Menurut Pak Hud jalan mulia beruas 8 itu bisa membawa kebebasan tidak?

Started by hudoyo, 22 July 2008, 08:27:07 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

hudoyo

Quote from: nyanadhana on 26 July 2008, 10:57:46 AM
Bagus-bagus saja umat Buddha berpendapat seperti Anda.
Yang saya katakan adalah umat non-Buddhis pun bisa saja mencapai pembebasan (nibbana) tanpa melalui JMB-8, tanpa melalui konsep "pantai seberang", tanpa melalui konsep "rakit".
Itulah yang saya pahami dari pengalaman sadar sampai sejauh ini.

hudoyo


Ow,sebenarnya Jalan Mulia 8 itu bukan politik milik Buddha itu sendiri kan Pak Hudoyo, Dhamma itu terintegrasi secara universal jadi setiap orang bisa mempraktekkan walaupun dia sama sekali ga tahu label "Jalan Mulia 8" atau berbagai nama lain, karena hanya sebuah nama untuk menunjuk, sadar atau tidak sadar nantinya,orang non agama Buddha yang mempraktekkan "Nibbana" telah melengkapi dirinya sendiri dengan Jalan Mulia 8

Kembali lagi pada saat Prince Siddhatta menemukan Jalan itu sendiri. Apakah dari awal dia sudah tahu label "Jalan Mulia 8" ,saya rasa tidak , mengkonsepkan nama itu sendiri terjadi setelah Prince menjadi Buddha. dan Prince juga bukan beragama Buddha pada asalnya melainkan Brahman.

Rekan Nyanadhana, yang Anda tulis ini sudah beberapa kali muncul dalam thread ini; pada prinsipnya menyatakan bahwa dalam setiap ajaran pembebasan apa pun terdapat JMB-8 yang adalah rumusan. Saya sudah menanggapi pandangan inklusivisme Buddhis ini. Jadi tidak perlu saya tanggapi lagi; silakan saja membaca kembali thread ini.

Saya cuma membuat analogi yang sama dari sudut pandang Keristen. Menurut ajaran Keristen, Yesus berkarya di dalam gereja Keristen untuk menyelamatkan seluruh umat manusia di muka bumi ini. Namun, melihat kenyataan ada agama-agama lain di luar Keristen yang juga mengajarkan pembebasan/keselamatan, maka para teolog Keristen modern menyatakan bahwa Yesus Kristus juga berkarya secara terselubung (anonymous) di dalam agama-agama lain itu, termasuk di dalam agama Buddha, untuk menyelamatkan umat manusia.

Salam,
hudoyo

hudoyo

Quote from: ryu on 26 July 2008, 11:20:39 AM
apakah yang akan terjadi ketika seseorang dengan sadar berbuat baik/berbuat jahat?

Tidak ada orang yang berbuat 'baik' dan berbuat 'jahat' kalau ia menyadari akunya.
Yang berbuat 'baik' dan berbuat 'jahat' itu adalah si aku dengan pikirannya.
Orang yang berbuat 'baik' dan orang yang berbuat 'jahat' kedua-duanya tidak mengenali/tidak sadar akan akunya.
Orang yang mengenali/menyadari akunya, tidak akan melekat pada perbuatan 'baik' maupun 'jahat', ia tidak akan melekat pada buah perbuatan 'baik' maupun 'jahat', ia bebas dari karma dan buah karma, ia tidak akan lahir kembali.

salam,
hudoyo

K.K.

Quote from: hudoyo on 26 July 2008, 12:04:27 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 26 July 2008, 10:31:01 AM
Ya, maka saya katakan ini mungkin hanya masalah definisi bahasa saja.
Misalnya bagi orang lain barangkali:
Tujuan = "diam"
Metode= "vipassana" atau "MMD"
Itu tergantung pada masing2 untuk mendefinisikannya.

Tujuan & metode selalu menyiratkan masa depan. Kalau orang berada pada saat kini, tidak ada tujuan & metode.

Ya, memang sebetulnya "kesadaran" ada pada "saat kini". Menurut saya, mungkin Pak Hudoyo tidak mau membuat suatu pola pikir yang membuat seseorang "berharap" pada "masa depan", yaitu, "nanti, saya akan sadar/tersadarkan setelah melewati ajaran tertentu". Saya mengerti. Dari definisi saya, maksudnya adalah karena orang cenderung "hidup di masa lalu" atau "hidup di masa depan", maka tujuan Vipassana/MMD adalah untuk "hidup di masa kini, sekarang".


QuoteDevoid of true ascetics are the systems of other teachers.
QuoteKalimat itu adalah bagian tak terpisahkan dari seluruh paragraf yang dipermasalahkan.
Menurut saya, jika kalimat itu tidak ada, barangkali masih bisa 'nyambung'.
Secara sederhana misalnya seperti mengatakan, "Di ajaran (dhamma/vinaya) manapun (tidak harus selalu bermerk Buddha, tidak harus punya sistem yang sama seperti Buddhism) yang mengajarkan orang untuk berbuat baik, pasti terdapat orang2 baik". Orang baik yah orang baik. Buddhist bisa jadi adalah orang baik, tetapi orang baik belum tentu Buddhist.
8 JM ini sifatnya umum, sama sekali tidak eksklusif, siapapun bisa menjalaninya, dengan atau tanpa agama, tidak peduli Buddha muncul ataupun tidak. Tapi dengan adanya frase "systems of other teachers", maka muncul sifat eksklusif dan pola pikir "system of MY teacher".




hudoyo

Quote from: Suchamda on 26 July 2008, 11:26:58 AM
AKAN TETAPI, bila kemudian ada orang yang berpura-pura sadar,
atau berkeinginan untuk "sadar" kemudian meniadakan penilaian baik-buruk, ini berarti sudah terperosok dalam jurang kesesatan yang sangat dalam.

'Berpura-pura sadar', atau 'berkeinginan untuk sadar' itu sendiri sudah merupakan penilaian dan pemilihan/pengambilan sikap, yang bukanlah 'sadar' sesungguhnya.

hudoyo

Quote from: willibordus on 26 July 2008, 11:41:10 AM
Demikian pula sebaliknya.
Karena mungkin 'tidak puas' terhadap ajaran yg umum atau ingin mencari sesuatu yg baru, beberapa orang berpikir 'ajaran tua yg sistematis' (mis: Buddhism dgn segala rumusannya) adalah suatu KONSEP yg melekat (padahal blom tentu loh, tidak bisa digeneralisasi).
Akhirnya mereka mencari sesuatu yg fresh (baru) dan menganggap jalan baru tsb 'terlepas dari konsep'.... Syukur2 bisa terlepaskan, kenyataan yg terjadi, malah banyak yg terjebak dan melekat dengan apa yg mereka anggap 'melepas konsep' tsb.
Jadi semakin membingungkan bukan? Kita akan bingung Jalan mana yg sebenarnya akan "membebaskan"?

Bagi saya, bukan soal "ajaran lama" atau "ajaran baru", sekalipun memang benar bahwa "ajaran lama" biasanya banyak tertutup oleh ritualisme dan tradisi intelektual.

Bagi saya, yang penting bukan ajarannya, melainkan manusia yang menerimanya. Kalau orang berpegang pada Bahiya-sutta yang sudah berumur 2500 tahun, baginya kemungkinan pencerahan tetap besar. Sebaliknya, kalau orang melekat pada ajaran Krishnamurti secara intelektual semata-mata, tanpa sadar sesungguhnya, tidak mungkin ada pencerahan baginya.

Jadi, yang penting adalah MELEKAT SECARA INTELEKTUAL (terhadap ajaran Buddha, ajaran K), ataukah SADAR. Itu saja. Tidak ada hubungannya dengan "ajaran lama" atau "ajaran baru".

Kalau orang terus mencari jalan di antara sekian banyak jalan, ia pasti bingung. Kalau ia menyadari pikirannya pada saat sekarang, ia tidak akan pernah bingung, ia tidak peduli dengan semua ajaran yang ada, baik itu ajaran Buddha, ajaran Krishnamurti dsb.

QuoteSy pernah menuliskan soal ini dulu. Tidak usah bingung dengan Jalan mana yg akan membebaskan. BAROMETERNYA GAMPANG SAJA:
~ Jika kita sudah mencoba suatu Jalan dan ternyata Jalan tsb  berhasil mengurangi dukkha kita, kita menjadi semakin toleransi, semakin diterima oleh orang2 disekeliling kita, maka Jalan yg kita tempuh itu adalah Jalan yg benar. Namun jika, Jalan yg kita latih, semakin memperkuat dukkha kita, kita menjadi semakin tidak toleran, kita semakin tidak diterima oleh komunitas kita, maka artinya kita telah menempuh Jalan yg salah.

Ah, kalau ukuran "jalan yang benar" adalah "diterima oleh orang di sekeliling kita", menjadi orang yang terhormat, mengangguk-angguk, tersenyum manis, saya tidak setuju. Itu cuma ukuran bagi si aku agar merasa "aman" di masyarakat; sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebenaran. -- Tentang "toleransi", apa itu? Toleransi adalah membiarkan setiap orang mempunyai pendapat masing-masing; tapi itu tidak berarti tidak berani mengemukakan pendapat sendiri yang mungkin saja bertentangan dengan pendapat orang banyak, atau "mengikuti arus" supaya "diterima oleh orang banyak". Itu sama sekali bukan ukuran "jalan yang benar". 

QuoteTidak usah memusingkan Konsep dan Bukan Konsep karena semua itu hanyalah permainan kata-kata, permainan intelektual belaka.

Saya juga tidak setuju ini. Orang yang tidak bisa membedakan antara konsep/ajaran dengan pengalaman batin sendiri, berarti dia tidak mengenal pikirannya sendiri.

hudoyo

Quote from: Jinaraga on 26 July 2008, 12:14:44 PM
=P~ =P~
Ada kuis permaenan kata yah  :o :o

Ikutan donk ;D

Karena tidak mengerti, maka dibilang "permaenan kata".

hudoyo

Quote from: Kainyn_Kutho on 26 July 2008, 12:37:25 PM
Quote from: hudoyo on 26 July 2008, 12:04:27 PM
Tujuan & metode selalu menyiratkan masa depan. Kalau orang berada pada saat kini, tidak ada tujuan & metode.
Ya, memang sebetulnya "kesadaran" ada pada "saat kini". Menurut saya, mungkin Pak Hudoyo tidak mau membuat suatu pola pikir yang membuat seseorang "berharap" pada "masa depan", yaitu, "nanti, saya akan sadar/tersadarkan setelah melewati ajaran tertentu". Saya mengerti. Dari definisi saya, maksudnya adalah karena orang cenderung "hidup di masa lalu" atau "hidup di masa depan", maka tujuan Vipassana/MMD adalah untuk "hidup di masa kini, sekarang".

Benar sekali, itulah maksud saya. Anda paham, namaste.

Quote
QuoteDevoid of true ascetics are the systems of other teachers.
QuoteKalimat itu adalah bagian tak terpisahkan dari seluruh paragraf yang dipermasalahkan.
Menurut saya, jika kalimat itu tidak ada, barangkali masih bisa 'nyambung'.
Secara sederhana misalnya seperti mengatakan, "Di ajaran (dhamma/vinaya) manapun (tidak harus selalu bermerk Buddha, tidak harus punya sistem yang sama seperti Buddhism) yang mengajarkan orang untuk berbuat baik, pasti terdapat orang2 baik". Orang baik yah orang baik. Buddhist bisa jadi adalah orang baik, tetapi orang baik belum tentu Buddhist.
8 JM ini sifatnya umum, sama sekali tidak eksklusif, siapapun bisa menjalaninya, dengan atau tanpa agama, tidak peduli Buddha muncul ataupun tidak. Tapi dengan adanya frase "systems of other teachers", maka muncul sifat eksklusif dan pola pikir "system of MY teacher".

Menurut hemat saya, JMB-8 bukanlah pengertian umum/universal; sebagai rumusan kata-kata, apalagi bila dijabarkan isinya secara mendetail, itu adalah ajaran yang khas Buddhis, kecuali orang mau bersikap inklusivistik, melihat "esensi" JMB-8 di dalam semua ajaran agama lain.

Sedangkan penyederhanaan yang Anda lakukan ("berbuat baik") adalah memang pengertian umum/universal, semua orang pasti akan setuju; jadi tidak pas sebagai analogi dari JMB-8.

williamhalim

Quote from: hudoyo on 26 July 2008, 01:05:35 PM
QuoteSy pernah menuliskan soal ini dulu. Tidak usah bingung dengan Jalan mana yg akan membebaskan. BAROMETERNYA GAMPANG SAJA:
~ Jika kita sudah mencoba suatu Jalan dan ternyata Jalan tsb  berhasil mengurangi dukkha kita, kita menjadi semakin toleransi, semakin diterima oleh orang2 disekeliling kita, maka Jalan yg kita tempuh itu adalah Jalan yg benar. Namun jika, Jalan yg kita latih, semakin memperkuat dukkha kita, kita menjadi semakin tidak toleran, kita semakin tidak diterima oleh komunitas kita, maka artinya kita telah menempuh Jalan yg salah.

Ah, kalau ukuran "jalan yang benar" adalah "diterima oleh orang di sekeliling kita", menjadi orang yang terhormat, mengangguk-angguk, tersenyum manis, saya tidak setuju. Itu cuma ukuran bagi si aku agar merasa "aman" di masyarakat; sama sekali tidak ada kaitannya dengan kebenaran.

Bukan menjadi terhormat dan senyum2 manis, Pak ;D
Bukan begitu.

Maksudnya:
Berhasil / tidaknya kita memadamkan AKU, akan tercermin melalui sikap kita, karena sikap adalah cetakan batin kita. Jika Jalan yg kita tempuh sudah benar, artinya AKU kita sedikit demi sedikit mulai berkurang. Ego kita mulai menyusut, kita tidak mudah marah2 dan kesal. Kemelekatan kita mulai berkurang, kita tidak banyak keinginan yg menggenggam.

Dan reaksi orang2 disekitar kita kepada kita adalah, mereka semakin nyaman berada bersama kita yg tidak lagi seegois dulu, mereka semakin senang dengan kita yg tidak banyak menuntut seperti dulu.

Itu maksudnya Pak. Dapat kita saksikan, orang2 yg tercerahkan adalah orang2 yg mencintai perdamaian, bukanlah sebaliknya.

Quote
-- Tentang "toleransi", apa itu? Toleransi adalah membiarkan setiap orang mempunyai pendapat masing-masing; tapi itu tidak berarti tidak berani mengemukakan pendapat sendiri yang mungkin saja bertentangan dengan pendapat orang banyak, atau "mengikuti arus" supaya "diterima oleh orang banyak". Itu sama sekali bukan ukuran "jalan yang benar". 

Mengemukakan pendapat sendiri tentu saja boleh, malah sangat dianjurkan.
Tapi, cara2 kita mempertahankan pendapat kita itu akan mencerminkan kemelekatan kita.

Orang2 tidak akan menentang kita gara2 kita mengemukakan pendapat kita, tapi yg namanya EGO/AKU, akan membuat kita bereaksi berlebihan dalam mempertahankan pendapat kita itu. Reaksi berlebihan kita itu (yg merupakan cerminan ke-AKUan kita) akan membuat kita dijauhi oleh orang2, atau juga makin ditentang.

Inilah yg sy maksud Reaksi orang2 terhadap kita dapat dijadikan tolak ukur padamnya ke AKU an kita (Dgn kata lain: Benar / tidak nya Jalan yg kita tempuh dapat dilihat dari perubahan sikap kita dan reaksi orang2 sekitar terhadap kita)

Ini hanya pandangan sy pribadi, mohon dikoreksi jika ada yg kurang tepat

_/\_

::



Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

K.K.

Quote from: hudoyo on 26 July 2008, 01:30:04 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 26 July 2008, 12:37:25 PM
Quote from: hudoyo on 26 July 2008, 12:04:27 PM
Tujuan & metode selalu menyiratkan masa depan. Kalau orang berada pada saat kini, tidak ada tujuan & metode.
Ya, memang sebetulnya "kesadaran" ada pada "saat kini". Menurut saya, mungkin Pak Hudoyo tidak mau membuat suatu pola pikir yang membuat seseorang "berharap" pada "masa depan", yaitu, "nanti, saya akan sadar/tersadarkan setelah melewati ajaran tertentu". Saya mengerti. Dari definisi saya, maksudnya adalah karena orang cenderung "hidup di masa lalu" atau "hidup di masa depan", maka tujuan Vipassana/MMD adalah untuk "hidup di masa kini, sekarang".

Benar sekali, itulah maksud saya. Anda paham, namaste.
_/\_


QuoteMenurut hemat saya, JMB-8 bukanlah pengertian umum/universal; sebagai rumusan kata-kata, apalagi bila dijabarkan isinya secara mendetail, itu adalah ajaran yang khas Buddhis, kecuali orang mau bersikap inklusivistik, melihat "esensi" JMB-8 di dalam semua ajaran agama lain.

Sedangkan penyederhanaan yang Anda lakukan ("berbuat baik") adalah memang pengertian umum/universal, semua orang pasti akan setuju; jadi tidak pas sebagai analogi dari JMB-8.

Bila memang sudah distrukturkan beserta detailnya (seperti pandangan benar mencakup hukum kamma dan sebagainya), memang jadinya khas Buddhism. Saya sendiri sebetulnya belum pernah baca sutta di mana Buddha Gotama menjelaskan detail dari 8 faktor tersebut, jadi tidak berani berkomentar. Saya hanya berpikir bahwa isi JMB 8 (bukan struktur ataupun kurikulumnya) itu tentunya mengenai kehidupan, sebagaimana ajaran lain juga sebetulnya mengarah pada kehidupan, bukan pada suatu keagamaan yang sempit, jadinya seharusnya tidak ada "ajaran X termasuk ajaran Y", atau "menjalani perbuatan tertentu adalah khas ajaran X" dan lain sebagainya.


hudoyo

Quote from: willibordus on 26 July 2008, 01:41:51 PM
Bukan menjadi terhormat dan senyum2 manis, Pak ;D
Bukan begitu.
Maksudnya:
Berhasil / tidaknya kita memadamkan AKU, akan tercermin melalui sikap kita, karena sikap adalah cetakan batin kita. Jika Jalan yg kita tempuh sudah benar, artinya AKU kita sedikit demi sedikit mulai berkurang. Ego kita mulai menyusut, kita tidak mudah marah2 dan kesal. Kemelekatan kita mulai berkurang, kita tidak banyak keinginan yg menggenggam.

Setuju.

QuoteDan reaksi orang2 disekitar kita kepada kita adalah, mereka semakin nyaman berada bersama kita yg tidak lagi seegois dulu, mereka semakin senang dengan kita yg tidak banyak menuntut seperti dulu.
Itu maksudnya Pak. Dapat kita saksikan, orang2 yg tercerahkan adalah orang2 yg mencintai perdamaian, bukanlah sebaliknya.

Ini bukan ukuran "jalan yang benar". Siapa orang-orang di sekitar kita: tetangga, orang yang bertemu di jalan, pembaca tulisan, pembaca di internet, pembaca satu forum, satu thread? Lalu, betapa "baiknya" seseorang, pasti ada yang tidak senang di samping yang senang. -- Jadi ini ukuran yang dibuat-buat; sebetulnya sumbernya justru keinginan untuk merasa "aman" di masyarakat, yang justru menunjukkan adanya si aku di balik itu.

QuoteMengemukakan pendapat sendiri tentu saja boleh, malah sangat dianjurkan.
Tapi, cara2 kita mempertahankan pendapat kita itu akan mencerminkan kemelekatan kita.
Orang2 tidak akan menentang kita gara2 kita mengemukakan pendapat kita, tapi yg namanya EGO/AKU, akan membuat kita bereaksi berlebihan dalam mempertahankan pendapat kita itu. Reaksi berlebihan kita itu (yg merupakan cerminan ke-AKUan kita) akan membuat kita dijauhi oleh orang2, atau juga makin ditentang.

"Cara orang berbicara" (mannerism, etiquette) tidak mencerminkan status kebebasannya; yang mencerminkan kebebasan seseorang adalah "isi" apa yang dibicarakannya. Orang yang bicaranya manis-manis belum tentu egonya tipis. Orang bicaranya lugas belum tentu egonya tebal. Sama sekali tidak ada kaitannya "cara bicara" dengan kebebasan; yang relevan dengan kebebasan adalah "isi" yang dibicarakannya, apakah ia menonjolkan opininya dan menyerang opini orang lain ataukah ia menempatkan opininya sejajar dengan opini orang lain dsb.

Lagi pula reaksi orang terhadap opini kita itu pun bermacam-macam. Kalau isi pembicaraan kita adalah kebebasan, maka hal itu akan dipahami oleh mereka yang sedikit banyak telah bebas pula, tetapi mungkin akan dilihat sebagai "serangan" bagi orang yang masih melekat erat pada apa yang telah kita lepaskan. Semakin dalam kebebasan itu, semakin sedikit orang yang memahami kita, dan semakin banyak orang yang "salah paham" terhadap kita.

Ngomong-ngomong, banyak orang berkata isi buku "The Power of Now" tulisan Eckhart Tolle (sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia) mirip atau sama dengan ajaran Krishnamurti. Tapi mengapa buku Tolle menjadi bestseller (dengan lebih 900 review di Amazon.com dibandingkan dengan buku Krishnamurti (cuma 50 review)? Apakah menurut Anda, Tolle lebih tercerahkan daripada K? Menurut saya, justru SEBALIKNYA: pencerahan K jauh lebih tinggi daripada pencerahan Tolle, terbukti dari jauh lebih sedikit orang yang memahami K dibandingkan Tolle.

QuoteInilah yg sy maksud Reaksi orang2 terhadap kita dapat dijadikan tolak ukur padamnya ke AKU an kita (Dgn kata lain: Benar / tidak nya Jalan yg kita tempuh dapat dilihat dari perubahan sikap kita dan reaksi orang2 sekitar terhadap kita)
Ini hanya pandangan sy pribadi, mohon dikoreksi jika ada yg kurang tepat

Sebagai kesimpulan: Reaksi orang terhadap apa yang kita katakan bukanlah ukuran bagi kebenaran dari apa yang kita katakan (siapa dulu yang bereaksi); sedangkan "perubahan sikap kita" hanya kita sendiri yang tahu (tidak ada orang yang tahu kecuali istri atau suami kita). :)

Salam,
hudoyo

K.K.

Quote
Ngomong-ngomong, banyak orang berkata isi buku "The Power of Now" tulisan Eckhart Tolle (sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia) mirip atau sama dengan ajaran Krishnamurti. Tapi mengapa buku Tolle menjadi bestseller (dengan lebih 900 review di Amazon.com dibandingkan dengan buku Krishnamurti (cuma 50 review)? Apakah menurut Anda, Tolle lebih tercerahkan daripada K? Menurut saya, justru SEBALIKNYA: pencerahan K jauh lebih tinggi daripada pencerahan Tolle, terbukti dari jauh lebih sedikit orang yang memahami K dibandingkan Tolle.

Kalau ini, saya tidak setuju. Kadang tingkat pencerahan seseorang bisa sangat tinggi, namun kemampuan verbal ataupun interpersonalnya kurang, sehingga bahasa yang disampaikan kurang bisa dimengerti banyak orang. Tetapi ada juga yang selain pencerahannya sudah sangat tinggi, tetapi kemampuan interpersonalnya juga baik, sehingga dia bisa menjelaskan dengan cara yang dimengerti oleh orang2 "bodoh".

Mungkin ini seperti 2 siswa SMU yang memiliki kemampuan akademik persis sama, tetapi yang satu kurang bisa menjelaskannya kepada anak SD, yang lain bisa lebih baik menyampaikannya, apakah itu dengan dongeng ataupun gambar2 dsb.  :)

hudoyo

Quote from: Kainyn_Kutho on 26 July 2008, 02:13:22 PM
Bila memang sudah distrukturkan beserta detailnya (seperti pandangan benar mencakup hukum kamma dan sebagainya), memang jadinya khas Buddhism. Saya sendiri sebetulnya belum pernah baca sutta di mana Buddha Gotama menjelaskan detail dari 8 faktor tersebut, jadi tidak berani berkomentar. Saya hanya berpikir bahwa isi JMB 8 (bukan struktur ataupun kurikulumnya) itu tentunya mengenai kehidupan, sebagaimana ajaran lain juga sebetulnya mengarah pada kehidupan, bukan pada suatu keagamaan yang sempit, jadinya seharusnya tidak ada "ajaran X termasuk ajaran Y", atau "menjalani perbuatan tertentu adalah khas ajaran X" dan lain sebagainya.

JMB-8 tidak bisa dimungkiri mewakili suatu ajaran yang sangat mendetail, yang bahkan di kalangan umat Buddhis sendiri sering menimbulkan pertentangan khususnya mengenai 'samadhi'. Bagaimana bisa JMB-8 mempunyai pengertian universal? Ternyata JMB-8 telah menjadi sistematika ajaran suatu agama spesifik, yakni Buddhisme, yang asing bagi orang-orang non-Buddhis.

hudoyo

Quote from: Kainyn_Kutho on 26 July 2008, 02:24:46 PM
Kalau ini, saya tidak setuju. Kadang tingkat pencerahan seseorang bisa sangat tinggi, namun kemampuan verbal ataupun interpersonalnya kurang, sehingga bahasa yang disampaikan kurang bisa dimengerti banyak orang. Tetapi ada juga yang selain pencerahannya sudah sangat tinggi, tetapi kemampuan interpersonalnya juga baik, sehingga dia bisa menjelaskan dengan cara yang dimengerti oleh orang2 "bodoh".
Mungkin ini seperti 2 siswa SMU yang memiliki kemampuan akademik persis sama, tetapi yang satu kurang bisa menjelaskannya kepada anak SD, yang lain bisa lebih baik menyampaikannya, apakah itu dengan dongeng ataupun gambar2 dsb.  :)

Soal kepopuleran Tolle vs JK hanya satu aspek kurang penting dari pertimbangan saya. Yang lebih penting, lagi-lagi, adalah apa 'isi' ajaran masing-masing. Anda sudah baca buku Tolle dan buku K?

Sumedho

waduh, baru telat beberapa jam saja sudah ketinggalan 5 page.

ini yg diributkan soal ekslusifitas pencerahan buddhisme? coba kita buka kembali DN 16: paragraf 5.27 yang diterjemahkan dari bahasa Pali ke Bahasa Inggris oleh Maurice O'Connel Walshe yang merupakan terjemahan lebih baru dan dianggap lebih akurat.

Quote from: http://dhammacitta.org/tipitaka/dn/dn.16.0.wlsh.html
5.27. "Dalam Dhamma dan disiplin apapun dimana tidak ditemukan Jalan Mulia berfaktor delapan, tidak akan ditemukan pertapa tingkat pertama, kedua, ketiga atau keempat.81 Tetapi pertapa demikian, tingkat pertama, kedua, ketiga atau keempat dapat ditemukan dalam Dhamma dan disiplin Jalan Mulia berfaktor delapan. Sekarang, Subhadda, dalam Dhamma dan disiplin ini Jalan Mulia berfaktor delapan ditemukan, dan di dalamnya dapat ditemukan pertapa-pertapa tingkat pertama, kedua, ketiga dan keempat. Dalam aliran-aliran lainnya tidak ada pertapa-pertapa [sejati]; tetapi jika di dalam yang satu ini para bhikkhu hidup menjalani kehidupan sempurna, dunia ini tidak akan kekuarangan Arahat.

dah jelaskan? Hayo ambil nafas, jaga ego/aku masing2x  ^-^
There is no place like 127.0.0.1

Sumedho

Quote from: hudoyo on 26 July 2008, 02:33:50 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 26 July 2008, 02:13:22 PM
Bila memang sudah distrukturkan beserta detailnya (seperti pandangan benar mencakup hukum kamma dan sebagainya), memang jadinya khas Buddhism. Saya sendiri sebetulnya belum pernah baca sutta di mana Buddha Gotama menjelaskan detail dari 8 faktor tersebut, jadi tidak berani berkomentar. Saya hanya berpikir bahwa isi JMB 8 (bukan struktur ataupun kurikulumnya) itu tentunya mengenai kehidupan, sebagaimana ajaran lain juga sebetulnya mengarah pada kehidupan, bukan pada suatu keagamaan yang sempit, jadinya seharusnya tidak ada "ajaran X termasuk ajaran Y", atau "menjalani perbuatan tertentu adalah khas ajaran X" dan lain sebagainya.

JMB-8 tidak bisa dimungkiri mewakili suatu ajaran yang sangat mendetail, yang bahkan di kalangan umat Buddhis sendiri sering menimbulkan pertentangan khususnya mengenai 'samadhi'. Bagaimana bisa JMB-8 mempunyai pengertian universal? Ternyata JMB-8 telah menjadi sistematika ajaran suatu agama spesifik, yakni Buddhisme, yang asing bagi orang-orang non-Buddhis.
yg ini bener nih heheheheh

terkadang masing2x orang dan "kelompok" mendefinisikan JMB-8 ala mereka yg sangat eksklusif. IMO sih tidak demikian dan harusnya sangat umum dan "mbumi"
There is no place like 127.0.0.1