mana?
Maaf, Batara Indra, tadi inet lemot trus ada telp ;D
Komentar:Abhidharma berusaha membagi elemen-elemen menjadi unsur yang paling dasar terkecil yang memiliki karakteristik tertentu. Kalau kita lihat Abhidhamma Theravada (saya asumsi ada kesamaan), seperti rupa dibagi menjadi 28 unsur. Nagarjuna menolak pemahaman demikian karena tidak sesuai dengan esensi Ajaran Buddha tentang keterkondisian, perubahan, dan tanpa 'jati', dan ini tidak terbatas hanya pada makhluk saja, namun pada fenomena secara keseluruhan.
Inti artikel adalah mengenai Ajaran Anatta/Anatman dan Paticcasamuppada. Tetap memang tidak membahas mengapa paradoks itu terjadi. Saya tetap mengindikasikan adanya kesalahan terjemahan dari Sanskerta ke bahasa Tiongkok mengenai “Bentuk (rupa) = kosong; kosong = bentuk” , terletak pada menerjemahkan kata ”na prthak” yang seharusnya diterjemahkan sebagai “tidak terpisahkan” menjadi “sama” / “tidak berbeda”. Mungkin ini yang mengakibatkan paradoks ini terjadi.
Terlepas dari kontkes salah terjemahan Prajnaparamita Hrdaya Sutra, ada satu hal yang membuat saya penasaran setiap ada ulasan mengenai Nagarjuna. Dikatakan ia mengkritik/menyangkal ajaran di abhidhamma (di artikel ini dikatakan konsep substansial dari aliran Abhidharma dari Theravada).
Pertanyaannya:
ajaran Abhidhamma Theravada yang mana yang Nagarjuna sanggah tersebut? Ada yang bisa bantu menjelaskannya?
_/\_
Konsep Kekosongan
Sifat dan unsur dari mangkuk bukan mangkuk itu sendiri ataupun tidak menyatakan persepsi kita atas mangkuk atas sifat mangkuk itu sendiri. Materi bukan mangkuk itu sendir. Bentuk bukan mangkuk itu sendiri. Fungsinya bukan mangkuk itu sendiri. Hanya semua aspek ini bersama-sama yang membentuk mangkuk. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa untuk sebuah objek yang menjadi mangkuk, kita membutuhkan sekumpulan kondisi tertentu agar menjadi ada. Hanya jika semua kondisi ini ada bersamaan maka pikiran menghubungkan label mangkuk pada objek itu. Jika salah satu kondisi lenyap, sebagai contoh, jika bentuk mangkuk berubah karena dihancurkan, mangkuk tersebut kehilangan beberapa atau semua atributnya dan pikiran kita tidak dapat mengenalinya sebagai mangkuk lagi. Dengan demikian, keberadaan mangkuk bergantung pada keadaan luar. Esensi fisiknya tetap sulit dipahami. [3,4,5,6]
Mangkuk hanya dapat dikatakan sebagai mangkuk, jika semua unsur dan kondisi terpenuhi seperti yang bro jelaskan. Termasuk sifat cekungan dan cembung.Wah, ada master djoe. Egonya berkobar meluap tidak bisa tahan diri yah? ;D
Semua hal tersebut hanyalah manifestasi dari keberadaan mangkuk itu sendiri, maka dikatakan cekungan dan cumbungan adalah hal yang sama merupakan manifestasi/proyeksi dari hal yang sama.
Sama halnya dengan bukit dan lembah, mereka merupakan manifestasi dari hal yang sama, tidak ada dualisme yang melekat pada bukit dan lembah. Mereka tidak bisa dikatakan terpisahkan dan juga tidak bisa dikatakan tidak terpisahkan, tetapi bersama sama membentuk bukit dan lembah.
Mengatakan bukit dan lembah tidak terpisahkan ataupun terpisahkan hanyalah pandangam terdelusi. Mereka hanyalah seperti itu karena mereka tidak punya sifat terpisahkan ataupun tidak terpisahkan.
Sama seperti seseorang yang di dalam suatu ruang memaku satu papan untuk menyekat ruang atas dan bawah. Semua unsur unsur yang membentuk ruang dan atas harus ada baru bisa dikatakan ruang dan atas. Tetapi dapatkah kita mengatakan ruang dan atas terpisah atau tidak terpisahkan. Berdebat adanya terpisah atau tidak terpisahkan hanyalah pandangan yang terdelusi. Apalagi menyatakannya dalam pandangan ekstreme mengatakan terpisah.
Sepertinya hal ini sulit dipahami orang tertentu dan tidak menyadari dari statement yang dibuatnya. Atau hanya argumen ego untuk menunjukkan kepintarannya karena tidak bisa melihat hal yang disampaikan.
:)) :)) :))
:'( :'( :'(
Artikel ini walau tidak dapat menjawab paradoks dari ungkapan "bentuk (rupa) adalah kosong dan kosong adalah bentuk" (yang umumnya diterjemahkan secara salah sebagai "isi adalah kosong dan kosong adalah isi"), tetapi setidaknya dapat memberikan pemahaman dasar tentang konsep kekosongan dalam pandangan Mahayana yang dikaitkan dengan hukum sebab akibat yang saling bergantungan (paticcasamuppada).
Sepertinya hal ini sulit dipahami orang tertentu dan tidak menyadari dari statement yang dibuatnya. Atau hanya argumen ego untuk menunjukkan kepintarannya karena tidak bisa melihat hal yang disampaikan.
Abhidharma berusaha membagi elemen-elemen menjadi unsur yang paling dasar terkecil yang memiliki karakteristik tertentu. Kalau kita lihat Abhidhamma Theravada (saya asumsi ada kesamaan), seperti rupa dibagi menjadi 28 unsur. Nagarjuna menolak pemahaman demikian karena tidak sesuai dengan esensi Ajaran Buddha tentang keterkondisian, perubahan, dan tanpa 'jati', dan ini tidak terbatas hanya pada makhluk saja, namun pada fenomena secara keseluruhan.
P.S.: Abhidharma tidak terdapat dalam Ajaran Buddhisme awal, demikian pula konsep sabhava (elemen yang tak terbagi lagi) ini juga tidak ada dalam Buddhisme awal.
........ tetapi bersama sama membentuk bukit dan lembah.
Saya juga bukan pakar Abhidhamma. ;D
Ooo. IC, thanks Sdr. Kainyn_Kutho, baru tahu saya mengenai hal ini, maklum bukan pakar Abhidhamma.
Jadi, apakah dapat kita katakan bahwa ini salah satu “error” dari Abdhidhamma karena adanya svabhava/sabhava (yaitu 28 unsur tersebut)?
Saya juga bukan pakar Abhidhamma. ;D
Kalau saya pribadi memang kurang setuju dengan ajaran-ajaran yang tidak sejalan dengan Buddhisme awal. Error atau tidak, tidak bisa dibuktikan. Paling bisa di-trace lewat sejarah & catatan saja. Tapi itu juga rancu, misalnya dalam catatan aliran tertentu, dikatakan satu aliran memisahkan diri karena mau mengubah vinaya; sementara di catatan aliran lainnya, disebutkan mereka memisahkan diri karena dipaksa menerima 6 Abhidharma, yang menurut mereka tidak ada diajarkan oleh Buddha.
Jadi balik lagi sih semua opini masing-masing aja kali yah. :)
Mangkuk hanya dapat dikatakan sebagai mangkuk, jika semua unsur dan kondisi terpenuhi seperti yang bro jelaskan. Termasuk sifat cekungan dan cembung.
Semua hal tersebut hanyalah manifestasi dari keberadaan mangkuk itu sendiri, maka dikatakan cekungan dan cumbungan adalah hal yang sama merupakan manifestasi/proyeksi dari hal yang sama(mangkuk)
Sama halnya dengan bukit dan lembah, mereka merupakan manifestasi dari hal yang sama, tidak ada dualisme yang melekat pada bukit dan lembah. Mereka tidak bisa dikatakan terpisahkan dan juga tidak bisa dikatakan tidak terpisahkan, tetapi bersama sama membentuk bukit dan lembah.
Mengatakan bukit dan lembah tidak terpisahkan ataupun terpisahkan hanyalah pandangam terdelusi. Mereka hanyalah seperti itu karena mereka tidak punya sifat terpisahkan ataupun tidak terpisahkan.
Sama seperti seseorang yang di dalam suatu ruang memaku satu papan untuk menyekat ruang atas dan bawah. Semua unsur unsur yang membentuk ruang dan atas harus ada baru bisa dikatakan ruang dan atas. Tetapi dapatkah kita mengatakan ruang dan atas terpisah atau tidak terpisahkan. Berdebat adanya terpisah atau tidak terpisahkan hanyalah pandangan yang terdelusi. Apalagi menyatakannya dalam pandangan ekstreme mengatakan terpisah dan berusaha meyakinkan kepada orang bahwa hal tersebut terpisah
Sepertinya hal ini sulit dipahami orang tertentu dan tidak menyadari dari statement yang dibuatnya. Atau hanya argumen ego untuk menunjukkan kepintarannya karena tidak bisa melihat hal yang disampaikan terkesan asal menjawab atau tidak bisa menjawab
:)) :)) :))
:'( :'( :'(
Atau terlalu pintar untuk menjawab tulisan orang bodoh.
Diterjemahkan secara salah dalam pengertian ini diterjemahkan sebagai isi adalah kosong dan kosong adalah isi.
Bro Ari, boleh minta versi bahasa inggrisnya?
These verses demand careful scrutiny. In 24: 18, Nagarjuna establishes a critical three-way relation between emptiness, dependent origination, and verbal convention, and asserts that this relation itself is the Middle Way towards which his entire philosophical system is aimed. As we shall see, this is the basis for understanding the emptiness of emptiness itself. First, Nagarjuna asserts that the dependently arisen is emptiness. Emptiness and the phenomenal world are not two distinct things. They are rather two characterizations of the same thing. To say of something that it is dependently co-arisen is to say that it is empty. To say of something that it is empty is another way of saying that it arises dependently.Kekosongan dan dunia fenomena bukanlah dua hal yang berbeda. Di sini sangat menjelaskan bahwa kekosongan itu bukan dicari di luar dunia fenomena, namun adalah sisi lain dari dunia fenomena itu sendiri. Secara konvensional kita menunjuk sesuatu sebagai rupa, namun rupa itu sendiri adalah kumpulan yang muncul bergantungan, bukan suatu hakikat 'eksistensi' tertentu, maka disebut 'kosong'. Semua fenomena dunia, termasuk rupa, hakikatnya adalah kosong.
Moreover, whatever is dependently co-arisen is verbally established. That is, the identity of any dependently arisen thing depends upon verbal conventions. To say of a thing that it is dependently arisen is to say that its identity as a single entity is nothing more than its being the referent of a word. The thing itself, apart from conventions of individuation, is nothing but an arbitrary slice of an indefinite spatiotemporal and causal manifold. To say of a thing that its identity is a merely verbal fact about it is to say that it is empty. To view emptiness in this way is to see it neither as an entity nor as unreal--it is to see it as conventionally real.
Moreover, "emptiness" itself is asserted to be a dependent designation (Skt prajnaptir-upadaya [brTen Nas gDags pal). Its referent, emptiness itself, is thereby asserted to be merely dependent and nominal--conventionally existent but ultimately empty. This is, hence, a middle path with regard to emptiness. To view the dependently originated world in this way is to see it neither as nonempty nor as completely nonexistent. It is, viewed in this way, conventionally existent, but empty. We thus have a middle path with regard to dependent origination. To view convention in this way is to view it neither as ontologically insignificant--it determines the character of the phenomenal world--nor as ontologically efficacious --it is empty. Thus we also have a middle way with regard to convention. And finally, given the nice ambiguity in the reference of "that," (De Ni), not only are "dependent arising" and "emptiness" asserted to be dependent designations, and hence merely nominal, but the very relation between them is asserted to be so dependent, and therefore to be empty.[8]
http://wwthezensite.com/ZenEssays/Nagarjuna/Dependent_Arising.htm (http://www.thezensite.com/ZenEssays/Nagarjuna/Dependent_Arising.htm)
Kebetulan sekali ada yang bagus nih.
Kekosongan dan dunia fenomena bukanlah dua hal yang berbeda. Di sini sangat menjelaskan bahwa kekosongan itu bukan dicari di luar dunia fenomena, namun adalah sisi lain dari dunia fenomena itu sendiri. Secara konvensional kita menunjuk sesuatu sebagai rupa, namun rupa itu sendiri adalah kumpulan yang muncul bergantungan, bukan suatu hakikat 'eksistensi' tertentu, maka disebut 'kosong'. Semua fenomena dunia, termasuk rupa, hakikatnya adalah kosong.
Lalu apakah 'rupa adalah kosong, kosong adalah rupa'?
'Biologi adalah mata pelajaran, apakah mata pelajaran adalah biologi'?
Silahkan jawab sendiri.
Dengan kata lain segala sesuatu adalah sunya. Mereka tidak punya sesuatu yang bisa dibedakan ataupun disamakan dikarenakan mereka tidak punya entitas diri.Bagaimana penjelasannya om? Kalau segala sesuatu tidak punya sesuatu yang bisa dibedakan ataupun disamakan karena tidak punya entitas diri? Mengapa sekarang om dapat menulis dan membedakan a, b dan c? Mengapa saya bisa menyamakan o dan o? Meskipun mereka tidak punya entitas diri? Mohon pencerahannya...
Segala sesuatu ada , hanyalah karena penyebutan secara nama. Mereka ada secara konvensi atau kita melihatnya sebagai entitas .
"Para Bhikkhu, ada perbedaan antara kaum duniawi yang terlatih dengan kaum duniawi yang tidak terlatih"yang berkata seperti ini masih belum setara om djoe ya (masih membeda2kan)?
yang berkata seperti ini masih belum setara om djoe ya (masih membeda2kan)?
benda padat tidak benar-benar padat
kekosongan tidak benar-benar kosong
tidak ada benda yang benar-benar padat
tidak ada kekosongan yang benar-benar kosong
masing-masing padat dan kosong
terdiri dari padat dan kosong
yang disebut padat adalah perpaduan
begitu pula kekosongan adalah perpaduan
"sabbe sankhara anicca"
segala perpaduan tidak kekal
padat dan kekosongan adalah perpaduan
keduanya tidak kekal.
"sabbe sankhara dukkha"
"sabbe dhamma anatta"
perpaduan tidak pernah sempurna
segalanya tidak memiliki jati purna
Dalam konteks ini ane setuju, "isi adalah kosong, kosong adalah isi."...."sunyata"
Kebetulan sekali ada yang bagus nih.
Kekosongan dan dunia fenomena bukanlah dua hal yang berbeda. Di sini sangat menjelaskan bahwa kekosongan itu bukan dicari di luar dunia fenomena, namun adalah sisi lain dari dunia fenomena itu sendiri. Secara konvensional kita menunjuk sesuatu sebagai rupa, namun rupa itu sendiri adalah kumpulan yang muncul bergantungan, bukan suatu hakikat 'eksistensi' tertentu, maka disebut 'kosong'. Semua fenomena dunia, termasuk rupa, hakikatnya adalah kosong.
Lalu apakah 'rupa adalah kosong, kosong adalah rupa'?
'Biologi adalah mata pelajaran, apakah mata pelajaran adalah biologi'?
Silahkan jawab sendiri.
Karena muncul bergantungan, maka dikatakan kosong.
Apakah ada ajaran 'kosong mengondisikan kemunculan wujud'?
Apakah dikatakan 'wujud dan kosong bergerak silih berganti'? ;D
Hanya d**e yang tahu jawabannya.
[at] om kelana, mau bagaimanapun juga sang master pasti mencari pembenaran untuk pemikirannya. Dia akan mencari dari sumber2 yang mendukung dia, jafi yang sangsekerta gak sah lah bagi dia.
Kalau isi adalah kosong, kosong adalah isi, maka silahkan bertelanjang saat hendak pergi kerja, sekolah atau kemana juga. Silahkan melakukan kejahatan karena kejahatan adalah kebaikan. Ini adalah suatu pemikiran yang tidak dibenarkan. Bahkan Prajnaparamita tidak menyebutkan adanya kosong adalah isi (sunya adalah purna/asunya), tetapi sunya tidak terpisahkan dari rupa (sunya na prthak rupa).
Ketika kita berbicara bahwa benda padat tidak benar-benar padat, kekosongan tidak benar-benar kosong, ini berarti seharusnya kita tahu bahwa ada perbedaan antara rupa dan kosong. Meskipun keduanya memiliki satu sifat/karakter/laksana yang sama bukan berarti kosong adalah rupa.
Ketika kita memberbicara mengenai anicca, dukkha dan anatta (kosong/sunya), kita berbicara mengenai ciri/sifat/karakter (Pali: lakkhana, Sanskerta:laksana) dari skandha/khandha, dan hanya sifat anatta untuk sunya.
Jika isi adalah kosong, kosong adalah isi, ini berarti kita menyamakan antara sifat/laksana dengan skandha.
Contoh: Salah satu sifat emas adalah keras, salah satu sifat berlian adalah keras, keras adalah emas – emas adalah keras, berlian adalah keras - keras adalah berlian, maka berlian adalah emas atau emas adalah berlian. Ini tidak benar.
Yang benar adalah salah satu sifat emas = salah satu sifat berlian adalah keras
Jadi yang benar persamaannya adalah sunyata-nya kekosongan = sunyata-nya rupa. Ini adalah persamaan yang setara, antara laksana dengan laksana.
Bagaimana penjelasannya om? Kalau segala sesuatu tidak punya sesuatu yang bisa dibedakan ataupun disamakan karena tidak punya entitas diri? Mengapa sekarang om dapat menulis dan membedakan a, b dan c? Mengapa saya bisa menyamakan o dan o? Meskipun mereka tidak punya entitas diri? Mohon pencerahannya...
Intinya adalah segala sesuatu (kecuali Nibbana) adalah "sankhara"..................................................itu saja.
Berhubung ini di sub Tradisi Mahayana, maka pernyataan di atas tidak tepat.
Dalam aliran lain, kebenaran dibagi dua (Paramattha Sacca dan Samutti Sacca), yang meliputi citta, cetasika, rupa, dan nibbana.
Di aliran Mahayana, keempat faktor di atas pun, tidak lepas dari Sunya (kekosongan dari inti hakiki).
Singkatnya, nibbana pun lahir dari hasil (entah itu Jalan Mulia Beruas Delapan, Brahma Vihara, dst). Intinya: "Segala sesuatu di dalam keberadaan ini adalah sunya, tidak berdiri secara independen."
Seperti itu kira-kira maksud dari Sunyata, dan kaitannya dengan Patticca Samuppada (sebab-musabab saling bergantungan).
Mohon koreksinya. Terima kasih.
Saya bantu jawab (maaf bukan cloning-an dari Dj**).Pikiran membedakan/menyamakan berdasarkan apa? Bukankah dibedakan/disamakan berdasarkan "sesuatu"? Emas adalah bata dan bata adalah emas. Kesimpulan: Jualah bata ke toko emas?
Pikiran yang dapat menulis dan membedakan a, b dan c.
Pikiran juga yang menyamakan o dan o.
Penyamaan dan pembedaan lahir karena ada Pikiran. Ketika tidak ada pikiran, lalu "siapa" yang berpikir? (Kutipan Zen)
Ketika diri telah terbebas (dari shankara dan dukkha), apa yang harus disamakan dan dibedakan?
Bahkan segala intelektualitas dan subjektivitas berpikir adalah sunya, tidak memiliki inti/entitas yang hakiki. Apalagi yang harus dicari persamaan dan perbedaan, karena kita tahu persamaan dan perbedaan lahirnya dari pikiran (salah satu faktor mental dari 5 agregat/khanda).
Semoga selangkah menuju pencerahan.
Salam.
Nibbana bukan termasuk sankhara karena bukan merupakan perpaduan.
"Sabbe sankhara anicca
Sabbe sankhara dukkha
Sabbe dhamma anatta"
Segala sesuatu (sankhara + Nibbana) pada syair di atas disebut sebagai Dhamma.
Segala sesuatu (sankhara + Nibbana) bersifat anatta............sunya.
Pikiran membedakan/menyamakan berdasarkan apa? Bukankah dibedakan/disamakan berdasarkan "sesuatu"? Emas adalah bata dan bata adalah emas. Kesimpulan: Jualah bata ke toko emas?
Bugil tidak benar2 bugil, berpakaian juga tidak benar2 berpakaian.
Kalau isi adalah kosong, kosong adalah isi, maka silahkan bertelanjang saat hendak pergi kerja, sekolah atau kemana juga. Silahkan melakukan kejahatan karena kejahatan adalah kebaikan. Ini adalah suatu pemikiran yang tidak dibenarkan. Bahkan Prajnaparamita tidak menyebutkan adanya kosong adalah isi (sunya adalah purna/asunya), tetapi sunya tidak terpisahkan dari rupa (sunya na prthak rupa).
[...]
Emptiness and the phenomenal world are not two distinct things. They are rather two characterizations of the same thingIya, betul. "Terpisah" nampaknya lebih tidak ambigu. Terlepas dari itu pun, yang bikin aneh adalah ketidaksesuaian konteksnya, bahwa (sehubungan dengan rupa,) rupa tidak terpisah dari sunya dan sunya tidak terpisah dari rupa, dan juga keliru memahami sunya (kosong) di sini yang bukan lawan kata dari rupa, sehingga muncul pola pikir berikut:
Saya mengindikasikan adanya salah terjemahan. Entah kenapa orang barat menggunakan istilah distinct yang kemudian diartikan dalam bahasa Indonesia jadi berarti “berbeda”, padahal ada pengertian lain:
Oxford:
• recognizably different in nature from something else of a similar type: the patterns of spoken language are distinct from those of writing there are two distinct types of sickle cell disease
• physically separate: the gallery is divided into five distinct spaces
Origin:
late Middle English (in the sense 'differentiated'): from Latin distinctus 'separated, distinguished', from the verb distinguere (see distinguish)
Jadi kata distinct itu berdasarkan asal kata berarti separated (terpisah) sama halnya dengan arti dari prthak = separate = terpisah
Teks awal Prajnaparamita adalah Sanskerta bukan bahasa Inggris atau Mandarin sehingga Sanskerta-lah yang seharusnya menjadi acuan. Dan nampaknya “master” kita ini lebih suka istilah yang memang membuat bingung ria dan berakhir paradoks dari pada kata yang dapat mudah dimengerti . :whistle:
Bugil tidak benar2 bugil, berpakaian juga tidak benar2 berpakaian.
Tidak ada yang benar2 bugil, dan tidak ada yang benar2 berpakaian.
Bugil & berpakaian adalah perpaduan, keduanya tidak kekal.
Dalam konteks ini, maka bugil = berpakaian, berpakaian = bugil.
Mau lebih ekstrem?
Iya, betul. "Terpisah" nampaknya lebih tidak ambigu. Terlepas dari itu pun, yang bikin aneh adalah ketidaksesuaian konteksnya, bahwa (sehubungan dengan rupa,) rupa tidak terpisah dari sunya dan sunya tidak terpisah dari rupa, dan juga keliru memahami sunya (kosong) di sini yang bukan lawan kata dari rupa, sehingga muncul pola pikir berikut:
-kosong (sunya) itu isi (rupa), isi (rupa) itu kosong (sunya) [a = b, b = a]
E.g. Gelas setengah kosong = setengah isi; bukit = lembah.
Kemudian keluar dari konteks, 2 objek yang berbeda disamakan dengan menghilangkan persepsi (x).
E.g. Karena melihat pisik (ada persepsi, x), maka pria beda dengan wanita (b != !b).
Tapi menutup mata (!x), maka pria dan wanita sama (b = !b).
Dengan demikian, kosong/tidak kosong juga ditentukan persepsi.
Karena persepsi, maka kosong beda dengan tidak kosong (a != !a)
kalau tanpa persepsi, maka kosong sama dengan tidak kosong (a = !a)
Ringkasan.
Jika telah memahami "sunyata" (tanpa x):
* a = b ; b = a
* a = !b; !b = a
*!a = b ; b = !a
*!a = !b; !b = !a
Tinggal diaplikasikan:
* Gorilla adalah mamalia; mamalia adalah gorilla
* Gorilla adalah kadal; kadal adalah gorilla
* Ubur-ubur adalah mamalia; mamalia adalah ubur-ubur
* Ubur-ubur adalah kadal; kadal adalah ubur-ubur
Penjelasan:
-Gorilla bergantung pada mamalia, mamalia bergantung pada gorilla.
Ubur-ubur adalah mamalia; Gorilla pun kadal.
Gorilla, ubur2, kadal, mamalia, semua bergerak silih berganti, saling mempengaruhi.
-Gorilla dan ubur2 terpisahkan hanyalah karena masalah penamaan.
-Gorilla ga bener2 gorilla, ubur-ubur juga ga bener2 ubur2.
dan terakhir, Mendebatkan gorilla terpisah atau tidak terpisah dari ubur2 atau kadal adalah pandangan terdelusi.
Filosofi tingkat tinggi ini memang luar biasa sulit dipahami.
Benar anda emang tidak mengerti keknya. :)Konvensi tidak benar-benar konvensi
Rancu antara konvensi dan realiti.
Konvensi tidak benar-benar konvensi
Realiti tidak benar-benar realiti
Tidak ada yang benar-benar konvensi
Tidak ada yang benar-benar realiti
Maka disebut konvensi adalah realiti, realiti adalah konvensi.
Nampaknya anda yang tidak mengerti apa yang anda katakan. ;D
:)Ayolah, jangan ragu jangan malu2, jelaskan dengan terperinci.
Emptiness and the phenomenal world are not two distinct things. They are rather two characterizations of the same thing
Saya mengindikasikan adanya salah terjemahan. Entah kenapa orang barat menggunakan istilah distinct yang kemudian diartikan dalam bahasa Indonesia jadi berarti “berbeda”, padahal ada pengertian lain:
Oxford:
• recognizably different in nature from something else of a similar type: the patterns of spoken language are distinct from those of writing there are two distinct types of sickle cell disease
• physically separate: the gallery is divided into five distinct spaces
Origin:
late Middle English (in the sense 'differentiated'): from Latin distinctus 'separated, distinguished', from the verb distinguere (see distinguish)
Jadi kata distinct itu berdasarkan asal kata berarti separated (terpisah) sama halnya dengan arti dari prthak = separate = terpisah
Teks awal Prajnaparamita adalah Sanskerta bukan bahasa Inggris atau Mandarin sehingga Sanskerta-lah yang seharusnya menjadi acuan. Dan nampaknya “master” kita ini lebih suka istilah yang memang membuat bingung ria dan berakhir paradoks dari pada kata yang dapat mudah dimengerti . :whistle:
Jangan mencampuradukkan kebenaran mutlak dan kondisional.Kebenaran mutlak ada karena kebenaran kondisional, kebenaran kondisional ada karena kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak adalah kondisional dan kebenaran kondisional adalah kebenaran mutlak. Tidak ada sesuatu yg bisa dibedakan atau disamakan karena adalah tanpa inti diri.
Salam.
Bugil tidak benar2 bugil, berpakaian juga tidak benar2 berpakaian.
Tidak ada yang benar2 bugil, dan tidak ada yang benar2 berpakaian.
Bugil & berpakaian adalah perpaduan, keduanya tidak kekal.
Dalam konteks ini, maka bugil = berpakaian, berpakaian = bugil.
Mau lebih ekstrem?
Iya, betul. "Terpisah" nampaknya lebih tidak ambigu. Terlepas dari itu pun, yang bikin aneh adalah ketidaksesuaian konteksnya, bahwa (sehubungan dengan rupa,) rupa tidak terpisah dari sunya dan sunya tidak terpisah dari rupa, dan juga keliru memahami sunya (kosong) di sini yang bukan lawan kata dari rupa, sehingga muncul pola pikir berikut:
-kosong (sunya) itu isi (rupa), isi (rupa) itu kosong (sunya) [a = b, b = a]
E.g. Gelas setengah kosong = setengah isi; bukit = lembah.
Kemudian keluar dari konteks, 2 objek yang berbeda disamakan dengan menghilangkan persepsi (x).
E.g. Karena melihat pisik (ada persepsi, x), maka pria beda dengan wanita (b != !b).
Tapi menutup mata (!x), maka pria dan wanita sama (b = !b).
Dengan demikian, kosong/tidak kosong juga ditentukan persepsi.
Karena persepsi, maka kosong beda dengan tidak kosong (a != !a)
kalau tanpa persepsi, maka kosong sama dengan tidak kosong (a = !a)
Ringkasan.
Jika telah memahami "sunyata" (tanpa x):
* a = b ; b = a
* a = !b; !b = a
*!a = b ; b = !a
*!a = !b; !b = !a
Tinggal diaplikasikan:
* Gorilla adalah mamalia; mamalia adalah gorilla
* Gorilla adalah kadal; kadal adalah gorilla
* Ubur-ubur adalah mamalia; mamalia adalah ubur-ubur
* Ubur-ubur adalah kadal; kadal adalah ubur-ubur
Penjelasan:
-Gorilla bergantung pada mamalia, mamalia bergantung pada gorilla.
Ubur-ubur adalah mamalia; Gorilla pun kadal.
Gorilla, ubur2, kadal, mamalia, semua bergerak silih berganti, saling mempengaruhi.
-Gorilla dan ubur2 terpisahkan hanyalah karena masalah penamaan.
-Gorilla ga bener2 gorilla, ubur-ubur juga ga bener2 ubur2.
dan terakhir, Mendebatkan gorilla terpisah atau tidak terpisah dari ubur2 atau kadal adalah pandangan terdelusi.
Filosofi tingkat tinggi ini memang luar biasa sulit dipahami.
Bugil tidak benar2 bugil, berpakaian juga tidak benar2 berpakaian.
Tidak ada yang benar2 bugil, dan tidak ada yang benar2 berpakaian.
Bugil & berpakaian adalah perpaduan, keduanya tidak kekal.
Dalam konteks ini, maka bugil = berpakaian, berpakaian = bugil.
Iya, betul. "Terpisah" nampaknya lebih tidak ambigu. Terlepas dari itu pun, yang bikin aneh adalah ketidaksesuaian konteksnya, bahwa (sehubungan dengan rupa,) rupa tidak terpisah dari sunya dan sunya tidak terpisah dari rupa, dan juga keliru memahami sunya (kosong) di sini yang bukan lawan kata dari rupa, sehingga muncul pola pikir berikut:
-kosong (sunya) itu isi (rupa), isi (rupa) itu kosong (sunya) [a = b, b = a]
E.g. Gelas setengah kosong = setengah isi; bukit = lembah.
Kemudian keluar dari konteks, 2 objek yang berbeda disamakan dengan menghilangkan persepsi (x).
E.g. Karena melihat pisik (ada persepsi, x), maka pria beda dengan wanita (b != !b).
Tapi menutup mata (!x), maka pria dan wanita sama (b = !b).
Dengan demikian, kosong/tidak kosong juga ditentukan persepsi.
Karena persepsi, maka kosong beda dengan tidak kosong (a != !a)
kalau tanpa persepsi, maka kosong sama dengan tidak kosong (a = !a)
Ringkasan.
Jika telah memahami "sunyata" (tanpa x):
* a = b ; b = a
* a = !b; !b = a
*!a = b ; b = !a
*!a = !b; !b = !a
Tinggal diaplikasikan:
* Gorilla adalah mamalia; mamalia adalah gorilla
* Gorilla adalah kadal; kadal adalah gorilla
* Ubur-ubur adalah mamalia; mamalia adalah ubur-ubur
* Ubur-ubur adalah kadal; kadal adalah ubur-ubur
Penjelasan:
-Gorilla bergantung pada mamalia, mamalia bergantung pada gorilla.
Ubur-ubur adalah mamalia; Gorilla pun kadal.
Gorilla, ubur2, kadal, mamalia, semua bergerak silih berganti, saling mempengaruhi.
-Gorilla dan ubur2 terpisahkan hanyalah karena masalah penamaan.
-Gorilla ga bener2 gorilla, ubur-ubur juga ga bener2 ubur2.
dan terakhir, Mendebatkan gorilla terpisah atau tidak terpisah dari ubur2 atau kadal adalah pandangan terdelusi.
Filosofi tingkat tinggi ini memang luar biasa sulit dipahami. [/spoiler]
Coba lihat yang di bold,
Yang berbingung ria dan berakhir berparadoks ria sudah jelas lewat tulisan tersebut.
:)) :)) :))
Kesimpulannya jika isi=kosong:
Puthujjana = Buddha
Saya adalah Buddha ...keren kan. :))
Well..well. well. siapa yang mengatakan tidak ingin melanjutkan agar tidak mengumbar ego? Nampaknya anda tidak tahan terhadap ego anda ya?
(Sudahkah anda mulai telanjang hari ini?)
Dan nampaknya anda hanya bisa berkomentar demikian saja. Ini bukti anda hanya mementingkan bahasa lain yang bias dibanding dengan bahasa induk. Good luck kalau begitu.
Well..well. well. siapa yang mengatakan tidak ingin melanjutkan agar tidak mengumbar ego? Nampaknya anda tidak tahan terhadap ego anda ya?
(Sudahkah anda mulai telanjang hari ini?)
Kesimpulannya jika isi=kosong:Wah... gimana yah? Karena Buddha itu juga puthujjana. Jadi tidak keren sekaligus keren, sebab keren adalah tidak keren. ;D
Puthujjana = Buddha
Saya adalah Buddha ...keren kan. :))
Telanjang = Berpakaian, Berpakaian = Telanjang. <--- Ini bukan analogi yang tepat untuk pemahaman bahwa semua fenomena sunya dari sifat hakiki.
Saya membaca beberapa analogi seperti Pelajaran adalah Biologi, dan Biologi adalah pelajaran, ini benar-benar penurunan/degradasi dari pemahaman Sunyata dalam Mahayana. Semoga yang menulis tiada niat untuk melecehkan konsep dari Yang Agung Buddha Gautama.
Telanjang = Berpakaian, Berpakaian = Telanjang. <--- Ini bukan analogi yang tepat untuk pemahaman bahwa semua fenomena sunya dari sifat hakiki.Tidak perlu bersikap seolah-olah komentar anda mewakili Buddha Gautama.
Saya membaca beberapa analogi seperti Pelajaran adalah Biologi, dan Biologi adalah pelajaran, ini benar-benar penurunan/degradasi dari pemahaman Sunyata dalam Mahayana. Semoga yang menulis tiada niat untuk melecehkan konsep dari Yang Agung Buddha Gautama.
Waduh, master lalat, paling mahir menunjuk orang lain yah? ;D
tepat sekali
Sangat disayangkan
:'( :'( :'(
Waduh, master lalat, paling mahir menunjuk orang lain yah? ;D
Kok ga berkaca yah kalau anda menjelaskan dengan sangat amburadul? Saya babarkan logika itu berdasarkan quote anda lho.
Tidak demikian, ini pemahaman keliru. Kosong dan isi bukan berlawanan, tapi kosong ada dalam setiap fenomena.Jika dikatakan kosong ada dalam setiap fenomena, apakah ini berarti kosong=fenomena?
Telanjang = Berpakaian, Berpakaian = Telanjang. <--- Ini bukan analogi yang tepat untuk pemahaman bahwa semua fenomena sunya dari sifat hakiki.Sdr. Sunya, jika Telanjang = Berpakaian, Berpakaian = Telanjang dikatakan bukan analogi yang tepat untuk pemahaman bahwa semua fenomena sunya dari sifat hakiki, maka kosong = isi juga bukan hal yang tepat untuk pemahaman bahwa semua fenomena sunya dari sifat hakiki, dan ini benar-benar penurunan/degradasi dari pemahaman Sunyata dalam Mahayana.
Saya membaca beberapa analogi seperti Pelajaran adalah Biologi, dan Biologi adalah pelajaran, ini benar-benar penurunan/degradasi dari pemahaman Sunyata dalam Mahayana. Semoga yang menulis tiada niat untuk melecehkan konsep dari Yang Agung Buddha Gautama.
Wah... gimana yah? Karena Buddha itu juga puthujjana. Jadi tidak keren sekaligus keren, sebab keren adalah tidak keren. ;D
Lebih tepatnya berdasarkan pikiran yang bro lihat. Karena tidak mungkin bro bisa melihat pikiran sayaWah, lagi-lagi berkelit. Lalat memang lincah.
_/\_
Tidak perlu bersikap seolah-olah komentar anda mewakili Buddha Gautama.
Kalau mau bahas yah bahas saja, kita berdiri sama tinggi. Kalau sudah memberikan argumen, maka argumen itu harus siap dipertanyakan dan diuji.
Jika mampu, silahkan jelaskan. Jika tidak mampu, mungkin berdiam diri adalah pilihan yang baik.
Yang benar adalah (menurut yang saya pahami): Semua keberadaan (eksistensi), ada karena ditunjang oleh faktor-faktor, atau saling berkaitan satu dengan yang lain (Dependent Origination / Pratītyasamutpāda (http://en.wikipedia.org/wiki/Pratītyasamutpāda)). Apapun itu; Bentuk / Non- bentuk, Makhluk, Alam Semesta, semua faktor mental (emosi, senang, sedih, stress, merasa ada, merasa merealisasi nibbana, dst) ada karena tunjangan faktor lain.OK, ini saya setuju.
Contoh yang saya beri sebelumnya: Bodhisattva Gautama mencapai Kebuddhaan, karena usaha-Nya mengumpulkan parami, memupuk kebijaksanaan (Prajna Paramita), menjalankan samadhi, disiplin menjaga sila, dan sebagainya... selama berkalpa-kalpa. Dan hasilnya ialah, ketika terlahir sebagai putra Raja Suddhodana, maka Beliau setelah menjalani berbagai suka-duka dalam pertapaan, menghadapi rintangan karena karma Beliau, akhirnya pada purnama siddhi Beliau mencapai tahap Kemaha-tahuan Beliau, atau kita sebut sebagai Buddha.
Demikian contoh yang relevan dengan topik yang sedang dibahas. Persoalan-persoalan hidup lainnya (yang lebih sepele dibanding pencapaian Kebuddhaan/Arahat/Pacceka Buddha), semua menggunakan dan/atau terliputi (TANPA KECUALI) oleh satu fenomena itu, yaitu: Sunyata.
Dan karena ada Sunyata, maka ada Karuna, karena setiap makhluk ingin bahagia (yang abadi, kekal, agung/sempurna). Dengan mencintai makhluk lain (berwelas-asih/maha-karuna), maka tercapai kebahagiaan itu (dari level makhluk belum tercerahkan, sampai Buddha yang sedang mempurifikasi Buddha Ksetra-Nya).Apa itu karuna menurut anda? Mengapa karuna muncul karena sunyata?
Sunyata-Karuna-Garbha (Kekosongan melahirkan Welas-Asih). Dengan menyadari bahwa semua fenomena kosong, maka saya (siapapun dia) berkemampuan-penuh untuk menentukan nasib (masa depan) dia sendiri (dalam korelasinya dengan panca niyama, atau hukum yang mengatur alam semesta). Jadi, karena semua kosong, maka Kebuddhaan (atau cita-cita/impian, apapun itu) sangat mungkin dicapai, dengan upaya dan usaha yang benar tentunya. Dalam Kesunyataan, terdapat nirbatas kemungkinan, semua mungkin (everything is possible).Jadi kalau tidak menyadari kekosongan fenomena ini, nasib ditentukan siapa?
Tidak perlu bersikap seolah-olah komentar anda mewakili Buddha Gautama.
Kalau mau bahas yah bahas saja, kita berdiri sama tinggi. Kalau sudah memberikan argumen, maka argumen itu harus siap dipertanyakan dan diuji.
Jika mampu, silahkan jelaskan. Jika tidak mampu, mungkin berdiam diri adalah pilihan yang baik.
Wah, lagi-lagi berkelit. Lalat memang lincah.
Waktu anda menyetujui soal degradasi, memangnya berdasarkan yang anda lihat atau melihat pikiran saya?
Berkacalah, berkacalah!
Jika dikatakan kosong ada dalam setiap fenomena, apakah ini berarti kosong=fenomena?
Sdr. Sunya, jika Telanjang = Berpakaian, Berpakaian = Telanjang dikatakan bukan analogi yang tepat untuk pemahaman bahwa semua fenomena sunya dari sifat hakiki, maka kosong = isi juga bukan hal yang tepat untuk pemahaman bahwa semua fenomena sunya dari sifat hakiki, dan ini benar-benar penurunan/degradasi dari pemahaman Sunyata dalam Mahayana.
Saya hanya menyayangkan munculnya argumen-argumen yang seolah mengerti, namun menertawakan konsep dalam ajaran Buddha.Maaf, saya tidak tahu Ajaran Buddha mana yang memberikan argumen "isi = kosong, kosong = isi". Bisa kasih referensi?
Mungkin teguran Anda ada baiknya Anda berikan pada yang memberi penjelasan serta analogi Sunyata secara asal-asalan tersebut, karena sesuai prinsip Anda: "Jika mampu, silahkan jelaskan. Jika tidak mampu, mungkin berdiam diri adalah pilihan yang baik."Kalau anda sedikitnya membaca dari awal, pasti anda temukan apa yang saya sebut dengan 'shunyata', dan bahkan sudah dilengkapi dan dijelaskan lebih lanjut oleh rekan kelana. Kalau kemudian ada pendapat lain, tentu saja hak saya atau siapapun di sini untuk mengujinya, dan inilah hasilnya.
Sudahkah Anda memberi teguran/peringatan cinta kasih pada mereka yang berargumen?
Mohon bimbingannya.
Terima kasih.
Tentu saja tidak sama, analoginya: Udara ada dalam setiap wujud balon (apapun itu; bulat, lonjong, donat, dsb). Tapi (sesuai logika Anda): Apakah udara=balon?
Nah, silakan Anda jawab sendiri. :)
Kosong=Isi, Isi=Kosong, saya kurang tahu istilah itu merujuk dari mana (bahas dhamma harus jelas rujukan dan terjemahannya, kalau tidak hanya akan membuang energi dan waktu, dengan membahas sesuatu yang bisa saja kurang valid sumber maupun terjemahannya).
Salam. Mohon bimbingannya. _/\_
Karena degradasi yang saya lihat ada pada tulisan dan bukan pada orangnya.Wah, lagi-lagi lalat maneuver. ;D
Sedangkan bro menunjuk pada orang
:)) :)) :))
OK, ini saya setuju.
Apa itu karuna menurut anda? Mengapa karuna muncul karena sunyata?
Jadi kalau tidak menyadari kekosongan fenomena ini, nasib ditentukan siapa?
Tentu saja tidak sama, analoginya: Udara ada dalam setiap wujud balon (apapun itu; bulat, lonjong, donat, dsb). Tapi (sesuai logika Anda): Apakah udara=balon?
Nah, silakan Anda jawab sendiri. :)
Kosong=Isi, Isi=Kosong, saya kurang tahu istilah itu merujuk dari mana (bahas dhamma harus jelas rujukan dan terjemahannya, kalau tidak hanya akan membuang energi dan waktu, dengan membahas sesuatu yang bisa saja kurang valid sumber maupun terjemahannya).
Salam. Mohon bimbingannya. _/\_
Coba cari di Google dengan kata kunci di atas: "Sunyata-Karuna-Garbha"Saya tidak minta penjelasan menurut Google, tapi saya bertanya menurut anda, apa karuna itu, dan apa korelasinya dengan shunyata? Bagaimana bisa karuna muncul setelah memahami shunyata?
Nasib tetap ditentukan oleh diri Anda sendiri. Bedanya, bila menyadari kekosongan (prinsip bekerjanya hukum alam), maka seseorang bisa menentukan tujuan dan target, dengan mengikis kilesanya sendiri. Bila tidak tahu cara bekerjanya hukum alam ini, maka LDM (lobha, dosa, moha) yang "memimpin".Tujuan dan target ini maksudnya apa, dan apa hubungannya dengan pengetahuan shunyata dan klesha?
Jadi intinya sama, Anda berkuasa penuh atas nasib Anda, mengerti atau tidak hukum sunyata. Semua sama, Anda adalah pemilik hidup Anda (tahu ataupun tidak tahu hukum alam, tahu ataupun tidak tahu peta/map kehidupan).OK.
sudah jelas jelas yang menyamakan kosong=isi adalah diri sendiri. Diri sendiri berdebat dengan pemikiran diri sendiri. Tidak menyadari hal tersebut.Sedikit penyegar ingatan tentang setengah kosong = setengah isi dan samanya laki-laki dan perempuan.
Dan diri sendiri yang menyamakan telanjang=berpakaian. Tidak menyadari sedang mendebatkan pikiran sendiri
Adakah wujud tanpa kosong, kosong tanpa wujud?
Jika ada, maka seseorang bisa memisahkan antara wujud dan kosong.
Bisakah seseorang memisahkan wujud dan kosong.?
Wujud tanpa kosong dan
kosong tanpa wujud
Seseorang yg terdelusi berusaha memisahkan wujud dan kosong. Tidak menyadari itu hanyahlah persepsi dari pikiran yang membeda bedakan dan terjebak pada dualisme.
Orang yang terdelusi terjebak pada pandangan gelas itu setengah berisi dan yang lain mengatakan gelas itu setengah kosong.
Apakah yang disebut Pria?
Apakah yang disebut Wanita?
Jika berdasarkan pisik, seseorang bisa mengatakan pria dan wanita
Demikian juga Patung bisa dikatakan Pria dan Wanita
Jika berdasarkan pisik, maka seorang pria bisa dikatakan wanita dan seorang wanita bisa dikatakan pria
Karena pisik tidaklah tetap
Tutuplah mata anda dan lihatlah ke dalam batin, adakah pria dan wanita?
[...]Lalu kalau kita lihat luar angkasa, ruang kosong itu, eksis ditopang wujud apa?
Sama seperti ruang kosong tidak bisa eksis tanpa wujud
dan wujud tidak bisa eksis tanpa kosong.
[...]
Bukit dan lembah bukanlah dua hal yang berbeda:yes: sebagaimana dikatakan:
Sesuatu hal yang tidak terpisahkan bukanlah dua hal yang berbeda
Karena mereka tidak bisa eksis sendiri
Karena mereka tidak punya keberadaan diri yang hakiki yang terpisah berdiri sendiri
Dalam hal ini Bukti dan lembah dikatakan sama.
Bahkan segala sesuatu tidak bisa dikatkan berbeda, karena segala sesuatu tidak punya keberadaan diri yang hakiki yang dapat disebut sebagai diri yg terpisah yang bisa eksis sendiri.
Dengan pengertian ini segala sesuatu tidaklah berbeda artinya bukan hal yang terpisah, yg mempunya keberadaa diri yang hakiki
Sama seperti ruang kosong tidak bisa eksis tanpa wujud
dan wujud tidak bisa eksis tanpa kosong.
Jadi tidak ada yang mengatakan telanjang = berpakaian , karena itu analogi yang bodoh menunjukkan tingkat pemahaman seseorang. Paling tidak buatlah analogi yang masuk akal dan sesuai dengan yang berkaitan sedang dibahas.
Dan tidak ada yang menggunakan tanda "=" dalam penjelasan saya
Jadi silahkan baca
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23460.0/message,426286.html (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23460.0/message,426286.html) untuk lebih jelasnya
Bukit dan lembah bukanlah dua hal yang berbeda
Sesuatu hal yang tidak terpisahkan bukanlah dua hal yang berbeda
Karena mereka tidak bisa eksis sendiri
Karena mereka tidak punya keberadaan diri yang hakiki yang terpisah berdiri sendiri
Dalam hal ini Bukti dan lembah dikatakan sama.
Bahkan segala sesuatu tidak bisa dikatkan berbeda, karena segala sesuatu tidak punya keberadaan diri yang hakiki yang dapat disebut sebagai diri yg terpisah yang bisa eksis sendiri.
Dengan pengertian ini segala sesuatu tidaklah berbeda artinya bukan hal yang terpisah, yg mempunya keberadaa diri yang hakiki
Sama seperti ruang kosong tidak bisa eksis tanpa wujud
dan wujud tidak bisa eksis tanpa kosong.
Jadi tidak ada yang mengatakan telanjang = berpakaian , karena itu analogi yang bodoh menunjukkan tingkat pemahaman seseorang. Paling tidak buatlah analogi yang masuk akal dan sesuai dengan yang berkaitan sedang dibahas.
Dan tidak ada yang menggunakan tanda "=" dalam penjelasan saya
Jadi silahkan baca
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23460.0/message,426286.html (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23460.0/message,426286.html) untuk lebih jelasnya
Demikian juga samsara adalah nibbana, dan nibbana adalah samsara, tanpa samsara tidak ada nibbana dan tanpa nibbana tidak ada samsara. Karena ke duanya adalah satu hal. Samsara tepat berada di nibbana, nibbana berada di samsara.
Hanya orang yg terdelusi melihatnya sebagai beda
Kepada orang yang melekat pada gelas setengah berisi, buddha mengajarkan gelas itu setengah kosong untuk melepaskan kemelekatan
Kepada orang yang melekat pada gelas setengah kosong, bddha mengajarkan gelas itu setengah berisi untuk melepaskan kemelekatan
Intinya adalah agar seseorang tidak melekat pada suatu pandangan.
Berhenti dari kebiasaan kita mengejar satu sisi dgn menolak sisi yang lain. Pada dasarnya tidak ada dua sisi. Ke dua sisi adalah ilusi/manifestasi dari koin itu sendiri
Sutra yang indah hanya bagi mereka yang melihatnya
:yes: sebagaimana dikatakan:
"Karena ada ini maka ada itu, tidak ada ini maka tidak ada itu."
Lalu kalau kita lihat luar angkasa, ruang kosong itu, eksis ditopang wujud apa?
Apakah berarti: ini adalah itu, itu adalah ini, ini=itu, itu=ini?
ya....karena pada hakikatnya, ini dan itu tidak ada, melainkan konvensi belaka, kitalah yang memberikan label dan terikat padanya, konvensi. Namun perlu diingat bahwa konvensi memiliki fungsi juga yaitu untuk berkomunikasi, tanpa konvensi kita tidak dapat berkomunikasi satu sama lain.
Isinya. Kalo tidak ada apa-apa sama sekali, tidak ada yang disebut ruang kosong karena tidak terdapat pembandingnya, binnary opposition.;D Ruang kosong ditopang oleh isinya? Bisa diperjelas apa isi dari ruangan kosong?
Btw, yang disebut ruang hampa sekalipun ternyata tidak benar2 hampa.Apa hubungan 'tidak benar-benar padat' dengan 'tersusun oleh ruang & wujud'? Padat adalah suatu state zat di mana molekulnya saling mengikat dan mempertahankan keadaannya sehingga tidak fluid. Padat tidak padat tidak bergantung pada ruang.
Begitu pula benda yang disebut paling padat, ambil contoh berlian, tidak benar2 padat melainkan masih tersusun oleh ruang dan wujud.
010101010101010...
Isinya. Kalo tidak ada apa-apa sama sekali, tidak ada yang disebut ruang kosong karena tidak terdapat pembandingnya, binnary opposition.
Btw, yang disebut ruang hampa sekalipun ternyata tidak benar2 hampa.
Begitu pula benda yang disebut paling padat, ambil contoh berlian, tidak benar2 padat melainkan masih tersusun oleh ruang dan wujud.
010101010101010...
ya....karena pada hakikatnya, ini dan itu tidak ada, melainkan konvensi belaka, kitalah yang memberikan label dan terikat padanya, konvensi. Namun perlu diingat bahwa konvensi memiliki fungsi juga yaitu untuk berkomunikasi, tanpa konvensi kita tidak dapat berkomunikasi satu sama lain.
Jadi kalau tidak menyadari kekosongan fenomena ini, nasib ditentukan siapa?kalau om kainyn nanya kek gitu bisa2 kek humor ini :
pada Udana 8.3 berikut ini
"There is, monks, an unborn[1] — unbecome — unmade — unfabricated. If there were not that unborn — unbecome — unmade — unfabricated, there would not be the case that escape from the born — become — made — fabricated would be discerned. But precisely because there is an unborn — unbecome — unmade — unfabricated, escape from the born — become — made — fabricated is discerned."
Apakah kata "there is" ("ada") di sana juga pada hakikatnya adalah tidak ada?
;D Ruang kosong ditopang oleh isinya? Bisa diperjelas apa isi dari ruangan kosong?
Ditopang di sini apakah maksudnya persepsinya terhadap objek yang ditopang, ataukah keberadaan objek yang ditopang?
Apa hubungan 'tidak benar-benar padat' dengan 'tersusun oleh ruang & wujud'? Padat adalah suatu state zat di mana molekulnya saling mengikat dan mempertahankan keadaannya sehingga tidak fluid. Padat tidak padat tidak bergantung pada ruang.
Wujud sendiri di sini apa maksudnya?
Mungkin anda mau menyampaikan bahwa dalam kepadatan itu terdapat ruang, ya memang demikian. Namun itu tidak relevan. Benda padat tersusun atas atom-atom, yang terpola dalam bentuk tertentu yang beraturan (kecuali amorphous seperti kaca), jadi memang selalu ada rongga antara atom tersebut.
Jadi kalau mau bermain ke sana, bolehlah kita mengambil unsur yang paling dasar itu untuk dipertanyakan: apakah atom memiliki ruang? Bagaimana menurut anda?
Kita tidak berbicara mengenai kosong dalam bentuk duniawi, tetapi Sunyata seperti yang dibahas dalam Prajnaparamita Hrdaya Sutra.
Jika demikian maka tidak perlu melakukan perbuatan baik, lakukanlah perbuatan buruk karena keduanya tidak ada ataupun sama saja.
Yup, coba bandingkan dengan "sabbe sankhara dukkha", secara duniawi terdapat sukkha dan dukkha, namun mengapa Buddha mengatakan bahwa "sabbe sankhara dukkha."? lari kemana sukkha? apabila anda telah mengerti ini maka anda juga otomatis mengetahui hubungan kosong yang anda sebut bentuk duniawi dengan Sunyata.
Anda lah yang berkesimpulan untuk melakukan perbuatan buruk, saya tidak pernah menyuruh orang lain untuk melakukannya?
Tentang ruang kosong dan atom, silakan anda cari sendiri informasinya, apakah benar2 ada ruang kosong song dan apakah atom merupakan satuan terkecil yang tidak bisa dibagi2 lagi.Jadi cuma itu argumen anda?
Yang ingin saya sampaikan hanyalah bahwa tidak terdapat satu entitas tunggal yang berdiri sendiri, segalanya adalah perpaduan (kecuali Nibbana) yang tidak kekal, tidak sempurna dan tanpa inti diri (termasuk Nibbana).
Selain itu cobalah gali lebih dalam lagi apa yang dimaksud dengan konvensi.
Yang ingin saya sampaikan hanyalah bahwa tidak terdapat satu entitas tunggal yang berdiri sendiri, segalanya adalah perpaduan (kecuali Nibbana) yang tidak kekal, tidak sempurna dan tanpa inti diri (termasuk Nibbana).Nah, ini sendiri sudah menyalahi argumen dari Nagarjuna yang justru tidak menyetujui nibbana sebagai entitas.
kalau om kainyn nanya kek gitu bisa2 kek humor ini :Justru kalo sama orang2 lucu tertentu, si penjual langsung mati kutu.
PENGALAMAN MEMBELI DOMBA
Seorang ibu mendatangi laki-laki penjual domba di pinggir jalan. Dia mau membeli domba untuk Hari Raya Kurban. Di samping laki-laki itu ada dua ekor domba, berwarna hitam dan putih.
“Berapa harga domba ini, Pak?” tanya ibu itu sambil menunjuk ke arah domba.
“Yang mana, Bu? Yang hitam, apa yang putih?”
“Yang hitam!” tanya si ibu.
“Yang hitam harganya sejuta dua ratus ribu.”
“Kalau yang putih?”
“Yang putih juga sama, sejuta dua ratus ribu.”
“Oohh. Boleh ditawar tidak?” tanya si ibu kembali.
“Yang mana? Yang hitam, atau yang putih?” tanya balik laki-laki itu.
“Yang hitam lah….”
“Yang hitam tidak boleh ditawar, sudah harga pas.”
“Kalau yang putih?”
“Eemm, kalau yang putih, sama juga. Sudah harga pas, tidak boleh ditawar.”
“Halah, sama saja kalau begitu,” kata ibu itu mulai kesal.
“Ini domba Garut semua, Pak?” tanya si ibu lagi.
“Yang mana Bu? Yang hitam atau putih?”
“Yang putih!”
“Kalau yang putih memang domba Garut,” jawab laki-laki itu.
“Kalau yang hitam?”
“Eeemm…sama, domba Garut juga.”
“Haah, sama juga. Gimana nih Bapak?” tanya si ibu mulai marah.
“Gimana apanya, Bu?” tanya laki-laki itu seperti tak bersalah.
“Kalau semuanya sama, kenapa mesti dibeda-bedain, ada domba hitam, domba putih? Dasar tukang domba aneh!”
“Masalahnya Bu, kalau domba putih milik saya sendiri.”
“Oh gitu. Kalau domba hitam?”
“Eehmm…samma, milik saya juga.”
“Aaah, dasar kamu tukang domba aneh!” serang si ibu dengan suara keras.
“Maaf, maaf…tukang domba yang aslinya lagi ngopi di warung.”
“Lalu kamu sendiri apa?”
“Hheemm…tukang domba juga….”
Sesaat suasana hening, lalu…
Bruaak… Prang… Krontang… Brugg… Cluuit… Swer… Prash… Dum… Dum… Dum… Baam…
Terdengar suara-suara aneh yang menandakan telah terjadi “perang dunia” dalam skala lokal…
=)) =)) =))
:)Lagi-lagi sikap begitu.. :))
Apa yang perlu disampaikan sudah disampaikan,
Apabila masih belum puas silakan memuaskan diri sendiri.
Apabila diteruskan hanya mendapat kerugian.
Saya permisi untuk undur diri dari diskusi.
_/\_
Yang ingin saya sampaikan hanyalah bahwa tidak terdapat satu entitas tunggal yang berdiri sendiri, segalanya adalah perpaduan (kecuali Nibbana) yang tidak kekal, tidak sempurna dan tanpa inti diri (termasuk Nibbana).
Selain itu cobalah gali lebih dalam lagi apa yang dimaksud dengan konvensi.
Lalu kalau kita lihat luar angkasa, ruang kosong itu, eksis ditopang wujud apa?
Nah loh, anda sekarang mengatakan bahwa tidak terdapat satu entitas tunggal yang berdiri sendiri, segalanya adalah perpaduan (kecuali Nibbana). Ini berarti ada perbedaan antara Nibbana dengan skhandha yang merupakan perpaduan unsur, dengan kata lain Nibbana tidak sama dengan samsara, atau Sunyata bukanlah samsara. Jadi pernyataan Sunyata adalah samsara atau Nirvana adalah samsara adalah salah.
Saya mengindikasikan anda telah salah memahami apa yang sedang dibicarakan. Cobalah anda melihat duduk persoalannya. Saya juga mengindikasikan kemungkinan bahwa anda tidak tahu bahwa Nibbana itu adalah (=) Sunya. Jika tahu maka anda tentu tidak sependapat dengan anggapan Nibbana adalah samsara atau Sunya=Isi / Kosong=isi atau turunannya, karena seperti yang anda sampaikan bahwa kecuali Nibbana, segalanya adalah perpaduan, ini berarti samsara pun adalah perpaduan. Oleh karena ada pengecualian maka Nibbana/Nirvana/Sunya/Kosong tidak sama dengan skhandha.
Sepertinya anda masih tidak memahami arti kosong walau TS sudah menunjukkan nya melalui artikel.Sebaliknya, justru saya melihat TS membahas 'kosong' yang berbeda dengan yang anda bahas.
Sekarang anda berbalik kepada ruang kosong.Anda memang luar biasa. Sudah jelas anda yang duluan membahas ruang kosong.
Bukit dan lembah bukanlah dua hal yang berbeda
Sesuatu hal yang tidak terpisahkan bukanlah dua hal yang berbeda
Karena mereka tidak bisa eksis sendiri
Karena mereka tidak punya keberadaan diri yang hakiki yang terpisah berdiri sendiri
Dalam hal ini Bukti dan lembah dikatakan sama.
Bahkan segala sesuatu tidak bisa dikatkan berbeda, karena segala sesuatu tidak punya keberadaan diri yang hakiki yang dapat disebut sebagai diri yg terpisah yang bisa eksis sendiri.
Dengan pengertian ini segala sesuatu tidaklah berbeda artinya bukan hal yang terpisah, yg mempunya keberadaa diri yang hakiki
Sama seperti ruang kosong tidak bisa eksis tanpa wujud
dan wujud tidak bisa eksis tanpa kosong.
Jadi tidak ada yang mengatakan telanjang = berpakaian , karena itu analogi yang bodoh menunjukkan tingkat pemahaman seseorang. Paling tidak buatlah analogi yang masuk akal dan sesuai dengan yang berkaitan sedang dibahas.
Dan tidak ada yang menggunakan tanda "=" dalam penjelasan saya
Jadi silahkan baca
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23460.0/message,426286.html (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23460.0/message,426286.html) untuk lebih jelasnya
Seperti pada artikel TS ruang kosong itu bukanlah benar kosong. Ia dikatakan kosong relatif, karena kosong dari apa? Karena ruang kosong di luar angkasa bisa dikatakan kosong dari udara, tapi ia tidak kosong dari sinar, radiasi, partikel.Wah, berarti yang namanya sunya adalah karena relativitas, tergantung 'kosong dari apa' gitu? ;D
Dan juga ruang kosong itu sendiri adalah eksistensi/wujud/rupa. Dan ruang kosong ini sendiri adalah fenomena dan karena itu ia tidak terlepas dari sunya, tidak terlepas dari kemunculan yang bergantungan.
Sepertinya pernyataan anda mengatakan ruang kosong eksis tidak ditopang dengan wujud.
Berarti kemunculan ruang kosong adalah berdiri sendiri tanpa bergantung, Benarkah demikian?
Sebaliknya, justru saya melihat TS membahas 'kosong' yang berbeda dengan yang anda bahas.
Anda memang luar biasa. Sudah jelas anda yang duluan membahas ruang kosong.
Wah, berarti yang namanya sunya adalah karena relativitas, tergantung 'kosong dari apa' gitu? ;D
Berarti boleh atau tidak saya katakan rupa itu tidak sunya? Yah, misalnya karena rupa itu bukan tanpa atom, jadi tidak kosong 'kan?
Anda itu makin ngawur dan tidak paham apa yang sedang dibicarakan."Anda tidak paham, anda tidak mengerti, saya sudahi saja"
Anda berbicara ruang kosong, makanya saya tunjukkan ruang kosong sesuai dengan artikel di TS, tetapi kemudian anda balik ke sunya
Sepertinya anda tidak mengerti perbedaan ruang kosong dan sunya.
:'( :'( :'( :'(
Saya rasa cukup dari saya sampai disini sebelum makin oot saja
_/\_
Anda itu makin ngawur dan tidak paham apa yang sedang dibicarakan.1 apa artinya sunya ?
Anda berbicara ruang kosong, makanya saya tunjukkan ruang kosong sesuai dengan artikel di TS, tetapi kemudian anda balik ke sunya
Sepertinya anda tidak mengerti perbedaan ruang kosong dan sunya.
:'( :'( :'( :'(
Saya rasa cukup dari saya sampai disini sebelum makin oot saja
_/\_
"Anda tidak paham, anda tidak mengerti, saya sudahi saja"[-X [-X [-X [-X [-X [-X
:))
Betul2 sikap yang sama.
Ketika seseorang melekat pada gelas setengah berisi, maka diajarkan bahwa gelas itu setengah kosongdisini master djoe sedang mengajarkan, sdr KK harus angguk2 dong
Dan pada orang yg melekat pada gelas setengah kosong, maka diajarkan bahwa gelas itu sentengah berisi.
Masalahnya setelah diajarkan, seseorang tetap melekat pada ajaran dan mengatakan bahwa sesuatu yang tidak ada itu eksis
Karena pada dasarnya ultimate truth bukanlah berdasarkan pada metapisik(supranatural) tetapi berdasarkan pada conventional. Ultimate muncul bergntung pada conventional.
Ultimate diajarkan karena manusia cenderung "mengkonkretkan" segala sesuatu, karena itu diajarkan sunya.
Maka dikatakan sunya itu sendiri adalah sunya, keberadaanya tida inheren dan bergantung pada conventional. Jika tidak ada conventional maka tidak ada yang namanya sunya.
Dan celakanya sekarang manusia melekat pada sunya, tidak melihat bahwa dharma adalah rakit/alat yang digunakan untuk membantu kita melihat sesuatu sesuai apa adanya bukan untuk mengkonkretkan sunya
[-X [-X [-X [-X [-X [-XBenar2 typical. "Kalo setuju, berarti mengerti. Kalo mempertanyakan berarti ga paham."
perhatikan yang di bolddisini master djoe sedang mengajarkan, sdr KK harus angguk2 dong
sepertinya master djoe tidak termasuk manusia yang di bold biru lho, kita tidak akan celaka lho ada yang membimbing ;D
Saya tidak minta penjelasan menurut Google, tapi saya bertanya menurut anda, apa karuna itu, dan apa korelasinya dengan shunyata? Bagaimana bisa karuna muncul setelah memahami shunyata?
Tujuan dan target ini maksudnya apa, dan apa hubungannya dengan pengetahuan shunyata dan klesha?
Lalu hukum alam ini apa definisinya, dan mengapakah dengan mengetahuinya, LDM bisa tidak 'memimpin'?
OK.
Kalo saya gak salah menangkap dari thread2 sebelumnya, inti permasalahan yang dibahas adalah mengapa pandangan Mahayana bisa menyimpulkan "rupa adalah kosong" dan "kosong adalah rupa".
Untuk ungkapan pertama (rupa adalah kosong) dapat diterima bahwa fenomena rupa adalah kosong dari diri (anatta, versi Buddhisme awal) atau kosong dari keberadaan yang inheren (saling kebergantungan/paticcasamuppada, versi Madhyamika). Jadi rupa itu memang bersifat kosong. Demikian juga kelompok kehidupan/khanda lainnya (perasaan/vedana, persepsi/sanna, bentukan mental/sankhara, dan kesadaran/vinnana) bersifat kosong. Ini yang dijelaskan pada artikel di atas.
Untuk ungkapan kedua (kosong adalah rupa), agak sulit diterima karena bagaimana sifat (lakkhana) kekosongan itu bisa sama dengan/mengandung sifat rupa? Dalam hal ini Buddhisme awal tidak menganggap kekosongan (anatta) juga bersifat rupa walaupun rupa bersifat kosong (anatta). Jadi logikanya A bersifat B tetapi B tidak bersifat A. Kalo diperluas, mengapa kekosongan juga bersifat vedana, sanna, sankhara dan vinnana. Kenapa kosong bisa bersifat rupa (atau sifat kelompok kehidupan lainnya) ini yang tidak dijelaskan dalam artikel di atas.
Sedangkan sdr. Joe dalam menjelaskan "isi = kosong" dan "kosong = isi" sepertinya terpaku pada sifat "isi" (wujud) yang biasanya dianggap berlawanan dengan "kosong" (krn isi = tidak kosong dlm pengertian sehari-hari) bukan sifat "rupa". Ditambah lagi menyamakan "bukit = lembah" yang dlm pengertian sehari-hari bukit itu lawannya lembah (alias bukit = bukan lembah). Sehingga muncul argumen dari lawan diskusi: berarti "laki-laki = perempuan", "baik = buruk", "buddha = putthujana", dst. Seharusnya sdr. Djoe menjelaskan bagaimana bukit itu bersifat kosong (bukit = kosong) dan bagaimana kosong juga bersifat bukit (kosong = bukit) sehingga bisa dijelaskan kenapa laki-laki bersifat kosong dan kosong bersifat laki-laki.....
Just IMHO.... :)
Seperti yang telah saya sampaikan bahwa hal tesebut berindikasi terjadinya kesalahan pemahanan teks Prajnaparamita entah siapa yang memulai (mungkin Nagarjuna, siapa tahu). Rupa na prthak sunyata. imo na prthak yang seharusnya berarti 'tidak terpisahkan' menjadi 'tidak berbeda'.
Jika menggunakan pengertian “tidak terpisahkan” maka pemahamannya tidak mengalami pertentangan walaupun kalimatnya dibolak-balik. Sehingga menjadi: Rupa tidak terpisahkan dengan Sunyata, Sunyata tidak terpisahkan dengan rupa. Jadi dengan satu kalimat singkat: Sunyata dan Rupa tidak terpisahkan.
Ketika menggunakan perngertian “tidak berbeda” maka pemahamannya mengalami pertentangan ketika kalimatnya dibalik. Kecuali ada penambahan: apanya yang tidak berbeda. Misalnya kekosongan dari sunyata tidak berbeda dengan kekosongan dari rupa. Jika kalimatnya dibalik maka tidak ada pertentangan.
Saya rasa sudah cukup penjelasan saya, dan sudah saatnya saya untuk berhenti.
Thanks _/\_
Betul, sampai detik ini, saya belum menemukan penjelasan yang memuaskan dari ungkapan ini selain dari penjelasan anda ini sama seperti pada thread2 sebelumnya.....
_/\_
Sebenarnya literatur Mahayana banyak tersedia secara online tanpa harus menunggu penjelasan saya.Lagi-lagi, lagi-lagi sikap seperti itu.
Karuna muncul dari memahami sunyata, karena setelah sadar bahwa semua akibat yang saya terima saat ini adalah berasal dari saya sendiri, maka saya bisa menciptakan sebab untuk kebahagiaan saya (di masa mendatang), dengan melakukan praktek welas asih (karuna). Contoh paling sederhana: Anda bahagia saat sekeliling Anda bahagia (khususnya yang memiliki keterkaitan emosi dengan Anda), Anda bahagia setelah berhasil menolong seseorang, atau bahagia saat berhasil membahagiakan orang lain.
Tujuan dan target dalam kehidupan (bukan hanya dalam satu kehidupan).
Tidak semua pertanyaan perlu dijawab. Silakan cermati yang saya garis bawahi di atas, itu menjawab pertanyaan yang lain.
Kalo saya gak salah menangkap dari thread2 sebelumnya, inti permasalahan yang dibahas adalah mengapa pandangan Mahayana bisa menyimpulkan "rupa adalah kosong" dan "kosong adalah rupa".Untuk masalah kalimat, saya sangat setuju dengan om Kelana. "Tidak terpisahkan" itu bukan berarti "adalah" ataupun "sama dengan."
Untuk ungkapan pertama (rupa adalah kosong) dapat diterima bahwa fenomena rupa adalah kosong dari diri (anatta, versi Buddhisme awal) atau kosong dari keberadaan yang inheren (saling kebergantungan/paticcasamuppada, versi Madhyamika). Jadi rupa itu memang bersifat kosong. Demikian juga kelompok kehidupan/khanda lainnya (perasaan/vedana, persepsi/sanna, bentukan mental/sankhara, dan kesadaran/vinnana) bersifat kosong. Ini yang dijelaskan pada artikel di atas.Mengapa ada "[objek] tidak terpisahkan dari shunya" dan juga "shunya tidak terpisahkan dari [objek]"?
Untuk ungkapan kedua (kosong adalah rupa), agak sulit diterima karena bagaimana sifat (lakkhana) kekosongan itu bisa sama dengan/mengandung sifat rupa? Dalam hal ini Buddhisme awal tidak menganggap kekosongan (anatta) juga bersifat rupa walaupun rupa bersifat kosong (anatta). Jadi logikanya A bersifat B tetapi B tidak bersifat A. Kalo diperluas, mengapa kekosongan juga bersifat vedana, sanna, sankhara dan vinnana. Kenapa kosong bisa bersifat rupa (atau sifat kelompok kehidupan lainnya) ini yang tidak dijelaskan dalam artikel di atas.
Sedangkan sdr. Joe dalam menjelaskan "isi = kosong" dan "kosong = isi" sepertinya terpaku pada sifat "isi" (wujud) yang biasanya dianggap berlawanan dengan "kosong" (krn isi = tidak kosong dlm pengertian sehari-hari) bukan sifat "rupa". Ditambah lagi menyamakan "bukit = lembah" yang dlm pengertian sehari-hari bukit itu lawannya lembah (alias bukit = bukan lembah). Sehingga muncul argumen dari lawan diskusi: berarti "laki-laki = perempuan", "baik = buruk", "buddha = putthujana", dst. Seharusnya sdr. Djoe menjelaskan bagaimana bukit itu bersifat kosong (bukit = kosong) dan bagaimana kosong juga bersifat bukit (kosong = bukit) sehingga bisa dijelaskan kenapa laki-laki bersifat kosong dan kosong bersifat laki-laki.....Just IMHO juga, kekusutan yang terjadi, karena mereka yang merasa telah menjelaskan dengan baik tidak memahami 'kosong' dalam kata dan makna (yang terlihat seringkali diremehkan dan dianggap hanya konvensi), padahal komunikasi yang baik dimulai dari pemahaman kata kendatipun kata hanyalah 'penunjuk'.
Just IMHO.... :)