Dear friend,
Kadang kita menemukan orang yang beragama Buddha, atau gampangnya mengaku beragama Buddha, kemudian pindah agama, atau masih tetap mengaku beragama Buddha tetapi juga meyakini dan mempraktikkan agama lain. Yang menjadi pertanyaan, apakah mungkin seorang yang telah mencapai kesucian sotapanna berpindah agama? Mungkinkah orang yang telah melihat Nibbāna masih percaya dan mempraktikkan ajaran agama lain?
Thanks
			
			
			
				Bukankah sudah mematahkan belenggu keragu-raguan? Kalau udah liat sendiri, ngapain percaya yang lain?
			
			
			
				Quote from: gachapin on 11 November 2009, 09:36:46 AM
Bukankah sudah mematahkan belenggu keragu-raguan? Kalau udah liat sendiri, ngapain percaya yang lain?
Kalau begitu apakah itu berarti bahwa hanya orang-orang yang belum merealisasi ajaran Sang Buddha yang akan pindah agama atau mempercayai agama lain?
			
 
			
			
				Dikatakn bahwa seorang Sotapanna memiliki keyakinan yang tidak tergoncangkan (aveccapasada) terhadap Buddha, Dhamma dan Saṅgha. Menurut hemat sy orang demikian tidak akan mungkin berubah keyakinan.
Be happy.
			
			
			
				Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 09:39:13 AM
Quote from: gachapin on 11 November 2009, 09:36:46 AM
Bukankah sudah mematahkan belenggu keragu-raguan? Kalau udah liat sendiri, ngapain percaya yang lain?
Kalau begitu apakah itu berarti bahwa hanya orang-orang yang belum merealisasi ajaran Sang Buddha yang akan pindah agama atau mempercayai agama lain?
Belon tentu, orang-orang yang sangat fanatik jugak gak akan pindah keyakinan =))
			
 
			
			
				Quote from: gachapin on 11 November 2009, 09:48:44 AM
Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 09:39:13 AM
Quote from: gachapin on 11 November 2009, 09:36:46 AM
Bukankah sudah mematahkan belenggu keragu-raguan? Kalau udah liat sendiri, ngapain percaya yang lain?
Kalau begitu apakah itu berarti bahwa hanya orang-orang yang belum merealisasi ajaran Sang Buddha yang akan pindah agama atau mempercayai agama lain?
Belon tentu, orang-orang yang sangat fanatik jugak gak akan pindah keyakinan =))
gue mencium aroma ...
			
 
			
			
				Tapi jangan mengartikan Sotapanna = fanatik ;D
			
			
			
				Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 09:42:33 AM
Dikatakn bahwa seorang Sotapanna memiliki keyakinan yang tidak tergoncangkan (aveccapasada) terhadap Buddha, Dhamma dan Saṅgha. Menurut hemat sy orang demikian tidak akan mungkin berubah keyakinan.
Be happy.
Penjelasan yang mantap !!!!
rekan Peacemind
Tepat...Singkat ... tegas ...bijaksana .
 :)
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Indra on 11 November 2009, 09:51:36 AM
Quote from: gachapin on 11 November 2009, 09:48:44 AM
Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 09:39:13 AM
Quote from: gachapin on 11 November 2009, 09:36:46 AM
Bukankah sudah mematahkan belenggu keragu-raguan? Kalau udah liat sendiri, ngapain percaya yang lain?
Kalau begitu apakah itu berarti bahwa hanya orang-orang yang belum merealisasi ajaran Sang Buddha yang akan pindah agama atau mempercayai agama lain?
Belon tentu, orang-orang yang sangat fanatik jugak gak akan pindah keyakinan =))
gue mencium aroma ...
Asal aromanya yang sedep aja. Kalau tidak sedap wah bisa repot tuh DC :))
			
 
			
			
				Sotapanna tidak berpindah agama bukan karena fanatik membuta, tetapi karena telah membuktikan sendiri kebenarannya. 
Misalnya seseorang mengajarkan orang di desa A tentang desa B, ada orang-orang yang yakin dan percaya dengan desa B dan berusaha ke sana. Ada juga yang tidak percaya, ada yang ragu-ragu. Jika seseorang telah menemukan dan membuktikan sendiri keberadaan desa B tersebut, maka tidaklah mungkin meyakinkan dia bahwa desa B tidak ada. Tidak cocok lagi mengatakan dia fanatik. 
Berbeda dengan yang percaya namun belum menemukan desa B tersebut, yang tidak bisa digoyahkan keyakinannya, mungkin masih bisa disebut fanatik. 
			
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 11 November 2009, 10:03:43 AM
Berbeda dengan yang percaya namun belum menemukan desa B tersebut, yang tidak bisa digoyahkan keyakinannya, mungkin masih bisa disebut fanatik. 
Saya rasa jika seseorang belum menemukan desa B, keyakinannya masih bisa tergoyahkan. Setidaknya ada kecenderungan batin yang sangat halus dan mempertanyakan, "Seperti apa ya sesungguhnya desa B?" Demikian pula, meskipun seseorang mengklaim ia yakin sepenuhnya dengan adanya pencapaian sotapanna, jika ia belum mencapainya, dalam hatinya yang paling dalam, masih muncul pertanyaan, "Seperti apa ya rasanya jadi Sotapanna?" 
Mereka yang memiliki keyakinan tidak tergoncangkan (aveccapasada) hanya mereka yang telah membuktikkan sendiri desa B, membuktikkan sendiri pencapaian sotapanna.
Be happy.
			
 
			
			
				Kalau Sotopanas masih bisa deh berubah keyakinan. Kalau Sotapana ehm...imposibble deh.
			
			
			
				Emang sotopanas punya feeling? :))
			
			
			
				Quote from: bond on 11 November 2009, 10:17:31 AM
Kalau Sotopanas masih bisa deh berubah keyakinan. Kalau Sotapana ehm...imposibble deh.
Kalau sotopanas, saya yakin tidak punya keyakinan. Yang punya keyakinan adalah orang yang makan sotopanas  :))
			
 
			
			
				Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 10:16:26 AM
Saya rasa jika seseorang belum menemukan desa B, keyakinannya masih bisa tergoyahkan. Setidaknya ada kecenderungan batin yang sangat halus dan mempertanyakan, "Seperti apa ya sesungguhnya desa B?" Demikian pula, meskipun seseorang mengklaim ia yakin sepenuhnya dengan adanya pencapaian sotapanna, jika ia belum mencapainya, dalam hatinya yang paling dalam, masih muncul pertanyaan, "Seperti apa ya rasanya jadi Sotapanna?" 
Mereka yang memiliki keyakinan tidak tergoncangkan (aveccapasada) hanya mereka yang telah membuktikkan sendiri desa B, membuktikkan sendiri pencapaian sotapanna.
Be happy.
Ya, saya juga percaya ada kemungkinan bisa berpindah keyakinan, apakah di kehidupan ini atau kehidupan berikutnya, pada kondisi berbeda. Lain halnya dengan para Sotapanna. 
Namun agar tidak berspekulasi terlalu jauh sampai kehidupan2 mendatang, kita melihat hidup ini sekarang juga ada yang terlihat "tidak tergoyahkan" keyakinannya. Jangan sampai kita terlalu cepat menilai orang fanatik belaka tersebut sebagai Sotapanna. 
			
 
			
			
				Saya memiliki pertanyaan lain. Apakah seseorang yang telah mencapai sotapanna tidak mempercayai Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai Jalan untuk mencapai kesucian?
Thanks.
			
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 11 November 2009, 10:30:01 AM
Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 10:16:26 AM
Saya rasa jika seseorang belum menemukan desa B, keyakinannya masih bisa tergoyahkan. Setidaknya ada kecenderungan batin yang sangat halus dan mempertanyakan, "Seperti apa ya sesungguhnya desa B?" Demikian pula, meskipun seseorang mengklaim ia yakin sepenuhnya dengan adanya pencapaian sotapanna, jika ia belum mencapainya, dalam hatinya yang paling dalam, masih muncul pertanyaan, "Seperti apa ya rasanya jadi Sotapanna?" 
Mereka yang memiliki keyakinan tidak tergoncangkan (aveccapasada) hanya mereka yang telah membuktikkan sendiri desa B, membuktikkan sendiri pencapaian sotapanna.
Be happy.
Ya, saya juga percaya ada kemungkinan bisa berpindah keyakinan, apakah di kehidupan ini atau kehidupan berikutnya, pada kondisi berbeda. Lain halnya dengan para Sotapanna. 
Namun agar tidak berspekulasi terlalu jauh sampai kehidupan2 mendatang, kita melihat hidup ini sekarang juga ada yang terlihat "tidak tergoyahkan" keyakinannya. Jangan sampai kita terlalu cepat menilai orang fanatik belaka tersebut sebagai Sotapanna. 
Yap, anda benar.
			
 
			
			
				Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 10:31:14 AM
Saya memiliki pertanyaan lain. Apakah seseorang yang telah mencapai sotapanna tidak mempercayai Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai Jalan untuk mencapai kesucian?
Thanks.
Kalau memang tidak percaya, apakah ada jalan lain? Kalau memang tidak percaya, berarti dia telah menggunakan jalan lain. Lalu jalan apakah itu? Seperti Bahiya Darucciriya, yang paling cepat merealisasi Nibbāna sekalipun, saya yakin tetap menggunakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dia tetap membutuhkan Sīla, Samādhi, dan Paññā untuk merealisasi Nibbāna. Kalau kita melihat definisi-definisi Nibbāna dalam sutta, Nibbāna mengacu pada kematangan atau kedewasaan dalam pengalaman batin (maturity of mental experience). Kedewasaan batin tidak mungkin dicapai tanpa sīla, samādhi dan paññā.
			
 
			
			
				Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 10:54:00 AM
Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 10:31:14 AM
Saya memiliki pertanyaan lain. Apakah seseorang yang telah mencapai sotapanna tidak mempercayai Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai Jalan untuk mencapai kesucian?
Thanks.
Kalau memang tidak percaya, apakah ada jalan lain? Kalau memang tidak percaya, berarti dia telah menggunakan jalan lain. Lalu jalan apakah itu? Seperti Bahiya Darucciriya, yang paling cepat merealisasi Nibbāna sekalipun, saya yakin tetap menggunakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dia tetap membutuhkan Sīla, Samādhi, dan Paññā untuk merealisasi Nibbāna. Kalau kita melihat definisi-definisi Nibbāna dalam sutta, Nibbāna mengacu pada kematangan atau kedewasaan dalam pengalaman batin (maturity of mental experience). Kedewasaan batin tidak mungkin dicapai tanpa sīla, samādhi dan paññā.
Seperti yang diketahui bahwa pertapa Bahiya mencapai kesucian arahat setelah mendengar khotbah singkat Sang Buddha. Dalam khotbah tersebut, tampak Sang BUddha tidak menjelaskan mengenai Sīla. Bisakah anda menjelaskan secara lebih jelas bagaimana pertapa Bahiya memperoleh kesempurnaan dalam Sīla untuk mencapai kesucian arahat pada saat itu?
Thanks.
			
 
			
			
				Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 10:31:14 AM
Saya memiliki pertanyaan lain. Apakah seseorang yang telah mencapai sotapanna tidak mempercayai Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai Jalan untuk mencapai kesucian?
Thanks.
Menurut saya, seorang Sotapanna mengetahui hanya sebatas yang diajarkan. Jika dia diajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan dan mencapai kesucian lewat cara tersebut, maka dia mengetahuinya. Jika dia diajarkan cara yang berbeda, maka pengetahuan dan keyakinannya pun berbeda. Tapi saya rasa tidak perlu menjadi Sotapanna untuk melihat bahwaJalan Mulia Berunsur Delapan adalah sesuatu yang bermanfaat. 
Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 10:54:00 AM
Kalau memang tidak percaya, apakah ada jalan lain? Kalau memang tidak percaya, berarti dia telah menggunakan jalan lain. Lalu jalan apakah itu? Seperti Bahiya Darucciriya, yang paling cepat merealisasi Nibbāna sekalipun, saya yakin tetap menggunakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dia tetap membutuhkan Sīla, Samādhi, dan Paññā untuk merealisasi Nibbāna. Kalau kita melihat definisi-definisi Nibbāna dalam sutta, Nibbāna mengacu pada kematangan atau kedewasaan dalam pengalaman batin (maturity of mental experience). Kedewasaan batin tidak mungkin dicapai tanpa sīla, samādhi dan paññā.
Kalau dari pandangan anda, Pilinda Vacca yang tidak memiliki "samma vacca", bagaimana caranya bisa jadi Arahat? 
			
 
			
			
				Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 11:05:36 AM
Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 10:54:00 AM
Kalau memang tidak percaya, apakah ada jalan lain? Kalau memang tidak percaya, berarti dia telah menggunakan jalan lain. Lalu jalan apakah itu? Seperti Bahiya Darucciriya, yang paling cepat merealisasi Nibbāna sekalipun, saya yakin tetap menggunakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dia tetap membutuhkan Sīla, Samādhi, dan Paññā untuk merealisasi Nibbāna. Kalau kita melihat definisi-definisi Nibbāna dalam sutta, Nibbāna mengacu pada kematangan atau kedewasaan dalam pengalaman batin (maturity of mental experience). Kedewasaan batin tidak mungkin dicapai tanpa sīla, samādhi dan paññā.
Seperti yang diketahui bahwa pertapa Bahiya mencapai kesucian arahat setelah mendengar khotbah singkat Sang Buddha. Dalam khotbah tersebut, tampak Sang BUddha tidak menjelaskan mengenai Sīla. Bisakah anda menjelaskan secara lebih jelas bagaimana pertapa Bahiya memperoleh kesempurnaan dalam Sīla untuk mencapai kesucian arahat pada saat itu?
Thanks.
Ada tiga jenis manusia (siswa) unggul yang bisa mencapai Pencerahan, yaitu:
- kelompok manusia yang bisa mencapai Pencerahan saat sedang mendengarkan khotbah
- kelompok manusia yang bisa mencapai Pencerahan setelah selesai mendengarkan khotbah
- kelompok manusia yang bisa mencapai Pencerahan setelah selesai mendengarkan khotbah, dan melatih diri dengan sungguh-sungguh
Menurut pendapat saya, YA. Bahiya tergolong sebagai kelompok manusia yang kedua. Untuk memiliki kualitas seperti itu, dibutuhkan Parami yang sangat besar dan dalam waktu yang sangat panjang. Mungkin saja di kehidupan-kehidupan lampaunya, YA. Bahiya sudah mengumpulkan Parami yang besar. Jika kita katakan istilah "mengumpulkan Parami", maka secara tidak langsung hal ini berkaitan dengan "usaha melatih diri di Jalan Mulia Beruas Delapan".
Pengembangan sila-samadhi-panna yang ditekankan dalam Jalan Mulia Beruas Delapan, cenderung diterapkan oleh kelompok manusia yang ketiga. Makanya kasus YA. Bahiya seperti terlihat istimewa, karena seolah-olah beliau bisa mencapai Pencerahan tanpa perlu mengembangkan JMB8. Namun sebenarnya JMB8 tetaplah jalan yang menuju pada terhentinya dukkha. 
			
 
			
			
				nga mungkin banget.
			
			
			
				Umat Buddha disarankan untuk menerima praktik-praktik religius hanya setelah pengamatan dan analisis yang hati - hati ,
dan hanya setelah yakin bahwa metode itu cocok dengan akal budi dan mendukung untuk kebaikan diri sendiri dan semuanya .
Pada Kalama sutta  , Sang Buddha memberikan panduan berikut kepada sekelompok orang muda :
" Jangan menerima apa pun berdasarkan laporan semata , tradisi atau desas desus ;
Atau atas kewenangan naska religius ;
Atau atas alasan dan argumen semata ;
Atau atas kesimpulan sendiri ;
Atau atas apa pun yang kelihatan nya benar ;
Atau atas pendapat spekulatif seseorang ;
Atau atas kemampuan semu orang lain ;
Atau atas pertimbangan : 'Ini adalah guru kita .'
Tetapi jika engkau tahu oleh dirimu sendiri bahwa hal-hal tertentu adalah tak sehat dan buruk ;
cenderung menyakiti dirimu sendiri atau orang lain , tolaklah mereka .
Dan jika engkau tahu oleh dirimu sendiri bahwa hal-hal tertentu adalah sehat dan baik ;
mendukung kesejahteraan spiritual dirimu sendiri serta orang lain ,
terima dan ikuti mereka ." 
Umat Buddha yang sejati ..saya percaya tidak akan berubah kepercayaan nya ke agama lain ,
Saya bukannya Fanatik berkata optimis " Umat Buddhis sejati tidak akan pindah Keyakianan "
Saya ingin bertanya Adakah agama lain ? :
" memerdekakan manusia dari kungkungan agama   , 
membebaskan manusia dari monopoli dan tirani para penguasa agama .
menyarankan manusia untuk melatih akal nya dan tidak memperbolehkan diri sendiri di kuasai tanpa perlawanan seperti ternak bodoh ,mengikuti dogma agama .
Tidak ada ajaran Buddha yang harus di tinjau ulang dalam menghadapi penemuan dan pengetahuan ilmiah moderen .
Semakin banyak hal baru yang ditemukan ilmuwan , semakin dekat mereka dengan penjelasan Sang Buddha tentang alam semesta dan cara kerjanya ."
Umat Budha sejati tidak tergantung pada kekuasaan eksternal untuk keselamatannya .
Ia juga tidak berharap untuk lepas dari kemiskinan melalui campur tangan suatu kuasa yang tidak diketahui .
Ia harus mencoba untuk membasmi semua kekotoran mentalnya untuk menemukan kebahagiaan abadi .
Sang Buddha berkata , 
"Jika seseorang berkata buruk tentang Aku ,ajaranKu dan murid murid Ku , jangan lah marah atau takut , karena reaksi semacam ini hanya akan menyakitimu .
Sebaliknya jika seseorang berkata baik tentang Aku , ajaran Ku , dan murid murid Ku , janganlah terlalu gembira , tergetar , atau berbesar hati ,
karena reaksi semacam ini hanya akan menjadi hambatan dalam membentuk penilaian benar .
Jika kamu berbesar hati , kamu tidak dapat menilai apakah kualitas yang di puji adalah nyata dan benar benar ditemukan dalam diri kita ." 
(Brahma jala Sutta )
Demikian lah niat yang tidak memihak dari umat Buddha sejati .
Sang Buddha telah menjunjung derajat tertingi kebebasan tidak hanya dalam sosok manusiawinya tapi juga dalam kualitas ilahinya .
Kebebasan lah yang tidak menghilangkan manusia dari martabatnya .
Kebebasanlah yang membebaskan seseorang dari perbudakan dogma dan hukum religius diktatorial atau hukuman agama .
			
			
			
				Seperti biasa, versi Kalama Sutta yang disensor.
Kenapa sih orang-orang senang sekali memakai Kalama Sutta yang disensor?
			
			
			
				Tlg sbutin bgaimana kita bs tahu si x sdah jd sotapanna? Ciri2nya bgaimana tuh? Menurutmu, si Peacemind mrupakan seorang sotapanna gak?
			
			
			
				Cara tahunya: jadilah Sakadagami.
			
			
			
				Quote from: gachapin on 11 November 2009, 11:57:43 AM
Seperti biasa, versi Kalama Sutta yang disensor.
Kenapa sih orang-orang senang sekali memakai Kalama Sutta yang disensor?
Bagian mananya yang disensor?
			
 
			
			
				Buktikan dong :D
			
			
			
				 [at] gcpin, apakh ada sutta yg blang kalau kita mau tau orang dah cpai sotapanna ,kita harus jadi sakadagami dulu, trtlis di sutta mana ya?
			
			
			
				Quote from: gachapin on 11 November 2009, 11:57:43 AM
Seperti biasa, versi Kalama Sutta yang disensor.
Kenapa sih orang-orang senang sekali memakai Kalama Sutta yang disensor?
Mungkin yang disensor sapaannya, "Now Kalamas...". Pernyataan tersebut ditujukan spesifik kepada suka Kalama, bukan kepada "Oh bhikkhus" atau kepada "householders".
Jadi maksud Sang Buddha harus dilihat berdasarkan konteks Suku Kalama. Suku Kalama pada saat itu belum mengenal ajaran Buddha, dan mereka juga memiliki 2 orang guru yang saling bertentangan. Jadi Sang Buddha mengatakan jangan bergantung pada tradisi atau ajaran guru untuk mempersiapkan suku Kalama untuk mendengar ajaran Sang Buddha untuk pertama kalinya. Kemudian Sang Buddha mengajarkan tentang lobha, dosa, moha yang membawa penderitaan, dan alobha, adosa, amoha yang membawa kebahagiaan serta 4 brahmavihara yang kalau dikembangkan akan membawa kepastian akan kelahiran di tempat yang baik sehingga suku Kalama bisa menghilangkan keragu-raguannya akan ajaran mana yang akan membawa kebahagiaan.
			
 
			
			
				Saya pernah dengar dari guru saya, seorang buddhis yg sudah melaksanakan wisudi tri sarana, kemudian berpindah agama lain, terus misalnya suatu saat akan kembali ke agama buddha, katanya sih tidak akan bisa mencapai sotapanna lagi, karena 3 perlindungannya telah pecah.
Masih mendingan bagi yg beragama lain kemudian masuk agama buddha. Orang yg demikian masih lebih besar kemungkinannya mencapai tingkat sotapanna.
Mohon koreksi jika salah.
			
			
			
				Pertama-tama itu dua ayat dicompress jadi satu,
bait-bait terakhir juga berbeda artinya.
Dan 75% terjemahan yang saya lihat di internet selalu menghilangkan dipuji/dicela para bijaksana.
			
			
			
				Quote from: Johsun on 11 November 2009, 12:02:17 PM
Tlg sbutin bgaimana kita bs tahu si x sdah jd sotapanna? Ciri2nya bgaimana tuh? Menurutmu, si Peacemind mrupakan seorang sotapanna gak?
Hi...Peacemind yang mana? saya? Kalau saya sotapanna, gak mungkin saya ikut berdebat di sini lah...  ;D
I am just a normal person!
			
 
			
			
				Quote from: gachapin on 11 November 2009, 12:47:34 PM
Pertama-tama itu dua ayat dicompress jadi satu,
bait-bait terakhir juga berbeda artinya.
Dan 75% terjemahan yang saya lihat di internet selalu menghilangkan dipuji/dicela para bijaksana.
Bener juga, terjemahan bebas sepertinya ;D
Anyway, menurut saya kalama sutta dan ehipassiko itu 
overrated. Kalau orang saddha-nya kurang, bisa jadi skeptis, semua hal dipertanyakan, padahal pengertian benar hanya bisa datang lewat praktek.
			
 
			
			
				Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 09:29:47 AM
Dear friend,
Kadang kita menemukan orang yang beragama Buddha, atau gampangnya mengaku beragama Buddha, kemudian pindah agama, atau masih tetap mengaku beragama Buddha tetapi juga meyakini dan mempraktikkan agama lain. Yang menjadi pertanyaan, apakah mungkin seorang yang telah mencapai kesucian sotapanna berpindah agama? Mungkinkah orang yang telah melihat Nibbāna masih percaya dan mempraktikkan ajaran agama lain?
Thanks
Anda juga bisa bertanya, "Apakah seseorang yang sedang duduk di atas gunung yakin bahwa dirinya sedang duduk di atas meja"? hehehe....  :)
			
 
			
			
				 [at] pismen, jadi kalau orang yg dah capai sotapanna gak main internet lagi yo? Jdi ngapain aja dia ya?Apakah satu harian pull meditasi? Apakah sotapanna itu haruz bhikkhu?
			
			
			
				Quote from: DragonHung on 11 November 2009, 12:45:13 PM
Saya pernah dengar dari guru saya, seorang buddhis yg sudah melaksanakan wisudi tri sarana, kemudian berpindah agama lain, terus misalnya suatu saat akan kembali ke agama buddha, katanya sih tidak akan bisa mencapai sotapanna lagi, karena 3 perlindungannya telah pecah.
Masih mendingan bagi yg beragama lain kemudian masuk agama buddha. Orang yg demikian masih lebih besar kemungkinannya mencapai tingkat sotapanna.
Mohon koreksi jika salah.
Meragukan sekali. Apakah karena "wisudi tri-sarana" itu ada kekuatan tertentu? 
			
 
			
			
				 [at] gachapin, mana sutta yg tuliz kalau mau tau siapa yg cpai sotapanna harus trlbh dulu cpai sakadagami?
 [at] char101,
tlg dnk brikan kalama sutta yg trjemahan sbnarnya, thank you.
			
			
			
				Quote from: DragonHung on 11 November 2009, 12:45:13 PM
Saya pernah dengar dari guru saya, seorang buddhis yg sudah melaksanakan wisudi tri sarana, kemudian berpindah agama lain, terus misalnya suatu saat akan kembali ke agama buddha, katanya sih tidak akan bisa mencapai sotapanna lagi, karena 3 perlindungannya telah pecah.
Masih mendingan bagi yg beragama lain kemudian masuk agama buddha. Orang yg demikian masih lebih besar kemungkinannya mencapai tingkat sotapanna.
Mohon koreksi jika salah.
Apa bedanya dengan orang yg sudah di wisudi tri sarana, tetapi tidak menjalankan sila dengan baik tetapi tetap beragama Buddha, apakah perlindungan itu tidak pecah juga? dibandingkan setelah orang pindah keagama lain dan sadar akan kekurangannya dan memperbaiki segala sisi sila samadhi panna dan kembali ke agama Buddha?
			
 
			
			
				Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 11:05:36 AM
Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 10:54:00 AM
Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 10:31:14 AM
Saya memiliki pertanyaan lain. Apakah seseorang yang telah mencapai sotapanna tidak mempercayai Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai Jalan untuk mencapai kesucian?
Thanks.
Kalau memang tidak percaya, apakah ada jalan lain? Kalau memang tidak percaya, berarti dia telah menggunakan jalan lain. Lalu jalan apakah itu? Seperti Bahiya Darucciriya, yang paling cepat merealisasi Nibbāna sekalipun, saya yakin tetap menggunakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dia tetap membutuhkan Sīla, Samādhi, dan Paññā untuk merealisasi Nibbāna. Kalau kita melihat definisi-definisi Nibbāna dalam sutta, Nibbāna mengacu pada kematangan atau kedewasaan dalam pengalaman batin (maturity of mental experience). Kedewasaan batin tidak mungkin dicapai tanpa sīla, samādhi dan paññā.
Seperti yang diketahui bahwa pertapa Bahiya mencapai kesucian arahat setelah mendengar khotbah singkat Sang Buddha. Dalam khotbah tersebut, tampak Sang BUddha tidak menjelaskan mengenai Sīla. Bisakah anda menjelaskan secara lebih jelas bagaimana pertapa Bahiya memperoleh kesempurnaan dalam Sīla untuk mencapai kesucian arahat pada saat itu?
Thanks.
Saat Sang Buddha menjelaskan ajaranNya kepada Bahiya, memang beliau tidak menyinggung soal sīla. Akan tetapi, Bahiya adalah seorang praktisi yang tekun. Dalam Aṭṭhakathā diceritakan bahwa dia dihormati oleh orang-orang yang menjadi pendukungnya. Karena itu, ia pun berkesimpulan bahwa dirinya adalah orang yang telah tercerahkan. Saya pikir kalau Bahiya tidak memiliki moralitas sulit baginya mendapatkan penghormatan dari pendukungnya kalau dia tidak memiliki moral yang baik.
			
 
			
			
				Quote from: Johsun on 11 November 2009, 01:07:23 PM
 [at] pismen, jadi kalau orang yg dah capai sotapanna gak main internet lagi yo? Jdi ngapain aja dia ya?Apakah satu harian pull meditasi? Apakah sotapanna itu haruz bhikkhu?
Tanya aja sama yang sudah sotapanna lah..supaya lebih jelas.  Sotapanna harus bhikkhu? I don't think so. :D
			
 
			
			
				Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 01:27:42 PM
Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 11:05:36 AM
Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 10:54:00 AM
Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 10:31:14 AM
Saya memiliki pertanyaan lain. Apakah seseorang yang telah mencapai sotapanna tidak mempercayai Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai Jalan untuk mencapai kesucian?
Thanks.
Kalau memang tidak percaya, apakah ada jalan lain? Kalau memang tidak percaya, berarti dia telah menggunakan jalan lain. Lalu jalan apakah itu? Seperti Bahiya Darucciriya, yang paling cepat merealisasi Nibbāna sekalipun, saya yakin tetap menggunakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dia tetap membutuhkan Sīla, Samādhi, dan Paññā untuk merealisasi Nibbāna. Kalau kita melihat definisi-definisi Nibbāna dalam sutta, Nibbāna mengacu pada kematangan atau kedewasaan dalam pengalaman batin (maturity of mental experience). Kedewasaan batin tidak mungkin dicapai tanpa sīla, samādhi dan paññā.
Seperti yang diketahui bahwa pertapa Bahiya mencapai kesucian arahat setelah mendengar khotbah singkat Sang Buddha. Dalam khotbah tersebut, tampak Sang BUddha tidak menjelaskan mengenai Sīla. Bisakah anda menjelaskan secara lebih jelas bagaimana pertapa Bahiya memperoleh kesempurnaan dalam Sīla untuk mencapai kesucian arahat pada saat itu?
Thanks.
Saat Sang Buddha menjelaskan ajaranNya kepada Bahiya, memang beliau tidak menyinggung soal sīla. Akan tetapi, Bahiya adalah seorang praktisi yang tekun. Dalam Aṭṭhakathā diceritakan bahwa dia dihormati oleh orang-orang yang menjadi pendukungnya. Karena itu, ia pun berkesimpulan bahwa dirinya adalah orang yang telah tercerahkan. Saya pikir kalau Bahiya tidak memiliki moralitas sulit baginya mendapatkan penghormatan dari pendukungnya kalau dia tidak memiliki moral yang baik.
Dan dalam Aṭṭhakathā pun, tampak sekali bahwa sejak awal beliau sudah membohongi banyak orang karena ketika orang2 menganggap dia pertapa, ia hanya menerima anggapan2 mereka padahal ia tahu bahwa pada awalnya ia bukan seorang pertapa. 
			
 
			
			
				soal sila sepertinya ada dibahasan di thread lain bawa moralitas yg mendukung konsentrasi, bukan total super moralitas. right?
soal sotapanna, kan cuma belenggu yg berhubungan dengan pandangannya yg dipatahkan, maen internet mah jalan terrruusss
			
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 11 November 2009, 11:09:27 AM
Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 10:31:14 AM
Saya memiliki pertanyaan lain. Apakah seseorang yang telah mencapai sotapanna tidak mempercayai Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai Jalan untuk mencapai kesucian?
Thanks.
Menurut saya, seorang Sotapanna mengetahui hanya sebatas yang diajarkan. Jika dia diajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan dan mencapai kesucian lewat cara tersebut, maka dia mengetahuinya. Jika dia diajarkan cara yang berbeda, maka pengetahuan dan keyakinannya pun berbeda. Tapi saya rasa tidak perlu menjadi Sotapanna untuk melihat bahwaJalan Mulia Berunsur Delapan adalah sesuatu yang bermanfaat. 
Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 10:54:00 AM
Kalau memang tidak percaya, apakah ada jalan lain? Kalau memang tidak percaya, berarti dia telah menggunakan jalan lain. Lalu jalan apakah itu? Seperti Bahiya Darucciriya, yang paling cepat merealisasi Nibbāna sekalipun, saya yakin tetap menggunakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dia tetap membutuhkan Sīla, Samādhi, dan Paññā untuk merealisasi Nibbāna. Kalau kita melihat definisi-definisi Nibbāna dalam sutta, Nibbāna mengacu pada kematangan atau kedewasaan dalam pengalaman batin (maturity of mental experience). Kedewasaan batin tidak mungkin dicapai tanpa sīla, samādhi dan paññā.
Kalau dari pandangan anda, Pilinda Vacca yang tidak memiliki "samma vacca", bagaimana caranya bisa jadi Arahat? 
Pilindavaccha memang tergolong orang yang cepla-ceplos dalam bicara. Menurut Aṭṭhakathā, itu telah menjadi kebiasaannya sejak dalam kelahiran yang lampau. 
Dalam Abhayarājakumārasutta, dijelaskan bahwa ada delapan bentuk ucapan. Dua di antaranya adalah:
1.   Benar      Bermanfaat         Menyenangkan dan disetujui
2.   Benar     Bermanfaat         Tidak menyenangkan dan tidak disetujui
Saya pikir Pilindavaccha menggunakan theory yang kedua. Ucapannya terasa kasar, namun itu tidak dilandasi oleh niat untuk menghina atau merendahkan orang lain. Kalau memang sammāvāca bisa dikesampingkan, lalu apa gunanya Sang Buddha meletakkan sammāvāca menjadi salah satu elemen dari Jalan Mulia Berunsur Delapan? Sang Buddha menempatkan sammāvāca sebagai bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan tentu mempunyai alasan yang jelas.
			
 
			
			
				Quote from: Johsun on 11 November 2009, 01:07:23 PM
 [at] pismen, jadi kalau orang yg dah capai sotapanna gak main internet lagi yo? Jdi ngapain aja dia ya?Apakah satu harian pull meditasi? Apakah sotapanna itu haruz bhikkhu?
Apa yang dimaksud Peacemind adalah bahwa orang-orang yang telah mencapai kesucian sotapanna, akan bekerja dengan serius demi terealisasinya kesucian yang sempurna (arahant). Dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya sekedar untuk debat kusir karena hal itu tidak akan membawa manfaat baginya. Yang menjadi tujuan orang yang telah mencapai kesucian sotapanna adalah menyelesaikan tugasnya dalam kehidupan sekarang ini juga.
Seorang sotapanna akan melakukan tugas-tugasnya, sesuai dengan profesinya. Kalau dia adalah seorang pengacara, dia tetap akan bekerja seabgai pengacara. Hanya saja mereka akan tampak lebih natural; mereka tidak perlu menyembunyikan sesuatu.
Orang yang telah mencapai kesucian sotapanna tidak mesti akan meditasi seharian dalam arti duduk atau pun berjalan. Dia bisa saja bekerja namun tetap memiliki sati.
Pertanyaan apakah seorang sotapanna mesti bhikkhu adalah pertanyaan yang terlalu klassik. Kalau memang yang mencapai sotapanna mesti bhikkhu, Anatapindika dan Visakhā mestinya bhikkhu dan bhikkhuni dong. Buktinya mereka adalah umat awam yang tetap aktif dalam kehidupa mereka sehari-hari.
			
 
			
			
				Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 01:36:21 PM
Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 01:27:42 PM
Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 11:05:36 AM
Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 10:54:00 AM
Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 10:31:14 AM
Saya memiliki pertanyaan lain. Apakah seseorang yang telah mencapai sotapanna tidak mempercayai Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai Jalan untuk mencapai kesucian?
Thanks.
Kalau memang tidak percaya, apakah ada jalan lain? Kalau memang tidak percaya, berarti dia telah menggunakan jalan lain. Lalu jalan apakah itu? Seperti Bahiya Darucciriya, yang paling cepat merealisasi Nibbāna sekalipun, saya yakin tetap menggunakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dia tetap membutuhkan Sīla, Samādhi, dan Paññā untuk merealisasi Nibbāna. Kalau kita melihat definisi-definisi Nibbāna dalam sutta, Nibbāna mengacu pada kematangan atau kedewasaan dalam pengalaman batin (maturity of mental experience). Kedewasaan batin tidak mungkin dicapai tanpa sīla, samādhi dan paññā.
Seperti yang diketahui bahwa pertapa Bahiya mencapai kesucian arahat setelah mendengar khotbah singkat Sang Buddha. Dalam khotbah tersebut, tampak Sang BUddha tidak menjelaskan mengenai Sīla. Bisakah anda menjelaskan secara lebih jelas bagaimana pertapa Bahiya memperoleh kesempurnaan dalam Sīla untuk mencapai kesucian arahat pada saat itu?
Thanks.
Saat Sang Buddha menjelaskan ajaranNya kepada Bahiya, memang beliau tidak menyinggung soal sīla. Akan tetapi, Bahiya adalah seorang praktisi yang tekun. Dalam Aṭṭhakathā diceritakan bahwa dia dihormati oleh orang-orang yang menjadi pendukungnya. Karena itu, ia pun berkesimpulan bahwa dirinya adalah orang yang telah tercerahkan. Saya pikir kalau Bahiya tidak memiliki moralitas sulit baginya mendapatkan penghormatan dari pendukungnya kalau dia tidak memiliki moral yang baik.
Dan dalam Aṭṭhakathā pun, tampak sekali bahwa sejak awal beliau sudah membohongi banyak orang karena ketika orang2 menganggap dia pertapa, ia hanya menerima anggapan2 mereka padahal ia tahu bahwa pada awalnya ia bukan seorang pertapa. 
Kebohongan di tingkat awal mungkin terjadi. Akan tetapi, apakah setelah itu apakah dia tidak memiliki praktik sebagai pertapa yang sungguhan? Apakah dia menjadi pertapa hanya di hadapan pendukungnya, sementara saat berada di belakang umatnya dia uga;-ugalan? Saya punya keyakinan bahwa di kemudian hari dia memiliki praktik yang serius. 
			
 
			
			
				Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 01:45:04 PM
Pilindavaccha memang tergolong orang yang cepla-ceplos dalam bicara. Menurut Aṭṭhakathā, itu telah menjadi kebiasaannya sejak dalam kelahiran yang lampau. 
Dalam Abhayarājakumārasutta, dijelaskan bahwa ada delapan bentuk ucapan. Dua di antaranya adalah:
1.   Benar      Bermanfaat         Menyenangkan dan disetujui
2.   Benar     Bermanfaat         Tidak menyenangkan dan tidak disetujui
Saya pikir Pilindavaccha menggunakan theory yang kedua. Ucapannya terasa kasar, namun itu tidak dilandasi oleh niat untuk menghina atau merendahkan orang lain. Kalau memang sammāvāca bisa dikesampingkan, lalu apa gunanya Sang Buddha meletakkan sammāvāca menjadi salah satu elemen dari Jalan Mulia Berunsur Delapan? Sang Buddha menempatkan sammāvāca sebagai bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan tentu mempunyai alasan yang jelas.
Sekarang uraian samma vaca mencakup "tidak berbicara kasar", dan menurut anda tidak ada jalan lain mencapai kesucian kecuali Jalan Mulia Berunsur Delapan. Di lain pihak, ada Arahat yang berbicara kasar. Bukankah ini kontradiktif? 
			
 
			
			
				Quote from: char101 on 11 November 2009, 12:40:44 PM
Quote from: gachapin on 11 November 2009, 11:57:43 AM
Seperti biasa, versi Kalama Sutta yang disensor.
Kenapa sih orang-orang senang sekali memakai Kalama Sutta yang disensor?
Mungkin yang disensor sapaannya, "Now Kalamas...". Pernyataan tersebut ditujukan spesifik kepada suka Kalama, bukan kepada "Oh bhikkhus" atau kepada "householders".
Jadi maksud Sang Buddha harus dilihat berdasarkan konteks Suku Kalama. Suku Kalama pada saat itu belum mengenal ajaran Buddha, dan mereka juga memiliki 2 orang guru yang saling bertentangan. Jadi Sang Buddha mengatakan jangan bergantung pada tradisi atau ajaran guru untuk mempersiapkan suku Kalama untuk mendengar ajaran Sang Buddha untuk pertama kalinya. Kemudian Sang Buddha mengajarkan tentang lobha, dosa, moha yang membawa penderitaan, dan alobha, adosa, amoha yang membawa kebahagiaan serta 4 brahmavihara yang kalau dikembangkan akan membawa kepastian akan kelahiran di tempat yang baik sehingga suku Kalama bisa menghilangkan keragu-raguannya akan ajaran mana yang akan membawa kebahagiaan.
Bicara soal Kalamasutta, ada seorang sarjana Buddhist di Sri Lanka yang menulis bahwa dalam sutta tersebut, ketika Sang BUddha mengajak suku Kālāma untuk menyelidiki beberapa ajaran yang muncul dari berbagai sumber, kalimat yang pantas, menurutnya, adalah "Ettha  tumhe,  kālāmā" yang berarti, "In this context, you, O, Kalama", dan bukan seperti yang umumnya ditulis di Caṭṭhasangayana atau PTS yang berbunyi, "Etha  tumhe,  kālāmā" - "Come, you, o, Kālāma". Meskipun kalimat terakhir diambil langsung dari Tipiṭaka, kita juga tidak memungkiri bahwa terkadang ada kesalahan2 penulisan. Bisa juga apa yang dikatakan oleh sarjana Buddhist tersebut benar bahwa kalimat "etha, tumhe, kālāmā" merupakan kesalahan penulisan. 
Jika kita menerima apa yang diajukan sarjana BUddhist tersebut, jawaban Sang BUddha kaitannya terhadap penelitian kembali ajaran2 yang muncul dari beberapa sumber di Kalama sutta, tidak selalu menjadi patokan bahwa semua Buddhist harus mengalami sendiri ajaran dan baru kemudian meyakininya. Kita pun bisa meyakini terlebih dulu apa yang diajarkan Sang BUddha meskipun kita belum mengalaminya. Sebagai contoh, meskipun seseorang belum mencapai nibbāna, ia pun secara bebas bisa meyakini bahwa nibbāna bisa dicapai. Dan menariknya,  dalam kesempatan lain, Sang Buddha sendiri seringkali mengajak para pendengarnya untuk memiliki keyakinan (saddha) terhadap seorang guru sebelum mempraktikkan ajarannya. Poin ini salah satunya ditemukan dalam Caṅkisutta.... 
Be happy.
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 11 November 2009, 02:06:18 PM
Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 01:45:04 PM
Pilindavaccha memang tergolong orang yang cepla-ceplos dalam bicara. Menurut Aṭṭhakathā, itu telah menjadi kebiasaannya sejak dalam kelahiran yang lampau. 
Dalam Abhayarājakumārasutta, dijelaskan bahwa ada delapan bentuk ucapan. Dua di antaranya adalah:
1.   Benar      Bermanfaat         Menyenangkan dan disetujui
2.   Benar     Bermanfaat         Tidak menyenangkan dan tidak disetujui
Saya pikir Pilindavaccha menggunakan theory yang kedua. Ucapannya terasa kasar, namun itu tidak dilandasi oleh niat untuk menghina atau merendahkan orang lain. Kalau memang sammāvāca bisa dikesampingkan, lalu apa gunanya Sang Buddha meletakkan sammāvāca menjadi salah satu elemen dari Jalan Mulia Berunsur Delapan? Sang Buddha menempatkan sammāvāca sebagai bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan tentu mempunyai alasan yang jelas.
Sekarang uraian samma vaca mencakup "tidak berbicara kasar", dan menurut anda tidak ada jalan lain mencapai kesucian kecuali Jalan Mulia Berunsur Delapan. Di lain pihak, ada Arahat yang berbicara kasar. Bukankah ini kontradiktif? 
Saya melihat tidak ada kontradiksi dalam hal ini. Kita perlu melihat apakah niat orang itu untuk berbicara kasar? Lagi pula, tidak semua orang bisa dididik dengan cara yang lemah lembut. Ada orang-orang yang bisa dijinakkan setelah mereka diajari dengan kasar.
			
 
			
			
				Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 02:24:13 PM
Saya melihat tidak ada kontradiksi dalam hal ini. Kita perlu melihat apakah niat orang itu untuk berbicara kasar? Lagi pula, tidak semua orang bisa dididik dengan cara yang lemah lembut. Ada orang-orang yang bisa dijinakkan setelah mereka diajari dengan kasar.
Kalau begitu jawaban anda, berarti JMB 8 tidak konsisten. Seharusnya Samma Vaca memuat "tidak bicara kasar, kecuali diperlukan." Mungkin juga nanti akan dipertanyakan lagi tentang white lies, apakah perlu; apakah mencuri dengan niat "Robin Hood" itu diperbolehkan, dst. 
			
 
			
			
				 [at] dhammasiri, bila seseorng mash maen internet dan debat kusir brarti mash blum cpai sotapanna ya? Oh, icic.
			
			
			
				Quote from: Johsun on 11 November 2009, 03:42:11 PM
 [at] dhammasiri, bila seseorng mash maen internet dan debat kusir brarti mash blum cpai sotapanna ya? Oh, icic.
Saya tidak mengatakan bahwa orang yang main internet berarti belum mencapai sotapanna. Saya hanya mengatakan bahwa orang-orang yang telah mencapai kesucian sotapanna akan lebih fokus pada praktik. Mereka berkeinginan untuk bisa secepatnya merealisasi kebebasan terakhir. Mereka tidak akan mau menunda apa yang harus mereka lakukan. Sementara kita masih selalu menunda bahkan enggan untuk merealisasi Nibbāna.
			
 
			
			
				Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 04:05:30 PM
Quote from: Johsun on 11 November 2009, 03:42:11 PM
 [at] dhammasiri, bila seseorng mash maen internet dan debat kusir brarti mash blum cpai sotapanna ya? Oh, icic.
Saya tidak mengatakan bahwa orang yang main internet berarti belum mencapai sotapanna. Saya hanya mengatakan bahwa orang-orang yang telah mencapai kesucian sotapanna akan lebih fokus pada praktik. Mereka berkeinginan untuk bisa secepatnya merealisasi kebebasan terakhir. Mereka tidak akan mau menunda apa yang harus mereka lakukan. Sementara kita masih selalu menunda bahkan enggan untuk merealisasi Nibbāna.
makanya segera hentikan kebiasaan bermain internet ya.  ;D
			
 
			
			
				 _/\_
Saya bangga akan rekan - rekan DhammaCitta ..
walaupun umurnya masih relatip muda tapi mempunyai basic Buddhis yang kuat sekali .
Saya mengerti apa yang dikatakan rekan Peacemind seorang yang telah mencapai Soptapanna yang di maksud  adalah seorang Soptapanna sejati ..bukannya ..seorang Soptapanna gadungan atau sok soptapanna.
yang keyakinannya masih dapat tergoyakan ( dan ini mungkin bukan rahasia lagi banyak sok berprilaku Soptapanna ) 
Mungkin penjelasan saya dapat meluruskan debat kusir ini .
Saya bangga dan bahagia rekan - rekan DhammaCitta yang relatip muda ..
rasanya dapat diandalkan sebagai Cikal bakal generasi penerus Buddhis di Indonesia .
sadhu. sadhu. sadhu.
salam Metta 
			
			
			
				Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 09:29:47 AM
Dear friend,
Kadang kita menemukan orang yang beragama Buddha, atau gampangnya mengaku beragama Buddha, kemudian pindah agama, atau masih tetap mengaku beragama Buddha tetapi juga meyakini dan mempraktikkan agama lain. Yang menjadi pertanyaan, apakah mungkin seorang yang telah mencapai kesucian sotapanna berpindah agama? Mungkinkah orang yang telah melihat Nibbāna masih percaya dan mempraktikkan ajaran agama lain?
Thanks
menurut saya,
jgn pakai kata agama deh...
sebab ajaran Buddha tidak bisa disetarakan pada level agama (sistem kepercayaan).
saya lebih suka menyebut dhamma ini sebagai "ajaran" Buddha.
& menurut saya orang yg sudah mematahkan belenggu "kemelekatan thd ritual" tidak akan punya agama lagi.
terutama utk sotapanna,
keraguannya sirna karena ia telah mengetahui sendiri, bukan karena kepercayaan.
kata "agama"  tidak terhindarkan hanya karena di Indonesia, kita "wajib" beragama. jd IMO, sotapanna hanya beragama di KTP kalau di Indonesia. sisanya yg ada bukan kepercayaan, namun adalah pengetahuan (nyana).
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 11 November 2009, 02:06:18 PM
Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 01:45:04 PM
Pilindavaccha memang tergolong orang yang cepla-ceplos dalam bicara. Menurut Aṭṭhakathā, itu telah menjadi kebiasaannya sejak dalam kelahiran yang lampau. 
Dalam Abhayarājakumārasutta, dijelaskan bahwa ada delapan bentuk ucapan. Dua di antaranya adalah:
1.   Benar      Bermanfaat         Menyenangkan dan disetujui
2.   Benar     Bermanfaat         Tidak menyenangkan dan tidak disetujui
Saya pikir Pilindavaccha menggunakan theory yang kedua. Ucapannya terasa kasar, namun itu tidak dilandasi oleh niat untuk menghina atau merendahkan orang lain. Kalau memang sammāvāca bisa dikesampingkan, lalu apa gunanya Sang Buddha meletakkan sammāvāca menjadi salah satu elemen dari Jalan Mulia Berunsur Delapan? Sang Buddha menempatkan sammāvāca sebagai bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan tentu mempunyai alasan yang jelas.
Sekarang uraian samma vaca mencakup "tidak berbicara kasar", dan menurut anda tidak ada jalan lain mencapai kesucian kecuali Jalan Mulia Berunsur Delapan. Di lain pihak, ada Arahat yang berbicara kasar. Bukankah ini kontradiktif? 
Maaf nyela Bro Kain..
Bagaimana pendapat Anda? Apakah yg dikategorikan berbicara kasar itu diawali dengan niat utk berbicara kasar, menyakiti lawan bicara atau tanpa niat?
Jika penilaian berbicara kasar berdasarkan dari perasaan orang yg mendengar kata2 lawan bicara, maka hal itu subjektif sekali.. Tidak dapat dijadikan patokan. Bagaimana perkataan Sang Buddha ttg penilaiannya thdp putri seorang brahmana memberi pengertian yg berbeda pd kedua orang tua brahmana tsb, yaitu pencapaian kesucian dan bagaimana kalimat yg sama membuat putri tsb menjadi membenci Sang Buddha.
Bahkan jika Anda berbicara tanpa niat utk tidak sopan apalagi kasar, tetapi dengan cara yg sama seperti Anda berbicara pd seorang biasa, padahal Anda berbicara dengan seorang nigrat atau raja, Anda akan dinilai berbicara kasar. Sedangkan arahat Pilindavaccha itu berbicara tanpa niat utk mengasari atau menyakiti lawan bicara, bukankah hal tsb telah diklarifikasi Sang Buddha sendiri pd akhir cerita? :D
			
 
			
			
				waktu diskusi sama bhante, saya tanya mengenai "Bagaimana rasanya menjadi Sotapanna"
bhante jawab "itu pertanyaan gila"
sebab "apa yang belum dialami, malah sudah di pikirkan"
			
			
			
				Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 02:02:42 PM
Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 01:36:21 PM
Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 01:27:42 PM
Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 11:05:36 AM
Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 10:54:00 AM
Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 10:31:14 AM
Saya memiliki pertanyaan lain. Apakah seseorang yang telah mencapai sotapanna tidak mempercayai Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai Jalan untuk mencapai kesucian?
Thanks.
Kalau memang tidak percaya, apakah ada jalan lain? Kalau memang tidak percaya, berarti dia telah menggunakan jalan lain. Lalu jalan apakah itu? Seperti Bahiya Darucciriya, yang paling cepat merealisasi Nibbāna sekalipun, saya yakin tetap menggunakan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dia tetap membutuhkan Sīla, Samādhi, dan Paññā untuk merealisasi Nibbāna. Kalau kita melihat definisi-definisi Nibbāna dalam sutta, Nibbāna mengacu pada kematangan atau kedewasaan dalam pengalaman batin (maturity of mental experience). Kedewasaan batin tidak mungkin dicapai tanpa sīla, samādhi dan paññā.
Seperti yang diketahui bahwa pertapa Bahiya mencapai kesucian arahat setelah mendengar khotbah singkat Sang Buddha. Dalam khotbah tersebut, tampak Sang BUddha tidak menjelaskan mengenai Sīla. Bisakah anda menjelaskan secara lebih jelas bagaimana pertapa Bahiya memperoleh kesempurnaan dalam Sīla untuk mencapai kesucian arahat pada saat itu?
Thanks.
Saat Sang Buddha menjelaskan ajaranNya kepada Bahiya, memang beliau tidak menyinggung soal sīla. Akan tetapi, Bahiya adalah seorang praktisi yang tekun. Dalam Aṭṭhakathā diceritakan bahwa dia dihormati oleh orang-orang yang menjadi pendukungnya. Karena itu, ia pun berkesimpulan bahwa dirinya adalah orang yang telah tercerahkan. Saya pikir kalau Bahiya tidak memiliki moralitas sulit baginya mendapatkan penghormatan dari pendukungnya kalau dia tidak memiliki moral yang baik.
Dan dalam Aṭṭhakathā pun, tampak sekali bahwa sejak awal beliau sudah membohongi banyak orang karena ketika orang2 menganggap dia pertapa, ia hanya menerima anggapan2 mereka padahal ia tahu bahwa pada awalnya ia bukan seorang pertapa. 
Kebohongan di tingkat awal mungkin terjadi. Akan tetapi, apakah setelah itu apakah dia tidak memiliki praktik sebagai pertapa yang sungguhan? Apakah dia menjadi pertapa hanya di hadapan pendukungnya, sementara saat berada di belakang umatnya dia uga;-ugalan? Saya punya keyakinan bahwa di kemudian hari dia memiliki praktik yang serius. 
_/\_ Sdr Peacemind dan Dhammasiri..
Permisi.. Ikutan masuk dlm diskusi.. Menurut saya sila sbg landasan dasar pengembangan samadhi adl seseorang tdk melanggar sila pd saat mengembangkan samma-samadhi. Ini spt cerita pencapaian sotapanna oleh seorang pemabuk itu, saat dia mencapai sotapanna, dia tidak dalam keadaan mabuk. Bukan berarti karena dia pernah mabuk maka tidak dapat mencapai sotapanna. Demikian pula pencapaian samadhi terjadi pada saat seseorang bukan tengah melanggar sila, bukan berarti pencapaian samadhi tidak dapat terjadi pada seseorang yg pernah melanggar sila atau pencapaian samadhi hanya dapat dicapai oleh mereka yg silanya sempurna tanpa cela. Demikian pula mengapa seorang angulimala dapat mencapai kesucian meski membunuh 999 nyawa. Beginilah pengertian saya mengenai 'sila sbg landasan pengembangan samadhi'. Tentu selain tidak sedang melanggar sila, ybs tidak memiliki kebingungan atau keragu2an pula ttg kesalahannya yg telah lalu. 
Kalau saya tidak salah juga pengertian silabbataparamasa = menganggap sila dan ritual sbg yg tertinggi bukan? Paham bahwa praktik moralitas adl yg tertinggi pada masa Sang Buddha salah 1 nya dianut oleh para Jain dan penganutnya. Karena menganggap moralitas adl tertinggi, maka mereka mentok pd level segitu. Sedangkan pengertian Sang Buddha adlh tidak cukup hanya sila saja dalam merealisasi kesucian, tanpa bermaksud merendahkan peranan sila.
Soal Bahiya, jika kita tarik dari belakang, bukankah beliau melakukan perjalanan jarak jauh dari kota asalnya ke tempat Sang Buddha dalam waktu yg singkat? Bukankah itu mengasumsikan bahwa beliau memiliki kesaktian utk melakukan semacam terbang atau teleport? Jika demikian, berarti beliau memiliki Abhinna. Jika memiliki abhinna berarti beliau telah memiliki vasi dalam Jhana. Jika telah menguasai Jhana berarti telah mencapai Samadhi bahkan menguasai Samadhi dg baik. Dan persyaratan utk memasuki samadhi adalah bebas dari 5 rintangan batin yg kongruen dengan menjalankan sila. Jika memang demikian, masih perlukah Sang Buddha membabarkan dhamma dari awal mengenai Sila dan Samadhi? Salah 1 syarat pembabaran Dhamma dikatakan Sang Buddha: dibabarkan langkah demi langkah. Bagaimana menurut Anda? Tidak perlu lagi bukan mengulang ajari seorang Mahasiswa Teknik pelajaran IPA dasar yg dipelajari di SD? ;D
Karena itu bila kita menerima kenyataan Sang Buddha membabarkan Dhamma per langkah demi langkah sesuai kondisi pendengarnya, tidak ada pertentangan yg ditemukan antara 'vipassana' versi Bahiya Sutta dengan versi Satipatthana Sutta. 
CMIIW
Mettacittena,
_/\_
			
 
			
			
				For Dhamma friend, Jerry:
Saya setuju sekali dengan penjelasan anda. Namun ada satu yang masih saya ragukan yaitu tentang Bahiya yang diperkirakan mempunyai abhiññā. Adakah sumber yang mengatakn demikian? Thanks.
			
			
			
				Quote from: Peacemind on 12 November 2009, 12:27:15 AM
For Dhamma friend, Jerry:
Saya setuju sekali dengan penjelasan anda. Namun ada satu yang masih saya ragukan yaitu tentang Bahiya yang diperkirakan mempunyai abhiññā. Adakah sumber yang mengatakn demikian? Thanks.
Saya pernah membaca penjelasan dari Romo Cunda bahwa Bahiya yg menempuh perjalanan ribuan yojana dalam waktu singkat. Jika tak salah ada dlm 1 thread lama di forum ini. Tapi upaya mencari itu tentu seperti mencari jerami dalam tumpukan jarum. ;D
Jika memang beliau dapat menempuh jarak demikian dalam waktu singkat, pastilah beliau memiliki abhinna bukan karena naik Air Asia. Ini hanya penalaran belaka saya. _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Peacemind on 12 November 2009, 12:27:15 AM
For Dhamma friend, Jerry:
Saya setuju sekali dengan penjelasan anda. Namun ada satu yang masih saya ragukan yaitu tentang Bahiya yang diperkirakan mempunyai abhiññā. Adakah sumber yang mengatakn demikian? Thanks.
_/\_ Sdr Peacemind,
Nah.. ketemu.. Ternyata mencari jerami di dalam tumpukan jarum memang tidak sulit. hehehe.. :D
Tentang jarak dari Supparaka ke Savatthi yg konon jauh itu dapat Anda baca di sini:
http://dhammacitta.org/forum/index.php?;topic=5337.0
Mettacittena,
_/\_
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 12 November 2009, 12:47:53 AM
Quote from: Peacemind on 12 November 2009, 12:27:15 AM
For Dhamma friend, Jerry:
Saya setuju sekali dengan penjelasan anda. Namun ada satu yang masih saya ragukan yaitu tentang Bahiya yang diperkirakan mempunyai abhiññā. Adakah sumber yang mengatakn demikian? Thanks.
_/\_ Sdr Peacemind,
Nah.. ketemu.. Ternyata mencari jerami di dalam tumpukan jarum memang tidak sulit. hehehe.. :D
Tentang jarak dari Supparaka ke Savatthi yg konon jauh itu dapat Anda baca di sini:
http://dhammacitta.org/forum/index.php?;topic=5337.0
Mettacittena,
_/\_
Yap, dah dibaca. Thanks.  Sebenarnya istilah "Sabbattha ekarattiparivāsena" yang diterjemahkn ke Indo sebagai " hanya dalam waktu semalaman" jika diartikan kata demi kata akan menjadi "staying / stopping only for one night everywhere". Dalam hal ini, jika kita menerjemahkan secara literal, selama perjalanan ia beristirahat hanya satu malam. Ini sesuai dengan terjemahan John D. Ireland dalam bukunya "The Udana and Itivuttaka".
Memang menurut Bāhiyasutta dan Kitab Komentar ia berangkat ke Savatthi dari Suppāraka yang berjarak 120 yojana (720 miles) dari Savatthi. Dan Kitab komentar mengatakan bahwa ia memang melakukan perjalanan hanya semalaman. Akan tetapi, kitab komentar tidak mengatakan bahwa Bahiya memiliki kekuatan gaib / abhiññā. Dikatakan bahwa ia bisa melakukan perjalanan hanya semalam karena kekuatan gaib dewa yang mengingatkannya. Smentara itu, kitab komentar yang sama mengatakn bahwa menurut beberapa orang, ia bisa menyelesaikan perjalanannya hanya dalam waktu yang singkat itu melalui kekuatan Sang Buddha.
Be happy. 
			
 
			
			
				120yojana? 720 mil?? :o Sekitar hampir 1400km kalau saya tidak salah? :o
Karena tidak tahu, asumsi selama ini hanya bahwa dengan kekuatan dewa beliau mampu menempuh jarak demikian. Dan ada pula kemungkinan bahwa beliau memiliki abhinna bukan? Yg jelas bukan dengan kemampuan biasa seseorang dpt melakukan perjalanan demikian dalam waktu semalam. Jelas bagi saya lebih nyambung 'abhinna' dengan kemampuan beliau merealisasi 'kesucian'. Pun andai tidak memiliki abhinna, masih tetap dapat dipahami bagaimana realisasi beliau saat mendengar khotbah singkat Sang Buddha melalui rangkuman berbagai khotbah Sang Buddha dalam sutta2 lain. :)
mettacittena
_/\_
			
			
			
				Quote from: Jerry on 11 November 2009, 11:22:15 PM
Maaf nyela Bro Kain..
Bagaimana pendapat Anda? Apakah yg dikategorikan berbicara kasar itu diawali dengan niat utk berbicara kasar, menyakiti lawan bicara atau tanpa niat?
Jika penilaian berbicara kasar berdasarkan dari perasaan orang yg mendengar kata2 lawan bicara, maka hal itu subjektif sekali.. Tidak dapat dijadikan patokan. Bagaimana perkataan Sang Buddha ttg penilaiannya thdp putri seorang brahmana memberi pengertian yg berbeda pd kedua orang tua brahmana tsb, yaitu pencapaian kesucian dan bagaimana kalimat yg sama membuat putri tsb menjadi membenci Sang Buddha.
Bahkan jika Anda berbicara tanpa niat utk tidak sopan apalagi kasar, tetapi dengan cara yg sama seperti Anda berbicara pd seorang biasa, padahal Anda berbicara dengan seorang nigrat atau raja, Anda akan dinilai berbicara kasar. Sedangkan arahat Pilindavaccha itu berbicara tanpa niat utk mengasari atau menyakiti lawan bicara, bukankah hal tsb telah diklarifikasi Sang Buddha sendiri pd akhir cerita? :D
Intinya dikatakan semua harus melewati JMB 8 untuk mencapai magga-phala. JMB 8 memuat tidak bicara kasar, bukan "tidak bermaksud bicara kasar" yang seharusnya dimuat dalam Samma Sankhappa, bukan Samma Vaca. Dengan demikian, fakta ada Arahat bicara kasar membuat kontradiksi. Buddha memang membenarkan Pilinda Vaca yang tidak memiliki niat buruk, tetapi adalah fakta bahwa tindakan Pilinda Vaca tidak bersesuaian dengan JMB 8. Lebih jauh lagi, pada akhir cerita, Buddha memberikan syair berikut:
"Dia kusebut brahmana, yang berbicara lembut, membangun, dan berkata benar, dan 
tidak menyinggung siapa pun dengan ucapannya." Apakah tidak ada yang tersinggung dengan ucapan Pilinda Vaca, atau Pilinda Vaca bukan seorang Brahmana? 
Pendapat saya sederhana, JMB 8 bisa saja merupakan jalan menuju magga-phala, namun bukan satu-satunya jalan di mana semua ariya mesti melewati jalan tersebut. Kita tahu bahwa dari pikiran, ucapan, perbuatan badani, yang menentukan adalah pikiran. Kalau mau konsisten demikian, seharusnya Samma Vaca dan Samma Kammanta tidak perlu ada, karena sudah termuat dalam Samma Sankappa. 
			
 
			
			
				 [at]  kainyn
JMB 8 itu satu kesatuan dan saling terkait satu sama lain dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Jadi berkaitan sama vacca ada hubungannya dengan pikiran benar yg mengandung niat. Benar kata mas jerry, kalau melihatnya melulu dari pendengar menjadi subjektif dan relatif. Bagaimana mungkin sesuatu yg relatif dipersamakan pada realita yg hakiki.
Yg Anda bold 'tidak menyinggung siapapun dengan ucapannya', kembali kepada kedewasaan pendengarnya. Kalau pendengarnya sensi maka justifikasi terhadap sama vacca menjadi kabur. Contoh telah diberikan jelas oleh mas Jerry ttg ucapan Sang Buddha terhadap seorang putri brahmana. Dalam hal ini apakah Buddha lebih rendah dari brahmana atau Buddha sempurna dalam ucapannya?, dan karena terdengar kasar dan menyinggung lalu dapatkah Buddha juga dikatakan tidak Samma vacca?
 
Melihat Samma vacca haruslah tidak juga dilihat melulu dari respon pendengar tetapi lebih kepada proses pikiran yg muncul sebelum kata2 itu terucap dalam hal ini sebagai pencetus adalah niat dan kebijaksanaan dan kondisi batin seseorang.
 Menurut bro kainyn pribadi, apa definisi sama vacca? dan apa definisi tidak bicara kasar?
 _/\_
			
			
			
				Quote from: bond on 12 November 2009, 09:23:21 AM
 [at]  kainyn
JMB 8 itu satu kesatuan dan saling terkait satu sama lain dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Jadi berkaitan sama vacca ada hubungannya dengan pikiran benar yg mengandung niat. Benar kata mas jerry, kalau melihatnya melulu dari pendengar menjadi subjektif dan relatif. Bagaimana mungkin sesuatu yg relatif dipersamakan pada realita yg hakiki.
Yg Anda bold 'tidak menyinggung siapapun dengan ucapannya', kembali kepada kedewasaan pendengarnya. Kalau pendengarnya sensi maka justifikasi terhadap sama vacca menjadi kabur. Contoh telah diberikan jelas oleh mas Jerry ttg ucapan Sang Buddha terhadap seorang putri brahmana. Dalam hal ini apakah Buddha lebih rendah dari brahmana atau Buddha sempurna dalam ucapannya?, dan karena terdengar kasar dan menyinggung lalu dapatkah Buddha juga dikatakan tidak Samma vacca?
Dalam kasus Magandhiya, Buddha tidak berkata kasar apa pun, hanya mengungkapkan kebenaran saja bahwa tubuh sebetulnya kotoran yang dibungkus kulit. Berbeda dengan kasus Pilinda Vaca, ia terbiasa memanggil orang dengan "vasala" walaupun orang tersebut berasal dari kasta tinggi. 
QuoteMelihat Samma vacca haruslah tidak juga dilihat melulu dari respon pendengar tetapi lebih kepada proses pikiran yg muncul sebelum kata2 itu terucap dalam hal ini sebagai pencetus adalah niat dan kebijaksanaan dan kondisi batin seseorang.
 Menurut bro kainyn pribadi, apa definisi sama vacca? dan apa definisi tidak bicara kasar?
 _/\_
Saya setuju bahwa semua dikembalikan pada diri sendiri, kembali kepada pikiran. Oleh karena itu, samma vaca (ucapan benar) dan samma kammanta (perbuatan benar) sifatnya relatif terhadap samma sankappa (pikiran benar) karena semua kembali lagi pada "niat"-nya. Karena berkenaan dengan pikiran, dhamma tidak mungkin disistematisasi secara kasar. Secara umum, mungkin bisa, seperti halnya JMB 8 saya lihat sebagai "panduan umum" yang bermanfaat. Tetapi kalau "dipatok" sebagai harga mati, saya rasa itu keliru. 
Samma Vaca definisi saya secara sederhana adalah ucapan yang keluar dari pikiran benar.  
			
 
			
			
				QuotePendapat saya sederhana, JMB 8 bisa saja merupakan jalan menuju magga-phala, namun bukan satu-satunya jalan di mana semua ariya mesti melewati jalan tersebut. Kita tahu bahwa dari pikiran, ucapan, perbuatan badani, yang menentukan adalah pikiran. Kalau mau konsisten demikian, seharusnya Samma Vaca dan Samma Kammanta tidak perlu ada, karena sudah termuat dalam Samma Sankappa.
Apakah benar Anda ingin konsisten? Kalau memang mau konsisten, mestinya faktor-faktor yang lain dari JMB 8 selain sammā-sankappa dibuang saja. Bukankah sammā-diṭṭhi, sammā-vayama, sammā-sati dan sammā-samādhi sumbernya adalah pikiran? Kalau memang begitu, tidak perlu ada JMB 8 karena sammā-saṅkappa sudah cukup untuk mewakili semua unsur JMB 8. Bagaimana pendapat anda?
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 10:26:18 AM
Quote from: bond on 12 November 2009, 09:23:21 AM
 [at]  kainyn
JMB 8 itu satu kesatuan dan saling terkait satu sama lain dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Jadi berkaitan sama vacca ada hubungannya dengan pikiran benar yg mengandung niat. Benar kata mas jerry, kalau melihatnya melulu dari pendengar menjadi subjektif dan relatif. Bagaimana mungkin sesuatu yg relatif dipersamakan pada realita yg hakiki.
Yg Anda bold 'tidak menyinggung siapapun dengan ucapannya', kembali kepada kedewasaan pendengarnya. Kalau pendengarnya sensi maka justifikasi terhadap sama vacca menjadi kabur. Contoh telah diberikan jelas oleh mas Jerry ttg ucapan Sang Buddha terhadap seorang putri brahmana. Dalam hal ini apakah Buddha lebih rendah dari brahmana atau Buddha sempurna dalam ucapannya?, dan karena terdengar kasar dan menyinggung lalu dapatkah Buddha juga dikatakan tidak Samma vacca?
Dalam kasus Magandhiya, Buddha tidak berkata kasar apa pun, hanya mengungkapkan kebenaran saja bahwa tubuh sebetulnya kotoran yang dibungkus kulit. Berbeda dengan kasus Pilinda Vaca, ia terbiasa memanggil orang dengan "vasala" walaupun orang tersebut berasal dari kasta tinggi. 
Jika demikian yg terjadi adalah subjektifitas dari pendengar bukan? Jika Sang Buddha tidak berbicara kasar saja melainkan kebenaran juga dianggap kasar/penghinaan bagi si putri brahmana tsb .  Demikian pula dengan Pilinda Vaca. Yg tentunya telah dijelaskan oleh Sang Buddha mengapa hal itu terjadi, dan saya yakin apa yg sering dikatakan Pilinda Vaca tidak semua orang merasa tersinggung. Dan mungkin dengan keberadaan Sang Buddha, mereka yg menganggap kasar(subjektif) memerlukan konfirmasi tentang apa yg terjadi agar terhindar dari penilaian yg spekulatif.
QuoteMelihat Samma vacca haruslah tidak juga dilihat melulu dari respon pendengar tetapi lebih kepada proses pikiran yg muncul sebelum kata2 itu terucap dalam hal ini sebagai pencetus adalah niat dan kebijaksanaan dan kondisi batin seseorang.[/color][/size]
 Menurut bro kainyn pribadi, apa definisi sama vacca? dan apa definisi tidak bicara kasar?
 _/\_
Saya setuju bahwa semua dikembalikan pada diri sendiri, kembali kepada pikiran. Oleh karena itu, samma vaca (ucapan benar) dan samma kammanta (perbuatan benar) sifatnya relatif terhadap samma sankappa (pikiran benar) karena semua kembali lagi pada "niat"-nya. Karena berkenaan dengan pikiran, dhamma tidak mungkin disistematisasi secara kasar. Secara umum, mungkin bisa, seperti halnya JMB 8 saya lihat sebagai "panduan umum" yang bermanfaat. Tetapi kalau "dipatok" sebagai harga mati, saya rasa itu keliru. 
Secara format tentu tidak perlu harga mati seperti yg bro pernah uraikan bukan? tetapi secara nilai itu harga mati yg harus dilalui untuk menjadi seorang ariya.
Samma Vaca definisi saya secara sederhana adalah ucapan yang keluar dari pikiran benar. --->great
 
			 
			
			
				Quote from: dhammasiri on 12 November 2009, 10:43:56 AM
QuotePendapat saya sederhana, JMB 8 bisa saja merupakan jalan menuju magga-phala, namun bukan satu-satunya jalan di mana semua ariya mesti melewati jalan tersebut. Kita tahu bahwa dari pikiran, ucapan, perbuatan badani, yang menentukan adalah pikiran. Kalau mau konsisten demikian, seharusnya Samma Vaca dan Samma Kammanta tidak perlu ada, karena sudah termuat dalam Samma Sankappa.
Apakah benar Anda ingin konsisten? Kalau memang mau konsisten, mestinya faktor-faktor yang lain dari JMB 8 selain sammā-sankappa dibuang saja. Bukankah sammā-diṭṭhi, sammā-vayama, sammā-sati dan sammā-samādhi sumbernya adalah pikiran? Kalau memang begitu, tidak perlu ada JMB 8 karena sammā-saṅkappa sudah cukup untuk mewakili semua unsur JMB 8. Bagaimana pendapat anda?
Saya beri contoh. Saya setuju sebaiknya kita bicara tidak kasar. Tetapi apakah bicara baik-baik yang bukan bohong, bukan gossip selalu merupakan ucapan benar? Misalnya ada orang menguraikan dhamma dengan kata-kata sopan, namun ia ingin menyinggung orang lain, didasari kekesalan dan kebencian, bagi saya itu bukan Samma Vaca, walaupun secara umum saya setuju Samma Vaca adalah perkataan tidak kasar. 
Apakah perlu point-point dalam Samma Vaca kemudian dibuang demi konsistensi? Buat saya tidak, karena saya memang tidak mengatakan jalan magga-phala HANYA JMB 8, di mana semua pasti lewat sana (sehingga terjadi inkonsistensi dengan kasus Pilinda Vaca). Berbeda dengan anda yang mengatakan "semua harus lewat JMB 8", maka mungkin sudah saatnya anda merevisi konsistensi JMB 8 menjadi JMB 1 atau 2 saja. 
			
 
			
			
				For all Dhamma friends:
Berbicara mengenai 'bicara yang tampaknya kasar', Sang Buddha terkadang juga mengeluarkan kata2 demikian. Satu contoh, dalam Vinayapiṭaka, ketika beliau mengecam bhikkhu Sudhinna yang melakukan hubungan seks dengan mantan istrinya, beliau mengatakan:
"Varaṃ te, moghapurisa,   kaṇhasappassa   mukhe   aṅgajātaṃ   pakkhittaṃ,   na   tveva  mātugāmassa  aṅgajāte  aṅgajātaṃ pakkhittaṃ - O, manusia kosong, akan lebih baik bagimu untuk memasukkan organ seksmu ke mulut ular hitam, daripada memasukkan organ seksmu ke organ seks wanita". 
Meskipun Sang BUddha mengatakan kata2 yang kedengarannya kasar, ini tidak bisa dikatakn sebagai micchavācā karena beliau mengatakan kebenaran. Beliau tidak memiliki niat yang jahat atau kebencian ketika mengatakn demikian. Di samping itu, di Vinaya sendiri, ada satu peraturan bahwa ketika seorang bhikkhu melakukan pelanggaran berat dan musti direhabilitasi, pertama yang harus dilakukan sangha adalah mengecam (rebuke / codana) bhikkhu tersebut. Alasannya, jika ia tidak dikecam terlebih dahulu, ia akan menganggap enteng pelanggaran yang dilakukan tersbt dan memungkinnnya untuk melakukan pelanggaran yang sama di kemudian hari. Sebaliknya, jika ia dikecam terlebih dahulu, ia akn memiliki pengendalian diri di masa datang. Kecaman yang tampak kasar ini tidak bisa dikatakn sebagai micchavācā, bahkan ini bisa dikatakan sebagai sammāvācā (ucapan benar) karena memang diperlukan saat itu.
Be happy.
			
			
			
				Quote from: Peacemind on 12 November 2009, 11:12:04 AM
For all Dhamma friends:
Berbicara mengenai 'bicara yang tampaknya kasar', Sang Buddha terkadang juga mengeluarkan kata2 demikian. Satu contoh, dalam Vinayapiṭaka, ketika beliau mengecam bhikkhu Sudhinna yang melakukan hubungan seks dengan mantan istrinya, beliau mengatakan:
"Varaṃ te, moghapurisa,   kaṇhasappassa   mukhe   aṅgajātaṃ   pakkhittaṃ,   na   tveva  mātugāmassa  aṅgajāte  aṅgajātaṃ pakkhittaṃ - O, manusia kosong, akan lebih baik bagimu untuk memasukkan organ seksmu ke mulut ular hitam, daripada memasukkan organ seksmu ke organ seks wanita". 
Meskipun Sang BUddha mengatakan kata2 yang kedengarannya kasar, ini tidak bisa dikatakn sebagai micchavācā karena beliau mengatakan kebenaran. 
Dikatakan kebenaran karena menurut Buddha, memasukkan organ seks ke mulut ular berbisa bisa menyebabkan kematian atau penderitaan tubuh, tetapi tidak menyebabkan turun ke alam celaka; sedangkan memasukkan organ seksnya ke organ seks wanita (karena ia seorang Brahmacariya) akan menyebabkannya turun ke alam celaka setelah kematian. Itulah kebenarannya. 
Dalam kasus Pilinda Vaca, seseorang yang bukan dari kasta vasala disebut vasala, adakah kebenaran di sana? 
QuoteBeliau tidak memiliki niat yang jahat atau kebencian ketika mengatakn demikian. Di samping itu, di Vinaya sendiri, ada satu peraturan bahwa ketika seorang bhikkhu melakukan pelanggaran berat dan musti direhabilitasi, pertama yang harus dilakukan sangha adalah mengecam (rebuke / codana) bhikkhu tersebut. Alasannya, jika ia tidak dikecam terlebih dahulu, ia akan menganggap enteng pelanggaran yang dilakukan tersbt dan memungkinnnya untuk melakukan pelanggaran yang sama di kemudian hari. Sebaliknya, jika ia dikecam terlebih dahulu, ia akn memiliki pengendalian diri di masa datang. Kecaman yang tampak kasar ini tidak bisa dikatakn sebagai micchavācā, bahkan ini bisa dikatakan sebagai sammāvācā (ucapan benar) karena memang diperlukan saat itu.
Be happy.
Pertanyaan saya sederhana. Samma Vaca mencakup "tidak berkata kasar" ataukah "tidak memiliki niat jahat dalam bicara" ? 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 11:28:59 AM
QuoteBeliau tidak memiliki niat yang jahat atau kebencian ketika mengatakn demikian. Di samping itu, di Vinaya sendiri, ada satu peraturan bahwa ketika seorang bhikkhu melakukan pelanggaran berat dan musti direhabilitasi, pertama yang harus dilakukan sangha adalah mengecam (rebuke / codana) bhikkhu tersebut. Alasannya, jika ia tidak dikecam terlebih dahulu, ia akan menganggap enteng pelanggaran yang dilakukan tersbt dan memungkinnnya untuk melakukan pelanggaran yang sama di kemudian hari. Sebaliknya, jika ia dikecam terlebih dahulu, ia akn memiliki pengendalian diri di masa datang. Kecaman yang tampak kasar ini tidak bisa dikatakn sebagai micchavācā, bahkan ini bisa dikatakan sebagai sammāvācā (ucapan benar) karena memang diperlukan saat itu.
Be happy.
Pertanyaan saya sederhana. Samma Vaca mencakup "tidak berkata kasar" ataukah "tidak memiliki niat jahat dalam bicara" ? 
Menurut saya, Samma Vaca mencakup "tidak berkata kasar" dan "tidak memiliki niat jahat dalam berbicara". 
Bro Kainyn, boleh disharing pada kami semua: "Apa pendapat Sang Buddha tentang ucapan yang dilontarkan oleh Pilindavaccha itu?"
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 12 November 2009, 11:59:06 AM
Menurut saya, Samma Vaca mencakup "tidak berkata kasar" dan "tidak memiliki niat jahat dalam berbicara". 
Bro Kainyn, boleh disharing pada kami semua: "Apa pendapat Sang Buddha tentang ucapan yang dilontarkan oleh Pilindavaccha itu?"
Menurut Buddha, Thera Vaccha berkata demikian karena kebiasaan lampau, bukan karena niat jahat, sebab Arahat tidak mungkin menyakiti orang lain. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 01:01:53 PM
Quote from: upasaka on 12 November 2009, 11:59:06 AM
Menurut saya, Samma Vaca mencakup "tidak berkata kasar" dan "tidak memiliki niat jahat dalam berbicara". 
Bro Kainyn, boleh disharing pada kami semua: "Apa pendapat Sang Buddha tentang ucapan yang dilontarkan oleh Pilindavaccha itu?"
Menurut Buddha, Thera Vaccha berkata demikian karena kebiasaan lampau, bukan karena niat jahat, sebab Arahat tidak mungkin menyakiti orang lain. 
Apakah Anda setuju dengan pendapat Sang Buddha?
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 12 November 2009, 01:04:59 PM
Apakah Anda setuju dengan pendapat Sang Buddha?
Tentu saja setuju. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 01:12:25 PM
Quote from: upasaka on 12 November 2009, 01:04:59 PM
Apakah Anda setuju dengan pendapat Sang Buddha?
Tentu saja setuju. 
Apakah menurut Anda ucapan dari Thera Pilindavaccha itu bertentangan dengan Samma Vaca?
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 12 November 2009, 01:19:38 PM
Apakah menurut Anda ucapan dari Thera Pilindavaccha itu bertentangan dengan Samma Vaca?
Ya, bertentangan. Seperti saya katakan bahwa orang yang bukan kasta Vasala disebut Vasala. Secara ucapan, itu adalah tidak benar. Juga menyebut orang lain sebagai vasala (kasta yang lebih rendah dari binatang), secara ucapan, itu adalah ucapan kasar. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 01:38:54 PM
Quote from: upasaka on 12 November 2009, 01:19:38 PM
Apakah menurut Anda ucapan dari Thera Pilindavaccha itu bertentangan dengan Samma Vaca?
Ya, bertentangan. Seperti saya katakan bahwa orang yang bukan kasta Vasala disebut Vasala. Secara ucapan, itu adalah tidak benar. Juga menyebut orang lain sebagai vasala (kasta yang lebih rendah dari binatang), secara ucapan, itu adalah ucapan kasar. 
Apakah Sang Buddha juga mengatakan bahwa ucapan dari Thera Pilindavaccha itu bertentangan dengan Samma Vaca?
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 12 November 2009, 01:41:41 PM
Apakah Sang Buddha juga mengatakan bahwa ucapan dari Thera Pilindavaccha itu bertentangan dengan Samma Vaca?
Buddha tidak menyinggung Samma Vaca dalam hal ini, tetapi "membenarkan" Pilinda Vaca karena memang perkataan itu tidak berasal dari niat yang jahat. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 01:43:30 PM
Quote from: upasaka on 12 November 2009, 01:41:41 PM
Apakah Sang Buddha juga mengatakan bahwa ucapan dari Thera Pilindavaccha itu bertentangan dengan Samma Vaca?
Buddha tidak menyinggung Samma Vaca dalam hal ini, tetapi "membenarkan" Pilinda Vaca karena memang perkataan itu tidak berasal dari niat yang jahat. 
Jika ucapan dari Thera Pilindavaccha memang sebenarnya bertentangan dengan Samma Vaca, menurut Anda apakah Sang Buddha akan menegur Thera Pilindavaccha?
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 12 November 2009, 01:47:17 PM
Jika ucapan dari Thera Pilindavaccha memang sebenarnya bertentangan dengan Samma Vaca, menurut Anda apakah Sang Buddha akan menegur Thera Pilindavaccha?
Dalam hal ini tidak. Mengapa demikian? Karena yang utama dalam ajaran Buddha adalah Samma Ditthi yang melandasi aspek lain, termasuk ucapan. Pilinda Vaca mengucapkan "miccha vaca" bukan karena "miccha ditthi", namun karena kekuatan kebiasaan yang berlangsung sangat lama (dikatakan, 500 kehidupan). Buddha tetap menjunjung tinggi ucapan yang tidak menyinggung orang lain, tetapi dengan pengetahuan dan kebijaksanaannya, memaklumi perilaku Pilinda Vaca tersebut. 
			
 
			
			
				Bro Kainyin, 
kata "Vasala" yang diucapkan oleh Pilindavaccha tidak disertai dengan rujukan waktu, jadi kalau memasukkan masa lampau dan masa depan, bisa saja apa yg diucapkan itu adalah samma vaca juga. we'll never know
			
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 02:07:09 PM
Quote from: upasaka on 12 November 2009, 01:47:17 PM
Jika ucapan dari Thera Pilindavaccha memang sebenarnya bertentangan dengan Samma Vaca, menurut Anda apakah Sang Buddha akan menegur Thera Pilindavaccha?
Dalam hal ini tidak. Mengapa demikian? Karena yang utama dalam ajaran Buddha adalah Samma Ditthi yang melandasi aspek lain, termasuk ucapan. Pilinda Vaca mengucapkan "miccha vaca" bukan karena "miccha ditthi", namun karena kekuatan kebiasaan yang berlangsung sangat lama (dikatakan, 500 kehidupan). Buddha tetap menjunjung tinggi ucapan yang tidak menyinggung orang lain, tetapi dengan pengetahuan dan kebijaksanaannya, memaklumi perilaku Pilinda Vaca tersebut. 
Kenapa Sang Buddha tidak menghimbau Thera Pilindavaccha untuk mengubah kebiasaan itu?
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 12 November 2009, 01:40:35 AM
120yojana? 720 mil?? :o Sekitar hampir 1400km kalau saya tidak salah? :o
Karena tidak tahu, asumsi selama ini hanya bahwa dengan kekuatan dewa beliau mampu menempuh jarak demikian. Dan ada pula kemungkinan bahwa beliau memiliki abhinna bukan? Yg jelas bukan dengan kemampuan biasa seseorang dpt melakukan perjalanan demikian dalam waktu semalam. Jelas bagi saya lebih nyambung 'abhinna' dengan kemampuan beliau merealisasi 'kesucian'. Pun andai tidak memiliki abhinna, masih tetap dapat dipahami bagaimana realisasi beliau saat mendengar khotbah singkat Sang Buddha melalui rangkuman berbagai khotbah Sang Buddha dalam sutta2 lain. :)
mettacittena
_/\_
Saya dah baca kitab komenta Bahiyasutta lagi. Ternyata meskipun di sana dikatakan bahwa Bāhiya bisa menempuh perjalanan yang begitu jauh (120 yojana = 720 miles karena satu yojana = 6 miles dan 1 mile = 1.6km, jadi berapa km ya?) atas bantuan Dewa (sumber lain namun dicatat di teks yang sama, kekuatan Buddha), di teks yang sama pula dikatakan bahwa beberapa bhikkhu dari sekte lain memandang bahwa Bāhiya telah mencapai tingkat2 jhana sehingga ia berpendapat bahwa ia telah mencapai kesucian arahat atau setidaknya telah berada pada Jalan untuk mencapai arahatta. Jika sumber ini benar, memang ada kemungkinan bahwa ia juga memiliki super power.
Be happy.
			
 
			
			
				Konon sih yang menolong Bahiya itu Anagami teman seperjuangannya dulu.
Waktu dulu, ada 6 orang bertekad agar tercapai berhentinya dukkha.
Yang sukses mencapai kesucian ada 2, yang empat gak sukses. Nah yang empat orang ini di kehidupan yang lain berbuat tidak baik sama seorang perempuan, Akhirnya di jaman Sang Buddha mereka terlahir sesuai kamma masing-masing. Salah satunya Bahiya. Keempat orang ini akhirnya mangkat ditanduk Yakkhini yang menyamar jadi kerbau. Yakkhini ini adalah wanita yang dulu mati karena perbuatan empat orang itu.
Yang menarik adalah, ternyata Anagami bisa bertahan dari sasana Buddha sebelumnye ke sasana Buddha yang sekarang.
			
			
			
				^
^ 
Nunggu Bahiya jadi arahat kale...dianggap temen seperjuangan ^-^
			
			
			
				Quote from: Indra on 12 November 2009, 02:14:38 PM
Bro Kainyin, 
kata "Vasala" yang diucapkan oleh Pilindavaccha tidak disertai dengan rujukan waktu, jadi kalau memasukkan masa lampau dan masa depan, bisa saja apa yg diucapkan itu adalah samma vaca juga. we'll never know
Memasukkan masa lalu dan masa depan menurut saya kurang tepat. Dikatakan bahwa sangat susah menemukan orang yang dalam samsara ini belum pernah menjadi ibu kita. Dengan alasan ini, tepatkah kita memanggil semua orang dengan sebutan "ibu"? 
Quote from: upasaka on 12 November 2009, 02:19:18 PM
Kenapa Sang Buddha tidak menghimbau Thera Pilindavaccha untuk mengubah kebiasaan itu?
Seandainya ada orang yang sejak kecil punya kepercayaan untuk bangun pagi-pagi sekali karena berpikir terlambat bangun akan menyebabkannya dibunuh oleh dewa kematian. Ia terbiasa dengan hal tersebut sampai dewasa dan tua. Kemudian ada seorang bijak yang memberikan pengertian dan pandangan benar sehingga ia sudah tidak lagi percaya hal tersebut. 
Kemudian karena sudah terbiasa, maka ia tetap bangun pagi-pagi sekali walaupun sudah tidak takut dibunuh dewa kematian. Melihat hal ini, ada yang berpikir ia masih percaya pada takhyul tersebut, dan dibawalah ia kepada orang bijak tersebut. 
Jika anda menjadi orang bijak tersebut, apakah anda akan menyuruh mengubah kebiasaan yang sudah dilakukan sejak kecil sampai tua hanya karena orang berpikir ia percaya takhyul? 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 02:48:11 PM
Quote from: upasaka on 12 November 2009, 02:19:18 PM
Kenapa Sang Buddha tidak menghimbau Thera Pilindavaccha untuk mengubah kebiasaan itu?
Seandainya ada orang yang sejak kecil punya kepercayaan untuk bangun pagi-pagi sekali karena berpikir terlambat bangun akan menyebabkannya dibunuh oleh dewa kematian. Ia terbiasa dengan hal tersebut sampai dewasa dan tua. Kemudian ada seorang bijak yang memberikan pengertian dan pandangan benar sehingga ia sudah tidak lagi percaya hal tersebut. 
Kemudian karena sudah terbiasa, maka ia tetap bangun pagi-pagi sekali walaupun sudah tidak takut dibunuh dewa kematian. Melihat hal ini, ada yang berpikir ia masih percaya pada takhyul tersebut, dan dibawalah ia kepada orang bijak tersebut. 
Jika anda menjadi orang bijak tersebut, apakah anda akan menyuruh mengubah kebiasaan yang sudah dilakukan sejak kecil sampai tua hanya karena orang berpikir ia percaya takhyul? 
Jika saya yang menjadi orang bijak, saya tidak akan menyuruhnya untuk mengubah kebiasaan itu. Karena kebiasaan bangun pagi itu baik. Apalagi orang itu sudah tidak dikungkung oleh takhayul.
Kembali ke pertanyaan saya kepada Anda...
Anda menyatakan bahwa ucapan Thera Pilindavaccha itu bertentangan dengan Samma Vaca. Sang Buddha mengetahui bahwa hal itu disebabkan karena Thera Pilindavaccha terbiasa mengucapkan hal itu selama 500 kehidupannya. Pertanyaan saya adalah: "Jika ucapan itu adalah kebiasaan yang tidak baik, kenapa Sang Buddha tidak menghimbau Thera Pilindavaccha agar meninggalkan kebiasaan itu?"
			
 
			
			
				Quote from: gachapin on 12 November 2009, 02:29:48 PM
Konon sih yang menolong Bahiya itu Anagami teman seperjuangannya dulu.
Waktu dulu, ada 6 orang bertekad agar tercapai berhentinya dukkha.
Yang sukses mencapai kesucian ada 2, yang empat gak sukses. Nah yang empat orang ini di kehidupan yang lain berbuat tidak baik sama seorang perempuan, Akhirnya di jaman Sang Buddha mereka terlahir sesuai kamma masing-masing. Salah satunya Bahiya. Keempat orang ini akhirnya mangkat ditanduk Yakkhini yang menyamar jadi kerbau. Yakkhini ini adalah wanita yang dulu mati karena perbuatan empat orang itu.
Yang menarik adalah, ternyata Anagami bisa bertahan dari sasana Buddha sebelumnye ke sasana Buddha yang sekarang.
Koreksi sedikit. Di jaman Sangha Buddha Kassapa sudah korup, ada 7 orang memisahkan diri, memanjat suatu tebing dan bertekad tidak makan sebelum mencapai Arahatta. Yang tertua mencapai Arahatta, yang satu mencapai Anagami, yang 5 tidak mencapai apa pun. Anagami tersebut yang mengingatkan Bahiya di kehidupan terakhir bahwa ia belum mencapai Arahatta. 5 lainnya adalah Bahiya sendiri, Pukkusāti, Kumāra Kassapa, Dabba-Mallaputta, dan Sabhiya. 
Sedangkan 4 orang yang membunuh seorang pelacur di masa lalu adalah Bahiya, Pukkusāti, Tambadathika, dan Suppabuddha. Mereka semua diseruduk sapi yang sama, yang adalah pelacur tersebut di masa lampau. 
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 12 November 2009, 02:54:41 PM
Jika saya yang menjadi orang bijak, saya tidak akan menyuruhnya untuk mengubah kebiasaan itu. Karena kebiasaan bangun pagi itu baik. Apalagi orang itu sudah tidak dikungkung oleh takhayul.
Begitulah...
QuoteKembali ke pertanyaan saya kepada Anda...
Anda menyatakan bahwa ucapan Thera Pilindavaccha itu bertentangan dengan Samma Vaca. Sang Buddha mengetahui bahwa hal itu disebabkan karena Thera Pilindavaccha terbiasa mengucapkan hal itu selama 500 kehidupannya. Pertanyaan saya adalah: "Jika itu adalah kebiasaan yang tidak baik, kenapa Sang Buddha tidak menghimbau Thera Pilindavaccha agar meninggalkan kebiasaan itu?"
Karena Buddha berurusan dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Buddha tidak berurusan dengan etiket dan vasana (kebiasaan) seseorang. 
Definisi Samma Vaca sangat relatif. Oleh karena itu bisa terjadi "miccha vaca" walaupun tidak ada miccha ditthi. Misalnya kasus Pilinda Vaccha. Sebaliknya bisa juga orang bersesuaian dengan "samma vaca" namun tidak sesuai dengan samma ditthi. Untuk ini, saya yakin Buddha akan menegurnya. (Contohnya seperti saya katakan sebelumnya, berbicara dhamma dengan bahasa baik-baik, namun niatnya adalah menyinggung orang lain dan didasarkan kebencian.) 
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 12 November 2009, 02:54:41 PM
Jika saya yang menjadi orang bijak, saya tidak akan menyuruhnya untuk mengubah kebiasaan itu. Karena kebiasaan bangun pagi itu baik. Apalagi orang itu sudah tidak dikungkung oleh takhayul.
Kembali ke pertanyaan saya kepada Anda...
Anda menyatakan bahwa ucapan Thera Pilindavaccha itu bertentangan dengan Samma Vaca. Sang Buddha mengetahui bahwa hal itu disebabkan karena Thera Pilindavaccha terbiasa mengucapkan hal itu selama 500 kehidupannya. Pertanyaan saya adalah: "Jika ucapan itu adalah kebiasaan yang tidak baik, kenapa Sang Buddha tidak menghimbau Thera Pilindavaccha agar meninggalkan kebiasaan itu?"
imo (setelah tau kisah ini dari bro Kainyn, thanks bro), samma vaca, ucapan benar bukan berarti ucapannya harus sesuai fakta. namun ucapan yg benar adalah ucapan yg tidak didasari oleh keserakahan, kebencian & kebodohan.
dan mengenai rumusan 1,2,4,atau 8, menurut pendapat saya itu adalah gaya mengajar saja.
di sutta byk sekali, gaya bahasa yg selalu digabungkan dengan suatu bilangan, entah 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,dst...
mungkin itu adalah gaya bahasa di zaman Buddha, apalagi sebelumnya Buddha adalah pangeran yg tentunya memiliki pengetahuan tentang satra di zaman itu.
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 12 November 2009, 03:11:48 PM
imo (setelah tau kisah ini dari bro Kainyn, thanks bro), samma vaca, ucapan benar bukan berarti ucapannya harus sesuai fakta. namun ucapan yg benar adalah ucapan yg tidak didasari oleh keserakahan, kebencian & kebodohan.
dan mengenai rumusan 1,2,4,atau 8, menurut pendapat saya itu adalah gaya mengajar saja.
di sutta byk sekali, gaya bahasa yg selalu digabungkan dengan suatu bilangan, entah 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,dst...
mungkin itu adalah gaya bahasa di zaman Buddha, apalagi sebelumnya Buddha adalah pangeran yg tentunya memiliki pengetahuan tentang satra di zaman itu.
Ya, betul sekali. Samma Vaca menurut saya tidak bisa dideskripikan atau dibatasi dengan kriteria tertentu sebagaimana definisi Samma Vaca yang telah dirumuskan (tidak benar, tidak kasar, dsb), namun bergantung pada Samma Ditthi dan Samma Sankappa.  
Lalu jika semua kembali kepada Samma Ditthi, mengapa tidak JMB 1 atau JMB 2 saja? Rumusan tersebut hanyalah "panduan umum" yang memudahkan agar orang memerhatikan 8 aspek yang paling umum dalam kehidupan sehari-hari. 
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 03:01:54 PM
Karena Buddha berurusan dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Buddha tidak berurusan dengan etiket dan vasana (kebiasaan) seseorang. 
Definisi Samma Vaca sangat relatif. Oleh karena itu bisa terjadi "miccha vaca" walaupun tidak ada miccha ditthi. Misalnya kasus Pilinda Vaccha. Sebaliknya bisa juga orang bersesuaian dengan "samma vaca" namun tidak sesuai dengan samma ditthi. Untuk ini, saya yakin Buddha akan menegurnya. (Contohnya seperti saya katakan sebelumnya, berbicara dhamma dengan bahasa baik-baik, namun niatnya adalah menyinggung orang lain dan didasarkan kebencian.) 
Kredibilitas dari Samma Vaca bergantung pada niat. Selama kita masih memiliki cetana (niat), maka ucapan yang selaras dengan Samma Vaca adalah ucapan yang dilandasi tanpa niat buruk. Namun ketika seorang Arahanta berbicara, ia tidak lagi memiliki cetana (niat) yang baik maupun yang buruk. Yang ia ucapkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran ataupun kebiasaan. Bukan hanya kebiasaan "istilah" yang masih dipakai, tetapi seorang Arahanta juga masih memiliki kebiasaan dalam berdialek dan bertata-bahasa.
Ucapan dari Thera Pilindavacca mungkin tidak terlalu 'parah'. Dulu kita pernah berdiskusi mengenai kisah Thera Cakkhupala, seorang Arahanta yang tuna netra. Karena ia tidak bisa melihat, maka secara tidak sengaja ia menginjak dan mengakibatkan kematian banyak serangga. Kita juga bisa mempersoalkan perbuatan itu sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Samma Kammanta. Tapi Sang Buddha menjelaskan bahwa Thera Cakkhupala tidak berniat membunuh, dan secara implisit menjelaskan bahwa perbuatan itu tidak bertentangan dengan Samma Kammanta.
Wajar sekali apabila ucapan dari Thera Pilindavacca itu dicela. Di dunia ini semua orang tidak bisa menghindar dari celaan. Sang Buddha Gotama saja masih menerima cela dan kritikan dari banyak orang. Namun yang perlu kita pahami adalah: "Kenapa Sang Buddha tidak menghimbau Thera Pilindavacca untuk meninggalkan kebiasaan itu?"
Jawabannya adalah "Sang Buddha merasa tidak perlu menghimbau Thera Pilindavacca sehubungan dengan kebiasaan itu". Karena Sang Buddha paham bahwa Thera Pilindavacca hanya seorang Savaka Buddha, dan ia mengucapkan hal itu tanpa didasari dengan niat buruk. Dan perlu diketahui, bahwa hanya seorang Sammasambuddha yang bisa meninggalkan semua kebiasaan-kebiasaan yang pernah dilakukan-Nya. 
Kualitas seorang Sammasambuddha ditinjau dari pencapaian Pencerahan, kebijaksanaan dan tugas yang sudah diselesaikan-Nya yaitu: 
"Mencapai Pencerahan yang berupa Empat Pengetahuan Pandangan Cerah mengenai Jalan yang disertai kemahatahuan. Empat pengetahuan mengenai Jalan adalah pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia oleh diri sendiri (otodidak), tanpa bantuan guru, dan memiliki kekuatan untuk melenyapkan kotoran batin, juga kebiasaan-kebiasaan (vàsanà) dari kehidupan-kehidupan sebelumnya. Kemahatahuan adalah pemahaman atas semua prinsip yang perlu diketahui guna menjalani hidup dan mencapai Pembebasan."
			 
			
			
				Quote from: upasaka on 12 November 2009, 03:25:41 PM
Kredibilitas dari Samma Vaca bergantung pada niat. Selama kita masih memiliki cetana (niat), maka ucapan yang selaras dengan Samma Vaca adalah ucapan yang dilandasi tanpa niat buruk. Namun ketika seorang Arahanta berbicara, ia tidak lagi memiliki cetana (niat) yang baik maupun yang buruk. Yang ia ucapkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran ataupun kebiasaan. Bukan hanya kebiasaan "istilah" yang masih dipakai, tetapi seorang Arahanta juga masih memiliki kebiasaan dalam berdialek dan bertata-bahasa.
Ucapan dari Thera Pilindavacca mungkin tidak terlalu 'parah'. Dulu kita pernah berdiskusi mengenai kisah Thera Cakkhupala, seorang Arahanta yang tuna netra. Karena ia tidak bisa melihat, maka secara tidak sengaja ia menginjak dan mengakibatkan kematian banyak serangga. Kita juga bisa mempersoalkan perbuatan itu sebagai perbuatan yang bertentangan dengan Samma Kammanta. Tapi Sang Buddha menjelaskan bahwa Thera Cakkhupala tidak berniat membunuh, dan secara implisit menjelaskan bahwa perbuatan itu tidak bertentangan dengan Samma Kammanta.
Wajar sekali apabila ucapan dari Thera Pilindavacca itu dicela. Di dunia ini semua orang tidak bisa menghindar dari celaan. Sang Buddha Gotama saja masih menerima cela dan kritikan dari banyak orang. Namun yang perlu kita pahami adalah: "Kenapa Sang Buddha tidak menghimbau Thera Pilindavacca untuk meninggalkan kebiasaan itu?"
Jawabannya adalah "Sang Buddha merasa tidak perlu menghimbau Thera Pilindavacca sehubungan dengan kebiasaan itu". Karena Sang Buddha paham bahwa Thera Pilindavacca hanya seorang Savaka Buddha, dan ia mengucapkan hal itu tanpa didasari dengan niat buruk. Dan perlu diketahui, bahwa hanya seorang Sammasambuddha yang bisa meninggalkan semua kebiasaan-kebiasaan yang pernah dilakukan-Nya. 
Kualitas seorang Sammasambuddha ditinjau dari pencapaian Pencerahan, kebijaksanaan dan tugas yang sudah diselesaikan-Nya yaitu: 
"Mencapai Pencerahan yang berupa Empat Pengetahuan Pandangan Cerah mengenai Jalan yang disertai kemahatahuan. Empat pengetahuan mengenai Jalan adalah pemahaman atas Empat Kebenaran Mulia oleh diri sendiri (otodidak), tanpa bantuan guru, dan memiliki kekuatan untuk melenyapkan kotoran batin, juga kebiasaan-kebiasaan (vàsanà) dari kehidupan-kehidupan sebelumnya. Kemahatahuan adalah pemahaman atas semua prinsip yang perlu diketahui guna menjalani hidup dan mencapai Pembebasan."
Jika definisi Samma Vaca adalah demikian, maka saya sangat setuju. 
Arahat, tanpa niat jahat ataupun pikiran ternoda, masih bisa melakukan hal-hal yang dicela masyarakat. Hanya seorang Samma Sambuddha-lah yang sudah terbebas sepenuhnya dari kebiasaan-kebiasaan masa lampau, sehingga sempurna pengetahuan dan tindak-tanduknya, tidak tercela sama sekali. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_KuthoJika definisi Samma Vaca adalah demikian, maka saya sangat setuju. 
Arahat, tanpa niat jahat ataupun pikiran ternoda, masih bisa melakukan hal-hal yang dicela masyarakat. Hanya seorang Samma Sambuddha-lah yang sudah terbebas sepenuhnya dari kebiasaan-kebiasaan masa lampau, sehingga sempurna pengetahuan dan tindak-tanduknya, tidak tercela sama sekali.
Benar. Kurang-lebih memang seperti itu. :)
:backtotopic: sesuai judul thread ini.
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 02:55:22 PM
Quote from: gachapin on 12 November 2009, 02:29:48 PM
Konon sih yang menolong Bahiya itu Anagami teman seperjuangannya dulu.
Waktu dulu, ada 6 orang bertekad agar tercapai berhentinya dukkha.
Yang sukses mencapai kesucian ada 2, yang empat gak sukses. Nah yang empat orang ini di kehidupan yang lain berbuat tidak baik sama seorang perempuan, Akhirnya di jaman Sang Buddha mereka terlahir sesuai kamma masing-masing. Salah satunya Bahiya. Keempat orang ini akhirnya mangkat ditanduk Yakkhini yang menyamar jadi kerbau. Yakkhini ini adalah wanita yang dulu mati karena perbuatan empat orang itu.
Yang menarik adalah, ternyata Anagami bisa bertahan dari sasana Buddha sebelumnye ke sasana Buddha yang sekarang.
Koreksi sedikit. Di jaman Sangha Buddha Kassapa sudah korup, ada 7 orang memisahkan diri, memanjat suatu tebing dan bertekad tidak makan sebelum mencapai Arahatta. Yang tertua mencapai Arahatta, yang satu mencapai Anagami, yang 5 tidak mencapai apa pun. Anagami tersebut yang mengingatkan Bahiya di kehidupan terakhir bahwa ia belum mencapai Arahatta. 5 lainnya adalah Bahiya sendiri, Pukkusāti, Kumāra Kassapa, Dabba-Mallaputta, dan Sabhiya. 
Sedangkan 4 orang yang membunuh seorang pelacur di masa lalu adalah Bahiya, Pukkusāti, Tambadathika, dan Suppabuddha. Mereka semua diseruduk sapi yang sama, yang adalah pelacur tersebut di masa lampau. 
YA Bahiya mampu menempuh perjalanan sejauh itu dalam 1 malam, karena bantuan Makhluk Dewa Brahma yang sudah mencapai Anagami, sebelum kelahiran di jaman Buddha Gotama, YA Bahiya sudah punya tekad yang kuat bersama 6 teman menjalankan kehidupan petapa untuk menghindari Dukkha.
karena tekadnya dan 6 temannya maka ada 3 temannya gagal dan lahir menjadi siswa Buddha Gotama yaitu Bhikkhu Kumāra Kassapa, Bhikkhu Dabba-Mallaputta, dan Bhikkhu Sabhiya.
Sedangkan 4 orang yang membunuh seorang pelacur di masa lalu adalah Bahiya, Pukkusāti, Tambadathika, dan Suppabuddha. Mereka semua diseruduk sapi yang sama, yang adalah pelacur tersebut di masa lampau.
Dan kejadian diatas adalah kehidupan bukan pada jaman Buddha Kassapa.
Jaman Buddha Gotama, Pukkusati adalah Raja, Tambadathika adalah Algojo/Eksekutor dan Suppabuddha adalah pengemis yang kena penyakit kusta
cerita ini ada di Buku Komik Buddhis terbitan Ehipasiko
 _/\_
			
 
			
			
				Sayangnya referensi Oom Kainyn berasal dari kitab komentar, yang pasti lebih akurat daripada cerita komik.
			
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 02:48:11 PM
Quote from: Indra on 12 November 2009, 02:14:38 PM
Bro Kainyin, 
kata "Vasala" yang diucapkan oleh Pilindavaccha tidak disertai dengan rujukan waktu, jadi kalau memasukkan masa lampau dan masa depan, bisa saja apa yg diucapkan itu adalah samma vaca juga. we'll never know
Memasukkan masa lalu dan masa depan menurut saya kurang tepat. Dikatakan bahwa sangat susah menemukan orang yang dalam samsara ini belum pernah menjadi ibu kita. Dengan alasan ini, tepatkah kita memanggil semua orang dengan sebutan "ibu"? 
saya mengenal seseorang yg memanggil MoM (=ibu) kepada semua orang atas alasan serupa, dan kebiasaannya ternyata diikuti oleh banyak orang.
			
 
			
			
				Quote from: Indra on 12 November 2009, 04:29:38 PM
saya mengenal seseorang yg memanggil MoM (=ibu) kepada semua orang atas alasan serupa, dan kebiasaannya ternyata diikuti oleh banyak orang.
Dengan alasan yang mirip pula umat Buddha tertentu melihat semua mahluk sebagai Calon-Buddha. Sepertinya ini pilihan, tidak benar, juga tidak keliru. Ada juga manfaatnya. Tapi kalau saya pribadi, walaupun tidak mengabaikan masa lalu dan masa depan, lebih berorientasi pada masa kini. Jadinya kurang cocok. 
			
 
			
			
				Quote from: Indra on 12 November 2009, 04:29:38 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 12 November 2009, 02:48:11 PM
Quote from: Indra on 12 November 2009, 02:14:38 PM
Bro Kainyin, 
kata "Vasala" yang diucapkan oleh Pilindavaccha tidak disertai dengan rujukan waktu, jadi kalau memasukkan masa lampau dan masa depan, bisa saja apa yg diucapkan itu adalah samma vaca juga. we'll never know
Memasukkan masa lalu dan masa depan menurut saya kurang tepat. Dikatakan bahwa sangat susah menemukan orang yang dalam samsara ini belum pernah menjadi ibu kita. Dengan alasan ini, tepatkah kita memanggil semua orang dengan sebutan "ibu"? 
saya mengenal seseorang yg memanggil MoM (=ibu) kepada semua orang atas alasan serupa, dan kebiasaannya ternyata diikuti oleh banyak orang.
Gw tau yg dimaksud  ;D .....
tapi ada penjelasan lebih lanjut ..... dengan menganggap semua orang adalah mantan MoM (ibu)kita, maka selayaknya semua orang kita sayangi  ;) .......
tapi tetap gw gak mao panggil u .... MoM  :P
MoM, .... kok pake kumis  :hammer:  =))
			
 
			
			
				Panggil saja beliau: [m]OM KUMIS
:kabur:
			
			
			
				orang yang mencapai sotapanna juga bisa mundur ke tingkat putthujana.selama belum anagami.
			
			
			
				Quote from: nyanadhana on 19 November 2009, 10:36:33 AM
orang yang mencapai sotapanna juga bisa mundur ke tingkat putthujana.selama belum anagami.
ada referensinya bro, dalam sutta banyak disebutkan seorang sotapanna pasti mencapai Arahat dalam maksimal 7 kali kelahiran
			
 
			
			
				aku lupa kalo referensinya dimana...pernah baca sekilas mengenai hal itu.
			
			
			
				Quote from: Indra on 19 November 2009, 10:39:27 AM
Quote from: nyanadhana on 19 November 2009, 10:36:33 AM
orang yang mencapai sotapanna juga bisa mundur ke tingkat putthujana.selama belum anagami.
ada referensinya bro, dalam sutta banyak disebutkan seorang sotapanna pasti mencapai Arahat dalam maksimal 7 kali kelahiran
tapi jangan diartikan bhw kalo udah mencapai sotapanna, lalu jadi mundur ke putthujhana lagi... 
			
 
			
			
				:whistle:
Theravada semua yak di sini?
:whistle:
			
			
			
				Quote from: gachapin on 19 November 2009, 11:42:41 AM
:whistle:
Theravada semua yak di sini?
:whistle:
sotapanna memang theravada, kalo srotapana baru bukan theravada
			
 
			
			
				hahahahaha jadi pengen makan soto panas
			
			
			
				abis maem soto panas, jadi srot... srot..... hidungnya meler... he3
			
			
			
				Quote from: nyanadhana on 19 November 2009, 11:56:37 AM
hahahahaha jadi pengen makan soto panas
Traktir Cici donk?  ;D
_/\_ :lotus:
			
 
			
			
				 :outoftopic: :backtotopic:
			
			
			
				Gak mungkinlah...., dalam sutta kan pernah dikisahkan bagaimana seorang sotapanna tetap memberikan dana biarpun dia jatuh miskin dan selalu di bujuk oleh makhluk halus untuk tidak berdana lagi....sampai akhirnya itu orang kemudian mengusir makhluk halus tersebut....siapa lagi namanya :-?
			
			
			
				Anāthapiṇḍika....
			
			
			
				Apakah seorang Sotapana masih terikat yang namanya Agama ?
Saya berpendapat bahwa seorang yang telah mencapai tingkatan kesucian sudah melewati batas2 yang namanya agama atau aliran.. 
			
			
			
				Quote from: Peacemind on 11 November 2009, 09:42:33 AM
Dikatakn bahwa seorang Sotapanna memiliki keyakinan yang tidak tergoncangkan (aveccapasada) terhadap Buddha, Dhamma dan Saṅgha. Menurut hemat sy orang demikian tidak akan mungkin berubah keyakinan.
Be happy.
Setuju...
			
 
			
			
				agama berbeda dengan keyakinan...saya punya temen beragama k tapi dia lebih yakin ke b...tapi dia tidak mau pindah agama.
			
			
			
				Sama dengan ada brahmana yg tetap sbg brahmana tapi memiliki keyakinan pada Sang Buddha. Boleh2 saja.. Tp akan susah mencapai magga-phala, kalau bukan tidak mungkin. :D
			
			
			
				Sonadaṇḍa?
			
			
			
				Teman-teman sekalian,
Inilah kaitan antara keyakinan tak tergoyahkan seorang Sotapanna dengan pencapaian Nibbana.
Keyakinan seorang Sotapanna tak tergoyahkan disebabkan seorang Sotapanna telah mengalami Nibbana (Saupadisesa Nibbana) sehingga keyakinannya tak tergoyahkan.
Membuat keyakinan seorang Sotapanna goyah terhadap Tiratana, adalah sama sulitnya dengan membuat seseorang yang pernah naik sampai ke puncak Monas lalu membantah/menyangkal dirinya sendiri bahwa ia telah mencapai puncak Monas.
Semoga ini menambah pengertian kita
sukhi hotu
			
			
			
				Wuah, dasarnya dari mana om fabian? bukankah hanya melihat?
Saupadisesa kan Arahat...
			
			
			
				Quote from: fabian c on 20 November 2009, 09:44:14 PM
Teman-teman sekalian,
Inilah kaitan antara keyakinan tak tergoyahkan seorang Sotapanna dengan pencapaian Nibbana.
Keyakinan seorang Sotapanna tak tergoyahkan disebabkan seorang Sotapanna telah mengalami Nibbana (Saupadisesa Nibbana) sehingga keyakinannya tak tergoyahkan.---> Saupadisesa Nibbana adalah padamnya kilesa secara total....bukankah seorang Sotapanna belom membasmi semua kilesa? hmm :-?
Membuat keyakinan seorang Sotapanna goyah terhadap Tiratana, adalah sama sulitnya dengan membuat seseorang yang pernah naik sampai ke puncak Monas lalu membantah/menyangkal dirinya sendiri bahwa ia telah mencapai puncak Monas.
Semoga ini menambah pengertian kita
sukhi hotu
_/\_ :lotus:
			
 
			
			
				sotapanna telah mematahkan belenggu:
1. pandangan akan diri
2. keraguan
3. kemelekatan thd ritual
keraguan thd buddha, dhamma & sangha...
buddha, dhamma, & sangha disini diartikan sebagai agama Buddha?? ??  ?? wow...
dan dengan dalih demikian dikatakan tidak bisa pindah agama?? ?? ??  :-?
sebaiknya kita mematahkan belenggu kemelekatan thd ritual dulu sebelum bahas soal bisa/ndak seorang sotapanna pindah agama.
			
			
			
				Quote from: gachapin on 20 November 2009, 10:47:34 PM
Wuah, dasarnya dari mana om fabian? bukankah hanya melihat?
Saupadisesa kan Arahat...
Saudara Gachapin yang baik,
Saupadisesa Nibbana dialami oleh semua Ariya Puggala dari Sotapanna hingga Arahat yang belum wafat.
Bila Arahat telah wafat maka Ia mengalami Anupadisesa Nibbana.
Kata mengalami Nibbana adalah yang paling tepat bagi semua Ariya Puggala.
Tidak ada satupun Ariya Puggala yang tak mengalami Nibbana (walaupun 'Sotapanna).
Jadi seorang yang pernah mengalami Nibbana disebut Ariya Puggala.
Bila ia hanya pernah mengalami satu kali / pertama kali maka ia disebut Sotapanna (melenyapkan tiga kilesa awal)
Bila ia pernah mengalami Nibbana yang menyebabkan dua kilesa berikutnya menjadi lemah ia disebut Sakadagami Puggala. Dstnya.
Sekedar sharing semoga menjadi paham.
Sukhi hotu.
			
 
			
			
				Referensinya dari mana om?
Soalnya ini belakangan dibahas, dan setahu saya kesimpulannya hanya "melihat"...
			
			
			
				Sebagai tambahan,
Nibbana dengan khandha masih berproses -> Saupadisesa Nibbana
Nibbana tanpa khandha yang berproses    -> Anupadisesa Nibbana
Sotapanna hingga Arahat yang masih hidup -> khandha masih berproses
Arahat yang sudah wafat                         -> khandha tak berproses
Semoga menjadi jelas
 _/\_
			
			
			
				Quote from: fabian c on 20 November 2009, 11:45:29 PM
Sotapanna hingga Arahat yang masih hidup -> khandha tersisa
khandha tersisa, benar...
sotapanna nibbana? referensinya om?
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 20 November 2009, 11:45:29 PM
Sebagai tambahan,
Nibbana dengan khandha masih berproses -> Saupadisesa Nibbana
Nibbana tanpa khandha yang berproses    -> Anupadisesa Nibbana
simplenya:
saupadisesa nibbana = padam dengan sisa
anupadisesa nibbana = padam tanpa sisa
			
 
			
			
				Dgr2...mengalami Nibbana itu hanya sekali dech...waktu arahat. benar ga?
_/\_ :lotus:
			
			
			
			
			
			
			
				Anathapindika koq.. yg ampe jatuh miskin tapi tetep kekeuh berdana. Ada di dhammapada athakatha. Tus dibujuk ama yakkha penjaga rumahnya agar berhenti berdana, ditolak, yakkha tsb diusir.
			
			
			
				Quote from: Peacemind on 21 November 2009, 12:58:46 AM
Quote from: Xan To on 21 November 2009, 12:26:34 AM
Quote from: Peacemind on 19 November 2009, 10:40:51 PM
Anāthapiṇḍika....
nope....
Kalau bukan Anāthapiṇḍika, terus siapa? :-?
Huahaha kesalahan teknis.....saya salah mengingat...saya kira Anathapindika yang jadi pangeran
			
 
			
			
				Quote from: Lily W on 21 November 2009, 12:05:30 AM
Dgr2...mengalami Nibbana itu hanya sekali dech...waktu arahat. benar ga?
_/\_ :lotus:
ada byk arti-arti nibbana, kalau ditilik dari arti "padamnya keserakahan, kebencian & kebodohan (LDM)" kalau ga salah dalam sutta2 di SN, ketika pencapaian arahat, LDMnya telah padam utk saat itu & seterusnya.
namun jika ditilik dari objek citta (Abhidhamma ver. MTM), citta mengalami objek nibbana disetiap pencapaian kesucian (magga & phala) baik dari sotapanna, hingga arahat... jadi nibbana dialami 8 kali (dalam 4 pasang citta magga-phala)? CMIIW
			
 
			
			
				Quote from: Xan To on 21 November 2009, 12:28:21 PM
Quote from: Peacemind on 21 November 2009, 12:58:46 AM
Quote from: Xan To on 21 November 2009, 12:26:34 AM
Quote from: Peacemind on 19 November 2009, 10:40:51 PM
Anāthapiṇḍika....
nope....
Kalau bukan Anāthapiṇḍika, terus siapa? :-?
Huahaha kesalahan teknis.....saya salah mengingat...saya kira Anathapindika yang jadi pangeran
Mana ada Anathapindika yg jadi pangeran? hehehe.. 
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 21 November 2009, 12:42:56 PM
Quote from: Lily W on 21 November 2009, 12:05:30 AM
Dgr2...mengalami Nibbana itu hanya sekali dech...waktu arahat. benar ga?
_/\_ :lotus:
ada byk arti-arti nibbana, kalau ditilik dari arti "padamnya keserakahan, kebencian & kebodohan (LDM)" kalau ga salah dalam sutta2 di SN, ketika pencapaian arahat, LDMnya telah padam utk saat itu & seterusnya.
namun jika ditilik dari objek citta (Abhidhamma ver. MTM), citta mengalami objek nibbana disetiap pencapaian kesucian (magga & phala) baik dari sotapanna, hingga arahat... jadi nibbana dialami 8 kali (dalam 4 pasang citta magga-phala)? CMIIW
Abhidhamma versi Dr. Mehm Tin Mohm tidak mengatakan bahwa dari sotapana sampai anagami mengalami nibbana 8x, yang ada adalah penggolongan lokkutara magga citta dan lokkutara phala citta, itupun di bagi berdasarkan tingkatan yaitu sotapanna, sakadagami, anagami dan arahat.
Seharusnya realisasi Nibbana itu setelah melenyapkan 10 belenggu (samyojana). Jadi memang tingkatan sotapanna, sakadagami dan anagami belum dapat digolongkan kepada individu yang merealisasikan nibbana. CMIIW...
			
 
			
			
				Menurut saya seorang sotapanna sudah tidak mempunyai 'agama' lagi dan sudah tidak tertarik dengan agama-agama an, jadi tidak ada istilah 'pindah agama' bagi dirinya...
::
			
			
			
				Agama dlm pengertian gimana sebenernya? KTP atau ??? 
Yg jelas seorang Sotapanna pasti memiliki keyakinan pada Ti-Ratana dan keyakinan bahwa di luar ajaran ini tidak ada ditemukan guru atau petapa yang mengajarkan Dhamma yg benar, murni dan akurat seperti Sang Buddha.
			
			
			
				Quote from: gachapin on 20 November 2009, 11:40:27 PM
Referensinya dari mana om?
Soalnya ini belakangan dibahas, dan setahu saya kesimpulannya hanya "melihat"...
Saudara Gachapin yang baik,
di hal 766 Visuddhi Magga ada disebutkan:
"
In this way there arises in him what is called knowledge of equanimity about formations (Sankharupekkha Nana).
But if this (knowledge) sees Nibbana, the state of peace, as peaceful, it rejects  the occurrence of all formations and enters only into Nibbana. If it does not see Nibbana as peaceful, it occurs again and again with formations as its object,  like sailors crow."
Saya terjemahkan untuk pembaca yang lain.
Dengan cara ini muncullah pada dirinya apa yang disebut pengetahuan keseimbangan terhadap bentukan /sankhara. 
Tetapi jika (pengetahuan) ini melihat Nibbana, sebagai damai, ia akan menolak kemunculan semua bentukan dan hanya memasuki Nibbana. Jika ia tidak melihat Nibbana sebagai damai, maka akan muncul lagi berulang-ulang dengan bentukan sebagai objeknya, seperti burung gagak para pelaut.
lebih lanjut dikatakan di Visuddhi Magga, perumpamaannya adalah demikian, ketika seorang pedagang  naik kapal, nampaknya, mereka juga membawa seekor burung gagak pencari daratan. Jika kapalnya terhembus melenceng dari jalur oleh angin dari arah depan sehingga mereka mereka terombang-ambing dan akhirnya tak dapat melihat daratan, maka mereka melepaskan burung gagak pencari daratan dari menara pengintai? (mast-head). Setelah gagak itu terbang berkeliling bila melihat daratan maka ia akan terbang ke arah daratan tersebut, bila tidak ia kembali ke menara pengintai, demikian juga dengan sankharupekkha Nana, bila meditator yang telah mencapai Sankharupekkha Nana melihat Nibbana maka ia akan memasuki Nibbana, bila tidak maka ia akan kembali lagi pada bentukan (sankhara) sebagai objek.
Kita semua tahu bahwa dalam "progress of insight" semua meditator akan melewati tahapan Sankharupekkha Nana sebelum Magga-Phala, Jadi yang dimaksud Magga-Phala disini adalah pengalaman Nibbana itu sendiri.
Semoga keterangan ini cukup memuaskan teman-teman sekalian.
Sukhi hotu
			
 
			
			
				jadi pindah threat bahas disini deh
dipotongan itu juga "sees" / "melihat" bukan merasakan. benar tak?
jadi bisa disimpulkan kalau perbedaannya demikian,
visudhimagga -> nibbana = the state of peace
Sutta -> nibbana = 10 belenggu patah = lobha dosa moha lenyap
benar?
			
			
			
				Berarti kata yg sama dengan interpretasi dan makna yg berbeda?
			
			
			
				Quote from: Sumedho on 21 November 2009, 08:22:59 PM
jadi pindah threat bahas disini deh
dipotongan itu juga "sees" / "melihat" bukan merasakan. benar tak?
jadi bisa disimpulkan kalau perbedaannya demikian,
visudhimagga -> nibbana = the state of peace
Sutta -> nibbana = 10 belenggu patah = lobha dosa moha lenyap
benar?
Bukan begitu Oom, eyang, boss, bang, bro,
Nibbana pertama kali -> Sotapanna -> tiga kilesa awal lenyap.
Sebenarnya proses lenyapnya kilesa awal ini logis sekali, saya telah menerangkan mengenai hal ini berulang kali dalam berbagai postingan, prosesnya adalah demikian:
Lenyapnya kilesa sakkayaditthi: setelah melihat bentukan-bentukan (sankhara) lalu ia menjadi pasif terhadap semua bentukan-bentukan maka bentukan-bentukan itu akan lenyap dengan sendirinya. Apakah yang tertinggal? tentu pengetahuan bahwa segala sesuatu yang dia lihat selama ini hanya merupakan kumpulan proses bentukan-bentukan, setelah bentukan-bentukan itu berhenti maka batin menjadi plong/bersih. Setelah batinnya menjadi plong bersih maka ia akan menyadari bahwa semua yang kita alami dalam kehidupan selama ini hanya merupakan akibat proses bentukan-bentukan tidak lebih, dan setelah bentukan-bentukan (sankhara) ini berhenti maka batin menjadi bersih/kosong/plong maka ia merasakan kekosongan/
emptiness (tolong diperhatikan kekosongan disini bukan kekosongan melamun atau kekosongan setengah sadar, tetapi kekosongan dengan keadaan batin yang sangat jernih, sadar dan waspada luar-biasa) apakah ia akan percaya ada aku atau diri? Dengan cara ini maka kilesa sakkayaditthi lenyap dengan sendirinya.
Lenyapnya kilesa vicchikiccha: Coba renungkan, bila pertama kali bentukan-bentukan (sankhara) berhenti dan meditator mengalami Nibbana (kedamaian luar biasa) yang tak pernah dia alami seumur hidupnya, apakah kilesa keragu-raguan terhadap Sang Jalan (vicikiccha) lenyap atau tidak? Inilah sebab kehancuran kilesa vicikicccha.
Lenyapnya kilesa silabata paramasa: Bila ia telah mengetahui sendiri bahwa hanya dengan berjuang sungguh-sungguh bermeditasi maka ia dapat mencapai "Kedamaian mutlak/berhentinya bentukan-bentukan" tersebut, apakah ia akan percaya bahwa dengan upacara dan ritual maka "kedamaian mutlak/berhentinya bentukan-bentukan" tersebut bisa dicapai? Tentu dia tak akan pernah percaya bahwa upacara dan ritual yang malah meng"excite"/memunculkan bentukan-bentukan akan membawa pada "kedamaian mutlak". Dengan Kebijaksanaan (panna) demikian killesa silabata paramasa akan lenyap dengan sendirinya.
Pengalaman Nibbana pertama kalinya bagi seorang Sotapanna inilah yang melenyapkan ketiga kilesa awal.
jadi dalam hal ini pelenyapan kilesa adalah dengan Panna/pengertian/
understanding yang didahului oleh pengalaman Nibbana.
Untuk mengetahui referensinya dalam sutta maka coba baca Dhammacakkappavattana Sutta, diterangkan mengenai Ayya Kondanna yang melihat lalu timbul Dhammacakkunya (sebenarnya yang dimaksud disini ialah melihat/mengalami Nibbana) Sang Buddha menerangkan mengenai Nibbana: cakkhu udapadi (muncullah penglihatan: terhadap Nibbana), vijja udapadi (muncullah pengetahuan) , nana udapadi (muncullah pandangan terang), panna udapadi (muncullah kebijaksanaan) dan aloko udapadi (muncullah cahaya).
Pernah ketika berlatih di Meditation Centre milik Sayalay Dipankara (waktu centre itu pertama kali dibuka), saya bertanya kepada bhikkhu pengkhotbah Dhamma terkenal di Myanmar (Sitagu Sayadaw) yang waktu itu datang berkunjung, manakah yang lebih dahulu dialami, apakah Nibbana lebih dahulu atau lenyapnya kilesa? Beliau mengatakan bahwa pengalaman Nibbana itu seperti kita menghidupkan lampu di kamar yang gelap, seketika segala hal yang ada di kamar itu yang tadinya tak nampak seketika menjadi nampak.
Karena segala sesuatu menjadi nampak maka ketidak-tahuan (karena berada di kamar gelap) menjadi lenyap dengan sendirinya. 
Mudah-mudahan menjadi semakin jelas
Sukhi hotu
			
 
			
			
				Maaf sebagai tambahan: lupa di bold:   ^:)^
But if this (knowledge) sees Nibbana, the state of peace, as peaceful, it rejects  the occurrence of all formations and enters only into Nibbana. 
Jadi pengertiannya adalah masuk dan mengalami.
			
			
			
				QuoteBukan begitu Oom, eyang, boss, bang, bro,
Nibbana pertama kali -> Sotapanna -> tiga kilesa awal lenyap. 
ah bisa aja nih mbah, sdr, koh,
justru istilah 
Nibbana pertama kali nya itu loh, bukan soal kilesanya.
QuoteUntuk mengetahui referensinya dalam sutta maka coba baca Dhammacakkappavattana Sutta, diterangkan mengenai Ayya Kondanna yang melihat lalu timbul Dhammacakkunya (sebenarnya yang dimaksud disini ialah melihat/mengalami Nibbana) Sang Buddha menerangkan mengenai Nibbana: cakkhu udapadi (muncullah penglihatan: terhadap Nibbana), vijja udapadi (muncullah pengetahuan) , nana udapadi (muncullah pandangan terang), panna udapadi (muncullah kebijaksanaan) dan aloko udapadi (muncullah cahaya).
soal dhammacakkhu/eye of dhamma itu kan bukan mengalami nibbana. istilah "melihat" itu adalah untuk merujuk pada melihat bahwa segala hal anicca -> dukkha -> anatta. bukan mengalami nibbana.
QuotePernah ketika berlatih di Meditation Centre milik Sayalay Dipankara (waktu centre itu pertama kali dibuka), saya bertanya kepada bhikkhu pengkhotbah Dhamma terkenal di Myanmar (Sitagu Sayadaw) yang waktu itu datang berkunjung, manakah yang lebih dahulu dialami, apakah Nibbana lebih dahulu atau lenyapnya kilesa? Beliau mengatakan bahwa pengalaman Nibbana itu seperti kita menghidupkan lampu di kamar yang gelap, seketika segala hal yang ada di kamar itu yang tadinya tak nampak seketika menjadi nampak.
Karena segala sesuatu menjadi nampak maka ketidak-tahuan (karena berada di kamar gelap) menjadi lenyap dengan sendirinya. 
analogi itu saya kurang sreg, menurug sumedho lahyaww, nibbana itu bukan menghidupkan lampu, tetapi kondisi terangnya itu. 
Dengan mengerti/panna -> kilesa hilang -> nibbana.
panna = lampu nyala
kilesa hilang = gelap hilang
nibbana = kondisi terang
kalau nibbana dahulu baru kilesa hilang, padam dahulu baru bahan bakar habis. aneh kan.
			
 
			
			
				Quoteah bisa aja nih mbah, sdr, koh,
justru istilah Nibbana pertama kali nya itu loh, bukan soal kilesanya.
kan sudah saya jelaskan diatas, coba baca Visuddhi Magga disitu diterangkan mengenai proses pencapaian dari Nana yang paling awal (nama-rupa paricheda nana) hingga Sankharupekkha nana dan Magga-phala Nana. Semua dijabarkan secara runut dan sistematis. 
Dari Sankharupekkha-Nana melihat dan memasuki Nibbana maka ia memasuki Arus dan ini disebut Magga Nana, lalu diikuti Phala Nana pada saat itu juga.
Nggak apa-apa kalau bingung sebab saya juga dahulu beranggapan demikian.
Quotesoal dhammacakkhu/eye of dhamma itu kan bukan mengalami nibbana. istilah "melihat" itu adalah untuk merujuk pada melihat bahwa segala hal anicca -> dukkha -> anatta. bukan mengalami nibbana.
Coba perhatikan dan bedakan pernyataan Visuddhi Magga diatas 
sees and entersQuoteanalogi itu saya kurang sreg, menurug sumedho lahyaww, nibbana itu bukan menghidupkan lampu, tetapi kondisi terangnya itu.
Lampu itu hanya analogi, tetapi keadaan Nibbana seperti yang diterangkan dalam Dhammacakkappavattana Sutta memang terang oleh karena itu disebut aloko udapadi (muncullah cahaya), ini sesuai dengan pengalaman Yogi yang mengalami hal tersebut pada waktu berlatih Vipassana.
QuoteDengan mengerti/panna -> kilesa hilang -> nibbana.
panna = lampu nyala
kilesa hilang = gelap hilang
nibbana = kondisi terang
Bukan demikian. Dengan mengalami Nibbana, maka semua menjadi terang dan pengertian (panna) menjadi muncul. Dengan munculnya panna maka lenyaplah kilesa. 
Jadi kilesa lenyap oleh karena panna (pengertian/wisdom).Quotekalau nibbana dahulu baru kilesa hilang, padam dahulu baru bahan bakar habis. aneh kan.
Seingat saya bahan bakarnya adalah tanha (bhava tanha) bukan dasa kilesa, sedangkan padam yang dimaksud adalah berhentinya bentukan-bentukan/ kondisi-kondisi. Dalam kaitan paticcasamuppada yang dimaksud adalah padamnya sankhara (ingat khotbah Y.A. Assaji kepada Upatissa: Ye Dhamma hetupabbava.... dstnya)
Tetapi Dasa kilesa lenyap dengan sendirinya oleh Panna/wisdom, yang muncul dengan sendirinya bersamaan dengan pengalaman Nibbana.
Meditator yang pernah mengalami Nana-nana baru bisa mengerti bahwa semua Nana muncul didahului oleh pengalaman meditatif, kemudian baru muncul Nana (pengetahuan pandangan terang).
Pada Magga Nana juga tak terkecuali, pertama muncul pengalaman Nibbana, lalu diikuti oleh munculnya pengertian (wisdom), dan dengan pengertian (wisdom) yang muncul maka lenyaplah kilesa.
Kita ambil contoh kilesa pertama: Sakkaya  ditthi (pandangan palsu mengenai aku/diri) ini hanya pandangan kan? lantas apakah yang dapat melenyapkan pandangan tersebut? apakah wisdom atau konsentrasi yang melenyapkan kilesa? Bila wisdom darimana munculnya wisdom?
Coba tolong saudara, mbah, boss, bro Sumedho jelaskan pandangannya. Agar menambah pengertian kita semua.
sukhi hotu. 
			
 
			
			
				Mungkin kita bisa liat dulu Pengelolaan Dhamma ini oleh Seorang Sotapanna...sbb:
PENGELOLAAN DHAMMA OLEH SOTAPANNA
AKUSALA KAMMAPATTHA 10 (10 SALURAN TUK BERBUAT TAK BERMANFAAT)
1. Panatipata (Membunuh)
2. Adinnadana (Mencuri)
3. Kamesumicchacara (Berbuat Asusila)
4. Musavada (Berdusta) 
5. Micchaditthi (Pandangan Salah)
6. Pisunavaca (Bicara Fitnah)
7. Pharusavaca (Kata kasar)
8. Byapada (Itikat Jahat)
9. Samphappalapa (Gosip)
10. Abhijjha (Hasrat Rendah, ketamakan)
LOKA DHAMMA 8 (8 KONDISI DUNIA)
1. Alabha (Rugi)
2. Ayasa (Tidak Masyur)
3. Ninda (cela)
4. Dukkha (Penderitaan)
5. Labha (Untung)
6. Yasa (Kemasyuran)
7. Pasamsa (Pujian)
8. Sukha (kebahagiaan)
MACCHARIYA 5 (5 JENIS KEKIKIRAN)
1. Dhammamacchariya (Kekikiran terhadap kebenaran/pengetahuan/ajaran/Dhamma)
2. Vannamacchariya (Kekikiran terhadap kemasyuran/keterkenalan)
3. Labhamacchariya (Kekikiran terhadap keuntungan/rejeki)
4. Kulamacchariya (Kekikiran terhadap keluarga)
5. Avasamacchariya (Kekikiran terhadap tempat tinggal) 
NIVARANA 6/7 (RINTANGAN BATIN)
1. Kukkucca (Kekhawatiran)
2. Vicikiccha (Keragu-raguan) 
3. Kamaraga (Hawa nafsu, nafsu indera)
4. Byapada (Itikat Jahat)
5. Thina-Middha (Malas-Lamban)
6. Uddhaca (Kegelisahan)
7. Avijja (Kegelapan batin )
SANYOJANA 10 (10 BELENGGU)
1. Ditthi (Pandangan)
2. Vicikiccha (Keragu-raguan)
3. Silabataparamasa (Kepercayaan bahwa dengan upacara saja bisa mencapai kesucian) 
4. Kamaraga (Hawa Nafsu, Nafsu Indera)
5. Patigha (Kebencian, kemarahan)
6. Ruparaga (Nafsu untuk bertubuh dengan materi/nafsu untuk lahir di alam bermateri)
7. Aruparaga (Nafsu untuk menjadi bertubuh tanpa materi/nafsu untuk lahir di alam tanpa materi)
8. Mana (kesombongan)
9. Uddhacca (Kegelisahan)
10. Avijja (Kegelapan batin)
KILESA 10 (10 KEKOTORAN BATIN)
1. Ditthi (pandangan)
2. Vicikiccha (Keragu-raguan) 
3. Dosa (Kebencian)
4. Ahirika (tidak malu akan kejahatan)
5. Anottappa (tidak takut akibat perbuatan jahat)
6. Thina (Kemalasan)
7. Uddhacca (Kegelisahan)
8. Mana (kesombongan)
9. Moha (kebodohan batin, kegelapan batin)
10. Lobha (Keserakahan)
MICCHATTA DHAMMA 10 (10 KEKELIRUAN)
1. Miccha-ditthi (Pengertian keliru)
2. Miccha-Vaca (Ucapan salah) 
3. Miccha-Kammanta (Perbuatan jasmani salah)
4. Miccha-Ajiva (Penghidupan salah)
5. Miccha-Sankhappa (Pikiran salah)
6. Miccha-Vayama (Daya upaya salah) 
7. Miccha-Sati (Perhatian salah)
8. Miccha-Samadhi (Konsentrasi salah)
9. Miccha-Nana (Pengetahuan salah)
10. Miccha-Vimutti (Pembebasan salah)
VIPALLASA DHAMMA 12 (12 KESEMUAN)
1. Nicca-Sanna (Persepsi/pencerapan tentang segalanya kekal)
2. Nicca-Citta (Pemikiran tentang segalanya kekal)
3. NicchaDitthi (Pandangan/paham tentang segalanya kekal)
4. Atthasanna (Persepsi/pencerapan tentang sesuatu mengandung inti kekal/atta)
5. Attacitta (Pemikiran tentang sesuatu mengandung inti kekal/atta)
6. Atthaditthi (Pandangan/paham tentang sesuatu mengandung inti kekal/atta)
7. Sukhaditthi (Pandangan bahwa segala sesuatu itu menggembirakan)
8. Subhaditthi (Pandangan bahwa segala sesuatu itu indah) 
9. Subhasanna (Persepsi/pencerapan bahwa segala sesuatu itu indah)
10. Subhacitta (Pemikiran bahwa segala sesuatu itu indah)
11. Sukhasanna (Persepsi/pecerapan bahwa segala sesuatu itu menggembirakan)
12. Sukhacitta (Pemikiran bahwa segala sesuatu itu menggembirakan)
AKUSALA DHAMMA 12 (12 DHAMMA TAK BERMANFAAT)
1. Ditthigatasampayutta 4 (4 jenis Citta yg bersekutu dengan pandangan keliru) 
2. Ditthigatavippayutta 4 (4 jenis Citta yang tidak bersekutu dengan pandangan keliru)
3. Dosamulacitta 2 (2 jenis Citta yang dipimpin oleh kebencian)
4. Vicikiccha-sampayutta 1 (1 jenis Citta yang dipimpin oleh keraguan-raguan) 
5. Uddhaccasampayutta 1 (1 jenis Citta yang dipimpin oleh kegelisahan)
Ket : 
~Yg di bold biru adalah Sotapanna mampu memusnahkan secara total (samuccheda-pahana)
~Yg di bold merah adalah Sotapanna baru mampu mengendalikan dengan melemahkan (Tanukara-pahana)
_/\_ :lotus:
			
			
			
				Wah salah tulis, 
Saya tulis dasa kilesa, seharusnya dasa samyojana ya?   :-[
Makasih neng Lily.   _/\_
			
			
			
				mbah ko sdr fab,
karena itu saya punya pandangan berbeda. IMO tidak ada yg namanya merasakan nibbana. Dalam hal ini saya mengesampingkan VM dan coba melihat dari Nikaya, dan  tentunya seperti pembahasa pada threat sebelah bahwa memang ada perbedaan antara dua itu.
soal padam, yah itu implisit, kilesa itu kan penyebab tanha. tanha itu yg menyebabkan upadana yg merupakan adalah "bahan bakar" utk rantai berikutnya. pointnya adalah kalau dijelaskan dengan kata yang lain, masa nibbana dahulu baru hilang tanha *dkk*?
Quote
Kita ambil contoh kilesa pertama: Sakkaya  ditthi (pandangan palsu mengenai aku/diri) ini hanya pandangan kan? lantas apakah yang dapat melenyapkan pandangan tersebut? apakah wisdom atau konsentrasi yang melenyapkan kilesa? Bila wisdom darimana munculnya wisdom?
utk melenyapkan pandangan salah tersebut yah seperti di postingan sebelumnya, dengan melihat anicca ->dukkha->anatta, maka akan menyadari bahwa itu semua tidak layak dilekati. 
masa pake nibbana on off/temporary (merasakan nibbana) (tanha on off) (LDM on off) (kilesa on off) (arahant on of) dst
			
 
			
			
				Quote from: Lily W on 21 November 2009, 11:34:58 PM
Mungkin kita bisa liat dulu Pengelolaan Dhamma ini oleh Seorang Sotapanna...sbb:
PENGELOLAAN DHAMMA OLEH SOTAPANNA
AKUSALA KAMMAPATTHA 10 (10 SALURAN TUK BERBUAT TAK BERMANFAAT)
1. Panatipata (Membunuh)
2. Adinnadana (Mencuri)
3. Kamesumicchacara (Berbuat Asusila)
4. Musavada (Berdusta) 
5. Micchaditthi (Pandangan Salah)
6. Pisunavaca (Bicara Fitnah)
7. Pharusavaca (Kata kasar)
8. Byapada (Itikat Jahat)
9. Samphappalapa (Gosip)
10. Abhijjha (Hasrat Rendah, ketamakan)
LOKA DHAMMA 8 (8 KONDISI DUNIA)
1. Alabha (Rugi)
2. Ayasa (Tidak Masyur)
3. Ninda (cela)
4. Dukkha (Penderitaan)
5. Labha (Untung)
6. Yasa (Kemasyuran)
7. Pasamsa (Pujian)
8. Sukha (kebahagiaan)
MACCHARIYA 5 (5 JENIS KEKIKIRAN)
1. Dhammamacchariya (Kekikiran terhadap kebenaran/pengetahuan/ajaran/Dhamma)
2. Vannamacchariya (Kekikiran terhadap kemasyuran/keterkenalan)
3. Labhamacchariya (Kekikiran terhadap keuntungan/rejeki)
4. Kulamacchariya (Kekikiran terhadap keluarga)
5. Avasamacchariya (Kekikiran terhadap tempat tinggal) 
NIVARANA 6/7 (RINTANGAN BATIN)
1. Kukkucca (Kekhawatiran)
2. Vicikiccha (Keragu-raguan) 
3. Kamaraga (Hawa nafsu, nafsu indera)
4. Byapada (Itikat Jahat)
5. Thina-Middha (Malas-Lamban)
6. Uddhaca (Kegelisahan)
7. Avijja (Kegelapan batin )
SANYOJANA 10 (10 BELENGGU)
1. Ditthi (Pandangan)
2. Vicikiccha (Keragu-raguan)
3. Silabataparamasa (Kepercayaan bahwa dengan upacara saja bisa mencapai kesucian) 
4. Kamaraga (Hawa Nafsu, Nafsu Indera)
5. Patigha (Kebencian, kemarahan)
6. Ruparaga (Nafsu untuk bertubuh dengan materi/nafsu untuk lahir di alam bermateri)
7. Aruparaga (Nafsu untuk menjadi bertubuh tanpa materi/nafsu untuk lahir di alam tanpa materi)
8. Mana (kesombongan)
9. Uddhacca (Kegelisahan)
10. Avijja (Kegelapan batin)
KILESA 10 (10 KEKOTORAN BATIN)
1. Ditthi (pandangan)
2. Vicikiccha (Keragu-raguan) 
3. Dosa (Kebencian)
4. Ahirika (tidak malu akan kejahatan)
5. Anottappa (tidak takut akibat perbuatan jahat)
6. Thina (Kemalasan)
7. Uddhacca (Kegelisahan)
8. Mana (kesombongan)
9. Moha (kebodohan batin, kegelapan batin)
10. Lobha (Keserakahan)
MICCHATTA DHAMMA 10 (10 KEKELIRUAN)
1. Miccha-ditthi (Pengertian keliru)
2. Miccha-Vaca (Ucapan salah) 
3. Miccha-Kammanta (Perbuatan jasmani salah)
4. Miccha-Ajiva (Penghidupan salah)
5. Miccha-Sankhappa (Pikiran salah)
6. Miccha-Vayama (Daya upaya salah) 
7. Miccha-Sati (Perhatian salah)
8. Miccha-Samadhi (Konsentrasi salah)
9. Miccha-Nana (Pengetahuan salah)
10. Miccha-Vimutti (Pembebasan salah)
VIPALLASA DHAMMA 12 (12 KESEMUAN)
1. Nicca-Sanna (Persepsi/pencerapan tentang segalanya kekal)
2. Nicca-Citta (Pemikiran tentang segalanya kekal)
3. NicchaDitthi (Pandangan/paham tentang segalanya kekal)
4. Atthasanna (Persepsi/pencerapan tentang sesuatu mengandung inti kekal/atta)
5. Attacitta (Pemikiran tentang sesuatu mengandung inti kekal/atta)
6. Atthaditthi (Pandangan/paham tentang sesuatu mengandung inti kekal/atta)
7. Sukhaditthi (Pandangan bahwa segala sesuatu itu menggembirakan)
8. Subhaditthi (Pandangan bahwa segala sesuatu itu indah) 
9. Subhasanna (Persepsi/pencerapan bahwa segala sesuatu itu indah)
10. Subhacitta (Pemikiran bahwa segala sesuatu itu indah)
11. Sukhasanna (Persepsi/pecerapan bahwa segala sesuatu itu menggembirakan)
12. Sukhacitta (Pemikiran bahwa segala sesuatu itu menggembirakan)
AKUSALA DHAMMA 12 (12 DHAMMA TAK BERMANFAAT)
1. Ditthigatasampayutta 4 (4 jenis Citta yg bersekutu dengan pandangan keliru) 
2. Ditthigatavippayutta 4 (4 jenis Citta yang tidak bersekutu dengan pandangan keliru)
3. Dosamulacitta 2 (2 jenis Citta yang dipimpin oleh kebencian)
4. Vicikiccha-sampayutta 1 (1 jenis Citta yang dipimpin oleh keraguan-raguan) 
5. Uddhaccasampayutta 1 (1 jenis Citta yang dipimpin oleh kegelisahan)
Ket : 
~Yg di bold biru adalah Sotapanna mampu memusnahkan secara total (samuccheda-pahana)
~Yg di bold merah adalah Sotapanna baru mampu mengendalikan dengan melemahkan (Tanukara-pahana)
_/\_ :lotus:
tambahan...
Kemarin2 sukong bilang berapa persentase ariya puggala dalam memberantas kilesa (kilesa yg telah dibasmi), yaitu sbb:
~ Sotapanna = 25%
~ Sakadagami = 50%
~ Anagami = 75%
~ Arahat = 100%
Saupadisesa Nibbana adalah padamnya kilesa secara total (100%), tetapi Pancakkhandha masih ada.
_/\_ :lotus:
			
 
			
			
				Quotembah ko sdr fab,
karena itu saya punya pandangan berbeda. IMO tidak ada yg namanya merasakan nibbana. Dalam hal ini saya mengesampingkan VM dan coba melihat dari Nikaya, dan  tentunya seperti pembahasa pada threat sebelah bahwa memang ada perbedaan antara dua itu.
Memang kita tidak bisa mengharapkan orang lain selalu sependapat dengan kita, tetapi bila kita mau jujur tanpa buku-buku seperti Visuddhi Magga yang mengulas mengenai meditasi secara lebih detail akan sulit bagi kita memahami Tipitaka. Permasalahannya sistematika sutta tidak hanya dikelompokkan berdasarkan topik, tetapi juga berdasarkan panjangnya sutta dan topik meditasi dalam sutta tidak dikelompokkan secara sistematis.
Mungkin perlu diketahui bahwa Visuddhi Magga ditulis berdasarkan Tipitaka, sehingga sebagian orang mengatakan bahwa Visuddhi Magga adalah ringkasan Tipitaka. Saya memang bukan ahli Tipitaka jadi sulit bagi saya untuk menjawab suatu pertanyaan bila ditanya dimana referensinya di Tipitaka? mungkin kita harus mengajukan pertanyaan seperti ini kepada seorang Tipitaka Dhara. Bagi saya Visuddhi Magga cukup representative sebagai referensi, karena diterima secara luas dikalangan umat Buddha Theravada selama 1500 tahun bahkan dikalangan ahli meditasi yang hebat sekalipun mereka menerima Visuddhi Magga, dan menjadikannya sebagai referensi.
Quotesoal padam, yah itu implisit, kilesa itu kan penyebab tanha. tanha itu yg menyebabkan upadana yg merupakan adalah "bahan bakar" utk rantai berikutnya. pointnya adalah kalau dijelaskan dengan kata yang lain, masa nibbana dahulu baru hilang tanha *dkk*?
Pertanyaan saya sebelumnya suhu... kalau menurut suhu bagaimana proses lenyapnya tanha?
QuoteQuoteKita ambil contoh kilesa pertama: Sakkaya  ditthi (pandangan palsu mengenai aku/diri) ini hanya pandangan kan? lantas apakah yang dapat melenyapkan pandangan tersebut? apakah wisdom atau konsentrasi yang melenyapkan kilesa? Bila wisdom darimana munculnya wisdom?
utk melenyapkan pandangan salah tersebut yah seperti di postingan sebelumnya, dengan melihat anicca ->dukkha->anatta, maka akan menyadari bahwa itu semua tidak layak dilekati.
Ada pertanyaan sedikit nih suhu,
Dimanakah kita melihat anicca, dukkha dan anatta?  umpamanya seseorang sudah belajar mengenai konsep anicca dukkha dan anatta di sekolah dan ia tahu dan sadar bahwa itu semua tak layak dilekati, apakah orang tersebut terlepas dari pandangan salah? Apakah dengan demikian ia sudah memiliki wisdom?
Quotemasa pake nibbana on off/temporary (merasakan nibbana) 
Nibbana adalah keadaan batin yang bisa dialami oleh Ariya puggala, mungkin ada baiknya bila suhu berusaha 
fact finding  bertanya kepada meditator yang cukup terkenal, mungkin Pa Auk Sayadaw atau Sayadaw-Sayadaw pembimbing Vipassana, don't take my word, just look for the truth..
Quote(tanha on off) (LDM on off) (kilesa on off)
Wah untuk ini tak usah Nibbana suhu... Pada Jhana: lobha, dosa, tanha dan beberapa kilesa juga off sementara... dan on lagi sesudah keluar dari Jhana...
Quote
(arahant on of) dst
Wah? kayaknya saya nggak pernah bilang Arahat on-of  suhu...
Karena Arahat pasti mencapai/mengalami Nibbana, tetapi mencapai/mengalami Nibbana belum tentu Arahat.
Sekedar sharing...
sukhi hotu
			
 
			
			
				Sebagai tambahan referensi:
http://www.londonbuddhistvihara.org/qa/qa_nibbana.htm
artikel:
What is enlightenment
http://www.aimwell.org/Books/Mahasi/Nibbana/nibbana.html#What
artikel:
-Formations and Nibbana
-Two noteworthy verses
-Nibbana is real
			
			
			
				Quotetambahan...
Kemarin2 sukong bilang berapa persentase ariya puggala dalam memberantas kilesa (kilesa yg telah dibasmi), yaitu sbb:
~ Sotapanna = 25%
~ Sakadagami = 50%
~ Anagami = 75%
~ Arahat = 100%
Saupadisesa Nibbana adalah padamnya kilesa secara total (100%), tetapi Pancakkhandha masih ada.
Menurut Dr. MTM dalam bukunya Buddha Abhidhamma hal 256, diterangkan sbb:
Nibbana is realized through the knowledge belonging to the four paths and four fruits. It is observed by Magga Nana and Phala Nana.Nibbana dialami melalui pengetahuan yang termasuk empat Magga dan empat Phala. Ini dilakukan pada Magga Nana dan Phala Nana.
Nibbana is the object of the four paths and their fruitsNibbana  adalah objek dari 4 Magga dan phalanya.
When the cause of suffering, that is defilements  (kilesas) are completely eradicated by the 4 path-wisdoms, suffering is also annihilated.  Then only bliss (piti) and peacefulness (santi) exist in the mental stream. This unique bliss and peacefulness is called Nibbana.Jika penyebab penderitaan, yaitu kekotoran batin (kilesa) yang sepenuhnya dilenyapkan oleh ke-4 kebijaksanaan Magga, penderitaan juga lenyap. kebahagiaan yang tersisa (piti) dan kedamaian (santi) tetap berada pada arus batin. kebahagiaan dan kedamaian unik inilah yang disebut Nibbana.
dan hal 257:
Sa-upadisesa Nibbana = Kilesa Nibbana -> dicapai melalui pelenyapan kilesa. Tetapi tak dikatakan pelenyapan kilesa 100% tuh, ceu Lily...
 _/\_
			
 
			
			
				For Lily:
Kayaknya sulit untuk memberikan persentase terhadap pelenyapan kilesa pada seorang sotapanna, sakadagami, anagami dan arahat, karena kilesa tidak bisa diukur dengan timbangan atau meteran :D Namun jika seumpamanya setiap belenggu dari 10 belenggu yang harus dihancurkan, masing2 memiliki persentase yang sama, seharusnya seorang anagami dikatakan baru melenyapkan 50 persen dari keseluruhan belenggu karena ia baru melenyapkan 5 belenggu, right?
Be happy.
			
			
			
				kita itu mirip orang buta meraba gajah...hahahha
			
			
			
				Hal 278 buku sinar kebijaksanaan (light of Wisdom) Pa Auk Sayadaw mengatakan:
Apa yang harus dilakukan meditator yang seolah-olah telah mencapai sotapatti Magga? Ia harus menyatakan tekad berulang kali untuk mengetahui apakah itu benar atau salah. Itu bisa disimpulkan bahwa seseorang sungguh merealisasi Nibbana jika ia bisa merealisasi Nibbana segera setelah ia menyatakan tekad seperti "semoga terjadi realisasi Nibbana selama satu jam", "semoga terjadi realisasi Nibana selama dua jam" dstnya...
 _/\_
			
			
			
				Quote from: Peacemind on 22 November 2009, 08:09:50 PM
For Lily:
Kayaknya sulit untuk memberikan persentase terhadap pelenyapan kilesa pada seorang sotapanna, sakadagami, anagami dan arahat, karena kilesa tidak bisa diukur dengan timbangan atau meteran :D Namun jika seumpamanya setiap belenggu dari 10 belenggu yang harus dihancurkan, masing2 memiliki persentase yang sama, seharusnya seorang anagami dikatakan baru melenyapkan 50 persen dari keseluruhan belenggu karena ia baru melenyapkan 5 belenggu, right?
Be happy.
dan itu juga jika 10 itu memiliki bobot yang sama, tapi apakah memang sama? adakah formula untuk mengkonversi ini?
			
 
			
			
				Quote from: nyanadhana on 22 November 2009, 08:17:26 PM
kita itu mirip orang buta meraba gajah...hahahha
tapi antara sesama orang buta pun masih ada perbedaannya :D
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 21 November 2009, 10:53:24 PM
Quotekalau nibbana dahulu baru kilesa hilang, padam dahulu baru bahan bakar habis. aneh kan.
Seingat saya bahan bakarnya adalah tanha (bhava tanha) bukan dasa kilesa, sedangkan padam yang dimaksud adalah berhentinya bentukan-bentukan/ kondisi-kondisi. Dalam kaitan paticcasamuppada yang dimaksud adalah padamnya sankhara (ingat khotbah Y.A. Assaji kepada Upatissa: Ye Dhamma hetupabbava.... dstnya)
 
Maap nyela ko Fab ^:)^
Bhava tanha bahkan masih ada pada seorang anagami, hanya seorang arahat yang melenyapkan keseluruhan tanha: bhava tanha, vibhava tanha, kama tanha. Jadi dalam konteks seorang sotapanna, bhava tanha belum dilenyapkan dan begitu pula tanha lainnya.
mettacittena
_/\_
			
 
			
			
				Hal 108 dan 109 buku the Satipatthana Vipassana meditation (dari khotbah Mahasi Sayadaw) mengatakan:
MENGALAMI NIBBANA PERTAMA KALINYA
Sebelum Sotapatti Magga
keadaan mengamati dengan pengertian sempurna terhadap salah satu karakteristik (memiliki kejernihan dan kekuatan yang lebih tinggi) dari ketiga karakteristik, menjadi bertambah cepat dan bermanifestasi sendiri dengan urutan cepat tiga atau empat kali dalam urutan cepat. Segera setelah kesadaran terakhir dalam  urutan pengamatan yang bertambah cepat berakhir, Magga dan Phala muncul mengalami Nibbana, berhentinya semua bentukan(kondisi/sankhara).
 _/\_
			
			
			
				Quote from: Jerry on 22 November 2009, 08:34:54 PM
Quote from: nyanadhana on 22 November 2009, 08:17:26 PM
kita itu mirip orang buta meraba gajah...hahahha
tapi antara sesama orang buta pun masih ada perbedaannya :D
ya gitulah...masih buta soalnya.hahahaha...
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 22 November 2009, 08:44:38 PM
Quote from: fabian c on 21 November 2009, 10:53:24 PM
Quotekalau nibbana dahulu baru kilesa hilang, padam dahulu baru bahan bakar habis. aneh kan.
Seingat saya bahan bakarnya adalah tanha (bhava tanha) bukan dasa kilesa, sedangkan padam yang dimaksud adalah berhentinya bentukan-bentukan/ kondisi-kondisi. Dalam kaitan paticcasamuppada yang dimaksud adalah padamnya sankhara (ingat khotbah Y.A. Assaji kepada Upatissa: Ye Dhamma hetupabbava.... dstnya)
 
Maap nyela ko Fab ^:)^
Bhava tanha bahkan masih ada pada seorang anagami, hanya seorang arahat yang melenyapkan keseluruhan tanha: bhava tanha, vibhava tanha, kama tanha. Jadi dalam konteks seorang sotapanna, bhava tanha belum dilenyapkan dan begitu pula tanha lainnya.
mettacittena
_/\_
Saudara Jerry yang baik,
Memang benar seorang Sotapanna belum mengatasi bhava tanha, itulah yang menjadi bahan bakar dumadi.
Tetapi seorang Sotapanna juga mengalami Paticca Samuppada dalam kadar tertentu (mengalami Paticca samuppada dengan urutan terbalik), dan pada prosesnya juga saya rasa melewati lenyapnya tanha dalam kadar tertentu.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Indra on 22 November 2009, 08:29:44 PM
Quote from: Peacemind on 22 November 2009, 08:09:50 PM
For Lily:
Kayaknya sulit untuk memberikan persentase terhadap pelenyapan kilesa pada seorang sotapanna, sakadagami, anagami dan arahat, karena kilesa tidak bisa diukur dengan timbangan atau meteran :D Namun jika seumpamanya setiap belenggu dari 10 belenggu yang harus dihancurkan, masing2 memiliki persentase yang sama, seharusnya seorang anagami dikatakan baru melenyapkan 50 persen dari keseluruhan belenggu karena ia baru melenyapkan 5 belenggu, right?
Be happy.
dan itu juga jika 10 itu memiliki bobot yang sama, tapi apakah memang sama? adakah formula untuk mengkonversi ini?
Makanya saya katakan "SEUMPAMANYA", karena kita pun tidak mungkin bisa mengukur bobot kilesa.. :D
			
 
			
			
				tidak bisa mengukur secara pasti, tp bisa mengira2 dan jelas bobot dr point 1 ke point 10 tidak sama. makin ke bawah makin berat. :D
			
			
			
				Quote from: nyanadhana on 22 November 2009, 08:17:26 PM
kita itu mirip orang buta meraba gajah...hahahha
Benar... :jempol:
_/\_ :lotus:
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 22 November 2009, 08:57:57 PM
Quote from: Jerry on 22 November 2009, 08:44:38 PM
Quote from: fabian c on 21 November 2009, 10:53:24 PM
Quotekalau nibbana dahulu baru kilesa hilang, padam dahulu baru bahan bakar habis. aneh kan.
Seingat saya bahan bakarnya adalah tanha (bhava tanha) bukan dasa kilesa, sedangkan padam yang dimaksud adalah berhentinya bentukan-bentukan/ kondisi-kondisi. Dalam kaitan paticcasamuppada yang dimaksud adalah padamnya sankhara (ingat khotbah Y.A. Assaji kepada Upatissa: Ye Dhamma hetupabbava.... dstnya)
 
Maap nyela ko Fab ^:)^
Bhava tanha bahkan masih ada pada seorang anagami, hanya seorang arahat yang melenyapkan keseluruhan tanha: bhava tanha, vibhava tanha, kama tanha. Jadi dalam konteks seorang sotapanna, bhava tanha belum dilenyapkan dan begitu pula tanha lainnya.
mettacittena
_/\_
Saudara Jerry yang baik,
Memang benar seorang Sotapanna belum mengatasi bhava tanha, itulah yang menjadi bahan bakar dumadi.
Tetapi seorang Sotapanna juga mengalami Paticca Samuppada dalam kadar tertentu (mengalami Paticca samuppada dengan urutan terbalik), dan pada prosesnya juga saya rasa melewati lenyapnya tanha dalam kadar tertentu.
 _/\_
_/\_ Ko Fab,
Tanha ada 3, lalu turunan dr tanha adalah upadana. Dan upadana tergolong menjadi 4: ditthupadana, kamupadana, bhavupadana, silabbatupadana. Seorang sotapanna dg demikian telah melenyapkan 2 yaitu ditthupadana dan silabbatupadana. Jadi, bisa kita katakan seorang sotapanna telah melenyapkan 2 bentuk turunan dari tanha, tapi belum lsg ke tanha itu sendiri.
Mettacittena,
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 22 November 2009, 07:49:54 PM
Quotetambahan...
Kemarin2 sukong bilang berapa persentase ariya puggala dalam memberantas kilesa (kilesa yg telah dibasmi), yaitu sbb:
~ Sotapanna = 25%
~ Sakadagami = 50%
~ Anagami = 75%
~ Arahat = 100%
Saupadisesa Nibbana adalah padamnya kilesa secara total (100%), tetapi Pancakkhandha masih ada.
Menurut Dr. MTM dalam bukunya Buddha Abhidhamma hal 256, diterangkan sbb:
Nibbana is realized through the knowledge belonging to the four paths and four fruits. It is observed by Magga Nana and Phala Nana.
Nibbana dialami melalui pengetahuan yang termasuk empat Magga dan empat Phala. Ini dilakukan pada Magga Nana dan Phala Nana.
Nibbana is the object of the four paths and their fruits
Nibbana  adalah objek dari 4 Magga dan phalanya.
When the cause of suffering, that is defilements  (kilesas) are completely eradicated by the 4 path-wisdoms, suffering is also annihilated.  Then only bliss (piti) and peacefulness (santi) exist in the mental stream. This unique bliss and peacefulness is called Nibbana.
Jika penyebab penderitaan, yaitu kekotoran batin (kilesa) yang sepenuhnya dilenyapkan oleh ke-4 kebijaksanaan Magga, penderitaan juga lenyap. kebahagiaan yang tersisa (piti) dan kedamaian (santi) tetap berada pada arus batin. kebahagiaan dan kedamaian unik inilah yang disebut Nibbana.
dan hal 257:
Sa-upadisesa Nibbana = Kilesa Nibbana -> dicapai melalui pelenyapan kilesa. Tetapi tak dikatakan pelenyapan kilesa 100% tuh, ceu Lily...---> dalam Abhidhammatthasangaha: Saupadisesa Nibbana adalah padamnya kilesa secara total, tetapi Pancakkhandha masih ada. Persentasenya aku yg tambahin ;D soalnya ada secara total... ;D
 _/\_
Tadi saya ada tanya sama Dr. Mehm Tin Mon... dan Dr. Mehm Tin Mon menjelaskan bahwa : 
~seorang Sotapanna bisa merealisasi Nibbana waktu dia sedang meditasi dan mencapai MAGGA PHALA (kek post saya ttg MAGGA VITHI dimana MAGGA PHALA itu yg objeknya Nibbana)...Sotapanna merasakan kedamaian Nibbana waktu sedang meditasi dan itu seperti orang sedang memasuki jhana (bisa di rasakan selama 7 hari). setelah keluar dari meditasi...dia melakukan kehidupan sehari2.
Begitulah kira2 yang aku dengar dari penjelasan Dr. Mehm Tin Mon...(cmiiw).
_/\_ :lotus:
			
 
			
			
				Quote from: Peacemind on 22 November 2009, 08:09:50 PM
For Lily:
Kayaknya sulit untuk memberikan persentase terhadap pelenyapan kilesa pada seorang sotapanna, sakadagami, anagami dan arahat, karena kilesa tidak bisa diukur dengan timbangan atau meteran :D Namun jika seumpamanya setiap belenggu dari 10 belenggu yang harus dihancurkan, masing2 memiliki persentase yang sama, seharusnya seorang anagami dikatakan baru melenyapkan 50 persen dari keseluruhan belenggu karena ia baru melenyapkan 5 belenggu, right?
Be happy.
Menurut Sukong...perhitungan itu kira2 aja... ;D
_/\_ :lotus:
			
 
			
			
				Masalahnya.......Apakah seorang Sotapana dapat mengetahui bahwa dirinya adalah Sotapana (atau Sakadagami dan Anagami)?
			
			
			
				Quote from: hendrako on 22 November 2009, 11:29:54 PM
Masalahnya.......Apakah seorang Sotapana dapat mengetahui bahwa dirinya adalah Sotapana (atau Sakadagami dan Anagami)?
Kalau seorang sotapanna tidak mengetahu bahwa dia adalah sotapanna, atau seorang sakadagami tidak mengerti bahwa dia telah mencapai kesucian sakadagami, tidak ada gunanya pencapaian semacam itu. Logikanya gampang, kalau setelah makan dan kita kenyang, tetapi kita tidak tahu apakah kita sudah kenyang, tidak ada gunanya untuk makan. Kita akan terus makan dan akhirnya kita mati kekenyangan. Jelas orang yang telah mencapai kesucian dia tahu bahwa dia telah mencapai kesucian. Karena itu, dia mengatakan "yaṃ kiñci samudayadhammaṃ, sabbaṃ taṃ nirodhadhammaṃ"
			
 
			
			
				Quote from: dhammasiri on 22 November 2009, 11:38:51 PM
Quote from: hendrako on 22 November 2009, 11:29:54 PM
Masalahnya.......Apakah seorang Sotapana dapat mengetahui bahwa dirinya adalah Sotapana (atau Sakadagami dan Anagami)?
Kalau seorang sotapanna tidak mengetahu bahwa dia adalah sotapanna, atau seorang sakadagami tidak mengerti bahwa dia telah mencapai kesucian sakadagami, tidak ada gunanya pencapaian semacam itu. Logikanya gampang, kalau setelah makan dan kita kenyang, tetapi kita tidak tahu apakah kita sudah kenyang, tidak ada gunanya untuk makan. Kita akan terus makan dan akhirnya kita mati kekenyangan. Jelas orang yang telah mencapai kesucian dia tahu bahwa dia telah mencapai kesucian. Karena itu, dia mengatakan "yaṃ kiñci samudayadhammaṃ, sabbaṃ taṃ nirodhadhammaṃ"
Merujuk pada Sutta, saya tidak (ato belum?) mendapatkan bahwa ada yg mengetahui dan mengaku dirinya telah mencapai Sotapanna, Sakadagami, dan Anagami. Yang ada hanyalah bahwa Sang Buddha mengetahui dan menyatakan pencapaian seseorang. Berbeda dengan pencapaian Arahat, bahwa yang telah merealisasikannya mengetahui dan mengakui pencapaian ke-arahat-an. 
			
 
			
			
				Coba telusuri lagi, anak perempuannya Anathapindika yang bernama Sumana berani manggil bapaknya sendiri adik, karena tahu pencapaiannya lebih tinggi daripada bapaknya yang Sotapanna.
			
			
			
				Quote from: gachapin on 23 November 2009, 12:15:43 AM
Coba telusuri lagi, anak perempuannya Anathapindika yang bernama Sumana berani manggil bapaknya sendiri adik, karena tahu pencapaiannya lebih tinggi daripada bapaknya yang Sotapanna.
Thanks Bro, saya coba telusuri lagi.
 _/\_
			
 
			
			
				^
^ Karena tau pencapaiannya lebih tinggi ato tau hubungan dengan bapaknya dikehidupan lampau ?
Bisa minta sumbernya ?
			
			
			
				Dalam Veḷudvāreyyasutta dari Saṃyuttanikāya, setelah menjelaskan 7 kwalitas yang dimiliki seorang sotapanna, Sang BUddha mengatakan:
"Yato kho, gahapatayo, ariyasāvako imehi sattahi saddhammehi samannāgato hoti imehi catūhi ākaṅkhiyehi ṭhānehi, so ākaṅkhamāno attanāva attānaṃ byākareyya – 'khīṇanirayomhi khīṇatiracchānayoni khīṇatiracchānayoniko khīṇapettivisayo khīṇāpāyaduggativinipāto, sotāpannohamasmi avinipātadhammo niyato sambodhiparāyaṇo'''ti.
"O, perumah tangga, seorang murid mulia yang memiliki 7 hal dan 4 hal yang menyenangkan, jika ia mau, ia bisa menyatakan pada dirinya, 'Saya telah menghancurkan kelahiran di alam neraka bagi diriku, saya telah menghancurkan kelahiran di alam binatang, saya telah menghancurkan kelahiran di alam peta, saya telah menghancurkan kelahiran di alam rendah. Saya adalah seorang pemasuk arus (sotapanna), tidak akan pergi ke alam rendah lagi, telah yakin dan mengarah kepada penerangan".
Sementara itu, dalam Nandamātāsutta dari Anguttaranikāya, di depan Bhikkhu Sāriputta, seorang upasīkā bernama Nandamātā menyatakan dirinya telah mencapai anagami ketika ia mengatakan bahwa ia telah menghancurkan 5 belenggu batin rendah.
Be happy.
			
			
			
				Dalam pencapaian, mereka yg mencapai biasanya tau. Tapi mereka tidak tau pencapaian orang lain, utk itu butuh verifikasi seorang Buddha.
			
			
			
				Quote from: Jerry on 23 November 2009, 12:39:20 AM
Dalam pencapaian, mereka yg mencapai biasanya tau. Tapi mereka tidak tau pencapaian orang lain, utk itu butuh verifikasi seorang Buddha.
Waduh ... yang bener nih ? :D
Ato jangan-jangan ... ?  :-? ...  :))
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 23 November 2009, 12:39:20 AM
Dalam pencapaian, mereka yg mencapai biasanya tau. Tapi mereka tidak tau pencapaian orang lain, utk itu butuh verifikasi seorang Buddha.
Tampaknya memang demikian. Buktinya, dalam Rathavinitasutta, meskipun Bhikkhu Puṇṇamantaniputta yang saat itu adalah seorang arahat bercakap-cakap dengan Bhikkhu Sāriputta, pada awalnya, beliau tidak tahu bahwa orang yang bercakap dengannya adalh Bhikkhu Sāriputta dan dari percakapan di sana, tampaknya beliau juga tidak tahu bahwa orang yang sedang diajak bicara adalah seorang arahat. 
			
 
			
			
				Yup, dan ada beberapa case lainnya yg demikian.
			
			
			
				Quote from: Peacemind on 23 November 2009, 12:54:36 AM
Quote from: Jerry on 23 November 2009, 12:39:20 AM
Dalam pencapaian, mereka yg mencapai biasanya tau. Tapi mereka tidak tau pencapaian orang lain, utk itu butuh verifikasi seorang Buddha.
Tampaknya memang demikian. Buktinya, dalam Rathavinitasutta, meskipun Bhikkhu Puṇṇamantaniputta yang saat itu adalah seorang arahat bercakap-cakap dengan Bhikkhu Sāriputta, pada awalnya, beliau tidak tahu bahwa orang yang bercakap dengannya adalh Bhikkhu Sāriputta dan dari percakapan di sana, tampaknya beliau juga tidak tahu bahwa orang yang sedang diajak bicara adalah seorang arahat. 
tambahan lagi, ketika bhikkhu Sariputta berusaha mencegah bhikkhu Channa bunuh diri, tampaknya bhikkhu Sariputta juga tidak tau sahabatnya adalah arahat.
			
 
			
			
				walah, dah kelewatan 1 halaman kgk cek 1/2 hari aja....
Quote from: fabian c on 22 November 2009, 03:46:19 PM
Memang kita tidak bisa mengharapkan orang lain selalu sependapat dengan kita, tetapi bila kita mau jujur tanpa buku-buku seperti Visuddhi Magga yang mengulas mengenai meditasi secara lebih detail akan sulit bagi kita memahami Tipitaka. Permasalahannya sistematika sutta tidak hanya dikelompokkan berdasarkan topik, tetapi juga berdasarkan panjangnya sutta dan topik meditasi dalam sutta tidak dikelompokkan secara sistematis.
Mungkin perlu diketahui bahwa Visuddhi Magga ditulis berdasarkan Tipitaka, sehingga sebagian orang mengatakan bahwa Visuddhi Magga adalah ringkasan Tipitaka. Saya memang bukan ahli Tipitaka jadi sulit bagi saya untuk menjawab suatu pertanyaan bila ditanya dimana referensinya di Tipitaka? mungkin kita harus mengajukan pertanyaan seperti ini kepada seorang Tipitaka Dhara. Bagi saya Visuddhi Magga cukup representative sebagai referensi, karena diterima secara luas dikalangan umat Buddha Theravada selama 1500 tahun bahkan dikalangan ahli meditasi yang hebat sekalipun mereka menerima Visuddhi Magga, dan menjadikannya sebagai referensi.
Memang VM bisa membantu kita memahami  Tipitaka akan tetapi saya menemukan ada hal2x yg tidak selalu sejalan. Dalam hal ini seperti kata bro Gachapin, Nikaya mendapatkan prioritas diatas kitab komentar.
Quote
Pertanyaan saya sebelumnya suhu... kalau menurut suhu bagaimana proses lenyapnya tanha?
kalau saya sendiri belum bisa menceritakan menurut pengalaman sendiri, tetapi saya bisa mengutip dari Adittapariyaya Sutta
Quote
"Bhikkhus, when a noble follower who has heard (the truth) sees thus, he finds estrangement in the eye, finds estrangement in forms, finds estrangement in eye-consciousness, finds estrangement in eye-contact, and whatever is felt as pleasant or painful or neither-painful- nor-pleasant that arises with eye-contact for its indispensable condition, in that too he finds estrangement.
"He finds estrangement in the ear... in sounds...
"He finds estrangement in the nose... in odors...
"He finds estrangement in the tongue... in flavors...
"He finds estrangement in the body... in tangibles...
"He finds estrangement in the mind, finds estrangement in ideas, finds estrangement in mind-consciousness, finds estrangement in mind-contact, and whatever is felt as pleasant or painful or neither-painful-nor-pleasant that arises with mind-contact for its indispensable condition, in that too he finds estrangement.
Quote
Ada pertanyaan sedikit nih suhu,
Dimanakah kita melihat anicca, dukkha dan anatta?  umpamanya seseorang sudah belajar mengenai konsep anicca dukkha dan anatta di sekolah dan ia tahu dan sadar bahwa itu semua tak layak dilekati, apakah orang tersebut terlepas dari pandangan salah? Apakah dengan demikian ia sudah memiliki wisdom?
kita melihat anicca, dukkha dan anatta pada khanda kita. Utk contohnya kita bisa merujuk pada SN 25.3: Vinnana Sutta berikut
Quote
Di Savatthi, "Para Bhikkhu, kesadaran-mata adalah tidak tetap, dapat berganti, dapat berubah. Kesadaran-telinga... Kesadaran hidung... Kesadaran-lidah... Kesadaran-tubuh... Kesadaran intelek adalah tidak tetap, dapat berganti, dapat berubah.
"Seseorang yang memiliki kepercayaan & keyakinan bahwa fenomena-fenomena ini demikian disebut sebagai seorang pengikut-berkeyakinan: seseorang yang telah memasuki tatanan kebenaran, memasuki tingkatan orang-orang dengan integritas, melampaui tingkatan dari orang-biasa (puthujana). Dia tidak dapat melakukan perbuatan yang akan membuatnya terlahir di neraka, rahim binatang, atau di alam setan kelaparan. Dia tidak dapat meninggal sampai dia merealisasikan buah dari pemasuk arus.
"Seseorang yang, telah merenung dengan sedikit pemahaman, telah menerima fenomena-fenomena ini demikian disebut sebagai seorang pengikut-Dhamma: Seseorang yang telah memasuki tatanan kebenaran, memasuki tingkatan orang-orang dengan integritas, melampaui tingkatan dari orang-biasa(puthujana). Dia tidak dapat melakukan perbuatan yang akan membuatnya terlahir di neraka, rahim binatang, atau di alam setan kelaparan. Dia tidak dapat meninggal sampai dia merealisasikan buah dari pemasuk arus.
"Seseorang yang mengetahui dan melihat fenomena-fenomena ini demikian disebut sebagai seorang pemasuk-arus, mantap, tidak akan pernah lagi terlahir dikondisi yang menyedihkan, mengarah pada pembebasan.
Quote
Quotemasa pake nibbana on off/temporary (merasakan nibbana) 
Nibbana adalah keadaan batin yang bisa dialami oleh Ariya puggala, mungkin ada baiknya bila suhu berusaha fact finding  bertanya kepada meditator yang cukup terkenal, mungkin Pa Auk Sayadaw atau Sayadaw-Sayadaw pembimbing Vipassana, don't take my word, just look for the truth..
IMO Nibbana itu tidak bisa dialamai oleh Ariya Puggala karena by definition saja tidak kena. Ada kemungkinan penggunaan istilah Nibbana ini yg digunakan lebih meluas dan melenceng dari maknanya. Jika hanya kondisi2x keadaan meditatif, apakah itu Nibbana? Tentu itu bukan. Kita hanya bisa menggunakan logika saja seperti yg dijelaskan dalam  AN 9.34: Nibbana Sutta: Unbinding 
QuoteI have heard that on one occasion Ven. Sariputta was staying near Rajagaha in the Bamboo Grove, the Squirrels' Feeding Sanctuary. There he said to the monks, "This Unbinding is pleasant, friends. This Unbinding is pleasant."
When this was said, Ven. Udayin said to Ven. Sariputta, "But what is the pleasure here, my friend, where there is nothing felt?"
"Just that is the pleasure here, my friend: where there is nothing felt. There are these five strings of sensuality. Which five? Forms cognizable via the eye — agreeable, pleasing, charming, endearing, fostering desire, enticing; sounds cognizable via the ear... smells cognizable via the nose... tastes cognizable via the tongue... tactile sensations cognizable via the body — agreeable, pleasing, charming, endearing, fostering desire, enticing. Whatever pleasure or joy arises in dependence on these five strings of sensuality, that is sensual pleasure.
"Now there is the case where a monk — quite withdrawn from sensuality, withdrawn from unskillful qualities — enters & remains in the first jhana: rapture & pleasure born from withdrawal, accompanied by directed thought & evaluation. If, as he remains there, he is beset with attention to perceptions dealing with sensuality, that is an affliction for him. Just as pain arises as an affliction in a healthy person for his affliction, even so the attention to perceptions dealing with sensuality that beset the monk is an affliction for him. Now, the Blessed One has said that whatever is an affliction is stress. So by this line of reasoning it may be known how Unbinding is pleasant.
"Furthermore, there is the case where a monk, with the stilling of directed thoughts & evaluations, enters & remains in the second jhana: rapture & pleasure born of composure, unification of awareness free from directed thought & evaluation — internal assurance. If, as he remains there, he is beset with attention to perceptions dealing with directed thought, that is an affliction for him...
"Furthermore, there is the case where a monk, with the fading of rapture, he remains equanimous, mindful, & alert, and senses pleasure with the body. He enters & remains in the third jhana, of which the Noble Ones declare, 'Equanimous & mindful, he has a pleasant abiding.' If, as he remains there, he is beset with attention to perceptions dealing with rapture, that is an affliction for him...
"Furthermore, there is the case where a monk, with the abandoning of pleasure & stress — as with the earlier disappearance of elation & distress — enters & remains in the fourth jhana: purity of equanimity & mindfulness, neither-pleasure-nor-pain. If, as he remains there, he is beset with attention to perceptions dealing with equanimity, that is an affliction for him...
"Furthermore, there is the case where a monk, with the complete transcending of perceptions of [physical] form, with the disappearance of perceptions of resistance, and not heeding perceptions of diversity, [perceiving,] 'Infinite space,' enters & remains in the dimension of the infinitude of space. If, as he remains there, he is beset with attention to perceptions dealing with form, that is an affliction for him...
"Furthermore, there is the case where a monk, with the complete transcending of the dimension of the infinitude of space, [perceiving,] 'Infinite consciousness,' enters & remains in the dimension of the infinitude of consciousness. If, as he remains there, he is beset with attention to perceptions dealing with the dimension of the infinitude of space, that is an affliction for him...
"Furthermore, there is the case where a monk, with the complete transcending of the dimension of the infinitude of consciousness, [perceiving,] 'There is nothing,' enters & remains in the dimension of nothingness. If, as he remains there, he is beset with attention to perceptions dealing with the dimension of the infinitude of consciousness, that is an affliction for him...
"Furthermore, there is the case where a monk, with the complete transcending of the dimension of nothingness, enters & remains in the dimension of neither perception nor non-perception. If, as he remains there, he is beset with attention to perceptions dealing with the dimension of nothingness, that is an affliction for him. Now, the Blessed One has said that whatever is an affliction is stress. So by this line of reasoning it may be known how pleasant Unbinding is.
"Furthermore, there is the case where a monk, with the complete transcending of the dimension of neither perception nor non-perception, enters & remains in the cessation of perception & feeling. And, having seen [that] with discernment, his mental fermentations are completely ended. So by this line of reasoning it may be known how Unbinding is pleasant."
Quote
Quote(tanha on off) (LDM on off) (kilesa on off)
Wah untuk ini tak usah Nibbana suhu... Pada Jhana: lobha, dosa, tanha dan beberapa kilesa juga off sementara... dan on lagi sesudah keluar dari Jhana...
saya belum pernah dengar kalo jhana itu LDM dan tanha itu off *bahkan sementara*. Adanya juga sensualitas, tidak ada tanha yg dihilangkan. Yah contohnya tanha yg jadi belenggu/sanyojanna, becoming, not becoming.
Quote
Quote
(arahant on of) dst
Wah? kayaknya saya nggak pernah bilang Arahat on-of  suhu...
Karena Arahat pasti mencapai/mengalami Nibbana, tetapi mencapai/mengalami Nibbana belum tentu Arahat.
nah kalo ini kembali lagi ke definisi nibbana itu. Mencapai Nibbana belum tentu arahant dan mengalami nibbana belum tentu arahant... hmmm....  :-? didalam jhana itu mencapai/mengalami nibbana ?  ::) pada Adittapariyaya Sutta saja cuma bilang dengan contoh demikian bisa dimengerti bahwa nibbana itu pleasant.
			
 
			
			
				 Bisakah dijelaskan lebih terperinci apa yg dimaksud menggunakan objek nibbana dalam meditasi (Saat dari sotapana untuk mencapai sakadagami keatas)?
Apakah ada perbedaan mengalami nibbana dan menggunakan objek nibbana?
Kalau dua pertanyaan ini bisa terjawab, maka hal lainnya akan semakin jelas tentang apakah sotapanna telah mengalami nibbana(saupadisesa nibanna) atau hanya melihat/mencicipi nibanna.
salam Dhamma. _/\_
			
			
			
				Quote from: bond on 23 November 2009, 12:30:58 PM
 Bisakah dijelaskan lebih terperinci apa yg dimaksud menggunakan objek nibbana dalam meditasi (Saat dari sotapana untuk mencapai sakadagami keatas)?
Apakah ada perbedaan mengalami nibbana dan menggunakan objek nibbana?
Kalau dua pertanyaan ini bisa terjawab, maka hal lainnya akan semakin jelas tentang apakah sotapanna telah mengalami nibbana(saupadisesa nibanna) atau hanya melihat/mencicipi nibanna.
salam Dhamma. _/\_
Good Question !!... 
			
 
			
			
				good point. ada yg tahu tidak rujukan utk objek meditasi nibbana, aye cari ah. kalo dapet di post yah.
			
			
			
				Quote from: bond on 23 November 2009, 12:30:58 PM
 Bisakah dijelaskan lebih terperinci apa yg dimaksud menggunakan objek nibbana dalam meditasi (Saat dari sotapana untuk mencapai sakadagami keatas)?
Apakah ada perbedaan mengalami nibbana dan menggunakan objek nibbana?
Kalau dua pertanyaan ini bisa terjawab, maka hal lainnya akan semakin jelas tentang apakah sotapanna telah mengalami nibbana(saupadisesa nibanna) atau hanya melihat/mencicipi nibanna.
salam Dhamma. _/\_
Aku pikir mungkin  Sotapanna, Sakadagami, Anagami & Arahat (arahat selain mengalami Saupadisesa Nibbana) mengalami Nibbana yg ini:
Quote
Nibbana juga bisa dilihat dari kondisi terlepas dari obyek yaitu :
1. Animitta nibbana : nibbana yg terbebas dari obyek bayangan
Bagi mereka yg melaksanakan vipassana bhavana sehingga melihat ANICCA yg terbebas dari bayangan kemudian memusatkan PIKIRAN pada anicca yg berikutnya sampai mencapai magga phala dan ada Nibbana sebagai obyek.
Nibbana ini dicapai sebagai hasil/phala  dari kekuatan sila
2. Appanihita nibbana : nibbana yg terbebas dari obyek keinginan
Bagi mereka yg melaksanakan vipassana bhavana sehingga melihat DUKKHA yg selalu berubah dan tidak dapat bertahan, kemudian memusatkan PIKIRAN pada dukkha yg berikutnya sampai mencapai magga phala dan ada nibbana sebagai obyek
Nibbana ini dicapai sebagai hasil/phala  dari kekuatan samadhi
3. Sunnata nibbana : Nibbana yg terbebas dari kilesa dan Khanda 5, tidak ada lagi yg tersisa, habis
Bagi mereka yg melaksanakan vipassana bhavana sehingga melihat ANATTA, bukan aku, kekosongan, kemudian memusatkan PIKIRAN pada anatta yg berikutnya sampai mencapai magga phala dan ada nibbana sebagai obyek
Nibbana ini dicapai sebagai hasil/phala  dari kekuatan Panna
cmiiw..
_/\_ :lotus:
			
 
			
			
				Karena bagi seseorang individu yang "belum merealisasikan" nibbana, menggunakan objek nibbana sebagai objek meditasi-nya... agak sulit dibayangkan... Kalau faktor faktor nibbana mungkin kali...
			
			
			
				Mudah-mudahan memang ini maksudnya objek nibanna. Saya ambil dari blognya Ratna Kumara
Quote
PASAMANUSSATI
BHAVANA
" Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa"
Salam Damai dan Cinta Kasih ... ,
Dihalaman ini kami akan menyajikan resume dari ajaran Sang Guru Agung, Guru para Deva dan Manussa, ialah Sang Buddha Gotama, mengenai "Upasamanussati" yang merupakan bagian dari sepuluh (10) Anussati. Uraian ini kami ambil dari buku "Kammatthana ; Objek-objek Perenungan dalam Meditasi", yang ditulis dan disusun ulang oleh Bhikkhu Guttadhamo, dan diterbitkan pada moment Vesakha Puja, 2006.
Upasamananussati-bhavana ( perenungan terhadap ketenangan ) dalam Visuddhimagga termasuk empat-puluh (40) Kammatthana dan dikelompokkan ke dalam sepuluh (10) Anussati. Kammatthana ini sesuai bagi mereka yang mempunyai Buddhi-Carita.
Upasamanussati terdapat dalam Jhanavagga dari Anguttara Nikaya, tetapi belum ditemukan dalam bentuk demikian dalam naskah-naskah lainnya di dalam kitab suci. Dalam Visuddhimagga diletakkan setelah Anapanasati.
Upasamanussati dianjurkan sebagai suatu Kammatthana untuk mereka yang memiliki kecerdasan tajam ( Buddhi Carita ). Seperti halnya enam (6) Anusati yang disempurnakan oleh siswa-siswa yang telah menginjak jalan mulia karena merekalah sebenarnya yang telah menyadari kebahagiaan Nibbana sesuai dengan tingkat pencapaian mereka.
Sekalipun demikian Upasamanussati bhavana juga harus dilatih oleh siapapun juga yang menginginkan kedamaian dan ketenangan batin. Melalui Samadhi terhadap ketenangan, batin akan cenderung untuk mencapai keadaan seperti itu.
Di dalam Visuddhimagga, "Upasama" diterangkan sebagai "Sabbadukkha Upasama" ; " penenangan terhadap semua penderitaan". Istilah ini ditujukan pada Nibbana dalam arti "kedamaian yang mutlak", dan Upasamanussati menunjukkan perenungan terhadap bermacam-macam segi dari Nibbana. Kammatthana ini juga diterjemahkan sebagai perenungan ketenangan atau perenungan terhadap ketenangan, yang meliputi timbulnya kesadaran terus menerus berkenaan dengan objek Nibbana dan konsentrasi pikiran atau Citta serta factor-faktor penyertanya ( cettasika ) pada objek itu. Praktek itu menjadikan pikiran tenang dan damai dari saat permulaan sekali : karena itu meditasi ini juga dianggap sebagai upasamanussati atau meditasi ketenangan.
Metode latihan yang diterangkan dalam Visuddhimagga bagi siswa-siswa yang baru saja mulai sebagai berikut :
Siswa yang ingin mengembangkan perenungan terhadap ketenangan harus bermeditasi di tempat sunyi pada sifat-sifat Nibbana seperti yang telah diterangkan di dalam Sutta :
" Ya vata bhikkave dhamma sankhata va asankhata va, virago tesam dhammanam aggamakkhayati, yadidam madanim madano, pipasa vinayo, alayasamugghato vatthupaccedho, tanhakkhayo, virago, nirodho, Nibbana' ti".
Artinya :
" Para bhikkhu, dari semua keadaan-keadaan yang berkondisi maupun yang tidak berkondisi, kebebasan adalah yang terbaik, yaitu pengusiran kesombongan, bebas dari kehausan, kehancuran, kemelekatan, memotong lingkaran kelahiran dan kematian, pemadaman kenafsuan, kebebasan penghentian, lenyapnya keinginan-keinginan duniawi." ( Anguttara Nikaya,II.34 ).
Siswa harus merenungkan sifat-sifat Nibbana dengan pengertian yang sesuai terhadap arti dari bermacam-macam ungkapan ini. Ungkapan-ungkapan yang nampakna bersifat negative ini dipertimbangkan di dalam arti mereka yang lebih mendalam mempunyai nilai-nilai positif yang diringkaskan di dalam ungkapan "penenangan terhadap semua penderitaan", yaitu bebas dari semua yang menderita dan tidak bahagia ( Sabbadukkha ) serta adanya semua yang baik dan bahagia.
Di sini ungkapan "Viraga", biasanya diterjemahkan tidak bernafsu atau kebebasan, adalah bukan semata-mata bebas dari nafsu-nafsu keinginan, yang merupakan arti etimologis dari kata "Vi-raga" ; tetapi itu tidak dimengerti sebagai keadaan tidak berkondisi, kebebasan mutlak dari semua kemelekatan-kemelekatan duniawi.
Dengan kata lain adalah keadaan dimana semua pembedaan secara individu yang disebabkan oleh kecenderungan-kecenderungan rendah demikian, seperti kesombongan dan kebanggaan, telah berakhir, bersama-sama dengan penderitaan, yang pasti timbul darinya. Karenanya disebut "madanim madana" ; pengusiran semua kebanggaan.
Apabila keadaan ini tercapai, semua kehausan indria akan menghilang, padam , melenyap, musnah, bersama-sama dengan penderitaan batin dan jasmani yang disebabkan olehnya. Karena itu disebut "Vipasa Vinaya" artinya bebas dari kehausan.
Apabila keadaan ini dicapai, lingkaran dari tiga alam-alam kehidupan ( Ti-loka ) terpotong seketika dan untuk selama-lamanya, karena itu "Vattupaccheda" adalah memotong lingkaran kelahiran dan kematian.
Apabila kebebasan ini diperoleh, semua bentuk-bentuk kenafsuan yang tidak kenal kenyang akan pemuasan indra, juga kecenderungan terhadap kehidupan di dalam dunia perubahan, akan berakhir sudah, padam, dan lenyap. Karena itu "Tanhakkhaya", yaitu pemadaman kenafsuan, viraga yaitu kebebasan dari kenafsuan dan Nirodha adalah penghentian kenafsuan.
Akhirnya adalah suatu K E L E N Y A P A N , suatu pelepasan dari keinginan-keinginan yang disebut "fana", karena keinginan tersebut mengikat bersama-sama, merajut bersama-sama semua bentuk-bentuk kehidupan, dari yang rendah sampai yang tinggi, dari yang tinggi sampai yang rendah. Karena itulah disebut "NIBBANA" atau "NIRVANA". Jadi, dengan mempertimbangkan semua ungkapan-ungkapan ini siswa harus merenungkan Nibbana, yang diistilahkan dengan ketenangan atau upasama, sewaktu merenungkan kesucian sifat-sifatnya seperti yang telah diterangkan diatas. Ia juga harus merenungkan di dalam segi-segi yang positif seperti yang diberikan di dalam Sutta-sutta sebagai berikut :
" Para bhikkhu, saya akan mengajarmu sesuatu yang tidak berkondisi ( Asankhata ) ... dan kebenaran ( Sacca )... pantai sana ( para )... tanpa usia tua ( Ajara )... tanpa kematian ( Amata ; Amerta )... perlindungan ( tana )... raungan ( lena ) saya akan mengajarmu, para bhikkhu." ( Asankhata Samyutta, Samyutta Nikaya IV.359-373 ).
Setelah siswa mengetahui arti dari kata-kata ini ia harus bersamadhi, mengulang-ulang mereka secara batin dan ucapan. Menurut "Yogavacaras Manual" ( Hal.65 ), kata "Nirodha" harus diulang-ulang di dalam latihan permulaan. Apabila ia merenungkan Nirvana dengan bermacam-macam kesucian dari sifat-sifatnya, lima (5) rintangan ( Panca-Nivarana ) akan menghilang ; batinnya tidak akan dinodai oleh nafsu ataupun oleh kebencian serta kebodohan, tetapi pada saat itu teguh di dalam perenungan terhadap Upasama.
Sebagaimana halnya di dalam Anusati-anusati yang lainnya, maka factor-faktor Jhana pertama timbul di dalam diri siswa sekali dan pada saat yang sama. Karena dalaamnya sifat-sifat "upasama", Jhana tidak mencapai "Appana", tetapi memuncak di dalam keadaan pendekatan ( Upacara-Samadhi ). Keadaan Jhana ini dikenal sebagai "Upasamanussati".
Siswa yang melatih dirinya pada praktek meditasi terhadap ketenangan ini ( Upasamanussati ), akan memperoleh manfaat-manfaat seperti misalnya ; tidur berbahagia, bangun dalam keadaan berbahagia, tenang didalam indera-inderanya, tenang di dalam batinnya, dikaruniai dengan keyakinan yang kuat, bijaksana kehendaknya ; ia akah dihormati oleh sesamanya. Apabila ia gagal untuk mencapai Nibbana di dalam masa kehidupan sekarang ini, ia pasti akan mengalami kebahagiaan di masa yang akan datang atau / pada kehidupan selanjutnya.
Demikian resume / wacana ini kami sajikan. Semoga membawa manfaat bagi anda semua yang ingin melatih diri menggunakan Anapanasati, yang merupakan bagian dari sepuluh (10) Anussati.
"Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta!"
( Semoga Semua Makhluk Hidup Berbahagia! )
Salam Damai dan Cinta Kasih.
Dan pembandingnya :
Quote
Sayadaw U PANNA DIPA
Kaba Aye Sayadaw
World Buddhist Meditation Institute, Yangon-   
         The word "Nibbana" is very frequently and extensively used by all Buddhists because Nibbana is the ultimate goal in Buddhism. Whenever a Buddhist performs any meritorious deed, he strenuously aspires to Nibbana alone. But actually neither by uttering words nor by praying can Nibbana be attained.
         Though one can write and express the word "Nibbana", yet the real meaning or sense of it cannot be realized until one has attained it by oneself. Nibbana is not a thing or an object that one can have, nor a place where one can reach, nor a sense object that one can feel, nor a happiness that one can enjoy in the worldly sense, but the most supreme and pure state of insight (Nana) which surpasses all mundane conditions.
         According to the exposition of the Buddhist canonical Texts, Nibbana is a Pali word which is composed Of two constituents, namely Ni and vana. Ni is negative particle and vana means craving and it therefore means the absence of craving: In other words, craving (Tanha) functions as a link between one life and another; but the release or absence of craving is the disconnection of chains of life-process in Samsara.
         In Sanskrit, Nibbana is written as "Nirvana" which is derive from the root "Va" meaning "to blow" and the prefix "Nir" meaning "out"; therefore Nibbana means "to blow out", that is to blow out the flame of one's craving.
        The Nibbanic state is not a negative concept like nothingness, but positive. From a negative outlook, naturally we often come across pairs of opposites, such as, black and white, darkness and light, short and long; sorrow and happiness; so also life continuum (Samsara) and Nibbana also can be considered in a similar way. As Samsara here means birth, old age, disease, death, sorrow, lamentation, grief, pain, and despair, Nibbana therefore means absence of birth, absence of old age, absence old disease, absence of death, absence of sorrow, absence of lamentation, absence of grief, absence of pain, absence of despair and on the whole, absence of all suffering of life.
         Again from the positive standpoint, Nibbana is characterized as the Ultimate Liberation, Happiness and Peace. According to Abhidhamma (higher Doctrine), there are two kinds of happiness, (1) happiness enjoyed by senses and (2) happiness attained and experienced in insight or supreme wisdom..................
http://www.thisismyanmar.com/nibbana/panadpa2.htm
 
Kalau ada rujukan Sutta atau kitab komentar akan lebih baik lagi. _/\_
			
 
			
			
				QuoteMemang VM bisa membantu kita memahami  Tipitaka akan tetapi saya menemukan ada hal2x yg tidak selalu sejalan. Dalam hal ini seperti kata bro Gachapin, Nikaya mendapatkan prioritas diatas kitab komentar.
Memang benar, setuju suhu, tetapi kita terpaksa harus berpaling pada komentar jika tak ditemukan dalam Nikaya... atau bila kita tak tahu dimana tempatnya di Tipitaka.
Quotekalau saya sendiri belum bisa menceritakan menurut pengalaman sendiri, tetapi saya bisa mengutip dari Adittapariyaya Sutta
Intinya tetap saja, bahwa seseorang menemukan estrangement (mungkin disenchanted lebih tepat) pada keenam inderanya, batin dll, tetapi bagaimana prosesnya sehingga estrangement terjadi? nampaknya mudah kan? seolah-olah setiap orang bisa menemukan estrangement dan disenchanted, padahal keadaan yang sebenarnya jauh daripada itu. tak bisa terjadi begitu saja perlu proses dalam meditasi.
QuoteIMO Nibbana itu tidak bisa dialamai oleh Ariya Puggala karena by definition saja tidak kena. Ada kemungkinan penggunaan istilah Nibbana ini yg digunakan lebih meluas dan melenceng dari maknanya. Jika hanya kondisi2x keadaan meditatif, apakah itu Nibbana? Tentu itu bukan. Kita hanya bisa menggunakan logika saja seperti yg dijelaskan dalam  AN 9.34: Nibbana Sutta: Unbinding
Memang banyak orang yang memiliki pendapat sendiri mengenai Nibbana, saya mengerti bahwa ada orang yang berpendapat, bahwa Nibbana hanya bisa dialami sesudah Arahat/Buddha wafat selain itu tidak dapat dikatakan Nibbana, dulu saya juga beranggapan demikian. 
Ada juga yang beranggapan bahwa Nibbana dialami oleh Arahat dan Buddha yang masih hidup maupun yang telah wafat, sayapun juga pernah beranggapan demikian. 
Nibbana bukan hanya sekedar duduk meditasi, ada keadaan batin yang telah siap sehingga Nibbana bisa dicapai, pada keadaan Nibbana batin justru terbebas dari kondisi-kondisi.
Menurut bhikkhu Thanissaro Nibbana + unbinding, ini agak mendekati tapi pengertian lebih harfiah Nibbana adalah Ni = free from + vana = weaving, craving.
Menurut apa yang saya ketahui: Nibbana adalah keadaan yang terbebas dari konsep dan persepsi, terbebas dari kontak indera, terbebas dari perasaan, terbebas dari dimensi, berhentinya arus sankhara, damai luar biasa, batin waspada dan jernih (tapi jangan tanya saya dimana referensinya) ini adalah pernyataan sebatas yang saya ketahui.
Menurut suhu, apakah apa yang saya terangkan mengenai pengalaman Nibbana diatas  bisa dicapai pada waktu meditasi? apakah keadaan Nibbana yang saya uraikan diatas bertentangan dengan sutta?
Quote
saya belum pernah dengar kalo jhana itu LDM dan tanha itu off *bahkan sementara*. Adanya juga sensualitas, tidak ada tanha yg dihilangkan. Yah contohnya tanha yg jadi belenggu/sanyojanna, becoming, not becoming.
Saya nggak bilang LDM loh suhu, cuma lobha dan dosa (minus moha), tanha :) makanya coba dulu deh suhu mungkin suhu bisa lebih mengerti
Quotenah kalo ini kembali lagi ke definisi nibbana itu. Mencapai Nibbana belum tentu arahant dan mengalami Nibbana belum tentu arahant... hmmm....   didalam jhana itu mencapai/mengalami nibbana ?   ::) pada Adittapariyaya Sutta saja cuma bilang dengan contoh demikian bisa dimengerti bahwa nibbana itu pleasant
Suhu coba baca lagi lebih jelas dan berusah lebih menyelami kata-kata saya,
"Arahat pasti mengalami/mencapai Nibbana" tetapi
"mencapai/mengalami Nibbana belum tentu Arahat" maksudnya Sotapanna juga bisa.
Iya Nibbana peasant, pleasantnya justru karena berhentinya persepsi dan perasaan.
Semoga menambah pengertian kita.
			
 
			
			
				Quote from: bond on 23 November 2009, 12:30:58 PM
 Bisakah dijelaskan lebih terperinci apa yg dimaksud menggunakan objek nibbana dalam meditasi (Saat dari sotapana untuk mencapai sakadagami keatas)?
Apakah ada perbedaan mengalami nibbana dan menggunakan objek nibbana?
Kalau dua pertanyaan ini bisa terjawab, maka hal lainnya akan semakin jelas tentang apakah sotapanna telah mengalami nibbana(saupadisesa nibanna) atau hanya melihat/mencicipi nibanna.
salam Dhamma. _/\_
Saudara Bond yang baik,
dikatakan objek Nibbana dalam meditasi karena bagi seorang Ariya Puggala yang mampu mencapai Nibbana, maka ia memasuki Nibbana secara otomatis dengan berhentinya arus sankhara.
Dikatakan sebagai objek karena pada waktu mengalami Nibbana tak ada objek lain (bedakan dengan parinibbana) jadi yang ada hanya Nibbana.
Perumpamaannya adalah demikian: saudara Bond sedang menikmati manisnya gula maka objeknya adalah rasa manis gula tersebut.
 _/\_
			
 
			
			
				^
^
Hati2 terjebak ke dalam Jhana ato Vipassananupakkilesa dianggap sebagai Nibbana......
			
			
			
				Quote from: bond on 23 November 2009, 12:30:58 PM
 Bisakah dijelaskan lebih terperinci apa yg dimaksud menggunakan objek nibbana dalam meditasi (Saat dari sotapana untuk mencapai sakadagami keatas)?
Apakah ada perbedaan mengalami nibbana dan menggunakan objek nibbana?
Kalau dua pertanyaan ini bisa terjawab, maka hal lainnya akan semakin jelas tentang apakah sotapanna telah mengalami nibbana(saupadisesa nibanna) atau hanya melihat/mencicipi nibanna.
salam Dhamma. _/\_
Aku pikir mungkin  Sotapanna, Sakadagami, Anagami & Arahat (arahat selain mengalami Saupadisesa Nibbana) mengalami Nibbana yg ini:
Quote
Nibbana juga bisa dilihat dari kondisi terlepas dari obyek yaitu :
1. Animitta nibbana : nibbana yg terbebas dari obyek bayangan
Bagi mereka yg melaksanakan vipassana bhavana sehingga melihat ANICCA yg terbebas dari bayangan kemudian memusatkan PIKIRAN pada anicca yg berikutnya sampai mencapai magga phala dan ada Nibbana sebagai obyek.
Nibbana ini dicapai sebagai hasil/phala  dari kekuatan sila
2. Appanihita nibbana : nibbana yg terbebas dari obyek keinginan
Bagi mereka yg melaksanakan vipassana bhavana sehingga melihat DUKKHA yg selalu berubah dan tidak dapat bertahan, kemudian memusatkan PIKIRAN pada dukkha yg berikutnya sampai mencapai magga phala dan ada nibbana sebagai obyek
Nibbana ini dicapai sebagai hasil/phala  dari kekuatan samadhi
3. Sunnata nibbana : Nibbana yg terbebas dari kilesa dan Khanda 5, tidak ada lagi yg tersisa, habis
Bagi mereka yg melaksanakan vipassana bhavana sehingga melihat ANATTA, bukan aku, kekosongan, kemudian memusatkan PIKIRAN pada anatta yg berikutnya sampai mencapai magga phala dan ada nibbana sebagai obyek
Nibbana ini dicapai sebagai hasil/phala  dari kekuatan Panna
cmiiw..
_/\_ :lotus:
Ceu Lily yang baik, 
yang dikemukakan ceu Lily dikenal sebagai triple gateway to liberation (tiga gerbang ke Nibbana)
jadi tergantung dari kamma lampaunya maka seorang meditator yang telah mencapai sankharupekkha nana akan memasuki Magga-Phala dengan salah satu dari ketiga objek tilakkhana, yaitu anicca, dukkha dan anatta.
jika di masa yang lampau seeseorang lebih dominan berlatih Vipassana maka ia akan anatta akan lebih dominan karena wisdomnya lebih kuat.
jika di masa yang lampau ia lebih banyak berlatih samatha maka ia akan melihat dukkha yang lebih dominan
dan jika ia mencapai Nibbana dengan kekuatan sila maka anicca yang akan lebih dominan.
Jadi setiap meditator akan melalui salah satu dari ketiga cara ini untuk mencapai Magga-Phala dan Nibbana. Sesuai dengan kecenderungan batin mereka yang disebabkan karma lampau.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 23 November 2009, 09:33:57 PM
Menurut apa yang saya ketahui: Nibbana adalah keadaan yang terbebas dari konsep dan persepsi, terbebas dari kontak indera, terbebas dari perasaan, terbebas dari dimensi, berhentinya arus sankhara, damai luar biasa, batin waspada dan jernih (tapi jangan tanya saya dimana referensinya) ini adalah pernyataan sebatas yang saya ketahui.
Menurut suhu, apakah apa yang saya terangkan mengenai pengalaman Nibbana diatas  bisa dicapai pada waktu meditasi? apakah keadaan Nibbana yang saya uraikan diatas bertentangan dengan sutta?
jika dikatakan terbebas dari kontak indra, perasaan, dll... apakah berarti harus dalam keadaan diam dan berada dalam sesuatu yg lain (tidak ada phassa, shg tidak ada vedana yg timbul...)
apakah ketika Buddha berjalan, berbicara, makan, buang air tidak dalam keadaan nibbana?
imo, kondisi ini lebih mirip definisi arupa jhana daripada nibbana.
atau maksud om fab, sesuatu yg berbeda, seperti yg dijelaskan dalam ogha sutta? (yg menurut pengertian saya, phassa & vedana tetap ada, tetapi sudah tidak ada yg melekatinya)
			
 
			
			
				Teman-teman sekalian,
Sebenarnya kerancuan mengenai Nibbana disebabkan banyak penulisan yang mencampur adukkan antara Nibbana dan Parinibbana.
Seringkali Parinibbana juga hanya disebut Nibbana saja.
Seringkali penulis dalam menulis tidak membedakan Saupadisesa Nibbana dan Anupadisesa Nibbana, hanya ditulis Nibbana saja. sehingga banyak orang-orang yang keliru menanggapi mengenai Nibbana ini.
Kadang-kadang sudah diterangkan pun juga sulit menerima karena tidak terbayangkan bahwa ternyata Nibbana berada sangat dekat, bisa dicapai sekarang dalam kehidupan ini juga dan dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing.
sanditthiko, Paccatam veditabbo vinuhiti
 _/\_
			
			
			
				^
terlebih dengan ada nya istilah Nirwana yg diasumsikan dengan Surga dalam pandangan samawi, di tambah cerita2 fiksi dari tanah Tiongkok mengenai Nirwana, sehingga arti yg sesungguhnya sudah melenceng sangat jauh...
semakin dicampur adukan, semakin rancu dan kabur Dhamma yang murni, semakin rancu dan kabur, maka semakin tenggelamnya Dhamma, semakin tenggelamnya Dhamma, semakin dilupakan oleh manusia... apa kah itu terjadi ?
			
			
			
				Quote from: fabian c on 23 November 2009, 09:33:57 PM
Menurut apa yang saya ketahui: Nibbana adalah keadaan yang terbebas dari konsep dan persepsi, terbebas dari kontak indera, terbebas dari perasaan, terbebas dari dimensi, berhentinya arus sankhara, damai luar biasa, batin waspada dan jernih (tapi jangan tanya saya dimana referensinya) ini adalah pernyataan sebatas yang saya ketahui.
Menurut suhu, apakah apa yang saya terangkan mengenai pengalaman Nibbana diatas  bisa dicapai pada waktu meditasi? apakah keadaan Nibbana yang saya uraikan diatas bertentangan dengan sutta?
Quotejika dikatakan terbebas dari kontak indra, perasaan, dll... apakah berarti harus dalam keadaan diam dan berada dalam sesuatu yg lain (tidak ada phassa, shg tidak ada vedana yg timbul...)
Benar, memang demikian
Quoteapakah ketika Buddha berjalan, berbicara, makan, buang air tidak dalam keadaan nibbana?
Tidak. Tidak dalam keadaan Nibbana, kecuali Beliau menginginkan memasuki Nibbana dalam posisi itu.
Quoteimo, kondisi ini lebih mirip definisi arupa jhana daripada nibbana.
Berbeda saya kira, karena Nibbana justru terlepas dari objek lain, selain keadaan Nibbana itu sendiri. 
Sedangkan Arupa Jhana lepas dari objek yang satu masuk ke objek yang lain.
Quoteatau maksud om fab, sesuatu yg berbeda, seperti yg dijelaskan dalam ogha sutta? (yg menurut pengertian saya, phassa & vedana tetap ada, tetapi sudah tidak ada yg melekatinya)
Keadaan Nibbana diawali dengan berhentinya proses-proses penyebabnya.
Secara jelas ini diterangkan dalam Paticca-samupada.
Cuma prosesnya terbalik, dengan berhentinya upadana berhenti juga tanha, dstnya...
Jadi proses berhentinya terjadi melalui sebab-musabab yang saling bergantungan.
Terakhir dengan berhentinya arus sankhara maka lenyaplah avijja, tercapailah Nibbana. 
pada proses kemunculan dimulai dengan avijja timbullah sankhara, dengan timbulnya sankhara muncullah vinnana, dengan munculnya vinnana muncullah nama-rupa, dengan munculnya nama-rupa maka muncullah salayatana dstnya...
Sedangkan pada proses pemadaman/ kebebasan/Nibbana terjadi sebaliknya:
dengan padamnya salayatana padam juga nama-rupa, dengan padamnya nama-rupa padam juga vinnana, dengan padamnya vinnana maka padam juga sankhara dstnya...
Tetapi masih banyak yang belum saya ketahui, karena pada waktu mencapai Nibbana (Saupadisesa Nibbana) masih ada "knowing mind" yang kadang disebut kesadaran murni, padahal sankhara telah berhenti. Jadi proses paticca samupada terbalik nampaknya kurang lengkap.
Tetapi yang jelas phassa dan vedana berhenti (sementara) saat seseorang mencapai Saupadisesa Nibbana.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 23 November 2009, 10:49:55 PM
Tetapi masih banyak yang belum saya ketahui, karena pada waktu mencapai Nibbana (Saupadisesa Nibbana) masih ada "knowing mind" yang kadang disebut kesadaran murni, padahal sankhara telah berhenti. Jadi proses paticca samupada terbalik nampaknya kurang lengkap.
Tetapi yang jelas phassa dan vedana berhenti (sementara) saat seseorang mencapai Saupadisesa Nibbana.
 _/\_
Very interesting explanation... Namun ada hal yang ingin saya tanyakan berhubungan dengan pernyataan anda yang saya kutip di atas. Anda mengatakan bahwa dalam saupadisesa nibbāna masih ada 'knowing mind' meskipun sankhara telah berhenti. Padahal dalam urutan 12 mata rantai paticcasamuppāda, dengan lenyapnya sankhara, di sana lenyaplah kesadaran. Selain itu, dalam Ajitamanavapuccha dari Suttanipāta, dengan jelas bahwa dalam nibbāna, kebijaksanaan (paññā), kesadaran sati, batin dan jasmani (nāmarūpa) dan kesadaran viññāna lenyap tanpa sisa.. Pernyataanya adalah, apa yang dimaksud dengan 'knowing mind' di sini? Apakah itu yang disebt sebgai viññāna anisdassanaṃ?
Terimakasih untuk penjelasannya. 
			
 
			
			
				Konon, ada sebuah keadaan ultimate, state of unbinding yg dikenal sbg Nirodhasamappati atau Sannavedayitanirodha. Ini keadaan yang sangat dekat dengan nibbana karena di sana semua sankhara: kaya sankhara (nafas) vaci sankhara (vitakka&vicara) dan mano sankhara (sanna&vedana) ditenangkan, dihentikan dan lenyap ketika orang tsb masih hidup. Pencapaian keadaan ini biasanya melalui jalan bertahap dari Jhana 1 hingga ke landasan bukan-persepsi pun bukan bukan-persepsi. Pada zaman Sang Buddha, keadaan ini disebut ubhato-bhaga-vimutti yaitu pembebasan melalui kedua cara, yaitu mencakup ceto-vimutti dan panna-vimutti. Pencapaian keadaan ini dikisahkan melalui 3 kecenderungan sang meditator. Melalui kontemplasi thdp anicca, meditator akan mencapai animitta vimokkha. Melalui kontemplasi dukkha meditator mencapai appanihita vimokkha, dan melalui kontemplasi terhadap anatta meditator mencapai sunnata vimokkha. 
Keadaan ini, hanya dicapai oleh segelintir arahat selain Sang Buddha sendiri, seperti agga-savaka Maha-moggallana Thera dan Sariputta Thera. Maha-moggallana Thera, mencapai ubhato-bhaga-vimutti melalui animitta samadhi. Dan jelas keadaan yang hari ini disebut saupadisesa nibbana ini bukanlah keadaan yang dapat dicapai oleh sotapanna, sakadagami atau pun anagami. 
Mettacittena,
_/\_
			
			
			
				For Jerry:
Jika yang dimaksud adalah Nirodhasamapatti, seorang Anagami yang telah mencapai jhāna kedelapan juga dikatakan bisa mencapai pencapaian ini.
Be happy.
			
			
			
				_/\_ Sdr Peacemind
Thanks infonya.. Sumbernya dari mana yah? :)
Mettacittena
			
			
			
				^ si citta juga bisa
			
			
			
				Citta Devi? Atau Santa Citta? :))
Citta perumah tangga itu yah.. Beliau bisa apa, Om Ind? Yg spesifik plis.
_/\_
			
			
			
				For Jerry:
Dalam Visuddhimagga XXXIII, 16-18, BhikkhU Budhaghosa mengatakan demikian..
Be happy.
			
			
			
				_/\_ Sdr Peacemind
Thanks lagi infonya. Tapi mungkin ada perbedaan pengertian antara nikaya dan vism? Tolong di cek boleh..? Makasih.. :)
Mettacittena,
			
			
			
				Jika kita melihat penjelasan mengenai saññāvedayitanirodha dalam Suttapitaka, di sana dijelaskan bahwa pencapaian ini dapat terealisasi ketika seseorang mampu mengatasi nevasaññanasaññāyatana. Jadi pencapaian ini dimiliki oleh mereka yang telah berhasil mencapai aṭṭhasamapatti (8 jhāna) terlebih dahulu. Oleh karena itu, kitab komentar berpandangan bahwa para arahat yang tidak mencapai 8 jhāna juga tidak bisa mencapai pencapaian ini. 
Dalam Dutiyakāmabhūsutta dari Samyuttanikāya, dikatakan bahwa sesegera setelah seseorang keluar dari nirodhasamapatti hanya ada tiga macam obyek yang muncul yakni suññāta, animitta dan appaṇihita. Ketiga hal ini sangat identik dengan nibbāna. Oleh karena itu, dalam sutta2 sering kali Sang Buddha menyebutkan pencapaian ini sebagai puncak pencapaian sebelum seseorang mencapai nibbāna.  Jika kita melihat Anupadasutta, Bhikkhu Sāriputta mencapai kesucian arahat setelah melewati 8 jhāna dan nirodhasamapatti. 
Fakta2 di atas menunjukkan bahwa nirodhasamapatti bisa dicapai hanya ketika seseorang telah berhasil mencapai 8 jhāna terlebih dahulu, dan pencapaian ini bukan hanya dicapai oleh seorang arahat. Kenyataannya, pada awalnya, pencapaian ini masih dimasukkan sebagai Jalan sebelum seseorang mencapai nibbāna khususnya ubhatovibhagavimutti. Setelah seseorang mencapai pencapain ini dan setelah melewati pencapaian ini seseorang mencapai kessuciaan, orang demikian masih bisa mencapai pencapaian ini kapan pun ia mau.
Sebagai tambahan, saya pernah membaca (tapi saya lupa sumbernya) bhw setelah keluar dari nirodhasamapatti pada pertama kalinya, hanya ada dua kemungkinan bagi orang tersebut, 1. pencapaian anagami, atau 2. arahat. Karena hal inilah, maka dikatakan bahwa nirodhasamapatti bisa dicapai oleh seorang anagami dan arahat saja yang telah memiliki 8 jhana sebelumnya.
Be happy.
			
			
			
				_/\_ Sdr Peacemind
Di Jhana Sutta ada case yang almost similar dengan yg Sdr Peacemind maksudkan.. Yaitu melalui pencapaian Jhana, yg dimulai dr Jhana 1, lalu seseorang dapat mengakhiri asava dan bila tdk berhasil, melalui penghancuran 5 belenggu setelah meninggal akan terlahir di alam Suddhavassa [anagami]. Tapi di sana tidak include 2 yg terakhir, nevasannanasannayatana dan sannavedayitanirodha.
Kalau di lihat dari nirodhasamapatti, kata nirodha - lenyapnya - lebih identik dengan sannavedayitanirodha drpd nevasannanasannayatana, IMHO. Tapi ngga tau juga sih apakah nirodhasamapatti bisa merujuk pada 2 pencapaian terakhir, atau sannavedayitanirodha saja. Hanya saja, soal anagami yg bisa mencapai sannavedayitanirodha, tolong dicari sumbernya terlebih dahulu Sdr Peacemind. Agar Anda sendiri lebih yakin dan clear memberi statementnya. Semoga cepat ketemu. _/\_ :)
Yup.. Saat Kamabhu Thera menjawab Citta dikatakan demikian, sehingga bisa kita simpulkan perumahtangga Citta belum berhasil mencapai sannavedayitanirodha. Karena itulah Citta masih perlu menanyakan hal2 tsb pada Kamabhu Thera dlm sutta tsb. Dan dalam sutta tsb juga dikatakan 2 kualitas yg esensial dalam pencapaian Sannavedayitanirodha, Samatha dan Vipassana. Dalam Animitto Sutta dikatakan oleh Maha-moggallana Thera sendiri bahwa beliau mencapai ubhato-bhaga-vimutti melalui animitto vimokkha. 
Tapi dr kalimat yg Anda tulis di atas, saya tidak melihat adanya pernyataan eksplisit atau implisit bahwa pencapaian keadaan ini dapat dicapai pula oleh seorang non-arahat, anagami. 
Juga, sedikit keterangan tambahan, dari Animitto Sutta sendiri terlihat bahwa 3 vimokkha tsb bukan hanya ada pada orang yg keluar dr keadaan tsb, melainkan juga pada saat sebelum memasuki dan saat berdiam dlm sannavedayitanirodha, yaitu dengan mengarahkan pd 1 dari 3 vimokkha itu sbgmn yg dilakukan Maha-moggallana Thera. Yg diterangkan Kamabhu Thera pd Citta dan Dhammadinna Theri pd Visakha adl mengenai phassa yg menyentuh mereka yang keluar dr keadaan tsb. 
Mettacittena,
			
			
			
				Quote from: fabian c on 23 November 2009, 09:33:57 PM
Memang benar, setuju suhu, tetapi kita terpaksa harus berpaling pada komentar jika tak ditemukan dalam Nikaya... atau bila kita tak tahu dimana tempatnya di Tipitaka.
masalahnya sering kali ketemu dan berbeda itu loh. disaat itu tentu nikaya mendapat prioritas seperti yg kita sudah setujui.
Quote
Intinya tetap saja, bahwa seseorang menemukan estrangement (mungkin disenchanted lebih tepat) pada keenam inderanya, batin dll, tetapi bagaimana prosesnya sehingga estrangement terjadi? nampaknya mudah kan? seolah-olah setiap orang bisa menemukan estrangement dan disenchanted, padahal keadaan yang sebenarnya jauh daripada itu. tak bisa terjadi begitu saja perlu proses dalam meditasi.
Tentu ini tidak bisa dideskripsikan dengan kata2x, jika dilakukan maka akan sangat subjektif terhadap orangnya karena perbedaan kecenderungan dan kondisi. Yah, apapun itu prosesnya, IMO sih bukan "masuk" Nibbana lalu mencapai sotapanna, dst
Quote
Memang banyak orang yang memiliki pendapat sendiri mengenai Nibbana, saya mengerti bahwa ada orang yang berpendapat, bahwa Nibbana hanya bisa dialami sesudah Arahat/Buddha wafat selain itu tidak dapat dikatakan Nibbana, dulu saya juga beranggapan demikian. 
Ada juga yang beranggapan bahwa Nibbana dialami oleh Arahat dan Buddha yang masih hidup maupun yang telah wafat, sayapun juga pernah beranggapan demikian. 
Nibbana bukan hanya sekedar duduk meditasi, ada keadaan batin yang telah siap sehingga Nibbana bisa dicapai, pada keadaan Nibbana batin justru terbebas dari kondisi-kondisi.
Yah memang dari awalnya dasar perbedaannya adalah pendapat mengenai Nibbana itu koq ;D. Memang dikatakan bahwa ada Nibbana dan parinibbana, dalam kasus ini kita masih membicarakan nibbana. IMO lagi, Nibbana bukanlah batin yg bebas dari kondisi-kondisi, tetapi bebas dari keinginan/kehausan/nafsu. Selama masih belum parinibbana, masih tetap berkondisi, termasuk si batin itu sendiri.
Quote
Menurut bhikkhu Thanissaro Nibbana + unbinding, ini agak mendekati tapi pengertian lebih harfiah Nibbana adalah Ni = free from + vana = weaving, craving.
Menurut apa yang saya ketahui: Nibbana adalah keadaan yang terbebas dari konsep dan persepsi, terbebas dari kontak indera, terbebas dari perasaan, terbebas dari dimensi, berhentinya arus sankhara, damai luar biasa, batin waspada dan jernih (tapi jangan tanya saya dimana referensinya) ini adalah pernyataan sebatas yang saya ketahui.
Menurut suhu, apakah apa yang saya terangkan mengenai pengalaman Nibbana diatas  bisa dicapai pada waktu meditasi? apakah keadaan Nibbana yang saya uraikan diatas bertentangan dengan sutta?
Nibbana dijelaskan dalam berbagai sutta adalah sebagai berakhirnya craving sebagai dalam
Quote from: AN 3.32"This is peace, this is exquisite — the resolution of all fabrications, the relinquishment of all acquisitions, the ending of craving; dispassion; cessation; Nibbana."
Apakah seorang sotapanna telah ending craving lalu mungul craving lagi? ini kan topik yg ingin saya angkat.
Quote
Saya nggak bilang LDM loh suhu, cuma lobha dan dosa (minus moha), tanha :) makanya coba dulu deh suhu mungkin suhu bisa lebih mengerti
tau dari mana saya belum coba hayooo  ;D. kita coba kesampingkan membicarakan pribadinya  :) . kalau ngomong pribadinya nanti saya juga bisa bilang suruh mbah coba dulu juga lagi supaya bisa lebih mengerti.  :P lalu akhirnya nda nyambung diskusinya
Quote
Suhu coba baca lagi lebih jelas dan berusah lebih menyelami kata-kata saya,
"Arahat pasti mengalami/mencapai Nibbana" tetapi
"mencapai/mengalami Nibbana belum tentu Arahat" maksudnya Sotapanna juga bisa.
Iya Nibbana peasant, pleasantnya justru karena berhentinya persepsi dan perasaan.
Semoga menambah pengertian kita.
nah coba dibandingkan dengan definisi Nibbana di AN 3.32, nah tidak "kena" kan? Ending craving tapi bukan arahant.....
			
 
			
			
				Nirodha Samapatti: 
Pencapaian pemadaman, suatu keadaan di mana semua kegiatan batin terhenti untuk sementara yang dapat berlangsung untuk beberapa lama sampai tujuh hari. Keadaan ini dapat dicapai oleh seorang Anagami dan Arahat yang memiliki delapan Jhana, serta mahir dalam Vasi (penguasaan) dan Sampada (kesempurnaan).
Sumber: Kompilasi Istilah Budhhis
			
			
			
				Quote from: fabian c on 23 November 2009, 09:47:49 PM
Quote from: bond on 23 November 2009, 12:30:58 PM
 Bisakah dijelaskan lebih terperinci apa yg dimaksud menggunakan objek nibbana dalam meditasi (Saat dari sotapana untuk mencapai sakadagami keatas)?
Apakah ada perbedaan mengalami nibbana dan menggunakan objek nibbana?
Kalau dua pertanyaan ini bisa terjawab, maka hal lainnya akan semakin jelas tentang apakah sotapanna telah mengalami nibbana(saupadisesa nibanna) atau hanya melihat/mencicipi nibanna.
salam Dhamma. _/\_
Saudara Bond yang baik,
dikatakan objek Nibbana dalam meditasi karena bagi seorang Ariya Puggala yang mampu mencapai Nibbana, maka ia memasuki Nibbana secara otomatis dengan berhentinya arus sankhara.
Dikatakan sebagai objek karena pada waktu mengalami Nibbana tak ada objek lain (bedakan dengan parinibbana) jadi yang ada hanya Nibbana.
Perumpamaannya adalah demikian: saudara Bond sedang menikmati manisnya gula maka objeknya adalah rasa manis gula tersebut.
 _/\_
Secara logika memang demikian, tetapi saya masih belum bisa memastikan atau menyimpulkan demikian. Masih 50:50 . Walaupun demikian dan mudah2an dengan adanya diskusi ini akan ada titik terang.
Terima kasih atas penjelasan yg baik om Fabian 
Mettacitena. _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Lily W on 23 November 2009, 02:27:08 PM
Quote from: bond on 23 November 2009, 12:30:58 PM
 Bisakah dijelaskan lebih terperinci apa yg dimaksud menggunakan objek nibbana dalam meditasi (Saat dari sotapana untuk mencapai sakadagami keatas)?
Apakah ada perbedaan mengalami nibbana dan menggunakan objek nibbana?
Kalau dua pertanyaan ini bisa terjawab, maka hal lainnya akan semakin jelas tentang apakah sotapanna telah mengalami nibbana(saupadisesa nibanna) atau hanya melihat/mencicipi nibanna.
salam Dhamma. _/\_
Aku pikir mungkin  Sotapanna, Sakadagami, Anagami & Arahat (arahat selain mengalami Saupadisesa Nibbana) mengalami Nibbana yg ini:
Quote
Nibbana juga bisa dilihat dari kondisi terlepas dari obyek yaitu :
1. Animitta nibbana : nibbana yg terbebas dari obyek bayangan
Bagi mereka yg melaksanakan vipassana bhavana sehingga melihat ANICCA yg terbebas dari bayangan kemudian memusatkan PIKIRAN pada anicca yg berikutnya sampai mencapai magga phala dan ada Nibbana sebagai obyek.
Nibbana ini dicapai sebagai hasil/phala  dari kekuatan sila
2. Appanihita nibbana : nibbana yg terbebas dari obyek keinginan
Bagi mereka yg melaksanakan vipassana bhavana sehingga melihat DUKKHA yg selalu berubah dan tidak dapat bertahan, kemudian memusatkan PIKIRAN pada dukkha yg berikutnya sampai mencapai magga phala dan ada nibbana sebagai obyek
Nibbana ini dicapai sebagai hasil/phala  dari kekuatan samadhi
3. Sunnata nibbana : Nibbana yg terbebas dari kilesa dan Khanda 5, tidak ada lagi yg tersisa, habis
Bagi mereka yg melaksanakan vipassana bhavana sehingga melihat ANATTA, bukan aku, kekosongan, kemudian memusatkan PIKIRAN pada anatta yg berikutnya sampai mencapai magga phala dan ada nibbana sebagai obyek
Nibbana ini dicapai sebagai hasil/phala  dari kekuatan Panna
cmiiw..
_/\_ :lotus:
Tambahan...
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fi352.photobucket.com%2Falbums%2Fr352%2Flily_warsiti%2FNibbana.jpg&hash=e3e59b8aaf8fb7e47bca265f332fe1d58f49df8d)
Sumber : Buku Abhidhammatthasangaha (Pandit J. Kaharuddin)
_/\_ :lotus:
			
 
			
			
				Quote
_/\_ Sdr Peacemind
Di Jhana Sutta ada case yang almost similar dengan yg Sdr Peacemind maksudkan.. Yaitu melalui pencapaian Jhana, yg dimulai dr Jhana 1, lalu seseorang dapat mengakhiri asava dan bila tdk berhasil, melalui penghancuran 5 belenggu setelah meninggal akan terlahir di alam Suddhavassa [anagami]. Tapi di sana tidak include 2 yg terakhir, nevasannanasannayatana dan sannavedayitanirodha.
Kalau di lihat dari nirodhasamapatti, kata nirodha - lenyapnya - lebih identik dengan sannavedayitanirodha drpd nevasannanasannayatana, IMHO. Tapi ngga tau juga sih apakah nirodhasamapatti bisa merujuk pada 2 pencapaian terakhir, atau sannavedayitanirodha saja. Hanya saja, soal anagami yg bisa mencapai sannavedayitanirodha, tolong dicari sumbernya terlebih dahulu Sdr Peacemind. Agar Anda sendiri lebih yakin dan clear memberi statementnya. Semoga cepat ketemu. _/\_ :)
Sutta2 maupun kitab Komentar sudah dengan jelas merujuk nirodhasamapatti sebagai saññāvedayitanirodha. Bahkan di banyak sutta, seseorang yang ingin mencapai nirodhasamapatti harus mengatasi / melampaui landasan nevasaññānasaññā. 
Visuddhimagga dari tradisi Theravāda Mahavihāra dan Vimuttimagga dari tradisi Abhayagiri setuju bahwa pencapaian cessation ini juga bisa dicapai oleh para anagami yang sebelumnya telah menguasai 8 jhāna. Visuddhimagga menjelaskan bahwa puthujjana, sotapanna, sakadagami, anagami dan arahant yang mempraktikkan vipassana saja tidak mencapai nirodhasamapatti. Sebaliknya, para arahat dan anagami yang telah menguasai 8 jhāna bisa mencapai pencapaian ini. Sementara itu, Vimuttimagga, dalam argumentasinya, merujuk pada sutta yang ada dalam Anguttaranikāya, vol. III, hal. 194 versi Chaṭṭasangayana (Nirodhasutta). Di sana Sang Buddha menerangkan bahwa seseorang yang mencapai saññāvedayitanirodha, jika ia tidak terbebaskan di kehidupan sekarang (mencapai arahat), ia akan terlahir di dewa yang memiliki mind-made body dan yang melampaui mereka yang makan dari makanan materi. Artinya, ia akan terlahir di alam Brahma. Vimuttimagga menganggap bahwa orang yang mencapai saññāvedayitanirodha namun tidak mencapai kesucian arahat dalam kehidupan ini adalah anagami. Anagami akan terlahir di alam Suddhavassa di mana merupakan alam yang melampau makanan materi.  Kata2 Sang Buddha dlam hal ini adalah demikian:
"Atha kho bhagavā bhikkhū āmantesi – 'idha, bhikkhave, bhikkhu sīlasampanno samādhisampanno paññāsampanno saññāvedayitanirodhaṃ samāpajjeyyāpi vuṭṭhaheyyāpi – atthetaṃ ṭhānaṃ. No ce diṭṭheva dhamme aññaṃ ārādheyya, atikkammeva kabaḷīkārāhārabhakkhānaṃ devānaṃ sahabyataṃ aññataraṃ manomayaṃ kāyaṃ upapanno saññāvedayitanirodhaṃ samāpajjeyyāpi vuṭṭhaheyyāpi – atthetaṃ ṭhāna'nti".
Bisa di terjemahkan sebagai berikut:
"Kemudian Yang Terbekahi menyapa para bhikkhu – 'Di sini, O, para bhikkhu, seorang bhikkkhu yang memiliki kesempurnaan moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan akan masuk dalam dan keluar dari pencapaian pelenyapan persepsi dan perasaan – adalah sangat mungkin. Jika ia tidak mencapai penerangan di sini dan sekarang, ia akan terlahir di kelompok para dewa yang memiliki mind-made body, melampau makanan materi, setelaha ia masuk dalam dan keluar lagi dan lagi dari pencapaian pelenyepan persepsi dan perasaan – adalah sangat mungkin".
Dalam Kiṭagirisutta dari Majjhimanikāya juga dikatakan bahwa dari 7 macam ariya, hanya dua macam orang mulia, yakni mereka yang mencapai kesucaian arahat melalui ubhatobhāgavimutto dan mereka yang dikatakn sebagai kāyasakkhi (bodhi-witness – umumnya diidentifikasikan sebagai anagami) adalah mereka yang bisa mencapai kebebasan kedamaian (santa vimokkhā) yang dalam sutta2 biasanya dikatakn bahwa pencapaian tertinggi santa vimokkhā adalh saññāvedayitanirodha.
Quote
Yup.. Saat Kamabhu Thera menjawab Citta dikatakan demikian, sehingga bisa kita simpulkan perumahtangga Citta belum berhasil mencapai sannavedayitanirodha. Karena itulah Citta masih perlu menanyakan hal2 tsb pada Kamabhu Thera dlm sutta tsb. Dan dalam sutta tsb juga dikatakan 2 kualitas yg esensial dalam pencapaian Sannavedayitanirodha, Samatha dan Vipassana. Dalam Animitto Sutta dikatakan oleh Maha-moggallana Thera sendiri bahwa beliau mencapai ubhato-bhaga-vimutti melalui animitto vimokkha. 
Tapi dr kalimat yg Anda tulis di atas, saya tidak melihat adanya pernyataan eksplisit atau implisit bahwa pencapaian keadaan ini dapat dicapai pula oleh seorang non-arahat, anagami. 
Dalam Cittasamyutta, Citta mengklaim dirinya telah mencapai jhāna ke empat. Padahal untuk mencapai nirodhasamapatti, seseorang harus melewati jhāna ke delepan. Jadi sangat mungkin bahwa ia belum mencapai nirodhasamapatti sehingga masih mempertanyakan pencapaian tersebut kepada bhikkhu Kamabhu. Kutipan saya dari Kamabhusutta dicontohkan hanya untuk membuktikan bahwa setelah seseorang keluar dari saññāvedayitanirodha seseorang akan mencapai nibbāna karena dengan munculnya tiga macam deliverance (animitta, appaṇihita dan suññāta). Tiga delivarences ini, di satu pihak, sering kali diidentifikasikan sebagai karakteristik nibbāna, di pihak lain dikatakan sebgai gate-way untuk mencapai nibbāna. Selain itu, saya mengutip ini untuk menunjukkan bahwa seseorang yang mencapai nirodhasamapatti bukan hanya arahat, karena ke-arahatan justru dicapai SETELAH seseorang mencapai pencapaian ini. SEWAKTU mencapai kondisi ini khususnya pertama kalinya seseorang mencapai, ia belum mencapai kesucian arahat. Hanya sesegera setelah ia keluar dari pencapaian tersebut, ia bisa mencapai kesucian arahat. Dalam Cūlavedallasutta dari Majjhimanikāya, diterangkan bahwa selain tiga macam phassa yakni animitta, appaṇihita dan suññāta, sesegera setelah keluar dari nirodhasamapatti, citta / mind orang tersebut akan condong kepada detachment, mengarah kepada detachment dan terarah kepada detachment (vivekaninnamcittam hoti vivekaponaṃ vivekapabbhara). Seperti yang kita ketahui, kata viveka, dalam sutta, seringkali merujuk kepada nibbāna (SN, vol. I, hal. 3-4 versi Chaṭṭhasangayana). Saya juga menjadikan Anupadasutta sebagai bukti lain bahwa kesucian arahat dicapai setelah seseorang melewati nirodhasamapatti, bukan ketika berada dalam nirodhasamapatti. Jika seseorang mencapai kesucian arahat atau anagami sesegara setelah mencapai nirodhasamapatti, secara logika, kita juga bisa menyimpulkan bahwa sewaktu mencapai nirodhasamapatti, seseorang bukan seorang arahat dan bahkan bukan seorang anagami. Dalam beberapa sutta, setelah menjelaskan pencapaian nirodhasamapatti, biasanya,  Sang Buddha meneruskan dengan pernyataan, "paññāya cassa disvā āsavā parikkhīṇā honti" yang berarti 'Setelah melihatnya melalui kebijaksanaan, kekotoran2 batin terhancurkan'. Pernyataan ini menunjukkan bahwa nirodhasamapatti belum menjadi akhir pencapaian. Hanya setelah Seseorang  melihatnya melalui paññā terlebih dahulu maka kekotoran batinnya dihancurkan.
Quote
Juga, sedikit keterangan tambahan, dari Animitto Sutta sendiri terlihat bahwa 3 vimokkha tsb bukan hanya ada pada orang yg keluar dr keadaan tsb, melainkan juga pada saat sebelum memasuki dan saat berdiam dlm sannavedayitanirodha, yaitu dengan mengarahkan pd 1 dari 3 vimokkha itu sbgmn yg dilakukan Maha-moggallana Thera. Yg diterangkan Kamabhu Thera pd Citta dan Dhammadinna Theri pd Visakha adl mengenai phassa yg menyentuh mereka yang keluar dr keadaan tsb. 
Mettacittena,
Bukan hanya dalam Animittasutta, bahkan beberapa sumber Komentar juga sering mengatakn bahwa animitta, appaṇihita dan suññāta akan muncul pada setiap orang sesegera sebelum ia mencapai magga dan phala. Oleh karena itu, tiga hal ini dikatakn sebgai gate-way of liberation (dvara vimokkhā). Jadi tidak harus ketika seseorang keluar dari nirodhasamapatti. 
Saya merasa bahwa animitta phassa, dst dan animitta vimokkha, dst  bukan dua hal yang berbeda. Ini hanya permainan kata2. Sebagai contoh, dalam Mahācundasutta, ada statemen yang berbunyi, "Acchariyā hete, āvuso, puggalā dullabhā lokasmiṃ,  ye  amataṃ  dhātuṃ  kāyena  phusitvā  viharanti" yang bisa diterjemahkan, "Teman, sungguh menakjubkan adalah makhluk2 yang sangat sulit ditemukan di dunia ini, (makhluk2) yang berdiam setelah menyentuh melalui jasmani unsur tanpa kematian (nibbāna)".  Phusitva yang berarti 'setelah menyentuh' memiliki akar kata yang sama dengan kata 'phassa', yakni 'phus' – untuk menyentuh. Karena akhiran 'assa', phus menjadi kata benda 'phassa' yang berarti 'sentuhan'. Sementara itu, karena menjadi bentuk gerund, akar kata phus menjadi phusitvā yang berarti 'setelah menyentuh'. Di sini yang menjadi penting adalah, meskipun kata2 yang digunakan adalah phassa dan phusitvā yang mana keduanya digunakan dalam konteks yang identik dengan pembebasan atau nibbāna, kata2 ini seharusnya tidak diartikan secara harfiah semata. Jika sesuatu adalah suññāta (kosong), sebagai contoh, kemudian apa yang menjadi impression /sentuhan (phassa)? Atau jika yang dimaksud adalah amatam dhāthum (unsur tanpa kematian), kemudian apa yang disentuhnya (phusitvā)? 
Be happy. 
			
 
			
			
				Quote from: Peacemind on 23 November 2009, 11:12:02 PM
Quote from: fabian c on 23 November 2009, 10:49:55 PM
Tetapi masih banyak yang belum saya ketahui, karena pada waktu mencapai Nibbana (Saupadisesa Nibbana) masih ada "knowing mind" yang kadang disebut kesadaran murni, padahal sankhara telah berhenti. Jadi proses paticca samupada terbalik nampaknya kurang lengkap.
Tetapi yang jelas phassa dan vedana berhenti (sementara) saat seseorang mencapai Saupadisesa Nibbana.
 _/\_
Very interesting explanation... Namun ada hal yang ingin saya tanyakan berhubungan dengan pernyataan anda yang saya kutip di atas. Anda mengatakan bahwa dalam saupadisesa nibbāna masih ada 'knowing mind' meskipun sankhara telah berhenti. Padahal dalam urutan 12 mata rantai paticcasamuppāda, dengan lenyapnya sankhara, di sana lenyaplah kesadaran. Selain itu, dalam Ajitamanavapuccha dari Suttanipāta, dengan jelas bahwa dalam nibbāna, kebijaksanaan (paññā), kesadaran sati, batin dan jasmani (nāmarūpa) dan kesadaran viññāna lenyap tanpa sisa.. Pernyataanya adalah, apa yang dimaksud dengan 'knowing mind' di sini? Apakah itu yang disebt sebgai viññāna anisdassanaṃ?
Terimakasih untuk penjelasannya. 
Saudara Peacemind yang baik,
Knowing mind adalah kesadaran yang mengetahui pada saat seorang meditator mengalami Nibbana, kesadaran itu adalah kesadaran pasif tetapi sangat jernih. Tolong dicamkan oleh teman-teman sekalian, bila saya katakan mengalami Nibbana adalah Saupadisesa Nibbana dan bila mengalami Anupadisesa Nibbana saya katakan sebagai Parinibbana.
Memang disini ada dua versi yang pengalaman Nibbana yang berbeda dari para meditator, ada yang mengatakan Nibbana seperti dalam "deepsleep"
Meditator yang lain lagi mengatakan  mengalami kedamaian  yang luar biasa dan kekosongan dibarengi cahaya terang.
Saya kira perbedaan diantara keduanya hanya antara mengalami Magga dan mengalami Phala.
QuotePernyataanya adalah, apa yang dimaksud dengan 'knowing mind' di sini? Apakah itu yang disebt sebgai viññāna anisdassanaṃ?
Saya kira mungkin ya....karena pada pengalaman tersebut kesadaran sudah berhenti kontak dengan keenam indera (untuk sementara selama masih dalam keadaan tersebut tentunya).
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: hendrako on 24 November 2009, 08:01:29 AM
Nirodha Samapatti: 
Pencapaian pemadaman, suatu keadaan di mana semua kegiatan batin terhenti untuk sementara yang dapat berlangsung untuk beberapa lama sampai tujuh hari. Keadaan ini dapat dicapai oleh seorang Anagami dan Arahat yang memiliki delapan Jhana, serta mahir dalam Vasi (penguasaan) dan Sampada (kesempurnaan).
Sumber: Kompilasi Istilah Budhhis
inilah keadaan yg saya cari cari. hehehe. keadaan dimana semua aktifitas batin terhenti...
			
 
			
			
				Quote from: Tekkss Katsuo on 24 November 2009, 12:47:15 PM
Quote from: hendrako on 24 November 2009, 08:01:29 AM
Nirodha Samapatti: 
Pencapaian pemadaman, suatu keadaan di mana semua kegiatan batin terhenti untuk sementara yang dapat berlangsung untuk beberapa lama sampai tujuh hari. Keadaan ini dapat dicapai oleh seorang Anagami dan Arahat yang memiliki delapan Jhana, serta mahir dalam Vasi (penguasaan) dan Sampada (kesempurnaan).
Sumber: Kompilasi Istilah Budhhis
inilah keadaan yg saya cari cari. hehehe. keadaan dimana semua aktifitas batin terhenti...
semoga itu menjadi tekad, bro.....  _/\_
			
 
			
			
				Quote from: hendrako on 24 November 2009, 08:01:29 AM
Nirodha Samapatti: 
Pencapaian pemadaman, suatu keadaan di mana semua kegiatan batin terhenti untuk sementara yang dapat berlangsung untuk beberapa lama sampai tujuh hari. Keadaan ini dapat dicapai oleh seorang Anagami dan Arahat yang memiliki delapan Jhana, serta mahir dalam Vasi (penguasaan) dan Sampada (kesempurnaan).
Sumber: Kompilasi Istilah Budhhis
Nirodha-Sampatthi ---> Memasuki Nirodha-Sampatthi: memasuki kepadaman Nama Khandha dengan terbebas dari bahaya dan merupakan kebahagiaan yang tertinggi (Nibbana).
Yang dapat memasuki Nirodha-Samapatti itu adalah orang yang memenuhi syarat-syarat sbb:
~ Harus seorang Anagami atau Arahat
~ Harus mempunyai Rupa Jhana dan Arupa Jhana (Jhana 8 )
~ Harus mempunyai Vasi, dan mahir dalam Sampada, atau pencapaian empat bagian, yaitu:
1. Ada Samatha-Bala dan Vipassana-Bala, yaitu ada Samadhi dan Panna yang kuat dan Mahir
2. Mahir dalam penahanan terhadap kaya-sankhara, vaci-sankhara dan citta-sankhara
3. Mahir dalam Solasanana (Nana 16)
4. Mahir dalam Jhanasamapatti 8 sebelumnya
Untuk dapat memasuki Nirodha-Samapatti harus mempunyai tenaga yang kuat, yaitu tenaga dari Samatha-Bhavana sampai Nevasannanayatana Jhana (jhana 8 ) dan tenaga dari Vipassana-Bhavana harus sampai paling rendah tatiyamagga, harus memakai tenaga Samadhi dan tenaga Panna secara bersama.
~ Harus orang yg diam di alam kehidupan yang mempunyai Khandha 5 (Pancavokara-Bhumi), sebab dalam Arupa bhumi tidak dapat memasuki Nirodha-Samapatti, karena tidak mempunyai Rupa Jhana.
Anagami atau Arahat yg mempunyai Samapatti 8 harus di sertai syarat-syarat tersebut di atas, bila akan memasuki Nirodha-Samapatti harus berbuat sbb:
1. Memasuki Pathama  Jhana yang telah diperoleh, sebagai obyek pathama-jhana-kusala-citta untuk Anagami atau pathama-jhana-kiriya-citta untuk Arahat, Jhana citta timbul satu khana (saat/momen) sbb :    B BC BP MA PAR UPA ANU GOT JHA B
2. Bila keluar dari Pathama Jhana, harus merenungkan jhana dengan sifat Tilakkhana, perenungan seperti ini disebut Paccavekkhana Vithi.
B BC BP MA JA JA JA JA JA JA JA B
3. Memasuki Duttiya-Jhana, Jhana citta timbul satu khana
4. Memasuki Paccavekkhana Vithi
5. Memasuki Tatiya-Jhana, Jhana citta timbul satu khana
6. Memasuki Paccavekkhana Vithi
7. Memasuki Catuttha-Jhana, Jhana citta timbul satu khana
8. Memasuki Paccavekkhana vithi
9. Memasuki Pancamajjhana, jhana citta timbul satu khana
10. Memasuki Paccavekkhana vithi
11. Memasuki Arupa Jhana, yaitu Akasannacayatana-Jhana, Jhana citta timbul satu khana
12. Memasuki Pancavekkhana vithi
13. Memasuki Vinnanancayata-jhana, jhana citta timbul satu khana
14. Memasuki Paccavekkhana vithi
15. Memasuki Akincannayatana jhana, jhana citta timbul satu khana
16. Bila keluar dari Akincannayatana-jhana, tidak usah memasuki Paccavekhana vithi lagi, tetapi memasuki Adhitthana vithi dengan melakukan empat macam tugas, yaitu:
~ Nanabaddha avikopana, dengan adhitthana menyebutkan: Segala sesuatu termasuk jasmani saya jangan sampai kena bahaya.
~ Sanghapatimanana, dengan adhitthana menyebutkan: Bila ada rapat Sangha dan menginginkan saya hadir, harap dapat keluar tepat waktunya dan tidak usah datang mencari.
~Sattupakkosana, dengan adhitthana menyebutkan: Bila Sang Buddha membutuhkan saya, harap dapat keluar tepat waktunya dan tidak usah menyuruh orang lain datang mencari
~ Addhana pariccheda, dengan adhitthana batas waktu masuk: Berapa lama mau memasuki Nirodha-Samapatti, dengan merenungkan usia saya sampai 7 hari kah? Bila tidak sampai 7 hari, tidak akan memasuki atau memasuki kurang dari 7 hari.
17. Sesudah adhitthana langsung memasuki Nevasannanasannayatana-Jhana (jhana 8 ). Citta Vithi timbul dua khana (bukan satu khana)
18. Berikutnya Citta, Cetasika dan Cittajarupa padam, sedangkan Kamajarupa, Utujarupa dan Aharajarupa masih ada sebagai penjaga. Citta, Cetasika dan Cittajarupa akan padam selama batas waktu dari Adhitthana.
19. Bila telah sampai batas waktu dari adhitthana, di sebut keluar dari Nirodha-Samapatti.  Anagamiphala untuk Anagami-puggala atau Arahattaphala untuk Arahatta-puggala, timbul satu khana dahulu, kemudian citta, cetasika dan cittajarupa akan timbul seperti sedia kala.
Pathamajjhana Vithi~Manda Puggala:
B BC BP MA PAR UPA ANU GOT JHA B B
Pathamajjhana Vithi~Tikkha Puggala:
B BC BP MA UPA ANU GOT JHA B B
Paccavekkhana-Vithi:
B BC BP MA JA JA JA JA JA JA JA B B B
Akincannayatana-Jhana Vithi (Manda Puggala):
B BC BP MA PAR UPA ANU GOT AKIN B B
Akincannayatana-Jhana Vithi (Tikkha Puggala):
B BC BP MA UPA ANU GOT AKIN B B
Adhitthana Vithi:
B BC BP MA JA JA JA JA JA JA JA  B B B
Nirodhasamapatti-Vithi (Manda Puggala):
B BC BP MA PAR UPA ANU GOT NE NE (Citta, cetasika, cittajarupa padam) PHA B
Nirodhasamapatti-Vithi (Tikkha Puggala):
B BC BP MA UPA ANU GOT NE NE (Citta, cetasika, cittajarupa padam) PHA B
Paccavekkhana-Vithi:
B BC BP MA JA JA JA JA JA JA JA B B B
Keterangan:
B    = Bhavanga
BC  = Bhavanga Calana (Bhavanga yang menggetar, sebab ada obyek baru datang)
BP  = Bhavanga Paccheda (Bhavanga menangkap obyek baru)
MA  = Manodvaravajjana (Kesadaran yg menyelidiki obyek dari Pintu Pikiran)
PAR  = Parikamma (Tingkat pendahuluan)
UPA  = Upacara (Tingkat penghampiran)
ANU  = Anuloma (Tingkat Kemajuan)
GOT  = Gotrabhu (Tingkat pemutusan)
JHA   = Jhana (Tingkat ketenangan batin)
JA     = Javana (Dorongan terhadap obyek yg telah menjadi  kusala, akusala, kiriya)
AKIN  = Akincannayatana-Jhana
Demikianlah yg tertulis di Buku Abhidhammatthasangaha (karya Pandit J Kaharuddin).
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,1393.75.html
_/\_ :lotus:
			
 
			
			
				Nibbàna
1 Nibbàna is supramundane (lokuttara), that is, beyond the
31 planes of existence, beyond the world of mind and
body(i.e. the five aggregates).
2 Nibbàna is realized through the knowledge belonging
to the Four Paths and the Four Fruits. It is observed by
magga-nana and phala-nana.
3 Nibbàna is the object of the four Paths and their Fruits.
4 When the cause of suffering, that is, defilements (kilesas)
are completely eradicated by the 4 Path-wisdoms,
suffering is also annihilated. Then only bliss (pãti) and
peacefulness (santi) exist in the mental stream. This
unique bliss and peacefulness is called Nibbàna.
In Sanskrit, Nibbàna is called Nirvàna which is composed
of 'ni' and 'vàna'. 'Ni' implies 'to be free from', and 'vàna' means
'weaving or craving'. It is this craving (tanhà) which acts as a
cord to connect the series of lives of an individual in the course
of his wanderings in Samsara – the eternal cycle of birth and
death.
As long as one is entangled by craving, one accumulates
fresh kammas which will give rise to new birth and death
repeatedly. When all forms of craving are annihilated by the
four Paths, kammic force ceases to operate and one escapes from
the cycle of birth and death. Then one is said to attain Nibbàna.
The Buddhist concept of 'Deliverance or Liberation' is this escape
from the ever-recurring cycle of birth and death and all the
misery associated with them.
By nature or intrinsically Nibbàna is peaceful (santi). As such
it is unique. Though it is single by santi-lakkhana, Nibbàna is
viewed as twofold according to the way it is experienced before
and after the death of an arahat.
1 Sa-upàdisesa-Nibbàna
Sa – with, upàdi – the five aggregates grasped by craving and
false view; sesa – remaining.
In Buddhas and arahats, though all defilements (kilesàs) have
been annihilated, vipàka-cittas and their concomitants (together
known as vipàka-namakkhandha) and kammaja-råpas still remain.
Yet Buddhas and arahats can experience Nibbàna fully. The
element of Nibbàna which is realized by Buddhas and arahats
before death with vipàka-nàmakkhandha and kammaja-råpas
remaining is called sa-upàdisesa Nibbàna-dhàtu.
2 Anupàdisesa-Nibbàna
This is the Nibbàna experienced by Buddhas and arahats after
death. The element of Nibbàna which is realized without any
vipàka-nàmakkhandha and kammaja-råpa remaining is called
anupàdisesa Nibbàna-dhàtu.
Sa-upàdisesa Nibbàna = Kilesa Nibbàna, i.e. it is attained by
the annihilation of kilesàs.
Anupàdisesa Nibbàna = Khandha Nibbàna, i.e. it is attained
by the annihilation of the five aggregates.
Three Modes of Nibbàna
1 Sunnata-Nibbàna
Nibbàna is devoid of lust, hatred and ignorance; it is
also devoid of groups of råpa and nàma. So it is called
Su¤¤ata-Nibbàna.
Su¤¤a – void or zero; here it means that lust, hatred,
ignorance, råpa and nàma are zero, but it does not mean
that Nibbàna is 'nothingness'.
2 Animitta-Nibbàna
Material groups, which are composed of råpa-kalàpas,
have dif ferent forms and shapes. Mental g roups
consisting of citta and its concomitants may be assumed
to have some kind of form for they can be seen by certain
persons who have developed super-normal power
(abhinnàs). Nibbàna, however, has no form and shape at
all. Thus it is called Animitta-Nibbàna.
3 Appanihita-Nibbàna
Nibbàna has no nàma and råpa nor any form and shape
to be longed for by taõhà (craving or lust). Neither is
there any lust or craving in Nibbàna. Nibbàna is abso
lutely free from lust as well as from the hankerings of
lust. So it is known as Appanihita-Nibbàna.
Some more Definitions of Nibbàna
Nibbàna may also be characterised by the following virtues.
1 Accutam – It has past death, and thus no death occurs
in Nibbàna.
2 Accantam – It has past the end called death, so it is
endless.
3 Asankhatam – It is not conditioned by the four causes
viz., kamma, citta, utu and àhàra. Hence it is eternal and
is neither a cause nor an effect.
4 Anuttaram – It is superior to and more noble than any
Dhamma.
5 Padam – It is an objective reality (vatthu-dhamma) that
can be realized by ariyas (noble persons).
Sumber : Buddha Abhidhamma Ultimate Science~Dr.Mehm Tin Mon
_/\_ :lotus:
			
			
			
				Quote from: fabian c on 23 November 2009, 09:33:57 PM
Menurut bhikkhu Thanissaro Nibbana + unbinding, ini agak mendekati tapi pengertian lebih harfiah Nibbana adalah Ni = free from + vana = weaving, craving.
Menurut apa yang saya ketahui: Nibbana adalah keadaan yang terbebas dari konsep dan persepsi, terbebas dari kontak indera, terbebas dari perasaan, terbebas dari dimensi, berhentinya arus sankhara, damai luar biasa, batin waspada dan jernih (tapi jangan tanya saya dimana referensinya) ini adalah pernyataan sebatas yang saya ketahui.
Menurut suhu, apakah apa yang saya terangkan mengenai pengalaman Nibbana diatas  bisa dicapai pada waktu meditasi? apakah keadaan Nibbana yang saya uraikan diatas bertentangan dengan sutta?
Mungkin Anda kurang sependapat dengan Bhikku Thanissaro, namun saya kutipkan bagian dari tulisan beliau yang kelihatannya cocok sebagai bahan renungan yang berhubungan dengan "
quote" diatas,
"The best state of concentration for the sake of developing all-around insight is one that encompasses a whole-body awareness. There were two exceptions to Ajaan Fuang's usual practice of not identifying the state you had attained in your practice, and both involved states of wrong concentration. The first was the state that comes when the breath gets so comfortable that your focus drifts from the breath to the sense of comfort itself, your mindfulness begins to blur, and your sense of the body and your surroundings gets lost in a pleasant haze. When you emerge, you find it hard to identify where exactly you were focused. Ajaan Fuang called this moha-samadhi, or delusion-concentration.
The second state was one I happened to hit one night when my concentration was extremely one-pointed, and so refined that it refused settle on or label even the most fleeting mental objects. I dropped into a state in which I lost all sense of the body, of any internal/external sounds, or of any thoughts or perceptions at all — although there was just enough tiny awareness to let me know, when I emerged, that I hadn't been asleep. I found that I could stay there for many hours, and yet time would pass very quickly. Two hours would seem like two minutes. I could also "program" myself to come out at a particular time.After hitting this state several nights in a row, I told Ajaan Fuang about it, and his first question was, "Do you like it?" My answer was "No," because I felt a little groggy the first time I came out. "Good," he said. "As long as you don't like it, you're safe. Some people really like it and think it's nibbana or cessation. Actually, it's the state of non-perception (asaññi-bhava). It's not even right concentration, because there's no way you can investigate anything in there to gain any sort of discernment.[/color]"
Source: .accesstoinsight.org/lib/authors/thanissaro/jhananumbers.html
Bisa jadi, yang dimaksud oleh Bhikku Thanissaro dengan "just enough tiny awareness to let me know" adalah yang anda maksud dengan "knowing mind".
Semoga bermanfaat.
			
 
			
			
				Quote from: hendrako on 24 November 2009, 06:24:47 PM
Quote from: fabian c on 23 November 2009, 09:33:57 PM
Menurut bhikkhu Thanissaro Nibbana + unbinding, ini agak mendekati tapi pengertian lebih harfiah Nibbana adalah Ni = free from + vana = weaving, craving.
Menurut apa yang saya ketahui: Nibbana adalah keadaan yang terbebas dari konsep dan persepsi, terbebas dari kontak indera, terbebas dari perasaan, terbebas dari dimensi, berhentinya arus sankhara, damai luar biasa, batin waspada dan jernih (tapi jangan tanya saya dimana referensinya) ini adalah pernyataan sebatas yang saya ketahui.
Menurut suhu, apakah apa yang saya terangkan mengenai pengalaman Nibbana diatas  bisa dicapai pada waktu meditasi? apakah keadaan Nibbana yang saya uraikan diatas bertentangan dengan sutta?
Mungkin Anda kurang sependapat dengan Bhikku Thanissaro, namun saya kutipkan bagian dari tulisan beliau yang kelihatannya cocok sebagai bahan renungan yang berhubungan dengan "quote" diatas,
"The best state of concentration for the sake of developing all-around insight is one that encompasses a whole-body awareness. There were two exceptions to Ajaan Fuang's usual practice of not identifying the state you had attained in your practice, and both involved states of wrong concentration. The first was the state that comes when the breath gets so comfortable that your focus drifts from the breath to the sense of comfort itself, your mindfulness begins to blur, and your sense of the body and your surroundings gets lost in a pleasant haze. When you emerge, you find it hard to identify where exactly you were focused. Ajaan Fuang called this moha-samadhi, or delusion-concentration.
The second state was one I happened to hit one night when my concentration was extremely one-pointed, and so refined that it refused settle on or label even the most fleeting mental objects. I dropped into a state in which I lost all sense of the body, of any internal/external sounds, or of any thoughts or perceptions at all — although there was just enough tiny awareness to let me know, when I emerged, that I hadn't been asleep. I found that I could stay there for many hours, and yet time would pass very quickly. Two hours would seem like two minutes. I could also "program" myself to come out at a particular time.
After hitting this state several nights in a row, I told Ajaan Fuang about it, and his first question was, "Do you like it?" My answer was "No," because I felt a little groggy the first time I came out. "Good," he said. "As long as you don't like it, you're safe. Some people really like it and think it's nibbana or cessation. Actually, it's the state of non-perception (asaññi-bhava). It's not even right concentration, because there's no way you can investigate anything in there to gain any sort of discernment.[/color]"
Source: .accesstoinsight.org/lib/authors/thanissaro/jhananumbers.html
Bisa jadi, yang dimaksud oleh Bhikku Thanissaro dengan "just enough tiny awareness to let me know" adalah yang anda maksud dengan "knowing mind".
Semoga bermanfaat.
Saudara Hendrako yang baik,
Mungkin saudara kurang teliti membaca tulisan saya, dan melewatkan kata-kata waspada dan jernih.
Kata-kata 
I lost all sense of the body, of any internal/external sounds, or of any thoughts or perceptions at all — although there was  just enough tiny awareness to let me knowberarti beliau kehilangan kesadaran terhadap tubuh, suara di dalam/ di luar, semua pikiran dan persepsi dan hanya sedikit kesadaran.
Nampaknya pengalaman tersebut mirip tetapi berbeda, karena pada pengalaman Nibbana kesadaran terhadap ke enam indera bukan hilang (karena kurang kesadaran), tetapi berhenti (cut off) dan batin tetap sadar, waspada sepenuhnya dan jernih.
Sebenarnya pengalaman seperti yang dialami bhante Thanissaro banyak saya jumpai pada meditator-meditator kita yang berlatih sepuluh hari ketika saya menjadi penerjemah untuk para Sayadaw yang datang ke Indonesia.
Untuk mengetahui seperti apakah batin mereka yang sudah melangkah jauh dalam meditasi Vipassana, mungkin bisa dibaca disini:
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,5040.0.html
 _/\_
			
 
			
			
				_/\_ Sdr Peacemind,
Anumodana utk penjelasannya yg kumplit dan mencerahkan. Sangat puas. Thanks.. :)
Mettacittena,
			
			
			
				Quote
In Buddhas and arahats, though all defilements (kilesàs) have
been annihilated, vipàka-cittas and their concomitants (together
known as vipàka-namakkhandha) and kammaja-råpas still remain.
Yet Buddhas and arahats can experience Nibbàna fully. The
element of Nibbàna which is realized by Buddhas and arahats
before death with vipàka-nàmakkhandha and kammaja-råpas
remaining is called sa-upàdisesa Nibbàna-dhàtu.
Setelah direnungkan dengan mendalam dan begitu baca muncul tulisan diatas sebagai konfirmasi. Saya mau share beberapa pengertian  berkaitan apakah sotapanna telah mengalami Saupadisesa nibbana atau pada arahat baru mengalaminya : Perhatikan kata yg saya bold 'Fully'
Seperti kita ketahui bahwa arti sebenarnya dari nibbana adalah padamnya LDM dan nibanna adalah tidak berkondisi.
Sehubungan dengan praktek vipasanna dengan menggunakan objek nibbana untuk mencapai tingkat kesucian berikut diatasnya yang dimulai dari sotapanna memiliki arti sebagai berikut :
Seorang sotapana telah mematahkan 3 belenggu/kilesa. Maka ketika 3 kilesa itu hilang atau berhasil dihancurkan maka ada suatu pengalaman hilangnya belenggu atau kilesa tadi yaitu atau bisa disebut nibbana tetapi tidak sepenuhnya HANYA sehubungan 3 kilesa yg telah hilang pada saat/moment pencapaian sotapanna. Sehingga ketika orang tersebut ingin mencapai sakadagami keatas dia menggunakan objek nibbana maka yg dimaksud masuk kedalam pengalaman nibbana adalah dan hanya sehubungan dengan kilesa yg telah hilang sampai ia mematahkan kilesa2 berikutnya. Sehingga hanya dapat dikatakan seorang sotapanna baru melihat/mencicipi nibbana. 
Sehingga hanya Buddha atau arahat dapat dikatakan mengalami Nibbana sepenuhnya/
fully (seperti yg tertulis diatas) = Saupadisesa nibbana.
  _/\_
			
 
			
			
				Quote from: bond on 25 November 2009, 10:04:21 AM
Quote
In Buddhas and arahats, though all defilements (kilesàs) have
been annihilated, vipàka-cittas and their concomitants (together
known as vipàka-namakkhandha) and kammaja-råpas still remain.
Yet Buddhas and arahats can experience Nibbàna fully. The
element of Nibbàna which is realized by Buddhas and arahats
before death with vipàka-nàmakkhandha and kammaja-råpas
remaining is called sa-upàdisesa Nibbàna-dhàtu.
Setelah direnungkan dengan mendalam dan begitu baca muncul tulisan diatas sebagai konfirmasi. Saya mau share beberapa pengertian  berkaitan apakah sotapanna telah mengalami Saupadisesa nibbana atau pada arahat baru mengalaminya : Perhatikan kata yg saya bold 'Fully'
Seperti kita ketahui bahwa arti sebenarnya dari nibbana adalah padamnya LDM dan nibanna adalah tidak berkondisi.
Sehubungan dengan praktek vipasanna dengan menggunakan objek nibbana untuk mencapai tingkat kesucian berikut diatasnya yang dimulai dari sotapanna memiliki arti sebagai berikut :
Seorang sotapana telah mematahkan 3 belenggu/kilesa. Maka ketika 3 kilesa itu hilang atau berhasil dihancurkan maka ada suatu pengalaman hilangnya belenggu atau kilesa tadi yaitu atau bisa disebut nibbana tetapi tidak sepenuhnya HANYA sehubungan 3 kilesa yg telah hilang pada saat/moment pencapaian sotapanna. Sehingga ketika orang tersebut ingin mencapai sakadagami keatas dia menggunakan objek nibbana maka yg dimaksud masuk kedalam pengalaman nibbana adalah dan hanya sehubungan dengan kilesa yg telah hilang sampai ia mematahkan kilesa2 berikutnya. Sehingga hanya dapat dikatakan seorang sotapanna baru melihat/mencicipi nibbana. 
Sehingga hanya Buddha atau arahat dapat dikatakan mengalami Nibbana sepenuhnya/fully (seperti yg tertulis diatas) = Saupadisesa nibbana.
  _/\_
Saya sependapat dengan Bond... :jempol:
Bond telah mengerti apa yang telah saya postingkan ttg Nibbana...:jempol:
_/\_ :lotus:
			
 
			
			
				mbah bonk, itu sumbernya darimana yak?
			
			
			
				Quote from: Sumedho on 25 November 2009, 06:55:53 PM
mbah bonk, itu sumbernya darimana yak?
Yang di quote atau penjelasan saya yg ditanyakan?
Kalau yg di quote itukan dari penjelasan abhidhamma yg diterangkan Prof Mehm ti mun.
			
 
			
			
				uhmmm okey dokey, ;D kekna dari commy
thanks
			
			
			
				Quote from: Sumedho on 25 November 2009, 07:57:35 PM
uhmmm okey dokey, ;D kekna dari commy
thanks
commy artinya apa suhu?  ??? membingungkan  ;D
			
 
			
			
				Quote from: bond on 25 November 2009, 10:12:52 PM
Quote from: Sumedho on 25 November 2009, 07:57:35 PM
uhmmm okey dokey, ;D kekna dari commy
thanks
commy artinya apa suhu?  ??? membingungkan  ;D
Commy adalah singkatan dari Commentary. Maksudnya, itu mengacu pada kitab komentar.
			
 
			
			
				Quote from: bond on 25 November 2009, 10:12:52 PM
Quote from: Sumedho on 25 November 2009, 07:57:35 PM
uhmmm okey dokey, ;D kekna dari commy
thanks
commy artinya apa suhu?  ??? membingungkan  ;D
kek naruto, avatar, dragon ball, kungfuboy, itu judul2 commy
			
 
			
			
				naruto, avatar itu pilem animasi
			
			
			
				Quote from: gachapin on 25 November 2009, 11:17:38 PM
naruto, avatar itu pilem animasi
naruto dan animasi lain biasanya duluan commy nya koq.. avatar jg ada commynya. :D
			
 
			
			
				manusia yg telah menemukan ajaran buddha,tidak perlu agama apalagi pindah agama,sebab dirinya saja sudah bukan agama buddha lagi apalagi agama orang lain,agama untuk manusia jadi baik kalau sudah baik tidak perlu agama,TUHAN adalah semua yg berbentuk universal,tak mamilih, tak berbuat ,tak berpikir yg ada kehilangan AVIJA.
			
			
			
				Quote from: waliagung on 26 November 2009, 12:42:41 AM
manusia yg telah menemukan ajaran buddha,tidak perlu agama apalagi pindah agama,sebab dirinya saja sudah bukan agama buddha lagi apalagi agama orang lain,agama untuk manusia jadi baik kalau sudah baik tidak perlu agama,TUHAN adalah semua yg berbentuk universal,tak mamilih, tak berbuat ,tak berpikir yg ada kehilangan AVIJA.
Jaaaaah  :o :o :o .....
kenapa kehilangan avijja disesalin?, ..... memang seharusnya dilepass  ???
Avijja = kegelapan bathin 
			
 
			
			
				QuoteQuote
In Buddhas and arahats, though all defilements (kilesàs) have
been annihilated, vipàka-cittas and their concomitants (together
known as vipàka-namakkhandha) and kammaja-råpas still remain.
Yet Buddhas and arahats can experience Nibbàna fully. The
element of Nibbàna which is realized by Buddhas and arahats
before death with vipàka-nàmakkhandha and kammaja-råpas
remaining is called sa-upàdisesa Nibbàna-dhàtu.
Setelah direnungkan dengan mendalam dan begitu baca muncul tulisan diatas sebagai konfirmasi. Saya mau share beberapa pengertian  berkaitan apakah sotapanna telah mengalami Saupadisesa nibbana atau pada arahat baru mengalaminya : Perhatikan kata yg saya bold 'Fully'
Saudara Bond yang baik,
Sebenarnya ada juga hal-hal yang masih menjadi pertanyaan bagi saya, apakah Nibbana yang dialami oleh seorang Sotapanna dan Nibbana yang dialami seorang Sakadagami sama apa berbeda?
QuoteSeperti kita ketahui bahwa arti sebenarnya dari nibbana adalah padamnya LDM dan nibanna adalah tidak berkondisi.
Sharing pendapat ya? menurut saya padamnya LDM pada seorang Sotapanna terjadi pada waktu mengalami Nibbana, tetapi karena akar kekotoran belum bersih, begitu keluar dari pencapaian Nibbana LDM bisa muncul kembali.
Mengenai Nibbana yang sama-sekali tak berkondisi mungkin adalah Anupadisesa/Parinibbana.
QuoteSehubungan dengan praktek vipasanna dengan menggunakan objek nibbana untuk mencapai tingkat kesucian berikut diatasnya yang dimulai dari sotapanna memiliki arti sebagai berikut :
Seorang sotapana telah mematahkan 3 belenggu/kilesa. Maka ketika 3 kilesa itu hilang atau berhasil dihancurkan maka ada suatu pengalaman hilangnya belenggu atau kilesa tadi yaitu atau bisa disebut nibbana tetapi tidak sepenuhnya HANYA sehubungan 3 kilesa yg telah hilang pada saat/moment pencapaian sotapanna.
saudaraku Bond yang baik, menurut saya lenyapnya samyojana disebabkan oleh Panna (magga panna?), kita tahu bahwa Panna muncul karena Samadhi. Darimana munculnya Panna yang mengikis samyojana? tak lain tak bukan adalah 
pengalaman penghentian (pengalaman Nibbana).
(Pengetahuan/kebijaksanaan yang sebenarnya muncul dari pengalaman)
Menurut saya prosesnya adalah demikian:
Pada Tingkat Sankharupekkha nana yang telah masak seorang meditator mampu melihat sankhara yang muncul dari hadayavatthu, kemudian akhirnya sankhara tsb berhenti.
Dengan berhentinya Sankhara maka Avijja juga berhenti (paticca samuppada). Dengan berhentinya avijja maka tercapailah Nibbana.
Pada meditator yang pertama kali mengalami Nibbana karena sankhara yang menimbulkan kondisi-kondisi batin telah berhenti maka batin kosong dari sankhara, inilah yang dimaksud emptiness.
karena mengalami Emptiness maka batin mengalami kedamaian yang luar biasa. 
Selanjutnya dengan berhentinya sankhara maka ia melihat dengan jelas bahwa sebenarnya tidak ada apapun, semua keadaan diawali oleh sankhara. Karena tidak ada apapun maka kepercayaan terhadap diri yang kekal 
(sakkaya ditthi) menjadi lenyap.
Kemudian kilas panna selanjutnya yaitu: Ia menyadari bahwa tak ada orang yang mampu membawa pada pengalaman berhentinya sankhara ini pada orang lain, tidak dengan upacara maupun ritual apapun, dan harus orang itu sendiri yang harus mencapainya, dengan panna ini maka kepercayaan bahwa upacara dan ritual dapat membawa manusia pada pembebasan 
(silabata paramasa) lenyap dengan sendirinya.
Flash ketiga adalah ia melihat bahwa ini adalah pengalaman nyata. Inilah kebahagiaan mutlak, kebahagiaan yang tiada taranya dan sesuai dengan yang diajarkan oleh Sang Buddha. Dengan flash Panna ketiga ini maka semua keraguan terhadap ajaran Sang Buddha 
(vicikiccha) lenyap.
QuoteSehingga ketika orang tersebut ingin mencapai sakadagami keatas dia menggunakan objek nibbana maka yg dimaksud masuk kedalam pengalaman nibbana adalah dan hanya sehubungan dengan kilesa yg telah hilang sampai ia mematahkan kilesa2 berikutnya. Sehingga hanya dapat dikatakan seorang sotapanna baru melihat/mencicipi nibbana. 
Mahasi Sayadaw dan juga Visuddhi Magga menyatakan bahwa bila seorang Sotapanna ingin mencapai yang lebih tinggi maka ia harus bertekad untuk mencapai pengetahuan yang lebih tinggi (Sakadagami).
Setelah bertekad maka ia akan kehilangan kemampuannya memasuki Nibbana sebagai Sotapanna dan ia harus mengulangi lagi dari Udaya-baya nana melihat lebih teliti ketiga karakteristik nama-rupa, lalu naik lagi setingkat demi setingkat melalui tingkatan nana-nana seperti sebelumnya ketika berjuang ingin mencapai Sotapanna, hingga mencapai sankharupekkha nana lagi dan kemudian mencapai magga-phala Sakadagami. Bila ingin mencapai Anagami juga demikian, mengulang kembali seperti sebelumnya ke Udayabaya Nana lagi dstnya.
QuoteQuoteSehingga hanya Buddha atau arahat dapat dikatakan mengalami Nibbana sepenuhnya/fully (seperti yg tertulis diatas) = Saupadisesa nibbana.
  _/\_
Entah apakah berhentinya kondisi-kondisi (sankhara) yang dialami oleh seorang Sotapanna dianggap Saupadisesa Nibbana atau bukan, tetapi menurut pendapat saya berhentinya kondisi (sankhara) adalah Nibbana, itulah kebebasan.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: bond on 25 November 2009, 07:13:16 PM
Quote from: Sumedho on 25 November 2009, 06:55:53 PM
mbah bonk, itu sumbernya darimana yak?
Yang di quote atau penjelasan saya yg ditanyakan?
Kalau yg di quote itukan dari penjelasan abhidhamma yg diterangkan Prof Mehm ti mun.
Namanya Prof Mehm Tin Mon bro,  bukan Prof ... ti mun.  
kabur ah... ;D
			
 
			
			
				perusakan nama baik, eh perusakan nama beneran. ;D
			
			
			
				Quote from: fabian c on 23 November 2009, 09:33:57 PM
Menurut apa yang saya ketahui: Nibbana adalah keadaan yang terbebas dari konsep dan persepsi, terbebas dari kontak indera, terbebas dari perasaan, terbebas dari dimensi, berhentinya arus sankhara, damai luar biasa, batin waspada dan jernih (tapi jangan tanya saya dimana referensinya) ini adalah pernyataan sebatas yang saya ketahui.
Pernyataan ini seolah menyiratkan bahwa Fabian telah mengalami apa itu yang disebut Nibbāna karena apa yang anda tulis adalah apa yang anda ketahui. Pernyataan bahwa "tapi jangan tanya saya dimana referensinya" lebih menunjukkan bahwa referensinya ada dalam pengalaman anda. Kalau memang benar, congrat! Paling tidak ada warga DC yang telah menikmati kebahagiaan Nibbāna.
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 26 November 2009, 02:41:11 AM
Quote from: bond on 25 November 2009, 07:13:16 PM
Quote from: Sumedho on 25 November 2009, 06:55:53 PM
mbah bonk, itu sumbernya darimana yak?
Yang di quote atau penjelasan saya yg ditanyakan?
Kalau yg di quote itukan dari penjelasan abhidhamma yg diterangkan Prof Mehm ti mun.
Namanya Prof Mehm Tin Mon bro,  bukan Prof ... ti mun.  
kabur ah... ;D
Duh salah nyebut lagi  :-[  ^:)^
Thanks om untuk koreksinya  _/\_
			
 
			
			
				maaf baru nimbrung, ketinggalan kreta yang udah jauh.... di kilo 16
ehm... kalo beneran ada loh ya... pengen ketemu orang suci yang katanya dah sotapanna tp bs mempercayai keselamatan mie instan dari tanah sono... :D
klo ada yg ngaku2 dah sotapanna trus bs mempercayai keselamatan mie instan dari tanah sono, mungkin dia sudah mencapai "soto pak nana" kali... katanya sih enak jg loh soto nya pak nana kayak mie instan... :))
			
			
			
				Impossible......
Yo kho Vakkali dhammaṃ passati so maṃ passati; yo maṃ passati so dhammaṃ passati. 
Dhammañhi, vakkali, passanto maṃ passati; maṃ passanto dhammaṃ passati"
			
			
			
				Quote from: dhammasiri on 26 November 2009, 07:01:19 AM
Quote from: fabian c on 23 November 2009, 09:33:57 PM
Menurut apa yang saya ketahui: Nibbana adalah keadaan yang terbebas dari konsep dan persepsi, terbebas dari kontak indera, terbebas dari perasaan, terbebas dari dimensi, berhentinya arus sankhara, damai luar biasa, batin waspada dan jernih (tapi jangan tanya saya dimana referensinya) ini adalah pernyataan sebatas yang saya ketahui.
Pernyataan ini seolah menyiratkan bahwa Fabian telah mengalami apa itu yang disebut Nibbāna karena apa yang anda tulis adalah apa yang anda ketahui. Pernyataan bahwa "tapi jangan tanya saya dimana referensinya" lebih menunjukkan bahwa referensinya ada dalam pengalaman anda. Kalau memang benar, congrat! Paling tidak ada warga DC yang telah menikmati kebahagiaan Nibbāna.
biarlah saya jadi pengkritik sotopanna yg pertama (kalau iya sotopanna)
menurut saya, pengalaman om fabian yg ini belum tentu bisa dikatakan nibbana. lebih tepatnya suatu pencapaian meditasi, yg mungkin telah memberikan pengalaman berbeda dari apa yg dialami sebelumnya*. sangat mungkin, om fab udah ariya, bukan ga mungkin :P . tapi saya lebih setuju dg pendapat pihak lain yaitu, sotapanna sampai anagami belum mengalami nibbana, namun telah melihat Sang Jalan.
menurut surat alm. Nyanavira Thera (dalam ingatan saya), ketika seorang mencapai sotapanna, ia melihat 
sukkha* (sesuatu yg lain dari dunia biasanya), oleh karena itu ia akan memandang dunia sebagai dukkha, dukkha, dukkha... (yg sering didengar di kitab suci, mata dhamma (dhammacakku) telah terbuka = sotapanna).
sedangkan seorang putthujana akan memandang dunia sebagai sukkha, karena ia baru hanya melihat 1 sisi dari sebuah mata uang. tidak ada pembanding :)
mungkin om fab udah melihat sisi lain lagi dari mata uang, tp bukan artinya udah nibbana.
anyways, 
muditacittena :)
_/\_
			
 
			
			
				Quote from: dhammasiri on 26 November 2009, 07:01:19 AM
Quote from: fabian c on 23 November 2009, 09:33:57 PM
Menurut apa yang saya ketahui: Nibbana adalah keadaan yang terbebas dari konsep dan persepsi, terbebas dari kontak indera, terbebas dari perasaan, terbebas dari dimensi, berhentinya arus sankhara, damai luar biasa, batin waspada dan jernih (tapi jangan tanya saya dimana referensinya) ini adalah pernyataan sebatas yang saya ketahui.
Pernyataan ini seolah menyiratkan bahwa Fabian telah mengalami apa itu yang disebut Nibbāna karena apa yang anda tulis adalah apa yang anda ketahui. Pernyataan bahwa "tapi jangan tanya saya dimana referensinya" lebih menunjukkan bahwa referensinya ada dalam pengalaman anda. Kalau memang benar, congrat! Paling tidak ada warga DC yang telah menikmati kebahagiaan Nibbāna.
Ah Samanera sedang berspekulasi  , kalau seseorang mengetahui sesuatu, bisa berasal dari buku, dari berita, dari logika, dari  pengalaman orang, dari kata guru, atau memang pengalaman sendiri.
 _/\_
Quote from: dhanuttono on 26 November 2009, 09:58:32 AM
maaf baru nimbrung, ketinggalan kreta yang udah jauh.... di kilo 16
ehm... kalo beneran ada loh ya... pengen ketemu orang suci yang katanya dah sotapanna tp bs mempercayai keselamatan mie instan dari tanah sono... :D
klo ada yg ngaku2 dah sotapanna trus bs mempercayai keselamatan mie instan dari tanah sono, mungkin dia sudah mencapai "soto pak nana" kali... katanya sih enak jg loh soto nya pak nana kayak mie instan... :))
Soto pa nana..ng   :)
Quote from: tesla on 26 November 2009, 03:09:42 PM
Quote from: dhammasiri on 26 November 2009, 07:01:19 AM
Quote from: fabian c on 23 November 2009, 09:33:57 PM
Menurut apa yang saya ketahui: Nibbana adalah keadaan yang terbebas dari konsep dan persepsi, terbebas dari kontak indera, terbebas dari perasaan, terbebas dari dimensi, berhentinya arus sankhara, damai luar biasa, batin waspada dan jernih (tapi jangan tanya saya dimana referensinya) ini adalah pernyataan sebatas yang saya ketahui.
Pernyataan ini seolah menyiratkan bahwa Fabian telah mengalami apa itu yang disebut Nibbāna karena apa yang anda tulis adalah apa yang anda ketahui. Pernyataan bahwa "tapi jangan tanya saya dimana referensinya" lebih menunjukkan bahwa referensinya ada dalam pengalaman anda. Kalau memang benar, congrat! Paling tidak ada warga DC yang telah menikmati kebahagiaan Nibbāna.
biarlah saya jadi pengkritik sotopanna yg pertama (kalau iya sotopanna)
menurut saya, pengalaman om fabian yg ini belum tentu bisa dikatakan nibbana. lebih tepatnya suatu pencapaian meditasi, yg mungkin telah memberikan pengalaman berbeda dari apa yg dialami sebelumnya*. sangat mungkin, om fab udah ariya, bukan ga mungkin :P . tapi saya lebih setuju dg pendapat pihak lain yaitu, sotapanna sampai anagami belum mengalami nibbana, namun telah melihat Sang Jalan.
menurut surat alm. Nyanavira Thera (dalam ingatan saya), ketika seorang mencapai sotapanna, ia melihat sukkha* (sesuatu yg lain dari dunia biasanya), oleh karena itu ia akan memandang dunia sebagai dukkha, dukkha, dukkha... (yg sering didengar di kitab suci, mata dhamma (dhammacakku) telah terbuka = sotapanna).
sedangkan seorang putthujana akan memandang dunia sebagai sukkha, karena ia baru hanya melihat 1 sisi dari sebuah mata uang. tidak ada pembanding :)
mungkin om fab udah melihat sisi lain lagi dari mata uang, tp bukan artinya udah nibbana.
anyways, 
muditacittena :)
_/\_
Saudara Tesla yang baik,
Menurut Visuddhi Magga, dalam perumpamaan "land finding crow" jika burung tersebut menemukan daratan maka otomatis kapal yang sudah lama terapung-apung (nyasar) di laut tentu akan merapat ke pantai, untuk menikmati suasana daratan.
Demikian juga seorang meditator jika melihat Nibbana otomatis tak terhindarkan akan masuk bila melihat Nibbana.
 _/\_
			
 
			
			
				For all:
Apapun pemikiran, spekulasi atau dugaan kita mengenai Nibbāna, selama kita belum merealisasinya, semuanya tidak bisa mewakili perealisasian nibbāna. Apa yang kita pikirkan, spekulasi, dan duga tentang nibbāna masih dalam lingkup dunia yang berkondisi (saṇkharaloka), sedangkan nibbāna adalah 'sesuatu' yang tak berkondisi, sesuatu yang belum pernah dialami oleh kita2 yang puthujjana. Ketika kita sebagai puthujjana mengatakan 'Sotapanna MELIHAT nibbana', kalimat tersebut diucapkan melalui persepsi puthujjana, persepsi yang berkaitan dengan saṇkharaloka. Di sana seakan-akan  seseorang melihat nibbāna melalui batin / pikiran. Pertanyaannya adalah, bisakah batin melihat unconditioned thing (nibbāna)? Mungkin sebagian orang akan menjawab bahwa hal tersebut bisa dilakukan. Namun kalaupun bisa, apakah spekulasi kita sebagai puthujjana tentang MELIHAT nibbāna sama dengan seseorang yang benar2 melihat nibbāna? Jawabannya tentu, tidaklah sama, karena apa yang kita pikirkan mengenai nibbāna saat ini masih dalam lingkup saṇkharaloka (the conditioned world), sedangkan nibbāna adalah unconditioned thing. 
Seperti halnya dengan "MELIHAT", spekulasi tentang sotapanna "MENGALAMI' nibbāna tidaklah berbeda. Spekulasi kita sebagai puthujjana tentang  sotapanna mengalami nibbāna muncul semata-mata bermula dari pemikiran sankharaloka (the conditioned world). Itupun tidak mewakili pengalaman sebenarnya para sotapanna. 
I am just saying.. Please all don't mind with my words.
Be happy.
			
			
			
				Quote from: Peacemind on 28 November 2009, 10:35:49 AM
For all:
Apapun pemikiran, spekulasi atau dugaan kita mengenai Nibbāna, selama kita belum merealisasinya, semuanya tidak bisa mewakili perealisasian nibbāna. Apa yang kita pikirkan, spekulasi, dan duga tentang nibbāna masih dalam lingkup dunia yang berkondisi (saṇkharaloka), sedangkan nibbāna adalah 'sesuatu' yang tak berkondisi, sesuatu yang belum pernah dialami oleh kita2 yang puthujjana. Ketika kita sebagai puthujjana mengatakan 'Sotapanna MELIHAT nibbana', kalimat tersebut diucapkan melalui persepsi puthujjana, persepsi yang berkaitan dengan saṇkharaloka. Di sana seakan-akan  seseorang melihat nibbāna melalui batin / pikiran. Pertanyaannya adalah, bisakah batin melihat unconditioned thing (nibbāna)? Mungkin sebagian orang akan menjawab bahwa hal tersebut bisa dilakukan. Namun kalaupun bisa, apakah spekulasi kita sebagai puthujjana tentang MELIHAT nibbāna sama dengan seseorang yang benar2 melihat nibbāna? Jawabannya tentu, tidaklah sama, karena apa yang kita pikirkan mengenai nibbāna saat ini masih dalam lingkup saṇkharaloka (the conditioned world), sedangkan nibbāna adalah unconditioned thing. 
Seperti halnya dengan "MELIHAT", spekulasi tentang sotapanna "MENGALAMI' nibbāna tidaklah berbeda. Spekulasi kita sebagai puthujjana tentang  sotapanna mengalami nibbāna muncul semata-mata bermula dari pemikiran sankharaloka (the conditioned world). Itupun tidak mewakili pengalaman sebenarnya para sotapanna. 
I am just saying.. Please all don't mind with my words.
Be happy.
^ demikianlah argumentasi penutup dari Peacemind, dengan demikian spekulasi mengenai Nibbana kita akhiri, silahkan back to topic.
			
 
			
			
				Iya nih,
Oom Indra sudah mengingatkan kita, jadi bila seorang sotapanna tak mungkin berpindah agama, apa penyebabnya dong?
 _/\_
			
			
			
				Quote from: fabian c on 28 November 2009, 11:29:29 AM
Iya nih,
Oom Indra sudah mengingatkan kita, jadi bila seorang sotapanna tak mungkin berpindah agama, apa penyebabnya dong?
 _/\_
pindah agama sih boleh2 aja, tapi keyakinannya yang gak mungkin ganti, misalnya seorang sotapanna mau ikut pilpres, spy peluangnya lebih mudah, silahkan ganti di KTP jadi i***m, tapi tetap berkeyakinan dan berlindung pada Tiratana
			
 
			
			
				Ganti keyakinan akh ke Lu Sheng Yen... :))
			
			
			
				Quote from: Indra on 28 November 2009, 11:41:23 AM
Quote from: fabian c on 28 November 2009, 11:29:29 AM
Iya nih,
Oom Indra sudah mengingatkan kita, jadi bila seorang sotapanna tak mungkin berpindah agama, apa penyebabnya dong?
 _/\_
pindah agama sih boleh2 aja, tapi keyakinannya yang gak mungkin ganti, misalnya seorang sotapanna mau ikut pilpres, spy peluangnya lebih mudah, silahkan ganti di KTP jadi i***m, tapi tetap berkeyakinan dan berlindung pada Tiratana
Atau misalnya di suatu saat semua merk "Agama Buddha" sudah korup, maka tidaklah heran kalo seorang Ariya pindah agama. Mereka tidak akan berpaling dari pandangan benar, tetapi pindah agama sih sepertinya mungkin-mungkin saja. 
Quote from: bond on 28 November 2009, 11:56:50 AM
Ganti keyakinan akh ke Lu Sheng Yen... :))
Ga IKT/MLDD aja? Lagi berkembang lho! :) 
			
 
			
			
				QuoteQuote
Ganti keyakinan akh ke Lu Sheng Yen... laugh
Ga IKT/MLDD aja? Lagi berkembang lho! Smiley 
Uda pernah IKT dan MLDD malah uda di ciutao lagi. Ciutao nya 2x  ;D
			
 
			
			
				Quote from: bond on 28 November 2009, 04:50:53 PM
QuoteQuote
Ganti keyakinan akh ke Lu Sheng Yen... laugh
Ga IKT/MLDD aja? Lagi berkembang lho! Smiley 
Uda pernah IKT dan MLDD malah uda di ciutao lagi. Ciutao nya 2x  ;D
Kalo gitu Supreme Master Ching Hai aja.. Lagi berkembang juga. Go green go vege. :whistle:
 [at] Sdr Peacemind _/\_
Tapi ada pemilihan terminologi yg lebih tepat dan kurang tepat meski yang manapun bukan objek itu sendiri. Misalnya: bila dikatakan bola kaki berbentuk bundar, ini terminologi yang lebih tepat dibandingkan dikatakan bola kaki berbentuk oval apalagi menyatakan bola kaki berbentuk kotak. Atau dikatakan bumi berbentuk oval, ini lebih tepat dibandingkan mengatakan bumi berbentuk bulat. Yang manapun, tetap seperti yang Anda katakan, tidak mewakili realitas sebenarnya. Dan jika demikian, baiklah saya stick pada terminologi yang dipakai oleh Sang Buddha sendiri. :)
mettacittena,
			
 
			
			
				Quote from: bond on 28 November 2009, 04:50:53 PM
QuoteQuote
Ganti keyakinan akh ke Lu Sheng Yen... laugh
Ga IKT/MLDD aja? Lagi berkembang lho! Smiley 
Uda pernah IKT dan MLDD malah uda di ciutao lagi. Ciutao nya 2x  ;D
1 x ciu tao masuk surga
2 x ciu tao masuk neraka
:)) :)) :))
:lotus:
			
 
			
			
				Quote from: Lily W on 28 November 2009, 11:36:08 PM
Quote from: bond on 28 November 2009, 04:50:53 PM
QuoteQuote
Ganti keyakinan akh ke Lu Sheng Yen... laugh
Ga IKT/MLDD aja? Lagi berkembang lho! Smiley 
Uda pernah IKT dan MLDD malah uda di ciutao lagi. Ciutao nya 2x  ;D
1 x ciu tao masuk surga
2 x ciu tao masuk neraka
:)) :)) :))
:lotus:
yg ke 3 X nya,... nah saatnya makan siang atau makan malam..........
=))
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 28 November 2009, 02:34:29 PM
Quote from: Indra on 28 November 2009, 11:41:23 AM
Quote from: fabian c on 28 November 2009, 11:29:29 AM
Iya nih,
Oom Indra sudah mengingatkan kita, jadi bila seorang sotapanna tak mungkin berpindah agama, apa penyebabnya dong?
 _/\_
pindah agama sih boleh2 aja, tapi keyakinannya yang gak mungkin ganti, misalnya seorang sotapanna mau ikut pilpres, spy peluangnya lebih mudah, silahkan ganti di KTP jadi i***m, tapi tetap berkeyakinan dan berlindung pada Tiratana
Atau misalnya di suatu saat semua merk "Agama Buddha" sudah korup, maka tidaklah heran kalo seorang Ariya pindah agama. Mereka tidak akan berpaling dari pandangan benar, tetapi pindah agama sih sepertinya mungkin-mungkin saja. 
Quote from: bond on 28 November 2009, 11:56:50 AM
Ganti keyakinan akh ke Lu Sheng Yen... :))
Ga IKT/MLDD aja? Lagi berkembang lho! :) 
For Indra: Ketika seseorang pindah agama, di sana ada dampak psikologis tertentu.  Untuk benar2 dikatakan pindah agama, seseorang harus menerima kebenaran ajaran agama tersebut. Seorang Sotapanna telah memiliki keyakinan yang tak tergoncangkan terhadap BUddha, Dhamma dan Sangha. Mungkinkah seseorang yang memiliki kwaltas batin demikian akan pindah agama? Mungkin beberapa orang akan mengatakan ya dan pindahnya seorang sotapanna ke agama lain hanya karena mengikuti arus masyarakat, bukan karena ia yakin terhadap agama baru yang dianutnya.. Jika demikian halnya, apakah seorang sotapanna sedang tidak membohongi dirinya dan masyarakat? Ingat bahwa seorang sotapanna dikatakan memiliki unbroken morality. Ia tidak akan berbohong lagi.. Namun, dalam hal ini, jika seorang sotapanna pindah agama, tampaknya ia membohongi masyarakat.. :D
For Kainyin: Kalu seorang sotapanna pindah agama gara2 agama Buddhanya udah korup, bukannya ia sama halnya keluar dari mulut harimau dan masuk ke mulut buaya, kecuali kalau agama yang baru dianutnya memang benar2 seperfect keyakinan yng dianut sebelumnya... hehehe. :D
Be happy.
			
 
			
			
				Quote from: Peacemind on 29 November 2009, 10:21:38 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 28 November 2009, 02:34:29 PM
Quote from: Indra on 28 November 2009, 11:41:23 AM
Quote from: fabian c on 28 November 2009, 11:29:29 AM
Iya nih,
Oom Indra sudah mengingatkan kita, jadi bila seorang sotapanna tak mungkin berpindah agama, apa penyebabnya dong?
 _/\_
pindah agama sih boleh2 aja, tapi keyakinannya yang gak mungkin ganti, misalnya seorang sotapanna mau ikut pilpres, spy peluangnya lebih mudah, silahkan ganti di KTP jadi i***m, tapi tetap berkeyakinan dan berlindung pada Tiratana
Atau misalnya di suatu saat semua merk "Agama Buddha" sudah korup, maka tidaklah heran kalo seorang Ariya pindah agama. Mereka tidak akan berpaling dari pandangan benar, tetapi pindah agama sih sepertinya mungkin-mungkin saja. 
Quote from: bond on 28 November 2009, 11:56:50 AM
Ganti keyakinan akh ke Lu Sheng Yen... :))
Ga IKT/MLDD aja? Lagi berkembang lho! :) 
For Indra: Ketika seseorang pindah agama, di sana ada dampak psikologis tertentu.  Untuk benar2 dikatakan pindah agama, seseorang harus menerima kebenaran ajaran agama tersebut. Seorang Sotapanna telah memiliki keyakinan yang tak tergoncangkan terhadap BUddha, Dhamma dan Sangha. Mungkinkah seseorang yang memiliki kwaltas batin demikian akan pindah agama? Mungkin beberapa orang akan mengatakan ya dan pindahnya seorang sotapanna ke agama lain hanya karena mengikuti arus masyarakat, bukan karena ia yakin terhadap agama baru yang dianutnya.. Jika demikian halnya, apakah seorang sotapanna sedang tidak membohongi dirinya dan masyarakat? Ingat bahwa seorang sotapanna dikatakan memiliki unbroken morality. Ia tidak akan berbohong lagi.. Namun, dalam hal ini, jika seorang sotapanna pindah agama, tampaknya ia membohongi masyarakat.. :D
For Kainyin: Kalu seorang sotapanna pindah agama gara2 agama Buddhanya udah korup, bukannya ia sama halnya keluar dari mulut harimau dan masuk ke mulut buaya, kecuali kalau agama yang baru dianutnya memang benar2 seperfect keyakinan yng dianut sebelumnya... hehehe. :D
Be happy.
Bagaimana seandainya jika ada cerita sbb:
Seseorang sotapanna, karena berbagai kombinasi kamma, terlahir kembali dalam suatu komunitas yg tidak ada agama buddha, misalnya terlahir dalam keluarga raja arab, atau terlahir di vatikan. atau terlahir kembali pada masa gelap, di mana buddhism sudah tidak exist lagi. sejak lahir di didik dalam agama lain. apakah lantas dia tetap ngotot beragama buddha?
			
 
			
			
				Quote from: Indra on 29 November 2009, 11:03:02 AM
Quote from: Peacemind on 29 November 2009, 10:21:38 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 28 November 2009, 02:34:29 PM
Quote from: Indra on 28 November 2009, 11:41:23 AM
Quote from: fabian c on 28 November 2009, 11:29:29 AM
Iya nih,
Oom Indra sudah mengingatkan kita, jadi bila seorang sotapanna tak mungkin berpindah agama, apa penyebabnya dong?
 _/\_
pindah agama sih boleh2 aja, tapi keyakinannya yang gak mungkin ganti, misalnya seorang sotapanna mau ikut pilpres, spy peluangnya lebih mudah, silahkan ganti di KTP jadi i***m, tapi tetap berkeyakinan dan berlindung pada Tiratana
Atau misalnya di suatu saat semua merk "Agama Buddha" sudah korup, maka tidaklah heran kalo seorang Ariya pindah agama. Mereka tidak akan berpaling dari pandangan benar, tetapi pindah agama sih sepertinya mungkin-mungkin saja. 
Quote from: bond on 28 November 2009, 11:56:50 AM
Ganti keyakinan akh ke Lu Sheng Yen... :))
Ga IKT/MLDD aja? Lagi berkembang lho! :) 
For Indra: Ketika seseorang pindah agama, di sana ada dampak psikologis tertentu.  Untuk benar2 dikatakan pindah agama, seseorang harus menerima kebenaran ajaran agama tersebut. Seorang Sotapanna telah memiliki keyakinan yang tak tergoncangkan terhadap BUddha, Dhamma dan Sangha. Mungkinkah seseorang yang memiliki kwaltas batin demikian akan pindah agama? Mungkin beberapa orang akan mengatakan ya dan pindahnya seorang sotapanna ke agama lain hanya karena mengikuti arus masyarakat, bukan karena ia yakin terhadap agama baru yang dianutnya.. Jika demikian halnya, apakah seorang sotapanna sedang tidak membohongi dirinya dan masyarakat? Ingat bahwa seorang sotapanna dikatakan memiliki unbroken morality. Ia tidak akan berbohong lagi.. Namun, dalam hal ini, jika seorang sotapanna pindah agama, tampaknya ia membohongi masyarakat.. :D
For Kainyin: Kalu seorang sotapanna pindah agama gara2 agama Buddhanya udah korup, bukannya ia sama halnya keluar dari mulut harimau dan masuk ke mulut buaya, kecuali kalau agama yang baru dianutnya memang benar2 seperfect keyakinan yng dianut sebelumnya... hehehe. :D
Be happy.
Bagaimana seandainya jika ada cerita sbb:
Seseorang sotapanna, karena berbagai kombinasi kamma, terlahir kembali dalam suatu komunitas yg tidak ada agama buddha, misalnya terlahir dalam keluarga raja arab, atau terlahir di vatikan. atau terlahir kembali pada masa gelap, di mana buddhism sudah tidak exist lagi. sejak lahir di didik dalam agama lain. apakah lantas dia tetap ngotot beragama buddha?
Hmmm.....benar juga ya... Cuma pernah terjadi nggak ya..kejadian demikian? 
Memang seorang Sotapanna akan dilahirkan lagi ke dunia paling banyak 7 kelahiran lagi. Logikanya, ia sangat mungkin bisa terlahir lagi di alam manusia. Akan tetapi, dalam sutta2 dan kitab2 komentar belum ada satu pun referensi yang menyebutkn seseorng yang telah mencapai sotapanna kemudian terlahir di alam manusia lagi setelah meninggal. Pada umumnya, ia akan terlahir di alam dewa..  Kebetulan akhir2 ini, di Sri Lanka, ada seseorang yang mengklaim dirinya bahwa ia telah menjadi sotapanna sejak ia dilahirkan. Di kehidupan dulu ia telah menjadi sotapanna, sehingga sekarang sejak lahirpun ia mengklaim sebagai sotapanna. Klaim orang tersebut menimbulkan pro and kontra di masyarakat. Masalahnya, tidak ada satu pun referensi di Pali literatur yang pernah menyebutkan satu kejadian mengenai hal demikian.
Namun demikian, jika apa yang dikatakan Indra bisa terjadi... mungkin ada kemungkinannya juga.
Mungkin teman2 lain ada yang memiliki pendapat lain?
Be happy.
			
 
			
			
				atau sotapanna itu ketika dilahirkan di lingkungan non buddhis, lalu dia membuat kepercayaan sendiri ?  :hammer:
			
			
			
				Setuju dengan Peacemind, belon pernah nemu Sotapanna yang lahir lagi jadi manusia.
			
			
			
				Quote from: Sumedho on 29 November 2009, 11:26:22 AM
atau sotapanna itu ketika dilahirkan di lingkungan non buddhis, lalu dia membuat kepercayaan sendiri ?  :hammer:
hahaha.. ini pun juga bisa terjadi. Bahkan Sang BUddha sendiri berbuat demikian. Pada awalnya beliau hanya sendirian, namun kemudian membentuk Sangha dan memperoleh banyak pengikut :D
			
 
			
			
				imo, sotapanna tidak melekati agama. nyana lahir dari vipassana kan, bukan dari agama ;D
soal agama ini, kalau dipikir kelahirannya dari sudut psikologis sebenarnya hal yg lucu sekali...
di zaman Buddha dulu, ketika seseorang memutuskan menjadi bhikkhu & menjalani kehidupan suci, tidak dijelaskan bahwa ia harus menanggalkan kepercayaan lamannya (mis: Brahmanisme) utk memeluk agama Buddha ;)
			
			
			
				saya coba jawab sendiri,
Seorang sotapanna, berkat jasa2nya, jika terlahir di alam manusia, akan terlahir kembali dalam lingkungan yang akan mendukung pencapaiannya, misalnya di tangerang. jadi tidak akan terlahir dalam lingkungan yg hampa dari Dhamma.
:))
			
			
			
				Quote from: tesla on 29 November 2009, 11:41:20 AM
imo, sotapanna tidak melekati agama. nyana lahir dari vipassana kan, bukan dari agama ;D
soal agama ini, kalau dipikir kelahirannya dari sudut psikologis sebenarnya hal yg lucu sekali...
di zaman Buddha dulu, ketika seseorang memutuskan menjadi bhikkhu & menjalani kehidupan suci, tidak dijelaskan bahwa ia harus menanggalkan kepercayaan lamannya (mis: Brahmanisme) utk memeluk agama Buddha ;)
ahaa...lebih bisa diterima 
Umpamanya anda masuk ke tempat suku pedalaman, anda diharuskan berbaur dengan mereka, ikut upacara ritual mereka, makan dan minum ala mereka, namun batin anda tetap konsisten pada faktor2 batin seorang Sotapanna, karena tidak melekat lagi pada fenomen-fenomena itu. Jadi lahir di mana pun bukan halangan, dan apabila akan ada halangan, tentu tidak akan sampai menciptakan kondisi yg bisa membuat anda terlahir di sana, tidak akan terjadi.    
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 29 November 2009, 11:41:20 AM
imo, sotapanna tidak melekati agama. nyana lahir dari vipassana kan, bukan dari agama ;D
soal agama ini, kalau dipikir kelahirannya dari sudut psikologis sebenarnya hal yg lucu sekali...
di zaman Buddha dulu, ketika seseorang memutuskan menjadi bhikkhu & menjalani kehidupan suci, tidak dijelaskan bahwa ia harus menanggalkan kepercayaan lamannya (mis: Brahmanisme) utk memeluk agama Buddha ;)
Saya pikir masih tergantung pada ajarannya. Jika ajaran yang dianut sebelumnya memberikan manfaat, seseorang yang  mau menjadi seorang bhikkhu / umat awam, penganut ajaran Buddha tidak perlu meninggalkan ajaran tersebut. Sebagai contoh, hukum kamma dan tumimbal lahir, dana, praktik 5 sila, dan bahkan meditasi, merupakan ajaran yang sudah dikenal sebelum Sang Buddha muncul. Meskipun ajaran ini bukan secara murni diajarkan Sang Buddha, Sang Buddha menerimanya dan kalau ada seseorng yang mau menjadi Bhikkhu ia tidak perlu meninggalkan ajaran tersebut. Namun demikian, ada beberapa ajaran lama (dalam hal ini brahmanisme) yang harus ditinggalkan ketika seseorang menjadi bhikkhu /ni atau upasaka/sika. Salah satunya adalah upacara korban (yagña) yang seringkali melibatkan pembunuhan ratusan / ribuan binatang. Upacara korban ini yang merupakan ajaran penting kaum Brahmana tentu harus ditinggalkan jika seseorang secara sungguh2 menjadi penganut ajaran Sang Buddha.
Be happy..
			
 
			
			
				Quote from: Peacemind on 29 November 2009, 02:18:00 PM
Saya pikir masih tergantung pada ajarannya. Jika ajaran yang dianut sebelumnya memberikan manfaat, seseorang yang  mau menjadi seorang bhikkhu / umat awam, penganut ajaran Buddha tidak perlu meninggalkan ajaran tersebut. Sebagai contoh, hukum kamma dan tumimbal lahir, dana, praktik 5 sila, dan bahkan meditasi, merupakan ajaran yang sudah dikenal sebelum Sang Buddha muncul. Meskipun ajaran ini bukan secara murni diajarkan Sang Buddha, Sang Buddha menerimanya dan kalau ada seseorng yang mau menjadi Bhikkhu ia tidak perlu meninggalkan ajaran tersebut. Namun demikian, ada beberapa ajaran lama (dalam hal ini brahmanisme) yang harus ditinggalkan ketika seseorang menjadi bhikkhu /ni atau upasaka/sika. Salah satunya adalah upacara korban (yagña) yang seringkali melibatkan pembunuhan ratusan / ribuan binatang. Upacara korban ini yang merupakan ajaran penting kaum Brahmana tentu harus ditinggalkan jika seseorang secara sungguh2 menjadi penganut ajaran Sang Buddha.
Be happy..
sependapat, bahwa sotapanna tidak akan meninggalkan keyakinannya thd kebenaran yg ia temukan. namun status agama sendiri adalah tuntutann sosial (bahkan hukum seperti di negara Indonesia ini), bahwa setiap orang "wajib" memeluk 1 agama. mungkin saja ia memeluk agama lain krn disana tidak ada ajaran Buddha, namun ritual2 akan ia tinggalkan...
dan menurut saya, seseorang "mungkin saja" mencapai sotapanna tanpa harus beragama Buddha, tanpa harus di lingkungan Buddhist, tanpa harus ketemu guru Buddhist/bhante. alasannya adalah lingkungan Buddhist belum tentu mengisyaratkan lebih kaya dhamma daripada di lingkungan non-Buddhist. dhamma ada di mana2, mis: semua yg lahir apapun agamanya akan mengalami kematian juga. semua yg ada di dunia ini tidak kekal...
pemeditasi serius pun ke hutan, gua, gunung atau tempat sepi lainnya. bukan ke  viahara ;)
			
 
			
			
				Ajaran "para" BUDDHA dari sejak jaman dahulu, jaman sekarang ataupun masa yang akan datang, hanyalah mengajarkan kesunyataan tentang dukkha dan jalan menuju berakhirnya dukkha. 
Jadi agak aneh, jika ada individu yang mengikuti "ajaran BUDDHA" tetapi masih tidak meninggalkan keyakinan lamanya (tentunya keyakinan yang lama itu berbeda secara prinsip dalam ajaran menuju berakhirnya dukkha). Saya kira forum buddhis ini cukup "dewasa" dan "bertanggung jawab" sehingga tidak "asal" mengakomodir dan berkompromosi ataupun bertoleransi terhadap apa yang harusnya di-nyatakan sebagai hal yang berbeda sebagai hal yang berbeda. 
			
			
			
				Quote from: dilbert on 29 November 2009, 04:28:42 PM
Ajaran "para" BUDDHA dari sejak jaman dahulu, jaman sekarang ataupun masa yang akan datang, hanyalah mengajarkan kesunyataan tentang dukkha dan jalan menuju berakhirnya dukkha. 
Jadi agak aneh, jika ada individu yang mengikuti "ajaran BUDDHA" tetapi masih tidak meninggalkan keyakinan lamanya (tentunya keyakinan yang lama itu berbeda secara prinsip dalam ajaran menuju berakhirnya dukkha). Saya kira forum buddhis ini cukup "dewasa" dan "bertanggung jawab" sehingga tidak "asal" mengakomodir dan berkompromosi ataupun bertoleransi terhadap apa yang harusnya di-nyatakan sebagai hal yang berbeda sebagai hal yang berbeda. 
iya, harus berani mengucapkan salah sebagai salah dan benar sebagai benar. isi adalah isi kosong adalah kosong, bukannya isi adalah kosong dan kosong adalah isi.
			
 
			
			
				Quote from: gachapin on 29 November 2009, 11:31:18 AM
Setuju dengan Peacemind, belon pernah nemu Sotapanna yang lahir lagi jadi manusia.
Belon nemu ato emang gak tau ?  :-?
Kalo cuma berdasar cerita-cerita dari kitab suci, gak mungkin juga tuh kitab nulisin semua kelahiran manusia ...  :))
Pertanyaan lain buat semua:
- Kalo emang orang yang 'ngaku' sotapana, apa bakal ada yang percaya ?
- Apa seorang Sotapana 'bilang-bilang' keorang kalo dirinya Sotapana ?
			
 
			
			
				Quote from: dilbert on 29 November 2009, 04:28:42 PM
Ajaran "para" BUDDHA dari sejak jaman dahulu, jaman sekarang ataupun masa yang akan datang, hanyalah mengajarkan kesunyataan tentang dukkha dan jalan menuju berakhirnya dukkha. 
Jadi agak aneh, jika ada individu yang mengikuti "ajaran BUDDHA" tetapi masih tidak meninggalkan keyakinan lamanya (tentunya keyakinan yang lama itu berbeda secara prinsip dalam ajaran menuju berakhirnya dukkha). Saya kira forum buddhis ini cukup "dewasa" dan "bertanggung jawab" sehingga tidak "asal" mengakomodir dan berkompromosi ataupun bertoleransi terhadap apa yang harusnya di-nyatakan sebagai hal yang berbeda sebagai hal yang berbeda. 
Anggap aja ini mah "nyindir" ... :))
Jadi agak aneh, jika ada individu yang mengikuti "ajaran BUDDHA" tetapi masih memakai "simbol-simbol" dari keyakinan lain ...  ^-^
 ^:)^ ^:)^ ^:)^
			
 
			
			
				Quote from: Peacemind on 29 November 2009, 11:23:36 AM
Quote from: Indra on 29 November 2009, 11:03:02 AM
Quote from: Peacemind on 29 November 2009, 10:21:38 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 28 November 2009, 02:34:29 PM
Quote from: Indra on 28 November 2009, 11:41:23 AM
Quote from: fabian c on 28 November 2009, 11:29:29 AM
Iya nih,
Oom Indra sudah mengingatkan kita, jadi bila seorang sotapanna tak mungkin berpindah agama, apa penyebabnya dong?
 _/\_
pindah agama sih boleh2 aja, tapi keyakinannya yang gak mungkin ganti, misalnya seorang sotapanna mau ikut pilpres, spy peluangnya lebih mudah, silahkan ganti di KTP jadi i***m, tapi tetap berkeyakinan dan berlindung pada Tiratana
Atau misalnya di suatu saat semua merk "Agama Buddha" sudah korup, maka tidaklah heran kalo seorang Ariya pindah agama. Mereka tidak akan berpaling dari pandangan benar, tetapi pindah agama sih sepertinya mungkin-mungkin saja. 
Quote from: bond on 28 November 2009, 11:56:50 AM
Ganti keyakinan akh ke Lu Sheng Yen... :))
Ga IKT/MLDD aja? Lagi berkembang lho! :) 
For Indra: Ketika seseorang pindah agama, di sana ada dampak psikologis tertentu.  Untuk benar2 dikatakan pindah agama, seseorang harus menerima kebenaran ajaran agama tersebut. Seorang Sotapanna telah memiliki keyakinan yang tak tergoncangkan terhadap BUddha, Dhamma dan Sangha. Mungkinkah seseorang yang memiliki kwaltas batin demikian akan pindah agama? Mungkin beberapa orang akan mengatakan ya dan pindahnya seorang sotapanna ke agama lain hanya karena mengikuti arus masyarakat, bukan karena ia yakin terhadap agama baru yang dianutnya.. Jika demikian halnya, apakah seorang sotapanna sedang tidak membohongi dirinya dan masyarakat? Ingat bahwa seorang sotapanna dikatakan memiliki unbroken morality. Ia tidak akan berbohong lagi.. Namun, dalam hal ini, jika seorang sotapanna pindah agama, tampaknya ia membohongi masyarakat.. :D
For Kainyin: Kalu seorang sotapanna pindah agama gara2 agama Buddhanya udah korup, bukannya ia sama halnya keluar dari mulut harimau dan masuk ke mulut buaya, kecuali kalau agama yang baru dianutnya memang benar2 seperfect keyakinan yng dianut sebelumnya... hehehe. :D
Be happy.
Bagaimana seandainya jika ada cerita sbb:
Seseorang sotapanna, karena berbagai kombinasi kamma, terlahir kembali dalam suatu komunitas yg tidak ada agama buddha, misalnya terlahir dalam keluarga raja arab, atau terlahir di vatikan. atau terlahir kembali pada masa gelap, di mana buddhism sudah tidak exist lagi. sejak lahir di didik dalam agama lain. apakah lantas dia tetap ngotot beragama buddha?
Hmmm.....benar juga ya... Cuma pernah terjadi nggak ya..kejadian demikian? 
Memang seorang Sotapanna akan dilahirkan lagi ke dunia paling banyak 7 kelahiran lagi. Logikanya, ia sangat mungkin bisa terlahir lagi di alam manusia. Akan tetapi, dalam sutta2 dan kitab2 komentar belum ada satu pun referensi yang menyebutkn seseorng yang telah mencapai sotapanna kemudian terlahir di alam manusia lagi setelah meninggal. Pada umumnya, ia akan terlahir di alam dewa..  Kebetulan akhir2 ini, di Sri Lanka, ada seseorang yang mengklaim dirinya bahwa ia telah menjadi sotapanna sejak ia dilahirkan. Di kehidupan dulu ia telah menjadi sotapanna, sehingga sekarang sejak lahirpun ia mengklaim sebagai sotapanna. Klaim orang tersebut menimbulkan pro and kontra di masyarakat. Masalahnya, tidak ada satu pun referensi di Pali literatur yang pernah menyebutkan satu kejadian mengenai hal demikian.
Namun demikian, jika apa yang dikatakan Indra bisa terjadi... mungkin ada kemungkinannya juga.
Mungkin teman2 lain ada yang memiliki pendapat lain?
Be happy.
Agak riskan bila seseorang mengaku mencapai tingkat kesucian di jaman sekarang, benar atau tidak benar akhirnya akan menyudutkan dirinya sendiri. 
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Indra on 29 November 2009, 01:48:18 PM
saya coba jawab sendiri,
Seorang sotapanna, berkat jasa2nya, jika terlahir di alam manusia, akan terlahir kembali dalam lingkungan yang akan mendukung pencapaiannya, misalnya di tangerang. jadi tidak akan terlahir dalam lingkungan yg hampa dari Dhamma.
:))
aye di tangerang -> karena itu -> maka itu aye sotapanna...   :jempol:   :hammer: *joke*
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 29 November 2009, 09:40:44 PM
Agak riskan bila seseorang mengaku mencapai tingkat kesucian di jaman sekarang, benar atau tidak benar akhirnya akan menyudutkan dirinya sendiri. 
 _/\_
Buat si-'Ariya' sih gak akan tersudutkan lho ... Yang timbul nantinya itu jelas pro-kontra dari orang-orang yang mengetahui keadaan si-'Ariya' itu ... :)
_/\_
			
 
			
			
				Quote from: Sumedho on 29 November 2009, 09:45:58 PM
Quote from: Indra on 29 November 2009, 01:48:18 PM
saya coba jawab sendiri,
Seorang sotapanna, berkat jasa2nya, jika terlahir di alam manusia, akan terlahir kembali dalam lingkungan yang akan mendukung pencapaiannya, misalnya di tangerang. jadi tidak akan terlahir dalam lingkungan yg hampa dari Dhamma.
:))
aye di tangerang -> karena itu -> maka itu aye sotapanna...   :jempol:   :hammer: *joke*
Tuh kan akhirnya ada yang "ngaku" ... :)) 
Ada yang percaya ?  :-?
			
 
			
			
				kalo di vinaya, mengakui pencapaian yang tidak benar itu parajika, otomatis keluar dari sangha, bagaikan manusia yang terpotong lehernya... :whistle:
			
			
			
				dengan catatan ybs mengetahui hal itu tidak benar
			
			
			
				Quote from: gachapin on 29 November 2009, 09:53:57 PM
kalo di vinaya, mengakui pencapaian yang tidak benar itu parajika, otomatis keluar dari sangha, bagaikan manusia yang terpotong lehernya... :whistle:
Kalo peraturan diDC, gimana? ngaku2 sudah mencapai? .....
apa perlu rame2 usir yg ngaku2 itu ...... out dari DC  :whistle: ......
:::"'''' Kaboooorrrrrrrrrrrrr::""""""
 ;D
			
 
			
			
				Quote from: Virya on 29 November 2009, 10:01:53 PM
Quote from: gachapin on 29 November 2009, 09:53:57 PM
kalo di vinaya, mengakui pencapaian yang tidak benar itu parajika, otomatis keluar dari sangha, bagaikan manusia yang terpotong lehernya... :whistle:
Kalo peraturan diDC, gimana? ngaku2 sudah mencapai? .....
apa perlu rame2 usir yg ngaku2 itu ...... out dari DC  :whistle: ......
:::"'''' Kaboooorrrrrrrrrrrrr::""""""
 ;D
peraturan di DC, kalo ada yg ngaku Ariya, maka rame2 nyumbang untuk cetak SN
			
 
			
			
				Quote from: gachapin on 29 November 2009, 09:53:57 PM
kalo di vinaya, mengakui pencapaian yang tidak benar itu parajika, otomatis keluar dari sangha, bagaikan manusia yang terpotong lehernya... :whistle:
maksudnya potong leher sumedho?
			
 
			
			
				"In the same way, Rahula, when anyone feels no shame in telling a deliberate lie, there is no evil, I tell you, he will not do. Thus, Rahula, you should train yourself, 'I will not tell a deliberate lie even in jest.'
			
			
			
				Quote from: Peacemind on 29 November 2009, 10:21:38 AM
For Kainyin: Kalu seorang sotapanna pindah agama gara2 agama Buddhanya udah korup, bukannya ia sama halnya keluar dari mulut harimau dan masuk ke mulut buaya, kecuali kalau agama yang baru dianutnya memang benar2 seperfect keyakinan yng dianut sebelumnya... hehehe. :D
Be happy.
Bagi orang yang telah memiliki kebijaksanaan, sepertinya pencapaiannya tidak tergantung lagi pada agama yang dianutnya, tetapi pada pembelajarannya. Bisa saja dia belajar sesuatu di "mulut buaya" dan kemudian mencapai kemajuan. Kecuali jika kita berpandangan tidak ada manfaat dari memeluk agama lain sama sekali. Kalau saya, tidak demikian. 
Pencapaian Magga-phala pun tidak selalu harus didapatkan dari "Agama Buddha". Kembali lagi misalnya Kisa Gotami yang mencari biji sesawi dan mencapai Sotapanna, memangnya dia agama apa? Hanya saja ketika orang telah mencapai Sotapanna, JIKA melihat Buddha dan ajarannya, keyakinannya akan kebenaran tersebut tidak tergoyahkan. Ini yang sering kali saya katakan bahwa umat Buddhis salah memahami dengan menganggap: "keyakinan tidak tergoyahkan adalah syarat untuk menjadi Sotapanna". Akhirnya jadi fanatik yang ga ada juntrungannya. 
----------
Betulkah Sotapanna tidak terlahir lagi di alam manusia? Pernah dipikirkan bedanya Sakadagami dan Anagami? Mereka sama-sama hanya terlahir sekali lagi. Mengapa satu dikatakan Sakadagami dan satu lagi dikatakan Anagami? Perbedaannya adalah Sakadagami (juga Sotapanna) bisa kembali lagi ke alam ini, Anagami tidak. Jadi apakah Sotapanna tidak terlahir ke alam manusia kembali, silahkan diinterpretasikan masing-masing. 
			
 
			
			
				Quote from: Indra on 29 November 2009, 10:23:14 PM
Quote from: gachapin on 29 November 2009, 09:53:57 PM
kalo di vinaya, mengakui pencapaian yang tidak benar itu parajika, otomatis keluar dari sangha, bagaikan manusia yang terpotong lehernya... :whistle:
maksudnya potong leher sumedho?
Untuk qurban Idul Adha, atau tumbal SN?  :whistle: ;D
			
 
			
			
				Quote from: Indra on 29 November 2009, 10:14:07 PM
Quote from: Virya on 29 November 2009, 10:01:53 PM
Quote from: gachapin on 29 November 2009, 09:53:57 PM
kalo di vinaya, mengakui pencapaian yang tidak benar itu parajika, otomatis keluar dari sangha, bagaikan manusia yang terpotong lehernya... :whistle:
Kalo peraturan diDC, gimana? ngaku2 sudah mencapai? .....
apa perlu rame2 usir yg ngaku2 itu ...... out dari DC  :whistle: ......
:::"'''' Kaboooorrrrrrrrrrrrr::""""""
 ;D
peraturan di DC, kalo ada yg ngaku Ariya, maka rame2 nyumbang untuk cetak SN
Ada tuh 2 yg ngaku:
Quote from: Indra on 29 November 2009, 01:48:18 PM
saya coba jawab sendiri,
Seorang sotapanna, berkat jasa2nya, jika terlahir di alam manusia, akan terlahir kembali dalam lingkungan yang akan mendukung pencapaiannya, misalnya di tangerang. jadi tidak akan terlahir dalam lingkungan yg hampa dari Dhamma.
:))
dan ini:
Quote from: Sumedho on 29 November 2009, 09:45:58 PM
Quote from: Indra on 29 November 2009, 01:48:18 PM
saya coba jawab sendiri,
Seorang sotapanna, berkat jasa2nya, jika terlahir di alam manusia, akan terlahir kembali dalam lingkungan yang akan mendukung pencapaiannya, misalnya di tangerang. jadi tidak akan terlahir dalam lingkungan yg hampa dari Dhamma.
:))
aye di tangerang -> karena itu -> maka itu aye sotapanna...   :jempol:   :hammer: *joke*
Jadi kira2 berapa yg hendak disumbangkan oleh 2 Ariya Puggala ini? :D
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 30 November 2009, 07:00:47 PM
Quote from: Indra on 29 November 2009, 10:14:07 PM
Quote from: Virya on 29 November 2009, 10:01:53 PM
Quote from: gachapin on 29 November 2009, 09:53:57 PM
kalo di vinaya, mengakui pencapaian yang tidak benar itu parajika, otomatis keluar dari sangha, bagaikan manusia yang terpotong lehernya... :whistle:
Kalo peraturan diDC, gimana? ngaku2 sudah mencapai? .....
apa perlu rame2 usir yg ngaku2 itu ...... out dari DC  :whistle: ......
:::"'''' Kaboooorrrrrrrrrrrrr::""""""
 ;D
peraturan di DC, kalo ada yg ngaku Ariya, maka rame2 nyumbang untuk cetak SN
Ada tuh 2 yg ngaku:
Quote from: Indra on 29 November 2009, 01:48:18 PM
saya coba jawab sendiri,
Seorang sotapanna, berkat jasa2nya, jika terlahir di alam manusia, akan terlahir kembali dalam lingkungan yang akan mendukung pencapaiannya, misalnya di tangerang. jadi tidak akan terlahir dalam lingkungan yg hampa dari Dhamma.
:))
dan ini:
Quote from: Sumedho on 29 November 2009, 09:45:58 PM
Quote from: Indra on 29 November 2009, 01:48:18 PM
saya coba jawab sendiri,
Seorang sotapanna, berkat jasa2nya, jika terlahir di alam manusia, akan terlahir kembali dalam lingkungan yang akan mendukung pencapaiannya, misalnya di tangerang. jadi tidak akan terlahir dalam lingkungan yg hampa dari Dhamma.
:))
aye di tangerang -> karena itu -> maka itu aye sotapanna...   :jempol:   :hammer: *joke*
Jadi kira2 berapa yg hendak disumbangkan oleh 2 Ariya Puggala ini? :D
Loh? Kok di Tangerang? ???
Bukannya di Tebing dan Medan yah? :-?
			
 
			
			
				Bener juga ya.. tapi loe buka2 kartu bro :))
			
			
			
				Quote from: g.citra on 29 November 2009, 09:47:23 PM
Quote from: fabian c on 29 November 2009, 09:40:44 PM
Agak riskan bila seseorang mengaku mencapai tingkat kesucian di jaman sekarang, benar atau tidak benar akhirnya akan menyudutkan dirinya sendiri. 
 _/\_
Buat si-'Ariya' sih gak akan tersudutkan lho ... Yang timbul nantinya itu jelas pro-kontra dari orang-orang yang mengetahui keadaan si-'Ariya' itu ... :)
_/\_
Saudari Citra, coba misalnya dewa Indra kita mengklaim secara serius bahwa dia sudah Sotapanna, bagaimana pendapat saudari dan teman-teman? Give your sincere opinion bad or good.  ;D
			
 
			
			
				Nampak nampaknya sih beliau emang udah sotapanna......tik :hammer:
			
			
			
				QuotePencapaian Magga-phala pun tidak selalu harus didapatkan dari "Agama Buddha". Kembali lagi misalnya Kisa Gotami yang mencari biji sesawi dan mencapai Sotapanna, memangnya dia agama apa? Hanya saja ketika orang telah mencapai Sotapanna, JIKA melihat Buddha dan ajarannya, keyakinannya akan kebenaran tersebut tidak tergoyahkan. Ini yang sering kali saya katakan bahwa umat Buddhis salah memahami dengan menganggap: "keyakinan tidak tergoyahkan adalah syarat untuk menjadi Sotapanna". Akhirnya jadi fanatik yang ga ada juntrungannya.
Bro Kainyn yang baik, menurut pendapat saya memang benar bahwa Kisa Gotami awalnya bukan Buddhis. Tetapi ia menjalankan apa yang diajarkan oleh Sang Buddha sehingga mencapai tingkat kesucian.
Memang label agama tidak penting bagi pencapaian kesucian, tetapi menyelami tilakkhana adalah suatu keharusan untuk bisa mencapai kesucian, dan pengertian Tilakkhana (anicca, dukkha dan anatta) nampaknya hanya ada di agama Buddha.
Mengenai keyakinan saya setuju, keyakinan tak tergoyahkan tak akan dimiliki oleh seorang non-ariya, kalau ada keyakinan kuat pada seorang non-ariya paling-paling keyakinan buta, karena belum melenyapkan keragu-raguan. Dan keragu-raguan akan lenyap jika "you have been there".
Quote
Betulkah Sotapanna tidak terlahir lagi di alam manusia? Pernah dipikirkan bedanya Sakadagami dan Anagami? Mereka sama-sama hanya terlahir sekali lagi. Mengapa satu dikatakan Sakadagami dan satu lagi dikatakan Anagami? Perbedaannya adalah Sakadagami (juga Sotapanna) bisa kembali lagi ke alam ini, Anagami tidak. Jadi apakah Sotapanna tidak terlahir ke alam manusia kembali, silahkan diinterpretasikan masing-masing.
Kalau yang pernah saya pelajari seorang Sotapanna (kolankola Sotapanna) akan terlahir paling banyak tujuh kali di alam dewa atau manusia.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 03 December 2009, 11:49:35 PM
Quote from: g.citra on 29 November 2009, 09:47:23 PM
Quote from: fabian c on 29 November 2009, 09:40:44 PM
Agak riskan bila seseorang mengaku mencapai tingkat kesucian di jaman sekarang, benar atau tidak benar akhirnya akan menyudutkan dirinya sendiri. 
 _/\_
Buat si-'Ariya' sih gak akan tersudutkan lho ... Yang timbul nantinya itu jelas pro-kontra dari orang-orang yang mengetahui keadaan si-'Ariya' itu ... :)
_/\_
Saudara Citra, coba misalnya dewa Indra kita mengklaim secara serius bahwa dia sudah Sotapanna, bagaimana pendapat saudari dan teman-teman? Give your sincere opinion bad or good.  ;D
Saya akan mendengar, dan berusaha untuk tidak menindak lanjuti dengan opini bad or good ... :)
_/\_
			
 
			
			
				Quote from: g.citra on 04 December 2009, 12:27:38 AM
Quote from: fabian c on 03 December 2009, 11:49:35 PM
Quote from: g.citra on 29 November 2009, 09:47:23 PM
Quote from: fabian c on 29 November 2009, 09:40:44 PM
Agak riskan bila seseorang mengaku mencapai tingkat kesucian di jaman sekarang, benar atau tidak benar akhirnya akan menyudutkan dirinya sendiri. 
 _/\_
Buat si-'Ariya' sih gak akan tersudutkan lho ... Yang timbul nantinya itu jelas pro-kontra dari orang-orang yang mengetahui keadaan si-'Ariya' itu ... :)
_/\_
Saudara Citra, coba misalnya dewa Indra kita mengklaim secara serius bahwa dia sudah Sotapanna, bagaimana pendapat saudari dan teman-teman? Give your sincere opinion bad or good.  ;D
Saya akan mendengar, dan berusaha untuk tidak menindak lanjuti dengan opini bad or good ... :)
_/\_
Maaf maksud saya believe it or not, that is the question...
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 04 December 2009, 12:36:41 AM
Quote from: g.citra on 04 December 2009, 12:27:38 AM
Saya akan mendengar, dan berusaha untuk tidak menindak lanjuti dengan opini bad or good ... :)
_/\_
Maaf maksud saya believe it or not, that is the question...
 _/\_
Dengan hanya membatasi dengan "batasan" believe it, saya akan berusaha stop menyelidiki dan menilai Sang Dewa tersebut dari kesehariannya ... 
Kalau sampai muncul bentuk pikiran "not believe", pertama yang saya rasakan "aku" saya mulai bekerja dan disitulah akan timbul bentuk pikiran lain yang tentunya akan berkembang dan akan terus berputar ... :)
_/\_
			
 
			
			
				_/\_ Sekalian nanya ke Bro Kainyin
Quote from: Kainyn_Kutho on 30 November 2009, 09:07:14 AM
Pencapaian Magga-phala pun tidak selalu harus didapatkan dari "Agama Buddha".  
Ini menarik.. Boleh disharing apa yg Bro Kain ketahui tentang pencapaian Magga-phala melalui agama lain dan guru yg lain? Yg setara dengan urutan jalan dan tingkatan dalam Buddhisme. :)
Quote from: Kainyn_Kutho on 30 November 2009, 09:07:14 AM
...Kembali lagi misalnya Kisa Gotami yang mencari biji sesawi dan mencapai Sotapanna, memangnya dia agama apa? Hanya saja ketika orang telah mencapai Sotapanna, JIKA melihat Buddha dan ajarannya, keyakinannya akan kebenaran tersebut tidak tergoyahkan. Ini yang sering kali saya katakan bahwa umat Buddhis salah memahami dengan menganggap: "keyakinan tidak tergoyahkan adalah syarat untuk menjadi Sotapanna". Akhirnya jadi fanatik yang ga ada juntrungannya. 
Membaca kalimat pertama warna biru demikian agak membuat saya curious mengenai bagaimana cerita sebenarnya dari Kisa Gotami mencapai Sotapanna, adakah kebaikan hati Bro Kain utk membantu memposting cerita tsb? Karena saya sudah agak lupa dan sumber saya Dhammapada Atthakatha sedang sy pinjamkan kpd teman. :)
Ketika belum mencapai Sotapanna, Kisa Gotami masih bukan buddhis tetapi penganut awam dr Brahmanisme. Tapi seketika menjadi sotapanna, pastilah dia seorang buddhis. Dalam artian seorang buddhis adalah seorang pengikut dan yg memiliki keyakinan thdp Buddha, Dhamma, Sangha tak tergoyahkan 
"yang didasari pandangan benar". Karena merealisasikan melalui ajaran Buddha, apakah tdk dpt dikatakan dia seorang buddhis? Coba "kalau" bisa ditanya pd Gotami, pasti dijawab dia memiliki keyakinan thdp Sang Buddha dan ajarannya. ;) Apalagi yg membuat Kisa Gotami merealisasi sotapanna adalah karena kata2 Sang Buddha bukannya kata2 dan ajaran para petapa atau brahmana di luar ajaran Buddha, dan disertai yoniso manasikara pada kata2 Beliau tsb, sehingga pandangan benar timbul pada diri Kisa Gotami mengenai anicca. Jadi, saya setuju kalau keyakinan tak tergoyahkan belum tentu sotapanna. Tetapi lain halnya dan kualitasnya dg keyakinan yg timbul melalui pandangan benar. ;)
Quote from: Kainyn_Kutho on 30 November 2009, 09:07:14 AM
Betulkah Sotapanna tidak terlahir lagi di alam manusia? Pernah dipikirkan bedanya Sakadagami dan Anagami? Mereka sama-sama hanya terlahir sekali lagi. Mengapa satu dikatakan Sakadagami dan satu lagi dikatakan Anagami? Perbedaannya adalah Sakadagami (juga Sotapanna) bisa kembali lagi ke alam ini, Anagami tidak. Jadi apakah Sotapanna tidak terlahir ke alam manusia kembali, silahkan diinterpretasikan masing-masing. 
Bedanya yg jelas sih Sakadagami hanya mematahkan 3 belenggu pertama dan melemahkan 2 belenggu berikutnya. Sedang Anagami mematahkan ke-5 belenggu secara semprulna. :D
Mettacittena,
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 04 December 2009, 01:15:35 AM
_/\_ Sekalian nanya ke Bro Kainyin
Quote from: Kainyn_Kutho on 30 November 2009, 09:07:14 AM
Pencapaian Magga-phala pun tidak selalu harus didapatkan dari "Agama Buddha".  
Ini menarik.. Boleh disharing apa yg Bro Kain ketahui tentang pencapaian Magga-phala melalui agama lain dan guru yg lain? Yg setara dengan urutan jalan dan tingkatan dalam Buddhisme. :)
Quote from: Kainyn_Kutho on 30 November 2009, 09:07:14 AM
...Kembali lagi misalnya Kisa Gotami yang mencari biji sesawi dan mencapai Sotapanna, memangnya dia agama apa? Hanya saja ketika orang telah mencapai Sotapanna, JIKA melihat Buddha dan ajarannya, keyakinannya akan kebenaran tersebut tidak tergoyahkan. Ini yang sering kali saya katakan bahwa umat Buddhis salah memahami dengan menganggap: "keyakinan tidak tergoyahkan adalah syarat untuk menjadi Sotapanna". Akhirnya jadi fanatik yang ga ada juntrungannya. 
Membaca kalimat pertama warna biru demikian agak membuat saya curious mengenai bagaimana cerita sebenarnya dari Kisa Gotami mencapai Sotapanna, adakah kebaikan hati Bro Kain utk membantu memposting cerita tsb? Karena saya sudah agak lupa dan sumber saya Dhammapada Atthakatha sedang sy pinjamkan kpd teman. :)
Ketika belum mencapai Sotapanna, Kisa Gotami masih bukan buddhis tetapi penganut awam dr Brahmanisme. Tapi seketika menjadi sotapanna, pastilah dia seorang buddhis. Dalam artian seorang buddhis adalah seorang pengikut dan yg memiliki keyakinan thdp Buddha, Dhamma, Sangha tak tergoyahkan "yang didasari pandangan benar". Karena merealisasikan melalui ajaran Buddha, apakah tdk dpt dikatakan dia seorang buddhis? Coba "kalau" bisa ditanya pd Gotami, pasti dijawab dia memiliki keyakinan thdp Sang Buddha dan ajarannya. ;) Apalagi yg membuat Kisa Gotami merealisasi sotapanna adalah karena kata2 Sang Buddha bukannya kata2 dan ajaran para petapa atau brahmana di luar ajaran Buddha, dan disertai yoniso manasikara pada kata2 Beliau tsb, sehingga pandangan benar timbul pada diri Kisa Gotami mengenai anicca. Jadi, saya setuju kalau keyakinan tak tergoyahkan belum tentu sotapanna. Tetapi lain halnya dan kualitasnya dg keyakinan yg timbul melalui pandangan benar. ;)
Quote from: Kainyn_Kutho on 30 November 2009, 09:07:14 AM
Betulkah Sotapanna tidak terlahir lagi di alam manusia? Pernah dipikirkan bedanya Sakadagami dan Anagami? Mereka sama-sama hanya terlahir sekali lagi. Mengapa satu dikatakan Sakadagami dan satu lagi dikatakan Anagami? Perbedaannya adalah Sakadagami (juga Sotapanna) bisa kembali lagi ke alam ini, Anagami tidak. Jadi apakah Sotapanna tidak terlahir ke alam manusia kembali, silahkan diinterpretasikan masing-masing. 
Bedanya yg jelas sih Sakadagami hanya mematahkan 3 belenggu pertama dan melemahkan 2 belenggu berikutnya. Sedang Anagami mematahkan ke-5 belenggu secara semprulna. :D
Mettacittena,
saya coba tafsir maksud bro Kainyin., hehe
menurut saya maksud bro Kainyin mengatakan "tdk selalu harus didptkan di agama Buddha" , bukan berarti dia sedang menyatakan di agama X pasti juga ada. Tetapi lebih merujuk pd Dharma yg tidak slalu harus hanya ditemukan di lingkup Buddha Sasana, contohnya saat jaman tidak ada Buddha Sasana, orang dapat mencapai maggha dan phala . siapa lagi kalo bukan para Pacceka Buddha. 
ya dak.
mengenai hal2 lain, silakan lanjutkan lagi , hehe..
			
 
			
			
				_/\_ Bro Chingik
Thanks ya.. +1 utk usahanya. :)
Kalau saya liat berbicara mengenai "agama", maka jika dikatakan tidak hanya didapatkan dari agama sini, maka implikasinya berarti bisa didapatkan dari agama sono. gituh.. Apalagi jika kita melihat kalimatnya Bro Kain secara utuh di atas, dengan mengaitkan pencerahan yg di dapat di agama lain melalui kasus Kisa Gotami, bkn melalui kasus para Pacceka Buddha. Berarti makna tersiratnya pencerahan dapat terealisasi melalui agama lain pada zmn adanya Buddha-sasana. Ini yg saya dpt dr tulisannya di atas, makanya agar tdk salah tafsir saya nanya ke Bro Kain. :)
Ya, utk para Pacceka Buddha sendiri, mereka dapat mencapai magga&phala di kala tdk ada seorang Samma Sambuddha. Tetapi apakah para Pacceka Buddha dapat mengajarkan dan menuntun pengikutnya hingga ke tataran magga&phala? Ini jadi pertanyaan berikutnya.. Krn yg saya tau biasanya dikatakan Pacceka Buddha adl mereka yg merealisasi kebuddhaan tetapi tdk dpt menuntun pengikutnya utk mencapai kebuddhaan sbg Savaka Buddha dan para pengikutnya pun tdk dpt menuntun orang lain utk mencapai kebuddhaan.
_/\_
			
			
			
				Quote from: Jerry on 04 December 2009, 12:12:30 AM
Nampak nampaknya sih beliau emang udah sotapanna......tik :hammer:
:hammer: :hammer: :hammer: =))
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 04 December 2009, 07:28:16 AM
Quote from: Jerry on 04 December 2009, 12:12:30 AM
Nampak nampaknya sih beliau emang udah sotapanna......tik :hammer:
:hammer: :hammer: :hammer: =))
saya harus meluruskan ini,
jika seseorang yang mengaku sotapanna, maka dapat dipastikan bahwa ia adalah bukan sotapanna. sebaliknya seseorang yang tidak mengaku sotapana, mungkin adalah sotapanna, ungkin juga bukan.
kesimpulannya, saya tidak pernah mengaku sotapanna.
			
 
			
			
				iye iye, berarti ^^ sotapanna......tik =))
			
			
			
				Bagaimana nanti sesuai ramalan Sang Buddha, ketika tidak ada lagi ajaran Sang Buddha dan tidak ada lagi Buddha sasana. Secara institusi sebagai agama Buddha tentu tidak ada. Lalu apakah Buddha Metteya harus cari agama Buddha terlebih dahulu.?
Atau memang Dhamma selalu ada.?
Adalah hal yang beruntung jika agama Buddha  masih ada. Hanya kita harus membedakan ajaran SB(yang tertuang pada Tipitaka) sebagai Dhamma(melihat makna isi tipitaka) dan bukan (teks mati Tipitaka ) sebagai doktrin/hukum duniawi.
Seorang Sotapanna sekalipun dia lahir sebagai manusia masuk ke agama lain, karena kekuatan Dhamma secara otomatis dia akan kembali ke sumbernya yaitu Dhamma yang pernah menuntunnya mencapai tingkat itu. Kalau masih ada agama Buddha maka dia akan pindah agama(dari agama lain) ke agama Buddha, kalo  sudah diagama Buddha rasanya tidak mungkin karena cinta mati. Dalam kasus Buddha berikutnya Buddha Metteya yang pasti dia tidak karena agama Buddha tetapi karena Dhamma yang senantiasa selalu ada melewati batas waktu dan ruang.
Pertanyaan lanjutan, apakah seorang sotapanna masih melekat pada label agama Buddha ?
			
			
			
				Kalau saya punya pandangan yang agak ekstrim...
Menurut saya, seorang Pacceka Buddha bukanlah seorang Tercerahkan di luar dari Agama Buddha. Seorang Pacceka Buddha dahulunya mungkin tidak memeluk Agama Buddha atapun tidak beragama sekalipun. Tapi ketika dia merealisasi Pencerahan, maka ia "memeluk" Agama Buddha.
Tidak hanya Agama Buddha yang mengajarkan kebaikan. Di agama lain juga ada kebaikan. Tapi hanya di Agama Buddha (Buddhadhamma) yang mengajarkan bagaimana menghentikan dukkha sepenuhnya. Jika ada orang yang tak memeluk Agama Buddha dan mampu mencapai Pencerahan, maka ia sebenarnya secara sadar atau tidak ia sudah mengikuti Buddhadhamma (Agama Buddha).
			
			
			
				^
^
Saya setuju dengan om papasaka. Jika kita melihat konteks agama Buddha sebagai Buddhadhamma dalam arti yang luas. Bagi saya tidak agak ekstrem tetapi demikianlah adanya. Itulah essensi sebenarnya. _/\_
			
			
			
				Quote from: fabian c on 04 December 2009, 12:15:20 AM
QuotePencapaian Magga-phala pun tidak selalu harus didapatkan dari "Agama Buddha". Kembali lagi misalnya Kisa Gotami yang mencari biji sesawi dan mencapai Sotapanna, memangnya dia agama apa? Hanya saja ketika orang telah mencapai Sotapanna, JIKA melihat Buddha dan ajarannya, keyakinannya akan kebenaran tersebut tidak tergoyahkan. Ini yang sering kali saya katakan bahwa umat Buddhis salah memahami dengan menganggap: "keyakinan tidak tergoyahkan adalah syarat untuk menjadi Sotapanna". Akhirnya jadi fanatik yang ga ada juntrungannya.
Bro Kainyn yang baik, menurut pendapat saya memang benar bahwa Kisa Gotami awalnya bukan Buddhis. Tetapi ia menjalankan apa yang diajarkan oleh Sang Buddha sehingga mencapai tingkat kesucian.
Memang label agama tidak penting bagi pencapaian kesucian, tetapi menyelami tilakkhana adalah suatu keharusan untuk bisa mencapai kesucian, dan pengertian Tilakkhana (anicca, dukkha dan anatta) nampaknya hanya ada di agama Buddha.
Mengenai keyakinan saya setuju, keyakinan tak tergoyahkan tak akan dimiliki oleh seorang non-ariya, kalau ada keyakinan kuat pada seorang non-ariya paling-paling keyakinan buta, karena belum melenyapkan keragu-raguan. Dan keragu-raguan akan lenyap jika "you have been there".
Betul, seseorang bisa mencapai kesucian bukan karena dia Buddhis, atau percaya "mati" kepada Buddha. Namun ketika telah mencapai kesucian ("been there" dalam istilah Bro Fabian), tentu saja ia tidak mungkin lagi tergoyahkan. Sama seperti orang yang pernah terkena api, tidak mungkin goyah dalam "keyakinan" api itu panas. 
QuoteQuote
Betulkah Sotapanna tidak terlahir lagi di alam manusia? Pernah dipikirkan bedanya Sakadagami dan Anagami? Mereka sama-sama hanya terlahir sekali lagi. Mengapa satu dikatakan Sakadagami dan satu lagi dikatakan Anagami? Perbedaannya adalah Sakadagami (juga Sotapanna) bisa kembali lagi ke alam ini, Anagami tidak. Jadi apakah Sotapanna tidak terlahir ke alam manusia kembali, silahkan diinterpretasikan masing-masing.
Kalau yang pernah saya pelajari seorang Sotapanna (kolankola Sotapanna) akan terlahir paling banyak tujuh kali di alam dewa atau manusia.
 _/\_
Ya, sependapat, mereka tidak akan terlahir di alam rendah, namun bisa terlahir di alam manusia. 
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: JerrySekalian nanya ke Bro Kainyin
Ini menarik.. Boleh disharing apa yg Bro Kain ketahui tentang pencapaian Magga-phala melalui agama lain dan guru yg lain? Yg setara dengan urutan jalan dan tingkatan dalam Buddhisme.
Quote from: chingiksaya coba tafsir maksud bro Kainyin., hehe
menurut saya maksud bro Kainyin mengatakan "tdk selalu harus didptkan di agama Buddha" , bukan berarti dia sedang menyatakan di agama X pasti juga ada. Tetapi lebih merujuk pd Dharma yg tidak slalu harus hanya ditemukan di lingkup Buddha Sasana, contohnya saat jaman tidak ada Buddha Sasana, orang dapat mencapai maggha dan phala . siapa lagi kalo bukan para Pacceka Buddha. 
ya dak.
Jawaban yang baik dari Bro chingik.  
QuoteMembaca kalimat pertama warna biru demikian agak membuat saya curious mengenai bagaimana cerita sebenarnya dari Kisa Gotami mencapai Sotapanna, adakah kebaikan hati Bro Kain utk membantu memposting cerita tsb? Karena saya sudah agak lupa dan sumber saya Dhammapada Atthakatha sedang sy pinjamkan kpd teman.
Singkat cerita Kisa Gotami menjadi kehilangan akal sehat karena tidak dapat menerima anaknya telah meninggal. Ia percaya anaknya hanya sakit, maka mencari obat untuk menyembuhkannya. Dia mencari obat di seluruh kota yang kemudian menertawakannya, namun ada orang baik yang menyarankannya pergi ke Buddha, dan ia menurutinya. 
Ketika Kisa Gotami meminta Buddha "memberikan obat" untuk anaknya, Buddha meminta terlebih dahulu Kisa Gotami mencarikan biji sawi (dalam versi lain, biji lada) dari rumah (keluarga) yang anggotanya belum pernah mengalami kematian. Maka Kisa Gotami dengan semangat mencarinya ke seluruh kota. Kota tersebut biasa dihuni oleh keluarga besar, maka tentu saja tidak ada satu rumah pun yang seluruh anggotanya belum meninggal, maka Kisa Gotami tidak menemukan apa yang dicarinya. Semakin lama mencari, akhirnya ia sadar bahwa kematian dialami oleh siapa pun, bukan hanya anaknya. Menyadari hal demikian, ia mengembangkan kesadaran dan mencapai Sotapatti-Phala. Ia menguburkan anaknya di hutan dan kemudian kembali kepada Buddha untuk menjadi bhikkhuni.      
(Kisa Gotami adalah Maha-savika yang terunggul dalam mengenakan pakaian kasar.) 
QuoteKetika belum mencapai Sotapanna, Kisa Gotami masih bukan buddhis tetapi penganut awam dr Brahmanisme. Tapi seketika menjadi sotapanna, pastilah dia seorang buddhis. Dalam artian seorang buddhis adalah seorang pengikut dan yg memiliki keyakinan thdp Buddha, Dhamma, Sangha tak tergoyahkan "yang didasari pandangan benar". Karena merealisasikan melalui ajaran Buddha, apakah tdk dpt dikatakan dia seorang buddhis? Coba "kalau" bisa ditanya pd Gotami, pasti dijawab dia memiliki keyakinan thdp Sang Buddha dan ajarannya.  Apalagi yg membuat Kisa Gotami merealisasi sotapanna adalah karena kata2 Sang Buddha bukannya kata2 dan ajaran para petapa atau brahmana di luar ajaran Buddha, dan disertai yoniso manasikara pada kata2 Beliau tsb, sehingga pandangan benar timbul pada diri Kisa Gotami mengenai anicca. Jadi, saya setuju kalau keyakinan tak tergoyahkan belum tentu sotapanna. Tetapi lain halnya dan kualitasnya dg keyakinan yg timbul melalui pandangan benar.
Ya, saya memang setuju demikian. 
Sekarang saya kembalikan begini. Seandainya sewaktu Kisa Gotami mencapai Sotapanna dan menguburkan anaknya di hutan, ia bertemu dengan anda dan anda bertanya, "Apa yang Buddha ajarkan sehingga anda mencapai Sotapatti-phala?", kira-kira jawabannya apa? "Saya diajarkan dhamma Biji Sawi"? Atau "Saya diajarkan dhamma sensus keluarga yang belum pernah berkabung"? 
QuoteBedanya yg jelas sih Sakadagami hanya mematahkan 3 belenggu pertama dan melemahkan 2 belenggu berikutnya. Sedang Anagami mematahkan ke-5 belenggu secara semprulna.
Sama-sama terlahir kembali sekali lagi, namun yang satu "kembali ke alam sini" dan yang lain "tidak kembali" melainkan ke Suddhavasa. 
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 04 December 2009, 12:15:20 AM
Memang label agama tidak penting bagi pencapaian kesucian, tetapi menyelami tilakkhana adalah suatu keharusan untuk bisa mencapai kesucian, dan pengertian Tilakkhana (anicca, dukkha dan anatta) nampaknya hanya ada di agama Buddha.
walau hanya di agama Budda yg ada diajarkan tentang Tilakkhana, namun ajaran/pengertian Tilakkhana itu sendiri berbeda dg "menyelami". utk menyelami Tilakkhana yg merupakan karakteristik dari semua yg ada di dunia, seseorang tidak harus dibekali pengertian tsb, sebaliknya ia harus melihat sendiri. pengertian ini-itu dalam agama Buddha itu sendiri lebih byk menghasilkan ego bahwa agamanya adalah yg terbaik dalam jalan pencerahaan, namun tidak menghasilkan pencerahan itu sendiri.
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 04 December 2009, 02:11:12 PM
Kalau saya punya pandangan yang agak ekstrim...
Menurut saya, seorang Pacceka Buddha bukanlah seorang Tercerahkan di luar dari Agama Buddha. Seorang Pacceka Buddha dahulunya mungkin tidak memeluk Agama Buddha atapun tidak beragama sekalipun. Tapi ketika dia merealisasi Pencerahan, maka ia "memeluk" Agama Buddha.
Tidak hanya Agama Buddha yang mengajarkan kebaikan. Di agama lain juga ada kebaikan. Tapi hanya di Agama Buddha (Buddhadhamma) yang mengajarkan bagaimana menghentikan dukkha sepenuhnya. Jika ada orang yang tak memeluk Agama Buddha dan mampu mencapai Pencerahan, maka ia sebenarnya secara sadar atau tidak ia sudah mengikuti Buddhadhamma (Agama Buddha).
Pandangan ini seperti umat lain yang mengatakan "semua orang yang berbuat baik adalah karena bisikan Tuhan lewat nurani". 
Menurut saya, Buddha tidak pernah membuat sebuah "jalan" baru, tetapi mengajarkan agar orang melihat apa adanya. Sama halnya dengan para ilmuwan tidak membuat ilmu fisika, namun meneliti dan mengajarkan apa yang ada dalam alam ini. Apakah cocok jika kita katakan "semua yang bertindak bersesuaian dengan alam adalah pelajar fisika"? Dukkha adalah universal, bukan milik kalangan tertentu. Demikian juga berhentinya dukkha. Mengapa pula kita malah mengkotakkan ajaran tersebut ke dalam wadah ego eksklusif yang kita namakan "Agama Buddha"? 
			
 
			
			
				Quote from: tesla on 04 December 2009, 03:26:14 PM
Quote from: fabian c on 04 December 2009, 12:15:20 AM
Memang label agama tidak penting bagi pencapaian kesucian, tetapi menyelami tilakkhana adalah suatu keharusan untuk bisa mencapai kesucian, dan pengertian Tilakkhana (anicca, dukkha dan anatta) nampaknya hanya ada di agama Buddha.
walau hanya di agama Budda yg ada diajarkan tentang Tilakkhana, namun ajaran/pengertian Tilakkhana itu sendiri berbeda dg "menyelami". utk menyelami Tilakkhana yg merupakan karakteristik dari semua yg ada di dunia, seseorang tidak harus dibekali pengertian tsb, sebaliknya ia harus melihat sendiri. pengertian ini-itu dalam agama Buddha itu sendiri lebih byk menghasilkan ego bahwa agamanya adalah yg terbaik dalam jalan pencerahaan, namun tidak menghasilkan pencerahan itu sendiri.
Yang dimaksud dengan menyelami tilakkhana disini bukan melihat tilakkkhana yang ada diluar diri kita, seperti umpamanya melihat piring pecah atau melihat kayu yang melapuk.  
Yang dimaksud menyelami tilakkhana disini adalah menyelami karakteristik batin dan jasmani kita, seperti yang tertulis di salah satu sutta 
"in this fathom long body can be seen the creation and the cessation of the world".Adalah hal yang baik kalau seseorang menganggap agamanya yang terbaik, karena jika bukan yang terbaik buat apa dia masuk dan mempelajari agama itu? Bila bukan kita yang menganggap agama kita sendiri paling benar, siapa lagi? tak mungkin mengharapkan umat agama lain yang menganggap agama kita paling benar kan? Jadi menurut saya merupakan hal yang baik untuk merasa bangga terhadap agama yang kita pilih, yaitu agama Buddha.
Terlebih diantara teman-teman disini yang umumnya dicekokin ajaran lain sewaktu di sekolah, dan ternyata memilih agama Buddha (Buddha Dhamma), tentu sebagian diantaranya telah membandingkan dan yakin bahwa 
agama Buddha adalah agama yang paling baik, paling hebat, paling dalam dan tertinggi diantara semua agama.Setelah mempelajari berbagai agama lainnya, saya bangga beragama Buddha karena inilah agama yang bukan sarat dengan cerita dongeng dan dogma, Satu-satunya agama yang mengajarkan kita untuk menggunakan akal sehat, satu-satunya agama yang mengajarkan untuk membuktikan dan bukan sekedar percaya.
Semoga kita semua berbahagia
			
 
			
			
				Jadi ingat cerita seorang Sotapanna yang menolak untuk tidak mengakui Buddha Dhamma walaupun diiming-imingi harta berlimpah.
			
			
			
				Quote from: fabian c on 04 December 2009, 05:00:16 PM
Jadi ingat cerita seorang Sotapanna yang menolak untuk tidak mengakui Buddha Dhamma walaupun diiming-imingi harta berlimpah.
Suppabuddha penderita kusta? 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 04:53:25 PM
Quote from: upasaka on 04 December 2009, 02:11:12 PM
Kalau saya punya pandangan yang agak ekstrim...
Menurut saya, seorang Pacceka Buddha bukanlah seorang Tercerahkan di luar dari Agama Buddha. Seorang Pacceka Buddha dahulunya mungkin tidak memeluk Agama Buddha atapun tidak beragama sekalipun. Tapi ketika dia merealisasi Pencerahan, maka ia "memeluk" Agama Buddha.
Tidak hanya Agama Buddha yang mengajarkan kebaikan. Di agama lain juga ada kebaikan. Tapi hanya di Agama Buddha (Buddhadhamma) yang mengajarkan bagaimana menghentikan dukkha sepenuhnya. Jika ada orang yang tak memeluk Agama Buddha dan mampu mencapai Pencerahan, maka ia sebenarnya secara sadar atau tidak ia sudah mengikuti Buddhadhamma (Agama Buddha).
Pandangan ini seperti umat lain yang mengatakan "semua orang yang berbuat baik adalah karena bisikan Tuhan lewat nurani". 
Menurut saya, Buddha tidak pernah membuat sebuah "jalan" baru, tetapi mengajarkan agar orang melihat apa adanya. Sama halnya dengan para ilmuwan tidak membuat ilmu fisika, namun meneliti dan mengajarkan apa yang ada dalam alam ini. Apakah cocok jika kita katakan "semua yang bertindak bersesuaian dengan alam adalah pelajar fisika"? Dukkha adalah universal, bukan milik kalangan tertentu. Demikian juga berhentinya dukkha. Mengapa pula kita malah mengkotakkan ajaran tersebut ke dalam wadah ego eksklusif yang kita namakan "Agama Buddha"? 
Gini Bro...
Menurut Anda, apakah seorang Pacceka Buddha adalah seorang Yang Tercerahkan karena "mengetahui inilah dukkha, inilah sebab dukkha, inilah terhentinya dukkha, inilah jalan untuk menghentikan dukkha"?
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 04 December 2009, 05:35:33 PM
Gini Bro...
Menurut Anda, apakah seorang Pacceka Buddha adalah seorang Yang Tercerahkan karena "mengetahui inilah dukkha, inilah sebab dukkha, inilah terhentinya dukkha, inilah jalan untuk menghentikan dukkha"?
Menurut saya, ia mengetahuinya, tetapi mungkin dengan "prosedur" dan sistematika berbeda. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 05:39:25 PM
Quote from: upasaka on 04 December 2009, 05:35:33 PM
Gini Bro...
Menurut Anda, apakah seorang Pacceka Buddha adalah seorang Yang Tercerahkan karena "mengetahui inilah dukkha, inilah sebab dukkha, inilah terhentinya dukkha, inilah jalan untuk menghentikan dukkha"?
Menurut saya, ia mengetahuinya, tetapi mungkin dengan "prosedur" dan sistematika berbeda. 
Tidak masalah dengan prosedur, sistematika atau istilah yang berbeda. 
Menurut Anda sendiri, apakah hanya Ajaran Sang Buddha yang mengajarkan keempat hal ini?
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 04 December 2009, 05:45:48 PM
Tidak masalah dengan prosedur, sistematika atau istilah yang berbeda. 
Menurut Anda sendiri, apakah hanya Ajaran Sang Buddha yang mengajarkan keempat hal ini?
Saya mengerti maksud Bro upasaka. Maksudnya karena (yang kita tahu sekarang) hanya Buddha yang mengajarkan Dukkha dan terhentinya Dukkha, maka itu diidentikkan dengan ajaran atau agama Buddha. Dengan demikian, karena semua ariya mengetahui dengan pasti kebenaran Dukkha dan terhentinya Dukkha, kita katakan "beragama Buddha". 
Saya melihat dari sisi yang berbeda. Pertama, saya tidak melihat "Kebenaran tentang Dukkha" = "Ajaran/agama Buddha". Saya melihat hal tersebut sebagai kebenaran saja, yang dengan demikian, tidak tepat kita melabelkan suatu yang "universal" dengan label yang "khusus". 
Dianalogikan seperti saya tidak mengasosiasikan "Gravitasi" = "Ajaran Newton", namun sebuah ajaran universal. Maka di lain tempat, di lain waktu, jika ada yang "menemukan" Gravitasi, tidak tepat dibilang "beragama Newton". 
Ke dua, ajaran Buddha yang bisa dibanggakan adalah agar kita tidak menganggap sesuatu sebagai "aku" atau "milikku". Jika seseorang yang menyadari kebenaran tentang Dukkha, yang telah menyeberang dan melepaskan rakit, kita katakan sebagai "pasti beragama Buddha", maka orang akan mengatakan itu seperti lepas dari satu rakit, melekat pada rakit yang lain. Jadi walaupun sebetulnya saya tahu maksud Bro upasaka, saya tetap tidak setuju penggunaan kalimat "para ariya pasti beragama Buddha". 
			
 
			
			
				Apakah spt kasus bola pijar.........
Alva Edison bukan penemu utamanya,
tapi dia yg memperbaiki, sehingga layak utk dipakai...
sehingga ini hari orang mengenang Edison lah yg menciptakan lampu pijar...
(padahal bukan begitu....)
layak dipakai disini  = mencapai nibana...
apakah begitu ?
			
			
			
				Quote from: dhammasiri on 11 November 2009, 09:29:47 AM
Dear friend,
Kadang kita menemukan orang yang beragama Buddha, atau gampangnya mengaku beragama Buddha, kemudian pindah agama, atau masih tetap mengaku beragama Buddha tetapi juga meyakini dan mempraktikkan agama lain. Yang menjadi pertanyaan, apakah mungkin seorang yang telah mencapai kesucian sotapanna berpindah agama? Mungkinkah orang yang telah melihat Nibbāna masih percaya dan mempraktikkan ajaran agama lain?
Thanks
Bagaimana kalau utk hidup didunia ini...dia harus ikut diperusahaan maupun lingkungan
yg MENGHARUSKAN dia berprilaku LAIN............Demi keluarganya... dia memakai "baju lain",
tapi hatinya bagaikan TERATAI....
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 06:40:01 PM
Quote from: upasaka on 04 December 2009, 05:45:48 PM
Tidak masalah dengan prosedur, sistematika atau istilah yang berbeda. 
Menurut Anda sendiri, apakah hanya Ajaran Sang Buddha yang mengajarkan keempat hal ini?
Saya mengerti maksud Bro upasaka. Maksudnya karena (yang kita tahu sekarang) hanya Buddha yang mengajarkan Dukkha dan terhentinya Dukkha, maka itu diidentikkan dengan ajaran atau agama Buddha. Dengan demikian, karena semua ariya mengetahui dengan pasti kebenaran Dukkha dan terhentinya Dukkha, kita katakan "beragama Buddha". 
Saya melihat dari sisi yang berbeda. Pertama, saya tidak melihat "Kebenaran tentang Dukkha" = "Ajaran/agama Buddha". Saya melihat hal tersebut sebagai kebenaran saja, yang dengan demikian, tidak tepat kita melabelkan suatu yang "universal" dengan label yang "khusus". 
Dianalogikan seperti saya tidak mengasosiasikan "Gravitasi" = "Ajaran Newton", namun sebuah ajaran universal. Maka di lain tempat, di lain waktu, jika ada yang "menemukan" Gravitasi, tidak tepat dibilang "beragama Newton". 
Ke dua, ajaran Buddha yang bisa dibanggakan adalah agar kita tidak menganggap sesuatu sebagai "aku" atau "milikku". Jika seseorang yang menyadari kebenaran tentang Dukkha, yang telah menyeberang dan melepaskan rakit, kita katakan sebagai "pasti beragama Buddha", maka orang akan mengatakan itu seperti lepas dari satu rakit, melekat pada rakit yang lain. Jadi walaupun sebetulnya saya tahu maksud Bro upasaka, saya tetap tidak setuju penggunaan kalimat "para ariya pasti beragama Buddha". 
permisi ikutan nimbrung 
Mungkin yang dimaksud bro upasaka adalah "agama Buddha" bukan dalam arti harafiah sebagai label atau institusi tetapi sebagai Dhamma. Buddha disini tidak diartikan personal tetapi Yang tercerahkan.universal. Pandangan bro kainyn juga sebenarnya juga memiliki makna yang sama hanya dari sudut pandang berbeda CMIIW. Jadi kalau kita lihat agama secara labeling maka pandangan bro Kainyn benar, tetapi dan saya rasa bukan itu yang dimaksudkan Mr. papasaka.CMIIW. Mungkin hanya masalah penggunaan kata yang lebih tepat agar tidak jauh dari makna. Itulah sulitnya konsep kata2. ;D
Tapi saya setuju dengan pernyataan Anda 
"ajaran Buddha yang bisa dibanggakan adalah agar kita tidak menganggap sesuatu sebagai "aku" atau "milikku"." Ini point yang paling krusial dalam kehidupan beragama. Hanya saya lebih condong menggunakan kata "keakuan" ketimbang "aku". ^-^Trauma menggunakan kata "aku "  :))
			
 
			
			
				Quote from: bond on 04 December 2009, 07:16:37 PM
Tapi saya setuju dengan pernyataan Anda "ajaran Buddha yang bisa dibanggakan adalah agar kita tidak menganggap sesuatu sebagai "aku" atau "milikku".
^ rada paradoks (atau ironis ya), rasa bangga kan berhubungan dengan milikku: rumahku, rasku, negaraku, nilaiku ;D
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 06:40:01 PM
Saya mengerti maksud Bro upasaka. Maksudnya karena (yang kita tahu sekarang) hanya Buddha yang mengajarkan Dukkha dan terhentinya Dukkha, maka itu diidentikkan dengan ajaran atau agama Buddha. Dengan demikian, karena semua ariya mengetahui dengan pasti kebenaran Dukkha dan terhentinya Dukkha, kita katakan "beragama Buddha". 
Saya melihat dari sisi yang berbeda. Pertama, saya tidak melihat "Kebenaran tentang Dukkha" = "Ajaran/agama Buddha". Saya melihat hal tersebut sebagai kebenaran saja, yang dengan demikian, tidak tepat kita melabelkan suatu yang "universal" dengan label yang "khusus". 
Dianalogikan seperti saya tidak mengasosiasikan "Gravitasi" = "Ajaran Newton", namun sebuah ajaran universal. Maka di lain tempat, di lain waktu, jika ada yang "menemukan" Gravitasi, tidak tepat dibilang "beragama Newton". 
Ke dua, ajaran Buddha yang bisa dibanggakan adalah agar kita tidak menganggap sesuatu sebagai "aku" atau "milikku". Jika seseorang yang menyadari kebenaran tentang Dukkha, yang telah menyeberang dan melepaskan rakit, kita katakan sebagai "pasti beragama Buddha", maka orang akan mengatakan itu seperti lepas dari satu rakit, melekat pada rakit yang lain. Jadi walaupun sebetulnya saya tahu maksud Bro upasaka, saya tetap tidak setuju penggunaan kalimat "para ariya pasti beragama Buddha". 
Saya realistik saja sejauh apa yang saya ketahui. 
Menurut "dongeng" yang saya tahu, 4 Kebenaran Mulia hanya ditemukan kembali, ditembus dan mampu diajarkan oleh Sammasambuddha. 4 Kebenaran Mulia ini juga ditembus oleh Pacceka Buddha dan Savaka Buddha. 4 Kebenaran Mulia ini merupakan inti ajaran dari Para Buddha. Inilah yang membedakannya dengan ajaran dari agama lain. Dikatakan bahwa ketika Buddha Gotama membabarkan Dhamma, ajaran-Nya ini belum pernah didengar dan dibabarkan sebelumnya di seluruh Jambudipa. 
Dapat kita simpulkan bahwa Buddhadhamma adalah ajaran yang berbeda dengan ajaran dan atau agama lainnya. Saya pikir Anda setuju dengan konklusi ini; kecuali Anda juga meragukan isi "dongeng" seperti yang diragukan oleh beberapa orang universalis di luar sana.
Dapat saya gambarkan, bahwa 4 Kebenaran Mulia adalah Kebenaran yang wajib ditembus oleh seseorang untuk merealisasi Pencerahan. Kemampuan untuk menguraikan detil mengenai prosedur dan mekanismenya itu adalah wejangan Dhamma. Dan itu bukan salah satu kualitas dari Pacceka Buddha. Jadi kita tidak perlu memperpanjang risalah mengenai ini; karena yang perlu kita sepakati adalah "Pacceka Buddha pun Tercerahkan karena mengenal dan menembus 4 Kebenaran Mulia".
Agama Buddha hanyalah label atau merek. Makanya saya lebih condong untuk memakai istilah "Buddhadhamma". Karena itu, Pacceka Buddha tidak cocok untuk dikatakan sebagai seorang pemeluk Agama Buddha. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa tidak ada "agama Buddha" di zamannya. Apalagi seperti yang kita ketahui bersama dari "dongeng", Pacceka Buddha hanya akan muncul di dunia ketika dunia ini kosong dari Sammasambuddha. Maka bisa kita sebut bahwa Pacceka Buddha adalah seorang "pemikir bebas" ataupun seorang "pendiri ajaran" yang baru di masa itu. Tapi apapun label yang bisa kita berikan pada Pacceka Buddha, tetap saja karakter ajaran yang dikandung oleh Pacceka Buddha adalah Buddhadhamma.
Atau singkatnya, saya bisa simpulkan bahwa Buddhadhamma = Kebenaran. 
Orang yang merealisasi Kebenaran (menjadi Buddha; menjadi Pacceka Buddha) adalah orang yang merealisasi Buddhadhamma.
Atau gini deh... Kalau Anda bisa menunjukkan ajaran atau agama lain yang membawa amanat dan bimbingan mengenai 4 Kebenaran Mulia, saya baru akan meralat pernyataan saya bahwa: "seseorang juga bisa Tercerahkan dengan memeluk agama (ajaran/ kepercayaan) selain Buddhadhamma". :)
			
 
			
			
				tolak belakang dg saya neh... but so be it :)
Quote from: fabian c on 04 December 2009, 04:54:15 PM
Yang dimaksud dengan menyelami tilakkhana disini bukan melihat tilakkkhana yang ada diluar diri kita, seperti umpamanya melihat piring pecah atau melihat kayu yang melapuk.  
Yang dimaksud menyelami tilakkhana disini adalah menyelami karakteristik batin dan jasmani kita, seperti yang tertulis di salah satu sutta "in this fathom long body can be seen the creation and the cessation of the world".
dari kisah Kisa Gotami (lagi), yg dilihat bukan karakteristik dirinya, menurut saya, seorang yg ingin berlatih bisa mulai dari dirinya ataupun dari yg bukan dirinya, tapi pada kesimpulannya, ia akan melihat "semua" yg muncul akan lenyap kembali, termasuk dalam dirinya maupun luar dirinya.
Quote
Terlebih diantara teman-teman disini yang umumnya dicekokin ajaran lain sewaktu di sekolah, dan ternyata memilih agama Buddha (Buddha Dhamma), tentu sebagian diantaranya telah membandingkan dan yakin bahwa agama Buddha adalah agama yang paling baik, paling hebat, paling dalam dan tertinggi diantara semua agama.
ada sisi di mana agama lain lebih baik, ada sisi di mana agama Buddha lebih baik.
Quote
Setelah mempelajari berbagai agama lainnya, saya bangga beragama Buddha karena inilah agama yang bukan sarat dengan cerita dongeng dan dogma, Satu-satunya agama yang mengajarkan kita untuk menggunakan akal sehat, satu-satunya agama yang mengajarkan untuk membuktikan dan bukan sekedar percaya.
setelah saya pelajari, agama Buddha sarat akan donggeng dan doktrin juga, hanya saja memang benar diajarkan utk menyelidiki bukan sekedar percaya.
Quote
Semoga kita semua berbahagia
semoga :)
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 04 December 2009, 10:24:58 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 06:40:01 PM
Saya mengerti maksud Bro upasaka. Maksudnya karena (yang kita tahu sekarang) hanya Buddha yang mengajarkan Dukkha dan terhentinya Dukkha, maka itu diidentikkan dengan ajaran atau agama Buddha. Dengan demikian, karena semua ariya mengetahui dengan pasti kebenaran Dukkha dan terhentinya Dukkha, kita katakan "beragama Buddha". 
Saya melihat dari sisi yang berbeda. Pertama, saya tidak melihat "Kebenaran tentang Dukkha" = "Ajaran/agama Buddha". Saya melihat hal tersebut sebagai kebenaran saja, yang dengan demikian, tidak tepat kita melabelkan suatu yang "universal" dengan label yang "khusus". 
Dianalogikan seperti saya tidak mengasosiasikan "Gravitasi" = "Ajaran Newton", namun sebuah ajaran universal. Maka di lain tempat, di lain waktu, jika ada yang "menemukan" Gravitasi, tidak tepat dibilang "beragama Newton". 
Ke dua, ajaran Buddha yang bisa dibanggakan adalah agar kita tidak menganggap sesuatu sebagai "aku" atau "milikku". Jika seseorang yang menyadari kebenaran tentang Dukkha, yang telah menyeberang dan melepaskan rakit, kita katakan sebagai "pasti beragama Buddha", maka orang akan mengatakan itu seperti lepas dari satu rakit, melekat pada rakit yang lain. Jadi walaupun sebetulnya saya tahu maksud Bro upasaka, saya tetap tidak setuju penggunaan kalimat "para ariya pasti beragama Buddha". 
Saya realistik saja sejauh apa yang saya ketahui. 
Menurut "dongeng" yang saya tahu, 4 Kebenaran Mulia hanya ditemukan kembali, ditembus dan mampu diajarkan oleh Sammasambuddha. 4 Kebenaran Mulia ini juga ditembus oleh Pacceka Buddha dan Savaka Buddha. 4 Kebenaran Mulia ini merupakan inti ajaran dari Para Buddha. Inilah yang membedakannya dengan ajaran dari agama lain. Dikatakan bahwa ketika Buddha Gotama membabarkan Dhamma, ajaran-Nya ini belum pernah didengar dan dibabarkan sebelumnya di seluruh Jambudipa. 
Dapat kita simpulkan bahwa Buddhadhamma adalah ajaran yang berbeda dengan ajaran dan atau agama lainnya. Saya pikir Anda setuju dengan konklusi ini; kecuali Anda juga meragukan isi "dongeng" seperti yang diragukan oleh beberapa orang universalis di luar sana.
Dapat saya gambarkan, bahwa 4 Kebenaran Mulia adalah Kebenaran yang wajib ditembus oleh seseorang untuk merealisasi Pencerahan. Kemampuan untuk menguraikan detil mengenai prosedur dan mekanismenya itu adalah wejangan Dhamma. Dan itu bukan salah satu kualitas dari Pacceka Buddha. Jadi kita tidak perlu memperpanjang risalah mengenai ini; karena yang perlu kita sepakati adalah "Pacceka Buddha pun Tercerahkan karena mengenal dan menembus 4 Kebenaran Mulia".
Agama Buddha hanyalah label atau merek. Makanya saya lebih condong untuk memakai istilah "Buddhadhamma". Karena itu, Pacceka Buddha tidak cocok untuk dikatakan sebagai seorang pemeluk Agama Buddha. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa tidak ada "agama Buddha" di zamannya. Apalagi seperti yang kita ketahui bersama dari "dongeng", Pacceka Buddha hanya akan muncul di dunia ketika dunia ini kosong dari Sammasambuddha. Maka bisa kita sebut bahwa Pacceka Buddha adalah seorang "pemikir bebas" ataupun seorang "pendiri ajaran" yang baru di masa itu. Tapi apapun label yang bisa kita berikan pada Pacceka Buddha, tetap saja karakter ajaran yang dikandung oleh Pacceka Buddha adalah Buddhadhamma.
Atau singkatnya, saya bisa simpulkan bahwa Buddhadhamma = Kebenaran. 
Orang yang merealisasi Kebenaran (menjadi Buddha; menjadi Pacceka Buddha) adalah orang yang merealisasi Buddhadhamma.
Atau gini deh... Kalau Anda bisa menunjukkan ajaran atau agama lain yang membawa amanat dan bimbingan mengenai 4 Kebenaran Mulia, saya baru akan meralat pernyataan saya bahwa: "seseorang juga bisa Tercerahkan dengan memeluk agama (ajaran/ kepercayaan) selain Buddhadhamma". :)
ada..... ajaran JK ;D
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 05 December 2009, 07:26:16 AM
Quote from: upasaka on 04 December 2009, 10:24:58 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 06:40:01 PM
Saya mengerti maksud Bro upasaka. Maksudnya karena (yang kita tahu sekarang) hanya Buddha yang mengajarkan Dukkha dan terhentinya Dukkha, maka itu diidentikkan dengan ajaran atau agama Buddha. Dengan demikian, karena semua ariya mengetahui dengan pasti kebenaran Dukkha dan terhentinya Dukkha, kita katakan "beragama Buddha". 
Saya melihat dari sisi yang berbeda. Pertama, saya tidak melihat "Kebenaran tentang Dukkha" = "Ajaran/agama Buddha". Saya melihat hal tersebut sebagai kebenaran saja, yang dengan demikian, tidak tepat kita melabelkan suatu yang "universal" dengan label yang "khusus". 
Dianalogikan seperti saya tidak mengasosiasikan "Gravitasi" = "Ajaran Newton", namun sebuah ajaran universal. Maka di lain tempat, di lain waktu, jika ada yang "menemukan" Gravitasi, tidak tepat dibilang "beragama Newton". 
Ke dua, ajaran Buddha yang bisa dibanggakan adalah agar kita tidak menganggap sesuatu sebagai "aku" atau "milikku". Jika seseorang yang menyadari kebenaran tentang Dukkha, yang telah menyeberang dan melepaskan rakit, kita katakan sebagai "pasti beragama Buddha", maka orang akan mengatakan itu seperti lepas dari satu rakit, melekat pada rakit yang lain. Jadi walaupun sebetulnya saya tahu maksud Bro upasaka, saya tetap tidak setuju penggunaan kalimat "para ariya pasti beragama Buddha". 
Saya realistik saja sejauh apa yang saya ketahui. 
Menurut "dongeng" yang saya tahu, 4 Kebenaran Mulia hanya ditemukan kembali, ditembus dan mampu diajarkan oleh Sammasambuddha. 4 Kebenaran Mulia ini juga ditembus oleh Pacceka Buddha dan Savaka Buddha. 4 Kebenaran Mulia ini merupakan inti ajaran dari Para Buddha. Inilah yang membedakannya dengan ajaran dari agama lain. Dikatakan bahwa ketika Buddha Gotama membabarkan Dhamma, ajaran-Nya ini belum pernah didengar dan dibabarkan sebelumnya di seluruh Jambudipa. 
Dapat kita simpulkan bahwa Buddhadhamma adalah ajaran yang berbeda dengan ajaran dan atau agama lainnya. Saya pikir Anda setuju dengan konklusi ini; kecuali Anda juga meragukan isi "dongeng" seperti yang diragukan oleh beberapa orang universalis di luar sana.
Dapat saya gambarkan, bahwa 4 Kebenaran Mulia adalah Kebenaran yang wajib ditembus oleh seseorang untuk merealisasi Pencerahan. Kemampuan untuk menguraikan detil mengenai prosedur dan mekanismenya itu adalah wejangan Dhamma. Dan itu bukan salah satu kualitas dari Pacceka Buddha. Jadi kita tidak perlu memperpanjang risalah mengenai ini; karena yang perlu kita sepakati adalah "Pacceka Buddha pun Tercerahkan karena mengenal dan menembus 4 Kebenaran Mulia".
Agama Buddha hanyalah label atau merek. Makanya saya lebih condong untuk memakai istilah "Buddhadhamma". Karena itu, Pacceka Buddha tidak cocok untuk dikatakan sebagai seorang pemeluk Agama Buddha. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa tidak ada "agama Buddha" di zamannya. Apalagi seperti yang kita ketahui bersama dari "dongeng", Pacceka Buddha hanya akan muncul di dunia ketika dunia ini kosong dari Sammasambuddha. Maka bisa kita sebut bahwa Pacceka Buddha adalah seorang "pemikir bebas" ataupun seorang "pendiri ajaran" yang baru di masa itu. Tapi apapun label yang bisa kita berikan pada Pacceka Buddha, tetap saja karakter ajaran yang dikandung oleh Pacceka Buddha adalah Buddhadhamma.
Atau singkatnya, saya bisa simpulkan bahwa Buddhadhamma = Kebenaran. 
Orang yang merealisasi Kebenaran (menjadi Buddha; menjadi Pacceka Buddha) adalah orang yang merealisasi Buddhadhamma.
Atau gini deh... Kalau Anda bisa menunjukkan ajaran atau agama lain yang membawa amanat dan bimbingan mengenai 4 Kebenaran Mulia, saya baru akan meralat pernyataan saya bahwa: "seseorang juga bisa Tercerahkan dengan memeluk agama (ajaran/ kepercayaan) selain Buddhadhamma". :)
ada..... ajaran JK ;D
Di beberapa sutta, juga ada beberapa referensi yang menjelaskan beberapa guru agama lain pada jaman Sang BUddha yang sering menyamakan ajarannya dengan ajaran Sang BUddha. Namun setelh diselidiki lebih lanjut, ternyata berbeda.
			
 
			
			
				Quote from: char101 on 04 December 2009, 08:40:20 PM
Quote from: bond on 04 December 2009, 07:16:37 PM
Tapi saya setuju dengan pernyataan Anda "ajaran Buddha yang bisa dibanggakan adalah agar kita tidak menganggap sesuatu sebagai "aku" atau "milikku".
^ rada paradoks (atau ironis ya), rasa bangga kan berhubungan dengan milikku: rumahku, rasku, negaraku, nilaiku ;D
Masa sih  ;D
Just bangga lalu stop is ok(melihat kebenaran Sang Buddha), tapi kalo dilanjutkan terus baru bisa jadi "milikku"-->ego, muncul pembandingan ekstrem saya lebih tinggi dari dia, dia dan saya sama, saya lebih rendah dari dia.
			
 
			
			
				Quotetolak belakang dg saya neh... but so be it :)
Ya Inilah salah satu manfaat forum yaitu saling tukar menukar pandangan.  :)
QuoteQuote from: fabian c on 04 December 2009, 04:54:15 PM
Yang dimaksud dengan menyelami tilakkhana disini bukan melihat tilakkkhana yang ada diluar diri kita, seperti umpamanya melihat piring pecah atau melihat kayu yang melapuk.  
Yang dimaksud menyelami tilakkhana disini adalah menyelami karakteristik batin dan jasmani kita, seperti yang tertulis di salah satu sutta "in this fathom long body can be seen the creation and the cessation of the world".
dari kisah Kisa Gotami (lagi), yg dilihat bukan karakteristik dirinya, menurut saya, seorang yg ingin berlatih bisa mulai dari dirinya ataupun dari yg bukan dirinya, tapi pada kesimpulannya, ia akan melihat "semua" yg muncul akan lenyap kembali, termasuk dalam dirinya maupun luar dirinya.
Memang ada beberapa kisah mengenai mereka yang mengawali dengan melihat tilakkhana di luar dirinya seperti Kisa Gotami, Patacara, Culapanthaka, ada juga kisah raja dalam Jataka yang menjadi Paccceka Buddha karena melihat daun layu dsbnya.
Tetapi menurut saya hal-hal yang diluar hanya merupakan pencetus awal, karena kalau ia tidak melihat ketiga karakteristik (tilakkkhana) dalam dirinya maka ia tak akan menyadari bahwa ia juga memiliki ketiga karakteristik. Bila ia tak dapat melihat ketiga karakteristik dalam dirinya maka ia tak akan maju lebih jauh dalam Vipassana. 
Siapapun yang ingin mencapai Magga-Phala harus mencapainya dengan melewati salah satu dari ketiga karakteristik ini sebagai gerbangnya (triple gateway to liberation).
QuoteQuote
Terlebih diantara teman-teman disini yang umumnya dicekokin ajaran lain sewaktu di sekolah, dan ternyata memilih agama Buddha (Buddha Dhamma), tentu sebagian diantaranya telah membandingkan dan yakin bahwa agama Buddha adalah agama yang paling baik, paling hebat, paling dalam dan tertinggi diantara semua agama.
ada sisi di mana agama lain lebih baik, ada sisi di mana agama Buddha lebih baik.
Dalam membandingkan suatu ajaran saya selalu membandingkan kitab sucinya, saya tak perduli dengan organisasinya, individu-individunya, kemegahannya dsbnya karena bagi saya itu hanya aspek luar. Inti dan otoritas tertinggi suatu ajaran adalah kitab sucinya.
QuoteQuote
Setelah mempelajari berbagai agama lainnya, saya bangga beragama Buddha karena inilah agama yang bukan sarat dengan cerita dongeng dan dogma, Satu-satunya agama yang mengajarkan kita untuk menggunakan akal sehat, satu-satunya agama yang mengajarkan untuk membuktikan dan bukan sekedar percaya.
setelah saya pelajari, agama Buddha sarat akan donggeng dan doktrin juga, hanya saja memang benar diajarkan utk menyelidiki bukan sekedar percaya.
Memang benar dalam agama Buddha ada dongeng juga, tetapi apakah dalam kitab suci tersebut dongeng sebagai inti atau hanya sebagai pelengkap? 
Jhana dan Nana (yang merupakan inti) bagi saya sebelumnya hanya merupakan dongeng, ternyata setelah berlatih meditasi saya tahu bahwa itu bukan dongeng, banyak juga diantara sesama teman meditator yang saya kenal lama dan memiliki integritas yang cukup baik, mengakui bahwa mereka mencapai Jhana ataupun Nana, dan hal itu juga diakui oleh gurunya. 
Sedangkan pencipta yang merupakan inti ajaran lain sampai sekarang masih merupakan dongeng kan?
Quote
QuoteSemoga kita semua berbahagia
semoga :)
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: bond on 04 December 2009, 07:16:37 PM
permisi ikutan nimbrung 
Mungkin yang dimaksud bro upasaka adalah "agama Buddha" bukan dalam arti harafiah sebagai label atau institusi tetapi sebagai Dhamma. Buddha disini tidak diartikan personal tetapi Yang tercerahkan.universal. Pandangan bro kainyn juga sebenarnya juga memiliki makna yang sama hanya dari sudut pandang berbeda CMIIW. Jadi kalau kita lihat agama secara labeling maka pandangan bro Kainyn benar, tetapi dan saya rasa bukan itu yang dimaksudkan Mr. papasaka.CMIIW. Mungkin hanya masalah penggunaan kata yang lebih tepat agar tidak jauh dari makna. Itulah sulitnya konsep kata2. ;D
Tapi saya setuju dengan pernyataan Anda "ajaran Buddha yang bisa dibanggakan adalah agar kita tidak menganggap sesuatu sebagai "aku" atau "milikku"." Ini point yang paling krusial dalam kehidupan beragama. Hanya saya lebih condong menggunakan kata "keakuan" ketimbang "aku". ^-^Trauma menggunakan kata "aku "  :))
Ya, betul sekali, Bro bond. Maksud saya adalah begitu. Secara makna, dari saya dan Bro upasaka adalah sama saja. Tetapi hanya berbeda preference kata-kata saja. "Agama Buddha" yang dikenal secara umum adalah yang kita tahu sebagai agama berupa doktrin dan ajaran yang sistematis, maka secara umum, yang dipersepsi orang ketika mendengar "para ariya beragama Buddha" adalah mereka terikat pada satu doktrin tertentu. 
Quote from: upasaka on 04 December 2009, 10:24:58 PM
Saya realistik saja sejauh apa yang saya ketahui. 
Menurut "dongeng" yang saya tahu, 4 Kebenaran Mulia hanya ditemukan kembali, ditembus dan mampu diajarkan oleh Sammasambuddha. 4 Kebenaran Mulia ini juga ditembus oleh Pacceka Buddha dan Savaka Buddha. 4 Kebenaran Mulia ini merupakan inti ajaran dari Para Buddha. Inilah yang membedakannya dengan ajaran dari agama lain. Dikatakan bahwa ketika Buddha Gotama membabarkan Dhamma, ajaran-Nya ini belum pernah didengar dan dibabarkan sebelumnya di seluruh Jambudipa. 
Dapat kita simpulkan bahwa Buddhadhamma adalah ajaran yang berbeda dengan ajaran dan atau agama lainnya. Saya pikir Anda setuju dengan konklusi ini; kecuali Anda juga meragukan isi "dongeng" seperti yang diragukan oleh beberapa orang universalis di luar sana.
Dapat saya gambarkan, bahwa 4 Kebenaran Mulia adalah Kebenaran yang wajib ditembus oleh seseorang untuk merealisasi Pencerahan. Kemampuan untuk menguraikan detil mengenai prosedur dan mekanismenya itu adalah wejangan Dhamma. Dan itu bukan salah satu kualitas dari Pacceka Buddha. Jadi kita tidak perlu memperpanjang risalah mengenai ini; karena yang perlu kita sepakati adalah "Pacceka Buddha pun Tercerahkan karena mengenal dan menembus 4 Kebenaran Mulia".
Agama Buddha hanyalah label atau merek. Makanya saya lebih condong untuk memakai istilah "Buddhadhamma". Karena itu, Pacceka Buddha tidak cocok untuk dikatakan sebagai seorang pemeluk Agama Buddha. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa tidak ada "agama Buddha" di zamannya. Apalagi seperti yang kita ketahui bersama dari "dongeng", Pacceka Buddha hanya akan muncul di dunia ketika dunia ini kosong dari Sammasambuddha. Maka bisa kita sebut bahwa Pacceka Buddha adalah seorang "pemikir bebas" ataupun seorang "pendiri ajaran" yang baru di masa itu. Tapi apapun label yang bisa kita berikan pada Pacceka Buddha, tetap saja karakter ajaran yang dikandung oleh Pacceka Buddha adalah Buddhadhamma.
Atau singkatnya, saya bisa simpulkan bahwa Buddhadhamma = Kebenaran. 
Orang yang merealisasi Kebenaran (menjadi Buddha; menjadi Pacceka Buddha) adalah orang yang merealisasi Buddhadhamma.
Atau gini deh... Kalau Anda bisa menunjukkan ajaran atau agama lain yang membawa amanat dan bimbingan mengenai 4 Kebenaran Mulia, saya baru akan meralat pernyataan saya bahwa: "seseorang juga bisa Tercerahkan dengan memeluk agama (ajaran/ kepercayaan) selain Buddhadhamma". :)
Buddha-dhamma maupun 4 KM juga sebetulnya adalah pelabelan kita sendiri juga, bukan? Seperti saya bilang, saya tahu maksud Bro upasaka. Tapi kalau kita "stick to label", sekarang kita katakan, "semua yang tercerahkan adalah dengan 'beragama' Buddha-dhamma", lalu orang tanya, "Yang mana? Yang Pali, yang Sanskrit, atau yang pake Qiu Tao?", kira-kira apa jadinya? Buntut2-nya malah ruwet. 
Quote from: Peacemind on 05 December 2009, 08:48:44 AM
Di beberapa sutta, juga ada beberapa referensi yang menjelaskan beberapa guru agama lain pada jaman Sang BUddha yang sering menyamakan ajarannya dengan ajaran Sang BUddha. Namun setelh diselidiki lebih lanjut, ternyata berbeda.
Jangankan "agama" lain, bahkan sama-sama penganut Buddhisme pun memiliki pandangan berbeda yang tentu saja ada yang tidak sesuai dengan ajaran Buddha "asli" yang entah yang mana. 
Quote from: char101 on 04 December 2009, 08:40:20 PM
^ rada paradoks (atau ironis ya), rasa bangga kan berhubungan dengan milikku: rumahku, rasku, negaraku, nilaiku ;D
Tidak paradoksikal karena saya belum menjadi seorang Ariya yang masih memiliki "aku". 
Sama saja seperti dokter yang mengajarkan orang menjadi sehat agar tidak tergantung obat, namun bagi si pasien, tetap terlebih dahulu perlu minum obat. 
Quote from: johan3000 on 04 December 2009, 06:52:59 PM
Apakah spt kasus bola pijar.........
Alva Edison bukan penemu utamanya,
tapi dia yg memperbaiki, sehingga layak utk dipakai...
sehingga ini hari orang mengenang Edison lah yg menciptakan lampu pijar...
(padahal bukan begitu....)
layak dipakai disini  = mencapai nibana...
apakah begitu ?
Ya, bisa dibilang begitu. Orang mengenal lampu pijar = "Edison". Yang lebih parah, kalau ditanya siapa penemu "listrik", jawabannya: Edison. Orang melabelkan listrik = temuan Edison, kalau tidak ada Edison, tidak ada listrik. 
OOT.
Sebetulnya listrik sendiri ditemukan oleh orang lain. Edison terkenal karena mempromosikan DC (Direct Current, bukan DhammaCitta) dan membentuk GE (General Electric) yang sangat "menghasilkan uang", tidak seperti idenya Nicola Tesla dengan AC (Alternate Current, bukan Air Conditioner)-nya yang direncanakan untuk didistribusikan secara gratis atau sangat ekonomis, demi kepentingan orang banyak. 
Hasilnya, Edison sang "penghasil uang" dikenang dengan nama besar yang luar biasa, sedangkan yang umum orang dengar tentang "Tesla" hanyalah sebatas satuan ukuran induksi magnet (dan seorang anggota DC). 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_KuthoBuddha-dhamma maupun 4 KM juga sebetulnya adalah pelabelan kita sendiri juga, bukan? Seperti saya bilang, saya tahu maksud Bro upasaka. Tapi kalau kita "stick to label", sekarang kita katakan, "semua yang tercerahkan adalah dengan 'beragama' Buddha-dhamma", lalu orang tanya, "Yang mana? Yang Pali, yang Sanskrit, atau yang pake Qiu Tao?", kira-kira apa jadinya? Buntut2-nya malah ruwet.
Kita sudah mengerti maksud satu sama lain... Sekarang saya akan menjelaskan lagi, tapi saya lebih tujukan penjelasan ini untuk orang lain; agar tidak terjadi kesalah-pahaman. 
Orang Yang Tercerahkan adalah orang yang mengenal dan menembus "pemahaman tentang dukkha, pemahaman tentang sebab dukkha, pemahaman tentang terhentinya dukkha dan pemahaman tentang jalan untuk mengakhiri dukkha". 
Banyak agama lain yang mungkin membawa pesan yang bernada serupa. Sebut saja agama mayoritas di dunia saat ini, yang kurang lebih mengajarkan bahwa: "hidup ini fana, fana karena dunia diciptakan untuk sementara, ada kehidupan kekal setelah kematian, untuk mendapat kebahagiaan kekal ikutilah jalan ini". Kalau kita mau berpikir universal, memang di semua agama juga mengajarkan keempat hal ini. Saya melihat bahwa semua agama mengajarkan bahwa: "hidup di dunia ini sementara, dan kalau mau memperoleh kebahagiaan maka ikutilah jalan ini".
Tetapi kita bisa melihat bahwa petunjuk di Buddhadhamma adalah universal. Dalam konteks Buddhadhamma, Pembebasan (Pencerahan) bisa didapatkan dengan menyelami Kebenaran Universal; bukan kebenaran eksklusif. Ini yang indah dari Dhamma. Untuk merealisasi tujuan tertinggi dalam Buddhadhamma; kita tidak harus percaya pada seseorang yang dikatakan sebagai juru-selamat, kita tidak wajib menuruti semua perintah dari seseorang yang dikatakan sebagai orang pilihan terakhir, kita tidak wajib melakukan berbagai ritual untuk dapat diselamatkan. Dalam Buddhadhamma, yang perlu kita lakukan adalah menembus Kebenaran Universal, dan semuanya disarikan dalam rumusan 4 Kebenaran Mulia oleh Buddha Gotama.
Karena keempat hal ini universal, tidak tunduk dalam satu otoritas eksklusif, maka semua orang tanpa membedakan gender, ras, agama, latar-belakang; bisa merealisasi Pembebasan ini. 
Kenapa saya katakan bahwa agama lain tidak bisa mengantarkan kita pada Pembebasan ini? Karena kalau kita menyelidiki dengan benar, pesan dan tujuan di agama lain sebenarnya berbeda dengan pesan dan tujuan dari 4 Kebenaran Mulia. Anggaplah kita sepakat bahwa 4 Kebenaran Mulia adalah Kebenaran yang benar-benar benar.
Karena agama lain mengajarkan tujuan yang berbeda dari Buddhadhamma, maka tidak mungkin ada orang yang bisa mencapai Pembebasan dari agama lain. Tapi bila seorang umat dari agama lain mempraktikkan jalan untuk tujuan yang berbeda dari agamanya, dan justru tujuan itu sama dengan tujuan Buddhadhamma; maka menurut saya orang itu bisa mencapai Pembebasan. Tapi saya pikir ada istilah khusus dari populasi dari agama itu untuk orang ini, yaitu => "sesat".
Makanya di satu kesempatan yang lalu, Bro Kainyn pernah berkata bahwa dia pernah bertemu (atau mengenal) umat dari agama lain yang mempraktikkan cukup selaras dengan tujuan Buddhadhamma. Meskipun orang itu cukup dianggap sebagai "setengah sesat" oleh agamanya. Menanggapi hal ini, saya juga pernah berkata kepada Bro Kainyn bahwa saya juga percaya orang-orang seperti itu bisa saja meraih Pembebasan, asalkan ia melengkapi kesesatannya menjadi "100% sesat".
:)
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 05 December 2009, 11:54:41 AM
asalkan ia melengkapi kesesatannya menjadi "100% sesat".
:)
setuju, sayangnya sulit sekali bagi penganut lain bisa 100%, meskipun mungkin saja ada yg 99.99%
			
 
			
			
				QuoteQuote from: upasaka on 04 December 2009, 05:45:48 PM
Tidak masalah dengan prosedur, sistematika atau istilah yang berbeda. 
Menurut Anda sendiri, apakah hanya Ajaran Sang Buddha yang mengajarkan keempat hal ini?
Saya mengerti maksud Bro upasaka. Maksudnya karena (yang kita tahu sekarang) hanya Buddha yang mengajarkan Dukkha dan terhentinya Dukkha, maka itu diidentikkan dengan ajaran atau agama Buddha. Dengan demikian, karena semua ariya mengetahui dengan pasti kebenaran Dukkha dan terhentinya Dukkha, kita katakan "beragama Buddha". 
Saya melihat dari sisi yang berbeda. Pertama, saya tidak melihat "Kebenaran tentang Dukkha" = "Ajaran/agama Buddha". Saya melihat hal tersebut sebagai kebenaran saja, yang dengan demikian, tidak tepat kita melabelkan suatu yang "universal" dengan label yang "khusus". 
Dianalogikan seperti saya tidak mengasosiasikan "Gravitasi" = "Ajaran Newton", namun sebuah ajaran universal. Maka di lain tempat, di lain waktu, jika ada yang "menemukan" Gravitasi, tidak tepat dibilang "beragama Newton". 
Saudara Kaynin yang baik, dukkha yang diajarkan oleh agama lain seperti apa? Apakah sama dengan dukkha seperti yang diajarkan di agama Buddha?
Sebenarnya saya rasa perumpamaan mengenai Newton sangat baik. 
Bila kita umpamakan Newton adalah Sang Buddha, teori gravitasi  adalah Dhamma dan para murid yang mendalami dengan baik teori gravitasi adalah Sangha.
Maka agamanya disebut agama Newton.
Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha  ada yang bersifat khusus dan bersifat umum. yang bersifat khusus mungkin kita baca di hari minggu yaitu Dhammanussati (sifat-sifat Dhamma) sedangkan Dhamma yang bersifat umum lingkupnya sangat luas, yaitu segala sesuatu bisa kita sebut Dhamma.
Jadi Dhamma yang dimaksud sdr Upasaka kemungkinan adalah Dhamma dalam lingkup yang lebih eksklusif yaitu sifat-sifatnya seperti yang ada dalam Dhammanussati. Dan Dhamma memang bersifat universal, maksud universalnya adalah umat agama apapun dapat menjalankannya. Dan bisa mencapai kesucian juga bila dengan sepenuh hati mengikuti petunjuk yang diberikan.
QuoteKe dua, ajaran Buddha yang bisa dibanggakan adalah agar kita tidak menganggap sesuatu sebagai "aku" atau "milikku". Jika seseorang yang menyadari kebenaran tentang Dukkha, yang telah menyeberang dan melepaskan rakit, kita katakan sebagai "pasti beragama Buddha", maka orang akan mengatakan itu seperti lepas dari satu rakit, melekat pada rakit yang lain. Jadi walaupun sebetulnya saya tahu maksud Bro upasaka, saya tetap tidak setuju penggunaan kalimat "para ariya pasti beragama Buddha". 
Memang benar para Ariya tidak pasti beragama Buddha Maksudnya tidak pasti mengatakan "saya beragama Buddha", tetapi untuk mencapai kesucian pasti mereka mengikuti seperti apa yang diajarkan oleh Sang Buddha (berlatih Vipassana), entah dalam kehidupan ini atau minimal pasti pernah belajar di kehidupan lampau. Dan mereka mencapai kesucian juga disebabkan karena karma baiknya pernah berlatih di kehidupan lampau. Jadi mereka masih dianggap "pernah murid" contohnya adalah Pacceka Buddha.
Tapi semasa masih ada ajaran seorang Sammasambuddha maka tak mungkin muncul Pacceka Buddha, dan tanpa belajar dari ajaran Sammasambuddha yang ajarannya masih ada tak mungkin seseorang mencapai kesucian, jadi dengan kata lain seorang Ariya pasti mencapai kesucian dengan mempraktikkan ajaran Sang Buddha (berlatih Vipassana).
Mereka yang mengikuti apa yang diajarkan oleh Sang Buddha dan mencapai kesucian, walaupun masih ber KTP agama lain, pasti dalam hatinya tetap merasa sebagai murid Sang Buddha hingga akhir hayatnya.
Yang pasti orang yang mau mencapai kesucian harus berlatih Vipassana, "this is the only way". Dan ajaran mengenai latihan Vipassana hanya muncul di dunia bila seorang Sammasambuddha muncul di dunia ini.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 03:18:00 PM
Jawaban yang baik dari Bro chingik. 
Sudah baca yg kelanjutan thdp jawaban Bro Chingik? Itu ditujukan scr tdk langsung pd Bro Kain loh.. :) 
Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 03:18:00 PM
... Semakin lama mencari, akhirnya ia sadar bahwa kematian dialami oleh siapa pun, bukan hanya anaknya. Menyadari hal demikian, ia mengembangkan kesadaran dan mencapai Sotapatti-Phala. Ia menguburkan anaknya di hutan dan kemudian kembali kepada Buddha untuk menjadi bhikkhuni. 
Thanks ceritanya.. Sotapatti-phala bukan tercapai pada momen demikian melainkan pada saat dia telah kembali pada Sang Buddha:
Quote
And so saying, she went into the presence of the master. Then the master said to her, "Have you obtained, Gotami, the mustard seed?" "Finished, sir, is the matter of the mustard seed" she said. "You have indeed restored me." And the master then uttered this verse: A person with a mind that clings, Deranged, to sons or possessions, Is swept away by death that comes — Like mighty flood to sleeping town. At the conclusion of this verse, confirmed in the fruit of stream-entry, she asked the master [for permission] to go forth [into the homeless life]. The master allowed her to go forth. She gave homage to the master by bowing three times, went to join the community of nuns, and having gone forth, received her ordination. 
Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 03:18:00 PM
Ya, saya memang setuju demikian. 
Sekarang saya kembalikan begini. Seandainya sewaktu Kisa Gotami mencapai Sotapanna dan menguburkan anaknya di hutan, ia bertemu dengan anda dan anda bertanya, "Apa yang Buddha ajarkan sehingga anda mencapai Sotapatti-phala?", kira-kira jawabannya apa? "Saya diajarkan dhamma Biji Sawi"? Atau "Saya diajarkan dhamma sensus keluarga yang belum pernah berkabung"? 
Yang dia katakan pada saya tuh di atas.. Lewat sms sih kemaren soalnya dia ga ikutan kopdar :hammer: Bahwa dia belum mencapai sotapatti-phala di hutan tapi mencapai ketika mendengar kata2 Sang Buddha setelah ia menguburkan anaknya dan kembali. ^-^
mettacittena
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 06 December 2009, 07:42:40 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 03:18:00 PM
Jawaban yang baik dari Bro chingik. 
Sudah baca yg kelanjutan thdp jawaban Bro Chingik? Itu ditujukan scr tdk langsung pd Bro Kain loh.. :)
 
Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 03:18:00 PM
... Semakin lama mencari, akhirnya ia sadar bahwa kematian dialami oleh siapa pun, bukan hanya anaknya. Menyadari hal demikian, ia mengembangkan kesadaran dan mencapai Sotapatti-Phala. Ia menguburkan anaknya di hutan dan kemudian kembali kepada Buddha untuk menjadi bhikkhuni. 
Thanks ceritanya.. Sotapatti-phala bukan tercapai pada momen demikian melainkan pada saat dia telah kembali pada Sang Buddha:
Quote
And so saying, she went into the presence of the master. Then the master said to her, "Have you obtained, Gotami, the mustard seed?" "Finished, sir, is the matter of the mustard seed" she said. "You have indeed restored me." And the master then uttered this verse: A person with a mind that clings, Deranged, to sons or possessions, Is swept away by death that comes — Like mighty flood to sleeping town. At the conclusion of this verse, confirmed in the fruit of stream-entry, she asked the master [for permission] to go forth [into the homeless life]. The master allowed her to go forth. She gave homage to the master by bowing three times, went to join the community of nuns, and having gone forth, received her ordination. 
Quote from: Kainyn_Kutho on 04 December 2009, 03:18:00 PM
Ya, saya memang setuju demikian. 
Sekarang saya kembalikan begini. Seandainya sewaktu Kisa Gotami mencapai Sotapanna dan menguburkan anaknya di hutan, ia bertemu dengan anda dan anda bertanya, "Apa yang Buddha ajarkan sehingga anda mencapai Sotapatti-phala?", kira-kira jawabannya apa? "Saya diajarkan dhamma Biji Sawi"? Atau "Saya diajarkan dhamma sensus keluarga yang belum pernah berkabung"? 
Yang dia katakan pada saya tuh di atas.. Lewat sms sih kemaren soalnya dia ga ikutan kopdar :hammer: Bahwa dia belum mencapai sotapatti-phala di hutan tapi mencapai ketika mendengar kata2 Sang Buddha setelah ia menguburkan anaknya dan kembali. ^-^
mettacittena
Saya sudah baca lagi, memang ternyata setelah kembali kepada Buddha baru diberikan sebait wejangan yang kemudian membawa pada pencerahan. Tadinya saya ingin ganti dengan kasus Culapanthaka, tetapi sepertinya hanya akan tambah ruwet, jadi saya tidak melanjutkan lagi.  
Maksudnya yang ini? 
Quote from: Jerry on 04 December 2009, 02:39:34 AM
Kalau saya liat berbicara mengenai "agama", maka jika dikatakan tidak hanya didapatkan dari agama sini, maka implikasinya berarti bisa didapatkan dari agama sono. gituh.. Apalagi jika kita melihat kalimatnya Bro Kain secara utuh di atas, dengan mengaitkan pencerahan yg di dapat di agama lain melalui kasus Kisa Gotami, bkn melalui kasus para Pacceka Buddha. Berarti makna tersiratnya pencerahan dapat terealisasi melalui agama lain pada zmn adanya Buddha-sasana. Ini yg saya dpt dr tulisannya di atas, makanya agar tdk salah tafsir saya nanya ke Bro Kain. :)
Ya, utk para Pacceka Buddha sendiri, mereka dapat mencapai magga&phala di kala tdk ada seorang Samma Sambuddha. Tetapi apakah para Pacceka Buddha dapat mengajarkan dan menuntun pengikutnya hingga ke tataran magga&phala? Ini jadi pertanyaan berikutnya.. Krn yg saya tau biasanya dikatakan Pacceka Buddha adl mereka yg merealisasi kebuddhaan tetapi tdk dpt menuntun pengikutnya utk mencapai kebuddhaan sbg Savaka Buddha dan para pengikutnya pun tdk dpt menuntun orang lain utk mencapai kebuddhaan.
_/\_
Itu karena pola pikir Bro Jerry mengkotakkan kebenaran dalam wadah "agama", sama seperti Bro fabian c. Ketika ada suatu kebenaran yang benar, maka itu harus ada merk "agama"-nya, entah "agamaku" atau "agama lain". Oleh karena itu, mungkin Bro Jerry dan rekan-rekan lain menganggap orang yang tidak beragama "Buddha" tidak akan mengajarkan hal-hal yang bisa membawa kita pada pemahaman Buddha-dhamma. Saya tidak begitu. Itu saja bedanya. 
			
 
			
			
				QuoteItu karena pola pikir Bro Jerry mengkotakkan kebenaran dalam wadah "agama", sama seperti Bro fabian c. Ketika ada suatu kebenaran yang benar, maka itu harus ada merk "agama"-nya, entah "agamaku" atau "agama lain". Oleh karena itu, mungkin Bro Jerry dan rekan-rekan lain menganggap orang yang tidak beragama "Buddha" tidak akan mengajarkan hal-hal yang bisa membawa kita pada pemahaman Buddha-dhamma. Saya tidak begitu. Itu saja bedanya.
Saya kira tidak demikian bro, keputusan presidenlah (jaman Suharto tahun 80-an) yang mengakui Buddha Dhamma sebagai agama. Sebelumnya Buddha Dhamma hanya diakui sebagai aliran kepercayaan. 
Aliran kepercayaan dianggap lebih rendah daripada agama, oleh karena itu para pemuka-pemuka agama Buddha berusaha memperjuangkan agar Buddha Dhamma diakui sebagai agama. 
Saya tidak meletakkan kebenaran dalam keranjang agama, tetapi ada kebenaran yang hanya diungkapkan atau hanya ada dalam agama tertentu.
Kalau diambil sensus antara yang mengatakan Tuhan sebagai suatu kebenaran dengan mereka yang mengatakan Tuhan hanya dongeng, mungkin yang mengakui Tuhan sebagai suatu kebenaran lebih banyak. Apakah itu merupakan suatu kebenaran?
Maksudnya ada kebenaran yang hanya diajarkan di agama Buddha dan eksklusif merupakan ajaran agama Buddha, tidak ditemui di ajaran lain, umpamanya: tilakkhana, empat kebenaran Arya, jalan Arya berunsur delapan, Vipassana dll.
Kebenaran ini memang berlaku secara universal untuk siapapun. Tetapi pemilik patennya adalah Sang Buddha. Pengikut Sang Buddha disebut Buddhists (disini diterjemahkan sebagai: umat agama Buddha).
Sama seperti gravitasi berlaku universal untuk siapapun, pemilik patennya adalah Newton, pengikut Newton disebut Newtonian (pengikut teori Newton).
Tilakkhana berlaku untuk siapapun walaupun ia masih beragama K...ten atau I...m dll walaupun mereka tak mengakui atau menyadari hal itu (inilah salah satu contoh ajaran Sang Buddha bersifat universal).
Demikian juga gravitasi berlaku untuk siapapun, entah apa agamanya entah apa teori yang dianutnya entah ia tak menyadari bawa ia ada dalam pengaruh gravitasi (inilah sifat universal teori Newton).
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 07 December 2009, 01:10:10 PM
QuoteItu karena pola pikir Bro Jerry mengkotakkan kebenaran dalam wadah "agama", sama seperti Bro fabian c. Ketika ada suatu kebenaran yang benar, maka itu harus ada merk "agama"-nya, entah "agamaku" atau "agama lain". Oleh karena itu, mungkin Bro Jerry dan rekan-rekan lain menganggap orang yang tidak beragama "Buddha" tidak akan mengajarkan hal-hal yang bisa membawa kita pada pemahaman Buddha-dhamma. Saya tidak begitu. Itu saja bedanya.
Saya kira tidak demikian bro, keputusan presidenlah (jaman Suharto tahun 80-an) yang mengakui Buddha Dhamma sebagai agama. Sebelumnya Buddha Dhamma hanya diakui sebagai aliran kepercayaan. 
Aliran kepercayaan dianggap lebih rendah daripada agama, oleh karena itu para pemuka-pemuka agama Buddha berusaha memperjuangkan agar Buddha Dhamma diakui sebagai agama. 
Saya tidak meletakkan kebenaran dalam keranjang agama, tetapi ada kebenaran yang hanya diungkapkan atau hanya ada dalam agama tertentu.
Kalau diambil sensus antara yang mengatakan Tuhan sebagai suatu kebenaran dengan mereka yang mengatakan Tuhan hanya dongeng, mungkin yang mengakui Tuhan sebagai suatu kebenaran lebih banyak. Apakah itu merupakan suatu kebenaran?
Maksudnya ada kebenaran yang hanya diajarkan di agama Buddha dan eksklusif merupakan ajaran agama Buddha, tidak ditemui di ajaran lain, umpamanya: tilakkhana, empat kebenaran Arya, jalan Arya berunsur delapan, Vipassana dll.
Kebenaran ini memang berlaku secara universal untuk siapapun. Tetapi pemilik patennya adalah Sang Buddha. Pengikut Sang Buddha disebut Buddhists (disini diterjemahkan sebagai: umat agama Buddha).
Sama seperti gravitasi berlaku universal untuk siapapun, pemilik patennya adalah Newton, pengikut Newton disebut Newtonian (pengikut teori Newton).
Tilakkhana berlaku untuk siapapun walaupun ia masih beragama K...ten atau I...m dll walaupun mereka tak mengakui atau menyadari hal itu (inilah salah satu contoh ajaran Sang Buddha bersifat universal).
Demikian juga gravitasi berlaku untuk siapapun, entah apa agamanya entah apa teori yang dianutnya entah ia tak menyadari bawa ia ada dalam pengaruh gravitasi (inilah sifat universal teori Newton).
 _/\_
No comment. 
Share ulang sedikit: saya melakukan vipassana secara otodidak sebelum mengenal agama Buddha. Jadi apa pun pendapat Bro fabian, walaupun mungkin benar secara umum, secara pribadi saya tidak bisa terima. 
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 07 December 2009, 12:19:00 PM
Saya sudah baca lagi, memang ternyata setelah kembali kepada Buddha baru diberikan sebait wejangan yang kemudian membawa pada pencerahan. Tadinya saya ingin ganti dengan kasus Culapanthaka, tetapi sepertinya hanya akan tambah ruwet, jadi saya tidak melanjutkan lagi.  
Culapanthaka? Ada 2 versi meskipun oknummnya sama setau saya, yg 1 "sapu bersih" yg 1 lagi "kain kotor". Sepertinya yg 1 versi Mahayana dan 1 lg Theravada. But.. So what? Kan dia mendapat wejangan singkat "kain kotor" itu dari Sang Buddha, bukan dari Nigantha atau Makkhali misalnya. Jika dia mendapat dr petapa yg lain maka boleh saja hal valid mengatakan tercapai Sotapatti magga&phala di luar ajaran Buddha.
Quote from: Kainyn_Kutho on 07 December 2009, 12:19:00 PM
Itu karena pola pikir Bro Jerry mengkotakkan kebenaran dalam wadah "agama", sama seperti Bro fabian c. Ketika ada suatu kebenaran yang benar, maka itu harus ada merk "agama"-nya, entah "agamaku" atau "agama lain". Oleh karena itu, mungkin Bro Jerry dan rekan-rekan lain menganggap orang yang tidak beragama "Buddha" tidak akan mengajarkan hal-hal yang bisa membawa kita pada pemahaman Buddha-dhamma. Saya tidak begitu. Itu saja bedanya. 
Sebelumnya saya sudah menanyakan pada Bro Kain tentang adakah bukti dari Bro bahwa ada pencapaian setingkat magga&phala dlm Buddha-dhamma oleh guru lain dari agama lain, tapi hal tsb tidak dijawab. Saya tanyakan kembali skrg. Dapatkan Bro Kain menunjukkan adanya orang2 yg tdk beragama "Buddha" yang mengajarkan hal2 yg bs membawa kita pd pemahaman Buddha-dhamma? dan tambahannya, pencapaian setingkat magga&phala?
Tentu saja boleh2 saja mengatakan bahwa saya mengotakkan dari konteks tertentu. Prinsip saya mengotakkan simple saja.. Bbrp poin misalnya:
- Akidah sbg pondasi awal, sementara agama lain akidah dasarnya bertolak dari pengakuan thdp Tuhan, agama Buddha tidak. Dan adanya utusan dari Tuhan yg menurunkan wahyu pd manusia, sementara agama Buddha tidak. 
- Kemudian ajarannya, berpusat pada adanya suatu kekekalan, suatu kebahagiaan dan suatu diri tanpa ada kelanjutan ajaran utk meninggalkan diri, sementara agama Buddha mengajarkan bahwa nibbana bisa dikatakan sbg kekekalan hanya dalam konteks tertentu tetapi bukan dlm realitas sesungguhnya, kebahagiaan memang ada tetapi tidak bertahan abadi, dan diri memang ada tetapi bisa diatasi, ditinggalkan dan dilepaskan. 
- Agama lain mengajarkan praktek moralitas dan ritual tanpa mengajarkan bahwa hal2 ini nantinya harus ditinggalkan, sementara agama Buddha mengajarkan dengan mewanti2 bahwa pada akhirnya ini adl belenggu yg harus ditinggalkan. 
- Agama lain mungkin mengajarkan tentang pengembangan samadhi, tetapi berdasar pada adanya eksistensi diri, sebaliknya agama Buddha tidak.
- Agama lain yg ada pada hari ini tidak mengajarkan tentang pandangan benar dan jelas hanya agama Buddha yg mengajarkan tentang ini.
Sama halnya dengan kata2 Sang Buddha dalam Maha-Parinibbana Sutta, "Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah kosong dan bukan petapa yang sejati." Mungkin akan terdengar seperti mengkotakkan bagi beberapa yg tidak meyakini demikian. Akibatnya biasanya 2: entah menganggap Sang Buddha bersikap eksklusif lalu tidak menerima atau mengabaikan kata2 tsb. Atau menganggap bagian tsb tambahan belakangan alias bukan kata2 Sang Buddha. Sama halnya mengatakan gajah laut dan singa laut adalah berbeda meski sekilas tampak sama, mungkin akan terdengar mengotakkan. Kenyataannya memang mereka 2 jenis hewan berbeda. Dalam konteks ini saya tidak perlu berspekulasi tentang kemungkinan2 agama2 di luar ruang-waktu yg eksis skrg. Tapi pada masa kini, dari semua agama sepanjang sejarah yg saya tahu, memang tidak ada agama yg mengajarkan 4KM dan JMB8 secara sempurna, terang, nyata dan jelas sebagaimana ajaran ini yg kita namakan agama Buddha. Dan pemahaman saya yg simple, dalam agama Buddha seorang buddhist tidak akan mampu mencapai penyatuan manusia dengan Tuhan dan sebaliknya dalam agama lain, penganutnya tidak akan mampu mencapai magga&phala. Dasar berpijaknya saja sudah berbeda, ditambah metoda yg dikembangkan utk mencapai tujuan dlsb, tentu tidak akan memungkinkan utk mencapai tujuan yg sama. Ini bukan sikap eksklusivitas melainkan memang demikian, dan demikian pula diajarkan oleh Sang Buddha. Dan Sang Buddha mengajarkan pula agar kita tidak bersikap intoleran hanya karena mereka menganut ajaran lain. 
Dan oh ya, dalam sutta juga dikatakan bahkan seorang yg dikatakan sekha dalam artian hingga tingkatan anagami magga&phala pun masih berkeyakinan bahwa "Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah kosong dan bukan petapa yang sejati." Bagi saya, pandangan demikian bukan sesuatu yg jelek, buruk, jahat dan pantas dicela. Hanya benar2 menjadi jelek, buruk, jahat dan pantas dicela jika kita mengembangkan sikap intoleran thdp mereka yg berbeda keyakinan. Hanya seorang arahat yg benar2 terbebas dari pandangan demikian, dengan catatan, bukan berarti arahat tidak memiliki pandangan. Jadi pandangan Bro, bagi saya hanya ada 2 kemungkinan: entah Bro telah mencapai arahatta phala atau pemikiran Bro Kain hanya berdasarkan kesimpulan belaka seperti saya. Dengan implikasi, masih mungkin untuk salah. :)
Mettacittena,
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 08 December 2009, 12:50:34 AM
Culapanthaka? Ada 2 versi meskipun oknummnya sama setau saya, yg 1 "sapu bersih" yg 1 lagi "kain kotor". Sepertinya yg 1 versi Mahayana dan 1 lg Theravada. But.. So what? Kan dia mendapat wejangan singkat "kain kotor" itu dari Sang Buddha, bukan dari Nigantha atau Makkhali misalnya. Jika dia mendapat dr petapa yg lain maka boleh saja hal valid mengatakan tercapai Sotapatti magga&phala di luar ajaran Buddha.
QuoteSebelumnya saya sudah menanyakan pada Bro Kain tentang adakah bukti dari Bro bahwa ada pencapaian setingkat magga&phala dlm Buddha-dhamma oleh guru lain dari agama lain, tapi hal tsb tidak dijawab. Saya tanyakan kembali skrg. Dapatkan Bro Kain menunjukkan adanya orang2 yg tdk beragama "Buddha" yang mengajarkan hal2 yg bs membawa kita pd pemahaman Buddha-dhamma? dan tambahannya, pencapaian setingkat magga&phala?
Kalau kembali pada "agama Buddha", saya rasa absurd kalau meminta cerita guru lain membimbing orang mencapai kesucian di Tipitaka, yang nota bene adalah kisah-kisah yang berhubungan dengan Buddha dan para murid. Sama saja seperti saya menanyakan suatu kisah Buddha menebus dosa di kitab agama lain. 
Konteks yang saya singgung dalam hal ini adalah Buddha tidak mengajarkan "4 KM" secara langsung, tidak memberikan doktrin-doktrin Buddha-dhamma, namun "mengasah" orang mengembangkan kebijaksanaan menurut kecenderungan orang tersebut. Dengan demikian, 1 milyar kecenderungan, maka ada 1 milyar "ajaran". Saya rasa ini kita juga setuju, CMIIW. Berdasarkan hal ini, maka ada 2 pilihan sikap, yaitu inklusivistik yang menyatakan 1 milyar tersebut, selama membimbing orang mencapai kesucian, disebut "Agama Buddha"; satu lagi yang tidak lagi melihat hal tersebut sebagai "agama" karena sudah terlalu luas untuk "dilingkup" ke dalam satu definisi. 
Saya type orang yang ke dua. 
QuoteTentu saja boleh2 saja mengatakan bahwa saya mengotakkan dari konteks tertentu. Prinsip saya mengotakkan simple saja.. Bbrp poin misalnya:
- Akidah sbg pondasi awal, sementara agama lain akidah dasarnya bertolak dari pengakuan thdp Tuhan, agama Buddha tidak. Dan adanya utusan dari Tuhan yg menurunkan wahyu pd manusia, sementara agama Buddha tidak. 
- Kemudian ajarannya, berpusat pada adanya suatu kekekalan, suatu kebahagiaan dan suatu diri tanpa ada kelanjutan ajaran utk meninggalkan diri, sementara agama Buddha mengajarkan bahwa nibbana bisa dikatakan sbg kekekalan hanya dalam konteks tertentu tetapi bukan dlm realitas sesungguhnya, kebahagiaan memang ada tetapi tidak bertahan abadi, dan diri memang ada tetapi bisa diatasi, ditinggalkan dan dilepaskan. 
- Agama lain mengajarkan praktek moralitas dan ritual tanpa mengajarkan bahwa hal2 ini nantinya harus ditinggalkan, sementara agama Buddha mengajarkan dengan mewanti2 bahwa pada akhirnya ini adl belenggu yg harus ditinggalkan. 
- Agama lain mungkin mengajarkan tentang pengembangan samadhi, tetapi berdasar pada adanya eksistensi diri, sebaliknya agama Buddha tidak.
- Agama lain yg ada pada hari ini tidak mengajarkan tentang pandangan benar dan jelas hanya agama Buddha yg mengajarkan tentang ini.
Sepertinya Bro Jerry hanya membahas agama yang ada di Indonesia, maka saya tidak ada sanggahan.  
QuoteSama halnya dengan kata2 Sang Buddha dalam Maha-Parinibbana Sutta, "Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah kosong dan bukan petapa yang sejati." Mungkin akan terdengar seperti mengkotakkan bagi beberapa yg tidak meyakini demikian. Akibatnya biasanya 2: entah menganggap Sang Buddha bersikap eksklusif lalu tidak menerima atau mengabaikan kata2 tsb. Atau menganggap bagian tsb tambahan belakangan alias bukan kata2 Sang Buddha. Sama halnya mengatakan gajah laut dan singa laut adalah berbeda meski sekilas tampak sama, mungkin akan terdengar mengotakkan. Kenyataannya memang mereka 2 jenis hewan berbeda. Dalam konteks ini saya tidak perlu berspekulasi tentang kemungkinan2 agama2 di luar ruang-waktu yg eksis skrg. Tapi pada masa kini, dari semua agama sepanjang sejarah yg saya tahu, memang tidak ada agama yg mengajarkan 4KM dan JMB8 secara sempurna, terang, nyata dan jelas sebagaimana ajaran ini yg kita namakan agama Buddha. Dan pemahaman saya yg simple, dalam agama Buddha seorang buddhist tidak akan mampu mencapai penyatuan manusia dengan Tuhan dan sebaliknya dalam agama lain, penganutnya tidak akan mampu mencapai magga&phala. Dasar berpijaknya saja sudah berbeda, ditambah metoda yg dikembangkan utk mencapai tujuan dlsb, tentu tidak akan memungkinkan utk mencapai tujuan yg sama. Ini bukan sikap eksklusivitas melainkan memang demikian, dan demikian pula diajarkan oleh Sang Buddha. Dan Sang Buddha mengajarkan pula agar kita tidak bersikap intoleran hanya karena mereka menganut ajaran lain. 
Silahkan kalau Bro Jerry berpikiran begitu. Bagi saya, pencapaian magga-phala adalah kesesuaian kematangan spiritual seseorang, bukan karena agama atau landasan akidah. Salah satu bukti nyata adalah banyak di mana-mana orang yang mahir sekali ber-"tipitaka", tetapi toh tidak mencapai magga-phala juga, tidak mencapai jhana-jhana, bahkan hal sederhana seperti kelakuannya saja tidak bisa dikatakan baik. Sebaliknya, menurut cerita, murid pandangan berbelit-belit saja bisa menjadi Sotapanna dengan 1 syair yang terdengar. 
QuoteDan oh ya, dalam sutta juga dikatakan bahkan seorang yg dikatakan sekha dalam artian hingga tingkatan anagami magga&phala pun masih berkeyakinan bahwa "Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah kosong dan bukan petapa yang sejati." Bagi saya, pandangan demikian bukan sesuatu yg jelek, buruk, jahat dan pantas dicela. Hanya benar2 menjadi jelek, buruk, jahat dan pantas dicela jika kita mengembangkan sikap intoleran thdp mereka yg berbeda keyakinan. Hanya seorang arahat yg benar2 terbebas dari pandangan demikian, dengan catatan, bukan berarti arahat tidak memiliki pandangan. Jadi pandangan Bro, bagi saya hanya ada 2 kemungkinan: entah Bro telah mencapai arahatta phala atau pemikiran Bro Kain hanya berdasarkan kesimpulan belaka seperti saya. Dengan implikasi, masih mungkin untuk salah. :)
Mettacittena,
Apakah dengan demikian Bro Jerry mengatakan pengetahuan akan jalan kosong dan jalan petapa sejati yang mengantarkan orang pada pencapaian sejati? 
Apakah juga Bro Jerry memiliki pandangan bahwa Arahat tetap memegang suatu pandangan? 
			
 
			
			
				QuoteSilahkan kalau Bro Jerry berpikiran begitu. Bagi saya, pencapaian magga-phala adalah kesesuaian kematangan spiritual seseorang, bukan karena agama atau landasan akidah. a Salah satu bukti nyata adalah banyak di mana-mana orang yang mahir sekali ber-"tipitaka", tetapi toh tidak mencapai magga-phala juga, tidak mencapai jhana-jhana, bahkan hal sederhana seperti kelakuannya saja tidak bisa dikatakan baik. b Sebaliknya, menurut cerita, murid pandangan berbelit-belit saja bisa menjadi Sotapanna dengan 1 syair yang terdengar.
Menurut Bro Kainyn, berapa besar kemungkinan kasus a dengan b itu yang bisa mencapai magga-phala? berapa % orang yang telah mencapai magga-phala dari kasus a dan b?
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 08 December 2009, 10:54:06 AM
QuoteSilahkan kalau Bro Jerry berpikiran begitu. Bagi saya, pencapaian magga-phala adalah kesesuaian kematangan spiritual seseorang, bukan karena agama atau landasan akidah. a Salah satu bukti nyata adalah banyak di mana-mana orang yang mahir sekali ber-"tipitaka", tetapi toh tidak mencapai magga-phala juga, tidak mencapai jhana-jhana, bahkan hal sederhana seperti kelakuannya saja tidak bisa dikatakan baik. b Sebaliknya, menurut cerita, murid pandangan berbelit-belit saja bisa menjadi Sotapanna dengan 1 syair yang terdengar.
Menurut Bro Kainyn, berapa besar kemungkinan kasus a dengan b itu yang bisa mencapai magga-phala? berapa % orang yang telah mencapai magga-phala dari kasus a dan b?
Saya rasa berapa persentasenya tidak relevan. 
Yang Bro Jerry katakan adalah orang dari pandangan lain tidak bisa merealisasi magga-phala karena basicnya berbeda. Dengan kata lain, harus punya basic (Buddhisme) dulu, baru bisa mencapai magga-phala.
Saya di lain pihak mengatakan perkembangan dan kematangan spiritual seseorang tidak tergantung pada basic seperti itu. 
			
 
			
			
				Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?
Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.
Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.
Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............
			
			
			
				Teman-teman... Maksud dari Bro Kainyn itu:
"Seseorang bisa saja penganut agama non-Buddha. Dia percaya pada ritual keselamatan, dia percaya bahwa ada Maha Brahma (Tuhan), dia percaya bahwa kelahiran hanya sekali; dan akan diadili di akhirat. Tetapi agama itu mengajarkan kebaikan juga. Agama itu mengajarkan supaya berderma, supaya banyak berbuat baik, supaya menguatkan iman dan menjaga hati. Seiring kedewasaan pemikirannya, orang ini mulai menyadari bahwa berbuat baik adalah bentuk cinta-kasih; tidak lagi karena paksaan agama. Lalu dia mulai menyadari bahwa hidup ini tidak kekal, tidak memuaskan dan mulai melihat tidak ada substansi inti. Dia mulai melihat bahwa sebenarnya tidak ada roh (jiwa) atau Maha Brahma (Tuhan Pencipta). Dia mulai mengembangkan iman, dan dia melihat bahwa yang lebih penting adalah menyelami gejolak pikiran; karena itulah titik terpenting dalam spiritual. Lalu dia mulai berangsur tidak melekat pada agamanya... Hingga suatu hari dia bertemu dengan Ajaran Sang Buddha. Dia melihat ada banyak kecocokan pola pandangnya (yang mulai dewasa) ini dengan Ajaran Sang Buddha. Dan suatu waktu ketika batinnya sudah matang, mungkin saja dia lebih mudah mencerap Ajaran Sang Buddha. Karena dia sendiri telah bergulat mencari Kebenaran, hingga akhirnya menemukan "peta kebenaran" yang sesungguhnya. Dan akhirnya dia bisa berkembang menjadi lebih bijaksana, atau bahkan menjadi orang Yang Tercerahkan meskipun tidak cocok untuk disebut sebagai umat Buddha".
Begitu yang saya tangkap dari pemikiran Bro Kainyn_Kutho. :)
Correct Me if I Wrong.
			
			
			
				Quote from: hendrako on 08 December 2009, 11:31:55 AM
Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?
Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.
Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.
Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............
Betul, kalau "agama Buddha" tidak lebih dahulu didefinisikan, maka bisa rancu. Secara umum, tentu saya setuju agama Buddha adalah yang berlandaskan pada Kitab Suci Tipitaka/Tripitaka. Namun secara khusus, Buddha-dhamma bagi saya sudah hampir tak terdefinisikan. 
Quote from: upasaka on 08 December 2009, 11:39:25 AM
Teman-teman... Maksud dari Bro Kainyn itu:
"Seseorang bisa saja penganut agama non-Buddha. Dia percaya pada ritual keselamatan, dia percaya bahwa ada Maha Brahma (Tuhan), dia percaya bahwa kelahiran hanya sekali; dan akan diadili di akhirat. Tetapi agama itu mengajarkan kebaikan juga. Agama itu mengajarkan supaya berderma, supaya banyak berbuat baik, supaya menguatkan iman dan menjaga hati. Seiring kedewasaan pemikirannya, orang ini mulai menyadari bahwa berbuat baik adalah bentuk cinta-kasih; tidak lagi karena paksaan agama. Lalu dia mulai menyadari bahwa hidup ini tidak kekal, tidak memuaskan dan mulai melihat tidak ada substansi inti. Dia mulai melihat bahwa sebenarnya tidak ada roh (jiwa) atau Maha Brahma (Tuhan Pencipta). Dia mulai mengembangkan iman, dan dia melihat bahwa yang lebih penting adalah menyelami gejolak pikiran; karena itulah titik terpenting dalam spiritual. Lalu dia mulai berangsur tidak melekat pada agamanya... Hingga suatu hari dia bertemu dengan Ajaran Sang Buddha. Dia melihat ada banyak kecocokan pola pandangnya (yang mulai dewasa) ini dengan Ajaran Sang Buddha. Dan suatu waktu ketika batinnya sudah matang, mungkin saja dia lebih mudah mencerap Ajaran Sang Buddha. Karena dia sendiri telah bergulat mencari Kebenaran, hingga akhirnya menemukan "peta kebenaran" yang sesungguhnya. Dan akhirnya dia bisa berkembang menjadi lebih bijaksana, atau bahkan menjadi orang Yang Tercerahkan meskipun tidak cocok untuk disebut sebagai umat Buddha".
Begitu yang saya tangkap dari pemikiran Bro Kainyn_Kutho. :)
Correct Me if I Wrong.
Ya, betul kira-kira demikian. Semua orang, apa pun agamanya (atau pun tidak beragama), tetap bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan. Pada waktunya, ketika kebijaksanaannya matang dan pada kondisi yang tepat (apakah ia bertemu ajaran Buddha, atau pun dia sendiri mengembangkan pandangan terang) ia akan mampu mencapai kesucian. 
Saya "berkeras kepala" menentang "agama Buddha satu-satunya jalan" karena 
secara general, orang akan manafsirkannya sama seperti di agama lain di mana harus tahu agama tertentu dulu baru selamat. Banyak dari kita tentu tahu rasanya kalau orang lain datang ke kita dengan promosi "agama saya adalah satu-satunya jalan", bukan? Apakah menarik? :) 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 02:17:12 PM
Quote from: upasaka on 08 December 2009, 11:39:25 AM
Teman-teman... Maksud dari Bro Kainyn itu:
"Seseorang bisa saja penganut agama non-Buddha. Dia percaya pada ritual keselamatan, dia percaya bahwa ada Maha Brahma (Tuhan), dia percaya bahwa kelahiran hanya sekali; dan akan diadili di akhirat. Tetapi agama itu mengajarkan kebaikan juga. Agama itu mengajarkan supaya berderma, supaya banyak berbuat baik, supaya menguatkan iman dan menjaga hati. Seiring kedewasaan pemikirannya, orang ini mulai menyadari bahwa berbuat baik adalah bentuk cinta-kasih; tidak lagi karena paksaan agama. Lalu dia mulai menyadari bahwa hidup ini tidak kekal, tidak memuaskan dan mulai melihat tidak ada substansi inti. Dia mulai melihat bahwa sebenarnya tidak ada roh (jiwa) atau Maha Brahma (Tuhan Pencipta). Dia mulai mengembangkan iman, dan dia melihat bahwa yang lebih penting adalah menyelami gejolak pikiran; karena itulah titik terpenting dalam spiritual. Lalu dia mulai berangsur tidak melekat pada agamanya... Hingga suatu hari dia bertemu dengan Ajaran Sang Buddha. Dia melihat ada banyak kecocokan pola pandangnya (yang mulai dewasa) ini dengan Ajaran Sang Buddha. Dan suatu waktu ketika batinnya sudah matang, mungkin saja dia lebih mudah mencerap Ajaran Sang Buddha. Karena dia sendiri telah bergulat mencari Kebenaran, hingga akhirnya menemukan "peta kebenaran" yang sesungguhnya. Dan akhirnya dia bisa berkembang menjadi lebih bijaksana, atau bahkan menjadi orang Yang Tercerahkan meskipun tidak cocok untuk disebut sebagai umat Buddha".
Begitu yang saya tangkap dari pemikiran Bro Kainyn_Kutho. :)
Correct Me if I Wrong.
Ya, betul kira-kira demikian. Semua orang, apa pun agamanya (atau pun tidak beragama), tetap bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan. Pada waktunya, ketika kebijaksanaannya matang dan pada kondisi yang tepat (apakah ia bertemu ajaran Buddha, atau pun dia sendiri mengembangkan pandangan terang) ia akan mampu mencapai kesucian. 
Saya "berkeras kepala" menentang "agama Buddha satu-satunya jalan" karena secara general, orang akan manafsirkannya sama seperti di agama lain di mana harus tahu agama tertentu dulu baru selamat. Banyak dari kita tentu tahu rasanya kalau orang lain datang ke kita dengan promosi "agama saya adalah satu-satunya jalan", bukan? Apakah menarik? :) 
Kita sudah memahami pemikiran kita masing-masing. Saya pikir tidak ada pendapat yang harus dipertentangkan di antara kita. :)
Tapi saya mau memberi komentar usil: "Meskipun orang di agama lain juga bisa merealisasi Pembebasan, namun tetap saja orang yang telah merealisasi Pembebasan adalah orang yang sudah merealisasi tujuan Agama Buddha, bukan tujuan agama lain." 
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 08 December 2009, 03:15:20 PM
Kita sudah memahami pemikiran kita masing-masing. Saya pikir tidak ada pendapat yang harus dipertentangkan di antara kita. :)
Ya, setuju. Saya katakan hal tersebut agar orang lain yang baca tidak salah paham. 
QuoteTapi saya mau memberi komentar usil: "Meskipun orang di agama lain juga bisa merealisasi Pembebasan, namun tetap saja orang yang telah merealisasi Pembebasan adalah orang yang sudah merealisasi tujuan Agama Buddha, bukan tujuan agama lain." 
Ini kelihatannya mirip tetapi berbeda. Kalau yang ini, saya sepenuhnya setuju. 
			
 
			
			
				Saudara Kaynin yang baik, saya menemui beberapa orang yang berlatar belakang agama lain berlatih meditasi Vipassana, mereka mencapai Nana-nana....
Memang itu berarti umat agama lain bisa mencapai Nana-nana, tetapi mereka mencapai nana-nana dengan mempraktikkan ajaran Sang Buddha dibawah bimbingan seorang bhikkhu (dibawah bimbingan umat Buddha), bukan berlatih sendiri..
 _/\_
			
			
			
				Quote from: hendrako on 08 December 2009, 11:31:55 AM
Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?
Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.
Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.
Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............
Cerita saudara Hendrako sangat menarik,
Boleh tahu seperti apakah ajaran meditasinya sehingga dianggap seperti Vipassana juga?
Terima kasih atas sharingnya.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
Kalau kembali pada "agama Buddha", saya rasa absurd kalau meminta cerita guru lain membimbing orang mencapai kesucian di Tipitaka, yang nota bene adalah kisah-kisah yang berhubungan dengan Buddha dan para murid. Sama saja seperti saya menanyakan suatu kisah Buddha menebus dosa di kitab agama lain. 
Meski absurd, toh Bro Kain meyakini, setidaknya memercayai bahwa "Pencapaian Magga-phala pun tidak selalu harus didapatkan dari "Agama Buddha"."
Makanya saya menanyakan, adakah bukti preseden dari pandangan Bro Kain soal ini. Mungkin saja dr sources di luar Buddhism, spt Jaina, Hindu dlsb. 
Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
Konteks yang saya singgung dalam hal ini adalah Buddha tidak mengajarkan "4 KM" secara langsung, tidak memberikan doktrin-doktrin Buddha-dhamma, namun "mengasah" orang mengembangkan kebijaksanaan menurut kecenderungan orang tersebut. Dengan demikian, 1 milyar kecenderungan, maka ada 1 milyar "ajaran". Saya rasa ini kita juga setuju, CMIIW. Berdasarkan hal ini, maka ada 2 pilihan sikap, yaitu inklusivistik yang menyatakan 1 milyar tersebut, selama membimbing orang mencapai kesucian, disebut "Agama Buddha"; satu lagi yang tidak lagi melihat hal tersebut sebagai "agama" karena sudah terlalu luas untuk "dilingkup" ke dalam satu definisi. 
Saya type orang yang ke dua. 
Yup, soal 1 miliar org, 1 miliar kecenderungan dan ada 1 miliar ajaran. Setuju soal ini. Meski sebenarnya dari kesemua 1 miliar ajaran tsb bisa diklasifikasikan secara poin generalnya, dan utk ajaran Buddha, meski ada 1 milyar Sutta dan 1 milyar ajaran sekalipun, persamaannya hanya 1, dukkha dan lenyapnya dukkha - baik eksplisit atau implisit.
Kalo gitu dalam konteks definisi Bro Kain, bolehlah saya dikategorikan dlm tipe pertama. Meski saya tidak akan gegabah mengatakan selama membimbing orang mencapai kesucian, akan saya sebut agama Buddha. Lihat dulu dari kondisi bagaimana org tsb mencapai, faktor2 apa yg menyebabkan tercapainya kesuciannya, dan apakah memang benar org tsb merealisasikan kesucian yang setingkat dengan kesucian dlm versi agama Buddha yaitu dr sotapatti magga hingga arahatta phala.
Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
Sepertinya Bro Jerry hanya membahas agama yang ada di Indonesia, maka saya tidak ada sanggahan.  
Kira2 agama di luar Indonesia, ada? Mungkin saya kurang update atau menyelidiki. Mohon berbagi pencerahannya. _/\_
Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
Silahkan kalau Bro Jerry berpikiran begitu. Bagi saya, pencapaian magga-phala adalah kesesuaian kematangan spiritual seseorang, bukan karena agama atau landasan akidah. Salah satu bukti nyata adalah banyak di mana-mana orang yang mahir sekali ber-"tipitaka", tetapi toh tidak mencapai magga-phala juga, tidak mencapai jhana-jhana, bahkan hal sederhana seperti kelakuannya saja tidak bisa dikatakan baik. Sebaliknya, menurut cerita, murid pandangan berbelit-belit saja bisa menjadi Sotapanna dengan 1 syair yang terdengar. 
Soal ini, kembali ke hal lama yg pernah kita bahas kalau Bro Kain masih ingat, Upatissa melepaskan pandangan lamanya saat merealisasikan Sotapanna, jadi jelas dia menjadi seorang pengikut Buddha dengan begitu, bukan lagi pengikut Sanjaya. Demikian pula, seorang islam atau kr****n tidak akan mencapai magga&phala selama dia masih berkutat dengan pandangan lamanya mengenai Allah.
Lalu membaca kelanjutan diskusi Bro Kain dengan Opasaka dan Acek Ryu.. Keliatannya Bro Kain dalam menangkap maksud saya ada benar dan ada salahnya. Utk mengatakan demikian:
QuoteYang Bro Jerry katakan adalah orang dari pandangan lain tidak bisa merealisasi magga-phala karena basicnya berbeda. Dengan kata lain, harus punya basic (Buddhisme) dulu, baru bisa mencapai magga-phala. 
Saya katakan ya, orang dr pandangan lain tdk bisa merealisasi magga-phala dlm Buddha-sasana. Dan memang orang harus melepaskan pandangannya terlebih dahulu, memosisikan diri dalam pandangan yg diajarkan Sang Buddha, barulah orang bisa mencapai magga-phala dlm Buddha-sasana.
Tetapi jelas salah jika menyimpulkan bahwa saya menganggap orang dalam pandangan lain tidak bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan, beserta berbagai kualitas bermanfaat lainnya. Saya jelas setuju dengan pendapat Bro Kain, "semua orang apapun agamanya (atau pun tidak beragama), tetap bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan." Dan sebenar-benarnya, kebajikan, sila, keyakinan, semangat, kesadaran, samadhi dan kebijaksanaan bukanlah hal eksklusif dalam Buddha-dhamma. Demikian juga dengan Jhana. Misalnya saja dalam Maha-saccaka Sutta, Alara Kalama, dan Rama memiliki pencapaian hingga Arupa Jhana dan memiliki panca-bala juga. Dan ingat, yg telah saya katakan adalah sejauh agama yg ada yg saya ketahui tidak ada yg mengajarkan semua ttg ini dan pencapaian tingkat kesucian sejelas yg diajarkan dlm Buddha-sasana ini. Yang eksklusif dr Buddha-dhamma adalah semua dhamma ini dibabarkan secara sempurna oleh Sang Buddha dan juga terdapat jalan untuk melarikan diri dari semua kondisi ini. Jika Bro Kain mengetahui apa yg tidak saya ketahui, di luar yang saya ketahui, dan mungkin yang oleh saya terlewatkan, sudilah kiranya untuk berbagi. :)
Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
Apakah dengan demikian Bro Jerry mengatakan pengetahuan akan jalan kosong dan jalan petapa sejati yang mengantarkan orang pada pencapaian sejati? 
Apakah juga Bro Jerry memiliki pandangan bahwa Arahat tetap memegang suatu pandangan? 
Saya kurang menangkap kalimat 1. Utk kalimat ke-2, Arahat tidak memegang suatu pandangan, mereka hanya menggunakan pandangan tsb sesuai fungsinya dan melepasnya setelahnya. 
Mettacittena
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 08 December 2009, 05:09:23 PM
Quote from: hendrako on 08 December 2009, 11:31:55 AM
Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?
Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.
Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.
Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............
Cerita saudara Hendrako sangat menarik,
Boleh tahu seperti apakah ajaran meditasinya sehingga dianggap seperti Vipassana juga?
Terima kasih atas sharingnya.
 _/\_
Secara teknik saya tidak mengetahui secara detail, namun secara konsep, dari hasil dialog dengan seorang teman, mirip dengan anjuran yang saya dapat di dalam referensi Buddhism bahwa meditasi bukan hanya formal dalam posisi duduk, namun adalah pengamatan batin dalam kehidupan sehari-hari, pada saat ini. 
Saya mengalami perbincangan ini sekitar 1-2 tahun sebelum saya mengenal Buddhism dan begitu pula teman saya tersebut tidak mengenal Buddhism sama sekali.
Pada saat itu saya tidak mengerti apa yang dimaksud, sesudah bersentuhan dan mempelajari Buddhism, saya baru mengerti apa yang dimaksud.
			
 
			
			
				Quote from: hendrako on 08 December 2009, 11:31:55 AM
[spoiler]Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?
Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.
Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.
Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............
[/spoiler]
Bro, sori nanya.. mirip atau dimirip2kan? ini harus diteliti lebih jauh sebelum disimpulkan. kalo abhinna ngga heran, ngga harus orang suci, seseorang dengan attaditthi pun bisa memiliki kesaktian. sekadar mengamati pikiran, dan meditasi tidak harus dalam posisi duduk, itu bukan barang eksklusif dlm Buddha-sasana. ajaran2 lain sebelum masa Sang Buddha pun telah mengenal misalnya posisi meditasi dlm jalan, atau bertindak dlm aktifitas sehari2, atau dlm posisi tidur. Agama Islam sendiri mengenal sholat dlm 3 posisi: berdiri, duduk dan berbaring. 
Quote from: upasaka on 08 December 2009, 11:39:25 AM
[spoiler] Teman-teman... Maksud dari Bro Kainyn itu:
"Seseorang bisa saja penganut agama non-Buddha. Dia percaya pada ritual keselamatan, dia percaya bahwa ada Maha Brahma (Tuhan), dia percaya bahwa kelahiran hanya sekali; dan akan diadili di akhirat. Tetapi agama itu mengajarkan kebaikan juga. Agama itu mengajarkan supaya berderma, supaya banyak berbuat baik, supaya menguatkan iman dan menjaga hati. Seiring kedewasaan pemikirannya, orang ini mulai menyadari bahwa berbuat baik adalah bentuk cinta-kasih; tidak lagi karena paksaan agama. Lalu dia mulai menyadari bahwa hidup ini tidak kekal, tidak memuaskan dan mulai melihat tidak ada substansi inti. Dia mulai melihat bahwa sebenarnya tidak ada roh (jiwa) atau Maha Brahma (Tuhan Pencipta). Dia mulai mengembangkan iman, dan dia melihat bahwa yang lebih penting adalah menyelami gejolak pikiran; karena itulah titik terpenting dalam spiritual. Lalu dia mulai berangsur tidak melekat pada agamanya... Hingga suatu hari dia bertemu dengan Ajaran Sang Buddha. Dia melihat ada banyak kecocokan pola pandangnya (yang mulai dewasa) ini dengan Ajaran Sang Buddha. Dan suatu waktu ketika batinnya sudah matang, mungkin saja dia lebih mudah mencerap Ajaran Sang Buddha. Karena dia sendiri telah bergulat mencari Kebenaran, hingga akhirnya menemukan "peta kebenaran" yang sesungguhnya. Dan akhirnya dia bisa berkembang menjadi lebih bijaksana, atau bahkan menjadi orang Yang Tercerahkan meskipun tidak cocok untuk disebut sebagai umat Buddha".
Begitu yang saya tangkap dari pemikiran Bro Kainyn_Kutho. :)
Correct Me if I Wrong.
[/spoiler] 
Apakah dia nantinya bertemu dengan ajaran Buddha atau tidak, berarti ini sama saja artinya dia melepaskan pandangan lamanya terhadap agama tsb. Masihkah relevan mengatakan dia mencapai pemahaman demikian melalui doktrin agama tsb? Bagi saya sih tidak lagi relevan. Di sini perbedaan saya dengan Bro Kain. :)
Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 02:17:12 PM
[spoiler]Ya, betul kira-kira demikian. Semua orang, apa pun agamanya (atau pun tidak beragama), tetap bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan. Pada waktunya, ketika kebijaksanaannya matang dan pada kondisi yang tepat (apakah ia bertemu ajaran Buddha, atau pun dia sendiri mengembangkan pandangan terang) ia akan mampu mencapai kesucian. 
Saya "berkeras kepala" menentang "agama Buddha satu-satunya jalan" karena secara general, orang akan manafsirkannya sama seperti di agama lain di mana harus tahu agama tertentu dulu baru selamat. Banyak dari kita tentu tahu rasanya kalau orang lain datang ke kita dengan promosi "agama saya adalah satu-satunya jalan", bukan? Apakah menarik? :) 
[/spoiler]
Kenapa harus berbeda dr yg lain dan harus menarik? Sebaliknya juga kenapa harus sama dengan yg lain? Kebenaran ya kebenaran. Jika memang sama, itu harus diakui. Tetapi jika tidak sama, maka tidak perlu menyama-nyamakan. Saya beragama Buddha jelas bukan utk agar sama dengan, ataupun agar beda dengan. (dulu sih mungkin iya) :P
Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 03:32:27 PM
[spoiler]
QuoteTapi saya mau memberi komentar usil: "Meskipun orang di agama lain juga bisa merealisasi Pembebasan, namun tetap saja orang yang telah merealisasi Pembebasan adalah orang yang sudah merealisasi tujuan Agama Buddha, bukan tujuan agama lain." 
Ini kelihatannya mirip tetapi berbeda. Kalau yang ini, saya sepenuhnya setuju. 
[/spoiler]
Sebenarnya ini sama saja dengan yg ini:
Quote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
.... Berdasarkan hal ini, maka ada 2 pilihan sikap, yaitu inklusivistik yang menyatakan 1 milyar tersebut, selama membimbing orang mencapai kesucian, disebut "Agama Buddha"; satu lagi yang tidak lagi melihat hal tersebut sebagai "agama" karena sudah terlalu luas untuk "dilingkup" ke dalam satu definisi. 
Saya type orang yang ke dua. 
Jika Anda setuju dengan pernyataan Opasaka, berarti Anda tipe pertama dong? Bersikap inklusif bahwa orang agama lain yg merealisasi pembebasan telah merealisasi tujuan agama Buddha. Bukan lg tipe ke-2? ???
Mettacittena,
			
 
			
			
				meditasi=JMB8
JMB8=Agama Buddha
Meditasi=agama Buddha
jrengggggg...... ;D
			
			
			
				Quote from: fabian c on 08 December 2009, 05:03:46 PM
Saudara Kaynin yang baik, saya menemui beberapa orang yang berlatar belakang agama lain berlatih meditasi Vipassana, mereka mencapai Nana-nana....
Memang itu berarti umat agama lain bisa mencapai Nana-nana, tetapi mereka mencapai nana-nana dengan mempraktikkan ajaran Sang Buddha dibawah bimbingan seorang bhikkhu (dibawah bimbingan umat Buddha), bukan berlatih sendiri..
 _/\_
Kalau memang "belajar dari orang lain/buku/internet/dsb" yah memang tidak saya sebut berlatih sendiri, karena tetap basicnya diberikan orang lain. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 07 December 2009, 01:20:13 PM
Quote from: fabian c on 07 December 2009, 01:10:10 PM
QuoteItu karena pola pikir Bro Jerry mengkotakkan kebenaran dalam wadah "agama", sama seperti Bro fabian c. Ketika ada suatu kebenaran yang benar, maka itu harus ada merk "agama"-nya, entah "agamaku" atau "agama lain". Oleh karena itu, mungkin Bro Jerry dan rekan-rekan lain menganggap orang yang tidak beragama "Buddha" tidak akan mengajarkan hal-hal yang bisa membawa kita pada pemahaman Buddha-dhamma. Saya tidak begitu. Itu saja bedanya.
Saya kira tidak demikian bro, keputusan presidenlah (jaman Suharto tahun 80-an) yang mengakui Buddha Dhamma sebagai agama. Sebelumnya Buddha Dhamma hanya diakui sebagai aliran kepercayaan. 
Aliran kepercayaan dianggap lebih rendah daripada agama, oleh karena itu para pemuka-pemuka agama Buddha berusaha memperjuangkan agar Buddha Dhamma diakui sebagai agama. 
Saya tidak meletakkan kebenaran dalam keranjang agama, tetapi ada kebenaran yang hanya diungkapkan atau hanya ada dalam agama tertentu.
Kalau diambil sensus antara yang mengatakan Tuhan sebagai suatu kebenaran dengan mereka yang mengatakan Tuhan hanya dongeng, mungkin yang mengakui Tuhan sebagai suatu kebenaran lebih banyak. Apakah itu merupakan suatu kebenaran?
Maksudnya ada kebenaran yang hanya diajarkan di agama Buddha dan eksklusif merupakan ajaran agama Buddha, tidak ditemui di ajaran lain, umpamanya: tilakkhana, empat kebenaran Arya, jalan Arya berunsur delapan, Vipassana dll.
Kebenaran ini memang berlaku secara universal untuk siapapun. Tetapi pemilik patennya adalah Sang Buddha. Pengikut Sang Buddha disebut Buddhists (disini diterjemahkan sebagai: umat agama Buddha).
Sama seperti gravitasi berlaku universal untuk siapapun, pemilik patennya adalah Newton, pengikut Newton disebut Newtonian (pengikut teori Newton).
Tilakkhana berlaku untuk siapapun walaupun ia masih beragama K...ten atau I...m dll walaupun mereka tak mengakui atau menyadari hal itu (inilah salah satu contoh ajaran Sang Buddha bersifat universal).
Demikian juga gravitasi berlaku untuk siapapun, entah apa agamanya entah apa teori yang dianutnya entah ia tak menyadari bawa ia ada dalam pengaruh gravitasi (inilah sifat universal teori Newton).
 _/\_
No comment. 
Share ulang sedikit: saya melakukan vipassana secara otodidak sebelum mengenal agama Buddha. Jadi apa pun pendapat Bro fabian, walaupun mungkin benar secara umum, secara pribadi saya tidak bisa terima. 
 _/\_
Bro Kainyn pasti tidak bisa terima, memang demikian adanya !
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 09 December 2009, 12:23:18 AM
Quote from: hendrako on 08 December 2009, 11:31:55 AM
[spoiler]Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?
Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.
Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.
Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............
[/spoiler]
Bro, sori nanya.. mirip atau dimirip2kan? ini harus diteliti lebih jauh sebelum disimpulkan. kalo abhinna ngga heran, ngga harus orang suci, seseorang dengan attaditthi pun bisa memiliki kesaktian. sekadar mengamati pikiran, dan meditasi tidak harus dalam posisi duduk, itu bukan barang eksklusif dlm Buddha-sasana. ajaran2 lain sebelum masa Sang Buddha pun telah mengenal misalnya posisi meditasi dlm jalan, atau bertindak dlm aktifitas sehari2, atau dlm posisi tidur. Agama Islam sendiri mengenal sholat dlm 3 posisi: berdiri, duduk dan berbaring. 
Apakah orang yg menjalankan yg di bold biru di atas tidak mungkin mencapai sotapanna karena tidak berlabel "agama Buddha" dan atau tidak menjalankan salah satu teknik atau metoda yg berlabel Buddha Theravada misalnya?
Apakah dikatakan sama, berbeda, atau mirip, antara teknik, metoda, dan definisi vipassana misalnya dari tradisi Mahasi Sayadaw, Goenka, Pa Auk Sayadaw, Ajahn Mun, dsb.?
Apakah berbeda atau sama definisi dari suci, kudus, fitrah, moksha, yang menurut saya merupakan tujuan dari agama yang berbeda ( agama yg dianggap resmi di Indonesia).
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 08 December 2009, 11:46:04 PM
Meski absurd, toh Bro Kain meyakini, setidaknya memercayai bahwa "Pencapaian Magga-phala pun tidak selalu harus didapatkan dari "Agama Buddha"."
Makanya saya menanyakan, adakah bukti preseden dari pandangan Bro Kain soal ini. Mungkin saja dr sources di luar Buddhism, spt Jaina, Hindu dlsb. 
Susah untuk dijelaskan. 
Begini saja, daripada kita beda definisi, saya ikut Bro Jerry saja. Menurut Bro Jerry, apa itu "Agama Buddha"? 
Satu lagi, janganlah pernah meminta bukti pencapaian-pencapaian. Sekarang walaupun kita berdua bertemu Arahat, saya yakin saya tidak bisa membuktikan pencapaiannnya kepada anda, dan juga sebaliknya. 
QuoteYup, soal 1 miliar org, 1 miliar kecenderungan dan ada 1 miliar ajaran. Setuju soal ini. Meski sebenarnya dari kesemua 1 miliar ajaran tsb bisa diklasifikasikan secara poin generalnya, dan utk ajaran Buddha, meski ada 1 milyar Sutta dan 1 milyar ajaran sekalipun, persamaannya hanya 1, dukkha dan lenyapnya dukkha - baik eksplisit atau implisit.
Kalo gitu dalam konteks definisi Bro Kain, bolehlah saya dikategorikan dlm tipe pertama. Meski saya tidak akan gegabah mengatakan selama membimbing orang mencapai kesucian, akan saya sebut agama Buddha. Lihat dulu dari kondisi bagaimana org tsb mencapai, faktor2 apa yg menyebabkan tercapainya kesuciannya, dan apakah memang benar org tsb merealisasikan kesucian yang setingkat dengan kesucian dlm versi agama Buddha yaitu dr sotapatti magga hingga arahatta phala.
Ya, kira-kira demikian. Kita lanjutkan setelah "Agama Buddha" menurut Bro Jerry sudah didefinisikan. 
QuoteKira2 agama di luar Indonesia, ada? Mungkin saya kurang update atau menyelidiki. Mohon berbagi pencerahannya. _/\_
Saya katakan hal tersebut karena awalnya Bro Jerry mengatakan pondasi yang sangat berbeda dari agama lain, misalnya perwahyuan. Apakah Taoisme memiliki perwahyuan? Mengenai diri dan objek "aku", silahkan research tentang Kabbala. 
Kemudian ada satu hal selalu terlupakan. Ketika saya bilang non-Buddhis, otomatis orang berpikir "agama lain". Mengapa tidak pernah terpikirkan tentang suatu kebijaksanaan yang tidak terikat agama? 
QuoteSoal ini, kembali ke hal lama yg pernah kita bahas kalau Bro Kain masih ingat, Upatissa melepaskan pandangan lamanya saat merealisasikan Sotapanna, jadi jelas dia menjadi seorang pengikut Buddha dengan begitu, bukan lagi pengikut Sanjaya. Demikian pula, seorang islam atau kr****n tidak akan mencapai magga&phala selama dia masih berkutat dengan pandangan lamanya mengenai Allah.
Lalu membaca kelanjutan diskusi Bro Kain dengan Opasaka dan Acek Ryu.. Keliatannya Bro Kain dalam menangkap maksud saya ada benar dan ada salahnya. Utk mengatakan demikian:
QuoteYang Bro Jerry katakan adalah orang dari pandangan lain tidak bisa merealisasi magga-phala karena basicnya berbeda. Dengan kata lain, harus punya basic (Buddhisme) dulu, baru bisa mencapai magga-phala. 
Saya katakan ya, orang dr pandangan lain tdk bisa merealisasi magga-phala dlm Buddha-sasana. Dan memang orang harus melepaskan pandangannya terlebih dahulu, memosisikan diri dalam pandangan yg diajarkan Sang Buddha, barulah orang bisa mencapai magga-phala dlm Buddha-sasana.
Nah, ini dulu sebetulnya ingin saya singgung tetapi tidak sempat. Saya setuju setelah Upatissa merealisasi Sotapatti-phala, ia sudah bukan penganut "pandangan berbelit-belit". 
Masalahnya, pelepasan "berkutat pada pandangan lama" ini dilakukan kapan? Sebelum realisasi Sotapatti, atau hanya sesaat sebelum realisasi Sotapatti, atau kapan? 
QuoteTetapi jelas salah jika menyimpulkan bahwa saya menganggap orang dalam pandangan lain tidak bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan, beserta berbagai kualitas bermanfaat lainnya. Saya jelas setuju dengan pendapat Bro Kain, "semua orang apapun agamanya (atau pun tidak beragama), tetap bisa mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan." Dan sebenar-benarnya, kebajikan, sila, keyakinan, semangat, kesadaran, samadhi dan kebijaksanaan bukanlah hal eksklusif dalam Buddha-dhamma. Demikian juga dengan Jhana. Misalnya saja dalam Maha-saccaka Sutta, Alara Kalama, dan Rama memiliki pencapaian hingga Arupa Jhana dan memiliki panca-bala juga. Dan ingat, yg telah saya katakan adalah sejauh agama yg ada yg saya ketahui tidak ada yg mengajarkan semua ttg ini dan pencapaian tingkat kesucian sejelas yg diajarkan dlm Buddha-sasana ini. Yang eksklusif dr Buddha-dhamma adalah semua dhamma ini dibabarkan secara sempurna oleh Sang Buddha dan juga terdapat jalan untuk melarikan diri dari semua kondisi ini. Jika Bro Kain mengetahui apa yg tidak saya ketahui, di luar yang saya ketahui, dan mungkin yang oleh saya terlewatkan, sudilah kiranya untuk berbagi. :)
Saya menyimpulkan demikian karena Bro Jerry sebelumnya berkata tentang perbedaan basic yang sudah tidak bisa disatukan seperti perwahyuan, kekekalan, dan sebagainya. Jadi perbedaan kita di sini adalah, saya tidak menunjuk suatu ajaran/agama sebagai "basic" mutlak. Bagi saya, "basic" itu ada di mana pun selama orang menyadarinya, apakah dia Buddhis, Non-Buddhis, atau sekuler. Basic itu pula yang mengasah kesadaran dan kebijaksanaan seseorang, yang akan membuahkan suatu pencapaian jika kondisi mendukung (ia bertemu dengan ajaran yang mengakhiri Dukkha dan menjadi seorang Savaka Buddha, atau dia sendiri mengembangkan pandangan terang dan menjadi Samma Sambuddha atau Pacceka Buddha). 
Contohnya sudah disebutkan sebelumnya, Upatissa yang "basic"-nya pandangan berbelit-belit namun kesadaran dan kebijaksanaannya telah matang, bertemu dengan ajaran tentang Dukkha, menemukan akhir penderitaan. 
QuoteQuote from: Kainyn_Kutho on 08 December 2009, 10:01:23 AM
Apakah dengan demikian Bro Jerry mengatakan pengetahuan akan jalan kosong dan jalan petapa sejati yang mengantarkan orang pada pencapaian sejati? 
Apakah juga Bro Jerry memiliki pandangan bahwa Arahat tetap memegang suatu pandangan? 
Saya kurang menangkap kalimat 1. Utk kalimat ke-2, Arahat tidak memegang suatu pandangan, mereka hanya menggunakan pandangan tsb sesuai fungsinya dan melepasnya setelahnya. 
Mettacittena
Untuk yang ke dua, apakah berarti sewaktu Arahat, ia pun masih memiliki pandangan dan kemudian dilepas? 
Untuk yang pertama, Bro Jerry mengatakan ada jalan-jalan "kosong" dan jalan petapa sejati, yaitu yang memiliki JMB 8. Apakah kemudian pengetahuan tentang hal tersebut yang mengantarkan orang pada pencapaian sejati (i.e. Magga-phala)? 
Untuk kemungkinan salah, saya memberikan disclaimer demikian: 
Saya tidak belajar Buddhisme lewat guru atau institusi tertentu, hanya membaca sendiri Sutta-sutta yang ada dari berbagai sumber. Jadi apa pun yang saya katakan, jelas tidak bisa mewakili Ajaran Buddha, apalagi dikatakan sebagai "pasti benar". 
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 09 December 2009, 12:23:18 AM
Quote from: upasaka on 08 December 2009, 11:39:25 AM
[spoiler] Teman-teman... Maksud dari Bro Kainyn itu:
"Seseorang bisa saja penganut agama non-Buddha. Dia percaya pada ritual keselamatan, dia percaya bahwa ada Maha Brahma (Tuhan), dia percaya bahwa kelahiran hanya sekali; dan akan diadili di akhirat. Tetapi agama itu mengajarkan kebaikan juga. Agama itu mengajarkan supaya berderma, supaya banyak berbuat baik, supaya menguatkan iman dan menjaga hati. Seiring kedewasaan pemikirannya, orang ini mulai menyadari bahwa berbuat baik adalah bentuk cinta-kasih; tidak lagi karena paksaan agama. Lalu dia mulai menyadari bahwa hidup ini tidak kekal, tidak memuaskan dan mulai melihat tidak ada substansi inti. Dia mulai melihat bahwa sebenarnya tidak ada roh (jiwa) atau Maha Brahma (Tuhan Pencipta). Dia mulai mengembangkan iman, dan dia melihat bahwa yang lebih penting adalah menyelami gejolak pikiran; karena itulah titik terpenting dalam spiritual. Lalu dia mulai berangsur tidak melekat pada agamanya... Hingga suatu hari dia bertemu dengan Ajaran Sang Buddha. Dia melihat ada banyak kecocokan pola pandangnya (yang mulai dewasa) ini dengan Ajaran Sang Buddha. Dan suatu waktu ketika batinnya sudah matang, mungkin saja dia lebih mudah mencerap Ajaran Sang Buddha. Karena dia sendiri telah bergulat mencari Kebenaran, hingga akhirnya menemukan "peta kebenaran" yang sesungguhnya. Dan akhirnya dia bisa berkembang menjadi lebih bijaksana, atau bahkan menjadi orang Yang Tercerahkan meskipun tidak cocok untuk disebut sebagai umat Buddha".
Begitu yang saya tangkap dari pemikiran Bro Kainyn_Kutho. :)
Correct Me if I Wrong.
[/spoiler] 
Apakah dia nantinya bertemu dengan ajaran Buddha atau tidak, berarti ini sama saja artinya dia melepaskan pandangan lamanya terhadap agama tsb. Masihkah relevan mengatakan dia mencapai pemahaman demikian melalui doktrin agama tsb? Bagi saya sih tidak lagi relevan. Di sini perbedaan saya dengan Bro Kain. :)
Maksudnya begini...
Saya pikir kita pernah bertemu (atau mengenal) umat Buddha yang percaya pada Tuhan, percaya bahwa Nibbana adalah alam kebahagiaan abadi (surga), berdoa di depan patung Sang Buddha agar Sang Buddha mengabulkan doa kita, memohon agar Sang Buddha melindungi kita dari marabahaya, rutin mengikuti puja bakti di vihara dan ikut visuddhi (baptis ala Agama Buddha) supaya bisa terhindar dari kamma buruk, dsb. 
Kalau kita melihat orang itu, kita mungkin bisa menyatakan bahwa umat Buddha seperti itu sebagai umat Buddha yang berpandangan keliru alias "sesat". Karena kalau dilihat-lihat, pola pandangnya tidak mencerminkan sebagai umat dari Agama Buddha; justru pandangannya mirip dengan umat di agama lain. Tetapi bila kita katakan bahwa mereka berpandangan keliru, mereka pasti menolak. Mereka akan ngotot bahwa mereka adalah umat dari Agama Buddha. Dalam 
case ini, tentu kita paham bahwa adalah tidak cocok untuk menyebut umat Buddha seperti ini sebagai umat dari agama lain.
Demikian pula bila 
case ini terjadi di umat dari agama lain. Tidak menutup kemungkinan bahwa seorang umat dari agama lain mengalami transformasi pola pandang yang justru mengarah ke pandangan Agama Buddha. Mungkin saja sebelumnya dia tidak mengenal Agama Buddha. Tapi yang pasti, ada satu titik dalam hidupnya dimana dia melihat bahwa pemikirannya tidak sejalan 100% dengan agamanya. Dia hanya memegang keyakinan agamanya sebatas apa yang ia setujui sesuai perkembangan kebijaksanaannya. 
Hal yang sama dapat kita lihat pula pada kisah Sariputta. Sariputta belajar pada gurunya dahulu, yang notabene berarti Sariputta bukanlah pemeluk Agama Buddha. Namun seiring perkembangan kebijaksanaan Sariputta, beliau tidak bisa selaras 100% dengan ajaran gurunya. Beliau punya pemahaman yang lebih condong ke Ajaran Sang Buddha; meskipun Sariputta belum pernah mendengar Ajaran Sang Buddha apalagi bertemu dengan-Nya. Hingga suatu hari, Sariputta bertemu dengan Assaji Thera yang memberi sedikit wejangan versi Agama Buddha. Dengan wejangan singkat itu, Sariputta langsung mencapai tingkat Sotapanna. Ini sebenarnya menunjukkan bahwa seseorang yang belum mengenal Agama Buddha pun bisa merealisasi tingkat-tingkat kesucian.
Hanya perlu digarisbawahi, bahwa Sariputta mencapai buah Sotapatti setelah melihat Kebenaran; dan konteksnya dari wejangan Agama Buddha. Orang yang merealisasi tingkat kesucian ataupun Pembebasan, adalah orang yang merealisasi tujuan Agama Buddha.
Dari kesimpulan singkat ini, kita bisa menyatakan juga dengan tegas bahwa: "Orang yang merealisasi Pembebasan adalah orang yang merealisasi tujuan Agama Buddha, bukan agama lain. Dan karena orang itu merealisasi tujuan Agama Buddha, maka orang itu sebenarnya menjalankan ajaran dari Agama Buddha".
			
 
			
			
				singkat kata : ujung2nya kembali ke "label".....  :))
 [at] Kai : gitu aja kok susah.... cuma tinggal bilang aja : jgn melekat pada label "agama Buddha"  ;D
			
			
			
				Quote from: markosprawira on 09 December 2009, 11:29:26 AM
singkat kata : ujung2nya kembali ke "label".....  :))
 [at] Kai : gitu aja kok susah.... cuma tinggal bilang aja : jgn melekat pada label "agama Buddha"  ;D
Kalau saya bilang sih ga apa kita melabelkan, tetapi harus jelas saja jangan sampai orang yang belum kenal Agama Buddha salah paham karena pelabelan yang kurang tepat itu. 
Untuk tidak melekat pada label sih, saya rasa kita semua sudah setuju akan hal tersebut. :) 
			
 
			
			
				mgkn mst diliat tempatnya yah bro.... saat bicara dgn org yg awam dan non buddhism, tentunya yg dikedepankan adalah nilai2 buddhism, bukan label yg biasanya akan memicu "defensif" dari org yg mempunyai "label" yg berbeda
itu yg sering saya angkat bhw jgn pula seolah2 muncul asumsi bhw bisa mencapai pencerahan selain pelaksanaan/praktek jalan utama berunsur 8
memang bnyk yg mirip namun mari kita semua berusaha jadi lebih baik....
			
			
			
				Quote from: hendrako on 09 December 2009, 09:11:17 AM
Quote from: Jerry on 09 December 2009, 12:23:18 AM
Quote from: hendrako on 08 December 2009, 11:31:55 AM
[spoiler]Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?
Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.
Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.
Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............
[/spoiler]
Bro, sori nanya.. mirip atau dimirip2kan? ini harus diteliti lebih jauh sebelum disimpulkan. kalo abhinna ngga heran, ngga harus orang suci, seseorang dengan attaditthi pun bisa memiliki kesaktian. sekadar mengamati pikiran, dan meditasi tidak harus dalam posisi duduk, itu bukan barang eksklusif dlm Buddha-sasana. ajaran2 lain sebelum masa Sang Buddha pun telah mengenal misalnya posisi meditasi dlm jalan, atau bertindak dlm aktifitas sehari2, atau dlm posisi tidur. Agama Islam sendiri mengenal sholat dlm 3 posisi: berdiri, duduk dan berbaring. 
Apakah orang yg menjalankan yg di bold biru di atas tidak mungkin mencapai sotapanna karena tidak berlabel "agama Buddha" dan atau tidak menjalankan salah satu teknik atau metoda yg berlabel Buddha Theravada misalnya?
Apakah dikatakan sama, berbeda, atau mirip, antara teknik, metoda, dan definisi vipassana misalnya dari tradisi Mahasi Sayadaw, Goenka, Pa Auk Sayadaw, Ajahn Mun, dsb.?
Apakah berbeda atau sama definisi dari suci, kudus, fitrah, moksha, yang menurut saya merupakan tujuan dari agama yang berbeda ( agama yg dianggap resmi di Indonesia).
Kalau utk sekedar mengumpulkan modal pancabala, mungkin bisa melalui agama lain. Tapi tidak utk merealisasi sotapatti magga-phala. Utk realisasi sotapanna, dikatakan oleh Sang Buddha secara simple perlu 2 hal yaitu faktor eksternal: perkataan orang lain (kalyanamitta, guru atau Sang Buddha) dan faktor internal: yoniso manasikara, perhatian yang seksama - yaitu terhadap hal2 yg berkenaan dengan 4 Kebenaran Mulia, tidak perlu scr doktriniah selama org tsb merenungkan dan memerhatikan scr tepat dan akhirnya mengerti hakikat dukkha, maka ya! orang tsb bisa. Tetapi ini persentase kemungkinan yg sangat kecil, karena kembali lagi kalau kita melihat ke faktor eksternal yg men-trigger timbulnya realisasi bahwa segala sesuatu muncul karena ada penyebabnya dan demikian pula dengan lenyapnya, ini akan bertabrakan dengan akidah dasar agama lain. Selain tentunya seringkali tidak terang dan jelas sbgmn yg diajarkan Sang Buddha. Belum lagi usaha dari sbagian orang yg mencoba berkompromi dengan kebenaran dan menyama2kan hanya karena adanya persamaan bahasa. Bahasa, bisa saja berbeda tetapi memiliki makna yg sama dan sebaliknya bisa pula bisa saja sama tetapi makna yg dirujuk berbeda. Dengan memegang pehamaman ini, saya tidak akan berspekulasi dengan kemungkinan2 akan pencerahan di luar ajaran Buddha. Dan bagi saya jelas utk saat ini tidak ada orang yg dpt menunjukkan ajaran tertentu di luar ajaran Buddha yg memiliki tujuan yg sama luhurnya dng yg diajarkan Sang Buddha. 
Utk yg ke-2, secara general jika saya lihat, sepanjang masih berpusat pada seputar usaha memahami dan melihat anicca, dukkha, anatta maka itu vipassana dan di situ persamaannya. Sedangkan perbedaannya tentu ada pada metode yg dikembangkan berdasar pemahaman dan pengalaman yg berbeda, ada yg mengatakan di mana sensasi dirasakan di situ diperhatikan, ada yg mengatakan meski sensasi terasa di 1 tempat tetapi kita tidak boleh meninggalkan objek yg sedang kita perhatikan momen itu, ada yg mengatakan jhana tidak diperlukan, ada yg mengatakan jhana diperlukan, dan ada yg mengatakan pengalaman lebih nyata dari tipitaka. 
Utk ke-3, kata2 bisa saja beda tetapi sama dalam arti dan bisa juga beda dalam kata dan beda dalam arti. Tampaknya, utk yg di Indonesia, berbeda dalam kata dan berbeda dalam arti. Bahkan meskipun kata2nya sama.
Mettacittena
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 09 December 2009, 09:24:38 AM
Susah untuk dijelaskan. 
Begini saja, daripada kita beda definisi, saya ikut Bro Jerry saja. Menurut Bro Jerry, apa itu "Agama Buddha"? 
Doktrinnya adalah 4KM dan disiplinnya adalah JMB8. Metode pengembangan disiplinnya dapat dikategorikan dalam 3 agregat: sila, samadhi, panna. Tujuannya adalah mengembangkan jalan tengah untuk hidup yg seimbang dan bebas dari pertentangan, melenyapkan LDM, menghancurkan 10 belenggu, memutuskan "kehausan" dan "ketidaktahuan" sebagai penyebab dari penderitaan, dan merealisasi nibbana dalam 4 tahapan jalan&buah mulai dari jalan&buah sotapanna, sakadagami, anagami hingga arahat.
Quote
Satu lagi, janganlah pernah meminta bukti pencapaian-pencapaian. Sekarang walaupun kita berdua bertemu Arahat, saya yakin saya tidak bisa membuktikan pencapaiannnya kepada anda, dan juga sebaliknya. 
Saya tidak bermaksud menyerang Bro Kain dengan meminta bukti pencapaian, tetapi mungkin Bro Kain dapat berbagi satu atau beberapa bukti yang Bro Kain percayai atau yakini mengenai pencapaian magga&phala di luar Buddhism. Dengan Bro Kain men-share, maka kita dapat mengkaji lebih dalam. :)
Quote
Saya katakan hal tersebut karena awalnya Bro Jerry mengatakan pondasi yang sangat berbeda dari agama lain, misalnya perwahyuan. Apakah Taoisme memiliki perwahyuan? Mengenai diri dan objek "aku", silahkan research tentang Kabbala. 
Taoisme jelas tidak memiliki pewahyuan, tetapi utk menyamakan keseluruhan ajaran Taoisme dengan Buddhisme tentu bagi saya hal yg mustahil.
Kabbalah? Bagaimana kalau dishare entah pengetahuan Bro Kain ataupun link dan referensi mengenai Kabbalah yg terpercaya pada saya? Bisa langsung atau via PM, sehingga saya dapat memandang sedikit melalui perspektif Bro Kain. ;)
Karena begitu mencari, saya langsung mendapatkan hal yg sangat berbeda antara Buddhism dan Kabbalah, dan ini dikatakan secara langsung oleh yg memiliki otoritas cukup besar dalam Kabbalah.
Silakan klik di sini:
http://www.kabbalah.info/engkab/kabbalah-video-clips/can-a-kabbalist-also-be-a-buddhist (http://www.kabbalah.info/engkab/kabbalah-video-clips/can-a-kabbalist-also-be-a-buddhist)
Quote
Kemudian ada satu hal selalu terlupakan. Ketika saya bilang non-Buddhis, otomatis orang berpikir "agama lain". Mengapa tidak pernah terpikirkan tentang suatu kebijaksanaan yang tidak terikat agama? 
Karena secara umumnya demikian artinya. Jika memiliki pengertian khusus, tentu lebih baik utk ditambahkan dan diingatkan secara eksplisit agar tidak ada kerancuan memahami maksud lawan bicara. :)
Quote
Nah, ini dulu sebetulnya ingin saya singgung tetapi tidak sempat. Saya setuju setelah Upatissa merealisasi Sotapatti-phala, ia sudah bukan penganut "pandangan berbelit-belit". 
Masalahnya, pelepasan "berkutat pada pandangan lama" ini dilakukan kapan? Sebelum realisasi Sotapatti, atau hanya sesaat sebelum realisasi Sotapatti, atau kapan? 
Dari kasus Upatissa jelas cukup lama sebelum realisasi Sotapatti, ketika ia mulai jenuh dan berdua dengan Koliya mencari 'amata'. Dan mereka telah dalam kondisi kegelisahan spiritual yg dikenal dg samvega. Bisa dibilang saat itu beliau sudah beragama "agnostik" secara ktp saja (kalau sudah ada ktp masa itu). :P 
Jadi dalam pencariannya akan keadaan tanpa kematian, beliau dan koliya sudah siap melepaskan keyakinan terhadap ajaran 'ananavada' atau "agnostik"nya Sanjaya. Yang jelas tidak mungkin masih tetap berkutat pada pandangan lamanya, seseorang merealisasi Sotapatti magga&phala.
Quote
Saya menyimpulkan demikian karena Bro Jerry sebelumnya berkata tentang perbedaan basic yang sudah tidak bisa disatukan seperti perwahyuan, kekekalan, dan sebagainya. Jadi perbedaan kita di sini adalah, saya tidak menunjuk suatu ajaran/agama sebagai "basic" mutlak. Bagi saya, "basic" itu ada di mana pun selama orang menyadarinya, apakah dia Buddhis, Non-Buddhis, atau sekuler. Basic itu pula yang mengasah kesadaran dan kebijaksanaan seseorang, yang akan membuahkan suatu pencapaian jika kondisi mendukung (ia bertemu dengan ajaran yang mengakhiri Dukkha dan menjadi seorang Savaka Buddha, atau dia sendiri mengembangkan pandangan terang dan menjadi Samma Sambuddha atau Pacceka Buddha). 
Contohnya sudah disebutkan sebelumnya, Upatissa yang "basic"-nya pandangan berbelit-belit namun kesadaran dan kebijaksanaannya telah matang, bertemu dengan ajaran tentang Dukkha, menemukan akhir penderitaan. 
Lha.. pewahyuan, kekekalan yg bersifat doktriniah memang tdk bisa disatukan. Tetapi lain halnya dengan kualitas2 batin spt kebajikan, keyakinan, usaha, kesadaran, samadhi dan kebijaksanaan. Karena yg pertama adalah mutlak sifatnya sbg wujud bentuk agama tsb. Sedangkan yg ke-2 bersifat relatif karena tergantung pada personal. Kalau tidak ada "basic" mutlak dr agama, itu bisa repot Bro.. Nanti gimana kalau ada yg mengklaim dan mengatakan bahwa buddhis sebenarnya hinduis juga?
QuoteUntuk yang ke dua, apakah berarti sewaktu Arahat, ia pun masih memiliki pandangan dan kemudian dilepas? 
Tepatnya tidak melekati lagi, dan hanya memfungsikan saja. Makanya seorang Buddha, Sariputta, Moggallana, Maha-Kaccana yg telah arahat tetap bisa menjelaskan bagaimana pandangan yg benar thdp suatu fenomena. Dalam sutta 40 hal utama dikatakan oleh Sang Buddha 'demikianlah seorang sekha diberkati dengan 8 faktor, dan seorang arahat dengan 10.'
Quote
Untuk yang pertama, Bro Jerry mengatakan ada jalan-jalan "kosong" dan jalan petapa sejati, yaitu yang memiliki JMB 8. Apakah kemudian pengetahuan tentang hal tersebut yang mengantarkan orang pada pencapaian sejati (i.e. Magga-phala)? 
Pada beberapa orang iya, pada beberapa lainnya tidak. Pengetahuan benar sendiri merupakan faktor ke-9 dari 2 poin tambahan thdp JMB8.
Quote
Untuk kemungkinan salah, saya memberikan disclaimer demikian: 
Saya tidak belajar Buddhisme lewat guru atau institusi tertentu, hanya membaca sendiri Sutta-sutta yang ada dari berbagai sumber. Jadi apa pun yang saya katakan, jelas tidak bisa mewakili Ajaran Buddha, apalagi dikatakan sebagai "pasti benar". 
Demikian pula dengan saya, hampir tidak jauh berbeda dengan Bro Kain. Di sini saya yakin kita berdiskusi bukan mencari "siapa" benar dan "siapa" yang salah. Tetapi diskusi hendaknya dilakukan sebagaimana yg tertuang di sini (http://dhammacitta.org/tipitaka/an/an03/an03.067.than.html)
Oya, mungkin Cula-sihanada Sutta (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.011.ntbb.html) dapat memberi gambaran mengenai perspektif saya.
Mettacittena
_/\_
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 09 December 2009, 09:52:02 AM
Quote from: Jerry on 09 December 2009, 12:23:18 AM
Quote from: upasaka on 08 December 2009, 11:39:25 AM
[spoiler] Teman-teman... Maksud dari Bro Kainyn itu:
"Seseorang bisa saja penganut agama non-Buddha. Dia percaya pada ritual keselamatan, dia percaya bahwa ada Maha Brahma (Tuhan), dia percaya bahwa kelahiran hanya sekali; dan akan diadili di akhirat. Tetapi agama itu mengajarkan kebaikan juga. Agama itu mengajarkan supaya berderma, supaya banyak berbuat baik, supaya menguatkan iman dan menjaga hati. Seiring kedewasaan pemikirannya, orang ini mulai menyadari bahwa berbuat baik adalah bentuk cinta-kasih; tidak lagi karena paksaan agama. Lalu dia mulai menyadari bahwa hidup ini tidak kekal, tidak memuaskan dan mulai melihat tidak ada substansi inti. Dia mulai melihat bahwa sebenarnya tidak ada roh (jiwa) atau Maha Brahma (Tuhan Pencipta). Dia mulai mengembangkan iman, dan dia melihat bahwa yang lebih penting adalah menyelami gejolak pikiran; karena itulah titik terpenting dalam spiritual. Lalu dia mulai berangsur tidak melekat pada agamanya... Hingga suatu hari dia bertemu dengan Ajaran Sang Buddha. Dia melihat ada banyak kecocokan pola pandangnya (yang mulai dewasa) ini dengan Ajaran Sang Buddha. Dan suatu waktu ketika batinnya sudah matang, mungkin saja dia lebih mudah mencerap Ajaran Sang Buddha. Karena dia sendiri telah bergulat mencari Kebenaran, hingga akhirnya menemukan "peta kebenaran" yang sesungguhnya. Dan akhirnya dia bisa berkembang menjadi lebih bijaksana, atau bahkan menjadi orang Yang Tercerahkan meskipun tidak cocok untuk disebut sebagai umat Buddha".
Begitu yang saya tangkap dari pemikiran Bro Kainyn_Kutho. :)
Correct Me if I Wrong.
[/spoiler] 
Apakah dia nantinya bertemu dengan ajaran Buddha atau tidak, berarti ini sama saja artinya dia melepaskan pandangan lamanya terhadap agama tsb. Masihkah relevan mengatakan dia mencapai pemahaman demikian melalui doktrin agama tsb? Bagi saya sih tidak lagi relevan. Di sini perbedaan saya dengan Bro Kain. :)
[spoiler]Maksudnya begini...
Saya pikir kita pernah bertemu (atau mengenal) umat Buddha yang percaya pada Tuhan, percaya bahwa Nibbana adalah alam kebahagiaan abadi (surga), berdoa di depan patung Sang Buddha agar Sang Buddha mengabulkan doa kita, memohon agar Sang Buddha melindungi kita dari marabahaya, rutin mengikuti puja bakti di vihara dan ikut visuddhi (baptis ala Agama Buddha) supaya bisa terhindar dari kamma buruk, dsb. 
Kalau kita melihat orang itu, kita mungkin bisa menyatakan bahwa umat Buddha seperti itu sebagai umat Buddha yang berpandangan keliru alias "sesat". Karena kalau dilihat-lihat, pola pandangnya tidak mencerminkan sebagai umat dari Agama Buddha; justru pandangannya mirip dengan umat di agama lain. Tetapi bila kita katakan bahwa mereka berpandangan keliru, mereka pasti menolak. Mereka akan ngotot bahwa mereka adalah umat dari Agama Buddha. Dalam case ini, tentu kita paham bahwa adalah tidak cocok untuk menyebut umat Buddha seperti ini sebagai umat dari agama lain.
Demikian pula bila case ini terjadi di umat dari agama lain. Tidak menutup kemungkinan bahwa seorang umat dari agama lain mengalami transformasi pola pandang yang justru mengarah ke pandangan Agama Buddha. Mungkin saja sebelumnya dia tidak mengenal Agama Buddha. Tapi yang pasti, ada satu titik dalam hidupnya dimana dia melihat bahwa pemikirannya tidak sejalan 100% dengan agamanya. Dia hanya memegang keyakinan agamanya sebatas apa yang ia setujui sesuai perkembangan kebijaksanaannya. 
Hal yang sama dapat kita lihat pula pada kisah Sariputta. Sariputta belajar pada gurunya dahulu, yang notabene berarti Sariputta bukanlah pemeluk Agama Buddha. Namun seiring perkembangan kebijaksanaan Sariputta, beliau tidak bisa selaras 100% dengan ajaran gurunya. Beliau punya pemahaman yang lebih condong ke Ajaran Sang Buddha; meskipun Sariputta belum pernah mendengar Ajaran Sang Buddha apalagi bertemu dengan-Nya. Hingga suatu hari, Sariputta bertemu dengan Assaji Thera yang memberi sedikit wejangan versi Agama Buddha. Dengan wejangan singkat itu, Sariputta langsung mencapai tingkat Sotapanna. Ini sebenarnya menunjukkan bahwa seseorang yang belum mengenal Agama Buddha pun bisa merealisasi tingkat-tingkat kesucian.
Hanya perlu digarisbawahi, bahwa Sariputta mencapai buah Sotapatti setelah melihat Kebenaran; dan konteksnya dari wejangan Agama Buddha. Orang yang merealisasi tingkat kesucian ataupun Pembebasan, adalah orang yang merealisasi tujuan Agama Buddha.
Dari kesimpulan singkat ini, kita bisa menyatakan juga dengan tegas bahwa: "Orang yang merealisasi Pembebasan adalah orang yang merealisasi tujuan Agama Buddha, bukan agama lain. Dan karena orang itu merealisasi tujuan Agama Buddha, maka orang itu sebenarnya menjalankan ajaran dari Agama Buddha". [/spoiler]
Yup, saya ngerti maksud Opa. Sependapat koq.. Hanya saja maksud saya utk memperjelas perbedaan pemahaman saya dg Bro Kain. Misalnya saja: seorang nasrani yg telah melepaskan doktrin trinitas, keselamatan dlsb lalu merealisasi pemahaman yg sejalan dg Buddhisme, entah melalui pembelajaran dia thdp Buddhisme, atau pemahaman sendiri, maka tidak relevan lagi bila kita mengatakan si anu merealisasikan melalui kristianitas meskipun saat itu ktpnya masih beragama kr****n. Karena yg namanya kristianitas, sudah dilepaskan oleh dia terlebih dulu sblm melangkah maju ke depan. 
Ini sudah saya tuliskan kemarin utk Bro Hendrako dan tadi saya perjelas pd Bro Kain bahwa doktrin agama adalah hal yg bersifat mutlak sedangkan kualitas spt yg Opa contohkan adalah relatif, bahkan seseorang yg tdk beragama pun dapat mengembangkan kualitas2 demikian. Kualitas2 demikian tidak eksklusif ada dlm Buddhism, tetapi berbeda dengan doktrin, disiplin dan tujuan serta pencapaian tujuan.
Mettacittena
_/\_
			
 
			
			
				Quote from: hendrako on 09 December 2009, 09:11:17 AM
Quote from: Jerry on 09 December 2009, 12:23:18 AM
Quote from: hendrako on 08 December 2009, 11:31:55 AM
[spoiler]Apa definisi dari "ber-agama Buddha"?
Kalau belum ada kesepakatan dengan definisi di atas, maka diskusi bisa jadi cukup membingungkan dan salah paham.
Dari pengalaman saya berbincang dengan seseorang yang belajar dari seorang guru yang bukan berlabel agama Buddha, guru beliau mengajarkan hal yang sangat mirip dengan vipassana bhavana dan bahkan (katanya) guru beliau mempunyai kesaktian (abhinna). Kenalan saya ini mulanya tertarik disebabkan rumor kesaktian, namun ternyata gurunya memperingatkan untuk menghindari keinginan akan kesaktian namun bermeditasi untuk mengetahui kebenaran dengan memperhatikan/mengamati batin. Menurut cerita, sang guru mendapat tekanan dari pihak yg menganggap labelnya terganggu dan sempat ada kejadian yg mirip dengan pengadilan Yesus. Sang guru di laporkan ke petugas untuk ditangkap, namun setelah petugas menemui beliau, para petugas mengatakan bahwa tidak ada kesalahan atau pelanggaran hukum yg beliau lakukan.
Sayang, sang guru telah meninggal beberapa tahun yang lalu............
[/spoiler]
Bro, sori nanya.. mirip atau dimirip2kan? ini harus diteliti lebih jauh sebelum disimpulkan. kalo abhinna ngga heran, ngga harus orang suci, seseorang dengan attaditthi pun bisa memiliki kesaktian. sekadar mengamati pikiran, dan meditasi tidak harus dalam posisi duduk, itu bukan barang eksklusif dlm Buddha-sasana. ajaran2 lain sebelum masa Sang Buddha pun telah mengenal misalnya posisi meditasi dlm jalan, atau bertindak dlm aktifitas sehari2, atau dlm posisi tidur. Agama Islam sendiri mengenal sholat dlm 3 posisi: berdiri, duduk dan berbaring. 
Apakah orang yg menjalankan yg di bold biru di atas tidak mungkin mencapai sotapanna karena tidak berlabel "agama Buddha" dan atau tidak menjalankan salah satu teknik atau metoda yg berlabel Buddha Theravada misalnya?
Apakah dikatakan sama, berbeda, atau mirip, antara teknik, metoda, dan definisi vipassana misalnya dari tradisi Mahasi Sayadaw, Goenka, Pa Auk Sayadaw, Ajahn Mun, dsb.?
Apakah berbeda atau sama definisi dari suci, kudus, fitrah, moksha, yang menurut saya merupakan tujuan dari agama yang berbeda ( agama yg dianggap resmi di Indonesia).
Saudara Hendrako yang baik, Inilah sebabnya saya menanyakan bagaimana bentuk meditasinya?
Meditasi Vipassana bhavana maupun Samatha bhavana bisa dilakukan dalam posisi berdiri, duduk, berbaring maupun berjalan, sedang mandi, sedang makan maupun dalam kegiatan lain sehari-hari.
Demikian juga dengan objek perhatian keluar masuk napas, objek perhatian keluar masuk napas bisa dipakai untuk Samatha maupun Vipassana.
Karena perbedaan Samatha dan Vipassana terletak pada bagaimana cara kita melakukan perhatian terhadap batin dan jasmani.
Maka tercapai atau tidaknya kesucian tergantung pada bagaimana caranya memperhatikan batin dan jasmani. 
Dan tercapai atau tidaknya Sotapanna tergantung sejauh mana meditator tersebut mampu menyelami tilakkhana.
 _/\_
			
 
			
			
				btw apa topicnya nga larii.  ;D
maaf kalo salahhh
 _/\_
			
			
			
				Quote from: Indra on 29 November 2009, 11:03:02 AM
Quote from: Peacemind on 29 November 2009, 10:21:38 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 28 November 2009, 02:34:29 PM
Quote from: Indra on 28 November 2009, 11:41:23 AM
Quote from: fabian c on 28 November 2009, 11:29:29 AM
Iya nih,
Oom Indra sudah mengingatkan kita, jadi bila seorang sotapanna tak mungkin berpindah agama, apa penyebabnya dong?
 _/\_
pindah agama sih boleh2 aja, tapi keyakinannya yang gak mungkin ganti, misalnya seorang sotapanna mau ikut pilpres, spy peluangnya lebih mudah, silahkan ganti di KTP jadi i***m, tapi tetap berkeyakinan dan berlindung pada Tiratana
Atau misalnya di suatu saat semua merk "Agama Buddha" sudah korup, maka tidaklah heran kalo seorang Ariya pindah agama. Mereka tidak akan berpaling dari pandangan benar, tetapi pindah agama sih sepertinya mungkin-mungkin saja. 
Quote from: bond on 28 November 2009, 11:56:50 AM
Ganti keyakinan akh ke Lu Sheng Yen... :))
Ga IKT/MLDD aja? Lagi berkembang lho! :) 
For Indra: Ketika seseorang pindah agama, di sana ada dampak psikologis tertentu.  Untuk benar2 dikatakan pindah agama, seseorang harus menerima kebenaran ajaran agama tersebut. Seorang Sotapanna telah memiliki keyakinan yang tak tergoncangkan terhadap BUddha, Dhamma dan Sangha. Mungkinkah seseorang yang memiliki kwaltas batin demikian akan pindah agama? Mungkin beberapa orang akan mengatakan ya dan pindahnya seorang sotapanna ke agama lain hanya karena mengikuti arus masyarakat, bukan karena ia yakin terhadap agama baru yang dianutnya.. Jika demikian halnya, apakah seorang sotapanna sedang tidak membohongi dirinya dan masyarakat? Ingat bahwa seorang sotapanna dikatakan memiliki unbroken morality. Ia tidak akan berbohong lagi.. Namun, dalam hal ini, jika seorang sotapanna pindah agama, tampaknya ia membohongi masyarakat.. :D
For Kainyin: Kalu seorang sotapanna pindah agama gara2 agama Buddhanya udah korup, bukannya ia sama halnya keluar dari mulut harimau dan masuk ke mulut buaya, kecuali kalau agama yang baru dianutnya memang benar2 seperfect keyakinan yng dianut sebelumnya... hehehe. :D
Be happy.
Bagaimana seandainya jika ada cerita sbb:
Seseorang sotapanna, karena berbagai kombinasi kamma, terlahir kembali dalam suatu komunitas yg tidak ada agama buddha, misalnya terlahir dalam keluarga raja arab, atau terlahir di vatikan. atau terlahir kembali pada masa gelap, di mana buddhism sudah tidak exist lagi. sejak lahir di didik dalam agama lain. apakah lantas dia tetap ngotot beragama buddha?
Seorang Sotapana harusnya tidak akan melanggar 5 sila lagi walaupun untuk kehidupan2 berikutnya, andaikan lahir jadi manusia di keluarga non Buddhis pun, 
harusnya keluarga itu pasti mempunyai Moral yang baik sekali (tidak melanggar 5 sila), sehingga tidak menyebabkan terlahir lagi di alam Apaya.
Jadi jangan ragu2 untuk mencapai Sotapana, MAJU TERUS !
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: gachapin on 29 November 2009, 09:53:57 PM
kalo di vinaya, mengakui pencapaian yang tidak benar itu parajika, otomatis keluar dari sangha, bagaikan manusia yang terpotong lehernya... :whistle:
parajika => neraka Avici menunggu !
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 09 December 2009, 08:53:31 PM
Doktrinnya adalah 4KM dan disiplinnya adalah JMB8. Metode pengembangan disiplinnya dapat dikategorikan dalam 3 agregat: sila, samadhi, panna. Tujuannya adalah mengembangkan jalan tengah untuk hidup yg seimbang dan bebas dari pertentangan, melenyapkan LDM, menghancurkan 10 belenggu, memutuskan "kehausan" dan "ketidaktahuan" sebagai penyebab dari penderitaan, dan merealisasi nibbana dalam 4 tahapan jalan&buah mulai dari jalan&buah sotapanna, sakadagami, anagami hingga arahat.
OK, dari sini saya punya pertanyaan. 
Sewaktu Buddha bilang umur dhamma akan habis setelah 500 tahun (karena berdirinya Sangha Bhikkhuni), menurut Bro, apa maksudnya? 
QuoteSaya tidak bermaksud menyerang Bro Kain dengan meminta bukti pencapaian, tetapi mungkin Bro Kain dapat berbagi satu atau beberapa bukti yang Bro Kain percayai atau yakini mengenai pencapaian magga&phala di luar Buddhism. Dengan Bro Kain men-share, maka kita dapat mengkaji lebih dalam. :)
Ya, saya juga tidak merasa diserang kok. :) Maksud saya, baik dengan orang yang bekepercayaan sama atau pun berbeda, jangan meminta bukti yang tidak bisa dibuktikan dan jangan terseret pula untuk mencoba memberikan bukti yang tidak bisa dibuktikan seperti: "Tuhan (tidak) ada", "keselamatan lewat agama X", "kesucian seseorang". 
QuoteTaoisme jelas tidak memiliki pewahyuan, tetapi utk menyamakan keseluruhan ajaran Taoisme dengan Buddhisme tentu bagi saya hal yg mustahil.
Kabbalah? Bagaimana kalau dishare entah pengetahuan Bro Kain ataupun link dan referensi mengenai Kabbalah yg terpercaya pada saya? Bisa langsung atau via PM, sehingga saya dapat memandang sedikit melalui perspektif Bro Kain. ;)
Karena begitu mencari, saya langsung mendapatkan hal yg sangat berbeda antara Buddhism dan Kabbalah, dan ini dikatakan secara langsung oleh yg memiliki otoritas cukup besar dalam Kabbalah.
Silakan klik di sini:
http://www.kabbalah.info/engkab/kabbalah-video-clips/can-a-kabbalist-also-be-a-buddhist (http://www.kabbalah.info/engkab/kabbalah-video-clips/can-a-kabbalist-also-be-a-buddhist)
Saya menyinggung Taoisme dan Kabbalah bukan menyamakan mereka dengan Buddhisme secara total, namun saya menunjukkan bahwa ada pola pikir yang mirip seperti Taoisme pun bukan suatu ajaran monotheistik dan salah satu prinsipnya, "德", adalah untuk menurunkan ego/aku, dan prinsip lainnya adalah kewajaran yang menghindari semua ekstrem. 
Kabbalah dalam beberapa tradisi, memiliki meditasi pengembangan kesadaran yang berbeda dengan konsentrasi, kalau tidak salah dieja 
Hizbonenut. Meditasi ini juga melihat diri dari aspek berbeda dari pandangan pada umumnya.  
Kalau dilihat, mereka di "luar sana" yang menjalankan ajaran-ajaran ini, tidak susah untuk menerima pola pikir Buddhisme, bukan? 
QuoteKarena secara umumnya demikian artinya. Jika memiliki pengertian khusus, tentu lebih baik utk ditambahkan dan diingatkan secara eksplisit agar tidak ada kerancuan memahami maksud lawan bicara. :)
Di kalangan orang religius, demikianlah artinya secara umum; sedangkan saya berasal dari kalangan non-religius, jadi beda kebiasaan. Tapi terima kasih sarannya, akan saya ingat. 
QuoteDari kasus Upatissa jelas cukup lama sebelum realisasi Sotapatti, ketika ia mulai jenuh dan berdua dengan Koliya mencari 'amata'. Dan mereka telah dalam kondisi kegelisahan spiritual yg dikenal dg samvega. Bisa dibilang saat itu beliau sudah beragama "agnostik" secara ktp saja (kalau sudah ada ktp masa itu). :P 
Jadi dalam pencariannya akan keadaan tanpa kematian, beliau dan koliya sudah siap melepaskan keyakinan terhadap ajaran 'ananavada' atau "agnostik"nya Sanjaya. Yang jelas tidak mungkin masih tetap berkutat pada pandangan lamanya, seseorang merealisasi Sotapatti magga&phala.
Bagaimana dengan "agnostik"? Apakah itu merupakan kategori pandangan benar atau masih pandangan salah?
QuoteLha.. pewahyuan, kekekalan yg bersifat doktriniah memang tdk bisa disatukan. Tetapi lain halnya dengan kualitas2 batin spt kebajikan, keyakinan, usaha, kesadaran, samadhi dan kebijaksanaan. Karena yg pertama adalah mutlak sifatnya sbg wujud bentuk agama tsb. Sedangkan yg ke-2 bersifat relatif karena tergantung pada personal. Kalau tidak ada "basic" mutlak dr agama, itu bisa repot Bro.. Nanti gimana kalau ada yg mengklaim dan mengatakan bahwa buddhis sebenarnya hinduis juga?
OK, sekarang ada basic mutlak yang berbeda dari tiap agama. Saya setuju. Menurut Bro Jerry, mangapa, dua orang yang berbeda agama, anggap saja Is1am, dan orang lain beragama Krist3n, namun bisa memiliki sebuah kualitas bathin yang sama, misalnya, cinta kasih, pengampunan, kebajikan, dll? 
QuoteTepatnya tidak melekati lagi, dan hanya memfungsikan saja. Makanya seorang Buddha, Sariputta, Moggallana, Maha-Kaccana yg telah arahat tetap bisa menjelaskan bagaimana pandangan yg benar thdp suatu fenomena. Dalam sutta 40 hal utama dikatakan oleh Sang Buddha 'demikianlah seorang sekha diberkati dengan 8 faktor, dan seorang arahat dengan 10.'
Sebelumnya Bro Jerry mengatakan hal ini:
QuoteDan oh ya, dalam sutta juga dikatakan bahkan seorang yg dikatakan sekha dalam artian hingga tingkatan anagami magga&phala pun masih berkeyakinan bahwa "Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah kosong dan bukan petapa yang sejati."
Apakah ini berarti para Arahat (selain Buddha), yang telah melalui, melepas, dan memfungsikan satu jalan, mengetahui dengan pasti jalan-jalan mana yang mengantarkan orang pada pencerahan dan mana yang tidak, baik yang telah diketahui, maupun yang belum pernah diketahui? 
QuotePada beberapa orang iya, pada beberapa lainnya tidak. Pengetahuan benar sendiri merupakan faktor ke-9 dari 2 poin tambahan thdp JMB8.
Ini saya sepaham, jadi tidak dilanjutkan. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 10 December 2009, 09:44:26 AM
OK, dari sini saya punya pertanyaan. 
Sewaktu Buddha bilang umur dhamma akan habis setelah 500 tahun (karena berdirinya Sangha Bhikkhuni), menurut Bro, apa maksudnya? 
Wah.. Apa demikian kata Sang Buddha? Ada referensinya?
Oya, kemarin lupa nambahin soal definisi "agama Buddha", adanya sosok Buddha sbg founder, Dhamma sbg ajarannya dan Sangha sbg organisasi mereka yg serius dalam menjalani dhamma ajaran Sang Buddha. Tiga serangkai inilah yg dijadikan acuan dan panutan dalam "agama Buddha". Demikian definisi agama Buddha menurut saya. :)
QuoteYa, saya juga tidak merasa diserang kok. :) Maksud saya, baik dengan orang yang bekepercayaan sama atau pun berbeda, jangan meminta bukti yang tidak bisa dibuktikan dan jangan terseret pula untuk mencoba memberikan bukti yang tidak bisa dibuktikan seperti: "Tuhan (tidak) ada", "keselamatan lewat agama X", "kesucian seseorang". 
Mengingat tulisan Bro terdahulu:
QuoteBagi saya, pencapaian magga-phala adalah kesesuaian kematangan spiritual seseorang, bukan karena agama atau landasan akidah. 
Apakah tanpa bukti yang bisa dibuktikan, berarti mengindikasikan pandangan Bro Kain ttg kemungkinan adanya magga&phala di luar ajaran Buddha adalah berdasarkan keyakinan semata? 
QuoteSaya menyinggung Taoisme dan Kabbalah bukan menyamakan mereka dengan Buddhisme secara total, namun saya menunjukkan bahwa ada pola pikir yang mirip seperti Taoisme pun bukan suatu ajaran monotheistik dan salah satu prinsipnya, "德", adalah untuk menurunkan ego/aku, dan prinsip lainnya adalah kewajaran yang menghindari semua ekstrem. 
Kabbalah dalam beberapa tradisi, memiliki meditasi pengembangan kesadaran yang berbeda dengan konsentrasi, kalau tidak salah dieja Hizbonenut. Meditasi ini juga melihat diri dari aspek berbeda dari pandangan pada umumnya.  
Kalau dilihat, mereka di "luar sana" yang menjalankan ajaran-ajaran ini, tidak susah untuk menerima pola pikir Buddhisme, bukan? 
Memang, adanya beberapa persamaan adl tak terelakkan. Sama halnya dengan vipassananya Kaum Jain, atau Jhana yg sudah ada sejak masa pre-buddhism. Tapi tidak berarti boleh dikatakan sama tujuannya. Spt di link yg saya berikan, Rav Laitman sendiri menolak kabbalist=buddhist. Kata2 boleh saja sama, tetapi tidak demikian dengan pengertiannya. Karena sementara kata2 timbul karena konsepsi pikiran, pengertian timbul berdasarkan persepsi. Dan yg namanya manusia, persepsinya adalah berbeda-beda. Dan kata Sang Buddha adl manusia merupakan makhluk yg beda dalam bentuk dan persepsinya. Jadi agama Buddha yg kita pelajari ini adl berdasarkan persepsi dari Sang Buddha dan siswa/i-nya yg telah merealisasi tujuan tertinggi itu. Bukan dari orang di luar agama Buddha yg belum jelas sama tidaknya persepsi yg mereka miliki.
Quote
Bagaimana dengan "agnostik"? Apakah itu merupakan kategori pandangan benar atau masih pandangan salah? 
Agnostik kan pahamnya Sanjaya Belatthiputta. Dan karena Sanjaya dikategorikan petapa berpandangan salah, maka Agnostik = ?
Quote from: Kainyn_Kutho
QuoteLha.. pewahyuan, kekekalan yg bersifat doktriniah memang tdk bisa disatukan. Tetapi lain halnya dengan kualitas2 batin spt kebajikan, keyakinan, usaha, kesadaran, samadhi dan kebijaksanaan. Karena yg pertama adalah mutlak sifatnya sbg wujud bentuk agama tsb. Sedangkan yg ke-2 bersifat relatif karena tergantung pada personal. Kalau tidak ada "basic" mutlak dr agama, itu bisa repot Bro.. Nanti gimana kalau ada yg mengklaim dan mengatakan bahwa buddhis sebenarnya hinduis juga? 
OK, sekarang ada basic mutlak yang berbeda dari tiap agama. Saya setuju. Menurut Bro Jerry, mangapa, dua orang yang berbeda agama, anggap saja Is1am, dan orang lain beragama Krist3n, namun bisa memiliki sebuah kualitas bathin yang sama, misalnya, cinta kasih, pengampunan, kebajikan, dll? 
Kembali lagi ke yg di bold underline warna biru sebelumnya. Berbeda dalam bahasa, budaya, tempat tinggal dlsb pun manusia masih sama2 berbagi 1 kesamaan, pancakkhandha. Demikian dengan pancakkhandha ini manusia menjalani hidup dan menarik pengertian ttg beragam hal dlm hidup melalui 3: pandangan, persepsi dan konsepsi. Jadi tidak aneh jika ada bbrp yg sama dalam hal pandangan, persepsi dan konsepsinya. Tapi kalau diteliti lagi, cinta kasihnya 2 orang berbeda agama di atas pun belum tentu sama. Lain halnya jika dibilang memiliki bbrp kesamaan, dg implikasi adanya juga bbrp perbedaan.
Quote
Apakah ini berarti para Arahat (selain Buddha), yang telah melalui, melepas, dan memfungsikan satu jalan, mengetahui dengan pasti jalan-jalan mana yang mengantarkan orang pada pencerahan dan mana yang tidak, baik yang telah diketahui, maupun yang belum pernah diketahui? 
Tidak selalu, sebagaimana dalam sutta susima yg pernah Bro Kain kutipkan di thread lain. Demikian pula dalam sutta mengenai pohon teka-teki. Beberapa mungkin mengetahui lebih banyak mengenai jalan, spt Agga-savaka Y.A Sariputta. Tetapi jelas yg mengetahui secara sempurna mengenai semua jalan adalah Sang Buddha. Makanya beliau diatributkan dengan "Yang sempurna menempuh jalan."
Mettacittena
_/\_
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 10 December 2009, 09:44:26 AM
Quote from: Jerry on 09 December 2009, 08:53:31 PM
Doktrinnya adalah 4KM dan disiplinnya adalah JMB8. Metode pengembangan disiplinnya dapat dikategorikan dalam 3 agregat: sila, samadhi, panna. Tujuannya adalah mengembangkan jalan tengah untuk hidup yg seimbang dan bebas dari pertentangan, melenyapkan LDM, menghancurkan 10 belenggu, memutuskan "kehausan" dan "ketidaktahuan" sebagai penyebab dari penderitaan, dan merealisasi nibbana dalam 4 tahapan jalan&buah mulai dari jalan&buah sotapanna, sakadagami, anagami hingga arahat.
OK, dari sini saya punya pertanyaan. 
Sewaktu Buddha bilang umur dhamma akan habis setelah 500 tahun (karena berdirinya Sangha Bhikkhuni), menurut Bro, apa maksudnya? 
QuoteSaya tidak bermaksud menyerang Bro Kain dengan meminta bukti pencapaian, tetapi mungkin Bro Kain dapat berbagi satu atau beberapa bukti yang Bro Kain percayai atau yakini mengenai pencapaian magga&phala di luar Buddhism. Dengan Bro Kain men-share, maka kita dapat mengkaji lebih dalam. :)
Ya, saya juga tidak merasa diserang kok. :) Maksud saya, baik dengan orang yang bekepercayaan sama atau pun berbeda, jangan meminta bukti yang tidak bisa dibuktikan dan jangan terseret pula untuk mencoba memberikan bukti yang tidak bisa dibuktikan seperti: "Tuhan (tidak) ada", "keselamatan lewat agama X", "kesucian seseorang". 
QuoteTaoisme jelas tidak memiliki pewahyuan, tetapi utk menyamakan keseluruhan ajaran Taoisme dengan Buddhisme tentu bagi saya hal yg mustahil.
Kabbalah? Bagaimana kalau dishare entah pengetahuan Bro Kain ataupun link dan referensi mengenai Kabbalah yg terpercaya pada saya? Bisa langsung atau via PM, sehingga saya dapat memandang sedikit melalui perspektif Bro Kain. ;)
Karena begitu mencari, saya langsung mendapatkan hal yg sangat berbeda antara Buddhism dan Kabbalah, dan ini dikatakan secara langsung oleh yg memiliki otoritas cukup besar dalam Kabbalah.
Silakan klik di sini:
http://www.kabbalah.info/engkab/kabbalah-video-clips/can-a-kabbalist-also-be-a-buddhist (http://www.kabbalah.info/engkab/kabbalah-video-clips/can-a-kabbalist-also-be-a-buddhist)
Saya menyinggung Taoisme dan Kabbalah bukan menyamakan mereka dengan Buddhisme secara total, namun saya menunjukkan bahwa ada pola pikir yang mirip seperti Taoisme pun bukan suatu ajaran monotheistik dan salah satu prinsipnya, "德", adalah untuk menurunkan ego/aku, dan prinsip lainnya adalah kewajaran yang menghindari semua ekstrem. 
Kabbalah dalam beberapa tradisi, memiliki meditasi pengembangan kesadaran yang berbeda dengan konsentrasi, kalau tidak salah dieja Hizbonenut. Meditasi ini juga melihat diri dari aspek berbeda dari pandangan pada umumnya.  
Kalau dilihat, mereka di "luar sana" yang menjalankan ajaran-ajaran ini, tidak susah untuk menerima pola pikir Buddhisme, bukan? 
QuoteKarena secara umumnya demikian artinya. Jika memiliki pengertian khusus, tentu lebih baik utk ditambahkan dan diingatkan secara eksplisit agar tidak ada kerancuan memahami maksud lawan bicara. :)
Di kalangan orang religius, demikianlah artinya secara umum; sedangkan saya berasal dari kalangan non-religius, jadi beda kebiasaan. Tapi terima kasih sarannya, akan saya ingat. 
QuoteDari kasus Upatissa jelas cukup lama sebelum realisasi Sotapatti, ketika ia mulai jenuh dan berdua dengan Koliya mencari 'amata'. Dan mereka telah dalam kondisi kegelisahan spiritual yg dikenal dg samvega. Bisa dibilang saat itu beliau sudah beragama "agnostik" secara ktp saja (kalau sudah ada ktp masa itu). :P 
Jadi dalam pencariannya akan keadaan tanpa kematian, beliau dan koliya sudah siap melepaskan keyakinan terhadap ajaran 'ananavada' atau "agnostik"nya Sanjaya. Yang jelas tidak mungkin masih tetap berkutat pada pandangan lamanya, seseorang merealisasi Sotapatti magga&phala.
Bagaimana dengan "agnostik"? Apakah itu merupakan kategori pandangan benar atau masih pandangan salah?
QuoteLha.. pewahyuan, kekekalan yg bersifat doktriniah memang tdk bisa disatukan. Tetapi lain halnya dengan kualitas2 batin spt kebajikan, keyakinan, usaha, kesadaran, samadhi dan kebijaksanaan. Karena yg pertama adalah mutlak sifatnya sbg wujud bentuk agama tsb. Sedangkan yg ke-2 bersifat relatif karena tergantung pada personal. Kalau tidak ada "basic" mutlak dr agama, itu bisa repot Bro.. Nanti gimana kalau ada yg mengklaim dan mengatakan bahwa buddhis sebenarnya hinduis juga?
OK, sekarang ada basic mutlak yang berbeda dari tiap agama. Saya setuju. Menurut Bro Jerry, mangapa, dua orang yang berbeda agama, anggap saja Is1am, dan orang lain beragama Krist3n, namun bisa memiliki sebuah kualitas bathin yang sama, misalnya, cinta kasih, pengampunan, kebajikan, dll? 
QuoteTepatnya tidak melekati lagi, dan hanya memfungsikan saja. Makanya seorang Buddha, Sariputta, Moggallana, Maha-Kaccana yg telah arahat tetap bisa menjelaskan bagaimana pandangan yg benar thdp suatu fenomena. Dalam sutta 40 hal utama dikatakan oleh Sang Buddha 'demikianlah seorang sekha diberkati dengan 8 faktor, dan seorang arahat dengan 10.'
Sebelumnya Bro Jerry mengatakan hal ini:
QuoteDan oh ya, dalam sutta juga dikatakan bahkan seorang yg dikatakan sekha dalam artian hingga tingkatan anagami magga&phala pun masih berkeyakinan bahwa "Ajaran guru-guru lainnya yang tidak memiliki Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah kosong dan bukan petapa yang sejati."
Apakah ini berarti para Arahat (selain Buddha), yang telah melalui, melepas, dan memfungsikan satu jalan, mengetahui dengan pasti jalan-jalan mana yang mengantarkan orang pada pencerahan dan mana yang tidak, baik yang telah diketahui, maupun yang belum pernah diketahui? 
QuotePada beberapa orang iya, pada beberapa lainnya tidak. Pengetahuan benar sendiri merupakan faktor ke-9 dari 2 poin tambahan thdp JMB8.
Ini saya sepaham, jadi tidak dilanjutkan. 
begini ajah, ga usah susah2 liat umatnya, menurut bro kainyn Om Yes ama M itu sudah mencapai kesucian sampai tingkat berapa menurut Buddhist?
			
 
			
			
				tingkat kesucian ke-5.....sosakagamiata [ penggabungan 1,2,3,4 ] ;D
			
			
			
				Quote from: Jerry on 11 December 2009, 12:12:22 AM
Wah.. Apa demikian kata Sang Buddha? Ada referensinya?
Oya, kemarin lupa nambahin soal definisi "agama Buddha", adanya sosok Buddha sbg founder, Dhamma sbg ajarannya dan Sangha sbg organisasi mereka yg serius dalam menjalani dhamma ajaran Sang Buddha. Tiga serangkai inilah yg dijadikan acuan dan panutan dalam "agama Buddha". Demikian definisi agama Buddha menurut saya. :)
Ketika Buddha menerima penahbisan Sangha Bhikkhuni, Buddha berkata pada Ananda seandainya Sangha Bhikkhuni tidak ditahbiskan, maka umur ajaran murni akan bertahan 1000 tahun; namun karena Sangha Bhikkhuni ditahbiskan, maka umur ajaran murni hanya mencapai 500 tahun saja. 
"Sace, ānanda, nālabhissa mātugāmo tathāgatappavedite dhammavinaye agārasmā anagāriyaṃ pabbajjaṃ, ciraṭṭhitikaṃ, ānanda, brahmacariyaṃ abhavissa, vassasahassameva saddhammo tiṭṭheyya. Yato ca kho, ānanda, mātugāmo tathāgatappavedite dhammavinaye agārasmā anagāriyaṃ pabbajito, na dāni, ānanda, brahmacariyaṃ ciraṭṭhitikaṃ bhavissati. Pañceva dāni, ānanda, vassasatāni saddhammo ṭhassati..." QuoteMengingat tulisan Bro terdahulu:
QuoteBagi saya, pencapaian magga-phala adalah kesesuaian kematangan spiritual seseorang, bukan karena agama atau landasan akidah. 
Apakah tanpa bukti yang bisa dibuktikan, berarti mengindikasikan pandangan Bro Kain ttg kemungkinan adanya magga&phala di luar ajaran Buddha adalah berdasarkan keyakinan semata? 
Betul. Dan apa sebabnya saya meyakini hal tersebut adalah yang sedang kita bahas sekarang. 
QuoteMemang, adanya beberapa persamaan adl tak terelakkan. Sama halnya dengan vipassananya Kaum Jain, atau Jhana yg sudah ada sejak masa pre-buddhism. Tapi tidak berarti boleh dikatakan sama tujuannya. Spt di link yg saya berikan, Rav Laitman sendiri menolak kabbalist=buddhist. Kata2 boleh saja sama, tetapi tidak demikian dengan pengertiannya. Karena sementara kata2 timbul karena konsepsi pikiran, pengertian timbul berdasarkan persepsi. Dan yg namanya manusia, persepsinya adalah berbeda-beda. Dan kata Sang Buddha adl manusia merupakan makhluk yg beda dalam bentuk dan persepsinya. Jadi agama Buddha yg kita pelajari ini adl berdasarkan persepsi dari Sang Buddha dan siswa/i-nya yg telah merealisasi tujuan tertinggi itu. Bukan dari orang di luar agama Buddha yg belum jelas sama tidaknya persepsi yg mereka miliki.
Sekali lagi, saya pun tidak menyamakan Buddhisme dengan ajaran lain, apa pun itu. Yang saya katakan adalah "penempaan" bathin ke arah lebih baik, yang mendukung pengertian akan Buddha-dhamma, bisa didapat pula dari ajaran lain. 
QuoteAgnostik kan pahamnya Sanjaya Belatthiputta. Dan karena Sanjaya dikategorikan petapa berpandangan salah, maka Agnostik = ?
Sepertinya saya salah baca kemarin. Maksud saya adalah ketika Upatissa berpandangan "siap menerima pandangan baru" apakah pandangan tersebut menurut Buddhisme adalah sudah pandangan benar, atau masih pandangan salah? 
QuoteKembali lagi ke yg di bold underline warna biru sebelumnya. Berbeda dalam bahasa, budaya, tempat tinggal dlsb pun manusia masih sama2 berbagi 1 kesamaan, pancakkhandha. Demikian dengan pancakkhandha ini manusia menjalani hidup dan menarik pengertian ttg beragam hal dlm hidup melalui 3: pandangan, persepsi dan konsepsi. Jadi tidak aneh jika ada bbrp yg sama dalam hal pandangan, persepsi dan konsepsinya. Tapi kalau diteliti lagi, cinta kasihnya 2 orang berbeda agama di atas pun belum tentu sama. Lain halnya jika dibilang memiliki bbrp kesamaan, dg implikasi adanya juga bbrp perbedaan.
OK, semakin mendekati. Saya lanjutkan. 
Jika seseorang membahas sesuatu yang umum, misalnya kasih, lapar, rasa suka, dll, bisakah digolongkan sebagai agama? Mengapa bisa dan mengapa tidak bisa? 
QuoteQuote
Apakah ini berarti para Arahat (selain Buddha), yang telah melalui, melepas, dan memfungsikan satu jalan, mengetahui dengan pasti jalan-jalan mana yang mengantarkan orang pada pencerahan dan mana yang tidak, baik yang telah diketahui, maupun yang belum pernah diketahui? 
Tidak selalu, sebagaimana dalam sutta susima yg pernah Bro Kain kutipkan di thread lain. Demikian pula dalam sutta mengenai pohon teka-teki. Beberapa mungkin mengetahui lebih banyak mengenai jalan, spt Agga-savaka Y.A Sariputta. Tetapi jelas yg mengetahui secara sempurna mengenai semua jalan adalah Sang Buddha. Makanya beliau diatributkan dengan "Yang sempurna menempuh jalan."
Baik, ini kita sejalan. Sekarang hanya masalah opini saja. 
Jika seorang Arahat Agga-savaka Sariputta saja tidak tahu dengan pasti apa yang "jalan dan bukan jalan" dan harus konfirmasi terlebih dahulu kepada Buddha, apakah bisa dibilang Arahat lain dapat mengetahui dan mengatakan "ini jalan, ini bukan jalan"? 
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 11 December 2009, 07:14:53 AM
begini ajah, ga usah susah2 liat umatnya, menurut bro kainyn Om Yes ama M itu sudah mencapai kesucian sampai tingkat berapa menurut Buddhist?
Kalau menurut saya pribadi, mereka adalah Puthujjana. 
			
 
			
			
				tingkat 3.2 -> POLIGAMI
			
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 11 December 2009, 09:01:23 AM
Quote from: ryu on 11 December 2009, 07:14:53 AM
begini ajah, ga usah susah2 liat umatnya, menurut bro kainyn Om Yes ama M itu sudah mencapai kesucian sampai tingkat berapa menurut Buddhist?
Kalau menurut saya pribadi, mereka adalah Puthujjana. 
dan ajarannya itu bisa membawa umatnya ke tingkat kesucian mana?
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 11 December 2009, 09:46:47 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 11 December 2009, 09:01:23 AM
Quote from: ryu on 11 December 2009, 07:14:53 AM
begini ajah, ga usah susah2 liat umatnya, menurut bro kainyn Om Yes ama M itu sudah mencapai kesucian sampai tingkat berapa menurut Buddhist?
Kalau menurut saya pribadi, mereka adalah Puthujjana. 
dan ajarannya itu bisa membawa umatnya ke tingkat kesucian mana?
Entahlah, saya bukan orang yang berpengetahuan "jalan dan bukan jalan". 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 11 December 2009, 10:04:19 AM
Quote from: ryu on 11 December 2009, 09:46:47 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 11 December 2009, 09:01:23 AM
Quote from: ryu on 11 December 2009, 07:14:53 AM
begini ajah, ga usah susah2 liat umatnya, menurut bro kainyn Om Yes ama M itu sudah mencapai kesucian sampai tingkat berapa menurut Buddhist?
Kalau menurut saya pribadi, mereka adalah Puthujjana. 
dan ajarannya itu bisa membawa umatnya ke tingkat kesucian mana?
Entahlah, saya bukan orang yang berpengetahuan \"jalan dan bukan jalan\". 
dan sementara ini mau tidak mau Hanya B yang menemukan suatu jalan yang telah lama hilang, dan B memberikan petanya juga, soal pelabelan agama untuk ajaran B itu mau tidak mau pasti ada, soal pencapaian walau dia disebut murid B belum tentu dia bisa mencapai tingkat tertentu, setidaknya dia ada di jalan yang di tunjuk sesuai peta, ibarat kata dia ternyata malah belok ke arah yang lain ya tentunya dia tidak akan mencapai tujuan yang di peta, sedangkan orang yang menganut ajaran lain apabila dia \'mau\' mengikuti peta ajaran B maka otomatis bila berjalan sesuai arah toh dia akan mencapai tujuan yang di ajaran B bukan di ajaran K atau I atau yang lainnya.
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 11 December 2009, 12:58:13 PM
dan sementara ini mau tidak mau Hanya B yang menemukan suatu jalan yang telah lama hilang, dan B memberikan petanya juga, soal pelabelan agama untuk ajaran B itu mau tidak mau pasti ada, soal pencapaian walau dia disebut murid B belum tentu dia bisa mencapai tingkat tertentu, setidaknya dia ada di jalan yang di tunjuk sesuai peta, ibarat kata dia ternyata malah belok ke arah yang lain ya tentunya dia tidak akan mencapai tujuan yang di peta, sedangkan orang yang menganut ajaran lain apabila dia \'mau\' mengikuti peta ajaran B maka otomatis bila berjalan sesuai arah toh dia akan mencapai tujuan yang di ajaran B bukan di ajaran K atau I atau yang lainnya.
Ini salah satu pembahasan saya dengan Bro Jerry. Kalau begitu saya tanya Bro ryu juga. 
Jika kita membicarakan hal yang umum, misalnya film bioskop, keindahan wanita, lagu, trend, dll, apakah bisa disebut sebagai agama atau tidak? Mengapa bisa dan mengapa tidak? 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 11 December 2009, 02:06:53 PM
Quote from: ryu on 11 December 2009, 12:58:13 PM
dan sementara ini mau tidak mau Hanya B yang menemukan suatu jalan yang telah lama hilang, dan B memberikan petanya juga, soal pelabelan agama untuk ajaran B itu mau tidak mau pasti ada, soal pencapaian walau dia disebut murid B belum tentu dia bisa mencapai tingkat tertentu, setidaknya dia ada di jalan yang di tunjuk sesuai peta, ibarat kata dia ternyata malah belok ke arah yang lain ya tentunya dia tidak akan mencapai tujuan yang di peta, sedangkan orang yang menganut ajaran lain apabila dia \'mau\' mengikuti peta ajaran B maka otomatis bila berjalan sesuai arah toh dia akan mencapai tujuan yang di ajaran B bukan di ajaran K atau I atau yang lainnya.
Ini salah satu pembahasan saya dengan Bro Jerry. Kalau begitu saya tanya Bro ryu juga. 
Jika kita membicarakan hal yang umum, misalnya film bioskop, keindahan wanita, lagu, trend, dll, apakah bisa disebut sebagai agama atau tidak? Mengapa bisa dan mengapa tidak? 
bisa koq, ada agama yang mendukung nyanyi2an, dan juga sosok nya itu ingin di puji2, ada juga ajaran yang tidak membolehkan nyanyi2an itu khan tergantung ajarannya.
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 11 December 2009, 02:23:00 PM
bisa koq, ada agama yang mendukung nyanyi2an, dan juga sosok nya itu ingin di puji2, ada juga ajaran yang tidak membolehkan nyanyi2an itu khan tergantung ajarannya.
Jadi kalau kita bicara satu film isinya begini-begitu lalu bahas type wanita Bro ryu yang begini-begitu, bisa dinamakan kita bahas agama? 
			
 
			
			
				kalau satu film tergantung film nya dong, film apa dulu nih ;D , kalo bahas type wanita bisa juga koq di larikan ke bahas agama ;D
			
			
			
				Quote from: ryu on 11 December 2009, 03:00:24 PM
kalau satu film tergantung film nya dong, film apa dulu nih ;D , kalo bahas type wanita bisa juga koq di larikan ke bahas agama ;D
Maksud saya bukan "bisa atau tidak" dihubungkan ke agama. Kalau itu, semua juga bisa saja. 
Pertanyaannya begini, kalau kita sedang ngobrol film, katakanlah film superhero, apakah bisa disebut kita sedang membicarakan agama? 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 11 December 2009, 03:58:12 PM
Quote from: ryu on 11 December 2009, 03:00:24 PM
kalau satu film tergantung film nya dong, film apa dulu nih ;D , kalo bahas type wanita bisa juga koq di larikan ke bahas agama ;D
Maksud saya bukan "bisa atau tidak" dihubungkan ke agama. Kalau itu, semua juga bisa saja. 
Pertanyaannya begini, kalau kita sedang ngobrol film, katakanlah film superhero, apakah bisa disebut kita sedang membicarakan agama? 
superheronya yang mana dulu =)) kalo kek film MATRIX, trus Hell Boy, trus Constantine keknya itu ada unsur agama deh ;D
			
 
			
			
				dan kalau film tidak ada agama ya pastinya tidak sedang membicarakan agama ;D
			
			
			
				Quote from: ryu on 11 December 2009, 04:46:39 PM
superheronya yang mana dulu =)) kalo kek film MATRIX, trus Hell Boy, trus Constantine keknya itu ada unsur agama deh ;D
Quote from: ryu on 11 December 2009, 04:48:26 PM
dan kalau film tidak ada agama ya pastinya tidak sedang membicarakan agama ;D
Kalau begitu, hal-hal apakah yang bisa disebut "unsur agama" itu? 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 11 December 2009, 05:26:17 PM
Quote from: ryu on 11 December 2009, 04:46:39 PM
superheronya yang mana dulu =)) kalo kek film MATRIX, trus Hell Boy, trus Constantine keknya itu ada unsur agama deh ;D
Quote from: ryu on 11 December 2009, 04:48:26 PM
dan kalau film tidak ada agama ya pastinya tidak sedang membicarakan agama ;D
Kalau begitu, hal-hal apakah yang bisa disebut \"unsur agama\" itu? 
kebaikan dan kejahatan, hampir semua agama mengajarkannya ;D
			
 
			
			
				QuoteQuoteQuote
Apakah ini berarti para Arahat (selain Buddha), yang telah melalui, melepas, dan memfungsikan satu jalan, mengetahui dengan pasti jalan-jalan mana yang mengantarkan orang pada pencerahan dan mana yang tidak, baik yang telah diketahui, maupun yang belum pernah diketahui?
Tidak selalu, sebagaimana dalam sutta susima yg pernah Bro Kain kutipkan di thread lain. Demikian pula dalam sutta mengenai pohon teka-teki. Beberapa mungkin mengetahui lebih banyak mengenai jalan, spt Agga-savaka Y.A Sariputta. Tetapi jelas yg mengetahui secara sempurna mengenai semua jalan adalah Sang Buddha. Makanya beliau diatributkan dengan "Yang sempurna menempuh jalan."
Baik, ini kita sejalan. Sekarang hanya masalah opini saja.
Jika seorang Arahat Agga-savaka Sariputta saja tidak tahu dengan pasti apa yang "jalan dan bukan jalan" dan harus konfirmasi terlebih dahulu kepada Buddha, apakah bisa dibilang Arahat lain dapat mengetahui dan mengatakan "ini jalan, ini bukan jalan"?
Bro Kainin yang baik,
Dalam tujuh tahap kesucian, salah satu tahap adalah 
Magamagga nanadassana visudhi atau atau pengetahuan yang membedakan jalan dan bukan jalan, jadi walaupun belum mencapai kesucian, seorang meditator Vipassana akan mencapai tahap ini.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 11 December 2009, 05:26:17 PM
Quote from: ryu on 11 December 2009, 04:46:39 PM
superheronya yang mana dulu =)) kalo kek film MATRIX, trus Hell Boy, trus Constantine keknya itu ada unsur agama deh ;D
Quote from: ryu on 11 December 2009, 04:48:26 PM
dan kalau film tidak ada agama ya pastinya tidak sedang membicarakan agama ;D
Kalau begitu, hal-hal apakah yang bisa disebut "unsur agama" itu? 
Bro Kaynin yang baik, 
Label agama adalah suatu konvensi, seperti yang pernah saya jelaskan, jaman dulu di pemerintahan jaman Orla dan awal orba, agama Buddha, Hindu, Kong Hu Cu pernah dianggap sebagai aliran kepercayaan, sekarang dianggap agama, tapi di masa yang akan datang, kalau kaum fundamentalis suatu agama tertentu berkuasa dalam membuat undang-undang semau mereka, maka agama-agama ini mungkin dirubah lagi statusnya bukan lagi agama, mungkin statusnya kembali menjadi aliran kepercayaan atau bahkan dilarang.
Saya yakin teman-teman (dan termasuk saya) bukan mempermasalahkan label, tetapi keberatan bila ajaran Sang Buddha disamakan atau disejajarkan dengan ajaran lain. 
 _/\_
			
 
			
			
				kalau menurut saya tidak  ada yang salah kalau di katakan \'hanya ajaran Buddha\' satu2nya jalan untuk mencapai nibbana sejauh ajaran itu benar2 dilakukan, karena ajaran Buddha khan ceritanya universal :P
			
			
			
				Ko Naga,, tumben bijaksana,, hahaha.
Setuju ama ko ryuuu
 _/\_
			
			
			
				Quote from: Tekkss Katsuo on 11 December 2009, 08:54:23 PM
Ko Naga,, tumben bijaksana,, hahaha.
Setuju ama ko ryuuu
 _/\\_
:hammer: jangan tertipu oleh kata2 aye, belom tau aja loe aslinya gw kakakakakak
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 11 December 2009, 09:00:13 AM
Ketika Buddha menerima penahbisan Sangha Bhikkhuni, Buddha berkata pada Ananda seandainya Sangha Bhikkhuni tidak ditahbiskan, maka umur ajaran murni akan bertahan 1000 tahun; namun karena Sangha Bhikkhuni ditahbiskan, maka umur ajaran murni hanya mencapai 500 tahun saja. 
"Sace, ānanda, nālabhissa mātugāmo tathāgatappavedite dhammavinaye agārasmā anagāriyaṃ pabbajjaṃ, ciraṭṭhitikaṃ, ānanda, brahmacariyaṃ abhavissa, vassasahassameva saddhammo tiṭṭheyya. Yato ca kho, ānanda, mātugāmo tathāgatappavedite dhammavinaye agārasmā anagāriyaṃ pabbajito, na dāni, ānanda, brahmacariyaṃ ciraṭṭhitikaṃ bhavissati. Pañceva dāni, ānanda, vassasatāni saddhammo ṭhassati..."  
Sebelumnya ini juga telah diberikan analogi oleh Sang Buddha bahwa ini seperti sebuah rumah yg penghuni rumahnya terdiri dari wanita dan pria. Dan para pria akan kesulitan mempertahankan dari serangan perampok dengan adanya keberadaan wanita. Itu suatu kenyataan. So?
Begini, kata2 Sang Buddha harus diartikan tergantung konteksnya, pada hal2 yg tersurat maka cukup secara tersurat sudah boleh, sedangkan beberapa yg tersirat, harus diartikan secara tersirat pula. Apakah 1000 dan 500 itu ukuran pasti tak kurang sehari dan tak lebih sehari? Menurut saya hal2 demikian sifatnya neyyatha, yg masih harus ditarik lagi artinya. Bukan ditelan bulat-bulat bahwa itu berarti 500 tahun secara persis. Itu hanya analogi bahwa umur ajaran murni berkurang setengahnya dengan adanya ordinasi Sangha bhikkhuni, tetapi dengan diturunkannya atthagarudhamma yg bila dijalankan secara sempurna oleh Sangha bhikkhuni, umur ajaran murni akan tetap bertahan hingga waktunya lenyap nanti. Dan demikian interpretasi saya thdp kata2 Buddha di atas, meski berbeda dengan interpretasi dari mayoritas. 
QuoteBetul. Dan apa sebabnya saya meyakini hal tersebut adalah yang sedang kita bahas sekarang. 
Thanks udah membuat lebih clear. :)
QuoteSekali lagi, saya pun tidak menyamakan Buddhisme dengan ajaran lain, apa pun itu. Yang saya katakan adalah "penempaan" bathin ke arah lebih baik, yang mendukung pengertian akan Buddha-dhamma, bisa didapat pula dari ajaran lain. 
Jika demikian halnya, maka kita memiliki kesamaan dalam hal ini. Saya juga telah mengatakan bukan, bahwa hal2 demikian tidak eksklusif dlm Buddhisme spt pancabala dlsb. Lanjut? :)
QuoteSepertinya saya salah baca kemarin. Maksud saya adalah ketika Upatissa berpandangan "siap menerima pandangan baru" apakah pandangan tersebut menurut Buddhisme adalah sudah pandangan benar, atau masih pandangan salah? 
OK, salah baca itu normal. Menurutku - bukan menurut Buddhisme - meski siap melepas pandangan lama dan menerima pandangan baru, tetapi Upatissa masih belum dapat memutuskan mana yg benar dan mana yg tidak, karenanya masih belum berpandangan benar, and vice versa. Maka jawabannya simple, masih pandangan salah. Meski deviasi sudut pandangan salahnya (jika pandangan benar dianalogikan dengan garis tegak lurus) lebih kecil dibanding pandangan salah lainnya. Alasan saya karena faham agnostiknya Sanjaya menolak mengambil posisi terkait hal2 mengenai adanya dunia lain, kelahiran kembali, kamma dan eksistensi seorang tathagata. Tidak mengambil posisi mungkin lebih baik dari mengambil posisi menolak, tetapi itu menunjukkan keragu-raguan, padahal menurut Sang Buddha hal2 demikian (3 yg pertama) adalah benar ada, dan mengambil posisi meyakini meski tanpa melihat pun sudah langkah bertaruh scr aman yg memungkinkan seseorang utk hidup secara baik dan terlahir dlm kelahiran yg lebih baik.
QuoteOK, semakin mendekati. Saya lanjutkan. 
Jika seseorang membahas sesuatu yang umum, misalnya kasih, lapar, rasa suka, dll, bisakah digolongkan sebagai agama? Mengapa bisa dan mengapa tidak bisa? 
Tergantung, bila dikatakan tidak bisa digolongkan agama tentunya sudah mengerti dong alasannya? Sedangkan bila dikatakan bisa tergolong agama, bila kaidah dan nilai agama dimasukkan dalam pembahasan tsb. Atau pembahasan tsb dilihat dr sudut pandang agama yg dianut. Spt yg telah dicontohkan Acek ganteng. ;)
QuoteBaik, ini kita sejalan. Sekarang hanya masalah opini saja. 
Jika seorang Arahat Agga-savaka Sariputta saja tidak tahu dengan pasti apa yang "jalan dan bukan jalan" dan harus konfirmasi terlebih dahulu kepada Buddha, apakah bisa dibilang Arahat lain dapat mengetahui dan mengatakan "ini jalan, ini bukan jalan"? 
Mungkin sejalan. Pernyataan saya terdahulu berdasarkan sejauh apa yg saya ketahui ttg Sariputta, tetapi saya belum pernah menemukan bahwa beliau menghadapi 1 hal dan tidak tahu apakah hal itu "jalan dan bukan jalan" sehingga harus konfirmasi terlebih dulu pd Buddha sebagaimana yg Bro Kain nyatakan. Catatan: Dhananjhani Sutta menjelaskan dengan baik maksud saya mengenai perbedaan antara Y.A Sariputta dengan Sang Buddha dalam mengenali jalan. Perbedaannya yaitu Sang Buddha mengenali secara sempurna jalan mana yg terbaik utk pencapaian ssorg, metode apa yg dipakai dan kapan waktunya. Tetapi dalam hal membedakan mana jalan dan mana yg bukan, Sariputta sejauh yg saya ketahui selalu bisa membedakan. Ini terbukti dari banyaknya pertanyaan dari rekan-rekan sejawatnya.
Mettacittena
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 11 December 2009, 06:30:31 PM
kebaikan dan kejahatan, hampir semua agama mengajarkannya ;D
Kalau kita bicarakan Superman, misalnya, ada Clark Kent yang baik dan Lex Luthor yang jahat, itu termasuk agama apa? 
Quote from: ryu on 11 December 2009, 07:32:21 PM
kalau menurut saya tidak  ada yang salah kalau di katakan \'hanya ajaran Buddha\' satu2nya jalan untuk mencapai nibbana sejauh ajaran itu benar2 dilakukan, karena ajaran Buddha khan ceritanya universal :P
Kalau dikatakan "Ajaran" Buddha itu tidak hanya sebatas dan sesempit "Agama" Buddha, tentu saya setuju pernyataan itu. 
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 11 December 2009, 07:00:34 PM
Bro Kainin yang baik,
Dalam tujuh tahap kesucian, salah satu tahap adalah Magamagga nanadassana visudhi atau atau pengetahuan yang membedakan jalan dan bukan jalan, jadi walaupun belum mencapai kesucian, seorang meditator Vipassana akan mencapai tahap ini.
 _/\_
Magamagga nanadassana visudhi ini, apakah untuk dirinya sendiri atau dia mengetahui jalan dan bukan jalan bagi semua orang? 
Quote from: fabian c on 11 December 2009, 07:16:08 PM
Bro Kaynin yang baik, 
Label agama adalah suatu konvensi, seperti yang pernah saya jelaskan, jaman dulu di pemerintahan jaman Orla dan awal orba, agama Buddha, Hindu, Kong Hu Cu pernah dianggap sebagai aliran kepercayaan, sekarang dianggap agama, tapi di masa yang akan datang, kalau kaum fundamentalis suatu agama tertentu berkuasa dalam membuat undang-undang semau mereka, maka agama-agama ini mungkin dirubah lagi statusnya bukan lagi agama, mungkin statusnya kembali menjadi aliran kepercayaan atau bahkan dilarang.
Saya yakin teman-teman (dan termasuk saya) bukan mempermasalahkan label, tetapi keberatan bila ajaran Sang Buddha disamakan atau disejajarkan dengan ajaran lain. 
 _/\_
Saya tahu hampir semua di sini juga tidak ada yang mempermasalahkan label. Saya pun keberatan bila dibilang Ajaran Buddha = Ajaran lain. Tetapi saya juga keberatan kalau Ajaran Buddha didefinisikan sesuatu yang tertuang hanya pada "konvensi" tersebut. Ada perbedaan tentang "konvensi" ini, maka saya tanyakan apakah "unsur" agama menurut masing-masing orang. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 December 2009, 09:44:23 AM
Quote from: ryu on 11 December 2009, 06:30:31 PM
kebaikan dan kejahatan, hampir semua agama mengajarkannya ;D
Kalau kita bicarakan Superman, misalnya, ada Clark Kent yang baik dan Lex Luthor yang jahat, itu termasuk agama apa? 
Quote from: ryu on 11 December 2009, 07:32:21 PM
kalau menurut saya tidak  ada yang salah kalau di katakan \'hanya ajaran Buddha\' satu2nya jalan untuk mencapai nibbana sejauh ajaran itu benar2 dilakukan, karena ajaran Buddha khan ceritanya universal :P
Kalau dikatakan "Ajaran" Buddha itu tidak hanya sebatas dan sesempit "Agama" Buddha, tentu saya setuju pernyataan itu. 
clark Kent bisa diibaratkan seorang Malaikat yang membantu manusia yang kesulitan dan luthor di ibaratkan Iblis/Setan, dan kalo mo di masukkan agama ada aja koq 
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.adherents.com%2Flit%2Fcomics%2Fimage%2FSuperman_Seasons1.jpg&hash=7f3868e2b40d734c21ca3870802f3c601737233f)
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.adherents.com%2Flit%2Fcomics%2Fimage%2FSuperman_04.jpg&hash=17e6ef4815bd21ce170cf8f5269ba1857bc1352c)
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.adherents.com%2Flit%2Fcomics%2Fimage%2FSuperman_funeral_sermon.jpg&hash=55ae1656472061c5618af556e497e30c8636e47d)
(https://forum.dhammacitta.org/proxy.php?request=http%3A%2F%2Fwww.adherents.com%2Flit%2Fcomics%2Fimage%2FSuperman_01.jpg&hash=21fdb1ff1e04590bae7fe323ab390cc9e5703082)
;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 12 December 2009, 01:23:45 AM
Sebelumnya ini juga telah diberikan analogi oleh Sang Buddha bahwa ini seperti sebuah rumah yg penghuni rumahnya terdiri dari wanita dan pria. Dan para pria akan kesulitan mempertahankan dari serangan perampok dengan adanya keberadaan wanita. Itu suatu kenyataan. So?
Begini, kata2 Sang Buddha harus diartikan tergantung konteksnya, pada hal2 yg tersurat maka cukup secara tersurat sudah boleh, sedangkan beberapa yg tersirat, harus diartikan secara tersirat pula. Apakah 1000 dan 500 itu ukuran pasti tak kurang sehari dan tak lebih sehari? Menurut saya hal2 demikian sifatnya neyyatha, yg masih harus ditarik lagi artinya. Bukan ditelan bulat-bulat bahwa itu berarti 500 tahun secara persis. Itu hanya analogi bahwa umur ajaran murni berkurang setengahnya dengan adanya ordinasi Sangha bhikkhuni, tetapi dengan diturunkannya atthagarudhamma yg bila dijalankan secara sempurna oleh Sangha bhikkhuni, umur ajaran murni akan tetap bertahan hingga waktunya lenyap nanti. Dan demikian interpretasi saya thdp kata2 Buddha di atas, meski berbeda dengan interpretasi dari mayoritas. 
Kalau begitu, kita tidak bisa melanjutkan karena saya memang "menelan bulat-bulat" hal tersebut. Dalam Milinda Panha pernah dikatakan bahwa yang dimaksud Buddha Gotama tersebut adalah umur "agama murni", namun tentu saja Ajaran Buddha masih akan berlangsung sangat lama selama kita semua "mewarisi"-nya (baca: menjalankannya). 
Saya setuju dengan kedua pernyataan tersebut karena memang sebelum 500 tahun, hanya ada 1 Sangha Buddha, tidak ada aliran ini-itu. Setelah masa itu berlalu, lambat laun sudah terlihat perubahan. Sudah tidak ada lagi kejelasan "Agama" Buddha di mana kita tahu ada yang memisahkan diri dan masing-masing juga tentu saja mengatakan "dirinya yang asli". Dulu sewaktu saya baca mengenai hal ini dan tentang sejarah asal mula aliran, saya tersenyum dan berpikir, "hehehe Luar biasa! Tepat sekali ramalan Buddha..." Jadi maaf, tanpa maksud menyinggung rekan-rekan di sini, bagi saya sebuah "agama asli" yang murni diajarkan Buddha sudah tidak ada, walaupun tentu saja intisarinya tetap masih ada dan berkembang sekarang ini dalam berbagai aliran.  
QuoteJika demikian halnya, maka kita memiliki kesamaan dalam hal ini. Saya juga telah mengatakan bukan, bahwa hal2 demikian tidak eksklusif dlm Buddhisme spt pancabala dlsb. Lanjut? :)
Lanjut. :) 
QuoteOK, salah baca itu normal. Menurutku - bukan menurut Buddhisme - meski siap melepas pandangan lama dan menerima pandangan baru, tetapi Upatissa masih belum dapat memutuskan mana yg benar dan mana yg tidak, karenanya masih belum berpandangan benar, and vice versa. Maka jawabannya simple, masih pandangan salah. Meski deviasi sudut pandangan salahnya (jika pandangan benar dianalogikan dengan garis tegak lurus) lebih kecil dibanding pandangan salah lainnya. Alasan saya karena faham agnostiknya Sanjaya menolak mengambil posisi terkait hal2 mengenai adanya dunia lain, kelahiran kembali, kamma dan eksistensi seorang tathagata. Tidak mengambil posisi mungkin lebih baik dari mengambil posisi menolak, tetapi itu menunjukkan keragu-raguan, padahal menurut Sang Buddha hal2 demikian (3 yg pertama) adalah benar ada, dan mengambil posisi meyakini meski tanpa melihat pun sudah langkah bertaruh scr aman yg memungkinkan seseorang utk hidup secara baik dan terlahir dlm kelahiran yg lebih baik.
Berarti boleh dibilang sewaktu sesaat sebelum ia mencerap perkataan Thera Assaji, ia masih merupakan orang berpandangan salah, betul? 
Kalau bicara deviasi, Upatissa yang tidak tahu ajaran Buddha sama sekali dengan "deviasi sedikit" bisa merealisasi ajaran. Kira-kira menurut Bro Jerry, mengapa ada para bhikkhu yang berlatih dalam dhamma-vinaya Buddha Gotama waktu itu yang sudah bertahun-tahun dalam "pandangan benar, atau nir-deviasi" tidak dapat merealisasi ajaran? 
QuoteTergantung, bila dikatakan tidak bisa digolongkan agama tentunya sudah mengerti dong alasannya? Sedangkan bila dikatakan bisa tergolong agama, bila kaidah dan nilai agama dimasukkan dalam pembahasan tsb. Atau pembahasan tsb dilihat dr sudut pandang agama yg dianut. Spt yg telah dicontohkan Acek ganteng. ;)
Kalau saya bikin agama baru, "kulinerisme", misalnya, yang selain membahas "baik-buruk", juga membahas semua yang berkenaan dengan makanan. Lalu ketika setiap orang membahas makanan, apakah tepat kalau dibilang mereka sedang membahas agama saya? 
QuoteMungkin sejalan. Pernyataan saya terdahulu berdasarkan sejauh apa yg saya ketahui ttg Sariputta, tetapi saya belum pernah menemukan bahwa beliau menghadapi 1 hal dan tidak tahu apakah hal itu "jalan dan bukan jalan" sehingga harus konfirmasi terlebih dulu pd Buddha sebagaimana yg Bro Kain nyatakan. Catatan: Dhananjhani Sutta menjelaskan dengan baik maksud saya mengenai perbedaan antara Y.A Sariputta dengan Sang Buddha dalam mengenali jalan. Perbedaannya yaitu Sang Buddha mengenali secara sempurna jalan mana yg terbaik utk pencapaian ssorg, metode apa yg dipakai dan kapan waktunya. Tetapi dalam hal membedakan mana jalan dan mana yg bukan, Sariputta sejauh yg saya ketahui selalu bisa membedakan. Ini terbukti dari banyaknya pertanyaan dari rekan-rekan sejawatnya.
Ketika Bhikkhu Channa akan bunuh diri, Sariputta tidak mengetahui yang mana "jalan dan bukan jalan" bagi Channa untuk mencapai Arahatta. Maka ketika Bhikkhu Channa parinibbana, ia sendiri tidak mengetahui dan bertanya kepada Buddha. 
Kasus lain misalnya yang melatar-belakangi dikisahkannya Tittha Jataka di mana Sariputta tidak mengetahui "jalan dan bukan jalan" yang tepat bagi seorang muridnya. Ia mengajarkan jalan "Asubha" yang tidak memberikan hasil, sehingga akhirnya dibawa kepada Buddha. 
Kasus bagi Arahat lainnya adalah Mahapanthaka yang tidak mengetahui "jalan dan bukan jalan" bagi adiknya, maka ia mengusirnya dari Sangha karena setelah berbulan-bulan tidak bisa menghafal satu bait. 
Dari kasus-kasus tersebut, apakah kemudian cocok jika dikatakan Arahat mengetahui "jalan dan bukan jalan" secara sempurna? 
			
 
			
			
				 [at] kainyn, kenapa tidak? itu khan hak dia, asalkan dia bisa menjawab dan mempertanggung jawabkannya tidak masalah, aye tau inti yang mau di sampaikan om kainyn, mungkin maksudnya adalah kalau ada ajaran lain yang bisa membuat orang lain tercerahkan jangan langsung di klaim ajaran buddha tapi sebaiknya di bilang selaras dengan ajaran buddha, begitu bukan maksud om?
			
			
			
				Quote from: ryu on 12 December 2009, 10:48:24 AM
 [at] kainyn, kenapa tidak? itu khan hak dia, asalkan dia bisa menjawab dan mempertanggung jawabkannya tidak masalah, aye tau inti yang mau di sampaikan om kainyn, mungkin maksudnya adalah kalau ada ajaran lain yang bisa membuat orang lain tercerahkan jangan langsung di klaim ajaran buddha tapi sebaiknya di bilang selaras dengan ajaran buddha, begitu bukan maksud om?
Apa maksudnya "kenapa tidak?" 
Lebih tepatnya adalah jika ada orang tercerahkan, tidak bisa lantas diklaim dia "beragama Buddha" namun saya yakin pasti ia melaksanakan sesuatu yang selaras dengan ajaran Buddha. 
Buddha-dhamma (sebagai merk) tidak dibuat oleh Buddha, hanya ditemukan sebagaimana kita merenungkan dhamma "apakah Buddha muncul atau tidak, dhamma tetaplah demikian adanya". Lain halnya dengan unsur agama lain pada umumnya. Misalnya dalam Nasrani dikenal "penebusan dosa lewat wafat Yesus", orang yang tidak pernah kenal doktrin itu, sampai kapanpun tidak akan mengerti. 
Berbeda dengan Buddha-dhamma, tanpa mengenal kisah-kisah Buddha, tidak kenal tipitaka, tetap bisa mengerti apa itu ketidakpuasan. Jika semua orang bisa mengerti dan mengenal ketidakpuasan, apakah cocok kita mengkotakkan pengertian tersebut ke dalam label "Agama Buddha"? 
			
 
			
			
				^
^
Setuju dengan Bro Kai kali ini.  :)) ...
lanjut kan, mao dengar lebih jauh lagi saya
 _/\_
			
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 December 2009, 12:09:58 PM
Quote from: ryu on 12 December 2009, 10:48:24 AM
 [at] kainyn, kenapa tidak? itu khan hak dia, asalkan dia bisa menjawab dan mempertanggung jawabkannya tidak masalah, aye tau inti yang mau di sampaikan om kainyn, mungkin maksudnya adalah kalau ada ajaran lain yang bisa membuat orang lain tercerahkan jangan langsung di klaim ajaran buddha tapi sebaiknya di bilang selaras dengan ajaran buddha, begitu bukan maksud om?
Apa maksudnya "kenapa tidak?" 
Lebih tepatnya adalah jika ada orang tercerahkan, tidak bisa lantas diklaim dia "beragama Buddha" namun saya yakin pasti ia melaksanakan sesuatu yang selaras dengan ajaran Buddha. 
Buddha-dhamma (sebagai merk) tidak dibuat oleh Buddha, hanya ditemukan sebagaimana kita merenungkan dhamma "apakah Buddha muncul atau tidak, dhamma tetaplah demikian adanya". Lain halnya dengan unsur agama lain pada umumnya. Misalnya dalam Nasrani dikenal "penebusan dosa lewat wafat Yesus", orang yang tidak pernah kenal doktrin itu, sampai kapanpun tidak akan mengerti. 
Berbeda dengan Buddha-dhamma, tanpa mengenal kisah-kisah Buddha, tidak kenal tipitaka, tetap bisa mengerti apa itu ketidakpuasan. Jika semua orang bisa mengerti dan mengenal ketidakpuasan, apakah cocok kita mengkotakkan pengertian tersebut ke dalam label "Agama Buddha"? 
kalau soal mengenal ketidak puasan khan semua orang dari agama manapun bisa saja, tapi jalan untuk mencapai nibbana itu yang sulit dan ungkapan "hanya di ajaran Buddha" yang bisa menuntun ke Nibbana tidak salah khan?
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 12 December 2009, 10:17:14 AM
Kalau begitu, kita tidak bisa melanjutkan karena saya memang "menelan bulat-bulat" hal tersebut. Dalam Milinda Panha pernah dikatakan bahwa yang dimaksud Buddha Gotama tersebut adalah umur "agama murni", namun tentu saja Ajaran Buddha masih akan berlangsung sangat lama selama kita semua "mewarisi"-nya (baca: menjalankannya). 
Saya setuju dengan kedua pernyataan tersebut karena memang sebelum 500 tahun, hanya ada 1 Sangha Buddha, tidak ada aliran ini-itu. Setelah masa itu berlalu, lambat laun sudah terlihat perubahan. Sudah tidak ada lagi kejelasan "Agama" Buddha di mana kita tahu ada yang memisahkan diri dan masing-masing juga tentu saja mengatakan "dirinya yang asli". Dulu sewaktu saya baca mengenai hal ini dan tentang sejarah asal mula aliran, saya tersenyum dan berpikir, "hehehe Luar biasa! Tepat sekali ramalan Buddha..." Jadi maaf, tanpa maksud menyinggung rekan-rekan di sini, bagi saya sebuah "agama asli" yang murni diajarkan Buddha sudah tidak ada, walaupun tentu saja intisarinya tetap masih ada dan berkembang sekarang ini dalam berbagai aliran.  
Terserah itu interpretasi Bro Kain, saya sih tidak demikian. Saya memiliki interpretasi sendiri sebagaimana telah saya katakan sebelumnya. Interpretasi saya sendiri berbeda dng umum, jadi sesama "sesat" dilarang menunjuk. >:D
QuoteBerarti boleh dibilang sewaktu sesaat sebelum ia mencerap perkataan Thera Assaji, ia masih merupakan orang berpandangan salah, betul? 
Begitulah
QuoteKalau bicara deviasi, Upatissa yang tidak tahu ajaran Buddha sama sekali dengan "deviasi sedikit" bisa merealisasi ajaran. Kira-kira menurut Bro Jerry, mengapa ada para bhikkhu yang berlatih dalam dhamma-vinaya Buddha Gotama waktu itu yang sudah bertahun-tahun dalam "pandangan benar, atau nir-deviasi" tidak dapat merealisasi ajaran? 
Apa tidak OOT dari apa yg sedang kita bahas? Btw, bahas apa sih kita? :hammer:
Sebelumnya telah pernah saya tuliskan bbrp hal pengondisi tsb yaitu waktu matangnya kondisi tiap2 orang adl berbeda2, metode yg diajarkan apakah cocok atau tidak, kondisi batin si pendengar sendiri bagaimana, apakah terbebas dr pancanivarana atau tidak, apakah terkonsentrasi atau tidak, apakah perasaannya menolak atau menerima, kualitas samvega dalam batinnya bagaimana. Akan ada banyak faktor pengondisi yg mana masing2 berbeda antara 1 orang dg yg lainnya. Ini tdk akan habis dijabarkan. Selain itu, ingat Sang Buddha adl penunjuk jalan, selanjutnya yg menempuh jalan adalah bhikkhu itu sendiri. Dan dalam menempuh itu tergantung pd usaha ybs sendiri.
QuoteKalau saya bikin agama baru, "kulinerisme", misalnya, yang selain membahas "baik-buruk", juga membahas semua yang berkenaan dengan makanan. Lalu ketika setiap orang membahas makanan, apakah tepat kalau dibilang mereka sedang membahas agama saya? 
Berbicara dalam konteks Buddhisme saja agar tdk OOT, apa menurut Bro Kain kalau orang membahas kualitas kebaikan dan pentingnya hidup tolong-menolong dg orang lain, itu sedang membahas Buddhisme? IMO, relatif. Bisa ya bisa tidak. Tetapi jika pembahasannya tercakup dalam Kebenaran mulia ttg Dukkha dan jalan mengakhirinya, maka ya.
QuoteKetika Bhikkhu Channa akan bunuh diri, Sariputta tidak mengetahui yang mana "jalan dan bukan jalan" bagi Channa untuk mencapai Arahatta. Maka ketika Bhikkhu Channa parinibbana, ia sendiri tidak mengetahui dan bertanya kepada Buddha. 
Kasus lain misalnya yang melatar-belakangi dikisahkannya Tittha Jataka di mana Sariputta tidak mengetahui "jalan dan bukan jalan" yang tepat bagi seorang muridnya. Ia mengajarkan jalan "Asubha" yang tidak memberikan hasil, sehingga akhirnya dibawa kepada Buddha. 
Kasus bagi Arahat lainnya adalah Mahapanthaka yang tidak mengetahui "jalan dan bukan jalan" bagi adiknya, maka ia mengusirnya dari Sangha karena setelah berbulan-bulan tidak bisa menghafal satu bait. 
Dari kasus-kasus tersebut, apakah kemudian cocok jika dikatakan Arahat mengetahui "jalan dan bukan jalan" secara sempurna? 
OK, thanks utk ceritanya. Lebih melengkapi pengetahuan saya mengenai Y.A Sariputta berkonsultasi pada Buddha.
Pertama, adakah saya menyatakan arahat mengetahui mana yg "jalan dan bukan jalan" secara sempurna? Tidak ada. Jelas saya bilang Sang Buddha-lah yg sempurna mengenal jalan. Kedua, saya ingatkan pembahasan kita sebelumnya terkait "jalan dan bukan jalan" yg bermakna perbandingan antara jalan dalam agama Buddha adalah jalan [yg mengantar pd magga&phala], sementara jalan di luar agama Buddha bukan jalan [yg mengantar pd magga&phala]. Bukan dalam pengertian Bro Kain dalam post terakhir ttg "jalan dan bukan jalan" dalam agama Buddha (Buddha-sasana) sendiri. OOT. Jika ingin membahas mengenai "jalan dan bukan jalan" dan kemampuan mengetahui, maka saya setengah setuju dengan Bro Kain bahwa seorang arahat tidak mengetahui secara persis mana "jalan" yg paling kondusif bg perkembangan batin seseorang. Karena mereka hanya mengetahui apa yg telah mereka realisasikan.Sedangkan mengenai "yg bukan jalan", pastilah mereka ketahui. Apa yg bukan jalan, tentu saja spt yg Bro Kain sering kutipkan dr Gotami Sutta. Simpelnya, yg menuntun pd bertambahnya LDM.
Jadi saya ingatkan kembali bahwa pokok pembahasan kita berpusat pada perbedaan kita, di mana Bro Kain menganggap di luar agama Buddha ada jalan&buah. Sementara saya tidak. Mari kembali. Mari  :backtotopic:
Mettacittena
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 12 December 2009, 02:10:20 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 12 December 2009, 12:09:58 PM
Quote from: ryu on 12 December 2009, 10:48:24 AM
 [at] kainyn, kenapa tidak? itu khan hak dia, asalkan dia bisa menjawab dan mempertanggung jawabkannya tidak masalah, aye tau inti yang mau di sampaikan om kainyn, mungkin maksudnya adalah kalau ada ajaran lain yang bisa membuat orang lain tercerahkan jangan langsung di klaim ajaran buddha tapi sebaiknya di bilang selaras dengan ajaran buddha, begitu bukan maksud om?
Apa maksudnya "kenapa tidak?" 
Lebih tepatnya adalah jika ada orang tercerahkan, tidak bisa lantas diklaim dia "beragama Buddha" namun saya yakin pasti ia melaksanakan sesuatu yang selaras dengan ajaran Buddha. 
Buddha-dhamma (sebagai merk) tidak dibuat oleh Buddha, hanya ditemukan sebagaimana kita merenungkan dhamma "apakah Buddha muncul atau tidak, dhamma tetaplah demikian adanya". Lain halnya dengan unsur agama lain pada umumnya. Misalnya dalam Nasrani dikenal "penebusan dosa lewat wafat Yesus", orang yang tidak pernah kenal doktrin itu, sampai kapanpun tidak akan mengerti. 
Berbeda dengan Buddha-dhamma, tanpa mengenal kisah-kisah Buddha, tidak kenal tipitaka, tetap bisa mengerti apa itu ketidakpuasan. Jika semua orang bisa mengerti dan mengenal ketidakpuasan, apakah cocok kita mengkotakkan pengertian tersebut ke dalam label "Agama Buddha"? 
kalau soal mengenal ketidak puasan khan semua orang dari agama manapun bisa saja, tapi jalan untuk mencapai nibbana itu yang sulit dan ungkapan "hanya di ajaran Buddha" yang bisa menuntun ke Nibbana tidak salah khan?
Setuju dengan Acek ganteng Ryu :D
Ketidakpuasan bahkan dikenal oleh orang yg tidak beragama juga, tetapi ketidakpuasan yg umum dialami orang adalah ketidakpuasan thdp satu hal, yg kemudian ditindaklanjuti dng mencari kepuasan lainnya. Ini berbeda dengan ketidakpuasan dalam pengertian ajaran Buddha dan solusi menghadapinya. Saya pernah mengatakan ini sebelumnya, kata2 boleh saja sama tetapi pengertiannya bisa jadi berbeda.
_/\_
Ryu=aye bantu editin yang di coret ;D
			
 
			
			
				QuoteQuote from: Jerry on 12 December 2009, 01:23:45 AM
Sebelumnya ini juga telah diberikan analogi oleh Sang Buddha bahwa ini seperti sebuah rumah yg penghuni rumahnya terdiri dari wanita dan pria. Dan para pria akan kesulitan mempertahankan dari serangan perampok dengan adanya keberadaan wanita. Itu suatu kenyataan. So?
Begini, kata2 Sang Buddha harus diartikan tergantung konteksnya, pada hal2 yg tersurat maka cukup secara tersurat sudah boleh, sedangkan beberapa yg tersirat, harus diartikan secara tersirat pula. Apakah 1000 dan 500 itu ukuran pasti tak kurang sehari dan tak lebih sehari? Menurut saya hal2 demikian sifatnya neyyatha, yg masih harus ditarik lagi artinya. Bukan ditelan bulat-bulat bahwa itu berarti 500 tahun secara persis. Itu hanya analogi bahwa umur ajaran murni berkurang setengahnya dengan adanya ordinasi Sangha bhikkhuni, tetapi dengan diturunkannya atthagarudhamma yg bila dijalankan secara sempurna oleh Sangha bhikkhuni, umur ajaran murni akan tetap bertahan hingga waktunya lenyap nanti. Dan demikian interpretasi saya thdp kata2 Buddha di atas, meski berbeda dengan interpretasi dari mayoritas. 
Kalau begitu, kita tidak bisa melanjutkan karena saya memang "menelan bulat-bulat" hal tersebut. Dalam Milinda Panha pernah dikatakan bahwa yang dimaksud Buddha Gotama tersebut adalah umur "agama murni", namun tentu saja Ajaran Buddha masih akan berlangsung sangat lama selama kita semua "mewarisi"-nya (baca: menjalankannya). 
Saya setuju dengan kedua pernyataan tersebut karena memang sebelum 500 tahun, hanya ada 1 Sangha Buddha, tidak ada aliran ini-itu. Setelah masa itu berlalu, lambat laun sudah terlihat perubahan. Sudah tidak ada lagi kejelasan "Agama" Buddha di mana kita tahu ada yang memisahkan diri dan masing-masing juga tentu saja mengatakan "dirinya yang asli". Dulu sewaktu saya baca mengenai hal ini dan tentang sejarah asal mula aliran, saya tersenyum dan berpikir, "hehehe Luar biasa! Tepat sekali ramalan Buddha..." Jadi maaf, tanpa maksud menyinggung rekan-rekan di sini, bagi saya sebuah "agama asli" yang murni diajarkan Buddha sudah tidak ada, walaupun tentu saja intisarinya tetap masih ada dan berkembang sekarang ini dalam berbagai aliran.  
Bro Kainyn yang baik kita memang tidak hidup selama 2500 tahun untuk secara pasti menilai manakah ajaran Buddha yang asli, tetapi fakta bahwa praktek yang diajarkan dalam Tipitaka Pali telah dilatih selama 2500 tahun dan terbukti, saya kira lebih dari cukup. 
Tapi inipun juga tak memuaskan semua orang. Entah kalau Sang Buddha sendiri yang masih hidup dan mengatakan "ini benar ajaran saya dan yang itu bukan" mungkin baru memuaskan.
Dalam sutta Sang Buddha kadang membenarkan kata-kata siswa Beliau dan mengatakan "Bila hal itu ditanyakan kepada saya, saya juga akan menjawab hal yang sama".
Ini bermakna bahwa kata-kata seorang Arahat nampaknya sejalan dengan ajaran Sang Buddha walau bukan dari Beliau sendiri yang mengatakan.
QuoteQuoteJika demikian halnya, maka kita memiliki kesamaan dalam hal ini. Saya juga telah mengatakan bukan, bahwa hal2 demikian tidak eksklusif dlm Buddhisme spt pancabala dlsb. Lanjut? :)
Lanjut. :) 
Benar banyak hal yang bukan eksklusif Buddhism :)
Quote
QuoteOK, salah baca itu normal. Menurutku - bukan menurut Buddhisme - meski siap melepas pandangan lama dan menerima pandangan baru, tetapi Upatissa masih belum dapat memutuskan mana yg benar dan mana yg tidak, karenanya masih belum berpandangan benar, and vice versa. Maka jawabannya simple, masih pandangan salah. Meski deviasi sudut pandangan salahnya (jika pandangan benar dianalogikan dengan garis tegak lurus) lebih kecil dibanding pandangan salah lainnya. Alasan saya karena faham agnostiknya Sanjaya menolak mengambil posisi terkait hal2 mengenai adanya dunia lain, kelahiran kembali, kamma dan eksistensi seorang tathagata. Tidak mengambil posisi mungkin lebih baik dari mengambil posisi menolak, tetapi itu menunjukkan keragu-raguan, padahal menurut Sang Buddha hal2 demikian (3 yg pertama) adalah benar ada, dan mengambil posisi meyakini meski tanpa melihat pun sudah langkah bertaruh scr aman yg memungkinkan seseorang utk hidup secara baik dan terlahir dlm kelahiran yg lebih baik.
Berarti boleh dibilang sewaktu sesaat sebelum ia mencerap perkataan Thera Assaji, ia masih merupakan orang berpandangan salah, betul? 
Kalau bicara deviasi, Upatissa yang tidak tahu ajaran Buddha sama sekali dengan "deviasi sedikit" bisa merealisasi ajaran. Kira-kira menurut Bro Jerry, mengapa ada para bhikkhu yang berlatih dalam dhamma-vinaya Buddha Gotama waktu itu yang sudah bertahun-tahun dalam "pandangan benar, atau nir-deviasi" tidak dapat merealisasi ajaran? 
Dalam hal melatih Dhamma-vinaya menurut saya mirip seperti orang yang berlatih mengendarai sepeda, awalnya susah tetapi bila sudah menguasai, walaupun sudah tak berlatih 20 tahun, dengan cepat dia akan menguasai kembali keahlian tersebut.
QuoteQuoteMungkin sejalan. Pernyataan saya terdahulu berdasarkan sejauh apa yg saya ketahui ttg Sariputta, tetapi saya belum pernah menemukan bahwa beliau menghadapi 1 hal dan tidak tahu apakah hal itu "jalan dan bukan jalan" sehingga harus konfirmasi terlebih dulu pd Buddha sebagaimana yg Bro Kain nyatakan. Catatan: Dhananjhani Sutta menjelaskan dengan baik maksud saya mengenai perbedaan antara Y.A Sariputta dengan Sang Buddha dalam mengenali jalan. Perbedaannya yaitu Sang Buddha mengenali secara sempurna jalan mana yg terbaik utk pencapaian ssorg, metode apa yg dipakai dan kapan waktunya. Tetapi dalam hal membedakan mana jalan dan mana yg bukan, Sariputta sejauh yg saya ketahui selalu bisa membedakan. Ini terbukti dari banyaknya pertanyaan dari rekan-rekan sejawatnya.
Ketika Bhikkhu Channa akan bunuh diri, Sariputta tidak mengetahui yang mana "jalan dan bukan jalan" bagi Channa untuk mencapai Arahatta. Maka ketika Bhikkhu Channa parinibbana, ia sendiri tidak mengetahui dan bertanya kepada Buddha. 
Kasus lain misalnya yang melatar-belakangi dikisahkannya Tittha Jataka di mana Sariputta tidak mengetahui "jalan dan bukan jalan" yang tepat bagi seorang muridnya. Ia mengajarkan jalan "Asubha" yang tidak memberikan hasil, sehingga akhirnya dibawa kepada Buddha. 
Kasus bagi Arahat lainnya adalah Mahapanthaka yang tidak mengetahui "jalan dan bukan jalan" bagi adiknya, maka ia mengusirnya dari Sangha karena setelah berbulan-bulan tidak bisa menghafal satu bait. 
Dari kasus-kasus tersebut, apakah kemudian cocok jika dikatakan Arahat mengetahui "jalan dan bukan jalan" secara sempurna? 
Seorang Arahat mengetahui secara jelas antara jalan dan bukan jalan bagi dirinya sendiri. Jalan ini berlaku secara universal untuk setiap orang. Maksudnya setiap orang dapat melatih jalan itu untuk mencapai kesucian.
Namun kecepatan perjuangannya ada yang perlu waktu beberapa menit, beberapa hari, bulan, tahun atau tahun, tergantung berapa banyak pengalaman sebelumnya.
Bahkan ada orang-orang tertentu yang tak mungkin dapat mencapai kesucian dalam kehidupan ini sekeras apapun mereka berlatih, misalnya orang idiot atau terlahir kelamin ganda (hermaphrodite) ini disebabkan karma masa lampau. 
Jadi kecepatan pencapaian seseorang tergantung berapa lama dia berlatih sebelumnya, dan bagaimanakah kecenderungan laten batin orang itu (hal ini tentu saja berbeda setiap orang). Hanya seorang Buddha yang mengetahui dengan jelas semua hal itu. Arahat tentu saja tak dapat dibandingkan dengan Sang Buddha, tetapi bukan berarti Arahat tak dapat membedakan dengan jelas antara jalan dan bukan jalan.
 _/\_
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 11 December 2009, 07:00:34 PM
Bro Kainin yang baik,
Dalam tujuh tahap kesucian, salah satu tahap adalah Magamagga nanadassana visudhi atau atau pengetahuan yang membedakan jalan dan bukan jalan, jadi walaupun belum mencapai kesucian, seorang meditator Vipassana akan mencapai tahap ini.
 _/\_
Magamagga nanadassana visudhi ini, apakah untuk dirinya sendiri atau dia mengetahui jalan dan bukan jalan bagi semua orang?
Jalannya berlaku bagi semua orang, tapi belum tentu ia mampu menguraikan jalan itu kepada orang lain, dan tentu saja itu hal lain.
QuoteQuote from: fabian c on 11 December 2009, 07:16:08 PM
Bro Kaynin yang baik, 
Label agama adalah suatu konvensi, seperti yang pernah saya jelaskan, jaman dulu di pemerintahan jaman Orla dan awal orba, agama Buddha, Hindu, Kong Hu Cu pernah dianggap sebagai aliran kepercayaan, sekarang dianggap agama, tapi di masa yang akan datang, kalau kaum fundamentalis suatu agama tertentu berkuasa dalam membuat undang-undang semau mereka, maka agama-agama ini mungkin dirubah lagi statusnya bukan lagi agama, mungkin statusnya kembali menjadi aliran kepercayaan atau bahkan dilarang.
Saya yakin teman-teman (dan termasuk saya) bukan mempermasalahkan label, tetapi keberatan bila ajaran Sang Buddha disamakan atau disejajarkan dengan ajaran lain. 
 _/\_
Saya tahu hampir semua di sini juga tidak ada yang mempermasalahkan label. Saya pun keberatan bila dibilang Ajaran Buddha = Ajaran lain. Tetapi saya juga keberatan kalau Ajaran Buddha didefinisikan sesuatu yang tertuang hanya pada "konvensi" tersebut. Ada perbedaan tentang "konvensi" ini, maka saya tanyakan apakah "unsur" agama menurut masing-masing orang. 
Definisi agama itu sendiri juga merupakan konvensi. K dan I mendefinisikan agama adalah sesuatu yang berasal dari T, jadi definisi agama itu sendiri bersifat bias (definisi agama itu diajarkan di sekolah-sekolah yang mengajarkan agama tersebut untuk tujuan yang kita semua sudah tahu kan?)
Makanya saya tak peduli, bagi saya agama Buddha adalah ajaran Sang Buddha atau Buddha Dhamma.
Saya menganggap demikian karena konvensi (dan juga hukum negara Indonesia) sudah menganggap Buddha Dhamma sebagai agama (ini juga karena perjuangan), maka saya terima saja.
 _/\_
			
 
			
			
				Oh ya saya ada tambahan sedikit sebagai bahan sharing untuk saudara Kainyn.
Seorang guru meditasi Vipassana pernah menceritakan kepada saya, pada suatu ketika ada seorang wanita yang beragama K ikut retret meditasi Vipassana.
Setelah beberapa hari wanita ini menangis (menangis sering terjadi pada wanita yang ber-Vipassana), ia menggerung-gerung menyebut nama T berkali-kali, guru meditasi tersebut berusaha menjelaskan agar ia melepas pandangan salahnya tersebut agar maju lebih jauh, tetapi nampaknya wanita itu tak dapat mengatasi pandangan kelirunya, lalu berhenti meditasi dan pulang.
Pada kesempatan yang lain seorang wanita beragama I belajar meditasi Vipassana di tempat yang sama pada guru yang sama, ia maju dalam Nana-nana (seperti yang sudah saya posting sebelumnya).
Jadi kemajuan dalam mencapai kesucian pada seseorang tergantung sejauh mana ia tidak berpegang pada pandangan salah.
 _/\_
			
			
			
				Quote from: fabian c on 12 December 2009, 11:20:56 PM
QuoteQuote from: fabian c on 11 December 2009, 07:16:08 PM
Bro Kaynin yang baik, 
Label agama adalah suatu konvensi, seperti yang pernah saya jelaskan, jaman dulu di pemerintahan jaman Orla dan awal orba, agama Buddha, Hindu, Kong Hu Cu pernah dianggap sebagai aliran kepercayaan, sekarang dianggap agama, tapi di masa yang akan datang, kalau kaum fundamentalis suatu agama tertentu berkuasa dalam membuat undang-undang semau mereka, maka agama-agama ini mungkin dirubah lagi statusnya bukan lagi agama, mungkin statusnya kembali menjadi aliran kepercayaan atau bahkan dilarang.
Saya yakin teman-teman (dan termasuk saya) bukan mempermasalahkan label, tetapi keberatan bila ajaran Sang Buddha disamakan atau disejajarkan dengan ajaran lain. 
 _/\_
Saya tahu hampir semua di sini juga tidak ada yang mempermasalahkan label. Saya pun keberatan bila dibilang Ajaran Buddha = Ajaran lain. Tetapi saya juga keberatan kalau Ajaran Buddha didefinisikan sesuatu yang tertuang hanya pada "konvensi" tersebut. Ada perbedaan tentang "konvensi" ini, maka saya tanyakan apakah "unsur" agama menurut masing-masing orang. 
Definisi agama itu sendiri juga merupakan konvensi. K dan I mendefinisikan agama adalah sesuatu yang berasal dari T, jadi definisi agama itu sendiri bersifat bias (definisi agama itu diajarkan di sekolah-sekolah yang mengajarkan agama tersebut untuk tujuan yang kita semua sudah tahu kan?)
Makanya saya tak peduli, bagi saya agama Buddha adalah ajaran Sang Buddha atau Buddha Dhamma.
Saya menganggap demikian karena konvensi (dan juga hukum negara Indonesia) sudah menganggap Buddha Dhamma sebagai agama (ini juga karena perjuangan), maka saya terima saja.
 _/\_
Setuju dng Om Fab.. :jempol:
 [at] Ryu
Brarti aye salah coret kalo gitu :))
			
 
			
			
				Yap.. setuju dengan saudara Fabian. Selain itu, sebenarnya istilah 'agama' dan menurut pendapat saya bahkan istilah 'Buddha', 'Dhamma' hanya hal2 yang bersifat konvensi dalam artian mereka hanya merupakan kata2 persetujuan. Sebagai contoh, di negara2 yang berbahasa Inggris, istilah agama dimengerti sebagai religion, dan tidak harus dengan istilah 'agama'. Kenapa sekarang di Indonesia mereka yang menjadi penganut ajaran BUddha dikatakn beragama BUddha? Karena kebetulan yang menjadi pendiri ajaran ini dikenal sebagai Buddha. Buddha adalh bahasa Pali yang berarti 'Yang telah terbangunkan'. Seumpamanya, Sang Buddha mencapai penerangan sempurna di Indonesia yang mana bahasanya berbeda dari bahasa Pali, maka saya yakin nama agama itu sendiri pasti bukan agama BUddha, namun menggunakan istilah lain, seperti 'Agama Terbangunkan'. Menimbang ini, sebenarnya yang menjadi permasalahan adalh bukan label atau nama dari agama itu sendiri. Yang terpenting adalh inti atau isi ajaran agama tersebut. 
Be happy
			
			
			
				Yup setuju dengan pendapat Om Fab dan penambahan dari Sdr Peacemind _/\_
Makanya dikatakan sbg 'agama' Buddha pun bukan masalah besar toh? Atau mau dikatakan 'ajaran' Buddha, 'Buddha-sasana' dlsb. Yang lebih penting isi dan pengertiannya dibandingkan mengganti istilah karena istilah diganti bagaimanapun seringkali isinya masih tetap itu-itu saja. Sedangkan tentang definisi, bagi saya tentu ada definisi mutlak dan ada definisi personal tentang 'agama' Buddha. 
Definisi mutlak sifatnya tentu mutlak berdasarkan konvensi, sbgmn yg telah saya tuliskan sebelumnya (sebenarnya tercampur sedikit definisi personal), sedangkan definisi personal sifatnya relatif tergantung pada interpretasi personal masing2 yg dapat ditambahkan sesuai pengertiannya sendiri mengenai 'agama' Buddha. Misalnya ada yg menganggap agama Buddha bukan sekadar agama, tetapi cara hidup atau filosofi dlsb, itu bukan masalah dan kenyataannya memang agama Buddha dapat diinterpretasikan dalam cara itu. Mungkin yg ke-2 inilah yg Bro Kain lebih cenderung padanya.
Mettacittena
			
			
			
				Quote from: ryu on 12 December 2009, 02:10:20 PM
kalau soal mengenal ketidak puasan khan semua orang dari agama manapun bisa saja, tapi jalan untuk mencapai nibbana itu yang sulit dan ungkapan "hanya di ajaran Buddha" yang bisa menuntun ke Nibbana tidak salah khan?
"Hanya di ajaran Buddha yang bisa menuntun ke Nibbana" adalah benar, jika kita mengabaikan Pacceka Buddha. 
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 12 December 2009, 05:14:54 PM
Apa tidak OOT dari apa yg sedang kita bahas? Btw, bahas apa sih kita? :hammer:
Sebelumnya telah pernah saya tuliskan bbrp hal pengondisi tsb yaitu waktu matangnya kondisi tiap2 orang adl berbeda2, metode yg diajarkan apakah cocok atau tidak, kondisi batin si pendengar sendiri bagaimana, apakah terbebas dr pancanivarana atau tidak, apakah terkonsentrasi atau tidak, apakah perasaannya menolak atau menerima, kualitas samvega dalam batinnya bagaimana. Akan ada banyak faktor pengondisi yg mana masing2 berbeda antara 1 orang dg yg lainnya. Ini tdk akan habis dijabarkan. Selain itu, ingat Sang Buddha adl penunjuk jalan, selanjutnya yg menempuh jalan adalah bhikkhu itu sendiri. Dan dalam menempuh itu tergantung pd usaha ybs sendiri.
Toh bukannya saya yang memasukkan unsur nilai deviasi karena satu pandangan dalam pencapaian seseorang. Seperti saya katakan, semua sama saja, sebelum orang menembus kesucian minimal Sotapatti, sama-sama berpandangan salah. Jadi Upatissa menjelang bertemu Assaji sama saja -dalam konteks berpandangan salah- dengan para Nigantha yang memusuhi Buddha; juga demikian halnya dengan para bhikkhu puthujjana maha-thera dengan orang beragama lain. Sama. 
Apa yang dapat membuat seseorang memahami dhamma adalah karena kematangan bathin, bukan karena agamanya, bukan karena pandangannya. Dan tentu saja perlu diingat saya sama sekali tidak menyamakan kematangan bathin seorang Upatissa dan para Nigantha. 
QuoteJadi saya ingatkan kembali bahwa pokok pembahasan kita berpusat pada perbedaan kita, di mana Bro Kain menganggap di luar agama Buddha ada jalan&buah. Sementara saya tidak. Mari kembali. Mari  :backtotopic:
Sebetulnya semua yang saya bahas adalah memiliki relevansi, mulai dari definisi "agama", "ajaran", dan agama Buddha secara murni. Sikap kita dilandasi oleh suatu pola pikir, antara "potensi pencapaian kesucian" dan "pengetahuan akan jalan dan bukan jalan", yang menentukan definisi agama dan ajaran tersebut. Tapi karena perbedaan yang cukup jauh dari pola pikir tersebut, maka saya pikir memang tidak bisa dilanjutkan kembali. 
Terima kasih untuk diskusinya yang baik. :)
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 12 December 2009, 11:09:02 PM
Bro Kainyn yang baik kita memang tidak hidup selama 2500 tahun untuk secara pasti menilai manakah ajaran Buddha yang asli, tetapi fakta bahwa praktek yang diajarkan dalam Tipitaka Pali telah dilatih selama 2500 tahun dan terbukti, saya kira lebih dari cukup. 
Tapi inipun juga tak memuaskan semua orang. Entah kalau Sang Buddha sendiri yang masih hidup dan mengatakan "ini benar ajaran saya dan yang itu bukan" mungkin baru memuaskan.
Dalam sutta Sang Buddha kadang membenarkan kata-kata siswa Beliau dan mengatakan "Bila hal itu ditanyakan kepada saya, saya juga akan menjawab hal yang sama".
Ini bermakna bahwa kata-kata seorang Arahat nampaknya sejalan dengan ajaran Sang Buddha walau bukan dari Beliau sendiri yang mengatakan.
Saya bukan mempermasalahkan kebenaran dalam satu ajaran. Itu tidak ada habisnya. Bahkan kalau saya tanya ke orang beragama lain pun mereka akan mengatakan hal yang sama persis bahwa sudah membuktikan ajaran agamanya bermanfaat. 
Yang saya singgung sebelumnya adalah "Ajaran Buddha dari segi Agama". Gampangnya, jika orang bilang Theravada = Agama Buddha, maka aliran lain bukan, karena "Agama Buddha" tidak mungkin memiliki dhamma-vinaya berbeda. 
QuoteSeorang Arahat mengetahui secara jelas antara jalan dan bukan jalan bagi dirinya sendiri. Jalan ini berlaku secara universal untuk setiap orang. Maksudnya setiap orang dapat melatih jalan itu untuk mencapai kesucian.
Namun kecepatan perjuangannya ada yang perlu waktu beberapa menit, beberapa hari, bulan, tahun atau tahun, tergantung berapa banyak pengalaman sebelumnya.
Bahkan ada orang-orang tertentu yang tak mungkin dapat mencapai kesucian dalam kehidupan ini sekeras apapun mereka berlatih, misalnya orang idiot atau terlahir kelamin ganda (hermaphrodite) ini disebabkan karma masa lampau.
 
Jadi kecepatan pencapaian seseorang tergantung berapa lama dia berlatih sebelumnya, dan bagaimanakah kecenderungan laten batin orang itu (hal ini tentu saja berbeda setiap orang). Hanya seorang Buddha yang mengetahui dengan jelas semua hal itu. Arahat tentu saja tak dapat dibandingkan dengan Sang Buddha, tetapi bukan berarti Arahat tak dapat membedakan dengan jelas antara jalan dan bukan jalan.
 _/\_
Kalau begitu, di sini kita juga berbeda pandangan. 
Sudah saya beri contoh bahwa Mahapanthaka tidak mengetahui jalan dan bukan jalan bagi adiknya. Ia hanya mengetahui sejauh yang diajarkan oleh Sang Guru, maka ia berpikir adiknya adalah seorang yang pandir dan tidak akan memahami dhamma dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, ia mengusirnya. 
Kebenaran itu universal, tapi saya tidak setuju kalau dibilang jalan menuju ke sana adalah sama bagi semua orang. 
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 12 December 2009, 11:35:38 PM
Oh ya saya ada tambahan sedikit sebagai bahan sharing untuk saudara Kainyn.
Seorang guru meditasi Vipassana pernah menceritakan kepada saya, pada suatu ketika ada seorang wanita yang beragama K ikut retret meditasi Vipassana.
Setelah beberapa hari wanita ini menangis (menangis sering terjadi pada wanita yang ber-Vipassana), ia menggerung-gerung menyebut nama T berkali-kali, guru meditasi tersebut berusaha menjelaskan agar ia melepas pandangan salahnya tersebut agar maju lebih jauh, tetapi nampaknya wanita itu tak dapat mengatasi pandangan kelirunya, lalu berhenti meditasi dan pulang.
Pada kesempatan yang lain seorang wanita beragama I belajar meditasi Vipassana di tempat yang sama pada guru yang sama, ia maju dalam Nana-nana (seperti yang sudah saya posting sebelumnya).
Jadi kemajuan dalam mencapai kesucian pada seseorang tergantung sejauh mana ia tidak berpegang pada pandangan salah.
 _/\_
Saya sharing detail Tittha Jataka. 
Seorang bhikkhu murid dari Sariputta diajarkan objek Asubha, namun setelah berbulan-bulan, tidak ada manfaat. Maka dibawa ke Buddha dan Buddha memberikan metode yang berbeda yaitu gambaran bunga yang perlahan layu. Dengan objek tersebut, bhikkhu itu mengembangkan pandangan terang dan merealisasi Arahatta-phala. Buddha berkata bahwa karena kecenderungan masa lalu yang kuat dari bhikkhu itu (yang disebabkan salah satu kehidupannya sebagai pandai-emas), maka ia tidak mendapat manfaat dari Asubha. 
Pandangan Bro fabian seperti "menyalahkan" murid Sariputta tersebut karena tidak mampu mendapatkan kemajuan dari Agga Savaka Sariputta, yang tentu saja ajarannya sudah terbukti bermanfaat bagi orang lain. (Seorang wanita tidak mampu mendapat manfaat dari satu metode vipassana karena tidak bisa melepas pandangan salah.)
Dalam hal tidak adanya kemajuan bagi seseorang, pendapat saya adalah 3 kemungkinan: 1. keterbatasan murid, 2. keterbatasan guru atau 3. keterbatasan keduanya. Jadi dari sharing Bro fabian, walaupun belum tentu, namun bisa saja jika ia bertemu seorang yang sempurna pengajarannya (baca: Buddha), ia ternyata bisa menembus magga-phala. 
			
 
			
			
				Oleh karena itu Guru meditasi harus piawai dalam menilai karakter murid apalagi dari keyakinan agama yg berbeda, dan murid harus memiliki saddha dan kerendahan hati serta tidak keras kepala kepada gurunya demi kemajuan batinnya ketika ia sedang dilatih guru itu.
 _/\_
			
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 14 December 2009, 09:57:17 AM
Toh bukannya saya yang memasukkan unsur nilai deviasi karena satu pandangan dalam pencapaian seseorang. Seperti saya katakan, semua sama saja, sebelum orang menembus kesucian minimal Sotapatti, sama-sama berpandangan salah. Jadi Upatissa menjelang bertemu Assaji sama saja -dalam konteks berpandangan salah- dengan para Nigantha yang memusuhi Buddha; juga demikian halnya dengan para bhikkhu puthujjana maha-thera dengan orang beragama lain. Sama. 
Apa yang dapat membuat seseorang memahami dhamma adalah karena kematangan bathin, bukan karena agamanya, bukan karena pandangannya. Dan tentu saja perlu diingat saya sama sekali tidak menyamakan kematangan bathin seorang Upatissa dan para Nigantha. 
Yap, yg membuat seseorang memahami dhamma adl kematangan batin, saya setuju itu. Makanya sedikit banyak ada persamaan antara hukum kamma, akibat yg ditimbulkan dari suatu perbuatan yg ada dlm agama Buddha dng Hindu, atau dengan agama2 samawi dengan bungkus berbeda atau dengan agama timur lainnya. Tetapi lain lagi halnya dengan merealisasi dhamma, mencapai pembebasan melalui 4 jalan&buah, tidak cukup dengan sekadar kematangan batin saja. Saya mengerti yg Bro Kain mksdkan, memang dlm konteks tertentu ada persamaannya tetapi seorang bhikkhu puthujjana maha-thera setidaknya telah memiliki pondasi yg cukup, kecukupan apa yg saya maksudkan? Pandangan benar oleh Sang Buddha dikatakan ada 2, yaitu pandangan benar yg masih bersekutu dengan asava dan pandangan benar yg tidak lagi bersekutu dengan asava. Seorang bhikkhu puthujjana maha-thera setidaknya "mungkin" telah memiliki pandangan benar yg bersekutu dg asava. Demikian pula dengan mereka yg mempelajari ajaran Buddha, memiliki keyakinan dan menjalankan ajarannya. Ini pun sudah sebuah pandangan benar, meski sangat "mungkin" masih bersekutu dengan asava. Dalam sutta perumpamaan sebatang kayu, seperti sebatang kayu yg hanyut di sungai, selama sebatang kayu itu tidak mengalami 7 rintangan maka kayu tsb akan sampai ke samudera pada akhirnya. Demikian dengan seseorang yg telah berpandangan benar [meski masih bersekutu dng asava] selama dapat menghindari 7 rintangan, maka pada saatnya nanti niscaya ia akan sampai ke nibbana.
Sehingga saya tidak akan menyamakan antara seorang upatissa dengan para acelaka, atau antara seorang beragama lain dengan bhikkhu puthujjana maha-thera. :)
QuoteSebetulnya semua yang saya bahas adalah memiliki relevansi, mulai dari definisi "agama", "ajaran", dan agama Buddha secara murni. Sikap kita dilandasi oleh suatu pola pikir, antara "potensi pencapaian kesucian" dan "pengetahuan akan jalan dan bukan jalan", yang menentukan definisi agama dan ajaran tersebut. Tapi karena perbedaan yang cukup jauh dari pola pikir tersebut, maka saya pikir memang tidak bisa dilanjutkan kembali. 
Terima kasih untuk diskusinya yang baik. :)
 _/\_
Silakan, terima kasih juga :) 
Oya, tambahan utk komen Bro Kain pd postingan Ryu.. Tentu saja seorang Pacceka Buddha adalah juga seorang Buddha, dan ajaran seorang Pacceka Buddha tentu saja dinamakan juga 'ajaran Buddha' atau 'agama Buddha'. Jadi pernyataan "Hanya di ajaran Buddha yang bisa menuntun ke Nibbana" tentu saja benar. :D
Mettacittena
_/\_
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 14 December 2009, 05:31:57 PM
Oya, tambahan utk komen Bro Kain pd postingan Ryu.. Tentu saja seorang Pacceka Buddha adalah juga seorang Buddha, dan ajaran seorang Pacceka Buddha tentu saja dinamakan juga 'ajaran Buddha' atau 'agama Buddha'. Jadi pernyataan "Hanya di ajaran Buddha yang bisa menuntun ke Nibbana" tentu saja benar. :D
Mettacittena
_/\_
Disebut Pacceka Buddha (Buddha 'diam') karena tidak merumuskan ajaran apa pun. Jadi tidak ada "Ajaran Pacceka Buddha". 
"Ajaran Buddha" hanyalah dari seorang Samma Sambuddha. Savaka Buddha hanya melanjutkan apa yang diajarkan Sang Guru, jadi tidak bisa pula disebut "Ajaran Savaka Buddha". :) 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 14 December 2009, 06:00:17 PM
Quote from: Jerry on 14 December 2009, 05:31:57 PM
Oya, tambahan utk komen Bro Kain pd postingan Ryu.. Tentu saja seorang Pacceka Buddha adalah juga seorang Buddha, dan ajaran seorang Pacceka Buddha tentu saja dinamakan juga 'ajaran Buddha' atau 'agama Buddha'. Jadi pernyataan "Hanya di ajaran Buddha yang bisa menuntun ke Nibbana" tentu saja benar. :D
Mettacittena
_/\_
Disebut Pacceka Buddha (Buddha 'diam') karena tidak merumuskan ajaran apa pun. Jadi tidak ada "Ajaran Pacceka Buddha". 
"Ajaran Buddha" hanyalah dari seorang Samma Sambuddha. Savaka Buddha hanya melanjutkan apa yang diajarkan Sang Guru, jadi tidak bisa pula disebut "Ajaran Savaka Buddha". :) 
knapa pacceka buddha tidak merumuskan ajaran ?enggan atau gak pandai?
			
 
			
			
				Quote from: chingik on 14 December 2009, 06:06:00 PM
knapa pacceka buddha tidak merumuskan ajaran ?enggan atau gak pandai?
Menurut saya, karena mereka memang hanya memahami jalan yang berkenaan dengan dirinya tidak mengetahui kecenderungan orang lain dengan sempurna, maka mereka tidak merumuskannya. Ini maksudnya berkenaan dengan "Buddha-dhamma". Kalau berkenaan dengan dhamma umumnya, saya yakin mereka tetap mengajar, bahkan ada kisah-kisah lampau di mana Bodhisatta diajar atau diingatkan oleh Pacceka Buddha. 
			
 
			
			
				busett, ini pada ngeqoute post si jerry, gw harus edit semua nih, grrrrrrrrrrrrr...............!!!!!!
			
			
			
				=))
			
			
			
				Quote from: chingik on 14 December 2009, 06:06:00 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 14 December 2009, 06:00:17 PM
Quote from: Jerry on 14 December 2009, 05:31:57 PM
Oya, tambahan utk komen Bro Kain pd postingan Acek ganjen Ryu.. Tentu saja seorang Pacceka Buddha adalah juga seorang Buddha, dan ajaran seorang Pacceka Buddha tentu saja dinamakan juga 'ajaran Buddha' atau 'agama Buddha'. Jadi pernyataan "Hanya di ajaran Buddha yang bisa menuntun ke Nibbana" tentu saja benar. :D
Mettacittena
_/\_
Disebut Pacceka Buddha (Buddha 'diam') karena tidak merumuskan ajaran apa pun. Jadi tidak ada "Ajaran Pacceka Buddha". 
"Ajaran Buddha" hanyalah dari seorang Samma Sambuddha. Savaka Buddha hanya melanjutkan apa yang diajarkan Sang Guru, jadi tidak bisa pula disebut "Ajaran Savaka Buddha". :) 
knapa pacceka buddha tidak merumuskan ajaran ?enggan atau gak pandai?
Berbeda dalam latihan, cara, jalan yang di tempuh hingga berbeda pencapaian yang dihasilkan seperti devadata yang akan menjadi Paceka Buddha pada masa akan datang 
			
 
			
			
				sipp.. mari ta' quote terus postingan aye >:D
			
			
			
				hehehehe, untung gua glomod, kalo gak gw klik report to moderator kakakakakak
			
			
			
				wakkakakaka.. gimana ceritanya tuh kalo ampe glomod nglapor ke moderator :))
			
			
			
				kam masih ada gue, glomod maha thera
			
			
			
				Quote from: Indra on 14 December 2009, 08:23:46 PM
kam masih ada gue, glomod maha thera
bisa buktikan dengan pengakuan anda sbg mahathera? 
			
 
			
			
				Quote from: chingik on 14 December 2009, 08:53:19 PM
Quote from: Indra on 14 December 2009, 08:23:46 PM
kam masih ada gue, glomod maha thera
bisa buktikan dengan pengakuan anda sbg mahathera? 
saya tidak berkepentingan untuk membuktikan pada anda. emangnya siapa anda?
			
 
			
			
				Quote from: Indra on 14 December 2009, 09:02:04 PM
Quote from: chingik on 14 December 2009, 08:53:19 PM
Quote from: Indra on 14 December 2009, 08:23:46 PM
kam masih ada gue, glomod maha thera
bisa buktikan dengan pengakuan anda sbg mahathera? 
saya tidak berkepentingan untuk membuktikan pada anda. emangnya siapa anda?
wkwkw....just kidding bro .  :))
			
 
			
			
			
			
				Saya beriman pada glomod maha thera ^:)^
			
			
			
				Quote
Quote from: fabian c on 12 December 2009, 11:09:02 PM
Bro Kainyn yang baik kita memang tidak hidup selama 2500 tahun untuk secara pasti menilai manakah ajaran Buddha yang asli, tetapi fakta bahwa praktek yang diajarkan dalam Tipitaka Pali telah dilatih selama 2500 tahun dan terbukti, saya kira lebih dari cukup. 
Tapi inipun juga tak memuaskan semua orang. Entah kalau Sang Buddha sendiri yang masih hidup dan mengatakan "ini benar ajaran saya dan yang itu bukan" mungkin baru memuaskan.
Dalam sutta Sang Buddha kadang membenarkan kata-kata siswa Beliau dan mengatakan "Bila hal itu ditanyakan kepada saya, saya juga akan menjawab hal yang sama".
Ini bermakna bahwa kata-kata seorang Arahat nampaknya sejalan dengan ajaran Sang Buddha walau bukan dari Beliau sendiri yang mengatakan.
Saya bukan mempermasalahkan kebenaran dalam satu ajaran. Itu tidak ada habisnya. Bahkan kalau saya tanya ke orang beragama lain pun mereka akan mengatakan hal yang sama persis bahwa sudah membuktikan ajaran agamanya bermanfaat. 
Yang saya singgung sebelumnya adalah "Ajaran Buddha dari segi Agama". Gampangnya, jika orang bilang Theravada = Agama Buddha, maka aliran lain bukan, karena "Agama Buddha" tidak mungkin memiliki dhamma-vinaya berbeda. 
Bro Kainyn yang baik, bagaimanakah pengertian bro Kainyn dengan Dhamma-vinaya? Apa itu Dhamma-vinaya? Nampaknya kita melihat dari sisi yang berbeda.
QuoteQuoteSeorang Arahat mengetahui secara jelas antara jalan dan bukan jalan bagi dirinya sendiri. Jalan ini berlaku secara universal untuk setiap orang. Maksudnya setiap orang dapat melatih jalan itu untuk mencapai kesucian.
Namun kecepatan perjuangannya ada yang perlu waktu beberapa menit, beberapa hari, bulan, tahun atau tahun, tergantung berapa banyak pengalaman sebelumnya.
Bahkan ada orang-orang tertentu yang tak mungkin dapat mencapai kesucian dalam kehidupan ini sekeras apapun mereka berlatih, misalnya orang idiot atau terlahir kelamin ganda (hermaphrodite) ini disebabkan karma masa lampau.
 
Jadi kecepatan pencapaian seseorang tergantung berapa lama dia berlatih sebelumnya, dan bagaimanakah kecenderungan laten batin orang itu (hal ini tentu saja berbeda setiap orang). Hanya seorang Buddha yang mengetahui dengan jelas semua hal itu. Arahat tentu saja tak dapat dibandingkan dengan Sang Buddha, tetapi bukan berarti Arahat tak dapat membedakan dengan jelas antara jalan dan bukan jalan.
 _/\_
Kalau begitu, di sini kita juga berbeda pandangan. 
Sudah saya beri contoh bahwa Mahapanthaka tidak mengetahui jalan dan bukan jalan bagi adiknya. Ia hanya mengetahui sejauh yang diajarkan oleh Sang Guru, maka ia berpikir adiknya adalah seorang yang pandir dan tidak akan memahami dhamma dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, ia mengusirnya. 
Kebenaran itu universal, tapi saya tidak setuju kalau dibilang jalan menuju ke sana adalah sama bagi semua orang. 
Setahu saya Mahapanthaka bukan mengetahui atau tidak mengetahui jalan dan bukan jalan bagi adiknya, karena jalan kesucian hanya satu, yaitu Vipassana. Tak ada tawar menawar mengenai jalan kesucian,   Inilah pandangan Theravadin: tanpa Vipassana? kesucian... no way.
Y.A. Mahapanthaka harus ber-vipassana, para Buddha harus ber-vipassana, Arahat hingga Sotapanna, demikian juga Pacceka Buddha harus ber-vipassana, mengapa dikatakan Y.A. Mahapanthaka tak tahu jalan kesucian bagi Culapanthaka?
Sudah tentu beliau tahu karena jalan itu adalah Vipassana (semua Ariya puggala mencapai kesucian melalui vipassana) . Yang beliau tidak tahu adalah cara mengarahkan Culapanthaka sehingga ia mampu melihat, menyadari dan menyelami anicca, dukkha dan anatta (karena Culapanthaka dihalangi karma masa lalunya).
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 19 December 2009, 07:05:56 PM
Quote
Saya bukan mempermasalahkan kebenaran dalam satu ajaran. Itu tidak ada habisnya. Bahkan kalau saya tanya ke orang beragama lain pun mereka akan mengatakan hal yang sama persis bahwa sudah membuktikan ajaran agamanya bermanfaat. 
Yang saya singgung sebelumnya adalah "Ajaran Buddha dari segi Agama". Gampangnya, jika orang bilang Theravada = Agama Buddha, maka aliran lain bukan, karena "Agama Buddha" tidak mungkin memiliki dhamma-vinaya berbeda. 
Bro Kainyn yang baik, bagaimanakah pengertian bro Kainyn dengan Dhamma-vinaya? Apa itu Dhamma-vinaya? Nampaknya kita melihat dari sisi yang berbeda.
Dalam hal ini, pengertian saya adalah dhamma-vinaya (agama) yang memang diatur oleh Buddha Gotama. Seperti kita tahu sikap berbagai aliran Buddhisme terhadap dhamma-vinaya ada bedanya, sementara Buddha Gotama (setahu saya) hanya satu. Jadi sebetulnya yang mana dhamma-vinaya-nya Buddha Gotama? 
QuoteQuote
Kalau begitu, di sini kita juga berbeda pandangan. 
Sudah saya beri contoh bahwa Mahapanthaka tidak mengetahui jalan dan bukan jalan bagi adiknya. Ia hanya mengetahui sejauh yang diajarkan oleh Sang Guru, maka ia berpikir adiknya adalah seorang yang pandir dan tidak akan memahami dhamma dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, ia mengusirnya. 
Kebenaran itu universal, tapi saya tidak setuju kalau dibilang jalan menuju ke sana adalah sama bagi semua orang. 
Setahu saya Mahapanthaka bukan mengetahui atau tidak mengetahui jalan dan bukan jalan bagi adiknya, karena jalan kesucian hanya satu, yaitu Vipassana. Tak ada tawar menawar mengenai jalan kesucian,   Inilah pandangan Theravadin: tanpa Vipassana? kesucian... no way.
Y.A. Mahapanthaka harus ber-vipassana, para Buddha harus ber-vipassana, Arahat hingga Sotapanna, demikian juga Pacceka Buddha harus ber-vipassana, mengapa dikatakan Y.A. Mahapanthaka tak tahu jalan kesucian bagi Culapanthaka?
Sudah tentu beliau tahu karena jalan itu adalah Vipassana (semua Ariya puggala mencapai kesucian melalui vipassana) . Yang beliau tidak tahu adalah cara mengarahkan Culapanthaka sehingga ia mampu melihat, menyadari dan menyelami anicca, dukkha dan anatta (karena Culapanthaka dihalangi karma masa lalunya).
 _/\_
Bukankah tulisan yang dibold itu sendiri sudah menjelaskan bahwa Mahapanthaka memang tidak tahu jalannya? 
Pencapaian kesucian lewat pandangan terang adalah seperti masuk ke kota yang hanya memiliki satu pintu. Saya setuju Mahapanthaka mengetahui "pintu" tersebut. Tetapi jika seseorang tidak bisa memberikan arah pada orang lain yang tersesat di hutan agar menemukan "pintu" tersebut, saya rasa tidak tepat orang itu dibilang mengetahui "jalan dan bukan jalan" untuk orang lain. 
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 19 December 2009, 07:05:56 PM
Quote
Saya bukan mempermasalahkan kebenaran dalam satu ajaran. Itu tidak ada habisnya. Bahkan kalau saya tanya ke orang beragama lain pun mereka akan mengatakan hal yang sama persis bahwa sudah membuktikan ajaran agamanya bermanfaat. 
Yang saya singgung sebelumnya adalah "Ajaran Buddha dari segi Agama". Gampangnya, jika orang bilang Theravada = Agama Buddha, maka aliran lain bukan, karena "Agama Buddha" tidak mungkin memiliki dhamma-vinaya berbeda. 
Bro Kainyn yang baik, bagaimanakah pengertian bro Kainyn dengan Dhamma-vinaya? Apa itu Dhamma-vinaya? Nampaknya kita melihat dari sisi yang berbeda.
Dalam hal ini, pengertian saya adalah dhamma-vinaya (agama) yang memang diatur oleh Buddha Gotama. Seperti kita tahu sikap berbagai aliran Buddhisme terhadap dhamma-vinaya ada bedanya, sementara Buddha Gotama (setahu saya) hanya satu. Jadi sebetulnya yang mana dhamma-vinaya-nya Buddha Gotama? 
Mungkin bro Kainyn perlu juga mempelajari Dhamma-vinaya aliran lain, Tantra umpamanya. Cara meditasinya sudah jelas berbeda, Tantra diajarkan mengatur hawa murni dsbnya. Mirip seperti meditasi chikung-neikung Taoism.
Sedangkan meditasi menurut Tipitaka tak ada ajaran mengenai mengarahkan dan mengatur hawa murni dsbnya. Saya kira saya tak berhak melarang orang lain mengaku beragama Buddha walaupun pandangannya 100% non-buddhis.
Masyarakat yang akan menilai hal itu.
QuoteQuoteQuote
Kalau begitu, di sini kita juga berbeda pandangan. 
Sudah saya beri contoh bahwa Mahapanthaka tidak mengetahui jalan dan bukan jalan bagi adiknya. Ia hanya mengetahui sejauh yang diajarkan oleh Sang Guru, maka ia berpikir adiknya adalah seorang yang pandir dan tidak akan memahami dhamma dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, ia mengusirnya. 
Kebenaran itu universal, tapi saya tidak setuju kalau dibilang jalan menuju ke sana adalah sama bagi semua orang. 
Setahu saya Mahapanthaka bukan mengetahui atau tidak mengetahui jalan dan bukan jalan bagi adiknya, karena jalan kesucian hanya satu, yaitu Vipassana. Tak ada tawar menawar mengenai jalan kesucian,   Inilah pandangan Theravadin: tanpa Vipassana? kesucian... no way.
Y.A. Mahapanthaka harus ber-vipassana, para Buddha harus ber-vipassana, Arahat hingga Sotapanna, demikian juga Pacceka Buddha harus ber-vipassana, mengapa dikatakan Y.A. Mahapanthaka tak tahu jalan kesucian bagi Culapanthaka?
Sudah tentu beliau tahu karena jalan itu adalah Vipassana (semua Ariya puggala mencapai kesucian melalui vipassana) . Yang beliau tidak tahu adalah cara mengarahkan Culapanthaka sehingga ia mampu melihat, menyadari dan menyelami anicca, dukkha dan anatta (karena Culapanthaka dihalangi karma masa lalunya).
 _/\_
Bukankah tulisan yang dibold itu sendiri sudah menjelaskan bahwa Mahapanthaka memang tidak tahu jalannya? 
Pencapaian kesucian lewat pandangan terang adalah seperti masuk ke kota yang hanya memiliki satu pintu. Saya setuju Mahapanthaka mengetahui "pintu" tersebut. Tetapi jika seseorang tidak bisa memberikan arah pada orang lain yang tersesat di hutan agar menemukan "pintu" tersebut, saya rasa tidak tepat orang itu dibilang mengetahui "jalan dan bukan jalan" untuk orang lain. 
Kan sudah saya katakan bahwa setiap Ariya Puggala mengetahui jalan kearah kesucian karena mereka telah melewati jalan itu. Semua Ariya Puggala melalui jalan yang sama. Jalan yang harus dilalui Culapanthaka untuk mencapai kesucian juga sama.
Sang Buddha memberikan kain untuk digosok-gosok bukan sebagai jalan, tetapi itu sebagai pemicu (
trigger) sehingga batinnya tenang dan perhatiannya mulai memusat (terkonsentrasi).
Ini diumpamakan seperti memberi anak kecil mainan yang membuat perhatiannya tak terlepas dari mainan tersebut, Perhatian yang terus-menerus terhadap mainan itulah yang disebut konsentrasi.
Dengan terbentuknya konsentrasi maka ia mulai mampu melihat anicca, dukkha dan anatta dstnya.
Dengan melihat anicca, dukkha dan anatta semakin jelas maka ia berada pada jalan.
Kematangan batin dalam melihat anicca, dukkha dan anatta itulah yang dimaksudkan dengan jalan yang membawa pada kesucian, bukan melihat kainnya.
Pemicu ada banyak, tetapi jalan kesucian hanya satu.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 21 December 2009, 01:28:28 PM
Mungkin bro Kainyn perlu juga mempelajari Dhamma-vinaya aliran lain, Tantra umpamanya. Cara meditasinya sudah jelas berbeda, Tantra diajarkan mengatur hawa murni dsbnya. Mirip seperti meditasi chikung-neikung Taoism.
Sedangkan meditasi menurut Tipitaka tak ada ajaran mengenai mengarahkan dan mengatur hawa murni dsbnya. Saya kira saya tak berhak melarang orang lain mengaku beragama Buddha walaupun pandangannya 100% non-buddhis.
Masyarakat yang akan menilai hal itu.
Nah, pandangan orang 100% Buddhis/non-Buddhis itu, menurut siapa? Menurut standard aliran apa atau guru yang mana? 
Kalau mau bicara fakta, sesungguhnya tidak ada tolok ukur yang valid secara universal. Yang bisa adalah "menurut aliran tertentu". 
Oleh karena itu juga saya lebih memilih bahas dari sesuatu yang kelihatan secara umum saja, yaitu "agamanya". Dan kalau kita lihat, sejalan dengan waktu, "Agama Buddha" bisa dan akan menjadi korup, dan pada saat itu, adalah mungkin bagi para Ariya Sotapanna (jika ada) untuk berpaling dari "Agama Buddha" tersebut. 
QuoteKan sudah saya katakan bahwa setiap Ariya Puggala mengetahui jalan kearah kesucian karena mereka telah melewati jalan itu. Semua Ariya Puggala melalui jalan yang sama. Jalan yang harus dilalui Culapanthaka untuk mencapai kesucian juga sama.
Sang Buddha memberikan kain untuk digosok-gosok bukan sebagai jalan, tetapi itu sebagai pemicu (trigger) sehingga batinnya tenang dan perhatiannya mulai memusat (terkonsentrasi).
Ini diumpamakan seperti memberi anak kecil mainan yang membuat perhatiannya tak terlepas dari mainan tersebut, Perhatian yang terus-menerus terhadap mainan itulah yang disebut konsentrasi.
Dengan terbentuknya konsentrasi maka ia mulai mampu melihat anicca, dukkha dan anatta dstnya.
Dengan melihat anicca, dukkha dan anatta semakin jelas maka ia berada pada jalan.
Kematangan batin dalam melihat anicca, dukkha dan anatta itulah yang dimaksudkan dengan jalan yang membawa pada kesucian, bukan melihat kainnya.
Pemicu ada banyak, tetapi jalan kesucian hanya satu.
 _/\_
Sepertinya ini hanya masalah definisi saja. Bro fabian bilang "jalan" dan "trigger", saya katakan "pintu" dan "jalan". 
Buddha pernah memberikan perumpamaan di mana Buddha diibaratkan seorang pemuda yang lahir dan besar di satu kota. Ia mengetahui jalan keluar masuk dari batas-batas kota tersebut. Jika ada seorang yang tersesat, maka ia tanpa kesulitan akan menunjukkan jalan ke kota tersebut. Namun ada kalanya orang tidak mengikuti petunjuknya dan tetap tersesat. 
Di sini kita lihat point berikut:
1. Ada jalan diberikan
2. Mencapai tujuan jika mengikuti petunjuk
3. Tetap tersesat jika tidak mengikuti petunjuk
Sekarang coba kita lihat ke kasus Sariputta yang mengajar muridnya (yang di masa lalu seorang pandai emas). Sariputta memberi jalan, lalu murid itu menjalaninya dengan baik, tetapi tidak mencapai hasil yang dituju. Dalam hal ini, apakah petunjuk diberikan dengan sempurna atau tidak sempurna? 
			
 
			
			
				Quote
Nah, pandangan orang 100% Buddhis/non-Buddhis itu, menurut siapa? Menurut standard aliran apa atau guru yang mana?
Kalau mau bicara fakta, sesungguhnya tidak ada tolok ukur yang valid secara universal. Yang bisa adalah "menurut aliran tertentu".
Oleh karena itu juga saya lebih memilih bahas dari sesuatu yang kelihatan secara umum saja, yaitu "agamanya". Dan kalau kita lihat, sejalan dengan waktu, "Agama Buddha" bisa dan akan menjadi korup, dan pada saat itu, adalah mungkin bagi para Ariya Sotapanna (jika ada) untuk berpaling dari "Agama Buddha" tersebut.
Bisa saja agama Buddha menjadi korup dan sotapanna berpaling dari "agama Buddha" dan berpalingnya dengan tetap mengikuti ajaran para sesepuh yang paling awal -kesepakatan konsili pertama . _/\_
			
 
			
			
				Quote from: bond on 21 December 2009, 03:04:33 PM
Quote
Nah, pandangan orang 100% Buddhis/non-Buddhis itu, menurut siapa? Menurut standard aliran apa atau guru yang mana?
Kalau mau bicara fakta, sesungguhnya tidak ada tolok ukur yang valid secara universal. Yang bisa adalah "menurut aliran tertentu".
Oleh karena itu juga saya lebih memilih bahas dari sesuatu yang kelihatan secara umum saja, yaitu "agamanya". Dan kalau kita lihat, sejalan dengan waktu, "Agama Buddha" bisa dan akan menjadi korup, dan pada saat itu, adalah mungkin bagi para Ariya Sotapanna (jika ada) untuk berpaling dari "Agama Buddha" tersebut.
Bisa saja agama Buddha menjadi korup dan sotapanna berpaling dari "agama Buddha" dan berpalingnya dengan tetap mengikuti ajaran para sesepuh yang paling awal -kesepakatan konsili pertama . _/\_
Kurang lebih menurut saya begitu karena di konsili pertama belum dikenal aliran-aliran, hanya satu "agama" di bawah Buddha Gotama. Seorang Ariya, mungkin tidak tahu apa isi konsili pertama, tidak tahu isi "Tipitaka" asli, tetapi yang pasti dengan kebijaksanaannya, mereka tidak akan menyimpang dari ajaran para Buddha. 
			
 
			
			
				Quote
Quote from: fabian c on 21 December 2009, 01:28:28 PM
Mungkin bro Kainyn perlu juga mempelajari Dhamma-vinaya aliran lain, Tantra umpamanya. Cara meditasinya sudah jelas berbeda, Tantra diajarkan mengatur hawa murni dsbnya. Mirip seperti meditasi chikung-neikung Taoism.
Sedangkan meditasi menurut Tipitaka tak ada ajaran mengenai mengarahkan dan mengatur hawa murni dsbnya. Saya kira saya tak berhak melarang orang lain mengaku beragama Buddha walaupun pandangannya 100% non-buddhis.
Masyarakat yang akan menilai hal itu.
Nah, pandangan orang 100% Buddhis/non-Buddhis itu, menurut siapa? Menurut standard aliran apa atau guru yang mana? 
Kalau mau bicara fakta, sesungguhnya tidak ada tolok ukur yang valid secara universal. Yang bisa adalah "menurut aliran tertentu". 
Oleh karena itu juga saya lebih memilih bahas dari sesuatu yang kelihatan secara umum saja, yaitu "agamanya". Dan kalau kita lihat, sejalan dengan waktu, "Agama Buddha" bisa dan akan menjadi korup, dan pada saat itu, adalah mungkin bagi para Ariya Sotapanna (jika ada) untuk berpaling dari "Agama Buddha" tersebut. 
100% non-buddhis bila ktp beragama Buddha tetapi ia berpikir secara K atau I dan ia menganggap K atau I itulah yang benar.
Benar... mungkin saja agama Buddha pecah menjadi agama Theravada dan agama Mahayana (seperti Kris dan Kato), entah pecah dan berubah namanya menjadi apapun, menurut saya seorang  Sotapanna akan tetap meyakini bahwa jalan Ariya berunsur delapan merupakan jalan untuk mengakhiri dukkha dan mencapai penghentiannya, karena Mereka telah melalui jalan tersebut.
QuoteQuoteKan sudah saya katakan bahwa setiap Ariya Puggala mengetahui jalan kearah kesucian karena mereka telah melewati jalan itu. Semua Ariya Puggala melalui jalan yang sama. Jalan yang harus dilalui Culapanthaka untuk mencapai kesucian juga sama.
Sang Buddha memberikan kain untuk digosok-gosok bukan sebagai jalan, tetapi itu sebagai pemicu (trigger) sehingga batinnya tenang dan perhatiannya mulai memusat (terkonsentrasi).
Ini diumpamakan seperti memberi anak kecil mainan yang membuat perhatiannya tak terlepas dari mainan tersebut, Perhatian yang terus-menerus terhadap mainan itulah yang disebut konsentrasi.
Dengan terbentuknya konsentrasi maka ia mulai mampu melihat anicca, dukkha dan anatta dstnya.
Dengan melihat anicca, dukkha dan anatta semakin jelas maka ia berada pada jalan.
Kematangan batin dalam melihat anicca, dukkha dan anatta itulah yang dimaksudkan dengan jalan yang membawa pada kesucian, bukan melihat kainnya.
Pemicu ada banyak, tetapi jalan kesucian hanya satu.
 _/\_
Sepertinya ini hanya masalah definisi saja. Bro fabian bilang "jalan" dan "trigger", saya katakan "pintu" dan "jalan". 
Buddha pernah memberikan perumpamaan di mana Buddha diibaratkan seorang pemuda yang lahir dan besar di satu kota. Ia mengetahui jalan keluar masuk dari batas-batas kota tersebut. Jika ada seorang yang tersesat, maka ia tanpa kesulitan akan menunjukkan jalan ke kota tersebut. Namun ada kalanya orang tidak mengikuti petunjuknya dan tetap tersesat. 
Di sini kita lihat point berikut:
1. Ada jalan diberikan
2. Mencapai tujuan jika mengikuti petunjuk
3. Tetap tersesat jika tidak mengikuti petunjuk
Sekarang coba kita lihat ke kasus Sariputta yang mengajar muridnya (yang di masa lalu seorang pandai emas). Sariputta memberi jalan, lalu murid itu menjalaninya dengan baik, tetapi tidak mencapai hasil yang dituju. Dalam hal ini, apakah petunjuk diberikan dengan sempurna atau tidak sempurna? 
Kan sudah saya katakan ada banyak trigger, contohnya bunga (kasus Y.A. Sariputta) dan kain (kasus Y.A. Mahapanthaka). 
Apakah menurut saudara Kainyn, Sang Buddha mengajarkan jalan kesucian dengan melihat bunga? bukan dengan Vipassana? Apakah menurut saudara Kainyn Vipassana/Satipatthana bukan satu-satunya jalan kesucian? 
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 21 December 2009, 03:15:27 PM
Quote from: bond on 21 December 2009, 03:04:33 PM
Quote
Nah, pandangan orang 100% Buddhis/non-Buddhis itu, menurut siapa? Menurut standard aliran apa atau guru yang mana?
Kalau mau bicara fakta, sesungguhnya tidak ada tolok ukur yang valid secara universal. Yang bisa adalah "menurut aliran tertentu".
Oleh karena itu juga saya lebih memilih bahas dari sesuatu yang kelihatan secara umum saja, yaitu "agamanya". Dan kalau kita lihat, sejalan dengan waktu, "Agama Buddha" bisa dan akan menjadi korup, dan pada saat itu, adalah mungkin bagi para Ariya Sotapanna (jika ada) untuk berpaling dari "Agama Buddha" tersebut.
Bisa saja agama Buddha menjadi korup dan sotapanna berpaling dari "agama Buddha" dan berpalingnya dengan tetap mengikuti ajaran para sesepuh yang paling awal -kesepakatan konsili pertama . _/\_
Kurang lebih menurut saya begitu karena di konsili pertama belum dikenal aliran-aliran, hanya satu "agama" di bawah Buddha Gotama. Seorang Ariya, mungkin tidak tahu apa isi konsili pertama, tidak tahu isi "Tipitaka" asli, tetapi yang pasti dengan kebijaksanaannya, mereka tidak akan menyimpang dari ajaran para Buddha. 
A rose by any other name...
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 21 December 2009, 05:05:32 PM
Kan sudah saya katakan ada banyak trigger, contohnya bunga (kasus Y.A. Sariputta) dan kain (kasus Y.A. Mahapanthaka). 
Apakah menurut saudara Kainyn, Sang Buddha mengajarkan jalan kesucian dengan melihat bunga? bukan dengan Vipassana? Apakah menurut saudara Kainyn Vipassana/Satipatthana bukan satu-satunya jalan kesucian? 
 _/\_
Menurut saya, "trigger" tersebut adalah bagian dari "jalan". Dan karena "trigger" bagi satu orang berbeda dengan lainnya, maka kemampuan savaka tidaklah termasuk memahami "trigger" orang lain. Dengan kata lain, ia tidak mengetahui jalan bagi orang lain. 
Saya mengatakan Satipatthana adalah satu-satunya jalan kesucian, namun saya tidak mengatakan Satipatthana hanya sebatas meditasi yang kita kenal (seperti pengamatan tubuh, perasaan, nafas, dsb). Culapanthaka melakukan "Satipatthana" namun jelas bukan salah satu yang kita kita kenal secara umum sekarang. Lalu jenis apakah Satipatthana-nya? Saya tidak tahu. Sama seperti "Satipatthana"-nya Ananda yang lumayan unik (tidak dalam 4 posisi meditasi) yang juga "entah apa". 
Menurut saya pribadi, membatasi "jalan" tersebut sebatas yang tertera pada kitab suci adalah terlalu sempit. Sama saja seperti mengatakan objek jhana hanya 40. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 21 December 2009, 05:56:58 PM
Quote from: fabian c on 21 December 2009, 05:05:32 PM
Kan sudah saya katakan ada banyak trigger, contohnya bunga (kasus Y.A. Sariputta) dan kain (kasus Y.A. Mahapanthaka). 
Apakah menurut saudara Kainyn, Sang Buddha mengajarkan jalan kesucian dengan melihat bunga? bukan dengan Vipassana? Apakah menurut saudara Kainyn Vipassana/Satipatthana bukan satu-satunya jalan kesucian? 
 _/\_
Menurut saya, "trigger" tersebut adalah bagian dari "jalan". Dan karena "trigger" bagi satu orang berbeda dengan lainnya, maka kemampuan savaka tidaklah termasuk memahami "trigger" orang lain. Dengan kata lain, ia tidak mengetahui jalan bagi orang lain. 
Saya mengatakan Satipatthana adalah satu-satunya jalan kesucian, namun saya tidak mengatakan Satipatthana hanya sebatas meditasi yang kita kenal (seperti pengamatan tubuh, perasaan, nafas, dsb). Culapanthaka melakukan "Satipatthana" namun jelas bukan salah satu yang kita kita kenal secara umum sekarang. Lalu jenis apakah Satipatthana-nya? Saya tidak tahu. Sama seperti "Satipatthana"-nya Ananda yang lumayan unik (tidak dalam 4 posisi meditasi) yang juga "entah apa". 
Menurut saya pribadi, membatasi "jalan" tersebut sebatas yang tertera pada kitab suci adalah terlalu sempit. Sama saja seperti mengatakan objek jhana hanya 40. 
Trigger bukanlah jalan tetapi pengkondisi agar dia berada dalam jalan. Triger ini difungsikan agar seseorang sadar "melihat" jalan itu ada didepan mata dan dia tinggal melangkah. 
Perumpamaan, ketika seseorang belum familiar dengan jalan di depan mata, maka ia akan bingung dimana dia berada. Rumput, belukar dan rintangan yang ada didepan jalan diibaratkan kilesa yang menutupi sang jalan. Sehingga sekalipun arahat lain memberitahu didepan itu jalan, ia belum melihatnya sekalipun disingkirkan belukar maka seseorang juga belum dapat melihatnya, hanya ketika pohon besar yang merintangi disingkirkan maka jalan itu terlihat.
Sama halnya Sariputta atau arahat lainnya jika tidak dapat menunjukan ini diakibatkan kebijaksanaan tidak sebanding dengan Buddha melihat rintangan apa yg patut disingkirkan agar terlihat jalan itu. Bisa saja seseorang berdiri disisi tertentu dengan menghilangkan rintangan rumput, sehingga alur jalan  terlihat menuju sasaran yang dituju, atau disisi tertentu pohonlah yang harus disingkirkan, baru alur jalan terlihat demikian seterusnya. Dengan hilangnya rintangan ini seseorang baru dapat melihat  jalan itu akan menuju kemana. 
Smoga bisa dimengerti. _/\_
			
 
			
			
				Utk cerita lengkapnya Culapanthaka dapat diklik di Culapanthaka (http://web.ukonline.co.uk/buddhism/story25.htm)
Quote
...The Master gave him a clean piece of cloth produced by the Supernormal power, said to him "Culapanthaka. remain here facing the East and go on rubbing this piece of cloth, while reciting repeatedly these words "Taking on the impurity, Taking on the impurity" (rajoharanam). Then when He was informed of the time, went to the residence of Jivaka accompanied by the order of monks and sat down on the seat prepared.
         Culapanthaka sat on looking at the sun, and while rubbing that piece of cloth muttered the words (rajoharanam rajoharanam). As he went on rubbing that piece of cloth it became soiled. And as sequel he thought: "This piece of cloth was very clean, but because of me it has changed its original form and has become soiled." Thus he reflected on the thought that constituted things indeed are impermanent, he fixed his mind on the decay and destruction and intensified his spiritual insight. Master knowing that the mind of Culapanthaka was set upon spiritual insight, said thus, 'Culapanthaka, be not impressed by the thought that the piece of cloth alone is soiled and made dirty by the dust; within you there exists the dust of passion and so on, remove them." Saying so he sent forth his radiance so that he appeared to be sitting in front of (Culapanthaka) uttering these verses:
          "Raga is termed as raja. It does not mean dust; it means passion. Having abandoned this raja (passion) the monks abide in the teachings of the One who is free from raja (passion).
          Dosa is termed as raja. It does not mean dust; it means hatred. Having abandoned this raja (hatred), the monks abide in the teachings of the One who is free from raja (hatred).
          Moha is termed as raja. It does not mean dust; it means delusion. Having abandoned this raja (delusion), the monks abide in the teachings of the One who is free from raja (delusion)."
          At the end of the utterance of the verses Culapanthaka attained arahatship together with analytical knowledge and simultaneously with this mastery of analytical knowledge he came to understand the implication of the three Pitakas. 
Pada Ananda bukan satipatthananya yg unik melainkan pada posisinya: bukan berdiri, bukan duduk, bukan berjalan pun bukan berbaring. Kunci pelaksanaan satipatthana ada pada kondisi batin dan tentu saja kondisi batin seorang Ananda saat mencapai arahat tidaklah unik.
Mettacittena
_/\_
			
 
			
			
				Quote from: bond on 21 December 2009, 06:18:43 PM
Trigger bukanlah jalan tetapi pengkondisi agar dia berada dalam jalan. Triger ini difungsikan agar seseorang sadar "melihat" jalan itu ada didepan mata dan dia tinggal melangkah. 
Perumpamaan, ketika seseorang belum familiar dengan jalan di depan mata, maka ia akan bingung dimana dia berada. Rumput, belukar dan rintangan yang ada didepan jalan diibaratkan kilesa yang menutupi sang jalan. Sehingga sekalipun arahat lain memberitahu didepan itu jalan, ia belum melihatnya sekalipun disingkirkan belukar maka seseorang juga belum dapat melihatnya, hanya ketika pohon besar yang merintangi disingkirkan maka jalan itu terlihat.
Sama halnya Sariputta atau arahat lainnya jika tidak dapat menunjukan ini diakibatkan kebijaksanaan tidak sebanding dengan Buddha melihat rintangan apa yg patut disingkirkan agar terlihat jalan itu. Bisa saja seseorang berdiri disisi tertentu dengan menghilangkan rintangan rumput, sehingga alur jalan  terlihat menuju sasaran yang dituju, atau disisi tertentu pohonlah yang harus disingkirkan, baru alur jalan terlihat demikian seterusnya. Dengan hilangnya rintangan ini seseorang baru dapat melihat  jalan itu akan menuju kemana. 
Smoga bisa dimengerti. _/\_
Seperti saya bilang, mungkin itu masalah istilah saja. Intinya seorang Savaka tidak mengetahui dengan sempurna bagaimana harus menempuh jalan tersebut bagi orang lain. Dengan demikian saya katakan seorang Savaka mengetahui jalan dengan sempurna sebatas yang diajarkan guru dan berkenaan dengan dirinya. Tetapi tidak untuk orang lain. 
Saya tidak membedakan ada "trigger", ada jalan awal/tengah/akhir, ada penghalang, dsb. Jika dia tidak tahu trigger, dia tidak tahu bagaimana seorang berjalan, dia tidak tahu kapan dan bagaimana orang lain seharusnya mengatasi penghalang, maka ia tidak mengetahui jalan tersebut dengan sempurna. 
Quote from: Jerry on 21 December 2009, 10:34:30 PM
Pada Ananda bukan satipatthananya yg unik melainkan pada posisinya: bukan berdiri, bukan duduk, bukan berjalan pun bukan berbaring. Kunci pelaksanaan satipatthana ada pada kondisi batin dan tentu saja kondisi batin seorang Ananda saat mencapai arahat tidaklah unik.
Mettacittena
_/\_
Apakah posisi satipatthana tersebut ada disebutkan/diajarkan dalam Sutta? Apakah ada dalam tradisi vipassana mana pun yang mengajarkan vipassana dengan posisi sewaktu Ananda menembus Arahatta-phala? 
Kebalikannya, menurut saya setiap orang mencapai suatu magga-phala, keadaan bathinnya sangatlah unik berbeda dari yang lainnya, karena kecenderungan masing-masing. Yang tidak unik adalah pada saat parinibbana. 
			
 
			
			
				Quote
Apakah posisi satipatthana tersebut ada disebutkan/diajarkan dalam Sutta?
Mengenai posisi Ananda mencapai Arahat, bukankah itu ada didalam sutta? Nah saat itu Ananda sedang melakukan Satipathana, kebetulan mencapai hasil dari satipathana seperti yang tertulis didalam sutta yg diterangkan oleh mas Jerry.
Quote
 Apakah ada dalam tradisi vipassana mana pun yang mengajarkan vipassana dengan posisi sewaktu Ananda menembus Arahatta-phala?
Dalam tradisi vipasanna manapun selalu mengajarkan dalam berbagai posisi, aktivitas ataupun duduk dan jalan bermeditasi vipasanna disana diajarkan untuk selalu memiliki sati sampajana. Sehingga termasuk posisi saat Ananda mencapai Arahatta-phala.
			
 
			
			
				Quote from: bond on 22 December 2009, 09:14:46 AM
Quote
Apakah posisi satipatthana tersebut ada disebutkan/diajarkan dalam Sutta?
Mengenai posisi Ananda mencapai Arahat, bukankah itu ada didalam sutta? Nah saat itu Ananda sedang melakukan Satipathana, kebetulan mencapai hasil dari satipathana seperti yang tertulis didalam sutta yg diterangkan oleh mas Jerry.
Quote
 Apakah ada dalam tradisi vipassana mana pun yang mengajarkan vipassana dengan posisi sewaktu Ananda menembus Arahatta-phala?
Dalam tradisi vipasanna manapun selalu mengajarkan dalam berbagai posisi, aktivitas ataupun duduk dan jalan bermeditasi vipasanna disana diajarkan untuk selalu memiliki sati sampajana. Sehingga termasuk posisi saat Ananda mencapai Arahatta-phala.
Kalau memang ada di dalam sutta, sutta apakah itu? Setahu saya, process pencapaian arahantship oleh Y.M. ada di Samantapasadika (Vin.A) dan Sumangalavilasini (DA). Mohon dibaca dalam seksi konsili BUddhist pertama. Nah, di situlah cerita itu terdapat. Selama ini saya belum menemukannya di dalam sutta, karena itu kalau Sdr. Bond telah menemukannya dalam sutta, mohon beritahu.
Thanks.
			
 
			
			
				QuoteQuote from: Jerry on 21 December 2009, 10:34:30 PM
Pada Ananda bukan satipatthananya yg unik melainkan pada posisinya: bukan berdiri, bukan duduk, bukan berjalan pun bukan berbaring. Kunci pelaksanaan satipatthana ada pada kondisi batin dan tentu saja kondisi batin seorang Ananda saat mencapai arahat tidaklah unik.
Mettacittena
_/\_
Apakah posisi satipatthana tersebut ada disebutkan/diajarkan dalam Sutta? Apakah ada dalam tradisi vipassana mana pun yang mengajarkan vipassana dengan posisi sewaktu Ananda menembus Arahatta-phala? 
Kebalikannya, menurut saya setiap orang mencapai suatu magga-phala, keadaan bathinnya sangatlah unik berbeda dari yang lainnya, karena kecenderungan masing-masing. Yang tidak unik adalah pada saat parinibbana. 
Bro Kainyn yang baik,
Dalam Vipassana/Satipatthana perhatian (sati) tak boleh terputus, sati yang terus-menerus inilah yang disebut dengan konsentrasi. Konsentrasi secara umum dikatakan memang ada 4 atau yang lajim disebut 4 iriyapatha, tetapi dalam meditasi Vipassana perhatian kita tak boleh terputus. Setiap saat harus penuh perhatian (kecuali tidur). Bagaimana waktu makan, mandi, sikat gigi, buang air dsbnya? apakah kita tidak meditasi? tidak demikian. 
Dalam keadaan-keadaan tersebut pada latihan Vipassana kita harus selalu bermeditasi entah makan, mandi dsbnya. demikian juga peralihan posisi dari meditasi berjalan ke meditasi berbaring kita selalu bermeditasi, disinilah keunikan Y.A. Ananda, beliau mencapai tingkat kesucian Arahatta pada waktu bermeditasi dalam peralihan posisi ketika akan berbaring.
Berdasarkan pengalaman para meditator Vipassana, nana-nana/pengetahuan pandangan terang bisa muncul dalam berbagai posisi. Arahatta magga-phala juga termasuk nana. 
Ada pengalaman teman yang mengalami munculnya nana dipagi hari ketika ia bangkit dari ranjang habis bangun tidur, akan meluruskan punggung.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 22 December 2009, 04:39:42 PM
Bro Kainyn yang baik,
Dalam Vipassana/Satipatthana perhatian (sati) tak boleh terputus, sati yang terus-menerus inilah yang disebut dengan konsentrasi. Konsentrasi secara umum dikatakan memang ada 4 atau yang lajim disebut 4 iriyapatha, tetapi dalam meditasi Vipassana perhatian kita tak boleh terputus. Setiap saat harus penuh perhatian (kecuali tidur). Bagaimana waktu makan, mandi, sikat gigi, buang air dsbnya? apakah kita tidak meditasi? tidak demikian. 
Dalam keadaan-keadaan tersebut pada latihan Vipassana kita harus selalu bermeditasi entah makan, mandi dsbnya. demikian juga peralihan posisi dari meditasi berjalan ke meditasi berbaring kita selalu bermeditasi, disinilah keunikan Y.A. Ananda, beliau mencapai tingkat kesucian Arahatta pada waktu bermeditasi dalam peralihan posisi ketika akan berbaring.
Berdasarkan pengalaman para meditator Vipassana, nana-nana/pengetahuan pandangan terang bisa muncul dalam berbagai posisi. Arahatta magga-phala juga termasuk nana. 
Ada pengalaman teman yang mengalami munculnya nana dipagi hari ketika ia bangkit dari ranjang habis bangun tidur, akan meluruskan punggung.
 _/\_
Iya, Bro fabian, saya pun tidak menganggap satipatthana itu hanya bisa dilakukan dari 4 posisi saja atau "terputus-putus", namun saya menyinggung hal Thera Ananda adalah bahwa kadang ada hal-hal yang "tidak lazim" terjadi, jadi kita hendaknya tidak mematok harga segala hal berdasarkan satu tolok ukur terbatas, misalnya, katakanlah, tipitaka. 
			
 
			
			
				Quote from: dhammasiri on 22 December 2009, 04:18:34 PM
Quote from: bond on 22 December 2009, 09:14:46 AM
Quote
Apakah posisi satipatthana tersebut ada disebutkan/diajarkan dalam Sutta?
Mengenai posisi Ananda mencapai Arahat, bukankah itu ada didalam sutta? Nah saat itu Ananda sedang melakukan Satipathana, kebetulan mencapai hasil dari satipathana seperti yang tertulis didalam sutta yg diterangkan oleh mas Jerry.
Quote
 Apakah ada dalam tradisi vipassana mana pun yang mengajarkan vipassana dengan posisi sewaktu Ananda menembus Arahatta-phala?
Dalam tradisi vipasanna manapun selalu mengajarkan dalam berbagai posisi, aktivitas ataupun duduk dan jalan bermeditasi vipasanna disana diajarkan untuk selalu memiliki sati sampajana. Sehingga termasuk posisi saat Ananda mencapai Arahatta-phala.
Kalau memang ada di dalam sutta, sutta apakah itu? Setahu saya, process pencapaian arahantship oleh Y.M. ada di Samantapasadika (Vin.A) dan Sumangalavilasini (DA). Mohon dibaca dalam seksi konsili BUddhist pertama. Nah, di situlah cerita itu terdapat. Selama ini saya belum menemukannya di dalam sutta, karena itu kalau Sdr. Bond telah menemukannya dalam sutta, mohon beritahu.
Thanks.
Oh, jadi cerita itu bukan bagian dari sutta toh.... :-[ Thanks koreksinya...Baru ingat pencapaian Ananda setelah Buddha parinibbana. ;D 
Vin.A dan DA itu kepanjangan dari apa ya?
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 22 December 2009, 08:50:29 AM
Quote from: Jerry on 21 December 2009, 10:34:30 PM
Pada Ananda bukan satipatthananya yg unik melainkan pada posisinya: bukan berdiri, bukan duduk, bukan berjalan pun bukan berbaring. Kunci pelaksanaan satipatthana ada pada kondisi batin dan tentu saja kondisi batin seorang Ananda saat mencapai arahat tidaklah unik.
Mettacittena
_/\_
Apakah posisi satipatthana tersebut ada disebutkan/diajarkan dalam Sutta? Apakah ada dalam tradisi vipassana mana pun yang mengajarkan vipassana dengan posisi sewaktu Ananda menembus Arahatta-phala? 
Dalam Sutta memang tidak diajarkan mengenai posisi Ananda yg demikian, cerita penembusan arahatta-phala Ananda diketemukan di cerita belakangan, bukan di Sutta. Tepatnya di bagian yg oleh Sdr. Dhammasiri luruskan mengenai tulisan Om Bond sebelumnya. 
Kata satipatthana bisa berarti sati-patthana atau sati-upatthana. Berdasar konteks sati-upatthana artinya adalah pengembangan sati. Dan pengembangan sati terutama ditentukan oleh kualitas batin, bukannya kualitas tubuh fisik. Makanya tidak perlu heran yogi2 yg melatih dan mempraktekkan posisi, postur dan gerakan2 aneh di luar posisi berdiri, berjalan, duduk dan berbaring tetap tidak dapat mendapatkan pencerahan. Mereka hanya mendapatkan kesehatan. Posisi tubuh yg unik bukan yg menyebabkan seseorang mencapai magga&phala dan pembebasan melainkan kondisi batin. Dan yang mengajarkan cara utk mencapai batin yang terbebaskan adalah Sang Buddha. Dengan demikian tidak perlu bagi siswa/i Buddha di kemudian hari utk membuat aliran yang mengajarkan di luar 4 posisi yg telah diturunkan oleh Sang Buddha. Tidak melangkahi ketentuan apa yg telah diturunkan oleh Sang Buddha. Ini salah 1 kesepakatan konsili pertama. 
Quote
Kebalikannya, menurut saya setiap orang mencapai suatu magga-phala, keadaan bathinnya sangatlah unik berbeda dari yang lainnya, karena kecenderungan masing-masing. Yang tidak unik adalah pada saat parinibbana. 
Saya mengerti maksud Bro Kain tentang keadaan batin masing-masing sangat unik. Memang kondisi-kondisi dalam mencapai tidaklah mungkin sama 100% bahkan antara 2 orang yg mendengar 1 khotbah yang sama dan mencapai kearahatan. Tetapi berbagai kecenderungan unik yang Bro Kain maksudkan itu semua dapat dimasukkan dalam kelompok 2 macam pembebasan, yaitu pannavimutti atau ubhatobhagavimutti. Di sini yg saya maksudkan tidak unik tsb. 
Soal saat parinibbana-lah yang tidak unik, saya agak penasaran akan penjelasan Bro Kain soal itu. Boleh berbagi?
Mettacittena
			
 
			
			
				IMO
Cara dan posisi YM Ananda mencapai arahat sih wajar2 saja. Yang nyentrik , keren,mendebarkan (kalau melihat langsung),dan ekstrem pencapaian Arahat YM.Bhikkhu Channa dengan cara membunuh diri.
			
			
			
				Lebih keren mungkin kalau ada yg mencapai kearahatan saat melakukan Surya Namaskar misalnya.. Atau Yoga posisi merak gitu.. 
			
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 22 December 2009, 05:44:01 PM
Quote from: fabian c on 22 December 2009, 04:39:42 PM
Bro Kainyn yang baik,
Dalam Vipassana/Satipatthana perhatian (sati) tak boleh terputus, sati yang terus-menerus inilah yang disebut dengan konsentrasi. Konsentrasi secara umum dikatakan memang ada 4 atau yang lajim disebut 4 iriyapatha, tetapi dalam meditasi Vipassana perhatian kita tak boleh terputus. Setiap saat harus penuh perhatian (kecuali tidur). Bagaimana waktu makan, mandi, sikat gigi, buang air dsbnya? apakah kita tidak meditasi? tidak demikian. 
Dalam keadaan-keadaan tersebut pada latihan Vipassana kita harus selalu bermeditasi entah makan, mandi dsbnya. demikian juga peralihan posisi dari meditasi berjalan ke meditasi berbaring kita selalu bermeditasi, disinilah keunikan Y.A. Ananda, beliau mencapai tingkat kesucian Arahatta pada waktu bermeditasi dalam peralihan posisi ketika akan berbaring.
Berdasarkan pengalaman para meditator Vipassana, nana-nana/pengetahuan pandangan terang bisa muncul dalam berbagai posisi. Arahatta magga-phala juga termasuk nana. 
Ada pengalaman teman yang mengalami munculnya nana dipagi hari ketika ia bangkit dari ranjang habis bangun tidur, akan meluruskan punggung.
 _/\_
Iya, Bro fabian, saya pun tidak menganggap satipatthana itu hanya bisa dilakukan dari 4 posisi saja atau "terputus-putus", namun saya menyinggung hal Thera Ananda adalah bahwa kadang ada hal-hal yang "tidak lazim" terjadi, jadi kita hendaknya tidak mematok harga segala hal berdasarkan satu tolok ukur terbatas, misalnya, katakanlah, tipitaka. 
Bro Kainyn yang baik, perhatian yang tak terputus dalam kondisi apapun (kecuali tidur tentunya) itulah yang dimaksud Vipassana/Satipatthana, dan itulah jalan. 
Mengenai tolok ukur, saya juga mempelajari 
censored, saya tidak melihat ada ajaran menuju jalan kesucian disana. 
Hanya di tipitaka yang secara jelas menunjukkan jalan kesucian, Sang Buddha mengatakan bahwa apa yang Beliau ajarkan sudah cukup (untuk mencapai kesucian), setelah mempraktekkan yang diajarkan juga mengarahnya persis seperti yang ditulis di Tipitaka. apakah saya perlu berpaling mengambil tolok ukur agama lain?
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 22 December 2009, 06:47:48 PM
Dalam Sutta memang tidak diajarkan mengenai posisi Ananda yg demikian, cerita penembusan arahatta-phala Ananda diketemukan di cerita belakangan, bukan di Sutta. Tepatnya di bagian yg oleh Sdr. Dhammasiri luruskan mengenai tulisan Om Bond sebelumnya. 
Kata satipatthana bisa berarti sati-patthana atau sati-upatthana. Berdasar konteks sati-upatthana artinya adalah pengembangan sati. Dan pengembangan sati terutama ditentukan oleh kualitas batin, bukannya kualitas tubuh fisik. Makanya tidak perlu heran yogi2 yg melatih dan mempraktekkan posisi, postur dan gerakan2 aneh di luar posisi berdiri, berjalan, duduk dan berbaring tetap tidak dapat mendapatkan pencerahan. Mereka hanya mendapatkan kesehatan. Posisi tubuh yg unik bukan yg menyebabkan seseorang mencapai magga&phala dan pembebasan melainkan kondisi batin. Dan yang mengajarkan cara utk mencapai batin yang terbebaskan adalah Sang Buddha. Dengan demikian tidak perlu bagi siswa/i Buddha di kemudian hari utk membuat aliran yang mengajarkan di luar 4 posisi yg telah diturunkan oleh Sang Buddha. Tidak melangkahi ketentuan apa yg telah diturunkan oleh Sang Buddha. Ini salah 1 kesepakatan konsili pertama. 
Betul, saya pun tidak menganjurkan orang loncat-loncat atau guling-guling sambil vipassana. Yang dimaksudkan di sini hanyalah kadang ada hal-hal yang tidak wajar, tidak kita duga karena kita terlebih dahulu membentuk pola pikir berdasarkan informasi tertentu, dalam hal ini, tipitaka. Dari bentukan pola pikir tersebut, maka mungkin saja kita malah menolak sesuatu yang sebetulnya benar hanya karena tidak diceritakan di Tipitaka. Menurut saya sikap tersebut yang menghalangi kemajuan bathin seseorang. 
QuoteSoal saat parinibbana-lah yang tidak unik, saya agak penasaran akan penjelasan Bro Kain soal itu. Boleh berbagi?
Menurut Bro Jerry sendiri, ketika 2 orang "memasuki" nibbana tanpa sisa, habis sepenuhnya, kondisi apa lagi yang memungkinkan suatu perbedaan? 
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 22 December 2009, 08:03:57 PM
Bro Kainyn yang baik, perhatian yang tak terputus dalam kondisi apapun (kecuali tidur tentunya) itulah yang dimaksud Vipassana/Satipatthana, dan itulah jalan. 
OK. Berapa lama durasi tidak terputusnya agar bisa dikatakan Satipatthana? Apakah 10 menit, 24 jam, 7 hari, atau berapa? 
QuoteMengenai tolok ukur, saya juga mempelajari censored, saya tidak melihat ada ajaran menuju jalan kesucian disana. 
Hanya di tipitaka yang secara jelas menunjukkan jalan kesucian, Sang Buddha mengatakan bahwa apa yang Beliau ajarkan sudah cukup (untuk mencapai kesucian), setelah mempraktekkan yang diajarkan juga mengarahnya persis seperti yang ditulis di Tipitaka. apakah saya perlu berpaling mengambil tolok ukur agama lain?
 _/\_
Ya, ya, hanya di A*****b juga yang menunjukkan jalan keselamatan, maka untuk apa belajar Tipitaka?  
Ini 'kan hanya opini saja. Terserah kalau Bro fabian berpendapat para Bodhisatta membaca tipitaka masa lampau di bawah pohon bodhi sebelum mereka mencapai penerangan sempurna. Toh jalan kita memang sepertinya berbeda. 
			
 
			
			
				Kondisi bathin-lah yang menentukan tingkatan spiritual / "pencapaian" seseorang.
			
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 23 December 2009, 09:07:42 AM
Betul, saya pun tidak menganjurkan orang loncat-loncat atau guling-guling sambil vipassana. Yang dimaksudkan di sini hanyalah kadang ada hal-hal yang tidak wajar, tidak kita duga karena kita terlebih dahulu membentuk pola pikir berdasarkan informasi tertentu, dalam hal ini, tipitaka. Dari bentukan pola pikir tersebut, maka mungkin saja kita malah menolak sesuatu yang sebetulnya benar hanya karena tidak diceritakan di Tipitaka. Menurut saya sikap tersebut yang menghalangi kemajuan bathin seseorang. 
Utk hal2 tertentu demikian yg Bro Kain maksudkan, Sang Buddha menurunkan jurus "Mahapadesa". Jika kemudian setelah melalui proses penelaahan lebih lanjut ternyata memang tidak benar, maka memang perlu untuk ditolak. Dan penolakan ini tentu bukan lagi sebuah penolakan yg terburu2 melainkan penolakan yg seharusnya dan sepantasnya. :D
Sebaliknya sikap yg menyama-nyamakan, yg mencari persamaan meski berbeda dalam kenyataannya, juga sebuah sikap yg menghalangi dalam kemajuan batin seseorang. Menurut saya. :)
Quote
Menurut Bro Jerry sendiri, ketika 2 orang "memasuki" nibbana tanpa sisa, habis sepenuhnya, kondisi apa lagi yang memungkinkan suatu perbedaan? 
Oh ini toh maksudnya Bro Kain ttg soal saat parinibbana yg tidak unik. Setuju dg Bro.. Memang sih tidak unik. Sama2 sudah di luar kata2 dan upaya apapun utk membuat lebih jelas hanya menimbulkan kerancuan yg lebih parah. Saya pikir ini pula sebabnya Bro Kain menggunakan tanda kutip utk kata memasuki nibbana. ;)
NB: Sementara berhalangan utk berdiskusi lebih lanjut. Thanks sebelumnya. _/\_
Mettacittena,
			
 
			
			
				Quote from: Jerry on 23 December 2009, 08:26:23 PM
Utk hal2 tertentu demikian yg Bro Kain maksudkan, Sang Buddha menurunkan jurus "Mahapadesa". Jika kemudian setelah melalui proses penelaahan lebih lanjut ternyata memang tidak benar, maka memang perlu untuk ditolak. Dan penolakan ini tentu bukan lagi sebuah penolakan yg terburu2 melainkan penolakan yg seharusnya dan sepantasnya. :D
Sebaliknya sikap yg menyama-nyamakan, yg mencari persamaan meski berbeda dalam kenyataannya, juga sebuah sikap yg menghalangi dalam kemajuan batin seseorang. Menurut saya. :)
Saya juga setuju demikian. Semua hal dan pemahaman perlu dikaji terlebih dahulu sebelum kita menilai atau mengambil keputusan. Kadang terjadi "menyama-nyamakan yang berbeda", "membeda-bedakan yang sama", "mengadakan yang tidak ada", "meniadakan yang ada", dan lain sebagainya. Semua sikap "tidak menerima kenyataan" ini menghalangi kemajuan bathin seseorang. 
Boleh saja pada akhirnya kita menolak kesamaan suatu ajaran, tetapi jangan itu dilakukan sebelum diteliti dan kesimpulan diambil hanya karena beda "label". Demikian juga dalam menerima, jangan karena orangnya meyakinkan, punya reputasi/prestasi tertentu, ahli bahasa kitab, bagus-bagusin agama kita, lalu kita menjadi subjektif dalam menilai perkataannya. 
QuoteOh ini toh maksudnya Bro Kain ttg soal saat parinibbana yg tidak unik. Setuju dg Bro.. Memang sih tidak unik. Sama2 sudah di luar kata2 dan upaya apapun utk membuat lebih jelas hanya menimbulkan kerancuan yg lebih parah. Saya pikir ini pula sebabnya Bro Kain menggunakan tanda kutip utk kata memasuki nibbana. ;)
:) 
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 22 December 2009, 08:03:57 PM
Bro Kainyn yang baik, perhatian yang tak terputus dalam kondisi apapun (kecuali tidur tentunya) itulah yang dimaksud Vipassana/Satipatthana, dan itulah jalan. 
OK. Berapa lama durasi tidak terputusnya agar bisa dikatakan Satipatthana? Apakah 10 menit, 24 jam, 7 hari, atau berapa? 
Bro Kainyn yang baik, lamanya durasi tidak terputus adalah hasil dari latihan, lebih panjang lebih baik. Yang disebut Satipatthana adalah metode latihan, bukan durasi tak terputus.
Quote
QuoteMengenai tolok ukur, saya juga mempelajari censored, saya tidak melihat ada ajaran menuju jalan kesucian disana. 
Hanya di tipitaka yang secara jelas menunjukkan jalan kesucian, Sang Buddha mengatakan bahwa apa yang Beliau ajarkan sudah cukup (untuk mencapai kesucian), setelah mempraktekkan yang diajarkan juga mengarahnya persis seperti yang ditulis di Tipitaka. apakah saya perlu berpaling mengambil tolok ukur agama lain?
 _/\_
Ya, ya, hanya di A*****b juga yang menunjukkan jalan keselamatan, maka untuk apa belajar Tipitaka?  
Ini 'kan hanya opini saja. Terserah kalau Bro fabian berpendapat para Bodhisatta membaca tipitaka masa lampau di bawah pohon bodhi sebelum mereka mencapai penerangan sempurna. Toh jalan kita memang sepertinya berbeda. 
Pertanyaan bro Kainyn lebih cocok ditanyakan kepada umat K*****n, saya umat Buddha, tentu saja saya belajar Tipitaka. Walaupun secara pribadi saya dan juga banyak teman-teman yang lain mempelajari kitab suci agama lain (
at least dari sekolah).
Saya menghargai bro Kainyn mengungkapkan pandangan sendiri. Sebab saya pro kebebasan berpendapat. 
Tapi sering saya mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, sudahkah saya mendalami kitab suci sendiri sebelum belajar kitab suci agama lain? karena saya berpendapat sebelum kita mendalami sehingga mengerti dengan baik pandangan suatu ajaran lalu belajar ajaran lain yang berbeda, maka pengertian kita akan campur aduk.
Saya sendiri termasuk kategori orang yang belum "khatam Tipitaka" tapi sudah "khatam A*****b" bahkan dua kali  :)
Oh ya apakah memang ada cerita Bodhisatta belajar membaca Tipitaka masa lampau di bawah pohon Bodhi sebelum mencapai Penerangan sempurna?
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 24 December 2009, 10:26:10 AM
Pertanyaan bro Kainyn lebih cocok ditanyakan kepada umat K*****n, saya umat Buddha, tentu saja saya belajar Tipitaka. Walaupun secara pribadi saya dan juga banyak teman-teman yang lain mempelajari kitab suci agama lain (at least dari sekolah).
Itu pertanyaan retoris. Sikap Bro fabian pada Tipitaka sama halnya seperti umat Kr1sten pada A1kitab. Tidak salah, memang. Itu hanya pilihan. 
QuoteSaya menghargai bro Kainyn mengungkapkan pandangan sendiri. Sebab saya pro kebebasan berpendapat. 
Tapi sering saya mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, sudahkah saya mendalami kitab suci sendiri sebelum belajar kitab suci agama lain? karena saya berpendapat sebelum kita mendalami sehingga mengerti dengan baik pandangan suatu ajaran lalu belajar ajaran lain yang berbeda, maka pengertian kita akan campur aduk.
Manusia memang berbeda-beda. Ada orang yang punya kecenderungan untuk "mencampur" apa yang dipelajarinya. Orang ini memang sebaiknya tidak belajar lebih dari 1 ajaran pada waktu yang sama karena bisa terjadi hal "Halleluya, Puji Buddha" atau "Namo Kristus". Ada lagi yang memang mampu konsisten dalam konteks dan bisa membedakannya tanpa tercampur. Bagi orang type ini, saya rasa tidak masalah belajar banyak disiplin sekaligus sejauh yang ia mampu. 
QuoteSaya sendiri termasuk kategori orang yang belum "khatam Tipitaka" tapi sudah "khatam A*****b" bahkan dua kali  :)
Menurut saya, khatam kitab juga tidak jadi patokan apa pun. Saya lebih cocok dengan "mengingat 1 ajaran yang dimengerti lebih baik daripada mengingat 1000 ajaran yang tidak dipahami". 
QuoteOh ya apakah memang ada cerita Bodhisatta belajar membaca Tipitaka masa lampau di bawah pohon Bodhi sebelum mencapai Penerangan sempurna?
Ini suatu sarkasme karena Bro fabian mengatakan tentang ketidak-mungkinan penembusan magga-phala di luar "Agama Buddha". (Maaf, saya memang sarkastik.) Pernyataan Bro fabian tersebut bagi saya sangat mengerdilkan atau bahkan mengabaikan jalan di luar Savaka-bodhi, jadi saya mengeluarkan statement demikian. 
Jika memang tidak ada yang akan menembus kecuali lewat "Agama Buddha", maka pastinya bodhisatta pun belajar "Agama Buddha" terlebih dahulu sebelum mencapai penerangan sempurna. Secara logika, mungkin juga, karena salah satu pengetahuan yang didapatkan sebelum melihat kehancuran asava adalah kehidupan lampau yang tidak berhingga. Mungkin ia "nyontek" dari Buddha-buddha lampau terlebih dahulu sehingga bisa menembus penerangan sempurna. 
Kalau dari sudut pandang kepercayaan saya, "Agama Buddha" hanyalah katalisator, dengan catatan, bagi mereka yang cocok. Seseorang merealisasi kesucian semata-mata karena kematangan bathin dalam melihat kenyataan apa adanya, dan kematangan bathin itu bisa didapatkan di mana pun tanpa terikat suatu "agama/ajaran". Dengan demikian, seorang Bodhisatta yang telah matang bathinnya, tidak belajar pada satu ajaran, tidak terpaku pada "jalan" tertentu, namun mampu menembus penerangan sempurna.  
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 24 December 2009, 11:15:01 AM
Quote from: fabian c on 24 December 2009, 10:26:10 AM
Pertanyaan bro Kainyn lebih cocok ditanyakan kepada umat K*****n, saya umat Buddha, tentu saja saya belajar Tipitaka. Walaupun secara pribadi saya dan juga banyak teman-teman yang lain mempelajari kitab suci agama lain (at least dari sekolah).
Itu pertanyaan retoris. Sikap Bro fabian pada Tipitaka sama halnya seperti umat Kr1sten pada A1kitab. Tidak salah, memang. Itu hanya pilihan. 
QuoteSaya menghargai bro Kainyn mengungkapkan pandangan sendiri. Sebab saya pro kebebasan berpendapat. 
Tapi sering saya mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, sudahkah saya mendalami kitab suci sendiri sebelum belajar kitab suci agama lain? karena saya berpendapat sebelum kita mendalami sehingga mengerti dengan baik pandangan suatu ajaran lalu belajar ajaran lain yang berbeda, maka pengertian kita akan campur aduk.
Manusia memang berbeda-beda. Ada orang yang punya kecenderungan untuk "mencampur" apa yang dipelajarinya. Orang ini memang sebaiknya tidak belajar lebih dari 1 ajaran pada waktu yang sama karena bisa terjadi hal "Halleluya, Puji Buddha" atau "Namo Kristus". Ada lagi yang memang mampu konsisten dalam konteks dan bisa membedakannya tanpa tercampur. Bagi orang type ini, saya rasa tidak masalah belajar banyak disiplin sekaligus sejauh yang ia mampu. 
QuoteSaya sendiri termasuk kategori orang yang belum "khatam Tipitaka" tapi sudah "khatam A*****b" bahkan dua kali  :)
Menurut saya, khatam kitab juga tidak jadi patokan apa pun. Saya lebih cocok dengan "mengingat 1 ajaran yang dimengerti lebih baik daripada mengingat 1000 ajaran yang tidak dipahami". 
QuoteOh ya apakah memang ada cerita Bodhisatta belajar membaca Tipitaka masa lampau di bawah pohon Bodhi sebelum mencapai Penerangan sempurna?
Ini suatu sarkasme karena Bro fabian mengatakan tentang ketidak-mungkinan penembusan magga-phala di luar "Agama Buddha". (Maaf, saya memang sarkastik.) Pernyataan Bro fabian tersebut bagi saya sangat mengerdilkan atau bahkan mengabaikan jalan di luar Savaka-bodhi, jadi saya mengeluarkan statement demikian. 
Jika memang tidak ada yang akan menembus kecuali lewat "Agama Buddha", maka pastinya bodhisatta pun belajar "Agama Buddha" terlebih dahulu sebelum mencapai penerangan sempurna. Secara logika, mungkin juga, karena salah satu pengetahuan yang didapatkan sebelum melihat kehancuran asava adalah kehidupan lampau yang tidak berhingga. Mungkin ia "nyontek" dari Buddha-buddha lampau terlebih dahulu sehingga bisa menembus penerangan sempurna. 
Kalau dari sudut pandang kepercayaan saya, "Agama Buddha" hanyalah katalisator, dengan catatan, bagi mereka yang cocok. Seseorang merealisasi kesucian semata-mata karena kematangan bathin dalam melihat kenyataan apa adanya, dan kematangan bathin itu bisa didapatkan di mana pun tanpa terikat suatu "agama/ajaran". Dengan demikian, seorang Bodhisatta yang telah matang bathinnya, tidak belajar pada satu ajaran, tidak terpaku pada "jalan" tertentu, namun mampu menembus penerangan sempurna.  
Buddha adalah seseorang yang sadar, apakah seorang awam bisa mencapai tataran "SADAR" itu dari bimbingan, ajaran, kitab yang ditinggalkan oleh Buddha (yang sadar lainnya) ataupun orang tersebut mencapai tataran "SADAR" dengan usaha sendiri (walaupun sebelumnya belum ada mendapat bimbingan/ajaran/kitab yang bisa melatih dan menunjukkan jalan tersebut) adalah TIDAK MASALAH...
Karena Buddha telah memaparkan bahwa sesungguhnya AJARAN PARA BUDDHA dari SEJAK JAMAN LAMPAU, JAMAN SEKARANG, ataupun DIMASA YANG AKAN DATANG adalah tentang kesunyataan tentang DUKKHA dan JALAN MENUJU TERHENTI-NYA DUKKHA (dalam hal ini menjadi SADAR/BUDDHA).
Kalau membahas dalam konteks agama, tentunya ini adalah tentang konvensi. Bahwa ajaran tersebut di lembagakan... Apabila ajaran BUDDHA tidak dilembagakan, juga tidak bermasalah. Di dalam banyak literatur, misalnya literatur dalam bahasa Inggris, istilah yang tepat adalah BUDDHA TEACHINGS (AJARAN BUDDHA), tidak pernah dipermasalah apakah AJARAN BUDDHA itu di-lembagakan atau tidak. Jika di-lembagakan, ada poin plus-nya juga bisa ada konsekuensi nilai minus-nya.
			
 
			
			
				Quote from: dilbert on 24 December 2009, 12:34:51 PM
Buddha adalah seseorang yang sadar, apakah seorang awam bisa mencapai tataran "SADAR" itu dari bimbingan, ajaran, kitab yang ditinggalkan oleh Buddha (yang sadar lainnya) ataupun orang tersebut mencapai tataran "SADAR" dengan usaha sendiri (walaupun sebelumnya belum ada mendapat bimbingan/ajaran/kitab yang bisa melatih dan menunjukkan jalan tersebut) adalah TIDAK MASALAH...
Karena Buddha telah memaparkan bahwa sesungguhnya AJARAN PARA BUDDHA dari SEJAK JAMAN LAMPAU, JAMAN SEKARANG, ataupun DIMASA YANG AKAN DATANG adalah tentang kesunyataan tentang DUKKHA dan JALAN MENUJU TERHENTI-NYA DUKKHA (dalam hal ini menjadi SADAR/BUDDHA).
Kalau membahas dalam konteks agama, tentunya ini adalah tentang konvensi. Bahwa ajaran tersebut di lembagakan... Apabila ajaran BUDDHA tidak dilembagakan, juga tidak bermasalah. Di dalam banyak literatur, misalnya literatur dalam bahasa Inggris, istilah yang tepat adalah BUDDHA TEACHINGS (AJARAN BUDDHA), tidak pernah dipermasalah apakah AJARAN BUDDHA itu di-lembagakan atau tidak. Jika di-lembagakan, ada poin plus-nya juga bisa ada konsekuensi nilai minus-nya.
Menurut Bro dilbert, sesaat ketika Bodhisatta Gotama akan mencapai penerangan sempurna, apakah ia belajar dari Agama/Ajaran Buddha? 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 24 December 2009, 01:08:58 PM
Quote from: dilbert on 24 December 2009, 12:34:51 PM
Buddha adalah seseorang yang sadar, apakah seorang awam bisa mencapai tataran "SADAR" itu dari bimbingan, ajaran, kitab yang ditinggalkan oleh Buddha (yang sadar lainnya) ataupun orang tersebut mencapai tataran "SADAR" dengan usaha sendiri (walaupun sebelumnya belum ada mendapat bimbingan/ajaran/kitab yang bisa melatih dan menunjukkan jalan tersebut) adalah TIDAK MASALAH...
Karena Buddha telah memaparkan bahwa sesungguhnya AJARAN PARA BUDDHA dari SEJAK JAMAN LAMPAU, JAMAN SEKARANG, ataupun DIMASA YANG AKAN DATANG adalah tentang kesunyataan tentang DUKKHA dan JALAN MENUJU TERHENTI-NYA DUKKHA (dalam hal ini menjadi SADAR/BUDDHA).
Kalau membahas dalam konteks agama, tentunya ini adalah tentang konvensi. Bahwa ajaran tersebut di lembagakan... Apabila ajaran BUDDHA tidak dilembagakan, juga tidak bermasalah. Di dalam banyak literatur, misalnya literatur dalam bahasa Inggris, istilah yang tepat adalah BUDDHA TEACHINGS (AJARAN BUDDHA), tidak pernah dipermasalah apakah AJARAN BUDDHA itu di-lembagakan atau tidak. Jika di-lembagakan, ada poin plus-nya juga bisa ada konsekuensi nilai minus-nya.
Menurut Bro dilbert, sesaat ketika Bodhisatta Gotama akan mencapai penerangan sempurna, apakah ia belajar dari Agama/Ajaran Buddha? 
Apakah flash back kehidupan kehidupan lampau-nya termasuk dalam belajar ajaran BUDDHA ? 
karena dalam malam mencapai penerangan sempurna, Siddharta telah mampu untuk mengingat kehidupan lampau-nya sampai berkalpa-kalpa. Dalam RAPB diketahui bahwa Siddharta telah bertumimbal lahir minimal 9 x menjadi bhikkhu dan mendapatkan ajaran seorang sammasambuddha pada masa tersebut) ?
			
 
			
			
				Quote from: dilbert on 24 December 2009, 01:43:21 PM
Apakah flash back kehidupan kehidupan lampau-nya termasuk dalam belajar ajaran BUDDHA ? 
karena dalam malam mencapai penerangan sempurna, Siddharta telah mampu untuk mengingat kehidupan lampau-nya sampai berkalpa-kalpa. Dalam RAPB diketahui bahwa Siddharta telah bertumimbal lahir minimal 9 x menjadi bhikkhu dan mendapatkan ajaran seorang sammasambuddha pada masa tersebut) ?
Jadi maksudnya Bodhisatta belajar dari Buddha sebelumnya untuk mencapai penerangan sempurna? 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 24 December 2009, 01:56:50 PM
Quote from: dilbert on 24 December 2009, 01:43:21 PM
Apakah flash back kehidupan kehidupan lampau-nya termasuk dalam belajar ajaran BUDDHA ? 
karena dalam malam mencapai penerangan sempurna, Siddharta telah mampu untuk mengingat kehidupan lampau-nya sampai berkalpa-kalpa. Dalam RAPB diketahui bahwa Siddharta telah bertumimbal lahir minimal 9 x menjadi bhikkhu dan mendapatkan ajaran seorang sammasambuddha pada masa tersebut) ?
Jadi maksudnya Bodhisatta belajar dari Buddha sebelumnya untuk mencapai penerangan sempurna? 
Maksudnya... saat saat mencapai penerangan sempurna (kalau tidak salah saya, ada pembagian waktu-nya...  waktu jaga malam 1 - kejadiannya apa, waktu jaga malam ke-2 - kejadiannya apa dstnya)... pada waktu itu, ada momen ketika Bodhisatta bisa mengingat kembali banyak kehidupan lampaunya, termasuk juga kehidupan lampau-nya terlahir dan menjadi bhikkhu 9x kehidupan pada waktu periode sammasambuddha yang berlainan.
Apakah bodhisatta juga bisa flash back apa yang dipelajari oleh sang "bhikkhu" di kehidupan lampau-nya tersebut ? Jika IYA, apakah ini termasuk belajar ? 
			
 
			
			
				Quote
Quote from: fabian c on 24 December 2009, 10:26:10 AM
Pertanyaan bro Kainyn lebih cocok ditanyakan kepada umat K*****n, saya umat Buddha, tentu saja saya belajar Tipitaka. Walaupun secara pribadi saya dan juga banyak teman-teman yang lain mempelajari kitab suci agama lain (at least dari sekolah).
Itu pertanyaan retoris. Sikap Bro fabian pada Tipitaka sama halnya seperti umat Kr1sten pada A1kitab. Tidak salah, memang. Itu hanya pilihan.
Belum tentu sama, banyak yang beragama K menganggap Tipitaka adalah kuasa kegelapan, walau menyentuhpun takut masuk neraka.
Quote
QuoteSaya menghargai bro Kainyn mengungkapkan pandangan sendiri. Sebab saya pro kebebasan berpendapat. 
Tapi sering saya mengajukan pertanyaan pada diri sendiri, sudahkah saya mendalami kitab suci sendiri sebelum belajar kitab suci agama lain? karena saya berpendapat sebelum kita mendalami sehingga mengerti dengan baik pandangan suatu ajaran lalu belajar ajaran lain yang berbeda, maka pengertian kita akan campur aduk.
Manusia memang berbeda-beda. Ada orang yang punya kecenderungan untuk "mencampur" apa yang dipelajarinya. Orang ini memang sebaiknya tidak belajar lebih dari 1 ajaran pada waktu yang sama karena bisa terjadi hal "Halleluya, Puji Buddha" atau "Namo Kristus". Ada lagi yang memang mampu konsisten dalam konteks dan bisa membedakannya tanpa tercampur. Bagi orang type ini, saya rasa tidak masalah belajar banyak disiplin sekaligus sejauh yang ia mampu. 
Bagaimana dengan kitab yang memang sudah tercampur aduk?
QuoteQuoteSaya sendiri termasuk kategori orang yang belum "khatam Tipitaka" tapi sudah "khatam A*****b" bahkan dua kali  :)
Menurut saya, khatam kitab juga tidak jadi patokan apa pun. Saya lebih cocok dengan "mengingat 1 ajaran yang dimengerti lebih baik daripada mengingat 1000 ajaran yang tidak dipahami". 
Maksudnya mungkin saya bahkan lebih mengenal jelas agama lain daripada agama sendiri.
QuoteQuoteOh ya apakah memang ada cerita Bodhisatta belajar membaca Tipitaka masa lampau di bawah pohon Bodhi sebelum mencapai Penerangan sempurna?
Ini suatu sarkasme karena Bro fabian mengatakan tentang ketidak-mungkinan penembusan magga-phala di luar "Agama Buddha". (Maaf, saya memang sarkastik.) Pernyataan Bro fabian tersebut bagi saya sangat mengerdilkan atau bahkan mengabaikan jalan di luar Savaka-bodhi, jadi saya mengeluarkan statement demikian. 
Jika memang tidak ada yang akan menembus kecuali lewat "Agama Buddha", maka pastinya bodhisatta pun belajar "Agama Buddha" terlebih dahulu sebelum mencapai penerangan sempurna. Secara logika, mungkin juga, karena salah satu pengetahuan yang didapatkan sebelum melihat kehancuran asava adalah kehidupan lampau yang tidak berhingga. Mungkin ia "nyontek" dari Buddha-buddha lampau terlebih dahulu sehingga bisa menembus penerangan sempurna. 
Kalau dari sudut pandang kepercayaan saya, "Agama Buddha" hanyalah katalisator, dengan catatan, bagi mereka yang cocok. Seseorang merealisasi kesucian semata-mata karena kematangan bathin dalam melihat kenyataan apa adanya, dan kematangan bathin itu bisa didapatkan di mana pun tanpa terikat suatu "agama/ajaran". Dengan demikian, seorang Bodhisatta yang telah matang bathinnya, tidak belajar pada satu ajaran, tidak terpaku pada "jalan" tertentu, namun mampu menembus penerangan sempurna.
Saya sering membandingkan pencapaian Jhana pangeran Sidhatta dibawah pohon jambu mirip dengan pencapaian musik Amadeus Mozart, dalam kelahiran tersebut mereka tak pernah belajar sebelumnya. Tetapi menurut hukum kamma mereka telah memiliki keahlian dari kehidupan sebelumnya.
Hanya ada dua mahluk yang mencapai Ke-Buddha-an tanpa belajar dari orang lain dalam kehidupan tersebut, yaitu Sammasambuddha dan Pacceka Buddha. Kedua mahluk ini tak pernah bertatap muka. jadi kalau ada Sammasambuddha tak ada Pacceka Buddha, dan demikian sebaliknya.
Dikatakan dalam Jataka seringkali Bodhisatta terlahir jadi manusia, lalu jadi petapa dan berlatih meditasi insight. Tetapi itu merupakan keahlian beliau dari kehidupan sebelumnya, dan nampak seolah-olah ditemukan saat itu. Pertanyaannya, adakah keahlian yang muncul begitu saja tanpa dilatih?
Bila dikatakan apakah penembusan harus melalui agama Buddha? Saya kira memang tidak demikian, penembusan adalah melalui praktek Jalan Ariya berunsur delapan/Vipassana/Satipatthana.
Apakah di agama lain diajarkan? bila diajarkan tentu para pengikutnya juga akan mencapai kesucian.
Bila tidak, maka kesucian tak akan pernah tercapai.
Saya kira hal ini sudah sering dibahas
			
 
			
			
				Intermezzo...
Tetapi dalam satu masa, bisa muncul banyak Pacceka Buddha; dan mereka semua bisa saja bertemu dan bertatap-muka. :)
			
			
			
				Keknya kalo dibandingkan Agama Keris ten dengan agama Buddha dua2nya bener :
Benernya : Agama keristen mengandalkan keselamatan, ya memang bisa selamat cuma sampai surga saja karena memang cita2 mereka juga, setelah itu selamat tinggal
Kalau agama Buddha benernya : Sampai kesucian total mencapai nibbana, setelah itu juga selamat tinggal.
Selamat belum tentu suci, tetapi suci pasti selamat.
Jadi keselamatan vs kesucian pasti beda tapi bener . Tujuannya yg membedakan sehingga cara menjadi berbeda. Jadi tinggal pilih mau selamat atau mau suci  ^-^
 _/\_
			
			
			
				Quote from: upasaka on 24 December 2009, 04:39:46 PM
Intermezzo...
Tetapi dalam satu masa, bisa muncul banyak Pacceka Buddha; dan mereka semua bisa saja bertemu dan bertatap-muka. :)
Saling bertatap muka dan kalau sempat main catur  :))
			
 
			
			
				Quote from: upasaka on 24 December 2009, 04:39:46 PM
Intermezzo...
Tetapi dalam satu masa, bisa muncul banyak Pacceka Buddha; dan mereka semua bisa saja bertemu dan bertatap-muka. :)
Ya dalam jataka ada diceritakan Pacceka Buddha yang hidup berkelompok hingga ratusan orang.
 _/\_
			
 
			
			
				memang sudah tradisi, pada datang dan saling berbagi pencerahan masing-masing.
bulan purnama dan bulan gelap pada dateng dan masuk nirodha samapatti, mereka duduk berdasarkan senioritas (urutan pencerahan). bila ada yang baru dateng, yang paling senior akan bertanya bagaimana pengetahuan pencerahan mereka timbul (pacekka nana), dan yang ditanya akan mengucapkan kata-kata pencerahannya.
			
			
			
				Dijaman yang masih ada agama Buddha, adakah yg mencapai Pacceka Buddha di luar Buddha Sasana?
Misalnya ia bertapa sendirian di Pegunungan Himalaya.
			
			
			
				ada sasana = tidak ada pacekka buddha
kappa tidak ada sasana = tidak ada pacekka buddha
kappa ada sasana tapi lagi tidak ada sasana = bisa ada pacekka buddha
			
			
			
				Thx om Apin  _/\_
			
			
			
				Quote from: dilbert on 24 December 2009, 04:04:48 PM
Maksudnya... saat saat mencapai penerangan sempurna (kalau tidak salah saya, ada pembagian waktu-nya...  waktu jaga malam 1 - kejadiannya apa, waktu jaga malam ke-2 - kejadiannya apa dstnya)... pada waktu itu, ada momen ketika Bodhisatta bisa mengingat kembali banyak kehidupan lampaunya, termasuk juga kehidupan lampau-nya terlahir dan menjadi bhikkhu 9x kehidupan pada waktu periode sammasambuddha yang berlainan.
Apakah bodhisatta juga bisa flash back apa yang dipelajari oleh sang "bhikkhu" di kehidupan lampau-nya tersebut ? Jika IYA, apakah ini termasuk belajar ? 
Menurut saya, bisa flashback ke sana, namun bukan itu yang jadi "pembelajaran". Ia semata-mata mengerti dan menyadari demikianlah segala fenomena terjadi. Jadi bagi saya, Bodhisatta tidak belajar Buddhadhamma dari Buddha masa lampau untuk menembus penerangan sempurna atau merumuskan 4 Kebenaran Mulia tersebut. 
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 24 December 2009, 04:22:46 PM
Bagaimana dengan kitab yang memang sudah tercampur aduk?
Apakah ada Kitab yang murni tidak tercampur aduk? 
QuoteMaksudnya mungkin saya bahkan lebih mengenal jelas agama lain daripada agama sendiri.
Betulkah demikian? Kalau Bro fabian "mengenal" ajaran lain dengan baik dan benar, maka tidak mungkin beralih ke Buddhisme bukan? Sama seperti kalau orang "mengenal" Buddhisme dengan baik dan benar, maka tidak mungkin beralih ke ajaran lain. 
Masing-masing pun ada klaim kalau "sudah mengenal ajaran lain dengan baik". Namun siapa yang tahu kebenaran tersebut? 
QuoteSaya sering membandingkan pencapaian Jhana pangeran Sidhatta dibawah pohon jambu mirip dengan pencapaian musik Amadeus Mozart, dalam kelahiran tersebut mereka tak pernah belajar sebelumnya. Tetapi menurut hukum kamma mereka telah memiliki keahlian dari kehidupan sebelumnya.
Kalau kita ke W.A. Mozart, adalah kemungkinan besar ia pernah "berlatih sebelumnya", maka ia punya bakat. Tetapi apakah kemudian komposisinya adalah "hasil nyontek" dari masa lalu? Sepenuhnya tidak. Perumpamaan lain lagi adalah orang yang pandai menghitung. Kemungkinan ia memang mengembangkan kemampuan menghitung sehingga bisa menghitung dengan cepat, namun bukan karena ia sudah pernah mengerjakan sebelumnya di masa lampau dan ingat jawabannya. 
QuoteHanya ada dua mahluk yang mencapai Ke-Buddha-an tanpa belajar dari orang lain dalam kehidupan tersebut, yaitu Sammasambuddha dan Pacceka Buddha. Kedua mahluk ini tak pernah bertatap muka. jadi kalau ada Sammasambuddha tak ada Pacceka Buddha, dan demikian sebaliknya.
Ya, demikian yang saya percaya juga. Tetapi bukan berarti tidak ada Pacceka-bodhisatta yang bertemu muka dengan Samma Sambuddha, bukan? 
QuoteDikatakan dalam Jataka seringkali Bodhisatta terlahir jadi manusia, lalu jadi petapa dan berlatih meditasi insight. Tetapi itu merupakan keahlian beliau dari kehidupan sebelumnya, dan nampak seolah-olah ditemukan saat itu. Pertanyaannya, adakah keahlian yang muncul begitu saja tanpa dilatih?
Kalau mau berorientasi pada masa lampau, kira-kira Buddha pertama yang ada, belajar insight dari siapa, bertekad menjadi Samma Sambuddha di depan siapa? 
QuoteBila dikatakan apakah penembusan harus melalui agama Buddha? Saya kira memang tidak demikian, penembusan adalah melalui praktek Jalan Ariya berunsur delapan/Vipassana/Satipatthana.
Apakah di agama lain diajarkan? bila diajarkan tentu para pengikutnya juga akan mencapai kesucian.
Bila tidak, maka kesucian tak akan pernah tercapai.
Masalahnya di agama yang diajarkan pun para pengikutnya belum mencapai kesucian. Bagaimana mungkin cocok mengatakan ajaran lain begini-begitu. No offense. 
Kembali lagi sepertinya kalau saya bilang "non-Buddhisme", Bro fabian selalu mengacu pada "agama lain". Yang saya katakan sebagai "non-Buddhisme" tidak terbatas pada agama dan kepercayaan. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 26 December 2009, 11:00:08 AM
Quote from: dilbert on 24 December 2009, 04:04:48 PM
Maksudnya... saat saat mencapai penerangan sempurna (kalau tidak salah saya, ada pembagian waktu-nya...  waktu jaga malam 1 - kejadiannya apa, waktu jaga malam ke-2 - kejadiannya apa dstnya)... pada waktu itu, ada momen ketika Bodhisatta bisa mengingat kembali banyak kehidupan lampaunya, termasuk juga kehidupan lampau-nya terlahir dan menjadi bhikkhu 9x kehidupan pada waktu periode sammasambuddha yang berlainan.
Apakah bodhisatta juga bisa flash back apa yang dipelajari oleh sang "bhikkhu" di kehidupan lampau-nya tersebut ? Jika IYA, apakah ini termasuk belajar ? 
Menurut saya, bisa flashback ke sana, namun bukan itu yang jadi "pembelajaran". Ia semata-mata mengerti dan menyadari demikianlah segala fenomena terjadi. Jadi bagi saya, Bodhisatta tidak belajar Buddhadhamma dari Buddha masa lampau untuk menembus penerangan sempurna atau merumuskan 4 Kebenaran Mulia tersebut. 
Salah satu "sebab logis" mengapa bisa ada pacceka buddha di jaman tidak ada-nya ajaran, adalah di dalam ajaran BUDDHA di kenal konsep punnabhava (kelahiran kembali), konsep parami, dan yang berhubungan dengan hal hal tersebut. Sehingga tidak-lah heran kadang kita temukan individu-individu muda (masih belia usianya) memiliki pengetahuan di luar lazim usia-nya. 
Jadi tidak-lah heran ketika seorang individu memiliki kemampuan spiritual yang terus maju menuju pencerahan dalam kehidupan kehidupan berikut-nya, walaupun di "tempat" kelahirannya itu tidak ada buddha sasana. 
			
 
			
			
				Quote from: dilbert on 26 December 2009, 12:16:19 PM
Salah satu "sebab logis" mengapa bisa ada pacceka buddha di jaman tidak ada-nya ajaran, adalah di dalam ajaran BUDDHA di kenal konsep punnabhava (kelahiran kembali), konsep parami, dan yang berhubungan dengan hal hal tersebut. Sehingga tidak-lah heran kadang kita temukan individu-individu muda (masih belia usianya) memiliki pengetahuan di luar lazim usia-nya. 
Jadi tidak-lah heran ketika seorang individu memiliki kemampuan spiritual yang terus maju menuju pencerahan dalam kehidupan kehidupan berikut-nya, walaupun di "tempat" kelahirannya itu tidak ada buddha sasana. 
Saya pun memang percaya punnbhava dan ada kualitas-kualitas yang "terbawa" dari masa lalu. Tetapi kembali lagi kalau kita memasukkan hal tersebut ke dalam pembahasan ini, akan terjadi spekulasi yang ke mana-mana. Salah satunya adalah yang saya sebutkan sebelumnya: Buddha pertama belajar dari siapa di masa lalunya? 
Contoh lain lagi adalah dalam putaran lahir-mati, tidak ada yang menentu. Orang kadang jahat, kadang baik. Lalu ke mana kualitas-kualitas itu pergi? Bodhisatta menyempurnakan parami dana, tetapi di masa lalu juga membunuh demi harta. Lalu dari mana kualitas itu berasal dan ke mana kualitas itu hilang? Kok yang ada pada kehidupan terakhir tinggal yang baik-baik saja? 
Karena rentannya pembicaraan tersebut ke arah spekulasi, maka saya selalu berorientasi pada kehidupan yang dimaksud saja, walaupun tentu saja tanpa mengabaikan kemungkinan-kemungkinan pada kehidupan lampaunya. 
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 24 December 2009, 04:22:46 PM
Bagaimana dengan kitab yang memang sudah tercampur aduk?
Apakah ada Kitab yang murni tidak tercampur aduk? 
Ada buku yang belum pasti murni atau tidak, dan ada buku yang pasti tercampur aduk, fokus perhatian saya pada buku yang pasti tercampur aduk.
QuoteQuoteMaksudnya mungkin saya bahkan lebih mengenal jelas agama lain daripada agama sendiri.
Betulkah demikian? Kalau Bro fabian "mengenal" ajaran lain dengan baik dan benar, maka tidak mungkin beralih ke Buddhisme bukan? Sama seperti kalau orang "mengenal" Buddhisme dengan baik dan benar, maka tidak mungkin beralih ke ajaran lain. 
Masing-masing pun ada klaim kalau "sudah mengenal ajaran lain dengan baik". Namun siapa yang tahu kebenaran tersebut? 
Ajaran Buddha juga saya tidak mengenal dengan baik dan benar, mungkin kalau saya sudah Arahat baru mengenal dengan baik dan benar.
Mengenai mengapa saya memilih Buddhisme karena salah mahluk "Adi Kuasa"nya, kenapa membiarkan saya memeluk ajaran Buddha? Saya memilih ajaran Buddha mungkin dengan "restu"nya.  :)
QuoteQuoteSaya sering membandingkan pencapaian Jhana pangeran Sidhatta dibawah pohon jambu mirip dengan pencapaian musik Amadeus Mozart, dalam kelahiran tersebut mereka tak pernah belajar sebelumnya. Tetapi menurut hukum kamma mereka telah memiliki keahlian dari kehidupan sebelumnya.
Kalau kita ke W.A. Mozart, adalah kemungkinan besar ia pernah "berlatih sebelumnya", maka ia punya bakat. Tetapi apakah kemudian komposisinya adalah "hasil nyontek" dari masa lalu? Sepenuhnya tidak. Perumpamaan lain lagi adalah orang yang pandai menghitung. Kemungkinan ia memang mengembangkan kemampuan menghitung sehingga bisa menghitung dengan cepat, namun bukan karena ia sudah pernah mengerjakan sebelumnya di masa lampau dan ingat jawabannya.
Apakah bro Kainyn pernah membaca kisahnya? Pertama kali memainkan piano langsung bisa memainkan musik klasik, padahal ayahnya tak mampu menyelesaikan lagu tersebut, dan Mozart kecil (pada waktu itu ia berumur 5 tahun) sebelumnya tak pernah belajar main piano.
QuoteQuoteHanya ada dua mahluk yang mencapai Ke-Buddha-an tanpa belajar dari orang lain dalam kehidupan tersebut, yaitu Sammasambuddha dan Pacceka Buddha. Kedua mahluk ini tak pernah bertatap muka. jadi kalau ada Sammasambuddha tak ada Pacceka Buddha, dan demikian sebaliknya.
Ya, demikian yang saya percaya juga. Tetapi bukan berarti tidak ada Pacceka-bodhisatta yang bertemu muka dengan Samma Sambuddha, bukan?
Bukan hanya Pacceka Bodhisatta, Arahatta Bodhisatta juga.
QuoteQuoteDikatakan dalam Jataka seringkali Bodhisatta terlahir jadi manusia, lalu jadi petapa dan berlatih meditasi insight. Tetapi itu merupakan keahlian beliau dari kehidupan sebelumnya, dan nampak seolah-olah ditemukan saat itu. Pertanyaannya, adakah keahlian yang muncul begitu saja tanpa dilatih?
Kalau mau berorientasi pada masa lampau, kira-kira Buddha pertama yang ada, belajar insight dari siapa, bertekad menjadi Samma Sambuddha di depan siapa?
Coba baca Culamalunkya sutta, (MN 63)
QuoteQuoteBila dikatakan apakah penembusan harus melalui agama Buddha? Saya kira memang tidak demikian, penembusan adalah melalui praktek Jalan Ariya berunsur delapan/Vipassana/Satipatthana.
Apakah di agama lain diajarkan? bila diajarkan tentu para pengikutnya juga akan mencapai kesucian.
Bila tidak, maka kesucian tak akan pernah tercapai.
Masalahnya di agama yang diajarkan pun para pengikutnya belum mencapai kesucian. Bagaimana mungkin cocok mengatakan ajaran lain begini-begitu. No offense. 
Agama mana selain agama Buddha diajarkan Vipassana/Satipatthana? Darimana bro Kainyn tahu mereka yang belajar Vipassana/Satipatthana belum mencapai kesucian? Apakah menurut bro Kainyn ajaran agama Buddha mengenai pandangan terang hanya dongeng?
QuoteKembali lagi sepertinya kalau saya bilang "non-Buddhisme", Bro fabian selalu mengacu pada "agama lain". Yang saya katakan sebagai "non-Buddhisme" tidak terbatas pada agama dan kepercayaan.
Bicara lebih sempit kita bicara agama (religion) bila bicara lebih luas kita sebut ideologi. Komunis/marxis juga masuk ideologi (pandangan). Kita bicara mana bro?
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 26 December 2009, 01:31:40 PM
Quote from: dilbert on 26 December 2009, 12:16:19 PM
Salah satu "sebab logis" mengapa bisa ada pacceka buddha di jaman tidak ada-nya ajaran, adalah di dalam ajaran BUDDHA di kenal konsep punnabhava (kelahiran kembali), konsep parami, dan yang berhubungan dengan hal hal tersebut. Sehingga tidak-lah heran kadang kita temukan individu-individu muda (masih belia usianya) memiliki pengetahuan di luar lazim usia-nya. 
Jadi tidak-lah heran ketika seorang individu memiliki kemampuan spiritual yang terus maju menuju pencerahan dalam kehidupan kehidupan berikut-nya, walaupun di "tempat" kelahirannya itu tidak ada buddha sasana. 
Saya pun memang percaya punnbhava dan ada kualitas-kualitas yang "terbawa" dari masa lalu. Tetapi kembali lagi kalau kita memasukkan hal tersebut ke dalam pembahasan ini, akan terjadi spekulasi yang ke mana-mana. Salah satunya adalah yang saya sebutkan sebelumnya: Buddha pertama belajar dari siapa di masa lalunya? 
Contoh lain lagi adalah dalam putaran lahir-mati, tidak ada yang menentu. Orang kadang jahat, kadang baik. Lalu ke mana kualitas-kualitas itu pergi? Bodhisatta menyempurnakan parami dana, tetapi di masa lalu juga membunuh demi harta. Lalu dari mana kualitas itu berasal dan ke mana kualitas itu hilang? Kok yang ada pada kehidupan terakhir tinggal yang baik-baik saja? 
Karena rentannya pembicaraan tersebut ke arah spekulasi, maka saya selalu berorientasi pada kehidupan yang dimaksud saja, walaupun tentu saja tanpa mengabaikan kemungkinan-kemungkinan pada kehidupan lampaunya. 
Apakah pertanyaannya menjadi sama, jika ditanyakan, siapakah makhluk pertama di lingkaran samsara 31 alam kehidupan ?
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 26 December 2009, 01:41:36 PM
Ada buku yang belum pasti murni atau tidak, dan ada buku yang pasti tercampur aduk, fokus perhatian saya pada buku yang pasti tercampur aduk.
Tidak masalah. Seseorang mengerti ajaran juga bukan semata-mata karena "kitab". Sekarang 
anggaplah Tipitaka adalah asli tak tercampur. Lalu apakah setiap orang yang membaca, yang merasa memiliki dan mengikuti isi kitab tersebut pasti menjadi orang yang lebih baik? Tidak demikian, bukan?! Sebaliknya orang lain yang membaca, merasa memiliki dan mengikuti isi kitab "campur aduk", apakah melulu menjadi orang bodoh yang tidak bijaksana? Tidak juga, bukan?! 
Kebijaksanaan berkembang dengan menyadari kenyataan, bukan dengan mengikuti agama tertentu. Itulah yang saya percaya. 
QuoteAjaran Buddha juga saya tidak mengenal dengan baik dan benar, mungkin kalau saya sudah Arahat baru mengenal dengan baik dan benar.
Mengenai mengapa saya memilih Buddhisme karena salah mahluk "Adi Kuasa"nya, kenapa membiarkan saya memeluk ajaran Buddha? Saya memilih ajaran Buddha mungkin dengan "restu"nya.  :)
Bukan dengan "restu"-Nya, namun karena Ia memberikan kehendak bebas. Bro fabian adalah orang yang "tidak tahan uji" karena belum memahami "rencana" sesungguhnya ;D 
Bagaimana? Tidak ada habisnya bukan? 
QuoteApakah bro Kainyn pernah membaca kisahnya? Pertama kali memainkan piano langsung bisa memainkan musik klasik, padahal ayahnya tak mampu menyelesaikan lagu tersebut, dan Mozart kecil (pada waktu itu ia berumur 5 tahun) sebelumnya tak pernah belajar main piano.
Thanx buat ceritanya, saya belum membaca kisah tersebut sebelumnya. Kalau begitu, saya ralat. Menurut saya pencerahan Bodhisatta TIDAK seperti W.A. Mozart. Ia pun merumuskan ajaran karena pengertian yang dimiliki, bukan "mencontoh" dari Buddha-Buddha lampau. 
QuoteQuoteDikatakan dalam Jataka seringkali Bodhisatta terlahir jadi manusia, lalu jadi petapa dan berlatih meditasi insight. Tetapi itu merupakan keahlian beliau dari kehidupan sebelumnya, dan nampak seolah-olah ditemukan saat itu. Pertanyaannya, adakah keahlian yang muncul begitu saja tanpa dilatih?
Kalau mau berorientasi pada masa lampau, kira-kira Buddha pertama yang ada, belajar insight dari siapa, bertekad menjadi Samma Sambuddha di depan siapa?
Coba baca Culamalunkya sutta, (MN 63)
[/quote]
Pernahkah terpikir kalau seandainya insight tersebut "harus diajarkan", maka siapa yang pertama mengajarkan itu tidak akan terjawab. Kecuali mungkin kalau mau keluar dari konsistensi dan merujuk ke sesuatu yang di luar logika seperti "Tuhan". 
Saya berpendapat "tidak harus diajarkan", maka itu memang bukan tidak mungkin dicapai oleh "si Buddha pertama". Soal siapakah "Buddha pertama" itu (lagi-lagi) adalah pertanyaan retoris. 
QuoteQuote
Masalahnya di agama yang diajarkan pun para pengikutnya belum mencapai kesucian. Bagaimana mungkin cocok mengatakan ajaran lain begini-begitu. No offense. 
Agama mana selain agama Buddha diajarkan Vipassana/Satipatthana? Darimana bro Kainyn tahu mereka yang belajar Vipassana/Satipatthana belum mencapai kesucian? Apakah menurut bro Kainyn ajaran agama Buddha mengenai pandangan terang hanya dongeng?
Pertanyaan yang sama bisa saya tanyakan: tahu dari mana umat lain ga ada yang mencapai kesucian? 
Ini semua hanyalah pertanyaan2 spekulatif sampai kita sendiri membuktikannya. Dan seandainya pun sudah kita buktikan sendiri, kita tidak bisa membuktikannya kepada orang lain pencapaian kita. Berdasarkan hal ini, apakah cocok kita mengklaim satu ajaran benar dan ajaran lain tidak? Bagi saya tidak. 
Satu hal lagi, saya pernah mengatakan bahwa saya telah melakukan Satipatthana secara otodidak sebelum mengenal Buddhisme, walaupun tentu saja dengan sistematika dan metode yang "berantakan". Jadi saya pribadi menganggap, kalau itu mungkin terjadi pada saya yang bodoh ini, mengapa tidak mungkin terjadi pada orang lain yang lebih bijak? 
QuoteBicara lebih sempit kita bicara agama (religion) bila bicara lebih luas kita sebut ideologi. Komunis/marxis juga masuk ideologi (pandangan). Kita bicara mana bro?
Yang saya bicarakan adalah ketika seseorang tidak beragama, tidak terikat pada ideologi, tetap bisa mengembangkan kebijaksanaan. Jadi non-Buddhis tidak selalu harus dari religion/ideology tertentu. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 26 December 2009, 02:33:42 PM
Quote from: fabian c on 26 December 2009, 01:41:36 PM
Ada buku yang belum pasti murni atau tidak, dan ada buku yang pasti tercampur aduk, fokus perhatian saya pada buku yang pasti tercampur aduk.
Tidak masalah. Seseorang mengerti ajaran juga bukan semata-mata karena "kitab". Sekarang anggaplah Tipitaka adalah asli tak tercampur. Lalu apakah setiap orang yang membaca, yang merasa memiliki dan mengikuti isi kitab tersebut pasti menjadi orang yang lebih baik? Tidak demikian, bukan?! Sebaliknya orang lain yang membaca, merasa memiliki dan mengikuti isi kitab "campur aduk", apakah melulu menjadi orang bodoh yang tidak bijaksana? Tidak juga, bukan?! 
Kebijaksanaan berkembang dengan menyadari kenyataan, bukan dengan mengikuti agama tertentu. Itulah yang saya percaya. 
Agama/kitab/bimbingan/ajaran itu ibarat JARI menunjuk REMBULAN... 
Ada yang perlu melihat ke JARI untuk menuntun pada REMBULAN...
Ada yang tidak perlu JARI (ataupun memang tidak tersedia JARI) untuk melihat pada REMBULAN...
Nah...
Ada JARI yang sembarang NUNJUK... 
			
 
			
			
				Quote from: dilbert on 26 December 2009, 02:23:07 PM
Apakah pertanyaannya menjadi sama, jika ditanyakan, siapakah makhluk pertama di lingkaran samsara 31 alam kehidupan ?
Orientasinya berbeda di mana dalam pertanyaan umum tersebut (siapakah orang/Buddha pertama) kita mencari orang tertentu yang tentu saja kita tidak akan temukan, sedangkan dalam pertanyaan saya, tujuannya adalah untuk melihat konsistensi ajaran tentang perbedaan 3 pencapaian tersebut. 
Kalau kita berorientasi pada masa-masa lalu (yang tak hingga), maka ga ada yang namanya Samma Sambuddha atau Pacceka Buddha. Semua hanyalah Savaka Buddha yang muncul pada beda waktu. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 26 December 2009, 02:41:11 PM
Quote from: dilbert on 26 December 2009, 02:23:07 PM
Apakah pertanyaannya menjadi sama, jika ditanyakan, siapakah makhluk pertama di lingkaran samsara 31 alam kehidupan ?
Orientasinya berbeda di mana dalam pertanyaan umum tersebut (siapakah orang/Buddha pertama) kita mencari orang tertentu yang tentu saja kita tidak akan temukan, sedangkan dalam pertanyaan saya, tujuannya adalah untuk melihat konsistensi ajaran tentang perbedaan 3 pencapaian tersebut. 
Kalau kita berorientasi pada masa-masa lalu (yang tak hingga), maka ga ada yang namanya Samma Sambuddha atau Pacceka Buddha. Semua hanyalah Savaka Buddha yang muncul pada beda waktu. 
Kok savaka Buddha ?  Terminologi savaka buddha saja adalah buddha yang mengikuti ajaran seorang sammasambuddha.
Justru karena ada-nya KAVLING Sammasambuddha dan Pacceka Buddha, itu menjadi argumentasi yang logis tentang apa yang dapat disebut sebagai BUDDHA pertama.
			
 
			
			
				Quote from: dilbert on 26 December 2009, 02:44:11 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 26 December 2009, 02:41:11 PM
Quote from: dilbert on 26 December 2009, 02:23:07 PM
Apakah pertanyaannya menjadi sama, jika ditanyakan, siapakah makhluk pertama di lingkaran samsara 31 alam kehidupan ?
Orientasinya berbeda di mana dalam pertanyaan umum tersebut (siapakah orang/Buddha pertama) kita mencari orang tertentu yang tentu saja kita tidak akan temukan, sedangkan dalam pertanyaan saya, tujuannya adalah untuk melihat konsistensi ajaran tentang perbedaan 3 pencapaian tersebut. 
Kalau kita berorientasi pada masa-masa lalu (yang tak hingga), maka ga ada yang namanya Samma Sambuddha atau Pacceka Buddha. Semua hanyalah Savaka Buddha yang muncul pada beda waktu. 
Kok savaka Buddha ?  Terminologi savaka buddha saja adalah buddha yang mengikuti ajaran seorang sammasambuddha.
Justru karena ada-nya KAVLING Sammasambuddha dan Pacceka Buddha, itu menjadi argumentasi yang logis tentang apa yang dapat disebut sebagai BUDDHA pertama.
Dalam hal ini saya setuju dengan Bro Kaynin,
Apabila ada Buddha pertama dan Buddha2 berikutnya mencapai pencerahan karena mengikuti ajaran Buddha pertama, maka yg pantas disebut sebagai Sammasambuddha hanyalah Buddha pertama, yg lain hanyalah Savaka Buddha.
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 26 December 2009, 01:41:36 PM
Ada buku yang belum pasti murni atau tidak, dan ada buku yang pasti tercampur aduk, fokus perhatian saya pada buku yang pasti tercampur aduk.
Tidak masalah. Seseorang mengerti ajaran juga bukan semata-mata karena "kitab". Sekarang anggaplah Tipitaka adalah asli tak tercampur. Lalu apakah setiap orang yang membaca, yang merasa memiliki dan mengikuti isi kitab tersebut pasti menjadi orang yang lebih baik? Tidak demikian, bukan?! Sebaliknya orang lain yang membaca, merasa memiliki dan mengikuti isi kitab "campur aduk", apakah melulu menjadi orang bodoh yang tidak bijaksana? Tidak juga, bukan?! 
Kebijaksanaan berkembang dengan menyadari kenyataan, bukan dengan mengikuti agama tertentu. Itulah yang saya percaya. 
Bro Kainyn, lagi-lagi mencampurkan penilaian individu. Perbandingan agama adalah kitab sucinya. Orang yang tak beragama juga banyak yang baik, tidak menjadi teroris. Yang beragama malah ada yang  jadi teroris.
QuoteQuoteAjaran Buddha juga saya tidak mengenal dengan baik dan benar, mungkin kalau saya sudah Arahat baru mengenal dengan baik dan benar.
Mengenai mengapa saya memilih Buddhisme karena salah mahluk "Adi Kuasa"nya, kenapa membiarkan saya memeluk ajaran Buddha? Saya memilih ajaran Buddha mungkin dengan "restu"nya.  :)
Bukan dengan "restu"-Nya, namun karena Ia memberikan kehendak bebas. Bro fabian adalah orang yang "tidak tahan uji" karena belum memahami "rencana" sesungguhnya ;D 
Bagaimana? Tidak ada habisnya bukan? 
Salah sendiri kenapa memberi kehendak bebas?
QuoteQuoteApakah bro Kainyn pernah membaca kisahnya? Pertama kali memainkan piano langsung bisa memainkan musik klasik, padahal ayahnya tak mampu menyelesaikan lagu tersebut, dan Mozart kecil (pada waktu itu ia berumur 5 tahun) sebelumnya tak pernah belajar main piano.
Thanx buat ceritanya, saya belum membaca kisah tersebut sebelumnya. Kalau begitu, saya ralat. Menurut saya pencerahan Bodhisatta TIDAK seperti W.A. Mozart. Ia pun merumuskan ajaran karena pengertian yang dimiliki, bukan "mencontoh" dari Buddha-Buddha lampau. 
:)
QuoteQuoteQuoteQuoteDikatakan dalam Jataka seringkali Bodhisatta terlahir jadi manusia, lalu jadi petapa dan berlatih meditasi insight. Tetapi itu merupakan keahlian beliau dari kehidupan sebelumnya, dan nampak seolah-olah ditemukan saat itu. Pertanyaannya, adakah keahlian yang muncul begitu saja tanpa dilatih?
Kalau mau berorientasi pada masa lampau, kira-kira Buddha pertama yang ada, belajar insight dari siapa, bertekad menjadi Samma Sambuddha di depan siapa?
Coba baca Culamalunkya sutta, (MN 63)
Pernahkah terpikir kalau seandainya insight tersebut "harus diajarkan", maka siapa yang pertama mengajarkan itu tidak akan terjawab. Kecuali mungkin kalau mau keluar dari konsistensi dan merujuk ke sesuatu yang di luar logika seperti "Tuhan". 
Saya berpendapat "tidak harus diajarkan", maka itu memang bukan tidak mungkin dicapai oleh "si Buddha pertama". Soal siapakah "Buddha pertama" itu (lagi-lagi) adalah pertanyaan retoris. 
:)
QuoteQuoteQuote
Masalahnya di agama yang diajarkan pun para pengikutnya belum mencapai kesucian. Bagaimana mungkin cocok mengatakan ajaran lain begini-begitu. No offense. 
Agama mana selain agama Buddha diajarkan Vipassana/Satipatthana? Darimana bro Kainyn tahu mereka yang belajar Vipassana/Satipatthana belum mencapai kesucian? Apakah menurut bro Kainyn ajaran agama Buddha mengenai pandangan terang hanya dongeng?
Pertanyaan yang sama bisa saya tanyakan: tahu dari mana umat lain ga ada yang mencapai kesucian? 
Ini semua hanyalah pertanyaan2 spekulatif sampai kita sendiri membuktikannya. Dan seandainya pun sudah kita buktikan sendiri, kita tidak bisa membuktikannya kepada orang lain pencapaian kita. Berdasarkan hal ini, apakah cocok kita mengklaim satu ajaran benar dan ajaran lain tidak? Bagi saya tidak.
Coba dong jelaskan cara mencapai kesucian di agama lain...
Quote
Satu hal lagi, saya pernah mengatakan bahwa saya telah melakukan Satipatthana secara otodidak sebelum mengenal Buddhisme, walaupun tentu saja dengan sistematika dan metode yang "berantakan". Jadi saya pribadi menganggap, kalau itu mungkin terjadi pada saya yang bodoh ini, mengapa tidak mungkin terjadi pada orang lain yang lebih bijak? 
Darimana tahu itu Satipatthana?
Quote
QuoteBicara lebih sempit kita bicara agama (religion) bila bicara lebih luas kita sebut ideologi. Komunis/marxis juga masuk ideologi (pandangan). Kita bicara mana bro?
Yang saya bicarakan adalah ketika seseorang tidak beragama, tidak terikat pada ideologi, tetap bisa mengembangkan kebijaksanaan. Jadi non-Buddhis tidak selalu harus dari religion/ideology tertentu. 
Ada kebijaksanaan duniawi yang umum  dan kebijaksanaan diatas duniawi. Maksudnya yang mana?
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 26 December 2009, 05:09:52 PM
Bro Kainyn, lagi-lagi mencampurkan penilaian individu. Perbandingan agama adalah kitab sucinya. Orang yang tak beragama juga banyak yang baik, tidak menjadi teroris. Yang beragama malah ada yang  jadi teroris.
Perbandingan agama adalah dari kitab suci semata? Dari A1kitab yang sama persis, muncul istilah "kharismatik" & "injili" yang boleh dibilang sudah cukup banyak perbedaan. Kalau individu tidak memainkan peranan di situ, mungkin "Tuhan" yang berperan di sana? 
QuoteDarimana tahu itu Satipatthana?
Istilahnya? Yah dari Sutta.
QuoteAda kebijaksanaan duniawi yang umum  dan kebijaksanaan diatas duniawi. Maksudnya yang mana?
Kebijaksanaan duniawi umum dan kebijaksanaan "di atas duniawi" menurut saya seperti pelajaran sekolah dan pelajaran universitas. Karena itu, saya tidak membedakan "jenis"-nya. 
QuoteCoba dong jelaskan cara mencapai kesucian di agama lain...
Melihat sikap Bro fabian, saya jadi ingat satu frasa yang sangat terkenal, namun sedikit beda isi: 
"Buddhalah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang mencapai Nibbana kalau tidak melalui Ajaran Buddha."
Berdasarkan hal tersebut, saya tidak ingin dan tidak mampu melanjutkan diskusi. 
			
 
			
			
				Quote
Quote from: fabian c on 26 December 2009, 05:09:52 PM
Bro Kainyn, lagi-lagi mencampurkan penilaian individu. Perbandingan agama adalah kitab sucinya. Orang yang tak beragama juga banyak yang baik, tidak menjadi teroris. Yang beragama malah ada yang  jadi teroris.
Perbandingan agama adalah dari kitab suci semata? Dari A1kitab yang sama persis, muncul istilah "kharismatik" & "injili" yang boleh dibilang sudah cukup banyak perbedaan. Kalau individu tidak memainkan peranan di situ, mungkin "Tuhan" yang berperan di sana? 
Entah saya tidak peduli pendapat individu, bagi saya otoritas tertinggi dan paling otentik dari suatu agama adalah kitab sucinya.
Quote
QuoteDarimana tahu itu Satipatthana?
Istilahnya? Yah dari Sutta.
The one you've practiced.
QuoteQuoteAda kebijaksanaan duniawi yang umum  dan kebijaksanaan diatas duniawi. Maksudnya yang mana?
Kebijaksanaan duniawi umum dan kebijaksanaan "di atas duniawi" menurut saya seperti pelajaran sekolah dan pelajaran universitas. Karena itu, saya tidak membedakan "jenis"-nya. 
Kebijaksanaan duniawi menurut saya berdasarkan logika dan akal sehat, kebijaksanaan diatas duniawi didapatkan dari pengalaman meditatif.
QuoteQuoteCoba dong jelaskan cara mencapai kesucian di agama lain...
Melihat sikap Bro fabian, saya jadi ingat satu frasa yang sangat terkenal, namun sedikit beda isi: 
"Buddhalah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang mencapai Nibbana kalau tidak melalui Ajaran Buddha."
Berdasarkan hal tersebut, saya tidak ingin dan tidak mampu melanjutkan diskusi. 
Boleh tanya bro Kainyn, di bagian manakah ajaran agama yang akarnya dari timur tengah diajarkan Nibbana?
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 28 December 2009, 12:18:20 PM
QuoteQuoteDarimana tahu itu Satipatthana?
Istilahnya? Yah dari Sutta.
The one you've practiced.
Semua kembali lagi ke opini. Ada yang bilang "vipassana" tertentu bukan ajaran Buddha, ada lagi yang bilang "vipassana" tertentu lebih otentik, dst, dst. Daripada akhirnya ke mana-mana, lebih baik tidak usah dibahas. 
QuoteKebijaksanaan duniawi menurut saya berdasarkan logika dan akal sehat, kebijaksanaan diatas duniawi didapatkan dari pengalaman meditatif.
Dan dari sudut pandang Bro fabian, maka tentu saja tidak ada orang bijaksana yang tidak pernah belajar meditasi Buddhis. 
QuoteBoleh tanya bro Kainyn, di bagian manakah ajaran agama yang akarnya dari timur tengah diajarkan Nibbana?
Entahlah. Coba ditanyakan pada yang mengatakan ada agama lain yang mengajarkan nibbana. 
Saya review pernyataan saya: Pencapaian kesucian selalu bergantung pada kematangan bathin seseorang, namun tidak selalu tergantung pada ajaran. Oleh karena itu, seseorang yang tidak memiliki kematangan bathin tidak akan mencapai kesucian walaupun bertemu dengan ajaran yang benar. Di lain pihak, seseorang yang memiliki kematangan bathin, pada waktu dan kondisi yang sesuai bisa mencapai kesucian walaupun tidak mendapatkan pengajaran. 
Contoh gampang: Samma Sambuddha & Pacceka Buddha tidak "beragama Buddha" untuk mencapai nibbana. 
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 28 December 2009, 12:18:20 PM
QuoteQuoteDarimana tahu itu Satipatthana?
Istilahnya? Yah dari Sutta.
The one you've practiced.
Semua kembali lagi ke opini. Ada yang bilang "vipassana" tertentu bukan ajaran Buddha, ada lagi yang bilang "vipassana" tertentu lebih otentik, dst, dst. Daripada akhirnya ke mana-mana, lebih baik tidak usah dibahas. 
Tapi bro Kainyn sendiri yang mengatakan sudah berlatih satipatthana sebelum mengenal ajaran Buddha kan? Tahu darimana bahwa yang dilatih itu adalah Satipatthana?
QuoteQuoteKebijaksanaan duniawi menurut saya berdasarkan logika dan akal sehat, kebijaksanaan diatas duniawi didapatkan dari pengalaman meditatif.
Dan dari sudut pandang Bro fabian, maka tentu saja tidak ada orang bijaksana yang tidak pernah belajar meditasi Buddhis.
Kan sudah saya katakan kebijaksanaan duniawi hanya berdasarkan logika dan akal sehat, tak perlu berlatih meditasi.
QuoteQuoteBoleh tanya bro Kainyn, di bagian manakah ajaran agama yang akarnya dari timur tengah diajarkan Nibbana?
Entahlah. Coba ditanyakan pada yang mengatakan ada agama lain yang mengajarkan nibbana. 
Bukankah sebelumnya bro Kainyn mengatakan:
QuoteMelihat sikap Bro fabian, saya jadi ingat satu frasa yang sangat terkenal, namun sedikit beda isi:
"Buddhalah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang mencapai Nibbana kalau tidak melalui Ajaran Buddha."
Berdasarkan hal tersebut, saya tidak ingin dan tidak mampu melanjutkan diskusi. 
Jadi saya beranggapan mas kainyn menganggap ada ajaran lain yang mengajarkan Nibbana, karena bro Kainyn mengatakan bahwa bukan hanya agama Buddha yang mengajarkan jalan kesucian.
Quote
Saya review pernyataan saya: Pencapaian kesucian selalu bergantung pada kematangan bathin seseorang, namun tidak selalu tergantung pada ajaran.
Bila dibahas kematangan seperti apa akan meluas, pernyataan ini menurut saya kadang-kadang benar.
QuoteOleh karena itu, seseorang yang tidak memiliki kematangan bathin tidak akan mencapai kesucian walaupun bertemu dengan ajaran yang benar. 
Saya rasa saya kurang setuju yang ini, kematangan batin bisa diasah dengan belajar/latihan.
QuoteDi lain pihak, seseorang yang memiliki kematangan bathin, pada waktu dan kondisi yang sesuai bisa mencapai kesucian walaupun tidak mendapatkan pengajaran. 
Contoh gampang: Samma Sambuddha & Pacceka Buddha tidak "beragama Buddha" untuk mencapai nibbana.
Oleh sebab itu saya katakan kadang-kadang benar.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 28 December 2009, 04:50:39 PM
Tapi bro Kainyn sendiri yang mengatakan sudah berlatih satipatthana sebelum mengenal ajaran Buddha kan? Tahu darimana bahwa yang dilatih itu adalah Satipatthana?
Sebelum mengenal Ajaran Buddha, tentu saja saya tidak tahu itu namanya apa, tidak tahu dibagi menjadi empat, tidak tahu "efeknya" apa, dll. Hanya melakukan secara spontan saja. 
QuoteBukankah sebelumnya bro Kainyn mengatakan:
QuoteMelihat sikap Bro fabian, saya jadi ingat satu frasa yang sangat terkenal, namun sedikit beda isi:
"Buddhalah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang mencapai Nibbana kalau tidak melalui Ajaran Buddha."
Berdasarkan hal tersebut, saya tidak ingin dan tidak mampu melanjutkan diskusi. 
Jadi saya beranggapan mas kainyn menganggap ada ajaran lain yang mengajarkan Nibbana, karena bro Kainyn mengatakan bahwa bukan hanya agama Buddha yang mengajarkan jalan kesucian.
Seandainya ada sebuah Kota B di selatan yang ingin dituju banyak orang. Ada 3 jalan ke tempat tersebut, dari arah utara, barat & timur. Di Kota A, ada banyak peta ke kota-kota lain, namun hanya ada sebuah peta yang menunjukkan cara pergi ke Kota B, dan itu pun hanya lewat jalan utara saja karena jalan itu yang paling dekat. Sekarang telah banyak yang telah pergi dengan menggunakan peta tersebut dan sampai di tempat tujuan, maka terbuktilah kemanjuran peta tersebut.  
Pertanyaannya: apakah jika saya mengatakan "mencapai Kota B tidak harus dengan peta tersebut" berarti sama dengan "ada peta lain di Kota A yang memandu kita ke Kota B"? 
QuoteQuote
Saya review pernyataan saya: Pencapaian kesucian selalu bergantung pada kematangan bathin seseorang, namun tidak selalu tergantung pada ajaran.
Bila dibahas kematangan seperti apa akan meluas, pernyataan ini menurut saya kadang-kadang benar.
Kematangan bathin dalam Ajaran Buddha, menurut pendapat saya adalah bukan berhubungan pada sesuatu di luar diri. Oleh karena itulah seseorang bisa terasah tanpa perlu "input" dari luar. Ini perbedaan yang paling mendasar dengan agama lain. Saya ambil contoh dalam Agama Nasrani mengenalkan "Pengorbanan Kristus" sebagai dasar ajaran. Kalau orang tidak pernah tahu siapa itu Kristus, sampai kapan pun ia tidak akan "mengerti" Agama Nasrani. 
Perbedaan pandangan saya dan Bro fabian adalah dalam hal ini Bro fabian menganggap perlu "input" dari luar tersebut yang tentu saja eksklusif dan tergantung dari "input yang benar", i.e. Agama Buddha. Saya tidak menganggap demikian karena menganggap seorang Samma Sambuddha atau Pacceka Buddha tidak menerima "input dari luar", namun melihat kenyataan "dunia" lewat dirinya sendiri. 
Karena itulah saya katakan kita tidak bisa melanjutkan diskusi walaupun tentu saja saya tidak tahu siapa yang benar, atau bisa jadi kita berdua juga salah. 
QuoteQuoteOleh karena itu, seseorang yang tidak memiliki kematangan bathin tidak akan mencapai kesucian walaupun bertemu dengan ajaran yang benar. 
Saya rasa saya kurang setuju yang ini, kematangan batin bisa diasah dengan belajar/latihan.
Kalau tidak bisa diasah, tentu tidak ada gunanya seseorang belajar Ajaran Buddha. Yang saya maksudkan adalah sebelum bathin orang matang, ia tidak akan mencapai kesucian, walaupun bertemu ajaran yang benar. Soal berapa lama "mengasahnya", tentu kembali lagi pada masing-masing orang, dan kita tidak bisa tahu hal tersebut. 
			
 
			
			
				di sutta ada dikatakan :
              "Bila, dengan pengertian penuh Gotama Yang Baik telah mengajarkan Dhamma pada siswa-Nya untuk pemurnian makhluk hidup, untuk mengatasi penyesalan dan keputus-asaan, untuk mengakhiri kesedihan dan kemurungan, untuk mencapai tatacara-nya, untuk mencapai nibbana; lalu apakah seluruh dunia akan mencapainya, atau seperduanya, atau sepertiganya?"
              Sampai disitu, Sang Buddha berdiam diri. Lalu Ananda berpikir: "Orang ini hendaknya jangan sampai berpikir bahwa Sang Buddha tidak dapat menjawab pertanyaan yang penting ini." Jadi Ananda berkata: "Saya akan memberi suatu perumpamaan." Bayangkan ada suatu kota dikelilingi oleh tembok dengan dasar pondasi yang sangat kuat, bermenara dan berpintu gerbang hanya satu, pintu gerbang dijaga ketat, hanya orang yang dikenal diperbolehkan melewatinya, dan orang asing tak diperbolehkan melewatinya. Lalu, ketika seseorang berjaga di sekeliling tembok, dia tidak menemukan satupun lobang yang dapat dilewati walau oleh seekor kucing pun. Dengan demikian dia tahu, bahwa semua makhluk, besar ataupun kecil, hanya dapat masuk ke kota atau keluar dari kota dengan melewati gerbang tersebut. Sama halnya dengan pertanyaanmu, tidaklah penting bagi Sang Buddha. Apa yang disabdakan Beliau adalah, bahwa "Siapapun yang telah terbebas, sedang terbebas ataupun akan terbebas dari dunia ini, dia akan terbebas dengan cara melepaskan ke-lima rintangan, melepaskan kesesatan-batin yang melemahkan kebijaksanaan, dia akan terbebas dengan cara mengembangkan batin dalam empat dasar kesadaran, dan dengan mengembangkan tujuh unsur pencerahan."
juga ini :
              Dari semua jalan, Yang Berunsur Delapan yang terbaik
              Dari semua kebenaran, Yang Empat yang terbaik
              Dari semua keadaan, bebas dari murka yang terbaik
              Dari semua manusia, yang sadar yang terbaik
              Inilah Jalan satu-satunya;
              Tak ada lain yang bisa menjadikan murni dan sadar.
              Jalani Jalan itu,
              Dan engkau akan mengatasi Mara.
              Jalani Jalan ini,
              Dan engkau akan mengakhiri penderitaan.
              Saya memaklumatkan Jalan ini,
              Ditemukan oleh Saya sendiri.
juga ini :
Sama halnya, andaikata ada seorang mengembara didalam hutan, lalu menemukan suatu jalan tua, jalan-setapak tua, dilewati oleh orang-orang di masa-masa sebelumnya, yang bila diikuti terus, akan sampai ke suatu kota kuno, suatu benteng agung kuno yang dihuni oleh orang masa lampau, dengan taman-taman dan hutan-hutannya, dengan penampungan air dan tembok-temboknya suatu tempat yang sangat indah. Lalu, seandainya pengembara itu menyampaikan penemuannya pada raja atau menteri, dengan berkata: "Tuan, ketahuilah, saya telah menemukan suatu kota kuno. Pugarlah tempat itu." Lalu, seandainya kota kuno itu dipugar, menjadi cerah, berkembang, dihuni, terisi oleh wangsa-wangsa, dan bertumbuh serta bertambah luas. Demikian pula, saya telah melihat Jalan tua itu, Jalan yang telah dilewati para Buddha Tercerahi di masa-masa sebelumnya. Dan Jalan yang manakah itu? Itulah Jalan Berunsur Delapan.
			
			
			
				Seseorang bisa menemukan Jalan itu (Paccekabuddha dan Sammasambuddha), tetapi hanya di Buddha Dhamma jalan itu secara jelas dan gamblang diuraikan. Selain itu hanya Hindu yang masih agak menyerempet jalan itu, agama yang bersumber akar budaya timur tengah jelas tidak mengajarkan hal itu.
 _/\_
			
			
			
				Quote from: ryu on 28 December 2009, 06:45:52 PM
di sutta ada dikatakan :
              "Bila, dengan pengertian penuh Gotama Yang Baik telah mengajarkan Dhamma pada siswa-Nya untuk pemurnian makhluk hidup, untuk mengatasi penyesalan dan keputus-asaan, untuk mengakhiri kesedihan dan kemurungan, untuk mencapai tatacara-nya, untuk mencapai nibbana; lalu apakah seluruh dunia akan mencapainya, atau seperduanya, atau sepertiganya?"
              Sampai disitu, Sang Buddha berdiam diri. Lalu Ananda berpikir: "Orang ini hendaknya jangan sampai berpikir bahwa Sang Buddha tidak dapat menjawab pertanyaan yang penting ini." Jadi Ananda berkata: "Saya akan memberi suatu perumpamaan." Bayangkan ada suatu kota dikelilingi oleh tembok dengan dasar pondasi yang sangat kuat, bermenara dan berpintu gerbang hanya satu, pintu gerbang dijaga ketat, hanya orang yang dikenal diperbolehkan melewatinya, dan orang asing tak diperbolehkan melewatinya. Lalu, ketika seseorang berjaga di sekeliling tembok, dia tidak menemukan satupun lobang yang dapat dilewati walau oleh seekor kucing pun. Dengan demikian dia tahu, bahwa semua makhluk, besar ataupun kecil, hanya dapat masuk ke kota atau keluar dari kota dengan melewati gerbang tersebut. Sama halnya dengan pertanyaanmu, tidaklah penting bagi Sang Buddha. Apa yang disabdakan Beliau adalah, bahwa "Siapapun yang telah terbebas, sedang terbebas ataupun akan terbebas dari dunia ini, dia akan terbebas dengan cara melepaskan ke-lima rintangan, melepaskan kesesatan-batin yang melemahkan kebijaksanaan, dia akan terbebas dengan cara mengembangkan batin dalam empat dasar kesadaran, dan dengan mengembangkan tujuh unsur pencerahan."
juga ini :
              Dari semua jalan, Yang Berunsur Delapan yang terbaik
              Dari semua kebenaran, Yang Empat yang terbaik
              Dari semua keadaan, bebas dari murka yang terbaik
              Dari semua manusia, yang sadar yang terbaik
              Inilah Jalan satu-satunya;
              Tak ada lain yang bisa menjadikan murni dan sadar.
              Jalani Jalan itu,
              Dan engkau akan mengatasi Mara.
              Jalani Jalan ini,
              Dan engkau akan mengakhiri penderitaan.
              Saya memaklumatkan Jalan ini,
              Ditemukan oleh Saya sendiri.
juga ini :
Sama halnya, andaikata ada seorang mengembara didalam hutan, lalu menemukan suatu jalan tua, jalan-setapak tua, dilewati oleh orang-orang di masa-masa sebelumnya, yang bila diikuti terus, akan sampai ke suatu kota kuno, suatu benteng agung kuno yang dihuni oleh orang masa lampau, dengan taman-taman dan hutan-hutannya, dengan penampungan air dan tembok-temboknya suatu tempat yang sangat indah. Lalu, seandainya pengembara itu menyampaikan penemuannya pada raja atau menteri, dengan berkata: "Tuan, ketahuilah, saya telah menemukan suatu kota kuno. Pugarlah tempat itu." Lalu, seandainya kota kuno itu dipugar, menjadi cerah, berkembang, dihuni, terisi oleh wangsa-wangsa, dan bertumbuh serta bertambah luas. Demikian pula, saya telah melihat Jalan tua itu, Jalan yang telah dilewati para Buddha Tercerahi di masa-masa sebelumnya. Dan Jalan yang manakah itu? Itulah Jalan Berunsur Delapan.
Sutta Nipata 1.3 memuat syair tentang Pacceka Buddha. Salah satunya adalah demikian: 
"Diṭṭhīvisūkāni upātivatto, patto niyāmaṃ paṭiladdhamaggo;
Uppannañāṇomhi anaññaneyyo, eko care khaggavisāṇakappo." 
"Terbebas dari kekeruhan pandangan, merealisasi kebenaran, mencapai jalan; 
Pengetahuan timbul tanpa bimbingan orang lain, mengembara sendirian seperti cula badak*" 
*Badak di India memiliki cula tunggal
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 28 December 2009, 06:45:52 PM
              Jalani Jalan ini,
              Dan engkau akan mengakhiri penderitaan.
              Saya memaklumatkan Jalan ini,
              Ditemukan oleh Saya sendiri.
"Ditemukan", bukan berarti "Diciptakan"...
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 29 December 2009, 06:22:17 AM
Seseorang bisa menemukan Jalan itu (Paccekabuddha dan Sammasambuddha), tetapi hanya di Buddha Dhamma jalan itu secara jelas dan gamblang diuraikan. Selain itu hanya Hindu yang masih agak menyerempet jalan itu, agama yang bersumber akar budaya timur tengah jelas tidak mengajarkan hal itu.
 _/\_
"Agamanya" mungkin saya setuju demikian. 
Orangnya? Belum tentu. Entah dari Timur Tengah atau dari ujung bumi, saya rasa bisa saja mereka mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi "jalan". 
			
 
			
			
				Quote from: dilbert on 26 December 2009, 02:44:11 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 26 December 2009, 02:41:11 PM
Quote from: dilbert on 26 December 2009, 02:23:07 PM
Apakah pertanyaannya menjadi sama, jika ditanyakan, siapakah makhluk pertama di lingkaran samsara 31 alam kehidupan ?
Orientasinya berbeda di mana dalam pertanyaan umum tersebut (siapakah orang/Buddha pertama) kita mencari orang tertentu yang tentu saja kita tidak akan temukan, sedangkan dalam pertanyaan saya, tujuannya adalah untuk melihat konsistensi ajaran tentang perbedaan 3 pencapaian tersebut. 
Kalau kita berorientasi pada masa-masa lalu (yang tak hingga), maka ga ada yang namanya Samma Sambuddha atau Pacceka Buddha. Semua hanyalah Savaka Buddha yang muncul pada beda waktu. 
Kok savaka Buddha ?  Terminologi savaka buddha saja adalah buddha yang mengikuti ajaran seorang sammasambuddha.
Justru karena ada-nya KAVLING Sammasambuddha dan Pacceka Buddha, itu menjadi argumentasi yang logis tentang apa yang dapat disebut sebagai BUDDHA pertama.
Ya, bukankah kalau Samma Sambuddha pun belajar dari Buddha2 masa lampau sebelum pencerahan sempurna, bukan merealisasikannya sendiri, berarti dengan kata lain dia pun Savaka Buddha yang realisasinya tergantung pada ajaran masa lampau. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 02:54:15 PM
Quote from: dilbert on 26 December 2009, 02:44:11 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 26 December 2009, 02:41:11 PM
Quote from: dilbert on 26 December 2009, 02:23:07 PM
Apakah pertanyaannya menjadi sama, jika ditanyakan, siapakah makhluk pertama di lingkaran samsara 31 alam kehidupan ?
Orientasinya berbeda di mana dalam pertanyaan umum tersebut (siapakah orang/Buddha pertama) kita mencari orang tertentu yang tentu saja kita tidak akan temukan, sedangkan dalam pertanyaan saya, tujuannya adalah untuk melihat konsistensi ajaran tentang perbedaan 3 pencapaian tersebut. 
Kalau kita berorientasi pada masa-masa lalu (yang tak hingga), maka ga ada yang namanya Samma Sambuddha atau Pacceka Buddha. Semua hanyalah Savaka Buddha yang muncul pada beda waktu. 
Kok savaka Buddha ?  Terminologi savaka buddha saja adalah buddha yang mengikuti ajaran seorang sammasambuddha.
Justru karena ada-nya KAVLING Sammasambuddha dan Pacceka Buddha, itu menjadi argumentasi yang logis tentang apa yang dapat disebut sebagai BUDDHA pertama.
Ya, bukankah kalau Samma Sambuddha pun belajar dari Buddha2 masa lampau sebelum pencerahan sempurna, bukan merealisasikannya sendiri, berarti dengan kata lain dia pun Savaka Buddha yang realisasinya tergantung pada ajaran masa lampau. 
Berapa lama kehidupan lampau yang bisa di-ingat oleh seorang bodhisatta sekelas Siddharta ? 
			
 
			
			
				Quote from: dilbert on 29 December 2009, 04:25:46 PM
Berapa lama kehidupan lampau yang bisa di-ingat oleh seorang bodhisatta sekelas Siddharta ? 
Kalau dari kisah-kisah dhamma, Siddhatta dapat melihat kehidupan lampau dalam jumlah tak hingga. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 04:41:02 PM
Quote from: dilbert on 29 December 2009, 04:25:46 PM
Berapa lama kehidupan lampau yang bisa di-ingat oleh seorang bodhisatta sekelas Siddharta ? 
Kalau dari kisah-kisah dhamma, Siddhatta dapat melihat kehidupan lampau dalam jumlah tak hingga. 
weks, tunggu, yg ditanyakan saat status bodhisatta lho, bukan Buddha. Nanti jadi gara2 ini, diskusinya jadi melebar lagi ke mana2. 
oya, memang benar Buddha sekarang pernah belajar dari Sammasambuddha masa lalu,  tapi setelah merealisasinya maka ia akan tetap dikenal dengan gelar Sammasambuddha juga karena Pengetahuan Sempurna yg dicapai sudah merupakan pengetahuan tertinggi: Sabannu Nana, yang mana TIDAK DIMILIKI Savaka Buddha. 
			
 
			
			
				Quote from: chingik on 29 December 2009, 04:55:25 PM
weks, tunggu, yg ditanyakan saat status bodhisatta lho, bukan Buddha. Nanti jadi gara2 ini, diskusinya jadi melebar lagi ke mana2. 
oya, memang benar Buddha sekarang pernah belajar dari Sammasambuddha masa lalu,  tapi setelah merealisasinya maka ia akan tetap dikenal dengan gelar Sammasambuddha juga karena Pengetahuan Sempurna yg dicapai sudah merupakan pengetahuan tertinggi: Sabannu Nana, yang mana TIDAK DIMILIKI Savaka Buddha. 
Kalau menurut cerita penerangan sempurna, Bodhisatta mengembangkan ingatan masa lampau di jam jaga pertama, mata dewa di jam jaga ke dua, dan melihat kehancuran asava di jam jaga ke tiga. Jadi memang ingatan masa lampau tak terhingga itu dicapai sewaktu masih menjadi Bodhisatta, belum Buddha. 
Saya juga setuju Buddha atau mungkin semua mahluk juga pernah belajar dari masa lampau, tetapi tetap bukan pembelajaran tersebut yang menyebabkannya mampu merealisasi Sabannu Nana tersebut. Pengetahuan Buddha adalah tidak terbatas, sedangkan yang diajarkan Buddha semasa hidupnya tentu saja sangat terbatas. 
Bahasa gampangnya: Sabbannu Nana = daun dalam hutan. Ajaran Buddha semasa hidup = sehelai daun simsapa. 
Satu lagi penjelasan yang memudahkan adalah bahwa "cara kerja hukum kamma" tidak pernah diajarkan oleh Buddha mana pun karena termasuk "Acinteyya". Mengingat 1 juta masa lampau pun tidak akan mendapatkan ajaran "cara kerja hukum kamma". Namun seorang Buddha bisa memahaminya karena memang ia menembus pengetahuan itu sendiri, bukan hasil diberitahu Buddha masa lampau. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 05:07:07 PM
Quote from: chingik on 29 December 2009, 04:55:25 PM
weks, tunggu, yg ditanyakan saat status bodhisatta lho, bukan Buddha. Nanti jadi gara2 ini, diskusinya jadi melebar lagi ke mana2. 
oya, memang benar Buddha sekarang pernah belajar dari Sammasambuddha masa lalu,  tapi setelah merealisasinya maka ia akan tetap dikenal dengan gelar Sammasambuddha juga karena Pengetahuan Sempurna yg dicapai sudah merupakan pengetahuan tertinggi: Sabannu Nana, yang mana TIDAK DIMILIKI Savaka Buddha. 
Kalau menurut cerita penerangan sempurna, Bodhisatta mengembangkan ingatan masa lampau di jam jaga pertama, mata dewa di jam jaga ke dua, dan melihat kehancuran asava di jam jaga ke tiga. Jadi memang ingatan masa lampau tak terhingga itu dicapai sewaktu masih menjadi Bodhisatta, belum Buddha. 
Saya juga setuju Buddha atau mungkin semua mahluk juga pernah belajar dari masa lampau, tetapi tetap bukan pembelajaran tersebut yang menyebabkannya mampu merealisasi Sabannu Nana tersebut. Pengetahuan Buddha adalah tidak terbatas, sedangkan yang diajarkan Buddha semasa hidupnya tentu saja sangat terbatas. 
Bahasa gampangnya: Sabbannu Nana = daun dalam hutan. Ajaran Buddha semasa hidup = sehelai daun simsapa. 
Satu lagi penjelasan yang memudahkan adalah bahwa "cara kerja hukum kamma" tidak pernah diajarkan oleh Buddha mana pun karena termasuk "Acinteyya". Mengingat 1 juta masa lampau pun tidak akan mendapatkan ajaran "cara kerja hukum kamma". Namun seorang Buddha bisa memahaminya karena memang ia menembus pengetahuan itu sendiri, bukan hasil diberitahu Buddha masa lampau. 
Kalau menurut saya, lamanya seorang individu dalam menyempurnakan parami-nya menentukan kualitas sabbanuta nana (kemahatahuan akan prinsip prinsip yang perlu diketahui), jadi ketika pada malam penembusan (malam penerangan sempurna), ketika dalam proses pencapaian penerangan sempurna, sang Bodhisatta (bakal Buddha) bisa mereview kembali banyak kehidupan tak terhingga. 
Secara logis, tentunya kita kalau dihadapkan pada flash back kehidupan kehidupan lampau kita, apalagi dengan kebijaksanaan yang sudah timbul, maka harusnya bisa diambil banyak hikmah dan pelajaran dari flash back kehidupan (yang tentu-nya bisa disamakan dengan pengalaman kita sendiri). Tentunya dalam hal ini, pengalaman dan kualitas kehidupan dari kehidupan lampau bodhisatta tidak tertandingi oleh makhluk hidup yang manapun juga.
Jadi menurut hemat saya, walaupun pada jaga malam penerangan sempurna itu, walaupun Bodhisatta bisa mereview kembali kehidupan lampaunya (termasuk dalam hal ini kehidupan lampaunya sebagai murid/siswa sammasambuddha, ataupun murid perumahtangga yang mengikuti ajaran), Pencapaian pengetahuan tentang JALAN, tetap saja merupakan hasil dari olah pikiran dan pencapaian-annya sendiri. Ini hanya opini saya saja.
			
 
			
			
				hm..dua2nya bisa diterima. Selamat berjuang..:)
			
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 02:43:59 PM
Quote from: fabian c on 29 December 2009, 06:22:17 AM
Seseorang bisa menemukan Jalan itu (Paccekabuddha dan Sammasambuddha), tetapi hanya di Buddha Dhamma jalan itu secara jelas dan gamblang diuraikan. Selain itu hanya Hindu yang masih agak menyerempet jalan itu, agama yang bersumber akar budaya timur tengah jelas tidak mengajarkan hal itu.
Saya ra
 _/\_
"Agamanya" mungkin saya setuju demikian. 
Orangnya? Belum tentu. Entah dari Timur Tengah atau dari ujung bumi, saya rasa bisa saja mereka mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi "jalan".   
Kalau tanpa ada pengetahuan Dhamma yang diajarkan dari sumbernya. Saya rasa tidak akan bisa merealisasi 'jalan', kalau kebijaksanaan yang didapat, tentunya kebijaksanaa duniawi/umum.
 _/\_
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 28 December 2009, 04:50:39 PM
Tapi bro Kainyn sendiri yang mengatakan sudah berlatih satipatthana sebelum mengenal ajaran Buddha kan? Tahu darimana bahwa yang dilatih itu adalah Satipatthana?
Sebelum mengenal Ajaran Buddha, tentu saja saya tidak tahu itu namanya apa, tidak tahu dibagi menjadi empat, tidak tahu "efeknya" apa, dll. Hanya melakukan secara spontan saja. 
Mungkin saya perlu jelaskan kepada bro Kainyn, bahwa banyak sekali orang yang menyebut mereka belajar Satipatthana, padahal bukan. 
Sebagai contoh ada yang menyelenggarakan retret meditasi yang padahal jelas-jelas samatha bhavana (anapanasati), tetapi pda waktu promosi ia menulis latihannya adalah samatha - vipassana, padahal jelas sekali meditasi yang dilakukan dalam 10 hari - 2 minggu tersebut adalah samatha (anapanasati).
Oleh karena itu saya tanya sekali  lagi saudara Kainyn yang meng-klaim telah mengenal vipassana/satipatthana sebelum mengenal ajaran Buddha, tahu darimana bahwa yang dilatih itu adalah Satipatthana?
QuoteQuoteBukankah sebelumnya bro Kainyn mengatakan:
QuoteMelihat sikap Bro fabian, saya jadi ingat satu frasa yang sangat terkenal, namun sedikit beda isi:
"Buddhalah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang mencapai Nibbana kalau tidak melalui Ajaran Buddha."
Berdasarkan hal tersebut, saya tidak ingin dan tidak mampu melanjutkan diskusi. 
Jadi saya beranggapan mas kainyn menganggap ada ajaran lain yang mengajarkan Nibbana, karena bro Kainyn mengatakan bahwa bukan hanya agama Buddha yang mengajarkan jalan kesucian.
Seandainya ada sebuah Kota B di selatan yang ingin dituju banyak orang. Ada 3 jalan ke tempat tersebut, dari arah utara, barat & timur. Di Kota A, ada banyak peta ke kota-kota lain, namun hanya ada sebuah peta yang menunjukkan cara pergi ke Kota B, dan itu pun hanya lewat jalan utara saja karena jalan itu yang paling dekat. 
Sekarang telah banyak yang telah pergi dengan menggunakan peta tersebut dan sampai di tempat tujuan, maka terbuktilah kemanjuran peta tersebut.  
Pertanyaannya: apakah jika saya mengatakan "mencapai Kota B tidak harus dengan peta tersebut" berarti sama dengan "ada peta lain di Kota A yang memandu kita ke Kota B"? 
Jadi? hanya ada satu peta dan satu jalan? Bila ada jalan lain katakan saja, apa jalan lain itu.
QuoteQuoteQuote
Saya review pernyataan saya: Pencapaian kesucian selalu bergantung pada kematangan bathin seseorang, namun tidak selalu tergantung pada ajaran.
Bila dibahas kematangan seperti apa akan meluas, pernyataan ini menurut saya kadang-kadang benar.
Kematangan bathin dalam Ajaran Buddha, menurut pendapat saya adalah bukan berhubungan pada sesuatu di luar diri. Oleh karena itulah seseorang bisa terasah tanpa perlu "input" dari luar. Ini perbedaan yang paling mendasar dengan agama lain. Saya ambil contoh dalam Agama Nasrani mengenalkan "Pengorbanan Kristus" sebagai dasar ajaran. Kalau orang tidak pernah tahu siapa itu Kristus, sampai kapan pun ia tidak akan "mengerti" Agama Nasrani. 
Perbedaan pandangan saya dan Bro fabian adalah dalam hal ini Bro fabian menganggap perlu "input" dari luar tersebut yang tentu saja eksklusif dan tergantung dari "input yang benar", i.e. Agama Buddha. Saya tidak menganggap demikian karena menganggap seorang Samma Sambuddha atau Pacceka Buddha tidak menerima "input dari luar", namun melihat kenyataan "dunia" lewat dirinya sendiri. 
Karena itulah saya katakan kita tidak bisa melanjutkan diskusi walaupun tentu saja saya tidak tahu siapa yang benar, atau bisa jadi kita berdua juga salah. 
Dan hanya Sammasambuddha dan Pacccekabuddha yang berhasil menmpuh jalan tanpa bantuan orang lain.
QuoteQuoteQuoteOleh karena itu, seseorang yang tidak memiliki kematangan bathin tidak akan mencapai kesucian walaupun bertemu dengan ajaran yang benar. 
Saya rasa saya kurang setuju yang ini, kematangan batin bisa diasah dengan belajar/latihan.
Kalau tidak bisa diasah, tentu tidak ada gunanya seseorang belajar Ajaran Buddha. Yang saya maksudkan adalah sebelum bathin orang matang, ia tidak akan mencapai kesucian, walaupun bertemu ajaran yang benar. Soal berapa lama "mengasahnya", tentu kembali lagi pada masing-masing orang, dan kita tidak bisa tahu hal tersebut. 
Ada faktor-faktor lain yang menghalangi kematangan batin untuk mencapai kesucian. Umpamanya pangeran Ajatasattu, walaupun memiliki kemampuan untuk menjadi Sotapanna tetapi tak dapat mencapai kesucian, demikian juga dengan hartawan Mahapadhana, yang kehilangan kesempatan mencapai kesucian karena kesalahan yang dilakukannya. 
Banyak lagi kasus serupa. Jadi kematangan batin (kemampuan mencapai kesucian)tanpa belajar dibawah bimbingan guru yang baik maka akan sia-sia.
Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 02:43:59 PM
Quote from: fabian c on 29 December 2009, 06:22:17 AM
Seseorang bisa menemukan Jalan itu (Paccekabuddha dan Sammasambuddha), tetapi hanya di Buddha Dhamma jalan itu secara jelas dan gamblang diuraikan. Selain itu hanya Hindu yang masih agak menyerempet jalan itu, agama yang bersumber akar budaya timur tengah jelas tidak mengajarkan hal itu.
 _/\_
"Agamanya" mungkin saya setuju demikian. 
Orangnya? Belum tentu. Entah dari Timur Tengah atau dari ujung bumi, saya rasa bisa saja mereka mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi "jalan". 
Yang 
merealisasikan Jalan bisa siapa saja, yang 
menemukan Jalan dengan tanpa belajar dari orang lain menurut Buddha Dhamma hanya Paccekabuddha dan Sammasambuddha  
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 29 December 2009, 09:34:53 PM
"Agamanya" mungkin saya setuju demikian. 
Orangnya? Belum tentu. Entah dari Timur Tengah atau dari ujung bumi, saya rasa bisa saja mereka mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi "jalan".
Yang merealisasikan Jalan bisa siapa saja, yang menemukan Jalan dengan tanpa belajar dari orang lain menurut Buddha Dhamma hanya Paccekabuddha dan Sammasambuddha   
 _/\_
tulisan Biru, Setuju Sekali !
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: dilbert on 29 December 2009, 05:57:17 PM
Kalau menurut saya, lamanya seorang individu dalam menyempurnakan parami-nya menentukan kualitas sabbanuta nana (kemahatahuan akan prinsip prinsip yang perlu diketahui), jadi ketika pada malam penembusan (malam penerangan sempurna), ketika dalam proses pencapaian penerangan sempurna, sang Bodhisatta (bakal Buddha) bisa mereview kembali banyak kehidupan tak terhingga. 
Secara logis, tentunya kita kalau dihadapkan pada flash back kehidupan kehidupan lampau kita, apalagi dengan kebijaksanaan yang sudah timbul, maka harusnya bisa diambil banyak hikmah dan pelajaran dari flash back kehidupan (yang tentu-nya bisa disamakan dengan pengalaman kita sendiri). Tentunya dalam hal ini, pengalaman dan kualitas kehidupan dari kehidupan lampau bodhisatta tidak tertandingi oleh makhluk hidup yang manapun juga.
Jadi menurut hemat saya, walaupun pada jaga malam penerangan sempurna itu, walaupun Bodhisatta bisa mereview kembali kehidupan lampaunya (termasuk dalam hal ini kehidupan lampaunya sebagai murid/siswa sammasambuddha, ataupun murid perumahtangga yang mengikuti ajaran), Pencapaian pengetahuan tentang JALAN, tetap saja merupakan hasil dari olah pikiran dan pencapaian-annya sendiri. Ini hanya opini saya saja.
Kalau pendapat Bro dilbert tentang "parami" berhubungan dengan kemampuannya, saya setuju. Tetapi dari sisi "banyaknya flashback", saya kurang setuju. Dikatakan umumnya maha-savaka dapat mengingat sampai 100.000 kappa kehidupan lampau. Beberapa (saya lupa siapa saja) yang mengembangkannya, dapat mengingat sampai masa tak hingga. Walaupun mereka memiliki kebijaksanaan sebagai seorang Arahat, tetapi tetap tidak bisa memahami "Acinteyya" ataupun memiliki Sabbannu Nana tersebut. 
			
 
			
			
				Quote from: adi lim on 29 December 2009, 08:16:10 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 02:43:59 PM
"Agamanya" mungkin saya setuju demikian. 
Orangnya? Belum tentu. Entah dari Timur Tengah atau dari ujung bumi, saya rasa bisa saja mereka mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi "jalan".   
Kalau tanpa ada pengetahuan Dhamma yang diajarkan dari sumbernya. Saya rasa tidak akan bisa merealisasi 'jalan', kalau kebijaksanaan yang didapat, tentunya kebijaksanaa duniawi/umum.
 _/\_
Jika semua harus mendapat pengajaran untuk merealisasi 'jalan', maka, sekali lagi, Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha tidak ada. Yang ada hanya Savaka Buddha. 
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 29 December 2009, 09:34:53 PM
Mungkin saya perlu jelaskan kepada bro Kainyn, bahwa banyak sekali orang yang menyebut mereka belajar Satipatthana, padahal bukan. 
Sebagai contoh ada yang menyelenggarakan retret meditasi yang padahal jelas-jelas samatha bhavana (anapanasati), tetapi pda waktu promosi ia menulis latihannya adalah samatha - vipassana, padahal jelas sekali meditasi yang dilakukan dalam 10 hari - 2 minggu tersebut adalah samatha (anapanasati).
Oleh karena itu saya tanya sekali  lagi saudara Kainyn yang meng-klaim telah mengenal vipassana/satipatthana sebelum mengenal ajaran Buddha, tahu darimana bahwa yang dilatih itu adalah Satipatthana?
Nah, sudah saya katakan di awal lebih baik tidak usah dibahas karena saya tahu dengan pasti Bro fabian akan "menghakimi" saya mengenai Satipatthana tersebut dengan cara membandingkannya dengan "Satipatthana" Bro fabian, yang tentu saja bagi saya juga belum tentu Satipatthana tersebut adalah Satipatthana sesungguhnya. 
Saya hanya sharing, tidak mengklaim agar hal tersebut diterima oleh orang lain, terutama bagi mereka yang pola pikirnya sudah terkonsep. Bagi yang percaya silahkan, yang tidak juga silahkan. 
QuoteJadi? hanya ada satu peta dan satu jalan? Bila ada jalan lain katakan saja, apa jalan lain itu.
Masih tidak mengerti perumpamaan saya juga? OK, saya coba jelaskan maksud saya. 
Kota A adalah "Samsara", kota B adalah "Nibbana". Peta yang telah ada adalah ajaran yang dibuat oleh seorang Samma Sambuddha, orang yang mengikuti peta tersebut adalah para Savaka. Jalan lain adalah jalan Pacceka Buddha, dan jalan yang terakhir adalah jalan Samma Sambuddha. Mengapa saya katakan jalan Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha tidak menggunakan peta? Karena seperti petapa Sumedha yang jika mengambil peta Buddha Dipankara, maka ia mengambil jalan Savaka dan merealisasinya saat itu juga. 
Nah, sekarang ini pertanyaan untuk siapa saja yang mau menjawab. 
Dulu petapa Sumedha jika menerima ajaran Buddha Dipankara akan merealisasi Arahatta-phala. Mengapa di kemudian hari setelah berkappa-kappa menyempurnakan parami, menjadi bhikkhu di bawah Buddha Kassapa namun tidak menembus magga-phala? 
QuoteDan hanya Sammasambuddha dan Pacccekabuddha yang berhasil menmpuh jalan tanpa bantuan orang lain.
Ya, saya setuju. 
QuoteAda faktor-faktor lain yang menghalangi kematangan batin untuk mencapai kesucian. Umpamanya pangeran Ajatasattu, walaupun memiliki kemampuan untuk menjadi Sotapanna tetapi tak dapat mencapai kesucian, demikian juga dengan hartawan Mahapadhana, yang kehilangan kesempatan mencapai kesucian karena kesalahan yang dilakukannya. 
Banyak lagi kasus serupa. Jadi kematangan batin (kemampuan mencapai kesucian)tanpa belajar dibawah bimbingan guru yang baik maka akan sia-sia.
Ya, ini juga saya setuju. Kalau seorang guru tidak dapat memberi manfaat, untuk apa pula orang berguru? 
QuoteYang merealisasikan Jalan bisa siapa saja, yang menemukan Jalan dengan tanpa belajar dari orang lain menurut Buddha Dhamma hanya Paccekabuddha dan Sammasambuddha  
Lalu kira-kira, mungkinkah seorang Bodhisatta pernah tinggal di daerah seperti "Timur Tengah"? Atau melulu "menclok" di sekitar India? 
			
 
			
			
				jambudvipa only
			
			
			
				Jambudvipa = pasti India?
apakah ada kemungkinan tempat lain pada kappa lalu tetapi untuk memudahkan disebut jambudvipa
apakah pasti di tiap Buddha lahir ditempat yg sama pula?
			
			
			
				Yang pernah saya baca, Bodhisatta selalu terlahir di tata surya yang sama, tetapi tidak pernah baca harus selalu di Jambudvipa. Mengenai Buddha, memang saya baca selalu di Jambudvipa yang tempatnya juga kondusif untuk mencapai pencerahan. 
Jambudvipa sendiri, apakah selalu seperti sekarang? Menurut para geologis, bentuk bumi senantiasa berubah dan dahulu pernah juga bumi hanya memiliki 1 benua. 
			
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 30 December 2009, 08:27:15 AM
Quote from: dilbert on 29 December 2009, 05:57:17 PM
Kalau menurut saya, lamanya seorang individu dalam menyempurnakan parami-nya menentukan kualitas sabbanuta nana (kemahatahuan akan prinsip prinsip yang perlu diketahui), jadi ketika pada malam penembusan (malam penerangan sempurna), ketika dalam proses pencapaian penerangan sempurna, sang Bodhisatta (bakal Buddha) bisa mereview kembali banyak kehidupan tak terhingga. 
Secara logis, tentunya kita kalau dihadapkan pada flash back kehidupan kehidupan lampau kita, apalagi dengan kebijaksanaan yang sudah timbul, maka harusnya bisa diambil banyak hikmah dan pelajaran dari flash back kehidupan (yang tentu-nya bisa disamakan dengan pengalaman kita sendiri). Tentunya dalam hal ini, pengalaman dan kualitas kehidupan dari kehidupan lampau bodhisatta tidak tertandingi oleh makhluk hidup yang manapun juga.
Jadi menurut hemat saya, walaupun pada jaga malam penerangan sempurna itu, walaupun Bodhisatta bisa mereview kembali kehidupan lampaunya (termasuk dalam hal ini kehidupan lampaunya sebagai murid/siswa sammasambuddha, ataupun murid perumahtangga yang mengikuti ajaran), Pencapaian pengetahuan tentang JALAN, tetap saja merupakan hasil dari olah pikiran dan pencapaian-annya sendiri. Ini hanya opini saya saja.
Kalau pendapat Bro dilbert tentang "parami" berhubungan dengan kemampuannya, saya setuju. Tetapi dari sisi "banyaknya flashback", saya kurang setuju. Dikatakan umumnya maha-savaka dapat mengingat sampai 100.000 kappa kehidupan lampau. Beberapa (saya lupa siapa saja) yang mengembangkannya, dapat mengingat sampai masa tak hingga. Walaupun mereka memiliki kebijaksanaan sebagai seorang Arahat, tetapi tetap tidak bisa memahami "Acinteyya" ataupun memiliki Sabbannu Nana tersebut. 
Kalau kita baca kembali kisah para maha-agga-savaka, kita dapat melihat bahwa sariputta dan mogallana juga mengucapkan chanda (keinginan mulia) untuk menjadi maha-agga-savaka seorang sammasambuddha, sehingga dengan keinginan-nya itu, sariputta dan mogallana harus menjalani tambahan 100.000 kappa untuk menyempurnakan parami-nya, Tentunya kualitas kehidupan yang dijalani adalah kehidupan dan penyelidikan serta pengembangan bathin menuju arah maha agga savaka.
Kalau dibandingkan dengan chanda seorang petapa sumedha yang oleh karena itu petapa sumedha harus menjalani tambahan 4 assankheya kappa + 100.000 kappa untuk menyempurnakan paraminya (di dalamnya juga termasuk kedalam penyelidikan dan pengembangan bathin menuju arah penerangan sempurna seorang sammasambuddha) yang mana tentunya seorang sammasambuddha itu harus memiliki sabbanuta nana (kemahatahuan) sehingga bisa menurunkan ajaran.
Analogi-nya : Murid-murid yang tamat belajar SMA, belum tentu bisa menjadi guru SMA. Murid-murid bisa mengerjakan soal-soal SMA, belum tentu bisa menjadi guru (nanti-nya) dan mengajarkan/menjelaskan soal soal SMA kepada murid SMA. Tentunya seorang guru harus memiliki kualitas seorang guru.
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 30 December 2009, 08:30:21 AM
Quote from: adi lim on 29 December 2009, 08:16:10 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 02:43:59 PM
"Agamanya" mungkin saya setuju demikian. 
Orangnya? Belum tentu. Entah dari Timur Tengah atau dari ujung bumi, saya rasa bisa saja mereka mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi "jalan".   
Kalau tanpa ada pengetahuan Dhamma yang diajarkan dari sumbernya. Saya rasa tidak akan bisa merealisasi 'jalan', kalau kebijaksanaan yang didapat, tentunya kebijaksanaa duniawi/umum.
 _/\_
Jika semua harus mendapat pengajaran untuk merealisasi 'jalan', maka, sekali lagi, Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha tidak ada. Yang ada hanya Savaka Buddha. 
seberapa banyak yang bisa merealisasikan jalan tanpa ajaran Buddha? apakah mereka akan seperti Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha?
			
 
			
			
				Quote from: dilbert on 30 December 2009, 12:06:22 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 30 December 2009, 08:27:15 AM
Quote from: dilbert on 29 December 2009, 05:57:17 PM
Kalau menurut saya, lamanya seorang individu dalam menyempurnakan parami-nya menentukan kualitas sabbanuta nana (kemahatahuan akan prinsip prinsip yang perlu diketahui), jadi ketika pada malam penembusan (malam penerangan sempurna), ketika dalam proses pencapaian penerangan sempurna, sang Bodhisatta (bakal Buddha) bisa mereview kembali banyak kehidupan tak terhingga. 
Secara logis, tentunya kita kalau dihadapkan pada flash back kehidupan kehidupan lampau kita, apalagi dengan kebijaksanaan yang sudah timbul, maka harusnya bisa diambil banyak hikmah dan pelajaran dari flash back kehidupan (yang tentu-nya bisa disamakan dengan pengalaman kita sendiri). Tentunya dalam hal ini, pengalaman dan kualitas kehidupan dari kehidupan lampau bodhisatta tidak tertandingi oleh makhluk hidup yang manapun juga.
Jadi menurut hemat saya, walaupun pada jaga malam penerangan sempurna itu, walaupun Bodhisatta bisa mereview kembali kehidupan lampaunya (termasuk dalam hal ini kehidupan lampaunya sebagai murid/siswa sammasambuddha, ataupun murid perumahtangga yang mengikuti ajaran), Pencapaian pengetahuan tentang JALAN, tetap saja merupakan hasil dari olah pikiran dan pencapaian-annya sendiri. Ini hanya opini saya saja.
Kalau pendapat Bro dilbert tentang "parami" berhubungan dengan kemampuannya, saya setuju. Tetapi dari sisi "banyaknya flashback", saya kurang setuju. Dikatakan umumnya maha-savaka dapat mengingat sampai 100.000 kappa kehidupan lampau. Beberapa (saya lupa siapa saja) yang mengembangkannya, dapat mengingat sampai masa tak hingga. Walaupun mereka memiliki kebijaksanaan sebagai seorang Arahat, tetapi tetap tidak bisa memahami "Acinteyya" ataupun memiliki Sabbannu Nana tersebut. 
Kalau kita baca kembali kisah para maha-agga-savaka, kita dapat melihat bahwa sariputta dan mogallana juga mengucapkan chanda (keinginan mulia) untuk menjadi maha-agga-savaka seorang sammasambuddha, sehingga dengan keinginan-nya itu, sariputta dan mogallana harus menjalani tambahan 100.000 kappa untuk menyempurnakan parami-nya, Tentunya kualitas kehidupan yang dijalani adalah kehidupan dan penyelidikan serta pengembangan bathin menuju arah maha agga savaka.
bukannya 4 asamkheyya kappa ya bro ditambh seratus rb kappa?
			
 
			
			
				agga savaka (2 murid utama) => 1 asankheyya kappa + 100.000 kappa
			
			
			
				Quote from: gachapin on 30 December 2009, 01:06:32 PM
agga savaka (2 murid utama) => 1 asankheyya kappa + 100.000 kappa
betul... terima kasih atas koreksi-nya...
			
 
			
			
				Quote from: dilbert on 30 December 2009, 12:06:22 PM
Kalau kita baca kembali kisah para maha-agga-savaka, kita dapat melihat bahwa sariputta dan mogallana juga mengucapkan chanda (keinginan mulia) untuk menjadi maha-agga-savaka seorang sammasambuddha, sehingga dengan keinginan-nya itu, sariputta dan mogallana harus menjalani tambahan 100.000 kappa untuk menyempurnakan parami-nya, Tentunya kualitas kehidupan yang dijalani adalah kehidupan dan penyelidikan serta pengembangan bathin menuju arah maha agga savaka.
Kalau dibandingkan dengan chanda seorang petapa sumedha yang oleh karena itu petapa sumedha harus menjalani tambahan 4 assankheya kappa + 100.000 kappa untuk menyempurnakan paraminya (di dalamnya juga termasuk kedalam penyelidikan dan pengembangan bathin menuju arah penerangan sempurna seorang sammasambuddha) yang mana tentunya seorang sammasambuddha itu harus memiliki sabbanuta nana (kemahatahuan) sehingga bisa menurunkan ajaran.
Analogi-nya : Murid-murid yang tamat belajar SMA, belum tentu bisa menjadi guru SMA. Murid-murid bisa mengerjakan soal-soal SMA, belum tentu bisa menjadi guru (nanti-nya) dan mengajarkan/menjelaskan soal soal SMA kepada murid SMA. Tentunya seorang guru harus memiliki kualitas seorang guru.
Kalau dikatakan demikian, saya juga setuju. 
Yang saya tidak setuju adalah jika orang mengatakan si Calon-Guru menyontek ajaran Guru di masa lampau untuk menjadi Guru. Menurut saya adalah si Calon-Guru mengambil "pelajaran tambahan" untuk menempa kualitas guru dalam dirinya.
Quote from: ryu on 30 December 2009, 12:15:54 PM
seberapa banyak yang bisa merealisasikan jalan tanpa ajaran Buddha? apakah mereka akan seperti Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha?
Kalau kita bicara dalam konteks "sekarang", tentu saja tidak relevan karena sekarang ini jaman di mana Buddha-dhamma masih beredar. Namun kalau kita bicara tidak dalam konteks "sekarang", akan ada di masa depan para Samma-Sambuddha dan Pacceka Buddha yang bisa merealisasikan jalan, walaupun saat itu tidak ada Buddha-dhamma. 
Quote from: Juice_alpukat on 30 December 2009, 12:31:30 PM
bukannya 4 asamkheyya kappa ya bro ditambh seratus rb kappa?
Bagi Bodhisatta:
1. dengan usaha dominan: 16 Asankhyeyya + 100.000 Kappa
2. dengan keyakinan dominan: 8 Asankhyeyya + 100.000 Kappa
3. dengan kebijaksanaan dominan: 4 Asankhyeyya + 100.000 Kappa
Bagi Pacceka Buddha: 2 Asankhyeyya + 100.000 Kappa
Bagi Agga-Savaka: 1 Asankhyeyya + 100.000 Kappa
Bagi Maha-Savaka: 100.000 Kappa. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 30 December 2009, 11:02:17 AM
Yang pernah saya baca, Bodhisatta selalu terlahir di tata surya yang sama, tetapi tidak pernah baca harus selalu di Jambudvipa. Mengenai Buddha, memang saya baca selalu di Jambudvipa yang tempatnya juga kondusif untuk mencapai pencerahan. 
Jambudvipa sendiri, apakah selalu seperti sekarang? Menurut para geologis, bentuk bumi senantiasa berubah dan dahulu pernah juga bumi hanya memiliki 1 benua. 
Thanks and  ic penjelasannya. Tetapi apakah Jambudvipa yg dimaksud selalu dari ras manusia yg sama atau berpenghuni orang2 India saja/mukanya orang India saja yang jadi Buddha?
Adakah yang dimaksud jambu dvipa jaman Buddha Dipankara/Buddha masa lalu sebelum Buddha Gotama adalah di Rusia (misalnya) atau tetap India?
Mengingat bentuk bumi senantiasa berubah dari 1 masa bumi dari waktu ke waktu yang akan menentukan ras manusia juga.
			
 
			
			
				Quote from: bond on 30 December 2009, 03:05:09 PM
Thanks and  ic penjelasannya. Tetapi apakah Jambudvipa yg dimaksud selalu dari ras manusia yg sama atau berpenghuni orang2 India saja/mukanya orang India saja yang jadi Buddha?
Adakah yang dimaksud jambu dvipa jaman Buddha Dipankara/Buddha masa lalu sebelum Buddha Gotama adalah di Rusia (misalnya) atau tetap India?
Mengingat bentuk bumi senantiasa berubah dari 1 masa bumi dari waktu ke waktu yang akan menentukan ras manusia juga.
Untuk hal ini kita tidak bisa mendapatkan penjelasan yang pasti, maka kalau saya pribadi mengambil sikap "terbuka pada kemungkinan-kemungkinan" dan tidak membatasi pada konsep tertentu. 
Kalau menurut saya, Jambudvipa itu bukan dari letak geologis karena kita tahu semesta ini adalah siklus hancur dan terbentuk. Jadi "Jambudvipa"-nya Buddha Kassapa dan "Jambudvipa"-nya Buddha Gotama mungkin sama, tetapi dengan "Jambudvipa"-nya Buddha Vipassi sepertinya sudah berbeda karena sudah berbeda kappa, yang berarti sudah hancur dan terbentuk lagi buminya. 
Mungkin Jambudvipa adalah daratan yang paling makmur di mana budayanya juga sesuai dengan dhamma, tempat di mana paling kondusif untuk seorang Samma Sambuddha muncul. 
			
 
			
			
				Ya kemungkinan2 itu bisa terjadi apabila tidak tertulis terperinci dalam Tipitaka.
			
			
			
				Pernah saya dengar, bahwa Jambudvipa tempat suatu daerah yang berada dibawah dan dekat dengan pusat pegunungan bumi yaitu Himalaya, kemudian banyak petapa-petapa yang bermunculan disana, serta termasuk daerah makmur dan berbudaya maju.
 _/\_
			
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 30 December 2009, 08:30:21 AM
Quote from: adi lim on 29 December 2009, 08:16:10 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 02:43:59 PM
"Agamanya" mungkin saya setuju demikian. 
Orangnya? Belum tentu. Entah dari Timur Tengah atau dari ujung bumi, saya rasa bisa saja mereka mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi "jalan".   
Kalau tanpa ada pengetahuan Dhamma yang diajarkan dari sumbernya. Saya rasa tidak akan bisa merealisasi 'jalan', kalau kebijaksanaan yang didapat, tentunya kebijaksanaa duniawi/umum.
 _/\_
Jika semua harus mendapat pengajaran untuk merealisasi 'jalan', maka, sekali lagi, Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha tidak ada. Yang ada hanya Savaka Buddha. 
Terkecuali Sammasambuddha & Pacceka Buddha
Karena parami Nya udah cukup mendukung, tanpa bantuan, Beliau2 bisa merealisasi 'jalan' tersebut.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: ryu on 30 December 2009, 12:15:54 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 30 December 2009, 08:30:21 AM
Quote from: adi lim on 29 December 2009, 08:16:10 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 29 December 2009, 02:43:59 PM
"Agamanya" mungkin saya setuju demikian. 
Orangnya? Belum tentu. Entah dari Timur Tengah atau dari ujung bumi, saya rasa bisa saja mereka mengembangkan kebijaksanaan dan merealisasi "jalan".   
Kalau tanpa ada pengetahuan Dhamma yang diajarkan dari sumbernya. Saya rasa tidak akan bisa merealisasi 'jalan', kalau kebijaksanaan yang didapat, tentunya kebijaksanaa duniawi/umum.
 _/\_
Jika semua harus mendapat pengajaran untuk merealisasi 'jalan', maka, sekali lagi, Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha tidak ada. Yang ada hanya Savaka Buddha. 
seberapa banyak yang bisa merealisasikan jalan tanpa ajaran Buddha? apakah mereka akan seperti Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha?
Sammasambuddha sedikit, Pacceka Buddha lebih banyak dari Sammasambuddha, Arahat lebih banyak lagi.
yang pasti kita tidak bisa ketahui jumlah yang tepat, dan tidak berguna Bro :))
 _/\_
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 29 December 2009, 09:34:53 PM
Mungkin saya perlu jelaskan kepada bro Kainyn, bahwa banyak sekali orang yang menyebut mereka belajar Satipatthana, padahal bukan. 
Sebagai contoh ada yang menyelenggarakan retret meditasi yang padahal jelas-jelas samatha bhavana (anapanasati), tetapi pda waktu promosi ia menulis latihannya adalah samatha - vipassana, padahal jelas sekali meditasi yang dilakukan dalam 10 hari - 2 minggu tersebut adalah samatha (anapanasati).
Oleh karena itu saya tanya sekali  lagi saudara Kainyn yang meng-klaim telah mengenal vipassana/satipatthana sebelum mengenal ajaran Buddha, tahu darimana bahwa yang dilatih itu adalah Satipatthana?
Nah, sudah saya katakan di awal lebih baik tidak usah dibahas karena saya tahu dengan pasti Bro fabian akan "menghakimi" saya mengenai Satipatthana tersebut dengan cara membandingkannya dengan "Satipatthana" Bro fabian, yang tentu saja bagi saya juga belum tentu Satipatthana tersebut adalah Satipatthana sesungguhnya. 
Saya hanya sharing, tidak mengklaim agar hal tersebut diterima oleh orang lain, terutama bagi mereka yang pola pikirnya sudah terkonsep. Bagi yang percaya silahkan, yang tidak juga silahkan. 
Maaf baru dijawab sekarang, baru kelihatan lagi thread ini.
kelihatannya dalam hal ini terbalik, saya belum mengomentari latihan meditasi bro Kainyn, tetapi bro Kainyn yang sudah menghakimi saya dengan mengatakan bahwa saya akan menghakimi bro Kainyn, bahkan bro Kainyn mengatakan tahu secara pasti.
Tidak ada yang namanya Satipatthana Fabian. Satipatthana yang saya ketahui berasal dari orang lain, yang merupakan warisan dari guru ke murid. Jadi saya tak akan membandingkan Satipatthana bro Kainyn dengan Satipatthana Fabian, karena Satipatthana Fabian tidak ada.
Paling saya akan membandingkan dengan Sutta dan tehnik Satipatthana yang ada.
QuoteQuoteJadi? hanya ada satu peta dan satu jalan? Bila ada jalan lain katakan saja, apa jalan lain itu.
Masih tidak mengerti perumpamaan saya juga? OK, saya coba jelaskan maksud saya. 
Kota A adalah "Samsara", kota B adalah "Nibbana". Peta yang telah ada adalah ajaran yang dibuat oleh seorang Samma Sambuddha, orang yang mengikuti peta tersebut adalah para Savaka. Jalan lain adalah jalan Pacceka Buddha, dan jalan yang terakhir adalah jalan Samma Sambuddha. Mengapa saya katakan jalan Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha tidak menggunakan peta? Karena seperti petapa Sumedha yang jika mengambil peta Buddha Dipankara, maka ia mengambil jalan Savaka dan merealisasinya saat itu juga. 
Nah ini yang saya tidak mengerti, apakah jalan Pacceka Buddha, jalan Sammasambuddha dan jalan Savakabuddha  berbeda-beda?
Dalam pengertian theravada setahu saya "pencapaian" Paccekabuddha, Sammasambuddha dan Savakabuddha disebabkan oleh parami, jalannya sendiri cuma satu, yaitu Satipatthana.
Kalau jalan Sammasambuddha, Paccekabuddha dan Savakabuddha berbeda tolong dijelaskan apakah ada jalan lain selain Satipatthana?
QuoteNah, sekarang ini pertanyaan untuk siapa saja yang mau menjawab. 
Dulu petapa Sumedha jika menerima ajaran Buddha Dipankara akan merealisasi Arahatta-phala. Mengapa di kemudian hari setelah berkappa-kappa menyempurnakan parami, menjadi bhikkhu di bawah Buddha Kassapa namun tidak menembus magga-phala? 
Saya coba jawab pertanyaan ini, seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, dan aspirasi itu yang akan memblokir jalannya, Mereka hanya bisa menembus bila paraminya telah betul-betul matang.
Pada tahap tertentu dalam Vipassana seorang meditator harus melepaskan aspirasinya untuk menjadi Sammasambuddha atau Paccekabuddha agar dapat mencapai Sotapatti Magga-Phala. 
QuoteQuoteDan hanya Sammasambuddha dan Pacccekabuddha yang berhasil menmpuh jalan tanpa bantuan orang lain.
Ya, saya setuju. 
Quotequote]Ada faktor-faktor lain yang menghalangi kematangan batin untuk mencapai kesucian. Umpamanya pangeran Ajatasattu, walaupun memiliki kemampuan untuk menjadi Sotapanna tetapi tak dapat mencapai kesucian, demikian juga dengan hartawan Mahapadhana, yang kehilangan kesempatan mencapai kesucian karena kesalahan yang dilakukannya. 
Banyak lagi kasus serupa. Jadi kematangan batin (kemampuan mencapai kesucian)tanpa belajar dibawah bimbingan guru yang baik maka akan sia-sia.
Ya, ini juga saya setuju. Kalau seorang guru tidak dapat memberi manfaat, untuk apa pula orang berguru? 
Demikian juga kematangan batin tanpa disertai dengan bimbingan yang tepat maka bisa gagal mencapai Magga-Phala, apalagi tanpa bimbingan (kecuali Paccekabuddha dan Sammasambuddha).
QuoteQuoteYang merealisasikan Jalan bisa siapa saja, yang menemukan Jalan dengan tanpa belajar dari orang lain menurut Buddha Dhamma hanya Paccekabuddha dan Sammasambuddha  
Lalu kira-kira, mungkinkah seorang Bodhisatta pernah tinggal di daerah seperti "Timur Tengah"? Atau melulu "menclok" di sekitar India? 
Saya rasa mungkin saja seorang bodhisatta terlahir di timur tengah, di Afrika, Eropa atau Australia dll, tetapi pada waktu kelahiran akan mencapai penerangan sempurna seorang Bodhisatta hanya akan terlahir diantaranya dengan kondisi berikut:
1. Seorang Bodhisatta hanya lahir di Jambudipa (India)
2. Tepatnya terlahir di Majjhima-desa di tengah Jambudipa.
3. Seorang Bodhisatta hanya akan terlahir di keluarga Ksatria atau Brahmana 
5. usia manusia rata-rata pada waktu itu tak lebih dari 100.000 tahun dan tak kurang dari 100 tahun.
6. Ibu calon bodhisatta adalah seorang wanita yang tak pernah melanggar sila seumur hidupnya dan umur kehidupan ibu Bodhisatta hanya bersisa usia kandungan tambah sedikit.
Kelima kondisi ini disebut panca..... saya lupa istilahnya. Tapi untuk lebih jelasnya baca RAPB buku ke 1 hal 446. (promosi RAPB lagi nih.... :)  ) Susunannya tidak sama dengan RAPB tapi intinya sama.
Saya mau menambahkan hanya sekedar sharing, Kelima Buddha yang ada di kappa ini semuanya akan mencapai Pencerahan Sempurna di India di spot yang persis sama di Bodhgaya.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 07 January 2010, 11:52:46 PM
Maaf baru dijawab sekarang, baru kelihatan lagi thread ini.
kelihatannya dalam hal ini terbalik, saya belum mengomentari latihan meditasi bro Kainyn, tetapi bro Kainyn yang sudah menghakimi saya dengan mengatakan bahwa saya akan menghakimi bro Kainyn, bahkan bro Kainyn mengatakan tahu secara pasti.
Tidak ada yang namanya Satipatthana Fabian. Satipatthana yang saya ketahui berasal dari orang lain, yang merupakan warisan dari guru ke murid. Jadi saya tak akan membandingkan Satipatthana bro Kainyn dengan Satipatthana Fabian, karena Satipatthana Fabian tidak ada.
Paling saya akan membandingkan dengan Sutta dan tehnik Satipatthana yang ada.
Tetap saja "Satipatthana menurut Sutta 
yang ditafsirkan oleh Bro Fabian". Dan, ya, saya memang tahu hal tersebut akan dan telah terjadi, dan akan berlanjut jika saya tidak mengatakan hal-hal frontal tersebut.  
QuoteNah ini yang saya tidak mengerti, apakah jalan Pacceka Buddha, jalan Sammasambuddha dan jalan Savakabuddha  berbeda-beda?
Dalam pengertian theravada setahu saya "pencapaian" Paccekabuddha, Sammasambuddha dan Savakabuddha disebabkan oleh parami, jalannya sendiri cuma satu, yaitu Satipatthana.
Kalau jalan Sammasambuddha, Paccekabuddha dan Savakabuddha berbeda tolong dijelaskan apakah ada jalan lain selain Satipatthana?
Satipatthana mungkin "bentuknya" berbeda, tapi intinya sama. 
Yang saya permasalahkan 'kan bukan "jalan" = "Satipatthana", tetapi "jalan" = "Agama Buddha". Saya tidak bilang Samma-Sambuddha dan Pacceka Buddha tidak bersatipatthana, tetapi saya katakan mereka tidak beragama Buddha. 
QuoteSaya coba jawab pertanyaan ini, seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, dan aspirasi itu yang akan memblokir jalannya, Mereka hanya bisa menembus bila paraminya telah betul-betul matang.
Pada tahap tertentu dalam Vipassana seorang meditator harus melepaskan aspirasinya untuk menjadi Sammasambuddha atau Paccekabuddha agar dapat mencapai Sotapatti Magga-Phala. 
Baik, sekarang saya kasih perumpamaan begini:
Ada sekumpulan murid belajar tehnik struktur dari seorang maha guru. Semua diajarkan dengan cara yang sama oleh gurunya, sudah ada ketentuannya pondasi bahannya apa, untuk rangkanya berbahan apa, dan lain-lain. Gaya pembuatannya juga sudah ada, apakah timur tengah, oriental, minimalis, dsb. Ada yang cepat mengerti dan bisa merancang bangunan dengan baik, ada juga yang lambat. 
1. Ada pula murid terpandai yang sangat cerdas dan beraspirasi menjadi guru juga. Namun karena aspirasinya untuk menjadi guru begitu kuat, maka menghalanginya untuk mengerti, sehingga gubuk pun tidak mampu dibangunnya. Padahal kalau ia tidak beraspirasi, maka ia bisa merancang bangunan dengan baik. 
2. Ada pula murid terpandai yang sangat cerdas, dan karena aspirasinya untuk menjadi guru juga, dia tidak mengikuti kelas tersebut, tetapi langsung terjun untuk mempelajari sendiri campuran bahan, kekuatannya dan ketahanannya, mempelajari budaya yang melatarbelakangi gaya orang di daerah tersebut, menyelidiki sendiri keadaan tanah dan lingkungan serta pengaruhnya pada bangunan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, waktu yang dibutuhkannya jauh lebih lama. 
Menurut Bro Fabian, yang mana yang cocok? 
QuoteDemikian juga kematangan batin tanpa disertai dengan bimbingan yang tepat maka bisa gagal mencapai Magga-Phala, apalagi tanpa bimbingan (kecuali Paccekabuddha dan Sammasambuddha).
Jadi sebaiknya hanya mengambil jalan Savaka saja? :) 
QuoteSaya rasa mungkin saja seorang bodhisatta terlahir di timur tengah, di Afrika, Eropa atau Australia dll, tetapi pada waktu kelahiran akan mencapai penerangan sempurna seorang Bodhisatta hanya akan terlahir diantaranya dengan kondisi berikut:
1. Seorang Bodhisatta hanya lahir di Jambudipa (India)
2. Tepatnya terlahir di Majjhima-desa di tengah Jambudipa.
3. Seorang Bodhisatta hanya akan terlahir di keluarga Ksatria atau Brahmana 
5. usia manusia rata-rata pada waktu itu tak lebih dari 100.000 tahun dan tak kurang dari 100 tahun.
6. Ibu calon bodhisatta adalah seorang wanita yang tak pernah melanggar sila seumur hidupnya dan umur kehidupan ibu Bodhisatta hanya bersisa usia kandungan tambah sedikit.
Kelima kondisi ini disebut panca..... saya lupa istilahnya. Tapi untuk lebih jelasnya baca RAPB buku ke 1 hal 446. (promosi RAPB lagi nih.... :)  ) Susunannya tidak sama dengan RAPB tapi intinya sama.
Saya mau menambahkan hanya sekedar sharing, Kelima Buddha yang ada di kappa ini semuanya akan mencapai Pencerahan Sempurna di India di spot yang persis sama di Bodhgaya.
Walaupun saya juga tidak "beriman", tetapi saya memang terima doktrin mengenai kelahiran terakhir tersebut. 
Tetapi fokus saya adalah para Bodhisatta & Pacceka Bodhisatta yang sekarang ini atau kapan pun dalam perjalanan penyempurnaan paraminya, bisa saja terlahir di tempat-tempat yang tidak mengenal Agama Buddha, dan bahkan sangat mungkin juga memeluk ajaran lain. Hal ini berarti mereka mampu mengembangkan kebijaksanaan walaupun tidak mengenal Agama Buddha, bukan? 
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 07 January 2010, 11:52:46 PM
Maaf baru dijawab sekarang, baru kelihatan lagi thread ini.
kelihatannya dalam hal ini terbalik, saya belum mengomentari latihan meditasi bro Kainyn, tetapi bro Kainyn yang sudah menghakimi saya dengan mengatakan bahwa saya akan menghakimi bro Kainyn, bahkan bro Kainyn mengatakan tahu secara pasti.
Tidak ada yang namanya Satipatthana Fabian. Satipatthana yang saya ketahui berasal dari orang lain, yang merupakan warisan dari guru ke murid. Jadi saya tak akan membandingkan Satipatthana bro Kainyn dengan Satipatthana Fabian, karena Satipatthana Fabian tidak ada.
Paling saya akan membandingkan dengan Sutta dan tehnik Satipatthana yang ada.
Tetap saja "Satipatthana menurut Sutta yang ditafsirkan oleh Bro Fabian". Dan, ya, saya memang tahu hal tersebut akan dan telah terjadi, dan akan berlanjut jika saya tidak mengatakan hal-hal frontal tersebut.  
Tuh kan... bro Kainyn belum apa-apa sudah menghakimi saya.
QuoteQuoteNah ini yang saya tidak mengerti, apakah jalan Pacceka Buddha, jalan Sammasambuddha dan jalan Savakabuddha  berbeda-beda?
Dalam pengertian theravada setahu saya "pencapaian" Paccekabuddha, Sammasambuddha dan Savakabuddha disebabkan oleh parami, jalannya sendiri cuma satu, yaitu Satipatthana.
Kalau jalan Sammasambuddha, Paccekabuddha dan Savakabuddha berbeda tolong dijelaskan apakah ada jalan lain selain Satipatthana?
Satipatthana mungkin "bentuknya" berbeda, tapi intinya sama. 
Yang saya permasalahkan 'kan bukan "jalan" = "Satipatthana", tetapi "jalan" = "Agama Buddha". Saya tidak bilang Samma-Sambuddha dan Pacceka Buddha tidak bersatipatthana, tetapi saya katakan mereka tidak beragama Buddha. 
Yang mengajarkan Satipatthana kan cuma agama Buddha, apakah Paccekabuddha mengajarkan Satipatthana juga? atau Paccekabuddha belajar Satipatthana dari agama lain?
QuoteQuoteSaya coba jawab pertanyaan ini, seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, dan aspirasi itu yang akan memblokir jalannya, Mereka hanya bisa menembus bila paraminya telah betul-betul matang.
Pada tahap tertentu dalam Vipassana seorang meditator harus melepaskan aspirasinya untuk menjadi Sammasambuddha atau Paccekabuddha agar dapat mencapai Sotapatti Magga-Phala. 
Baik, sekarang saya kasih perumpamaan begini:
Ada sekumpulan murid belajar tehnik struktur dari seorang maha guru. Semua diajarkan dengan cara yang sama oleh gurunya, sudah ada ketentuannya pondasi bahannya apa, untuk rangkanya berbahan apa, dan lain-lain. Gaya pembuatannya juga sudah ada, apakah timur tengah, oriental, minimalis, dsb. Ada yang cepat mengerti dan bisa merancang bangunan dengan baik, ada juga yang lambat. 
1. Ada pula murid terpandai yang sangat cerdas dan beraspirasi menjadi guru juga. Namun karena aspirasinya untuk menjadi guru begitu kuat, maka menghalanginya untuk mengerti, sehingga gubuk pun tidak mampu dibangunnya. Padahal kalau ia tidak beraspirasi, maka ia bisa merancang bangunan dengan baik. 
Kasus dengan contoh aneh, bila orang pandai yang sangat cerdas tentu dengan mudah mewarisi ilmu gurunya, hal yang menghalangi ia mengerti hanya bila ia bodoh. Bila pandai dan sangat cerdas tentu tak akan menghalangi dia, entah beraspirasi atau tidak.
Quote2. Ada pula murid terpandai yang sangat cerdas, dan karena aspirasinya untuk menjadi guru juga, dia tidak mengikuti kelas tersebut, tetapi langsung terjun untuk mempelajari sendiri campuran bahan, kekuatannya dan ketahanannya, mempelajari budaya yang melatarbelakangi gaya orang di daerah tersebut, menyelidiki sendiri keadaan tanah dan lingkungan serta pengaruhnya pada bangunan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, waktu yang dibutuhkannya jauh lebih lama. 
Menurut Bro Fabian, yang mana yang cocok? 
Murid pandai nomer dua yang sangat cerdas bisa saja menjadi guru, tetapi ilmu yang diajarkannya juga ilmu tersendiri tidak sama dengan bila belajar dari guru, ilmunya bisa baik dan bisa juga buruk. Karena ia belajar ilmu secara autodidak, bahkan orang bodoh sekalipun bisa menjadi guru.Tetapi apakah ia akan menjadi guru yang baik itu soal lain.
QuoteQuoteDemikian juga kematangan batin tanpa disertai dengan bimbingan yang tepat maka bisa gagal mencapai Magga-Phala, apalagi tanpa bimbingan (kecuali Paccekabuddha dan Sammasambuddha).
Jadi sebaiknya hanya mengambil jalan Savaka saja? :) 
Ada tiga Jenis mahluk yang mencapai Pencerahan sempurna (Savaka, Pacceka dan Sammasambuddha) bro Kainyn boleh memilih mau beraspirasi menjadi yang mana, tidak beraspirasi juga boleh, suka-suka.
QuoteQuoteSaya rasa mungkin saja seorang bodhisatta terlahir di timur tengah, di Afrika, Eropa atau Australia dll, tetapi pada waktu kelahiran akan mencapai penerangan sempurna seorang Bodhisatta hanya akan terlahir diantaranya dengan kondisi berikut:
1. Seorang Bodhisatta hanya lahir di Jambudipa (India)
2. Tepatnya terlahir di Majjhima-desa di tengah Jambudipa.
3. Seorang Bodhisatta hanya akan terlahir di keluarga Ksatria atau Brahmana 
5. usia manusia rata-rata pada waktu itu tak lebih dari 100.000 tahun dan tak kurang dari 100 tahun.
6. Ibu calon bodhisatta adalah seorang wanita yang tak pernah melanggar sila seumur hidupnya dan umur kehidupan ibu Bodhisatta hanya bersisa usia kandungan tambah sedikit.
Kelima kondisi ini disebut panca..... saya lupa istilahnya. Tapi untuk lebih jelasnya baca RAPB buku ke 1 hal 446. (promosi RAPB lagi nih.... :)  ) Susunannya tidak sama dengan RAPB tapi intinya sama.
Saya mau menambahkan hanya sekedar sharing, Kelima Buddha yang ada di kappa ini semuanya akan mencapai Pencerahan Sempurna di India di spot yang persis sama di Bodhgaya.
Walaupun saya juga tidak "beriman", tetapi saya memang terima doktrin mengenai kelahiran terakhir tersebut. 
Tetapi fokus saya adalah para Bodhisatta & Pacceka Bodhisatta yang sekarang ini atau kapan pun dalam perjalanan penyempurnaan paraminya, bisa saja terlahir di tempat-tempat yang tidak mengenal Agama Buddha, dan bahkan sangat mungkin juga memeluk ajaran lain. Hal ini berarti mereka mampu mengembangkan kebijaksanaan walaupun tidak mengenal Agama Buddha, bukan?
Biru: sudah jelas Bodhisatta seringkali tak mengenal agama Buddha contohnya bila Bodhisatta terlahir jadi hewan.
Merah: Mengenai hal ini saya tak tahu pasti, mungkin ya, mungkin tidak, saya tak akan berspekulasi.
Hijau: Kan sudah pernah kita bahas? Kebijaksanaan yang bagaimana? Misalnya kebijaksanaan untuk tidak melanggar hukum negara? tentu saja bisa didapat dimanapun.
Tapi kebijaksanaan yang melenyapkan sepuluh belenggu (dasa samyojana)? Hanya Sammasambuddha dan Siswa-SiswaNya yang mengajarkan.
 _/\_ 
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 08 January 2010, 05:59:17 PM
Tuh kan... bro Kainyn belum apa-apa sudah menghakimi saya.
:) Bro Fabian sendiri yang mengetahuinya dengan baik. Jadi saya tidak membahas lebih jauh. 
QuoteYang mengajarkan Satipatthana kan cuma agama Buddha, apakah Paccekabuddha mengajarkan Satipatthana juga? atau Paccekabuddha belajar Satipatthana dari agama lain?
Yang saya katakan, Pacceka Buddha bukan beragama Buddha. Saya tidak mengatakan mereka belajar Satipatthana dari agama lain. 
QuoteQuoteQuoteSaya coba jawab pertanyaan ini, seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, dan aspirasi itu yang akan memblokir jalannya, Mereka hanya bisa menembus bila paraminya telah betul-betul matang.
Pada tahap tertentu dalam Vipassana seorang meditator harus melepaskan aspirasinya untuk menjadi Sammasambuddha atau Paccekabuddha agar dapat mencapai Sotapatti Magga-Phala. 
Baik, sekarang saya kasih perumpamaan begini:
Ada sekumpulan murid belajar tehnik struktur dari seorang maha guru. Semua diajarkan dengan cara yang sama oleh gurunya, sudah ada ketentuannya pondasi bahannya apa, untuk rangkanya berbahan apa, dan lain-lain. Gaya pembuatannya juga sudah ada, apakah timur tengah, oriental, minimalis, dsb. Ada yang cepat mengerti dan bisa merancang bangunan dengan baik, ada juga yang lambat. 
1. Ada pula murid terpandai yang sangat cerdas dan beraspirasi menjadi guru juga. Namun karena aspirasinya untuk menjadi guru begitu kuat, maka menghalanginya untuk mengerti, sehingga gubuk pun tidak mampu dibangunnya. Padahal kalau ia tidak beraspirasi, maka ia bisa merancang bangunan dengan baik. 
Kasus dengan contoh aneh, bila orang pandai yang sangat cerdas tentu dengan mudah mewarisi ilmu gurunya, hal yang menghalangi ia mengerti hanya bila ia bodoh. Bila pandai dan sangat cerdas tentu tak akan menghalangi dia, entah beraspirasi atau tidak.
Betul, sangat absurd. Maka saya juga bingung kalau jawaban Bro Fabian sebelumnya mengatakan hal ini:
Quoteseorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, dan aspirasi itu yang akan memblokir jalannya, Mereka hanya bisa menembus bila paraminya telah betul-betul matang.
QuoteQuote2. Ada pula murid terpandai yang sangat cerdas, dan karena aspirasinya untuk menjadi guru juga, dia tidak mengikuti kelas tersebut, tetapi langsung terjun untuk mempelajari sendiri campuran bahan, kekuatannya dan ketahanannya, mempelajari budaya yang melatarbelakangi gaya orang di daerah tersebut, menyelidiki sendiri keadaan tanah dan lingkungan serta pengaruhnya pada bangunan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, waktu yang dibutuhkannya jauh lebih lama. 
Menurut Bro Fabian, yang mana yang cocok? 
Murid pandai nomer dua yang sangat cerdas bisa saja menjadi guru, tetapi ilmu yang diajarkannya juga ilmu tersendiri tidak sama dengan bila belajar dari guru, ilmunya bisa baik dan bisa juga buruk. Karena ia belajar ilmu secara autodidak, bahkan orang bodoh sekalipun bisa menjadi guru.Tetapi apakah ia akan menjadi guru yang baik itu soal lain.
Kalau cuma dapat "status" guru, saya tidak akan repot-repot menyinggung pembelajaran. Cukup beli sertifikat saja. 
Karena ini juga tidak nyambung, saya tidak lanjutkan. 
QuoteQuoteJadi sebaiknya hanya mengambil jalan Savaka saja? :) 
Ada tiga Jenis mahluk yang mencapai Pencerahan sempurna (Savaka, Pacceka dan Sammasambuddha) bro Kainyn boleh memilih mau beraspirasi menjadi yang mana, tidak beraspirasi juga boleh, suka-suka.
Supaya tidak lari dari konteks, saya hanya sekadar mengingatkan. 
Awalnya saya katakan kematangan bathin yang menentukan pencapaian seseorang. 
Bro Fabian mengatakan ada faktor lain yang menghalangi dan kadang guru juga bisa membantu menghilangkan penghalang tersebut, saya setuju. 
Tetapi ketika saya bilang pencerahan tanpa seorang guru tetaplah mungkin, Bro Fabian bilang "Demikian juga kematangan batin tanpa disertai dengan bimbingan yang tepat maka bisa gagal mencapai Magga-Phala, apalagi tanpa bimbingan", bukankah ini seperti sikap pesimis akan jalan Samma Sambodhi dan Pacceka Bodhi? Kalau memang Bro Fabian mengakui jalan Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha, hanya perlu menyetujui bahwa "jalan demikian adalah mungkin walaupun jelas lebih sulit".  
QuoteQuote
Walaupun saya juga tidak "beriman", tetapi saya memang terima doktrin mengenai kelahiran terakhir tersebut. 
Tetapi fokus saya adalah para Bodhisatta & Pacceka Bodhisatta yang sekarang ini atau kapan pun dalam perjalanan penyempurnaan paraminya, bisa saja terlahir di tempat-tempat yang tidak mengenal Agama Buddha, dan bahkan sangat mungkin juga memeluk ajaran lain. Hal ini berarti mereka mampu mengembangkan kebijaksanaan walaupun tidak mengenal Agama Buddha, bukan?
Biru: sudah jelas Bodhisatta seringkali tak mengenal agama Buddha contohnya bila Bodhisatta terlahir jadi hewan.
OK 
QuoteMerah: Mengenai hal ini saya tak tahu pasti, mungkin ya, mungkin tidak, saya tak akan berspekulasi.
Buat saya, kalau berpendapat Bodhisatta selalu agnostik kalau tidak ada Agama Buddha, baru namanya spekulasi. 
QuoteHijau: Kan sudah pernah kita bahas? Kebijaksanaan yang bagaimana? Misalnya kebijaksanaan untuk tidak melanggar hukum negara? tentu saja bisa didapat dimanapun.
No comment. Saya tidak akan dan tidak mampu mendebat orang-orang yang sudah mengerti "kebijaksanaan lokuttara" atau "paramatha sacca". 
			
 
			
			
				Quote
.........tetapi pada waktu kelahiran akan mencapai penerangan sempurna seorang Bodhisatta hanya akan terlahir diantaranya dengan kondisi berikut:.........
.....
5. usia manusia rata-rata pada waktu itu tak lebih dari 100.000 tahun dan tak kurang dari 100 tahun.
Sorry, numpang lewat sembari bertanya...Saat Buddha Gautama parinibanna umur 80 tahun...dan  YA Mogalana dan YA Sariputta berumur parinibbana dibawah 100 tahun juga.. dan masih banyak lainnya. Artinya hitungannya meleset dong yg dibold?
			
 
			
			
				Quote from: bond on 09 January 2010, 11:54:57 AM
Quote
.........tetapi pada waktu kelahiran akan mencapai penerangan sempurna seorang Bodhisatta hanya akan terlahir diantaranya dengan kondisi berikut:.........
.....
5. usia manusia rata-rata pada waktu itu tak lebih dari 100.000 tahun dan tak kurang dari 100 tahun.
Sorry, numpang lewat sembari bertanya...Saat Buddha Gautama parinibanna umur 80 tahun...dan  YA Mogalana dan YA Sariputta berumur parinibbana dibawah 100 tahun juga.. dan masih banyak lainnya. Artinya hitungannya meleset dong yg dibold?
Usia manusia rata-rata di zaman itu adalah 120 tahun. Seorang Sammasambuddha hanya hidup selama 2/3 dari usia rata-rata manusia di zaman-Nya. YA. Sariputta dan YA. Mahamoggallana memang meninggal ketika belum berusia 100 tahun. 
Yang dimaksud usia manusia rata-rata adalah usia mayoritas manusia. Seperti anggap saja usia manusia rata-rata saat ini adalah 70 tahun. Tetapi tetap saja ada manusia yang bisa meninggal dalam usia muda.
			
 
			
			
				Quote from: bond on 09 January 2010, 11:54:57 AM
Quote
.........tetapi pada waktu kelahiran akan mencapai penerangan sempurna seorang Bodhisatta hanya akan terlahir diantaranya dengan kondisi berikut:.........
.....
5. usia manusia rata-rata pada waktu itu tak lebih dari 100.000 tahun dan tak kurang dari 100 tahun.
Sorry, numpang lewat sembari bertanya...Saat Buddha Gautama parinibanna umur 80 tahun...dan  YA Mogalana dan YA Sariputta berumur parinibbana dibawah 100 tahun juga.. dan masih banyak lainnya. Artinya hitungannya meleset dong yg dibold?
Yang dimaksud adalah umur rata-rata. Yang Buddha katakan sebelum parinibbana bahwa seorang yang mengembangkan kesadaran bisa hidup sampai akhir "kappa", maksudnya adalah ayu-kappa, yang pada saat itu 100 tahun, bukan hitungan kappa evolusi tata surya. Samma Sambuddha biasanya memang hidup 4/5 dari Ayu Kappa. 
			
 
			
			
				Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D
Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.
			
			
			
				Quote from: bond on 09 January 2010, 12:42:04 PM
Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D
Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.
sptnya udah cocok, yg tak lebih dan tak kurang adalah usia manusia rata-rata, bukan usia buddha, atau usia manusia tertentu
			
 
			
			
				Quote from: bond on 09 January 2010, 12:42:04 PM
Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D
Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.
Saya juga rasa memang kurang cocok sebab "rata-rata umur pada waktu tertentu" tersebut kita tidak tahu bagaimana ukurnya, jadi mau dibilang "tak lebih dan tak kurang" juga tidak berarti buat pembaca. 
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 08 January 2010, 05:59:17 PM
Tuh kan... bro Kainyn belum apa-apa sudah menghakimi saya.
:) Bro Fabian sendiri yang mengetahuinya dengan baik. Jadi saya tidak membahas lebih jauh. 
Yang saya tahu seseorang memberi komentar bukan berarti menghakimi, apalagi dalam forum seperti ini, wajar saling memberi komentar dan berbagi pendapat.
QuoteQuoteYang mengajarkan Satipatthana kan cuma agama Buddha, apakah Paccekabuddha mengajarkan Satipatthana juga? atau Paccekabuddha belajar Satipatthana dari agama lain?
Yang saya katakan, Pacceka Buddha bukan beragama Buddha. Saya tidak mengatakan mereka belajar Satipatthana dari agama lain. 
jadi Paccekabuddha agama apa?
QuoteQuoteQuoteQuoteSaya coba jawab pertanyaan ini, seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, dan aspirasi itu yang akan memblokir jalannya, Mereka hanya bisa menembus bila paraminya telah betul-betul matang.
Pada tahap tertentu dalam Vipassana seorang meditator harus melepaskan aspirasinya untuk menjadi Sammasambuddha atau Paccekabuddha agar dapat mencapai Sotapatti Magga-Phala. 
Baik, sekarang saya kasih perumpamaan begini:
Ada sekumpulan murid belajar tehnik struktur dari seorang maha guru. Semua diajarkan dengan cara yang sama oleh gurunya, sudah ada ketentuannya pondasi bahannya apa, untuk rangkanya berbahan apa, dan lain-lain. Gaya pembuatannya juga sudah ada, apakah timur tengah, oriental, minimalis, dsb. Ada yang cepat mengerti dan bisa merancang bangunan dengan baik, ada juga yang lambat. 
1. Ada pula murid terpandai yang sangat cerdas dan beraspirasi menjadi guru juga. Namun karena aspirasinya untuk menjadi guru begitu kuat, maka menghalanginya untuk mengerti, sehingga gubuk pun tidak mampu dibangunnya. Padahal kalau ia tidak beraspirasi, maka ia bisa merancang bangunan dengan baik. 
Kasus dengan contoh aneh, bila orang pandai yang sangat cerdas tentu dengan mudah mewarisi ilmu gurunya, hal yang menghalangi ia mengerti hanya bila ia bodoh. Bila pandai dan sangat cerdas tentu tak akan menghalangi dia, entah beraspirasi atau tidak.
Betul, sangat absurd. Maka saya juga bingung kalau jawaban Bro Fabian sebelumnya mengatakan hal ini:
Quoteseorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, dan aspirasi itu yang akan memblokir jalannya, Mereka hanya bisa menembus bila paraminya telah betul-betul matang.
Apakah menurut bro Kainyn belajar meditasi sama dengan belajar arsitektur atau tehnik sipil?
Quote
QuoteQuote2. Ada pula murid terpandai yang sangat cerdas, dan karena aspirasinya untuk menjadi guru juga, dia tidak mengikuti kelas tersebut, tetapi langsung terjun untuk mempelajari sendiri campuran bahan, kekuatannya dan ketahanannya, mempelajari budaya yang melatarbelakangi gaya orang di daerah tersebut, menyelidiki sendiri keadaan tanah dan lingkungan serta pengaruhnya pada bangunan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, waktu yang dibutuhkannya jauh lebih lama. 
Menurut Bro Fabian, yang mana yang cocok? 
Murid pandai nomer dua yang sangat cerdas bisa saja menjadi guru, tetapi ilmu yang diajarkannya juga ilmu tersendiri tidak sama dengan bila belajar dari guru, ilmunya bisa baik dan bisa juga buruk. Karena ia belajar ilmu secara autodidak, bahkan orang bodoh sekalipun bisa menjadi guru.Tetapi apakah ia akan menjadi guru yang baik itu soal lain.
Kalau cuma dapat "status" guru, saya tidak akan repot-repot menyinggung pembelajaran. Cukup beli sertifikat saja. 
Karena ini juga tidak nyambung, saya tidak lanjutkan. 
Saya hanya mau menambahkan sedikit, seseorang menjadi guru tidak menjamin bahwa ia 
capable.
QuoteQuoteQuoteJadi sebaiknya hanya mengambil jalan Savaka saja? :) 
Ada tiga Jenis mahluk yang mencapai Pencerahan sempurna (Savaka, Pacceka dan Sammasambuddha) bro Kainyn boleh memilih mau beraspirasi menjadi yang mana, tidak beraspirasi juga boleh, suka-suka.
Supaya tidak lari dari konteks, saya hanya sekadar mengingatkan. 
Awalnya saya katakan kematangan bathin yang menentukan pencapaian seseorang. 
Bro Fabian mengatakan ada faktor lain yang menghalangi dan kadang guru juga bisa membantu menghilangkan penghalang tersebut, saya setuju. 
Tetapi ketika saya bilang pencerahan tanpa seorang guru tetaplah mungkin, Bro Fabian bilang "Demikian juga kematangan batin tanpa disertai dengan bimbingan yang tepat maka bisa gagal mencapai Magga-Phala, apalagi tanpa bimbingan", bukankah ini seperti sikap pesimis akan jalan Samma Sambodhi dan Pacceka Bodhi? Kalau memang Bro Fabian mengakui jalan Samma Sambuddha dan Pacceka Buddha, hanya perlu menyetujui bahwa "jalan demikian adalah mungkin walaupun jelas lebih sulit".  
Bukankah saya telah mengatakan sebelumnya bahwa pencapaian kesucian diperlukan bimbingan, kecuali Sammasambuddha dan Paccekabuddha?
QuoteQuote
Walaupun saya juga tidak "beriman", tetapi saya memang terima doktrin mengenai kelahiran terakhir tersebut. 
QuoteTetapi fokus saya adalah para Bodhisatta & Pacceka Bodhisatta yang sekarang ini atau kapan pun dalam perjalanan penyempurnaan paraminya, bisa saja terlahir di tempat-tempat yang tidak mengenal Agama Buddha, dan bahkan sangat mungkin juga memeluk ajaran lain. Hal ini berarti mereka mampu mengembangkan kebijaksanaan walaupun tidak mengenal Agama Buddha, bukan?
Biru: sudah jelas Bodhisatta seringkali tak mengenal agama Buddha contohnya bila Bodhisatta terlahir jadi hewan.
OK 
QuoteMerah: Mengenai hal ini saya tak tahu pasti, mungkin ya, mungkin tidak, saya tak akan berspekulasi.
Buat saya, kalau berpendapat Bodhisatta selalu agnostik kalau tidak ada Agama Buddha, baru namanya spekulasi.
Pengetahuan saya mengenai Paccekabuddha hanya berasal dari Tipitaka, diluar dari itu saya anggap spekulasi.
QuoteQuoteQuoteHijau: Kan sudah pernah kita bahas? Kebijaksanaan yang bagaimana? Misalnya kebijaksanaan untuk tidak melanggar hukum negara? tentu saja bisa didapat dimanapun.
No comment. Saya tidak akan dan tidak mampu mendebat orang-orang yang sudah mengerti "kebijaksanaan lokuttara" atau "paramatha sacca". 
Siapa tuh maksud bro kainyn? Jangan menyebar rumor ah...
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 09 January 2010, 01:41:56 PM
Quote from: bond on 09 January 2010, 12:42:04 PM
Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D
Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.
Saya juga rasa memang kurang cocok sebab "rata-rata umur pada waktu tertentu" tersebut kita tidak tahu bagaimana ukurnya, jadi mau dibilang "tak lebih dan tak kurang" juga tidak berarti buat pembaca. 
Bro Kainyn yang baik, disinilah gunanya "
presumed innocence" kita tak tahu pasti kebenarannya selain apa yang tertulis di kitab suci. Jadi Saya lebih suka 
"take it for granted, for now. Until something else come up".
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 09 January 2010, 11:07:58 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 09 January 2010, 01:41:56 PM
Quote from: bond on 09 January 2010, 12:42:04 PM
Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D
Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.
Saya juga rasa memang kurang cocok sebab "rata-rata umur pada waktu tertentu" tersebut kita tidak tahu bagaimana ukurnya, jadi mau dibilang "tak lebih dan tak kurang" juga tidak berarti buat pembaca. 
Bro Kainyn yang baik, disinilah gunanya "presumed innocence" kita tak tahu pasti kebenarannya selain apa yang tertulis di kitab suci. Jadi Saya lebih suka "take it for granted, for now. Until something else come up".
 _/\_
Kalau saya pribadi apa yang tertulis di kitab(dalam hal ini tipitaka) melihat apa adanya saja as a tool/alat  , sesuatu yg belum diketahui kebenaranya maka tidak menerima atau tidak menolak, menyalahkan atau membenarkan dan judgment/kesimpulan hanya diambil setelah melalui ehipasiko total dan terbukti. ;D. Sesuatu yg sudah terbukti benar dan bermanfaat maka pantas untuk diterima.
Asumsi tidak bersalah/praduga tidak bersalah berarti benar selama belum terbukti dan jika ternyata salah maka akan selalu dalam kondisi salah sampai terbukti benar baru berubah, ini akan membuat kita dalam kungkungan wrong view/pandangan salah selama belum terbukti, apalagi pembuktian itu memakan waktu yg panjang = wasting time(buang2 waktu) karena dan biasanya akan bercampur dengan keyakinan yang kuat bahwa itu adalah hal yang benar padahal salah sehingga menjadi suatu rintangan batin. Kalau ternyata benar ya bagus dan hoki  ;D.
Hal lainnya adalah ragu = bingung/bahkan sering membuat orang tidak berusaha dan mundur.  Maka sikap terbuka pada Dhamma dengan melihat apa adanya maka ehipasiko akan lebih memudahkan kita melihat Dhamma itu sendiri.
Jangan sampai menjalankan Dhamma melepaskan satu belenggu lalu terperangkap belenggu lain.
Just my opinion  _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 09 January 2010, 10:57:30 PM
Yang saya tahu seseorang memberi komentar bukan berarti menghakimi, apalagi dalam forum seperti ini, wajar saling memberi komentar dan berbagi pendapat.
Komentar hanyalah sesuatu yang tertulis. Apakah yang ada di pikiran, seperti saya bilang, Bro Fabian yang mengetahui kebenarannya dengan baik. Bro Fabian sendiri juga mengetahui dengan baik apa yang akan timbul jika kita bahas "Satipatthana" versi saya lebih jauh. 
Quotejadi Paccekabuddha agama apa?
Saya tidak tahu. Saya bilang bukan beragama Buddha karena pada masa Pacceka Buddha, tidak ada ajaran Buddha. Jika tidak ada ajaran Buddha, tidaklah mungkin beragama Buddha. 
QuoteApakah menurut bro Kainyn belajar meditasi sama dengan belajar arsitektur atau tehnik sipil?
Semua pembelajaran memiliki sejumlah persamaan dan sejumlah perbedaan. Dalam hal ini, saya mengambil aspek yang menurut saya sama. 
QuoteSaya hanya mau menambahkan sedikit, seseorang menjadi guru tidak menjamin bahwa ia capable.
Sekali lagi, kalau hanya menyinggung "guru-guru-an" saya tidak perlu menyinggung pembelajaran. 
QuotePengetahuan saya mengenai Paccekabuddha hanya berasal dari Tipitaka, diluar dari itu saya anggap spekulasi.
Ada rujukan di Tipitaka bahwa para Pacceka Buddha beragama Buddha? 
QuoteSiapa tuh maksud bro kainyn? Jangan menyebar rumor ah...
Saya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut. 
-----------------------------
Quote from: fabian c on 09 January 2010, 11:07:58 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 09 January 2010, 01:41:56 PM
Quote from: bond on 09 January 2010, 12:42:04 PM
Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D
Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.
Saya juga rasa memang kurang cocok sebab "rata-rata umur pada waktu tertentu" tersebut kita tidak tahu bagaimana ukurnya, jadi mau dibilang "tak lebih dan tak kurang" juga tidak berarti buat pembaca. 
Bro Kainyn yang baik, disinilah gunanya "presumed innocence" kita tak tahu pasti kebenarannya selain apa yang tertulis di kitab suci. Jadi Saya lebih suka "take it for granted, for now. Until something else come up".
 _/\_
Maaf, sepertinya saya memang salah baca tentang "tak lebih & tak kurang" tersebut. 
Yang saya katakan tidak cocok memang bukan masalah kepercayaan karena memang kita tidak tahu kebenarannya, tetapi dalam hal kita tidak bisa menghitungnya dengan pasti.
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 09 January 2010, 10:57:30 PM
Yang saya tahu seseorang memberi komentar bukan berarti menghakimi, apalagi dalam forum seperti ini, wajar saling memberi komentar dan berbagi pendapat.
Komentar hanyalah sesuatu yang tertulis. Apakah yang ada di pikiran, seperti saya bilang, Bro Fabian yang mengetahui kebenarannya dengan baik. Bro Fabian sendiri juga mengetahui dengan baik apa yang akan timbul jika kita bahas "Satipatthana" versi saya lebih jauh. 
Bagaimana saya tahu akan seperti apa bila saya sendiri tidak tahu seperti apa Satipatthana bro Kainyn...?? saya sendiri tidak tahu bagaimana sikap saya, kok bro Kainyn lebih tahu seperti apa sikap saya nantinya? apa sebabnya?
QuoteQuotejadi Paccekabuddha agama apa?
Saya tidak tahu. Saya bilang bukan beragama Buddha karena pada masa Pacceka Buddha, tidak ada ajaran Buddha. Jika tidak ada ajaran Buddha, tidaklah mungkin beragama Buddha. 
Kalau Sammasambuddha?
QuoteQuoteApakah menurut bro Kainyn belajar meditasi sama dengan belajar arsitektur atau tehnik sipil?
Semua pembelajaran memiliki sejumlah persamaan dan sejumlah perbedaan. Dalam hal ini, saya mengambil aspek yang menurut saya sama. 
Objek berbeda dan cara praktek juga berbeda, apa yang sama?
QuoteQuoteSaya hanya mau menambahkan sedikit, seseorang menjadi guru tidak menjamin bahwa ia capable.
Sekali lagi, kalau hanya menyinggung "guru-guru-an" saya tidak perlu menyinggung pembelajaran. 
?
QuoteQuotePengetahuan saya mengenai Paccekabuddha hanya berasal dari Tipitaka, diluar dari itu saya anggap spekulasi.
Ada rujukan di Tipitaka bahwa para Pacceka Buddha beragama Buddha?
Tidak ada... tahukah mengapa dikatakan Buddha?
Quote
QuoteSiapa tuh maksud bro kainyn? Jangan menyebar rumor ah...
Saya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut. 
Apakah mereka yang belajar Abhidhamma juga termasuk?
Quote-----------------------------
Quote from: fabian c on 09 January 2010, 11:07:58 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 09 January 2010, 01:41:56 PM
Quote from: bond on 09 January 2010, 12:42:04 PM
Tapi kalimatna "tak lebih dan tak kurang" asumsinya paling minimal 100 khan, itu yg saya tangkap sih...IMO kalimatnya kurang cocok. ;D
Kecuali kalimatnya umur rata-rata 100-80000 tahun.
Saya juga rasa memang kurang cocok sebab "rata-rata umur pada waktu tertentu" tersebut kita tidak tahu bagaimana ukurnya, jadi mau dibilang "tak lebih dan tak kurang" juga tidak berarti buat pembaca. 
Bro Kainyn yang baik, disinilah gunanya "presumed innocence" kita tak tahu pasti kebenarannya selain apa yang tertulis di kitab suci. Jadi Saya lebih suka "take it for granted, for now. Until something else come up".
 _/\_
Maaf, sepertinya saya memang salah baca tentang "tak lebih & tak kurang" tersebut. 
Yang saya katakan tidak cocok memang bukan masalah kepercayaan karena memang kita tidak tahu kebenarannya, tetapi dalam hal kita tidak bisa menghitungnya dengan pasti.
Saya setuju dengan bro kainyn memang kita tak tahu dengan pasti, karena yang mengungkapkan hal ini hanya Tipitaka maka saya terima sebagaimana apa adanya, karena kita tak bisa membuktikan itu benar atau membuktikan bahwa itu salah.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 11 January 2010, 12:00:37 PM
Bagaimana saya tahu akan seperti apa bila saya sendiri tidak tahu seperti apa Satipatthana bro Kainyn...?? 
Jikapun saya bisa ceritakan panjang lebar, memangnya Bro Fabian bisa mengetahui keadaan bathin saya apakah itu Satipatthana atau hanya tulisan belaka? Saya rasa ini tidak perlu dibahas lebih lanjut. Saya mengatakan itu Satipatthana semata-mata karena saya melihat persamaan2. Namun kalau menurut doktrin yang dipercaya Umat Buddha bahwa Satipatthana tidak mungkin dikembangkan orang tanpa mengenal Ajaran Buddha sebelumnya, saya dengan senang hati akan mengatakan meditasi saya BUKAN Satipatthana, 100% tulus tanpa terpaksa. OK?  :) 
Quotesaya sendiri tidak tahu bagaimana sikap saya, kok bro Kainyn lebih tahu seperti apa sikap saya nantinya? apa sebabnya?
Kadang memang orang lain yang lebih mudah melihat jerawat di hidung kita. 
QuoteQuoteSaya tidak tahu. Saya bilang bukan beragama Buddha karena pada masa Pacceka Buddha, tidak ada ajaran Buddha. Jika tidak ada ajaran Buddha, tidaklah mungkin beragama Buddha. 
Kalau Sammasambuddha?
Samma Sambuddha justru "membuat" Agama Buddha, tidak cocok disebut beragama "diri sendiri". 
Kalau Bodhisatta sebelum pencerahan juga saya yakin BUKAN beragama Buddha dengan alasan sama, yaitu tidak ada Buddha-dhamma saat itu. Dan kalau mau dilihat lebih jauh, menurut saya para Arahat pun sudah tidak "beragama" lagi karena mereka telah melepas rakit dan telah "lulus". Maka mereka disebut Asekkha Pugala. 
QuoteQuoteSemua pembelajaran memiliki sejumlah persamaan dan sejumlah perbedaan. Dalam hal ini, saya mengambil aspek yang menurut saya sama. 
Objek berbeda dan cara praktek juga berbeda, apa yang sama?
Saya pinjam kembali perumpamaan di mana orang berjuang mencapai nibbana diumpamakan orang ingin menyeberang dengan rakit. Objeknya beda, cara prakteknya beda, lalu semuanya berbeda? 
Persamaan dari perumpamaan saya adalah tekad yang dimiliki seseorang dalam satu bidang, sama sekali tidaklah menghalangi bakat seseorang dalam mengembangkan kemampuan. Mengapa orang yang bertekad menjadi guru malah lulus lebih terlambat? Karena ia mengambil jalan yang lebih panjang dan luas untuk pemahaman yang lebih mendalam.  
QuoteQuoteQuoteSaya hanya mau menambahkan sedikit, seseorang menjadi guru tidak menjamin bahwa ia capable.
Sekali lagi, kalau hanya menyinggung "guru-guru-an" saya tidak perlu menyinggung pembelajaran. 
?
Yang saya maksudkan adalah seorang guru sejati, yang berarti ia capable. Untuk menjadi guru, seseorang mengambil pembelajaran yang berbeda dari murid yang sekadar ingin lulus. Saya tidak membahas orang berstatus guru yang sebetulnya tidak capable. 
QuoteQuoteQuotePengetahuan saya mengenai Paccekabuddha hanya berasal dari Tipitaka, diluar dari itu saya anggap spekulasi.
Ada rujukan di Tipitaka bahwa para Pacceka Buddha beragama Buddha?
Tidak ada... tahukah mengapa dikatakan Buddha?
Salah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran. 
QuoteQuoteSaya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut. 
Apakah mereka yang belajar Abhidhamma juga termasuk?
Jika konteksnya sebatas Abhidhamma, saya rasa tidak masalah karena memang ada dibahas. Tetapi di luar itu, saya tidak akan menanggapi. 
QuoteSaya setuju dengan bro kainyn memang kita tak tahu dengan pasti, karena yang mengungkapkan hal ini hanya Tipitaka maka saya terima sebagaimana apa adanya, karena kita tak bisa membuktikan itu benar atau membuktikan bahwa itu salah.
Apa yang kita percaya kadang bukan berdasarkan bukti, tetapi juga kecocokan. Bukti konkret secara pasti dari hukum kamma itu tidak bisa dijelaskan, namun saya juga percaya pada kamma yang diajarkan di Tipitaka karena saya cocok. 
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 11 January 2010, 12:00:37 PM
Bagaimana saya tahu akan seperti apa bila saya sendiri tidak tahu seperti apa Satipatthana bro Kainyn...?? 
Jikapun saya bisa ceritakan panjang lebar, memangnya Bro Fabian bisa mengetahui keadaan bathin saya apakah itu Satipatthana atau hanya tulisan belaka? Saya rasa ini tidak perlu dibahas lebih lanjut. Saya mengatakan itu Satipatthana semata-mata karena saya melihat persamaan2. Namun kalau menurut doktrin yang dipercaya Umat Buddha bahwa Satipatthana tidak mungkin dikembangkan orang tanpa mengenal Ajaran Buddha sebelumnya, saya dengan senang hati akan mengatakan meditasi saya BUKAN Satipatthana, 100% tulus tanpa terpaksa. OK?  :) 
Ya memang tidak ada yang mengajarkan Satipatthana bila seorang Sammasambuddha tidak muncul. Bila ada yang mengajarkan di jaman tidak ada Sammasambuddha maka tentu akan ada yang mencapai kesucian dengan belajar (Savakabuddha) kan? Tetapi dikatakan di jaman ajaran Sammasambuddha telah lenyap tak ada Savakabuddha.
QuoteQuotesaya sendiri tidak tahu bagaimana sikap saya, kok bro Kainyn lebih tahu seperti apa sikap saya nantinya? apa sebabnya?
Kadang memang orang lain yang lebih mudah melihat jerawat di hidung kita. 
Marilah kita menghilangkan prasangka pribadi dan mendahulukan diskusi Dhamma.
QuoteQuoteQuoteSaya tidak tahu. Saya bilang bukan beragama Buddha karena pada masa Pacceka Buddha, tidak ada ajaran Buddha. Jika tidak ada ajaran Buddha, tidaklah mungkin beragama Buddha. 
Kalau Sammasambuddha?
Samma Sambuddha justru "membuat" Agama Buddha, tidak cocok disebut beragama "diri sendiri". 
Kalau Bodhisatta sebelum pencerahan juga saya yakin BUKAN beragama Buddha dengan alasan sama, yaitu tidak ada Buddha-dhamma saat itu. Dan kalau mau dilihat lebih jauh, menurut saya para Arahat pun sudah tidak "beragama" lagi karena mereka telah melepas rakit dan telah "lulus". Maka mereka disebut Asekkha Pugala. 
Mungkin saya belum menyelami pengertian bro Kainyn terhadap agama Buddha. Apa sih agama Buddha itu menurut pengertian bro Kainyn?
QuoteQuoteQuoteSemua pembelajaran memiliki sejumlah persamaan dan sejumlah perbedaan. Dalam hal ini, saya mengambil aspek yang menurut saya sama. 
Objek berbeda dan cara praktek juga berbeda, apa yang sama?
Saya pinjam kembali perumpamaan di mana orang berjuang mencapai nibbana diumpamakan orang ingin menyeberang dengan rakit. Objeknya beda, cara prakteknya beda, lalu semuanya berbeda? 
Persamaan dari perumpamaan saya adalah tekad yang dimiliki seseorang dalam satu bidang, sama sekali tidaklah menghalangi bakat seseorang dalam mengembangkan kemampuan. Mengapa orang yang bertekad menjadi guru malah lulus lebih terlambat? Karena ia mengambil jalan yang lebih panjang dan luas untuk pemahaman yang lebih mendalam
.  
Apakah benar orang yang bertekad untuk menjadi guru lulus lebih terlambat dibandingkan yang tidak?
QuoteQuoteQuoteQuoteSaya hanya mau menambahkan sedikit, seseorang menjadi guru tidak menjamin bahwa ia capable.
Sekali lagi, kalau hanya menyinggung "guru-guru-an" saya tidak perlu menyinggung pembelajaran. 
?
Yang saya maksudkan adalah seorang guru sejati, yang berarti ia capable. Untuk menjadi guru, seseorang mengambil pembelajaran yang berbeda dari murid yang sekadar ingin lulus. Saya tidak membahas orang berstatus guru yang sebetulnya tidak capable. 
Saya rasa seorang guru memiliki ilmu yang dimiliki muridnya. Bila seorang murid ingin belajar geografi pada guru yang ahli hukum apakah murid tersebut akan menjadi ahli geografi? 
QuoteQuoteQuoteQuotePengetahuan saya mengenai Paccekabuddha hanya berasal dari Tipitaka, diluar dari itu saya anggap spekulasi.
Ada rujukan di Tipitaka bahwa para Pacceka Buddha beragama Buddha?
Tidak ada... tahukah mengapa dikatakan Buddha?
Salah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran. 
Apakah itu salah satu penyebab dikatakan Buddha? karena tidak memusingkan "agama mana yang bener"?
apakah si Polan yang sudah 
melihat kebenaran bahwa yang disebut apricot adalah sejenis buah, ia juga layak disebut Buddha?
QuoteQuoteQuoteSaya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut. 
Apakah mereka yang belajar Abhidhamma juga termasuk?
Jika konteksnya sebatas Abhidhamma, saya rasa tidak masalah karena memang ada dibahas. Tetapi di luar itu, saya tidak akan menanggapi. 
Apakah diskusi kita tidak melibatkan Abhidhamma?
QuoteQuoteSaya setuju dengan bro kainyn memang kita tak tahu dengan pasti, karena yang mengungkapkan hal ini hanya Tipitaka maka saya terima sebagaimana apa adanya, karena kita tak bisa membuktikan itu benar atau membuktikan bahwa itu salah.
Apa yang kita percaya kadang bukan berdasarkan bukti, tetapi juga kecocokan. Bukti konkret secara pasti dari hukum kamma itu tidak bisa dijelaskan, namun saya juga percaya pada kamma yang diajarkan di Tipitaka karena saya cocok. 
Saya kira bukti kamma bukan tak bisa dijelaskan, namun kita memiliki keterbatasan pengetahuan. Ya saya juga percaya karena hukum kamma mampu mejawab banyak teka-teki kehidupan yang tak bisa dijawab dengan konsep lain.
 _/\_
			
 
			
			
				Kisah Suppabuddha, Si Penderita Kusta
Suppabuddha, penderita kusta, suatu ketika duduk di bagian belakang kumpulan orang dan mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah yang disampaikan oleh Sang Buddha, mencapai tingkat kesucian sotapatti. Ketika kerumunan orang tersebut sudah membubarkan diri, ia mengikuti Sang Buddha ke vihara. Ia berharap dapat memberitahukan kepada Sang Buddha tentang pencapaiannya.
Sakka, raja para dewa, berkeinginan untuk menguji keyakinan orang kusta tersebut kepada Sang Buddha, Dhamma, dan Sangha, menampakkan dirinya dan berkata: "Kamu hanya seorang miskin, hidup dari meminta-minta, tanpa seorang pun tempat bersandar. Saya dapat memberi kamu kekayaan yang sangat besar jika kamu mengingkari Buddha, Dhamma, dan Sangha dan katakan bahwa kamu tidak membutuhkan mereka"
Suppabuddha menjawab, "Tentu saja saya bukan orang miskin, tanpa seorang pun tempat bersandar. Saya orang kaya; saya memiliki tujuh ciri yang dimiliki oleh para ariya; saya mempunyai keyakinan (saddha), kesusilaan (sila), rasa malu berbuat jahat (hiri), rasa takut akan akibat perbuatan jahat (ottappa), pengetahuan (suta), murah hati (caga), dan kebijaksanaan (panna)."
Kemudian Sakka menghadap Sang Buddha mendahului Suppabuddha. Sang Buddha menjawab bahwa tidaklah mudah meskipun seratus atau seribu Sakka untuk membujuk Suppabuddha meninggalkan Buddha, Dhamma, dan Sangha.
Setelah Suppabuddha sampai di vihara, ia melapor kepada Sang Buddha bahwa ia telah mencapai tingkat kesucian sotapatti.
Dalam perjalanan pulangnya dari Vihara Jetavana, Suppabuddha mati berlumuran darah diseruduk seekor sapi yang sedang marah, yang sesungguhnya adalah seorang yakkhini* yang bersalin rupa menjadi seekor sapi. Yakkhini ini tidak lain adalah pelacur yang dibunuh oleh Suppabuddha pada kehidupannya yang lampau dan bersumpah untuk membalas dendam.
Ketika berita kematian Suppabuddha sampai di Vihara Jetavana, para bhikkhu bertanya kepada Sang Buddha, dimana Suppabuddha dilahirkan kembali, dan Sang Buddha menjawab bahwa Suppabuddha dilahirkan kembali di alam dewa Tavatimsa. Sang Buddha juga menerangkan kepada para bhikkhu bahwa Suppabuddha dilahirkan sebagai seorang kusta karena pada salah satu kelahirannya yang lampau, ia pernah meludahi seorang Pacekabuddha**.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair berikut:
"Caranti bālā dummedhā
amitten'eva attanā
karontā pāpakaṃ kammaṃ
yaṃ hoti kaṭukapphalaṃ."
 ^-^
Orang bodoh yang dangkal pengetahuannya,
memperlakukan diri sendiri seperti musuh;
ia melakukan perbuatan jahat
yang akan menghasilkan buah yang pahit.
			
			
			
				Kisah Suppabuddha mirip dengan kisah Bahiya ....
yaitu di seruduk oleh sapi/kerbau?
kenapa sapi/kerbau zaman dulu galak2 yaaah  ;D ......
			
			
			
				Quote from: fabian c on 12 January 2010, 07:42:03 PM
Ya memang tidak ada yang mengajarkan Satipatthana bila seorang Sammasambuddha tidak muncul. Bila ada yang mengajarkan di jaman tidak ada Sammasambuddha maka tentu akan ada yang mencapai kesucian dengan belajar (Savakabuddha) kan? Tetapi dikatakan di jaman ajaran Sammasambuddha telah lenyap tak ada Savakabuddha.
Saya mau tanya saja. Seandainya ada seorang yang di kehidupan lampau berlatih Satipatthana dengan giat, namun karena buah kamma, ia terlahir kembali bukan di keluarga atau pun lingkungan Buddhis. Menurut Bro Fabian, apakah mungkin atau tidak bahwa ia masih memiliki kecenderungan di masa lampau untuk berlatih Satipatthana, walaupun ia tidak mengenal Agama Buddha? 
QuoteMarilah kita menghilangkan prasangka pribadi dan mendahulukan diskusi Dhamma.
Apa yang telah diketahui bukanlah prasangka. 
QuoteMungkin saya belum menyelami pengertian bro Kainyn terhadap agama Buddha. Apa sih agama Buddha itu menurut pengertian bro Kainyn?
"Agama" Buddha adalah kumpulan doktrin dari masa lampau yang dikemas dalam kitab-kitab, ditafsirkan pihak tertentu, dan dianggap sebagai kebenaran. 
"Ajaran" Buddha adalah panduan bagi masing-masing pribadi untuk menyadari "dunia" apa adanya. 
QuoteApakah benar orang yang bertekad untuk menjadi guru lulus lebih terlambat dibandingkan yang tidak?
Untuk sekadar lulus, maka orang hanya perlu melatih apa yang kurang dari dirinya untuk lulus. 
Untuk menjadi guru, maka orang perlu melatih seluruh aspek yang diperlukan untuk lulus, dan harus melatih cara mengajar yang baik. Mengajar yang baik adalah dengan mengerti orang lain, dan tidak ada rumus baku untuk mengerti orang lain, baik kekurangan maupun kelebihannya. Semua didapat dari pengalaman dan pembelajaran yang sangat panjang. 
QuoteSaya rasa seorang guru memiliki ilmu yang dimiliki muridnya.
Ada ilmu yang bisa "ditransfer" dari guru ke murid, namun lebih banyak ilmu yang tidak bisa. Ilmu tersebut hanya bisa didapatkan sendiri melalui latihan dan pengalaman. Jadi memang bukan guru tersebut payah, namun memang pembelajarannya berbeda. 
QuoteBila seorang murid ingin belajar geografi pada guru yang ahli hukum apakah murid tersebut akan menjadi ahli geografi? 
Jika ia mencari ilmu geografi pada ahli hukum, maka ia hanya akan menemukan hal-hal yang relevan antara hukum & geografi, jika ada. Namun saya tidak mengatakan dia pasti akan atau tidak akan menjadi seorang ahli geografi, sebab pembelajaran tergantung terutama pada diri sendiri, baru guru sebagai faktor ke dua. 
QuoteApakah itu salah satu penyebab dikatakan Buddha? karena tidak memusingkan "agama mana yang bener"?
apakah si Polan yang sudah melihat kebenaran bahwa yang disebut apricot adalah sejenis buah, ia juga layak disebut Buddha?
Jadi ada agama yang bahas status apricot adalah buah atau bukan? Baik, kita andaikan agama tersebut adalah Fabianisme. 
Ketika seseorang mengetahui kebenaran bahwa buah atau bukan adalah berdasarkan kesepakatan bersama, yaitu berasal dari bagian ovarium tanaman, maka ia tidak mempermasalahkan kebenaran Apricot Vs Buah, yang dengan demikian, ia juga tidak memusingkan apakah Agama Fabianisme itu bener atau tidak. 
Saya tidak bilang dengan begini saja orang jadi Buddha, maka saya bilang "salah satunya." Ketika terlintas "Buddha" di pikiran, maka saya membayangkan orang tersebut adalah tipe yang tidak memusingkan "Fabianisme bener ato ga", namun yang lebih mengajarkan melihat kebenaran "apricot" dan "buah" itu sendiri. 
QuoteApakah diskusi kita tidak melibatkan Abhidhamma?
Saya tidak mengerti Abhidhamma, maka tentu saja yang saya katakan tidak berdasarkan dengan Abhidhamma. Jadi apakah melibatkan atau tidak, saya juga tidak tahu. 
QuoteSaya kira bukti kamma bukan tak bisa dijelaskan, namun kita memiliki keterbatasan pengetahuan. Ya saya juga percaya karena hukum kamma mampu mejawab banyak teka-teki kehidupan yang tak bisa dijawab dengan konsep lain.
Konsepnya memang unggul, namun tetap tidak bisa dijelaskan. Dan jika memang saya tidak mampu menjelaskan, saya tidak akan berlindung di balik "keterbatasan manusia". Mengapa demikian? Karena akhirnya sama saja seperti yang mengatakan "rencana Tuhan yang selalu indah bisa dijelaskan, namun karena keterbatasan manusia maka tidak bisa mengerti."
Saya lebih memilih untuk mengaktu bahwa semua masih konsep, dan kita memilih karena kecocokan. 
			
 
			
			
				Quote from: Virya on 12 January 2010, 11:51:56 PM
Kisah Suppabuddha mirip dengan kisah Bahiya ....
yaitu di seruduk oleh sapi/kerbau?
kenapa sapi/kerbau zaman dulu galak2 yaaah  ;D ......
Sepertinya pernah dibahas. Itu adalah sapi yang sama yang menyeruduk Bahiya (petapa berpakaian kayu yang mencapai Arahatta), Suppabuddha (orang lepra yang mencapai Sotapatti), Pukkusati (raja yang menjadi bhikkhu dan mencapai Anagami), dan Tambadathika (mantan algojo yang mencapai Sotapatti). 
Di kehidupan lampau, sapi itu adalah seorang pelacur yang dibunuh mereka berempat dan bersumpah akan membalas dendam di kehidupan-kehidupan berikutnya. 
			
 
			
			
				Dalam Sutta Dhatu-vibhanga, ada Pukkusati seorang petapa pengelana yg meninggalkan kehidupan duniawi karena mendengar tentang Sang Buddha, dan memiliki keyakinan thdpnya meski belum pernah menjumpai langsung. Akhir cerita, Pukkusati diseruduk oleh sapi dan tewas, tetapi mencapai Anagami juga. Apakah Pukkusati yg sama dengan yg raja tsb? Tapi di sana tdk dikatakan soal dia mantan raja sih.. 
			
			
			
				Quote from: Jerry on 13 January 2010, 12:05:09 PM
Dalam Sutta Dhatu-vibhanga, ada Pukkusati seorang petapa pengelana yg meninggalkan kehidupan duniawi karena mendengar tentang Sang Buddha, dan memiliki keyakinan thdpnya meski belum pernah menjumpai langsung. Akhir cerita, Pukkusati diseruduk oleh sapi dan tewas, tetapi mencapai Anagami juga. Apakah Pukkusati yg sama dengan yg raja tsb? Tapi di sana tdk dikatakan soal dia mantan raja sih.. 
benar, itu memang Pukkusati yg mantan Raja, kisah lengkap ada dalam RAPB, seandainya anda menghargai pemberian seseorang terlebih jika itu adalah RAPB.
			
 
			
			
				:-[
			
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 12 January 2010, 07:42:03 PM
Ya memang tidak ada yang mengajarkan Satipatthana bila seorang Sammasambuddha tidak muncul. Bila ada yang mengajarkan di jaman tidak ada Sammasambuddha maka tentu akan ada yang mencapai kesucian dengan belajar (Savakabuddha) kan? Tetapi dikatakan di jaman ajaran Sammasambuddha telah lenyap tak ada Savakabuddha.
Saya mau tanya saja. Seandainya ada seorang yang di kehidupan lampau berlatih Satipatthana dengan giat, namun karena buah kamma, ia terlahir kembali bukan di keluarga atau pun lingkungan Buddhis. Menurut Bro Fabian, apakah mungkin atau tidak bahwa ia masih memiliki kecenderungan di masa lampau untuk berlatih Satipatthana, walaupun ia tidak mengenal Agama Buddha? 
Setahu saya mungkin saja bagi mereka yang pengetahuan dan pengalamannya sudah sangat jauh seperti Bodhisatta misalnya untuk berlatih meditasi insight dan paling-paling hanya mencapai Sankharupekkha Nana. Tetapi tak akan mencapai kesucian kecuali telah matang paraminya dan salah satu sebabnya Bodhisatta ingat akan masa lampaunya dan aspirasi agung yang telah menjadi tekadnya.
Apakah bro Kainyn seperti itu?
QuoteQuoteMarilah kita menghilangkan prasangka pribadi dan mendahulukan diskusi Dhamma.
Apa yang telah diketahui bukanlah prasangka. 
Hal yang belum diketahui kebenarannya adalah prasangka, kecuali telah terbukti benar.
QuoteQuoteMungkin saya belum menyelami pengertian bro Kainyn terhadap agama Buddha. Apa sih agama Buddha itu menurut pengertian bro Kainyn?
"Agama" Buddha adalah kumpulan doktrin dari masa lampau yang dikemas dalam kitab-kitab, ditafsirkan pihak tertentu, dan dianggap sebagai kebenaran. 
Agama Buddha adalah label (penamaan) bisa juga disebut Buddha sasana atau Buddha Dhamma atau ajaran Buddha dll.
Quote"Ajaran" Buddha adalah panduan bagi masing-masing pribadi untuk menyadari "dunia" apa adanya. 
Apakah yang dimaksud bro Kainyn menyadari dunia apa adanya? Apakah bila saya melihat minuman fanta berwarna merah saya sudah menyadari dunia apa adanya? atau apakah jika saya melihat bulan dan matahari saya sudah menyadari dunia apa adanya?
QuoteQuoteApakah benar orang yang bertekad untuk menjadi guru lulus lebih terlambat dibandingkan yang tidak?
Untuk sekadar lulus, maka orang hanya perlu melatih apa yang kurang dari dirinya untuk lulus. 
Untuk menjadi guru, maka orang perlu melatih seluruh aspek yang diperlukan untuk lulus, dan harus melatih cara mengajar yang baik. Mengajar yang baik adalah dengan mengerti orang lain, dan tidak ada rumus baku untuk mengerti orang lain, baik kekurangan maupun kelebihannya. Semua didapat dari pengalaman dan pembelajaran yang sangat panjang. 
Setujukah bro Kainyn bila saya katakan bahwa pada kenyataannya tidak semua guru lulus lebih lambat dibanding muridnya? kenyataannya bila kembali membaca Tipitaka banyak guru yang lulus lebih lambat, banyak guru yang lulus lebih cepat, banyak guru yang lulus lebih lambat tetapi dapat mengajar dengan baik, banyak guru yang lulus lebih cepat juga dapat mengajar dengan baik. banyak yang lulus menjadi guru yang baik, banyak juga yang lulus bila dipaksakan akan menjadi guru yang kurang baik.
Jadi lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan murid, bukan tergantung aspirasinya ingin menjadi guru.
QuoteQuoteSaya rasa seorang guru memiliki ilmu yang dimiliki muridnya.
Ada ilmu yang bisa "ditransfer" dari guru ke murid, namun lebih banyak ilmu yang tidak bisa. Ilmu tersebut hanya bisa didapatkan sendiri melalui latihan dan pengalaman. Jadi memang bukan guru tersebut payah, namun memang pembelajarannya berbeda. 
Menurut bro kainyn manakah yang lebih masuk akal, menjadi ahli geografi dengan pergi menyelidiki keadaan yang ada di seluruh dunia atau belajar kepada yang sudah ahli, baru kemudian mengembangkan dari sana? Apakah seseorang akan menjadi guru/ahli geografi bila ia tidak tahu geografi, lalu meng"explore" dengan berkelana ke seluruh dunia untuk menjadi guru geografi tanpa belajar kepada orang lain?
QuoteQuoteBila seorang murid ingin belajar geografi pada guru yang ahli hukum apakah murid tersebut akan menjadi ahli geografi? 
Jika ia mencari ilmu geografi pada ahli hukum, maka ia hanya akan menemukan hal-hal yang relevan antara hukum & geografi, jika ada. Namun saya tidak mengatakan dia pasti akan atau tidak akan menjadi seorang ahli geografi, sebab pembelajaran tergantung terutama pada diri sendiri, baru guru sebagai faktor ke dua.
To the point : apakah belajar geografi yang benar kepada ahli hukum atau ahli geografi?
QuoteQuoteApakah itu salah satu penyebab dikatakan Buddha? karena tidak memusingkan "agama mana yang bener"?
apakah si Polan yang sudah melihat kebenaran bahwa yang disebut apricot adalah sejenis buah, ia juga layak disebut Buddha?
Jadi ada agama yang bahas status apricot adalah buah atau bukan? Baik, kita andaikan agama tersebut adalah Fabianisme. 
Mari saya kutip kembali pernyataan bro Kainyn:
Quote
QuoteQuoteQuotePengetahuan saya mengenai Paccekabuddha hanya berasal dari Tipitaka, diluar dari itu saya anggap spekulasi.
Ada rujukan di Tipitaka bahwa para Pacceka Buddha beragama Buddha?
Tidak ada... tahukah mengapa dikatakan Buddha?
Salah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran.
Bukankah mengetahui dengan benar apricot adalah buah adalah mengetahui kebenaran? Apakah dengan demikian si Polan sudah memiliki salah satu penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
QuoteKetika seseorang mengetahui kebenaran bahwa buah atau bukan adalah berdasarkan kesepakatan bersama, yaitu berasal dari bagian ovarium tanaman, maka ia tidak mempermasalahkan kebenaran Apricot Vs Buah, yang dengan demikian, ia juga tidak memusingkan apakah Agama Fabianisme itu bener atau tidak. 
Mungkin maksud bro Kainyn ovum. Lalu apakah  berdasarkan sebab telah melihat kebenaran itu, apakah ia telah memiliki salah satu faktor penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
Quote
Saya tidak bilang dengan begini saja orang jadi Buddha, maka saya bilang "salah satunya." Ketika terlintas "Buddha" di pikiran, maka saya membayangkan orang tersebut adalah tipe yang tidak memusingkan "Fabianisme bener ato ga", namun yang lebih mengajarkan melihat kebenaran "apricot" dan "buah" itu sendiri. 
Jadi seseorang yang sudah mengetahui semua tanaman berasal dari ovum memiliki salah satu penyebab seseorang dikatakan sebagai Buddha? 
sekedar sharing:
Seseorang yang telah melihat dan mengetahui kebenaran mengenai sesuatu dengan sepenuhnya, jelas memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap apa yang telah ia ketahui sepenuhnya. Dan selalu akan berada pada kebenaran yang ia ketahui sepenuhnya, bukan tidak memusingkan kebenaran.
Quote
QuoteApakah diskusi kita tidak melibatkan Abhidhamma?
Saya tidak mengerti Abhidhamma, maka tentu saja yang saya katakan tidak berdasarkan dengan Abhidhamma. Jadi apakah melibatkan atau tidak, saya juga tidak tahu. 
Bukankah bro kainyn sendiri yang mengatakan hal itu dibahas di Abhidhamma? coba saya post kembali:
QuoteQuoteQuoteQuoteSaya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut.
Apakah mereka yang belajar Abhidhamma juga termasuk?
Jika konteksnya sebatas Abhidhamma, saya rasa tidak masalah karena memang ada dibahas. Tetapi di luar itu, saya tidak akan menanggapi.
Apakah diskusi kita tidak melibatkan Abhidhamma?
QuoteQuoteSaya kira bukti kamma bukan tak bisa dijelaskan, namun kita memiliki keterbatasan pengetahuan. Ya saya juga percaya karena hukum kamma mampu mejawab banyak teka-teki kehidupan yang tak bisa dijawab dengan konsep lain.
Konsepnya memang unggul, namun tetap tidak bisa dijelaskan. Dan jika memang saya tidak mampu menjelaskan, saya tidak akan berlindung di balik "keterbatasan manusia". Mengapa demikian? Karena akhirnya sama saja seperti yang mengatakan "rencana Tuhan yang selalu indah bisa dijelaskan, namun karena keterbatasan manusia maka tidak bisa mengerti."
Saya lebih memilih untuk mengaku bahwa semua masih konsep, dan kita memilih karena kecocokan. 
Bukankah hukum kamma bekerja berdasarkan sebab-akibat? apakah itu bukan penjelasan? Saya mengatakan kita bisa menjelaskan hukum kamma hanya beberapa hal saja, tak seluruhnya, karena keterbatasan pengetahuan kita.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 13 January 2010, 03:55:19 PM
Setahu saya mungkin saja bagi mereka yang pengetahuan dan pengalamannya sudah sangat jauh seperti Bodhisatta misalnya untuk berlatih meditasi insight dan paling-paling hanya mencapai Sankharupekkha Nana. Tetapi tak akan mencapai kesucian kecuali telah matang paraminya dan salah satu sebabnya Bodhisatta ingat akan masa lampaunya dan aspirasi agung yang telah menjadi tekadnya.
Apakah bro Kainyn seperti itu?
Mengenai Ñana, saya tidak mengerti. Dan apakah saya "bodhisatta", saya rasa bukan. Hanya sekadar menanyakan pendapat saja. 
QuoteHal yang belum diketahui kebenarannya adalah prasangka, kecuali telah terbukti benar.
:) 
QuoteApakah yang dimaksud bro Kainyn menyadari dunia apa adanya? Apakah bila saya melihat minuman fanta berwarna merah saya sudah menyadari dunia apa adanya? atau apakah jika saya melihat bulan dan matahari saya sudah menyadari dunia apa adanya?
Fanta berwarna merah atau adanya bulan dan matahari hanyalah objek fenomena. Apakah seseorang menyadari dunia apa adanya atau tidak, tergantung bagaimana ia menyikapi objek tersebut. 
QuoteSetujukah bro Kainyn bila saya katakan bahwa pada kenyataannya tidak semua guru lulus lebih lambat dibanding muridnya? kenyataannya bila kembali membaca Tipitaka banyak guru yang lulus lebih lambat, banyak guru yang lulus lebih cepat, banyak guru yang lulus lebih lambat tetapi dapat mengajar dengan baik, banyak guru yang lulus lebih cepat juga dapat mengajar dengan baik. banyak yang lulus menjadi guru yang baik, banyak juga yang lulus bila dipaksakan akan menjadi guru yang kurang baik.
Jadi lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan murid, bukan tergantung aspirasinya ingin menjadi guru.
Kita asumsikan dua-duanya berangkat dari 0 dan memiliki kecerdasan sama? Saya tidak setuju. 
Aspirasi di sini bagi saya bukan menghambat atau apa, tetapi seseorang beraspirasi menjadi guru, berarti telah mengambil jalan yang berbeda dengan yang beraspirasi menjadi murid. Berangkat dari yang sama-sama tidak tahu apa-apa, perjalanan menjadi guru jauh lebih lebih panjang daripada perjalanan untuk lulus menjadi murid. 
QuoteMenurut bro kainyn manakah yang lebih masuk akal, menjadi ahli geografi dengan pergi menyelidiki keadaan yang ada di seluruh dunia atau belajar kepada yang sudah ahli, baru kemudian mengembangkan dari sana? Apakah seseorang akan menjadi guru/ahli geografi bila ia tidak tahu geografi, lalu meng"explore" dengan berkelana ke seluruh dunia untuk menjadi guru geografi tanpa belajar kepada orang lain?
Menurut saya, dua-duanya tetap masuk akal, namun cara ke dua memakan waktu yang jauh lebih lama. 
QuoteTo the point : apakah belajar geografi yang benar kepada ahli hukum atau ahli geografi?
Tentu saja belajar geografi lebih tepat dari ahli geografi. 
Quote
Mari saya kutip kembali pernyataan bro Kainyn:
QuoteSalah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran.
Bukankah mengetahui dengan benar apricot adalah buah adalah mengetahui kebenaran? Apakah dengan demikian si Polan sudah memiliki salah satu penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
Kalimat saya menyinggung "agama yang bener" serta "melihat kebenaran". Apakah tidak terlintas dalam pikiran Bro Fabian kalau kebenaran yang dimaksud adalah yang memiliki relevansi dalam "agama"? Tadinya sudah saya sindir bahwa hanya Agama Fabianisme membahas Apricot, ternyata tidak menangkap maksud saya juga. 
QuoteMungkin maksud bro Kainyn ovum. Lalu apakah  berdasarkan sebab telah melihat kebenaran itu, apakah ia telah memiliki salah satu faktor penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
Jadi seseorang yang sudah mengetahui semua tanaman berasal dari ovum memiliki salah satu penyebab seseorang dikatakan sebagai Buddha? 
Seperti saya singgung di atas, kalau dalam Fabianisme, saya katakan "cocok" disebut "Buddha". Kalau dari agama-agama yang biasa "beredar" sih, tidak tahu juga. 
Quotesekedar sharing:
Seseorang yang telah melihat dan mengetahui kebenaran mengenai sesuatu dengan sepenuhnya, jelas memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap apa yang telah ia ketahui sepenuhnya. Dan selalu akan berada pada kebenaran yang ia ketahui sepenuhnya, bukan tidak memusingkan kebenaran.
Betul, ia mengetahui, bukan "tidak memusingkan" kebenaran. Karena ia telah mengetahui kebenaran, maka ia tidak memusingkan "agama" mana yang benar. Kebenaran adalah kebenaran, agama adalah agama. Bisa jadi agama mengajarkan kebenaran, namun kebenaran sendiri bukanlah agama. 
QuoteBukankah bro kainyn sendiri yang mengatakan hal itu dibahas di Abhidhamma? coba saya post kembali:
QuoteQuoteQuoteQuoteSaya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut.
Apakah mereka yang belajar Abhidhamma juga termasuk?
Jika konteksnya sebatas Abhidhamma, saya rasa tidak masalah karena memang ada dibahas. Tetapi di luar itu, saya tidak akan menanggapi.
Apakah diskusi kita tidak melibatkan Abhidhamma?
Ya, memang itu dibahas dalam Abhidhamma, tetapi yang kita bahas ini saya kira bukanlah Abhidhamma, dan saya juga tidak memasukkan unsur Abhidhamma ke dalam pembahasan ini, karena saya sendiri tidak paham. Dan jika Bro Fabian hendak membahas Abhidhamma, saya tidak ikutan. 
QuoteBukankah hukum kamma bekerja berdasarkan sebab-akibat? apakah itu bukan penjelasan? Saya mengatakan kita bisa menjelaskan hukum kamma hanya beberapa hal saja, tak seluruhnya, karena keterbatasan pengetahuan kita.
Tuhan juga menganugerahkan dan menghukum berdasarkan perbuatan (sesuai yang ditanam, itu pun yang akan dituai). Apakah itu bukan penjelasan? Tetapi kita bisa menjelaskan beberapa hal saja, tidak seluruhnya karena keterbatasan manusia memahami Tuhan. 
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 13 January 2010, 03:55:19 PM
Setahu saya mungkin saja bagi mereka yang pengetahuan dan pengalamannya sudah sangat jauh seperti Bodhisatta misalnya untuk berlatih meditasi insight dan paling-paling hanya mencapai Sankharupekkha Nana. Tetapi tak akan mencapai kesucian kecuali telah matang paraminya dan salah satu sebabnya Bodhisatta ingat akan masa lampaunya dan aspirasi agung yang telah menjadi tekadnya.
Apakah bro Kainyn seperti itu?
Mengenai Ñana, saya tidak mengerti. Dan apakah saya "bodhisatta", saya rasa bukan. Hanya sekadar menanyakan pendapat saja. 
QuoteHal yang belum diketahui kebenarannya adalah prasangka, kecuali telah terbukti benar.
:) 
QuoteApakah bila saya melihat minuman fanta berwarna merah saya sudah menyadari dunia apa adanya? atau apakah jika saya melihat bulan dan matahari saya sudah menyadari dunia apa adanya?
Fanta berwarna merah atau adanya bulan dan matahari hanyalah objek fenomena. Apakah seseorang menyadari dunia apa adanya atau tidak, tergantung bagaimana ia menyikapi objek tersebut. 
Saya kembalikan lagi pada pertanyaan pertama, Apakah yang dimaksud bro Kainyn menyadari dunia apa adanya?
Quote
QuoteSetujukah bro Kainyn bila saya katakan bahwa pada kenyataannya tidak semua guru lulus lebih lambat dibanding muridnya? kenyataannya bila kembali membaca Tipitaka banyak guru yang lulus lebih lambat, banyak guru yang lulus lebih cepat, banyak guru yang lulus lebih lambat tetapi dapat mengajar dengan baik, banyak guru yang lulus lebih cepat juga dapat mengajar dengan baik. banyak yang lulus menjadi guru yang baik, banyak juga yang lulus bila dipaksakan akan menjadi guru yang kurang baik.
Jadi lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan murid, bukan tergantung aspirasinya ingin menjadi guru.
Kita asumsikan dua-duanya berangkat dari 0 dan memiliki kecerdasan sama? Saya tidak setuju. 
Aspirasi di sini bagi saya bukan menghambat atau apa, tetapi seseorang beraspirasi menjadi guru, berarti telah mengambil jalan yang berbeda dengan yang beraspirasi menjadi murid. Berangkat dari yang sama-sama tidak tahu apa-apa, perjalanan menjadi guru jauh lebih lebih panjang daripada perjalanan untuk lulus menjadi murid. 
Apakah dari awal bro Kainyn mengatakan berangkat dari 0 dan memiliki kecerdasan yang sama?
Jadi setuju bro Kainyn bila saya katakan lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan, bukan tergantung aspirasi?
QuoteQuoteMenurut bro kainyn manakah yang lebih masuk akal, menjadi ahli geografi dengan pergi menyelidiki keadaan yang ada di seluruh dunia atau belajar kepada yang sudah ahli, baru kemudian mengembangkan dari sana? Apakah seseorang akan menjadi guru/ahli geografi bila ia tidak tahu geografi, lalu meng"explore" dengan berkelana ke seluruh dunia untuk menjadi guru geografi tanpa belajar kepada orang lain?
Menurut saya, dua-duanya tetap masuk akal, namun cara ke dua memakan waktu yang jauh lebih lama. 
Apakah masuk diakal seseorang harus memulai berkeliling setiap negara, mendata penduduk, mata pencaharian, pengahasilan setiap negara, menggambar peta setiap negara atau bahkan bikin satelit sendiri untuk memudahkan ia memperdalam ilmu geografi agar menjadi guru?
QuoteQuoteTo the point : apakah belajar geografi yang benar kepada ahli hukum atau ahli geografi?
Tentu saja belajar geografi lebih tepat dari ahli geografi. 
Ya memang demikianlah kita harus mengetahui kekurangan diri sendiri dan perlu belajar kepada orang yang lebih ahli.
QuoteQuote
Mari saya kutip kembali pernyataan bro Kainyn:
QuoteSalah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran.
Bukankah mengetahui dengan benar apricot adalah buah adalah mengetahui kebenaran? Apakah dengan demikian si Polan sudah memiliki salah satu penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
Kalimat saya menyinggung "agama yang bener" serta "melihat kebenaran". Apakah tidak terlintas dalam pikiran Bro Fabian kalau kebenaran yang dimaksud adalah yang memiliki relevansi dalam "agama"? Tadinya sudah saya sindir bahwa hanya Agama Fabianisme membahas Apricot, ternyata tidak menangkap maksud saya juga. 
Relevansi dengan agama? baiklah... apakah seseorang yang telah melihat kebenaran bahwa Buddharupang yang terbuat dari keramik jika jatuh akan pecah, atau seseorang yang telah mengetahui kebenaran dalam agama tetangga bahwa bila  seseorang akan sholat tetapi tak menemukan air untuk membersihkan diri maka ia bisa sholat dengan menggunakan pasir.
Apakah orang yang telah melihat kebenaran yang relevan dalam agama ini sudah memiliki salah satu penyebab untuk dikatakan sebagai Buddha?
QuoteQuoteQuoteMungkin maksud bro Kainyn ovum. Lalu apakah  berdasarkan sebab telah melihat kebenaran itu, apakah ia telah memiliki salah satu faktor penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
Jadi seseorang yang sudah mengetahui semua tanaman berasal dari ovum memiliki salah satu penyebab seseorang dikatakan sebagai Buddha? 
Seperti saya singgung di atas, kalau dalam Fabianisme, saya katakan "cocok" disebut "Buddha". Kalau dari agama-agama yang biasa "beredar" sih, tidak tahu juga. 
Bagaimana? Apakah menurut bro Kainyn "melihat kebenaran" yang relevan dalam agama yang sudah saya tulis diatas sudah memiliki salah satu faktor penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
QuoteQuotesekedar sharing:
Seseorang yang telah melihat dan mengetahui kebenaran mengenai sesuatu dengan sepenuhnya, jelas memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap apa yang telah ia ketahui sepenuhnya. Dan selalu akan berada pada kebenaran yang ia ketahui sepenuhnya, bukan tidak memusingkan kebenaran.
Betul, ia mengetahui, bukan "tidak memusingkan" kebenaran. Karena ia telah mengetahui kebenaran, maka ia tidak memusingkan "agama" mana yang benar. Kebenaran adalah kebenaran, agama adalah agama. Bisa jadi agama mengajarkan kebenaran, namun kebenaran sendiri bukanlah agama. 
Mana yang benar diantara dua pernyataan bro Kainyn yang saya warnai merah diatas?
QuoteQuoteBukankah bro kainyn sendiri yang mengatakan hal itu dibahas di Abhidhamma? coba saya post kembali:
QuoteQuoteQuoteQuoteSaya tidak menunjuk orang per orang, namun kepada siapa saja yang sudah memasukkan "kebijaksanaan lokuttara" atau "Paramatha Sacca" ke dalam diskusi. Saya tidak mampu melanjutkan diskusi jika sudah membahas hal tersebut.
Apakah mereka yang belajar Abhidhamma juga termasuk?
Jika konteksnya sebatas Abhidhamma, saya rasa tidak masalah karena memang ada dibahas. Tetapi di luar itu, saya tidak akan menanggapi.
Apakah diskusi kita tidak melibatkan Abhidhamma?
Ya, memang itu dibahas dalam Abhidhamma, tetapi yang kita bahas ini saya kira bukanlah Abhidhamma, dan saya juga tidak memasukkan unsur Abhidhamma ke dalam pembahasan ini, karena saya sendiri tidak paham. Dan jika Bro Fabian hendak membahas Abhidhamma, saya tidak ikutan. 
Baiklah jika bro Kainyn tak mau membahas kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca, 
Tetapi perlu juga diketahui bahwa kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca merupakan buah perjuangan umat Buddha yang tentu saja tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai umat Buddha.
QuoteQuoteBukankah hukum kamma bekerja berdasarkan sebab-akibat? apakah itu bukan penjelasan? Saya mengatakan 
Tuhan juga menganugerahkan dan menghukum berdasarkan perbuatan (sesuai yang ditanam, itu pun yang akan dituai). Apakah itu bukan penjelasan? Tetapi kita bisa menjelaskan beberapa hal saja, tidak seluruhnya karena keterbatasan manusia memahami Tuhan. 
Saya tak mau membahas mengenai Tuhan, bila ingin membahas mengenai Tuhan bro Kainyn bisa membuka thread baru dan saya yakin akan banyak teman-teman yang dengan sukarela menanggapi.
kembali pada pernyataan saya, setujukah bro Kainyn bila saya katakan bahwa, kita bisa menjelaskan hukum kamma hanya beberapa hal saja, tak seluruhnya, karena keterbatasan pengetahuan kita?
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 14 January 2010, 06:49:40 PM
Saya kembalikan lagi pada pertanyaan pertama, Apakah yang dimaksud bro Kainyn menyadari dunia apa adanya?
Setiap orang memiliki "dunia" sendiri, yaitu semua objek yang bersentuhan dengan indera. Dalam menyikapi "dunia" tersebut, selalu saja ada "ilusi" yang diberikan pikiran terhadap persepsi indera, oleh karena itu ia "terhalang" untuk menyadari "dunia" tersebut apa adanya. 
QuoteApakah dari awal bro Kainyn mengatakan berangkat dari 0 dan memiliki kecerdasan yang sama?
Kalau berangkat dari modal yang berbeda, rasanya kita tidak perlu jauh-jauh. Lihat saja Pangeran Siddhatta "hanya" perlu 6 tahun menjadi Samma Sambuddha, sedangkan ada murid yang berlatih seumur hidup namun belum mencapai magga-phala. 
QuoteJadi setuju bro Kainyn bila saya katakan lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan, bukan tergantung aspirasi?
Memang bukan aspirasinya, makanya saya bilang pernyataan berikut absurd: 
Quoteseorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat
Aspirasi untuk menjadi Samma Sambuddha TIDAK menghalangi pencapaian orang, tetapi membuatnya mengambil jalan yang jauh lebih panjang dibanding aspirasi untuk menjadi Savaka Buddha, walaupun ditempuh dengan "kecerdasan" yang sama. 
QuoteApakah masuk diakal seseorang harus memulai berkeliling setiap negara, mendata penduduk, mata pencaharian, pengahasilan setiap negara, menggambar peta setiap negara atau bahkan bikin satelit sendiri untuk memudahkan ia memperdalam ilmu geografi agar menjadi guru?
Jika memang tidak ada data, belum ada peta, belum ada satelit, tidak ada yang mau bantu atau hal-hal lainnya, yah masuk akal saja ia membuat semuanya. Namun tentu saja sesuai dengan keterbatasannya, misalnya umur. Jika memang sudah ada data akurat, sudah ada fasilitas yang baik, ada orang-orang yang mau bantu, apa pentingnya dia melakukannya sendirian? 
QuoteYa memang demikianlah kita harus mengetahui kekurangan diri sendiri dan perlu belajar kepada orang yang lebih ahli.
Tentu saja kita selalu belajar pada orang lain. Yang saya masalahkan adalah apakah dengan mempelajari dan menguasai semua komposisi musik yang dibuat oleh seorang maestro, kita bisa menjadi maestro itu sendiri? 
QuoteQuoteQuote
Mari saya kutip kembali pernyataan bro Kainyn:
QuoteSalah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran.
Bukankah mengetahui dengan benar apricot adalah buah adalah mengetahui kebenaran? Apakah dengan demikian si Polan sudah memiliki salah satu penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
Kalimat saya menyinggung "agama yang bener" serta "melihat kebenaran". Apakah tidak terlintas dalam pikiran Bro Fabian kalau kebenaran yang dimaksud adalah yang memiliki relevansi dalam "agama"? Tadinya sudah saya sindir bahwa hanya Agama Fabianisme membahas Apricot, ternyata tidak menangkap maksud saya juga. 
Jika seseorang mengatakan, "ia dikatakan dokter karena mengetahui kebenaran, maka tidak lagi memusingkan universitas/rumah sakit mana yang bener," saya kebanyakan orang juga tahu maksudnya adalah kebenaran yang memiliki relevansi dengan ilmu medis. Pertanyaan Bro Fabian itu seperti kemudian menanyakan, "apakah kalau si Pono mengetahui kebenaran perkedel dibikin dari kentang, sudah bisa dikatakan dokter?" 
Tidak salah memang, karena saya tidak menjelaskan dengan detail. Hanya saja, entah bagaimana, jadi lucu juga. 
QuoteRelevansi dengan agama? baiklah... apakah seseorang yang telah melihat kebenaran bahwa Buddharupang yang terbuat dari keramik jika jatuh akan pecah, atau seseorang yang telah mengetahui kebenaran dalam agama tetangga bahwa bila  seseorang akan sholat tetapi tak menemukan air untuk membersihkan diri maka ia bisa sholat dengan menggunakan pasir.
Apakah orang yang telah melihat kebenaran yang relevan dalam agama ini sudah memiliki salah satu penyebab untuk dikatakan sebagai Buddha?
Nah, pertanyaan pertama ini lagi-lagi seperti bertanya, "apakah kalau si Pono mengetahui kebenaran perkedel yang dibuat di rumah sakit tertentu berasal dari kentang, maka ia bisa dikatakan dokter?" 
Pertanyaan ke dua seperti bertanya, "apakah kalau si Pono mengetahui di rumah sakit ada peraturan jika tidak pakai masker boleh pake sapu tangan, berarti ia bisa disebut seorang dokter?" 
Kalau kita mau bahas kebenaran yang menjadi perbedaan antara banyak "Universitas/Rumah Sakit", maka bahaslah apa yang menjadi permasalahan inti dalam perbedaan antara universitas/Rumah Sakit. Jangan bahas "perkedel dan kentang" yang dihubung-hubungkan ke Universitas/Rumah Sakit. Misalnya "kebenaran" menurut satu Agama tentang patung adalah berhala dan "kebenaran" agama lain bahwa patung adalah sakral, dll. 
Seorang Buddha mengetahui kebenaran tentang "patung", "berhala", "sakral" apa adanya, maka ia tidak lagi memusingkan agama mana yang benar. Agama, bisa merujuk pada kebenaran, seperti kata orang "jari menunjuk bulan", namun tidak pernah ada kebenaran merujuk pada agama alias "bulan menunjuk jari". Orang yang telah melihat bulan, tidak lagi memusingkan kebenaran telunjuk tersebut. 
Berkali-kali saya bilang kita tidak nyambung maka diskusi tidak bisa lanjut. Saya tidak merendahkan Bro Fabian sama sekali, hanya mengatakan kita punya pola pikir, kecenderungan, dan persepsi yang berbeda. Maka ada baiknya kita "berjalan" masing-masing. 
QuoteQuote
Betul, ia mengetahui, bukan "tidak memusingkan" kebenaran. Karena ia telah mengetahui kebenaran, maka ia tidak memusingkan "agama" mana yang benar. Kebenaran adalah kebenaran, agama adalah agama. Bisa jadi agama mengajarkan kebenaran, namun kebenaran sendiri bukanlah agama. 
Mana yang benar diantara dua pernyataan bro Kainyn yang saya warnai merah diatas?
Bro Fabian tahu api itu panas? Apakah kemudian masih memusingkan "apakah api panas/tidak"? Apakah ketika ada orang mengatakan "api itu dingin" anda masih memusingkan kebenaran statementnya?
QuoteBaiklah jika bro Kainyn tak mau membahas kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca, 
Tetapi perlu juga diketahui bahwa kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca merupakan buah perjuangan umat Buddha yang tentu saja tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai umat Buddha.
Betul, itulah buah perjuangan Umat Buddha. 
Tetapi ketika kita tersesat di gurun, saya mau membahas arah angin, banyak air tersisa, dan hal-hal lain yang membantu kita menemukan tujuan. Namun saya tidak berminat membahas bagaimana rasa jus buah segar pake es yang bisa dinikmati setelah menemukan jalan pulang kemudian. 
QuoteSaya tak mau membahas mengenai Tuhan, bila ingin membahas mengenai Tuhan bro Kainyn bisa membuka thread baru dan saya yakin akan banyak teman-teman yang dengan sukarela menanggapi.
Saya pun tidak tertarik. Saya hanya memberikan contoh kesamaan 2 konsep yang sudah dianggap sebagai kebenaran saja. 
Quotekembali pada pernyataan saya, setujukah bro Kainyn bila saya katakan bahwa, kita bisa menjelaskan hukum kamma hanya beberapa hal saja, tak seluruhnya, karena keterbatasan pengetahuan kita?
Berikan saya contoh nyata dari mekanisme hukum kamma yang bisa berlaku bagi semua orang. Yang sederhana saja, yang merupakan bagian yang menurut Bro Fabian "bisa dijelaskan". Kalau bisa, saya akan revisi perkataan saya bahwa hukum kamma masih konsep. 
			
 
			
			
				Quote from: Kainyn_Kutho on 13 January 2010, 09:20:01 AM
Quote from: Virya on 12 January 2010, 11:51:56 PM
Kisah Suppabuddha mirip dengan kisah Bahiya ....
yaitu di seruduk oleh sapi/kerbau?
kenapa sapi/kerbau zaman dulu galak2 yaaah  ;D ......
Sepertinya pernah dibahas. Itu adalah sapi yang sama yang menyeruduk Bahiya (petapa berpakaian kayu yang mencapai Arahatta), Suppabuddha (orang lepra yang mencapai Sotapatti), Pukkusati (raja yang menjadi bhikkhu dan mencapai Anagami), dan Tambadathika (mantan algojo yang mencapai Sotapatti). 
Di kehidupan lampau, sapi itu adalah seorang pelacur yang dibunuh mereka berempat dan bersumpah akan membalas dendam di kehidupan-kehidupan berikutnya. 
Tidak terbayangkan, ......  kamma yg akan menimpa sapi 
dendam yg membara ..... sungguh mengerikan 
Anumodana atas penjelasannya  _/\_
			
 
			
			
				Quote from: Virya on 16 January 2010, 12:03:32 AM
Tidak terbayangkan, ......  kamma yg akan menimpa sapi 
dendam yg membara ..... sungguh mengerikan 
Anumodana atas penjelasannya  _/\_
Ya, mengembangkan kebencian & dendam memang bisa membuat diri sendiri terperosok.
Sama-sama, Bro Virya. 
_/\_
			
 
			
			
				Quote from: Virya on 16 January 2010, 12:03:32 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 13 January 2010, 09:20:01 AM
Quote from: Virya on 12 January 2010, 11:51:56 PM
Kisah Suppabuddha mirip dengan kisah Bahiya ....
yaitu di seruduk oleh sapi/kerbau?
kenapa sapi/kerbau zaman dulu galak2 yaaah  ;D ......
Sepertinya pernah dibahas. Itu adalah sapi yang sama yang menyeruduk Bahiya (petapa berpakaian kayu yang mencapai Arahatta), Suppabuddha (orang lepra yang mencapai Sotapatti), Pukkusati (raja yang menjadi bhikkhu dan mencapai Anagami), dan Tambadathika (mantan algojo yang mencapai Sotapatti). 
Di kehidupan lampau, sapi itu adalah seorang pelacur yang dibunuh mereka berempat dan bersumpah akan membalas dendam di kehidupan-kehidupan berikutnya. 
Tidak terbayangkan, ......  kamma yg akan menimpa sapi 
dendam yg membara ..... sungguh mengerikan 
Anumodana atas penjelasannya  _/\_
Membunuh seorang arahat udah akusala-garuka kamma, kebetulan Bahiya udah arahat pulak. :-SS
Bonus victimnya: 2 sotapatti, 1 anagami.
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 14 January 2010, 06:49:40 PM
Saya kembalikan lagi pada pertanyaan pertama, Apakah yang dimaksud bro Kainyn menyadari dunia apa adanya?
Setiap orang memiliki "dunia" sendiri, yaitu semua objek yang bersentuhan dengan indera. Dalam menyikapi "dunia" tersebut, selalu saja ada "ilusi" yang diberikan pikiran terhadap persepsi indera, oleh karena itu ia "terhalang" untuk menyadari "dunia" tersebut apa adanya. 
Bro Kainyn yang baik, saya masih belum jelas, jadi yang dimaksud dengan menyadari dunia apa adanya menurut bro Kainyn bagaimana?
Quote
QuoteApakah dari awal bro Kainyn mengatakan berangkat dari 0 dan memiliki kecerdasan yang sama?
Kalau berangkat dari modal yang berbeda, rasanya kita tidak perlu jauh-jauh. Lihat saja Pangeran Siddhatta "hanya" perlu 6 tahun menjadi Samma Sambuddha, sedangkan ada murid yang berlatih seumur hidup namun belum mencapai magga-phala. 
Kalau membaca dari Buddhavamsa, ada Sammasambuddha yang hanya perlu sebulan atau seminggu berjuang untuk mencapai penerangan sempurna, sementara Sang Buddha Gotama perlu enam tahun, apakah disebabkan kecerdasan? Saya kira tidak demikian, kita tak bisa mengatakan seseorang lulus lebih lambat karena disebabkan aspirasinya untuk menjadi guru seperti yang dikemukakan bro Kainyn, banyak faktor yang dapat menyebabkan seorang murid lulus lebih cepat atau lebih lambat terlepas dari aspirasinya.
QuoteQuoteJadi setuju bro Kainyn bila saya katakan lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan, bukan tergantung aspirasi?
Memang bukan aspirasinya, makanya saya bilang pernyataan berikut absurd: Quoteseorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat
Aspirasi untuk menjadi Samma Sambuddha TIDAK menghalangi pencapaian orang, tetapi membuatnya mengambil jalan yang jauh lebih panjang dibanding aspirasi untuk menjadi Savaka Buddha, walaupun ditempuh dengan "kecerdasan" yang sama. 
Tolong di quote yang lengkap bro karena artinya jadi melenceng bila quotenya tak lengkap.
"seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha, sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, setelah paraminya masak baru bisa mencapai Nibbana".
QuoteQuoteApakah masuk diakal seseorang harus memulai berkeliling setiap negara, mendata penduduk, mata pencaharian, pengahasilan setiap negara, menggambar peta setiap negara atau bahkan bikin satelit sendiri untuk memudahkan ia memperdalam ilmu geografi agar menjadi guru?
Jika memang tidak ada data, belum ada peta, belum ada satelit, tidak ada yang mau bantu atau hal-hal lainnya, yah masuk akal saja ia membuat semuanya. Namun tentu saja sesuai dengan keterbatasannya, misalnya umur. Jika memang sudah ada data akurat, sudah ada fasilitas yang baik, ada orang-orang yang mau bantu, apa pentingnya dia melakukannya sendirian? 
Inilah gunanya berguru kepada orang lain bro.
QuoteQuoteYa memang demikianlah kita harus mengetahui kekurangan diri sendiri dan perlu belajar kepada orang yang lebih ahli.
Tentu saja kita selalu belajar pada orang lain. Yang saya masalahkan adalah apakah dengan mempelajari dan menguasai semua komposisi musik yang dibuat oleh seorang maestro, kita bisa menjadi maestro itu sendiri? 
Bahkan bisa lebih pintar, kan itu semua tergantung berbagai faktor bro: umur, kecerdasan, keuletan, bakat dlsbnya.
QuoteQuoteQuoteQuote
Mari saya kutip kembali pernyataan bro Kainyn:
QuoteSalah satunya karena mereka sudah tidak memusingkan "agama mana yang bener", sebab mereka sudah melihat kebenaran.
Bukankah mengetahui dengan benar apricot adalah buah adalah mengetahui kebenaran? Apakah dengan demikian si Polan sudah memiliki salah satu penyebab untuk bisa dikatakan sebagai Buddha?
Kalimat saya menyinggung "agama yang bener" serta "melihat kebenaran". Apakah tidak terlintas dalam pikiran Bro Fabian kalau kebenaran yang dimaksud adalah yang memiliki relevansi dalam "agama"? Tadinya sudah saya sindir bahwa hanya Agama Fabianisme membahas Apricot, ternyata tidak menangkap maksud saya juga. 
Jika seseorang mengatakan, "ia dikatakan dokter karena mengetahui kebenaran, maka tidak lagi memusingkan universitas/rumah sakit mana yang bener," saya kebanyakan orang juga tahu maksudnya adalah kebenaran yang memiliki relevansi dengan ilmu medis. Pertanyaan Bro Fabian itu seperti kemudian menanyakan, "apakah kalau si Pono mengetahui kebenaran perkedel dibikin dari kentang, sudah bisa dikatakan dokter?" 
Tidak salah memang, karena saya tidak menjelaskan dengan detail. Hanya saja, entah bagaimana, jadi lucu juga. 
QuoteRelevansi dengan agama? baiklah... apakah seseorang yang telah melihat kebenaran bahwa Buddharupang yang terbuat dari keramik jika jatuh akan pecah, atau seseorang yang telah mengetahui kebenaran dalam agama tetangga bahwa bila  seseorang akan sholat tetapi tak menemukan air untuk membersihkan diri maka ia bisa sholat dengan menggunakan pasir.
Apakah orang yang telah melihat kebenaran yang relevan dalam agama ini sudah memiliki salah satu penyebab untuk dikatakan sebagai Buddha?
Nah, pertanyaan pertama ini lagi-lagi seperti bertanya, "apakah kalau si Pono mengetahui kebenaran perkedel yang dibuat di rumah sakit tertentu berasal dari kentang, maka ia bisa dikatakan dokter?" 
Pertanyaan ke dua seperti bertanya, "apakah kalau si Pono mengetahui di rumah sakit ada peraturan jika tidak pakai masker boleh pake sapu tangan, berarti ia bisa disebut seorang dokter?" 
Kalau kita mau bahas kebenaran yang menjadi perbedaan antara banyak "Universitas/Rumah Sakit", maka bahaslah apa yang menjadi permasalahan inti dalam perbedaan antara universitas/Rumah Sakit. Jangan bahas "perkedel dan kentang" yang dihubung-hubungkan ke Universitas/Rumah Sakit. Misalnya "kebenaran" menurut satu Agama tentang patung adalah berhala dan "kebenaran" agama lain bahwa patung adalah sakral, dll. 
Seorang Buddha mengetahui kebenaran tentang "patung", "berhala", "sakral" apa adanya, maka ia tidak lagi memusingkan agama mana yang benar. Agama, bisa merujuk pada kebenaran, seperti kata orang "jari menunjuk bulan", namun tidak pernah ada kebenaran merujuk pada agama alias "bulan menunjuk jari". Orang yang telah melihat bulan, tidak lagi memusingkan kebenaran telunjuk tersebut. 
Berkali-kali saya bilang kita tidak nyambung maka diskusi tidak bisa lanjut. Saya tidak merendahkan Bro Fabian sama sekali, hanya mengatakan kita punya pola pikir, kecenderungan, dan persepsi yang berbeda. Maka ada baiknya kita "berjalan" masing-masing.
Sebelum kita akhiri poin diskusi ini, saya perlu mengungkapkan kembali Mahaparinibbana sutta, ketika diminta untuk Parinibbana oleh Mara, Sang Buddha mempertimbangkan lebih dahulu apakah Dhamma telah dibabarkan dengan baik, apakah Sangha telah berdiri dengan kokoh, bukankah hal ini bertentangan dengan pendapat bro Kainyn bahwa seorang yang telah tercerahkan tak memusingkan agama mana yang benar? bila memang tak mempersoalkan agama yang benar buat apa susah-susah membabarkan Dhamma?
Quote
QuoteQuote
Betul, ia mengetahui, bukan "tidak memusingkan" kebenaran. Karena ia telah mengetahui kebenaran, maka ia tidak memusingkan "agama" mana yang benar. Kebenaran adalah kebenaran, agama adalah agama. Bisa jadi agama mengajarkan kebenaran, namun kebenaran sendiri bukanlah agama. 
Mana yang benar diantara dua pernyataan bro Kainyn yang saya warnai merah diatas?
Bro Fabian tahu api itu panas? Apakah kemudian masih memusingkan "apakah api panas/tidak"? Apakah ketika ada orang mengatakan "api itu dingin" anda masih memusingkan kebenaran statementnya?
Mungkin saja bila pernyataan "api itu dingin" membahayakan dan menyesatkan orang lain.
QuoteQuoteBaiklah jika bro Kainyn tak mau membahas kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca, 
Tetapi perlu juga diketahui bahwa kebijaksanaan lokuttara dan Paramattha Sacca merupakan buah perjuangan umat Buddha yang tentu saja tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai umat Buddha.
Betul, itulah buah perjuangan Umat Buddha. 
Tetapi ketika kita tersesat di gurun, saya mau membahas arah angin, banyak air tersisa, dan hal-hal lain yang membantu kita menemukan tujuan. Namun saya tidak berminat membahas bagaimana rasa jus buah segar pake es yang bisa dinikmati setelah menemukan jalan pulang kemudian. 
Bagaimana dengan tujuan yang ingin dicapai? apakah tidak perlu dibahas?
QuoteQuoteSaya tak mau membahas mengenai Tuhan, bila ingin membahas mengenai Tuhan bro Kainyn bisa membuka thread baru dan saya yakin akan banyak teman-teman yang dengan sukarela menanggapi.
Saya pun tidak tertarik. Saya hanya memberikan contoh kesamaan 2 konsep yang sudah dianggap sebagai kebenaran saja. 
 :|
Quote
Quotekembali pada pernyataan saya, setujukah bro Kainyn bila saya katakan bahwa, kita bisa menjelaskan hukum kamma hanya beberapa hal saja, tak seluruhnya, karena keterbatasan pengetahuan kita?
Berikan saya contoh nyata dari mekanisme hukum kamma yang bisa berlaku bagi semua orang. Yang sederhana saja, yang merupakan bagian yang menurut Bro Fabian "bisa dijelaskan". Kalau bisa, saya akan revisi perkataan saya bahwa hukum kamma masih konsep. 
contoh sederhana: 
- bila kita belajar keahlian, umpamanya melukis maka bertambah lama kita akan bertambah pintar melukis.
- bila kita berbuat baik, umpamanya melatih cinta kasih, batin kita bertambah lama tambah tenang dan damai.
Dan masih tak terhitung contoh-contoh lain hukum kamma yang sederhana yang bisa kita temukan dalam kehidupan ini.
 _/\_
			
 
			
			
				Quote from: fabian c on 18 January 2010, 06:11:26 PM
Bro Kainyn yang baik, saya masih belum jelas, jadi yang dimaksud dengan menyadari dunia apa adanya menurut bro Kainyn bagaimana?
Ini tidak ada jawaban yang sama untuk semua orang. Kalau mau digeneralisasi, akhirnya jadi kembali ke teori2 dhamma lagi. 
QuoteKalau membaca dari Buddhavamsa, ada Sammasambuddha yang hanya perlu sebulan atau seminggu berjuang untuk mencapai penerangan sempurna, sementara Sang Buddha Gotama perlu enam tahun, apakah disebabkan kecerdasan? Saya kira tidak demikian, kita tak bisa mengatakan seseorang lulus lebih lambat karena disebabkan aspirasinya untuk menjadi guru seperti yang dikemukakan bro Kainyn, banyak faktor yang dapat menyebabkan seorang murid lulus lebih cepat atau lebih lambat terlepas dari aspirasinya.
Kalau dari kisah-kisah dhamma, sejak seseorang beraspirasi menjadi maha-savaka, maka paling cepat ditempuh dalam 100.000 kappa. Jika beraspirasi menjadi Pacceka Buddha, maka paling cepat ditempuh dalam 2 Asankhyeyya + 100.000 kappa. Jika beraspirasi menjadi Samma Sambuddha, maka paling cepat ditempuh dalam 4 Asankhyeyya + 100.000 Kappa. Itulah yang menurut saya beda aspirasi, beda jalan, maka berbeda pula waktu tempuhnya. 
QuoteQuoteQuoteJadi setuju bro Kainyn bila saya katakan lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan, bukan tergantung aspirasi?
Memang bukan aspirasinya, makanya saya bilang pernyataan berikut absurd: Quoteseorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat
Aspirasi untuk menjadi Samma Sambuddha TIDAK menghalangi pencapaian orang, tetapi membuatnya mengambil jalan yang jauh lebih panjang dibanding aspirasi untuk menjadi Savaka Buddha, walaupun ditempuh dengan "kecerdasan" yang sama. 
Tolong di quote yang lengkap bro karena artinya jadi melenceng bila quotenya tak lengkap.
"seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha, sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, setelah paraminya masak baru bisa mencapai Nibbana".
Walaupun dikutip lengkap, tetap saja berarti aspirasinya menghalangi pencapaiannya. Baru setelah paraminya cukup, aspirasinya tidak terhalang lagi. Saya tetap berbeda pendapat yaitu ketika beraspirasi menjadi Samma Sambuddha, ia mengambil jalan berbeda dengan jalan Savaka, maka apa yang cukup untuk lulus sebagai savaka, tidaklah cukup untuk lulus sebagai Samma Sambuddha. Demikianlah ia belum bisa "lulus" sampai latihannya penuh. 
QuoteInilah gunanya berguru kepada orang lain bro.
Bro Fabian, saya tidak pernah mengatakan tidak ada gunanya berguru sama orang lain lho. Yang saya katakan adalah ada hal-hal yang tidak bisa begitu saja diajarkan oleh guru, namun harus diperoleh sendiri lewat pengalaman. 
Ini OOT sedikit, saya tidak tahu Bro Fabian dulu baca Kung Fu Boy yang tempo doeloe atau tidak. Tapi di situ ada contoh di mana ada guru tua yang dulunya mengajar murid buta (yang nantinya jadi guru toya Chinmi si Kung Fu Boy) dan juga mengajar seorang murid yang muda, Sie Fan (yang nantinya menjadi rival si Chinmi). Guru si Chinmi ini sangat mahir mengetahui keadaan sekitar walau matanya buta. Kemudian ketika bertanding dengan Sie Fan, Chinmi juga kewalahan dengan jurus tongkat berpilin. Ia berpikir bahwa semua itu adalah jurus-jurus rahasia yang diajarkan seorang guru kepada muridnya, namun ternyata gurunya bercerita bahwa semua itu tidak diajarkan tetapi ditemukan oleh mereka sendiri. Dulu ketika berguru, ia hanya diberikan tongkat dan tidak diajarkan apa-apa. Ia sendiri yang harus menempuh jalannya dan berlatih untuk menutupi kekurangannya sebagai orang buta. Begitu pula si Sie Fan, jurus tongkat berpilin itu bukan "warisan" dari gurunya, namun ia menemukannya sendiri. Si guru hanya membimbing dan mendukung mentalitas si murid, tapi tidak bisa lebih dari itu. 
Jadi ada hal-hal yang bisa diajarkan, dan ada pula hal-hal yang tidak bisa diajarkan. 
QuoteQuoteQuoteYa memang demikianlah kita harus mengetahui kekurangan diri sendiri dan perlu belajar kepada orang yang lebih ahli.
Tentu saja kita selalu belajar pada orang lain. Yang saya masalahkan adalah apakah dengan mempelajari dan menguasai semua komposisi musik yang dibuat oleh seorang maestro, kita bisa menjadi maestro itu sendiri? 
Bahkan bisa lebih pintar, kan itu semua tergantung berbagai faktor bro: umur, kecerdasan, keuletan, bakat dlsbnya.
Memang kita berlatih lewat karya orang lain dan bisa juga menjadi lebih hebat dari orang itu, namun inti dari maksud saya adalah kita tidak menjadi maestro hanya karena kita bisa memainkan hasil karya maestro tersebut. 
QuoteSebelum kita akhiri poin diskusi ini, saya perlu mengungkapkan kembali Mahaparinibbana sutta, ketika diminta untuk Parinibbana oleh Mara, Sang Buddha mempertimbangkan lebih dahulu apakah Dhamma telah dibabarkan dengan baik, apakah Sangha telah berdiri dengan kokoh, bukankah hal ini bertentangan dengan pendapat bro Kainyn bahwa seorang yang telah tercerahkan tak memusingkan agama mana yang benar? bila memang tak mempersoalkan agama yang benar buat apa susah-susah membabarkan Dhamma?
Apakah Buddha Gotama menunggu Sangha berdiri dengan kokoh karena takut dibilang agamanya ga bener, ataukah karena ingin para murid memiliki landasan pengertian benar yang kuat? 
Ketika Buddha Gotama mencapai pencerahan sempurna, apakah kemudian ia masih memusingkan "agama lain salah, ajaran saya benar, maka harus meluruskan kesalahpahaman dunia" ataukah karena belas kasihnya agar orang yang memiliki potensi, bisa menemukan pembebasan total? 
QuoteMungkin saja bila pernyataan "api itu dingin" membahayakan dan menyesatkan orang lain.
Nah, itulah bedanya. 
Buddha mengetahui "api itu panas" lewat penyelidikan. Demikianlah penyelidikannya yang diwariskan, bukan kesimpulannya. Jika orang telah memiliki mentalitas menyelidiki dengan cermat dan seksama, apakah ada yang perlu dikhawatirkan jika dia mendengar ajaran "api itu dingin"? Bahkan Buddha pun mengajarkan agar kita jangan ikut-ikutan bilang "api itu panas" kalau kita belum menyelidiki kebenarannya. Dengan bimbingan seperti itu, apakah ada kecenderungan untuk memusingkan konklusi mana yang benar? Bagi saya tidak. 
QuoteBagaimana dengan tujuan yang ingin dicapai? apakah tidak perlu dibahas?
Buat saya tidak. Mungkin akan timbul pertanyaan, bagaimana tahunya kalau tidak dibahas. 
Seperti orang dari gunung mencari laut, ia mengikuti aliran sungai karena mengetahui air mengalir ke tempat lebih rendah dan pada akhirnya sungai tersebut menuju laut. Ikutilah aliran sungainya, dan perhatikan jalan. Bahaslah rintangan yang jelas terlihat sehingga bisa dicari solusinya. Laut itu sendiri, dibahas atau tidak, tidaklah berpengaruh. 
Quotecontoh sederhana: 
- bila kita belajar keahlian, umpamanya melukis maka bertambah lama kita akan bertambah pintar melukis.
- bila kita berbuat baik, umpamanya melatih cinta kasih, batin kita bertambah lama tambah tenang dan damai.
Dan masih tak terhitung contoh-contoh lain hukum kamma yang sederhana yang bisa kita temukan dalam kehidupan ini.
Ini pernah saya bahas di thread lain. Kalau Bro Fabian mengatakan itu contoh hukum kamma, maka semua orang dengan akal sehat juga sudah memahami hukum kamma tanpa perlu Ajaran Buddha. Lihat saja "rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya" bisa dikatakan peribahasa kamma. Minum obat maka sembuh, olah raga maka sehat, meditasi maka tenang, semua juga dikatakan hukum kamma. 
			
 
			
			
				QuoteQuote from: fabian c on 18 January 2010, 06:11:26 PM
Bro Kainyn yang baik, saya masih belum jelas, jadi yang dimaksud dengan menyadari dunia apa adanya menurut bro Kainyn bagaimana?
Ini tidak ada jawaban yang sama untuk semua orang. Kalau mau digeneralisasi, akhirnya jadi kembali ke teori2 dhamma lagi. 
Ya memang demikian bro, kita bisa nyambung bila sesuai dengan referensi
QuoteQuoteKalau membaca dari Buddhavamsa, ada Sammasambuddha yang hanya perlu sebulan atau seminggu berjuang untuk mencapai penerangan sempurna, sementara Sang Buddha Gotama perlu enam tahun, apakah disebabkan kecerdasan? Saya kira tidak demikian, kita tak bisa mengatakan seseorang lulus lebih lambat karena disebabkan aspirasinya untuk menjadi guru seperti yang dikemukakan bro Kainyn, banyak faktor yang dapat menyebabkan seorang murid lulus lebih cepat atau lebih lambat terlepas dari aspirasinya.
Kalau dari kisah-kisah dhamma, sejak seseorang beraspirasi menjadi maha-savaka, maka paling cepat ditempuh dalam 100.000 kappa. Jika beraspirasi menjadi Pacceka Buddha, maka paling cepat ditempuh dalam 2 Asankhyeyya + 100.000 kappa. Jika beraspirasi menjadi Samma Sambuddha, maka paling cepat ditempuh dalam 4 Asankhyeyya + 100.000 Kappa. Itulah yang menurut saya beda aspirasi, beda jalan, maka berbeda pula waktu tempuhnya. 
Savakabuddha walaupun belajar lebih singkat tetapi bisa menjadi guru dan mengajar, sedangkan Paccekabuddha walaupun belajar lebih lama tak dapat mengajar. Itulah sebabnya saya berpendapat cepat atau lambatnya lulus tergantung berbagai faktor tidak hanya dari kecerdasan atau aspirasi semata.
QuoteQuoteQuoteQuoteJadi setuju bro Kainyn bila saya katakan lulus cepat atau lambat tergantung kecerdasan, bukan tergantung aspirasi?
Memang bukan aspirasinya, makanya saya bilang pernyataan berikut absurd: Quoteseorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat
Aspirasi untuk menjadi Samma Sambuddha TIDAK menghalangi pencapaian orang, tetapi membuatnya mengambil jalan yang jauh lebih panjang dibanding aspirasi untuk menjadi Savaka Buddha, walaupun ditempuh dengan "kecerdasan" yang sama. 
Tolong di quote yang lengkap bro karena artinya jadi melenceng bila quotenya tak lengkap.
"seorang Bodhisatta yang telah mendapatkan penetapan dari seorang Sammasambuddha, sekuat apapun dia berlatih tak akan mencapai Nibbana karena aspirasinya sangat kuat, setelah paraminya masak baru bisa mencapai Nibbana".
Walaupun dikutip lengkap, tetap saja berarti aspirasinya menghalangi pencapaiannya. Baru setelah paraminya cukup, aspirasinya tidak terhalang lagi. Saya tetap berbeda pendapat yaitu ketika beraspirasi menjadi Samma Sambuddha, ia mengambil jalan berbeda dengan jalan Savaka, maka apa yang cukup untuk lulus sebagai savaka, tidaklah cukup untuk lulus sebagai Samma Sambuddha. Demikianlah ia belum bisa "lulus" sampai latihannya penuh.
Seorang Sammasambuddha telah melihat sesuatu akan terjadi, di Buddhavamsa dikatakan bahwa sebenarnya yang dimaksud penetapan adalah Sammasambuddha melihat dimasa yang akan datang apakah orang yang beraspirasi untuk menjadi Sammasambuddha akan mampu mencapai aspirasinya atau tidak, bila dilihat dengan kemampuan batin bahwa orang itu akan menjadi Sammasambuddha dimasa yang akan datang baru diungkapkan apa yang dilihat oleh Beliau.
Bila seorang Sammasambuddha telah mengatakan sesuatu yang akan terjadi, apapun yang kita lakukan tak akan mampu mencegah apa yang dikatakan oleh Beliau dan pasti akan terjadi.
Jadi kalau Bodhisatta telah dikatakan akan menjadi Buddha dengan nama A umpamanya maka itu akan terjadi dan meditasi Vipassana sekuat apapun dan sehebat apapun yang dilakukan tak akan mencapai kesucian (sebagai Savakabuddha atau Paccekabuddha). kecuali paraminya telah masak maka ia akan mencapai kesucian (sebagai Sammasambuddha).
QuoteQuoteInilah gunanya berguru kepada orang lain bro.
Bro Fabian, saya tidak pernah mengatakan tidak ada gunanya berguru sama orang lain lho. Yang saya katakan adalah ada hal-hal yang tidak bisa begitu saja diajarkan oleh guru, namun harus diperoleh sendiri lewat pengalaman. 
Ya saya setuju, itulah sebabnya ilmu pengetahuan berkembang.
QuoteIni OOT sedikit, saya tidak tahu Bro Fabian dulu baca Kung Fu Boy yang tempo doeloe atau tidak. Tapi di situ ada contoh di mana ada guru tua yang dulunya mengajar murid buta (yang nantinya jadi guru toya Chinmi si Kung Fu Boy) dan juga mengajar seorang murid yang muda, Sie Fan (yang nantinya menjadi rival si Chinmi). Guru si Chinmi ini sangat mahir mengetahui keadaan sekitar walau matanya buta. Kemudian ketika bertanding dengan Sie Fan, Chinmi juga kewalahan dengan jurus tongkat berpilin. Ia berpikir bahwa semua itu adalah jurus-jurus rahasia yang diajarkan seorang guru kepada muridnya, namun ternyata gurunya bercerita bahwa semua itu tidak diajarkan tetapi ditemukan oleh mereka sendiri. Dulu ketika berguru, ia hanya diberikan tongkat dan tidak diajarkan apa-apa. Ia sendiri yang harus menempuh jalannya dan berlatih untuk menutupi kekurangannya sebagai orang buta. Begitu pula si Sie Fan, jurus tongkat berpilin itu bukan "warisan" dari gurunya, namun ia menemukannya sendiri. Si guru hanya membimbing dan mendukung mentalitas si murid, tapi tidak bisa lebih dari itu. 
Jadi ada hal-hal yang bisa diajarkan, dan ada pula hal-hal yang tidak bisa diajarkan. 
Wah sayang saya tidak pernah membaca Kungfu Boy, tetapi saya hafal banyak buku silat Kho Ping Hoo, Chin Yung dll.
Biru: bisa jadi sih, tetapi setidaknya kita belajar dasar-dasarnya dari orang lain.
QuoteQuoteQuoteQuoteYa memang demikianlah kita harus mengetahui kekurangan diri sendiri dan perlu belajar kepada orang yang lebih ahli.
Tentu saja kita selalu belajar pada orang lain. Yang saya masalahkan adalah apakah dengan mempelajari dan menguasai semua komposisi musik yang dibuat oleh seorang maestro, kita bisa menjadi maestro itu sendiri? 
Bahkan bisa lebih pintar, kan itu semua tergantung berbagai faktor bro: umur, kecerdasan, keuletan, bakat dlsbnya.
Memang kita berlatih lewat karya orang lain dan bisa juga menjadi lebih hebat dari orang itu, namun inti dari maksud saya adalah kita tidak menjadi maestro hanya karena kita bisa memainkan hasil karya maestro tersebut. 
Ya saya setuju, mungkin ada pengembangan lain yang membuat kita unik dan agak berbeda dengan guru kita.
QuoteQuoteSebelum kita akhiri poin diskusi ini, saya perlu mengungkapkan kembali Mahaparinibbana sutta, ketika diminta untuk Parinibbana oleh Mara, Sang Buddha mempertimbangkan lebih dahulu apakah Dhamma telah dibabarkan dengan baik, apakah Sangha telah berdiri dengan kokoh, bukankah hal ini bertentangan dengan pendapat bro Kainyn bahwa seorang yang telah tercerahkan tak memusingkan agama mana yang benar? bila memang tak mempersoalkan agama yang benar buat apa susah-susah membabarkan Dhamma?
Apakah Buddha Gotama menunggu Sangha berdiri dengan kokoh karena takut dibilang agamanya ga bener, ataukah karena ingin para murid memiliki landasan pengertian benar yang kuat? 
Ketika Buddha Gotama mencapai pencerahan sempurna, apakah kemudian ia masih memusingkan "agama lain salah, ajaran saya benar, maka harus meluruskan kesalahpahaman dunia" ataukah karena belas kasihnya agar orang yang memiliki potensi, bisa menemukan pembebasan total? 
Apakah bro Kainyn pernah membaca bahwa Sang Buddha dan para Arahat kadang juga berdebat? bila tak memusingkan ajaran yang benar buat apa berdebat?
Jadi intinya, yang dilakukan Sang Buddha adalah untuk menolong mahluk lain terbebas dari pandangan salah dan mengarahkan mereka pada kesucian, walaupun kadang harus berdebat.
Quote
QuoteMungkin saja bila pernyataan "api itu dingin" membahayakan dan menyesatkan orang lain.
Nah, itulah bedanya. 
Buddha mengetahui "api itu panas" lewat penyelidikan. Demikianlah penyelidikannya yang diwariskan, bukan kesimpulannya. Jika orang telah memiliki mentalitas menyelidiki dengan cermat dan seksama, apakah ada yang perlu dikhawatirkan jika dia mendengar ajaran "api itu dingin"? Bahkan Buddha pun mengajarkan agar kita jangan ikut-ikutan bilang "api itu panas" kalau kita belum menyelidiki kebenarannya. Dengan bimbingan seperti itu, apakah ada kecenderungan untuk memusingkan konklusi mana yang benar? Bagi saya tidak. 
Seseorang yang ingin membimbing orang lain agar jangan berpandangan salah tentu akan kesulitan menghadapi pandangan salah orang tersebut, ia harus berani repot. Dan harus berusaha dengan berbagai cara.
QuoteQuoteBagaimana dengan tujuan yang ingin dicapai? apakah tidak perlu dibahas?
Buat saya tidak. Mungkin akan timbul pertanyaan, bagaimana tahunya kalau tidak dibahas. 
Seperti orang dari gunung mencari laut, ia mengikuti aliran sungai karena mengetahui air mengalir ke tempat lebih rendah dan pada akhirnya sungai tersebut menuju laut. Ikutilah aliran sungainya, dan perhatikan jalan. Bahaslah rintangan yang jelas terlihat sehingga bisa dicari solusinya. Laut itu sendiri, dibahas atau tidak, tidaklah berpengaruh. 
Bila seseorang tidak percaya bahwa laut itu ada, apakah ia akan terpikir untuk pergi ke laut?
QuoteQuotecontoh sederhana: 
- bila kita belajar keahlian, umpamanya melukis maka bertambah lama kita akan bertambah pintar melukis.
- bila kita berbuat baik, umpamanya melatih cinta kasih, batin kita bertambah lama tambah tenang dan damai.
Dan masih tak terhitung contoh-contoh lain hukum kamma yang sederhana yang bisa kita temukan dalam kehidupan ini.
Ini pernah saya bahas di thread lain. Kalau Bro Fabian mengatakan itu contoh hukum kamma, maka semua orang dengan akal sehat juga sudah memahami hukum kamma tanpa perlu Ajaran Buddha. Lihat saja "rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya" bisa dikatakan peribahasa kamma. Minum obat maka sembuh, olah raga maka sehat, meditasi maka tenang, semua juga dikatakan hukum kamma. 
Ya memang demikian,  :) kamma adalah berarti perbuatan dan kamma berbuah disebabkan hukum sebab dan akibat. Jadi itu adalah contoh sederhana hukum sebab-akibat (hukum kamma), disinilah perbedaan dengan "konsep T" yang tak bisa dibuktikan.
 _/\_