News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Abhidhamma & vipassana

Started by hudoyo, 29 July 2008, 09:45:38 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

ryu

Quote from: tesla on 10 August 2008, 03:49:57 PM
Quote from: hudoyo on 10 August 2008, 12:59:55 PM
Quote from: ryu on 10 August 2008, 09:28:42 AM
Kalo gini gimana, saya tidak punya pandangan dan cuma ingin mengetes pandangan orang lain itu benar / salah, dan belum tau apa itu benar dan salah tidak perduli apa hasilnya mau benar atau salah :))

Yang dibold biru saya setuju sekali. Yang dibold merah hanya akan menjerumuskan Anda ke dalam perdebatan. :)

Salam,
hudoyo



menurut saya "semua pandangan" yg ada, dapat dikategorikan "benar" ataupun "salah". termasuk agama B, I, K, H, dll.... mengatakan B adalah yg paling benar adalah fanatisme kita.
pengkategorian tsb terjadi di pikiran setiap orang yg memiliki kondisi yg berbeda2 sehingga hasilnya berbeda2 pula.

dan saya sependapat sekali, jika seandainya tujuan awal kita adalah mengecek benar atau salah suatu pandangan... hasilnya adalah perdebatan tak berujung karena kondisi (pengalaman, pikiran, pemahaman, dll) kita dan orang lain adalah berbeda.

iya selama masing2 pihak mengkotakkan dirinya dengan pendiriannya masing2 dan tidak menerima pandangan orang lain.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Suchamda

Quote from: ryu on 10 August 2008, 04:01:00 PM
Quote from: tesla on 10 August 2008, 03:49:57 PM
Quote from: hudoyo on 10 August 2008, 12:59:55 PM
Quote from: ryu on 10 August 2008, 09:28:42 AM
Kalo gini gimana, saya tidak punya pandangan dan cuma ingin mengetes pandangan orang lain itu benar / salah, dan belum tau apa itu benar dan salah tidak perduli apa hasilnya mau benar atau salah :))

Yang dibold biru saya setuju sekali. Yang dibold merah hanya akan menjerumuskan Anda ke dalam perdebatan. :)

Salam,
hudoyo



menurut saya "semua pandangan" yg ada, dapat dikategorikan "benar" ataupun "salah". termasuk agama B, I, K, H, dll.... mengatakan B adalah yg paling benar adalah fanatisme kita.
pengkategorian tsb terjadi di pikiran setiap orang yg memiliki kondisi yg berbeda2 sehingga hasilnya berbeda2 pula.

dan saya sependapat sekali, jika seandainya tujuan awal kita adalah mengecek benar atau salah suatu pandangan... hasilnya adalah perdebatan tak berujung karena kondisi (pengalaman, pikiran, pemahaman, dll) kita dan orang lain adalah berbeda.

iya selama masing2 pihak mengkotakkan dirinya dengan pendiriannya masing2 dan tidak menerima pandangan orang lain.

Justru spt yg anda katakan itulah yang disebut terkondisi.
Keterkondisian inilah yang disebut tidak bebas, alias samsara.
Selama seseorang tidak bisa terlepas dari keterkondisian pikirannya maka ia akan terus menerus dalam siklus samsara. Cuman masalah naik tingkat atau turun tingkat aja, tapi tidak bisa lepas.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

ryu

Quote from: Suchamda on 10 August 2008, 05:36:45 PM
Quote from: ryu on 10 August 2008, 04:01:00 PM
Quote from: tesla on 10 August 2008, 03:49:57 PM
Quote from: hudoyo on 10 August 2008, 12:59:55 PM
Quote from: ryu on 10 August 2008, 09:28:42 AM
Kalo gini gimana, saya tidak punya pandangan dan cuma ingin mengetes pandangan orang lain itu benar / salah, dan belum tau apa itu benar dan salah tidak perduli apa hasilnya mau benar atau salah :))

Yang dibold biru saya setuju sekali. Yang dibold merah hanya akan menjerumuskan Anda ke dalam perdebatan. :)

Salam,
hudoyo



menurut saya "semua pandangan" yg ada, dapat dikategorikan "benar" ataupun "salah". termasuk agama B, I, K, H, dll.... mengatakan B adalah yg paling benar adalah fanatisme kita.
pengkategorian tsb terjadi di pikiran setiap orang yg memiliki kondisi yg berbeda2 sehingga hasilnya berbeda2 pula.

dan saya sependapat sekali, jika seandainya tujuan awal kita adalah mengecek benar atau salah suatu pandangan... hasilnya adalah perdebatan tak berujung karena kondisi (pengalaman, pikiran, pemahaman, dll) kita dan orang lain adalah berbeda.

iya selama masing2 pihak mengkotakkan dirinya dengan pendiriannya masing2 dan tidak menerima pandangan orang lain.

Justru spt yg anda katakan itulah yang disebut terkondisi.
Keterkondisian inilah yang disebut tidak bebas, alias samsara.
Selama seseorang tidak bisa terlepas dari keterkondisian pikirannya maka ia akan terus menerus dalam siklus samsTara. Cuman masalah naik tingkat atau turun tingkat aja, tapi tidak bisa lepas.
Time will tell, time will tell :)) Suhu mode = on
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Arale

Quote from: ryu on 10 August 2008, 04:01:00 PM
Quote from: tesla on 10 August 2008, 03:49:57 PM
Quote from: hudoyo on 10 August 2008, 12:59:55 PM
Quote from: ryu on 10 August 2008, 09:28:42 AM
Kalo gini gimana, saya tidak punya pandangan dan cuma ingin mengetes pandangan orang lain itu benar / salah, dan belum tau apa itu benar dan salah tidak perduli apa hasilnya mau benar atau salah :))

Yang dibold biru saya setuju sekali. Yang dibold merah hanya akan menjerumuskan Anda ke dalam perdebatan. :)

Salam,
hudoyo



menurut saya "semua pandangan" yg ada, dapat dikategorikan "benar" ataupun "salah". termasuk agama B, I, K, H, dll.... mengatakan B adalah yg paling benar adalah fanatisme kita.
pengkategorian tsb terjadi di pikiran setiap orang yg memiliki kondisi yg berbeda2 sehingga hasilnya berbeda2 pula.

dan saya sependapat sekali, jika seandainya tujuan awal kita adalah mengecek benar atau salah suatu pandangan... hasilnya adalah perdebatan tak berujung karena kondisi (pengalaman, pikiran, pemahaman, dll) kita dan orang lain adalah berbeda.

iya selama masing2 pihak mengkotakkan dirinya dengan pendiriannya masing2 dan tidak menerima pandangan orang lain.
mengkotakkan boleh kok, tapi tetap menghargai kotak lain. Daripada kotaknya dipaksakan sama lalu ribut.
"N'cha"

ryu

Quote from: Arale on 10 August 2008, 08:44:32 PM
Quote from: ryu on 10 August 2008, 04:01:00 PM
Quote from: tesla on 10 August 2008, 03:49:57 PM
Quote from: hudoyo on 10 August 2008, 12:59:55 PM
Quote from: ryu on 10 August 2008, 09:28:42 AM
Kalo gini gimana, saya tidak punya pandangan dan cuma ingin mengetes pandangan orang lain itu benar / salah, dan belum tau apa itu benar dan salah tidak perduli apa hasilnya mau benar atau salah :))

Yang dibold biru saya setuju sekali. Yang dibold merah hanya akan menjerumuskan Anda ke dalam perdebatan. :)

Salam,
hudoyo



menurut saya "semua pandangan" yg ada, dapat dikategorikan "benar" ataupun "salah". termasuk agama B, I, K, H, dll.... mengatakan B adalah yg paling benar adalah fanatisme kita.
pengkategorian tsb terjadi di pikiran setiap orang yg memiliki kondisi yg berbeda2 sehingga hasilnya berbeda2 pula.

dan saya sependapat sekali, jika seandainya tujuan awal kita adalah mengecek benar atau salah suatu pandangan... hasilnya adalah perdebatan tak berujung karena kondisi (pengalaman, pikiran, pemahaman, dll) kita dan orang lain adalah berbeda.

iya selama masing2 pihak mengkotakkan dirinya dengan pendiriannya masing2 dan tidak menerima pandangan orang lain.
mengkotakkan boleh kok, tapi tetap menghargai kotak lain. Daripada kotaknya dipaksakan sama lalu ribut.
Baik bu :))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

fabian c

#485
Pak Hudoyo yang saya hormati,

Maaf saya baru membalas postingan pak Hudoyo sekarang, sebab saya lupa passwordnya, saya telah mencoba meminta link ke server, ternyata linknya entah masuk ke mailbox yang mana, jadi saya pikir lebih baik memakai username baru.

kembali ke topik bahasan..

Mengenai rujukan, pak Hudoyo mengatakan bahwa sebagai pemeditasi Vipassana saya menggunakan Mahasatipatthana Sutta, itu benar, tetapi tidak tepat, sebab saya juga menggunakan rujukan Bahiya Sutta dan Malunkyaputta sutta, serta berbagai Sutta yang lain, cuma saya tidak mengambil satu sutta sebagai acuan lalu mengacuhkan yang lain karena dalam meditasi ternyata saling berkaitan. Dalam Bahiya Sutta Sang Buddha mengajarkan bahwa bila melihat hanya melihat dsbnya, ini diberikan oleh Sang Buddha kepada petapa Bahiya maupun Bhikkhu Malunkyaputta karena melihat kematangan batin mereka.

Sang Buddha tidak memberikan khotbah sembarangan kepada sembarang orang, Beliau selalu melihat kematangan batin orang tersebut, apakah batinnya sudah masak atau belum.
Bagi orang yang baru belajar mereka tidak bisa bermeditasi seperti itu karena batin meditator pemula mudah sekali terseret. Contoh yang umum bagi mereka adalah rasa kantuk, rasa sakit dsbnya. Disini kita mudah sekali melihat kekokohan batin seseorang, apabila seorang meditator masih terpengaruh oleh rasa sakit waktu duduk bermeditasi maka ia telah terseret. Saya beranggapan meditasi dengan cara seperti yang ada di Bahiya Sutta bukan untuk pemula...
Hanya seseorang yang telah mencapai advance stage bisa bermeditasi seperti itu, oleh sebab itu Sang Buddha mengajarkan kedua Sutta tersebut  kepada Petapa.

Maaf, saya numpang bertanya kepada pak Hudoyo. Benarkah Pak Hudoyo selalu memberikan bimbingan MMD hanya tiga hari? dan benarkah Pak Hudoyo mengatakan bahwa meditator yang pak Hudoyo bimbing telah mengalami khanika samadhi? coba pak Hudoyo secara jujur tanyakan kepada mereka apakah mereka masih merasa mengantuk di siang hari, terutama setelah makan? apakah mereka masih terpengaruh oleh rasa sakit di kaki bila meditasi duduk, katakanlah misalnya duduk tak bergerak selama dua jam?

Bila ia masih merasa sakit atau terpengaruh atau timbul rasa tak menyenangkan, maka saya menganggap bahwa ia belum mengalami khanika samadhi yang sesungguhnya.

Kemudian bila ia mengatakan bahwa ia tidak merasa sakit atau tidak mengantuk, coba tanyakan mengenai kanika samadhi yang mereka alami itu objeknya apa? mohon pak Hudoyo informasikan kepada saya supaya saya bisa lebih memahami MMD.

bagaimana dengan umat awam yang sama sekali tidak mengerti? Sang Buddha selalu memberi khotbah awal anupubikatha yaitu lima tingkat latihan yang membawa kemajuan, dimulai dengan berdana
dsbnya... setelah batinnya lembut dan mulai menerima baru mengajarkan meditasi yang sesuai untuk orang tersebut.

Dalam Tipitaka Sang Buddha mengajarkan berbagai macam cara meditasi, tetapi kita harus memilah milah sesuai dengan penggunaannya, contoh: Sang Buddha mengajarkan mengenai Kayagatasati, Asubha dsbnya, demikian juga dengan terhadap objek objek Arupa yaitu kesadaran tak terbatas dsbnya tetapi objek Arupa ditujukan kepada mereka yang telah mencapai keempat rupa Jhana bukan kepada pemula. Tidak mungkin seorang pemula langsung berlatih meditasi dengan objek ke empat Arupa.

Demikian juga dengan Bahiya sutta, tidak mungkin meditator pemula untuk bermeditasi dengan hanya melihat, hanya mendengar dsbnya, karena batin mereka pasti terseret. Lain halnya dengan seorang meditator tingkat lanjut, mereka sudah kokoh dan mantap, sehingga bila ada fenomena batin yang timbul umpamanya rasa sakit atau mengantuk begitu diamati langsung lenyap seketika, tanpa bekas...!

Dan mereka mampu mengamati segala sesuatu apa adanya, saya banyak menemui pemeditator yang telah mencapai kematangan batin seperti itu.

Saya setuju keadaan batin seperti itu masih bisa dicapai oleh meditator yang beragama lain tetapi mereka tak akan mencapai pencerahan versi ajaran Sang Buddha (entah kalau pencerahan versi agama mereka), mengapa? Ajaran Sang Buddha mengajarkan bahwa salah satu faktor pencerahan awal yaitu lenyapnya sakkayaditthi, adalah lenyapnya pandangan salah mengenai aku atau atta, mungkin bagi mereka yang kurang menyelami menganggap bahwa ada atta atau aku yang dihancurkan.

Kenyataannya tidaklah demikian, karena jika ada atta yang dihancurkan atau dilenyapkan maka kita terperangkap pada paham nihilisme. Bagaimanakah pandangan salah itu bisa lenyap? Pada waktu meditator mengamati timbul dan tenggelamnya batin dan jasmani ia harus sepenuhnya melepas ide, paham apapun, suatu ketika fenomena timbul tenggelam itu lenyap, pada waktu itu ia melihat bahwa semua ini hanya proses, tidak lebih. Dengan demikian maka pandangan salah mengenai atta akan lenyap dengan sendirinya.

Disini titik pentingnya, apabila orang tersebut memiliki paham yang terus dia pegang maka ia tak akan menembus, karena jika ia tak melepas paham tersebut maka batinnya tak akan diam sepenuhnya.

Non Buddhis dapat mencapai pandangan terang hanya pada batas sankharupekkha nana dan tak dapat maju lebih daripada itu. Bukan karena mereka tidak menjadi pengikut Sang Buddha... bukan demikian. Mereka tak dapat menembus karena mereka tak mau melepaskan pandangan salah mengenai atta (atta ditthi). Atau bisa juga karena aspirasi yang kuat untuk menjadi Bodhisatta, sehingga batinnya tak dapat melepas sepenuhnya.

Dalam meditasi Vipassana kita tidak boleh sedikitpun melekat pada satu paham. karena melekat pada paham akan menghalangi pembebasan. Kemelekatan bahwa atta ada, kemelekatan bahwa atta tak ada, kemelekatan atta ada dan sementara, kemelekatan bahwa atta antara ada dan tidak ada dsbnya, ini semua adalah paham yang hanya akan menghalangi pembebasan, bahkan ada kemelekatan yang lebih halus yaitu kemelekatan bahwa aku tidak melekat juga merupakan kemelekatan ditthi, yang sesungguhnya tidak melekat sudah tidak lagi mempersoalkan mengenai melekat atau tidak melekat, karena batinnya tidak menolak maupun memegang.

Memang amat sulit sekali melihat kemelekatan yang halus, yaitu bila kita berpandangan orang lain berpikiran sempit kita berjiwa besar, ini adalah kemelekatan. Orang lain melekat pada pandangan kita tidak melekat pada pandangan, ini juga kemelekatan yang halus. Orang lain menganggap dia benar sendiri, sedangkan saya tidak demikian, inipun juga kemelekatan, kemelekatan terhadap metode orang lain berkonsep, metode saya tidak berkonsep, ini pun juga merupakan kemelekatan. Metode orang lain mencari cari metode saya tidak... ini juga kemelekatan...

Tetapi bagaimana jika kita melekat pada salah satu paham, seperti yang dikatakan pak Hudoyo yaitu setiap 'usaha' apa pun tidak terlepas dari atta ... dan tidak ada 'usaha' apa pun dari atta bisa mencapai 'anatta', dengan melekat kepada paham ini maka ia tak akan bisa melihat segala sesuatu apa adanya. Dan ini sejalan dengan bagian lain dari Tipitaka yang menyebutkan kemelekatan terhadap paham atta (atta ditthi) juga termasuk kemelekatan yang menghalangi pembebasan.

Mungkin saya mau menambahkan sedikit bahwa pikiran merupakan manifestasi dari atta dan itu merupakan atta ditthi, pada kenyataannya, sebenarnya kita nampak seolah olah terlibat dengan atta disebabkan kita terseret, dikuasai, dimanipulasi oleh pikiran kita yang telah terkonsepsi. Dicemarkan oleh persepsi dan ingatan (sanna), yang membuat kita tak dapat melihat apa adanya.
Dan dari uraian itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, pikiran yang telah tercemar bukan atta, tetapi hanya merupakan bagian dari citta, yang berkaitan erat dengan indera keenam.

Mengenai Y.M. Thanissaro ingin menerjemahkan ekayano maggo sebagai jalan langsung, itu hak beliau. Tetapi saya lebih suka menerjemahkan ekayano = satu kendaraan; maggo = jalan.

Pandangan pak Hudoyo bahwa metode meditasi tradisi Mahasi lebih menekankan pada usaha dan konsentrasi saya hargai, karena tentu sah sah saja pak Hudoyo beranggapan demikian, tetapi pendapat itu baru saya dengar dari pak Hudoyo, saya belum pernah mendengar mengenai hal ini dari guru meditasi Mahasi yang sering saya temui, tidak satupun.

Semua guru meditasi apabila ia mengerti dan mendalami Dhamma dengan baik, dapat mengarahkan sesuai dengan keadaan muridnya sehingga ia mendapat kemajuan. Seringkali meditator pemula yang berlatih meditasi, entah metode meditasi Mahasi atau lainnya, diganggu oleh rasa kantuk. Oleh karena itu kewajiban seorang guru meditasi yang baik untuk memberikan bantuan nasehat untuk mengatasi kantuknya karena rasa kantuk menyebabkan pengamatan terhadap batin dan jasmani menjadi kabur (seperti yang dialami oleh Y.A. Mogallana ketika Beliau diserang rasa kantuk yang kuat).

Rasa kantuk  disebabkan oleh konsentrasi dan semangat yang tidak seimbang, saya beri contoh yang mudah:
   
    umpamanya kita mendengarkan khotbah dari seseorang yang tidak menarik, mudah sekali menyebabkan rasa bosan atau mengantuk karena kita tidak tertarik oleh isi dari khotbah tersebut.
Pada kesempatan lain kita mendengarkan khotbah dari seseorang yang pintar berkhotbah, ia menyelipkan berbagai cerita dalam khotbahnya dan juga diselingi berbagai humor segar, sehingga kita yang mendengar tahan mendengarkan walau khotbahnya berlangsung dua jam lebih.. mengapa? karena kita tertarik mendengarkan dan dengan demikian kita bersemangat.

Demkian juga dengan memperhatikan objek meditasi terus-terusan seperti kembung kempis sama sekali tidak menarik akhirnya kemalasan dan keengganan timbul sehingga kita jadi mengantuk.

Oleh karena itu seorang guru meditasi yang berpengalaman tahu bahwa untuk saat itu batinnya belum cukup kuat untuk mengatasi rasa kantuk maka dianjurkan untuk bersemangat menimbulkan Viriya, agar tidak mengantuk.

Sedangkan bagi meditator yang telah mencapai tingkat lanjut saya tak pernah mendengar guru meditasi mengajarkan untuk menimbulkan semangat, mengapa? karena bagi seorang meditator tingkat lanjut rasa kantuk yang merupakan kekotoran batin dan merupakan perintang kemajuan itu tidak muncul, kalaupun muncul hanya sesaat, seketika itu juga disadari dan diamati, seketika itu juga lenyap.. tak bersisa....

Mudah mudahan pak Hudoyo mengerti pancabalani bukan sesuatu yang selalu diteliti atau dicari-cari seperti pendapat pak Hudoyo, tetapi adalah pengertian yang merupakan  jalan keluar untuk mengatasi rintangan batin yang jelas mengganggu dan menjadi perintang meditasi (namanya juga rintangan, bila fenomena tersebut muncul, maka ia akan merintangi meditasi kita). Agar meditasi kita menjadi baik.. penuh harmoni dan keseimbangan.

thinamidha umpamanya yang merupakan salah satu objek Dhamma , adalah sesuatu yang tidak dicari, demikian juga dengan rasa sakit (dukkha), hanya meditator bodoh yang mencari cari, karena apa yang mau dicari, Lha wong mereka muncul sendiri tanpa dicari kok.

Respon terhadap rasa ngantuk adalah dengan berusaha agar tidak mengantuk, karena meditator mengerti mereka telah meluangkan waktu dan mungkin materi untuk mengikuti retret bukan untuk tidur...! bila mereka mau tidur tidak perlu ke tempat retret, kemungkinan kamar mereka lebih nyaman. Jadi mereka berusaha selalu bertahan agar tidak jatuh tertidur.

Demikian juga dengan respon terhadap rasa sakit, mereka bertahan tidak mengubah posisi, bukan karena mereka mencari cari, tetapi rasa sakit muncul sendiri mengganggu mereka sehingga mereka tak dapat duduk bermeditasi lama, mereka lalu berusaha mengatasi dengan bertahan tidak bangun dan berusaha melihat rasa sakit yang muncul apa adanya, dengan sabar dan penuh perhatian.

Dari penjelasan saya mengenai metode mengatasi rasa kantuk dan sakit adakah tersirat bahwa metode yang saya tekuni dalam meditasi mencari-cari,
seperti pandangan pak Hudoyo?


Pak Hudoyo mengatakan bahwa  tuntunan Vipassana Sang Buddha samasekali tidak mengatakan mengenai usaha dan konsentrasi, tuntunan Vipassana yang mana? Bahiya Sutta dan Malunkyaputta sutta? Di dunia Buddhis saya belum mendengar ada guru meditasi yang mengatakan bahwa nasehat yang diberikan Sang Buddha kepada Y.A. Bahiya dan kepada Y.A Malunkyaputta Sutta merupakan tuntunan Vipassana (kecuali sebagai referensi), sedangkan mengambil tuntunan dari Mahasatipatthana sutta?... ya itu adalah tuntunan yang diakui di dunia Buddhis.

Setahu saya nasehat kedua sutta itu hanya dijadikan bahan referensi karena sangat minim informasi. Masih banyak faktor faktor lain yang diperlukan dalam meditasi Vipassana, yang bisa kita ambil dari bagian Tipitaka yang lain, bila tidak dibahas disana. Jadi Tipitaka adalah tuntunan meditasi yang merupakan kesatuan yang saling mendukung bukan terpisah satu sama lain seperti yang dipahami oleh pak Hudoyo.

Mengenai pentingnya objek utama mungkin saya perlu mengutip salah satu sutta (tetapi maaf saya sudah lupa dibagian mana, tetapi seingat saya di bagian Samyutta Nikaya, bila ada teman yang masih ingat dimana tolong beritahu, karena saat ini saya belum sempat mencari cari), nama suttanya saya lupa. Sang Buddha mengumpamakan mengendalikan pikiran (meditasi) seperti menundukkan banteng liar:

        "Pada jaman dahulu, bila ada seekor kerbau liar yang akan dijinakkan maka pertama kali kerbau tersebut diikat dengan tali, lalu talinya ditambatkan pada sebatang pohon. Pada awalnya kerbau tersebut akan mengamuk, berlari kesana kemari dan terus meronta ronta, hingga suatu ketika pada titik dimana banteng tersebut menjadi lelah dan malas untuk meronta, maka banteng tersebut akan jadi menurut, lalu pemilik yang menjinakkan memasukkan ring di hidungnyanya, sehingga bisa dikendalikan.

Demikian juga dengan pikiran yang ditambatkan pada jangkar yaitu keluar masuk napas atau kembung kempis perut sebagai objek utama pertama tama akan meronta ronta berlari kesana kemari, hingga akhirnya pikiran tersebut menjadi lelah, dan enggan melakukan perlawanan, akhirnya pikiran menjadi menurut dan mau menuruti kehendak kita.

Sebaliknya bila kerbau liar tersebut tidak diikat pada suatu pohon dan dibiarkan bebas berkeliaran maka kerbau tersebut tak akan menjadi jinak. Demikian juga dengan pikiran jika dibiarkan bebas berkeliaran dan tidak ditambatkan pada objek utama maka pikiran tersebut akan bebas berkeliaran tidak menjadi jinak.

Saya ingin menjawab pertanyaan penutup dari pak Hudoyo, tadinya saya merasa tak perlu menjawab, karena perkataan cocok atau tidak cocok tentu tidak tepat untuk diterapkan karena sifatnya sangat subjektif, tetapi saya lebih suka mengatakan effektif atau tidak effektif.

Bila mau jujur jika ada metode meditasi yang dilakukan hanya setengah jam sehari, selama seminggu sudah mencapai pencerahan. Tentu saya akan lebih cocok metode itu...demikian juga banyak orang orang lain. Tetapi apakah memang benar demikian? atau mungkin pada contoh yang lebih ekstrim saya akan lebih cocok lagi jika ada guru meditasi yang membuat saya mencapai pencerahan hanya dengan semburan air mantra atau inisiasi sederhana...

pada jaman dimana Ughatitannu dan Vipancitannu telah tidak muncul di dunia ini apakah mungkin mencapai seperti Y.A. Bahiya? Sedangkan kita paling paling hanya Neyya puggala, untung untung bukan Padaparama puggala.

Pak Hudoyo, sekali lagi saya memohon maaf, bahwa perbedaan perbedaan ini saya harap hanya dijadikan sebagai cara untuk saling memahami pandangan kita masing masing

Sukhi hotu.
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

fabian c

Oh ya, mungkin saya tak dapat membalas postingan balasan pak hudoyo dalam seminggu ini karena saya akan keluar kota.
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

ryu

Quote from: fabian c on 11 August 2008, 01:59:58 AM
Oh ya, mungkin saya tak dapat membalas postingan balasan pak hudoyo dalam seminggu ini karena saya akan keluar kota.
sama tuh pak hudoyo jg ke cipanas seminggu :)
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Lily W

Quote from: hudoyo on 09 August 2008, 04:57:47 AM
Quote from: Kainyn_Kutho on 05 August 2008, 08:43:59 AM
Saya mau tanya. Jadi semua reaksi, sudah pasti kemelekatan (atau kebencian)? Bagaimana jika melihat sesuatu, timbul metta/karunna/mudita?

Ya, metta, karuna dsb itu kelekatan juga selama masih ada atta/aku.
Coba baca kembali "Karaniya Metta Sutta" ... di situ diberikan contoh metta: "Bagaikan seorang ibu yang mencintai anak tunggalnya ... [bersedia berkorban demi anaknya dsb dsb]" ... Itukah metta Buddhis? ... Menurut saya, itu mah cinta dari ego ibu itu? ... Bisakah ibu itu mencintai anak-anak lain yang bukan anak tunggalnya? ... Sukar, selama ia masih mempunyai aku....

Nah, pertanyaan selanjutnya, apakah perumpamaan "cinta ibu kepada anak tunggalnya" itu datang dari Sang Buddha? ... Menurut saya, setiap orang yang mau berpikir sedikit bisa saja membuat perumpamaan seperti itu. Tidak perlu kemampuan seorang Buddha untuk mengatakannya. ... Tapi hanya seorang Buddha atau Krishnamurti bisa bicara tentang 'metta tanpa-aku' ... yang tidak ada perumpamaan apa pun bisa dipakai untuk mendeskripsikannya.

Salam,
hudoyo


"Bagaikan seorang ibu yang mencintai anaknya yang tunggal..." seharusnya tidak dipenggal, tapi ditulis lengkap, yaitu: "bagaikan seorang ibu yang mencintai anaknya yang tunggal demikian pula terhadap semua mahluk, memancarkan pikiran kasih sayangnya tanpa batas..."   
Kemudian kalimat awalnya dari Karaniya Metta Sutta itu merupakan satu kesatuan dari kalimat berikutnya, yaitu: inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan, jujur, rendah hati, tiada sombong, sederhana hidupnya, bekerja tanpa cela, dan seterusnya...

Kalimat di atas merupakan cinta kasih yg universal, mengapa?
Yang diumpamakan adalah cara memancarkan cinta kasih itu, tidak sebesar terhadap diri sendiri tetapi terhadap semua mahluk dengan kesetaraan yang sama... .

_/\_ :lotus:

~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are

K.K.

Quote from: Lily W on 11 August 2008, 09:54:37 AM
...
"Bagaikan seorang ibu yang mencintai anaknya yang tunggal..." seharusnya tidak dipenggal, tapi ditulis lengkap, yaitu: "bagaikan seorang ibu yang mencintai anaknya yang tunggal demikian pula terhadap semua mahluk, memancarkan pikiran kasih sayangnya tanpa batas..."   
Kemudian kalimat awalnya dari Karaniya Metta Sutta itu merupakan satu kesatuan dari kalimat berikutnya, yaitu: inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan, jujur, rendah hati, tiada sombong, sederhana hidupnya, bekerja tanpa cela, dan seterusnya...

Kalimat di atas merupakan cinta kasih yg universal, mengapa?
Yang diumpamakan adalah cara memancarkan cinta kasih itu, tidak sebesar terhadap diri sendiri tetapi terhadap semua mahluk dengan kesetaraan yang sama... .
...


Quote from: Kainyn_Kutho on 09 August 2008, 08:32:19 AM
...
Saya setuju bahwa metta itu bukanlah seperti cinta ibu kepada anak tunggalnya, karena itu sungguh bersyarat sekali. Tetapi dalam karaniya metta sutta itu adalah perbandingan jika kita bisa mencintai semua mahluk sebagaimana cinta ibu kepada anaknya, maka itu digambarkan sebagai metta. Siapa yang bisa mencintai semua mahluk tanpa dipengaruhi hubungan dan perasaan sehingga bersikap (bahkan terhadap musuhnya) bagai seorang ibu kepada anaknya? Saya rasa memang hanya orang yang sudah tidak ada "aku"-nya, di mana tidak ada "anak" saya, tidak ada "musuh" saya.
...

Terima kasih sudah mengutip kalimat lengkapnya, karena saya lupa.  _/\_

tesla

Quote from: Lily W on 11 August 2008, 09:54:37 AM
"Bagaikan seorang ibu yang mencintai anaknya yang tunggal..." seharusnya tidak dipenggal, tapi ditulis lengkap, yaitu: "bagaikan seorang ibu yang mencintai anaknya yang tunggal demikian pula terhadap semua mahluk, memancarkan pikiran kasih sayangnya tanpa batas..."   
Kemudian kalimat awalnya dari Karaniya Metta Sutta itu merupakan satu kesatuan dari kalimat berikutnya, yaitu: inilah yang harus dikerjakan oleh mereka yang tangkas dalam kebaikan, jujur, rendah hati, tiada sombong, sederhana hidupnya, bekerja tanpa cela, dan seterusnya...
jadi ci lily mencintai saya seperti mencintai anaknya yg tunggal tidak? ;D
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Lily W

Ya dong.... buktinya saya kirimin Bro Tesla buku-buku Dhamma.... ;D Kalo saya ada buku-buku Dhamma yang baru...saya selalu ingat ama Bro Tesla... ;D

_/\_ :lotus:
~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are

ryu

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Lily W

#493
Ok....ini lagi saatnya bagi-bagi uang untuk makhluk lainnya (bakar uang kertas/sembahyang kubur).... :)) :)) :))
Bro Ryu... mau apalagi...mobil Mercy/BMW mau ga? sekalian saya bakarin... =)) =)) =))

_/\_ :lotus:
~ Kakek Guru : "Pikiran adalah Raja Kehidupan"... bahagia dan derita berasal dari Pikiran.
~ Mak Kebo (film BABE) : The Only way you'll find happiness is to accept that the way things are. Is the way things are

tesla

Quote from: Lily W on 11 August 2008, 03:03:51 PM
Ya dong.... buktinya saya kirimin Bro Tesla buku-buku Dhamma.... ;D Kalo saya ada buku-buku Dhamma yang baru...saya selalu ingat ama Bro Tesla... ;D

_/\_ :lotus:

Anumodana

tapi... maksud saya, ikat kepala naruto itu lho (joke) :P
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~