News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Euthanasia

Started by Edward, 05 June 2008, 03:20:52 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Umat Awam

Quote from: hudoyo on 06 June 2008, 04:40:00 AM
Quote from: Dhyanaputra on 06 June 2008, 12:05:30 AM
YM Sakyamuni Buddha tidakpernah memberikan konsesi terhadap aturan "Jangan membunuh" dengan embel2 "kecuali (terpaksa, terjepit, untuk mengurangi penderitaan... dsb dsb)" cmiiw  :|
_/\_

Di dalam aliran Vajrayana, ada Sumpah Bodhisattva ... dan salah satu Sumpah Bodhisattva Tambaha(Secondary) berbunyi:

"Saya bersedia melanggar Sila (membunuh, mencuri, berzina, berdusta, minum minuman keras) demi Welas Asih."

Silakan ditafsirkan sendiri. ...

Salam,
Hudoyo

Wew... no comment dah kalo mengenai ini... soale msh awam neh.. :|

Dhyanaputra

Quote from: hudoyo on 06 June 2008, 04:40:00 AM
Di dalam aliran Vajrayana, ada Sumpah Bodhisattva ... dan salah satu Sumpah Bodhisattva Tambaha(Secondary) berbunyi:

"Saya bersedia melanggar Sila (membunuh, mencuri, berzina, berdusta, minum minuman keras) demi Welas Asih."

Silakan ditafsirkan sendiri. ...

Salam,
Hudoyo
Saya pun pernah mendengar seorang pertapa yg tiap hari menombak ikan di sungai, dengan tujuan ikan2 itu bertumimbal lahir di alam yg lebih menyenangkan..

tetapi paradox semacam ini, seperti yg pak pandita tulis itu juga, bisa menjadi tafsir yg sangat berbahaya apabila ditangkap / dipahami secara salah oleh orang awam..

bagaimanapun bodhisatta, pertapa suci, dan yang lain semacamnya memilki kemampuan dan tingkat kebijaksanaan berbeda, yang mungkin masih jauh "beyond" pemikiran kita2 yg masih muter2 di dalam belenggu samsara melulu.. maka harus dipahami melalui pengertian/pemahaman yang tidak mudah.

Bodhisatta Gotama pun dalam cerita jataka pernah membunuh dsb.. namun semua itu tetap membawa suatu konsekuensi..
Pahlawan membunuh ratusan musuh demi negara..
Avalokithesvara menyeberang ke neraka dan memotong tubuhnya sendiri utk menolong ayahnya yg terbakar di neraka avici tingkat 18...
dan lain2 masih banyak lagi..
pembunuhan, pelanggaran sila, dsb.. yg termasuk dalam sumpah bodhisatta ala vajrayana itu harus dilihat cermat konteksnya, apakah pelanggaran itu ditempuh "DEMI" / untuk tujuan welas asih, atau pelanggaran sila itu harus ditempuh / dijalani sebagai rangkaian penggenapan "karma" yg harus dilalui dalam perjalanan mencapai bodhi seperti halnya yg kita lihat dari puluhan cerita jataka tentang Bodhisatta Gotama?

Tentunya tidak sesederhana menafsirkan hal semacam itu :)

Kalau kita berusaha memahami hal semacam ini dengan pengertian yg belum sempurna, Buddha Dharma bisa menjadi ajaran yg saling kontradiksi dan tumpang tindih, bahkan banyak konsesi di sana sini, Pak. In my humble opinion.

_/\_ _/\_ _/\_
Hatred does not cease by hatred, but only by love; this is the eternal rule.

williamhalim

Quote from: nyanadhana on 06 June 2008, 08:06:22 AM
Seorang Bodhisatva boleh ikut berperang dan membunuh di medan perang selama itu untuk membela negara,membela dirinya sendiri dan membela keluarganya...aku pernah baca yang ginian namun konon katanya,pembunuhan itu dilakukan untuk welas asih kepada banyak makhluk, artinya bunuh 1 penjahat untuk menolong 100 warga.well anybody wanna expalin it?

Apa si Boddhisatva sudah mempertimbangkan:
~ apakah benar2 si penjahat yg bersalah, bukannya penduduk desa asal tuduh
~ bagaimana kalau ada fitnah
~ bagaimana dengan nasib anak / keluarga si penjahat
~ ketimbang dibunuh, apa tidak lebih baik si penjahat diarahkan dan dibimbing, diajarkan dhamma?
~ masih banyak peluang lainnya ketimbang membunuh, ingat Boddhisatva perlu menyempurnakan kebijaksanaan (panna parami)  :)

::


Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Rina Hong

 :hammer: untuk edward karna sendiri OOT  :P

_/\_

1. soal perang, kenapa harus berperang, kan bisa berunding sehingga tidak perlu melanggar sila, masih ingat cerita jataka yang rajanya menyerah sebelum berperang karena takut memakan korban jiwa, He's a wise king !!

2. soal suntik mati, bisa cari solusi lain kan, misalnya memberikan pengertian dhamma kepada orang tersebut agar menghadapi penderitaan nya dengan tenang.

3. soal penjahat, w jadi ingat cerita penjahat yang di jinakkan sang buddha, jadi tidak perlu membunuh kan?? ada cara lain yang lebih bijak dan tidak melanggar sila.

That's all is our choice..
The four Reliances
1st,rely on the spirit and meaning of the teachings, not on the words;
2nd,rely on the teachings, not on the personality of the teacher;
3rd,rely on real wisdom, not superficial interpretation;
And 4th,rely on the essence of your pure Wisdom Mind, not on judgmental perceptions

Mangkok

Tentang sila sekunder sumpah bodhisattva, di bawah saya mengutip dari buku The Bodhisattva Vow oleh Dagpo Rinpoche: (terjemahan bebas)

...

11. Tidak melakukan perbuatan yang menyakitkan yang adalah perlu demi kesejahteraan/kebaikan yang lain (I: Not committing a harmful action which is necessary for welfare of others )

Pelanggaran sekunder kesebelas ini dilakukan dengan tidak melakukan suatu perbuatan negatif atau menyakitkan yang adalah perlu ditinjau dari sudut pandang welas asih.
Sebenarnya ini mengacu pada ketujuh perbuatan yang menyakitkan: tiga perbuatan menyakitkan melalui tubuh {membunuh, mencuri, berhubungan kelamin yang tidak benar, red} dan empat perbuatan menyakitkan melalui ucapan {berbohong, memecah belah, ucapan kasar/menyakitkan, obrolan yang tidak berguna, red}. Bila kita menolak melakukan perbuatan2 menyakitkan ini, ketika hal itu diperlukan demi kesejahteraan/kebaikan yang lain, itu jelas menunjukkan suatu kekurangan welas asih.

Komentar2 agung/besar menyebutkan dua pendapat mengenai ini. Pendapat pertama adalah ketika ada suatu kasus welas asih yang nyata dan kesejahteraan mayoritas makhluk dihasilkan oleh tindakan tersebut, maka  seorang bodhisattva yang membunuh seseorang tidak melakukan suatu perbuatan negatif.
Dalam komentar2 yang menyebutkan seorang bodhisattva, yang dimotivasi oleh welas asih, tidak melakukan suatu perbuatan negatif dalam membunuh seseorang, pelanggaran sekunder ini tidak disebutkan. Oleh karena itu hanya ada 45 pelanggaran sekunder, bukan 46.

Komentar2 yang lain
, seperti komentar Bodhibhadra, menunjukkan bahwa sangat penting bahkan mengharuskan bodhisattva tersebut melakukan perbuatan menyakitkan ketika hal itu bermanfaat bagi mayoritas makhluk. Dalam komentar2 inilah muncul 46 pelanggaran sekunder terhadap sumpah bodhisattva.

Ada banyak diskusi tentang hal ini. Penting bahwa kita memperhatikan hal ini dengan seksama (I: give this a great deal of thought). Membunuh seseorang adalah suatu perbuatan "kotor" {I: gross} bagi setiap orang, dan hal ini berlaku sama pada bodhisattva. Oleh karena itu, dikatakan bahwa hanya bodhisattva yang sudah merealisasikan bodhicitta bukan buatan {spontan, red}, tidak membuat kesalahan {I: error} ketika mereka melakukan perbuatan menyakitkan tersebut.

Lama Tsongkhapa
menambahkan bahwa bodhicitta bukan buatan saja tidak cukup untuk mengizinkan seorang bodhisattva melakukan perbuatan "kotor" tersebut. Beliau mengatakan bahwa bodhisattva yang telah merealisasikan bodhicitta bukan buatan, harus telah terlatih dalam keenam paramita dalam waktu yang lama dan harus dimotivasi oleh welas asih yang murni pada SAAT melakukan perbuatan tersebut.

Jika kita melakukan suatu perbuatan yang menyakitkan seperti membunuh seseorang, kita akan menghimpun banyak karma negatif. Masalahnya di sini yaitu bahwa pada saat tertentu, kita akan mencapai suatu level perkembangan spiritual yang mana perbuatan yang sama {membunuh, red} tidak lagi menghasilkan kenegatifan, namun malah menghasilkan kebajikan.

Ada juga beberapa diskusi tentang apakah bodhisattva tersebut, yang memiliki bodhicitta bukan buatan, yang telah terlatih dalam ke-6 paramita untuk waktu yang lama dan pada saat melakukan perbuatan tersebut dimotivasi oleh welas asih, boleh seorang yang ditabhiskan {anggota sangha, red} atau harus seorang praktisi umat awam. Jawabannya adalah ini hanya berlaku bagi praktisi umat awam.

Apa yang harus dilakukan oleh orang yang ditabhiskan pada situasi tersebut? Bodhisattva yang ditabhiskan akan mematahkan sumpah kebhiksuannya dan kehilangan pentabhisannya dalam perbuatan tersebut. Oleh karena itu, seorang bodhisattva yang ditabhiskan harus melepaskan {mengembalikan, red} sila kebhiksuannya terlebih dahulu, sehingga dia tidak perlu mempertahankannya lagi, dan hanya setelah itu baru melanjutkan perbuatan yang menyakitkan tersebut.

Ada banyak diskusi dan debat tentang pertanyaan apakah mengambil kehidupan {membunuh, red} dalam kasus ini menghasilkan karma negatif. Saya {Dagpo Rinpoche, red} tidak akan mengulasnya di sini. Saya pikir cukup bagi kita mengetahui bahwa sebuah akitvitas negatif seperti membunuh orang, hanya bisa dilakukan oleh seorang bodhisattva yang memiliki realisasi bodhicitta bukan buatan, yang telah terlatih dalam ke-6 paramita dalam waktu yang lama dan dimotivasi oleh welas asih murni, sehingga satu saat pun tidak ada kepentingan pribadi yang terlibat. Jika bodhisattva tersebut tidak menghasilkan jejak (I: imprint) negatif apapun sama sekali, namun hanya menghasilkan energi yang positif, maka bodhisattva ini diizinkan melakukannya. Jika beliau adalah orang yang ditabhiskan, beliau harus melepaskan sila kebhiksuannya sebelum melakukan perbuatan ini. Penjelasan ini adalah penting karena beberapa orang cenderung berpikir bahwa dalam Buddhisme Mahayana, apapun boleh dilakukan sepanjang seseorang memiliki pikiran yang positif ketika melakukannya. Di sini, kita melihat dengan jelas bahwa ini tidak benar.

......


Semoga bermanfaat  _/\_

Terima kasih  :|
Semoga kebijaksanaan dan kebaikan hati tumbuh dan berkembang dalam batin semua makhluk

hudoyo

#50
Menurut keyakinan saya, di dalam ajaran Sang Buddha tidak ada dogma dan hal-hal yang dimutlakkan ... Juga berkaitan dengan Sila ...

Semua perbuatan kita ditentukan oleh pikiran kita (cetana) ... bukan ditentukan oleh rumusan Sila ...

Kalau orang memahami ini, maka ia bebas merenungkan masalah yang dihadapi oleh dunia kedokteran modern tentang euthanasia, baik euthanasia pasif maupun euthanasia aktif.

Kalau orang melihat Sila sebagai kitab undang-undang yang rumusannya dianggap sebagai harga mati dengan ancaman hukuman ini-itu, maka ia akan bingung menghadapi masalah etika yang muncul di zaman modern, yang tidak ada di zaman Sang Buddha.

Quote from: Mangkok on 07 June 2008, 11:52:07 AM
[...] Penjelasan ini adalah penting karena beberapa orang cenderung berpikir bahwa dalam Buddhisme Mahayana, apapun boleh dilakukan sepanjang seseorang memiliki pikiran yang positif ketika melakukannya. Di sini, kita melihat dengan jelas bahwa ini tidak benar.

Pendapat pribadi dari seorang Rinpoche di antara sekian banyak Rinpoche yang ada, tidak mengikat bagi seorang Buddhis yang menggunakan panna. ... Di dalam arsip Berzine, ada pendapat lain yang berbeda.

Kembali saja kepada panna dan hati nurani masing-masing.

Salam,
hudoyo

Mangkok

Maaf OOT, mau menjelaskan aja, postingan saya tentang sila bodhisattva bukan untuk menjawab tentang euthanasia boleh atau tidak (maaf sekali lagi  ^:)^), namun sekedar menyampaikan penjelasan tentang sila bodhisattva yang kebetulan disebut beberapa kali.

Tentang euthanasia saya pikir udah disampaikan oleh rekan2 lain yang jauh lebih berkualitas.


Terima kasih  :|
Semoga kebijaksanaan dan kebaikan hati tumbuh dan berkembang dalam batin semua makhluk

hudoyo

Sila Bodhisattva itu saya tampilkan untuk menunjukkan bahwa tidak ada ajaran yang bersifat mutlak ("harga mati") dalam Buddhisme ... Sila pun juga tidak mutlak.

Salam,
hudoyo

Hikoza83

Quote from: hudoyo on 08 June 2008, 06:13:43 AM
Sila Bodhisattva itu saya tampilkan untuk menunjukkan bahwa tidak ada ajaran yang bersifat mutlak ("harga mati") dalam Buddhisme ... Sila pun juga tidak mutlak.

Salam,
hudoyo
tidak mutlak bukan berarti bebas sebebas-bebasnya loh pak hud.  :)
tetap ada 'rambu2'nya, karena segala sesuatunya saling bergantung satu sama lain.
_/\_


By : Zen
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

hudoyo

Quote from: Hikoza83 on 08 June 2008, 11:35:01 AM
tidak mutlak bukan berarti bebas sebebas-bebasnya loh pak hud.  :)
tetap ada 'rambu2'nya, karena segala sesuatunya saling bergantung satu sama lain.
_/\_


By : Zen

Biasanya orang mencari 'rambu-rambu' itu dari luar ... apa kata kitab suci ... apa kata guru-guru ... :)

Jarang orang mencari ke dalam batinnya sendiri ... 'rambu' yang adalah atta-nya sendiri.

Salam,
hudoyo

Hikoza83

Quote from: hudoyo on 08 June 2008, 11:40:35 AM
Quote from: Hikoza83 on 08 June 2008, 11:35:01 AM
tidak mutlak bukan berarti bebas sebebas-bebasnya loh pak hud.  :)
tetap ada 'rambu2'nya, karena segala sesuatunya saling bergantung satu sama lain.
_/\_


By : Zen

Biasanya orang mencari 'rambu-rambu' itu dari luar ... apa kata kitab suci ... apa kata guru-guru ... :)

Jarang orang mencari ke dalam batinnya sendiri ... 'rambu' yang adalah atta-nya sendiri.

Salam,
hudoyo
bagi mereka yg sudah belajar, hal itu ga masalah.
bagi mereka yang baru belajar, hal itu membingungkan, pak hud.
_/\_


By : Zen
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

hudoyo

kapan selesai belajar? ... :)

apa kriterianya "selesai belajar"? ... :)

mengapa dibedakan antara yang "baru belajar" dan "sudah belajar"? ... :)

Salam,
hudoyo

Mangkok

From Hudoyo on: Yesterday at 01:36:27 PM
Quote

Quotefrom: Mangkok on Yesterday at 11:52:07 AM
[...] Penjelasan ini adalah penting karena beberapa orang cenderung berpikir bahwa dalam Buddhisme Mahayana, apapun boleh dilakukan sepanjang seseorang memiliki pikiran yang positif ketika melakukannya. Di sini, kita melihat dengan jelas bahwa ini tidak benar.

Pendapat pribadi dari seorang Rinpoche di antara sekian banyak Rinpoche yang ada, tidak mengikat bagi seorang Buddhis yang menggunakan panna. ... Di dalam arsip Berzine, ada pendapat lain yang berbeda.

Kembali saja kepada panna dan hati nurani masing-masing.

Dari penjelasan pak Hudoyo sendiri sudah menyatakan bahwa dibutuhkan panna dan hati nurani, dengan kata lain seorang Buddhis bukan hanya mengembangkan kebaikan hati (apapun istilahnya: hati nurani, bodhicitta, welas asih, kasih sayang, motivasi baik, niat baik, atau apapun), tetapi juga mengembangkan panna atau kebijaksanaan. Dan saya yakin arsip Berzine akan menyatakan hal yang sama, bahwa kita membutuhkan kebijaksanaan dan welas asih (dalam istilah bahasa Inggris, biasanya digunakan kata method dan wisdom) dalam setiap tindakan kita, salah satu saja tidak bisa membawa kita ke pencapaian tertinggi. Penggabungan kedua kualitas tersebut dalam setiap perbuatan kita akan memberikan hasil yang terbaik. Semakin baik tingkat kebijaksanaan dan kebaikan hati kita, semakin besar manfaat yang bisa dihasilkan. 

Dan sekali lagi, saya hanya mencoba memberikan suatu penjelasan tentang sila bodhisattva yang menurut saya tidak sembarang orang akan mampu menafsirkannya sendiri. Dalam membahas vinaya bhikkhu, kita (saya tidak tahu yang lain, yang jelas saya pribadi perlu) juga perlu penafsiran/komentar dari mereka yang benar2 berkompeten, meskipun mungkin ada juga yang merasa mampu menafsirkannya sendiri. Yah, sekali lagi, silakan berkaca pada kebijaksanaan dan kebaikan hatinya masing2.

Di luar semua itu, semua orang punya kapasitas dan kebijaksanaan masing2 dalam menerima apapun. Jadi, saya juga tidak berpikir bahwa postingan saya akan menjadi satu aturan yang mengikat. Terserah kepada kebijaksanaan dan hati nurani masing2 (mengutip kata2 pak hudoyo sendiri, dan terima kasih pak hudoyo sudah membuatnya menjadi lebih tegas dan jelas  _/\_).
Jadi, klo postingan saya bermanfaat, terima kasih (dan silakan dipraktikkan semampunya bila mau), dan bila tidak bermanfaat atau malah memicu munculnya kilesa, yah mohon lupakan saja.

Terima kasih  :|
NB: maaf bila OOT lagi.
Semoga kebijaksanaan dan kebaikan hati tumbuh dan berkembang dalam batin semua makhluk

Dhyanaputra

Quote from: hudoyo on 08 June 2008, 06:13:43 AM
Sila Bodhisattva itu saya tampilkan untuk menunjukkan bahwa tidak ada ajaran yang bersifat mutlak ("harga mati") dalam Buddhisme ... Sila pun juga tidak mutlak.

Salam,
hudoyo
IMHO bisa misleading kalau caranya seperti itu, pak pandita  _/\_

Bagaimana kalau sekarang pertanyaannya dibalik,
Welas asih macam apa yg ingin bapak capai dengan membunuh orang (panatipata), merampok merampas mencuri (adinadanna), memperkosa melecehkan secara seksual (kamesu miccacara), menipu sana sini dan menyakiti orang dengan penganiayaan verbal / memaki (musavada), dan mengkonsumsi narkoba / miras (surameraya majja pamadattana) ???

Seperti yg Bapak tulis, itu adalah cuplikan dari sila bodhisatta "VERSI" vajrayana CMIIW...
since Bapak mulai membatasi sesuatu dengan "versi" makan saya berpendapat bahwa sebuah "core issue" itu harus dipahami sesuai konteks masing2.

Di dalam kehidupan ini ada yg dinamakan paradoks,
statement bahwa, "boleh bolos, asalkan pintar.." kata guru SD
"boleh konsumsi narkoba asal tidak kecanduan & mabok..."
"boleh nge-sex bebas asal tidak melakukan perbuatan asusula..."

itu merupakan contoh2 paradoks, yg intinya adalah menekankan pentingnya substansi yg terkandung pada frasa ke 2, sehingga substansi frasa yg pertama dibuat seakan-akan menjadi "anti"nya.
pada statement boleh tidak sekolah asal pintar... menekankan pentingnya pintar, yg tidak mungkin dicapai kalau tidak bersekolah. Which mean, setiap orang akan menyadari bahwa kalau mau pintar yah semestinya bersekolah, karena statement itu kalau ditelan secara naif dengan menjalankan "tidak" bersekolah, tidak mungkin pintar itu tercapai..
pun bagi contoh paradoks yg lain..

back to sumpah bodhisatta ala vajra yg Bapak munculkan dengan tujuan menyadarkan orang bahwa tidak ada harga mati itu..,
IMHO itu adalah paradoks, bahwa tidak mungkin welas asih itu dicapai dengan membunuh / melanggar sila.. tapi bodhisatta menekankan bahwa yg terpenting adalah sikap welas asih.

Tapi saya setuju bahwa aturan itu bukan harga mutlak walau harus DIPAHAMI dengan pengertian benar dulu, bukan asal digembar-gemborkan lalu orang lain dengan pemahaman yg berbeda salah menafsirkan.. sembarangan melakukan perbuatan melanggar sila karena salah memahami "harga mutlak" yg berusaha Bapak kemukakan itu.

Sakyamuni buddha tidak mencantumkan istilah "kecuali" pada pancasila buddhis memang tidak bisa dijadikan tolok ukur "kemutlakan" suatu aturan, tetapi bukan berarti kalau sudah merasa mampu memahami konsep tidak mutlak, lantas kita jadi ahli pembuat konsesi.. :)
Kalau semua hal belum2 sudah dipandang dari sisi "relatif".. lalu buat apa Dhamma itu dibabarkan?
Buat apa Sakyamuni buddha susah2 bikin sila, vinaya, pattimokha, etc???

MEMANG BENAR, aturan / sila / apapun lah istilahnya, tidak berguna lagi apabila hari nurani kita sudah "tercerahkan"..
Kalau semua sudah bisa jadi "cerah" ngapain susah2 meninggalkan kehidupan duniawi, digundul pake jubah, dengan 227 aturan yg harus dijalankan/????

Tapi kita juga harus menyadari, bahwa masih banyak pak di luar sana yg mukulin orang atas nama "kebaikan", ngancurin fasilitas umum atas nama "membela kesusilaan", bahkan dengan enteng memperkosa bahkan menghilangkan nyawa orang lain atas nama "kebenaran"..,
bahkan masih sejibun orang yg muter2 mulu mencari pemahaman terhadap kesunyataan seperti saya dan Bapak sendiri (mungkin) ?? yg membuat sebuah aturan itu menjadi "worth" utk dijadikan pedoman walaupun di tingkat pemahaman lebih tinggi kita bisa dengan enak bilang "itu tidak mutlak" ? :)



_/\_
Hatred does not cease by hatred, but only by love; this is the eternal rule.

Hikoza83

Quote from: hudoyo on 08 June 2008, 12:16:56 PM
kapan selesai belajar? ... :)

apa kriterianya "selesai belajar"? ... :)

mengapa dibedakan antara yang "baru belajar" dan "sudah belajar"? ... :)

Salam,
hudoyo

ini hanya pendapat pribadi saya, romo. :)
kapan selesai belajar? <--- saya sendiri belum selesai belajar dalam hidup ini, jd kurang tau kapan selesainya.. ^_^
maybe ketika saya pindah alam lain, pak hud.  ;D
semoga saya terus lanjut belajarnya, dengan tubuh manusia lagi...   ;)
kriterianya saya kurang tau, krn belum selesai belajarnya.

mengapa dibedakan antara yang "baru belajar" dan "sudah belajar"? <-- ya, berkaitan dengan topik yang dibicarakan. sepengetahuan saya, cara menjelaskan jawaban ttg mengapa apel membusuk kepada seorang anak sd dengan seorang mahasiswa berbeda, pak. kalo disamakan nanti repot.
_/\_


By : Zen
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]