Dapatkah kebencian dipadamkan dg kebencian? bagaimana dgn nafsu?

Started by tesla, 20 January 2011, 04:53:13 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

tesla

Quote from: Kainyn_Kutho on 20 January 2011, 06:50:25 PM
Menurut saya, yang dibahas oleh Ananda dan brahmana tersebut lebih ke konsep 'rakit', sedangkan bro tesla lebih kepada 'akar pohon' maka merasa tidak cocok.

begini bro, selagi orang merasakan manfaatnya, ia tidak akan meninggalkannya. kalau ia sudah tau kerugiannya, ia akan serta-merta meninggalkannya kalau ia tau manfaatnya tidak sebanding dg kerugiannya. misal saja rokok, orang tau manfaatnya yaitu rasa tenang, enak, dst... walau tau kerugiannya, sederhananya di paling dasar hatinya ya lebih besar manfaatnya. jadi ia terus merokok... ini yg saya maksud mau atau tidak mau aja melepas, bisa juga sih dibilang mampu atau tidak mampu :)

intinya adalah mampukah keinginan utk padam menghasilkan padam?

Quote from: Kainyn_Kutho on 21 January 2011, 08:29:23 AM
Bukan seperti itu. Keinginan tidak hilang dengan membenci keinginan ataupun menginginkan terhentinya keinginan saja, keinginan itu hilang dengan menjalani 'sang jalan' tersebut. Masih contoh rokok tersebut, hanya menginginkan terhentinya kecanduan atau membenci kecanduan tidak akan menghentikan kecanduan itu sendiri. Tetapi dengan keinginan terhentinya kecanduan, membenci kecanduan, baru ia punya tekad/dorongan untuk menjalani 'terapi' tersebut. Jadi saya pikir keinginan atau kebencian (yang membawa pada 'kesembuhan') itu hanyalah berguna di 'start'-nya saja, tapi bukan untuk dipelihara sepanjang jalan. Keinginan dan kebencian itu sendiri otomatis akan lenyap seiring bertambahnya pengertian.

nah, jadi... filsafat di bagian akhir sutta ini jadi tidak relevan kan? jadi dimulai dg pengertian...
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

K.K.

Quote from: Indra on 21 January 2011, 08:39:14 AM
bahkan ada juga kasus nafsu rendah yg mendorong pencapaian Nibbana. contoh kasus Bhikkhu Nanda. mohon pembabaran Mbah Kainyn
Wah itu lagi yah? ;D Dalam kasus Nanda, nafsu mendapatkan bidadari kaki pink itu hanya berguna sebatas melepaskan nafsu pada istrinya. Kemudian karena malu dibilang orang jaminan, maka ia 'menginginkan' hilangnya nafsu, membenci nafsu tersebut. Maka ia tidak lagi menjalani jalan pemuasan indriah yang tidak ada akhir, tapi jalan untuk mengakhiri nafsu tersebut. Ketika nafsunya telah padam sepenuhnya, maka ia tidak lagi membenci nafsu atau menginginkan hilangnya nafsu. Beban itu telah diletakkan, maka disebut adanya akhir dari perjalanan.

morpheus

mungkinkah perbedaan pendapat ini ada karena perbedaan konteks?

yg pertama, dalam konteks "yg ada di dalam (batin)" memang benar, nafsu tidak bisa memadamkan nafsu.
nafsu itu padam bukan disebabkan oleh nafsu lain (secara langsung, penyebab langsung berhentinya), melainkan karena berhenti bernafsu.

yg kedua, dalam konteks "bukan hanya di dalam (batin)" ada benernya juga, waktu sebelum nafsu itu padam, sebelum-sebelumnya mungkin ada nafsu lain yg ingin mengalahkan nafsu itu.
namun yg jelas bukan nafsu yg lain itu yg memadamkannya secara langsung.
dalam pendapat ini, dirunut2 kebelakang dari sebab-sebab-sebab-sebab-sebabnya lagi, ya bener juga nafsu itu padam karena dulunya dia pernah bernafsu untuk melawan nafsu itu, jadi karena:
bernafsu untuk padam -> ingin duduk meditasi -> ingin ngambil bantal -> ingin memperhatikan nafas -> gak tenang, pengen tenang -> tambah kacau, jadi berhenti bernafsu apa2 dan hanya sadar -> eh, berhasil! nafsu padam!.
kalo berpikir demikian sih, semua juga bener. bisa bilang nafsu padam karena kita buang air besar (misal: karena buang air besar jam 6, maka saya duduk meditasi jam 6:10 dan nafsu padam). nafsu padam karena kita bersin. nafsu padam karena kita sekolah. nafsu padam karena kita beli laptop.

kalo boleh saya bilang, yg pertama itu sudut pandang meditatif / dalam batin, yg kedua itu sudut pandang intelek / sebab-akibat.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

K.K.

Quote from: tesla on 21 January 2011, 09:13:41 AM
begini bro, selagi orang merasakan manfaatnya, ia tidak akan meninggalkannya. kalau ia sudah tau kerugiannya, ia akan serta-merta meninggalkannya kalau ia tau manfaatnya tidak sebanding dg kerugiannya. misal saja rokok, orang tau manfaatnya yaitu rasa tenang, enak, dst... walau tau kerugiannya, sederhananya di paling dasar hatinya ya lebih besar manfaatnya. jadi ia terus merokok... ini yg saya maksud mau atau tidak mau aja melepas, bisa juga sih dibilang mampu atau tidak mampu :)
Dulu saya pikir juga semua hanya sebatas kemauan. Tetapi setelah mengamati lebih jauh, saya lihat memang tidak sesederhana itu. Kemelekatan itu terjadi karena akumulasi waktu yang panjang, maka tidak semudah itu juga dilepas hanya modal kemauan.


Quoteintinya adalah mampukah keinginan utk padam menghasilkan padam?
Menurut saya kalau hanya modal keinginan, maka tidak bisa.


Quotenah, jadi... filsafat di bagian akhir sutta ini jadi tidak relevan kan? jadi dimulai dg pengertian...
Perumpamaan di bagian akhir Sutta ini memang sangat sempit konteksnya, hanya sebatas 'keinginan yang terbatas', tetapi tidak membahas metodenya, tidak membahas lainnya. Jadi kalau relevansi, saya setuju itu relevan tapi dalam cakupan yang sangat terbatas.

K.K.

Quote from: morpheus on 21 January 2011, 09:32:48 AM
mungkinkah perbedaan pendapat ini ada karena perbedaan konteks?

yg pertama, dalam konteks "yg ada di dalam (batin)" memang benar, nafsu tidak bisa memadamkan nafsu.
nafsu itu padam bukan disebabkan oleh nafsu lain (secara langsung, penyebab langsung berhentinya), melainkan karena berhenti bernafsu.
Saya pikir mungkin yang merancukan konteksnya adalah perbedaan istilah nafsu dan keinginan. Misalnya kita menginginkan makanan lezat yang banyak, ini bisa disebut nafsu karena adalah keserakahan. Ketika misalnya kita menginginkan untuk tidak bersikap serakah begitu, maka tidak bisa disebut nafsu.


Quoteyg kedua, dalam konteks "bukan hanya di dalam (batin)" ada benernya juga, waktu sebelum nafsu itu padam, sebelum-sebelumnya mungkin ada nafsu lain yg ingin mengalahkan nafsu itu.
namun yg jelas bukan nafsu yg lain itu yg memadamkannya secara langsung.
dalam pendapat ini, dirunut2 kebelakang dari sebab-sebab-sebab-sebab-sebabnya lagi, ya bener juga nafsu itu padam karena dulunya dia pernah bernafsu untuk melawan nafsu itu, jadi karena:
bernafsu untuk padam -> ingin duduk meditasi -> ingin ngambil bantal -> ingin memperhatikan nafas -> gak tenang, pengen tenang -> tambah kacau, jadi berhenti bernafsu apa2 dan hanya sadar -> eh, berhasil! nafsu padam!.
kalo berpikir demikian sih, semua juga bener. bisa bilang nafsu padam karena kita buang air besar (misal: karena buang air besar jam 6, maka saya duduk meditasi jam 6:10 dan nafsu padam). nafsu padam karena kita bersin. nafsu padam karena kita sekolah. nafsu padam karena kita beli laptop.
Kembali ke masalah makan, maka keinginan makan otomatis juga hilang kalau sudah kenyang atau eneg. Jika dimakan sering-sering juga akan jadi bosan dan kehilangan minat. Tapi apakah itu berarti nafsu-nya hilang? Saya pikir sama sekali bukan. Menurut saya itu karena 'tujuan' dari nafsu adalah pada sesuatu yang berkondisi, rentan pada perubahan. Jadi bersamaan dengan perubahan, pencarian itu tidak akan pernah berakhir, terus menerus 'diperbaharui'. Sebaliknya jika tujuan itu mengarah pada yang tidak berkondisi, maka pencarian itu adalah terbatas, memiliki tujuan akhir. Sama-sama didasari 'keinginan', sama-sama punya 'tujuan', tetapi berbeda dalam terbatasnya itu.



ryu

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

morpheus

Quote from: Kainyn_Kutho on 21 January 2011, 10:40:33 AM
Saya pikir mungkin yang merancukan konteksnya adalah perbedaan istilah nafsu dan keinginan. Misalnya kita menginginkan makanan lezat yang banyak, ini bisa disebut nafsu karena adalah keserakahan. Ketika misalnya kita menginginkan untuk tidak bersikap serakah begitu, maka tidak bisa disebut nafsu.
perlu diteliti mengapa seseorang menginginkan untuk tidak bersikap serakah?
kira2 apa latar belakangnya?
mungkinkah karena ingin menjadi orang baik?
mungkinkah karena ingin menjadi orang suci?
mungkinkah karena ingin mencapai kebahagiaan?
mungkinkah karena tidak ingin menjadi orang jahat?
mungkinkah karena tidak ingin menjadi orang serakah?
mungkinkah karena tidak ingin terlahir kembali?

"There are these three cravings. Which three? Craving for sensuality, craving for becoming, craving for non-becoming. These are the three cravings." — Iti 58

Quote from: Kainyn_Kutho on 21 January 2011, 10:40:33 AM
Kembali ke masalah makan, maka keinginan makan otomatis juga hilang kalau sudah kenyang atau eneg. Jika dimakan sering-sering juga akan jadi bosan dan kehilangan minat. Tapi apakah itu berarti nafsu-nya hilang? Saya pikir sama sekali bukan. Menurut saya itu karena 'tujuan' dari nafsu adalah pada sesuatu yang berkondisi, rentan pada perubahan. Jadi bersamaan dengan perubahan, pencarian itu tidak akan pernah berakhir, terus menerus 'diperbaharui'. Sebaliknya jika tujuan itu mengarah pada yang tidak berkondisi, maka pencarian itu adalah terbatas, memiliki tujuan akhir. Sama-sama didasari 'keinginan', sama-sama punya 'tujuan', tetapi berbeda dalam terbatasnya itu.
saya gak bisa ngeliat hubungannya dengan quotenya.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

tesla

Quote from: morpheus on 21 January 2011, 09:32:48 AM
yg kedua, dalam konteks "bukan hanya di dalam (batin)" ada benernya juga, waktu sebelum nafsu itu padam, sebelum-sebelumnya mungkin ada nafsu lain yg ingin mengalahkan nafsu itu.
namun yg jelas bukan nafsu yg lain itu yg memadamkannya secara langsung.
dalam pendapat ini, dirunut2 kebelakang dari sebab-sebab-sebab-sebab-sebabnya lagi, ya bener juga nafsu itu padam karena dulunya dia pernah bernafsu untuk melawan nafsu itu, jadi karena:
bernafsu untuk padam -> ingin duduk meditasi -> ingin ngambil bantal -> ingin memperhatikan nafas -> gak tenang, pengen tenang -> tambah kacau, jadi berhenti bernafsu apa2 dan hanya sadar -> eh, berhasil! nafsu padam!.
kalo berpikir demikian sih, semua juga bener. bisa bilang nafsu padam karena kita buang air besar (misal: karena buang air besar jam 6, maka saya duduk meditasi jam 6:10 dan nafsu padam). nafsu padam karena kita bersin. nafsu padam karena kita sekolah. nafsu padam karena kita beli laptop.

ya disini kan jadi kelihatan, penjelasan dibawah sutta tsb ga nyambung... dg analogi begini, nafsu bisa padam gara2 kepala bhikkhu botak.
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

tesla

Quote from: Kainyn_Kutho on 21 January 2011, 10:25:31 AM
Dulu saya pikir juga semua hanya sebatas kemauan. Tetapi setelah mengamati lebih jauh, saya lihat memang tidak sesederhana itu. Kemelekatan itu terjadi karena akumulasi waktu yang panjang, maka tidak semudah itu juga dilepas hanya modal kemauan.
kalau menurut saya sih, seberapa jauh kita mengerti... maksudnya gini: misalnya rokok, ada enaknya, ada tidak enaknya. kenapa orang tidak bisa berhenti hanya dg tekad? ya jelas karena dia masih mau enaknya... hanya sesederhana itu. ini 2 sisi mata uang, ada enak & tidak enak... ga bisa ambil 1 sisi, tapi harus keduanya. dg kata lain, ga bisa buang 1 sisi, harus buang keduanya.

demikian jg kenapa org tidak bisa berhenti mis: dalam pemuasan indra. ya karena pemuasan indra itu enak. napain berhenti? usaha Buddha membabarkan dhamma, imo adalah upaya keras utk memperlihatkan ini lho ga enaknya, ini lho dukkha. selagi kita tidak mengerti inilah dukkha, ya kita ga akan melepas, kok enak2 disuruh lepasin. imo, semua ini latihan utk mengerti kenyataan. bukan niat utk padam.

Quote
Menurut saya kalau hanya modal keinginan, maka tidak bisa.

Perumpamaan di bagian akhir Sutta ini memang sangat sempit konteksnya, hanya sebatas 'keinginan yang terbatas', tetapi tidak membahas metodenya, tidak membahas lainnya. Jadi kalau relevansi, saya setuju itu relevan tapi dalam cakupan yang sangat terbatas.

kalau mau dipersempti konteks ya bisa2 aja... semua bisa dibenarkan kok. skr pernyataan brahmana itu sesederhana memadamkan nafsu dg nafsu adalah jalan tak berujung. sementara konteks jawaban Ananda hanya pada ruang lingkup 1 nafsu, tercapai, selesai. padahal ya pembicaraan sebelumnya adalah padamnya nafsu dalam arti segala nafsu. kelihatan ga glitch nya dalam tanya jawab ini?
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

tesla

Quote from: Kainyn_Kutho on 21 January 2011, 10:40:33 AM
Saya pikir mungkin yang merancukan konteksnya adalah perbedaan istilah nafsu dan keinginan. Misalnya kita menginginkan makanan lezat yang banyak, ini bisa disebut nafsu karena adalah keserakahan. Ketika misalnya kita menginginkan untuk tidak bersikap serakah begitu, maka tidak bisa disebut nafsu.
imo ya nafsu juga itu... keinginan menjadi baik, suci, tidak serakah, dll... sebaik apapun bahkan menjadi Buddha ya nafsu juga.

Quote
Kembali ke masalah makan, maka keinginan makan otomatis juga hilang kalau sudah kenyang atau eneg. Jika dimakan sering-sering juga akan jadi bosan dan kehilangan minat. Tapi apakah itu berarti nafsu-nya hilang? Saya pikir sama sekali bukan. Menurut saya itu karena 'tujuan' dari nafsu adalah pada sesuatu yang berkondisi, rentan pada perubahan. Jadi bersamaan dengan perubahan, pencarian itu tidak akan pernah berakhir, terus menerus 'diperbaharui'. Sebaliknya jika tujuan itu mengarah pada yang tidak berkondisi, maka pencarian itu adalah terbatas, memiliki tujuan akhir. Sama-sama didasari 'keinginan', sama-sama punya 'tujuan', tetapi berbeda dalam terbatasnya itu.
okelah, intinya menurut bro Kainyn & teman2 lain, kalau ingin nibbana adalah pengecualian. :)

balik lagi, kalau nibbana bisa dicapai dg keinginan utk padam, maka kebencian utk terlahir pun bisa mengantarkan kita pada nibbana. tetapi komentar newbie ini, keinginan & kebencian tidak akan mengantarkan sampai pada nibbana, krn keduanya tidak akan padam kalau ditambah terus.
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

K.K.

Quote from: morpheus on 21 January 2011, 01:52:08 PM
perlu diteliti mengapa seseorang menginginkan untuk tidak bersikap serakah?
kira2 apa latar belakangnya?
mungkinkah karena ingin menjadi orang baik?
mungkinkah karena ingin menjadi orang suci?
mungkinkah karena ingin mencapai kebahagiaan?
mungkinkah karena tidak ingin menjadi orang jahat?
mungkinkah karena tidak ingin menjadi orang serakah?
mungkinkah karena tidak ingin terlahir kembali?

"There are these three cravings. Which three? Craving for sensuality, craving for becoming, craving for non-becoming. These are the three cravings." — Iti 58
Saya pikir mungkin setiap orang berbeda motivasinya. Seperti kasus Nanda juga karena 'malu', sedangkan kasus lain seperti misalnya Patacara yang 'lelah' dengan penderitaan duniawi.

Mengenai 'craving'-nya, saya pikir dengan menjalani Ajaran Buddha dengan benar, maka akan dilepas. Seperti dalam Rathavinita Sutta yang disinggung bro ryu, berturut-turut pemurnian sila, pemurnian pikiran, pemurnian pandangan, pelenyapan keraguan, pemurnian pengetahuan dan penglihatan tentang jalan & bukan jalan, pemurnian dari pengetahuan dan penglihatan sang jalan, bukanlah tujuan akhir itu sendiri. Tetapi semua hanyalah sebuah perantara/media. Demikian pula keinginan bukan dihentikan dengan keinginan lain (apapun motivasinya). Tidak ada kelenyapan keinginan dalam keinginan. Namun ada keinginan yang kondusif untuk membawa orang pada lenyapnya keinginan itu sendiri.

Quotesaya gak bisa ngeliat hubungannya dengan quotenya.
Yang mau saya bahas adalah konteksnya bukan di dalam bathin/meditasi atau sehari-hari. Baik dalam meditasi maupun sehari-hari, sebetulnya sama saja. Sesuatu yang lebih dominan bisa menekan keinginan yang lebih resesif. Dalam contoh bro morpheus, terjadi satu pengalih-perhatian dari nafsu, dalam "sehari-hari" seperti lagi nafsu pengen BAB, nafsunya 'hilang'. Kalau dalam meditasi, bisa juga seperti jhana yang menekan nafsu indriah. Nafsu di sini tidak hilang, tetapi menjadi laten semata.
Jika keadaan 'laten nafsu' ini dibuat sebagai tujuan, maka pencarian tidak akan berakhir sebab suatu saat, terjadi perubahan, dan sesuai kondisi, bisa muncul kembali. Misalnya: BAB selesai atau jhana-nya melemah.


tesla

Quote from: ryu on 21 January 2011, 11:41:40 AM
oh iya baca juga :
Rathavinīta Sutta


thanks utk link nya,


disini lagi2 YA Sariputta & Buddha menjelaskan dg demikian sbb:
Quote
11. "Tetapi, teman, apakah pemurnian moralitas adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Kalau begitu apakah pemurnian pikiran adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Kalau begitu apakah pemurnian pandangan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Kalau begitu apakah pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Kalau begitu apakah pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan?" – "Bukan, teman." – "Tetapi, teman, apakah Nibbāna akhir tanpa kemelekatan dicapai tanpa kondisi-kondisi ini?" – "Tidak, teman."

15. "Demikian pula, teman, pemurnian moralitas adalah demi untuk mencapai pemurnian pikiran; pemurnian pikiran adalah demi untuk mencapai pemurnian pandangan; pemurnian pandangan adalah demi untuk mencapai pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan; pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan [150] adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan atas apa yang merupakan jalan dan apa yang bukan merupakan jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan terhadap sang jalan adalah demi untuk mencapai pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan; pemurnian melalui pengetahuan dan penglihatan adalah demi untuk mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan. Adalah demi untuk  mencapai Nibbāna akhir tanpa kemelekatan inilah kehidupan suci dijalani di bawah Sang Bhagavā."

kalau mau menjawab simple bisa aja dijawab "Benar, teman" tapi secara intelektual, sebab-akibat (seperti kata om morpheus). tetapi semua dijelaskan dg jelas oleh YA Sariputta... mengapa YA Ananda lain sendiri dg malah memberi perumpamaan yg utk membenarkan contoh nafsu memadamkan nafsu?  :D
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Indra

Quote from: tesla on 21 January 2011, 02:35:47 PM
balik lagi, kalau nibbana bisa dicapai dg keinginan utk padam, maka kebencian utk terlahir pun bisa mengantarkan kita pada nibbana. tetapi komentar newbie ini, keinginan & kebencian tidak akan mengantarkan sampai pada nibbana, krn keduanya tidak akan padam kalau ditambah terus.

bagian ini (kebencian untuk terlahir) sudah diantisipasi dalam Dhammacakkappavatana Sutta yg disebut sebagai Vibhava tanha

tesla

Quote from: Indra on 21 January 2011, 02:47:44 PM
bagian ini (kebencian untuk terlahir) sudah diantisipasi dalam Dhammacakkappavatana Sutta yg disebut sebagai Vibhava tanha
ya, Vibhava tanha = keinginan utk tidak menjadi.
ini justru memperjelas bahwa nafsu tidak bisa memadamkan nafsu lho
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Kelana

Info sedikit _/\_

Pali:
..........
''Evaṃ sante, bho ānanda, santakaṃ hoti no asantakaṃ. Chandeneva chandaṃ pajahissatīti – netaṃ ṭhānaṃ vijjati''. ''Tena hi, brāhmaṇa, taññevettha paṭipucchissāmi. Yathā te khameyya tathā taṃ byākareyyāsi. Taṃ kiṃ maññasi, brāhmaṇa, ahosi te pubbe chando 'ārāmaṃ gamissāmī'ti?..........

Inggris:
......."If that's so, Master Ananda, then it's an endless path, and not one with an end, for it's impossible that one could abandon desire by means of desire."

"In that case, brahman, let me question you on this matter. Answer as you see fit. What do you think: Didn't you first have desire, thinking, 'I'll go to the park,' and then when you reached the park, wasn't that particular desire allayed?".........

(Uṇṇābhabrāhmaṇa Sutta , Maha Vagga, Samyutta Nikaya)

Mungkin yang diterjemahkan sebagai 'desire' adalah kata 'chanda'
PTS:
Chanda= 1. impulse, excitement; intention, resolution, will; desire for, wish for, delight in
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -