Wah seru... Baru lihat...
Maaf teman-teman... Komentar dikit ya...? Kita semua masih memiliki "ego" hanya Arahat yang sudah tak memiliki "ego". Dalam suatu diskusi memang kadang atmosfir menjadi panas. Bila kita memulai suatu polemik dan telah masuk ke dalamnya sulit bagi kita untuk keluar, bila sudah demikian siapa yang memulai sudah menjadi tak penting, selalu yang timbul adalah bagaimana kita mempertahankan pendapat kita.
Polemik merupakan "bumbu" yang membuat suatu forum menjadi hidup, yang penting jangan sampai memulai dengan mengaitkan secara langsung dengan menghina pribadi bersangkutan("ad hominem") Walaupun terkadang kita sangat "tergoda" untuk melakukan ad hominem. Bila seseorang melakukan ad hominem maka besar kemungkinan lawan diskusi akan membalas dengan ad hominem juga, karena itu merupakan suatu bentuk "abuse".
Marilah kita berdiskusi dengan semangat membagi pengetahuan dan membagi Dhamma, walaupun itu sulit dilakukan karena kita memiliki pandangan yang berbeda-beda, karena belajar aliran yang berbeda-beda.
Janganlah kita menuduh seseorang menghina bila ia mengungkapkan sesuatu berdasarkan "fakta", karena mengungkapkan sesuatu berdasarkan fakta adalah "ungkapan kebenaran".
Memang pahit bagi yang menerima, itulah "kebenaran" kadangkala pahit dan sukar diterima.
Balik mengenai Bhikkhu bergitar, sudah sepantasnya dicela.
Suatu ketika Sang Buddha mengadakan pesamuan, setelah Beliau melihat berkeliling lalu beliau berkata, "Pesamuan ini tidak bersih..!" lalu Y.A. Maha Mogallana melihat berkeliling dan beliau melihat satu Bhikkhu belum Arahat, beliau mendekati Bhikkhu tersebut lalu meminta Bhikkhu tersebut keluar, Bhikkhu tersebut ngotot tidak mau keluar, Y.A maha Mogallana (kalau tidak salah) lalu memaksa Bikkhu tersebut keluar.
Pada masa Sang Buddha di hadapan Sang Buddha seorang Bhikkhu berani "ngotot" setelah diperingatkan, apalagi jaman sekarang...? Oleh karena itu kita pantas mencela seorang Bhikkhu yang tidak menjalankan Vinaya dengan baik, karena Bhikkhu yang dengan sengaja melanggar Vinaya, yang tidak peduli dengan kritik terhadap tingkah lakunya yang buruk, mengotori "Buddha Sasana". Para Bhikkhu yang "tak tahu malu" bagai rayap menggerogoti Buddha Dhamma dari dalam.
Ini bukan berarti kita harus menghakimi dia "terus menerus". Bila ia berubah dan kemudian memperbaiki tingkah lakunya maka pasti orang-orang akan berhenti mencelanya. Bahkan mungkin berbalik memujinya bila ia melaksanakan Vinaya dengan baik dan konsekuen, bila ia telah berusaha menghindarkan perbuatan salah walau sekecil apapun.
Ada suatu cerita dalam Sutta dimana seorang Bhikkhu dicela oleh dewa "hanya" karena ia mencium bau bunga tanpa seijin pemilik bunga tersebut. Suatu perbuatan salah yang demikian kecil mungkin kalau orang yang telah terbiasa dengan pelanggaran besar akan menganggap hal itu hanya "sepele", tapi itulah Tipitaka kita diharapkan bertindak patut, sangat patut dan tak berbuat kesalahan walau kecil yang dapat dicela oleh para bijaksana (baca: Karaniya Metta Sutta).
Akibat suatu perbuatan buruk kadang lama baru hilang, jadi Bhikkhu tersebut seharusnya memperbaiki dirinya, pasti suatu saat semua celaan akan berhenti dengan sendirinya, bahkan bila ia telah bertindak patut dengan menjaga Vinaya, para "bekas" pencela mungkin akan berbalik membelanya bila ia dicela orang.
Mettacittena,