News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Euthanasia

Started by Edward, 05 June 2008, 03:20:52 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Dhyanaputra

Quote from: hudoyo on 08 June 2008, 12:16:56 PM
kapan selesai belajar? ... :)

apa kriterianya "selesai belajar"? ... :)

mengapa dibedakan antara yang "baru belajar" dan "sudah belajar"? ... :)

Salam,
hudoyo
Inget lho pak pandita.. ingett...
ini sub forum BUDDHISME UNTUK PEMULA...

hati2 pak.. :)
yg masuk dan baca di sini engga semuanya pinter kayak Bapak  ^:)^ ^-^
melainkan, mungkin ada yg masih awam bahkan masih ragu2 terhadap buddhisme...
jadi once again, Pak Pandita harap berhati-hati dalam unjuk "kebijaksanaan" dan "pengetahuan" di sini :)

_/\_
Hatred does not cease by hatred, but only by love; this is the eternal rule.

hudoyo

#61
Rekan Dhyanaputra,

Justru saya mau bicara kepada para pemula yang belajar Agama Buddha agar tidak berlarut-larut belajar sesuatu yang menurut saya tidak ada gunanya tanpa meditasi ...

Apa yang saya ketahui bukan hanya untuk yang "pinter" saja. Justru saya mau bicara kepada para pemula. Tidak ada batas pemisah antara pemula dan yang "pinter". ...

Kenapa? ... Karena saya sendiri belakangan menyadari bahwa apa yang saya pelajari secara intelektual selama bertahun-tahun tentang Buddha Dhamma tanpa meditasi adalah pembuangan waktu yang sia-sia saja. ...

Dengan bicara di sini saya berharap ada pemula yang tidak akan mengulangi lagi kesalahan yang pernah saya perbuat ...

Anda boleh setuju boleh tidak setuju. ... :)

Salam,
Hudoyo

Hikoza83

saya ingat sebuah cerita, seorang belajar musik.
pertama2, dia belajar not balok...
menulis, dan menghafal...
lalu dia belajar lebih lanjut ttg alat musik, dan terus menerus memainkannya...
akhirnya menjadi seorang maestro...
sekarang dia memainkan musiknya dengan hati, bukan berdasarkan not balok di buku...

pertanyaannya :
1. apakah berarti org yg ga ngerti musik sama sekali bisa jadi maestro dengan main musik tanpa paham apa2 ttg musik?
kalo bakat alam, maybe bisa, pak.... tapi itu kasus langka... peluangnya 1 per 1 juta orang kali...
2. apakah pelajaran awalnya ttg menulis dan membaca not balok tidak berguna sama sekali?
3. IMO, bahkan tidak memilih apa2 juga ada sebuah pilihan...
mohon maaf kalau ada kata2 saya yg menyinggung, pak hud. _/\_


By : Zen
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

hudoyo

#63
Rekan Hikoza,

Saya rasa, Anda mengambil analogi yang sama sekali tidak tepat. ...

Penghentian, kepadaman ... tidak bisa dibandingkan dengan suatu ketrampilan yang harus dipelajari, yang untuk itu dibutuhkan waktu. ...

Padam itu melepas, bukan mencari sesuatu, bukan belajar sesuatu ... Melepas itu tidak bisa dilakukan dengan "belajar melepas" ... Itu bukan melepas namanya ...

Jadi, maaf, persepsi Anda tentang nibbana bertolak belakang dengan persepsi saya ... Itulah sebabnya diskusi ini berjalan agak alot. ... :)

Kalau sudah disadari adanya perbedaan titik tolak dalam memahami pelepasan/pembebasan ... apakah diskusi ini bermanfaat untuk dilanjutkan? ... :)

Quote3. IMO, bahkan tidak memilih apa2 juga ada sebuah pilihan...

Ini cuma permainan kata-kata ... Yang penting bukan 'memilih' atau 'tidak memilih' ... melainkan ada atau tidak adakah aku di balik itu ...

Kalau masih ada aku ... maka 'tidak memilih' pun menjadi suatu 'pilihan' sikap dari si aku ... Aku mengambil sikap untuk 'tidak memilih' ... itu memang suatu pilihan. ...

Jadi 'tidak memilih' itu hanya otentik kalau sudah tidak ada aku lagi ...

Salam,
hudoyo

Hikoza83

jika presepsi anda ttg nibbana membuat anda bahagia, silahkan saja pak.  :)
mungkin krn saya masih melekat dengan konsep 'aku', jadi saya melihat kata2nya melekat dengan konsep 'tanpa aku'.
masih sibuk dengan dualisme, melekat dan benci...
jika berada di satu sisi, cenderung menolak sisi yg lain.. dan sebaliknya...
samsara oh samsara....
koq masih mau dlm samsara... :hammer:
saya ambil jalan tengah saja, pak hud.  ;D
dengan ini diskusi saya tutup... tok ... tok ... tok ...

music mode on :
jagalah hati, jangan kau nodai...
jagalah hati, pelita hidup ini...
music off:

Semoga semua makhluk berbahagia!  _/\_


By : Zen
Aku akan melaksanakannya dengan tubuhku,
Karena apa gunanya hanya membaca kata-kata belaka?
Apakah mempelajari obat-obatan saja
Dapat menyembuhkan yang sakit?
[Bodhicaryavatara, Bodhisattva Shantideva]

Suchamda

#65
Permainan kata-kata....
kata-kata dimainin...
siapa yang mainin?

Tidak ada yang mainin, jawabku
karena tidak ada aku yang memainin
tapi aku dipermainin
oleh kata-kata yang sedang bermain
:o ;D

ahhhhh....., main-main apa ini?
kenapa main-main tentang kata-kata 'main' yg dipermainin??

duh, cape dehhhh.......  :'( :'( ;D ;D
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

hudoyo

#66
Quote from: Dhyanaputra on 11 June 2008, 09:42:36 AM
IMHO bisa misleading kalau caranya seperti itu, pak pandita  _/\_
[...]
back to sumpah bodhisatta ala vajra yg Bapak munculkan dengan tujuan menyadarkan orang bahwa tidak ada harga mati itu..,
IMHO itu adalah paradoks, bahwa tidak mungkin welas asih itu dicapai dengan membunuh / melanggar sila.. tapi bodhisatta menekankan bahwa yg terpenting adalah sikap welas asih.

Tapi saya setuju bahwa aturan itu bukan harga mutlak walau harus DIPAHAMI dengan pengertian benar dulu, bukan asal digembar-gemborkan lalu orang lain dengan pemahaman yg berbeda salah menafsirkan.. sembarangan melakukan perbuatan melanggar sila karena salah memahami "harga mutlak" yg berusaha Bapak kemukakan itu.

Sakyamuni buddha tidak mencantumkan istilah "kecuali" pada pancasila buddhis memang tidak bisa dijadikan tolok ukur "kemutlakan" suatu aturan, tetapi bukan berarti kalau sudah merasa mampu memahami konsep tidak mutlak, lantas kita jadi ahli pembuat konsesi.. :)
Kalau semua hal belum2 sudah dipandang dari sisi "relatif".. lalu buat apa Dhamma itu dibabarkan?
Buat apa Sakyamuni buddha susah2 bikin sila, vinaya, pattimokha, etc???

MEMANG BENAR, aturan / sila / apapun lah istilahnya, tidak berguna lagi apabila hari nurani kita sudah "tercerahkan"..
Kalau semua sudah bisa jadi "cerah" ngapain susah2 meninggalkan kehidupan duniawi, digundul pake jubah, dengan 227 aturan yg harus dijalankan/????

Tapi kita juga harus menyadari, bahwa masih banyak pak di luar sana yg mukulin orang atas nama "kebaikan", ngancurin fasilitas umum atas nama "membela kesusilaan", bahkan dengan enteng memperkosa bahkan menghilangkan nyawa orang lain atas nama "kebenaran"..,
bahkan masih sejibun orang yg muter2 mulu mencari pemahaman terhadap kesunyataan seperti saya dan Bapak sendiri (mungkin) ?? yg membuat sebuah aturan itu menjadi "worth" utk dijadikan pedoman walaupun di tingkat pemahaman lebih tinggi kita bisa dengan enak bilang "itu tidak mutlak" ? :)
_/\_

Secara tertulis Sila sudah ada ... Tapi setiap orang, disadari atau tidak disadari, selalu akan menafsirkan sila itu menurut kepentingan masing-masing ... Banyak yang melanggar sila dengan entengnya karena "semua orang melakukannya" atau "itulah tuntutan kehidupan modern" ... tetapi ada pula yang mempertimbangkan setiap perbuatannya dengan teliti ... didasarkan pada welas asih ...

Misalnya, sila "tidak mengambil apa yang tidak diberikan (mencuri)" ... bagi seorang yang nafkahnya tergantung pada dunia bisnis ... sejauh mana ia bersedia menerapkan sila itu? ... Pasti banyak yang melanggarnya ... dengan rasa enteng  ... dengan alasan semua umat Buddha yang dagang pasti melakukannya ... itulah tuntutan kehidupan modern ...

Di lain pihak, seorang dokter menghadapi pasien koma selama berbulan-bulan, bertahun-tahun, yang hidupnya bergantung sepenuhnya pada alat bantu pernapasan ... apa yang harus dilakukannya? ... Itulah yang menjadi perdebatan berkepanjangan di sidang-sidang pengadilan AS belum lama berselang? ... Kalau dokter itu Buddhis, bagaimana ia harus bersikap? ... Apakah secara enteng ia akan bilang "jangan membunuh" ... ?

Seorang dokter menghadapi pasien kanker yang tidak dapat sembuh menurut ilmu kedokteran paling canggih ... dan pasien itu menyatakan dengan kesadaran penuh mau mengakhiri hidupnya ... bagaimana dokter Buddhis itu harus bersikap? ... Apakah dengan entengnya dia harus bilang kepada pasiennya "itu melanggar sila"? ...

Itulah yang saya mau katakan, bahwa dalam banyak situasi peraturan sila itu tidak berlaku mutlak ... dan harus didampingi oleh pertimbangan welas asih ... Sebaliknya, malah tidak jarang saya lihat umat Buddhis dengan entengnya melanggar sila 'tidak mencuri' hanya karena melihat "semua orang melakukannya". ... Hasilnya umat Buddha pun terseret pada kehidupan global yang penuh keserakahan, mementingkan diri sendiri ... tanpa menyumbang apa pun pada kesejahteraan umat manusia dan keadilan ... malah terjun di dalamnya.

Dunia nyata ini tidak sama dengan apa yang ada di kepala seorang pakar agama Buddha ...

Salam,
hudoyo

hudoyo

#67
Quote from: Dhyanaputra on 06 June 2008, 08:45:33 AM
Quote from: hudoyo on 06 June 2008, 04:40:00 AM
Di dalam aliran Vajrayana, ada Sumpah Bodhisattva ... dan salah satu Sumpah Bodhisattva Tambaha(Secondary) berbunyi:

"Saya bersedia melanggar Sila (membunuh, mencuri, berzina, berdusta, minum minuman keras) demi Welas Asih."

Silakan ditafsirkan sendiri. ...

Salam,
Hudoyo
Saya pun pernah mendengar seorang pertapa yg tiap hari menombak ikan di sungai, dengan tujuan ikan2 itu bertumimbal lahir di alam yg lebih menyenangkan..

tetapi paradox semacam ini, seperti yg pak pandita tulis itu juga, bisa menjadi tafsir yg sangat berbahaya apabila ditangkap / dipahami secara salah oleh orang awam..

bagaimanapun bodhisatta, pertapa suci, dan yang lain semacamnya memilki kemampuan dan tingkat kebijaksanaan berbeda, yang mungkin masih jauh "beyond" pemikiran kita2 yg masih muter2 di dalam belenggu samsara melulu.. maka harus dipahami melalui pengertian/pemahaman yang tidak mudah.

Bodhisatta Gotama pun dalam cerita jataka pernah membunuh dsb.. namun semua itu tetap membawa suatu konsekuensi..
Pahlawan membunuh ratusan musuh demi negara..
Avalokithesvara menyeberang ke neraka dan memotong tubuhnya sendiri utk menolong ayahnya yg terbakar di neraka avici tingkat 18...
dan lain2 masih banyak lagi..
pembunuhan, pelanggaran sila, dsb.. yg termasuk dalam sumpah bodhisatta ala vajrayana itu harus dilihat cermat konteksnya, apakah pelanggaran itu ditempuh "DEMI" / untuk tujuan welas asih, atau pelanggaran sila itu harus ditempuh / dijalani sebagai rangkaian penggenapan "karma" yg harus dilalui dalam perjalanan mencapai bodhi seperti halnya yg kita lihat dari puluhan cerita jataka tentang Bodhisatta Gotama?

Tentunya tidak sesederhana menafsirkan hal semacam itu :)

Kalau kita berusaha memahami hal semacam ini dengan pengertian yg belum sempurna, Buddha Dharma bisa menjadi ajaran yg saling kontradiksi dan tumpang tindih, bahkan banyak konsesi di sana sini, Pak. In my humble opinion.

_/\_ _/\_ _/\_

Bacalah pemahaman Vajrayana tentang sumpah Bodhisattva ... (lihat arsip Berzine di internet) ...

Di situ jelas tertera bahwa bagi pengikut Vajrayana, Sumpah Bodhisattva bukanlah dimaksudkan untuk orang yang meninggalkan kehidupan duniawi ... melainkan JUSTRU untuk orang awam yang mulai melangkah pada jalan Bodhisattva ... tanpa perlu teori-teori njlimet tentang karma ... yang oleh Sang Buddha sendiri sudah diperingatkan agar tidak dipikir-pikir.

Salam,
hudoyo

hudoyo

Quote from: Hikoza83 on 11 June 2008, 11:47:48 PM
jika presepsi anda ttg nibbana membuat anda bahagia, silahkan saja pak.  :)
mungkin krn saya masih melekat dengan konsep 'aku', jadi saya melihat kata2nya melekat dengan konsep 'tanpa aku'.
masih sibuk dengan dualisme, melekat dan benci...
jika berada di satu sisi, cenderung menolak sisi yg lain.. dan sebaliknya...
samsara oh samsara....
koq masih mau dlm samsara... :hammer:
saya ambil jalan tengah saja, pak hud.  ;D
dengan ini diskusi saya tutup... tok ... tok ... tok ...
[...]
Semoga semua makhluk berbahagia!  _/\_
By : Zen

Kalau orang berada pada tataran pikiran, kitab suci dsb, mau tidak mau ia akan terombang-ambing antara hal-hal yang saling bertentangan ... 'aku' vs 'tanpa aku', 'samsara' vs 'nibbana' ... dsb

Jika persepsi Anda tentang Buddha Dhamma seperti itu membuat Anda nyaman, silakan saja, Rekan Hikoza. :)

Bagi saya, yang penting adalah melihat pikiran itu sendiri ...

Semoga semua makhluk berbahagia ...

Salam,
hudoyo

tesla

menurut saya, kalau mau membahas ini melanggar sila atau tidak, bisa dibuatkan buku setara dg KUHP. bahkan mungkin lebih tebal lagi. :))

misalnya saja,

"membunuh".
apa yg termasuk membunuh? apa yg bukan membunuh? euthanasia membunuh?

"mencuri"
ketika menemukan dompet berisi banyak uang tetapi tanpa identitas, apakah saya harus pura2 tidak melihat? ^-^

dst...
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

hudoyo


Dhyanaputra

[at]  Sodaraku seDharma, Tesla;

Tidak perlu seperti itu, Bro.
Anak kecil pun sebenarnya sudah tahu makna dasar dari "membunuh",

Justru ketika kompleksitas pikiran orang dewasa mulai mencoba melakukan "twist" terhadap makna fundamental "membunuh" menjadi "bunuh demi kasih, bantai untuk kebaikan, langgar sila untuk welas asih, basmi untuk kebenaran, and so on bla bla".. barulah aturan (sila) itu perlu dibuat penjelasan seperti KUHP atau kitab silat Tio Bu Kie yg lebih tebal lagi  ;D

Pasiennya sekarat gak mati2.. biaya udah menumpuk, ICCU mahal...
Ayo dok.. copot alatnya supaya mati saja... Lalu kata dokter, "Eitss.. saya tidak membunuh lho ya..!!! tapi sebaliknya, ini justru welas asih.."


Kebanyakan akan bersikap seperti itu, tapi coba tengok pakai nurani.. rasanya kok ada yg mengganjal? Khususnya pada kata2 yg saya bold hijau itu (?)  :-?

_/\_


[at]  Pak Pandita Hud,


Anda mengambil contoh sumpah bodhisatta ala vajrayana (yg AFAIK merupakan salah satu sekte Buddhism), untuk menekankan parameter "ketidakmutlakan". Namun contoh yg anda ambil tsb apakah sudah cukup REPRESENTATIVE terhadap "the whole buddhism" ?? (wah jangan2 nanti dijawab "tidak ada whole-whole an... buddhism ya buddhism... semua termasuk buddhism.. )  – kalo gitu Sang Hyang Adi Buddha termasuk 'Buddhism' juga lho Pak.. hehehe. Mudah2an engga segitunya ya Pak. Anda pasti nangkep yg saya maksud...  :D

Bagaimana dengan friksi dari sekte lain yg menekankan sikap menghargai kehidupan dan cinta kasih sampai dibela-belain latihan vegetarian, bahkan bhiksunya jalan sampai hati hati lihat ke tanah takut menginjak semut? Bahkan dewi-nya yg bernama sang welas asih rela memotong tubuh dan mencongkel matanya sendiri untuk mempertahankan 'kehidupan' sang ayah? Toh ayahnya raja lalim yang hobby menyiksa rakyat, kalaupun si raja akhirnya mati, bukankah akan ada ratusan ribu rakyat yang bebas dari penderitaan?
Nanti kesannya kita seperti bikin puzzle, memanfaatkan keberagaman dan heterogenitas Buddhism dengan comot konsep sana sini utk membenarkan / nge-twist sesuatu? CMIIW  ::)

Pada issue euthanasia ini IMHO yg perlu disikapi adalah bukan usaha "menyulap" pembunuhan menjadi "cinta kasih", melainkan suatu sikap bijak dalam merespon "tanggung jawab moral". Membunuh tetaplah membunuh, tidak bisa disim-salabim jadi welas asih. Tetapi yg membedakan adalah tanggung jawab moral di belakangnya. Kebanyakan orang berusaha mencari pembenaran, sedangkan sangat sedikit yang berani mengatakan, "Ya, saya membunuh, tapi dengan alasan bla bla bla.." yang tentunya alasan tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan. Bukan membuat konsesi dengan meracik konsep sana sini lalu hasilnya pembunuhan masuk ke kotak, keluar disulap jadi kelinci welas asih.

Orang sakit, koma bertahun-tahun, biaya rumah sakit udah bejibun, kesempatan sembuh juga sudah tidak ada, dokter dari segala dokter sudah angkat tangan.. ya sudah mungkin keberadaan alat2 penyokong kehidupan itu tidak bisa mengubah keadaan, maka serahkan saja pada perjalanan karma si penderita. Alat lalu dilepas. Namun kita tahu bahwa dengan melepas alat tersebut, akan terjadi kematian. Sebab akibat tidak bisa dieliminir begitu saja dengan konsep welas asih. Oleh sebab dilepasnya alat, maka orangnya mati. Barang siapa melepas alat tersebut, akan memicu akibat matinya orang lain. Yah.. orang tersebut telah menghilangkan nyawa orang lain, itu harus kita terima dan akui, hanya saja, mungkin tindakan tersebut dilakukan atas suatu pertimbangan yang tentunya bisa dipertanggungjawabkan.

"Membunuh" akan mendatangkan konsekuensi.. tetapi alasan di balik terjadinya pembunuhan, juga akan mendatangkan konsekuensi. Bagaimana sebaiknya kita mengambil sikap yang paling proporsional demi menyeimbangkan segala macam konsekuensi tersebut. Hal semacam itu butuh pengertian dan pemahaman luar biasa daripada sekedar menelan konsep, "sila tidak mutlak, bunuh? Asal demi welas asih, itu sah sah saja, coba liat sumpah bodhisatta ala vajra..." Kalau seperti itu nanti berpotensi jadi tumpang tindih IMHO, alih-alih mau fleksibel, malah memicu pemahaman keliru, terlahir sebagai sapi adalah penderitaan, maka ayok sapinya dibunuhi saja supaya penderitaannya engga lama2.., lebih parah lagi, terlahir sebagai orang cacat (buta, tuli, buntung), adalah penderitaan, ayok dimatiin saja supaya tidak menderita lama-lama, toh bukankah mengakhiri penderitaan makhluk lain adalah sikap welas asih(??), sampe pada titik tersebut bisa saja apa yg dikatakan bro Tesla jadi kenyataan, kata 'membunuh' punya penjelasan setebal kitab silat Tio Bu kie...  ;)

_/\_

Sabbe Satta Avero Hontu Bhavantu Sukhitatta.
Hatred does not cease by hatred, but only by love; this is the eternal rule.

Suchamda

QuotePada issue euthanasia ini IMHO yg perlu disikapi adalah bukan usaha "menyulap" pembunuhan menjadi "cinta kasih", melainkan suatu sikap bijak dalam merespon "tanggung jawab moral". Membunuh tetaplah membunuh, tidak bisa disim-salabim jadi welas asih. Tetapi yg membedakan adalah tanggung jawab moral di belakangnya. Kebanyakan orang berusaha mencari pembenaran, sedangkan sangat sedikit yang berani mengatakan, "Ya, saya membunuh, tapi dengan alasan bla bla bla.." yang tentunya alasan tersebut harus bisa dipertanggungjawabkan. Bukan membuat konsesi dengan meracik konsep sana sini lalu hasilnya pembunuhan masuk ke kotak, keluar disulap jadi kelinci welas asih.

Hehehe,........ :) menjadi kompleks begini karena analisa pikiran yang mengkotak-kotakkan dan memberi hubungan relational satu dengan yang lain.
Senyatanya, saat pikiran berhenti, yang ada itu hanyalah cinta kasih tanpa perlu alasan macam-macam. Dan semua tindakan yang muncul darinya adalah spontan. Hal2 ini tidak memerlukan dukungan sutta atau vinaya atau apa pun, bahkan perkataan Sang Buddha sendiri.  ;D
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

HokBen

Quote from: Dhyanaputra on 12 June 2008, 08:27:49 PM
Orang sakit, koma bertahun-tahun, biaya rumah sakit udah bejibun, kesempatan sembuh juga sudah tidak ada, dokter dari segala dokter sudah angkat tangan.. ya sudah mungkin keberadaan alat2 penyokong kehidupan itu tidak bisa mengubah keadaan, maka serahkan saja pada perjalanan karma si penderita. Alat lalu dilepas. Namun kita tahu bahwa dengan melepas alat tersebut, akan terjadi kematian. Sebab akibat tidak bisa dieliminir begitu saja dengan konsep welas asih. Oleh sebab dilepasnya alat, maka orangnya mati. Barang siapa melepas alat tersebut, akan memicu akibat matinya orang lain. Yah.. orang tersebut telah menghilangkan nyawa orang lain, itu harus kita terima dan akui, hanya saja, mungkin tindakan tersebut dilakukan atas suatu pertimbangan yang tentunya bisa dipertanggungjawabkan.

_/\_

Sabbe Satta Avero Hontu Bhavantu Sukhitatta.


Gw stuju point ini.
Melepas alat penopang kehidupan, dengan konsekuensi yang diketahui akan menimbulkan kematian pada si pasien, jelas merupakan pembunuhan, jelas ada objek , usaha, niat, dan jika si pasien benar2 meninggal,jelas ada hasil. sebuah karma pembunuhan. akibat yang pasti diterima akan sangat bergantung pada motivasi, pikiran, ,latar belakang tindakan itu dilakukan, dan purifikasi yang dilakukan di kemudian hari.

Dhyanaputra

Quote from: Suchamda on 12 June 2008, 08:37:25 PM
Senyatanya, saat pikiran berhenti, yang ada itu hanyalah cinta kasih tanpa perlu alasan macam-macam. Dan semua tindakan yang muncul darinya adalah spontan. Hal2 ini tidak memerlukan dukungan sutta atau vinaya atau apa pun, bahkan perkataan Sang Buddha sendiri.  ;D
Rekan Suchamda,

nyatanya juga tidak segampang itu kan?
yg anda tulis itu juga tidak lepas dari "konsep", dan "ide", yg mungkin kita sendiri masih bingung muter2 cari aplikasinya?

alih2 mau menerapkan konsep pikiran yg berhenti, yg muncul malah naluri, lalu manusia balik ke bentuk purba, bukan nurani, tetapi naluri yg bekerja seperti pada makhluk2 dengan tingkat "kesadaran" yg lebih rendah dari manusia such as hewan(?) yg engga pake ber"pikir" ?

hati2 lho..
saking dalam dan tingginya Buddha Dharma jangan sampai bikin kita malah tambah 'keblinger'..  ;D

_/\_ _/\_ _/\_
Hatred does not cease by hatred, but only by love; this is the eternal rule.