Buddha dan Cinta Kasih

Started by Petrus, 18 November 2008, 01:45:25 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Riky_dave

Quote from: hatRed on 18 November 2008, 08:25:56 PM
Quote from: Riky_dave on 18 November 2008, 08:23:10 PM
Quote from: william_phang on 18 November 2008, 06:08:13 PM
Bro Riky kan sudah pernah mengalami cinta yg tanpa AKU... sepeti di post yng dulu2 ... mgkn bisa share?...
Apanya yang mesti dishare?Saudara saya bertanya,"Bagaimana cara mengembangkan "metta" ",saya tidak berkata,"Saya benar dan lainnya salah..." :)

Salam hangat,
Riky

salah satunya dengan metta bhavana, dan kayaknya dah disebut tadi di replies2 sebelumnya
Maaf sekali saudaraku,saya tidak membaca semua postingan... :)
Oh ya,dimanakah thread anda itu? "Siapa itu Tuhan?"

Salam hangat,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

sobat-dharma

Pikiran seperti parasut ia bekerja saat terbuka.

Jika belum membuka pikiran pada pemahaman berbeda maka percuma saja berdialog.

Si petruk/s mencoba jadi kritis, tapi adakah ia keterbukaan pikiran?

Si petruk/s mengira "si aku" itu ada, karena ia mau meyakini dirinya ada.

Lalu siapa yang meyakini "aku" itu ada?

Apaka "aku" yang meyakini bahwa "aku" itu ada?

Kalau gitu ada berapa "aku" di dalam diri?

Apakah "aku" harus ada terlebih dahulu untuk merasa "aku" itu ada, atau ketika merasakan "aku ada", maka "aku" menjadi ada?

Mana yang lebih dahulu "aku" atau "merasakan"?

Kalau "aku" terlebih dahulu ada, aku ada tanpa merasakan ataupun tidak merasakan? Kalau "tidak merasakan", bagaimana bisa merasakan bahwa aku ada?

Kalau "merasakan" lebih dahulu ada, maka "aku" timbul hanya karena perasaan bahwa "aku" ada. Lalu siapa sebenarnya yang merasakan?

Jika aku ada dua, "yang mengamati" dan "yang diamati", siapakah aku "yang diamati" saat aku yang satunya "yang mengamati"? Bukankah ketika ia berada di luar "aku" maka ia bukan "aku" lagi, tapi jadi "liyan" (orang lain). Begitu juga sebaliknya. Karena itu ketika ada "aku" yang satu mengamati "aku" yang lain atau "aku" yang satu diamati oleh "aku" yang lain, maka "aku" sebenarnya hanya sudut pandang atau perspektif. Kalau ia adalah sudut padang atau perspektif, maka ia berubah-rubah tergantung pada situasi.

Nah sebelum teman-teman mengambil kesimpulan, saya mau tambahkan lagi. Kalau gitu apakah "ada" itu sendiri? Siapakah yang bisa merasakan sesuatu itu "ada" kalau bukan karena adanya "aku"? Lalu bagaimana "aku" bisa adalah "ada", jika yang merasakan "ada" atau "tidak ada" adalah "aku" itu sendiri?

Oleh karena itu, teman-teman, Kalau "aku" tlenyap, maka "ada" pun akan padam. Begitu juga ketika "ada" padam, maka "aku" pun lenyap. "Si aku" tidak lain adalah "si ada" maupun "si tiada" itu sendiri.

Kalau demikian bagaimana mungkin si petruk/s bisa merasakan "aku ada"?



Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Petrus

Quote from: reenzia on 18 November 2008, 07:43:32 PM
aku-nya itu loh, perhatikan baik-baik, aku yang kita-kita maksudkan dengan aku yang anda maksudkan itu.....

kamu percaya kalau manusia itu terdiri dari Roh dan daging ?
atau kamu hanya percaya manusia hanya lah daging saja ?

hatRed

 [at] Ricky
hi, masalah thread saya itu dah dijawab di thread kamu yang baru
i'm just a mammal with troubled soul



Mr. Wei

manusia itu kesadaran dan jasmani ;D

El Sol

sejak kapan di Buddhism ada Roh?...

yg ada itu Nama(batin) dan Rupa(Jasmani)

Nama :

1.Perasaan (Vedana)
2.Pencerapan (Sanna)
3.Bentuk2 pemikiran (Sankhara)
4.Kesadaran (Vinnana)

Jasmani:

1.unsur padat (Pathavi)
2.unsur cair (Apo)
3.unsur panas (Tejo)
4.unsur gerak (Vayo)


Riky_dave

Quote from: sobat-dharma on 18 November 2008, 08:28:22 PM
Pikiran seperti parasut ia bekerja saat terbuka.

Jika belum membuka pikiran pada pemahaman berbeda maka percuma saja berdialog.
Setuju :)

QuoteSi petruk/s mengira "si aku" itu ada, karena ia mau meyakini dirinya ada.

Lalu siapa yang meyakini "aku" itu ada?

Apaka "aku" yang meyakini bahwa "aku" itu ada?
Pikiran itu aku,aku itu pikiran,aku ada karena aku eksis dan seterusnya...

QuoteKalau gitu ada berapa "aku" di dalam diri?
Menurut saya sih,aku itu tetap ada 1,kalau aku ada 2,3,4,dstnya itu "aku"nya "aku"..

QuoteApakah "aku" harus ada terlebih dahulu untuk merasa "aku" itu ada, atau ketika merasakan "aku ada", maka "aku" menjadi ada?
Aku itu ada dan selalu ada,ketika dilahirkan aku sudah ada...ketika anda bisa melihat aku maka lama kelamaan aku itu akan runtuh dengan sendirinya...seperti kata SB "Api yang berkorbar2 bila ditutup dengan gelas,lama kelamaan akan padam,bukan "dilawan" .. " :)

QuoteMana yang lebih dahulu "aku" atau "merasakan"?
:)

QuoteKalau "aku" terlebih dahulu ada, aku ada tanpa merasakan ataupun tidak merasakan? Kalau "tidak merasakan", bagaimana bisa merasakan bahwa aku ada?
Hehehe,putar balik terus....Aku ada terlebih dahulu,ketika dilahirkan AKU telah ada,dan AKU adalah penyebab PENDERITAAN... :)

QuoteKalau "merasakan" lebih dahulu ada, maka "aku" timbul hanya karena perasaan bahwa "aku" ada. Lalu siapa sebenarnya yang merasakan?
AKU lebih DULU ada... :)

QuoteJika aku ada dua, "yang mengamati" dan "yang diamati", siapakah aku "yang diamati" saat aku yang satunya "yang mengamati"? Bukankah ketika ia berada di luar "aku" maka ia bukan "aku" lagi, tapi jadi "liyan" (orang lain). Begitu juga sebaliknya. Karena itu ketika ada "aku" yang satu mengamati "aku" yang lain atau "aku" yang satu diamati oleh "aku" yang lain, maka "aku" sebenarnya hanya sudut pandang atau perspektif. Kalau ia adalah sudut padang atau perspektif, maka ia berubah-rubah tergantung pada situasi.
AKU hanya ada 1...TAPI aku bisa menciptakan "ribuan" aku laennya... :)

QuoteNah sebelum teman-teman mengambil kesimpulan, saya mau tambahkan lagi. Kalau gitu apakah "ada" itu sendiri? Siapakah yang bisa merasakan sesuatu itu "ada" kalau bukan karena adanya "aku"? Lalu bagaimana "aku" bisa adalah "ada", jika yang merasakan "ada" atau "tidak ada" adalah "aku" itu sendiri?

Oleh karena itu, teman-teman, Kalau "aku" tlenyap, maka "ada" pun akan padam. Begitu juga ketika "ada" padam, maka "aku" pun lenyap. "Si aku" tidak lain adalah "si ada" maupun "si tiada" itu sendiri.
Kalau "aku" lenyap digantikan "nibbana/unknown",dan AKU itu hanya 1 yakni pikiran... :)

Salam hangat,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Reenzia

#112
terima kasih kaka wei dan kaka el ^:)^

_/\_

astaga bnyk sekali "aku"-nya *_*

Petrus

Quote from: sobat-dharma on 18 November 2008, 08:28:22 PM
Pikiran seperti parasut ia bekerja saat terbuka.

Jika belum membuka pikiran pada pemahaman berbeda maka percuma saja berdialog.

Si petruk/s mencoba jadi kritis, tapi adakah ia keterbukaan pikiran?

Si petruk/s mengira "si aku" itu ada, karena ia mau meyakini dirinya ada.

Lalu siapa yang meyakini "aku" itu ada?

Apaka "aku" yang meyakini bahwa "aku" itu ada?

Kalau gitu ada berapa "aku" di dalam diri?

Apakah "aku" harus ada terlebih dahulu untuk merasa "aku" itu ada, atau ketika merasakan "aku ada", maka "aku" menjadi ada?

Mana yang lebih dahulu "aku" atau "merasakan"?

Kalau "aku" terlebih dahulu ada, aku ada tanpa merasakan ataupun tidak merasakan? Kalau "tidak merasakan", bagaimana bisa merasakan bahwa aku ada?

Kalau "merasakan" lebih dahulu ada, maka "aku" timbul hanya karena perasaan bahwa "aku" ada. Lalu siapa sebenarnya yang merasakan?

Jika aku ada dua, "yang mengamati" dan "yang diamati", siapakah aku "yang diamati" saat aku yang satunya "yang mengamati"? Bukankah ketika ia berada di luar "aku" maka ia bukan "aku" lagi, tapi jadi "liyan" (orang lain). Begitu juga sebaliknya. Karena itu ketika ada "aku" yang satu mengamati "aku" yang lain atau "aku" yang satu diamati oleh "aku" yang lain, maka "aku" sebenarnya hanya sudut pandang atau perspektif. Kalau ia adalah sudut padang atau perspektif, maka ia berubah-rubah tergantung pada situasi.

Nah sebelum teman-teman mengambil kesimpulan, saya mau tambahkan lagi. Kalau gitu apakah "ada" itu sendiri? Siapakah yang bisa merasakan sesuatu itu "ada" kalau bukan karena adanya "aku"? Lalu bagaimana "aku" bisa adalah "ada", jika yang merasakan "ada" atau "tidak ada" adalah "aku" itu sendiri?

Oleh karena itu, teman-teman, Kalau "aku" tlenyap, maka "ada" pun akan padam. Begitu juga ketika "ada" padam, maka "aku" pun lenyap. "Si aku" tidak lain adalah "si ada" maupun "si tiada" itu sendiri.

Kalau demikian bagaimana mungkin si petruk/s bisa merasakan "aku ada"?

kasihan sekali kamu, tidak lebih dari seonggok daging hidup.
lebih baik sedikit dari batu yang sering saya tendang-tendang.

hatRed

 [at] all  &  [at] Petrus

sebenarnya Petrus itu ingin mendalami lebih jauh konsep ke "Aku" an menurut Buddhisme ya

mungkin rekan2 sekalian ada yang bisa membantu, apa itu Ke "Aku" an menurut Buddhisme


lalu sebaiknya
[at] Petrus
Petrus coba deh menjelaskan konsep Ke "Aku" an menurut Petrus itu sendiri. nanti rekan2 yang lain pasti akan share konsep Ke "Aku" an menurut mereka sebagai Buddhisme

kan nantinya cepet beres

dan disini tidak mengharuskan Petrus mengiyakan apa yg rekan2 katakan kok, jadi enjoy aja
i'm just a mammal with troubled soul



andrew

Quote from: Petrus on 18 November 2008, 08:30:51 PM
Quote from: reenzia on 18 November 2008, 07:43:32 PM
aku-nya itu loh, perhatikan baik-baik, aku yang kita-kita maksudkan dengan aku yang anda maksudkan itu.....

kamu percaya kalau manusia itu terdiri dari Roh dan daging ?
atau kamu hanya percaya manusia hanya lah daging saja ?


nah sekarang yang disebut AKU  Petrus itu yang mana ?

roh nya apa dagingnya ?

saya baru coba menggali lebih jauh...
dengan pertanyaan tangan dan kaki dimakan piranha jadi tai tadi...

coba dijawab...

_/\_

Mr. Wei

Quote from: reenzia on 18 November 2008, 08:36:39 PM
terima kasih kaka wei dan kaka el ^:)^

_/\_

Sama2 ;D

Quote from: Petrus on 18 November 2008, 08:37:21 PM
Quote from: sobat-dharma on 18 November 2008, 08:28:22 PM
Pikiran seperti parasut ia bekerja saat terbuka.

Jika belum membuka pikiran pada pemahaman berbeda maka percuma saja berdialog.

Si petruk/s mencoba jadi kritis, tapi adakah ia keterbukaan pikiran?

Si petruk/s mengira "si aku" itu ada, karena ia mau meyakini dirinya ada.

Lalu siapa yang meyakini "aku" itu ada?

Apaka "aku" yang meyakini bahwa "aku" itu ada?

Kalau gitu ada berapa "aku" di dalam diri?

Apakah "aku" harus ada terlebih dahulu untuk merasa "aku" itu ada, atau ketika merasakan "aku ada", maka "aku" menjadi ada?

Mana yang lebih dahulu "aku" atau "merasakan"?

Kalau "aku" terlebih dahulu ada, aku ada tanpa merasakan ataupun tidak merasakan? Kalau "tidak merasakan", bagaimana bisa merasakan bahwa aku ada?

Kalau "merasakan" lebih dahulu ada, maka "aku" timbul hanya karena perasaan bahwa "aku" ada. Lalu siapa sebenarnya yang merasakan?

Jika aku ada dua, "yang mengamati" dan "yang diamati", siapakah aku "yang diamati" saat aku yang satunya "yang mengamati"? Bukankah ketika ia berada di luar "aku" maka ia bukan "aku" lagi, tapi jadi "liyan" (orang lain). Begitu juga sebaliknya. Karena itu ketika ada "aku" yang satu mengamati "aku" yang lain atau "aku" yang satu diamati oleh "aku" yang lain, maka "aku" sebenarnya hanya sudut pandang atau perspektif. Kalau ia adalah sudut padang atau perspektif, maka ia berubah-rubah tergantung pada situasi.

Nah sebelum teman-teman mengambil kesimpulan, saya mau tambahkan lagi. Kalau gitu apakah "ada" itu sendiri? Siapakah yang bisa merasakan sesuatu itu "ada" kalau bukan karena adanya "aku"? Lalu bagaimana "aku" bisa adalah "ada", jika yang merasakan "ada" atau "tidak ada" adalah "aku" itu sendiri?

Oleh karena itu, teman-teman, Kalau "aku" tlenyap, maka "ada" pun akan padam. Begitu juga ketika "ada" padam, maka "aku" pun lenyap. "Si aku" tidak lain adalah "si ada" maupun "si tiada" itu sendiri.

Kalau demikian bagaimana mungkin si petruk/s bisa merasakan "aku ada"?

kasihan sekali kamu, tidak lebih dari seonggok daging hidup.
lebih baik sedikit dari batu yang sering saya tendang-tendang.

Dia adalah fisik dengan kesadaran... bukan hanya seonggok daging hidup... dia memiliki kesadaran, pikiran, dan perasaan ;D ^-^

adi lim

Bang Petrus masih makhluk yang masih memiliki kebodohan Bathin, jadi dijelaskan dari awal juga tetap susah dimengerti dan memang tidak ada niat untuk merenungkan, malah di jawab dengan argumen kehebatan Tuhannya dsb.

Sesudah saya ikuti pembahasan yang sudah cukup panjang dari thread ke thread lainnya yang sudah cukup panjang, dan ternyata dari awal memang bang Petrus tidak berniat untuk diskusi, tapi ingin menonjolkan kehebatan Tuhannya dan keyakinannya kepada umat di forum ini.

Bang Petrus memahami dan mempelajari Buddha Dhamma, tidak bisa dengan teori dan argumentasi, tapi harus di praktekkan dan di renungkan. Kalau memang berniat serius belajar Buddha Dhamma, lepaskan dulu label agama dan kata tuhan di dalam pikiran kamu, baru dipraktekkan apa yang sudah kamu dapat dari jawaban bro & sis di forum ini, kalau masih kurang mengerti, cari tahu, minta referensi lagi, bro & sis pasti akan siap membantu dengan gembira.

Contoh, mengenai kata Metta saja, kemudian diberikan Karuniya Metta Sutta, harusnya kalau bang petrus serius dan pintar, dari Sutta itu saja sudah jelas apa yang dinamakan Metta dalam Buddha Dhamma, malah arahat di olok-olok.

Kalau tujuan kamu hanya mengolok-olok dan membandingkan Dhamma dengan Tuhan milik kamu yang hebat. Ya ndak ketemu Bang Petrus.
Kalau tujuan bang petrus seperti itu, hanya mengolok-olok, bolehlah saya katakan perbuatan bang Petrus tidak patut, kami disini tidak mempermasalahkan kamu mengolok siapa saja, toh yang kamu terima adalah hasil perbuatan kamu sendiri, tidak ada yang menanggungnya, dan pengetahuan anda tentang Dhamma tidak bisa maju, malah berkisar di putaran tuhan saja, tidak bisa mencapai pencerahan.

Kalau hanya bicara tentang seputar Tuhan saja, anda hanya bisa lahir di alam dewa paling tingkat 6 kebawah, jangan-jangan bisa turun ke alam asura, karena penuh niat yang tidak baik yaitu iri hati dan menghasut bathin orang yang mau belajar Dhamma.

Kata2 ini anda boleh percaya dan tidak percaya, tidak apa Bang, tapi ini kenyataan yang ada, DHAMMA bergulir terus tanpa berhenti, kecuali bang petrus bisa mencapai kesucian Arahat dan Nibbana.

_/\_


Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Riky_dave

Quote from: Petrus on 18 November 2008, 08:37:21 PM
kasihan sekali kamu, tidak lebih dari seonggok daging hidup.
lebih baik sedikit dari batu yang sering saya tendang-tendang.

hehehe,justru menurut saya secara terbuka bahwa yang harus dikasihani itu adalah anda... :)
maaf ya...hehehe...Anda mau bertanya,tapi anda tidak mau menerima,ini sungguh aneh..seperti orang yang ingin "pintar" dalam "kedokteraan" eh tapi maunya "nanya" aja,tapi ketika "udah" dijawab,kgk mau "menerima" jawabannya..gimana bisa pinternya ya? :))
Um..and the last,menurut saya kalaupun dibandingkan antara anda dengan seonggok daging hidup,seonggok daging hidup lebih baik daripada seluruh hidup anda,yang saat ini anda jalani... :)

Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitta...

Saddhu...Saddhu...Saddhu...

Salam hangat,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

sobat-dharma

Quote from: Petrus on 18 November 2008, 08:37:21 PM

kasihan sekali kamu, tidak lebih dari seonggok daging hidup.
lebih baik sedikit dari batu yang sering saya tendang-tendang.

Begitu nasib aku dan kamu kalau mati nanti, seperti batu itu.... yang kamu tendang sendiri :)
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek