Kulonuwun...
Ini diskusinya kayaknya nggak pernah berujung yah? Kadang kadang saya heran dengan orang yang menganggap Abhidhamma sebagai tafsir... kalau memang benar itu hasil tafsir bukan berdasarkan pengetahuan yang didapat dari pengalaman bermeditasi, maka luar biasa sekali pemikir pemikir Abhidhamma itu, yang bisa berpikir sehebat itu, bisa mengetahui impulse-impulse batin yang halus yang disebut sankhara, bisa mengetahui kelompok kelompok materi yang sangat kecil yang bahkan tidak nampak dengan mikroskop.
Dalam sejarah agama Buddha ada beberapa versi Abhidhamma/Abhidharma. Yang masih ada sampai sekarang adalah Abhidhamma Theravada dan Abhidharma Sarvastivada; kedua sekte itu sama-sama termasuk dalam 18 sekte Hinayana pada awal sejarah agama Buddha.
Kedua versi Abhidhamma/Abhidharma itu sangat berbeda satu sama lain: jumlah citta sangat berbeda, malah klasifikasi juga sangat berbeda; dalam Abhidhamma klasifikasi dhamma ada empat: rupa, citta, cetasika, nibbana, dalam Abhidharma Sarvastivada lain sekali. Jadi mana yang benar???...
Itulah sebabnya saya mengatakan, baik Abhidhamma Theravada maupun Abhidharma Sarvastivada merupakan usaha pikiran manusia (tafsiran) untuk mendeskripsikan pengalaman meditasi. Pengalaman meditasinya SAMA, kalau itu vipassana, yaitu khanika-samadhi. Tapi tafsirannya, klasifikasinya, deskripsinya bisa berbeda-beda. ... Jadi jangan mencampuradukkan deskripsi pengalaman meditasi dengan pengalaman meditasi itu sendiri. ... Teori Abhidhamma tidak lebih dari sekadar "telunjuk" yang menunjuk ke "rembulan". Jangan mencampuradukkan "telunjuk" dan "rembulan", lalu menganggap "telunjuk" itu sebagai "rembulan", sebagai kebenaran. "Telunjuk" Theravada berbeda dengan "telunjuk" Sarvastivada, tapi "rembulannya" sama.
Salam,
hudoyo