Sharing & Tanya Jawab Tradisi Membakar Kertas Nilai Spiritual yang Lenyap

Started by purnama, 30 March 2011, 02:08:24 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Sunkmanitu Tanka Ob'waci

HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

ryu

Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Sunkmanitu Tanka Ob'waci

HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

dhammadinna

Quote from: morpheus on 01 April 2011, 03:41:07 PM
kalo gitu siapkah buddhis juga membuang tradisi membakar hio / dupa?

IMHO intinya sih meninggalkan pandangan salah ya... kebetulan pandangan salah ini menyatu dalam tradisi, maka konteksnya menjadi "meninggalkan tradisi".

Tentang siapkah buddhis meninggalkan tradisi membakar dupa... IMHO, para buddhis perlu intropeksi diri masing-masing, apakah memang ada pandangan salah di dalamnya? Misalnya, membakar dupa untuk memanggil dewa mungkin? ;D

Kalo saya sendiri sih berpikir bahwa membakar dupa di vihara atau di rumah adalah sebuah rutinitas atau mungkin sebuah kebiasaan saja, jadi selama ini sih oke-oke aja. Bakar dupa, oke; gak bakar juga gak masalah. Tapi kalo benar bahwa dupa bisa menyebabkan gangguan kesehatan, yah dihindari.

morpheus

Quote from: Mayvise on 01 April 2011, 04:21:42 PM
IMHO intinya sih meninggalkan pandangan salah ya... kebetulan pandangan salah ini menyatu dalam tradisi, maka konteksnya menjadi "meninggalkan tradisi".

Tentang siapkah buddhis meninggalkan tradisi membakar dupa... IMHO, para buddhis perlu intropeksi diri masing-masing, apakah memang ada pandangan salah di dalamnya? Misalnya, membakar dupa untuk memanggil dewa mungkin? ;D

Kalo saya sendiri sih berpikir bahwa membakar dupa di vihara atau di rumah adalah sebuah rutinitas atau mungkin sebuah kebiasaan saja, jadi selama ini sih oke-oke aja. Bakar dupa, oke; gak bakar juga gak masalah. Tapi kalo benar bahwa dupa bisa menyebabkan gangguan kesehatan, yah dihindari.
yg saya post di atas dalam konteks yg anda sebut "polusi dan menghabiskan uang", bukan pandangan salah.
kalo siap, bisa disarankan ke pemuka vihara masing2 dan yakinkan umat2 yg di vihara.
saya pikir sih gak semudah itu mau mengubah tradisi... ada aspek selain logika...
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Mokau Kaucu

Keluarga saya juga masih bakar bakar uang kimcoa mengikuti tradisi. walaupun saya tidak setuju, tetapi saya lihat kalau sdh bakar bakar spt itu kelihatan puas dan bahagia, ya sdh lah, buat apa merusak kebahagiaan orang orang yg kita kasihi.

Yg tidak disetujui kalau dikatakan  ada nilai  spiritual dari bakar uang kertas, bakar api homa, apalagi bakar rolex, paling juga yg ada nilai komersil. :P

~Life is suffering, why should we make it more?~

Kelana

Setidaknya ada rekomendasi mengenai penggunaan dupa/hio untuk mengurangi dampak resikonya :

QuoteThe public health ministry recommended that temples avoid lighting the incense in poorly-ventilated areas, and use short joss sticks that burn down quickly while promptly disposing of the ash.

It recommended that temple staff try to avoid prolonged exposure to the smoke, washing their hands and faces after handling joss sticks, and having annual medical check-ups.

Kalau membakar tradisi kertas belum ada rekomendasi untuk mengurangi dampak negatifnya. Mungkin ada yang berminat merekomendasikan cara mengurangi dampak dari tradisi bakar kertas???
GKBU

_/\_ suvatthi hotu


- finire -

GandalfTheElder

The hazards of ghost money

Now that most people in Taiwan understand the importance of not smoking in public places, it is time for the ROC government to move against another threat to public health and comfort: the age-old custom of burning joss paper in temples, on sidewalks and outside homes.

Joss paper, sometimes called "ghost money" or "spirit money," is paper burned during religious rites to honor ancestors and venerate deities. Throughout the country, pious Taiwanese can be seen burning sheets of joss paper at the climax of religious rituals.

Estimates of the amount of joss paper burned each year range from 90,000 tons to 220,000 tons. Whatever the true figure, it is a major cause of air pollution in urban areas, especially during the seventh month of the lunar calendar—so-called "ghost month"—when vast offerings of food and joss paper are made to keep troublesome spirits at bay.
Many business owners also burn ghost money outside their premises on the first and 15th day of each lunar month. Their smoldering braziers are a nuisance for pedestrians. Oftentimes they are placed in the road, presenting a hazard to cyclists and motorcyclists.

Foreign visitors and residents comment frequently and unfavorably on the consequences of burning ghost money. In 2008, The New York Times noted: "During major festivals ... smoke from burning paper chokes Taiwan streets."
While many Taiwanese people say they do not object to the smell of burning joss paper, there is no doubt that the smoke and particulates generated by the custom are unhealthy.

According to the Cabinet-level Environmental Protection Administration, the burning of ghost money releases a host of hazardous pollutants, including oxysulfide and nitrogen oxide. At least 21 different polycyclic aromatic hydrocarbons have been detected in emissions from joss paper furnaces.

A 2005 study published by the Taipei-based Consumers' Foundation, a major nongovernmental organization, found that burning ghost money releases dangerous quantities of benzene and toluene. In addition to being a carcinogen, benzene irritates the eyes, skin and respiratory system. More recently, the foundation discovered worrying amounts of lead in several brands of joss paper.

Conventional environmental measures, such as using recycled paper and applying anti-pollution technologies to burners, appear to be useless. The government's goal, therefore, should be nothing other than a significant reduction in the total amount of spirit money burned.

But many attempts to ameliorate the effects of burning ghost money have failed to make an impact.
Most of Taiwan's local governments offer centralized incineration services that aim to reduce roadside burning. These services have been promoted for several years, but the amount of joss paper handled this way has yet to reach 5 percent of the total burned.

Some have suggested that joss paper be taxed, but this is not a good option. If the tax were set too high, the market would likely be flooded by contraband ghost money made of the cheapest, least eco-friendly materials.
Furthermore, demand for votive currency is probably price inelastic—that is to say, a sharp increase in price may not significantly reduce the amount being burned. While joss paper is not addictive in the way cigarettes are, the people who burn it consider it a necessity.

Government agencies should lead by example. There should be no burning of joss paper around public buildings or when the ground is broken on a new school or hospital. In this respect a start has been made: During ghost month this year, the Kaohsiung County Environmental Protection Bureau donated money to charity rather than burn the spiritual kind.

No government can afford to be seen attacking religious freedom. However, religious leaders should be urged to remind followers of their environmental and public health responsibilities. As with the campaign against smoking, this is an issue on which politicians of all stripes can cooperate.

Some notable figures have already spoken out against the practice. Master Cheng Yen, founder of the Buddhist Compassion Relief Tzu Chi Foundation, said that ghost money is just paper and that developing sincerity and virtue are far more important. And rather than burn spirit money, rituals at Dharma Drum Mountain now feature large screens showing stock footage of joss paper being burnt. Taipei's Xingtian and Longshan temples also discourage the burning of ghost money.

Two decades ago, smoking in public places was tolerated. It may be two decades before the roadside burning of joss paper becomes a thing of the past, but as with smoking, the goal justifies patience and determination.

—Steven Crook is a freelance writer based in Tainan. These views are the author's and not necessarily those of "Taiwan Today." Copyright © 2010 by Steven Crook

http://taiwantoday.tw/ct.asp?xItem=127072&CtNode=426

Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

GandalfTheElder

Ini ada wacana dari pembicara acara di atas (Ardian Cang) ttg bakar" kertas. Itung" sebagai pembuka / pengenalan bagaimana sebenarnya perspektif pembicaranya itu:

===============================================================================

Hal Bakar Membakar Kertas

Dalam hal bakar membakar kertas, bangsa Tionghoa adalah bangsa yang mengutarakan banyak pengharapan dengan membakar kertas.

Pertanyaan yang harus dipikirkan kenapa mereka membakar kertas ?
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa bangsa Tionghoa adalah penemu kertas dan yang membakukan cara pembuatan kertas secara standar adalah Cai Lun. Cai Lun menyempurnakan pembuatan kertas yang sudah ada sejak akhir dinasti Qin dan awal dinasti Han.

Dalam tradisi banyak peradaban purba, sering digunakan benda-benda yang memiliki keterkaitan dengan keadaan kehidupan seperti saat manusia hidup, contohnya adalah peradaban Mesir. Dan dalam banyak kebudayaan di dunia ini, pandangan tentang alam kematian beragam, seperti misalnya dunia Hades, reinkarnasi, berpindah alam, surga neraka dan sebagainya. Dunia Hades atau dunia bawah tanah sebenarnya juga dikenal dalam Judaism kuno sebelum mereka mendapat pertemuan budaya dengan Yunani. Walau Yunani mengenal dunia Hades dalam legenda dewa dewi mereka, tapi para filsufnya berdebat dan ada yang percaya dengan tumimbal lahir.

Tradisi Tiongkok purba juga tidak luput akan hal seperti itu, bahkan tradisi Ren Xun atau penguburan manusia dilaksanakan, hingga pada masa CunQiu dan Zhanguo ditentang oleh para filsuf terutama Mo Zi, Kong Zi serta Li Shi dan Han FeiZi. Salah satu hasil penolakan itu adalah Bing Ma Yong atau terracota yang dibuat oleh Qin Shihuang atas saran Li Shi. Qin Xiao Gong, adipati Qin menolak keras pengorbanan manusia dan kemudian pada masa dinasti Han terutama pada masa pemerintahan Han Wudi, beliau memberikan maklumat pelarangan dan semua itu berkat masukan dari Dong Zhongshu.

Jauh sebelum agama Buddha masuk, kepercayaan mereka terbagi menjadi beberapa tapi secara umum mereka tidak membicarakan tentang reinkarnasi.
Umumnya adalah berpindah alam, roh dan jiwa terpisah, berkumpul di gunung Taishan, berada di langit dan mengawasi serta melindungi keturunan mereka. Bahkan dalam kitab Li Ji sempat membahas tentang roh yang tersesat atau roh orang meninggal yang belum waktunya, roh yang meninggal jauh dari keluarga, roh orang yang meninggal tapi tidak mendapatkan penghormatan keluarganya. Kemudian dilakukanlah ritual Fu Li atau Pengembalian Harkat dan yang sekarang dikenal dengan isitilah chao du.

Dan dalam budaya Tionghoa ada 3 hal yang terpenting dalam kehidupan manusia yaitu kelahiran, pernikahan dan juga kematian. Semuanya memegang peranan penting dan juga memiliki tradisi yang amat banyak demi 3 hal itu.

Penemuan kertas membuat suatu dobrakan baru dalam budaya Tionghoa tentunya selain hal itu adalah kemajuan lain disegala bidang yang dikarenakan dengan penemuan kertas itu.

Seiring dengan konsep Mo Zi tentang dewa dewi serta kematian dan para setan, maka kerajaan secara tidak langsung maupun langsung menggunakan konsep "alam" dewata dan alam setan untuk menjaga moralitas para pejabatnya, semacam kontrol sosial.
Mo Zi beranggapan bahwa ritual dan segala konsep dewa dan setan merupakan suatu kontrol sosial masyrakat dan para pejabat termasuk raja itu sendiri. Jauh sebelum kertas ditemukan, para raja dianjurkan oleh Kong Zi untuk melakukan upacara fengshan, dimana salah satu yang melakukannya adalah Qin Sihuang. Tujuannya juga adalah kontrol dan pertanggungjawaban kaisar terhadap para leluhur terutama Guishen yang bermukim di gunung Taishan.

Dengan ditemukannya kertas, maka terjadi perubahan besar terutama untuk kontrol sosial dan dalam banyak ritual lainnya. Pada masa dinasti Zhou sudah ada penghormatan kepada Cheng Huang atau dewa kota tapi dimasa dinasti utara selatan, penghormatan itu lebih meluas lagi. Hingga pada masa dinasti Qing juga para pejabat kota harus menghormat Cheng Huang.
Sejak dinasti Tang, Cheng Huang dipercaya adalah dewa kota dan merupakan dewa penguasa kematian, setiap orang yang meninggal harus menghadap kepada Cheng Huang. Para pejabat kota wajib memberikan 2 buah laporan, yang satu diberikan kepada pemerintah pusat dan satunya dibakar di kuil Cheng Huang sebagai pertanggungjawaban pejabat kota kepada dewa Pelindung Kota yang merupakan juga dewa kematian.

Bakar-bakaran kertas sebagai wujud laporan akhirnya berkembang dibanyak ritual, misalnya pada saat orang guiyi atau tisarana baik Buddhism maupun Taoism, biasanya akan dibakar shu wen atau surat doa itu. Jadi mereka percaya dengan membakar itu artinya mengirimkan surat tersebut kepada mahluk-mahluk adi kodrati.
Buddhism Mahayana Tiongkok dan Taoism pasti menggunakan cara membakar kertas sebagai simbol mengirimkan doa mereka.
Hal yang mirip tapi berbeda adalah Tembok Ratapan Yerusalem, dimana banyak orang Yahudi mengirimkan suratnya kepada Tuhan mereka dengan menyelipkan kertas doa atau permohonan di celah-celah tembok mereka.
Doa permohonan juga digunakan seperti membakar kertas Wang Sheng untuk yang meninggal atau juga Shou Sheng kertas untuk yang masih hidup.

Penggunaan kertas sembahyang atau kertas gincoa dan kimcoa yang umum digunakan oleh Taoist maupun Buddhist Mahayana Tiongkok dan Ruist sering disalah artikan sebagai uang dewa dan uang orang mati.
Kosmologi Yin Yang dan 5 unsur sebenarnya ada dalam kertas tersebut.
Yin atau gin yang berarti perak adalah sifat yin dan jin atau kim yang berarti emas adalah sifat Yang. Karena orang meninggal itu adalah unsur Yin maka digunakanlah perak, dan dewata atau orang suci adalah unsur Yang maka digunakanlah emas.
Jika kita perhatikan posisi penempatan perak dan emasnya selalu harus ditengah yang sebenarnya memiliki makna Tengah adalah Tanah dan Tanah melahirkan Logam atau Emas Perak.
Itu simbol pengharapan bahwa yang meninggal ( cat: jika menggunakan perak ) akan mendapatkan berkah dan kebajikan serta keluarganya akan dilimpahi pula oleh berkah dan kebajikan. Dan yang ditinggalkan tidak akan melupakan jasa kebaikan bumi yang menerima jasad yang meninggal dan semoga almarhum bisa mendapatkan tempat yang baik pula.

Emas merupakan logam mulia, semulia para dewata dan mahluk suci lainnya. Dengan membakar kertas emas ini, berarti kita harus memahami bahwa tanah yang menjadi tempat kita berpijak harus dijaga baik sehingga melahirkan emas dengan demikian para dewata akan memberikan berkah kepada mereka yang menjaga baik alam ini.

Kertas Shoujin atau Tiangong Jin sebenarnya adalah kertas pengharapan semoga manusia diberikan kebahagiaan, kejayaan dan kesehatan.
Dimana Fu Lu Shou adalah 3 bintang yang selalu menyinari manusia dan dengan posisi di tengah atau center yang melambangkan bumi serta emasnya, diharapkan manusia bisa berlaku bijak dan bajik.

Secara umum, hanya 2 jenis kertas yang dikenal yaitu emas dan perak tapi variasi yang ada itu hanyalah pernik-perniknya saja. Akhirnya intinya adalah keselarasan 5 unsur dan Yin Yang saja.

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

adi lim

Quote from: morpheus on 01 April 2011, 03:41:07 PM
kalo gitu siapkah buddhis juga membuang tradisi membakar hio / dupa?

adakah sutta yang mengatakan tradisi membakar hio/dupa bagian dari Buddha Dhamma ? ???
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

GandalfTheElder

Nah dari wacana-wacana di atas sebenranya sih ada poin" penting yg dpt diambil:

1. Bakar-bakar Kertas seperti itu menimbulkan pencemaran
2. Umat Buddhis Mahayana Tiongkok mengadaptasi kebudayaan Tionghoa yaitu bakar-bakaran kertas lewat kertas Wangsheng Zhou
3. Bakar-bakaran kertas, menurut Ardian Cang, memiliki makna pengharapan bagi yang meninggal, selain juga yang ditinggalkan agar terus mengingat jasa-jasa dan budi baik almarhum. Makna lain adalah seperti agar menjaga lingkungan, selalu ingat berbuat bajik.

Nah bagaimanakah Master Chengyen, Master Shengyen dan Master Yinshun menanggapi itu semua?

1. Seperti anjuran Master Chengyen, bakar-bakaran kertas selain takhayul yang tidak ada dalam agama Buddha sebenarnya, juga merusak lingkungan, maka bagi para umat Tzu Chi beliau himbau untuk tidak lagi bakar" kertas lagi. Tzu Chi mmg getol sekali dalam program Green dan Eco-Friendly-nya. Bila memang membakar kertas kimcoa memiliki makna agar terus menjaga alam dan lingkungan, maka harusnya disadari, bahwa bakar" kertas kimcoa malah menambah pencemaran, dan sebaiknya ditinggalkan.

2. Master Yinshun berkata bahwa memang pada zaman dahulu, umat Buddhis Mahayana Tiongkok mengadaptasi kultur lokal seperti bakar-bakaran kertas. Namun karena sekarang dianggap takhayul dan bahwa sebenarnya tradisi itu tidak ada dalam agama Buddha, maka master Yinshun menghimbau untuk tidak bakar-bakar kimcoa atau kertas uang lagi. Master Shengyen dari Dharma Drum juga mengatakan bahwa praktik membakar sutra atau mantra seperti Wang Shengzhou sebenarnya merupakan praktik yang salah kaprah, krn sutra bukan untuk dibakar. Beliau juga menghimbau untuk meninggalkan tradisi bakar-bakar kertas bagi umat Buddhis.

3. Master Yinshun mengakui dan menyadari makna bakar" kertas sembahyang, karena beliau sendiri berkata bahwa bakar-bakar kertas setidaknya juga mengandung suatu nilai moral yang baik juga, yaitu mengingat jasa-jasa dan budi baik almarhum. Namun beliau sendiri menghimbau karena praktik seperti tidak ada dalam Buddha Dharma dan menurut perspektif Buddhis yg sebenarnya adalah takhayul, maka sepantasnyalah umat Buddhis jgn mempraktekkannya lg. Tapi kalau mau sekedar mempertahankan tradisi, ya bolehlah asal sedikit-sedikit saja dan hanya di rumah, bukan di vihara, demikian jelas Master Yinshun.

Walaupun tidak bakar-bakar kertas toh, umat Buddhis juga dapat mengingat jasa almarhum lewat Pattidana dan Ullambana Sutra, menjaga lingkungan seperti gerakan Tzu Chi selalu ingat berbuat bajik dengan mengingat ajaran-ajaran Sang Buddha. Semuanya dapat dilakukan tanpa bakar-bakar kertas yang menambah polusi dan beberapa menghabiskan uang secara sia-sia (mis: rumah kertas dll).

_/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

ndrosubiyanto

This too shall pass.........

fabian c

Bakar-bakaran hio jangan dilarang dong... Saya sekarang lagi senang-senangnya bakar kayu gaharu, sebabnya harum sih.... :) Pantesan mahal banget, bisa puluhan juta per kg....
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Indra

ini dilematis, walaupun pejabat vihara menyadari bahwa upacara bakar membakar ini tidak sesuai dengan buddhisme, tetapi mrk sering kali bahkan dengan sengaja menyediakan sarana untuk upacara ini, karena hal ini jelas dapat meningkatkan pendapatan vihara. jika umat diberikan penjelasan yg benar sehubungan dengan tradisi ini, dikhawatirkan vihara akan kehilangan salah satu sumber pendapatan.

jadi rasanya demi bisnis, biarlah umat tidak memahami hal ini bahkan kalo perlu diberikan indoktrinasi bahwa tradisi ini memang menjadi bagian dari buddhisme, semacam pembodohan umat demi untuk meningkatkan income

adi lim

Quote from: Indra on 01 April 2011, 07:38:14 PM
ini dilematis, walaupun pejabat vihara menyadari bahwa upacara bakar membakar ini tidak sesuai dengan buddhisme, tetapi mrk sering kali bahkan dengan sengaja menyediakan sarana untuk upacara ini, karena hal ini jelas dapat meningkatkan pendapatan vihara. jika umat diberikan penjelasan yg benar sehubungan dengan tradisi ini, dikhawatirkan vihara akan kehilangan salah satu sumber pendapatan.

jadi rasanya demi bisnis, biarlah umat tidak memahami hal ini bahkan kalo perlu diberikan indoktrinasi bahwa tradisi ini memang menjadi bagian dari buddhisme, semacam pembodohan umat demi untuk meningkatkan income

^^
kebanyakan yang jual hio/dupa itu berupa 'kelenteng'
mungkin juga ada kelenteng nyamar vihara atau vihara nyamar kelenteng  =)) =))
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.