News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Abhidhamma & vipassana

Started by hudoyo, 29 July 2008, 09:45:38 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Semit

Dengan penuh kasih saya juga mau menyadarkan, tapi kali ini targetnya adalah boss sumedho atau moderator board ini.

setelah menjadi ajang promosi, terus jadi ajang sindir-menyindir, sekarang dilanjutkan jadi ajang sadar-menyadari, sepertiya thread ini tidak bermanfaat tidak seperti topiknya yang mentereng. sebaiknya kita hentikan saja aib DC yang satu ini. _/\_

ryu

Tergantung mo ambil telor ato tai nih pemirsa , MAKNYUSSSS
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

williamhalim

Quote from: ryu on 01 August 2008, 01:57:05 PM
Tergantung mo ambil telor ato tai nih pemirsa , MAKNYUSSSS

Bingung juga, dua2nya berguna   ???

Telor berguna untuk dimakan
Tai juga berguna, untuk pupuk organik dan bio energi...

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Suchamda


Seseorang pernah menanyai Ajahn Chah, "Bagaimana Anda mengajari murid-murid Barat Anda? Apakah Anda menggunakan bahasa Inggris atau Perancis? Apakah Anda berbicara dalam bahasa Jepang atau Jerman? "Tidak," jawab Ajahn Chah. Lalu bagaimana mereka menerimanya?" ia bertanya. Apakah Anda memelihara kerbau di taman Anda?" tanya Ajahn Chah. "Iya." Apakah Anda memelihara lembu, anjing, atau ayam?" Ya, saya juga memeliharanya," jawabnya. Coba katakan," Ajahn Chah meminta, "Apakah Anda berbicara pada kerbau atau lembu itu?" Tidak, tentu saja tidak." Yah, lalu bagaimana Anda melakukannya?" tanya Ajahn Chah. Ajahn Chah memiliki kemampuan yang terdengar aneh untuk menangkap Dharma tanpa kata dan mengalihkannya kepada umatnya dalam perumpamaan yang segar, mudah diikuti, terkadang lucu, kadang puitis, tetapi selalu mendapat tempat di hati, tempatnya bergema atau memberikan inspirasi yang paling mendalam.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Suchamda

SUPERIMPOSING

Sejauh saya melihat kamus, artinya adalah "meletakkan di atas", seperti meletakkan peta diatas sebuah kertas.

Sehubungan dengan topik disini, saya ingin menjelaskan bahwa vipassana bukan menjadi vipassana lagi apabila kita masih men-superimposisi-kan teori ke dalam praktek meditasi.

Sebagai penjelasan tentang makna superimposisi, silakan simak analogi sbb:

Apakah anda pernah melihat pasir di pantai, atau awan2 di langit, atau corak2 bebatuan atau kekayuan?
Semuanya bercorak acak bukan?
Tapi apa jadinya bila anda diberitahu oleh seorang lain bahwa dalam pola acak itu dapat ditemukan gambar muka kelinci, atau kucing, ataupun ada raksasa, dsb?
Serta merta, pikiran anda akan melihatnya. Dan semenjak saat itu, maka setiap kali melihat pola acak tersebut, selalu muncul gambar seperti yang diberitahukan tadi. Itu namanya bahwa pikiran telah terkonsep.
Dan untuk membiarkan pikiran anda kembali polos untuk tidak melihat pola apapun dalam pasir acak tersebut, itu merupakan hal yang tidak mudah.

Meditasi vipassana , pada hakikatnya adalah berupaya untuk membebaskan pikiran kita dari konsep-konsep.
Segala macam dukkha dalam alam samsara ini disebabkan oleh karena pikiran kita telah terkonsep dalam pola-pola yang menyebabkan kita melihat sesuatu itu sebatas konsep yg kita miliki. Konsep2 yang terbentuk sedemikian rupa inilah yg disebut karma.
Manusia melihat air adalah air, karena itu adalah karma kita. Ada konsep2 tertentu dalam batin manusia-manusia yang memiliki karma yang serupa sehingga air terlihat sebagai air.
Bagi mahluk preta, maka air --katanya-- adalah bagaikan darah basi.
Bagi mahluk neraka, maka air -- katanya -- adalah bagaikan lava membara.
Jadi, intinya, segala sesuatu yang memunculkan dukkha itu adalah karena batin manusia sudah terkonsep.
Untuk membebaskan pikiran dari konsep2 itulah maka kita berlatih meditasi vipassana.

Tapi apa jadinya bila suatu teori telah men-superimposisi-kan meditasi vipassana kita?
Tentu saja kita cuman akan melihat superimposisi konsep itu dalam meditasi kita, sama sekali bukan 'yang apa adanya'. Kecuali bila kita bisa melihat / menembusi konsep yg mensuperimposisi pengamatan kita itu.
Contoh :
Karena kita percaya / terdoktrin teori bahwa adanya akusala citta dan kusala citta, maka dalam pengamatan selanjutnya kita akan benar2 melihat bahwa citta itu ada yang kusala , akusala, dsb derivatifnya.
Padahal, sebenarnya 'kusala' maupun 'akusala' itupun juga adalah konsep!
Demikian juga karena kita begitu terdoktrin untuk berbuat pada hal2 yg secara konseptual baik2, maka kita secara tanpa disadari mensuperimposisikan konsep kebajikan pada perbuatan2 dengan pola itu  padahal belum tentu sebenarnya 'baik'. (Motive value deeds). Ini bisa sangat bias!
Makanya tak heran bila banyak buddhist yg terjebak dalam kemunafikan atau kepura-puraan hidup belaka!
Citta ya hanya ada citta, awareness, dan itupun bukan suatu substansi melainkan kekosongan belaka (emptiness).
Bagaimana kita bisa melihat sesuatu diluar pola-pola yg sudah terbentuk berkalpa-kalpa dengan menggunakan konsep atau pola-pola yang lainnya lagi?
Bila yang didapat cuman hanya karma baik belaka, maka tiada lain latihan spt itu hanyalah menghasilkan suatu kelahiran hidup di alam surgawi belaka, tapi sama sekali bukan pembebasan.

Abhidhamma hanyalah sebuah teori yang muncul dari ortodoksi para bhikkhu setelah jaman sang Buddha. Menurut para ahli sejarah buddhism, bukanlah perkataan Sang Buddha sendiri. Silakan melakukan study terpisah ataupun searching di internet utk hal ini.
Terlalu tidak mendasar kalau mengatakan Abhidhamma adalah paramatha sacca (kebenaran absolut), karena banyak teori2 buddhism lainnya yang telah berhasil membantahnya. Silakan baca filosofi Madhyamaka misalnya.
Dan dari pengalaman saya sendiri selama mencari teknik vipassana yang tepat, memang ternyata bahwa segala macam teori itu pada akhirnya harus dibuang, bila dan hanya bila kita mau melihat seperti apa adanya.
Jangankan teori. Konsep2 dasariah seperti "Oh, itu manusia", "itu pohon" dsb harus disadari keilusiannya!
Pada saat itu, tiada lagi dikotomi antara "oh itu Nama (batin)", "oh itu Rupa (fisik)". Dikotomi Nama-Rupa itu sendiri menunjukkan bahwa itu masih terlibat dalam wilayah konseptual. Kala pikiran berhenti, maka runtuhlah semua pembedaan.
Teori2 spt Abhidhamma, Madhyamaka dsb itu hanya berguna bila anda ingin menjadi scribe (ahli kitab) atau guru agama Buddha atau peneliti filsafat Buddhism.

Nah, kembali ke masalah superimposisi.
Apabila anda mempercayai adanya "gambar kucing" di atas gelaran pasir tersebut, maka pikiran anda akan mempercayai adanya kucing itu. Anda tidak sadar bahwa "kucing" itu adalah ciptaan pikiran anda belaka.
Demikian pula dalam meditasi vipassana. Sudah seharusnya kita menyadari segala macam keterkondisian kita dengan teori. Barulah kita bisa bebas.
Oleh karena itu, janganlah heran bila ada orang yang percaya Tuhan atau didoktrin tentang Tuhan, maka ia akan melihat Tuhan dimana-mana. Ini adalah masalah superimposisi!

Mudah2an dapat bermanfaat.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Suchamda

Quote from: willibordus on 01 August 2008, 09:04:42 AM
Quote from: hudoyo on 31 July 2008, 10:32:03 PM
Kalau si penanya di atas menanyakan yang dibold kepada saya, jelas akan saya jawab: Tidak. ... Untuk bisa bervipassana tidak perlu teori apa pun. Malah segala macam teori akan menghalangi vipassana. ... Dan ini sudah saya buktikan dengan mengajar MMD kepada orang-orang non-Buddhis. Banyak di antara teman-teman non-Buddhis berhasil menerapkan vipassana dengan sangat baik, bahkan sering kali lebih baik daripada teman-teman Buddhis yang pikirannya sarat dengan teori.

Maaf Pak, mungkin in hanya perbedaan pemahaman (lagi)...

Kalau tidak ada teori, apa yg mau dilakukan Pak?
Ketika para peserta datang, kita bilang: "Silahkan vipassana...."
Lantas orang2 akan bingung, gimana caranya Pak?

Pasti kita akan bilang, "Silahkan duduk di bantal masing-masing, sadarilah segala reaksi batin yg timbul, jangan berusaha dikontrol, lepaskan saja, sadari saja...."

Dan segala macam peraturan lain yg kita tetapkan selama itu (misal menutup patung2 Buddha yg ada diruangan tsb, tidak usah membungkuk2kan badan ke pembimbing, dsbnya."

IMO, segala instruksi ini adalah 'Teori' Pak....

_/\_

::





Bro, perlu dibedakan antara instruksi dan teori.
Kita butuh teori  untuk memahami agama Buddha.
Tapi untuk mencapai pembebasan kita tidak butuh teori.
Yang dibutuhkan untuk mencapai pembebasan adalah instruksi (bagaimana melakukannya).

Butuh "How to" bukan butuh "What is".
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Semit

Quote from: Suchamda on 01 August 2008, 03:30:07 PM
SUPERIMPOSING

Sejauh saya melihat kamus, artinya adalah "meletakkan di atas", seperti meletakkan peta diatas sebuah kertas.

Sehubungan dengan topik disini, saya ingin menjelaskan bahwa vipassana bukan menjadi vipassana lagi apabila kita masih men-superimposisi-kan teori ke dalam praktek meditasi.

Rekan Suchamda,

Dalam bervipassana, menurut ajaran guru-guru meditasi seperti YM Mahasi Sayadaw, bahwa seorang yogI diinstruksikan untuk mengamati nama dan rupa, nama dan rupa ini jelas adalah abhidhamma, mungkin dalam tingkat yang sangat mendasar.
Saya tidak mengatakan bahwa praktik vipasana anda keliru, tapi mereka yang menyelaraskan vipassana dengan abhidhamma juga tidak bisa disalahkan, ini adalah cara berlatih masing-masing individu. Dan menurut saya apapun cara yang ditempuh, itu adalah hal sangat pribadi dan tidak untuk diperdebatkan.

Quote
Abhidhamma hanyalah sebuah teori yang muncul dari ortodoksi para bhikkhu setelah jaman sang Buddha. Menurut para ahli sejarah buddhism, bukanlah perkataan Sang Buddha sendiri. Silakan melakukan study terpisah ataupun searching di internet utk hal ini.

Pernahkah anda membaca mengenai kisah Sang Buddha membabarkan Abhidhamma di tavatimsa? di sela-sela kunjungan Sang Buddha ke tavatimsa, Beliau masih menyempatkan diri untuk turun ke alam manusia dan menyampaikan apa yang Beliau ajarkan kepada YM Sariputta, kemudian oleh YM Sariputta diteruskan kepada para siswanya. jadi menurut saya, anda terlalu sembrono kalau menimpulkan bahwa Abhidhamma bukan berasal dari Sang Buddha. pada masa itu memang mungkin saja istilahnya bukan abhidhamma, tapi esensi ajarannya adalah Abhidhamma, dan sebenarnya abhidhamma ini juga sudah termasuk dalam sutta pitaka juga.

Quote
Terlalu tidak mendasar kalau mengatakan Abhidhamma adalah paramatha sacca (kebenaran absolut), karena banyak teori2 buddhism lainnya yang telah berhasil membantahnya. Silakan baca filosofi Madhyamaka misalnya.
kalau kita melihat dari sudut pandang paramattha/pannati maka jelas abhidhamma jelas adalah paramattha. hanya saja mungkin anda tidak mengartikan dengan benar makna dari paramattha itu.

Quote
Dan dari pengalaman saya sendiri selama mencari teknik vipassana yang tepat, memang ternyata bahwa segala macam teori itu pada akhirnya harus dibuang, bila dan hanya bila kita mau melihat seperti apa adanya.
Jangankan teori. Konsep2 dasariah seperti "Oh, itu manusia", "itu pohon" dsb harus disadari keilusiannya!
Pada saat itu, tiada lagi dikotomi antara "oh itu Nama (batin)", "oh itu Rupa (fisik)". Dikotomi Nama-Rupa itu sendiri menunjukkan bahwa itu masih terlibat dalam wilayah konseptual. Kala pikiran berhenti, maka runtuhlah semua pembedaan.
Teori2 spt Abhidhamma, Madhyamaka dsb itu hanya berguna bila anda ingin menjadi scribe (ahli kitab) atau guru agama Buddha atau peneliti filsafat Buddhism.
Saya melihat bahwa anda menolak abhidhamma tenpa mengetahui apa abhidhamma itu. silahkan anda mempelajari abhidhamma dulu bukan untuk menambah kemelekatan anda, tapi seperti ada pepatah mengatakan "Kenalilah musuh anda"

_/\_

Suchamda

QuoteRekan Suchamda,

Dalam bervipassana, menurut ajaran guru-guru meditasi seperti YM Mahasi Sayadaw, bahwa seorang yogI diinstruksikan untuk mengamati nama dan rupa, nama dan rupa ini jelas adalah abhidhamma, mungkin dalam tingkat yang sangat mendasar.
Saya tidak mengatakan bahwa praktik vipasana anda keliru, tapi mereka yang menyelaraskan vipassana dengan abhidhamma juga tidak bisa disalahkan, ini adalah cara berlatih masing-masing individu. Dan menurut saya apapun cara yang ditempuh, itu adalah hal sangat pribadi dan tidak untuk diperdebatkan.

Saya tidak melarang orang untuk melatih dengan metode masing2.
Tapi disini kan kita mau berdiskusi. Nah, untuk berdiskusi , orang perlu mengemukakan pendapatnya, alasannya, logikanya, reasoningnya.
Saya sudah melakukannya tanpa paksaan apapun ke pihak yg lainnya. Dan pihak yg lainnya pun punya hak yang sama untuk menjawabnya dengan argumentasi yang baik.

Pernyataan anda itu muncul karena anda terkonsep bahwa diskusi itu untuk "kalah vs menang".
Saya tidak memiliki intensi kesitu sama sekali.

QuotePernahkah anda membaca mengenai kisah Sang Buddha membabarkan Abhidhamma di tavatimsa? di sela-sela kunjungan Sang Buddha ke tavatimsa, Beliau masih menyempatkan diri untuk turun ke alam manusia dan menyampaikan apa yang Beliau ajarkan kepada YM Sariputta, kemudian oleh YM Sariputta diteruskan kepada para siswanya. jadi menurut saya, anda terlalu sembrono kalau menimpulkan bahwa Abhidhamma bukan berasal dari Sang Buddha. pada masa itu memang mungkin saja istilahnya bukan abhidhamma, tapi esensi ajarannya adalah Abhidhamma, dan sebenarnya abhidhamma ini juga sudah termasuk dalam sutta pitaka juga.

Yah itu kan mitos. Terus terang saya tidak mempercayainya. Apalagi abhidhamma baru ada beberapa ratus tahun setelah sang Buddha parinibbana.
Bukti arkeologis abhidhamma purba pun menunjukkan sistematika yg beda (kalau gak salah disebut Matika).
Kalau mau lebih dalam debat soal ini, silakan dengan pak Hudoyo saja.
Saya saat ini memang sedang mencegah terlalu banyak terlibat dalam diskusi konseptual.

Quotekalau kita melihat dari sudut pandang paramattha/pannati maka jelas abhidhamma jelas adalah paramattha. hanya saja mungkin anda tidak mengartikan dengan benar makna dari paramattha itu.

Itu kan pendapatnya orang Theravada.
Kalau orang Madhyamaka akan bilang bahwa yang paramatha itu adalah Shunyata (emptiness).
Orang Sautrantika,lain lagi. Swatantrika Yogacarin, juga lain lagi.
Coba anda pelajari dulu filosofi Madhyamaka, dll. Lihatlah keluasan filosofi Buddhism. Jangan menjadi katak dalam tempurung mengatakan "inilah yg ultimate".
Menurut saya, semuanya itu tiada lain adalah konsep semata. Jari penunjuk bulan tapi bukan bulan itu sendiri.

QuoteSaya melihat bahwa anda menolak abhidhamma tenpa mengetahui apa abhidhamma itu. silahkan anda mempelajari abhidhamma dulu bukan untuk menambah kemelekatan anda, tapi seperti ada pepatah mengatakan "Kenalilah musuh anda"

Saya mempelajari Abhidhamma sudah semenjak lama. Bahkan pernah masuk di milisnya Nina von Gorkom, kalau gak salah Dhamma Study Club. Bahkan Nina mengirimkan saya buku karangannya. Juga saya pernah bbrp kali ikut kelasnya bp.Selamat Rodjali.

"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Semit

Quote from: Suchamda on 01 August 2008, 04:01:55 PM
Saya tidak melarang orang untuk melatih dengan metode masing2.
Tapi disini kan kita mau berdiskusi. Nah, untuk berdiskusi , orang perlu mengemukakan pendapatnya, alasannya, logikanya, reasoningnya.
Saya sudah melakukannya tanpa paksaan apapun ke pihak yg lainnya. Dan pihak yg lainnya pun punya hak yang sama untuk menjawabnya dengan argumentasi yang baik.

Pernyataan anda itu muncul karena anda terkonsep bahwa diskusi itu untuk "kalah vs menang".
Saya tidak memiliki intensi kesitu sama sekali.

Bagaimana anda tahu kalau saya memiliki konsep demikian, saya curiga bahwa pendpat itu berasal dari sikap anda sendiri. so, siapa yang berkonsep di sini?
FYI, saya adalah orang baru dalam Buddhism, dan dari postingan anda saya menilai bahwa anda cukup senior dalam hal ini. kalaupun anda meginginkan "kalah vs menang" saya mengaku "kalah".

Quote
Yah itu kan mitos. Terus terang saya tidak mempercayainya. Apalagi abhidhamma baru ada beberapa ratus tahun setelah sang Buddha parinibbana.
Bukti arkeologis abhidhamma purba pun menunjukkan sistematika yg beda (kalau gak salah disebut Matika).
Kalau mau lebih dalam debat soal ini, silakan dengan pak Hudoyo saja.
Saya saat ini memang sedang mencegah terlalu banyak terlibat dalam diskusi konseptual.
ya ini memang terserah kepada anda untuk percaya atau tidak. seseorang di forum ini pernah memposting ungkapan tentang matahari bagi orang buta. saya melihat anda adalah orang seperti itu, karena ketidakmampuan anda untuk melihat anda mencari solusi gampangnya bahwa hal itu tidak ada. maaf, saya yang belum mampu dan belum mau melepaskan konsep.

Quote
Itu kan pendapatnya orang Theravada.
Kalau orang Madhyamaka akan bilang bahwa yang paramatha itu adalah Shunyata (emptiness).
Orang Sautrantika,lain lagi. Swatantrika Yogacarin, juga lain lagi.
Coba anda pelajari dulu filosofi Madhyamaka, dll. Lihatlah keluasan filosofi Buddhism. Jangan menjadi katak dalam tempurung mengatakan "inilah yg ultimate".
Menurut saya, semuanya itu tiada lain adalah konsep semata. Jari penunjuk bulan tapi bukan bulan itu sendiri.
Ya anda benar, saya memang hanya tahu sedikit mengenai Theravada dan buta soal ajaran dari tradisi lainnya.
Tapi saya melihat forum ini sudah sangat baik sekali dalam hal arsitektur, ada board theravada, mahayana dlsb, jadi diskusi bisa dilakukan tanpa mencampuradukkan segala tradisi. dan anda mungkin tidak menyadari bahwa kita sedang berada dalam board Theravada, jadi saya akan membatasi opini saya hanya dari sudut pandang theravada.
Quote
Saya mempelajari Abhidhamma sudah semenjak lama. Bahkan pernah masuk di milisnya Nina von Gorkom, kalau gak salah Dhamma Study Club. Bahkan Nina mengirimkan saya buku karangannya. Juga saya pernah bbrp kali ikut kelasnya bp.Selamat Rodjali.
Berarti saya salah menilai anda. maafkan saya
_/\_

bond

Quote from: Suchamda on 01 August 2008, 04:01:55 PM
QuoteRekan Suchamda,

Dalam bervipassana, menurut ajaran guru-guru meditasi seperti YM Mahasi Sayadaw, bahwa seorang yogI diinstruksikan untuk mengamati nama dan rupa, nama dan rupa ini jelas adalah abhidhamma, mungkin dalam tingkat yang sangat mendasar.
Saya tidak mengatakan bahwa praktik vipasana anda keliru, tapi mereka yang menyelaraskan vipassana dengan abhidhamma juga tidak bisa disalahkan, ini adalah cara berlatih masing-masing individu. Dan menurut saya apapun cara yang ditempuh, itu adalah hal sangat pribadi dan tidak untuk diperdebatkan.

Saya tidak melarang orang untuk melatih dengan metode masing2.
Tapi disini kan kita mau berdiskusi. Nah, untuk berdiskusi , orang perlu mengemukakan pendapatnya, alasannya, logikanya, reasoningnya.
Saya sudah melakukannya tanpa paksaan apapun ke pihak yg lainnya. Dan pihak yg lainnya pun punya hak yang sama untuk menjawabnya dengan argumentasi yang baik.

Kalau tidak melarang orang dengan metode masing2 dan disini untuk berdiskusi, ngak usah jadi satpam atau preman kesiangan yak.... disini uda ada moderator om. 8)

Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

K.K.

Quote from: hudoyo on 31 July 2008, 10:36:20 PM
Quote from: Indra on 31 July 2008, 12:17:29 PM
Sitagu Sayadaw:
... Vipassana and Abhidhamma cannot be separated. And while it may not be said that one can practice Vipassana only after one has mastered the Abhidhamma, Vipassana meditation and the study of Abhidhamma remain one and the same thing...

Pandangan saya bertolak belakang dengan pandangan Sitagu Sayadaw ini. Abhidhamma tidak kompatibel dengan vipassana, karena Abhidhamma menggunakan pikiran sebagai instrumennya, sedangkan vipassana justru menyadari pikiran itu sendiri sehingga berhenti.

Saya berbeda pendapat dengan Sitagu Sayadaw, sebab menurut saya, keduanya memang bisa saja berdiri sendiri. Orang bisa saja bervipassana dengan atau tanpa Abhidhamma, dan tetap mendapatkan manfaatnya.
Tapi saya juga berbeda pendapat dengan Pak Hudoyo bahwa Abhidhamma tidak kompatibel dengan Vipassana. Vipassana menyadari gerak pikiran, dan pikiran itu bisa juga berupa ajaran Abhidhamma, ajaran agama lain, ilmu pengetahuan dan bahkan kegiatan sehari-hari. Vipassana yang berada di luar tataran konsep, tidak bisa dikatakan "kompatibel" ataupun "tidak kompatibel" dengan suatu konsep.

Singkatnya, berangkat dari gerak pikiran (ajaran/konsep/teori) apapun, ketika dia menyadarinya dan "berhenti" (meminjam istilah dari MMD), maka di situlah "ditemukan" vipassana. Jadi di dalam ajaran/konsep/teori apapun, seseorang bisa "menemukan" vipassana; tetapi di dalam vipassana, tidak akan ada ajaran/konsep/teori apapun, bahkan sudah tidak ada istilah vipassana itu sendiri.
(contohnya: Bahiya "menemukan" Vipassana dalam Bahiya Sutta, tetapi dalam vipassananya Bahiya, saya percaya sudah tidak ada ajaran Buddha)

Suchamda

#161
Quote from: bond on 01 August 2008, 04:32:25 PM
Quote from: Suchamda on 01 August 2008, 04:01:55 PM
QuoteRekan Suchamda,

Dalam bervipassana, menurut ajaran guru-guru meditasi seperti YM Mahasi Sayadaw, bahwa seorang yogI diinstruksikan untuk mengamati nama dan rupa, nama dan rupa ini jelas adalah abhidhamma, mungkin dalam tingkat yang sangat mendasar.
Saya tidak mengatakan bahwa praktik vipasana anda keliru, tapi mereka yang menyelaraskan vipassana dengan abhidhamma juga tidak bisa disalahkan, ini adalah cara berlatih masing-masing individu. Dan menurut saya apapun cara yang ditempuh, itu adalah hal sangat pribadi dan tidak untuk diperdebatkan.

Saya tidak melarang orang untuk melatih dengan metode masing2.
Tapi disini kan kita mau berdiskusi. Nah, untuk berdiskusi , orang perlu mengemukakan pendapatnya, alasannya, logikanya, reasoningnya.
Saya sudah melakukannya tanpa paksaan apapun ke pihak yg lainnya. Dan pihak yg lainnya pun punya hak yang sama untuk menjawabnya dengan argumentasi yang baik.

Kalau tidak melarang orang dengan metode masing2 dan disini untuk berdiskusi, ngak usah jadi satpam atau preman kesiangan yak.... disini uda ada moderator om. 8)



Saya memang tidak melarang orang dengan metode masing2. Dimanakah saya melarang?

Kalau saya nyindir, itu tiada lain adalah untuk merespon netter2 yang lebih dahulu bersikap nyindir, alih-alih memberikan tanggapan dengan argumentasi yang reasonable.
Kedua, saya ingin meng-eksplisitkan serangan-serangan yang bersembunyi dibalik kata-kata manis dan imposing (menyiratkan). Tujuan diskusi disini saya rasa salah satunya adalah untuk memperlihatkan perbedaan antara meditasi vipassana berbasiskan Abhidhamma dan meditasi vipassana MMD yang tidak berbasiskan teori apapun.
Oleh karena itu, saya berusaha menunjukkan bahwa sikap2 netter yang berteori itu pada akhirnya kontradiksi dengan teorinya sendiri. Ego yang halus itu susah disadari oleh ybs, jadi disini saya cuman menjadi fasilitator untuk membesarkan ego (kemarahan) mereka agar mereka sendiri lebih mudah mengamatinya. Bukankah ini vipassana? ;D

Banyak netter yang mengutip ayat2 indah penuh kelembutan, tapi dilontarkan semata-mata karena sikap reaktif. Hal ini terbukti dengan tidak relevannya artikel yg dia sampaikan dengan alur diskusi yang terjadi.
Ada juga netter yang menutup kemarahannya dengan kata-kata manis berbunga-bunga, bahkan tidak menyadarinya bahwa itu adalah kemarahan.
Saya juga cuman berupaya menunjukkan betapa melekatnya mereka dengan teori yang mereka rasa tidak dimelekatinya.

Itulah sebenarnya mengapa disini saya bersikap demikian. Semata-mata saya ingin mengajak kalian melihat sendiri bahwa teori bisa sedemikian rupa mengelabui persepsi masing2 akan dirinya sendiri.

Tetapi spt rekan Willibordus, yang bersikeras untuk melatih dengan caranya sendiri dan dia mengemukakan argumentasinya dengan teratur dan berisi. Walaupun berbeda dengan pendapat saya, toh saya tidak mengutak-atiknya, bukan?

Disamping itu, kalau mau mempelajari benar2 vipasana, sudah resikonya untuk siap disinggung egonya. Belajar vipassana bukan dengan dharma yang manis-manis / sejuk-sejuk. Setau saya, guru vipasana yang saya anggap baik, akan mampu menekan satu tombol dimana kemarahan saya kontan meledak. Disitu saya langsung bisa mengamati titik lemah simpul batin saya. Semakin besar emosinya, semakin jelas pengamatannya. Dengan cara disadari demikian, baru ada harapan utk terurai.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

san

#162
Apa ada kemungkinan bahwa kita mempelajari buddhisme dengan cara yang salah?

Misalkan (klo tidak salah baca) ada pernyataan dalam buddhisme yang mengatakan:
-Sungguh beruntung terlahir sebagai seorang manusia, karena sulit sekali terlahir sebagai manusia, karenanya hargailah kehidupan
-Tubuh ini sebenarnya menjijikkan, keluar cairan, bau, hanyalah kantong sampah
-Kita sebenarnya hanya terdiri dari 2 hal nama dan rupa: tubuh fisik dan batin.

Klo dilihat secara umum tanpa mempelajari pemahaman buddhisme dangkal maupun mendalam, ketiga pernyataan di atas satu dan yang lainnya bertolak belakang. Namun jika kita mempelajari awal, kemudian semakin mendalam pemahaman kita, bahwa ketiga hal tersebut tidaklah bertolak belakang. Satu mendukung yang lain. Dari keberuntungan lahir sebagai manusia, memahami sifat ketidakkekalan, dan belajar cara untuk melihat apa adanya. Dan kemungkinan untuk melihat apa adanya hanya bisa dilakukan apabila terlahir sebagai manusia, karena dengan begitu kita dapat melihat ketidakkekalan.

Atau mungkin saya yang salah dalam mengartikan tahapan dalam mempelajari buddhisme seperti yang saya ungkapkan di atas?
be happy ^^

ryu

 ~o) Untung Gw kristien gak ngerti bahas ginian kakakakak
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Suchamda

Quote from: san on 01 August 2008, 05:00:35 PM
Apa ada kemungkinan bahwa kita mempelajari buddhisme dengan cara yang salah?

Misalkan (klo tidak salah baca) ada pernyataan dalam buddhisme yang mengatakan:
-Sungguh beruntung terlahir sebagai seorang manusia, karena sulit sekali terlahir sebagai manusia, karenanya hargailah kehidupan
-Tubuh ini sebenarnya menjijikkan, keluar cairan, bau, hanyalah kantong sampah
-Kita sebenarnya hanya terdiri dari 2 hal nama dan rupa: tubuh fisik dan batin.

Klo dilihat secara umum tanpa mempelajari pemahaman buddhisme dangkal maupun mendalam, ketiga pernyataan diatas satu dan yang lainnya bertolak belakang. Namun jika kita mempelajari awal, kemudian semakin mendalam pemahaman kita, bahwa ketiga hal tersebut tidaklah bertolak belakang. Satu mendukung yang lain. Dari keberuntungan lahir sebagai manusia, memahami sifat ketidakkekalan, dan belajar cara untuk melihat apa adanya.

Atau mungkin saya yang salah dalam mengartikan tahapan dalam mempelajari buddhisme seperti yang saya ungkapkan di atas?

Masing-masing obat ada untuk tahapan2an penyakitnya sendiri-sendiri.

Tapi untuk bervipasana, kita tidak memakai antidote utk melawan kecenderungan batin kita; melainkan dengan cara self-liberation (emosi / pikiran negatif itu pudar dengan sendirinya). Termasuk konsep2 yang anda sebutkan diatas. Sampai suatu saat melihat : tidak ada manusia.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho