Pertanyaan Kritis Mengenai ZEN Menurut Pandangan yang Berbeda

Started by K.K., 17 January 2011, 09:27:55 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Indra

Quote from: dilbert on 19 January 2011, 11:52:31 AM
Note : untuk segar-kan ingatan bro sutarman dan tidak bersombong diri, dulu saya melamar jadi Moderator subforum Zen di Dhammacitta, dan diterima... hahahaha...

dan itu hanya dengan modal komik?

dilbert

Quote from: Indra on 19 January 2011, 11:57:51 AM
dan itu hanya dengan modal komik?

modal dasar-nya komik... tapi kan bertambah terus asset-nya... di-kembang-kan... Jadi guru pertama saya buku komik...
:)

Saya pernah ikut retreat Guru Chan Ven Guo Jun, pernah ikut simposium dari Master Zen Seung Sahn dari Korea. Tapi tetap saya rasa buku komik lebih memberikan pengertian soal Zen kepada saya...  ^-^
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

sutarman

Bro Kainyn yang baik,

Quote from: Kainyn_Kutho on 19 January 2011, 09:46:37 AM
Memang betul kejujuran pada diri sendiri adalah penting. Tetapi apakah hubungannya dengan penjagaan vinaya? Di sini saya lihat orang jujur bisa menjaga vinaya, bisa juga melanggar. Sebaliknya orang tidak jujur juga bisa menjaga vinaya, bisa juga melanggar.
Saya melihat orang jujur sekaligus menjaga vinaya adalah yang terbaik di antara 4 jenis itu.

Saya memilih yang terakhir itu.

Quote
Perumpamaan yang baik sekali. Saya mau tanya balik.
Seandainya seseorang tinggal dikelilingi rumput yang tinggi dan rimbun, banyak binatang berbahaya tersembunyi di balik rumput tersebut. Sekarang orang tersebut belum mampu mencabut akar, hanya mampu memangkasnya. Tetapi dia berpikir a la Zen bahwa memangkas tidak ada gunanya, lebih baik nanti saja kalau saya mampu mencabut, baru saya cabut sampai ke akarnya.
Sekarang saya mau tanya bro Sutarman, apakah dengan cara demikian, dia bisa melihat bahaya tersembunyi di balik rumput tinggi itu dan menghindarinya sebelum bahaya itu menyerang?

Saya tidak melihat sesuatu yang tersembunyi di balik rumput tinggi karena (maaf bercanda khas Zen) rumput itu sendiri tidak ada.

Quote
Nah, ini menarik sekali. Bro Sutarman punya kesimpulan demikian berdasarkan apa? Pengamatan terhadap pribadi tertentu atau langsung pada ajarannya?

Ajarannya memang skeptis dan kritis dari sono-nya.

Quote
Ini hanyalah propaganda. Dalam semua aliran Buddha-dharma (dan sepertinya hampir semua aliran spiritual lain), yang ditransmisikan memang adalah pikiran. Namun pikiran tidak bisa begitu saja ditransmisikan tanpa media, maka digunakanlah kitab, kata, dan bahasa sebagai media. Menarik sekali sementara di zen ada istilah "jari menunjuk ke bulan" di mana jari adalah media dan bulan adalah kebenaran itu sendiri, sementara anda mengatakan tidak ada jari.

Jarinya ya kata, bahasa, kitab.

Quote
Saya tahu bahwa tujuan dari Zen tetap adalah esensi Buddha-dharma. Saya hanya ingin membahas masalah manfaat dari sila/vinaya.

Saya coba bahas manfaat walau mungkin tak sempurna, yah namanya saja saya masih rendah dalam pencapaian Zen. Sekali lagi, tujuan sila dan vinaya menurut Zen adalah untuk mengendalikan (bahkan kalau bisa menghentikan) tindakan dan ucapan buruk/jahat (alias karma buruk/jahat). Apakah konsep 'manfaat' sila/vinaya yang sangat sederhana dan to the point ini terlalu sulit untuk dimengerti Bro Kainyn?

_/\_

sutarman

Quote from: dilbert on 19 January 2011, 11:49:45 AM
[at] bro sutarman...

yang anda baca itu bahwa ZEN itu mengarah langsung ke PIKIRAN, Skeptis terhadap kitab, tidak tergantung kepada kata-kata, tidak tergantung kepada bahasa... BAGAIMANA-pun itu juga adalah kata-kata / bahasa / pendengaran yang kamu baca/lihat/dengar saja...

GET IT ? :)

Bro Dilbert yang baik,

Good point! Anda sudah berpikir secara Zen-nya Zen.

_/\_

dipasena

Quote from: Kainyn_Kutho on 19 January 2011, 09:57:55 AM
Untuk bagian ini saya kurang setuju. Perilaku seseorang tidaklah selalu tergantung pada jumlah sila yang diembannya. Misalnya kalau di Theravada, awal berdirinya Sangha tidak memiliki Vinaya, tetapi bhikkhunya memiliki perilaku yang sempurna. Belakangan sila makin banyak, pelanggaran tambah banyak pula (sampai akhirnya jadi 227).
Hal ini disebabkan karena jika kebijaksanaan baik, otomatis moralitasnya baik. Seperti orang dewasa tidak usah dilarang, namun mengetahui apa yang baik dan tidak baik.

Yang jadi pertanyaan saya, apakah benar SEMUA yang ikut Zen pasti sudah bijaksana sehingga tidak perlu sila? (Lalu kok bisa ada bhikshu berselingkuh?)

saya pernah diskus masalah ini. jaman dulu sila memang sedikit, sila yg pasti adalah 5 sila dasar. namun pada saat itu para bhikkhu langsung di dibimbing oleh buddha dan mereka rata2 mencapai kesucian, seiring waktu, muncul berbagai bhikkhu baru yg kekotoran bathin nya (belum mencapai kesucian) masih besar dan bermalas2an, sehingga mereka banyak melakukan pelanggaran demi pelanggaran untuk itu buddha menetapkan peraturan demi peraturan (sila) untuk bhikkhu sampai jumlah nya 227 (vinaya).

permasalahan muncul ketika ada yg mempersoalkan jumlah sila bukan patokan perbuatan bajik, emang benar dengan catatan kondisi bhikkhu tersebut telah mencapai tingkat kesuciaan, dimana mereka tidak melakukan kamma baru. jika dibandingkan kondisi saat ini, buddha telah tiada dan perkembangan zaman seperti sekarang apakah memungkinkan jumlah sila 5 masih relevan untuk para bhikkhu dalam menjalankan kebhikkhuannya, sementara mereka saja belum mencapai kesucian, kecuali dianggap suci sepihak atau merasa suci sendiri seperti LSY.

karena lemahnya peraturan yg ada untuk membatasi tindakan dan prilaku bhikkhu, menyebabkan hal2 yg buruk terjadi, seperti perselingkuhan, bermain judi, ikut politik, ketika malam melepas jubah dan berjalan2 ditempat keramaian seperti hal nya umat perumahtangga, meminum minuman keras dengan alasan kesehatan/suhu dingin (ini ga perlu dibahas udah terlalu sering dibahas)

ini menurut pandangan aa yg sempit

sutarman

Quote from: dilbert on 19 January 2011, 11:52:31 AM
Kalau saya belajar ZEN dari "Komik" dan kelihatannya dari postingan kamu soal koan-koan, Feeling saya, guru kita itu buku komik-nya...

Note : untuk segar-kan ingatan bro sutarman dan tidak bersombong diri, dulu saya melamar jadi Moderator subforum Zen di Dhammacitta, dan diterima... hahahaha...

Bro Dilbert yang baik,

saya malah awalnya tahu Zen dari meditasi Zen yang diajarkan Guru saya. Selebihnya saya juga baca artikel/ungkapan/kisah Zen. Kalo nggak tahu mengenai suatu hal atau istilah teknis dalam sutta/sutra, baru saya tanya Guru.

Bisa jadi Bro Dilbert lebih banyak tahu tentang Zen daripada saya yang masih rendah ini.

Btw, saya pernah lihat cuplikan komik Zen di forum Buddhist tertentu, makanya saya penasaran cari komik Zen di Gramedia. Tapi kata Gramedia sudah nggak dicetak lagi. Untung tahun ini Gramedia ada program book on demand, jadi saya booking dulu komik Zen itu, walau gak tahu kapan bisa dicetak ulang.

_/\_




K.K.

Quote from: sutarman on 19 January 2011, 12:10:15 PM
Saya tidak melihat sesuatu yang tersembunyi di balik rumput tinggi karena (maaf bercanda khas Zen) rumput itu sendiri tidak ada.
Dengan kata lain, Zen tidak melihat bahaya dari pembunuhan, pencurian, asusila, kebohongan dan ketidaksadaran, karena toh semua juga tidak ada. Begitukah? ;D

QuoteAjarannya memang skeptis dan kritis dari sono-nya.
"Dari sono-nya" ini yang seperti apa? Tolong diberi contoh ajaran dari Theravada yang menyuruh kritis terhadap ajaran lain tapi tidak kritis terhadap ajarannya sendiri.

QuoteJarinya ya kata, bahasa, kitab.
Berarti tetap menggunakan "jari" juga, bukan?
Hanya perbandingan saja, dalam Tradisi Theravada, Buddha mengumpamakan tujuan dari Ajaranya sebagai
'pantai seberang'. Apa yang diajarkan Buddha itu BUKAN pantai seberang, melainkan hanya rakit. Pantai seberang itu TIDAK DAPAT diwariskan, tetapi hanya dapat dicapai oleh mereka yang berlatih.
Demikian jari bukan bulan, rakit bukan pantai seberang. Maka saya katakan yang anda bilang itu hanya propaganda yang mengagungkan zen.

QuoteSaya coba bahas manfaat walau mungkin tak sempurna, yah namanya saja saya masih rendah dalam pencapaian Zen. Sekali lagi, tujuan sila dan vinaya menurut Zen adalah untuk mengendalikan (bahkan kalau bisa menghentikan) tindakan dan ucapan buruk/jahat (alias karma buruk/jahat). Apakah konsep 'manfaat' sila/vinaya yang sangat sederhana dan to the point ini terlalu sulit untuk dimengerti Bro Kainyn?
Nah, bro sutarman sendiri mengerti bahwa itulah gunanya sila/vinaya.
Yang sulit saya mengerti adalah bagi bro sutarman, konsep yang begitu mudah dimengerti dan sederhana, bisa memiliki atribut kaku kalau dikemukakan oleh 'non-zen' (katakanlah Theravada), namun adalah fleksibel dan tepat guna kalau dikatakan dalam koridor Zen. Padahal saya melihat baik Zen (fleksibel) ataupun Theravada (kaku), sebagian menjaga pikiran, ucapan, dan perbuatan, sebagian lagi tidak menjaganya.

Jadi (maaf), sejujurnya saya melihat bro sutarman seperti umat tertentu yang mengatakan agamanya paling baik, membawa orang pasti lebih baik, padahal faktnya, umat agama tersebut juga sama saja seperti umat lain, sebagian baik, sebagian juga tidak baik.

sutarman

Quote from: Indra on 19 January 2011, 08:44:51 AM
cuma inikah vinaya dalam Zen? saya tebak Zen pasti tidak percaya sutta2 Tipitaka sama sekali, bagaimana menurut anda jika dikatakan bahwa Sang Buddha sendiri sering melakukan perdebatan dengan para brahmana/petapa lain seperti tercantum dalam sutta2?

Bro Sutarman, apakah menurut anda Dharma telah sempurna dibabarkan?

Bro Indra yang baik,

Menurut Theravada dan mungkin juga Mahayana pada umumnya pasti jawabannya SUDAH. Namun maafkan saya kalau tetap skeptis dan kritis.

Menurut saya pribadi, Buddha memang memiliki Dhamma yang sempurna namun masalahnya ketika Beliau menyampaikannya apakah para pendengar Dharma telah memahaminya dengan sempurna? Ini seperti permainan kalimat berantai.

Bro Indra pasti tahu maksud saya, yang saya selalu ulang-ulang, sampai saya bosan sendiri: KETERBATASAN kata, bahasa, dan kitab dalam rangka membabarkan Dharma.

Bukan berarti Theravada salah 100% atau benar 100%. Juga bukan berarti Mahayana salah 100% atau benar 100%. Zen sebenarnya tidak mempermasalahkan SALAH atau BENAR suatu sutta/sutra karena kalau demikian Zen juga jatuh dalam DUALISME salah-benar yang ujung-ujungnya debat kusir.

Zen hanya berusaha menangkap maksud sebenarnya dari sutta/sutra itu yang ingin disampaikan Buddha kepada kita. Pastilah ada penambahan atau pengurangan yang kadang terpaksa dilakukan penulis sutta/sutra untuk memperjelas maksudnya. Saya tidak mempermasalahkan penambahan atau pengurangan itu, saya hanya ingin menangkap esensi dari rangkaian kata-kata dalam sutta/sutra, dan kemudian esensi itu saya analisis lagi apakah berguna bagi meditasi mindfulness saya. Tujuan mindfulness adalah memusnahkan pikiran buruk/jahat. Jadi dengan kata lain saya melihat esensi dari sebuah sutta/sutra untuk memusnahkan pikiran buruk/jahat saya pribadi. Jadi sutta/sutra itu untuk memperbaiki diri saya sendiri. Bukan orang lain. Itulah Zen. Zen/Mindfulness terutama dan pertama adalah untuk diri sendiri bukan orang lain.

_/\_




K.K.

Quote from: dhanuttono on 19 January 2011, 12:56:45 PM
saya pernah diskus masalah ini. jaman dulu sila memang sedikit, sila yg pasti adalah 5 sila dasar. namun pada saat itu para bhikkhu langsung di dibimbing oleh buddha dan mereka rata2 mencapai kesucian, seiring waktu, muncul berbagai bhikkhu baru yg kekotoran bathin nya (belum mencapai kesucian) masih besar dan bermalas2an, sehingga mereka banyak melakukan pelanggaran demi pelanggaran untuk itu buddha menetapkan peraturan demi peraturan (sila) untuk bhikkhu sampai jumlah nya 227 (vinaya).

permasalahan muncul ketika ada yg mempersoalkan jumlah sila bukan patokan perbuatan bajik, emang benar dengan catatan kondisi bhikkhu tersebut telah mencapai tingkat kesuciaan, dimana mereka tidak melakukan kamma baru. jika dibandingkan kondisi saat ini, buddha telah tiada dan perkembangan zaman seperti sekarang apakah memungkinkan jumlah sila 5 masih relevan untuk para bhikkhu dalam menjalankan kebhikkhuannya, sementara mereka saja belum mencapai kesucian, kecuali dianggap suci sepihak atau merasa suci sendiri seperti LSY.

karena lemahnya peraturan yg ada untuk membatasi tindakan dan prilaku bhikkhu, menyebabkan hal2 yg buruk terjadi, seperti perselingkuhan, bermain judi, ikut politik, ketika malam melepas jubah dan berjalan2 ditempat keramaian seperti hal nya umat perumahtangga, meminum minuman keras dengan alasan kesehatan/suhu dingin (ini ga perlu dibahas udah terlalu sering dibahas)

ini menurut pandangan aa yg sempit
Betul, aa. Memang secara kasar, kenyataan pada umumnya adalah: "dikasih larangan saja masih melanggar, apalagi kalau tidak dilarang?" Ini adalah satu sudut pandang.

Yang saya bahas adalah dari sisi kematangan bathin seseorang. Walaupun diberi 1000 sila, kalau bathin masih terlalu banyak kebodohan, tetap saja melanggar dan melakukan kesalahan-kesalahan baru yang perlu dibuatkan sila ke 1001. Sebaliknya kalau bathin sudah matang, tanpa diberi sila pun ia tahu apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat.


sutarman

Quote from: Kainyn_Kutho on 19 January 2011, 01:31:21 PM
Dengan kata lain, Zen tidak melihat bahaya dari pembunuhan, pencurian, asusila, kebohongan dan ketidaksadaran, karena toh semua juga tidak ada. Begitukah? ;D

Ya nggak begitulah. Khan saya sudah katakan bahwa saya cuma bercanda. Saya pikir Bro Kainyn yang cerdas pasti sudah tahu sendiri ketika bertanya seperti itu kepada saya. Saya nggak mau berdebat kusir. Saya anggap kita berdua 'tahu sama tahu'.

Quote
"Dari sono-nya" ini yang seperti apa? Tolong diberi contoh ajaran dari Theravada yang menyuruh kritis terhadap ajaran lain tapi tidak kritis terhadap ajarannya sendiri.
Berarti tetap menggunakan "jari" juga, bukan?
Hanya perbandingan saja, dalam Tradisi Theravada, Buddha mengumpamakan tujuan dari Ajaranya sebagai
'pantai seberang'. Apa yang diajarkan Buddha itu BUKAN pantai seberang, melainkan hanya rakit. Pantai seberang itu TIDAK DAPAT diwariskan, tetapi hanya dapat dicapai oleh mereka yang berlatih.
Demikian jari bukan bulan, rakit bukan pantai seberang. Maka saya katakan yang anda bilang itu hanya propaganda yang mengagungkan zen.
Nah, bro sutarman sendiri mengerti bahwa itulah gunanya sila/vinaya.
Yang sulit saya mengerti adalah bagi bro sutarman, konsep yang begitu mudah dimengerti dan sederhana, bisa memiliki atribut kaku kalau dikemukakan oleh 'non-zen' (katakanlah Theravada), namun adalah fleksibel dan tepat guna kalau dikatakan dalam koridor Zen. Padahal saya melihat baik Zen (fleksibel) ataupun Theravada (kaku), sebagian menjaga pikiran, ucapan, dan perbuatan, sebagian lagi tidak menjaganya.

Jadi (maaf), sejujurnya saya melihat bro sutarman seperti umat tertentu yang mengatakan agamanya paling baik, membawa orang pasti lebih baik, padahal faktnya, umat agama tersebut juga sama saja seperti umat lain, sebagian baik, sebagian juga tidak baik.

Itulah Zen of Zen. Sebagai senior di sini, Bro Kainyn sebagaimana Bro Dilbert pasti sudah menguasai 'jurus' ini. Saya tak mau berkomentar lebih jauh. Dan mungkin saya ingin mengucapkan goodbye kepada Anda semua karena tujuan saya mampir di website ini hanya untuk meluruskan Bro Thema.

Ada pepatah Zen yang dikutip dari Dao De Jing.
Kata jujur - tidak enak didengar. Kata enak didengar - tidak jujur.
Orang cerdas - tidak berbicara. Orang berbicara - tidak cerdas.

_/\_

Indra

Quote from: sutarman on 19 January 2011, 01:35:05 PM
Bro Indra yang baik,

Menurut Theravada dan mungkin juga Mahayana pada umumnya pasti jawabannya SUDAH. Namun maafkan saya kalau tetap skeptis dan kritis.

Menurut saya pribadi, Buddha memang memiliki Dhamma yang sempurna namun masalahnya ketika Beliau menyampaikannya apakah para pendengar Dharma telah memahaminya dengan sempurna? Ini seperti permainan kalimat berantai.

Bro Indra pasti tahu maksud saya, yang saya selalu ulang-ulang, sampai saya bosan sendiri: KETERBATASAN kata, bahasa, dan kitab dalam rangka membabarkan Dharma.

secara singkat saya simpulkan bahwa menurut Bro Sutarman, Dhamma masih tidak dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Buddha, entah itu tidak sempurna dalam kata, bahasa, ataupun kitab. benarkah demikian?


Quote
Bukan berarti Theravada salah 100% atau benar 100%. Juga bukan berarti Mahayana salah 100% atau benar 100%. Zen sebenarnya tidak mempermasalahkan SALAH atau BENAR suatu sutta/sutra karena kalau demikian Zen juga jatuh dalam DUALISME salah-benar yang ujung-ujungnya debat kusir.

cara anda menyampaikan pikiran anda dengan hanya menyebutkan Theravada dan Mahayana tanpa memasukkan Zen, bermakna bahwa hanya Zen yg 100% (benar atau salah, saya tebak "benar").

Quote
Zen hanya berusaha menangkap maksud sebenarnya dari sutta/sutra itu yang ingin disampaikan Buddha kepada kita. Pastilah ada penambahan atau pengurangan yang kadang terpaksa dilakukan penulis sutta/sutra untuk memperjelas maksudnya. Saya tidak mempermasalahkan penambahan atau pengurangan itu, saya hanya ingin menangkap esensi dari rangkaian kata-kata dalam sutta/sutra, dan kemudian esensi itu saya analisis lagi apakah berguna bagi meditasi mindfulness saya. Tujuan mindfulness adalah memusnahkan pikiran buruk/jahat. Jadi dengan kata lain saya melihat esensi dari sebuah sutta/sutra untuk memusnahkan pikiran buruk/jahat saya pribadi. Jadi sutta/sutra itu untuk memperbaiki diri saya sendiri. Bukan orang lain. Itulah Zen. Zen/Mindfulness terutama dan pertama adalah untuk diri sendiri bukan orang lain.

jadi tujuan Zen adalah agar praktisinya menjadi orang yg baik? kalau begitu mungkin saya agak terlalu cepat menyimpulkan bahwa Zen sama sekali berbeda secara mendasar dengan Buddhism. sepemahaman saya Buddhisme bertujuan jauh melampaui kebaikan, menjadi orang baik bukan tujuan Buddhist.

Indra

Quote from: sutarman on 19 January 2011, 01:46:38 PM
Ada pepatah Zen yang dikutip dari Dao De Jing.
Kata jujur - tidak enak didengar. Kata enak didengar - tidak jujur.
Orang cerdas - tidak berbicara. Orang berbicara - tidak cerdas.

apakah anda untuk ke dua kalinya meninggalkan forum ini agar menjadi jujur dan cerdas? tapi sepertinya anda tidak jujur walaupun mungkin anda akan menjadi cerdas. (selama ini anda masih belum cerdas) ;D

johan3000

QuoteOnce there was a well known philosopher and scholar who devoted himself to the study of Zen for many years. On the day that he finally attained enlightenment, he took all of his books out into the yard, and burned them all.

apakah master2 ZEN memiliki kebiasaan menghanguskan buku2 ?

apakah tindakan membakar buku juga bisa digolongkan egois...karna orang berikutnya gak bisa lagi membacanya!

apakah membakar buku di keluarga ZEN pernah terjadi ?

bagaimana master ZEN tsb begitu yakin... dan tidak pelupa setelah waktu berjalan.... sehingga berani membakar buku2 tsb ?

thx... :-[
Nagasena : salah satu dari delapan penyebab matangnya kebijaksanaan dgn seringnya bertanya

sutarman

Quote from: Indra on 19 January 2011, 02:02:12 PM
secara singkat saya simpulkan bahwa menurut Bro Sutarman, Dhamma masih tidak dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Buddha, entah itu tidak sempurna dalam kata, bahasa, ataupun kitab. benarkah demikian?

Dhamma sempurna. Proses penyampaianya tidak.

Quote
cara anda menyampaikan pikiran anda dengan hanya menyebutkan Theravada dan Mahayana tanpa memasukkan Zen, bermakna bahwa hanya Zen yg 100% (benar atau salah, saya tebak "benar").

Zen termasuk yang TIDAK BENAR ketika Zen berusaha menjelaskannya dalam kata, bahasa, teori, konsep.

Quote
jadi tujuan Zen adalah agar praktisinya menjadi orang yg baik? kalau begitu mungkin saya agak terlalu cepat menyimpulkan bahwa Zen sama sekali berbeda secara mendasar dengan Buddhism. sepemahaman saya Buddhisme bertujuan jauh melampaui kebaikan, menjadi orang baik bukan tujuan Buddhist.

Tujuan Buddha Dharma adalah mencabut semua karma. Tapi awalnya ya harus dari sila (tindakan & ucapan) kemudian berlanjut ke samadhi (pikiran/zen) dan terakhir menggunakan panna (keterbebasan, ketidakmelekatan, jalan tengah). Semua itu demi tujuan tertinggi dalam agama Buddha yaitu ..... (Anda yang cerdas pasti sudah tahu sendiri).

_/\_

K.K.

Quote from: sutarman on 19 January 2011, 01:46:38 PM
Ya nggak begitulah. Khan saya sudah katakan bahwa saya cuma bercanda. Saya pikir Bro Kainyn yang cerdas pasti sudah tahu sendiri ketika bertanya seperti itu kepada saya. Saya nggak mau berdebat kusir. Saya anggap kita berdua 'tahu sama tahu'.

Itulah Zen of Zen. Sebagai senior di sini, Bro Kainyn sebagaimana Bro Dilbert pasti sudah menguasai 'jurus' ini. Saya tak mau berkomentar lebih jauh. Dan mungkin saya ingin mengucapkan goodbye kepada Anda semua karena tujuan saya mampir di website ini hanya untuk meluruskan Bro Thema.
Baiklah, kalau begitu saya tidak melanjutkan.


QuoteAda pepatah Zen yang dikutip dari Dao De Jing.
Kata jujur - tidak enak didengar. Kata enak didengar - tidak jujur.
Setahu saya:
Perkataan jujur, tidak enak didengar bagi yang tidak menyadari kenyataan, namun adalah enak didengar bagi yang menyadari kenyataan.
Perkataan tidak jujur, tidak enak didengar bagi yang menyadari kenyataan, namun enak didengar bagi yang tidak menyadari kenyataan.

Saya baru tahu jujur/tidak jujur dinilai dari enak atau tidak enak didengar. ;D

QuoteOrang cerdas - tidak berbicara. Orang berbicara - tidak cerdas.
Demikianlah orang bisu adalah yang paling cerdas di dunia.