Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...

Started by Edward, 21 February 2009, 03:52:27 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Tan

RYU:

Sikap bathin yang benar seperti apakah dalam pemujaan terhadap dewa?

Buddha mengajarkan untuk tidak melekat dan melepas, dalam hal pemujaan dewa "saya rasa" malah menambah kemelekatan lho

TAN:

Ai! Pertanyaan yang bagus. Manusia memang tidak serta merta dapat melepaskan kemelekatannya. Posting di dhammacitta ini juga bisa menambah kemelekatan lho. Anda bekerja juga bisa menambah kemelekatan lho. Anda pacaran juga bisa menambah kemelekatan lho. Anda mengumpulkan duit juga sumber kemelekatan lho (nah supaya tidak melekat transfer aja semua duit Anda ke rekening saya. Biar kemelekatan saya yang tambah gede, tapi Anda terbebas dari kemelekatan. Hehehe). Sebenarnya banyak kegiatan yang menjadi sumber kemelekatan. Bukankah dengan demikian para umat awam Buddha, seharusnya segera meninggalkan pekerjaan, rumah, isteri/ suami, dan lainnya. Bagaimana kalau dhammacitta juga ditutup biar tidak timbul kemelekatan? Jadi bukan hanya puja dewa saja yang kita akhiri. Bagaimana menurut Anda?

Amiduofo,

Tan

ryu

Quote from: Tan on 03 June 2009, 12:30:52 PM
RYU:

Apakah yang telah dilakukan oleh Mahayana untuk menghindari dari pandangan salah tersebut, apakah pandangan salah tersebut di biarkan dan dikembangkan ke arah yang lain, atau melarang umatnya untuk tidak melakukannya, atau membiarkan umatnya melakukan pandangan salah tersebut.

TAN:

Pertanyaan menarik. Anda perlu membedakan Mahayana sebagai individu atau organisatoris? Kalau sebagai individu (setidaknya saya), saya telah berupaya memberikan penjelasan yang baik. Kalau sebagai organisatoris itu di luar hak dan wewenang saya. Lha wong saya ini tidak bergabung dengan organisasi apapun. Ke vihara iya. Tapi tidak ikut organisasi apapun.

Amiduofo,

Tan
Dalam hal ajaran ko, dan pemberitahuan terhadap umat dengan melihat banyaknya sutra2 yang terus muncul dan di tambah2kan oleh oknum2 (mungkin) apakah ajaran Buddha akan semakin Bias ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Tan

RYU:

Dalam hal ajaran ko, dan pemberitahuan terhadap umat dengan melihat banyaknya sutra2 yang terus muncul dan di tambah2kan oleh oknum2 (mungkin) apakah ajaran Buddha akan semakin Bias

TAN:

Bisa kasih tahu Sutra2 apa yang menurut Anda ditambahkan?

Amiduofo,

Tan

ryu

Quote from: Tan on 03 June 2009, 12:35:08 PM
RYU:

Sikap bathin yang benar seperti apakah dalam pemujaan terhadap dewa?

Buddha mengajarkan untuk tidak melekat dan melepas, dalam hal pemujaan dewa "saya rasa" malah menambah kemelekatan lho

TAN:

Ai! Pertanyaan yang bagus. Manusia memang tidak serta merta dapat melepaskan kemelekatannya. Posting di dhammacitta ini juga bisa menambah kemelekatan lho. Anda bekerja juga bisa menambah kemelekatan lho. Anda pacaran juga bisa menambah kemelekatan lho. Anda mengumpulkan duit juga sumber kemelekatan lho (nah supaya tidak melekat transfer aja semua duit Anda ke rekening saya. Biar kemelekatan saya yang tambah gede, tapi Anda terbebas dari kemelekatan. Hehehe). Sebenarnya banyak kegiatan yang menjadi sumber kemelekatan. Bukankah dengan demikian para umat awam Buddha, seharusnya segera meninggalkan pekerjaan, rumah, isteri/ suami, dan lainnya. Bagaimana kalau dhammacitta juga ditutup biar tidak timbul kemelekatan? Jadi bukan hanya puja dewa saja yang kita akhiri. Bagaimana menurut Anda?

Amiduofo,

Tan
itu hal yang nyata, saya sampai tidak kerja nih melototin komputer kakakakakakakak

Ini khan dalam koridor ajaran Buddha Ko bukan dari hal2 di luar, soal kemelekatan itu tergantung Bathin orang itu apakah dia merasa cukup atau terus merasa kekurangan, nah apakah dalam pemujaan dewa bisa batin merasa cukup? saya rasa dengan pemujaan dewa itu "pasti" ada kepengennya, kalo gak ngapain muja2 dewa =))

Karena rasa takut, banyak orang pergi mencari perlindungan ke gunung-gunung, ke arama-arama (hutan-hutan), ke pohon-pohon dan ke tempat-tempat pemujaan yang dianggap keramat.

Tetapi itu bukanlah perlindungan yang aman, bukanlah perlindungan yang utama. Dengan mencari perlindungan seperti itu, orang tidak akan bebas dari penderitaan.

Ia yang telah berlindung kepada Buddha, Dhamma dan Sangha, dengan bijaksana dapat melihat Empat Kebenaran Mulia, yaitu:

Dukkha, sebab dari dukkha, akhir dari dukka, serta Jalan Mulia Berfaktor Delapan yang menuju pada akhir dukkha.

Sesungguhnya itulah perlindungan yang utama. Dengan pergi mencari perlindungan seperti itu, orang akan bebas dari segala penderitaan.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

ryu

Quote from: Tan on 03 June 2009, 12:39:02 PM
RYU:

Dalam hal ajaran ko, dan pemberitahuan terhadap umat dengan melihat banyaknya sutra2 yang terus muncul dan di tambah2kan oleh oknum2 (mungkin) apakah ajaran Buddha akan semakin Bias

TAN:

Bisa kasih tahu Sutra2 apa yang menurut Anda ditambahkan?

Amiduofo,

Tan
saya pernah membaca Sutra Bakti seorang anak terjemaahan Bahasa indo, dan saya merasa itu seperti di buat2 :)
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Tan

RYU:

itu hal yang nyata, saya sampai tidak kerja nih melototin komputer kakakakakakakak

Ini khan dalam koridor ajaran Buddha Ko bukan dari hal2 di luar, soal kemelekatan itu tergantung Bathin orang itu apakah dia merasa cukup atau terus merasa kekurangan, nah apakah dalam pemujaan dewa bisa batin merasa cukup? saya rasa dengan pemujaan dewa itu "pasti" ada kepengennya, kalo gak ngapain muja2 dewa

TAN:

Wah ga bisa gitu donk. Sebagai umat Buddha yang baik, yang ingin membebaskan orang lain dari pandangan salah, Anda tidak bisa membedakan antara yang "di dalam" dan "luar." Agar konsisten baik "di dalam" maupun "di luar" Anda hendaknya melaksanakan prinsip2 Buddhistik. Apakah Dhamma itu hanya berlaku untuk hal2 "di dalam" saja? Buddha mengajarkan membebaskan kemelekatan. Kalau begitu agar konsisten, Anda tentunya berhenti memelototi komputer atau berhenti bekerja sebagai salah satu sumber kemelekatan bukan?
Anda bekerja pasti ada "kepengen"nya khan? Nah agar adil dan konsisten terapkan prinsip Anda pada semua aspek kehidupan.
Kedua, saya ulangi lagi bahwa tiap orang tidak sama.
Setiap orang pasti masih ada kemelekatan. Nah kalau kita sendiri masih melekat, mengapa "teriak"2 pada kemelekatan orang lain?
Sikap batin yang benar saat puja dewa itu contohnya, tidak egois. Umpamanya dia juga mendoakan "semoga semua makhluk berbahagia" Jadi dia mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama juga mengarahkan batinnya pada sikap maitri karuna. Saat bekerja kita mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama kita juga bisa berdana (melepas kemelekatan).
Bagi saya, hidup ini adalah praktik Dharma berkesinambungan. Mustahil bagi kita secara serta merta melepas kemelekatan.

Amiduofo,

Tan

Indra

Quote from: Tan on 03 June 2009, 12:50:19 PM
RYU:

itu hal yang nyata, saya sampai tidak kerja nih melototin komputer kakakakakakakak

Ini khan dalam koridor ajaran Buddha Ko bukan dari hal2 di luar, soal kemelekatan itu tergantung Bathin orang itu apakah dia merasa cukup atau terus merasa kekurangan, nah apakah dalam pemujaan dewa bisa batin merasa cukup? saya rasa dengan pemujaan dewa itu "pasti" ada kepengennya, kalo gak ngapain muja2 dewa

TAN:

Wah ga bisa gitu donk. Sebagai umat Buddha yang baik, yang ingin membebaskan orang lain dari pandangan salah, Anda tidak bisa membedakan antara yang "di dalam" dan "luar." Agar konsisten baik "di dalam" maupun "di luar" Anda hendaknya melaksanakan prinsip2 Buddhistik. Apakah Dhamma itu hanya berlaku untuk hal2 "di dalam" saja? Buddha mengajarkan membebaskan kemelekatan. Kalau begitu agar konsisten, Anda tentunya berhenti memelototi komputer atau berhenti bekerja sebagai salah satu sumber kemelekatan bukan?
Anda bekerja pasti ada "kepengen"nya khan? Nah agar adil dan konsisten terapkan prinsip Anda pada semua aspek kehidupan.
Kedua, saya ulangi lagi bahwa tiap orang tidak sama.
Setiap orang pasti masih ada kemelekatan. Nah kalau kita sendiri masih melekat, mengapa "teriak"2 pada kemelekatan orang lain?
Sikap batin yang benar saat puja dewa itu contohnya, tidak egois. Umpamanya dia juga mendoakan "semoga semua makhluk berbahagia" Jadi dia mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama juga mengarahkan batinnya pada sikap maitri karuna. Saat bekerja kita mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama kita juga bisa berdana (melepas kemelekatan).
Bagi saya, hidup ini adalah praktik Dharma berkesinambungan. Mustahil bagi kita secara serta merta melepas kemelekatan.

Amiduofo,

Tan

Sdr. Tan, kalau begitu mungkin anda beranggapan Sang Buddha juga masih melekat pada makanan, karena Sang Buddha juga makan setiap hari.

Tan

RYU:

saya pernah membaca Sutra Bakti seorang anak terjemaahan Bahasa indo, dan saya merasa itu seperti di buat2

TAN:

Nah, Anda tahu ga makna Sutra Bakti Seorang Anak (Fu Mu En Jing)? Kita tidak bisa menilai dari wujud fisik suatu benda/ buku. Apakah isinya buruk dan mengajak kita melakukan kejahatan? Semua buku yang memotivasi agar seseorang bisa hidup lebih baik adalah Dharma.
Anda tahu ga kalau dalam Mahayana itu juga dikategorikan sebagai sutra "aspal"? Kalau orang yang belajar kanon Mahayana pasti tahu itu adalah Sutra "aspal" dan dikarang di Tiongkok. Namun karena isinya baik maka tidak dilarang. Sutra2 aspal lain yang isinya bertentangan dengan Dharma sudah lama dikeluarkan dari kanon Mahayana.
Sampai di sini jelas di antara Mahayana dan non Mahayana sudah ada perbedaan paham mengenai kanon. Nah, perbedaan ini tidak akan bisa kita selesaikan.
Bagi non Mahayana, kanon itu hanya sebatas Pali text saja yang konon dibabarkan oleh Buddha sendiri. Tetapi bagi Mahayana kanon itu dinamis. Buktinya Sutra Altar karya Huineng juga dimasukkan dalam kanon.
Nah, bagi kaum non Mahayana ini adalah penambahan, tetapi bagi Mahayana ini adalah suatu proses dinamis, asalkan tidak bertentang Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Mulia Beruas Delapan.
Semoga perbedaan ini tidak menjadi ajang perpecahan. Marilah saling menghargai perbedaan.

Amiduofo,

Tan

ryu

Quote from: Tan on 03 June 2009, 12:50:19 PM
Wah ga bisa gitu donk. Sebagai umat Buddha yang baik, yang ingin membebaskan orang lain dari pandangan salah, Anda tidak bisa membedakan antara yang "di dalam" dan "luar." Agar konsisten baik "di dalam" maupun "di luar" Anda hendaknya melaksanakan prinsip2 Buddhistik.
Kalau saya bisa pastinya saya akan lakukan ko ;D

QuoteApakah Dhamma itu hanya berlaku untuk hal2 "di dalam" saja? Buddha mengajarkan membebaskan kemelekatan. Kalau begitu agar konsisten, Anda tentunya berhenti memelototi komputer atau berhenti bekerja sebagai salah satu sumber kemelekatan bukan?
siapakah RYU ini yang masih tersesat gitu lho :P

QuoteAnda bekerja pasti ada "kepengen"nya khan? Nah agar adil dan konsisten terapkan prinsip Anda pada semua aspek kehidupan.
Kedua, saya ulangi lagi bahwa tiap orang tidak sama.
Setiap orang pasti masih ada kemelekatan. Nah kalau kita sendiri masih melekat, mengapa "teriak"2 pada kemelekatan orang lain?
Yakin Ko? SETIAP Orang?
Saya hanya ingin bertanya ko bukan untuk teriak2 lho ;D dan saya pernah baca hal itu :
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=192

QuoteSikap batin yang benar saat puja dewa itu contohnya, tidak egois. Umpamanya dia juga mendoakan "semoga semua makhluk berbahagia" Jadi dia mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama juga mengarahkan batinnya pada sikap maitri karuna. Saat bekerja kita mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama kita juga bisa berdana (melepas kemelekatan).
Bagi saya, hidup ini adalah praktik Dharma berkesinambungan. Mustahil bagi kita secara serta merta melepas kemelekatan.

Amiduofo,

Tan
kalau pandangan ko begini berarti mustahil belajar ajaranBuddha itu?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Tan

INDRA:

Sdr. Tan, kalau begitu mungkin anda beranggapan Sang Buddha juga masih melekat pada makanan, karena Sang Buddha juga makan setiap hari.

TAN:

Bro Indra. Nampaknya Anda menyamakan diri Anda dengan Buddha ya? Buddha ya Buddha. Indra ya Indra. Makan bagi Buddha ya beda dengan makan bagi Indra.
Semoga tanggapan saya cukup jelas.

Amiduofo,

Tan

Tan

RYU:

kalau pandangan ko begini berarti mustahil belajar ajaranBuddha itu?

TAN:

Salah juga. Kalau mustahil, mengapa di dunia ada Arahat, Paccekabuddha, dan Sammasambuddha? Makanya saya katakan praktik Dhamma adalah praktik berkesinambungan.

Amiduofo,

Tan

ryu

Quote from: Tan on 03 June 2009, 12:58:24 PM
RYU:

saya pernah membaca Sutra Bakti seorang anak terjemaahan Bahasa indo, dan saya merasa itu seperti di buat2

TAN:

Nah, Anda tahu ga makna Sutra Bakti Seorang Anak (Fu Mu En Jing)? Kita tidak bisa menilai dari wujud fisik suatu benda/ buku. Apakah isinya buruk dan mengajak kita melakukan kejahatan? Semua buku yang memotivasi agar seseorang bisa hidup lebih baik adalah Dharma.
Anda tahu ga kalau dalam Mahayana itu juga dikategorikan sebagai sutra "aspal"? Kalau orang yang belajar kanon Mahayana pasti tahu itu adalah Sutra "aspal" dan dikarang di Tiongkok. Namun karena isinya baik maka tidak dilarang. Sutra2 aspal lain yang isinya bertentangan dengan Dharma sudah lama dikeluarkan dari kanon Mahayana.
Sampai di sini jelas di antara Mahayana dan non Mahayana sudah ada perbedaan paham mengenai kanon. Nah, perbedaan ini tidak akan bisa kita selesaikan.
Bagi non Mahayana, kanon itu hanya sebatas Pali text saja yang konon dibabarkan oleh Buddha sendiri. Tetapi bagi Mahayana kanon itu dinamis. Buktinya Sutra Altar karya Huineng juga dimasukkan dalam kanon.
Nah, bagi kaum non Mahayana ini adalah penambahan, tetapi bagi Mahayana ini adalah suatu proses dinamis, asalkan tidak bertentang Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Mulia Beruas Delapan.
Semoga perbedaan ini tidak menjadi ajang perpecahan. Marilah saling menghargai perbedaan.

Amiduofo,

Tan
Kenapa alkitab tidak dimasukan dalam kanon mahayana? sesuai dengan dhama juga lho ;D khan Yesus pun bisa disebut boddhisatva ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Indra

Quote from: Tan on 03 June 2009, 12:50:19 PM
RYU:

itu hal yang nyata, saya sampai tidak kerja nih melototin komputer kakakakakakakak

Ini khan dalam koridor ajaran Buddha Ko bukan dari hal2 di luar, soal kemelekatan itu tergantung Bathin orang itu apakah dia merasa cukup atau terus merasa kekurangan, nah apakah dalam pemujaan dewa bisa batin merasa cukup? saya rasa dengan pemujaan dewa itu "pasti" ada kepengennya, kalo gak ngapain muja2 dewa

TAN:

Wah ga bisa gitu donk. Sebagai umat Buddha yang baik, yang ingin membebaskan orang lain dari pandangan salah, Anda tidak bisa membedakan antara yang "di dalam" dan "luar." Agar konsisten baik "di dalam" maupun "di luar" Anda hendaknya melaksanakan prinsip2 Buddhistik. Apakah Dhamma itu hanya berlaku untuk hal2 "di dalam" saja? Buddha mengajarkan membebaskan kemelekatan. Kalau begitu agar konsisten, Anda tentunya berhenti memelototi komputer atau berhenti bekerja sebagai salah satu sumber kemelekatan bukan?
Anda bekerja pasti ada "kepengen"nya khan? Nah agar adil dan konsisten terapkan prinsip Anda pada semua aspek kehidupan.
Kedua, saya ulangi lagi bahwa tiap orang tidak sama.
Setiap orang pasti masih ada kemelekatan. Nah kalau kita sendiri masih melekat, mengapa "teriak"2 pada kemelekatan orang lain?
Sikap batin yang benar saat puja dewa itu contohnya, tidak egois. Umpamanya dia juga mendoakan "semoga semua makhluk berbahagia" Jadi dia mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama juga mengarahkan batinnya pada sikap maitri karuna. Saat bekerja kita mungkin masih melekat, tetapi pada saat yang sama kita juga bisa berdana (melepas kemelekatan).
Bagi saya, hidup ini adalah praktik Dharma berkesinambungan. Mustahil bagi kita secara serta merta melepas kemelekatan.

Amiduofo,

Tan

Tan

RYU:

Yakin Ko? SETIAP Orang?
Saya hanya ingin bertanya ko bukan untuk teriak2 lho  dan saya pernah baca hal itu :
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=192

TAN:

Setiap orang, kecuali yang sudah jadi arahat, pratyekabuddha, dan Samyaksambuddha. Hehehehehee

Amiduofo,

Tan

ryu

Quote from: Tan on 03 June 2009, 01:05:23 PM
RYU:

Yakin Ko? SETIAP Orang?
Saya hanya ingin bertanya ko bukan untuk teriak2 lho  dan saya pernah baca hal itu :
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=192

TAN:

Setiap orang, kecuali yang sudah jadi arahat, pratyekabuddha, dan Samyaksambuddha. Hehehehehee

Amiduofo,

Tan
Bukan setiap orang ko itu mah, sebagian orang ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))