Rasanya, saya punya masalah dengan "ketenangan". Maksudnya, bukannya saya selalu gelisah dan tidak tenang, tapi justru sering merasakan efek negatif dari ketenangan. Sudah sering saya mengemukakan permasalahan tersebut, tapi dari tanggapan teman-teman, baik di forum muslim maupun budha, tampaknya dampak negatif dari ketenangan ini tidak mereka alami. Seolah-olah hanya saya sendirilah yang punya problem seperti itu. Apakah mungkin saya telah salah dalam menggunakan "keterampilan ketenangan"?
Salah seorang teman diskusi di dhammacitta telah memberikan masukan kepada saya, bahwa saya terlalu melekat terhadap ketenangan yang ada di dalam jhana-jhana, sehingga menimbulkan kebencian (dosa) terhadap kehidupan. Dan dia menyarankan saya untuk terampil melatih diri keluar masuk jhana, sehingga antara samatha dan vipasanna dapat maju berkembang bersama-sama. Saran teman di dhammacitta tersebut telah banyak membantu saya, sehingga saya tidak lagi terlalu melekat terhadap jhana-jhana, dan tidak lagi membenci kehidupan. Walaupun demikian, saya masih punya masalah yang dihadapi.
Selama ini, saya menggunakan suatu teknik meditasi untuk mencapai ketenangan. Sehingga saya menjadikan meditasi tersebut sebagai "senjata sakti" untuk mengatasi segala bentuk problem yang dihadapi. Selama ini, saya menganggap bahwa ketenangan itu dapat membuat masalah-masalah teratasi, baik masalah internal (mental), maupun masalah external (problem dalam kehidupan). Tapi mungkin anggapan saya tersebut salah atau berlebihan. Pada kenyataannya, ketenangan hanya menyelesaikan masalah internal, tetapi tidak menyelesaikan masalah external.
Ketenangan membantu saya untuk tetap tenang ketika saya berupaya mengatasi permasalahan-permasalahan external. Tetapi yang menjadi masalah, ketenangan seringkali membuat saya mengabaikan persoalan-persoalan external tersebut, sehingga mereka tetap menjadi problem yang tidak teratasi. Sebagai contoh, saya punya banyak masalah diperkuliahan, uang semester yang belum dibayar, atau skripsi yang belum selesai. Dimana pada mulanya hal-hal seperti itu cukup membuat saya gelisah. Tapi dengan menenangkan diri dalam meditasi, saya jadi gak peduli dengan semua itu. Dan saya dapat memfokuskan diri dengan bersemangat untuk mengerjakan hal-hal lain yang ingin saya kerjakan. Dengan demikian, saya dapat terus berkarya di bidang yang lain, tetapi tidak tergerak untuk menyelesaikan masalah-masalah di kampus.
Ini adalah rumusan permasalahan yang membutuhkan suatu penelitian. Meditasi ketenangan bagi saya seperti usaha melupakan segala bentuk problem yang menggelisahkan hati dengan memusatkan perhatian ke satu titik konsentrasi sampai muncul ketenangan. Dan ketenangan seperti itu dapat tetap dipertahankan dalam kehidupan selama saya dapat mengabaikan masalah-masalah tersebut. Bila saya dapat mencapi jhana-jhana, kemudian saya dapat memikirkan semua problem tersebut dengan tenang tanpa menjadi rusuh hati. Tetapi, saya tidak mengambil jalan untuk mencapai jhana-jhana, ketika konsentrasi saya mencapai upacara samadhi, saya menghentikan meditasi dan melanjutkan kehidupan. Pada tahapan ini, kegelisahan dapat muncul kembali bila saya memikirkan persoalan-persoalan tertentu yang sebelumnya menggelisahkan hati. Tetapi, upacara samadhi tersebut bagi saya cukup menjadi alat yang membantu saya melupakan problem, tenang dan bersemangat dalam mengerjakan hal-hal lainnya.
Selain dari mengabaikan problem hidup, ketenangan tersebut membuat saya berani melakukan perbuatan buruk dan tidak takut terhadap akibat perbuatan buruk. Contoh dari permasalahan ini telah saya posting dalam judul, "Tuhan menjaga aku".
[at] mod, saran aja. Topik ini lebih cocok di board Meditasi. Thanks.
anda seorang "pemabuk" ?
anda tidak menjadikan meditasi sebagai sebuah solusi, tapi sebuah pelarian.
Quote from: hatRed on 19 March 2010, 05:01:24 PM
anda seorang "pemabuk" ?
anda tidak menjadikan meditasi sebagai sebuah solusi, tapi sebuah pelarian.
anda betul sekali tuan.
oleh karena itu, dapatkah tuan menolong saya?
gunakan sepatu di kaki
gunakan topi di kepala
^-^
buka, lihat dan baca sebuah buku jika ingin tahu
tutup, dan sandarkan di kepala sebuah buku jika ingin bantal
tutup pegang erat2 dan lemparkan sebuah buku jika dikejar anjing :))
Quote from: hatRed on 19 March 2010, 05:37:55 PM
gunakan sepatu di kaki
gunakan topi di kepala
^-^
buka, lihat dan baca sebuah buku jika ingin tahu
tutup, dan sandarkan di kepala sebuah buku jika ingin bantal
tutup pegang erat2 dan lemparkan sebuah buku jika dikejar anjing :))
teori ini sangat mudah dibicarakan, mudah pula dibaca, mudah pula pula kita berkomentar.
yang tidak mudah itu bagaimana menerapkan teori di dalam kehidupan, bagaimana pula menyelami pemikiran orang lain, bagaimana menghayati problem orang lain, dan bagaimana membuat orang lain mengerti. betul enggak?
Ketenangan beda bro dengan mengabaikan segala masalah yang ada disekitar apalagi menyangkut diri sendiri sebagai biang masalah tsb. Bro bisa gunakan ketenangan dalam menghadapi masalah tapi bukan berarti lari dari masalah.
Coba aja selesaikan masalah bro one by one tapi ingat jangan sampai kehilangan hati nurani dalam mengambil setiap keputusan. G'luck _/\_
Quote from: dewi_go on 19 March 2010, 06:12:17 PM
Ketenangan beda bro dengan mengabaikan segala masalah yang ada disekitar apalagi menyangkut diri sendiri sebagai biang masalah tsb. Bro bisa gunakan ketenangan dalam menghadapi masalah tapi bukan berarti lari dari masalah.
Coba aja selesaikan masalah bro one by one tapi ingat jangan sampai kehilangan hati nurani dalam mengambil setiap keputusan. G'luck _/\_
tanks.
saya perlu suatu perbandingan, sebenarnya bagaimana orang lain memanfaatkan "seni meditasi". kadang-kadang saya merasa "meditasi" menjadi biang keladi dari "kejanggalan dalam perilaku saya". tentu saja hal tersebut hanya perasaan saja. yang benar, mungkin saja saya yang salah menggunakan meditasi. seperti kata sdr. hatred, yakni saya telah menjadi seorang "pemabuk". tapi masalahnya, bagaimana saya memiliki pengertian yang jelas tentang makna dari "pemabuk" tersebut, sehingga saya dapat berlari menjauh dari nya.
[at] Deva19:
Terus terang saya agak meragukan pengalaman jhana anda. Seseorang yang mencapai upacarasamādhi sekalipun tahu bahwa pencapaiannya muncul karena didukung oleh faktor praktik moralitas yang baik dan lenyapnya pikiran2 negatif meski hanya sementara. Setidaknya, mereka yang mencapai upacarasamādhi dan jhana yang dari awal berbasis pada ajaran Sang Buddha melihat betapa pentingnya kebajikan. Orang demikian akan merasa malu berbuat jahat (hiri) dan takut akan akibat perbuatan jahat (otappa). Ia sepenuhnya tahu bahwa jika ia mengembangkan prilaku tidak baik, upacarasamādhi atau pun jhana yang ia capai akan lenyap. Namun anda mengatakan bahwa karena ketenangan yang dihasilkan oleh jhana anda justru menyebabkan anda untuk tidak takut berbuat buruk seperti dalam statemen anda sebagai berikut
"
Quote
Selain dari mengabaikan problem hidup, ketenangan tersebut membuat saya berani melakukan perbuatan buruk dan tidak takut terhadap akibat perbuatan buruk. Contoh dari permasalahan ini telah saya posting dalam judul, "Tuhan menjaga aku".
Barangkali, jhana yang anda capai di sini perlu dikaji kembali apakah sesuai dengan yang telah dideskripsikan oleh Sang Buddha atau tidak.
Quote from: Peacemind on 19 March 2010, 07:00:04 PM
[at] Deva19:
Terus terang saya agak meragukan pengalaman jhana anda.
saya tidak heran, banyak orang meragukan penglaman jhana saya. tapi saya tidak meragukan diri saya sendiri. saya sudah menyelidiki dengan sebaik-baiknya, dengna konsultasi ke teman-teman budhis di sini, maka saya dapat menyimpulkan bahwa saya telah dapat mencapai jhana ke empat. tetapi, hal ini tidak perlu dibahas lebih panjang lagi. silahkan anda tentunya boleh meragukan hal tersebut. yang ternpenting bagi saya, bagaimana kali ini dapat dapat memberi maskan yang berarti buat saya.
Quote
Seseorang yang mencapai upacarasamādhi sekalipun tahu bahwa pencapaiannya muncul karena didukung oleh faktor praktik moralitas yang baik dan lenyapnya pikiran2 negatif meski hanya sementara.
hal itu betul. dan saya sangat faham akan hal itu. faktor moralitas itu merupakan "stimulis batin" yang membantu saya memudahkan pencapai konsentrasi. dan dengan konsentrasi tersebut, kekotoran batin di tekan. silahkan nilai kembali, apakah saya memahami persoalan ini atau tidak?
Quote
Setidaknya, mereka yang mencapai upacarasamādhi dan jhana yang dari awal berbasis pada ajaran Sang Buddha melihat betapa pentingnya kebajikan.
Quote
Orang demikian akan merasa malu berbuat jahat (hiri) dan takut akan akibat perbuatan jahat (otappa). Ia sepenuhnya tahu bahwa jika ia mengembangkan prilaku tidak baik, upacarasamādhi atau pun jhana yang ia capai akan lenyap. Namun anda mengatakan bahwa karena ketenangan yang dihasilkan oleh jhana anda justru menyebabkan anda untuk tidak takut berbuat buruk seperti dalam statemen anda sebagai berikut
apakah anda tidak tahu bahwa orang yang telah mencapai jhana yang tinggi masih mungkin melakukan kejahatan? saya sudah membaca dalam kitab budhis, dan bertanya ke kawan-kawan budhis di sini. saya tidak dapat menunjukan alamat thread nya dengan jelas, tapi mereka mengakui bahwa orang yang mencapai jhana adalah masih sangat mungkin berbuat kejahatan atau asusila. silahkan tanyakan ke sdr. Upasaka tentang hal ini.
Quote
Barangkali, jhana yang anda capai di sini perlu dikaji kembali apakah sesuai dengan yang telah dideskripsikan oleh Sang Buddha atau tidak.
terima kasih atas sarannya.
tapi kalau anda ingin menambahkannya di sini, saya senang sekali.
cobalah anda jelaskan, bagaimana itu jhana menurut deskripsi sang budha!
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 04:36:59 PM
Selain dari mengabaikan problem hidup, ketenangan tersebut membuat saya berani melakukan perbuatan buruk dan tidak takut terhadap akibat perbuatan buruk. Contoh dari permasalahan ini telah saya posting dalam judul, "Tuhan menjaga aku".
hati2, pikiran dapat menciptakan illusi sebuah ketenangan yg seolah2 berada dalam ketenangan.
jika berani melakukan perbuatan buruk dan tidak takut terhadap akibat perbuatan buruk, saya rasa mungkin anda dalam illusi sebuah ketenangan yg anda ciptakan sendiri.
ketenangan yg murni, akan memberikan sebuah kesadaran yg murni dan diri sendiri akan mengetahui apa yg diri sendiri harus lakukan dan apa yg diri sendiri tidak harus lakukan.
Quote from: wen78 on 19 March 2010, 07:23:13 PM
hati2, pikiran dapat menciptakan illusi sebuah ketenangan yg seolah2 berada dalam ketenangan.
jika berani melakukan perbuatan buruk dan tidak takut terhadap akibat perbuatan buruk, saya rasa mungkin anda dalam illusi sebuah ketenangan yg anda ciptakan sendiri.
ketenangan yg murni, akan memberikan sebuah kesadaran yg murni dan diri sendiri akan mengetahui apa yg diri sendiri harus lakukan dan apa yg diri sendiri tidak harus lakukan.
bisa jadi seperti itu.
tapi, bisakah anda membantu saya untuk memahami dengan sebenar-benarnya bahwa ilusi adalah sebuah ilusi dan realitas sebagai sebuah realitas?
anda belum dpat memastikan bahwa ketenangan yang saya alami adlah sebuah ilusi, betul kan?
dan anda baru menduga-duga bahwa itu sebuah ilusi, iya kan?
nah, lalu bagaimana kita akan dapat memastikan bahwa itu sebuah ilusi atau bukan?
jika anda dapat membantu saya menemukan kepastian tersebut, tentulah hal itu menjadi sangat berharga bagi saya.
Quote from: we
ketenangan yg murni, akan memberikan sebuah kesadaran yg murni dan diri sendiri akan mengetahui apa yg diri sendiri harus lakukan dan apa yg diri sendiri tidak harus lakukan.
dapat melihat apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak merupakan hasil dari pandangan vipasana (mata kebijaksanaan) dan bukan efek dari ketnangan. iya kan?
coba baca CULAHATTHIPADOPAMA SUTTA
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=664
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 04:36:59 PM
Rasanya, saya punya masalah dengan "ketenangan". Maksudnya, bukannya saya selalu gelisah dan tidak tenang, tapi justru sering merasakan efek negatif dari ketenangan. Sudah sering saya mengemukakan permasalahan tersebut, tapi dari tanggapan teman-teman, baik di forum muslim maupun budha, tampaknya dampak negatif dari ketenangan ini tidak mereka alami. Seolah-olah hanya saya sendirilah yang punya problem seperti itu. Apakah mungkin saya telah salah dalam menggunakan "keterampilan ketenangan"?
Salah seorang teman diskusi di dhammacitta telah memberikan masukan kepada saya, bahwa saya terlalu melekat terhadap ketenangan yang ada di dalam jhana-jhana, sehingga menimbulkan kebencian (dosa) terhadap kehidupan. Dan dia menyarankan saya untuk terampil melatih diri keluar masuk jhana, sehingga antara samatha dan vipasanna dapat maju berkembang bersama-sama. Saran teman di dhammacitta tersebut telah banyak membantu saya, sehingga saya tidak lagi terlalu melekat terhadap jhana-jhana, dan tidak lagi membenci kehidupan. Walaupun demikian, saya masih punya masalah yang dihadapi.
Membantu dalam hal seperti apa?anda bisa menjelaskannya?saya meragukan apa yang anda sebutkan disini.. :)
QuoteSelama ini, saya menggunakan suatu teknik meditasi untuk mencapai ketenangan. Sehingga saya menjadikan meditasi tersebut sebagai "senjata sakti" untuk mengatasi segala bentuk problem yang dihadapi. Selama ini, saya menganggap bahwa ketenangan itu dapat membuat masalah-masalah teratasi, baik masalah internal (mental), maupun masalah external (problem dalam kehidupan). Tapi mungkin anggapan saya tersebut salah atau berlebihan. Pada kenyataannya, ketenangan hanya menyelesaikan masalah internal, tetapi tidak menyelesaikan masalah external.
Ketenangan membantu saya untuk tetap tenang ketika saya berupaya mengatasi permasalahan-permasalahan external. Tetapi yang menjadi masalah, ketenangan seringkali membuat saya mengabaikan persoalan-persoalan external tersebut, sehingga mereka tetap menjadi problem yang tidak teratasi. Sebagai contoh, saya punya banyak masalah diperkuliahan, uang semester yang belum dibayar, atau skripsi yang belum selesai. Dimana pada mulanya hal-hal seperti itu cukup membuat saya gelisah. Tapi dengan menenangkan diri dalam meditasi, saya jadi gak peduli dengan semua itu. Dan saya dapat memfokuskan diri dengan bersemangat untuk mengerjakan hal-hal lain yang ingin saya kerjakan. Dengan demikian, saya dapat terus berkarya di bidang yang lain, tetapi tidak tergerak untuk menyelesaikan masalah-masalah di kampus.
Ini adalah rumusan permasalahan yang membutuhkan suatu penelitian. Meditasi ketenangan bagi saya seperti usaha melupakan segala bentuk problem yang menggelisahkan hati dengan memusatkan perhatian ke satu titik konsentrasi sampai muncul ketenangan. Dan ketenangan seperti itu dapat tetap dipertahankan dalam kehidupan selama saya dapat mengabaikan masalah-masalah tersebut. Bila saya dapat mencapi jhana-jhana, kemudian saya dapat memikirkan semua problem tersebut dengan tenang tanpa menjadi rusuh hati. Tetapi, saya tidak mengambil jalan untuk mencapai jhana-jhana, ketika konsentrasi saya mencapai upacara samadhi, saya menghentikan meditasi dan melanjutkan kehidupan. Pada tahapan ini, kegelisahan dapat muncul kembali bila saya memikirkan persoalan-persoalan tertentu yang sebelumnya menggelisahkan hati. Tetapi, upacara samadhi tersebut bagi saya cukup menjadi alat yang membantu saya melupakan problem, tenang dan bersemangat dalam mengerjakan hal-hal lainnya.
Selain dari mengabaikan problem hidup, ketenangan tersebut membuat saya berani melakukan perbuatan buruk dan tidak takut terhadap akibat perbuatan buruk. Contoh dari permasalahan ini telah saya posting dalam judul, "Tuhan menjaga aku".
Aneh,saya rasa itu bukan ketenangan,tetapi anda berhalusinasi atau anda disini hanya ingin "caper"?
Pernah lihat seseorang emosi?ketika orang itu emosi dia akan marah2 dan melakukan hal2 yang diluar logika,ketika dia tenang,kembali ke kesadarannya,dia akan merenungi dengan mendalam dan menyelesaikan masalahnya dengan jitu..Apalagi anda berbicara seakan2 anda telah mencapai "tingkatan" tertentu..Kalau anda sudah memperoleh tahap ketenangan,tetapi "mengabaikan" ketenangan tersebut..
saya pernah ngobrol dengan murid dari Bhante Uttamo Mahathera,dia tertarik dengan saya dan kami pun mengobrol2[kurasa saya yakin si murid yang 1 ini memiliki "kemampuan" special,karena dia menerangkan meditasi yang tepat kepada saya,ya mungkin ini bisa membantu kasus anda]
sebenarnya kami mengobrol banyak,dan dia akan mengunjungi medan tanggal 27 nanti,saya hanya menpost beberapa kalimat yang berhubungan dengan pertanyaan anda :
Saya pernah di tolak untuk latihan meditasi.... ( karena latihan meditasi terlalu bersemangat dan cenderung mencari ketenangan ). Akhirnya sampai pada pengertian bahwa ketenangan saya peroleh telah menjadi napsu keinginanan yang selalu ingin dicapai dalam meditasi. Malah akhirnya cenderung sebagai pelarian akan kenyataan hidup, ini yang saya alami, sehingga saya katakan meditasi ibarat candu.... ( seperti juga yang ada dalam sebuah ceramahnya B. Panna )... akhirnya aku mengerti maksud pernyataan B, Panna tentang itu.
Yang benar adalah ketenangan itu digunakan agar kita bisa melihat melihat dukha lebih jernih. Sehingga kita memperoleh pengertian atas dukha yang sebenar-benarnya bukan hanya secara intelektual. Bukannya mencari ketenangan hidup dengan meditasi. Ini yang saya sebut menjadi Autis.
Malah dalam kehidupan sehari-hari... di kala rapat sedang ramai berdebat.... saya tidak suka akan itu, secara otomatis saya tetap tenang... santai... kenapa? Asyik sendiri memperhatikan pikiran atau nafas saya sendiri dan tidak perduli dengan yang dibicarakan. Apa ini benar menurut kamu? wah parah waktu itu saya.... saya tidak perduli dengan lingkungan. Kan seharusnya saya tetap ikut mengikuti perbincangan rapat, tetapi seharusnya dengan modal meditasi, bathin kita tetap tenang dalam menghadapi perdebatan ataupun persoalan hidup.
Quote from: ryu on 19 March 2010, 07:51:55 PM
coba baca CULAHATTHIPADOPAMA SUTTA
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=664
makasih mbak. apa yang anda tulis di signature anda telah memberi saya inspirasi.
adapun di sutta tersebut, di sana dijelaskan bagaimana deskripsi dari jhana-jhana. dan saya telah mengalaminya secara langsung mbak, mulai dari jhana pertama hingga jhana ke empat.
orang yang mencapai jhana keempat, sharusnya tampak hebat, bukannya tampak "cengeng" seperti diri saya ini mbak. tapi, saya kan tidak bilang "saat ini" saya mencapai jhana keempat.
jhana muncul dan lenyap, seperti objek mental lainnya. pencapaian jhana dapat terjadi pada suatu kali, lalu bati kita dapat menurut dan terus menurun hingga ke tingkat yang paling rendah. betul gak mbak?
Quote from: rikcy
Membantu dalam hal seperti apa?anda bisa menjelaskannya?saya meragukan apa yang anda sebutkan disini..
bila anda dapat menjelaskan kebenaran-kebenaran dengna jelas, tanpa spekulasi, tanpa menduga-duga dan tanpa prasangka, itu namanya membantu saya dengan baik.
Quote
Aneh,saya rasa itu bukan ketenangan,tetapi anda berhalusinasi atau anda disini hanya ingin "caper"?
saya tidak tahu, apakah anda sedang bertanya, ataukah anda sedang menuduh. tapi, anggaplah anda bertanya, karena itu yang lebih baik.
maka saya jelaskan bahwa saya tidak ingin caper, jika caper itu berarti "menikmati diperhatikan oleh orang lain". bagi saya tidak untungnya mencari perhatian seperti itu. apa gunanya jadi perhatian orang, kalau toh orang-orang yang mmperhatikan itu tidak membantu saya untuk bisa "melihat kebenaran". tapi saya perlu perhatian mereka, bila mereka dapat membantu meluruskan pandangan, bila saya memiliki pandangna yang keliru. dan suatu diskusi, tidak mungkin terjadi tanpa suatu perhatian dari anggota diskusi itu sendiri.
jadi, apa yang anda maksud dengan caper?
Quote
Apalagi anda berbicara seakan2 anda telah mencapai "tingkatan" tertentu..Kalau anda sudah memperoleh tahap ketenangan,tetapi "mengabaikan" ketenangan tersebut..
kapan saya menyatakan bahwa saya mengabaikan ketenangan? atau dengan cara apa anda menyimpulkan bahwa saya mengabaikan ketnangan. seingat saya, yng saya nyatakan adalah "saya mengabaikan persoalan-persoalan eskternal".
Quote from: Riky
Saya pernah di tolak untuk latihan meditasi.... ( karena latihan meditasi terlalu bersemangat dan cenderung mencari ketenangan ). Akhirnya sampai pada pengertian bahwa ketenangan saya peroleh telah menjadi napsu keinginanan yang selalu ingin dicapai dalam meditasi. Malah akhirnya cenderung sebagai pelarian akan kenyataan hidup, ini yang saya alami, sehingga saya katakan meditasi ibarat candu.... ( seperti juga yang ada dalam sebuah ceramahnya B. Panna )... akhirnya aku mengerti maksud pernyataan B, Panna tentang itu.
Yang benar adalah ketenangan itu digunakan agar kita bisa melihat melihat dukha lebih jernih. Sehingga kita memperoleh pengertian atas dukha yang sebenar-benarnya bukan hanya secara intelektual. Bukannya mencari ketenangan hidup dengan meditasi. Ini yang saya sebut menjadi Autis.
Malah dalam kehidupan sehari-hari... di kala rapat sedang ramai berdebat.... saya tidak suka akan itu, secara otomatis saya tetap tenang... santai... kenapa? Asyik sendiri memperhatikan pikiran atau nafas saya sendiri dan tidak perduli dengan yang dibicarakan. Apa ini benar menurut kamu? wah parah waktu itu saya.... saya tidak perduli dengan lingkungan. Kan seharusnya saya tetap ikut mengikuti perbincangan rapat, tetapi seharusnya dengan modal meditasi, bathin kita tetap tenang dalam menghadapi perdebatan ataupun persoalan hidup.
terima kasih. uraian tersebut sangat relevan dengan permasalahan saya. saya akan mencoba merenungkannya.
Quotekapan saya menyatakan bahwa saya mengabaikan ketenangan? atau dengan cara apa anda menyimpulkan bahwa saya mengabaikan ketnangan. seingat saya, yng saya nyatakan adalah "saya mengabaikan persoalan-persoalan eskternal".
ini maksudnya apa ya?
Rasanya, saya punya masalah dengan "ketenangan". Maksudnya, bukannya saya selalu gelisah dan tidak tenang, tapi justru sering merasakan efek negatif dari ketenangan. Sudah sering saya mengemukakan permasalahan tersebut, tapi dari tanggapan teman-teman, baik di forum muslim maupun budha, tampaknya dampak negatif dari ketenangan ini tidak mereka alami. Seolah-olah hanya saya sendirilah yang punya problem seperti itu. Apakah mungkin saya telah salah dalam menggunakan "keterampilan ketenangan"?sejak kapan ketenangan membawa dampak negatif?apakah itu ketenangan atau keinginan yang berlebihan?
_/\_
Quote
bila anda dapat menjelaskan kebenaran-kebenaran dengna jelas, tanpa spekulasi, tanpa menduga-duga dan tanpa prasangka, itu namanya membantu saya dengan baik.
Sori saya tidak bisa,saya bukan orang yang telah menembus tataran suci..
Quotesaya tidak tahu, apakah anda sedang bertanya, ataukah anda sedang menuduh. tapi, anggaplah anda bertanya, karena itu yang lebih baik.
maka saya jelaskan bahwa saya tidak ingin caper, jika caper itu berarti "menikmati diperhatikan oleh orang lain". bagi saya tidak untungnya mencari perhatian seperti itu. apa gunanya jadi perhatian orang, kalau toh orang-orang yang mmperhatikan itu tidak membantu saya untuk bisa "melihat kebenaran". tapi saya perlu perhatian mereka, bila mereka dapat membantu meluruskan pandangan, bila saya memiliki pandangna yang keliru. dan suatu diskusi, tidak mungkin terjadi tanpa suatu perhatian dari anggota diskusi itu sendiri.
jadi, apa yang anda maksud dengan caper?
Itu hanya asumsi saja..jika tidak merasa,ya lupakan saja.. :)
Quote from: Riky
Malah dalam kehidupan sehari-hari... di kala rapat sedang ramai berdebat.... saya tidak suka akan itu, secara otomatis saya tetap tenang... santai... kenapa? Asyik sendiri memperhatikan pikiran atau nafas saya sendiri dan tidak perduli dengan yang dibicarakan. Apa ini benar menurut kamu? wah parah waktu itu saya.... saya tidak perduli dengan lingkungan. Kan seharusnya saya tetap ikut mengikuti perbincangan rapat, tetapi seharusnya dengan modal meditasi, bathin kita tetap tenang dalam menghadapi perdebatan ataupun persoalan hidup.
hmm... ya tepat... seperti itulah yang saya lakukan.
tapi, bukankah hal itu baik dan benar.
sperti yang anda katakan sendiri, bahwa kita harus menghadapi persoalan hidup dengan tenang. ini tepat sekali.
oleh karenanya, jika saya memilih jalan menenangkn diri sebelum perdebatan terjadi, maka apa yang salah dalam hal ini?
bathin yang bijaksana, memiliki upekha, ia tidak dipengaruhi oleh suka maupun benci. selama muncul suka dan tidak suka di dalam bathin seseorang, berarti ia masih terkena ilusi.
oleh kraena itu, bila diketahui ketika rapat tersebut timbul rasa suka atau tidak suka di dlaam batin saya, maka saya harus waspada diri, karena ilusi telah mulai mengotori batin saya. maka, merupakan hal yang baik bila saya menenangkan diri, membebaskan dari rsa suka dan tidak suka, mencapai upekha, bila itu tercapai, bolehlah saya kemudian ikut perdebatan dlam rapat. lalu, menurut anda, apa yang salah dengan hal itu?
saya mau menjawab pertanyaan anda,tetapi saya terganjal oleh pernyataan anda :
bila anda dapat menjelaskan kebenaran-kebenaran dengna jelas, tanpa spekulasi, tanpa menduga-duga dan tanpa prasangka, itu namanya membantu saya dengan baik.
sekali lagi,saya hanya bisa berspekulasi berdasarkan pengalaman saya dan sharing para ahli meditasi,buku bacaan yang telah saya baca..dan semua itu hanya "menduga-duga",saya tidak memiliki kemampuan khusus untuk membaca kualitas batin seseorang,,,jadi kalau anda ingin saya menjelaskan dengan tanpa spekulasi, tanpa menduga-duga dan tanpa prasangka, itu namanya membantu saya dengan baik.
saya tidak bisa..maaf...cari yang lain..
_/\_
Quote from: Riky
sejak kapan ketenangan membawa dampak negatif?apakah itu ketenangan atau keinginan yang berlebihan?
ini pertanyaan yang sangat bagus.
yang menjadi masalah tentunya "keinginan". sebagai mana sabda sang budha dalam 4 kebenaran ariya, bahwa keinginan itulah yang merupakan "masalah utama" dalam kehidupan, maksudnya sumber dari penderitaan.
jika narkoba membuat anak-anak muda menjadi mabuk, maka adalah pantas atau tidak pantas kalau orang berkata, "narkoba itu berdampak negatif terhadap anak-anak muda". tapi sebenarnya, yang menjadi masalah itu narkobanya ataukah keserakahan dari anak muda tersebut? tentu saja moha dan lobha yang menjadi maslaah sebenarnya, tetapi kita dapat memahami dengn baik apa artinya "narkoba sebagai masalah".
"ketenangan sebagai masalah", tentu saja masalah sebenarnya adalah "keinginan yang berlebihan" seperti yang anda katakan tadi. tapi bila ketenangan itulah yang menjadi pemicu munculnya "keinginan berlebihan" tersebut, maka pantas atau tidak pantaskah jika dikatakan "ketenangan sebagai masalah" ?
bandingkan dengan penggunaan kata "AKU", sang budha telah menjelaskan konsep anatta (tiada aku), tetapi sang budha juga menggunakan "Aku" untuk menyebut dirinya. tapi itu bukan berarti mengakui keberadaan "atta".
antara keinginan dan ketenangan, mana yang menjadi masalah, ini hanya cara bagaimana menggunakan istilah saja dan dari sudut mana dipandang.
istriku tidak pernah tahu lezatnya pencapaian jhana-jhana, maka dia tidak pernah memiliki "keinginan yang berlebihan" untuk mencapai jhana. jangankan keinginan yang berlebihan, keinginanpun gak ada. bagaimana dia mau menginginkan, karena dia tidak mengetahuinya sama sekali.
berbeda dengan saya, saya begitu terpikat dengan klezatan jhana-jhana tersebut, menginginkan dna merindukannya, karena tahu dan pernah merasakan betapa itu sangat lezatnya.
setelah saya uraian duduk perkara yang sebenarnya, dan bila anda masih belum setuju tentang penggunaan istilah "ketenangan sebagai masalah", maka khusus untuk anda saya akan menggai istilah tersebut dengn "keinginan terhadap ketenangan sebagai masalah".
Quote from: Riky_dave on 19 March 2010, 08:40:45 PM
saya mau menjawab pertanyaan anda,tetapi saya terganjal oleh pernyataan anda :
bila anda dapat menjelaskan kebenaran-kebenaran dengna jelas, tanpa spekulasi, tanpa menduga-duga dan tanpa prasangka, itu namanya membantu saya dengan baik.
sekali lagi,saya hanya bisa berspekulasi berdasarkan pengalaman saya dan sharing para ahli meditasi,buku bacaan yang telah saya baca..dan semua itu hanya "menduga-duga",saya tidak memiliki kemampuan khusus untuk membaca kualitas batin seseorang,,,jadi kalau anda ingin saya menjelaskan dengan tanpa spekulasi, tanpa menduga-duga dan tanpa prasangka, itu namanya membantu saya dengan baik.
saya tidak bisa..maaf...cari yang lain..
_/\_
bagaimana anda dapat memilih spekulasi dalam diskusi, sedangkan saya telah belajar dari agama budha bahwa kita seharusnya meninggalkan spekulasi. ini adalah bagian dari ajaran sang budha.
jika anda mengutip kata-kata dari sebuah buku dan anda menyebutkan bahwa itu adlaah dari sebuah buku, bukan kebenaran yang anda lihat secara langsung, dan itu adalah kebenaran yang harus digali secara langsung (ehipasiko), tidak menganggap benar sesuatu sebagai benar hanya karena sesuatu itu tertulis di dalam buku, maka anda tidak sedang berspekulasi.
anda disebut berspekulasi bila anda menyatakan suatu pendapat, tanpa suatu kejelasan asal-usulnya, sehingga tidak jelas apakah itu kebenaran yang dilihat langsung atau yang dikatakan orang. jadi, silahkan di sharing apa yang anda baca dan apa yang anda dengar dari para ahli meditasi tsb.
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 08:49:01 PM
Quote from: Riky
sejak kapan ketenangan membawa dampak negatif?apakah itu ketenangan atau keinginan yang berlebihan?
ini pertanyaan yang sangat bagus.
yang menjadi masalah tentunya "keinginan". sebagai mana sabda sang budha dalam 4 kebenaran ariya, bahwa keinginan itulah yang merupakan "masalah utama" dalam kehidupan, maksudnya sumber dari penderitaan.
4 kebenaran mulai[Saccari Ariya Saccani]...Itu tercantum jelas dalam paticca samupadda,12 nidana,disebutkan dari ke 12 point Buddha mengatakan point 1[Moha] dan ke 8[Tanha] yang mudah untuk "dilihat"..Silakan anda mempelajari teori Saccari Ariya Saccani kembali,karena setahu saya Samudaya Dukkha/kebenaran tentang sumber dukkha adalah "AKU"..dari AKU muncullah bermacam2 sumber dukkha lainnya,seperti upadana,tanha,dan seterusnya..
Quotejika narkoba membuat anak-anak muda menjadi mabuk, maka adalah pantas atau tidak pantas kalau orang berkata, "narkoba itu berdampak negatif terhadap anak-anak muda". tapi sebenarnya, yang menjadi masalah itu narkobanya ataukah keserakahan dari anak muda tersebut? tentu saja moha dan lobha yang menjadi maslaah sebenarnya, tetapi kita dapat memahami dengn baik apa artinya "narkoba sebagai masalah".
"ketenangan sebagai masalah", tentu saja masalah sebenarnya adalah "keinginan yang berlebihan" seperti yang anda katakan tadi. tapi bila ketenangan itulah yang menjadi pemicu munculnya "keinginan berlebihan" tersebut, maka pantas atau tidak pantaskah jika dikatakan "ketenangan sebagai masalah" ?
Bro yang baik,menurut saya "objek" itu netral,dalam analogi anda tentang "narkoba" maka yang menjadi permasalahan bukan "narkobanya" melainkan "si pemakai" narkoba..Jika si pemakai ahli didalam memakainya,maka dia akan memperoleh manfaat daripadanya,jika si pemakainya malah tergiur,lengah,tidak waspada maka dia sendiri yang menghancurkan dirinya sendiri,maka yang menghancurkannya bukan narkobanya,tetapi dirinya sendiri!![jangan menyalahkan "narkoba"nya tetapi kesalahan terletak pada "si pemakai narkoba",berhati2 lah menggunakan "kata"]
sumber masalah bukan terletak pada "objek"nya tetapi terletak pada "pikiran" yang menggunakan "objek" tersebut..Jika anda mengatakan "ketenangan" sebagai masalah,itu benar2 kacau dan bisa mengacaukan orang lain,karena masalahnya/sumber utamanya adalah keinginan berlebihan untuk memperoleh ketenangan,ini adalah OBSESI..atau yang disebut AUTIS oleh murid Bhante Uttamo.
Kalau narkoba digunakan sebagai obat,tentu bermanfaat,kalau narkoba digunakan sebagai candu maka itu tidak bermanfaat..
Quotebandingkan dengan penggunaan kata "AKU", sang budha telah menjelaskan konsep anatta (tiada aku), tetapi sang budha juga menggunakan "Aku" untuk menyebut dirinya. tapi itu bukan berarti mengakui keberadaan "atta".
Nah,jangan anda bandingkan dengan ini..itu salah total bro menurut saya,yang benar adalah Buddha menggunakan kata2 tersebut untuk KITA tetapi bukan untuk DIRINYA..karena kita masih diliputi LDM,sedangkan diriNya tidak lagi diliputi LDM..dan yang paling penting adalah kita masih butuh "konsep" dan Ajaran Buddha harus dikonsepsikan,makanya Buddha mengatakan EHIPASSIKO,dan didalam Kalama Sutta jelas tercantum apa yang harus dilakukan..[Buddha menyebut dirinya sebagai AKU,tetapi dalam anatta dia mengatakan TIDAK ADA AKU,mengapa begitu?itu adalah "cara" untuk menjelaskan lewat "kata-kata",pada hakikatnya kata2 adalah netral,tetapi kita "meneaalahnya",sehingga kata ANJING bisa merujuk pada penghinaan,bisa merujuk pada hewan,bisa merujuk pada binatang berkaki 4,bisa merujuk pada hewan mamalia,dan seterusnya..]
Quoteantara keinginan dan ketenangan, mana yang menjadi masalah, ini hanya cara bagaimana menggunakan istilah saja dan dari sudut mana dipandang.
justru dari sudut pandangan lah muncul kerancuan dan kesalahan/multitafsir,selama saya belajar Buddha Dhamma,yang paling saya jeli adalah soal "kata",karena "kata" sangat berbahaya,bisa disalahtafsirkan apalagi oleh orang bodoh..
Quoteistriku tidak pernah tahu lezatnya pencapaian jhana-jhana, maka dia tidak pernah memiliki "keinginan yang berlebihan" untuk mencapai jhana. jangankan keinginan yang berlebihan, keinginanpun gak ada. bagaimana dia mau menginginkan, karena dia tidak mengetahuinya sama sekali.
berbeda dengan saya, saya begitu terpikat dengan klezatan jhana-jhana tersebut, menginginkan dna merindukannya, karena tahu dan pernah merasakan betapa itu sangat lezatnya.
Bahayanya ya itu bro..anda telah "merindukannya" ,anda telah "melekat" padanya,apapun yang dilekati tidak akan memperoleh kebahagian mutlak,yang ada hanya bentuk2 penderitaan,ingat bahwa kemelekatan adalah bentuk dari LOBHA/KESERAHKAHAN,ketika keinginan anda tercapai,menikmati jhana2[yang anda sebutkan,saya tidak tahu apakah anda benar2 telah mencapainya atau tidak],maka anda ingin ingin dan ingin lagi,anda terlena didalam jhana tersebut,ketika keinginan anda tidak terkabul,maka akan timbul DOSA/kebencian atas keinginan yang tidak terkabul...didasari oleh apakah LOBHA dan DOSA ini?Didasari oleh MOHA/Kebodohan..
bagus sekali Eyang mengajari saya setelah mencapai Jhana 1 saya harus melepaskan Jhana 1 dan menuju pelatihan vipasanna,ternyata faktornya adalah hal seperti itu..terima kasih atas sharing anda,pengalaman anda akan menjadi guru berharga bagi perkembangan spritual saya.. :)
Anumodana _/\_
Quotesetelah saya uraian duduk perkara yang sebenarnya, dan bila anda masih belum setuju tentang penggunaan istilah "ketenangan sebagai masalah", maka khusus untuk anda saya akan menggai istilah tersebut dengn "keinginan terhadap ketenangan sebagai masalah".
Saya tidak tahu apakah ini semacam bentuk pembenaran atau bagaimana,sebenarnya saya hanya mengantisipasi multitafsir,karena yang membaca disini bukan saya dan anda doang,tapi ribuan orang mungkin membaca disini,dan pernyataan anda sungguh berbahaya menurut saya,tetapi setelah anda mengklarifikasinya ya tidak masalah,kalau anda memiliki sudut pandangan begitu,tapi yang harus diingat,tidak semua orang memiliki sudut pandang seperti anda atau mengerti apa yang anda maksudkan..
Anumodana _/\_
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 08:54:45 PM
Quote from: Riky_dave on 19 March 2010, 08:40:45 PM
saya mau menjawab pertanyaan anda,tetapi saya terganjal oleh pernyataan anda :
bila anda dapat menjelaskan kebenaran-kebenaran dengna jelas, tanpa spekulasi, tanpa menduga-duga dan tanpa prasangka, itu namanya membantu saya dengan baik.
sekali lagi,saya hanya bisa berspekulasi berdasarkan pengalaman saya dan sharing para ahli meditasi,buku bacaan yang telah saya baca..dan semua itu hanya "menduga-duga",saya tidak memiliki kemampuan khusus untuk membaca kualitas batin seseorang,,,jadi kalau anda ingin saya menjelaskan dengan tanpa spekulasi, tanpa menduga-duga dan tanpa prasangka, itu namanya membantu saya dengan baik.
saya tidak bisa..maaf...cari yang lain..
_/\_
bagaimana anda dapat memilih spekulasi dalam diskusi, sedangkan saya telah belajar dari agama budha bahwa kita seharusnya meninggalkan spekulasi. ini adalah bagian dari ajaran sang budha.
Anda belajar Buddha Dhamma sama siapa sih?jadi penasaran saya..orang itu yang tidak pintar ngajar atau anda yang tidak pintar didalam memahami ajarannya?Anda mengerti tidak soal "meninggalkan spekulasi?"
Quotejika anda mengutip kata-kata dari sebuah buku dan anda menyebutkan bahwa itu adlaah dari sebuah buku, bukan kebenaran yang anda lihat secara langsung, dan itu adalah kebenaran yang harus digali secara langsung (ehipasiko), tidak menganggap benar sesuatu sebagai benar hanya karena sesuatu itu tertulis di dalam buku, maka anda tidak sedang berspekulasi.
anda disebut berspekulasi bila anda menyatakan suatu pendapat, tanpa suatu kejelasan asal-usulnya, sehingga tidak jelas apakah itu kebenaran yang dilihat langsung atau yang dikatakan orang. jadi, silahkan di sharing apa yang anda baca dan apa yang anda dengar dari para ahli meditasi tsb.
Nah,terjadilah multitafsir lagi,,saya menyebutkan "spekulasi" sebagai "asumsi",mengapa saya berkata demikian?coba anda bayangkan,ketika anda bermeditasi,dan keluar dari meditasi,anda menerangkan lewat kata2 bukankah itu spekulasi anda?apakah anda mampu menjelaskan secara terperinci dari A sampai Z?
kalau saya jujur,saya tidak mampu... :)
Anumodana _/\_
Quote from: Riky
Saya tidak tahu apakah ini semacam bentuk pembenaran atau bagaimana,sebenarnya saya hanya mengantisipasi multitafsir,karena yang membaca disini bukan saya dan anda doang,tapi ribuan orang mungkin membaca disini,dan pernyataan anda sungguh berbahaya menurut saya,tetapi setelah anda mengklarifikasinya ya tidak masalah,kalau anda memiliki sudut pandangan begitu,tapi yang harus diingat,tidak semua orang memiliki sudut pandang seperti anda atau mengerti apa yang anda maksudkan..
janganlah kita terkurung di dalam kata-kata. tetapi, kita harus melihat kepada makna dibalik kata-kata tersebut. bisa jadi, kita membuat pernyataan yang bertentangan pada lahirnya, tetapi hakikatnya tidak bertentangan. sang budha mengatakan bahwa yang menjadi sumber dari perselisihan para cendikian adalah "keterikatan pada konsepsi". jadi, sesuatu tidak harus dikatakan dengan cara yang sama.
jika saya membawa seekor kucing kepada orang ke rumah kerabat saya yang orang sunda dan saya mengatakan bahwa yang saya bawa itu adalah seekor kucing, tapi kerabt saya membantah, "itu bukan kucing, tapi emeng". karena dlam bahasa sunda, kucing itu ya emeng. adlaah bodoh bila saya bersitegang dengan dia, karena merasa telah dibantah. tapi, saya dapat memahami bahwa dia membantah hanya karena tidak tahu bahwa hewan itu dalam bahasa indonesia disebut kucing. maka baiklah saya gunakan istilah yang dia mengerti saya, yaitu Emeng. toh yang penting, maksudnya sama.
demikian saya dengan anda. "kesenangan sebagai masalah" dan "tanha sebagai masalah". tapi anda membantah istilah yang saya gunakan, tak dapat memahami artinya. dan arti yang anda fahami dari isitilah yang saya gunakan telah menjadi salah, maka marilah kalau begitu, kita berbicara dengan bahasa yang dapat anda mengerti, yakni "tanha sebagai masalah", yang penting maksudnya sama.
bahkan untuk berbicara dengn umat budhis di sini, saya telah mengkonversi banyak sekali bahasa agar umat budhis memahaminya. tempo lalu saya pernah membuat artikel yang di dlaamnya banyak membahas tentang dosa. sampai akhirnya saya sadar bahwa istilah dosa itu dimaknai lain oleh kawan-kawan di sini, shingga jadi agak membingungkan. kawan-kawan di sini memaknai dosa itu sebagai "kebencian", smentara saya memaknainya sebagai "kamma buruk". akhirnya, saya sadar bahwa saya harus mengkonversi istilah "dosa" ke kamma buruk, agar tidak membingungkan kawan-kawan di sini. dan lebih banyak lagi istilah yang tlah saya konversi.
demikian juga istilah "kesnangan sebagai masalah", mungkin tidak cocok dan tidak dapat difahami oleh anda, maka marilah kita gunkan yang cocok dan dapat difahami artinya oleh anda. "tanha sebagai masalah".
maka dari itu pak deva 19, disiulah panna dibutuhkan...
ia bisa menyelesaikan segala masalah baik di dalam/luar.
CMIIW (tp saia yakin,kagak salah dehh)
Quote
Anda belajar Buddha Dhamma sama siapa sih?jadi penasaran saya..orang itu yang tidak pintar ngajar atau [color]anda yang tidak pintar didalam memahami ajarannya?[/color]Anda mengerti tidak soal "meninggalkan spekulasi?"
dalam ilmu logika, perkataan anda ini disebut fallacy of bada names calling.
- guru saya tidak pintar
- saya tidak pintar
- saya tidak mengerti arti dari "meninggalkan spekulasi".
so,... itu bukan masalah. silahkan anda menggunakan fallacy-fallacy sesuka anda. karena menurut pengalaman saya dalam diskusi selama bertahun-tahun, hampir tak seorangpun pendiskusi yang mampu meninggalkan fallacy-fallacy dalam diskusinya. itu sudah biasa, jadi silahkan dilanjutkan. hanya saja, saya senag menjelaskan ini fallacy apa namanya dan itu fallacy apa namanya, berharap menjadi pelajaran bagi banyak orang.
tanggan saya :
seandainya anda lebih tahu apa arti dari "meninggalkan spekulasi", silahkan langsung jelaskan di sini tanpa harus membuat penekanan bahwa "guru saya tidak pintar" atau "saya bodoh" atau "saya tidak mengerti dengan baik". agree?
Quote from: Riky
Nah,terjadilah multitafsir lagi,,saya menyebutkan "spekulasi" sebagai "asumsi",mengapa saya berkata demikian?coba anda bayangkan,ketika anda bermeditasi,dan keluar dari meditasi,anda menerangkan lewat kata2 bukankah itu spekulasi anda?apakah anda mampu menjelaskan secara terperinci dari A sampai Z?
kalau saya jujur,saya tidak mampu...
tanpa spekulasi bukan berarti dapat menjelaskan scara terperinci dari A hingga Z. dalam ceramahnya B. Utomo dijelaskan, untuk menjelaskan warna cokelat saja dengan bermawam-macam warna cokelat itu sulit. ada banyak kebenaran yang tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata. bakan sang Budha sekalipun, tidak mampu menjelaskan semuanya. yakni, ketika beliau ditanya apakah seorang arahat itu terlahir lagi atau tidak, beliau menjelaskan bahwa seorang arahat itu bukannya terlahir dan bukannya tidak terlahir, tidak dapat dilukiskan, dan hanya dapat diselami oleh para ahli bijaksana.
asumsi belum tentu merupakan spekulasi. selama asumsi dipandang sebagai asumsi saja, maka itu merupakan pandangan yang benar. tetapi, ketika asumsi berisi ketidak jelasan dan cenderung dianggap fakta ilmiah, maka ini contoh dari spekulasi.
menjelaskan ssuatu dengan bahasa juga bukan merupakan spekulasi. ketika saya menjelaskan saya keluar masuk meditasi dengan kata-kata, itu tidak termasuk spekulasi. tapi bila saya menyimpulkan penglaman-pengalaman meditasi saya tanpa suatu aturan yang jelas, maka itu lah yang dimaksud dnegan spekulasi.
Quotejanganlah kita terkurung di dalam kata-kata. tetapi, kita harus melihat kepada makna dibalik kata-kata tersebut. bisa jadi, kita membuat pernyataan yang bertentangan pada lahirnya, tetapi hakikatnya tidak bertentangan. sang budha mengatakan bahwa yang menjadi sumber dari perselisihan para cendikian adalah "keterikatan pada konsepsi". jadi, sesuatu tidak harus dikatakan dengan cara yang sama.
selama anda belum terbebas dari "konsep" maka semuanya harus dijelaskan melalui konsep,jangan merasa anda telah terlepas dari "konsep" itu namanya "membohongi" diri sendiri,kecuali anda sudah arahatta yang terbebas dari segala konsepsi..yang menjadi masalah bagi para cendikiawan adalah "melekat" pada konsep,bukan menjelaskan lewat konsep..kita bisa menjelaskan lewat konsep,karena memang begitu adanya,tetapi lewat konsep2 tersebut,kita tidak boleh memunculkan kalimat multitafsir,kayak bersatu dengan TUHAN dan lain lain,mungkin dalam pandangan tertentu itu adalah benar adanya,tetapi melihat lebih jauh itu adalah tindakan kurang bijak...
Quotejika saya membawa seekor kucing kepada orang ke rumah kerabat saya yang orang sunda dan saya mengatakan bahwa yang saya bawa itu adalah seekor kucing, tapi kerabt saya membantah, "itu bukan kucing, tapi emeng". karena dlam bahasa sunda, kucing itu ya emeng. adlaah bodoh bila saya bersitegang dengan dia, karena merasa telah dibantah. tapi, saya dapat memahami bahwa dia membantah hanya karena tidak tahu bahwa hewan itu dalam bahasa indonesia disebut kucing. maka baiklah saya gunakan istilah yang dia mengerti saya, yaitu Emeng. toh yang penting, maksudnya sama.
Apakah tulisan saya kurang jelas?saya rasa tulisan saya tidak ada hubungan dengan pernyataan yang sedang anda tuliskan itu..Apple=apel=peng kuo,ya sama aja kalau itu 1 objek dengan sebutan berbeda..intinya menuju pada "1 objek"..sedangkan yang menjadi permasalahan adalah :
"ketenangan adalah sumber masalah" sangat berbeda arti dengan
"keinginan adalah sumber masalah"Mengapa saya berkata demikian?yang namanya ketenangan itu netral,dia menjadi salah ketika muncul "keinginan",jadi jelas kesalahan muncul,saat adanya "keinginan"..kalau "keinginan" tidak muncul maka "ketenangan" ya "ketenangan",,jadi sumber sebabnya itu "keinginan" bukan "ketenangan"..kayak orang sakit perut,penyebab sakit perut adalah makanan,bukan "perut" tersebut..jangan salahkan "perut" ketika anda sakit perut,karena yang menjadi sumber masalahnya adalah "makanan" bukan "perutnya"..
Quotedemikian saya dengan anda. "kesenangan sebagai masalah" dan "tanha sebagai masalah". tapi anda membantah istilah yang saya gunakan, tak dapat memahami artinya. dan arti yang anda fahami dari isitilah yang saya gunakan telah menjadi salah, maka marilah kalau begitu, kita berbicara dengan bahasa yang dapat anda mengerti, yakni "tanha sebagai masalah", yang penting maksudnya sama.
Anda mau memutar balikkan fakta ya? anda tidak pernah menulis
"kesenangan sebagai masalah" dan "tanha sebagai masalah" yang anda tuliskan adalah
"ketenangan sebagai masalah", tentu saja masalah sebenarnya adalah "keinginan yang berlebihan" seperti yang anda katakan tadi. tapi bila ketenangan itulah yang menjadi pemicu munculnya "keinginan berlebihan" tersebut, maka pantas atau tidak pantaskah jika dikatakan "ketenangan sebagai masalah" ?disana jelas bahwa anda hendak menyamakan antara "keinginan berlebihan" = "ketenangan sebagai masalah"..
Quotebahkan untuk berbicara dengn umat budhis di sini, saya telah mengkonversi banyak sekali bahasa agar umat budhis memahaminya. tempo lalu saya pernah membuat artikel yang di dlaamnya banyak membahas tentang dosa. sampai akhirnya saya sadar bahwa istilah dosa itu dimaknai lain oleh kawan-kawan di sini, shingga jadi agak membingungkan. kawan-kawan di sini memaknai dosa itu sebagai "kebencian", smentara saya memaknainya sebagai "kamma buruk". akhirnya, saya sadar bahwa saya harus mengkonversi istilah "dosa" ke kamma buruk, agar tidak membingungkan kawan-kawan di sini. dan lebih banyak lagi istilah yang tlah saya konversi.
saya telah banyak berbicara dengan meditator yang bahkan sama sekali tidak tahu soal Ajaran Buddha,mereka sama sekali tidak mengerti tentang sutta Buddha,apa yang mereka sampaikan sampai saat ini selalu selaras dengan sutta yang saya baca,selalu mereka berkata A,maka saya mengatakan kepada mereka bahwa dalam sutta ini tercantum A,mereka berkata B saya berkata dalam sutta ini tercantum B,malah mereka berkata bahwa pengetahuan Dhamma saya sangat kokoh...saya katakan kepada anda,pengetahuan dhamma saya sangat lemah[saya belum membaca Visudhi Magga,kalau saya punya waktu saya akan membacanya,untuk melihat korelasi pernyataan anda yang agak saya ragukan,terlepas pernyataan anda soal anda telah mencapai jhana atau tidak..]
Quotedemikian juga istilah "kesnangan sebagai masalah", mungkin tidak cocok dan tidak dapat difahami oleh anda, maka marilah kita gunkan yang cocok dan dapat difahami artinya oleh anda. "tanha sebagai masalah".
Sekali lagi saya tekankah saya mengatakan sumbernya adalah "keinginan" sedangkan anda mengatakan sumbernya adalah "ketenangan"..itu adalah KESALAHAN FATAL menurut saya,meditasi SAMATHA bhavana MEMBAWA pada KETENANGAN,dan selama saya BERMEDITASI,saya tidak pernah tahu bahwa KETENANGAN yang dicapai membawa DAMPAK NEGATIF..kalau ada dampak NEGATIVE,buat apa Buddha mengajari hal tersebut?Buddha sudah wanti2 dalam suttanya bagi para meditator samatha untuk tidak lengah didalam jhana,dan melatih vipasana setelah mencapai jhana 1..berati anda yang "bandel",nah rasain deh :P
Anumodana _/\_
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 09:40:04 PM
Quote
Anda belajar Buddha Dhamma sama siapa sih?jadi penasaran saya..orang itu yang tidak pintar ngajar atau [color]anda yang tidak pintar didalam memahami ajarannya?[/color]Anda mengerti tidak soal "meninggalkan spekulasi?"
dalam ilmu logika, perkataan anda ini disebut fallacy of bada names calling.
- guru saya tidak pintar
- saya tidak pintar
- saya tidak mengerti arti dari "meninggalkan spekulasi".
so,... itu bukan masalah. silahkan anda menggunakan fallacy-fallacy sesuka anda. karena menurut pengalaman saya dalam diskusi selama bertahun-tahun, hampir tak seorangpun pendiskusi yang mampu meninggalkan fallacy-fallacy dalam diskusinya. itu sudah biasa, jadi silahkan dilanjutkan. hanya saja, saya senag menjelaskan ini fallacy apa namanya dan itu fallacy apa namanya, berharap menjadi pelajaran bagi banyak orang.
tanggan saya :
seandainya anda lebih tahu apa arti dari "meninggalkan spekulasi", silahkan langsung jelaskan di sini tanpa harus membuat penekanan bahwa "guru saya tidak pintar" atau "saya bodoh" atau "saya tidak mengerti dengan baik". agree?
Ok tq atas penjelasaan soal "fallancy" nya,karena saya kesulitan melihat seseorang yang "mengaku" telah mencapai Jhana 4 tetapi komentarnya sangat rancu...
"meninggalkan spekulasi" saya mengartikannya melihat sebagaimana adanya..
_/\_
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 09:55:28 PM
Quote from: Riky
Nah,terjadilah multitafsir lagi,,saya menyebutkan "spekulasi" sebagai "asumsi",mengapa saya berkata demikian?coba anda bayangkan,ketika anda bermeditasi,dan keluar dari meditasi,anda menerangkan lewat kata2 bukankah itu spekulasi anda?apakah anda mampu menjelaskan secara terperinci dari A sampai Z?
kalau saya jujur,saya tidak mampu...
tanpa spekulasi bukan berarti dapat menjelaskan scara terperinci dari A hingga Z. dalam ceramahnya B. Utomo dijelaskan, untuk menjelaskan warna cokelat saja dengan bermawam-macam warna cokelat itu sulit. ada banyak kebenaran yang tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata. bakan sang Budha sekalipun, tidak mampu menjelaskan semuanya. yakni, ketika beliau ditanya apakah seorang arahat itu terlahir lagi atau tidak, beliau menjelaskan bahwa seorang arahat itu bukannya terlahir dan bukannya tidak terlahir, tidak dapat dilukiskan, dan hanya dapat diselami oleh para ahli bijaksana.
asumsi belum tentu merupakan spekulasi. selama asumsi dipandang sebagai asumsi saja, maka itu merupakan pandangan yang benar. tetapi, ketika asumsi berisi ketidak jelasan dan cenderung dianggap fakta ilmiah, maka ini contoh dari spekulasi.
menjelaskan ssuatu dengan bahasa juga bukan merupakan spekulasi. ketika saya menjelaskan saya keluar masuk meditasi dengan kata-kata, itu tidak termasuk spekulasi. tapi bila saya menyimpulkan penglaman-pengalaman meditasi saya tanpa suatu aturan yang jelas, maka itu lah yang dimaksud dnegan spekulasi.
oke fine,masalah spekulasi menggunakan artian anda atau artian saya?mari kita menyamakan persepsi dulu...karena persepsi bisa jadi dalih pembenaran...nanti setiap diskusi anda berkata,"ini adalah itu,itu adalah ini",bisa berabe...
ada hal terakhir yang mau saya katakan,"Apakah mungkin seseorang tidak bisa salah menerjemahkan pengalaman meditasinya?"
_/\_
Quote from: Riky
kecuali anda sudah arahatta yang terbebas dari segala konsepsi..yang menjadi masalah bagi para cendikiawan adalah "melekat" pada konsep,bukan menjelaskan lewat konsep..
ya, tpat seperti itu yang saya maksud.
Quote from: riky
ada hal terakhir yang mau saya katakan,"Apakah mungkin seseorang tidak bisa salah menerjemahkan pengalaman meditasinya?"
sangat mungkin seseorang salah menerjemahkan pengalaman meditasinya.
tapi,..seseorang yang telah sepenuhnya mengerti cara berpikir logic, dan manerapkan aturan berpikir logic dengan benar dalam menyimpulkan penglaman-pengalaman meditasinya. maka mustahil dia membuat kesimpulan yang salah tentang pengalaman meditasinya.
Quote from: Riky
"meninggalkan spekulasi" saya mengartikannya melihat sebagaimana adanya..
tepat, itulah yang dsebut meninggalkan spekulasi. jadi, masihkah anda tidak sanggup meninggalkan spekulasi dalam diskusi?
asumsi bukanlah spekulasi, jika asumsi tersebut dipandang sebagai asumsi saja, berati orang itu melihat apa adanya, tul enggak.
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 07:22:29 PM
Quote
Seseorang yang mencapai upacarasamādhi sekalipun tahu bahwa pencapaiannya muncul karena didukung oleh faktor praktik moralitas yang baik dan lenyapnya pikiran2 negatif meski hanya sementara.
hal itu betul. dan saya sangat faham akan hal itu. faktor moralitas itu merupakan "stimulis batin" yang membantu saya memudahkan pencapai konsentrasi. dan dengan konsentrasi tersebut, kekotoran batin di tekan. silahkan nilai kembali, apakah saya memahami persoalan ini atau tidak?
Jika memang anda benar2 tahu bahwa sila mendukung pencapaian jhana, pertanyaannya adalh mengapa anda justru merasa berani berbuat jahat dan tidak takut akan perbuatan jahat. Setelah jhana didapat melalui praktik moralitas, apakah kemudian jhana justru menimbulkn hancurnya moralitas karena seperti apa yang anda alami bahwa anda justru berani berbuat jahat? Mungkin ini bukan pertanyaan saya saja, tapi akan menjadi pertanyaan para pembaca juga.
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 07:22:29 PM
Quote
Setidaknya, mereka yang mencapai upacarasamādhi dan jhana yang dari awal berbasis pada ajaran Sang Buddha melihat betapa pentingnya kebajikan.
Quote
Orang demikian akan merasa malu berbuat jahat (hiri) dan takut akan akibat perbuatan jahat (otappa). Ia sepenuhnya tahu bahwa jika ia mengembangkan prilaku tidak baik, upacarasamādhi atau pun jhana yang ia capai akan lenyap. Namun anda mengatakan bahwa karena ketenangan yang dihasilkan oleh jhana anda justru menyebabkan anda untuk tidak takut berbuat buruk seperti dalam statemen anda sebagai berikut
apakah anda tidak tahu bahwa orang yang telah mencapai jhana yang tinggi masih mungkin melakukan kejahatan? saya sudah membaca dalam kitab budhis, dan bertanya ke kawan-kawan budhis di sini. saya tidak dapat menunjukan alamat thread nya dengan jelas, tapi mereka mengakui bahwa orang yang mencapai jhana adalah masih sangat mungkin berbuat kejahatan atau asusila. silahkan tanyakan ke sdr. Upasaka tentang hal ini.
Yap, anda betul bahwa mereka yang hanya memiliki jhana tanpa menghancurkan kekotoran batin secara total masih sangat mungkin untuk melakukan kejahatan. Namun juga perlu diingat bahwa pencapaian jhana dapat terealisasi karena pengembangan faktor-faktor positif. Mereka harus mengembangkan pañcabala (lima kekuatan) yakni keyakinan, semangat, kesadaran, konsentrasi dan kebijaksanaan (saddha viriya sati samādhi dan paññā). Ia juga harus membuang lima rintangan batin yakni sensual desires, ill-will, sloth and torpor, restlessness and remorse, and doubt. Dikatakn pula bahwa mereka yang mencapai jhana, kondisi pikirannya adalah " samāhite citte parisuddhe pariyodāte anaṅgaṇe vigatūpakkilese mudubhūte kammaniye ṭhite āneñjappatte - pikiran terkonsentrasi, bersih, bersinar, tanpa noda, bebas dari kekotoran, lembut, fleksible / patuh, teguh (steady), dan tanpa tergoncangkan". Untuk mencapai jhana pun seseorang juga dikatakn harus memilki "āraddhaṃ vīriyaṃ asallīnaṃ (semangat tanpa lelah), upaṭṭhitā sati (kesadaran yang tertanam kuat), asammuṭṭhā passaddho kāyo (tubuh yang tenang dan tanpa masalah), samahitaṃ cittaṃ ekaggaṃ (pikiran yang terkonsetrasi dan terpusat). Jika kita melihat faktor2 positif yang harus dimiliki seseorang untuk mencapai jhana atau mereka yang sudah mencapai jhana, meskipun ia masih memiliki kekotoran batin, ia sangat berbeda dari para puthujjana yang belum mencapai jhana. Ia lebih sadar untuk berbuat baik ketimbang berani untuk berbuat jahat.
Dari apa yang tercatat dalam Tipitaka, justru saya tertarik dengan beberapa faktor batin yang dimiliki seseorang yang mau mencapai jhana dan yang sudah mencapai jhana. Saya melihat bahwa faktor2 ini ada kaitannya dengan apa yang kita bahas. Pertama, seseorang yang mencapai jhana terbebas dari thinamiddha / ngantuk dan kemalasan, ia memiliki araddhaṃ viriyam asallīnaṃ/ semangat tanpa lelah dan pikiran menjadi kammanīyaṃ yang dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan sebagai workable. Artinya mereka yang mencapai jhana pikirannya sangat patuh, fleksibel dan dapat digunakan untuk apa saja (tentu berhubungan dengan pikiran2 positif). Yang mau saya tekankan di sini adalah bahwa sesuai dengan apa yang tercatat dalam Tipitaka, meskipun seseorang mencapai 'ketenangan' dalam jhana, bukan berarti pikirannya akan menjadi lemah, ngantuk dan tidak aktif. Justru mereka yang mencapai jhana pikirannya menjadi lebih cerah dan vigilance / selalu terbangun (Pāli: Jagāra). Ini mengapa para bhikkhu pada masa lampau sangat berbeda dengan para pertapa lain. Para bhikkhu masa lampau yang memiliki batin yang berkembang justru memiliki wajah yang sumringah / cerah / serene. Ini telah disebutkan di beberapa sutta.
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 07:22:29 PM
Quote
Barangkali, jhana yang anda capai di sini perlu dikaji kembali apakah sesuai dengan yang telah dideskripsikan oleh Sang Buddha atau tidak.
terima kasih atas sarannya.
tapi kalau anda ingin menambahkannya di sini, saya senang sekali.
cobalah anda jelaskan, bagaimana itu jhana menurut deskripsi sang budha!
Anda bisa membaca banyak sutta mengenai Jhana seperti salah satunya Samaññāphalasutta dari Dīghanikāya. Dan beberapa fakta tentang jhana di atas yang saya sebutkan juga bisa dipertimbangkan. Btw, saya masih berharap bahwa apa yang anda alami memang benar2 Jhana. Jika demikian, kita yang di sini merasa beruntung karena anda di sini.
Mettacittena.
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 10:08:30 PM
Quote from: riky
ada hal terakhir yang mau saya katakan,"Apakah mungkin seseorang tidak bisa salah menerjemahkan pengalaman meditasinya?"
sangat mungkin seseorang salah menerjemahkan pengalaman meditasinya.
nah anda berkata
sangat mungkin seseorang salah menerjemahkan pengalaman meditasinya. ,jadi atas dasar apa anda menafsirkan "kalimat" anda sebagai "ketidaksalahan" penafsiran?:)
anda menulis :
Quotetanpa spekulasi bukan berarti dapat menjelaskan scara terperinci dari A hingga Z. dalam ceramahnya B. Utomo dijelaskan, untuk menjelaskan warna cokelat saja dengan bermawam-macam warna cokelat itu sulit. ada banyak kebenaran yang tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata. bakan sang Budha sekalipun, tidak mampu menjelaskan semuanya. yakni, ketika beliau ditanya apakah seorang arahat itu terlahir lagi atau tidak, beliau menjelaskan bahwa seorang arahat itu bukannya terlahir dan bukannya tidak terlahir, tidak dapat dilukiskan, dan hanya dapat diselami oleh para ahli bijaksana.
yang mau saya katakan adalah Buddha dan anda tidak sama dalam pencapaian spritual..kemudian Buddha tidak bisa mengatakanya bukan karena dia tidak mampu menjelaskannya,Buddha mampu,tetapi apakah itu bermanfaat atau tidak bermanfaat?[setahu saya Buddha hanya mengatakan hal2 yang bermanfaat,dan tidak mengatakan hal2 yang tidak bermanfaat dan mungkin Buddha bisa "mengkonsepsikannya" tetapi apakah "konsepsi"nya bermanfaat atau malah semakin "menyesat"kan?itu yang dihindari oleh Buddha Gotama,karena setiap Buddha memberikan "khotbah" maka para muridNya akan mempraktekanNya sesuai arahanNya]
Quotetapi,..seseorang yang telah sepenuhnya mengerti cara berpikir logic, dan manerapkan aturan berpikir logic dengan benar dalam menyimpulkan penglaman-pengalaman meditasinya. maka mustahil dia membuat kesimpulan yang salah tentang pengalaman meditasinya.
saya tertarik dengan perkataan anda,saya mau nanya apa "tolak ukur" cara berpikir logic dan menerapkan aturan berpikira yang benar?dari mana ya itu muncul?? :)
Anumodana _/\_
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 10:11:54 PM
Quote from: Riky
"meninggalkan spekulasi" saya mengartikannya melihat sebagaimana adanya..
tepat, itulah yang dsebut meninggalkan spekulasi. jadi, masihkah anda tidak sanggup meninggalkan spekulasi dalam diskusi?
asumsi bukanlah spekulasi, jika asumsi tersebut dipandang sebagai asumsi saja, berati orang itu melihat apa adanya, tul enggak.
jujur saya paling males deh buat diskusi...saya mengerti maksud lawan diskusi,si lawan diskusi tidak mengerti maksud saya..[oh tuhan kenapa ya takdir saya selalu begitu???]
masalahnya tidak berakhir pada "melihat sebagaimana adanya" saja..tetapi apakah arti dari sebagaimana adanya?
itu hanya bisa dicapai dengan citta murni,sati,kesadaran murni,bukan praktek yang sedang anda lakukan itu.. :)
Anumodana _/\_
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 10:05:13 PM
Quote from: Riky
kecuali anda sudah arahatta yang terbebas dari segala konsepsi..yang menjadi masalah bagi para cendikiawan adalah "melekat" pada konsep,bukan menjelaskan lewat konsep..
ya, tpat seperti itu yang saya maksud.
dan apakah anda arahatta?
Quote from: peace
Jika memang anda benar2 tahu bahwa sila mendukung pencapaian jhana, pertanyaannya adalh mengapa anda justru merasa berani berbuat jahat dan tidak takut akan perbuatan jahat. Setelah jhana didapat melalui praktik moralitas, apakah kemudian jhana justru menimbulkn hancurnya moralitas karena seperti apa yang anda alami bahwa anda justru berani berbuat jahat? Mungkin ini bukan pertanyaan saya saja, tapi akan menjadi pertanyaan para pembaca juga.
begini....
moralitas mendukung jhana. tanpa moralitas jhana sangat sulit untuk dicapai, karena konsentrasi tidak memiliki landasannya. tetapi moralitas bukan satu-satunya landasan bagi konsentrasi. dan sang budha tidak pernah mengatakan bahwa moralitas merupakan satu-satunya landasan dari jhana. orang-orang jhanat dengan berlandasakan kepada viriya dapat mengembangkan kekuatan konsentrasi hingga mencapai jhana-jhana.
pada saat jhana tercapai, tentu saja di situ tidak ada kekotoran di dalam batin. bukan dalam arti benar-benar tidak ada, tetapi kekotran hanya mengendap karena tertekan oleh kkeuatan konsntrasi. tetapi, jhana itu bukanlah ssuatu yang kekal, dan batin sseorang tidak dapat terus menerus berada di dalamnya. ketika dia keluar dari jhana, kekotoran yang tadi mengendap di dalam batinnya dapat muncul lagi kepermukaan. dengan demikian, dia menempuh jalan yang menurun, bukan naik ke tingkat jhana selanjutnya. pada saat penurunan inilah kejahatan dapat muncul disertai dengan pengaruh dari kekuata-kekuatan jhana yang masih berbekas di dalam dirinya.
seandianya, dulu, ia menjalankan praktik moralitas dan menjadikan moralitas tersebut landasan bagi jhana yang dicapainya, maka karena kehendak bebas yang dimilikinya, stelah pencapaian jhana sseorang dapat berbalik arah dengan meninggalkan moralitas dan berbuat jahat, serta menggunakan kkuatan jhana-jhana untuk mendukung kejahatannya.
Quote
dan apakah anda arahatta?
saya tidak mengetahuinya.
pakah seorang arahata pernah berkata, "aku seorang arahata" ?
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 10:25:19 PM
Quote
dan apakah anda arahatta?
saya tidak mengetahuinya.
pakah seorang arahata pernah berkata, "aku seorang arahata" ?
dalam tulisan buku Ajahn Sumedho dia mengatakan bahwa itu mungkin2 saja..Karena ketika Buddha mencapai KebuddhaanNya,dia mengatakan kepada petapa yang pertama kali bertemu denganNya,bahwa dia adalah "Yang SADAR"..
dan saya rasa anda bukan arahatta,sotapanna saja mungkin bukan.. :)
Quote from: Riky
jujur saya paling males deh buat diskusi...saya mengerti maksud lawan diskusi,si lawan diskusi tidak mengerti maksud saya..[oh tuhan kenapa ya takdir saya selalu begitu???]
kalau tak salah, di blog upasaka saya pernah membaca tentang "kesaktian tertinggi". saya agak lupa-lupa lagi judulnya. beliau menjelaskan bahwa kesaktian yang tinggi adalah "kemampuan membuat orang lain mengerti". jadi, semakin termapil seseorang membuat orang lain mengerti kebenaran, maka anggaplah ia semakin sakti. mungkin, kesaktian anda belum cukup untuk membuat saya mengerti. tapi kalau anda sangat suka menyebut bahwa diri saya terlalu bodoh untuk bisa memahami kata-kata anda, ya silahkan lakujkan apa saja yang anda suka. saya tidak keberatan.
Quotebegini....
moralitas mendukung jhana. tanpa moralitas jhana sangat sulit untuk dicapai, karena konsentrasi tidak memiliki landasannya. tetapi moralitas bukan satu-satunya landasan bagi konsentrasi. dan sang budha tidak pernah mengatakan bahwa moralitas merupakan satu-satunya landasan dari jhana. orang-orang jhanat dengan berlandasakan kepada viriya dapat mengembangkan kekuatan konsentrasi hingga mencapai jhana-jhana.
pada saat jhana tercapai, tentu saja di situ tidak ada kekotoran di dalam batin. bukan dalam arti benar-benar tidak ada, tetapi kekotran hanya mengendap karena tertekan oleh kkeuatan konsntrasi. tetapi, jhana itu bukanlah ssuatu yang kekal, dan batin sseorang tidak dapat terus menerus berada di dalamnya. ketika dia keluar dari jhana, kekotoran yang tadi mengendap di dalam batinnya dapat muncul lagi kepermukaan. dengan demikian, dia menempuh jalan yang menurun, bukan naik ke tingkat jhana selanjutnya. pada saat penurunan inilah kejahatan dapat muncul disertai dengan pengaruh dari kekuata-kekuatan jhana yang masih berbekas di dalam dirinya.
seandianya, dulu, ia menjalankan praktik moralitas dan menjadikan moralitas tersebut landasan bagi jhana yang dicapainya, maka karena kehendak bebas yang dimilikinya, stelah pencapaian jhana sseorang dapat berbalik arah dengan meninggalkan moralitas dan berbuat jahat, serta menggunakan kkuatan jhana-jhana untuk mendukung kejahatannya.
Masuk akal saya setuju...saya mau nanya setelah anda mencapai Jhana,darima anda tahu itu jhana 1 sampai jhana ke 4?apakah jhana yang anda peroleh hanya "ketika" anda duduk?atau?
_/\_
Quote from: Riky
dalam tulisan buku Ajahn Sumedho dia mengatakan bahwa itu mungkin2 saja..Karena ketika Buddha mencapai KebuddhaanNya,dia mengatakan kepada petapa yang pertama kali bertemu denganNya,bahwa dia adalah "Yang SADAR"..
dan saya rasa anda bukan arahatta,sotapanna saja mungkin bukan..
ya. sperti saya bilang, saya tidak mengetahuinya. jadi, penilaiannya saya serahkan kepada anda, seandainya anda merasa dapat menilai saya.
tetapi saya mengetahui bahwa saya telah mencapai jhana ke empat, itu pasti.
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 10:29:02 PM
Quote from: Riky
jujur saya paling males deh buat diskusi...saya mengerti maksud lawan diskusi,si lawan diskusi tidak mengerti maksud saya..[oh tuhan kenapa ya takdir saya selalu begitu???]
kalau tak salah, di blog upasaka saya pernah membaca tentang "kesaktian tertinggi". saya agak lupa-lupa lagi judulnya. beliau menjelaskan bahwa kesaktian yang tinggi adalah "kemampuan membuat orang lain mengerti". jadi, semakin termapil seseorang membuat orang lain mengerti kebenaran, maka anggaplah ia semakin sakti. mungkin, kesaktian anda belum cukup untuk membuat saya mengerti. tapi kalau anda sangat suka menyebut bahwa diri saya terlalu bodoh untuk bisa memahami kata-kata anda, ya silahkan lakujkan apa saja yang anda suka. saya tidak keberatan.
bukan,nah itu multitafsir....yang saya mau katakan adalah dari awal sampai akhir anda mengatakan kata saya "tepat" itu membuktikan bahwa memang saya pada dasarnya mengerti apa yang hendak anda sampaikan,dan kebalikkannya adalah anda tidak mengerti apa yang hendak saya sampaikan,itu faktanya...ketika saya menjelaskan,baru anda bilang "tepat itu yang saya maksudkan".. :)
anda tidak tahu ya berdiskusi semacam ini sangat menguras tenaga,dan saya tidak hendak "mencerahkan" siapapun..saya sendiri aja belum tercerahkan,tetapi dengan diskusi ini mungkin ada manfaat bagi saya,anda atau pembaca disini..
Anumodana _/\_
Quote from: Riky
Masuk akal saya setuju...saya mau nanya setelah anda mencapai Jhana,darima anda tahu itu jhana 1 sampai jhana ke 4?apakah jhana yang anda peroleh hanya "ketika" anda duduk?atau?
saya hanya dapat mengetahui bahwa saya mencapai jhana ke satu ke dua ketiga dan keempat setelah saya keluar dari jhana, bahkan jauh hari ssudahnya, yaitu ketika saya berdiskusi di sini, membaca artikel-artikel tentang jhana, ciri-ciri pencapaian jhana, barlah kemudian saya mengingat kembali pengalaman jhana-jhana yang tlah lewat itu, mengangalisisnya, mencocokannya dan kemudian menyimpulkannya.
adalah mustahil saya mengetahui mencapai jhana ketika tercapainya jhana tersebut, karna ketika jhana tercapai tidak ada pemikiran yang menanlisis dan tidak ada yang menyebut "lha, aku tlah masuk jhana pertama" sebab, selama pikiran masih aktif seperti itu, berarti jhana belum tercapai.
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 10:35:02 PM
Quote from: Riky
Masuk akal saya setuju...saya mau nanya setelah anda mencapai Jhana,darima anda tahu itu jhana 1 sampai jhana ke 4?apakah jhana yang anda peroleh hanya "ketika" anda duduk?atau?
saya hanya dapat mengetahui bahwa saya mencapai jhana ke satu ke dua ketiga dan keempat setelah saya keluar dari jhana, bahkan jauh hari ssudahnya, yaitu ketika saya berdiskusi di sini, membaca artikel-artikel tentang jhana, ciri-ciri pencapaian jhana, barlah kemudian saya mengingat kembali pengalaman jhana-jhana yang tlah lewat itu, mengangalisisnya, mencocokannya dan kemudian menyimpulkannya.
adalah mustahil saya mengetahui mencapai jhana ketika tercapainya jhana tersebut, karna ketika jhana tercapai tidak ada pemikiran yang menanlisis dan tidak ada yang menyebut "lha, aku tlah masuk jhana pertama" sebab, selama pikiran masih aktif seperti itu, berarti jhana belum tercapai.
nah,bagus bagus bagus...dan saya mau nanya,"Yakinkah anda tidak salah menafsirkan pencapaian anda?"
anda orang mana ya kalau boleh tahu?
_/\_
QuoteRasanya, saya punya masalah dengan "ketenangan". Maksudnya, bukannya saya selalu gelisah dan tidak tenang, tapi justru sering merasakan efek negatif dari ketenangan. Sudah sering saya mengemukakan permasalahan tersebut, tapi dari tanggapan teman-teman, baik di forum muslim maupun budha, tampaknya dampak negatif dari ketenangan ini tidak mereka alami. Seolah-olah hanya saya sendirilah yang punya problem seperti itu. Apakah mungkin saya telah salah dalam menggunakan "keterampilan ketenangan"?
Saudara deva 19 yang baik, maaf ikut nimbrung ya? Bolehkah saya tahu seperti apakah ketenangan dalam Jhana yang dialami oleh sdr Deva 19?
QuoteSalah seorang teman diskusi di dhammacitta telah memberikan masukan kepada saya, bahwa saya terlalu melekat terhadap ketenangan yang ada di dalam jhana-jhana, sehingga menimbulkan kebencian (dosa) terhadap kehidupan. Dan dia menyarankan saya untuk terampil melatih diri keluar masuk jhana, sehingga antara samatha dan vipasanna dapat maju berkembang bersama-sama. Saran teman di dhammacitta tersebut telah banyak membantu saya, sehingga saya tidak lagi terlalu melekat terhadap jhana-jhana, dan tidak lagi membenci kehidupan. Walaupun demikian, saya masih punya masalah yang dihadapi.
Bolehkah saya tahu masalah apakah yang dihadapi oleh sdr Deva 19?
QuoteSelama ini, saya menggunakan suatu teknik meditasi untuk mencapai ketenangan. Sehingga saya menjadikan meditasi tersebut sebagai "senjata sakti" untuk mengatasi segala bentuk problem yang dihadapi. Selama ini, saya menganggap bahwa ketenangan itu dapat membuat masalah-masalah teratasi, baik masalah internal (mental), maupun masalah external (problem dalam kehidupan). Tapi mungkin anggapan saya tersebut salah atau berlebihan. Pada kenyataannya, ketenangan hanya menyelesaikan masalah internal, tetapi tidak menyelesaikan masalah external.
Saya setuju pernyataan sdr, permasalahan internal yang diselesaikan, bukan masalah external, tetapi kita juga perlu mengingat bahwa penyelesaian problem internal juga seringkali mempengaruhi persoalan eksternal, umpamanya kita dapat berpikir lebih jernih bila kita tenang.
Quote
Ketenangan membantu saya untuk tetap tenang ketika saya berupaya mengatasi permasalahan-permasalahan external. Tetapi yang menjadi masalah, ketenangan seringkali membuat saya mengabaikan persoalan-persoalan external tersebut, sehingga mereka tetap menjadi problem yang tidak teratasi. Sebagai contoh, saya punya banyak masalah diperkuliahan, uang semester yang belum dibayar, atau skripsi yang belum selesai. Dimana pada mulanya hal-hal seperti itu cukup membuat saya gelisah. Tapi dengan menenangkan diri dalam meditasi, saya jadi gak peduli dengan semua itu. Dan saya dapat memfokuskan diri dengan bersemangat untuk mengerjakan hal-hal lain yang ingin saya kerjakan. Dengan demikian, saya dapat terus berkarya di bidang yang lain, tetapi tidak tergerak untuk menyelesaikan masalah-masalah di kampus.
Ya memang demikian adanya, walaupun kita dapat tenang dan tidak peduli terhadap masalah yang muncul diluar, bukan berarti kita lepas tangan menghadapi persoalan yang diluar, sebenarnya keuntungan utama mendapatkan ketenangan internal adalah kita bisa tetap berbahagia menghadapi masalah (karena batin tak terpengaruh oleh masalah), tetapi bukan berarti kita menghindar atau memasa-bodohkan masalah.
QuoteIni adalah rumusan permasalahan yang membutuhkan suatu penelitian. Meditasi ketenangan bagi saya seperti usaha melupakan segala bentuk problem yang menggelisahkan hati dengan memusatkan perhatian ke satu titik konsentrasi sampai muncul ketenangan. Dan ketenangan seperti itu dapat tetap dipertahankan dalam kehidupan selama saya dapat mengabaikan masalah-masalah tersebut. Bila saya dapat mencapi jhana-jhana, kemudian saya dapat memikirkan semua problem tersebut dengan tenang tanpa menjadi rusuh hati. Tetapi, saya tidak mengambil jalan untuk mencapai jhana-jhana, ketika konsentrasi saya mencapai upacara samadhi, saya menghentikan meditasi dan melanjutkan kehidupan. Pada tahapan ini, kegelisahan dapat muncul kembali bila saya memikirkan persoalan-persoalan tertentu yang sebelumnya menggelisahkan hati. Tetapi, upacara samadhi tersebut bagi saya cukup menjadi alat yang membantu saya melupakan problem, tenang dan bersemangat dalam mengerjakan hal-hal lainnya.
Sekali lagi sebenarnya bukan melupakan problem, tetapi manfaat meditasi yang utama adalah membuat batin kita tak berduka, sedih atau cemas ketika berhadapan dengan masalah. Dan dengan demikian kita dapat berpikir lebih tenang untuk mencari jalan keluarnya.
QuoteSelain dari mengabaikan problem hidup, ketenangan tersebut membuat saya berani melakukan perbuatan buruk dan tidak takut terhadap akibat perbuatan buruk. Contoh dari permasalahan ini telah saya posting dalam judul, "Tuhan menjaga aku".
Bolehkah saya tahu mengapa demikian? mengapa menjadi tidak takut?
_/\_
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 10:31:17 PM
Quote from: Riky
dalam tulisan buku Ajahn Sumedho dia mengatakan bahwa itu mungkin2 saja..Karena ketika Buddha mencapai KebuddhaanNya,dia mengatakan kepada petapa yang pertama kali bertemu denganNya,bahwa dia adalah "Yang SADAR"..
dan saya rasa anda bukan arahatta,sotapanna saja mungkin bukan..
ya. sperti saya bilang, saya tidak mengetahuinya. jadi, penilaiannya saya serahkan kepada anda, seandainya anda merasa dapat menilai saya.
tetapi saya mengetahui bahwa saya telah mencapai jhana ke empat, itu pasti.
tidak perlu sampai memiliki kemampuan koq,saya sudah dapat menilai anda bukan seorang arahatta.. :)
baca tulisan anda ini :
Selain dari mengabaikan problem hidup, ketenangan tersebut membuat saya berani melakukan perbuatan buruk dan tidak takut terhadap akibat perbuatan buruk. Contoh dari permasalahan ini telah saya posting dalam judul, "Tuhan menjaga aku". da cukup membuktikan anda bukan Arahatta,karena sotapanna harus memiliki 7 ciri harta diantaranya adalah Hiri dan Ottappa :)
jadi saya tidak sekedar menilai belaka,dasarnya ada koq,,be calm down saja...saya orang yang kritis.. :)
Anumodana _/\_
Quote from: Ricy
bukan,nah itu multitafsir....yang saya mau katakan adalah dari awal sampai akhir anda mengatakan kata saya "tepat" itu membuktikan bahwa memang saya pada dasarnya mengerti apa yang hendak anda sampaikan,dan kebalikkannya adalah anda tidak mengerti apa yang hendak saya sampaikan,itu faktanya...ketika saya menjelaskan,baru anda bilang "tepat itu yang saya maksudkan"..
pada mulanya saya mencoba menjelaskan segala sesuatunya dengan istilah-istilah yang biasa saya gunakan. tetapi ketika saya merasa istilah-istilah tersebut tidak dapat anda fahami, maka saya
mencari tahu, sebenarnya istilah apa yang biasanya anda gunakan, atau istilah apa yang dapat anda fahami. setelah mencari tahu, lama-lama saya jadi tahu, "oh inilah istilah yang anda gunakan", dan saya memberi tahu dengan bahasa "tepat itulah yang saya maksud" untuk memberi tahu anda bahwa apa yang anda maksud tersebut dalam istilah saya adlah seperti yang tadi dijelaskan.
ketika anda menjelaskan, bahwa "yang menjadi sumber masalah adalah tanha, bukan ketenangan", misalnya. dapat saya katakan "ya itu lah yang saya maksud". walaupun kata-kata yang saya gunakan salah menurut anda, yaitu "ketenangan sebagai masalah", dan kini telah memberi tahu bahwa maksud saya adalah seperti yang anda katakan.
selain itu, banyak perbedaan faham diantara kita. tetapi saya melewatkannya, dan saya mencari apa yang bisa dianggap sefaham, lalu saya katakan "ya tepat seprti itu", untuk mengurangi rasa pertentangan yang tidak berarti.
sungguh menyenangkan bisa berdiskusi dengan anda[Deva19],tetapi waktu saya sudah selesai bentar lagi mau offline,besok lusa tidak ada waktu,senin sampai jumat sudah kuliah...sampai jumpa lagi kalau saya memiliki waktu di hari minggu ini.. :)
Anumodana _/\_
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 10:43:05 PM
Quote from: Ricy
bukan,nah itu multitafsir....yang saya mau katakan adalah dari awal sampai akhir anda mengatakan kata saya "tepat" itu membuktikan bahwa memang saya pada dasarnya mengerti apa yang hendak anda sampaikan,dan kebalikkannya adalah anda tidak mengerti apa yang hendak saya sampaikan,itu faktanya...ketika saya menjelaskan,baru anda bilang "tepat itu yang saya maksudkan"..
pada mulanya saya mencoba menjelaskan segala sesuatunya dengan istilah-istilah yang biasa saya gunakan. tetapi ketika saya merasa istilah-istilah tersebut tidak dapat anda fahami, maka saya mencari tahu, sebenarnya istilah apa yang biasanya anda gunakan, atau istilah apa yang dapat anda fahami. setelah mencari tahu, lama-lama saya jadi tahu, "oh inilah istilah yang anda gunakan", dan saya memberi tahu dengan bahasa "tepat itulah yang saya maksud" untuk memberi tahu anda bahwa apa yang anda maksud tersebut dalam istilah saya adlah seperti yang tadi dijelaskan.
ketika anda menjelaskan, bahwa "yang menjadi sumber masalah adalah tanha, bukan ketenangan", misalnya. dapat saya katakan "ya itu lah yang saya maksud". walaupun kata-kata yang saya gunakan salah menurut anda, yaitu "ketenangan sebagai masalah", dan kini telah memberi tahu bahwa maksud saya adalah seperti yang anda katakan.
selain itu, banyak perbedaan faham diantara kita. tetapi saya melewatkannya, dan saya mencari apa yang bisa dianggap sefaham, lalu saya katakan "ya tepat seprti itu", untuk mengurangi rasa pertentangan yang tidak berarti.
justru saya sangat mengharapkan banyak pertentangan diantara kita,kalau semuanya sama itu kurang ada manfaatnya,justru mau sama mau tidak sama,keluarkan semua pendapat dan pengalaman anda,itu baru berguna dan sharing namanya..jangan mau enaknya aja,tidak enaknya hajar aja.. :)
Anumodana _/\_
Quote from: Riky
tidak perlu sampai memiliki kemampuan koq,saya sudah dapat menilai anda bukan seorang arahatta.. :)
baca tulisan anda ini :
Selain dari mengabaikan problem hidup, ketenangan tersebut membuat saya berani melakukan perbuatan buruk dan tidak takut terhadap akibat perbuatan buruk. Contoh dari permasalahan ini telah saya posting dalam judul, "Tuhan menjaga aku".
da cukup membuktikan anda bukan Arahatta,karena sotapanna harus memiliki 7 ciri harta diantaranya adalah Hiri dan Ottappa :)
jadi saya tidak sekedar menilai belaka,dasarnya ada koq,,be calm down saja...saya orang yang kritis.. :)
Anumodana
terima kasih atas penilaiannya. tapi... thread ini
tidak untuk membuktikanp/b] apakah saya seorang arahata ataukah bukan. diawal post, tidaklah saya berkata, "kawan-kawan, tolong identifikasi saya, apakah saya seroang arahata, sorang putujana atukah saya seorang iblis?" walaupun begitu, saya tetap berterima kasih, karena anda mau meluangkan waktu untuk menganalisis diri saya.
saya hanya mencoba menjelaskan di post pertama, bahwa saya mempunya problem dengan "ketenangan",maaf, mksud saya dengan "tanha terhadap ketenangan". sehingga yang relevant untuk didiskusikan adalah "bagaimana cara saya mengatasi tanha tersebut". betul enggak?
Quote from: Roky
justru saya sangat mengharapkan banyak pertentangan diantara kita,kalau semuanya sama itu kurang ada manfaatnya,justru mau sama mau tidak sama,keluarkan semua pendapat dan pengalaman anda,itu baru berguna dan sharing namanya..jangan mau enaknya aja,tidak enaknya hajar aja.
ya, lalu ujung-ujungnya saya akan ditegur oleh moderator dan diban. ah, tak perlu dibahas terlalu jauh. intinya, silahkan anda gunakan metoda diskusi yang anda bisa, dan saya akan menggunakan metoda diskusi yang sya bisa, sesuai dengan pengetahuan dan kterampilan yang kita miliki masing-masing. betul enggak?
jika anda ingin mengangkat lebih banyak perbedaan dan lebih banyak menggunakan fallacy-falalcy dalam diskusi, ok silahkan. itu pilhan anda. ya kan? jika saya ingin mengangkat persamaan-persamaan, ketika terasa oleh saya anda mulai bnayak menggunakan fallacy sebagai bentuk dari "ktidak sukaan terahdap saya", maka itu juga merupakan metoda diskusi pilihan saya. tul gak? jadi, saya berusaha menajga agar suasana diskusi tetap sehat, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. ok?
Quote from: Riky_dave on 19 March 2010, 10:44:14 PM
sungguh menyenangkan bisa berdiskusi dengan anda[Deva19],tetapi waktu saya sudah selesai bentar lagi mau offline,besok lusa tidak ada waktu,senin sampai jumat sudah kuliah...sampai jumpa lagi kalau saya memiliki waktu di hari minggu ini.. :)
Anumodana _/\_
terima kasih! saya juga senang berdiskusi dengan anda. mudah-mudahan lain kali kita dpat bertemu untuk diskusi yang lebih baik lagi. _/\_
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 07:30:02 PM
Quote from: wen78 on 19 March 2010, 07:23:13 PM
hati2, pikiran dapat menciptakan illusi sebuah ketenangan yg seolah2 berada dalam ketenangan.
jika berani melakukan perbuatan buruk dan tidak takut terhadap akibat perbuatan buruk, saya rasa mungkin anda dalam illusi sebuah ketenangan yg anda ciptakan sendiri.
ketenangan yg murni, akan memberikan sebuah kesadaran yg murni dan diri sendiri akan mengetahui apa yg diri sendiri harus lakukan dan apa yg diri sendiri tidak harus lakukan.
bisa jadi seperti itu.
tapi, bisakah anda membantu saya untuk memahami dengan sebenar-benarnya bahwa ilusi adalah sebuah ilusi dan realitas sebagai sebuah realitas?
anda belum dpat memastikan bahwa ketenangan yang saya alami adlah sebuah ilusi, betul kan?
dan anda baru menduga-duga bahwa itu sebuah ilusi, iya kan?
nah, lalu bagaimana kita akan dapat memastikan bahwa itu sebuah ilusi atau bukan?
jika anda dapat membantu saya menemukan kepastian tersebut, tentulah hal itu menjadi sangat berharga bagi saya.
apakah kamu bisa membedakan berpikir sedang sadar dan sadar sedang berpikir? jika bisa, itu jawabannya
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 07:31:45 PM
Quote from: we
ketenangan yg murni, akan memberikan sebuah kesadaran yg murni dan diri sendiri akan mengetahui apa yg diri sendiri harus lakukan dan apa yg diri sendiri tidak harus lakukan.
dapat melihat apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak merupakan hasil dari pandangan vipasana (mata kebijaksanaan) dan bukan efek dari ketnangan. iya kan?
saya bukan praktisi meditasi vipasana dan saya tidak tau apakah vipasana bisa atau tidak, tetapi seharusnya bisa karena sebenarnya ini adalah dasar.
mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak, adalah hasil/akibat dari ketenangan.
bayangkan ketika orang sedang marah biasanya orang lepas kendali karena emosi. ketika lepas kendali maka sering kali melakukan hal2 yg tidak dia sadari.
dalam meditasi, biasanya melakukan ketenangan(istilah lainnya kosongkan pikiran/jangan pikirkan apa2). dalam ketenangan tsb, fokus pada object atau fokus pada nafas.
fokus ini bisa dikatakan agar tidak masuk kedalam kenikmatan ketenangan seperti ketenangan sedang nyantai tidur2an di puncak yg penuh angin sepoi2. fokus ini bisa dikatakan sebagai alat pengimbang agar menjadi sadar dalam ketenangan.
dalam menarik nafas panjang, hampir sama seperti dalam meditasi. sewaktu menarik nafas panjang dan membuangnya sebenarnya sedang "mengosongkan pikiran" agar mendapatkan kondisi yg lebih tenang agar dapat menfokuskan pada object dan memecahkannya dengan lebih tenang.
biasanya setelah buang nafas, pikiran selalu datang kembali dengan berbagai pertimbangan lagi dimana AKU kembali ikut berperan lagi sehingga kadang menarik nafas panjang terasa tidak ada efeknya.
ini hanya penjelasan sederhana dan jangan gunakan sebagai patokan. tidak ada patokan, yg ada... kamu harus alami sendiri.
untuk lebih lanjut, silahkan tanyakan ke beberapa member disini yg memang sudah berada di tingkat lanjut dalam meditasi vipasana, ato temui langsung Bhikku yg mengajarkan vipasana. ;D
Quote from: Riky_dave on 19 March 2010, 08:09:51 PM
Malah dalam kehidupan sehari-hari... di kala rapat sedang ramai berdebat.... saya tidak suka akan itu, secara otomatis saya tetap tenang... santai... kenapa? Asyik sendiri memperhatikan pikiran atau nafas saya sendiri dan tidak perduli dengan yang dibicarakan. Apa ini benar menurut kamu? wah parah waktu itu saya.... saya tidak perduli dengan lingkungan. Kan seharusnya saya tetap ikut mengikuti perbincangan rapat, tetapi seharusnya dengan modal meditasi, bathin kita tetap tenang dalam menghadapi perdebatan ataupun persoalan hidup.
seharusnya dengan ketenangan, rasa tidak suka akan rapat yg ramai debat berubah menjadi netral, yg tidak dirasakan suka juga tidak dirasakan tidak suka dan tidak mengabaikan lingkuan sekitar.
IMO, ini seperti orang yg bosen di kelas kuliah, terus dia sedang berimajinasi hal2 yg indah dipikirannya sehingga mengabaikan sekitarnya dan menikmati terus imajinasinya.
bro Deva 19 dan teman-teman adakah yang bisa memberitahu dimana link tulisan bro 19 "tuhan menjaga aku" ?
terima kasih.
Deva oh Deva kenapa perkataan engkau tidak selaras ???Apakah ini ciri seseorang yang telah menembus 4jhana yang terdiri dari 8 pencapaian??
Sungguh aneh bagi saya... :)
Quote from: Riky_dave on 20 March 2010, 10:00:11 AM
Deva oh Deva kenapa perkataan engkau tidak selaras ???Apakah ini ciri seseorang yang telah menembus 4jhana yang terdiri dari 8 pencapaian??
Sungguh aneh bagi saya... :)
alasan saya menulis itu adalah berdasarkan tulisan anda berikut ini :
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 10:51:55 PM
Quote from: Roky
justru saya sangat mengharapkan banyak pertentangan diantara kita,kalau semuanya sama itu kurang ada manfaatnya,justru mau sama mau tidak sama,keluarkan semua pendapat dan pengalaman anda,itu baru berguna dan sharing namanya..jangan mau enaknya aja,tidak enaknya hajar aja.
ya, lalu ujung-ujungnya saya akan ditegur oleh moderator dan diban.ah, tak perlu dibahas terlalu jauh. intinya, silahkan anda gunakan metoda diskusi yang anda bisa, dan saya akan menggunakan metoda diskusi yang sya bisa, sesuai dengan pengetahuan dan kterampilan yang kita miliki masing-masing. betul enggak?
[at] Global Moderator,Moderator,Sumedho
Yang dibold itu,tolong dijelaskan buat kalian yang berwenang disini..Emangnya benar ya,kalau diskusi saja bisa di ban?apalagi diskusi soal "pengalaman" pribadi?Biar kita disini semuanya jelas,dan tidak ada kesalahan dalam penggunaan wewenang...Terima Kasih..
Quotejika anda ingin mengangkat lebih banyak perbedaan dan lebih banyak menggunakan fallacy-falalcy dalam diskusi, ok silahkan. itu pilhan anda. ya kan? jika saya ingin mengangkat persamaan-persamaan, ketika terasa oleh saya anda mulai bnayak menggunakan fallacy sebagai bentuk dari "ktidak sukaan terahdap saya", maka itu juga merupakan metoda diskusi pilihan saya. tul gak? jadi, saya berusaha menajga agar suasana diskusi tetap sehat, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. ok?
Anda mau bersikap "menghakimi" ya?atas dasar apa anda menulis seperti itu?ketidaksukaan saya terhadap anda?yang benar saya perbaiki adalah "kesukaan" saya terhadap anda,dan kekritisan saya terhadap anda.. :)
Tolong jangan lupakan kata2 anda sendiri berikut ini[boleh saja orang percaya anda telah mencapai Jhana,tetapi untuk saya tidak.. :)] :
Quotebila anda dapat menjelaskan kebenaran-kebenaran dengna jelas, tanpa spekulasi, tanpa menduga-duga dan tanpa prasangka, itu namanya membantu saya dengan baik.
saya tidak tahu, apakah anda sedang bertanya, ataukah anda sedang menuduh. tapi, anggaplah anda bertanya, karena itu yang lebih baik.
bagaimana anda dapat memilih spekulasi dalam diskusi, sedangkan saya telah belajar dari agama budha bahwa kita seharusnya meninggalkan spekulasi. ini adalah bagian dari ajaran sang budha.
jika anda mengutip kata-kata dari sebuah buku dan anda menyebutkan bahwa itu adlaah dari sebuah buku, bukan kebenaran yang anda lihat secara langsung, dan itu adalah kebenaran yang harus digali secara langsung (ehipasiko), tidak menganggap benar sesuatu sebagai benar hanya karena sesuatu itu tertulis di dalam buku, maka anda tidak sedang berspekulasi.
anda disebut berspekulasi bila anda menyatakan suatu pendapat, tanpa suatu kejelasan asal-usulnya, sehingga tidak jelas apakah itu kebenaran yang dilihat langsung atau yang dikatakan orang. jadi, silahkan di sharing apa yang anda baca dan apa yang anda dengar dari para ahli meditasi tsb.
janganlah kita terkurung di dalam kata-kata. tetapi, kita harus melihat kepada makna dibalik kata-kata tersebut. bisa jadi, kita membuat pernyataan yang bertentangan pada lahirnya, tetapi hakikatnya tidak bertentangan. sang budha mengatakan bahwa yang menjadi sumber dari perselisihan para cendikian adalah "keterikatan pada konsepsi". jadi, sesuatu tidak harus dikatakan dengan cara yang sama.
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 10:11:54 PM
Quote from: Riky
"meninggalkan spekulasi" saya mengartikannya melihat sebagaimana adanya..
tepat, itulah yang dsebut meninggalkan spekulasi. jadi, masihkah anda tidak sanggup meninggalkan spekulasi dalam diskusi?
asumsi bukanlah spekulasi, jika asumsi tersebut dipandang sebagai asumsi saja, berati orang itu melihat apa adanya, tul enggak.
jadi kesimpulan saya,sudahkah anda sendiri meninggalkan "spekulasi" anda terhadap diri saya dan menganggap diri saya tidak suka kepada anda? :)
Anumodana _/\_
Jika kisah yang Sdr. Deva19 utarakan adalah benar, dan pertanyaannya mengapa demikian, maka jawabannya simple yaitu anda kurang berlatih Sila (kemoralan) dan mungkin tujuan anda untuk bermeditasi adalah salah (sebagai pelarian, seperti Sdr. hatred sampaikan). Sila, Samadhi (meditasi), dan Panna adalah 3 hal yang saling menunjang.
Tetapi jika pertanyaannya adalah apakah yang anda alami adalah jhana, maka jawabannya ada 2, yaitu menurut pengalaman dan menurut teori.
Menurut pengalaman, saya menunggu jawaban anda terhadap pertanyaan Sdr. Fabian. Dan saya bukan ahlinya.
Menurut teori, saya yakin anda belum menembus jhana (apalagi ke-4), baik itu berdasarkan teori yang ada dalam Buddhism, ataupun berdasarkan teori yang anda buat sendiri.
Menurut Buddhistik, mereka yang menembus jhana ke-4 memiliki moral yang tinggi. Byapada, yaitu keinginan jahat atau itikad jahat / dendam sudah teratasi. Masih adakah keinginan atau itikad jahat dalam diri anda? Silahkan diobservasi sendiri secara jujur dimulai misalnya dari tujuan anda membuat posting ini, dari tujuan anda masuk ke forum ini, dari tujuan anda bekerja, dari tujuan anda bermeditasi, dst.
Menurut teori Anda (teori "Cahaya"), anda mengatakan kekuatan jhana disebut dengan "cahaya". Jika anda sudah menembus jhana ke-4 seharusnya anda sudah sekaliber para nabi dan para orang bijaksana yang memiliki "cahaya" yang salah satu kemampuannya adalah "bahasa cahaya". Namun dari kisah yang anda sampaikan dimana anda justru berani melakukan perbuatan buruk dan tidak takut terhadap akibat perbuatan buruk, ini menandakan anda belum memiliki sifat para nabi dan para bijaksana, anda belum memiliki apa yang anda sebut "cahaya". Ini dari teori yang anda ciptakan sendiri untuk menggambarkan apa itu jhana, kecuali konsentrasi anda tidak kuat sehingga lupa dengan teori anda sendiri.
Demikianlah Sdr. Deva19, dari kedua teori inilah saya katakan , anda belum mencapai jhana ke-4.
Quote from: Riky_dave on 20 March 2010, 10:23:24 AM
Quote from: Riky_dave on 20 March 2010, 10:00:11 AM
Deva oh Deva kenapa perkataan engkau tidak selaras ???Apakah ini ciri seseorang yang telah menembus 4jhana yang terdiri dari 8 pencapaian??
Sungguh aneh bagi saya... :)
alasan saya menulis itu adalah berdasarkan tulisan anda berikut ini :
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 10:51:55 PM
Quote from: Roky
justru saya sangat mengharapkan banyak pertentangan diantara kita,kalau semuanya sama itu kurang ada manfaatnya,justru mau sama mau tidak sama,keluarkan semua pendapat dan pengalaman anda,itu baru berguna dan sharing namanya..jangan mau enaknya aja,tidak enaknya hajar aja.
ya, lalu ujung-ujungnya saya akan ditegur oleh moderator dan diban.ah, tak perlu dibahas terlalu jauh. intinya, silahkan anda gunakan metoda diskusi yang anda bisa, dan saya akan menggunakan metoda diskusi yang sya bisa, sesuai dengan pengetahuan dan kterampilan yang kita miliki masing-masing. betul enggak?
[at] Global Moderator,Moderator,Sumedho
Yang dibold itu,tolong dijelaskan buat kalian yang berwenang disini..Emangnya benar ya,kalau diskusi saja bisa di ban?apalagi diskusi soal "pengalaman" pribadi?Biar kita disini semuanya jelas,dan tidak ada kesalahan dalam penggunaan wewenang...Terima Kasih..
Saya rasa bisa di-banned kalau:
1. Dalam diskusi berusaha menggantikan ajaran Buddha Gotama. e.g.:
-Buddha Gotama: pembunuhan tidak boleh
-Banned "Buddha": menurut Para Buddha, pembunuhan ada yang boleh, ada yang tidak
Alasan di-banned: cukup 1 Ajaran Buddha saja
2. Pengalaman pribadinya terlalu pribadi (=tidak ada yang mengerti) dan dibawa pada inverse ad hominem. e.g.: menggunakan kalimat seperti "Kalian bodoh maka tidak mengerti logika saya yang sudah menembus 15 jhana dan berstatus profesor Honoris Causa di bidang logika!" ketika memang tidak ada seorang pun yang mengerti.
Alasan di-banned: terlalu pintar. Lebih baik cari level universitas, jangan level SD seperti di DC.
Quote from: Kelana on 20 March 2010, 10:40:16 AM
Menurut Buddhistik, mereka yang menembus jhana ke-4 memiliki moral yang tinggi. Byapada, yaitu keinginan jahat atau itikad jahat / dendam sudah teratasi. Masih adakah keinginan atau itikad jahat dalam diri anda? Silahkan diobservasi sendiri secara jujur dimulai misalnya dari tujuan anda membuat posting ini, dari tujuan anda masuk ke forum ini, dari tujuan anda bekerja, dari tujuan anda bermeditasi, dst.
Tambahan saja, byapada sudah hilang pada jhana I dengan munculnya Piti, apalagi di Jhana IV.
QuoteSaya rasa bisa di-banned kalau:
1. Dalam diskusi berusaha menggantikan ajaran Buddha Gotama. e.g.:
-Buddha Gotama: pembunuhan tidak boleh
-Banned "Buddha": menurut Para Buddha, pembunuhan ada yang boleh, ada yang tidak
Alasan di-banned: cukup 1 Ajaran Buddha saja
Saya tidak paham maksudnya apa yang ini?
Quote2. Pengalaman pribadinya terlalu pribadi (=tidak ada yang mengerti) dan dibawa pada inverse ad hominem. e.g.: menggunakan kalimat seperti "Kalian bodoh maka tidak mengerti logika saya yang sudah menembus 15 jhana dan berstatus profesor Honoris Causa di bidang logika!" ketika memang tidak ada seorang pun yang mengerti.
Alasan di-banned: terlalu pintar. Lebih baik cari level universitas, jangan level SD seperti di DC.
yang ini juga kurang jelas..multitafisir.. :)
Anumodana _/\_
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 10:24:05 PM
Quote from: peace
Jika memang anda benar2 tahu bahwa sila mendukung pencapaian jhana, pertanyaannya adalh mengapa anda justru merasa berani berbuat jahat dan tidak takut akan perbuatan jahat. Setelah jhana didapat melalui praktik moralitas, apakah kemudian jhana justru menimbulkn hancurnya moralitas karena seperti apa yang anda alami bahwa anda justru berani berbuat jahat? Mungkin ini bukan pertanyaan saya saja, tapi akan menjadi pertanyaan para pembaca juga.
begini....
moralitas mendukung jhana. tanpa moralitas jhana sangat sulit untuk dicapai, karena konsentrasi tidak memiliki landasannya. tetapi moralitas bukan satu-satunya landasan bagi konsentrasi. dan sang budha tidak pernah mengatakan bahwa moralitas merupakan satu-satunya landasan dari jhana. orang-orang jhanat dengan berlandasakan kepada viriya dapat mengembangkan kekuatan konsentrasi hingga mencapai jhana-jhana.
pada saat jhana tercapai, tentu saja di situ tidak ada kekotoran di dalam batin. bukan dalam arti benar-benar tidak ada, tetapi kekotran hanya mengendap karena tertekan oleh kkeuatan konsntrasi. tetapi, jhana itu bukanlah ssuatu yang kekal, dan batin sseorang tidak dapat terus menerus berada di dalamnya. ketika dia keluar dari jhana, kekotoran yang tadi mengendap di dalam batinnya dapat muncul lagi kepermukaan. dengan demikian, dia menempuh jalan yang menurun, bukan naik ke tingkat jhana selanjutnya. pada saat penurunan inilah kejahatan dapat muncul disertai dengan pengaruh dari kekuata-kekuatan jhana yang masih berbekas di dalam dirinya.
seandianya, dulu, ia menjalankan praktik moralitas dan menjadikan moralitas tersebut landasan bagi jhana yang dicapainya, maka karena kehendak bebas yang dimilikinya, stelah pencapaian jhana sseorang dapat berbalik arah dengan meninggalkan moralitas dan berbuat jahat, serta menggunakan kkuatan jhana-jhana untuk mendukung kejahatannya.
Kelihatannya TS sudah mengetahui jawaban atas kebingungannya sendiri, bahwa...
Pencapaian Jhana (saja) tidak dapat membebaskan atau mengikis kekotoran batin.
Ajahn Chah mengilustrasikannya dengan batu yang menutupi rumput. Selama batu menutupi rumput (saat berdiam di dalam ketenangan), rumput tidak dapat tumbuh. Namun apabila batu yang menutupi rumput diangkat (keluar dari ketenangan) maka rumput (kekotoran batin) akan tumbuh kembali.
Seseorang yg telah mencapai tingkat konsentrasi tinggi masih sangat mungkin melakukan perbuatan buruk.
Saya teringat suatu kisah pada saat Bodhisatva merupakan seorang pertapa dengan kemampuan konsentrasi yang tinggi hingga mempunyai kesaktian seperti dapat terbang di angkasa. Namun sang pertapa masih tidak dapat mengontrol hawa nafsunya. Pada suatu kesempatan beliau tidak dapat menahan diri untuk melakukan hasratnya dengan seorang permaisuri yg secara tidak sengaja pakaiannya tersingkap oleh kebasan angin dari jubah pertapa pada saat mendarat dari angkasa untuk menerima dana makanan dari sang permaisuri di istananya.
Menjadi berani melakukan perbuatan buruk ...... saya rasa bukan efek dari ketenangan....melainkan kegelapan/kebodohan batin (termasuk keserakahan dan kebencian di dalamnya). Bisa jadi seseorang mendapatkan kesaktian akibat pencapai konsentrasi yang tinggi. Namun dikarenakan kurangnya kebijaksanaan, dan kuatnya kekotoran batin serta lingkungan yg mendukung hal tersebut akibat kamma lampau maka akan dapat membawa akibat yang sangat merugikan.
Inilah salah satu bahaya berlatih meditasi ketenangan tanpa landasan kebijaksanaan, kehadiran seorang guru yang baik adalah salah satu jalan agar tidak tersesat. Karena forum ini ada dalam lingkup Buddhis, saya sarankan untuk meminta nasehat dan petunjuk pada Bhikku yang ada di sekitar anda tinggal (tanpa maksud mengecilkan saran dan petunjuk dari para member disini tentunya).
Quote from: hendrako on 20 March 2010, 12:02:08 PM
Quote from: Deva19 on 19 March 2010, 10:24:05 PM
Quote from: peace
Jika memang anda benar2 tahu bahwa sila mendukung pencapaian jhana, pertanyaannya adalh mengapa anda justru merasa berani berbuat jahat dan tidak takut akan perbuatan jahat. Setelah jhana didapat melalui praktik moralitas, apakah kemudian jhana justru menimbulkn hancurnya moralitas karena seperti apa yang anda alami bahwa anda justru berani berbuat jahat? Mungkin ini bukan pertanyaan saya saja, tapi akan menjadi pertanyaan para pembaca juga.
begini....
moralitas mendukung jhana. tanpa moralitas jhana sangat sulit untuk dicapai, karena konsentrasi tidak memiliki landasannya. tetapi moralitas bukan satu-satunya landasan bagi konsentrasi. dan sang budha tidak pernah mengatakan bahwa moralitas merupakan satu-satunya landasan dari jhana. orang-orang jhanat dengan berlandasakan kepada viriya dapat mengembangkan kekuatan konsentrasi hingga mencapai jhana-jhana.
pada saat jhana tercapai, tentu saja di situ tidak ada kekotoran di dalam batin. bukan dalam arti benar-benar tidak ada, tetapi kekotran hanya mengendap karena tertekan oleh kkeuatan konsntrasi. tetapi, jhana itu bukanlah ssuatu yang kekal, dan batin sseorang tidak dapat terus menerus berada di dalamnya. ketika dia keluar dari jhana, kekotoran yang tadi mengendap di dalam batinnya dapat muncul lagi kepermukaan. dengan demikian, dia menempuh jalan yang menurun, bukan naik ke tingkat jhana selanjutnya. pada saat penurunan inilah kejahatan dapat muncul disertai dengan pengaruh dari kekuata-kekuatan jhana yang masih berbekas di dalam dirinya.
seandianya, dulu, ia menjalankan praktik moralitas dan menjadikan moralitas tersebut landasan bagi jhana yang dicapainya, maka karena kehendak bebas yang dimilikinya, stelah pencapaian jhana sseorang dapat berbalik arah dengan meninggalkan moralitas dan berbuat jahat, serta menggunakan kkuatan jhana-jhana untuk mendukung kejahatannya.
Kelihatannya TS sudah mengetahui jawaban atas kebingungannya sendiri, bahwa...
Pencapaian Jhana (saja) tidak dapat membebaskan atau mengikis kekotoran batin.
Ajahn Chah mengilustrasikannya dengan batu yang menutupi rumput. Selama batu menutupi rumput (saat berdiam di dalam ketenangan), rumput tidak dapat tumbuh. Namun apabila batu yang menutupi rumput diangkat (keluar dari ketenangan) maka rumput (kekotoran batin) akan tumbuh kembali.
Seseorang yg telah mencapai tingkat konsentrasi tinggi masih sangat mungkin melakukan perbuatan buruk.
Saya teringat suatu kisah pada saat Bodhisatva merupakan seorang pertapa dengan kemampuan konsentrasi yang tinggi hingga mempunyai kesaktian seperti dapat terbang di angkasa. Namun sang pertapa masih tidak dapat mengontrol hawa nafsunya. Pada suatu kesempatan beliau tidak dapat menahan diri untuk melakukan hasratnya dengan seorang permaisuri yg secara tidak sengaja pakaiannya tersingkap oleh kebasan angin dari jubah pertapa pada saat mendarat dari angkasa untuk menerima dana makanan dari sang permaisuri di istananya.
Menjadi berani melakukan perbuatan buruk ...... saya rasa bukan efek dari ketenangan....melainkan kegelapan/kebodohan batin (termasuk keserakahan dan kebencian di dalamnya). Bisa jadi seseorang mendapatkan kesaktian akibat pencapai konsentrasi yang tinggi. Namun dikarenakan kurangnya kebijaksanaan, dan kuatnya kekotoran batin serta lingkungan yg mendukung hal tersebut akibat kamma lampau maka akan dapat membawa akibat yang sangat merugikan.
Inilah salah satu bahaya berlatih meditasi ketenangan tanpa landasan kebijaksanaan, kehadiran seorang guru yang baik adalah salah satu jalan agar tidak tersesat. Karena forum ini ada dalam lingkup Buddhis, saya sarankan untuk meminta nasehat dan petunjuk pada Bhikku yang ada di sekitar anda tinggal (tanpa maksud mengecilkan saran dan petunjuk dari para member disini tentunya).
Saya teringat suatu kisah pada saat Bodhisatva merupakan seorang pertapa dengan kemampuan konsentrasi yang tinggi hingga mempunyai kesaktian seperti dapat terbang di angkasa. Namun sang pertapa masih
tidak dapat mengontrol hawa nafsunya. Pada suatu kesempatan beliau tidak dapat menahan diri untuk melakukan hasratnya dengan seorang permaisuri yg secara tidak sengaja pakaiannya tersingkap
Boleh tanya, kalau "kesempatan" tsb terjadi pada diri gw, dan bisa cuma lirik2 sambil senyum aja... apakah gw itu udah gak jauh dari Bodhisatva (maksudnya tingkat kesujuan lho) ?
Boleh tau kenapa dia gak bisa mengontrol dirinya? ya?...
_/\_ :))
maaf teman-teman,
saya kira diskusinya harus diluruskan.
saya tidak membuka diskusi ini untuk mengidentifikasi apakah saya telah dapat menembus jhana ke 4 ataukah tidak, apakah saya seorang arahat ataukah seroang iblis, apakah saya seorang pengkhayal ataukah seorang yang realistis
dan saya juga tidak bermaksud untuk mengarahkan anda untuk mempercayai bahwa saya seorang arahat, seorang yang telah tembus hingga jhana ke 4. tentu saja, anda semua boleh menyatakan ketidak percayaan anda akan pernyataan-pernyataan saya yang menyatakan diri saya telah tembus ke jhana ke 4. tapi cukuplah sampai di situ, tidak usah diperpanjang lagi, supaya tidak menyimpang jauh dari maksud thread.
sekali lagi, saya rumuskan permasalahannya.
"ketenangan bisa merupakan sebuah masalah dalam kehidupan". benarkah ini? kemudian kemukakan argumen-argumen anda.
jika benar ketenangan bisa menjadi sebuah masalah, maka yang perlu didiskusikan selanjutnya adalah "ketenangan seerti apa yang bisa menjadi masalah". dan "bagaimana cara mengatasinya".
mengomentrasi pribadi saya terlalu jauh, tidaklah relevan. itu namanya personal attack. cukuplah komentarsi pribadi saya seperlunya saja, tapi kalau anda au menyelidiki dan membuktikan kebenaran bahwa diri saya belumlah seorang yang tembus ke jhana ke 4, maka ada baiknya anda buat tread tersendiri mengenai itu, misalnya dengan judul "analisis pengalaman spiritual deva19", dll. lalu anda undang saya ke situ, nanti saya akan mendiskusikannya di sana.
bagaimana tuan-tuan?
IMHO, ketenangan bisa menjadi masalah dalam kehidupan...
kalau cewek cantik tsb (rambut panjang) tapi tidak bisa bersuara,
ketawa, ataupun cekikikan....
tentu itu bermasalah besar.... sory bukan mau OOT, tapi itulah kenyataan
tergantung sudut pandang mana yg dilihat....
Pompa air listrik didepan rumahku bila sewaktu dioperasikan TIDAK BERISIK (baca ketenangan),
maka sulit bagi saya untuk mengetahui bahwa orang rumah sedang pakai air,
ataupun ada keran air yg belum ditutup sehingga pompa air tsb ter jalan (bersuara)....
jadi sebagian hidupku pun bermasalah dengan KETENGANGAN....
(bagaiman mana menikmatin suara manja seseorang bila itu KETENANGAN ?)
mohon dikoreksi kalau pemikiran gw salah....
Ikut kasih pendapat ...
Quote"ketenangan bisa merupakan sebuah masalah dalam kehidupan". benarkah ini? kemudian kemukakan argumen-argumen anda.
Penilaian tentang hal ini sangat bergantung dan tidak mutlak, karena 'ketenangan' hanya sebuah kondisi yang masih akan terkondisi oleh faktor-faktor lain ...
Kalau ketenangan itu dialami oleh 'diri' sendiri, sepanjang ketenangan itu 'tidak terganggu' oleh bentuk pikiran lain yang timbul (misal: penilaian benar/salah dari kondisi itu serta akibat-akibatnya), itu tak jadi masalah ... Sebaliknya, kalau sudah muncul bentuk-bentuk pikiran lain (seperti contoh diatas), maka itu akan menjadi masalah ...
Sekedar saran, kalau ketenangan itu telah 'berubah bentuk' menjadi sebuah kegelisahan, itu harus dipahami, bahwa segala sesuatu yang berkondisi tidak akan pernah tetap (kekal) bersifat berubah-ubah (anicca) ... Ketenangan itu hanyalah kondisi yang dipertahankan dan akan berubah seiring dengan timbulnya bentuk-bentuk pikiran lain ...
Dengan demikian, akan ada kemungkinan untuk keluar dari ketenangan itu (tidak melekat pada kondisi) dengan mengerti secara jelas perubahan-perubahan ini dengan apa adanya ...
Quotejika benar ketenangan bisa menjadi sebuah masalah, maka yang perlu didiskusikan selanjutnya adalah "ketenangan seerti apa yang bisa menjadi masalah". dan "bagaimana cara mengatasinya".
Kalau ketenangan yang anda maksud bukan sebatas internal (hanya sebatas berkata-kata), memang ketenangan bisa menimbulkan penilaian 'ganjil' seperti ketenangan yang 'tidak berada pada tempatnya' ... Sebagai contoh: Bagaimana kalau ketenangan (suasana tenang) itu terjadi dipasar tradisional ...
salam,
ketenangan macam apa? mungkin pertanyaan yang lebih tepat. banyak kondisi ketenangan dalam pikiran.
semestinya lebih tepat mungkin kejernihan melihat sesuatu dan tidak terguncang ketika mengalaminya dan mampu mengerjakan atau memperbaiki satu persatu permasalahan yang ada dengan tehnik tehnik yang telah anda pelajari dan kembangkan kemudian dalam diri anda. dan hal ini kadang tergantung kamma baik anda.
kondisi ketenangan hanya lah sebuah tangga yang harus dipijak oleh kaki anda menujuk tangga berikutnya.
Quote from: Deva19 on 20 March 2010, 05:43:45 PM
"ketenangan bisa merupakan sebuah masalah dalam kehidupan". benarkah ini?
sebelumnya, mo tanya dulu.
ketenangan apa yg dimaksud disini? ketenangan batin seutuhnya atau ketenangan dimana saya(anda) merasa tenang.
Quote from: fabian c on 20 March 2010, 07:28:52 AM
bro Deva 19 dan teman-teman adakah yang bisa memberitahu dimana link tulisan bro 19 "tuhan menjaga aku" ?
terima kasih.
link ini juga gw cari-cari, tapi belum ketemu .....
apa Bro deva 19 bisa bantu menemukan kembali link ini di mana?
Thanks .....
Quote from: virya
link ini juga gw cari-cari, tapi belum ketemu .....
apa Bro deva 19 bisa bantu menemukan kembali link ini di mana?
Thanks .....
saya mempostingnya di sini :
Quote
Tapi aku cukup terampil dalam meditasi ketenangan. Aku pun segera menuju perbukitan untuk bermeditasi di sana. Dalam setengah jam batinku telah mencapai ketenangan. Tidak ada lagi rasa takut, khawatir, gelisah, ragu dan bingung. Benar-benar tenang.
Tak lama usai meditasi, sms datang dari Yanti, "gimana A, jadi enggak?"
"tentu saja!" jawab saya.
selengkapnya di : /yang-indah-dan-nikmat-t37905/#p588602
judul asli artikel itu adalah Tuhan Menjaga Aku. tapi di situ, saya memposting untuk reply thread Yang Indah dan Nikmat.
Quote from: Deva19 on 20 March 2010, 05:43:45 PM
maaf teman-teman,
saya kira diskusinya harus diluruskan.
saya tidak membuka diskusi ini untuk mengidentifikasi apakah saya telah dapat menembus jhana ke 4 ataukah tidak, apakah saya seorang arahat ataukah seroang iblis, apakah saya seorang pengkhayal ataukah seorang yang realistis
dan saya juga tidak bermaksud untuk mengarahkan anda untuk mempercayai bahwa saya seorang arahat, seorang yang telah tembus hingga jhana ke 4. tentu saja, anda semua boleh menyatakan ketidak percayaan anda akan pernyataan-pernyataan saya yang menyatakan diri saya telah tembus ke jhana ke 4. tapi cukuplah sampai di situ, tidak usah diperpanjang lagi, supaya tidak menyimpang jauh dari maksud thread.
sekali lagi, saya rumuskan permasalahannya.
"ketenangan bisa merupakan sebuah masalah dalam kehidupan". benarkah ini? kemudian kemukakan argumen-argumen anda.
jika benar ketenangan bisa menjadi sebuah masalah, maka yang perlu didiskusikan selanjutnya adalah "ketenangan seerti apa yang bisa menjadi masalah". dan "bagaimana cara mengatasinya".
mengomentrasi pribadi saya terlalu jauh, tidaklah relevan. itu namanya personal attack. cukuplah komentarsi pribadi saya seperlunya saja, tapi kalau anda au menyelidiki dan membuktikan kebenaran bahwa diri saya belumlah seorang yang tembus ke jhana ke 4, maka ada baiknya anda buat tread tersendiri mengenai itu, misalnya dengan judul "analisis pengalaman spiritual deva19", dll. lalu anda undang saya ke situ, nanti saya akan mendiskusikannya di sana.
bagaimana tuan-tuan?
yang membaca bukan saya,anda,dan member yang membalas postingan anda saja..banyak orang yang membaca,dan kalimat anda meresahkan orang lain..apalagi kalimat "anda sudah mencapai jhana ke 4" tanpa pembuktian apapun atau tak bisa dibuktikan sama sekali.. :)
Anumodana _/\_
QuoteSaya rasa bisa di-banned kalau:
1. Dalam diskusi berusaha menggantikan ajaran Buddha Gotama. e.g.:
-Buddha Gotama: pembunuhan tidak boleh
-Banned "Buddha": menurut Para Buddha, pembunuhan ada yang boleh, ada yang tidak
Alasan di-banned: cukup 1 Ajaran Buddha saja
Quote from: Riky
Saya tidak paham maksudnya apa yang ini?
itu artinya anda harus berhati-hati. jika anda punya faham yang berbeda dengan moderator di sini, maka anda bisa kena tuduhan "menggantikan ajaran Budha Gotama", dan anda akan kena banned, apalagi bila status anda bukan seorang budhis, bisa sangat fatal akibatnya.
bila anda belum mengerti karakter moderator di sini, marilah kita menjaga agar diskusi kita "tidak terlalu panas". karena nanti, sayalah yang jadi bulanan-bulanan mereka. saya membutuhkan forum ini, untuk mendiskusikan dhamma. jdi, saya harus tunduk pada penguasa forum ini, agar saya tidak di bann untuk ke empat kali nya. understand?
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 01:49:52 PM
QuoteSaya rasa bisa di-banned kalau:
1. Dalam diskusi berusaha menggantikan ajaran Buddha Gotama. e.g.:
-Buddha Gotama: pembunuhan tidak boleh
-Banned "Buddha": menurut Para Buddha, pembunuhan ada yang boleh, ada yang tidak
Alasan di-banned: cukup 1 Ajaran Buddha saja
Quote from: Riky
Saya tidak paham maksudnya apa yang ini?
itu artinya anda harus berhati-hati. jika anda punya faham yang berbeda dengan moderator di sini, maka anda bisa kena tuduhan "menggantikan ajaran Budha Gotama", dan anda akan kena banned, apalagi bila status anda bukan seorang budhis, bisa sangat fatal akibatnya.
bila anda belum mengerti karakter moderator di sini, marilah kita menjaga agar diskusi kita "tidak terlalu panas". karena nanti, sayalah yang jadi bulanan-bulanan mereka. saya membutuhkan forum ini, untuk mendiskusikan dhamma. jdi, saya harus tunduk pada penguasa forum ini, agar saya tidak di bann untuk ke empat kali nya. understand?
kalau anda sudah di ban sampai 3 kali,masalahnya bukan ada di forum tapi ada di anda,coba bercermin,understood?:)
Anumodana _/\_
Quote from: Riky
yang membaca bukan saya,anda,dan member yang membalas postingan anda saja..banyak orang yang membaca,dan kalimat anda meresahkan orang lain..apalagi kalimat "anda sudah mencapai jhana ke 4" tanpa pembuktian apapun atau tak bisa dibuktikan sama sekali..
he..he.. saya benar-benar tak menyangka, kalau pengakuan saya tersebut bisa meresahkan umat budhis. saya ingin bikin polling, benarkah mereka resah dengan pengakuan saya tersebut?
lagi pula, seperti saya bilang, bila memang anda sangat ingin membuktikan bahwa saya bukanlah orang yang tembus hingga jhana-4, maka buatlah thread tersendiri, agar pembahasannya relevan, tidak terlalu jauh menyimpang dari topik diskusi.
untuk di sini, marilah kita kembali ke topik diskusi yang sebenarnya!
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 01:54:45 PM
Quote from: Riky
yang membaca bukan saya,anda,dan member yang membalas postingan anda saja..banyak orang yang membaca,dan kalimat anda meresahkan orang lain..apalagi kalimat "anda sudah mencapai jhana ke 4" tanpa pembuktian apapun atau tak bisa dibuktikan sama sekali..
he..he.. saya benar-benar tak menyangka, kalau pengakuan saya tersebut bisa meresahkan umat budhis. saya ingin bikin polling, benarkah mereka resah dengan pengakuan saya tersebut?
lagi pula, seperti saya bilang, bila memang anda sangat ingin membuktikan bahwa saya bukanlah orang yang tembus hingga jhana-4, maka buatlah thread tersendiri, agar pembahasannya relevan, tidak terlalu jauh menyimpang dari topik diskusi.
untuk di sini, marilah kita kembali ke topik diskusi yang sebenarnya!
eit..sori saya tidak berkeinginan seperti itu,yang saya lihat anda komentar2 anda yang tidak selaras,dan sampai saat ini anda tidak berani menjawab pertanyaan tersebut,malah lebih banyak anda bersikap "terlalu posesif".. :)
mau saya quote kan lagi perkataan anda yang tidak selaras? :)
masa orang yang telah mencapai Jhana sampai ke 4,konsentrasinya payah banget?
Anumodana _/\_
Quote from: Riky
kalau anda sudah di ban sampai 3 kali,masalahnya bukan ada di forum tapi ada di anda,coba bercermin,understood?
trus kenapa diskusi nya jadi mengarah tentang "anda", "anda" dan "anda". coba pusatkan perhtaian kita ke persoalan "ketenangan", dan lupakan tentang "saya". kupas tuntas "ketenangan" dan jangan mengupas "diri saya". ok!
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 01:57:34 PM
Quote from: Riky
kalau anda sudah di ban sampai 3 kali,masalahnya bukan ada di forum tapi ada di anda,coba bercermin,understood?
trus kenapa diskusi nya jadi mengarah tentang "anda", "anda" dan "anda". coba pusatkan perhtaian kita ke persoalan "ketenangan", dan lupakan tentang "saya". kupas tuntas "ketenangan" dan jangan mengupas "diri saya". ok!
yaaaa......karena ANDA yang membuka THREAD ini..karena ANDA yang menceritakan PENGALAMAN PRIBADI ANDA,ya wajar dunk mengarah ke ANDA.. :P
masa mengarah ke saya??
[itu bukan teriakan ya...jangan dianggap teriakan..please be wise.. :P]
Anumodana _/\_
kan saya sudah meluruskan, bahwa topik diskusi ini adalah "ketenangan sebagai masalah", bukan "saya sebagai masalah". kalau anda mau menjadikan diri saya sebagai masalah, itu harus bikin tread baru yang sesuai.
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 02:02:32 PM
kan saya sudah meluruskan, bahwa topik diskusi ini adalah "ketenangan sebagai masalah", bukan "saya sebagai masalah". kalau anda mau menjadikan diri saya sebagai masalah, itu harus bikin tread baru yang sesuai.
aduh,kan sudah saya tegaskan saya tidak bilang anda menjadi masalah,yang menjadi masalah adalah pengalaman pribadi anda yang tidak sesuai dan tidak ada titik temunya...begitu toh..dan lagi semua komentar saya mengarah ke tulisan anda sendiri,...saya hanya mengomentari apa yang anda tuliskan koq.. :)
saya kira orang berdiskusi itu harus mengerti topik diskusinya dengan benar, kemudian membuat komentar-komentar yang relvant, tidak oot dengan membahas hal-hal yang tidak berhubungan dengan topik diskusi. sedikit menyimpang itu gpp, sebagai selingan, tapi kalo terus menerus menyimpang, maka diskusi tersebut tidak efektif, dan tidak baik hasilnya.
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 02:06:11 PM
saya kira orang berdiskusi itu harus mengerti topik diskusinya dengan benar, kemudian membuat komentar-komentar yang relvant, tidak oot dengan membahas hal-hal yang tidak berhubungan dengan topik diskusi. sedikit menyimpang itu gpp, sebagai selingan, tapi kalo terus menerus menyimpang, maka diskusi tersebut tidak efektif, dan tidak baik hasilnya.
bagian mana yang tidak relevan,langsung di quote kan saja,tidak perlu seperti ini...memberikan statement tanpa ada kejelasan didalamnya.. :)
Quote
aduh,kan sudah saya tegaskan saya tidak bilang anda menjadi masalah,yang menjadi masalah adalah pengalaman pribadi anda yang tidak sesuai dan tidak ada titik temunya...begitu toh..dan lagi semua komentar saya mengarah ke tulisan anda sendiri,...saya hanya mengomentari apa yang anda tuliskan koq.
mari pertegas bung!
apa yang ingin anda sampaikan!
anda sudah berkali-kali menyatakan bahwa diri saya bukanlah orang yang sudah tembus hingga jhana ke-4. apakah tidak cukup menyatakannya sekali saja, dan selesai.
pengalaman pribadi saya tidak sesuai? ok. tidak ada titik temunya? Ok!
perlu berapa kali lagi anda bilang, kalo saya belum sampai ke jhana-4?
Quote from: Riky
bagian mana yang tidak relevan,langsung di quote kan saja,tidak perlu seperti ini...memberikan statement tanpa ada kejelasan didalamnya..
topik diskusi : Ketenangan sebagai masalah
koment anda ke saya : orang lain boleh percaya anda telah mencapai jhana ke empat, tapi saya tidak mempercayainya.
saya : apakah mustahil sebuah ketenangan menjadi masalah ?
koment anda : anda mengaku sudah sampai jhana-4, tapi konsentrasinya payah.
itu ilustrasi dari koment anda. kira-kira relevant dengan topik diskusi enggak?
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 02:08:52 PM
Quote
aduh,kan sudah saya tegaskan saya tidak bilang anda menjadi masalah,yang menjadi masalah adalah pengalaman pribadi anda yang tidak sesuai dan tidak ada titik temunya...begitu toh..dan lagi semua komentar saya mengarah ke tulisan anda sendiri,...saya hanya mengomentari apa yang anda tuliskan koq.
mari pertegas bung!
apa yang ingin anda sampaikan!
anda sudah berkali-kali menyatakan bahwa diri saya bukanlah orang yang sudah tembus hingga jhana ke-4. apakah tidak cukup menyatakannya sekali saja, dan selesai.
pengalaman pribadi saya tidak sesuai? ok. tidak ada titik temunya? Ok!
perlu berapa kali lagi anda bilang, kalo saya belum sampai ke jhana-4?
sudah berapa kali anda bilang bahwa diri anda telah mencapai Jhana ke 4?
Quotemakasih mbak. apa yang anda tulis di signature anda telah memberi saya inspirasi.
adapun di sutta tersebut, di sana dijelaskan bagaimana deskripsi dari jhana-jhana. dan saya telah mengalaminya secara langsung mbak, mulai dari jhana pertama hingga jhana ke empat.
orang yang mencapai jhana keempat, sharusnya tampak hebat, bukannya tampak "cengeng" seperti diri saya ini mbak. tapi, saya kan tidak bilang "saat ini" saya mencapai jhana keempat.
jhana muncul dan lenyap, seperti objek mental lainnya. pencapaian jhana dapat terjadi pada suatu kali, lalu bati kita dapat menurut dan terus menurun hingga ke tingkat yang paling rendah. betul gak mbak?
ya. sperti saya bilang, saya tidak mengetahuinya. jadi, penilaiannya saya serahkan kepada anda, seandainya anda merasa dapat menilai saya.
tetapi saya mengetahui bahwa saya telah mencapai jhana ke empat, itu pasti.
saya hanya dapat mengetahui bahwa saya mencapai jhana ke satu ke dua ketiga dan keempat setelah saya keluar dari jhana, bahkan jauh hari ssudahnya, yaitu ketika saya berdiskusi di sini, membaca artikel-artikel tentang jhana, ciri-ciri pencapaian jhana, barlah kemudian saya mengingat kembali pengalaman jhana-jhana yang tlah lewat itu, mengangalisisnya, mencocokannya dan kemudian menyimpulkannya.
adalah mustahil saya mengetahui mencapai jhana ketika tercapainya jhana tersebut, karna ketika jhana tercapai tidak ada pemikiran yang menanlisis dan tidak ada yang menyebut "lha, aku tlah masuk jhana pertama" sebab, selama pikiran masih aktif seperti itu, berarti jhana belum tercapai.
Bahkan anda yang berbicara "seakan2" anda telah mencapai Jhana ke 4,tetapi sampai saat ini saya tidak melihat satu ciri pun yang mengarah bahwa anda telah mencapai jhana ke 4,apakah jhana ke 4 serendah itu?
Quotetopik diskusi : Ketenangan sebagai masalah
koment anda ke saya : orang lain boleh percaya anda telah mencapai jhana ke empat, tapi saya tidak mempercayainya.
saya : apakah mustahil sebuah ketenangan menjadi masalah ?
koment anda : anda mengaku sudah sampai jhana-4, tapi konsentrasinya payah.
itu ilustrasi dari koment anda. kira-kira relevant dengan topik diskusi enggak?
baca itu yang diatas,saya rasa anda hanya ingin postingan2 yang menguntung diri anda,sedangkan kalau postingan yang "mempertanyakan" konsep2 yang coba anda sampaikan disini,anda kayaknya seperti kebakaran jenggot...
saya katakan kepada anda,sangat mudah berkata diri sendiri sudah mencapai jhana ini dan itu,toh tinggal baca teori doang..itu yang berbahaya,dan sedang saya "pertanyakan" disini,untuk mengantisipasi "konsep" buatan anda.. :)
Anumodana _/\_
Quote from: Riky
bagian mana yang tidak relevan,langsung di quote kan saja,tidak perlu seperti ini...memberikan statement tanpa ada kejelasan didalamnya..
kalau begitu, bagaimana kalau kita berhenti membahasa soal jhana ke 4 itu, dan tidak perlu mengataknnya berulang-ulang lagi?
Quote from: Riky
Bahkan anda yang berbicara "seakan2" anda telah mencapai Jhana ke 4,tetapi sampai saat ini saya tidak melihat satu ciri pun yang mengarah bahwa anda telah mencapai jhana ke 4,apakah jhana ke 4 serendah itu?
apakah saya harus menunjukan ciri-ciri itu kepada anda?
jika harus, maka silahkan buat thread yang terpisah, saya akan berupaya menunjukannya.
Quote
saya katakan kepada anda,sangat mudah berkata diri sendiri sudah mencapai jhana ini dan itu,toh tinggal baca teori doang..itu yang berbahaya,dan sedang saya "pertanyakan" disini,untuk mengantisipasi "konsep" buatan anda..
silahkan buatkan thread baru, untuk mengantisipasi konsep buatan saya tersebut.
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 02:23:51 PM
Quote from: Riky
bagian mana yang tidak relevan,langsung di quote kan saja,tidak perlu seperti ini...memberikan statement tanpa ada kejelasan didalamnya..
kalau begitu, bagaimana kalau kita berhenti membahasa soal jhana ke 4 itu, dan tidak perlu mengataknnya berulang-ulang lagi?
Quote from: Riky
Bahkan anda yang berbicara "seakan2" anda telah mencapai Jhana ke 4,tetapi sampai saat ini saya tidak melihat satu ciri pun yang mengarah bahwa anda telah mencapai jhana ke 4,apakah jhana ke 4 serendah itu?
apakah saya harus menunjukan ciri-ciri itu kepada anda?
jika harus, maka silahkan buat thread yang terpisah, saya akan berupaya menunjukannya.
Quote
saya katakan kepada anda,sangat mudah berkata diri sendiri sudah mencapai jhana ini dan itu,toh tinggal baca teori doang..itu yang berbahaya,dan sedang saya "pertanyakan" disini,untuk mengantisipasi "konsep" buatan anda..
silahkan buatkan thread baru, untuk mengantisipasi konsep buatan saya tersebut.
Ok back to topic.. :)
Quote from: Riky
saya katakan kepada anda,sangat mudah berkata diri sendiri sudah mencapai jhana ini dan itu,toh tinggal baca teori doang..itu yang berbahaya,dan sedang saya "pertanyakan" disini,untuk mengantisipasi "konsep" buatan anda..
sebenarnya, apa konsep yang anda anggap sebagai buatan saya itu? coba tuliskan dalam bentuk satu kalimat saja, agar saya menyadarinya dengn baik.
ok. anda sudah bersedia untuk back to topic. mari kita mulai!
saya ingin bertanya, untuk memperjelas apa yang anda fahami. menurut anda, apakah ketenangan tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi masalah dalam kehidupan?
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 02:30:02 PM
saya ingin bertanya, untuk memperjelas apa yang anda fahami. menurut anda, apakah ketenangan tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi masalah dalam kehidupan?
saya tidak melihat ketenangan sebagai masalah,apakah dengan adanya ketenangan anda tidak bisa melihat suatu permasalahan lebih jernih?ketika anda tenang,anda tahu sesuatu lebih dari sekedar tahu,ketika pikiran anda terlalu ribut,maka konsentrasi terpecah,terpecahnya konsentrasi dikatakan tidak ada fokus,kalau tidak ada fokus bagaimana cara anda menyelesaikan masalah dengan jitu?
saya tidak melihat anda "mahir" dalam ketenangan,karena dari postingan anda tentang Tuhan menjaga aku,dan postingan disini,ini menunjukkan bahwa "ketenangan" anda muncul hanya ketika anda duduk?benarkah saya menebaknya?
dan pertanyaan saya,"Bagaimana cara anda memunculkan ketenangan tersebut dan menurut anda apakah ketenangan merupakan dampak negatif bagi suatu kehidupan?"
selama membaca Jataka,Khuddaka Nikaya,saya sadar bahwa seseorang yang telah mencapai jhana ke 4 yang terdiri dari 8 pencapaian juga bisa "keluar" dari jalur...tetapi saya belum pernah tahu bahwa mereka masih dengan "sengaja" menggumbar nafsu birahi,dan tidak memiliki Hiri dan Ottapa..
Quote from: Riky
saya tidak melihat ketenangan sebagai masalah,apakah dengan adanya ketenangan anda tidak bisa melihat suatu permasalahan lebih jernih?ketika anda tenang,anda tahu sesuatu lebih dari sekedar tahu,ketika pikiran anda terlalu ribut,maka konsentrasi terpecah,terpecahnya konsentrasi dikatakan tidak ada fokus,kalau tidak ada fokus bagaimana cara anda menyelesaikan masalah dengan jitu?
saya mengetahui bahwa dengan ketenangan, kita dapat melihat suatu permasalahan lebih jernih. tapi, apakah kita dapat melihat permsalahan dengan jernih tersebut ketika terjadinya ketenangan itu sendiri, atau ketika kita mengerahkan perhatian kita kepada permasalahan tersebut dengan tenang?
saya teringat kepada sabda sang Budha, "berkonsentrasilah, karena orang yang berkonsentrasi dapat melihat ssuatu sebagaimana adanya."
dhamma dilihat lebih dalam, ketika konsentrasi kita lebih tinggi. tapi, apakah kita melihat dhamma tersebut ketika berkonsentrasi, ataukah ketika mengarahkan perhatian kepada dhamma ?-
Quote from: Riky
saya tidak melihat anda "mahir" dalam ketenangan,karena dari postingan anda tentang Tuhan menjaga aku,dan postingan disini,ini menunjukkan bahwa "ketenangan" anda muncul hanya ketika anda duduk?benarkah saya menebaknya?
saya dapat tenang ketika saya duduk bermeditasi dan ketika saya menjalani kehidupan sehari-hari. tetapi, karena kehendak bebas, maka saya dapt memutuskan sendiri apakah saya hendak menenangkan diri ataukah tidak.
di forum ini, misalnya, saya bisa memutuskan untuk berdiskusi dengan cara meluap-luapkan emosi dan bisa pula saya berupaya untuk tenang. walaupun saya mahir tenang, tapi kalau saya memutuskan untuk membiarkan diri saya dikuasai emosi, ya emosilah saya.
tapi untuk apa anda menyelidiki kemahiran saya dalam mennangkan diri?
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 02:40:49 PM
Quote from: Riky
saya tidak melihat ketenangan sebagai masalah,apakah dengan adanya ketenangan anda tidak bisa melihat suatu permasalahan lebih jernih?ketika anda tenang,anda tahu sesuatu lebih dari sekedar tahu,ketika pikiran anda terlalu ribut,maka konsentrasi terpecah,terpecahnya konsentrasi dikatakan tidak ada fokus,kalau tidak ada fokus bagaimana cara anda menyelesaikan masalah dengan jitu?
saya mengetahui bahwa dengan ketenangan, kita dapat melihat suatu permasalahan lebih jernih. tapi, apakah kita dapat melihat permsalahan dengan jernih tersebut ketika terjadinya ketenangan itu sendiri, atau ketika kita mengerahkan perhatian kita kepada permasalahan tersebut dengan tenang?
ketenangan itu adalah faktor batin,dimana batin tidak terseret lagi,dia tetap tenang dan bisa melihat faktor masalah tersebut tanpa terseret kepada faktor masalah tersebut,tentunya dengan begitu bagaimana mungkin dia berkata bahwa ketenangan justru berdampak negatif pada kehidupannya?
apakah ini bisa diartikan seseorang yang memegang pisau dapur?kalau mau bermanfaat di buat potong sayur,kalau mau tidak bermanfaat ya buat membunuh/melukai orang..Apakah ketenangan bisa dikategorikan seperti itu?saya rasa tidak,permasalahnya tidak terletak pada "ketenangan" tapi sumbernya ada pada "keinginan" anda, "obsesi" anda yang berlebihan soal "ketenangan"...Anda seakan2 ingin melempar semua tanggung jawab anda pada "ketenangan"...setahu saya meditasi tidak menyelesaikan semua masalah anda,tetapi dengan meditasi maka semua masalah anda dapat teratasi secara baik dan benar.. :)
Quote from: Riky
dan pertanyaan saya,"Bagaimana cara anda memunculkan ketenangan tersebut dan menurut anda apakah ketenangan merupakan dampak negatif bagi suatu kehidupan?"
yaitu dengan mengembangkan konsentrasi, atau dengan cara mengalihkan perhatian dari objek-objek yang menggelisahkan.
saya tidak mengetahui dengan pasti, apakah ketenangan itu memiliki dampak negatif terhadap kehidupan ini atau tidak. saya hanya menduga, bahwa suatu ketenangan bisa menjadi dampak negatif bagi kehidupan. dan justru, saya mendiskusikan hal ini disebabkan karena saya ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan seperti yang anda tanyakan itu.
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 02:47:15 PM
Quote from: Riky
saya tidak melihat anda "mahir" dalam ketenangan,karena dari postingan anda tentang Tuhan menjaga aku,dan postingan disini,ini menunjukkan bahwa "ketenangan" anda muncul hanya ketika anda duduk?benarkah saya menebaknya?
saya dapat tenang ketika saya duduk bermeditasi dan ketika saya menjalani kehidupan sehari-hari. tetapi, karena kehendak bebas, maka saya dapt memutuskan sendiri apakah saya hendak menenangkan diri ataukah tidak.
di forum ini, misalnya, saya bisa memutuskan untuk berdiskusi dengan cara meluap-luapkan emosi dan bisa pula saya berupaya untuk tenang. walaupun saya mahir tenang, tapi kalau saya memutuskan untuk membiarkan diri saya dikuasai emosi, ya emosilah saya.
tapi untuk apa anda menyelidiki kemahiran saya dalam mennangkan diri?
tentunya sangat perlu saya menyelidiki tentang diri anda,begitu juga semua petapa beraliran sesat menyelidiki "pencerahan sempurna" Buddha Gotama,itu sangat penting...
anda masih bisa dikuasai oleh emosi,dan anda bisa "sengaja" dikuasai oleh "emosi",lantas "ketenangan" yang anda pelajari itu hanya sebagai "pajangan" saja kah? :)
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 02:42:55 PM
saya teringat kepada sabda sang Budha, "berkonsentrasilah, karena orang yang berkonsentrasi dapat melihat ssuatu sebagaimana adanya."
dhamma dilihat lebih dalam, ketika konsentrasi kita lebih tinggi. tapi, apakah kita melihat dhamma tersebut ketika berkonsentrasi, ataukah ketika mengarahkan perhatian kepada dhamma ?-
mengarahkan perhatian kepada Dhamma?
[at] Riky
ketenangan yang diduga menjadi masalah bagi saya adalah, seperti halnya yang saya ceritakan dalam artikel Tuhan Menjaga Aku. mulanya saya takut untuk berbuat jahat (asusila). saya terlalu takut dan gelisah untuk melakuan perbuatan tersebut. tapi karna saya telah menenangkan diri dengan suatu trik meditasi, maka rasa gelisah dan takut itu menjadi hilang, dan saya menjadi berani berbuat asusila.
perbuatan asusila tersebut, tentunya muncul karena keserakahan, bukan karena ketnangan. tapi bila saya tidak menanngkan diri, maka dipastikan saya tidak akan berani berbuat asusila. jadi tolong analisa kasus saya tersebut. dan katakan bagaimana pendapat anda!
Quote from: Riky
tentunya sangat perlu saya menyelidiki tentang diri anda,begitu juga semua petapa beraliran sesat menyelidiki "pencerahan sempurna" Buddha Gotama,itu sangat penting...
anda masih bisa dikuasai oleh emosi,dan anda bisa "sengaja" dikuasai oleh "emosi",lantas "ketenangan" yang anda pelajari itu hanya sebagai "pajangan" saja kah?
kita dapat memfokuskan pembahasan ke persoalan ketenangan itu saja. setelah kita tahu dengan sebenar-benarnya tentang ketenangan bersert sifat-sifatnya, nanti kita dengan sendirinya tahu, siapa orang yang memiilki ketnangan dan siapa yang bukan, tanpa perlu kita mengatakan si A belum memiliki ketenangan dan si B masih sangat gelisah, sedangkan si C orang yang paling tenang.
kita tidak dapat mengenali ketenangan dari orangnya. tapi kenalilah ketenangan itu sendiri, maka kita tahu siapa orangnya.
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 02:51:16 PM
Quote from: Riky
dan pertanyaan saya,"Bagaimana cara anda memunculkan ketenangan tersebut dan menurut anda apakah ketenangan merupakan dampak negatif bagi suatu kehidupan?"
yaitu dengan mengembangkan konsentrasi, atau dengan cara mengalihkan perhatian dari objek-objek yang menggelisahkan.
"mengalihkan" perhatian dari objek2 yang menggelisahkan?anda maksudkan ini :
Ketenangan membantu saya untuk tetap tenang ketika saya berupaya mengatasi permasalahan-permasalahan external. Tetapi yang menjadi masalah, ketenangan seringkali membuat saya mengabaikan persoalan-persoalan external tersebut, sehingga mereka tetap menjadi problem yang tidak teratasi. Sebagai contoh, saya punya banyak masalah diperkuliahan, uang semester yang belum dibayar, atau skripsi yang belum selesai. Dimana pada mulanya hal-hal seperti itu cukup membuat saya gelisah. Tapi dengan menenangkan diri dalam meditasi, saya jadi gak peduli dengan semua itu. Dan saya dapat memfokuskan diri dengan bersemangat untuk mengerjakan hal-hal lain yang ingin saya kerjakan. Dengan demikian, saya dapat terus berkarya di bidang yang lain, tetapi tidak tergerak untuk menyelesaikan masalah-masalah di kampus.Apakah itu bisa disebut ketenangan atau pelarian atas tanggung jawab atau realita kehidupan?
anda tulis tadi
saya teringat kepada sabda sang Budha, "berkonsentrasilah, karena orang yang berkonsentrasi dapat melihat ssuatu sebagaimana adanya."jadi koq bisa ya ,setelah anda memasuki apa yang anda maksudkan sebagai "ketenangan" anda,anda menjadi tidak peduli dengan hal2 lainnya?inikah ciri Jhana ke 4?
Quotesaya tidak mengetahui dengan pasti, apakah ketenangan itu memiliki dampak negatif terhadap kehidupan ini atau tidak. saya hanya menduga, bahwa suatu ketenangan bisa menjadi dampak negatif bagi kehidupan. dan justru, saya mendiskusikan hal ini disebabkan karena saya ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan seperti yang anda tanyakan itu.
dan dugaan anda tidak mendasar,dan telah dijawab oleh banyak member disini,tetapi anda tetap ngotot bertanya soal "ketenangan membawa dampak negatif"..jadi kemukan lah pendapat lain yang mendukung pernyataan anda.. :)
Quote from: Riky
mengarahkan perhatian kepada Dhamma?
ya. konsentrasi itu ibarat cahaya laser yang diarahkan secara lurus ke dalam sumur yang gelap. tetapi untuk mengetahui ada apa saja di dlam sumur tersebut, sinar tersebut harus diarahkan ke kiri dan ke kanan.
demikian pula konsentrasi, ia dapat mengantarkan kita menuju kepada kdalaman batin yang sangat dalam. tapi kita tidak akan melihat apa-apa, bila kita tidak mengarahkan perhatian ke segenap penjuru (dhamma). seandainya konsentrasi saja cukup untuk melihat dhamma, tentu sang budha tidak akan mengajarkan kita untuk memperhatikan 4 landasan perhatian (vipasanna), cukuplah dengan meditasi samatha saja. betul tidak?
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 02:54:52 PM
[at] Riky
ketenangan yang diduga menjadi masalah bagi saya adalah, seperti halnya yang saya ceritakan dalam artikel Tuhan Menjaga Aku. mulanya saya takut untuk berbuat jahat (asusila). saya terlalu takut dan gelisah untuk melakuan perbuatan tersebut. tapi karna saya telah menenangkan diri dengan suatu trik meditasi, maka rasa gelisah dan takut itu menjadi hilang, dan saya menjadi berani berbuat asusila.
Nah,begitu dong,kan clear yang mau anda tanyakan...trik meditasi apa ya yang anda lakukan?
Bah!!ngeri banget menurut saya!!justru orang yang gelisah yang bisa berbuat jahat...pernah tidak sewaktu anda kecil[saya rasa anda yang sudah merid pernah ngelakuin hal ini] anda mencoba merokok,nonton video porno,berciuman dengan pacar,atau hal2 yang dianggap tabu pada masa tersebut?bagaimana perasaan anda ketika melakukan tindakan yang dianggap "tak bermoral" itu?kalau saya,perasaan saya gelisah,was2,saya menjadi tidak tenang,semakin saya tidak tenang,semakin saya gelisah maka keinginan "jahat" itu semakin menguasai saya,dan saya malah melakukan tindakan2 yang saya sebutkan itu[ini pengalaman pribadi,jadi anda boleh mendebatkannya],justru sebaliknya ketika "ketenangan" muncul,maka semuanya menjadi hilang,dan menjadi tenang,tidak ada lagi nafsu keinginan lagi atas semua hal tersebut..Makanya dari awal saya sudah "mencurigai" ketenangan versi anda,maka saya menyebutkan apakah itu konsep anda?
Quoteperbuatan asusila tersebut, tentunya muncul karena keserakahan, bukan karena ketnangan. tapi bila saya tidak menanngkan diri, maka dipastikan saya tidak akan berani berbuat asusila. jadi tolong analisa kasus saya tersebut. dan katakan bagaimana pendapat anda!
itu yang diatas sudah saya analisis.. :)
anda jangan menyalahkan ketenangan sekali lagi saya ini tekankan kepada anda,mungkin saya masih awam dalam meditasi,tetapi saya tahu pasti soal "meditasi"...
_/\_
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 02:58:10 PM
Quote from: Riky
tentunya sangat perlu saya menyelidiki tentang diri anda,begitu juga semua petapa beraliran sesat menyelidiki "pencerahan sempurna" Buddha Gotama,itu sangat penting...
anda masih bisa dikuasai oleh emosi,dan anda bisa "sengaja" dikuasai oleh "emosi",lantas "ketenangan" yang anda pelajari itu hanya sebagai "pajangan" saja kah?
kita dapat memfokuskan pembahasan ke persoalan ketenangan itu saja. setelah kita tahu dengan sebenar-benarnya tentang ketenangan bersert sifat-sifatnya, nanti kita dengan sendirinya tahu, siapa orang yang memiilki ketnangan dan siapa yang bukan, tanpa perlu kita mengatakan si A belum memiliki ketenangan dan si B masih sangat gelisah, sedangkan si C orang yang paling tenang.
kita tidak dapat mengenali ketenangan dari orangnya. tapi kenalilah ketenangan itu sendiri, maka kita tahu siapa orangnya.
Nah,tebakan saya sungguh tepat.. :)
terima kasih
Quote from: riky
"mengalihkan" perhatian dari objek2 yang menggelisahkan?anda maksudkan ini :
Ketenangan membantu saya untuk tetap tenang ketika saya berupaya mengatasi permasalahan-permasalahan external. Tetapi yang menjadi masalah, ketenangan seringkali membuat saya mengabaikan persoalan-persoalan external tersebut, sehingga mereka tetap menjadi problem yang tidak teratasi. Sebagai contoh, saya punya banyak masalah diperkuliahan, uang semester yang belum dibayar, atau skripsi yang belum selesai. Dimana pada mulanya hal-hal seperti itu cukup membuat saya gelisah. Tapi dengan menenangkan diri dalam meditasi, saya jadi gak peduli dengan semua itu. Dan saya dapat memfokuskan diri dengan bersemangat untuk mengerjakan hal-hal lain yang ingin saya kerjakan. Dengan demikian, saya dapat terus berkarya di bidang yang lain, tetapi tidak tergerak untuk menyelesaikan masalah-masalah di kampus.
Apakah itu bisa disebut ketenangan atau pelarian atas tanggung jawab atau realita kehidupan?
ada objek-objek yang menggelisahkan batin saya. dan saya tidak ingin menghadapi persoalan-persoalan tersebut dengan gelisah. jika saya harus menghadapi persoalan-persoalan tersebut, maka saya harus menghadapinya dengan tenang hati. bukankah anda juga setuju bahwa kita harus menghadapi persoalan-persoalan itu dengan ketenangan? nah, bila ternyata belum dapat menghadapi persoalan dengan tenang, maka apkah yang sharusnya dilakukan? apakah tetap menghadapi permalsahan tersebut, walaupun hati gelisah ataukah menangnakn diri dulu?
nah, saya memilih untuk menenangkan diri dulu. dan seperti saya bilang, ada dua cara menanngkan diri, pertama dengn berkonsentrasi, kedua dengn mengalihkan perhtaian dari objek yang menggelisahkan tersebut. sya dapat mengembangkan konsentrasi, menjadi tenang dan kemudian menghadapi persoalan external tersebut dengna tenang. tetapi, karna kehendak bebas, saya sering memutuskan untuk menenangkan diri dengan cara mengalihkan perhtaian kepda persoalan lain. hal itu juga, tak dapt dipungkiri, memang menenangkan hati. walaupun mungkin anda menyebutnya "pelarian", tapi dalam pelarian tersbut, saya emperoleh ketenangan. dengan kata lain, ada ketenangan yang muncul dari "melarikan diri". betul enggak?
Quote from: Riky
Nah,begitu dong,kan clear yang mau anda tanyakan...trik meditasi apa ya yang anda lakukan?
Bah!!ngeri banget menurut saya!!justru orang yang gelisah yang bisa berbuat jahat...pernah tidak sewaktu anda kecil[saya rasa anda yang sudah merid pernah ngelakuin hal ini] anda mencoba merokok,nonton video porno,berciuman dengan pacar,atau hal2 yang dianggap tabu pada masa tersebut?bagaimana perasaan anda ketika melakukan tindakan yang dianggap "tak bermoral" itu?kalau saya,perasaan saya gelisah,was2,saya menjadi tidak tenang,semakin saya tidak tenang,semakin saya gelisah maka keinginan "jahat" itu semakin menguasai saya,dan saya malah melakukan tindakan2 yang saya sebutkan itu[ini pengalaman pribadi,jadi anda boleh mendebatkannya],justru sebaliknya ketika "ketenangan" muncul,maka semuanya menjadi hilang,dan menjadi tenang,tidak ada lagi nafsu keinginan lagi atas semua hal tersebut..Makanya dari awal saya sudah "mencurigai" ketenangan versi anda,maka saya menyebutkan apakah itu konsep anda?
nah, tepat sekali. permasalaha itulah yang benar-benar ingin saya angkat. faktanya, saya kini dapat menenangkan diri dalam segala suasana. saya tidak akan mencuri, karena mencuri itu akan membuat hati saya gelisah. pada masa dulu, ketika saya rmaja, merokok saja dapat membuat saya gelisah hati. tapi mengapa sekarang, saya dapt merokok dengan hati yang cukup tenang? dan saya mendatangi seorang gadis penjaja seks dengan hati yang tidak gelisah sedikitpun. ini adlah fakta yang saya alami dan saya tidak membuat-buat konsep sperti saya mengarang sebuah karya fiksi.
Quote from: Riky
anda jangan menyalahkan ketenangan sekali lagi saya ini tekankan kepada anda,mungkin saya masih awam dalam meditasi,tetapi saya tahu pasti soal "meditasi"...
apakah anda tidak memperhatikan dari kisah tersebut, bahwa kegelisahan dan rasa takut telah menekan keserakahan?
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 03:10:06 PM
Quote from: riky
"mengalihkan" perhatian dari objek2 yang menggelisahkan?anda maksudkan ini :
Ketenangan membantu saya untuk tetap tenang ketika saya berupaya mengatasi permasalahan-permasalahan external. Tetapi yang menjadi masalah, ketenangan seringkali membuat saya mengabaikan persoalan-persoalan external tersebut, sehingga mereka tetap menjadi problem yang tidak teratasi. Sebagai contoh, saya punya banyak masalah diperkuliahan, uang semester yang belum dibayar, atau skripsi yang belum selesai. Dimana pada mulanya hal-hal seperti itu cukup membuat saya gelisah. Tapi dengan menenangkan diri dalam meditasi, saya jadi gak peduli dengan semua itu. Dan saya dapat memfokuskan diri dengan bersemangat untuk mengerjakan hal-hal lain yang ingin saya kerjakan. Dengan demikian, saya dapat terus berkarya di bidang yang lain, tetapi tidak tergerak untuk menyelesaikan masalah-masalah di kampus.
Apakah itu bisa disebut ketenangan atau pelarian atas tanggung jawab atau realita kehidupan?
ada objek-objek yang menggelisahkan batin saya. dan saya tidak ingin menghadapi persoalan-persoalan tersebut dengan gelisah. jika saya harus menghadapi persoalan-persoalan tersebut, maka saya harus menghadapinya dengan tenang hati. bukankah anda juga setuju bahwa kita harus menghadapi persoalan-persoalan itu dengan ketenangan? nah, bila ternyata belum dapat menghadapi persoalan dengan tenang, maka apkah yang sharusnya dilakukan? apakah tetap menghadapi permalsahan tersebut, walaupun hati gelisah ataukah menangnakn diri dulu?
nah, saya memilih untuk menenangkan diri dulu. dan seperti saya bilang, ada dua cara menanngkan diri, pertama dengn berkonsentrasi, kedua dengn mengalihkan perhtaian dari objek yang menggelisahkan tersebut. sya dapat mengembangkan konsentrasi, menjadi tenang dan kemudian menghadapi persoalan external tersebut dengna tenang. tetapi, karna kehendak bebas, saya sering memutuskan untuk menenangkan diri dengan cara mengalihkan perhtaian kepda persoalan lain. hal itu juga, tak dapt dipungkiri, memang menenangkan hati. walaupun mungkin anda menyebutnya "pelarian", tapi dalam pelarian tersbut, saya emperoleh ketenangan. dengan kata lain, ada ketenangan yang muncul dari "melarikan diri". betul enggak?
pantasan..dengan ini bisa clear masalah ini,yang anda sebutkan bahwa ketenangan terbagi atas 2,sori didalam pemahaman Buddhisme saya ketenangan hanya ada 1 ,ketenangan yang diperoleh dari konsentrasi terpusat,tercerapnya mental kita..
sedangkan ketenangan anda yang anda katakan sebagai masalah adalah :
tetapi, karna kehendak bebas, saya sering memutuskan untuk menenangkan diri dengan cara mengalihkan perhtaian kepda persoalan lain. hal itu juga, tak dapt dipungkiri, memang menenangkan hati. walaupun mungkin anda menyebutnya "pelarian", tapi dalam pelarian tersbut, saya emperoleh ketenangan. dengan kata lain, ada ketenangan yang muncul dari "melarikan diri". betul enggak? dan saya jawab tidak betul...alasannya ketenangan yang anda dapatkan adalah pelarian ke objek lain,tetapi anda sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan external anda,yang terselesaikan hanya masalah internal..INI BUKAN AJARAN BUDDHA selama SAYA MEMPELAJARI BUDDHA DHAMMA..
jadi semakin saya tidak mempercayai pencapaian jhana ke 4 yang anda sebutkan itu...
saya kasih contoh,ketika kita sedang gelisah[tidak tahu gelisah apa,bahasa hokkiennya SIM BO SONG],kita sudah mempunyai kebiasaan "Menolak apa yang tidak enak,dan menginginkan apa yang enak"[dengan sikap ini TIDAK MUNGKIN bisa melihat REALITAS SEBAGAIMANA ADANYA],kita akan mencari pelarian atas "kegelisahan" hati kita,dengan cara "memuaskan" nafsu inderawi[sadar tak sadar itulah yang terjadi],di mulai dengan mengobrol/curhat dengan teman,nonton tv dan seterusnya...
atau ketika kita ditimpa suatu permasalahan berat,contoh PUTUS CINTA[karena saya anak muda ,permasalahn berat saya ya PUTUS CINTA,hehe],kita akan mengalihkan semua pikiran kita dari OBJEK MENYAKITKAN itu,ke "pelarian" seperti jalan2 dengan teman,cari pacar baru,mengatakan bahwa pacar kita tidak pantas untuk kita,bagus saya putus dengan dia[segala macam tetek bengek untuk membohongi diri sendiri..],apakah itu pantas disebut sebagai "ketenangan"?
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 03:15:13 PM
Quote from: Riky
Nah,begitu dong,kan clear yang mau anda tanyakan...trik meditasi apa ya yang anda lakukan?
Bah!!ngeri banget menurut saya!!justru orang yang gelisah yang bisa berbuat jahat...pernah tidak sewaktu anda kecil[saya rasa anda yang sudah merid pernah ngelakuin hal ini] anda mencoba merokok,nonton video porno,berciuman dengan pacar,atau hal2 yang dianggap tabu pada masa tersebut?bagaimana perasaan anda ketika melakukan tindakan yang dianggap "tak bermoral" itu?kalau saya,perasaan saya gelisah,was2,saya menjadi tidak tenang,semakin saya tidak tenang,semakin saya gelisah maka keinginan "jahat" itu semakin menguasai saya,dan saya malah melakukan tindakan2 yang saya sebutkan itu[ini pengalaman pribadi,jadi anda boleh mendebatkannya],justru sebaliknya ketika "ketenangan" muncul,maka semuanya menjadi hilang,dan menjadi tenang,tidak ada lagi nafsu keinginan lagi atas semua hal tersebut..Makanya dari awal saya sudah "mencurigai" ketenangan versi anda,maka saya menyebutkan apakah itu konsep anda?
nah, tepat sekali. permasalaha itulah yang benar-benar ingin saya angkat. faktanya, saya kini dapat menenangkan diri dalam segala suasana. saya tidak akan mencuri, karena mencuri itu akan membuat hati saya gelisah. pada masa dulu, ketika saya rmaja, merokok saja dapat membuat saya gelisah hati. tapi mengapa sekarang, saya dapt merokok dengan hati yang cukup tenang? dan saya mendatangi seorang gadis penjaja seks dengan hati yang tidak gelisah sedikitpun. ini adlah fakta yang saya alami dan saya tidak membuat-buat konsep sperti saya mengarang sebuah karya fiksi.
itu sih bukan tenang,tapi mati rasa...anda pernah baca sejarah pembunuh2 besar?ketika mereka[penjahat kelas kakap] di interview[saya ada bukunya judulnya Bagaimana Cara Mencari Kawan,karangan siapa saya lupa] di tanya apakah mereka merasa bersalah..para penjahat menjawab,"Saya tidak bersalah yang bersalah adalah ini dan itu.."
persis seperti kasus anda,ini membuktikan anda "mengkonsepsikan" ketenangan anda,sehingga dengan "konsep" dan "dalih" pembenaran tersebut,anda merasa diri anda "tenang" didalam berbuat segala aktivitas kejahatan,tanpa rasa takut dan malu lagi..
ini sungguh berbahaya,anda terjebak didalam "konsep" anda,sungguh mencengangkan,selama saya berdiskusi dengan banyak meditator,ini salah 1 kasus yang unik yang pernah saya hadapi.. :)
[at] Riky
dalam meditasi budhisme, samatha, untuk bisa menenangkan diri, kita harus melupakan persoalan-persolaan external. betul tidak?
dnegan memusatkan perhatian apda keluar masuk nya nafas, kita menjaga agar pikiran tidak teringat dengan persoalan-persoalan eksternal sehingga muncul sati bojangga. betul tidak?
apakah itu bedanya dengan melarikan diri dari persoalan hidup?
bahkan di sini, ada thread diskusi yang judulnya "MELUPAKAN ADALAH SUATU KEBAJIKAN". di sini - > http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,11484.0.html, dapatkah anda jelaskan apa itu artinya?
[at] Deva
Nelson Mandela, "Forgive, but not forget."
Riky_Dave,"Let it go but not forget.."
Quote
atau ketika kita ditimpa suatu permasalahan berat,contoh PUTUS CINTA[karena saya anak muda ,permasalahn berat saya ya PUTUS CINTA,hehe],kita akan mengalihkan semua pikiran kita dari OBJEK MENYAKITKAN itu,ke "pelarian" seperti jalan2 dengan teman,cari pacar baru,mengatakan bahwa pacar kita tidak pantas untuk kita,bagus saya putus dengan dia[segala macam tetek bengek untuk membohongi diri sendiri..],apakah itu pantas disebut sebagai "ketenangan"?
faktanya, ketenangan juga bisa muncul karna orang membohongi dirinya sendiri. terlepas dari apakah orang tersebut mau menyebutnya ketenangan atau bukan ketenangan.
seperti misalnya seseorang yang selalu gelisah hatinya karna suatu persoalan, kemudian melalui metoda hipnotis, di diberi sugesti "kamu tidak pernah memiliki msalah itu, dan kamu akan lupa sepenuhnya dengna permasalahan tersebut", maka usai dihipnotis, ia tidak lagi teringat bahwa dirinya punya masalah tersebut, sehingga ia menjadi tnang hatinya dan dapat tidur nyenyak. jika asalnya, dia gelisah dan susah tidur, kemudian dia tidak lagi gelisah dan nyenyak tidur, maka tidak itu dapt disebut "kini dia memiliki ketenangan dalam hidupnya"?
Quotedalam meditasi budhisme, samatha, untuk bisa menenangkan diri, kita harus melupakan persoalan-persolaan external. betul tidak?
dapat darimana info ini?
"melupakan"? setahu saya ya,,,apapun pengalaman anda yang sudah terekam didalam pikiran anda,tidak akan pernah bisa "dilupakan" atau istilah computernya filenya di "delete"...
yang saya tahu adalah "let it go/biarkan dia pergi"..."dia" pergi,bukan berati "dia" tidak pernah ada..
membiarkan persoalan2 berlalu bukan berati "mengacuhkan" persoalan2 tersebut atau bersifat dont care...itu konsep yang salah menurut saya..
Quotednegan memusatkan perhatian apda keluar masuk nya nafas, kita menjaga agar pikiran tidak teringat dengan persoalan-persoalan eksternal sehingga muncul sati bojangga. betul tidak?
apakah itu bedanya dengan melarikan diri dari persoalan hidup?
nah terangkan lah kepada saya apa itu sati bojangga menurut yang anda ketahui,saya tidak tahu apa itu,,...saya belum menyentuh Visudhi Magga,yang saya jelaskan ini hanya berdasarkan kajian pengalaman meditasi saya belaka...
Quote from: Riky
yang saya tahu adalah "let it go/biarkan dia pergi"..."dia" pergi,bukan berati "dia" tidak pernah ada..
tapi, ini bukan dalam sistem meditasi samatha, melainkan berada dlm sistem meditasi vipassana. sebagaimana telah saya ungkpakan terdahulu, bila saya menggunakan meditasi vipasanna, tentu selesailah semua masalah tersebut. tetapi, di sini saya sedang mendiskusikan ketenangan yang muncul dari usaha menenangkan diri baik dari "pelarian" maupun dari "proses samatha".
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 03:52:57 PM
Quote
atau ketika kita ditimpa suatu permasalahan berat,contoh PUTUS CINTA[karena saya anak muda ,permasalahn berat saya ya PUTUS CINTA,hehe],kita akan mengalihkan semua pikiran kita dari OBJEK MENYAKITKAN itu,ke "pelarian" seperti jalan2 dengan teman,cari pacar baru,mengatakan bahwa pacar kita tidak pantas untuk kita,bagus saya putus dengan dia[segala macam tetek bengek untuk membohongi diri sendiri..],apakah itu pantas disebut sebagai "ketenangan"?
faktanya, ketenangan juga bisa muncul karna orang membohongi dirinya sendiri. terlepas dari apakah orang tersebut mau menyebutnya ketenangan atau bukan ketenangan.
seperti misalnya seseorang yang selalu gelisah hatinya karna suatu persoalan, kemudian melalui metoda hipnotis, di diberi sugesti "kamu tidak pernah memiliki msalah itu, dan kamu akan lupa sepenuhnya dengna permasalahan tersebut", maka usai dihipnotis, ia tidak lagi teringat bahwa dirinya punya masalah tersebut, sehingga ia menjadi tnang hatinya dan dapat tidur nyenyak. jika asalnya, dia gelisah dan susah tidur, kemudian dia tidak lagi gelisah dan nyenyak tidur, maka tidak itu dapt disebut "kini dia memiliki ketenangan dalam hidupnya"?
sayangnya hinoptis itu ditujukan kepada orang yang kesadarannya "lemah" sedangkan orang yang bersamatha yang konsentrasinya kuat itu kesadarannya sangat "kuat"..kasus anda gugur untuk ini..
itu dinamakan "menanamkan" sesuatu pada "benak" kita dan kan sudah saya katakan di atas
"
persis seperti kasus anda,ini membuktikan anda "mengkonsepsikan" ketenangan anda,sehingga dengan "konsep" dan "dalih" pembenaran tersebut,anda merasa diri anda "tenang" didalam berbuat segala aktivitas kejahatan,tanpa rasa takut dan malu lagi.."seperti halnya JIHAD,JIHAD itu membunuh kan?sejak kapan diajarkan untuk membunuh?kenapa para "pengantin"nya santai2 saja lengak lengok mengantarkan nyawanya untuk sebuah tindakan kejahatan besar?karena "pikirannya sudah dicuci habis",dan ditanamkan dalam pikirannya bahwa tindakannya tersebut benar..
itu bukan ketenangan,sekali lagi saya katakan itu bukan ketenangan..ketenangan itu berati seperti kata anda kita melihat permasalahan menjadi lebih jernih[anda sendiri setuju dengan pernyataan saya ini],sedangkan dalam kasus anda,dan contoh kasus hipnotis yang anda paparkan,itu tidak relevan karena pada saat itu anda "mengkonsepsikan" ke pikiran anda bahwa "jihad" itu benar.."membunuh" itu benar..makanya saya sebut sebagai "dalih" pembenaran...
ini sungguh berbahaya...banyak kasus yang anda bisa lihat,dimana seseorang mengaku mendapat Wahyu,kemudian mengangkat dirinya bak Tuhan...apakah benar dia Tuhan?atau dia mengkonsepsikan pikirannya dia adalah Tuhan?
pernah lihat orang tak sadar/gila di RSJ?apapun yang mereka lakukan dengan daya khayal dan imajinasi mereka,mereka menganggap itu sebagai suatu "kebenaran" yang terkonsepsikan didalam pikiran mereka,orang seperti itu tidak mungkin memiliki ketenangan yang dihasilkan oleh Samatha yang notabene adalah melihat permasalahan dengan jernih..
anda tahu kan kasus dimana seseorang menjadi gila?misalnya seorang ibu yang kehilangan anaknya,dia TIDAK BISA MENERIMA KENYATAAN kehilangan anaknya tersebut,dia menjadi "gila" dan menganggap boneka bayi sebagai anaknya,dia sungguh tenang dan berbahagia didalam "kegilaan"nya...[sedangkan dalam Samatha kita di ajak untuk melihat KENYATAAN..ini sungguh bertolak belakang]
jadi saran saya berhati2 lah,jangan sampai anda masuk kedalam katagori "gila" tersebut..
terserah anda mau percaya atau tidak,ini pendapat saya.. :)
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 04:05:53 PM
Quote from: Riky
yang saya tahu adalah "let it go/biarkan dia pergi"..."dia" pergi,bukan berati "dia" tidak pernah ada..
tapi, ini bukan dalam sistem meditasi samatha, melainkan berada dlm sistem meditasi vipassana. sebagaimana telah saya ungkpakan terdahulu, bila saya menggunakan meditasi vipasanna, tentu selesailah semua masalah tersebut. tetapi, di sini saya sedang mendiskusikan ketenangan yang muncul dari usaha menenangkan diri baik dari "pelarian" maupun dari "proses samatha".
pertanyaan saya,"Apa beda antara Samatha dan Vipasanna yang anda ketahui?"
Quote from: Riky
nah terangkan lah kepada saya apa itu sati bojangga menurut yang anda ketahui,saya tidak tahu apa itu,,...saya belum menyentuh Visudhi Magga,yang saya jelaskan ini hanya berdasarkan kajian pengalaman meditasi saya belaka...
sati bojangha adalah pencerahan yang muncul dari kekuatan perhatian penuh terhadap objek. bila sati bojangha sudah terbentuk, maka itulah saat yang tepat untuk beralih dari samatha ke vipasana.
Quote from: Riky
pertanyaan saya,"Apa beda antara Samatha dan Vipasanna yang anda ketahui?"
meditasi samatha itu sistem meditasi untuk mengembangkan konsentrasi menuju pada tercapainya jhana-jhana. melalui meditasi ini pula seseorang bisa meraih upekha bojangha, yakni pencerahan dari keseimbnagan batin.
sedangkan meditasi vipasana adalah sistem meditasi untuk mengembangkan kebijaksanaan, untuk melihat kebenaran dhamma.
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 04:10:45 PM
Quote from: Riky
pertanyaan saya,"Apa beda antara Samatha dan Vipasanna yang anda ketahui?"
meditasi samatha itu sistem meditasi untuk mengembangkan konsentrasi menuju pada tercapainya jhana-jhana. melalui meditasi ini pula seseorang bisa meraih upekha bojangha, yakni pencerahan dari keseimbnagan batin.
sedangkan meditasi vipasana adalah sistem meditasi untuk mengembangkan kebijaksanaan, untuk melihat kebenaran dhamma.
itu sajakah?terlalu teoritis.. :)
kalau itu saja saya juga bisa jawab...ayo sertakan pengalaman meditasi anda yang sudah anda yakini mencapai jhana ke 4,apa beda diantara jhana ke 4 yang anda peroleh dengan vipasanna?saya akan bandingkan dengan meditasi saya yang cupu ini.. :)
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 04:08:27 PM
Quote from: Riky
nah terangkan lah kepada saya apa itu sati bojangga menurut yang anda ketahui,saya tidak tahu apa itu,,...saya belum menyentuh Visudhi Magga,yang saya jelaskan ini hanya berdasarkan kajian pengalaman meditasi saya belaka...
sati bojangha adalah pencerahan yang muncul dari kekuatan perhatian penuh terhadap objek. bila sati bojangha sudah terbentuk, maka itulah saat yang tepat untuk beralih dari samatha ke vipasana.
apa hubungan sama ini :
Quotednegan memusatkan perhatian apda keluar masuk nya nafas, kita menjaga agar pikiran tidak teringat dengan persoalan-persoalan eksternal sehingga muncul sati bojangga. betul tidak?
apakah itu bedanya dengan melarikan diri dari persoalan hidup?
[at] Riky
sepertinya anda sangat ingin menyelidiki, apkah saya benar-benar telah mencapai jhana ke-4 ataukah tidak?
jika saya mengungkapkan lebih banyak lagi pengalaman meditasi saya, terutama hal-hal yang terjadi ketika jhana ke-4 tercapai, maka itu akan menimbulkan lebih banyak masalah bagi saya. karena jarang orang yang mampu mencapai jhana ke-4, dan mereka cenderung tidka mempercayai sesuatu yang tidak mereka alami sendiri. oleh karena itu, sikap ketidak percayaan umat budhis kepada saya aka lebih keras lagi. mereka akan mencocok-cocokan pengalaman saya dengan teori-teori yang mereka baca. padahal apa yang terjadi, tidak selalu sama dengan apa yang ditulis di buku.
jika anda ingin saya mengaku bahwa saya belum pernah mencapai jhana ke-4, maka baiklah saya akui itu, agar anda berhenti mempertanyakan itu.
apa yang terjadi pada saat bathin mencapai jhana ke-4, sulit sekali dilukiskan. justru teori-teori jhana yang ada di dalam ajaran budha membantu saya untuk menggambarkan pengalaman jhana saya. dan saya kagum kepada sang budha yang mampu menggambarkan suatu pengalaman bathin yang rumit dijelaskan. tetapi, bila saya menggunakan kata-kata sang budha untuk menjelskan pengalaman jhana saya, tentu orng akan menganggap saya cuma nyontek kata-kata dari sang budha. oleh karena itu, jadi serba salah buat saya.
Quote from: Riky
apa hubungan sama ini :
di situ... di dalam sati bojangga ada kelezatan yang non pancaindra. dan orang bisa melekat pada kelezatan-kelezatan tersebut. bila melihat kehidupan ini sudah menyakitkan dirinya, maka ia dapat menghibur dirinya dengan menemukan kelezatan-kelezatan tersebut di dalam bojanggha2. apa bedanya dengan melarikan diri dari kenyataan hidup?
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 04:20:32 PM
[at] Riky
sepertinya anda sangat ingin menyelidiki, apkah saya benar-benar telah mencapai jhana ke-4 ataukah tidak?
jika saya mengungkapkan lebih banyak lagi pengalaman meditasi saya, terutama hal-hal yang terjadi ketika jhana ke-4 tercapai, maka itu akan menimbulkan lebih banyak masalah bagi saya. karena jarang orang yang mampu mencapai jhana ke-4, dan mereka cenderung tidka mempercayai sesuatu yang tidak mereka alami sendiri. oleh karena itu, sikap ketidak percayaan umat budhis kepada saya aka lebih keras lagi. mereka akan mencocok-cocokan pengalaman saya dengan teori-teori yang mereka baca. padahal apa yang terjadi, tidak selalu sama dengan apa yang ditulis di buku.
jangan GR dong...Ajahn Chah,Ajahn Brahm,Bhante Uttamo,Sri Pannavaro,mereka semua yang ahli didalam meditasi buktinya selaras dengan Sutta,apakah anda mau mengatakan anda lebih hebat dari segi meditasi dari mereka semua? :)
Quotejika anda ingin saya mengaku bahwa saya belum pernah mencapai jhana ke-4, maka baiklah saya akui itu, agar anda berhenti mempertanyakan itu.
adakah saya berkata begitu?yang saya inginkan anda,cerita anda tentang jhana ke 4 anda,karena di forum ini mungkin saja ada yang sudah sotapanna..jadi pernyataan anda bisa dikonfontir.. :P
Quoteapa yang terjadi pada saat bathin mencapai jhana ke-4, sulit sekali dilukiskan. justru teori-teori jhana yang ada di dalam ajaran budha membantu saya untuk menggambarkan pengalaman jhana saya. dan saya kagum kepada sang budha yang mampu menggambarkan suatu pengalaman bathin yang rumit dijelaskan. tetapi, bila saya menggunakan kata-kata sang budha untuk menjelskan pengalaman jhana saya, tentu orng akan menganggap saya cuma nyontek kata-kata dari sang budha. oleh karena itu, jadi serba salah buat saya.
silakan saja,,saya bisa menganalis apakah anda nyontek atau bukan,silakan gunakan bahasa anda,atau cara terjemahan versi anda,nanti bisa saja lihat koq,,...
Anda mengakui luar biasanya sutta Buddha,anda mengatakan bahwa teori2 jhana yang ada didalam sutta Buddha membantu anda,,lantas apa ya maksud anda menulis ini :
Quote[at] Riky
sepertinya anda sangat ingin menyelidiki, apkah saya benar-benar telah mencapai jhana ke-4 ataukah tidak?
jika saya mengungkapkan lebih banyak lagi pengalaman meditasi saya, terutama hal-hal yang terjadi ketika jhana ke-4 tercapai, maka itu akan menimbulkan lebih banyak masalah bagi saya. karena jarang orang yang mampu mencapai jhana ke-4, dan mereka cenderung tidka mempercayai sesuatu yang tidak mereka alami sendiri. oleh karena itu, sikap ketidak percayaan umat budhis kepada saya aka lebih keras lagi. mereka akan mencocok-cocokan pengalaman saya dengan teori-teori yang mereka baca. padahal apa yang terjadi, tidak selalu sama dengan apa yang ditulis di buku.
tidakkah anda merasa anda "terlalu" ngotot?
[at] Riky
baiklah kalau begitu. entahlah kenapa saya menanggapi permintaan anda dengan serius.
atas permintaa riky, saya akan mencoba menyampaikan pengalaman saya.
tapi sebelum itu, izinkan saya menyampaikan kata pengantar dulu
dan mohon, jangan ada yang berkomentar dulu, sebelum saya selesai menuturkan pengalaman saya.
semua yang menembus kebijaksanaan pastinya menolak perbuatan buruk karena telah mengetahui akibat dari perbuatan buruk, apabila seseorang yang masih melakukan perbuatan buruk pastinya bukanlah orang yang bijaksana, sesederhana itu.
Quote from: Deva19 on 21 March 2010, 04:30:53 PM
[at] Riky
baiklah kalau begitu. entahlah kenapa saya menanggapi permintaan anda dengan serius.
atas permintaa riky, saya akan mencoba menyampaikan pengalaman saya.
tapi sebelum itu, izinkan saya menyampaikan kata pengantar dulu
tapi saya minta tolong,dalam "menerjemahkan" kata-katanya lebih di teliti...dan jangan bersifat menghina...nanti anda di tegur sama Mod,jangan salahkan saya ya...
Quote from: ryu on 21 March 2010, 04:32:58 PM
semua yang menembus kebijaksanaan pastinya menolak perbuatan buruk karena telah mengetahui akibat dari perbuatan buruk, apabila seseorang yang masih melakukan perbuatan buruk pastinya bukanlah orang yang bijaksana, sesederhana itu.
Bro Ryu,Jhana ke 4 apakah sudah bisa dikatakan menembus kebijaksanaan? ^^
Bagian Pertama :
Ungkapan Terima Kasih
Sebelumnya, saya ungkapan rasa terima kasih saya kepada Sang Budha, dimana ajarannya telah membawa diri saya kepada suatu pencerahan yang tinggi. Dan juga saya ucapkan terima kasih kepada Para Bikhu, kaum Cendikiawan Budhis, umat Budhis dan kawan-kawan diskusi saya di media internet. Dimana, melalui merekalah ajaran sang budha telah sampai kepada saya, melalui naskah-naskah yang ditulis dan dipublikasikan di internet, dan naskah-naskah yang dibukukan, baik karya asli cendikiawan budhis Indonesia, maupun luar negeri yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saya merasa sangat beruntung dapat mempelajari ajaran-ajaran mulia sang Budha.
Baik para bikhu, para cendikian budhis, dan kawan-kawan budhis yang yang selama ini sering berdiskusi dengan saya di internet, mereka semua saya anggap sebagai guru-guru saya, dimana saya belajar dan berkonsultasi tentang meditasi dan budhisme kepada mereka.
Perbedaan Faham
Tetapi, kemudian dalam diskusi, terasa bahwa saya memiliki banyak faham yang berbeda dengan umumnya umat budhis. Lalu, bagaimana bisa, bila saya belajar dari mereka, tapi kemudian bertentangan faham dengan mereka? Hal itu disebabkan oleh kesimpulan-kesimpulan yang saya buat dan pengalaman-pengalaman spiritual saya yang berbeda dengan kesimpulan dan pengalaman spiritual mereka.
Perbedaan faham sebenarnya bukanlah suatu masalah, karena setiap manusia satu sama lain sudah pasti memiliki perbedaan faham. Bahkan menurut seorang kawan budhis, 1000 kepala itu artinya 1000 pemahaman yang berbeda. Dan jika kita mau membesar-besarkan perbedaan, maka pipi kiri dan kanan sekalipun itu memiliki banyak perbedaan. Yang menjadi masalah bukanlah perbedaan faham tersebut, tapi "rasa pertentangan" yang muncul karena perbedaan. Saya pikir, rasa pertentangan ini dapat dihindari bila kita dapat melakukan diskusi dengan cara yang terbaik.
Sebuah Pengakuan
Belakangan ini, saya mengaku telah dapat menembus jhana ke-4. Dan saya tidak menyangka pengakuan saya tersebut mendorong kawan-kawan budhis di dhammacitta.org untuk menyelidiki kebenarannya secara lebih mendalam.
Penyelidikan Terhadap Diri Saya
Rupanya, kawan-kawan Budhis sangat tertarik dengan pengakuan saya, dan ingin memastikan benar atau kah salah pernyataan saya tersebut. Kemudian mereka berusaha mengidentifikasi, menganalisa dan menyimpulkan hasil dari penyelidikan terhadap saya. Di sini, saya merasa menjadi sebuah objek penyelidikan. Tak masalah, jika memang mereka menginginkan hal tersebut.
Beberapa kawan diskusi saya di dhammacitta tampaknya telah menyimpulkan bahwa saya bukanlah orang yang telah menembus jhana ke-4, dan ingin membuktikan kebenaran kesimpulannya tersebut. Sebenarnya, saya tidak terlalu peduli, apakah saya sudah mencapai jhana-jhana di dalam meditasi ataukah tidak. Seandainya mereka mempunya keyakinan bahwa saya bukanlah orang yang tembus hingga jhana ke-4, maka saya dapat menerima penilaian tersebut dengan berlapang dada. Tetapi, rupanya mereka juga bukan hanya sekedar menyatakan bahwa saya bukanlah seorang pencapai jhana ke-4, tetapi juga ingin meyakinkan diri saya tentang hal tersebut. Jika hal ini benar, maka tentulah mereka perlu mengemukakan argumentasi-argumentasi yang dapat meyakinkan diri saya. Tetapi jika mereka sekedar ingin menyampaikan pendapat dan hasil kesimpulan mereka tentang saya, tentu tidak perlulah mereka melelahkan diri dengan cara menyampaikan argument-argument yang meyakinkan diri saya.
bersambung.....
bagian dua :
Saksi
Ketika seorang bikhu telah tembus hingga jhana ke-4, siapa orang yang dapat dijadikan saksi, dan barang apa yang dapat dijadikan bukti, dan apakah mungkin orang-orang yang belum sampai ke tahapan jhana tersebut dapat menilai benar tidaknya pencapaian bikhu tersebut?
Di zaman sang budha, tidak ada yang lebih terampil dan lebih objektif dalam menilai sampai dimana tahap pencapaian para bikhu, selain dari sang Budha sendiri sebagai orang yang waspada dan "yang tercerahkan sepenuhnya". Bila saja masih ada kekotoran di dalam batin kita, maka mungkinkah kita dapat menilai secara objektif sampai di mana tahap pencapaian jhana seseorang? Prinspinya, seseorang yang memiliki kebijaksaan yang tinggi dapat menilai dengan tepat orang yang kualitas batinya lebih rendah, tetapi sseorang tidak akan dapat menilai dengan benar orang yang kualitas batinnya lebih tinggi.
Sang Budha adalah orang yang memiliki "pandangan yang menembus". Dan sang Budha menilai tahap pencapai para bikhu melalui pandangan yang menembus tersebut, dan tidak semata-mata menilainya dari apa yang dikatakan dan dilakukan oleh bikhu tersebut. Banyaklah orang yang tampak "jahat" dalam lahirnya, tetapi sang Budha menyatakan kesucian bathinnya. Maka, ketika ada orang menilai keadaan bathin saya, melalui apa yang saya katakan di forum diskusi, sungguh itu tidak sesuai dengan bagaimana cara sang Budha melakukan penilaian. Mereka harus memiliki pandangan bathin yang menembus ke dalam batin saya sendiri dan kepada kehidupan lampau, untuk melihat kebenaran, apakah betul atau tidak saya telah mencapai jhana ke-4, dan tidak semata-mata menjadikan "apa yang nyatakan di forum" sebagai tolak ukur benar tidaknya pencapaian jhana ke 4. tetapi, untuk memenuhi rasa ingin tahu seseorang, saya mempersilahkan mereka untuk menganalisa keadaan batin saya melalui kata-kata yang saya sampaikan. Sayapun tidak mengharapkan hasil penilaian yang objektif dan adil. Saya pasrah saja dengan apapun dari hasil penilaian mereka terhdap saya.
sampai bagian ke berapa ya?saya bisa ngomentarinya mungkin minggu depan..
bagian tiga :
Tidak Terampil Menyenangkan Orang Lain
Berikut ini, terlebih dahulu saya menceritakan perasaan saya. Sekali lagi, ini soal perasaan, yang belum tentu benar dan objektif. Tetapi apa yang dirasakan oleh saya, belum tentu pula salah. Tapi saya mohon maaf, bila apa yang dirasakan oleh saya, jauhlah ari kebenaran.
Pendapat umat budhis terhadap saya itu berubah-ubah dan berbeda-beda. Dalam suatu diskusi, kadang mereka percaya bahwa saya telah mencapai jhana-jhana. Di lain diskusi, mereka sangat tidak percaya kalau saya sudah mencapai jhana. Dan saya merasa bahwa standar mereka untuk percaya atau tidak itu bergantung dari "apakah mereka sedang menyukai saya atau tidak". Hal yang sama terjadi pada persoalan "ingatan saya tentang kehidupan masa lampau". Thread pertama saya di forum budhis mengupas tentang kemampuan saya mengingat kehidupan lampau. Hampir semua kawan budhis yang diskusi dengan saya waktu itu mendukung, setuju dan percaya bahwa saya memang dapat mengingat kehidupan lampau. Tapi, belakangan, setelah "mereka tidak suka dengan saya" karena perdebatan saya yang kasar dengan beberapa orang, kepercayaan mereka berubah menjadi ketidak percayaan, dan ingatan saya terhadap kehidupan lampau dianggap sebagai khayalan saja.
Sang Budha mengatakan bahwa kalau orang merasa suka terhadap sesuatu, maka ia akan menilainya baik dan benar. Semakin suka, berarti semakin baik dan benar. Kalau orang benci sesuatu, maka ia akan menilainya buruk dan salah. Semakin benci pada sesuatu itu, berari sesuatu itu dinilainya lebih buruk dan salah. Dan benarlah kata sang Budha, seharusnya kita menjelaskan dhamma dengan cara yang menyenangkan. Tetapi saya tidak terlalu terampil dalam hal ini.
bagian keempat :
Sebagian umat budhis juga kadang-kadang memiliki persepsi yang berlebihan tentang seseorang yang telah mencapai jhana ke-4. ini bukan kata saya saja, dalam suatu naskah budhis, sya membaca bahwa seorang bikhu pun menyatakan hal serupa itu. seakan-akan orang yang telah mencapai jhana ke-4 harus sehebat superman. Atau memiliki suatu perilaku yang sangat sempurna. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh kisah-kisah tentang para bikhu yang telah mencapai tahapan meditasi yang tinggi. Tapi mungkin mereka tidak begitu menyadari bahwa tentunya dalam kisah-kisah tersebut, hanya bagian-bagian hebatnya saja yang ditampilkan ke permukaan. faktanya, seseorang yang telah tembus hingga jhana ke-4 juga masih memiliki banyak kelemahan sebagai manusia, tetapi tentunya tidak perlu dicatat dalam kisah-kisah. Hanya hal-hal baik itu saja yang harus diangkat agar menjadi contoh bagi umat.
Memang benar, orang dengan jhana ke-4 itu memiliki kekuatan-kekuatan adhie alami, tapi tidaklah sehebat dalam khayalan umat yang tidak tahu keadaan sebenarnya. Kalaulah seseorang tidak sehabat yang dibayangkan umat, maka umat akan dinilainya "belum tembus hingga ke jhana ke-4".
Mungkin juga diantara mereka jarang yang bisa tembus hingga jhana ke-4, karena mereka sendiri yang medudukan jhana ke – 4 di tempat yang terlalu tinggi. Dan mungkin juga sebenarnya lebih banyak orang / bikhu yang telah mencapai jhana ke -4 dari yang diketahui umat, tetapi mereka lebih suka merahasiakannya dari pada mengemukakannya, menimbang persepsi yang berlebihan dari umat tentang kehebatan orang dengan jhana ke-4.
tapi ini hnya dugaan-dugaan saya. mohon maaf apabila tidak ssuai dengan kenyataannya.
bersambung.....
cepat banget anda tulis...itu tidak ngopek?? :P
bagian kelima :
Kesimpulan bahwa saya telah sampai ke jhana ke – 4 tidak saya buat sendiri, tetapi melalui proses diskusi dan konsultasi dengan kawan-kawan budhis yang berada di dhammacitta.org dan vihara.com. suatu waktu, saya menceritakan pengalaman meditasi saya kepada salah satu kawan diskusi saya, kemudian mereka menyimpulkan bahwa saya telah mencapai jhana pertama. Saya masih ingat-ingat yang dia katakan kepada saya, "memang seperti itulah pengalaman jhana". Intinya, mereka setuju bahwa saya telah mencapai jhana. Sedangkan pengalaman yang saya ceritakan tersebut bukanlah pengalaman meditasi saya yang tertinggi. Dengan demikian, maka saya menyimpulkan bahwa pencapaian konsentrasi saya telah lebih dari jhana pertama.
Tetapi, kesetjuan dan kepercayaan kawan diskusi tersebut, bukan satu-satunya premis bagi kesimpulan saya, masih banyak premis-premis lainnya. Diantaranya, melalui studi banding antara pengalaman meditasi saya dengan teori-teori jhana dalam budhisme, maka dapat saya simpulkan bahwa saya telah mencapai jhana ke – 4.
Jauh-jauh sebelum mengenal istilah jhana-jhana, saya sudah menekuni meditasi dan mencapai tahapan-tahapan yang tinggi dan puncak konsentrasi, dalam aliran meditasi tersebut konsentrasi dibagai kepada 7 tahapan konsentrasi. Dan saya telah mencapai konsentrasi tahap ke 7. hal ini berdasarkan perrnyataan dari guru meditasi saya sendiri. Suatu ketika, ketika saya usai bermeditasi, beliau berkata kepada saya, "masih tersisa 5 % lagi". Maksudnya, jika saya dapat meningkatkan konsentrasi sedikit lagi, maka saya berada di puncak konsentrasi tahap ke 7. dalam istilah jhana, itu artinya saya telah mencapai jhana ke 3, sedang menuju jhana ke 4.
bersambung...
bagian ke enam :
samaggi-phala.or.id
Saya mengenal istilah jhana-jhana setelah secara kebetulan saya menemukan website agama budha, samaggi-phala.or.id. Saya takjub dengan ajaran meditasi budhisme yang sangat kaya akan teori dan perbendaharaan istilah. Berbeda dengan aliran meditasi kami, yang sangat miskin dengan teori dan perbendaharaan istilah. Banyak hal yang saya fahami dari pengalaman meditasi saya, tapi saya tidak tahu bagaimana cara menyebut dan menjelaskannya kepada orang lain. Dengan teori-teori meditasi agama budha benar-benar dapat menjadi "wakil" dari pengalaman-pengalaman meditasi saya tersebut.
Walaupun saya telah menemukan sistem meditasi agama budha di website samagi-phala.or.id, tapi saya tidak tertarik untuk menyelami meditasi samatha dan jhana-jhana secara teori. Saya lebih tertarik untuk mempelajari teori meditasi vipasanna dan mempraktikannya sedikit demi sedikit. Walaupun dalam teori budhisme samatha-vipasana identik sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang harus dipraktikan bersama-sama, tetapi kedua bentuk meditasi itu memang berbeda dan terpisah. Bisa saja, orang hanya mempraktikan meditasi samatha saja, tanpa mempraktikan vipassana.
Selain merupakan inspirasi kepada saya tentang bagaimana cara mengungkapkan pengalaman meditasi saya, banyak pula pengajaran yang benar-benar baru di dalam ajaran meditasi budhisme, terutama meditasi vipasanna. Meditasi samatha bagi saya, hanyalah nama lain dan bentuk lain dari meditasi cakra dan meditasi pranayama yang dulu pernah saya pelajari. Tetapi meditasi vipasanna adalah benar-benar merupakan ajaran yang baru bagi saya. Setelah saya praktikan sendiri, meditasi vipasanna tersebut sangat luar biasa hasilnya. Tetapi, hal yang mungkin akan dianggap aneh, saya mengalami penurunan daya konsentrasi dari sebelumnya setelah banyak mempraktikan meditasi vipasanna. Mungkin dalam keyakinan umat budhis, seorang yang mempraktikan vipassana itu tentu konsentrasinya akan terus meningkat, bukan menurun. Entahlah, tapi begitulah pengalaman saya, saya ungkapkan sebagaimana adanya.
bersambung....
bagian ketujuh :
sistem meditasi sebelumnya
Dalam sistem meditasi sebelumnya, saya tidak pernah mengerahkan energi untuk "melihat dhamma". Semua usaha dan energi, dikerahkan untuk terus menerus mengembangkan kekuatan konsentrasi. Tetapi, dalam meditasi vipasanna, lebih banyak usaha dikerahkan untuk dapat "melihat dhamma", dan konsentrasi dikembangkan cukup sampai pada batas "dhamma yang terlihat". Sebenarnya masuk akal, kenapa setelah menekuni meditasi vipassana, justru kekuatan konsentrasi saya menurun dari sebelumnya. Tetapi, saya kira hal ini agak berbeda dengan keyakinan umat budhis pada umumnya.
Guru kami tidak memberikan nama untuk masing-masing tahapan konsentrasi yang dicapai dalam meditasi-meditasi, tetapi beliau memberikan selendang berwarna warni seturut dengan warna pelangi untuk menandai tingkat konsentrasi mana yang telah mampu dicapai oleh seorang murid. Warna-warni tersebut adalah merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Semuanya ada 7 warna. Maka saya menyimpulkan bahwa tinkatkan konsentrasi utama di aliran meditasi kami ada 7 tingkatan. Prinsipnya ada tingkat kosentrasi yang lebih tinggi dari tingkat konsentrasi ke 7, tetapi semua tahapan konsentrasi diatas ke 7 digolongkan ke tahapan ke 7 saja, dengan beberapa alasan yang tidak dapat saya uraian di sini.
7 tingkatan konsentrasi ini juga berhubungan dengan 7 tingkatan cakra pada tubuh. Pada setiap tingkatan, satu cakra akan terbuka. Dan orang yang telah mencapai konsentrasi tahap ke 7, artinya ke tujuh cakra di dalam tubuhnya telah terbuka. (Ajaran tentang cakra-cakra ini tidak dapat saya temukan dalam budhisme. Dalam beberapa artikel, saya menemukan bahwa sebagian dari umat budhis mengangap cakra-cakra seperti itu hanyalah khayalan saja).
Pada tahun 2001 saya telah mendapatkan selendang berwarna ungu dari guru saya dalam sebuah upacara pengesahan, menandakan bahwa saya telah mencapai konsentrasi tahap ke 7. pada tahun 2002, saya telah mendapatkan selendang warna ungu polet hitam 1, menandakan bahwa saya telah menyelesaikan konsentrasi tahap ke 7, dan sedang menekuni pencapai konsentrasi yang lebih tinggi dari itu. Dan pada tahun 2003, saya mendapatkan selendang ungu polet hitam II.
bagian ke delapan :
pengalaman Jhana
Kemudian setelah saya membeli dan membaca buku Angutara Nikaya, saya tertarik untuk mempelajari jhana-jhana secara teori. Lalu saya menyimpulkan bahwa jhana ke-1 itu sama dengan konsentrasi tahap ke 3 dalam aliran meditasi cakra yang saya pelajari sebelumnya, jhana ke 2 sama dengan tahap konsentrasi ke 4, jhana ke 3 = konsentrasi ke 6, jhana ke 4 = konsentrasi ke 7.
Ini adalah teori budhisme tentang jhana ke-4 :
Quote
bersama lenyapnya kesenangan dan penderitaan, dan karena telah lenyapnya suka-cita dan kesedihan, dia masuk dan berdiam di jhana keempat-yang tidak menyakitkan pun tidak menyenangkan- dan mencakup pemurnian kewaspadaan lewat ketenang seimbangan
(Petikan Angutara Nikaya, hal 216)
Dan ini adalah pengalaman meditasi saya untuk dibandingkan dengan teori budhisme tentang jhana ke -4 :
Apa yang dikatakan sang Budha dalam Angutara Nikaya tersebut, itulah yang menjelaskan pengalaman saya dalam meditasi-meditasi yang saya lakukan.
Apakah lagi sebenarnya yang harus diceritakan. Justru sebelumnya saya sangat kesulitan dalam menceritakan pengalaman alam meditasi itu, dan teori-teori budhisme itu lah yang membantu saya menggambarkan apa yang saya alami. Kata-kata yang saya kutip dari Petikan Angutara Nikaya tersebut telah benar-benar mewakili apa yang saya alami dalam meditasi.
Tetapi sebagaimana yang saya katakan, bila saya mengutarakan pengalaman jhana hanya dari kata-kata sang budha, tentu saya hanya akan dianggap menyontek, oleh karena itu, saya akan mencoba mengingat pengalaman jhana saya dan menggambarkannya dengan bahasa sendiri.
Ketenang seimbangan, tanpa perasaan menyakitkan pun menyenangkan, merupakan hal yang benar-benar telah saya alami setelah pencapaian sutau tahap konsentrasi dalam meditasi. Dan saya mengalami bahwa ketenang seimbangan ini tidak hanya terjadi pada saat jhana tersebut tercapai, tetapi sebelum dan sesudahnyapun terjadi. Ketenang seimbangan menjadi syarat kelayakan batin untuk masuk ke jahan ke-4. dan ketenangan seimbanganpun merupakan hasil dari pencapaian jhana ke-4. di sini berarti ketenang seimbangan tidak hanya merupakan akibat dari pencapaian jhana ke-4, tetapi juga sebab. Inilah yang saya alami.
Sejenak setelah pencapaian jhana keempat, batin sangat tenang, seperti danau yang airnya sangat tenang, dan tetap tenang terjaga, walaupun kemudian ada bagai angin yang mengamuk. Ketika orang marah dan mencaci maki saya, tidak ada sedikitpun suatu perubahan ketenangan di dalam diri saya. Batin ini tidak terpegaruh oleh persoalan-persoalan eksternal, sebaliknya batin ini sangat berpengaruh kepada persoalan-persoalan eksternal. Seakan-akan sebuah batu pun akan berpindah sendiri, ketika pikiran saya membayangkan bahwa batu tersebut berpindah tempat.
Semua nafsu ragawi ditinggalkan, tak sedikitpun menginginkan dan merindukannya, tidak muncul bentuk-bentuk keserakahan dan kebencian yang mendorong kepada perbuatan jahat, dan batin terasa sangat suci. Suka maupun benci telah benar-benar mereda. Tetapi mereda nya, tidak benar-benar hilang, melainkan tertekan oleh pikiran yang terkonsentrasi.
Hanya satu yang membuat seseorang keluar dari kondisi upekha tersebut, yaitu keputusan salah yang muncul dari pandangan yang salah. Bagaimana ini maksudnya? Sulit bagi saya untuk menjelaskannya. Tapi saya dapat memperumpakan bahwa setelah pencapaian jhana ke-4, saya tidak lagi tertarik dengan kenikmatan seksual, sebagaimana yang saya alami. Seandainya perempuan cantik jelita menari bertelanjang di hadapanku, maka batin ini tidak akan mengalami perubahan ketenangan sama sekali. Sperti tulah yang aku alami, dalam suatu kasus lain yang agak berbeda. Tetapi, walaupun memiliki ketenangan yang tinggi, bisa jadi muncul pandangan yang salah, misalnya, "walapun aku bersentuhan dengan wanita itu, tapi batinku tidak akan tersentuh oleh hal-hal duniawi, maka bukanlah suatu masalah bila aku menyentuh wanita itu." Tetapi, ketika menyentuh wanita itu, kewaspadaan mulai lengah, dan nafsu-nafsu yang telah ditekan kuat-kuat, mengendap di dasar hati, tergoncang lagi, walaupun sedikit demi sedikit. Dengan demikian, saya mulai menempuh jalan yang menurun kembali. Mungkin tidaklah terlalu tepat, bagaimana saya menggambarkan hal-hal yang menyebabkan penurunan batin seseorang dari tingkatan jhana yang tinggi. Semua ini hanya keterbatasan perbendaharaan kata-kata yang saya miliki.
Bagi seorang yang mencai jhana yang tinggi, suatu pandangan yang salah, tentu muncul dari suatu kebodohan spiritual, bentuk lobha dan dosa yang sangat halus. Segala sesuatu terus berubah, termasuk kondisi konsentrasi (jhana) di dalam batin kita. Tidak mudah mempertahankan keseimbangan batin. Ketika ketenang seimbangan memudar sedikit saja, maka itu merupakan celah bagi moha, loba dan dosa untuk tampil ke permukaan. Itulah kemudian mengapa Jhana tidak dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang cukup lama.
Walaupun demikian, pengalaman jhana membuat saya ingin kembali ke kondisi jhana sebagai kondisi batin yang lebih baik, memahami apa yang penting untuk ditemukan dari pada kesenangan-kesenangan ragawi.
bersambung.....
bagian ke sembilan :
kekuatan supranatural
Selain itu juga, munculnya kekuatan-kekuatan adhi alami merupakan pertanda tercapainya jhana ke-4. mungkin saya perlu menceritakan kekuatan-kekuatan adhie alami yang muncul setelah pencapaian jhana-jhana tersebut, walaupun tidak disertai oleh "saksi-saksi", tapi sebenarnya manusia memiliki feeling yang dapat menerka, apakah suatu cerita itu hanya sekedar hasil imajinasi saja, atau muncul dari suatu fakta yang ada. Sang Budha sendiri, ketika beliau melihat kebenaran dan memperoleh pencerahan sempurna, tidak ada saksi lain kecuali dirinya sendiri. Tapi kebenaran peristiwa pencerahan tersebut dapat difahami melalui kebenaran ajrannya.
Demikian pula dengan kebenaran kekuatan-kekuatan adhie alami yang saya alami dan muncul setelah pencapaian jhana-jhana tersebut, tidak ada saksi lain yang dapat di sodorkan ke arena diskusi, kcuali diri saya sendiri, sehinga sangat mungkin bagi orang lain menganggapnya fiktif.
Bila saat ini saya mengaku sedang melihat hantu peta kelaparan sedang berdiri berdesakan di luar kamar saya, lalu siapa yang dapat dijadikan saksi yang dapat membenarkan bahwa diri saya sedang melihat hantu peta. Tidak ada saksi yang dapat dijadikan saksi, kecuali orang yang bisa melihat peta itu sendiri. Dan itu sangat jarang. Itlah mengapa, persoalan mistik sulit sekali dicarikan saksinya.
Walaupun demikian, saya ingin menceritakan peristiwa-peristiwa mistik yang saya alami, seandainya kisah-kisah tersebut tidak dapat dianggap sebagai suatu kejujuran dan bukti bahwa saya telah mencapai suatu tahapan konsentrasi yang tinggi setingkat dengan jhana ke-4, maka pembaca dapat menjadikah kisah-kisah tersebut sebagai hiburan saja, mudah-mudahan menghibur. Lagi pula, tidaklah terlalu penting untuk membuktikan bahwa diri saya sudah sampai kepada tahapan jhana ke-4. katakanlah, tak satupun jhana-jhana itu yang telah saya raih, dan saya tidak akan kebenaratan dengan penilaian seperti itu.
Pengalaman pertama : kesadaran di luar waktu
Sedetik setelah pencapain suatu kosentrasi, Tiba-tiba saya mengalami suatu kesadaran di luar waktu. Waktu berhenti untuk saya. Sulit bagi saya menjelaskan hal ini dengan kata-kata. Tentunya, jam di dinding masih terus berdetak, dan matahari menuju ke barat, tetapi saya telah berada di luar waktu. Seandainya saya berada di sana lebih lama, maka walaupun waktu dunia terus berjalan, dan pepohonan sudah meniggi, tentulah saya tidak akan menjadi tua, karena saya tidak bergerak mengikuti waktu. Sangat sulit dijabarkan. Tapi yang jelas, pengalaman ini mustahil tercapai tanpa suatu pencapaian konsentrasi yang tinggi.
Pengalaman Kedua : melayang di angkasa
Suatu sore di hari kamis, saya bermeditasi sendiri di rumah. Saya sangat asyik tenggelam dalam meditasi, sampai pada suatu ke dalaman. Ketika saya usai bermeditasi, dan mulai membuka mata saya, saya sadar bahwa saya tidak menyentuh lantai, melainkan melayang diangkasa. Biasanya kejadian seperti itu cukup mengagetkan, mengherankan dan menggembirakan. Tetapi pada waktu itu, tidak ada rasa terkejut, heran atau gembira. Hal-hal seperti itu tidak dapat lagi menyentuh batin saya. Tetapi jauh di dalam batin, ada suatu bentuk kegembiraan yang halus sekali, yang bagaiman bakteri yang mustahil terlihat apabila tanpa mikroskop. Dan kegembiraan yang halus tersebut telah menurunkan saya ke lantai secara perlahan-lahan. Bukan hanya menurunkan, melainkan juga melenyapkan kemampuan berlevitasi secara seketika itu juga.
Pengalaman ketiga : menembus alam-alam gaib
Suatu hari, seorang pria mendatangi rumah saya. Dia meminta tolong, karena istrinya tiba-tiba kejang dan keluar tiga (or dua) bilah paku dari kepalanya. Saya segera mendatangi perempuan tersebut. Sesampainya di sana, sayapun tidak tahu apa yang harus dilakukan, sementara keadaan semakin mendesak, perempuan itu seakan-akan hendak melepaskan nyawa.
Akhirnya saya memutuskan untuk bermeditasi. Tak lama kemudian, seakan lenyaplah semua kesadaran tubuh, saya tenggelam di alam konsentrasi. Tidak lagi terdengar suara rintihan dari yang sakit atau tangisan dari keluarga si pasien, karena saya sepenuhnya berada pada satu titik konsentrasi.
Sejenak setelah keluar dari konsentrasi, tiba-tiba saya berada di suatu alam yang gelap, sperti gua yang dalam, luas dan gelap. Namun di bawah sana terdapat api yang menyala-nyala. Sebagaimana yang digambarkan orang tentang neraka. Saya melihat perempuan yang sakit tadi berada di jurang neraka tersebut, terhimpit oleh dua batu besar. Lalu, saya menghampiri dia untuk menolongnya. Tetapi kemudian muncul 8 orang manusia yang mencegah saya untuk menolongnya, dan mereka berkata, "biarkan saja dia di sana, itu akibat dosa-dosanya terhadap kami!"
Melalui suatu negosiasi, akhirnya ke 8 manusia tersebut memperbolehkan saya menolongnya. Saya dapat mengeluarkanya dari himpitan batu. Lalu arwah perempuan itu melesat ke angkasa. Setelah itu, kesadaran saya kembali berada dalam tubuh. Saya membuka mata, bersamaan dengan itu si wanita berhenti kejang-kejang dan siuman.
Pengalaman Keempat : berbicara dengan hewan dan tumbuhan
Bila saya telah bermeditasi dengan mencapai titik konsentrasi yang tinggi, maka kemudian saya dapat mendengar tumbuhan dan hewan berbicara seperti manusia.
Suatu hari, saya berjalan melewati pesawahan. Tiba-tiba terdengar ramai ada yang berbicara. Setelah saya dengarkan secara seksama, ternyata kata-kata itu tertuju pada saya. Mereka berkata, "terima kasih anda telah lewat ke mari. Kami adalah padi-padi di sawah, kedatanganmu menebakan cahaya yang membahagiakan bagi kami, sehingga kami menjadi gembira dan dapat bertumbuh dengan lebih baik dan subur." Ternyata itu suara padi-padi di sawah.
Penglaman Kelima : Teringat pada kehidupan lampau
Saya seorang muslim sunni, yang dari kecil di didik akidah Islam sunni yang tidak meyakini adanya reinkarnasi. Dalam ajaran Islam, setelah kematian, orang hanya dihadapkan kepada dua kemungkinan, yaitu apakah ke surga ataukah ke neraka, dan tidak ada kemungkinan terlahir kembali menjadi seorang manusia atau makhluk lainnya.
Tetapi saya, karena pencapaian konsentrasi yang tinggi tadi, akhirnya dapat mengingat kehidupan-kehidupan di masa lampau. Saya ingat, siapakah saya dikehidupan lampu, dan apa yang menyebabkan kematian saya, dan mengapa saya terlahir kembali. Tentang hal ini, telah banyak saya ceritakan di forum dhammacitta.org.
Pengalaman ketujuh : masih banyak lagi
bersambung....
Bagian Akhir :
Silahkan analisis uraian saya diatas, kalau memang anda mau menganalisis. apakah itu berasal dari perrnyataan orang lain yang saya kutip, atau murni dari pengalaman pribadi, kisah nyata atau fiksi, dilukiskan oleh orang yang memiliki konsentrasi rendah atau oleh orang yang memiliki konsentrasi tinggi, apakah dijelaskan oleh orang awam terhadap ajaran budha ataukah oleh orang yang mengerti, oleh orang yang melihat dhamma ataukah yang buta dari dhamma. Dan saya tidak akan membantah hasil penilaian dari anda, apapun hasilnya. Silahkan saja.
Dan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, bila sebagian atau semua urian tersebut diatas tidak berkenan di hati anda. Tidak sedikitpun ada maksud untuk sombong atau merendahkan pihak lain. Dan semua itu diungkapkan atas dasar permintaan seseorang.
tamat
sipp..giliran saya berkomentar.. ^^
aduh gk cukup..waktu tinggal 3menit saya quotekan dulu semua tulisan anda mencegah anda memodify nya
Bagian Pertama :
Ungkapan Terima Kasih
Sebelumnya, saya ungkapan rasa terima kasih saya kepada Sang Budha, dimana ajarannya telah membawa diri saya kepada suatu pencerahan yang tinggi. Dan juga saya ucapkan terima kasih kepada Para Bikhu, kaum Cendikiawan Budhis, umat Budhis dan kawan-kawan diskusi saya di media internet. Dimana, melalui merekalah ajaran sang budha telah sampai kepada saya, melalui naskah-naskah yang ditulis dan dipublikasikan di internet, dan naskah-naskah yang dibukukan, baik karya asli cendikiawan budhis Indonesia, maupun luar negeri yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saya merasa sangat beruntung dapat mempelajari ajaran-ajaran mulia sang Budha.
Baik para bikhu, para cendikian budhis, dan kawan-kawan budhis yang yang selama ini sering berdiskusi dengan saya di internet, mereka semua saya anggap sebagai guru-guru saya, dimana saya belajar dan berkonsultasi tentang meditasi dan budhisme kepada mereka.
Perbedaan Faham
Tetapi, kemudian dalam diskusi, terasa bahwa saya memiliki banyak faham yang berbeda dengan umumnya umat budhis. Lalu, bagaimana bisa, bila saya belajar dari mereka, tapi kemudian bertentangan faham dengan mereka? Hal itu disebabkan oleh kesimpulan-kesimpulan yang saya buat dan pengalaman-pengalaman spiritual saya yang berbeda dengan kesimpulan dan pengalaman spiritual mereka.
Perbedaan faham sebenarnya bukanlah suatu masalah, karena setiap manusia satu sama lain sudah pasti memiliki perbedaan faham. Bahkan menurut seorang kawan budhis, 1000 kepala itu artinya 1000 pemahaman yang berbeda. Dan jika kita mau membesar-besarkan perbedaan, maka pipi kiri dan kanan sekalipun itu memiliki banyak perbedaan. Yang menjadi masalah bukanlah perbedaan faham tersebut, tapi "rasa pertentangan" yang muncul karena perbedaan. Saya pikir, rasa pertentangan ini dapat dihindari bila kita dapat melakukan diskusi dengan cara yang terbaik.
Sebuah Pengakuan
Belakangan ini, saya mengaku telah dapat menembus jhana ke-4. Dan saya tidak menyangka pengakuan saya tersebut mendorong kawan-kawan budhis di dhammacitta.org untuk menyelidiki kebenarannya secara lebih mendalam.
Penyelidikan Terhadap Diri Saya
Rupanya, kawan-kawan Budhis sangat tertarik dengan pengakuan saya, dan ingin memastikan benar atau kah salah pernyataan saya tersebut. Kemudian mereka berusaha mengidentifikasi, menganalisa dan menyimpulkan hasil dari penyelidikan terhadap saya. Di sini, saya merasa menjadi sebuah objek penyelidikan. Tak masalah, jika memang mereka menginginkan hal tersebut.
Beberapa kawan diskusi saya di dhammacitta tampaknya telah menyimpulkan bahwa saya bukanlah orang yang telah menembus jhana ke-4, dan ingin membuktikan kebenaran kesimpulannya tersebut. Sebenarnya, saya tidak terlalu peduli, apakah saya sudah mencapai jhana-jhana di dalam meditasi ataukah tidak. Seandainya mereka mempunya keyakinan bahwa saya bukanlah orang yang tembus hingga jhana ke-4, maka saya dapat menerima penilaian tersebut dengan berlapang dada. Tetapi, rupanya mereka juga bukan hanya sekedar menyatakan bahwa saya bukanlah seorang pencapai jhana ke-4, tetapi juga ingin meyakinkan diri saya tentang hal tersebut. Jika hal ini benar, maka tentulah mereka perlu mengemukakan argumentasi-argumentasi yang dapat meyakinkan diri saya. Tetapi jika mereka sekedar ingin menyampaikan pendapat dan hasil kesimpulan mereka tentang saya, tentu tidak perlulah mereka melelahkan diri dengan cara menyampaikan argument-argument yang meyakinkan diri saya.
bersambung.....
bagian dua :
Saksi
Ketika seorang bikhu telah tembus hingga jhana ke-4, siapa orang yang dapat dijadikan saksi, dan barang apa yang dapat dijadikan bukti, dan apakah mungkin orang-orang yang belum sampai ke tahapan jhana tersebut dapat menilai benar tidaknya pencapaian bikhu tersebut?
Di zaman sang budha, tidak ada yang lebih terampil dan lebih objektif dalam menilai sampai dimana tahap pencapaian para bikhu, selain dari sang Budha sendiri sebagai orang yang waspada dan "yang tercerahkan sepenuhnya". Bila saja masih ada kekotoran di dalam batin kita, maka mungkinkah kita dapat menilai secara objektif sampai di mana tahap pencapaian jhana seseorang? Prinspinya, seseorang yang memiliki kebijaksaan yang tinggi dapat menilai dengan tepat orang yang kualitas batinya lebih rendah, tetapi sseorang tidak akan dapat menilai dengan benar orang yang kualitas batinnya lebih tinggi.
Sang Budha adalah orang yang memiliki "pandangan yang menembus". Dan sang Budha menilai tahap pencapai para bikhu melalui pandangan yang menembus tersebut, dan tidak semata-mata menilainya dari apa yang dikatakan dan dilakukan oleh bikhu tersebut. Banyaklah orang yang tampak "jahat" dalam lahirnya, tetapi sang Budha menyatakan kesucian bathinnya. Maka, ketika ada orang menilai keadaan bathin saya, melalui apa yang saya katakan di forum diskusi, sungguh itu tidak sesuai dengan bagaimana cara sang Budha melakukan penilaian. Mereka harus memiliki pandangan bathin yang menembus ke dalam batin saya sendiri dan kepada kehidupan lampau, untuk melihat kebenaran, apakah betul atau tidak saya telah mencapai jhana ke-4, dan tidak semata-mata menjadikan "apa yang nyatakan di forum" sebagai tolak ukur benar tidaknya pencapaian jhana ke 4. tetapi, untuk memenuhi rasa ingin tahu seseorang, saya mempersilahkan mereka untuk menganalisa keadaan batin saya melalui kata-kata yang saya sampaikan. Sayapun tidak mengharapkan hasil penilaian yang objektif dan adil. Saya pasrah saja dengan apapun dari hasil penilaian mereka terhdap saya.
bagian tiga :
Tidak Terampil Menyenangkan Orang Lain
Berikut ini, terlebih dahulu saya menceritakan perasaan saya. Sekali lagi, ini soal perasaan, yang belum tentu benar dan objektif. Tetapi apa yang dirasakan oleh saya, belum tentu pula salah. Tapi saya mohon maaf, bila apa yang dirasakan oleh saya, jauhlah ari kebenaran.
Pendapat umat budhis terhadap saya itu berubah-ubah dan berbeda-beda. Dalam suatu diskusi, kadang mereka percaya bahwa saya telah mencapai jhana-jhana. Di lain diskusi, mereka sangat tidak percaya kalau saya sudah mencapai jhana. Dan saya merasa bahwa standar mereka untuk percaya atau tidak itu bergantung dari "apakah mereka sedang menyukai saya atau tidak". Hal yang sama terjadi pada persoalan "ingatan saya tentang kehidupan masa lampau". Thread pertama saya di forum budhis mengupas tentang kemampuan saya mengingat kehidupan lampau. Hampir semua kawan budhis yang diskusi dengan saya waktu itu mendukung, setuju dan percaya bahwa saya memang dapat mengingat kehidupan lampau. Tapi, belakangan, setelah "mereka tidak suka dengan saya" karena perdebatan saya yang kasar dengan beberapa orang, kepercayaan mereka berubah menjadi ketidak percayaan, dan ingatan saya terhadap kehidupan lampau dianggap sebagai khayalan saja.
Sang Budha mengatakan bahwa kalau orang merasa suka terhadap sesuatu, maka ia akan menilainya baik dan benar. Semakin suka, berarti semakin baik dan benar. Kalau orang benci sesuatu, maka ia akan menilainya buruk dan salah. Semakin benci pada sesuatu itu, berari sesuatu itu dinilainya lebih buruk dan salah. Dan benarlah kata sang Budha, seharusnya kita menjelaskan dhamma dengan cara yang menyenangkan. Tetapi saya tidak terlalu terampil dalam hal ini.
bagian keempat :
Sebagian umat budhis juga kadang-kadang memiliki persepsi yang berlebihan tentang seseorang yang telah mencapai jhana ke-4. ini bukan kata saya saja, dalam suatu naskah budhis, sya membaca bahwa seorang bikhu pun menyatakan hal serupa itu. seakan-akan orang yang telah mencapai jhana ke-4 harus sehebat superman. Atau memiliki suatu perilaku yang sangat sempurna. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh kisah-kisah tentang para bikhu yang telah mencapai tahapan meditasi yang tinggi. Tapi mungkin mereka tidak begitu menyadari bahwa tentunya dalam kisah-kisah tersebut, hanya bagian-bagian hebatnya saja yang ditampilkan ke permukaan. faktanya, seseorang yang telah tembus hingga jhana ke-4 juga masih memiliki banyak kelemahan sebagai manusia, tetapi tentunya tidak perlu dicatat dalam kisah-kisah. Hanya hal-hal baik itu saja yang harus diangkat agar menjadi contoh bagi umat.
Memang benar, orang dengan jhana ke-4 itu memiliki kekuatan-kekuatan adhie alami, tapi tidaklah sehebat dalam khayalan umat yang tidak tahu keadaan sebenarnya. Kalaulah seseorang tidak sehabat yang dibayangkan umat, maka umat akan dinilainya "belum tembus hingga ke jhana ke-4".
Mungkin juga diantara mereka jarang yang bisa tembus hingga jhana ke-4, karena mereka sendiri yang medudukan jhana ke – 4 di tempat yang terlalu tinggi. Dan mungkin juga sebenarnya lebih banyak orang / bikhu yang telah mencapai jhana ke -4 dari yang diketahui umat, tetapi mereka lebih suka merahasiakannya dari pada mengemukakannya, menimbang persepsi yang berlebihan dari umat tentang kehebatan orang dengan jhana ke-4.
tapi ini hnya dugaan-dugaan saya. mohon maaf apabila tidak ssuai dengan kenyataannya.
bersambung.....bagian kelima :
Kesimpulan bahwa saya telah sampai ke jhana ke – 4 tidak saya buat sendiri, tetapi melalui proses diskusi dan konsultasi dengan kawan-kawan budhis yang berada di dhammacitta.org dan vihara.com. suatu waktu, saya menceritakan pengalaman meditasi saya kepada salah satu kawan diskusi saya, kemudian mereka menyimpulkan bahwa saya telah mencapai jhana pertama. Saya masih ingat-ingat yang dia katakan kepada saya, "memang seperti itulah pengalaman jhana". Intinya, mereka setuju bahwa saya telah mencapai jhana. Sedangkan pengalaman yang saya ceritakan tersebut bukanlah pengalaman meditasi saya yang tertinggi. Dengan demikian, maka saya menyimpulkan bahwa pencapaian konsentrasi saya telah lebih dari jhana pertama.
Tetapi, kesetjuan dan kepercayaan kawan diskusi tersebut, bukan satu-satunya premis bagi kesimpulan saya, masih banyak premis-premis lainnya. Diantaranya, melalui studi banding antara pengalaman meditasi saya dengan teori-teori jhana dalam budhisme, maka dapat saya simpulkan bahwa saya telah mencapai jhana ke – 4.
Jauh-jauh sebelum mengenal istilah jhana-jhana, saya sudah menekuni meditasi dan mencapai tahapan-tahapan yang tinggi dan puncak konsentrasi, dalam aliran meditasi tersebut konsentrasi dibagai kepada 7 tahapan konsentrasi. Dan saya telah mencapai konsentrasi tahap ke 7. hal ini berdasarkan perrnyataan dari guru meditasi saya sendiri. Suatu ketika, ketika saya usai bermeditasi, beliau berkata kepada saya, "masih tersisa 5 % lagi". Maksudnya, jika saya dapat meningkatkan konsentrasi sedikit lagi, maka saya berada di puncak konsentrasi tahap ke 7. dalam istilah jhana, itu artinya saya telah mencapai jhana ke 3, sedang menuju jhana ke 4.
tambahan, bisa mencapai jhana ke 4 belum tentu langsung punya idhi, perlu dilatih lagi. contohnya saja sariputta yg sebagai siswa utama yg memiliki jhana 1-4 dan arupajhana, sepertinya tidak ada abhinna. cmiiw
penilaian terhadap orang yg mengaku mencapai jhana biasanya bisa negatif yah bisa saja karena iri?
imo, memang jhana ini sudah terlalu dianggap "tinggi", terlalu high expectation. contohnya dalam anupada sutta dijelaskan bagaimana pada jhana 4 masih terdapat analisa.
jhana 1 saja sudah dibilang uttari manussa dhammo, pengalaman di luar pengalaman manusia biasa
wajar aja kalau dibilang superman ;D
Quote from: Sumedho on 21 March 2010, 09:32:34 PM
tambahan, bisa mencapai jhana ke 4 belum tentu langsung punya idhi, perlu dilatih lagi. contohnya saja sariputta yg sebagai siswa utama yg memiliki jhana 1-4 dan arupajhana, sepertinya tidak ada abhinna. cmiiw
penilaian terhadap orang yg mengaku mencapai jhana biasanya bisa negatif yah bisa saja karena iri?
imo, memang jhana ini sudah terlalu dianggap "tinggi", terlalu high expectation. contohnya dalam anupada sutta dijelaskan bagaimana pada jhana 4 masih terdapat analisa.
tetapi bukan jhana yang terpenting khan ;D
Sekedar OOT... Apakah Devadatta bisa mencapai jhana IV ?
sepengetahuan saya devadatta semua lokiya jhana dikuasai, artinya arupa jhana ke 4 pun sudah dicapai
Quote from: gachapin on 21 March 2010, 11:39:54 PM
sepengetahuan saya devadatta semua lokiya jhana dikuasai, artinya arupa jhana ke 4 pun sudah dicapai
Jadi bagaimana menjelaskan bahwa seorang individu yang telah mahir di dalam pencapaian jhana bahkan sampai jhana ke-4 masih bisa memiliki pikiran buruk (contoh nya Devadatta)...
Quote from: dilbert on 21 March 2010, 11:45:52 PM
Quote from: gachapin on 21 March 2010, 11:39:54 PM
sepengetahuan saya devadatta semua lokiya jhana dikuasai, artinya arupa jhana ke 4 pun sudah dicapai
Jadi bagaimana menjelaskan bahwa seorang individu yang telah mahir di dalam pencapaian jhana bahkan sampai jhana ke-4 masih bisa memiliki pikiran buruk (contoh nya Devadatta)...
mungkin maksudnya selama dalam jhana, kalo keluar dari jhana ya lain cerita lagi
Quote from: Indra on 21 March 2010, 11:50:31 PM
Quote from: dilbert on 21 March 2010, 11:45:52 PM
Quote from: gachapin on 21 March 2010, 11:39:54 PM
sepengetahuan saya devadatta semua lokiya jhana dikuasai, artinya arupa jhana ke 4 pun sudah dicapai
Jadi bagaimana menjelaskan bahwa seorang individu yang telah mahir di dalam pencapaian jhana bahkan sampai jhana ke-4 masih bisa memiliki pikiran buruk (contoh nya Devadatta)...
mungkin maksudnya selama dalam jhana, kalo keluar dari jhana ya lain cerita lagi
Mungkin oleh sebab itu, seorang yang bahkan mahir keluar masuk jhana s/d jhana ke IV tetapi belum merealisasikan jalan (minimal sotapanna) masih bisa terjerumus ke dalam perbuatan jahat.
Quote from: ryu on 21 March 2010, 10:37:19 PM
Quote from: Sumedho on 21 March 2010, 09:32:34 PM
tambahan, bisa mencapai jhana ke 4 belum tentu langsung punya idhi, perlu dilatih lagi. contohnya saja sariputta yg sebagai siswa utama yg memiliki jhana 1-4 dan arupajhana, sepertinya tidak ada abhinna. cmiiw
penilaian terhadap orang yg mengaku mencapai jhana biasanya bisa negatif yah bisa saja karena iri?
imo, memang jhana ini sudah terlalu dianggap "tinggi", terlalu high expectation. contohnya dalam anupada sutta dijelaskan bagaimana pada jhana 4 masih terdapat analisa.
tetapi bukan jhana yang terpenting khan ;D
emang ada yg bilang terpenting? :hammer:
sebelum saya mengomentari[waktu saya tidak banyak]
[Anda bisa cari cerita ini di Mudulakkhana-jataka No.66,disini saya ceritakan secara singkat saja]
Boddhisatta terlahir di sebuah keluarga kaya di negri Kasi.Boddhisatta meninggalkan keduniawian dan membuang semua nafsu keinginannya untuk menjalani kehidupan sebagai petapa[kehidupan non perumah tangga],pergi untuk hidup di suatu tempat yang sunyi di pegunungan Himalaya.Disana Boddhisatta mencapai jhana ke 4 yang terdiri dari 8 pencapaian dan 5 kemampuan istimewa..
Singkat cerita,Raja mengagumi tingkah laku petapa[Boddhisatta] tersebut dan menawarkannya untuk menetap di wilayah kerajaannya.Pada suatu hari terjadi pemberontakan di salah 1 wilayah kerajaan Raja tersebut,sehingga Raja tersebut turun tangan untuk memadamkan pemberontakan tersebut,sebelum pergi Raja memerintah kepada istrinya untuk melakukan kewajiban yang dia lakukan kepada sang petapa[melayani kebutuhan-kebutuhan(makanan) petapa suci tersebut]
Suatu hari,Ratu menyiapkan makanan untuk petapa tersebut,tetapi sang petapa terlambat datang,sehingga Ratu merasa jenuh/gerah dan pergi ke kamar pribadinya untuk mandi,setelah selesai mandi dan memakai semua perhiasaan mahal,dia menunggu kedatangan sang petapa.
Boddhisatta datang melalui udara,sang Ratu mendengar suara desiran jubah jangat kayu si petapa,terbangun terburu buru untuk menyambutnya,ketika berdiri baju Ratu merosot sehingga kecantikan ratu terlihat oleh petapa tersebut saat ia masuk melalui jendela dan segera melihat hal tersebut petapa tersebut melanggar moralitas,nafsu seksualitas/keinginan berkobar didalam dirinya..
Sejak saat itu sang petapa kehilangan semua pengetahuannya dan terbelenggu oleh nafsu..Sang Raja dan Ratu sepakat untuk menyadarkan si petapa dengan cara mereka...
Setelah "mengerjai" si petapa yang terbelenggu oleh nafsu ,si Ratu menegur sang petapa,"Sudahkah anda lupa bahwa anda dulunya adalah orang yang mulia?"
tersadar dari teguran tersebut,ia mengingatkan dirinya bagaimana belenggu nafsu ini dapat menyebabkannya terlahir di 4 alam apaya[Niraya/neraka,tiracchana/binatang,peta/hantu kelaparan,asura/raksasa]..
Boddhisatta mengucapkan syair,"Sampai Ratu menjadi milikKu,satu2nya nafsu yang saya miliki[untuk mendapatkannya].Ketika kecantikan[nafsu dan keinginan] membelenggu saya,Oh Raja..Nafsu muncul dan muncul lagi.."
Setelah mengucapkan syair tersebut,ia pergi melalui udara menuju pegunungan Himalaya..Ia tidak pernah kembali lagi ke lingkungan manusia;tetapi mengembangkan Brahma Vihara[4 kediaman luhur[metta,karuna,mudita,upekkha]] dalam dirinya,hingga mencapai jhana yang tidak terputus..
dari cerita tersebut kita akan tahu bahwa "bahayanya" nafsu dan keinginan didalam diri kita..kita bisa menjadi "gelap mata" karena "nafsu keinginan" kita...
_/\_
Quote from: Riky_dave on 22 March 2010, 03:16:43 PM
sebelum saya mengomentari[waktu saya tidak banyak]
[Anda bisa cari cerita ini di Mudulakkhana-jataka No.66,disini saya ceritakan secara singkat saja]
Boddhisatta terlahir di sebuah keluarga kaya di negri Kasi.Boddhisatta meninggalkan keduniawian dan membuang semua nafsu keinginannya untuk menjalani kehidupan sebagai petapa[kehidupan non perumah tangga],pergi untuk hidup di suatu tempat yang sunyi di pegunungan Himalaya.Disana Boddhisatta mencapai jhana ke 4 yang terdiri dari 8 pencapaian dan 5 kemampuan istimewa..
Singkat cerita,Raja mengagumi tingkah laku petapa[Boddhisatta] tersebut dan menawarkannya untuk menetap di wilayah kerajaannya.Pada suatu hari terjadi pemberontakan di salah 1 wilayah kerajaan Raja tersebut,sehingga Raja tersebut turun tangan untuk memadamkan pemberontakan tersebut,sebelum pergi Raja memerintah kepada istrinya untuk melakukan kewajiban yang dia lakukan kepada sang petapa[melayani kebutuhan-kebutuhan(makanan) petapa suci tersebut]
Suatu hari,Ratu menyiapkan makanan untuk petapa tersebut,tetapi sang petapa terlambat datang,sehingga Ratu merasa jenuh/gerah dan pergi ke kamar pribadinya untuk mandi,setelah selesai mandi dan memakai semua perhiasaan mahal,dia menunggu kedatangan sang petapa.
Boddhisatta datang melalui udara,sang Ratu mendengar suara desiran jubah jangat kayu si petapa,terbangun terburu buru untuk menyambutnya,ketika berdiri baju Ratu merosot sehingga kecantikan ratu terlihat oleh petapa tersebut saat ia masuk melalui jendela dan segera melihat hal tersebut petapa tersebut melanggar moralitas,nafsu seksualitas/keinginan berkobar didalam dirinya..
Sejak saat itu sang petapa kehilangan semua pengetahuannya dan terbelenggu oleh nafsu..Sang Raja dan Ratu sepakat untuk menyadarkan si petapa dengan cara mereka...
Setelah "mengerjai" si petapa yang terbelenggu oleh nafsu ,si Ratu menegur sang petapa,"Sudahkah anda lupa bahwa anda dulunya adalah orang yang mulia?"
tersadar dari teguran tersebut,ia mengingatkan dirinya bagaimana belenggu nafsu ini dapat menyebabkannya terlahir di 4 alam apaya[Niraya/neraka,tiracchana/binatang,peta/hantu kelaparan,asura/raksasa]..
Boddhisatta mengucapkan syair,"Sampai Ratu menjadi milikKu,satu2nya nafsu yang saya miliki[untuk mendapatkannya].Ketika kecantikan[nafsu dan keinginan] membelenggu saya,Oh Raja..Nafsu muncul dan muncul lagi.."
Setelah mengucapkan syair tersebut,ia pergi melalui udara menuju pegunungan Himalaya..Ia tidak pernah kembali lagi ke lingkungan manusia;tetapi mengembangkan Brahma Vihara[4 kediaman luhur[metta,karuna,mudita,upekkha]] dalam dirinya,hingga mencapai jhana yang tidak terputus..
dari cerita tersebut kita akan tahu bahwa "bahayanya" nafsu dan keinginan didalam diri kita..kita bisa menjadi "gelap mata" karena "nafsu keinginan" kita...
_/\_
Kalau tidak salah, ada thread yang membahas bahwa seorang bodhisatta bahkan secara tingkat kesucian masih di bawah seorang sotapanna yang tidak akan merosot lagi.... Ini pandangan dari kaum Theravadin (kalau boleh di katakan demikian)...
[at] Dilbert
betul,itu yang hendak saya tekankan dalam cerita tersebut.. ^^
Bro dewa 19 yang baik, perkenankan saya mengomentari tulisan bro yang panjaaang banget... :) satu demi satu.
bagian satu:
Saya rasa tidak pada tempatnya bila saya menghakimi meditasi yang dilakukan oleh bro 19. Saya hanya berkomentar dengan membandingkan tehnik meditasi bro 19 dengan tehnik meditasi Buddhis Theravada.
Terus terang saya tak dapat mengatakan secara pasti pengalaman bro 19 adalah Jhana ke 4 atau bukan.
bagian dua:
yang dapat menentukan dengan lebih pasti pencapaian tersebut tentu Sang Buddha dan para Meditator yang memiliki kemampuan melihat batin mahluk lain. Masalahnya sulit menemui orang seperti itu, selain dari mereka guru pembimbing meditasi kita yang telah mengalami Jhana ke 4 juga bisa memastikan bila kita ceritakan pengalaman kita.
Kadang-kadang (hanya kadang-kadang) kita juga bisa menerka dengan tepat pencapaian kita berdasarkan literatur yang ada mengenai subjek tersebut.
bagian 3:
Saya juga setuju dengan apa yang bro 19 kemukakan, tidak objektif bila menilai seseorang berdasarkan perasaan "suka atau tidak suka" kepada orang itu. Sudah sepantasnya bila seseorang memberikan pendapat yang benar kita harus membenarkan, walaupun secara pribadi kita tidak menyukai orang tersebut, bahkan walau kebenaran itu tidak kita sukai.
jadi: benar katakan benar, salah katakan salah, terlepas dari hal-hal lainnya, beginilah seharusnya bila kita bicara selaras Dhamma.
Tapi saya rasa memang umumnya manusia yang masih memiliki kegelapan batin (kita) akan cenderung memberikan pendapat berdasarkan rasa "suka tidak suka", persamaan golongan, persamaan keyakinan dsbnya. Itu manusiawi sekali. Saya rasa kemanapun bro 19 pergi akan menemukan hal-hal seperti ini, bukan berarti mereka jahat, tetapi ini disebabkan oleh karena kadang-kadang pada waktu kita memberikan pendapat masih dipengaruhi konsep-konsep duniawi juga, mungkin kecuali Arahat yang telah terbebas sama sekali dari kekotoran batin.
bagian 4:
Saya setuju dengan bro 19, setahu saya seseorang yang telah mencapai Jhana ke 4 hanya memiliki kemampuan batin yang sangat terbatas, untuk memiliki kesaktian seperti yang kita baca dari buku-buku, seorang meditator Samatha masih memerlukan keahlian melatih keseluruhan Jhana pada kasina dan memiliki keahlian ( 14 vasi). Bila ia hanya memiliki Jhana ke-4 dalam Anapanasati mustahil ia bisa terbang, menyelam ke dalam bumi menutup sinar matahari membuat matahari gelap dlsbnya, karena menurut Visuddhi Magga, kesaktian seperti itu bisa dicapai bila sang meditator memiliki ke-8 Jhana dengan objek kasina dan memiliki 14 keahlian (14 vasi) berkenaan Jhana dan kasina.
Bila hanya Jhana ke 4 belum dapat membangkitkan Iddhividdha nana (kekuatan gaib).
Bagian 5:
Mungkin selama ini kerancuan timbul karena pertanyaan mengenai pencapaian Jhana berputar pada bagaimanakah pengalaman mencapai Jhana?
Sebenarnya bila dikaji tehnik meditasi yang dipraktikkan oleh bro 19 sudah berbeda, bagian ke 5 ini memberikan uraian yang jelas mengenai perbedaan tehnik meditasi yang dilakukan bro 19 dengan tehnik meditasi mazhab Theravada.
Sang Buddha memang ada mengajarkan 40 objek meditasi Samatha. ke 40 objek meditasi Samatha ini dijelaskan dan diuraikan dengan mendetil dan sistematis pada kitab Visuddhi Magga, tetapi tehnik meditasi bro 19 berbeda dengan 40 objek meditasi yang terdapat di Visuddhi Magga. Saya telah membaca semua yang terdapat di Visuddhi Magga dan saya tidak menemukan keterangan mengenai cara menembus cakra seperti yang dilakukan dalam meditasi bro 19. Demikian juga saya rasa dalam meditasi yang dilakukan bro 19 juga tidak ditemukan keterangan mengenai Jhana.
Saya tak tertarik untuk membuat kesimpulan mengatakan mana lebih baik atau mana yang lebih tinggi, saya hanya berpendapat bahwa kedua metode meditasi ini berbeda.
Perbedaannya demikian: Saya ada mengenal orang yang berlatih meditasi chikung/prana dan neikung. menurut aliran mereka bila mereka mengumpulkan energi dengan meditasi dan kemudian diarahkan untuk menembus/membuka cakra-cakra maka setiap kali penembusan salah satu diantara ke 72 cakra (termasuk cakra minor), maka energi mereka akan bertambah 2 kali lipat. Jadi diperlukan energi untuk menembus dan mengaktifkan cakra-cakra ini. (Kalau tidak salah pada Yoga adalah kundalini yang digerakkan untuk menembus/membuka).
Menurut saya tehnik-tehnik meditasi seperti ini masih berkaitan dengan fisik melibatkan pengaturan dan pengembangan energi.
Pada meditasi Samatha tak ada pengembangan atau pengaturan energi seperti yang ada pada Yoga, Chikung, Kundalini dsbnya. ke 40 objek meditasi Buddhis Theravada lebih berkaitan dengan batin, nimitta dsbnya.
Bagian 6:
Konsentrasi pada meditasi Samatha dapat diarahkan ke Vipassanna, demikian juga dengan Konsentrasi Vipassana dapat membantu kita berlatih meditasi Samatha.
menurut bro 19 konsentrasinya malah menurun setelah berlatih meditasi Vipassana, ini menarik, karena berbeda dengan semua guru-guru meditasi Vipassana yang mengatakan bahwa konsentrasi, perhatian dll mengalami peningkatan, konsentrasi mereka bertambah lama bertambah kuat.
Bila ingin berdiskusi lebih jauh mengenai hal ini bro 19 bisa buat thread baru.
Bagian 7:
QuoteDalam sistem meditasi sebelumnya, saya tidak pernah mengerahkan energi untuk "melihat dhamma". Semua usaha dan energi, dikerahkan untuk terus menerus mengembangkan kekuatan konsentrasi. Tetapi, dalam meditasi vipasanna, lebih banyak usaha dikerahkan untuk dapat "melihat dhamma", dan konsentrasi dikembangkan cukup sampai pada batas "dhamma yang terlihat".
Saya rasa pengertian bro 19 sudah hampir tepat mengenai Vipassana,
Dalam meditasi Vipassana kita tidak dianjurkan untuk mengerahkan energi untuk dapat melihat Dhamma, kita hanya dianjurkan untuk melihat proses yang terjadi pada batin dan jasmani dengan semangat, penuh perhatian, teliti, seksama, cermat dan sebagaimana apa adanya.Dhamma akan nampak dengan sendirinya bila bro 19 berlatih dengan cara demikian.Saya percaya ada cakra-cakra walaupun saya tak berlatih menembus atau membuka cakra, (kurang sejalan dengan Kalama Sutta ya? :) )
Bagian 8:
Saya tidak bisa berkomentar mengenai persamaan antara membuka cakra dengan Jhana, saya tak bisa mengatakan sama atau tidak sama karena minimnya pengetahuan saya mengenai cakra-cakra ini.
Adapun pengalaman bro 19 mengenai Jhana ke 4, sejauh ini saya melihat tak nampak yang tidak sejalan dengan Tipitaka karena pengetahuan saya mengenai Jhana ke 4 hanya didapat dari buku juga, jadi saya tak dapat menyelidiki lebih jauh mengenai pengalaman Jhana ke 4 bro 19.
Cuma saya bisa bertanya sedikit mengenai pengalaman Jhana ke 1 (pertama) bro 19:
"Bisakah diceritakan sedikit bagaimanakah ketenangan yang dialami bro jhana 19 pada Jhana pertama?" Saya yakin sebelum bisa mencapai Jhana ke 4 kita harus melalui Jhana ke 1 dulu kan?
apa yang dirasakan pada waktu memasuki Jhana pertama?Bagian 9:
Dikatakan di Visuddhi Magga bahwa untuk mengembangkan Iddhividdha nana kita harus memiliki 8 Jhana terhadap kasina dan juga menguasai 14 vasi (keahlian), kemungkinan pengalaman yang dialami oleh bro 19 disebabkan latihan membuka Chakra yang dilakukan sebelumnya, pengalaman gaib bro 19 sangat menarik, walaupun ada juga perbedaan dengan pengalaman praktisi Samatha Bhavana
Terutama pengalaman mendengar pembicaraan tumbuhan yang terasa aneh bagi saya karena menurut kitab Abhidhamma tumbuhan tak memiliki jiwa, jadi tak dapat berbicara seperti manusia.
Bagian akhir:
Pengalaman bro 19 sangat menarik, saya juga masih belajar, saya juga tak tahu pasti benar atau tidaknya pengalaman bro 19, tetapi usaha bro 19 menguraikan pengalaman yang telah dialami saya rasa harus dihargai oleh teman-teman Dhammacitta, karena akan menambah pengetahuan bagi pengunjung Dhammacitta.
Mungkin suatu ketika jika bro 19 telah berlatih metode Samatha Bhavana seperti yang diajarkan di Tipitaka, bro 19 tak perlu lagi pengakuan dari orang lain mengenai pengalaman itu, dan tak seorangpun yang dapat menggoyahkan pengalaman yang telah dialami oleh bro 19.
Karena kita sendiri yang mengalami. Semoga bro 19 bertambah maju secara spiritual.
_/\_
[at] Deva
kalau mau berbicara dengan saya lebih panjang lagi,silakan ajak saya ke forum discus yang lain,karena mungkin nanti ada kata2 saya yang menyingung dan menjadi permasalahan lagi di forum ini..
atau kunjungi facebook saya : Rikydave [at] yahoo.com atau Riky Liau
Anumodana _/\_
Quote from: Riky_dave on 22 March 2010, 08:28:53 PM
[at] Deva
kalau mau berbicara dengan saya lebih panjang lagi,silakan ajak saya ke forum discus yang lain,karena mungkin nanti ada kata2 saya yang menyingung dan menjadi permasalahan lagi di forum ini..
atau kunjungi facebook saya : Rikydave [at] yahoo.com atau Riky Liau
Anumodana _/\_
lah.. ntar kalau deva19 ngomongnya keras dan bilang anda bodoh.. anda ngambek lagi..
bagus diskusi di sini saja.. gak perlu sok dewasa lah.. sama2 belajar di sini
Quote from: dilbert on 21 March 2010, 11:57:32 PM
Quote from: Indra on 21 March 2010, 11:50:31 PM
Quote from: dilbert on 21 March 2010, 11:45:52 PM
Quote from: gachapin on 21 March 2010, 11:39:54 PM
sepengetahuan saya devadatta semua lokiya jhana dikuasai, artinya arupa jhana ke 4 pun sudah dicapai
Jadi bagaimana menjelaskan bahwa seorang individu yang telah mahir di dalam pencapaian jhana bahkan sampai jhana ke-4 masih bisa memiliki pikiran buruk (contoh nya Devadatta)...
mungkin maksudnya selama dalam jhana, kalo keluar dari jhana ya lain cerita lagi
Mungkin oleh sebab itu, seorang yang bahkan mahir keluar masuk jhana s/d jhana ke IV tetapi belum merealisasikan jalan (minimal sotapanna) masih bisa terjerumus ke dalam perbuatan jahat.
Kalau tidak salah, ketika berpikiran jahat (ingin memecah sangha), jhananya langsung "luntur". Itulah sebabnya ia yang tadinya ahli dalam penggunaan kekuatan bathin tidak bisa menggunakan kekuatannya, maka memakai pemanah dan batu besar.
Ada lagi kisah dalam Jataka, seorang petapa yang sedang terbang mendengar nyanyian wanita dan terpikat. Pada saat itu juga kemampuan terbangnya hilang. Jadi seperti kita lihat, jhana ini juga sangat rentan akan perubahan, tidak kekal sama sekali.
jangankan jhana, waktu meditasi aja nggak ada. :'(
Baca dr awal sampai akhir, ternyata meditasi jg bisa menjadi masalah spt ini. Kalo dlm dunia spritual ketenangan adalah yg utama, Dgn ketenangan berbagai masalah akan bisa dihadapi/diselesaikan dgn pikiran jernih & lebih baik, tp kok disini malah menjadi sebuah masalah?
Dulu pertama kali baca buku & bljr ttg meditasi Buddhist yaitu samatha bhavana, tujuan yg ingin dicapai adalah "Ketenangan" itu sdr, rasanya benerlah apa yg dikatakan oleh Guru2 bahwa semua pelatihan ini hrslah diawali/dilandasi dgn fondasi yg kuat yaitu sila2/moral yg baik. Dgn berpegang pd sila yg baik diharapkan berbagai hal2 yg tdk diinginkan itu bisa dihindari.
maaf sobat cuma ikut berpendapat aja _/\_
[at] febian
terima kasih anda telah memberikan komentar yang baik, teliti dan hati-hati
secara umum, saya sependapat dengan anda. dan beberapa hal yang berbeda.
Quote from: febian
bagian dua:
yang dapat menentukan dengan lebih pasti pencapaian tersebut tentu Sang Buddha dan para Meditator yang memiliki kemampuan melihat batin mahluk lain. Masalahnya sulit menemui orang seperti itu, selain dari mereka guru pembimbing meditasi kita yang telah mengalami Jhana ke 4 juga bisa memastikan bila kita ceritakan pengalaman kita.
Kadang-kadang (hanya kadang-kadang) kita juga bisa menerka dengan tepat pencapaian kita berdasarkan literatur yang ada mengenai subjek tersebut.
betul sekali, bro febian!
intinya, bila kita menilai sesuatu, harus jelas asal-usulnya, apakh itu berdasarkan argument, keyakinan, ataukah "melihat langsung sebagaimana adanya".
Quote from: febian
Tapi saya rasa memang umumnya manusia yang masih memiliki kegelapan batin (kita) akan cenderung memberikan pendapat berdasarkan rasa "suka tidak suka", persamaan golongan, persamaan keyakinan dsbnya. Itu manusiawi sekali. Saya rasa kemanapun bro 19 pergi akan menemukan hal-hal seperti ini, bukan berarti mereka jahat, tetapi ini disebabkan oleh karena kadang-kadang pada waktu kita memberikan pendapat masih dipengaruhi konsep-konsep duniawi juga, mungkin kecuali Arahat yang telah terbebas sama sekali dari kekotoran batin.
ya, saya setuju dengan ini.
oleh karena itu, umat agama manapun, secara umum akan memiliki sikap seperti itu. oleh karenanya kemudian saya sadar, bahwa kebenaran tidak dapat disampaikan ke publik dengan "teknik logika" yang menuntut orang harus berpikir keras dan akhirnya menimbulkan ketidak sukaan. tapi publik lebih mudah diyakinkan dengan gaya retorika. teknik logika, hanya cocok untuk dialog one to one/ face to face.
Quote from: febian
Saya setuju dengan bro 19, setahu saya seseorang yang telah mencapai Jhana ke 4 hanya memiliki kemampuan batin yang sangat terbatas, untuk memiliki kesaktian seperti yang kita baca dari buku-buku, seorang meditator Samatha masih memerlukan keahlian melatih keseluruhan Jhana pada kasina dan memiliki keahlian ( 14 vasi). Bila ia hanya memiliki Jhana ke-4 dalam Anapanasati mustahil ia bisa terbang, menyelam ke dalam bumi menutup sinar matahari membuat matahari gelap dlsbnya, karena menurut Visuddhi Magga, kesaktian seperti itu bisa dicapai bila sang meditator memiliki ke-8 Jhana dengan objek kasina dan memiliki 14 keahlian (14 vasi) berkenaan Jhana dan kasina.
saya tertarik dengan apa yang dimaksud melarih keseluruhan "jhana pada kasinna" dan apa itu 14 vasi. bisakah anda memberikan link yang membahas hal itu?
saya tertarik, karena selama ini saya tidak mengenal makna dari istilah-istilah tersebut, tetapi saya seperti telah diceritakan, banyak memiliki kemampuan supranatural. yang ajaibnya, kekuatan-kekuatan supranatural tersebut seperti luntur ketika saya banyak melatih meditasi vipasana. saya hanya sedikit mencoba menerjemahkan arti kasina dalam bahasa meditasi cakras, spertinya itu adalah aura.
dalam meditasi cakra, kesaktian diperoleh memang bukan hanya dengan konsentrasi, tetapi dengan menggunakan konsentrasi tersebut untuk memenej aura. dan aura adalah cahaya yang melingkari tubuh manusia. saya menduga, bahwa yang dimaksud dengan kasina oleh budhisme adalah aura tersebut. bagaimana menurut anda?
Quote from: febian
Sebenarnya bila dikaji tehnik meditasi yang dipraktikkan oleh bro 19 sudah berbeda, bagian ke 5 ini memberikan uraian yang jelas mengenai perbedaan tehnik meditasi yang dilakukan bro 19 dengan tehnik meditasi mazhab Theravada.
Sang Buddha memang ada mengajarkan 40 objek meditasi Samatha. ke 40 objek meditasi Samatha ini dijelaskan dan diuraikan dengan mendetil dan sistematis pada kitab Visuddhi Magga, tetapi tehnik meditasi bro 19 berbeda dengan 40 objek meditasi yang terdapat di Visuddhi Magga. Saya telah membaca semua yang terdapat di Visuddhi Magga dan saya tidak menemukan keterangan mengenai cara menembus cakra seperti yang dilakukan dalam meditasi bro 19. Demikian juga saya rasa dalam meditasi yang dilakukan bro 19 juga tidak ditemukan keterangan mengenai Jhana.
Saya tak tertarik untuk membuat kesimpulan mengatakan mana lebih baik atau mana yang lebih tinggi, saya hanya berpendapat bahwa kedua metode meditasi ini berbeda.
ya, saya memang praktisi mediasi cakra dan pranayama. tetapi, sayapun akhirnya mencoba mempraktikan meditasi samatha, seperti yang saya baca petunjuknya di samaggi-phala.or.id. saya praktikan setahap demi setahap. dan hasilnya, apa yang dicapai dalam meditasi samatha dengan meditasi-meditasi sebelumnya itu sama persis. jika ada perbedaan itu bukanlah hal yang prinsipal.
Quote from: febian
Perbedaannya demikian: Saya ada mengenal orang yang berlatih meditasi chikung/prana dan neikung. menurut aliran mereka bila mereka mengumpulkan energi dengan meditasi dan kemudian diarahkan untuk menembus/membuka cakra-cakra maka setiap kali penembusan salah satu diantara ke 72 cakra (termasuk cakra minor), maka energi mereka akan bertambah 2 kali lipat. Jadi diperlukan energi untuk menembus dan mengaktifkan cakra-cakra ini. (Kalau tidak salah pada Yoga adalah kundalini yang digerakkan untuk menembus/membuka).
Menurut saya tehnik-tehnik meditasi seperti ini masih berkaitan dengan fisik melibatkan pengaturan dan pengembangan energi.
Pada meditasi Samatha tak ada pengembangan atau pengaturan energi seperti yang ada pada Yoga, Chikung, Kundalini dsbnya. ke 40 objek meditasi Buddhis Theravada lebih berkaitan dengan batin, nimitta dsbnya.
betul, pada yoga, kundalini, dsb merupakan sistem meditasi yang melibatkan sistem olah fisik. dalam sistem meditasi pranayama misalnya, meditator selau berlatih menguasai gerakan perut, sehingga lama kelamaan ia akan mampu menggerakan usunya ke kiri, ke kanan, ke depan belakang, dsb. ia juga akan mampu menggerakan syaraf-syafat di bagian punggung untuk digerakan ke bawah atau ke atas, bahkan akhirnya meditator bisa mempercepat atau memperlambat detak jantung melalui pengaturan syaraf di dalam. tetapi, hal itu bukanlah prinsip dalam meditasi tersebut. karna intinya sama saja dengan meditasi samatha, yaitu konsentrasi. tetapi melibatkan gerakan tubuh, untuk mempermudah pengembangan batin.
dalam sistem meditasi budhisme, sebagaimana yang biasa dilakukan di reatret, ada yang disebut dengan istilah "meditasi jalan". betul tidak? meditasi jalan ini, tentunya melibatkan fisik untuk berjalan. tapi, itu tidak prinsip kan. seandainya batin seseorang kuat, meditasi dapat dilakukan dengan cara duduk saja untuk mengembangkan konsentrasi. jadi, kita dapat melihat kesamaan titik "melibatkan fisik" dalam sistem budhisme dan non budhisme dengan "meditasi jalan" dalam budhisme.
Quote from: febian
Bagian 6:
Konsentrasi pada meditasi Samatha dapat diarahkan ke Vipassanna, demikian juga dengan Konsentrasi Vipassana dapat membantu kita berlatih meditasi Samatha.
menurut bro 19 konsentrasinya malah menurun setelah berlatih meditasi Vipassana, ini menarik, karena berbeda dengan semua guru-guru meditasi Vipassana yang mengatakan bahwa konsentrasi, perhatian dll mengalami peningkatan, konsentrasi mereka bertambah lama bertambah kuat.
Bila ingin berdiskusi lebih jauh mengenai hal ini bro 19 bisa buat thread baru.
saya akan jelaskan ringkasannya di sini :
dalam mengembangkan konsentrasi sampai ke tahapan jhana, batin kita menempuh perjalanan yang panjang dan kadang sangat melelahkan.
pengembangan konsentrasi ini memiliki dua periode, periode "pahit" dan periode "manis". periode "pahit" adalah periode dari 0 konsentrasi tahap dasar hingga ke tahapan jhana pertama. dari jhana pertama hingga ke jhana ke empat saya sebut peride manis.
dalam periode pahit, pengembangan konsentrasi itu disebut dengan tahapan "penuh duka dan air mata", dan "usaha setengah mati", badan batinpun akan terasa tersiksa karenanya. tetapi, dalam sistem meditasi cakra, karena tidak mengenal vipasana, kami tidak pernah berhenti dan keluar dari pengembangan konsentrasi untuk mnyadarkan pikiran kepada 4 landasan perhatian murni, tapi kami terus memaska pikiran untuk berfokus pada satu titik konsentrasi, terus dan terus, hingga munculah apa yang dalam budhisme disebut dengan nimita. dan nimita ini merupakan pertanda masuknya batin pada jhana pertama. bila ini berhasil, maka untuk mencapai jhana kedua, ketiga dan keempat adalah mudah, karna kekuatan jhana pertama membuat kita memiliki tenaga yang besar untuk mencapai jhana-jhana yang lebih tinggi.
tetapi, ketika saya mempelajari dan mempraktikan meditasi budhisme, dimana di dalam naskah tersebut dijelaskan teknik meditasi mulai dari dasar hingga sampai ke jhana ke IV, tetapi kemudian penulis naskah tersbut berkata, "tetapi, kita tidak perlu memiliki konsentrasi setinggi itu. untuk melanjutkan latihan ke tahapan meditasi selanjutnya, yaitu meditasi vipasana, cukuplah dengan upacara samadhi (konsentrasi dibawah Jhana)". dengan demikian, selama dua tahun saya berlatih vipasana, saya tidak pernah berusaha mencapai jhana pertama, karena sibuk dengan "melihat dhama", yang bisa dilihat dengan kekuatan konsentasi cukup dengan upacara samadhi.
semakin dalam kebenaran dhamma yang kita lihat, itu berarti semakin tinggi konsentrasi yang dibutuhkan. dan nibbana, sulit dilihat, kecuali oleh orang yang memiliki kekuatan jhana ke IV. dengan demikian, benar seperti yang para bikhu katakan bahwa semakin berkembang dalam vipasana, berarti konsentrasi pun semakin dalam. tetapi, dhama yang dapat dilihat melalui "upacara samadhi" sekalipun, itu sangat banyak dan luar biasa. sehingga saya dapat berlama-lama dalam tahapan ini. dengan demikian, konsetrasi sayapun tidak banyak berkembang. inilah alasan, mengapa saya katakan "setelah banyak berlatih vipasana, konsentrasi saya justru menurun".
demikianlah saya membatasi diri dalam samatha dan vipasana. sya meras perlu membtasi pengembangan samatha, karena bila daya konsentrasi bekembang tanpa kebijaksaan itu dapat bersifat destruktif. dan saya membatasi diri dalam pengembangan vipasana, karena bila saya mengembangkan terlalu tinggi, saya akan terpental dari kehidupan masyarakat. sebagai contoh, bila saya mengembangkan vipasana hingga ke titik yang tinggi, maka lenyaplah hasrat seksual saya, pikiran saya tidak lagi terobesi oleh wanita, dan melihat wanita secantik apapun tak ubahnya seperti melihat tengkorak berjalan yang dibalut dengan daging dan darah yang menjijikan. ini bukan pengaruh dari meditasi asuba yang "jijik" karena persepsi, tapi jijik karna melihat keadaan yang sebenarnya. bila ini terjadi pada saya, lalu bagaimana nasib istri saya? ini soal pilihan bro. sang Budha, memilih meninggalkan istrinya untuk mencapai pencerahan yang sempurna, sedangkan saya memilih tetap berumah tangga dan menyampaikan dhamma sedikit demi sedikit kepada anggota keluarga dan masyarakat. bila saja merka semua telah siap, maka saya akan mengembangkan batin lebih tinggi lagi untuk melihat kebenaran dhamma lebih dalam, saya seperti seorang "reporter dhamma". entahlah apa yang saya lakukan itu benar atau salah, pintar atau bodoh, tapi itulah yang saya lakukan.
Quote from: febian
Saya rasa pengertian bro 19 sudah hampir tepat mengenai Vipassana, Dalam meditasi Vipassana kita tidak dianjurkan untuk mengerahkan energi untuk dapat melihat Dhamma, kita hanya dianjurkan untuk melihat proses yang terjadi pada batin dan jasmani dengan semangat, penuh perhatian, teliti, seksama, cermat dan sebagaimana apa adanya.
Dhamma akan nampak dengan sendirinya bila bro 19 berlatih dengan cara demikian.
dianjurkan melihat proses yang terjadi, hingga dhamma itu terlihat dengan sendirinya<---- inilah yang saya maksud dengan "mengerahkan energi untuk melihat dhamma".
Quote from: febian
Saya tidak bisa berkomentar mengenai persamaan antara membuka cakra dengan Jhana, saya tak bisa mengatakan sama atau tidak sama karena minimnya pengetahuan saya mengenai cakra-cakra ini.
cakra itu memang bukanlah nama lain dari jhana. apa yang dimaksud cakra jika di konversi ke dalam istilah budhisme, mungkin lebih tepatnya disebut nimita.
para meditator budhisme, seringkali melaporkan munculnya nimita ini di lubang hidung atau beberapa cm di depan hidung. hal itu disebabkan kebanyakan meditator budhisme berkonsentrasi pada keluar masuknya nafas, dan memusatkan perhatian pada titik di lubang hidung. jika, perhatian itu diarahkan kepada perut (pusar), maka nimita itu akan munculnya di pusar. dan itulah yang di maksud dengan cakra.
[at] bro deva19
Jadi nimitta dengan objek keluar masuk nafas apakah juga masuk dalam kategori cakra? jika ya cakra apa?
Quote from: febian
Cuma saya bisa bertanya sedikit mengenai pengalaman Jhana ke 1 (pertama) bro 19: "Bisakah diceritakan sedikit bagaimanakah ketenangan yang dialami bro jhana 19 pada Jhana pertama?" Saya yakin sebelum bisa mencapai Jhana ke 4 kita harus melalui Jhana ke 1 dulu kan? apa yang dirasakan pada waktu memasuki Jhana pertama?
dalam sistem meditasi sebelumnya, pengalaman jhana pertama muncul ketika saya terus menerus melakukan latihan tahan nafas di perut dengan teknik nafas perut yang sempurna, berulang-ulang dilakukan slama bejam-jam, hingga akhirnya terbukalah cakra pusar. terbukanya cakra pusar ini menandai pencapaian konsentrasi tingkat ke 4, yang dalam budhisme sebanding dengan jhana pertama.
kemudian melalui praktik meditasi samatha, berdasakan petunjuk meditasi budhisme yang saya unduh dari internet, saya bermeditasi dengan 4 tahapan nafas.
1. memustakan perhatian ke pada keluar masuknya nafas. bila konsentrasi berkembang, itu berarti masuk ke tahapan berikutnya, yaitu ..
2. mampu melihat panjang pendeknya nafas, dan pikiran berperhatian penuh terhadap panjang pendeknya nafas tersebut. bila konsentrasi berkermbang, itu berarti masuk ke tahapan berikutnya, yaitu...
3. nafas menjadi lembut dan tenang, dan pikiran sepenuhnya mengikuti pergerakan nafas yang lembut dan tenang ini. bila konsentrasi berkembang, berarti masuk pada tahapan berikutnya yaitu ...
4. pikiran/perhatian terfokus pada satu titik di lubang hidung, tentram dan nyaman di situ, tanpa gangguan, tanpa keresahan, dan tanpa pikiran yang menyimpang. di sini ada piti dan sukha.
selanjutnya, saya tinggal mempertahankan keadaan ini hingga munculnya nimita. munculnya nimita ini pertanda tercapainya jhana pertama. nimita sperti apa yang saya lihat? ini sulit dilukiskan, itu seperti bentuk energi yang muncul, atau seperti kabut yang menggumpal, atau sperti lubang bening yang dikelilingi oleh cahaya, dan muncul bukan karna sifat pikiran yang berpikir atau yang mengkhayalkan sesuatu, tapi mncul karena sifat konsentrasi. bentuk yang dilihat dan cara orang menggambarkan nimita mungkin berbeda-beda, tetapi prinsipnya sama bahwa ia (nimita) merupakan pusat energi, dan energi inilah yang menybabkan tubuh-bathin meditator mengalami kebahagiaan luar biasa. bahkan kebahagiaan itu bisa dirasakan hingga kuku jari jemari. dari ujung rambut hingga ujung gaji, tubuh meditator digetarkan oleh getaran kebahagiaan yang lembut.
Quote from: bond on 23 March 2010, 05:44:56 PM
[at] bro deva19
Jadi nimitta dengan objek keluar masuk nafas apakah juga masuk dalam kategori cakra? jika ya cakra apa?
ya, itu cakra. adapun cakra tersebut belum ada yang menamianya. silahkan anda namai.
yang terkenal itu ada 7 cakra, dinamai dengan nama-nama sansekerta. saya sendiri tidak hafal yang tujuh. hanya jika cakra itu muncul di perut, saya menamainya cakra perut, jika di jidat disebut cakra jidat, ya kalau dihidung sebut saja "cakra hidung", asal jangan "cakra upil" he... he... sorri, bercanda.
Quote from: Deva19 on 23 March 2010, 05:51:40 PM
Quote from: bond on 23 March 2010, 05:44:56 PM
[at] bro deva19
Jadi nimitta dengan objek keluar masuk nafas apakah juga masuk dalam kategori cakra? jika ya cakra apa?
ya, itu cakra. adapun cakra tersebut belum ada yang menamianya. silahkan anda namai.
yang terkenal itu ada 7 cakra, dinamai dengan nama-nama sansekerta. saya sendiri tidak hafal yang tujuh. hanya jika cakra itu muncul di perut, saya menamainya cakra perut, jika di jidat disebut cakra jidat, ya kalau dihidung sebut saja "cakra hidung", asal jangan "cakra upil" he... he... sorri, bercanda.
apakah bentuk setiap cakra yg muncul itu spesifik bentuknya seperti yg digambarkan oleh semacam cahaya di 7 titik cakra atau tidak spesifik sama sekali bentuknya ketika muncul?
Quote from: bond
apakah bentuk setiap cakra yg muncul itu spesifik bentuknya seperti yg digambarkan oleh semacam cahaya di 7 titik cakra atau tidak spesifik sama sekali bentuknya ketika muncul?
cakra memiliki spesifikasi bentuk tertentu, misalnya bulat/lingkaran. umumnya cakra memiliki bentuk seperti itu.
berputar. ini adalah spesifik ke dua. nimita yang muncul di hidung tidak tampk berputar, tetapi sesungguhnya dia berputar.
bergelombang. ini spesifik ketiga. karena bergelombang ini, seringkali dgambarkan seprti bunga
memancarkan energi. ini spesifikasi ke empat.
cakra itu seperti sebuah kolam yang berair jernih, yang muncul dari tengah-tengah kolam tersebut mata air yang tak henti-henti mengalir hingga tampak semburannya(menyembul?) di tengah kolam.
kemudian, cakra juga muncul dengan spec lain yang berbeda pada diri seseorang sebagai tambahan. tapi spec yang pokoknya tidaklah hilang.
adapun bentuk-bentuk cakra seperti yang gambarnya banyak beredar di internet, itu hanya upaya untuk melukiskan bentuk cakra dengan imajinasi yang dapat di fahami oleh orang yang belum pernah melihat cakra. jika kita sudah melihatnya sendiri, maka kita tahu bahwa bentuk cakra tersebut benar-benar berbeda dengan yang banyak digambar orang. tapi gambar-gambar tersebt menunjukan maksud yang benar.
gambar cakra itu seperti kata-kata untuk menggambarkan seekor jerapah kepda orang yang belum pernah lihat jerapah. tentu, apapun yang dibayangkannya bukanlah jerapah.
adapun cakra itu tidak mesti selalu muncul 7 secara bersamaan. pada mulanya, cakra muncul satu persatu. muncul yang satu, hilang yang lain. kemudian, setelah satu cakra menjadi sangat kuat, maka mampu muncul cakra lainnya, tetapi cakra utamanya tetap ada.
Quote from: bond
Terutama pengalaman mendengar pembicaraan tumbuhan yang terasa aneh bagi saya karena menurut kitab Abhidhamma tumbuhan tak memiliki jiwa, jadi tak dapat berbicara seperti manusia.
yah... dulu persoalan ini pernah di diskusikan di DC.
saya sempat berkeyakinan bahwa di dalam kitab budhisme tercatat bahwa pohonpun berjiwa dan bisa berbicara dan menganggap ada manusia yang bereinkarnasi menjadi pohon. tetapi, kemudian, saya lupa waktu itu siapa, kalo enggak salah bro upasaka yang meyakinkan saya bahwa dalam kitab budhisme tersebut hanya disebutkan bahwa hantu/peta yang ada di dalam pohon, bukan manusia yang bereinkarnai menjadi tumbuhan.
saya tidak tahu kebenaran yang sebenarnya bagaimana, tapi saya benar-benar mendengar tumbuh-tumbuhan itu berbicara. cara hewan berbicara itu sangat berbeda dengan cara tumbuhan. meminjam istilah bahasa pemrograman, bahasa tumbuhan itu seperti bahasa tingkat yang jauh lebih rendah. dalam sebuah pribahasa dikatakan "alam ini berbicara kepada kita". tetapi tentunya batu dan gunung tidaklah memiliki lidah seperti manusia. tetapi manusia tau bahwa alam berbicara kepdanya. dan untuk mendengarkan perkataan alam tersebut, kita harus mengkonversi bahasa alam ke bahasa manusia.
demikian pula, tentang apa yang dikatakan padi-padi kepada saya, dimana telah mengkonversinya ke bahasa yang bisa dimengerti oleh manusia. pada dasarnya, perkataan tumbuhan tidaklah berbentuk kata-kata seperti itu.
Quote from: Deva19 on 23 March 2010, 07:53:47 PM
Quote from: bond
Terutama pengalaman mendengar pembicaraan tumbuhan yang terasa aneh bagi saya karena menurut kitab Abhidhamma tumbuhan tak memiliki jiwa, jadi tak dapat berbicara seperti manusia.
yah... dulu persoalan ini pernah di diskusikan di DC.
saya sempat berkeyakinan bahwa di dalam kitab budhisme tercatat bahwa pohonpun berjiwa dan bisa berbicara dan menganggap ada manusia yang bereinkarnasi menjadi pohon. tetapi, kemudian, saya lupa waktu itu siapa, kalo enggak salah bro upasaka yang meyakinkan saya bahwa dalam kitab budhisme tersebut hanya disebutkan bahwa hantu/peta yang ada di dalam pohon, bukan manusia yang bereinkarnai menjadi tumbuhan.
saya tidak tahu kebenaran yang sebenarnya bagaimana, tapi saya benar-benar mendengar tumbuh-tumbuhan itu berbicara. cara hewan berbicara itu sangat berbeda dengan cara tumbuhan. meminjam istilah bahasa pemrograman, bahasa tumbuhan itu seperti bahasa tingkat yang jauh lebih rendah. dalam sebuah pribahasa dikatakan "alam ini berbicara kepada kita". tetapi tentunya batu dan gunung tidaklah memiliki lidah seperti manusia. tetapi manusia tau bahwa alam berbicara kepdanya. dan untuk mendengarkan perkataan alam tersebut, kita harus mengkonversi bahasa alam ke bahasa manusia.
demikian pula, tentang apa yang dikatakan padi-padi kepada saya, dimana telah mengkonversinya ke bahasa yang bisa dimengerti oleh manusia. pada dasarnya, perkataan tumbuhan tidaklah berbentuk kata-kata seperti itu.
bro deva19 , yg Anda quote itu bukan tulisan saya tapi tulisan ko fabian ;D
[at] bond
o ya, maaf! saya kurang hati-hati dalam menulis. soalnya, kemarin agak sibuk.
Quote from: Deva19 on 24 March 2010, 12:24:51 PM
[at] bond
o ya, maaf! saya kurang hati-hati dalam menulis. soalnya, kemarin agak sibuk.
Ok no problem
Quote from: Deva19 on 23 March 2010, 04:40:32 PM
Quote from: febian
Tapi saya rasa memang umumnya manusia yang masih memiliki kegelapan batin (kita) akan cenderung memberikan pendapat berdasarkan rasa "suka tidak suka", persamaan golongan, persamaan keyakinan dsbnya. Itu manusiawi sekali. Saya rasa kemanapun bro 19 pergi akan menemukan hal-hal seperti ini, bukan berarti mereka jahat, tetapi ini disebabkan oleh karena kadang-kadang pada waktu kita memberikan pendapat masih dipengaruhi konsep-konsep duniawi juga, mungkin kecuali Arahat yang telah terbebas sama sekali dari kekotoran batin.
ya, saya setuju dengan ini.
oleh karena itu, umat agama manapun, secara umum akan memiliki sikap seperti itu. oleh karenanya kemudian saya sadar, bahwa kebenaran tidak dapat disampaikan ke publik dengan "teknik logika" yang menuntut orang harus berpikir keras dan akhirnya menimbulkan ketidak sukaan. tapi publik lebih mudah diyakinkan dengan gaya retorika. teknik logika, hanya cocok untuk dialog one to one/ face to face.
Bro Deva 19, Kadang-kadang ada hal tertentu yang menurut saya sulit diterangkan dengan logika semata, oleh karena itu saya berpendapat logika juga harus dibarengi dengan "direct experience".
Contohnya dulu saya tak percaya tenaga dalam seperti yang ada di buku silat Kho Phing Hoo, setelah saya mengalami sendiri bertemu dengan orang yang memiliki tenaga dalam seperti itu, maka saya harus dengan jujur mengakui bahwa pendapat saya selama ini salah. Tetapi tetap saja sulit menerangkan dengan logika mengapa manusia mampu mengumpulkan dan mengeluarkan listrik dari tubuhnya?
Quote from: Deva19 on 23 March 2010, 04:46:43 PM
Quote from: febian
Saya setuju dengan bro 19, setahu saya seseorang yang telah mencapai Jhana ke 4 hanya memiliki kemampuan batin yang sangat terbatas, untuk memiliki kesaktian seperti yang kita baca dari buku-buku, seorang meditator Samatha masih memerlukan keahlian melatih keseluruhan Jhana pada kasina dan memiliki keahlian ( 14 vasi). Bila ia hanya memiliki Jhana ke-4 dalam Anapanasati mustahil ia bisa terbang, menyelam ke dalam bumi menutup sinar matahari membuat matahari gelap dlsbnya, karena menurut Visuddhi Magga, kesaktian seperti itu bisa dicapai bila sang meditator memiliki ke-8 Jhana dengan objek kasina dan memiliki 14 keahlian (14 vasi) berkenaan Jhana dan kasina.
saya tertarik dengan apa yang dimaksud melarih keseluruhan "jhana pada kasinna" dan apa itu 14 vasi. bisakah anda memberikan link yang membahas hal itu?
saya tertarik, karena selama ini saya tidak mengenal makna dari istilah-istilah tersebut, tetapi saya seperti telah diceritakan, banyak memiliki kemampuan supranatural. yang ajaibnya, kekuatan-kekuatan supranatural tersebut seperti luntur ketika saya banyak melatih meditasi vipasana. saya hanya sedikit mencoba menerjemahkan arti kasina dalam bahasa meditasi cakras, spertinya itu adalah aura.
dalam meditasi cakra, kesaktian diperoleh memang bukan hanya dengan konsentrasi, tetapi dengan menggunakan konsentrasi tersebut untuk memenej aura. dan aura adalah cahaya yang melingkari tubuh manusia. saya menduga, bahwa yang dimaksud dengan kasina oleh budhisme adalah aura tersebut. bagaimana menurut anda?
Ada 10 objek meditasi kasina, yaitu: kasina warna kuning, merah, biru, putih; kasina tanah, air, api udara, cahaya dan ruang. Kesemua objek meditasi ini akan membawa kita pada Jhana ke 8.
Bila ingin muncul kemampuan gaib seperti terbang, menembus tanah, membesar seperti cerita dewa Wisnu yang bertiwikrama, menghalangi/menutup sinar Matahari dll maka kita harus menguasai seluruh objek kasina hingga Jhana ke 8 dan menguasai keahlian lompat Jhana, pindah kasina, lompat dan pindah Jhana dan kasina, dll.
Saya kurang tahu dimana ada link mengenai hal itu, saya membaca hal ini dari buku Visuddhi Magga (Jalan Kesucian).
Dalam Samatha Bhavana setahu saya kita tidak me-manage aura.
_/\_
Bersambung...
Quote from: febian
Ada 10 objek meditasi kasina, yaitu: kasina warna kuning, merah, biru, putih; kasina tanah, air, api udara, cahaya dan ruang. Kesemua objek meditasi ini akan membawa kita pada Jhana ke 8
ada objek warna-warni. ada titik temunya dengan aura yang juga "warna-warni". kasina tanah, air, api, udara, dan ruang juga ada titik persamaannya dengan aura, yakni energi aura tersebut diambil dari energi tanah, air, api dan udara. mungkin sebagian orang menafsirkn aura dengan cahaya tubuh saja, tetapi sebagian yang lain menafsirkan aura tersebut dengan energi kracht. energi ini bisa muncul dari dalam, dan bisa pula diambil dan dihimpun dari tanah, air, api dan udara.
sebagian orang mudah mengatakan "wah aura mu bagus hari ini", tapi yang dia maksud adalah perangai orang tersbut berseri-seri, tampak segar dan bersih. tetapi sebenarnya dia tidak melihat kabut energi yang melingkupi tubuh manusia. jadi, aura dalam pengertian yang ini tentunya tidak sama dengan kracht, mungkin berbeda pula dengan yang dimaksud dengan objek kasina.
dan tentang jhana ke 8, saya tidak tahu, kalau jhana bisa smpai tingkat 8. apakah hal tersebut tertulis di dalam sutta?
Quote from: febian
Bro Deva 19, Kadang-kadang ada hal tertentu yang menurut saya sulit diterangkan dengan logika semata, oleh karena itu saya berpendapat logika juga harus dibarengi dengan "direct experience".
Contohnya dulu saya tak percaya tenaga dalam seperti yang ada di buku silat Kho Phing Hoo, setelah saya mengalami sendiri bertemu dengan orang yang memiliki tenaga dalam seperti itu, maka saya harus dengan jujur mengakui bahwa pendapat saya selama ini salah. Tetapi tetap saja sulit menerangkan dengan logika mengapa manusia mampu mengumpulkan dan mengeluarkan listrik dari tubuhnya?
bro febian,
tanpa bermaksud merendahkan kemampuan logika anda, saya hanya ingin menyarankan agar anda lebih menyelami lagi, "apa itu logika". karena memperhatikan dari komentar anda tersebut, tampaknya anda belum memiliki pengertian yang jelas tentang logika. dan hal ini, menjadi masalah kebanyakan orang.
tidak ada hal yang tidak bisa dilogikakan. semua hal yang dapat disebut, itu bisa dilogikakan. hanya saja, bila sesuatu itu sulit disebut, barulah itu sulit dilogikakan. juga, tentunya kita perlu dengan jernih memisahkan antar persoalan logika dan ilmiah. saya tak tahu, kenapa matahari terus menerus bersinar bermilyar-milyar tahun, kenapa daun berwarna hijau yang katanya ada zat klorofil, tapi kenapa klorofil itu ada di situ, kenapa alam tak dapat diketahui ujungnya dan tak dapat dibayangkan bentuknya, dan kalaulah kita terus bertanya "kenapa?" maka semua hal berujung pada "ketidak tahuan", bukan saja pada persoalan-persoalan mistis seperti tenaga dalam.
buah apel yang jatuh ke bawah dari pohonnya, tidaklah mengherankan kita, dan kita menyebutnya itu masuk akal. karena kalau buah itu terlalu masak, tentu akan lepas dari pohonnya. semudah itu kita menganggapnya masuk akal. tetapi, bagi seorang ilmuwan, jatuhnya buah apel dari pohonnya menimbulkan keheranan yang besar, adalah mustahil hanya karena terlalu masak. dari rnenungan2 sng ilmuwan trebut, munculah hukum gravitasi, sehingga ditemukan jawaban yang lebih masuk akal, dari ribuan pertanyaan yang belum terjawab. begitu banyak yang belum kita tahu jawabannya, semuanya begitu. tapi itu adalah persoalan ilmiah dna bukan persoalan logika.
sesuatu tidak perlu dilogikakan bila sesuatu itu tidak memiliki argumentasi logika. dan argumentasi logic tidak perlu dicari, bila sesuatu itu bukanlah pernyataan logika. yang anda amati itu kan fenomena langsung, dan bukan soal pengetahun simbolik, jadi keheranan anda soal mistik tersebut adalah persoalan ilmiah, bukan logika.
Quote from: Deva19 on 23 March 2010, 04:50:42 PM
Quote from: febian
Sebenarnya bila dikaji tehnik meditasi yang dipraktikkan oleh bro 19 sudah berbeda, bagian ke 5 ini memberikan uraian yang jelas mengenai perbedaan tehnik meditasi yang dilakukan bro 19 dengan tehnik meditasi mazhab Theravada.
Sang Buddha memang ada mengajarkan 40 objek meditasi Samatha. ke 40 objek meditasi Samatha ini dijelaskan dan diuraikan dengan mendetil dan sistematis pada kitab Visuddhi Magga, tetapi tehnik meditasi bro 19 berbeda dengan 40 objek meditasi yang terdapat di Visuddhi Magga. Saya telah membaca semua yang terdapat di Visuddhi Magga dan saya tidak menemukan keterangan mengenai cara menembus cakra seperti yang dilakukan dalam meditasi bro 19. Demikian juga saya rasa dalam meditasi yang dilakukan bro 19 juga tidak ditemukan keterangan mengenai Jhana.
Saya tak tertarik untuk membuat kesimpulan mengatakan mana lebih baik atau mana yang lebih tinggi, saya hanya berpendapat bahwa kedua metode meditasi ini berbeda.
ya, saya memang praktisi mediasi cakra dan pranayama. tetapi, sayapun akhirnya mencoba mempraktikan meditasi samatha, seperti yang saya baca petunjuknya di samaggi-phala.or.id. saya praktikan setahap demi setahap. dan hasilnya, apa yang dicapai dalam meditasi samatha dengan meditasi-meditasi sebelumnya itu sama persis. jika ada perbedaan itu bukanlah hal yang prinsipal.
Bro Deva 19 yang baik, maaf saya tidak meneruskan reply postingan saudara sampai selesai, karena capek. Reply postingan hari ini saya akan jawab lain hari karena saya rasa perlu menyambung jawaban postingan bro 19 dua hari yang lalu.
Sekarang mari kita bahas perbandingan meditasi bro 19 dengan Samatha Bhavana Theravada.
Quote from: Deva19 on 23 March 2010, 05:00:02 PM
Quote from: febian
Perbedaannya demikian: Saya ada mengenal orang yang berlatih meditasi chikung/prana dan neikung. menurut aliran mereka bila mereka mengumpulkan energi dengan meditasi dan kemudian diarahkan untuk menembus/membuka cakra-cakra maka setiap kali penembusan salah satu diantara ke 72 cakra (termasuk cakra minor), maka energi mereka akan bertambah 2 kali lipat. Jadi diperlukan energi untuk menembus dan mengaktifkan cakra-cakra ini. (Kalau tidak salah pada Yoga adalah kundalini yang digerakkan untuk menembus/membuka).
Menurut saya tehnik-tehnik meditasi seperti ini masih berkaitan dengan fisik melibatkan pengaturan dan pengembangan energi.
Pada meditasi Samatha tak ada pengembangan atau pengaturan energi seperti yang ada pada Yoga, Chikung, Kundalini dsbnya. ke 40 objek meditasi Buddhis Theravada lebih berkaitan dengan batin, nimitta dsbnya.
betul, pada yoga, kundalini, dsb merupakan sistem meditasi yang melibatkan sistem olah fisik. dalam sistem meditasi pranayama misalnya, meditator selau berlatih menguasai gerakan perut, sehingga lama kelamaan ia akan mampu menggerakan usunya ke kiri, ke kanan, ke depan belakang, dsb. ia juga akan mampu menggerakan syaraf-syafat di bagian punggung untuk digerakan ke bawah atau ke atas, bahkan akhirnya meditator bisa mempercepat atau memperlambat detak jantung melalui pengaturan syaraf di dalam. tetapi, hal itu bukanlah prinsip dalam meditasi tersebut. karna intinya sama saja dengan meditasi samatha, yaitu konsentrasi. tetapi melibatkan gerakan tubuh, untuk mempermudah pengembangan batin.
dalam sistem meditasi budhisme, sebagaimana yang biasa dilakukan di reatret, ada yang disebut dengan istilah "meditasi jalan". betul tidak? meditasi jalan ini, tentunya melibatkan fisik untuk berjalan. tapi, itu tidak prinsip kan. seandainya batin seseorang kuat, meditasi dapat dilakukan dengan cara duduk saja untuk mengembangkan konsentrasi. jadi, kita dapat melihat kesamaan titik "melibatkan fisik" dalam sistem budhisme dan non budhisme dengan "meditasi jalan" dalam budhisme.
Ketika saya kecil saya pernah belajar Yoga asanas, walaupun hanya sekedar pengenalan, hingga sekarang saya bisa menggerakkan dua otot perut ditengah maju ke depan, sementara perut secara keseluruhan ditarik ke belakang, juga shirsasana dll.
Tetapi setahu saya ada perbedaan meditasi yang bro praktekkan dengan meditasi Samatha Theravada, pada meditasi Samatha Theravada tak ada suatu keharusan meditasi dengan posisi tertentu atau mudra tertentu.
Mengenai meditasi jalan, bukan disebabkan meditasi jalan sebagai suatu keharusan bahwa meditasi jalan adalah suatu bagian integral dari suatu tehnik meditasi, tidak demikian. Meditasi jalan hanya disebabkan bila kita duduk terus maka sirkulasi darah tubuh kurang baik, selain itu bagi meditator pemula duduk terus-menerus bisa menimbulkan ketegangan batin yang bisa menghalangi konsentrasi.
Oleh karena itu meditasi jalan diperlukan agar ketegangan mereda dan sirkulasi darah juga kembali baik. Bila meditator sanggup duduk terus-terusan tanpa mengganggu konsentrasinya tentu hal ini boleh-boleh saja dilakukan. Tak perlu meditasi jalan.
Jadi tujuan meditasi jalan adalah supaya kita mempertahankan perhatian dan konsentrasi agar tidak terputus, bila kita jalan tanpa konsentrasi maka konsentrasi kita bisa menurun, dan pikiran yang mulai "dikandangkan" kembali bebas berkeliaran.
Pada meditator tingkat lanjut dalam sistem "Direct Vipassana" dianjurkan untuk meditasi duduk selama mungkin.
jadi pengertiannya demikian:
- Pada meditasi jalan kita harus mempertahankan perhatian kita dan tidak mengharuskan kita mengambil suatu posisi tertentu sebagai kunci keberhasilan (umpamanya harus bersikap mudra tertentu) tidak demikian.
- Meditasi jalan memang melibatkan fisik, tetapi meditasi jalan (lebih tepatnya meditasi sambil berjalan) dalam meditasi Theravada bukan sebagai suatu sikap fisik yang sakral seperti mudra.
Quote from: Deva19 on 23 March 2010, 05:28:46 PM
Quote from: febian
Bagian 6:
Konsentrasi pada meditasi Samatha dapat diarahkan ke Vipassanna, demikian juga dengan Konsentrasi Vipassana dapat membantu kita berlatih meditasi Samatha.
menurut bro 19 konsentrasinya malah menurun setelah berlatih meditasi Vipassana, ini menarik, karena berbeda dengan semua guru-guru meditasi Vipassana yang mengatakan bahwa konsentrasi, perhatian dll mengalami peningkatan, konsentrasi mereka bertambah lama bertambah kuat.
Bila ingin berdiskusi lebih jauh mengenai hal ini bro 19 bisa buat thread baru.
saya akan jelaskan ringkasannya di sini :
dalam mengembangkan konsentrasi sampai ke tahapan jhana, batin kita menempuh perjalanan yang panjang dan kadang sangat melelahkan.
pengembangan konsentrasi ini memiliki dua periode, periode "pahit" dan periode "manis". periode "pahit" adalah periode dari 0 konsentrasi tahap dasar hingga ke tahapan jhana pertama. dari jhana pertama hingga ke jhana ke empat saya sebut peride manis.
dalam periode pahit, pengembangan konsentrasi itu disebut dengan tahapan "penuh duka dan air mata", dan "usaha setengah mati", badan batinpun akan terasa tersiksa karenanya. tetapi, dalam sistem meditasi cakra, karena tidak mengenal vipasana, kami tidak pernah berhenti dan keluar dari pengembangan konsentrasi untuk mnyadarkan pikiran kepada 4 landasan perhatian murni, tapi kami terus memaska pikiran untuk berfokus pada satu titik konsentrasi, terus dan terus, hingga munculah apa yang dalam budhisme disebut dengan nimita. dan nimita ini merupakan pertanda masuknya batin pada jhana pertama. bila ini berhasil, maka untuk mencapai jhana kedua, ketiga dan keempat adalah mudah, karna kekuatan jhana pertama membuat kita memiliki tenaga yang besar untuk mencapai jhana-jhana yang lebih tinggi.
Disini kita berbeda pandangan bro, nimitta pada meditasi Samatha Theravada bukan pertanda seseorang telah mencapai Jhana. Nimitta adalah sebagai pertanda konsentrasi seseorang bertambah kuat.
adadua jenis nimitta, yang menandakan bahwa konsentrasi seseorang bertambah kuat, yaitu uggaha nimitta dan patibhaga nimitta. Pada uggaha nimitta cahaya yang timbul sebagai gambaran batin masih kabur, buram tak jelas dan tak dapat didefinisikan gambar apakah itu? Sering hanya merupakan kelebatan warna-warni saja.
Sedangkan pada patibhaga nimitta gambar yang timbul jelas, nampak nyata ,detilnya tajam, warnanya cerah, dalam keadaan tutup mata nampak seperti melihat suatu benda nyata dengan mata terbuka. hanya bila kita mengalami kita bisa tahu, oh ternyata inilah yang disebut patibhaga nimitta.
Tetapi patibhaga nimitta inipun belum Jhana, baru upacara samadhi. Jhana hanya tercapai bila perhatian kita menyatu/manunggal dengan patibhaga nimitta tersebut.
Quotetetapi, ketika saya mempelajari dan mempraktikan meditasi budhisme, dimana di dalam naskah tersebut dijelaskan teknik meditasi mulai dari dasar hingga sampai ke jhana ke IV, tetapi kemudian penulis naskah tersbut berkata, "tetapi, kita tidak perlu memiliki konsentrasi setinggi itu. untuk melanjutkan latihan ke tahapan meditasi selanjutnya, yaitu meditasi vipasana, cukuplah dengan upacara samadhi (konsentrasi dibawah Jhana)". dengan demikian, selama dua tahun saya berlatih vipasana, saya tidak pernah berusaha mencapai jhana pertama, karena sibuk dengan "melihat dhama", yang bisa dilihat dengan kekuatan konsentasi cukup dengan upacara samadhi.
Entah siapa yang memberitahu bro demikian. Dalam Samatha Theravada semakin tinggi Jhana kita semakin berguna dalam berlatih Vipassana. Hal ini disebabkan bila kita ingin berlatih Vipassana kita harus keluar Jhana dulu (selama berada dalam Jhana kita tak dapat berlatih Vipassana, kecuali kita keluar dulu dari Jhana), dan menggunakan kekuatan konsentrasi yang disebabkan memasuki Jhana tadi untuk melihat proses yang terjadi pada batin dan jasmani.
Semakin tinggi Jhana maka semakin kuat konsentrasi dan semakin berguna dalam Vipassana.
Quotesemakin dalam kebenaran dhamma yang kita lihat, itu berarti semakin tinggi konsentrasi yang dibutuhkan. dan nibbana, sulit dilihat, kecuali oleh orang yang memiliki kekuatan jhana ke IV. dengan demikian, benar seperti yang para bikhu katakan bahwa semakin berkembang dalam vipasana, berarti konsentrasi pun semakin dalam. tetapi, dhama yang dapat dilihat melalui "upacara samadhi" sekalipun, itu sangat banyak dan luar biasa. sehingga saya dapat berlama-lama dalam tahapan ini. dengan demikian, konsentrasi sayapun tidak banyak berkembang. inilah alasan, mengapa saya katakan "setelah banyak berlatih vipasana, konsentrasi saya justru menurun".
Benar semakin dalam kebenaran dhamma yang kita lihat, itu berarti semakin tinggi konsentrasi yang dibutuhkan, tetapi saya tidak setuju bila dikatakan bahwa Nibbana
Sulit dilihat kecuali oleh orang yang memiliki kekuatan jhana ke IV. Tak pernah Sang Budddha mengatakan demikian.
Hal lain lagi, Nibbana bukan hanya dilihat tetapi dialami. Dialami yang dimaksud adalah melihat dan merasakan.
Saya rasa konsentrasi bro 19 menurun disebabkan "usaha melihat Dhamma", hanya sekedar saran dari saya: jangan berusaha melihat Dhamma. Berusahalah memperhatikan proses yang terjadi pada batin dan jasmani dengan waspada, hanya itu. Dhamma akan nampak dengan sendirinya.
Quotedemikianlah saya membatasi diri dalam samatha dan vipasana. sya meras perlu membtasi pengembangan samatha, karena bila daya konsentrasi bekembang tanpa kebijaksaan itu dapat bersifat destruktif. dan saya membatasi diri dalam pengembangan vipasana, karena bila saya mengembangkan terlalu tinggi, saya akan terpental dari kehidupan masyarakat. sebagai contoh, bila saya mengembangkan vipasana hingga ke titik yang tinggi, maka lenyaplah hasrat seksual saya, pikiran saya tidak lagi terobesi oleh wanita, dan melihat wanita secantik apapun tak ubahnya seperti melihat tengkorak berjalan yang dibalut dengan daging dan darah yang menjijikan. ini bukan pengaruh dari meditasi asuba yang "jijik" karena persepsi, tapi jijik karna melihat keadaan yang sebenarnya. bila ini terjadi pada saya, lalu bagaimana nasib istri saya?
perkenankan saya memberi komentar yang berbeda, saya kira konsentrasi berkembang tanpa kebijaksanaan bukan menjadi destruktif, tetapi bisa diarahkan menjadi destruktif (bila kita mau) bila kita tak mau ya tidak bisa bro. memilih kearah yang baik itulah kebijaksanaan bro.
Mengenai hasrat seksual lenyap? setahu saya tidak demikian bro, bila hanya sampai Sotapanna atau Sakadagami hasrat seksual belum lenyap (Sotapanna hubungan seksual masih normal saja). Bila Anagami baru lenyap.
Mengenai kejijikan saya rasa tidak demikian bro, Setahu saya seorang Anagami yang berkembang bukan rasa ekstrim seperti rasa jijik, tetapi yang berkembang adalah kebijaksanaan dan pengertian (wisdom and understanding), Saya rasa seorang Anagami melihat hubungan seks itu/ hanya persentuhan kulit dengan kulit tak lebih. Mungkin seperti itu. Saya bukan Anagami, saya hanya menduga demikian.
Karena bro 19 kuatir terhadap isteri bro 19 (ini adalah rintangan batin yang disebut kukucca) maka bro 19 tak akan mencapai tingkat kesucian.
Pada seseorang yang telah mencapai kesucian yang berkembang adalah kebijaksanaan, kebijaksanaan apa? Yaitu kebijaksanaan melihat segala sesuatu secara alami/natural sebagaimana apa adanya tanpa dilekati konsep seperti merasa jijik dsbnya.
Quoteini soal pilihan bro. sang Budha, memilih meninggalkan istrinya untuk mencapai pencerahan yang sempurna, sedangkan saya memilih tetap berumah tangga dan menyampaikan dhamma sedikit demi sedikit kepada anggota keluarga dan masyarakat. bila saja merka semua telah siap, maka saya akan mengembangkan batin lebih tinggi lagi untuk melihat kebenaran dhamma lebih dalam, saya seperti seorang "reporter dhamma". entahlah apa yang saya lakukan itu benar atau salah, pintar atau bodoh, tapi itulah yang saya lakukan.
Sabba dhanam Dhamma dhanam jinati : Dari semua pemberian/dana, pemberian Dhamma adalah yang tertinggi.
Yang tertinggi diantara semuanya adalah merealisasi Dhamma.
_/\_
Bersambung..... (sudah jam 3 pagi, saya typist payah :) )
Quote from: Deva19 on 23 March 2010, 05:31:02 PM
Quote from: febian
Saya rasa pengertian bro 19 sudah hampir tepat mengenai Vipassana, Dalam meditasi Vipassana kita tidak dianjurkan untuk mengerahkan energi untuk dapat melihat Dhamma, kita hanya dianjurkan untuk melihat proses yang terjadi pada batin dan jasmani dengan semangat, penuh perhatian, teliti, seksama, cermat dan sebagaimana apa adanya.
Dhamma akan nampak dengan sendirinya bila bro 19 berlatih dengan cara demikian.
dianjurkan melihat proses yang terjadi, hingga dhamma itu terlihat dengan sendirinya<---- inilah yang saya maksud dengan "mengerahkan energi untuk melihat dhamma".
Bro Deva 19 yang baik,
Mungkin ada perbedaan sedikit mengenai hal ini, saya lebih cocok kata-kata " mengerahkan energi untuk melihat proses yang terjadi pada batin dan jasmani".
Quote from: Deva19 on 23 March 2010, 05:34:47 PM
Quote from: febian
Saya tidak bisa berkomentar mengenai persamaan antara membuka cakra dengan Jhana, saya tak bisa mengatakan sama atau tidak sama karena minimnya pengetahuan saya mengenai cakra-cakra ini.
cakra itu memang bukanlah nama lain dari jhana. apa yang dimaksud cakra jika di konversi ke dalam istilah budhisme, mungkin lebih tepatnya disebut nimita.
para meditator budhisme, seringkali melaporkan munculnya nimita ini di lubang hidung atau beberapa cm di depan hidung. hal itu disebabkan kebanyakan meditator budhisme berkonsentrasi pada keluar masuknya nafas, dan memusatkan perhatian pada titik di lubang hidung. jika, perhatian itu diarahkan kepada perut (pusar), maka nimita itu akan munculnya di pusar. dan itulah yang di maksud dengan cakra.
Maaf bolehkah saya bertanya, apakah chakra memiliki suatu bentuk yang tetap Disetiap tempat? umpamanya: chakra ubun-ubun bentuknya demikian, chakra dahi bentuknya demikian, cakra tenggorokan bentuknya demikian, dsbnya?
Quote from: Deva19 on 23 March 2010, 05:49:06 PM
Quote from: febian
Cuma saya bisa bertanya sedikit mengenai pengalaman Jhana ke 1 (pertama) bro 19: "Bisakah diceritakan sedikit bagaimanakah ketenangan yang dialami bro jhana 19 pada Jhana pertama?" Saya yakin sebelum bisa mencapai Jhana ke 4 kita harus melalui Jhana ke 1 dulu kan? apa yang dirasakan pada waktu memasuki Jhana pertama?
dalam sistem meditasi sebelumnya, pengalaman jhana pertama muncul ketika saya terus menerus melakukan latihan tahan nafas di perut dengan teknik nafas perut yang sempurna, berulang-ulang dilakukan slama bejam-jam, hingga akhirnya terbukalah cakra pusar. terbukanya cakra pusar ini menandai pencapaian konsentrasi tingkat ke 4, yang dalam budhisme sebanding dengan jhana pertama.
kemudian melalui praktik meditasi samatha, berdasakan petunjuk meditasi budhisme yang saya unduh dari internet, saya bermeditasi dengan 4 tahapan nafas.
Astaga sekarang saya baru ingat, semua tehnik meditasi untuk memunculkan cakra/energi melibatkan cara mengatur pernapasan. Meditasi Samatha Theravada tidak demikian bro, pada meditasi Samatha Theravada kita hanya memperhatikan napas, kita tidak mengatur napas, Vipassana juga sama saja tidak mengatur napas.
Quote
1. memustakan perhatian ke pada keluar masuknya nafas. bila konsentrasi berkembang, itu berarti masuk ke tahapan berikutnya, yaitu ..
2. mampu melihat panjang pendeknya nafas, dan pikiran berperhatian penuh terhadap panjang pendeknya nafas tersebut. bila konsentrasi berkermbang, itu berarti masuk ke tahapan berikutnya, yaitu...
3. nafas menjadi lembut dan tenang, dan pikiran sepenuhnya mengikuti pergerakan nafas yang lembut dan tenang ini. bila konsentrasi berkembang, berarti masuk pada tahapan berikutnya yaitu ...
4. pikiran/perhatian terfokus pada satu titik di lubang hidung, tentram dan nyaman di situ, tanpa gangguan, tanpa keresahan, dan tanpa pikiran yang menyimpang. di sini ada piti dan sukha.
Sebenarnya pada meditasi Anapanasati, dari awal kita berlatih kita sudah harus memperhatikan satu titik diujung hidung. Tidak masalah napas panjang atau pendek, tugas kita sebagai meditator hanya memperhatikan napas di titik yang sudah kita tentukan tersebut, entah panjang atau pendek.
Bila napas menjadi lembut dan tenang maka kita dapat dengan mudah mengikuti keluar masuknya napas dan pikiran menjadi semakin terkonsentrasi.
Quoteselanjutnya, saya tinggal mempertahankan keadaan ini hingga munculnya nimita. munculnya nimita ini pertanda tercapainya jhana pertama. nimita sperti apa yang saya lihat? ini sulit dilukiskan, itu seperti bentuk energi yang muncul, atau seperti kabut yang menggumpal, atau sperti lubang bening yang dikelilingi oleh cahaya, dan muncul bukan karna sifat pikiran yang berpikir atau yang mengkhayalkan sesuatu, tapi mncul karena sifat konsentrasi. bentuk yang dilihat dan cara orang menggambarkan nimita mungkin berbeda-beda, tetapi prinsipnya sama bahwa ia (nimita) merupakan pusat energi, dan energi inilah yang menybabkan tubuh-bathin meditator mengalami kebahagiaan luar biasa. bahkan kebahagiaan itu bisa dirasakan hingga kuku jari jemari. dari ujung rambut hingga ujung gaji, tubuh meditator digetarkan oleh getaran kebahagiaan yang lembut.
Bila benar bro 19 mengalami munculnya kabut yang menggumpal, maka saya yakin yang dialami oleh bro 19 adalah uggaha nimitta seperti yang telah saya post sebelumnya. Sedangkan nimitta berbentuk lubang bening yang dikelilingi cahaya saya tidak tahu pasti, bila cahayanya sangat terang, jelas dan nampak nyata seolah olah kita melihat dengan mata terbuka, kemungkinan itu adalah patibhaga nimitta, bila cahayanya tidak terang itu adalah uggaha nimitta.
Piti bisa muncul bahkan sebelum kita mengalami Jhana. Kebahagiaan Jhana adalah rasa damai.
Quote from: bond on 23 March 2010, 08:43:34 PM
Quote from: Deva19 on 23 March 2010, 07:53:47 PM
Quote from: bond
Terutama pengalaman mendengar pembicaraan tumbuhan yang terasa aneh bagi saya karena menurut kitab Abhidhamma tumbuhan tak memiliki jiwa, jadi tak dapat berbicara seperti manusia.
yah... dulu persoalan ini pernah di diskusikan di DC.
saya sempat berkeyakinan bahwa di dalam kitab budhisme tercatat bahwa pohonpun berjiwa dan bisa berbicara dan menganggap ada manusia yang bereinkarnasi menjadi pohon. tetapi, kemudian, saya lupa waktu itu siapa, kalo enggak salah bro upasaka yang meyakinkan saya bahwa dalam kitab budhisme tersebut hanya disebutkan bahwa hantu/peta yang ada di dalam pohon, bukan manusia yang bereinkarnai menjadi tumbuhan.
saya tidak tahu kebenaran yang sebenarnya bagaimana, tapi saya benar-benar mendengar tumbuh-tumbuhan itu berbicara. cara hewan berbicara itu sangat berbeda dengan cara tumbuhan. meminjam istilah bahasa pemrograman, bahasa tumbuhan itu seperti bahasa tingkat yang jauh lebih rendah. dalam sebuah pribahasa dikatakan "alam ini berbicara kepada kita". tetapi tentunya batu dan gunung tidaklah memiliki lidah seperti manusia. tetapi manusia tau bahwa alam berbicara kepdanya. dan untuk mendengarkan perkataan alam tersebut, kita harus mengkonversi bahasa alam ke bahasa manusia.
demikian pula, tentang apa yang dikatakan padi-padi kepada saya, dimana telah mengkonversinya ke bahasa yang bisa dimengerti oleh manusia. pada dasarnya, perkataan tumbuhan tidaklah berbentuk kata-kata seperti itu.
bro deva19 , yg Anda quote itu bukan tulisan saya tapi tulisan ko fabian ;D
Wah saya tak bisa komentar mengenai tumbuhan berbicara, tapi mengenai hewan berbicara, banyak referensinya di Tipitaka, terutama Jataka.
Semoga bisa membantu pengertian bro Deva 19
_/\_
Quote from: Deva19 on 25 March 2010, 03:31:39 PM
Quote from: febian
Ada 10 objek meditasi kasina, yaitu: kasina warna kuning, merah, biru, putih; kasina tanah, air, api udara, cahaya dan ruang. Kesemua objek meditasi ini akan membawa kita pada Jhana ke 8
ada objek warna-warni. ada titik temunya dengan aura yang juga "warna-warni". kasina tanah, air, api, udara, dan ruang juga ada titik persamaannya dengan aura, yakni energi aura tersebut diambil dari energi tanah, air, api dan udara. mungkin sebagian orang menafsirkn aura dengan cahaya tubuh saja, tetapi sebagian yang lain menafsirkan aura tersebut dengan energi kracht. energi ini bisa muncul dari dalam, dan bisa pula diambil dan dihimpun dari tanah, air, api dan udara.
sebagian orang mudah mengatakan "wah aura mu bagus hari ini", tapi yang dia maksud adalah perangai orang tersbut berseri-seri, tampak segar dan bersih. tetapi sebenarnya dia tidak melihat kabut energi yang melingkupi tubuh manusia. jadi, aura dalam pengertian yang ini tentunya tidak sama dengan kracht, mungkin berbeda pula dengan yang dimaksud dengan objek kasina.
dan tentang jhana ke 8, saya tidak tahu, kalau jhana bisa smpai tingkat 8. apakah hal tersebut tertulis di dalam sutta?
Bro Dewa 19 yang baik, Aura tidak sama dengan kasina, kasina adalah objek yang kita buat untuk berlatih konsentrasi, umpamanya objek tanah, yang kita lakukan adalah membuat objek lingkaran dari tanah seluas sekilan tiga jari (mungkin sekitar 30 cm) lalu kita letakkan kira-kira sejarak 1 m di depan kita lalu kita perhatikan hingga muncul uggaha nimitta. demikian juga warna umpamanya warna merah, tanah kita ganti dengan kertas berwarna merah yang wananya merah murni. lalu kita perhatikan terus hingga konsep warna merah melekat di batin dan muncul uggaha nimitta.
Jhana ke 8 tertulis di banyak sekali sutta. Bisa dicari di www.accesstoinsight.org (http://www.accesstoinsight.org).
Quote from: Deva19 on 25 March 2010, 03:47:38 PM
Quote from: febian
Bro Deva 19, Kadang-kadang ada hal tertentu yang menurut saya sulit diterangkan dengan logika semata, oleh karena itu saya berpendapat logika juga harus dibarengi dengan "direct experience".
Contohnya dulu saya tak percaya tenaga dalam seperti yang ada di buku silat Kho Phing Hoo, setelah saya mengalami sendiri bertemu dengan orang yang memiliki tenaga dalam seperti itu, maka saya harus dengan jujur mengakui bahwa pendapat saya selama ini salah. Tetapi tetap saja sulit menerangkan dengan logika mengapa manusia mampu mengumpulkan dan mengeluarkan listrik dari tubuhnya?
bro febian,
tanpa bermaksud merendahkan kemampuan logika anda, saya hanya ingin menyarankan agar anda lebih menyelami lagi, "apa itu logika". karena memperhatikan dari komentar anda tersebut, tampaknya anda belum memiliki pengertian yang jelas tentang logika. dan hal ini, menjadi masalah kebanyakan orang.
tidak ada hal yang tidak bisa dilogikakan. semua hal yang dapat disebut, itu bisa dilogikakan. hanya saja, bila sesuatu itu sulit disebut, barulah itu sulit dilogikakan. juga, tentunya kita perlu dengan jernih memisahkan antar persoalan logika dan ilmiah. saya tak tahu, kenapa matahari terus menerus bersinar bermilyar-milyar tahun, kenapa daun berwarna hijau yang katanya ada zat klorofil, tapi kenapa klorofil itu ada di situ, kenapa alam tak dapat diketahui ujungnya dan tak dapat dibayangkan bentuknya, dan kalaulah kita terus bertanya "kenapa?" maka semua hal berujung pada "ketidak tahuan", bukan saja pada persoalan-persoalan mistis seperti tenaga dalam.
buah apel yang jatuh ke bawah dari pohonnya, tidaklah mengherankan kita, dan kita menyebutnya itu masuk akal. karena kalau buah itu terlalu masak, tentu akan lepas dari pohonnya. semudah itu kita menganggapnya masuk akal. tetapi, bagi seorang ilmuwan, jatuhnya buah apel dari pohonnya menimbulkan keheranan yang besar, adalah mustahil hanya karena terlalu masak. dari rnenungan2 sng ilmuwan trebut, munculah hukum gravitasi, sehingga ditemukan jawaban yang lebih masuk akal, dari ribuan pertanyaan yang belum terjawab. begitu banyak yang belum kita tahu jawabannya, semuanya begitu. tapi itu adalah persoalan ilmiah dna bukan persoalan logika.
sesuatu tidak perlu dilogikakan bila sesuatu itu tidak memiliki argumentasi logika. dan argumentasi logic tidak perlu dicari, bila sesuatu itu bukanlah pernyataan logika. yang anda amati itu kan fenomena langsung, dan bukan soal pengetahun simbolik, jadi keheranan anda soal mistik tersebut adalah persoalan ilmiah, bukan logika.
Memang benar segala sesuatu bisa di logikakan entah benar atau salah. Tergantung yang me logikakan. Saya kurang tertarik untuk melogikakan karena akan menjadi polemik yang berkepanjangan seperti sebelumnya.
Saya lebih suka membahas berdasarkan "simple truth" yang bisa kita ketemukan di kitab suci, berdasarkan pengalaman kita sendiri, berdasarkan pengalaman orang lain, pengalaman guru kita dan keterangan dari mereka yang lebih ahli.
_/\_
Quote
Maaf bolehkah saya bertanya, apakah chakra memiliki suatu bentuk yang tetap Disetiap tempat? umpamanya: chakra ubun-ubun bentuknya demikian, chakra dahi bentuknya demikian, cakra tenggorokan bentuknya demikian, dsbnya?
bentuknya tidak sama, antara cakra ubun-ubun dan cakra pusar. tetapi, bentuk cakra yang muncul di pusar, cenderung tetap, ketika ia muncul di pusar pada waktu lain kali.
Quote from: Deva19 on 26 March 2010, 02:15:58 PM
Quote
Maaf bolehkah saya bertanya, apakah chakra memiliki suatu bentuk yang tetap Disetiap tempat? umpamanya: chakra ubun-ubun bentuknya demikian, chakra dahi bentuknya demikian, cakra tenggorokan bentuknya demikian, dsbnya?
bentuknya tidak sama, antara cakra ubun-ubun dan cakra pusar. tetapi, bentuk cakra yang muncul di pusar, cenderung tetap, ketika ia muncul di pusar pada waktu lain kali.
Bro 19 yang baik, ini juga merupakan salah satu perbedaan, Patibhagga Nimitta pada Samatha bhavana bisa berbeda bentuknya lain kali dia muncul, walaupun tempat kemunculannya sama, yaitu di depan hidung.
_/\_
dalam soal perbedaan dan persamaan, itu seringkali menjadi masalah dalam diskusi.
adapun perbedaan-perbedaan yang telah disebutkan oleh sdr. febian, saya tidak menyangkalnya. saya membenarkannya. apa yang telah diuraikan oleh febian, sperti misalnya perbedaan cakra dengan nimita, perbedaan pengalaman jhana saya dengan teori yang dia baca. semua itu benar dan saya memahaminya.
yang menjadi masalah adalah, apakah kita saat ini hendak membicarakan persamaan atau perbedaannya?
setiap dua nama yang berbeda, itu pasti memiliki persamaan dan perbedaan. apa bedanya sang Budha dengan Sidharta Gautama. apa bedanya emosi dengan amarah. apa bedanya sabar dengan sobar. apa bedanya Tuhan dengan Allah. apa bedanya rabb denga ilah. apa bedanya manusia dengan orang itu? jika kita hendak mencari perbedaan-perbedaan, tentu tidak sulit untuk menemukan perbedaan-perbedaan tersebut. dan bila kita hendak mencari persamaan-persmaan, juga dapat ditemukan persamaan. masalahnya, mana yang akan kita perbincangkan?
jika kita mengungkapkan persamaan-persamaan, sementara lawan diskusi kita mengungkapkan perbedaan-perbedaan, sudah barang tentu "diskusi tidak akan konek".
jadi, silahkan sdr. febian mengungkapkan semua perbedaan tersebut. dan tidak perlu didiskusikan. biarkan orang lain mempelejari perbedaan-perbedan tersebut. dan saya akan mengungkapkan persamaan. biarkan orang lain mempelajari persamaan tersebut. jadi, tidak perlu berbantah-bantahan.
ketika anda berkata, "ini beda". saya tak perlu berkata, "ini sama", sehingga menimbulkan kesan, saya menyangkal perbedaan tersebut. tetapi anda dapat berkata, "ini adalah perbedaannya" dan saya akan berkata, "inilah persamaannya".
misalnya, pernyataan berikut :
Quote from: febian
Bro 19 yang baik, ini juga merupakan salah satu perbedaan, Patibhagga Nimitta pada Samatha bhavana bisa berbeda bentuknya lain kali dia muncul, walaupun tempat kemunculannya sama, yaitu di depan hidung.
seakan-akan komentar ini telah menyangkal pernyataan saya :
Quote from: deva19
bentuknya tidak sama, antara cakra ubun-ubun dan cakra pusar. tetapi, bentuk cakra yang muncul di pusar, cenderung tetap, ketika ia muncul di pusar pada waktu lain kali.
"kesan" penyangkalan itu ada, walaupun sebenarnya tidak menyangkal.
saya mengatakn bahwa bentuk cakra itu cenderung sama. dan ini bukan berarti selalu sama. dan febian berkata, bisa berbeda. dan ini bukan berarti slalu berbeda.
saya memahami dan mengalami sendiri, bahwa nimita yang muncul di depan hidung itu, berbeda-beda bentuknya setiap kali kemunculannya. tetapi, walaupun berbeda-beda bentuk dan ukuran, tetapi selalu ada bentuk yang menjadi ciri khas yang membedakan nimita yang muncul di depan hidung dengan yang di pusar. objek yang saya bicarakan ini adalah bentuk yang menjadi ciri khas tersebut. sedangkan objek yang dibicarakan oleh febian, mungkin bukan bentuk yang menjadi ciri khas tersebut.
ke 7 cakra di dalam tubuh saya sudah aktif semuanya, dan saya telah mengamati semua bentuk-bentuknya, melihat persamaan dan perbedaannya. dalam waktu 1 menit saja, kita dengan mudah melihat prsmaan dan perbedaannya. tetapi, yang tidak mengamati langsung terhadap cakra-ckara tersebut, sulit memahami penjelasan persamaannya atau perbedaannya. apabila didiskusikan akan memerlukan terlalu banyak kata-kata untuk diungkapkan. apabila diperdebatkan, akan menimbulkan banyak perdebatan yang tidak bermanfaat.
melukiskan ssuatu dengan kata-kata itu sulit. slalu saja ada kelemahan di dalamnya yang bisa ditemukan oleh orang lain. lagi pula dalam diskusi, hampir semua orang suka terburu-buru membuat penyangkalan dan giat membuat perbedaan dari pada giat menyelami maksud dari kata-kata orang lain. ini termasuk diri saya sendiri.
oleh karena itu, dalam diskusi , akan lebih baik bila kita membahas satu persatu dulu. persamaan atau perbedaan.
dan kepada sdr. febian, saya menyatakan setuju dan membenarkan perbedaan-perbedaan tersebut. silahkan anda kemukakan lagi perbedaan-perbedaan lainnya. kapan-kapan, atau lain waktu, saya akan membuat thread lain yang mengupas persamaan antara nimita dan cakra.
Quotedalam soal perbedaan dan persamaan, itu seringkali menjadi masalah dalam diskusi.
adapun perbedaan-perbedaan yang telah disebutkan oleh sdr. febian, saya tidak menyangkalnya. saya membenarkannya. apa yang telah diuraikan oleh febian, sperti misalnya perbedaan cakra dengan nimita, perbedaan pengalaman jhana saya dengan teori yang dia baca. semua itu benar dan saya memahaminya.
yang menjadi masalah adalah, apakah kita saat ini hendak membicarakan persamaan atau perbedaannya?.
setiap dua nama yang berbeda, itu pasti memiliki persamaan dan perbedaan. apa bedanya sang Budha dengan Sidharta Gautama. apa bedanya emosi dengan amarah. apa bedanya sabar dengan sobar. apa bedanya Tuhan dengan Allah. apa bedanya rabb denga ilah. apa bedanya manusia dengan orang itu? jika kita hendak mencari perbedaan-perbedaan, tentu tidak sulit untuk menemukan perbedaan-perbedaan tersebut. dan bila kita hendak mencari persamaan-persmaan, juga dapat ditemukan persamaan. masalahnya, mana yang akan kita perbincangkan?
Bro 19 yang baik, saya bukan memilih perbedaan atau persamaan, saya mengungkapkan pebedaan karena memang kebetulan ada, bila ada yang sama toh boleh diungkapkan juga tak ada masalah. Yang jelas saya tak akan menyama-nyamakan sesuatu yang beda atau membeda-bedakan sesuatu yang sama.
Quotejika kita mengungkapkan persamaan-persamaan, sementara lawan diskusi kita mengungkapkan perbedaan-perbedaan, sudah barang tentu "diskusi tidak akan konek".
jadi, silahkan sdr. febian mengungkapkan semua perbedaan tersebut. dan tidak perlu didiskusikan. biarkan orang lain mempelejari perbedaan-perbedan tersebut. dan saya akan mengungkapkan persamaan. biarkan orang lain mempelajari persamaan tersebut. jadi, tidak perlu berbantah-bantahan.
ketika anda berkata, "ini beda". saya tak perlu berkata, "ini sama", sehingga menimbulkan kesan, saya menyangkal perbedaan tersebut. tetapi anda dapat berkata, "ini adalah perbedaannya" dan saya akan berkata, "inilah persamaannya".
Saya mengerti bahwa seringkali dalam berbagai hal kita bisa mengambil persamaannya, tetapi bukan berarti kita harus menganggap sama sesuatu yang perbedaannya cukup jelas.
Umpamanya pria dan wanita tentu bisa disama-samakan, tetapi masyarakat umum menganggap beda.
Quotemisalnya, pernyataan berikut :
Quote from: febian
Bro 19 yang baik, ini juga merupakan salah satu perbedaan, Patibhagga Nimitta pada Samatha bhavana bisa berbeda bentuknya lain kali dia muncul, walaupun tempat kemunculannya sama, yaitu di depan hidung.
seakan-akan komentar ini telah menyangkal pernyataan saya :
Quote from: deva19
bentuknya tidak sama, antara cakra ubun-ubun dan cakra pusar. tetapi, bentuk cakra yang muncul di pusar, cenderung tetap, ketika ia muncul di pusar pada waktu lain kali.
"kesan" penyangkalan itu ada, walaupun sebenarnya tidak menyangkal.
saya mengatakn bahwa bentuk cakra itu cenderung sama. dan ini bukan berarti selalu sama. dan febian berkata, bisa berbeda. dan ini bukan berarti slalu berbeda.
saya memahami dan mengalami sendiri, bahwa nimita yang muncul di depan hidung itu, berbeda-beda bentuknya setiap kali kemunculannya. tetapi, walaupun berbeda-beda bentuk dan ukuran, tetapi selalu ada bentuk yang menjadi ciri khas yang membedakan nimita yang muncul di depan hidung dengan yang di pusar. objek yang saya bicarakan ini adalah bentuk yang menjadi ciri khas tersebut. sedangkan objek yang dibicarakan oleh febian, mungkin bukan bentuk yang menjadi ciri khas tersebut.
Wah saya kurang teliti membaca postingan bro 19, cenderung tetap berarti
tidak selalu sama hanya kecenderungan sama. Sejalan dengan postingan saya yang mengatakan bisa berbeda yang juga berarti
tidak selalu sama.
Quoteke 7 cakra di dalam tubuh saya sudah aktif semuanya, dan saya telah mengamati semua bentuk-bentuknya, melihat persamaan dan perbedaannya. dalam waktu 1 menit saja, kita dengan mudah melihat prsmaan dan perbedaannya. tetapi, yang tidak mengamati langsung terhadap cakra-ckara tersebut, sulit memahami penjelasan persamaannya atau perbedaannya. apabila didiskusikan akan memerlukan terlalu banyak kata-kata untuk diungkapkan. apabila diperdebatkan, akan menimbulkan banyak perdebatan yang tidak bermanfaat.
Ya saya juga belum pernah melihat cakra, memang nanti tidak konek :) Tetapi walaupun demikian saya juga senang mendengarkan uraian bro 19 mengenai cakra untuk menambah pengetahuan.
Quotemelukiskan ssuatu dengan kata-kata itu sulit. Selalu saja ada kelemahan di dalamnya yang bisa ditemukan oleh orang lain. lagi pula dalam diskusi, hampir semua orang suka terburu-buru membuat penyangkalan dan giat membuat perbedaan dari pada giat menyelami maksud dari kata-kata orang lain. ini termasuk diri saya sendiri.
Ya, sama-sama bro saya juga demikian, pernah saya sangat ceroboh posting sehingga saya harus memodify berkali-kali postingan yang sama.
Quoteoleh karena itu, dalam diskusi , akan lebih baik bila kita membahas satu persatu dulu. persamaan atau perbedaan.
dan kepada sdr. febian, saya menyatakan setuju dan membenarkan perbedaan-perbedaan tersebut. silahkan anda kemukakan lagi perbedaan-perbedaan lainnya. kapan-kapan, atau lain waktu, saya akan membuat thread lain yang mengupas persamaan antara nimita dan cakra.
Saya kira bro 19 tidak perlu membuat thread tersendiri untuk persamaan-persamaan, disini juga sama, tetapi bila bro mau membuat thread tersendiri juga tidak apa-apa. Apabila menurut pendapat saya, sama saya akan mengatakan sama.
_/\_
Quote from: febian
Saya kira bro 19 tidak perlu membuat thread tersendiri untuk persamaan-persamaan, disini juga sama, tetapi bila bro mau membuat thread tersendiri juga tidak apa-apa. Apabila menurut pendapat saya, sama saya akan mengatakan sama.
anda benar, bro febian.
ini soal keterbatasan diri saya, untuk menunjukan suatu persamaan yang berada dibalik istilah "nimita" dan "cakra". dengan demikian, tidak ada yang lebih tepat untuk saya, selain berhenti berusaha menunjukan persamaan antara keduanya. dan lebih baik menyimak dengan baik-baik, perbedaan-perbedaan yang anda maksud. kelak, bila saya sudah mengetahui cara yang tepat untuk menunjukan persamaannya, sehingga dengan mudah dapat anda fahami, mungkin pada waktu itulah saya akan ungkapkan kembali persamaan-persamaan yang ingin saya kemukakan.
tetapi, saya sepenuhnya telah memahami perbedaan-perbedaan yang anda kemukakan. dan membenarkannya. jika saya belum dapat menunjukan persamaan yang saya maksud, itu masalahnya bukan terletak pada diri anda, melainkan ada pada diri saya sendiri. mudah-mudahan bro febian memakluminya.
maafkan saya, bila seolah-olah bersikap mempunyai pengetahuan lebih dari anda. semoga saya tidak mempunyai maksud yang demikian. saya hanya bermaksud mencoba belajar menyampaikan apa yang saya pikirkan. dan kini saya dapat belajar, bahwa ternyata hal itu tidaklah mudah. kesimpulannya, saya harus lebih banyak belajar lagi.
_/\_
Memang sulit untuk menyampaikan hal yang abstrak. Tapi keren dua pakar saling berbagi.
Semoga selalu bahagia.
Saran Saya..Lebih baik Konsultasi langsung (4 mata) dengan yang lebih berkompeten...bila berminat dengan jalan Buddhist, silahkan cari bhante senior..bila lebih cocok dengan sistim lain silahkan aza konsultasi dengan senior dari sistim yang lain tersebut....Namun didalam diri setiap orang ada "Meteran" khususnya masing2, yang bisa memberitahukan apakah tindakan kita itu sudah baik/tidak...yaitu "Hati Nurani." Semoga semakin maju n berbahagia buat diri sendiri dan makhluk lainnya.
Quote from: Deva19 on 30 March 2010, 11:23:38 AM
Quote from: febian
Saya kira bro 19 tidak perlu membuat thread tersendiri untuk persamaan-persamaan, disini juga sama, tetapi bila bro mau membuat thread tersendiri juga tidak apa-apa. Apabila menurut pendapat saya, sama saya akan mengatakan sama.
anda benar, bro febian.
ini soal keterbatasan diri saya, untuk menunjukan suatu persamaan yang berada dibalik istilah "nimita" dan "cakra". dengan demikian, tidak ada yang lebih tepat untuk saya, selain berhenti berusaha menunjukan persamaan antara keduanya. dan lebih baik menyimak dengan baik-baik, perbedaan-perbedaan yang anda maksud. kelak, bila saya sudah mengetahui cara yang tepat untuk menunjukan persamaannya, sehingga dengan mudah dapat anda fahami, mungkin pada waktu itulah saya akan ungkapkan kembali persamaan-persamaan yang ingin saya kemukakan.
tetapi, saya sepenuhnya telah memahami perbedaan-perbedaan yang anda kemukakan. dan membenarkannya. jika saya belum dapat menunjukan persamaan yang saya maksud, itu masalahnya bukan terletak pada diri anda, melainkan ada pada diri saya sendiri. mudah-mudahan bro febian memakluminya.
maafkan saya, bila seolah-olah bersikap mempunyai pengetahuan lebih dari anda. semoga saya tidak mempunyai maksud yang demikian. saya hanya bermaksud mencoba belajar menyampaikan apa yang saya pikirkan. dan kini saya dapat belajar, bahwa ternyata hal itu tidaklah mudah. kesimpulannya, saya harus lebih banyak belajar lagi.
_/\_
Bro Dewa 19 yang baik, kadang dalam menyikapi sesuatu orang bisa melihat dari sudut yang berbeda, umpamanya menyikapi mendung:
-yang satu mengatakan oh cuaca mendung hari akan gelap, sebentar lagi hujan
-yang satu lagi mengatakan oh cuaca mendung ini nampaknya hanya sementara, sebentar lagi terang.
padahal dua-duanya menyikapi mendung.
Mungkin kita seperti itu ya? :)
mungkin cakra dan nimitta sama, semoga bro 19 nanti bila ada waktu menjelaskan kepada saya.
_/\_