no Buddha Bar, gimana kalau MONK BAR ? boleh ?

Started by johan3000, 10 February 2010, 01:10:53 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

K.K.

Quote from: Indra on 10 February 2010, 03:41:56 PM
banyak orang mencari pembenaran dalam melakukan pelanggaran, padahal dalam melaksanakan sila seharusnya tidak ada kompromi, tidak ada "saya bertekad untuk menghindari minuman2 beralkohol kecuali dalam cuaca dingin," "saya bertekad untuk menghindari aktivitas seksual yang salah kecuali kalau di Red Zone", dll, dll.

mau melanggar ya melanggar aja dan bersiaplah untuk menerima akibatnya, tidak perlu cari pembenaran

Begitulah. Sayangnya selalu saja ada yang memakai alasan "demi kebaikan orang lain" untuk pembenaran. Membabarkan dhamma dengan hip-hop? Ga sekalian gondrongin tuh rambut (dengan alasan di negara tersebut botak ga beken), pake guitar flying V baca "Karaniya Metta Sutta" dengan musik Death Metal.

Ada-ada saja.

exam

manusia gak ada yg sama

backgroundnya beda-beda

ada yg kasar, ada yg halus

ada yg berpendidikan ada yg tidak

ada yg bahasanya educated ada yg kayak pasar

krn itu pendekatannya pun tidak bisa sama
hrs di dekati dengan cara yang beda

ibaratnya murid satu kelas
ada yg di bilangin sekali langsung ngerti
ada yg bolot musti berkali-kali, itupun besok lupa lagi

krn itu pendekatannya juga gak bisa pukul rata


ada yg di kerasin tokcer
ada yg di kerasin malah tambah bandel
ada yg di lembutin tambah manja
ada yg di baikin jadi tambah baik

saya sih melihat si Kansho Tagai mendekati segment yg beda dengan cara yg beda
gitu aja sih

semua manusia bereaksi berbeda
contohnya anda semua reaksinya berbeda bukan ?
itulah
pendekatannya juga beda
anda2 ini cocoknya dengan biksu di wihara(mungkin gitu)

kalau orang2 di bar itu mungkin cocoknya pake bahasa bar juga


ada benih yg di siram sekali tanpa pupuk pun tumbuh jadi pohon yang subur serta buah manis
seperti anda2 ini

ada juga benih yg musti di pupuk, di rawat, itupun buahnya asam

untunglah anda bukan benih yg kedua


peace

K.K.

Quote from: exam on 10 February 2010, 04:18:08 PM
manusia gak ada yg sama

backgroundnya beda-beda

ada yg kasar, ada yg halus

ada yg berpendidikan ada yg tidak

ada yg bahasanya educated ada yg kayak pasar

krn itu pendekatannya pun tidak bisa sama
hrs di dekati dengan cara yang beda

ibaratnya murid satu kelas
ada yg di bilangin sekali langsung ngerti
ada yg bolot musti berkali-kali, itupun besok lupa lagi

krn itu pendekatannya juga gak bisa pukul rata


ada yg di kerasin tokcer
ada yg di kerasin malah tambah bandel
ada yg di lembutin tambah manja
ada yg di baikin jadi tambah baik

saya sih melihat si Kansho Tagai mendekati segment yg beda dengan cara yg beda
gitu aja sih

semua manusia bereaksi berbeda
contohnya anda semua reaksinya berbeda bukan ?
itulah
pendekatannya juga beda
anda2 ini cocoknya dengan biksu di wihara(mungkin gitu)

kalau orang2 di bar itu mungkin cocoknya pake bahasa bar juga


ada benih yg di siram sekali tanpa pupuk pun tumbuh jadi pohon yang subur serta buah manis
seperti anda2 ini

ada juga benih yg musti di pupuk, di rawat, itupun buahnya asam

untunglah anda bukan benih yg kedua


peace

Bro exam, saya setuju orang memang berbeda. Tapi saya mau bertanya, (1). kalau orangnya berbeda, apakah cara penyampaiannya yang diubah, atau dhamma-vinaya-nya yang diubah? (2). tujuan memilih jalan petapa adalah untuk meninggalkan keduniawian secara total, ataukah untuk mencari umat sebanyak-banyaknya?


exam

#18
 [at] Kainyn_Kutho

Krn beda-beda
kita juga gak berharap hasilnya bisa sama toh
kalau si A bisa ngurangin frekwensi dosanya juga udah sukur
ibaratnya kalau bisa berbuah,meskipun asam juga udah sukur

ibarat ngajar matematika
kalau si bolot bisa bener 5 dari 10 , wah udah baguslah
yg penting udah mau belajar matematika
tadinya kan denger matematika aja udah lari


mau dengerin dharma juga udah sukur
masalah mau praktekkan, nanti dululah,pelan2, inikan benih type dua

dhammadinna

#19
Kalo menurut saya sih, ada perbedaan antara: Cara Penyajian dan Cara Penyampaian.

Kalo Cara Penyampaian, memang bisa berbeda-beda, disesuaikan dengan watak orang. Ada yang harus dikerasin tapi ada yang harus dibaekin. Pesan yang disampaikan tidak berubah, tidak dipoles atau ditambahkan, tapi caranya saja (misalnya menggunakan intonasi yang keras atau lembut, atau pemilihan kata-kata yang lebih tepat).

Tapi kalo Cara Penyajian, ini yang harus hati-hati karena sudah ada penambahan atau pemolesan. Sama seperti masakan, cara penyajiannya bisa ditambahkan hiasan tomat, daun selada, dsb, agar menarik. Bahkan hal yang tidak menarik pun akan menjadi menarik bila penyajiannya tepat. Tapi jangan sampai, akhirnya orang tertarik pada hiasannya daripada makanannya. Atau akhirnya orang hanya memakan hiasannya dan meninggalkan makanan utamanya.  

wen78

Quote from: The Ronald on 10 February 2010, 01:44:01 PM
sama kek seorang bapak, lagi merokok, tp mengajarkan anaknya agar tidak merokok...
hasilnya : tidak effektif

IMO, seorang ayah merokok atau tidak merokok mengajarkan anaknya untuk tidak merokok hasilnya sama aja. tergantung si anaknya sendiri.

seorang ayah tidak merokok dan mengajarkan anaknya untuk tidak merokok, maka ayah tsb memberikan contoh yg baik kepada si anaknya. tetapi itu hanya sebatas contoh. bila anaknya memang mo rokok, ya tetep saja rokok.

seorang ayah merokok dan mengajarkan anaknya untuk tidak merokok, maka ayah tsb secara tidak langsung/tidak disadari telah menegaskan bahwa rokok adalah tidak baik dan memberikan contoh akibatnya yaitu ketika sang ayah jatuh sakit atau meninggal karena merokok dan mengakui ketidakmampuannya untuk berhenti merokok. mungkin dimengerti atau tidak dimengerti oleh si anak. bila anaknya memang mo rokok, ya tetep saja rokok walaupun ayahnya meninggal karena penyakit yg diakibatkan oleh rokok.

sosok panutan hanyalah sebatas contoh. mengikuti semua tingkah dan cara seorang panutan tidak akan memberikan pencerahan, karena pencerahan datang dari dalam, bukan dari luar.

memang sosok panutan adalah awal dari segalanya, tetapi sosok panutan bukanlah segalanya.

yaa.. semua kembali kepada diri sendiri lagi
segala post saya yg tidak berdasarkan sumber yg otentik yaitu Tripitaka, adalah post yg tidak sah yg dapat mengakibatkan kesalahanpahaman dalam memahami Buddhism. dengan demikian, mohon abaikan semua statement saya di forum ini, karena saya tidak menyertakan sumber yg otentik yaitu Tripitaka.

K.K.

Quote from: Kainyn_Kutho on 10 February 2010, 04:28:56 PM
Bro exam, saya setuju orang memang berbeda. Tapi saya mau bertanya, (1). kalau orangnya berbeda, apakah cara penyampaiannya yang diubah, atau dhamma-vinaya-nya yang diubah? (2). tujuan memilih jalan petapa adalah untuk meninggalkan keduniawian secara total, ataukah untuk mencari umat sebanyak-banyaknya?

Quote from: exam on 10 February 2010, 04:41:15 PM
[at] Kainyn_Kutho

Krn beda-beda
kita juga gak berharap hasilnya bisa sama toh
kalau si A bisa ngurangin frekwensi dosanya juga udah sukur
ibaratnya kalau bisa berbuah,meskipun asam juga udah sukur

ibarat ngajar matematika
kalau si bolot bisa bener 5 dari 10 , wah udah baguslah
yg penting udah mau belajar matematika
tadinya kan denger matematika aja udah lari


mau dengerin dharma juga udah sukur
masalah mau praktekkan, nanti dululah,pelan2, inikan benih type dua

Bro exam tidak menjawab pertanyaan saya.

Kalau begitu kita lihat dari sudut pandang berbeda. Demi mengenalkan dharma ke si "bolot" (menaikkan nilai dari 0 jadi 1), maka si A melanggar dhamma-vinaya. Karena melanggar dhamma-vinaya, para "bukan-bolot" melihat petapa-petapa ini adalah gadungan, tidak menjaga perilaku petapa sebagaimana mestinya, lalu membawa nama "Buddha". Dengan demikian para "bukan bolot" ini menilai Buddha adalah "petapa hip-hop". Saya mau tanya, seandainya si "bukan-bolot" itu memiliki potensi mencapai kesucian dengan mendengar dhamma (menaikkan nilai dari 5-10), lalu karena berpikir "Buddha adalah petapa palsu tukang hip-hop" dan jadinya dia menjauhi SEMUA yang bernuansa Buddhisme, menurut anda sendiri bagaimana?


wiithink


Indra

Di bagian dunia manapun juga, budaya makan adalah 3 kali sehari, bahkan pada masa Sang Buddha, namun toh Sang Buddha juga menetapkan aturan tidak makan malam, Sang Buddha dan para siswa tidak menuruti kebiasaan umum. Dan memang Vinaya tidak ditetapkan agar sesuai dengan kebiasaan dan budaha umum, tapi berdasarkan apa yg bermanfaat demi tujuan hidup suci.

Menurut saya silahkan aja membabarkan Dhamma sambil mabuk di rumah bordil, tapi sebaiknya bukan dilakukan oleh bhikkhu.

Indra

dan yg menarik adalah bagaimana "MONK" ini mengajarkan sila ke 5 Pancasila sambil menyuguhkan alkohol?

K.K.

Quote from: Indra on 10 February 2010, 04:54:00 PM
dan yg menarik adalah bagaimana "MONK" ini mengajarkan sila ke 5 Pancasila sambil menyuguhkan alkohol?

Sama menariknya dengan "Nun" mengajarkan Samma Sankappa sambil striptease suatu saat nanti.

exam

jangan expect terlalu banyak, ingat beda kasta audiencenya
mau  5 menit dengerin ocehan si monk juga udah sukur
dengerin pake kuping sebelah juga udah bagus
apalagi di bar berisik gitu


kalau suatu saat bisa sadar
di harapkan mereka akan dengerin dharma di wihara

jangan pikirin vinaya dulu, biarlah ini jadi tanggung jawab pribadi si monk

GandalfTheElder

QuoteSeorang Monk bernama Kansho Tagai dgn rambut cukurata, pakaian lengkat spt Monk, dpt bernyanyi lancar RAP/HIPHOP...yg sangat energetik menyuguhkan minuman KERAS...alias Alkohol.........

Bro.. perhatiin beritanya..... Kansho Tagai cuma nge-rap...

Yg nyuguhkan minuman keras itu si Zenshin......

Musavada loh...  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Indra

Quote from: GandalfTheElder on 10 February 2010, 05:11:46 PM
QuoteSeorang Monk bernama Kansho Tagai dgn rambut cukurata, pakaian lengkat spt Monk, dpt bernyanyi lancar RAP/HIPHOP...yg sangat energetik menyuguhkan minuman KERAS...alias Alkohol.........

Bro.. perhatiin beritanya..... Kansho Tagai cuma nge-rap...

Yg nyuguhkan minuman keras itu si Zenshin......

Musavada loh...  ^-^

_/\_
The Siddha Wanderer

bukan orangnya yg dipermasalahkan Bro, tapi "MONK"nya

GandalfTheElder

 [at] atas:

Memang, sy sudah tahu, saya hanya mengoreksi apa yang salah, apa saya keliru???  ^-^ ^-^ hahaha......

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.