comotan dari blog tetangga

Started by bond, 27 July 2009, 11:11:16 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

K.K.

Quote from: ryu on 10 August 2009, 03:46:08 PM
(6. Sembilan perenungan tanah pekuburan)
7. 'Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat yang dibuang di tanah pekuburan,641 satu, dua, atau tiga hari setelah meninggal dunia, membengkak, berubah warna, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu, berpikir: "Jasmani ini memiliki sifat yang sama. Jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu."'
'Demikianlah ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, secara eksternal, dan secara internal maupun eksternal. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apa pun di dunia ini. Dan itu, para bhikkhu, adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.'
8. 'Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pekuburan, dibuang, dimakan oleh burung gagak, elang atau nasar, oleh anjing atau serigala, atau berbagai binatang lainnya, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu, berpikir: "Jasmani ini memiliki sifat yang sama. Jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu."' [296]
9. 'Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pekuburan, dibuang, kerangka tulang-belulang dengan daging dan darah, dirangkai oleh urat, ... kerangka tulang-belulang tanpa daging berlumuran darah, dirangkai oleh urat, ...
336 D īãgha Nikà āya 22: Mahàsatipaññhàna Sutta
kerangka tulang-belulang yang tanpa daging dan darah, dirangkai oleh urat, ... tulang-belulang yang tersambung secara acak, berserakan di segala penjuru, tulang lengan di sini, tulang-kaki di sana, tulang-kering di sini, tulang-paha di sana, tulang-panggul di sini, [297] tulang-punggung di sini, tulang-tengkorak di sana, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu ....'
10. 'Kemudian, seorang bhikkhu, seolah-olah ia melihat mayat di tanah pekuburan, dibuang, tulangnya memutih, terlihat seperti kulit-kerang ..., tulang-belulangnya menumpuk, setelah setahun ..., tulang-belulangnya hancur menjadi bubuk, membandingkan jasmani ini dengan mayat itu, berpikir: "Jasmani ini memiliki sifat yang sama. Jasmani ini akan menjadi seperti mayat itu, jasmani ini tidak terbebas dari takdir itu."'

^^ di atas ini ada kok usaha membandingkan dan berpikir

Pembandingan yang saya bahas sebelumnya adalah bahwa suatu hal adalah baik/buruk, kusala/akusala yang adalah penilaian berdasarkan suatu konsep. Sedangkan "pembandingan" di sini bukanlah sebuah penilaian. Sederhananya, mengamati 2 objek. Maaf kalau membingungkan & terima kasih atas tulisan kritisnya. Kemudian mengenai "usaha", tetap tidak ada petunjuk untuk mengubah apa pun. Semua fenomena tersebut dikenali bahwa itu adalah tidak kekal, tidak ada usaha mengarahkan agar begini-begitu.  


K.K.

Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 04:15:17 PM
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir

Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)

Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan

namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek

Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika

bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60

Sekali lagi, "berpikir" yang sering dibahas oleh Pak Hudoyo adalah "maññati", bukan proses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti.
Kemudian "usaha" yang dimaksud adalah menyikapi pengetahuan yang timbul, apakah dengan mengarahkan, mengubah, mengembangkan, dan lain-lain. Pengarahan pada objek tentu saja bukan "usaha" yang dimaksud. Kalau hanya ada duduk diam, tidak ada "usaha" mengarahkan kepada objek, tanpa "usaha" menjaga kesadaran, sama saja dengan bengong, bukan meditasi.

Kalau Bro Markos memakai istilah sendiri, kemudian dimasukan ke dalam petunjuk dalam MMD, terang saja jadi meditasi "sesat".


Nevada

Quote from: Kainyn_Kutho on 10 August 2009, 04:31:47 PM
Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 04:15:17 PM
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir

Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)

Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan

namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek

Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika

bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60

Sekali lagi, "berpikir" yang sering dibahas oleh Pak Hudoyo adalah "maññati", bukan proses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti.
Kemudian "usaha" yang dimaksud adalah menyikapi pengetahuan yang timbul, apakah dengan mengarahkan, mengubah, mengembangkan, dan lain-lain. Pengarahan pada objek tentu saja bukan "usaha" yang dimaksud. Kalau hanya ada duduk diam, tidak ada "usaha" mengarahkan kepada objek, tanpa "usaha" menjaga kesadaran, sama saja dengan bengong, bukan meditasi.

Kalau Bro Markos memakai istilah sendiri, kemudian dimasukan ke dalam petunjuk dalam MMD, terang saja jadi meditasi "sesat".

Sebelumnya...

Apakah kalimat-kalimat yang berwarna biru di atas memang merupakan maksud dari Pak Hudoyo? Atau spekulasi dari Bro Kainyn terhadap pernyataan Pak Hudoyo?

Jika maksud dari pernyataan-pernyataan Pak Hudoyo memang seperti apa yang dijelaskan oleh Bro Kainyn, kenapa dia tidak menjelaskan sedetil ini?

Dan satu lagi... Setelah mencapai "terhentinya pikiran", tetap saja lobha-dosa-moha tidak tercabut bukan? Atau dengan kata lain tujuan tertinggi antara Ajaran Sang Buddha dengan MMD itu memang berbeda?

bond

#318
Quote from: g.citra on 10 August 2009, 03:39:44 PM
Quote from: bond on 10 August 2009, 01:44:17 PM
Quote
Boleh share yg lengkapnya mengenai : hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.

karena sesungguhnya pada waktu dia melakukan pengamatan, saat itu muncul bentuk pikiran baru karena pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir

Hanya saja berbeda dengan org awam/putthujhana dimana citta yang muncul adalah kusala atau akusala, saat seorang menjadi arahat, cittanya menjadi kiriya.

coba perhatikan dua kalimat yg dibold hitam dan yang dibold biru... Dua kalimat diatas saling berkontradiksi.

Di kalimat  pertama hanya ada pengamatan , dikalimat kedua dikatakan pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir.

yg dimaksud mengamati adalah hanya mengamati apa saja yg muncul dan lenyap. kalimat pertama lebih dapat diterima, moment tidak ada usaha hanyalah ketika batin tenang dan cukup konsentrasi dan sati. Pernyataan kedua lah yg mementahkan kalimat pertama. Pengamatan disini sebenarnya tidaklah aktif seperti ilmuwan mengamati sesuatu. Tetapi lebih kepada kita hanya melihat lalu lalangnya kendaraan, atau mengamati aliran air sungai ditepi sungai. Aliran ini adalah memang sifat alami dari citta. Hanya ada perbedaan dalam muncul lenyapnya ketika citta berkilesa dan saat kilesa telah terendap untuk sementara waktu ataupun hilang semuanya. Pengamatan adalah proses berpikir adalah seperti yang saya katakan seperti ilmuwan mengamati berbeda dengan pengamatan dalam vipasana. Ilmuwan mengamati sambil menganalisa dengan cara berpikir untuk mendapat kesimpulan secara logis dan ilmiah. Pengamatan vipasana hanya mengamati saja dan semakin tajamnya pengamatannya akibat sati dan konsentrasi pengertian/nyana akan muncul dengan sendirinya seperti kita berada diruang gelap perlahan menjadi terang dan melihat halyg sebenarnya dan ketika benar-benar terang maka timbulah nyana /'that's it. Hal ini memang sulit dilukiskan.

Jadi entahlah apakah kontradiktif ini karena kebingungan dalam melihat fenomena meditasi, apakah masalah bahasa, atau memang benar-benar tidak aware alias tidak ada sati dan hanya merasa tenang dan berhenti lalu dikatakan pikiran berhenti.




Apa mungkin gini bro ?
Dimana ada kesadaran (citta), kan pasti ada bentuk pikiran yang mengikuti (cetasika) ...
Jadi yang dimaksud bro markos itu sebagai proses pikiran baru yang muncul adalah cittanya tetap ada (gak mungkin kan meditasi itu buat ngilangin kesaradan), tapi cetasika yang munculnya itu yang menurut abhidhamma yang kusala-kusala gitu (namanya lupa lah ... kebanyakan ... :)))

_/\_

yg paling atas saya bold biru apakah bro Markos menanggapi tulisan PH atau semuanya tulisan PH? ???

Kalo yg dimaksud seperti bro Markos bahwa saat pengamatan dalam vipasanna seperti yg dikatakan g citra bisa dikatakan demikan.  ^-^
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

ryu

apakah Mahàsatipaññhàna Sutta itu ada hubungan dengan jmb8?

apakah Mahàsatipaññhàna Sutta itu untuk meditasi level mahir atau pemula?

apakah Mahàsatipaññhàna Sutta itu untuk orang yang tertentu atau semua orang ?

;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

markosprawira

Quote from: Kainyn_Kutho on 10 August 2009, 04:31:47 PM
Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 04:15:17 PM
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir

Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)

Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan

namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek

Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika

bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60

Sekali lagi, "berpikir" yang sering dibahas oleh Pak Hudoyo adalah "maññati", bukan proses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti.
Kemudian "usaha" yang dimaksud adalah menyikapi pengetahuan yang timbul, apakah dengan mengarahkan, mengubah, mengembangkan, dan lain-lain. Pengarahan pada objek tentu saja bukan "usaha" yang dimaksud. Kalau hanya ada duduk diam, tidak ada "usaha" mengarahkan kepada objek, tanpa "usaha" menjaga kesadaran, sama saja dengan bengong, bukan meditasi.

Kalau Bro Markos memakai istilah sendiri, kemudian dimasukan ke dalam petunjuk dalam MMD, terang saja jadi meditasi "sesat".



Sangat dipahami, bro...... namun "maññati" yang dimaksud oleh PH adalah berhentinya "maññati" sehingga proses kesadaran hanya ada pada #1 yaitu abhijaanaati saja

ini bisa dilihat dari :

QuoteHUDOYO:

Yang saya katakan adalah "Dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep, sehingga proses kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja (abhijanati)."

Sedangkan jika kita lihat, "maññati" justru hanyalah salah satu dari 6 kondisi yaitu :
(i) pa.thavi.m pa.thavito abhijaanaati -- he directly knows earth as earth;
(ii) pa.thavi.m na ma~n~nati -- he does not conceive earth;
(iii) pa.thaviyaa na ma~n~nati -- he does not conceive in earth;
(iv) pa.thavito na ma~n~nati -- he does not conceive from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti na ma~n~nati -- he does not conceive "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m naabhinandati -- he does not delight in earth.

Jadi maññati di PH diartikan hanya ada kesadaran #1 saja, kesadaran yang 5 lainnya sudah tidak berlangsung lagi -> Kembali kita bisa lihat sendiri pernyataan PH
Quotekognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja

Disini jelas berbeda dengan apa yg dikatakan oleh bro Kai (
Quoteproses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti
)


Jika hanya melihat "maññati", yg jelas menjadi permasalahan adalah mengenai PERSEPSI bhw seolah PERSEPSI itu yg harus dihentikan dimana diatas PH menyebutkan
Quotedalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep


Padahal jika kita lihat, pengertian dasar dari PERSEPSI atau SANNA adalah salah satu dari 7 sabbacittsadharana, yaitu cetasika yang ada dalam SEMUA CITTA jadi persepsi itu tetap akan ada, tetap terbentuk selama citta vitthi terus berlangsung
Hanya saja, karena pada arahat sudah ada Panna sehingga bisa melihat kenyataan sebagaimana apa adanya

Ini bisa kita lihat di : http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,422.0.html
Quote3.   Sanna = pencerapan / persepsi. Arti kata sanna sangat bervariasi tergantung konteks pembahasannya. Untuk menghindari kebingungan, sebaiknya digunakan istilah khusus ug digunakan di dalam hubungan ini sebagai factor batin yg universal. Karakteristik utama dari sanna ini adalah kognisi atas objek dengan cara menandai, seperti biru, hitam, dan sebagainya. Proseduralnya mirip rekognisi seorang tukang kayu terhadap jenis kayu tertentu dengan tanda-tanda yg dibuatnya, mirip seorang ahli batuan yg dapat membedakan berbagai jenis permata dengan tanda-tandanya. Antara sanna, vinnana dan panna dapat di umpamakan dengan seorang anak kecil, seorang dewasa dan seorang dewasa ahli kimia di dlm melihat uang logam. Bagi seorang anak kecil, ia hanya berpersepsi akan sebuah uang logam. Orang dewasa melihatnya dengan mengetahui nilai uang itu, dan bagi ahli kimia, iapun melihatnya bahwa uang ini terdiri dari bahan kimia logam-logam tertentu.

Nah seharusnya yang berhenti adalah "kemelekatannya" pada persepsi itu, bukannya persepsinya yg dihentikan. Persepsi itu hanyalah pengenalan suatu obyek saja yg terdiri dari berbagai kombinasi persepsi titik, garis, warna, dsbnya

Demikian yang bisa saya dapat dari membaca keenam pernyataan itu secara keseluruhan, bukan hanya membaca dari maññati saja

markosprawira

Quote from: bond on 10 August 2009, 04:47:48 PM
Quote from: g.citra on 10 August 2009, 03:39:44 PM
Quote from: bond on 10 August 2009, 01:44:17 PM
Quote
Boleh share yg lengkapnya mengenai : hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.

karena sesungguhnya pada waktu dia melakukan pengamatan, saat itu muncul bentuk pikiran baru karena pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir

Hanya saja berbeda dengan org awam/putthujhana dimana citta yang muncul adalah kusala atau akusala, saat seorang menjadi arahat, cittanya menjadi kiriya.

coba perhatikan dua kalimat yg dibold hitam dan yang dibold biru... Dua kalimat diatas saling berkontradiksi.

Di kalimat  pertama hanya ada pengamatan , dikalimat kedua dikatakan pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir.

yg dimaksud mengamati adalah hanya mengamati apa saja yg muncul dan lenyap. kalimat pertama lebih dapat diterima, moment tidak ada usaha hanyalah ketika batin tenang dan cukup konsentrasi dan sati. Pernyataan kedua lah yg mementahkan kalimat pertama. Pengamatan disini sebenarnya tidaklah aktif seperti ilmuwan mengamati sesuatu. Tetapi lebih kepada kita hanya melihat lalu lalangnya kendaraan, atau mengamati aliran air sungai ditepi sungai. Aliran ini adalah memang sifat alami dari citta. Hanya ada perbedaan dalam muncul lenyapnya ketika citta berkilesa dan saat kilesa telah terendap untuk sementara waktu ataupun hilang semuanya. Pengamatan adalah proses berpikir adalah seperti yang saya katakan seperti ilmuwan mengamati berbeda dengan pengamatan dalam vipasana. Ilmuwan mengamati sambil menganalisa dengan cara berpikir untuk mendapat kesimpulan secara logis dan ilmiah. Pengamatan vipasana hanya mengamati saja dan semakin tajamnya pengamatannya akibat sati dan konsentrasi pengertian/nyana akan muncul dengan sendirinya seperti kita berada diruang gelap perlahan menjadi terang dan melihat halyg sebenarnya dan ketika benar-benar terang maka timbulah nyana /'that's it. Hal ini memang sulit dilukiskan.

Jadi entahlah apakah kontradiktif ini karena kebingungan dalam melihat fenomena meditasi, apakah masalah bahasa, atau memang benar-benar tidak aware alias tidak ada sati dan hanya merasa tenang dan berhenti lalu dikatakan pikiran berhenti.




Apa mungkin gini bro ?
Dimana ada kesadaran (citta), kan pasti ada bentuk pikiran yang mengikuti (cetasika) ...
Jadi yang dimaksud bro markos itu sebagai proses pikiran baru yang muncul adalah cittanya tetap ada (gak mungkin kan meditasi itu buat ngilangin kesaradan), tapi cetasika yang munculnya itu yang menurut abhidhamma yang kusala-kusala gitu (namanya lupa lah ... kebanyakan ... :)))

_/\_

yg paling atas saya bold biru apakah bro Markos menanggapi tulisan PH atau semuanya tulisan PH? ???

Kalo yg dimaksud seperti bro Markos bahwa saat pengamatan dalam vipasanna seperti yg dikatakan g citra bisa dikatakan demikan.  ^-^

Ini saya post yg lengkapnya lagi bro............ biar ga makin bingung.....

yang biru, pernyataan saya. Yg diatasnya, pernyataan bro Kai

Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 12:28:02 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 10 August 2009, 10:47:20 AM
Quote from: ryu on 08 August 2009, 04:10:15 PM
ohh, beda ya, kalau MMD berarti bertolak belakang dengan VITAKKASANTHANA SUTTA ya?
Bukan bertolak belakang, tetapi berbeda dalam konteks pembicaraan. Misalnya dalam satu sutta, Buddha berkhotbah mengenai sila agar seseorang terlahir di alam bahagia, sedangkan dalam sutta lain, Buddha mengatakan semua kelahiran, bahkan di alam Brahma pun bukanlah tujuan Buddha-dhamma.


Quote from: ryu on 08 August 2009, 11:02:13 PM
Oh hampir lupa, jangan lupa juga konsep MMD adalah tanpa usaha, tanpa tujuan. berbeda dengan vitaka sutta
Sama dengan karakteristik empat Satipatthana di mana hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.

Boleh share yg lengkapnya mengenai : hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.

karena sesungguhnya pada waktu dia melakukan pengamatan, saat itu muncul bentuk pikiran baru karena pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir
Hanya saja berbeda dengan org awam/putthujhana dimana citta yang muncul adalah kusala atau akusala, saat seorang menjadi arahat, cittanya menjadi kiriya.

anumodana utk diskusinya  _/\_

K.K.

Quote from: upasaka on 10 August 2009, 04:37:56 PM
Sebelumnya...

Apakah kalimat-kalimat yang berwarna biru di atas memang merupakan maksud dari Pak Hudoyo? Atau spekulasi dari Bro Kainyn terhadap pernyataan Pak Hudoyo?

Jika maksud dari pernyataan-pernyataan Pak Hudoyo memang seperti apa yang dijelaskan oleh Bro Kainyn, kenapa dia tidak menjelaskan sedetil ini?

Dan satu lagi... Setelah mencapai "terhentinya pikiran", tetap saja lobha-dosa-moha tidak tercabut bukan? Atau dengan kata lain tujuan tertinggi antara Ajaran Sang Buddha dengan MMD itu memang berbeda?

Itu adalah yang definisi yang saya tangkap dari beberapa kali diskusi dengan Pak Hudoyo dan kemudian saya uraikan dengan bahasa saya sendiri. Apakah sudah dikonfirmasi? YA, sudah saya konfirmasi ke e-mail Pak Hudoyo.

Soal mengapa tidak dijelaskan begitu, karena setiap orang punya kecenderungan yang berbeda. Pak Hudoyo menjelaskan dengan caranya, saya dengan cara saya sendiri.

Setelah terhentinya "pikiran" (definisi Mulapariyaya), maka di situ LDM sudah tidak memiliki landasan lagi. Di sana pula tidak ditemukan landasan empat unsur (seperti yang ditanyakan seorang bhikkhu dalam Kevaddha Sutta). Itulah kebijakan Arahat.
Mulapariyaya Sutta itu bukan bikinan MMD, itu bagian dari Tipitaka. Pak Hudoyo menafsirkan demikian, dan saya juga menafsirkan kurang lebih demikian (bukan karena ikut2an Pak Hudoyo).


bond

Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 05:08:10 PM
Quote from: bond on 10 August 2009, 04:47:48 PM
Quote from: g.citra on 10 August 2009, 03:39:44 PM
Quote from: bond on 10 August 2009, 01:44:17 PM
Quote
Boleh share yg lengkapnya mengenai : hanya ada pengamatan, tidak ada usaha untuk memunculkan bentuk pikiran baru atau mengingat bentuk pikiran lama.

karena sesungguhnya pada waktu dia melakukan pengamatan, saat itu muncul bentuk pikiran baru karena pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir

Hanya saja berbeda dengan org awam/putthujhana dimana citta yang muncul adalah kusala atau akusala, saat seorang menjadi arahat, cittanya menjadi kiriya.

coba perhatikan dua kalimat yg dibold hitam dan yang dibold biru... Dua kalimat diatas saling berkontradiksi.

Di kalimat  pertama hanya ada pengamatan , dikalimat kedua dikatakan pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir.

yg dimaksud mengamati adalah hanya mengamati apa saja yg muncul dan lenyap. kalimat pertama lebih dapat diterima, moment tidak ada usaha hanyalah ketika batin tenang dan cukup konsentrasi dan sati. Pernyataan kedua lah yg mementahkan kalimat pertama. Pengamatan disini sebenarnya tidaklah aktif seperti ilmuwan mengamati sesuatu. Tetapi lebih kepada kita hanya melihat lalu lalangnya kendaraan, atau mengamati aliran air sungai ditepi sungai. Aliran ini adalah memang sifat alami dari citta. Hanya ada perbedaan dalam muncul lenyapnya ketika citta berkilesa dan saat kilesa telah terendap untuk sementara waktu ataupun hilang semuanya. Pengamatan adalah proses berpikir adalah seperti yang saya katakan seperti ilmuwan mengamati berbeda dengan pengamatan dalam vipasana. Ilmuwan mengamati sambil menganalisa dengan cara berpikir untuk mendapat kesimpulan secara logis dan ilmiah. Pengamatan vipasana hanya mengamati saja dan semakin tajamnya pengamatannya akibat sati dan konsentrasi pengertian/nyana akan muncul dengan sendirinya seperti kita berada diruang gelap perlahan menjadi terang dan melihat halyg sebenarnya dan ketika benar-benar terang maka timbulah nyana /'that's it. Hal ini memang sulit dilukiskan.

Jadi entahlah apakah kontradiktif ini karena kebingungan dalam melihat fenomena meditasi, apakah masalah bahasa, atau memang benar-benar tidak aware alias tidak ada sati dan hanya merasa tenang dan berhenti lalu dikatakan pikiran berhenti.




Apa mungkin gini bro ?
Dimana ada kesadaran (citta), kan pasti ada bentuk pikiran yang mengikuti (cetasika) ...
Jadi yang dimaksud bro markos itu sebagai proses pikiran baru yang muncul adalah cittanya tetap ada (gak mungkin kan meditasi itu buat ngilangin kesaradan), tapi cetasika yang munculnya itu yang menurut abhidhamma yang kusala-kusala gitu (namanya lupa lah ... kebanyakan ... :)))

_/\_

yg paling atas saya bold biru apakah bro Markos menanggapi tulisan PH atau semuanya tulisan PH? ???

Kalo yg dimaksud seperti bro Markos bahwa saat pengamatan dalam vipasanna seperti yg dikatakan g citra bisa dikatakan demikan.  ^-^

Ini saya post yg lengkapnya lagi bro............ biar ga makin bingung.....

yang biru, pernyataan saya. Yg diatasnya, pernyataan bro Kai

Ok thks om Markos untuk klarifikasinya, maklum ngetiknya di kantor jadi ngak teliti.. ;D
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

K.K.

Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 05:04:30 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 10 August 2009, 04:31:47 PM
Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 04:15:17 PM
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir

Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)

Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan

namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek

Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika

bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60

Sekali lagi, "berpikir" yang sering dibahas oleh Pak Hudoyo adalah "maññati", bukan proses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti.
Kemudian "usaha" yang dimaksud adalah menyikapi pengetahuan yang timbul, apakah dengan mengarahkan, mengubah, mengembangkan, dan lain-lain. Pengarahan pada objek tentu saja bukan "usaha" yang dimaksud. Kalau hanya ada duduk diam, tidak ada "usaha" mengarahkan kepada objek, tanpa "usaha" menjaga kesadaran, sama saja dengan bengong, bukan meditasi.

Kalau Bro Markos memakai istilah sendiri, kemudian dimasukan ke dalam petunjuk dalam MMD, terang saja jadi meditasi "sesat".



Sangat dipahami, bro...... namun "maññati" yang dimaksud oleh PH adalah berhentinya "maññati" sehingga proses kesadaran hanya ada pada #1 yaitu abhijaanaati saja

ini bisa dilihat dari :

QuoteHUDOYO:

Yang saya katakan adalah "Dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep, sehingga proses kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja (abhijanati)."

Sedangkan jika kita lihat, "maññati" justru hanyalah salah satu dari 6 kondisi yaitu :
(i) pa.thavi.m pa.thavito abhijaanaati -- he directly knows earth as earth;
(ii) pa.thavi.m na ma~n~nati -- he does not conceive earth;
(iii) pa.thaviyaa na ma~n~nati -- he does not conceive in earth;
(iv) pa.thavito na ma~n~nati -- he does not conceive from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti na ma~n~nati -- he does not conceive "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m naabhinandati -- he does not delight in earth.

Jadi maññati di PH diartikan hanya ada kesadaran #1 saja, kesadaran yang 5 lainnya sudah tidak berlangsung lagi -> Kembali kita bisa lihat sendiri pernyataan PH
Quotekognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja

Disini jelas berbeda dengan apa yg dikatakan oleh bro Kai (
Quoteproses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti
)


Jika hanya melihat "maññati", yg jelas menjadi permasalahan adalah mengenai PERSEPSI bhw seolah PERSEPSI itu yg harus dihentikan dimana diatas PH menyebutkan
Quotedalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep


Padahal jika kita lihat, pengertian dasar dari PERSEPSI atau SANNA adalah salah satu dari 7 sabbacittsadharana, yaitu cetasika yang ada dalam SEMUA CITTA jadi persepsi itu tetap akan ada, tetap terbentuk selama citta vitthi terus berlangsung
Hanya saja, karena pada arahat sudah ada Panna sehingga bisa melihat kenyataan sebagaimana apa adanya

Ini bisa kita lihat di : http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,422.0.html
Quote3.   Sanna = pencerapan / persepsi. Arti kata sanna sangat bervariasi tergantung konteks pembahasannya. Untuk menghindari kebingungan, sebaiknya digunakan istilah khusus ug digunakan di dalam hubungan ini sebagai factor batin yg universal. Karakteristik utama dari sanna ini adalah kognisi atas objek dengan cara menandai, seperti biru, hitam, dan sebagainya. Proseduralnya mirip rekognisi seorang tukang kayu terhadap jenis kayu tertentu dengan tanda-tanda yg dibuatnya, mirip seorang ahli batuan yg dapat membedakan berbagai jenis permata dengan tanda-tandanya. Antara sanna, vinnana dan panna dapat di umpamakan dengan seorang anak kecil, seorang dewasa dan seorang dewasa ahli kimia di dlm melihat uang logam. Bagi seorang anak kecil, ia hanya berpersepsi akan sebuah uang logam. Orang dewasa melihatnya dengan mengetahui nilai uang itu, dan bagi ahli kimia, iapun melihatnya bahwa uang ini terdiri dari bahan kimia logam-logam tertentu.

Nah seharusnya yang berhenti adalah "kemelekatannya" pada persepsi itu, bukannya persepsinya yg dihentikan. Persepsi itu hanyalah pengenalan suatu obyek saja yg terdiri dari berbagai kombinasi persepsi titik, garis, warna, dsbnya

Demikian yang bisa saya dapat dari membaca keenam pernyataan itu secara keseluruhan, bukan hanya membaca dari maññati saja

Bro Markos, mohon maaf kalau saya tidak menanggapi karena saya tidak mendalami Abhidhamma. Kalau Bro Markos bersikukuh demikian, biarlah demikian adanya, tetapi saya belum mampu menanggapinya.


ryu

#325
Quote from: Kainyn_Kutho on 10 August 2009, 05:14:48 PM
Quote from: upasaka on 10 August 2009, 04:37:56 PM
Sebelumnya...

Apakah kalimat-kalimat yang berwarna biru di atas memang merupakan maksud dari Pak Hudoyo? Atau spekulasi dari Bro Kainyn terhadap pernyataan Pak Hudoyo?

Jika maksud dari pernyataan-pernyataan Pak Hudoyo memang seperti apa yang dijelaskan oleh Bro Kainyn, kenapa dia tidak menjelaskan sedetil ini?

Dan satu lagi... Setelah mencapai "terhentinya pikiran", tetap saja lobha-dosa-moha tidak tercabut bukan? Atau dengan kata lain tujuan tertinggi antara Ajaran Sang Buddha dengan MMD itu memang berbeda?

Itu adalah yang definisi yang saya tangkap dari beberapa kali diskusi dengan Pak Hudoyo dan kemudian saya uraikan dengan bahasa saya sendiri. Apakah sudah dikonfirmasi? YA, sudah saya konfirmasi ke e-mail Pak Hudoyo.

Soal mengapa tidak dijelaskan begitu, karena setiap orang punya kecenderungan yang berbeda. Pak Hudoyo menjelaskan dengan caranya, saya dengan cara saya sendiri.

Setelah terhentinya "pikiran" (definisi Mulapariyaya), maka di situ LDM sudah tidak memiliki landasan lagi. Di sana pula tidak ditemukan landasan empat unsur (seperti yang ditanyakan seorang bhikkhu dalam Kevaddha Sutta). Itulah kebijakan Arahat.
Mulapariyaya Sutta itu bukan bikinan MMD, itu bagian dari Tipitaka. Pak Hudoyo menafsirkan demikian, dan saya juga menafsirkan kurang lebih demikian (bukan karena ikut2an Pak Hudoyo).


"berhentinya pikiran" apakah sesaat/ketika meditasi saja atau dalam kehidupan sehari2 bisa di aplikasikan? seperti apakah contohnya?


*)tambahan :
dalam sutta ada dikatakan untuk membuat pondasi seseorang meditator harus menyingkirkan lima rintangan (panca nivarana), apakah dalam MMD dijelaskan hal itu? saya rasa tidak khan?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

markosprawira

Quote from: Kainyn_Kutho on 10 August 2009, 05:24:04 PM
Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 05:04:30 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 10 August 2009, 04:31:47 PM
Quote from: markosprawira on 10 August 2009, 04:15:17 PM
Disini bro Kai masih melihat seolah harus ada "usaha"...... coba dilihat pernyataannya :
Pengamatan itu sendiri adalah proses berpikir

Bagaimana mengamatinya? disitu akan ada kesadaran memutuskan (ini udah 1 citta), juga lanjut dengan berbagai kesadaran yg sesuai dengan citta vitthi (proses citta yang berkesinambungan tiada henti)

Disini sepertinya Bro Kai melihat ada usaha utk mengarahkan

namun sesungguhnya usaha yang anda maksud terdiri dari banyak cetasika misal :
1. Mengarahkan yg merupakan fungsi dari cetasika manasikara (faktor batin yg mengarahkan faktor batin lainnya kepada objek secara spontan), yang otomatis sudah ada dalam setiap citta
2. Ada juga Vitakka yang mengarahkan utk tetap ada pada objek
3. Ada lagi faktor Ekagatta yang membuat batin kokoh dalam mengalami objek

Jadi sesungguhnya, "usaha" yang anda maksud, sudah melibatkan banyak cetasika

bisa lihat citta vitthi di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1393.60

Sekali lagi, "berpikir" yang sering dibahas oleh Pak Hudoyo adalah "maññati", bukan proses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti.
Kemudian "usaha" yang dimaksud adalah menyikapi pengetahuan yang timbul, apakah dengan mengarahkan, mengubah, mengembangkan, dan lain-lain. Pengarahan pada objek tentu saja bukan "usaha" yang dimaksud. Kalau hanya ada duduk diam, tidak ada "usaha" mengarahkan kepada objek, tanpa "usaha" menjaga kesadaran, sama saja dengan bengong, bukan meditasi.

Kalau Bro Markos memakai istilah sendiri, kemudian dimasukan ke dalam petunjuk dalam MMD, terang saja jadi meditasi "sesat".



Sangat dipahami, bro...... namun "maññati" yang dimaksud oleh PH adalah berhentinya "maññati" sehingga proses kesadaran hanya ada pada #1 yaitu abhijaanaati saja

ini bisa dilihat dari :

QuoteHUDOYO:

Yang saya katakan adalah "Dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha menyatakan bahwa dalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep, sehingga proses kognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja (abhijanati)."

Sedangkan jika kita lihat, "maññati" justru hanyalah salah satu dari 6 kondisi yaitu :
(i) pa.thavi.m pa.thavito abhijaanaati -- he directly knows earth as earth;
(ii) pa.thavi.m na ma~n~nati -- he does not conceive earth;
(iii) pa.thaviyaa na ma~n~nati -- he does not conceive in earth;
(iv) pa.thavito na ma~n~nati -- he does not conceive from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti na ma~n~nati -- he does not conceive "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m naabhinandati -- he does not delight in earth.

Jadi maññati di PH diartikan hanya ada kesadaran #1 saja, kesadaran yang 5 lainnya sudah tidak berlangsung lagi -> Kembali kita bisa lihat sendiri pernyataan PH
Quotekognisi (proses menyadari, proses berpikir) berhenti sampai pada tahap 1 saja

Disini jelas berbeda dengan apa yg dikatakan oleh bro Kai (
Quoteproses berlangsungnya citta yang memang tidak berhenti
)


Jika hanya melihat "maññati", yg jelas menjadi permasalahan adalah mengenai PERSEPSI bhw seolah PERSEPSI itu yg harus dihentikan dimana diatas PH menyebutkan
Quotedalam batin seorang arahat & tathagata tidak terjadi pembentukan konsep


Padahal jika kita lihat, pengertian dasar dari PERSEPSI atau SANNA adalah salah satu dari 7 sabbacittsadharana, yaitu cetasika yang ada dalam SEMUA CITTA jadi persepsi itu tetap akan ada, tetap terbentuk selama citta vitthi terus berlangsung
Hanya saja, karena pada arahat sudah ada Panna sehingga bisa melihat kenyataan sebagaimana apa adanya

Ini bisa kita lihat di : http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,422.0.html
Quote3.   Sanna = pencerapan / persepsi. Arti kata sanna sangat bervariasi tergantung konteks pembahasannya. Untuk menghindari kebingungan, sebaiknya digunakan istilah khusus ug digunakan di dalam hubungan ini sebagai factor batin yg universal. Karakteristik utama dari sanna ini adalah kognisi atas objek dengan cara menandai, seperti biru, hitam, dan sebagainya. Proseduralnya mirip rekognisi seorang tukang kayu terhadap jenis kayu tertentu dengan tanda-tanda yg dibuatnya, mirip seorang ahli batuan yg dapat membedakan berbagai jenis permata dengan tanda-tandanya. Antara sanna, vinnana dan panna dapat di umpamakan dengan seorang anak kecil, seorang dewasa dan seorang dewasa ahli kimia di dlm melihat uang logam. Bagi seorang anak kecil, ia hanya berpersepsi akan sebuah uang logam. Orang dewasa melihatnya dengan mengetahui nilai uang itu, dan bagi ahli kimia, iapun melihatnya bahwa uang ini terdiri dari bahan kimia logam-logam tertentu.

Nah seharusnya yang berhenti adalah "kemelekatannya" pada persepsi itu, bukannya persepsinya yg dihentikan. Persepsi itu hanyalah pengenalan suatu obyek saja yg terdiri dari berbagai kombinasi persepsi titik, garis, warna, dsbnya

Demikian yang bisa saya dapat dari membaca keenam pernyataan itu secara keseluruhan, bukan hanya membaca dari maññati saja

Bro Markos, mohon maaf kalau saya tidak menanggapi karena saya tidak mendalami Abhidhamma. Kalau Bro Markos bersikukuh demikian, biarlah demikian adanya, tetapi saya belum mampu menanggapinya.



dear bro Kai,

Tolong dilihat perspektifnya bukan saya bersikukuh seolah abhidhamma adalah yg paling benar, bahwa pengalaman itu nisbi krn abhidhamma berkata lain

namun hendaknya dilihat bhw sutta, vinaya dan abhidhamma yang ada dalam tipitaka adalah suatu kesatuan yg akan saling mendukung, bukannya saling bertentangan sehingga hanya perlu menggunakan 2 - 3 sutta saja dan menisbikan isi tipitaka lainnya

jika hanya secuplik lalu ditafsirkan sendiri, maka riskan terjadi kesalah pahaman seperti :

QuoteOn 8/7/09, Hudoyo <hudoyo [at] cbn.net.id> wrote:
sedangkan saya menerjemahkan 'citta/vinnana' dengan 'batin' atau 'kesadaran' , bukan 'pikiran'!

padahal jelas berbeda antara citta dengan batin/nama.
Citta adalah vinnana khandha yang merupakan satu dari 4 unsur pembentuk batin/nama

dan juga :

QuoteOn 8/4/09, markos prawira <markosprawira [at] gmail.com> wrote:
Quotehudoyo1 <hudoyo [at] cbn.net.id> wrote: Yang penting JANGAN BERBUAT KARMA BARU --entah karma baik entah karma buruk-- SEKARANG.

Sangat prihatin dengan pernyataan diatas karena Buddha dalam Mahapadana sutta dan Ovada Patimokkha justru mengajarkan : Kurangi berbuat jahat, Perbanyak berbuat baik dan mensucikan batin

Mahapadana Sutta :

"Kesabaran adalah tapa yang paling tinggi
Para Buddha bersabda: "Nibbana yang tertinggi dari segala sesuatu"
Beliau bukanlah pertapa yang merugikan orang lain atau pertapa yang tidak menyebabkan orang lain menjadi susah.

Tidak melakukan kejahatan,
Mengembangkan kebajikan,
Mensucikan batin.
Itulah ajaran para Buddha

Tidak memfitnah, tidak menganiaya
Mengendalikan diri sesuai dengan peraturan
Makan dan tidur secukupnya, dan hidup menyepi
Senantiasa berpikir luhur
Itulah ajaran para Buddha." -> disini jelas bhw ajaran Buddha dari jaman Buddha Vipasi, Buddha Sikhi, Buddha Vessabhu, Buddha Kakusanda, Buddha Konagamana, Buddha Kassapa sampai Buddha Gautama adalah sama



Hal sama juga bisa dilihat di Ovada Patimokkha yang diucapkan di depan 1250 org bhikkhu yang semuanya Arahat
Cease to do evil,
cultivate that which is good;
purify the heart.
This is the Way of the Awakened Ones
[/size]

Diatas kita bisa lihat kontradiksi dari pengambilan sutta secara secuplik saja oleh PH

dan bagaimana bedanya jika dilihat isi sutta yang saling mendukung

akhir kata, permasalahan mannati, konsep MURNI, pikiran berhenti adalah konsep2 yg seharusnya sudah dapat jelas jika kita menggunakan tipitaka sebagai 1 kesatuan yang utuh

semoga bermanfaat agar kita semua bisa mempraktekkan tipitaka secara menyeluruh, bukannya memilih mana yg cocok dan menolak yg tidak cocok

metta  _/\_

morpheus

Quote from: Kainyn_Kutho on 10 August 2009, 04:31:47 PM
Kemudian "usaha" yang dimaksud adalah menyikapi pengetahuan yang timbul, apakah dengan mengarahkan, mengubah, mengembangkan, dan lain-lain. Pengarahan pada objek tentu saja bukan "usaha" yang dimaksud. Kalau hanya ada duduk diam, tidak ada "usaha" mengarahkan kepada objek, tanpa "usaha" menjaga kesadaran, sama saja dengan bengong, bukan meditasi.

Kalau Bro Markos memakai istilah sendiri, kemudian dimasukan ke dalam petunjuk dalam MMD, terang saja jadi meditasi "sesat".
prinsip "tanpa usaha" udah dikenal sangat luas di dunia meditasi buddhis, bukan penemuan baru, bukan original pak hudoyo. ajahn brahm dan master sheng yen juga ngomong yg senada. meditator yg pemula saja kebanyakan mengerti dan memahami maksudnya. saya melihat banyak sekali "keresahan" di sini disebabkan karena ketidakmengertian. itu saja...

berkali2 dibilangin, cobalah eksperimen. pertama, coba bermeditasi dengan usaha. usaha untuk mencapai ketenangan, usaha untuk mencapai jhana, usaha untuk memerangi ldm, usaha untuk mencapai kesucian, usaha untuk menekan napsu, dll. kemudian coba eksperimen kedua, bermeditasilah dengan tidak berusaha untuk mencapai apapun, mengamati saja. tenang atau gelisah, amati saja. tidak ada usaha... mana yg berhasil?

coba cross check, tanya bhante khanti, bhante titha, bhante panna, ajahm brahm, dll. tanya mana yg benar.
sekali lagi, ini bukan barang baru, bukan penemuan baru, ataupun original...
kalo gak dicoba ya gak bakal mengerti, balik ke pertanyaan yg itu itu aja...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Hendra Susanto

heheheh... kelihatan banget dari hasil yang sudah2 pencipta MMD malah makin gahaaarrrr... LDM sedikit pun gak berkurang tuch... kita kan lihat hasil klo hasilnya gak jelas atau malah makin parah ya mending yang uda jelas donk...

hendrako

Quote from: morpheus on 10 August 2009, 06:09:35 PM
Quote from: Kainyn_Kutho on 10 August 2009, 04:31:47 PM
Kemudian "usaha" yang dimaksud adalah menyikapi pengetahuan yang timbul, apakah dengan mengarahkan, mengubah, mengembangkan, dan lain-lain. Pengarahan pada objek tentu saja bukan "usaha" yang dimaksud. Kalau hanya ada duduk diam, tidak ada "usaha" mengarahkan kepada objek, tanpa "usaha" menjaga kesadaran, sama saja dengan bengong, bukan meditasi.

Kalau Bro Markos memakai istilah sendiri, kemudian dimasukan ke dalam petunjuk dalam MMD, terang saja jadi meditasi "sesat".
prinsip "tanpa usaha" udah dikenal sangat luas di dunia meditasi buddhis, bukan penemuan baru, bukan original pak hudoyo. ajahn brahm dan master sheng yen juga ngomong yg senada. meditator yg pemula saja kebanyakan mengerti dan memahami maksudnya. saya melihat banyak sekali "keresahan" di sini disebabkan karena ketidakmengertian. itu saja...

berkali2 dibilangin, cobalah eksperimen. pertama, coba bermeditasi dengan usaha. usaha untuk mencapai ketenangan, usaha untuk mencapai jhana, usaha untuk memerangi ldm, usaha untuk mencapai kesucian, usaha untuk menekan napsu, dll. kemudian coba eksperimen kedua, bermeditasilah dengan tidak berusaha untuk mencapai apapun, mengamati saja. tenang atau gelisah, amati saja. tidak ada usaha... mana yg berhasil?

coba cross check, tanya bhante khanti, bhante titha, bhante panna, ajahm brahm, dll. tanya mana yg benar.
sekali lagi, ini bukan barang baru, bukan penemuan baru, ataupun original...
kalo gak dicoba ya gak bakal mengerti, balik ke pertanyaan yg itu itu aja...

Setuju dengan bro Morpheus,
Mungkin tanpa usaha (perbuatan) yg dimaksud adalah diawali tanpa keinginan (pikiran).
Referensi yg saya dapatkan lebih banyak menggunakan istilah ini, "tanpa keinginan" atau jangan mengingini, walaupun sebelum berlatih tetap harus di awali dengan keinginan untuk berlatih juga.
Apabila masih ada nafsu keinginan dalam berlatih (ingin mencapai jhana misalnya) maka meditasi hanya membawa penderitaan.
yaa... gitu deh