tau..
Quote
sebenarnya baik atau buruk itu dualitas kok... niat pergi ke vihara ya niat pergi ke vihara, niat mencapai nibbana jg ya niat mencapai nibbana... kalau diklasifikasikan baik atau buruk sih sebenarnya udah preferensi (kesukaan masing2). saya suka vihara, jadi saya bilang vihara = baik, coba ganti ke yg lain... mis pasar, mall, tempat dugem, rumah sendiri --- objek adalah netral lho ;)
Objek memang netral, tapi niat tidak.
Niat ke vihara dan niat untuk menyumbang orang2 kesusahan jelas beda dengan niat niat untuk ke mall / niat mo ke diskotik. 'Objek' memang netral, tapi 'niat' tidak.
Quote
anyway saya setuju dg sutta ini sampai di bagian awal...bagaimana memadamkan nafsu, ya dg mengabaikan nafsu... ini udah praktis, tidak perlu diuraikan lagi. sama dg dhammapada bagaimana mengakhiri kebencian, ya dengan tidak membenci titik. praktis, simple, hanya sebatas antara kita mau melepas atau tidak mau melepas.
Mengakhiri kebencian dengan
tidak membenci.. betul,
Tapi
apakah semua orang dapat tiba2 dengan tidak membenci? Semudah itukah? Tentu tidak.
Diperlukan usaha agar orang tersebut dapat 'tidak membenci'. Org tersebut perlu banyak membaca buku2 (buku Dhamma, misalnya), orang tersebut perlu ikut kegiatan sosial yg melatih toleransinya, orang tersebut perlu menghindari makanan yg kurang sehat (koelsterol, darah tinggi), orang tersebut perlu olahraga pagi agar badannya segar dan tidak gampang marah, orang tersebut perlu meditasi cintakasih, orang tersebut perlu mengenali dan menahan amarahnya jika muncul (untuk awal2nya, berikutnya akan lbh mudah jika ia intens latihan tidak membenci), dstnya... Potensi usahanya berbeda2 pada tiap orang tergantung ketebalan amarah yg telah mendarah daging pada dirinya... tidak bisa disama-ratakan.
memadamkan nafsu dengan mengabaikan nafsu... lagi2 betul.
Tapi,
apakah setiap orang serta merta bisa 'mengabaikan' nafsunya? Dengan 'sadari saja' maka nafsunya otomatis akan terabaikan? Batin tiap orang berbeda. Ada yg bisa dan ada yg mesti memerlukan usaha sedikit .. atau banyak. Ada yg mesti banyak berdana (apapun motivasinya) untuk melatih melepaskan, selanjutnya ia rajin mendengarkan ceramah dhamma, rajin ke vihara (untuk mengalihkan kegiatan2 negatifnya, dugem misalnya) juga mendapatkan lingkungan yg lbh baik ketimbang teman2 dugem-nya, mesti latihan meditasi konsentrasi, vipassana, dengan saddha untuk sebgn orang kadang juga banyak membantu...
Jadi, semua yg ditawarkan Sang Buddha dalam ribuan sutta adalah 'jalan'. Tergantung kita, mengenali kondisi batin kita untuk menemukan langkah2 dan disiplin yg cocok, demi pengikisan/pemadaman kita.
::
Quote from: tesla on 20 January 2011, 06:14:33 PM
yg saya tanya cuma, dapatkah nafsu dipadamkan dg nafsu?
- nafsu untuk merokok dapat dipadamkan dengan keinginan (+usaha) untuk berhenti merokok
- nafsu duniawi (tanha) dapat dipadamkan dengan keinginan(+usaha) untuk menghentikan tanha.
begini menurut sy Bro Tesla...
::
baca Sabbāsava Sutta (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17327.msg278130)
kayanya exceptional ya utk nibbana, coba kita lihat:
kalau keinginan utk padam dapat menghasilkan kepadaman...
maka kebencian utk menyala (hidup) dapat menghasilkan kepadaman pula <--- permainan kata2 aja sih...
padahal kita tau, orang bunuh diri krn tidak mau hidup, akan terlahir lagi bahkan di alam menderita.
lain hal kalau arahat yg bunuh diri :)
Quote from: tesla on 21 January 2011, 05:40:27 AM
kayanya exceptional ya utk nibbana, coba kita lihat:
kalau keinginan utk padam dapat menghasilkan kepadaman...
maka kebencian utk menyala (hidup) dapat menghasilkan kepadaman pula <--- permainan kata2 aja sih...
padahal kita tau, orang bunuh diri krn tidak mau hidup, akan terlahir lagi bahkan di alam menderita.
lain hal kalau arahat yg bunuh diri :)
secara padamnya seperti apa? apakah benar2 padam atau padam dan menyala oleh hal yang lain, seperti seseorang yang mati khan itu artinya memang padam khan tapi apabila ada hal2 yang menunjang untuk nyala lagi ya nyala lah.
btw ini nanti menuju LDM dan aLDM gak, khan udah ada threadnya ;D
Quote from: tesla on 21 January 2011, 05:40:27 AM
kayanya exceptional ya utk nibbana, coba kita lihat:
kalau keinginan utk padam dapat menghasilkan kepadaman...
maka kebencian utk menyala (hidup) dapat menghasilkan kepadaman pula <--- permainan kata2 aja sih...
padahal kita tau, orang bunuh diri krn tidak mau hidup, akan terlahir lagi bahkan di alam menderita.
lain hal kalau arahat yg bunuh diri :)
Bukan seperti itu. Keinginan tidak hilang dengan membenci keinginan ataupun menginginkan terhentinya keinginan saja, keinginan itu hilang dengan menjalani 'sang jalan' tersebut. Masih contoh rokok tersebut, hanya menginginkan terhentinya kecanduan atau membenci kecanduan tidak akan menghentikan kecanduan itu sendiri. Tetapi dengan keinginan terhentinya kecanduan, membenci kecanduan, baru ia punya tekad/dorongan untuk menjalani 'terapi' tersebut. Jadi saya pikir keinginan atau kebencian (yang membawa pada 'kesembuhan') itu hanyalah berguna di 'start'-nya saja, tapi bukan untuk dipelihara sepanjang jalan. Keinginan dan kebencian itu sendiri otomatis akan lenyap seiring bertambahnya pengertian.
Quote from: Kainyn_Kutho on 21 January 2011, 08:29:23 AM
Bukan seperti itu. Keinginan tidak hilang dengan membenci keinginan ataupun menginginkan terhentinya keinginan saja, keinginan itu hilang dengan menjalani 'sang jalan' tersebut. Masih contoh rokok tersebut, hanya menginginkan terhentinya kecanduan atau membenci kecanduan tidak akan menghentikan kecanduan itu sendiri. Tetapi dengan keinginan terhentinya kecanduan, membenci kecanduan, baru ia punya tekad/dorongan untuk menjalani 'terapi' tersebut. Jadi saya pikir keinginan atau kebencian (yang membawa pada 'kesembuhan') itu hanyalah berguna di 'start'-nya saja, tapi bukan untuk dipelihara sepanjang jalan. Keinginan dan kebencian itu sendiri otomatis akan lenyap seiring bertambahnya pengertian.
bahkan ada juga kasus nafsu rendah yg mendorong pencapaian Nibbana. contoh kasus Bhikkhu Nanda. mohon pembabaran Mbah Kainyn
Quote from: Kainyn_Kutho on 20 January 2011, 06:50:25 PM
Menurut saya, yang dibahas oleh Ananda dan brahmana tersebut lebih ke konsep 'rakit', sedangkan bro tesla lebih kepada 'akar pohon' maka merasa tidak cocok.
begini bro, selagi orang merasakan manfaatnya, ia tidak akan meninggalkannya. kalau ia sudah tau kerugiannya, ia akan serta-merta meninggalkannya
kalau ia tau manfaatnya tidak sebanding dg kerugiannya. misal saja rokok, orang tau manfaatnya yaitu rasa tenang, enak, dst... walau tau kerugiannya, sederhananya di paling dasar hatinya ya lebih besar manfaatnya. jadi ia terus merokok... ini yg saya maksud
mau atau tidak mau aja melepas, bisa juga sih dibilang mampu atau tidak mampu :)
intinya adalah mampukah keinginan utk padam menghasilkan padam?
Quote from: Kainyn_Kutho on 21 January 2011, 08:29:23 AM
Bukan seperti itu. Keinginan tidak hilang dengan membenci keinginan ataupun menginginkan terhentinya keinginan saja, keinginan itu hilang dengan menjalani 'sang jalan' tersebut. Masih contoh rokok tersebut, hanya menginginkan terhentinya kecanduan atau membenci kecanduan tidak akan menghentikan kecanduan itu sendiri. Tetapi dengan keinginan terhentinya kecanduan, membenci kecanduan, baru ia punya tekad/dorongan untuk menjalani 'terapi' tersebut. Jadi saya pikir keinginan atau kebencian (yang membawa pada 'kesembuhan') itu hanyalah berguna di 'start'-nya saja, tapi bukan untuk dipelihara sepanjang jalan. Keinginan dan kebencian itu sendiri otomatis akan lenyap seiring bertambahnya pengertian.
nah, jadi... filsafat di bagian akhir sutta ini jadi tidak relevan kan? jadi dimulai dg pengertian...
Quote from: Indra on 21 January 2011, 08:39:14 AM
bahkan ada juga kasus nafsu rendah yg mendorong pencapaian Nibbana. contoh kasus Bhikkhu Nanda. mohon pembabaran Mbah Kainyn
Wah itu lagi yah? ;D Dalam kasus Nanda, nafsu mendapatkan bidadari kaki pink itu hanya berguna sebatas melepaskan nafsu pada istrinya. Kemudian karena malu dibilang orang jaminan, maka ia 'menginginkan' hilangnya nafsu, membenci nafsu tersebut. Maka ia tidak lagi menjalani jalan pemuasan indriah yang tidak ada akhir, tapi jalan untuk mengakhiri nafsu tersebut. Ketika nafsunya telah padam sepenuhnya, maka ia tidak lagi membenci nafsu atau menginginkan hilangnya nafsu. Beban itu telah diletakkan, maka disebut adanya akhir dari perjalanan.
mungkinkah perbedaan pendapat ini ada karena perbedaan konteks?
yg pertama, dalam konteks "yg ada di dalam (batin)" memang benar, nafsu tidak bisa memadamkan nafsu.
nafsu itu padam bukan disebabkan oleh nafsu lain (secara langsung, penyebab langsung berhentinya), melainkan karena berhenti bernafsu.
yg kedua, dalam konteks "bukan hanya di dalam (batin)" ada benernya juga, waktu sebelum nafsu itu padam, sebelum-sebelumnya mungkin ada nafsu lain yg ingin mengalahkan nafsu itu.
namun yg jelas bukan nafsu yg lain itu yg memadamkannya secara langsung.
dalam pendapat ini, dirunut2 kebelakang dari sebab-sebab-sebab-sebab-sebabnya lagi, ya bener juga nafsu itu padam karena dulunya dia pernah bernafsu untuk melawan nafsu itu, jadi karena:
bernafsu untuk padam -> ingin duduk meditasi -> ingin ngambil bantal -> ingin memperhatikan nafas -> gak tenang, pengen tenang -> tambah kacau, jadi berhenti bernafsu apa2 dan hanya sadar -> eh, berhasil! nafsu padam!.
kalo berpikir demikian sih, semua juga bener. bisa bilang nafsu padam karena kita buang air besar (misal: karena buang air besar jam 6, maka saya duduk meditasi jam 6:10 dan nafsu padam). nafsu padam karena kita bersin. nafsu padam karena kita sekolah. nafsu padam karena kita beli laptop.
kalo boleh saya bilang, yg pertama itu sudut pandang meditatif / dalam batin, yg kedua itu sudut pandang intelek / sebab-akibat.
Quote from: tesla on 21 January 2011, 09:13:41 AM
begini bro, selagi orang merasakan manfaatnya, ia tidak akan meninggalkannya. kalau ia sudah tau kerugiannya, ia akan serta-merta meninggalkannya kalau ia tau manfaatnya tidak sebanding dg kerugiannya. misal saja rokok, orang tau manfaatnya yaitu rasa tenang, enak, dst... walau tau kerugiannya, sederhananya di paling dasar hatinya ya lebih besar manfaatnya. jadi ia terus merokok... ini yg saya maksud mau atau tidak mau aja melepas, bisa juga sih dibilang mampu atau tidak mampu :)
Dulu saya pikir juga semua hanya sebatas kemauan. Tetapi setelah mengamati lebih jauh, saya lihat memang tidak sesederhana itu. Kemelekatan itu terjadi karena akumulasi waktu yang panjang, maka tidak semudah itu juga dilepas hanya modal kemauan.
Quoteintinya adalah mampukah keinginan utk padam menghasilkan padam?
Menurut saya kalau hanya modal keinginan, maka tidak bisa.
Quotenah, jadi... filsafat di bagian akhir sutta ini jadi tidak relevan kan? jadi dimulai dg pengertian...
Perumpamaan di bagian akhir Sutta ini memang sangat sempit konteksnya, hanya sebatas 'keinginan yang terbatas', tetapi tidak membahas metodenya, tidak membahas lainnya. Jadi kalau relevansi, saya setuju itu relevan tapi dalam cakupan yang sangat terbatas.
Quote from: morpheus on 21 January 2011, 09:32:48 AM
mungkinkah perbedaan pendapat ini ada karena perbedaan konteks?
yg pertama, dalam konteks "yg ada di dalam (batin)" memang benar, nafsu tidak bisa memadamkan nafsu.
nafsu itu padam bukan disebabkan oleh nafsu lain (secara langsung, penyebab langsung berhentinya), melainkan karena berhenti bernafsu.
Saya pikir mungkin yang merancukan konteksnya adalah perbedaan istilah nafsu dan keinginan. Misalnya kita
menginginkan makanan lezat yang banyak, ini bisa disebut nafsu karena adalah keserakahan. Ketika misalnya kita
menginginkan untuk tidak bersikap serakah begitu, maka tidak bisa disebut nafsu.
Quoteyg kedua, dalam konteks "bukan hanya di dalam (batin)" ada benernya juga, waktu sebelum nafsu itu padam, sebelum-sebelumnya mungkin ada nafsu lain yg ingin mengalahkan nafsu itu.
namun yg jelas bukan nafsu yg lain itu yg memadamkannya secara langsung.
dalam pendapat ini, dirunut2 kebelakang dari sebab-sebab-sebab-sebab-sebabnya lagi, ya bener juga nafsu itu padam karena dulunya dia pernah bernafsu untuk melawan nafsu itu, jadi karena:
bernafsu untuk padam -> ingin duduk meditasi -> ingin ngambil bantal -> ingin memperhatikan nafas -> gak tenang, pengen tenang -> tambah kacau, jadi berhenti bernafsu apa2 dan hanya sadar -> eh, berhasil! nafsu padam!.
kalo berpikir demikian sih, semua juga bener. bisa bilang nafsu padam karena kita buang air besar (misal: karena buang air besar jam 6, maka saya duduk meditasi jam 6:10 dan nafsu padam). nafsu padam karena kita bersin. nafsu padam karena kita sekolah. nafsu padam karena kita beli laptop.
Kembali ke masalah makan, maka keinginan makan otomatis juga hilang kalau sudah kenyang atau eneg. Jika dimakan sering-sering juga akan jadi bosan dan kehilangan minat. Tapi apakah itu berarti nafsu-nya hilang? Saya pikir sama sekali bukan. Menurut saya itu karena 'tujuan' dari nafsu adalah pada sesuatu yang berkondisi, rentan pada perubahan. Jadi bersamaan dengan perubahan, pencarian itu tidak akan pernah berakhir, terus menerus 'diperbaharui'. Sebaliknya jika tujuan itu mengarah pada yang tidak berkondisi, maka pencarian itu adalah terbatas, memiliki tujuan akhir. Sama-sama didasari 'keinginan', sama-sama punya 'tujuan', tetapi berbeda dalam terbatasnya itu.
oh iya baca juga :
Rathavinīta Sutta (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17327.msg278483)
Quote from: Kainyn_Kutho on 21 January 2011, 10:40:33 AM
Saya pikir mungkin yang merancukan konteksnya adalah perbedaan istilah nafsu dan keinginan. Misalnya kita menginginkan makanan lezat yang banyak, ini bisa disebut nafsu karena adalah keserakahan. Ketika misalnya kita menginginkan untuk tidak bersikap serakah begitu, maka tidak bisa disebut nafsu.
perlu diteliti mengapa seseorang menginginkan untuk tidak bersikap serakah?
kira2 apa latar belakangnya?
mungkinkah karena ingin menjadi orang baik?
mungkinkah karena ingin menjadi orang suci?
mungkinkah karena ingin mencapai kebahagiaan?
mungkinkah karena tidak ingin menjadi orang jahat?
mungkinkah karena tidak ingin menjadi orang serakah?
mungkinkah karena tidak ingin terlahir kembali?
"There are these three cravings. Which three? Craving for sensuality, craving for becoming, craving for non-becoming. These are the three cravings." — Iti 58
Quote from: Kainyn_Kutho on 21 January 2011, 10:40:33 AM
Kembali ke masalah makan, maka keinginan makan otomatis juga hilang kalau sudah kenyang atau eneg. Jika dimakan sering-sering juga akan jadi bosan dan kehilangan minat. Tapi apakah itu berarti nafsu-nya hilang? Saya pikir sama sekali bukan. Menurut saya itu karena 'tujuan' dari nafsu adalah pada sesuatu yang berkondisi, rentan pada perubahan. Jadi bersamaan dengan perubahan, pencarian itu tidak akan pernah berakhir, terus menerus 'diperbaharui'. Sebaliknya jika tujuan itu mengarah pada yang tidak berkondisi, maka pencarian itu adalah terbatas, memiliki tujuan akhir. Sama-sama didasari 'keinginan', sama-sama punya 'tujuan', tetapi berbeda dalam terbatasnya itu.
saya gak bisa ngeliat hubungannya dengan quotenya.
Quote from: morpheus on 21 January 2011, 09:32:48 AM
yg kedua, dalam konteks "bukan hanya di dalam (batin)" ada benernya juga, waktu sebelum nafsu itu padam, sebelum-sebelumnya mungkin ada nafsu lain yg ingin mengalahkan nafsu itu.
namun yg jelas bukan nafsu yg lain itu yg memadamkannya secara langsung.
dalam pendapat ini, dirunut2 kebelakang dari sebab-sebab-sebab-sebab-sebabnya lagi, ya bener juga nafsu itu padam karena dulunya dia pernah bernafsu untuk melawan nafsu itu, jadi karena:
bernafsu untuk padam -> ingin duduk meditasi -> ingin ngambil bantal -> ingin memperhatikan nafas -> gak tenang, pengen tenang -> tambah kacau, jadi berhenti bernafsu apa2 dan hanya sadar -> eh, berhasil! nafsu padam!.
kalo berpikir demikian sih, semua juga bener. bisa bilang nafsu padam karena kita buang air besar (misal: karena buang air besar jam 6, maka saya duduk meditasi jam 6:10 dan nafsu padam). nafsu padam karena kita bersin. nafsu padam karena kita sekolah. nafsu padam karena kita beli laptop.
ya disini kan jadi kelihatan, penjelasan dibawah sutta tsb ga nyambung... dg analogi begini, nafsu bisa padam gara2 kepala bhikkhu botak.
Quote from: Kainyn_Kutho on 21 January 2011, 10:25:31 AM
Dulu saya pikir juga semua hanya sebatas kemauan. Tetapi setelah mengamati lebih jauh, saya lihat memang tidak sesederhana itu. Kemelekatan itu terjadi karena akumulasi waktu yang panjang, maka tidak semudah itu juga dilepas hanya modal kemauan.
kalau menurut saya sih, seberapa jauh kita mengerti... maksudnya gini: misalnya rokok, ada enaknya, ada tidak enaknya. kenapa orang tidak bisa berhenti hanya dg tekad? ya jelas karena dia masih mau enaknya... hanya sesederhana itu. ini 2 sisi mata uang, ada enak & tidak enak... ga bisa ambil 1 sisi, tapi harus keduanya. dg kata lain, ga bisa buang 1 sisi, harus buang keduanya.
demikian jg kenapa org tidak bisa berhenti mis: dalam pemuasan indra. ya karena pemuasan indra itu enak. napain berhenti? usaha Buddha membabarkan dhamma, imo adalah upaya keras utk memperlihatkan
ini lho ga enaknya, ini lho dukkha. selagi kita tidak mengerti inilah dukkha, ya kita ga akan melepas, kok enak2 disuruh lepasin. imo, semua ini latihan utk mengerti kenyataan. bukan niat utk padam.
Quote
Menurut saya kalau hanya modal keinginan, maka tidak bisa.
Perumpamaan di bagian akhir Sutta ini memang sangat sempit konteksnya, hanya sebatas 'keinginan yang terbatas', tetapi tidak membahas metodenya, tidak membahas lainnya. Jadi kalau relevansi, saya setuju itu relevan tapi dalam cakupan yang sangat terbatas.
kalau mau dipersempti konteks ya bisa2 aja... semua bisa dibenarkan kok. skr pernyataan brahmana itu sesederhana
memadamkan nafsu dg nafsu adalah jalan tak berujung. sementara konteks jawaban Ananda hanya pada ruang lingkup 1 nafsu, tercapai, selesai. padahal ya pembicaraan sebelumnya adalah padamnya nafsu dalam arti segala nafsu. kelihatan ga glitch nya dalam tanya jawab ini?
Quote from: Kainyn_Kutho on 21 January 2011, 10:40:33 AM
Saya pikir mungkin yang merancukan konteksnya adalah perbedaan istilah nafsu dan keinginan. Misalnya kita menginginkan makanan lezat yang banyak, ini bisa disebut nafsu karena adalah keserakahan. Ketika misalnya kita menginginkan untuk tidak bersikap serakah begitu, maka tidak bisa disebut nafsu.
imo ya nafsu juga itu... keinginan menjadi baik, suci, tidak serakah, dll... sebaik apapun bahkan menjadi Buddha ya nafsu juga.
Quote
Kembali ke masalah makan, maka keinginan makan otomatis juga hilang kalau sudah kenyang atau eneg. Jika dimakan sering-sering juga akan jadi bosan dan kehilangan minat. Tapi apakah itu berarti nafsu-nya hilang? Saya pikir sama sekali bukan. Menurut saya itu karena 'tujuan' dari nafsu adalah pada sesuatu yang berkondisi, rentan pada perubahan. Jadi bersamaan dengan perubahan, pencarian itu tidak akan pernah berakhir, terus menerus 'diperbaharui'. Sebaliknya jika tujuan itu mengarah pada yang tidak berkondisi, maka pencarian itu adalah terbatas, memiliki tujuan akhir. Sama-sama didasari 'keinginan', sama-sama punya 'tujuan', tetapi berbeda dalam terbatasnya itu.
okelah, intinya menurut bro Kainyn & teman2 lain, kalau ingin nibbana adalah pengecualian. :)
balik lagi, kalau nibbana bisa dicapai dg keinginan utk padam, maka kebencian utk terlahir pun bisa mengantarkan kita pada nibbana. tetapi komentar newbie ini, keinginan & kebencian tidak akan mengantarkan sampai pada nibbana, krn keduanya tidak akan padam kalau ditambah terus.
Quote from: morpheus on 21 January 2011, 01:52:08 PM
perlu diteliti mengapa seseorang menginginkan untuk tidak bersikap serakah?
kira2 apa latar belakangnya?
mungkinkah karena ingin menjadi orang baik?
mungkinkah karena ingin menjadi orang suci?
mungkinkah karena ingin mencapai kebahagiaan?
mungkinkah karena tidak ingin menjadi orang jahat?
mungkinkah karena tidak ingin menjadi orang serakah?
mungkinkah karena tidak ingin terlahir kembali?
"There are these three cravings. Which three? Craving for sensuality, craving for becoming, craving for non-becoming. These are the three cravings." — Iti 58
Saya pikir mungkin setiap orang berbeda motivasinya. Seperti kasus Nanda juga karena 'malu', sedangkan kasus lain seperti misalnya Patacara yang 'lelah' dengan penderitaan duniawi.
Mengenai 'craving'-nya, saya pikir dengan menjalani Ajaran Buddha dengan benar, maka akan dilepas. Seperti dalam Rathavinita Sutta yang disinggung bro ryu, berturut-turut pemurnian sila, pemurnian pikiran, pemurnian pandangan, pelenyapan keraguan, pemurnian pengetahuan dan penglihatan tentang jalan & bukan jalan, pemurnian dari pengetahuan dan penglihatan sang jalan, bukanlah tujuan akhir itu sendiri. Tetapi semua hanyalah sebuah perantara/media. Demikian pula keinginan bukan dihentikan dengan keinginan lain (apapun motivasinya). Tidak ada kelenyapan keinginan dalam keinginan. Namun ada keinginan yang kondusif untuk membawa orang pada lenyapnya keinginan itu sendiri.
Quotesaya gak bisa ngeliat hubungannya dengan quotenya.
Yang mau saya bahas adalah konteksnya bukan di dalam bathin/meditasi atau sehari-hari. Baik dalam meditasi maupun sehari-hari, sebetulnya sama saja. Sesuatu yang lebih dominan bisa menekan keinginan yang lebih resesif. Dalam contoh bro morpheus, terjadi satu pengalih-perhatian dari nafsu, dalam "sehari-hari" seperti lagi nafsu pengen BAB, nafsunya 'hilang'. Kalau dalam meditasi, bisa juga seperti jhana yang menekan nafsu indriah. Nafsu di sini tidak hilang, tetapi menjadi laten semata.
Jika keadaan 'laten nafsu' ini dibuat sebagai tujuan, maka pencarian tidak akan berakhir sebab suatu saat, terjadi perubahan, dan sesuai kondisi, bisa muncul kembali. Misalnya: BAB selesai atau jhana-nya melemah.
Quote from: ryu on 21 January 2011, 11:41:40 AM
oh iya baca juga :
Rathavinīta Sutta (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=17327.msg278483)
thanks utk link nya,
disini lagi2 YA Sariputta & Buddha menjelaskan dg demikian sbb:
Quote
11. "Tetapi, teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Kalau begitu apakah pemurnian pikiran adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Kalau begitu apakah pemurnian pandangan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Kalau begitu apakah pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Tetapi, teman, apakah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa kondisi-kondisi ini?" – "Tidak, teman."
15. "Demikian pula, teman, pemurnian moralitas adalah demi untuk mencapai pemurnian pikiran; pemurnian pikiran adalah demi untuk mencapai pemurnian pandangan; pemurnian pandangan adalah demi untuk mencapai pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan; pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan [150] adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah demi untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. Adalah demi untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan inilah kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā."
kalau mau menjawab simple bisa aja dijawab "Benar, teman" tapi secara intelektual, sebab-akibat (seperti kata om morpheus). tetapi semua dijelaskan dg jelas oleh YA Sariputta... mengapa YA Ananda lain sendiri dg malah memberi perumpamaan yg utk membenarkan contoh nafsu memadamkan nafsu? :D
Quote from: tesla on 21 January 2011, 02:35:47 PM
balik lagi, kalau nibbana bisa dicapai dg keinginan utk padam, maka kebencian utk terlahir pun bisa mengantarkan kita pada nibbana. tetapi komentar newbie ini, keinginan & kebencian tidak akan mengantarkan sampai pada nibbana, krn keduanya tidak akan padam kalau ditambah terus.
bagian ini (kebencian untuk terlahir) sudah diantisipasi dalam Dhammacakkappavatana Sutta yg disebut sebagai Vibhava
tanha
Quote from: Indra on 21 January 2011, 02:47:44 PM
bagian ini (kebencian untuk terlahir) sudah diantisipasi dalam Dhammacakkappavatana Sutta yg disebut sebagai Vibhava tanha
ya, Vibhava tanha = keinginan utk tidak menjadi.
ini justru memperjelas bahwa nafsu tidak bisa memadamkan nafsu lho
Info sedikit _/\_
Pali:
..........
''Evaṃ sante, bho ānanda, santakaṃ hoti no asantakaṃ. Chandeneva chandaṃ pajahissatīti – netaṃ ṭhānaṃ vijjati''. ''Tena hi, brāhmaṇa, taññevettha paṭipucchissāmi. Yathā te khameyya tathā taṃ byākareyyāsi. Taṃ kiṃ maññasi, brāhmaṇa, ahosi te pubbe chando 'ārāmaṃ gamissāmī'ti?..........
Inggris:
......."If that's so, Master Ananda, then it's an endless path, and not one with an end, for it's impossible that one could abandon desire by means of desire."
"In that case, brahman, let me question you on this matter. Answer as you see fit. What do you think: Didn't you first have desire, thinking, 'I'll go to the park,' and then when you reached the park, wasn't that particular desire allayed?".........
(Uṇṇābhabrāhmaṇa Sutta , Maha Vagga, Samyutta Nikaya)
Mungkin yang diterjemahkan sebagai 'desire' adalah kata 'chanda'
PTS:
Chanda= 1. impulse, excitement; intention, resolution, will; desire for, wish for, delight in
Quote from: tesla on 21 January 2011, 02:52:22 PM
ya, Vibhava tanha = keinginan utk tidak menjadi.
ini justru memperjelas bahwa nafsu tidak bisa memadamkan nafsu lho
IMO Vibhava Tanha tidak sama dengan keinginan untuk padam
Quote from: tesla on 21 January 2011, 02:19:13 PM
kalau menurut saya sih, seberapa jauh kita mengerti... maksudnya gini: misalnya rokok, ada enaknya, ada tidak enaknya. kenapa orang tidak bisa berhenti hanya dg tekad? ya jelas karena dia masih mau enaknya... hanya sesederhana itu. ini 2 sisi mata uang, ada enak & tidak enak... ga bisa ambil 1 sisi, tapi harus keduanya. dg kata lain, ga bisa buang 1 sisi, harus buang keduanya.
demikian jg kenapa org tidak bisa berhenti mis: dalam pemuasan indra. ya karena pemuasan indra itu enak. napain berhenti? usaha Buddha membabarkan dhamma, imo adalah upaya keras utk memperlihatkan ini lho ga enaknya, ini lho dukkha. selagi kita tidak mengerti inilah dukkha, ya kita ga akan melepas, kok enak2 disuruh lepasin. imo, semua ini latihan utk mengerti kenyataan. bukan niat utk padam.
Hm... kalau secara disederhanakan sih, saya setuju memang begitu.
Quotekalau mau dipersempti konteks ya bisa2 aja... semua bisa dibenarkan kok. skr pernyataan brahmana itu sesederhana memadamkan nafsu dg nafsu adalah jalan tak berujung. sementara konteks jawaban Ananda hanya pada ruang lingkup 1 nafsu, tercapai, selesai. padahal ya pembicaraan sebelumnya adalah padamnya nafsu dalam arti segala nafsu. kelihatan ga glitch nya dalam tanya jawab ini?
Menurut saya tidak begitu.
Ini yang awal dijelaskan sebagai jalan oleh Ananda:
"Brahman, there is the case where a monk develops the base of power endowed with concentration founded on desire & the fabrications of exertion. He develops the base of power endowed with concentration founded on persistence... concentration founded on intent... concentration founded on discrimination & the fabrications of exertion. This, Brahman, is the path, this is the practice for the abandoning of that desire."Baru ditanyakan oleh si Brahmana:
"If that's so, Master Ananda, then it's an endless path, and not one with an end, for it's impossible that one could abandon desire by means of desire."Perhatikan bahwa yang dibahas di sini adalah jalan menuju lenyapnya keinginan. Si Brahmana mengatakan keinginan untuk mencapai lenyapnya keinginan ini adalah tidak berakhir.
Lalu diberikan perumpamaan itu.
Perumpamaan Ananda ini tidak membahas keinginan lain, yang bukan menuju pada lenyapnya keinginan. Jadi itu sama sekali di luar konteksnya. Di sini Ananda membahas hanya 1 keinginan, yaitu mencapai lenyapnya keinginan, yang ketika seseorang mencapainya, maka keinginan itu otomatis ditinggalkan seperti keinginan orang pergi ke taman yang otomatis ditinggalkan ketika dia sampai di taman.
Kalau saya sederhanakan, si Brahmana ini berargumen bahwa 'penghentian' tidak mungkin dicapai dengan berjalan. Ananda berargumen bahwa ketika seseorang telah berjalan ke tempat tujuan, maka ia berhenti. (Sekali lagi, di sini tidak dibahas 'perjalanan' ke tempat lain yang berkondisi, namun perjalanan pada lenyapnya dukkha.)
Quote from: tesla on 21 January 2011, 02:35:47 PM
imo ya nafsu juga itu... keinginan menjadi baik, suci, tidak serakah, dll... sebaik apapun bahkan menjadi Buddha ya nafsu juga.
Ini hanya masalah penggunaan istilah dan sudut pandang. Kalau bro tesla hanya melihat satu sisi, maka tidak ada yang namanya tarik, semua namanya dorong. Tidak ada yang namanya kanan, semua hanya kiri (tinggal diubah sudut pandang saja). Kalau saya pribadi berpendapat, "nafsu menjadi baik" dan "keinginan untuk menjadi baik" adalah berbeda.
Quoteokelah, intinya menurut bro Kainyn & teman2 lain, kalau ingin nibbana adalah pengecualian. :)
Pengecualian JIKA dan HANYA JIKA ia mengerti apa itu nibbana. Bagi orang biasa seperti saya (dan mungkin semua teman DC lain), pencarian nibbana masih merupakan pencarian tak berakhir, karena kita belum memahami dengan baik jalan tersebut. (Apanya yang mo nyampe kalo peta saja masih ga ngerti?) Setelah kita memahami, maka otomatis keinginan itu sendiri ditinggalkan.
Quotebalik lagi, kalau nibbana bisa dicapai dg keinginan utk padam, maka kebencian utk terlahir pun bisa mengantarkan kita pada nibbana.
Sama juga seperti di atas. Jika dan hanya jika ia mengerti apa itu nibbana. Dan ketika ia mengerti juga otomatis kebencian untuk terlahir kembali ditinggalkan.
Quotetetapi komentar newbie ini, keinginan & kebencian tidak akan mengantarkan sampai pada nibbana, krn keduanya tidak akan padam kalau ditambah terus.
Komentar newbie II adalah newbie I hanya melihat tanda + lalu menyimpulkan x + y tidak mungkin nol, tapi mengabaikan bahwa JIKA x atau y adalah bilangan negative, maka x + y adalah mungkin 0.
Quote from: Indra on 21 January 2011, 02:58:45 PM
IMO Vibhava Tanha tidak sama dengan keinginan untuk padam
kalau ditranslate sbg keinginan utk tidak menjadi bagaimana?
Quote from: Kainyn_Kutho on 21 January 2011, 03:20:26 PM
Kalau saya sederhanakan, si Brahmana ini berargumen bahwa 'penghentian' tidak mungkin dicapai dengan berjalan. Ananda berargumen bahwa ketika seseorang telah berjalan ke tempat tujuan, maka ia berhenti. (Sekali lagi, di sini tidak dibahas 'perjalanan' ke tempat lain yang berkondisi, namun perjalanan pada lenyapnya dukkha.)
em, kalau diibaratkan berjalan & berhenti ya sebenarnya nibbana ya berhenti aja... ga masalah sampai di mana. bukankah begitu?
yg saya lihat, analogi ananda mengacu pada "keinginan" & "tercapai". tercapai = keinginan berakhir, end path :) akhirnya juga nibbana harus dilihat sebagai exceptional case kan ;)
Quote from: tesla on 21 January 2011, 03:41:36 PM
kalau ditranslate sbg keinginan utk tidak menjadi bagaimana?
dalam konteks Dhammacakkappavatana Sutta, vibhava tanha berpasangan dengan bhava tanha yg berkorelasi dengan nihilisme dan eternalisme.
Quote
yg saya lihat, analogi ananda mengacu pada "keinginan" & "tercapai". tercapai = keinginan berakhir, end path :) akhirnya juga nibbana harus dilihat sebagai exceptional case kan ;)
singkatnya, yes saya setuju bahwa Nibbana adalah special case
Quote from: tesla on 21 January 2011, 03:41:36 PM
em, kalau diibaratkan berjalan & berhenti ya sebenarnya nibbana ya berhenti aja... ga masalah sampai di mana. bukankah begitu?
Seperti saya bilang, ini masalah sudut pandang. Benar juga didefinisikan seperti akar pohon berhenti dinutrisi, maka daun, ranting dan pohon akan mati. Tapi di sudut pandang lain, mobil yang berjalan di jalanan licin sempurna, baiklah kita bilang berhenti tinggal matikan mesin, jangan mendorong lagi, tapi dorongan tetap ada. Kadang sesuai kondisi, jalanan menanjak, mobil melambat; kadang menurun, mobil melaju. Maka perlu adanya keseimbangan usaha (energi minus jika mobil terlalu melaju, energi plus supaya mobilnya jangan jalan mundur) sampai mobil itu akhirnya benar-benar berhenti. Kembali lagi, menurut saya, bro tesla terlalu cenderung pada yang 'akar pohon' sehingga menilai orang yang setengah mati mengerem mobil sebagai 'hal yang tidak membebaskan'.
Saya tidak bilang yang ngerem itu pasti 'membebaskan', namun BELUM TENTU tidak membebaskan. Hal ini sulit karena sudah subjektif sekali tergantung kecenderungan orang.
Quoteyg saya lihat, analogi ananda mengacu pada "keinginan" & "tercapai". tercapai = keinginan berakhir, end path :) akhirnya juga nibbana harus dilihat sebagai exceptional case kan ;)
Tidak. Keinginan biasa juga berakhir ketika tercapai. Tapi karena kondisi berubah, maka posisi menjadi berubah lagi.
Saya beri contoh sederhana ada dua orang yang kepanasan di siang lalu yang satu menemukan payung kecil dan bisa berlindung dari matahari. Tapi karena payungnya kecil, ketika matahari berubah, maka payungnya juga harus disesuaikan lagi. Jadi kalau pagi menghadap timur, siang tegak lurus, sore menghadap barat.
Sedangkan orang satunya lagi masuk ke dalam gue yang tertutup & gelap.
2-2-nya memiliki keinginan dan berhenti ketika mencapainya. Tapi orang pertama harus memperbaharui keinginannya ketika matahari berubah posisi karena tujuannya terkondisi oleh letak matahari. Orang ke dua tidak memperbaharui keinginannya ketika matahari berubah posisi, karena memang tujuannya tidak terkondisi oleh letak matahari.
Jadi tidak exceptional, sama kok tujuan tercapai, berhenti. :D
ini seperti perumpamaan ada satu jalan, dan tidak ada yang tidak ada yang tahu cara mencapai jalan itu, apakah dengan berhenti akan bisa mencapai jalan yang dimaksud? apakah akan ada yang tahu kalau tidak ada yang menunjukan jalan? apakah yakin jalan itu yang dituju bukan jalan yang lain?
baca :
Ganakamoggallana Sutta (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=18173.msg301537)
tambahan, menurut ajahn chah :
"Jangan melekat pada sesuatu". Atau dengan cara lain: "Pegang, tetapi jangan melekat". Ini juga benar. Jika kita melihat sesuatu yang lain, ambillah... peganglah, tetapi jangan terlalu kuat. Peganglah cukup lama untuk memikirkannya, untuk mengetahuinya, lalu lepaskanlah. Jika kalian memegang tanpa membiarkannya berlalu, membawa tanpa meletakkan beban, maka kalian akan berat. Jika kalian memungut sesuatu dan membawanya sesaat, maka ketika ia menjadi berat kalian harus meletakkannya, membuangnya. Janganlah membuat penderitaan untuk dirimu sendiri.
klik aye dong ;D (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=12064.msg199167#msg199167)
Di satta bojjhangga pabbam(tujuh faktor pencerahan)
terdapat viriya(semangat),dan piti(kegiuran)
Apakah kedua faktor tersebut bukan termasuk "nafsu"???
Yang dimaksud oleh desire / tanha adalah suatu keinginan tanpa didasari oleh keinginan tindak lanjut (an end). suatu keinginan yg tanpa menginginkan untuk terpenuhi.
tercapainya atau tidaknya bukan suatu masalah atau problema, yg ada hanyalah suatu pelaksanaan yg dibutuhkan bila menginginkan hasil sampai di taman, yakni berjalan kesana.
jadi kondisi ini hanyalah suatu pengetahuan saja tanpa didasari keinginan terpenuhi atau tidak yg tak akan menimbulkan suatu dukkha.
Tampaknya terjadi kesimpang siuran makna antara NAFSU dan KEINGINAN, sehingga diskusi menjadi melebar..
Sesuai topik diskusi: Apakah Nafsu dapat dipadamkan dengan Nafsu,
dan diskusi sudah menyentuh detil2 faktor batin (nafsu, keinginan), maka ada bagusnya kita lihat penjelasan Dhamma yg lebih detil pula, yakni Abhidhamma.
-----
nafsu = tanha
~ nafsu keinginan, keinginan rendah. Dalam abhidhamma penjelasannya: cetana (batin netral) yg bersekutu dengan akusala cetasika (mis: moha, dosa, dll)
keinginan = kehendak batin
~ penjelasan menurut Abhidhamma, kehendak/keinginan adalah: faktor batin NETRAL. Tergantung sekutunya. jika disokong oleh akusala cetasika, maka akan menjadi TANHA, jika disokong oleh sobhana cetasika, maka akan menjadi BATIN BERMANFAAT.
Kita review sedikit dasar Abhidhamma, bahwa Citta (kesadaran kita) selalu disokong oleh Cetasika (bermanfaat, tidak bermanfaat, netral). 'Keinginan' alias Cetana adalah NETRAL, tergantung cetasika penyokongnya, bisa menjadi positif, negatif atau netral. Jika Cetana disokong oleh cetasika negatif, maka akan menjadi TANHA, contohnya: nafsu seksual, nafsu mau merokok, nafsu amarah, kebencian, dll...
Jika disokong oleh cetasika positif, maka akan menjadi Batin yg bermanfaat, contohnya: keinginan untuk berhenti merokok (disokong oleh panna, sati, kamma samanta, dll), keinginan untuk membantu orang tak mampu (cetana yg disokong oleh panna, alobha/karuna, dll)...
Tabel Cetasika, sbb:
[spoiler]
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fi327.photobucket.com%2Falbums%2Fk476%2Fwillibordus%2Fsharing%2Fcetasika1.jpg&hash=3202d67e3d2678bf2d3cf6c5f8cadaa57c96e72b)
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fi327.photobucket.com%2Falbums%2Fk476%2Fwillibordus%2Fsharing%2Fcetasika2.jpg&hash=0558b0d5a0e16a8c1f453ed17a0c58a499d39ea0)
[/spoiler]
Jadi, kita simpulkan:
- KEINGINAN adalah NETRAL
- NAFSU adalah batin yg tidak bermanfaat/merugikan
- KEINGINAN BAIK adalah batin yg bermanfaat/mengarah pada akhir dukkha
tergantung tempelan cetana-nya
::
Pali nya sebenarnya adalah Chanda (hasrat).
tapi tidak merubah topik... yg dibicarakan adalah bagaimana meninggalkan (memadamkan) hasrat... dalam hal ini, sepertinya sutta ini tidak membahas sesuatu itu negatif ataupun positif. kalau mau dipilah2 sesuai abhidhamma, maka chanda tidak perlu ditinggalkan, krn bermanfaat, menuju akhir dukkha, tetapi pembicaraan di sini lain. semoga kosa kata tidak membatasi pengertiannya.
Quote from: Kainyn_Kutho on 21 January 2011, 02:43:30 PM
Tetapi semua hanyalah sebuah perantara/media. Demikian pula keinginan bukan dihentikan dengan keinginan lain (apapun motivasinya). Tidak ada kelenyapan keinginan dalam keinginan. Namun ada keinginan yang kondusif untuk membawa orang pada lenyapnya keinginan itu sendiri.
nah itulah yg saya maksudkan sudut pandang / konteks kedua: sebab akibat, menelusuri sebab -1, sebab -2, sebab -3 sebagai perantara / media. namun kalo diteliti lebih dalam, semuanya bakal jadi media. buang air besar bisa dianggap media. pembunuhan 99 orang oleh angulimala merupakan media. kata om tesla, kepala botak bisa jadi media. apapun bisa dianggap media.
kembali ke topiknya. secara langsung, nafsu padam dengan berhenti bernafsu, bukan dengan nafsu lain (senada dengan anda: tidak ada kelenyapan keinginan dalam keinginan).
Quote from: morpheus on 22 January 2011, 08:53:34 PM
nah itulah yg saya maksudkan sudut pandang / konteks kedua: sebab akibat, menelusuri sebab -1, sebab -2, sebab -3 sebagai perantara / media. namun kalo diteliti lebih dalam, semuanya bakal jadi media. buang air besar bisa dianggap media. pembunuhan 99 orang oleh angulimala merupakan media. kata om tesla, kepala botak bisa jadi media. apapun bisa dianggap media.
kembali ke topiknya. secara langsung, nafsu padam dengan berhenti bernafsu, bukan dengan nafsu lain (senada dengan anda: tidak ada kelenyapan keinginan dalam keinginan).
kecuali keinginan untuk mencapai padamnya itu sendiri, bukankah begitu?
Quote from: Indra on 22 January 2011, 09:31:03 PM
kecuali keinginan untuk mencapai padamnya itu sendiri, bukankah begitu?
dalam konteks pertama, gak ada kata kecuali.
dalam konteks kedua, semua bisa dianggap penyebab padamnya nafsu karena terus2nya ditelusuri sebab -1, sebab -2, sebab -3 sampai kelahiran sebagai bayi. dengan kata lain, pemahaman konteks kedua ini ridiculous karena apa aja bisa dianggap sebagai penyebab.
Quote from: Indra on 22 January 2011, 09:31:03 PM
kecuali keinginan untuk mencapai padamnya itu sendiri, bukankah begitu?
kalau imo sih, sama seperti kebencian, hanya berakhir dg tidak-membenci. dan keinginan hanya berakhir dg tidak-menginginkan... tanpa kecuali...
tapi ya ini utk dibuktikan sendiri nantilah hehe... (atau ada yg udah membuktikan sendiri?)
LDM di akhiri dengan A-LDM ;D
Quote from: ryu on 22 January 2011, 11:37:21 PM
LDM di akhiri dengan A-LDM ;D
ribet amat pakai bahasa dewa LDM ALDM XYZ...
dari dhammapada:
Kebencian tak akan pernah berakhir,
apabila dibalas dengan kebencian.
Tetapi, kebencian akan berakhir,
Bila dibalas dengan tidak membenci.
Inilah satu hukum abadi.soal adosa ditranslate sebagai tidak membenci atau malah jadi
cinta kasih udah lagu lama hehe... kalau mau dibahas lagi buka thread baru aja... saya kemungkinan besar hadir. ;D
Quote from: tesla on 22 January 2011, 11:56:21 PM
ribet amat pakai bahasa dewa LDM ALDM XYZ...
dari dhammapada:
Kebencian tak akan pernah berakhir,
apabila dibalas dengan kebencian.
Tetapi, kebencian akan berakhir,
Bila dibalas dengan tidak membenci.
Inilah satu hukum abadi.
soal adosa ditranslate sebagai tidak membenci atau malah jadi cinta kasih udah lagu lama hehe... kalau mau dibahas lagi buka thread baru aja... saya kemungkinan besar hadir. ;D
yeeee, memang bahasannya gak akan jauh dari ini :P
benci=>berhenti membenci=>benci tidak ada
nafsu=>berhenti bernafsu=>nafsu tidak ada
nafsu untuk padam=>berhenti bernafsu untuk padam=>bernafsu untuk padam tidak ada?
ingin sepeda=>berhenti ingin sepeda=>sepeda tidak dapet
ingin nibana=>berhenti ingin nibana=>nibana tidak dapet
permainan kata2 nih jadinya ;D
tambahan ;D
nafsu belum padam=>tidak bernafsu untuk padam=>gak padam2 dong
benci untuk terlahir lagi=>tidak membenci untuk terlahir lagi=>terlahir terus dong
;D
Quote from: ryu on 23 January 2011, 12:18:32 AM
ingin nibana=>berhenti ingin nibana=>nibana tidak dapet
em... kok nibbana jadi kaya barang? :hammer:
imo, nibbana memang tidak bisa dimiliki.................
Quote from: ryu on 23 January 2011, 12:27:55 AM
tambahan ;D
nafsu belum padam=>tidak bernafsu untuk padam=>gak padam2 dong
benci untuk terlahir lagi=>tidak membenci untuk terlahir lagi=>terlahir terus dong
gini bro...
nafsu belum padam = ada nafsu (belum padam)
tidak bernafsu lagi = padam (nibbana)
jadi
nafsu belum padam (samsara) ----> tidak bernafsu lagi (nibbana)
benci utk terlahir (ingin tidak terlahir) = nafsu
ingin terlahir = nafsu
benci untuk terlahir lagi (1 nafsu) =>tidak membenci untuk terlahir lagi (nafsu padam), soal terlahir tergantung apakah masih ada nafsu lain... kalau ga ada lagi, ga terlahir lagi.
Quote from: tesla on 23 January 2011, 12:34:05 AM
em... kok nibbana jadi kaya barang? :hammer:
imo, nibbana memang tidak bisa dimiliki.................
=)) ;D
nafsu padam dengan berhenti bernafsu
tidak bernafsu padam berhenti dengan bernafsu padam
pusing juga puter2 kata :D
intinya ini khan?
"So it is with an arahant whose mental effluents are ended, who has reached fulfillment, done the task, laid down the burden, attained the true goal, totally destroyed the fetter of becoming, and who is released through right gnosis. Whatever desire he first had for the attainment of arahantship, on attaining arahantship that particular desire is allayed. Whatever persistence he first had for the attainment of arahantship, on attaining arahantship that particular persistence is allayed.
Whatever intent he first had for the attainment of arahantship, on attaining arahantship that particular intent is allayed. Whatever discrimination he first had for the attainment of arahantship, on attaining arahantship that particular discrimination is allayed. So what do you think, brahman? Is this an endless path, or one with an end?"
tapi kalau dilihat dari pengalaman Sang Buddha dan para Arahat, mereka semua mencapai Nibbana dengan didahului oleh keinginan, cita-cita.
Quote from: Indra on 23 January 2011, 07:05:18 AM
tapi kalau dilihat dari pengalaman Sang Buddha dan para Arahat, mereka semua mencapai Nibbana dengan didahului oleh keinginan, cita-cita.
benar bro, kalau mau bilang begitu, mereka semua didahului juga dg mencukur rambut
Quote from: tesla on 23 January 2011, 07:31:42 AM
benar bro, kalau mau bilang begitu, mereka semua didahului juga dg mencukur rambut
mencukur rambut juga diawali dari keinginan itu, yg dianggap sebagai jalan untuk merealisasi keinginan itu
Quote from: Indra on 23 January 2011, 07:40:22 AM
mencukur rambut juga diawali dari keinginan itu, yg dianggap sebagai jalan untuk merealisasi keinginan itu
then pencapaian nibbana diawali dg cita2 mencukur rambut :hammer:
kok jadi aneh begini?
jadi intinya apa nih?
pencapaian nibana diawali dengan cita2 membunuh manusia? (angulimala)
pencapaian nibana diawali dengan cita2 bertanya kepada buda? (bahiya)
pencapaian nibana diawali dengan cita2 gadis cantik? (nanda)
Quote from: ryu on 23 January 2011, 08:08:31 AM
kok jadi aneh begini?
jadi intinya apa nih?
pencapaian nibana diawali dengan cita2 membunuh manusia? (angulimala)
pencapaian nibana diawali dengan cita2 bertanya kepada buda? (bahiya)
pencapaian nibana diawali dengan cita2 gadis cantik? (nanda)
yups, kalau mau dilebar2kan dg argumen demikian, semua bisa jadi dasar pencerahan. jadi kalau kembali hanya ke masalah batin, nafsu hanya padam dg berhenti bernafsu :D
jadi intinya tidak boleh ada nafsu sama sekali untuk padam? tidak boleh ada keinginan untuk padam? tidak ngapa ngapain maka otomatis padam? gitu kah maksudnya?
tidak ada usaha maksudnya yak? tidak ada cara ya maksudnya?
contoh aja, kita membenci seseorang akan padam dengan tidak membenci seseorang. apakah semudah itu tidak membenci? tidak ada langkah2 untuk menuju tidak membenci? pokoknya harus tidak membenci titik gitu ya ga ada tujuan untuk tidak membenci, ga ada nafsu untuk tidak membenci pokoknya tidak membenci?
Quote from: ryu on 23 January 2011, 08:33:06 AM
jadi intinya tidak boleh ada nafsu sama sekali untuk padam? tidak boleh ada keinginan untuk padam? tidak ngapa ngapain maka otomatis padam? gitu kah maksudnya?
tidak ada usaha maksudnya yak? tidak ada cara ya maksudnya?
mau berhenti itu perlu usaha atau tidak?
Quote from: tesla on 23 January 2011, 08:21:23 AM
yups, kalau mau dilebar2kan dg argumen demikian, semua bisa jadi dasar pencerahan. jadi kalau kembali hanya ke masalah batin, nafsu hanya padam dg berhenti bernafsu :D
dengan demikian maka penjelasan Ananda di atas adalah salah
Quote from: tesla on 23 January 2011, 08:57:10 AM
mau berhenti itu perlu usaha atau tidak?
tergantung bagaimana kondisi sebelum berhenti. orang yg sedang berlari tentu memerlukan usaha untuk berhenti
Quote from: tesla on 23 January 2011, 08:57:10 AM
mau berhenti itu perlu usaha atau tidak?
berhubung ga bisa di edit lagi karena dah di quote ;D
aye copas yang sebelumnya
contoh aja, kita membenci seseorang, akan padam dengan tidak membenci seseorang. apakah semudah itu tidak membenci? tidak ada langkah2 untuk menuju tidak membenci? pokoknya harus tidak membenci titik gitu ya ga ada tujuan untuk tidak membenci, ga ada nafsu untuk tidak membenci pokoknya tidak membenci?
Quote from: tesla on 23 January 2011, 08:57:10 AM
mau berhenti itu perlu usaha atau tidak?
intinya harus ada kemauan untuk berhenti dulu khan?
Quote from: Indra on 23 January 2011, 08:58:59 AM
dengan demikian maka penjelasan Ananda di atas adalah salah
ketika Brahmana tsb bertanya "hasrat ditinggalkan dg hasrat." menurut saya, pertanyaan ini udah ga nyambung. dilanjutkan dg penjelasan Ananda yg makin melebar ga nyambung
sama seperti ketika Buddha ditanya "apakah kemurnian dari sila, dst..." Buddha dg tegas mengatakan "bukan". tetapi jawab yg benar demikian bla bla bla... shg tidak timbul kesimpulan "kemurnian dari sila, dst..." jadi jelas path nya.
Quote from: ryu on 23 January 2011, 09:11:38 AM
berhubung ga bisa di edit lagi karena dah di quote ;D
aye copas yang sebelumnya
contoh aja, kita membenci seseorang, akan padam dengan tidak membenci seseorang. apakah semudah itu tidak membenci? tidak ada langkah2 untuk menuju tidak membenci? pokoknya harus tidak membenci titik gitu ya ga ada tujuan untuk tidak membenci, ga ada nafsu untuk tidak membenci pokoknya tidak membenci?intinya harus ada kemauan untuk berhenti dulu khan?
kembali lagi, kalau mau dilebarkan emg sebelumnya ada kemauan dulu, sebelum kemauan ada pengertian dulu, sebeleum ini ada lagi... dst... masih panjang.
Quote from: tesla on 23 January 2011, 09:27:39 AM
ketika Brahmana tsb bertanya "hasrat ditinggalkan dg hasrat." menurut saya, pertanyaan ini udah ga nyambung. dilanjutkan dg penjelasan Ananda yg makin melebar ga nyambung
sama seperti ketika Buddha ditanya "apakah kemurnian dari sila, dst..." Buddha dg tegas mengatakan "bukan". tetapi jawab yg benar demikian bla bla bla... shg tidak timbul kesimpulan "kemurnian dari sila, dst..." jadi jelas path nya.
sekedar koreksi, 7 pemurnian ini adalah dialog antara Bhikkhu Sariputta dan Bhikkhu Punna Mantaniputta
Quote from: Indra on 23 January 2011, 10:06:42 AM
sekedar koreksi, 7 pemurnian ini adalah dialog antara Bhikkhu Sariputta dan Bhikkhu Punna Mantaniputta
oh ya, anda benar, Bhikkhu Sariputta.
Quote from: tesla on 23 January 2011, 08:21:23 AM
yups, kalau mau dilebar2kan dg argumen demikian, semua bisa jadi dasar pencerahan. jadi kalau kembali hanya ke masalah batin, nafsu hanya padam dg berhenti bernafsu :D
"Nafsu hanya bisa padam dengan berhentinya nafsu" adalah
kalimat yg mejelaskan suatu kondisi. / kata keadaan.
kalimat yg similar adalah:
"Dengan berhenti/tiadanya nafsu, maka tiada nafsu"
sama juga dengan:
"Api padam adalah tiadanya api" <--- kata keadaan yg menjelaskan apa itu 'api padam'.
Ini adalah penjelasan ke 3 dari 4 Kesunyataan Mulia yg dibabarkan Buddha:
Nibbana.
Sedangkan, b
agaimana sih agar nafsu bisa padam?
-----> bagaimana sih agar api bisa padam?
Ini adalah point ke 4:
8 jalan mulia yg jika diringkas menjadi
Sila Samadhi Panna, atau bila dipaparkan menjadi
84.000 sutta.
Ini adalah Cara untuk memadamkan api, cara untuk memadamkan nafsu.
jawabannya:
Api bisa padam jika kondisi2 yg membuat api itu menyala menjadi tidak ada.
Nafsu bisa padam jika kondisi2 yg membuat nafsu itu timbul dicabut.
Mencabut kondisi yg menimbulkan nafsu, tidak mudah, berbeda2 pada tiap orang, tergantung kondisi batinnya.
----
Jika berbicara secara umum, saya masih berpendapat bahwa untuk menghentikan nafsu tidak bisa semata-mata hanya dengan 'tiada nafsu'. Apakah bisa kita menghentikan nafsu kebencian hanya dengan 'tiada kebencian'? Tidak sesimpel ini.
- Pertama-tama kita mesti menyadari bahwa nafsu amarah itu tidak baik (panna),
- lalu kita berusaha menyadari jika amarah timbul (sati/konsentrasi),
- dan mengalihkan atau menekannya (sila).
- Dengan ini, selanjutnya kita semakin mengerti apa itu nafsu kemarahan (panna lagi),
- selanjutnya saat2 gejala kemarahan mulai timbul, kita cepat menyadarinya (sati semakin kuat)
- dan kemarahan kita bisa lebih mudah reda...
disiplin atau latihan ini bergulir terus, jika kita intens meditasi (samadhi), maka semakin lama nafsu kemarahan semakin terkikis dan tidak mudah timbul... lama kelamaan kita akan penyabar sekali. Kemarahan perlahan-lahan akan lenyap, apalagi jika diisi dengan banyak perbuatan menolong orang yg semakin menyuburkan toleransi dan menggantikan lahan kemarahan kita dengan lahan cinta kasih.
Jadi, saya masih tetap berpendapat bahwa latihan moral, konsentrasi dan kebijaksanaan adalah satu rangkaian yg saling mengisi dan saling menguatkan.
- Kurangi nafsu amarah
- Perbanyak perbuatan metta
- Meditasi dan perdalam dhamma
Jika nafsu diibaratkan mobil melaju kencang:
- angkat gas untuk mengurangi laju yg semakin kencang (kurangi nafsu)
- Tekan rem (perbanyak perbuatan baik)
- berhati2 saat melakukan kedua hal diatas (sucikan pikiran)
84.000 ayat2 Tipitaka, mulai dari sutta2 yg sederhana yg terlalu sering dan sdh bosan kita dengar sd sutta2 yg 'dalam' sulit dipahami, sesungguhnya itu2 juga.
Ada yg cepat paham dgn sutta A, ada yg paham dengan sutta Z.
Tapi, tidak ada yg salah dengan sutta2 tsb... Semakin kita paham akan suatu sutta, semakin terlihat kebenaran sutta2 yg lain...
~ Memang, sutta2 ini bisa saja bukan dari mulut Sang Buddha (who cares? siapa yg bisa memastikan yah?), tapi yg pasti, sutta2 ini sangat luar biasa ~
::
Quote from: tesla on 23 January 2011, 09:29:46 AM
kembali lagi, kalau mau dilebarkan emg sebelumnya ada kemauan dulu, sebelum kemauan ada pengertian dulu, sebeleum ini ada lagi... dst... masih panjang.
Ini saya setuju, krn memang begitulah adanya.
Buddha berkata kepada Angulimala:
"Saya sudah berhenti, kamulah yg masih berlari"
Akhirnya Angulimala berhenti berlari.
Pengambaran tsb mencakup 2 hal: dalam arti yg sebenarnya yakni angulimala benar2 menghentikan larinya mengejar Sang Buddha dan maksud Sang Buddha agar Angulimala menghentikan nafsu membunuhnya.
Namun, ke dua2nya dapat ditarik arti yg sama, yakni:
Angulimala tidak serta merta bisa menghentikan nafsunya, pertama2 ia menyadari kesalahannya, lalu berniat berhenti dan melaksanakan latihan2 untuk menghentikannya.
Meskipun kelihatannya Angulimala melalui semuanya dengan sangat cepat, tapi jika dilihat dari prosesnya,
ia melalui keseluruhan proses tsb: menyadari, berniat berhenti dan melakukan usaha untuk berhenti tsb.
::
Quote from: williamhalim on 23 January 2011, 03:42:38 PM
Sedangkan, bagaimana sih agar nafsu bisa padam?
-----> bagaimana sih agar api bisa padam?
Ini adalah point ke 4: 8 jalan mulia yg jika diringkas menjadi Sila Samadhi Panna, atau bila dipaparkan menjadi 84.000 sutta.
Ini adalah Cara untuk memadamkan api, cara untuk memadamkan nafsu.
jawabannya:
Api bisa padam jika kondisi2 yg membuat api itu menyala menjadi tidak ada.
Nafsu bisa padam jika kondisi2 yg membuat nafsu itu timbul dicabut.
Mencabut kondisi yg menimbulkan nafsu, tidak mudah, berbeda2 pada tiap orang, tergantung kondisi batinnya.
setuju dg semua ini. tentang latihan semua ini adalah bagaimana tidak menambah bahan bakar lagi...
sementara yg ditanyakan brahmana tsb adalah bagaimana memadamkan api dg api?
dalam bahasanya yg lebih sederhana tanpa analogi:
berhentinya hasrat itu adalah satu hasrat tersendiri... jadi ya bagaimana mungkin mengakhiri hasrat dg cara ini?
dalam analogi Ananda ini yg imo semakin merancukan.
hasrat padam ketika tercapai... sekarang logikanya begini...
dalam bahasa yg lebih teknis, Ananda mengatakan
setelah mencapai nibbana, LDM otomatis padam. (jadi terbalik dg latihan utk memadamkan LDM agar tercapainya nibbana)...
Quote
Jika berbicara secara umum, saya masih berpendapat bahwa untuk menghentikan nafsu tidak bisa semata-mata hanya dengan 'tiada nafsu'. Apakah bisa kita menghentikan nafsu kebencian hanya dengan 'tiada kebencian'? Tidak sesimpel ini.
- Pertama-tama kita mesti menyadari bahwa nafsu amarah itu tidak baik (panna),
- lalu kita berusaha menyadari jika amarah timbul (sati/konsentrasi),
- dan mengalihkan atau menekannya (sila).
- Dengan ini, selanjutnya kita semakin mengerti apa itu nafsu kemarahan (panna lagi),
- selanjutnya saat2 gejala kemarahan mulai timbul, kita cepat menyadarinya (sati semakin kuat)
- dan kemarahan kita bisa lebih mudah reda...
nah dalam analogi Ananda, bagaimana mengatasi marah?
ya marah aja, siap marah kan marahnya hilang.
Quote
disiplin atau latihan ini bergulir terus, jika kita intens meditasi (samadhi), maka semakin lama nafsu kemarahan semakin terkikis dan tidak mudah timbul... lama kelamaan kita akan penyabar sekali. Kemarahan perlahan-lahan akan lenyap, apalagi jika diisi dengan banyak perbuatan menolong orang yg semakin menyuburkan toleransi dan menggantikan lahan kemarahan kita dengan lahan cinta kasih.
Jadi, saya masih tetap berpendapat bahwa latihan moral, konsentrasi dan kebijaksanaan adalah satu rangkaian yg saling mengisi dan saling menguatkan.
- Kurangi nafsu amarah
- Perbanyak perbuatan metta
- Meditasi dan perdalam dhamma
Jika nafsu diibaratkan mobil melaju kencang:
- angkat gas untuk mengurangi laju yg semakin kencang (kurangi nafsu)
- Tekan rem (perbanyak perbuatan baik)
- berhati2 saat melakukan kedua hal diatas (sucikan pikiran)
84.000 ayat2 Tipitaka, mulai dari sutta2 yg sederhana yg terlalu sering dan sdh bosan kita dengar sd sutta2 yg 'dalam' sulit dipahami, sesungguhnya itu2 juga.
Ada yg cepat paham dgn sutta A, ada yg paham dengan sutta Z.
Tapi, tidak ada yg salah dengan sutta2 tsb... Semakin kita paham akan suatu sutta, semakin terlihat kebenaran sutta2 yg lain...
~ Memang, sutta2 ini bisa saja bukan dari mulut Sang Buddha (who cares? siapa yg bisa memastikan yah?), tapi yg pasti, sutta2 ini sangat luar biasa ~
::
imo, pijak rem tidak sama dg tekan gas lagi...
dalam sutta ini kerancuan berlanjut2 di sini...
si Brahmana mengatakan gimana mo berhenti kalau pijak gas terus?
Ananda bukan berdalih, ini pijak rem, tapi malah bilang, pijak gas aja terus, tar kalau dah mentok tabrak tembok kan berhenti.
ps: ini dari mulut Ananda (atau mungkin dari penulis).
Quote from: williamhalim on 23 January 2011, 03:52:38 PM
Meskipun kelihatannya Angulimala melalui semuanya dengan sangat cepat, tapi jika dilihat dari prosesnya, ia melalui keseluruhan proses tsb: menyadari, berniat berhenti dan melakukan usaha untuk berhenti tsb.
::
nah disini intinya, ada 2 pendapat:
1. berhenti
artinya "pasti" ada niat berhenti
2. berhenti
dapat terjadi tanpa niat-edited-
terlepas dari 2 pendapat ini, kira2 bagaimana perumpamaan Ananda? hasrat padam ketika tercapai. ini berbeda dg Angulimala berlari, dan berhenti dg niat berhenti... melainkan akan berhenti kalau udah berhasil bunuh semua mahkluk hidup mungkin (tercapai).
IMHHO, keinginan A memang dapat melenyapkan keinginan B, dimana A <> B. dalam penjelasan Ananda, keinginan rendah dapat dilenyapkan melalui keinginan mulia (Nibbana)
ribet bener sih
seperti kara cek angg
kebencian dipadamkan dengan kebencian untuk benci=>tidak membenci ;D
kemarahan dipadamkan dengan kemarahan akan marah=>tidak marah ;D
Quote from: morpheus on 22 January 2011, 08:53:34 PM
nah itulah yg saya maksudkan sudut pandang / konteks kedua: sebab akibat, menelusuri sebab -1, sebab -2, sebab -3 sebagai perantara / media. namun kalo diteliti lebih dalam, semuanya bakal jadi media. buang air besar bisa dianggap media. pembunuhan 99 orang oleh angulimala merupakan media. kata om tesla, kepala botak bisa jadi media. apapun bisa dianggap media.
Betul, semua juga memang bisa jadi media. Tapi kecocokan dan 'efektifitas' berbeda karena media itu sifatnya subjektif, cocok dan bermanfaat bagi seseorang (biji lada bagi Kisa Gotami), belum tentu cocok bagi orang lain.
Kalau pakai pembagian bro morph, dari konteks II pun bukan tidak mungkin berhubungan dengan konteks I (biji lada = anak hidup kembali; hasilnya malah mengerti sesuatu). Walaupun konteks I lebih ke arah meditatif, namun itu tidak terjadi pada saat meditasi saja, tetapi bisa juga terjadi kapan saja, tergantung kecenderungan masing-masing.
Quotekembali ke topiknya. secara langsung, nafsu padam dengan berhenti bernafsu, bukan dengan nafsu lain (senada dengan anda: tidak ada kelenyapan keinginan dalam keinginan).
Update sedikit, bro morph.
Yang dibicarakan di sutta itu ternyata 'chanda' (keinginan) yang sifatnya netral, bukan 'tanha' (nafsu yang adalah berdasarkan kemelekatan). Jadi kalau dibandingkan dengan 'benci' (vera) dalam dhammapada yang juga berdasarkan kemelekatan, jadi tidak klop.
Sebatas chanda, adalah netral, tidak akan menyebabkan orang terlahir kembali, juga tidak akan menyebabkan orang terbebas dari kelahiran kembali. Tapi dikatakan dalam sutta, adalah mungkin bagi chanda (bukan tanha) untuk berhenti, jika telah mencapai tujuan.
Quote from: Kainyn_Kutho on 24 January 2011, 08:53:44 AM
Update sedikit, bro morph.
Yang dibicarakan di sutta itu ternyata 'chanda' (keinginan) yang sifatnya netral, bukan 'tanha' (nafsu yang adalah berdasarkan kemelekatan). Jadi kalau dibandingkan dengan 'benci' (vera) dalam dhammapada yang juga berdasarkan kemelekatan, jadi tidak klop.
Sebatas chanda, adalah netral, tidak akan menyebabkan orang terlahir kembali, juga tidak akan menyebabkan orang terbebas dari kelahiran kembali. Tapi dikatakan dalam sutta, adalah mungkin bagi chanda (bukan tanha) untuk berhenti, jika telah mencapai tujuan.
kalau dibaca dg demikian (positif, netral, negatif). maka percakapan pembukaan:
"Brahman, the holy life is lived under the Blessed One with the aim of abandoning desire."ini pun sudah tidak valid... desire/chanda = sesuatu yg harus ditinggalkan. bukan netral.
Quote from: tesla on 24 January 2011, 09:27:53 AM
kalau dibaca dg demikian (positif, netral, negatif). maka percakapan pembukaan:
"Brahman, the holy life is lived under the Blessed One with the aim of abandoning desire."
ini pun sudah tidak valid... desire/chanda = sesuatu yg harus ditinggalkan. bukan netral.
kalo emang netral, emang janggal jadinya. kenapa harus abandon yg netral?
abis baca di palidict, chanda bisa berarti desire jahat dan desire baik juga.
Quote from: tesla on 24 January 2011, 09:27:53 AM
kalau dibaca dg demikian (positif, netral, negatif). maka percakapan pembukaan:
"Brahman, the holy life is lived under the Blessed One with the aim of abandoning desire."
ini pun sudah tidak valid... desire/chanda = sesuatu yg harus ditinggalkan. bukan netral.
Sorry, mungkin kurang jelas. Dalam konteks yang saya maksudkan, chanda di sini adalah netral dan mencakup keseluruhan (baik/netral/jahat jika disertai akar baik/netral/jahat). Tidak bisa dibandingkan dengan 'kebencian vs kebencian' dalam dhammapada yang adalah pasti berakar 'jahat'.
Apakah seluruh chanda ditinggalkan? Ya, memang benar ditinggalkan. Keinginan baik/netral/jahat, pada akhirnya semua ditinggalkan. (Kalau keinginan baik tetap dilekati, tentu akan terus terlahir kembali.)
Quote from: morpheus on 24 January 2011, 10:12:59 AM
kalo emang netral, emang janggal jadinya. kenapa harus abandon yg netral?
abis baca di palidict, chanda bisa berarti desire jahat dan desire baik juga.
Kembali ke Rathavinita Sutta, sila juga baik, lantas mengapa ditinggalkan? Kemudian terus maju ke kereta berikutnya sampai pemurnian pandangan. Pemurnian pandangan yang adalah hasil dari perjalanan sila-samadhi-panna tersebut. Mengapa bahkan pemurnian pandangan ini juga ditinggalkan? Karena memang semua adalah kereta, bukan untuk dilekati. Buddha mengajarkan tujuan. Tujuan ini tidak dapat dicapai tanpa menggunakan kereta/rakit. Setelah menggunakan kereta/rakit, maka untuk mencapai tujuan, kereta/rakit itu sendiri harus ditinggalkan.
Kembali ke Unnabhabrahmana Sutta, yang dikatakan Ananda adalah Buddha mengajarkan penghentian keinginan , yang mana jalannya dimulai dari pengembangan kekuatan yang didasari keinginan, semangat, pikiran, ... , penyelidikan akan jalan tersebut. Lalu Brahmana Unnabha ini mengatakan jalan menuju penghentian keinginan jika dimulai dengan keinginan, maka tidak akan ada habisnya. Maka Ananda memberi perumpamaan orang yang ingin berjalan ke taman, di mana keinginannya hilang dengan sendirinya ketika ia sampai di taman.
kalo boleh usul, diskusinya udah nyampe 1 loop.
pakar2nya udah boleh ngasih kesimpulan dan penutup.
kalo mo terus, silakan juga.
Quote from: morpheus on 24 January 2011, 12:33:15 PM
kalo boleh usul, diskusinya udah nyampe 1 loop.
pakar[newbie]2nya udah boleh ngasih kesimpulan dan penutup.
kalo mo terus, silakan juga.
Kalau gitu saya (newbie II) mulai dulu deh.
1. Sebagaimana kebencian tidak dihentikan dengan kebencian, maka nafsu juga tidak dihentikan dengan nafsu.
2. Dalam sutta ini yang disinggung Ananda sebagai 'terhentinya keinginan' adalah chanda secara menyeluruh (bukan hanya yang jelek-jelek seperti kamachanda).
3. Namun menurut saya pribadi, yang dikatakan untuk dikembangkan (chandasamādhippadhānasaṅkhārasamannāgataṃ iddhipādaṃ bhāveti/pengembangan kekuatan yang berasal dari konsentrasi dengan disertai unsur pengerahan keinginan) adalah chanda dalam artian yang positif, yang mengarah pada terhentinya keinginan, bukan termasuk yang jelek-jelek seperti kamachanda.
3. Yang ditanyakan Unnabha adalah perjalanan dimulai dengan keinginan,
tidak akan mencapai akhir dari keinginan. Tapi Ananda mengatakan bahwa setelah mencapai tujuan, keinginan itu berhenti dengan sendirinya seperti orang yang 'ingin' berjalan ke taman, keinginannya tidak ada lagi setelah sampai di taman.
4. Konteksnya tidak mencakup pemuasan keinginan negatif, tidak mengarah pada terhentinya nafsu.
Sekian. _/\_
penutup dari nubi 3 ;D
ada jalan/nafsu yang menuju ke nibana
ada jalan/nafsu yang menjauhi ke nibana
misalnya ada jalan yang kalau dilaksanakan menjauhi nibana yaitu LDM
ada jalan yang kalau dilaksanakan mendekati nibana yaitu aLDM
tinggal pilih ;D
sekian dari nubi 3
Hmmm, ini bukan kesimpulan tetapi sekedar sharing aja: banyak yg mengira ajaran Buddha menentang adanya keinginan shg menimbulkan kesalahpahaman bhw umat Buddha tdk seharusnya berkeinginan/bercita2 utk maju. Padahal utk mencapai tujuan akhir setidaknya diawali dg keinginan jg spt yg dikatakan dlm sutta ini. Keinginan yg baik lah yg harus dikembangkan utk melenyapkan keinginan yg tdk baik. Pd akhirnya semua keinginan apakah yg baik maupun yg tdk baik akan padam semua.
empunya topik kagak ngasih rangkuman?
rangkuman:
Dapatkah nafsu/keinginan/hasrat dipadamkan dg nafsu/keinginan/hasrat?
ini opini2nya:
1. tidak dapat, kecuali nafsu utk pencerahan sendiri, akan padam setelah tercapai. jadi sutta ini tidak salah...
2. tidak dapat, namun sutta ini membahas tentang perjalanan, bukan pada titik akhir. pada perjalanan kita membutuhkan nafsu/hasrat/keinginan utk maju. dan jika sudah mendekati akhir barulah kesemua ini ditinggalkan.
3. tidak dapat. nafsu hanya padam jika nafsu itu sendiri berhenti. semua nafsu termasuk nafsu demi padamnya nafsu tidak akan padam dg ditambahkannya nafsu lain. nafsu jika diikuti akan menjadi lebih besar (berubah bentuk), namun tidak padam.
opini 2 & 3 menunjukan bahwa perumpamaan yg diberikan Ananda adalah salah. pada opini ke 2, nafsu satu bisa mengarahkan nafsu lain, namun mengarah pada jalan tak berujung seperti pertanyaan brahmana tsb. utk dapat melihat sutta tsb benar, maka perlu dipersempit ruang lingkupnya... sedang opini ke3 ya mengatakan bahwa "Ananda kurang bijaksana dalam memberikan pengajaran shg memberi perumpamaan yg salah".