"Siapa pun Dapat Ke surga" Cukup bersikap Baik saja

Started by Jayadharo Anton, 18 March 2011, 09:38:06 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 24 March 2011, 09:42:45 AM
Tanpa dibekali, tanpa ditakut-takuti, tanpa diiming-imingi, tanpa disuruhpun, ketika si buta melihat, maka otomatis akan menanggalkan kain kotor dan mengenakan kain bersih secara sesuai.
Mungkin juga shock luar biasa karena tadinya santai berpikir lagi pakai 'hijau', ternyata begitu melihat, menyadari sedang pakai 'merah' dan banteng sudah berjarak 5 meter. ;D

bisa saja di bekali yang salah maka dia terus menggenggam hal yang salah seperti seorang yang menganggap kotoran sebagai makanan. kalau tanpa dibekali apa2 dia bisa menuju yang salah juga yang benar tergantung juga mana pilihannya khan.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: ryu on 24 March 2011, 10:05:38 AM
bisa saja di bekali yang salah maka dia terus menggenggam hal yang salah seperti seorang yang menganggap kotoran sebagai makanan. kalau tanpa dibekali apa2 dia bisa menuju yang salah juga yang benar tergantung juga mana pilihannya khan.
Kalau mengenai pengertian, ini bukan masalah 'persoalan' dan 'hasil' saja. Kalau dibilang 'bisa saja' hasilnya benar, yah memang bisa. Seperti kita kasih soal ke anak Playgroup: 14 x 5 = ....; maka bisa saja sembarangan 'tembak' jawab 70. Namun dalam hal ini, anak tersebut tidak punya pengertian, dan doktrin '14 x 5 = 70' itu tidak akan bermanfaat apapun karena ia memang tidak paham, sama saja seperti anak lain yang juga tidak paham tapi 'tembakannya' meleset.

Bedanya yang punya 'bekal' yang benar, maka proses belajarnya bisa lebih cepat karena dapat bimbingan ke arah benar. Sedangkan yang 'bekal'-nya keliru, tentu lebih susah memahami.

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 24 March 2011, 10:16:59 AM
Kalau mengenai pengertian, ini bukan masalah 'persoalan' dan 'hasil' saja. Kalau dibilang 'bisa saja' hasilnya benar, yah memang bisa. Seperti kita kasih soal ke anak Playgroup: 14 x 5 = ....; maka bisa saja sembarangan 'tembak' jawab 70. Namun dalam hal ini, anak tersebut tidak punya pengertian, dan doktrin '14 x 5 = 70' itu tidak akan bermanfaat apapun karena ia memang tidak paham, sama saja seperti anak lain yang juga tidak paham tapi 'tembakannya' meleset.

Bedanya yang punya 'bekal' yang benar, maka proses belajarnya bisa lebih cepat karena dapat bimbingan ke arah benar. Sedangkan yang 'bekal'-nya keliru, tentu lebih susah memahami.

ketika kecil memang diajarkan doktrin dulu, menghafal perkalian dari 1 s/d 10, keitka proses menghafal benar, dia bisa menjawab dengan benar walau misalnya belum mengerti, seiring waktu, proses pemahaman, proses meneliti, maka akan didapat pengertian benar, sama seperti perumpamaan 5 0rang buta dan gajah, masing2 menggenggam apa yang dipegangnya, padahal ada kebenaran yang sebenarnya apabila 5 orang buta itu berkumpul, menggabungkan semua informasi, meneliti, sehingga didapat pemahaman yang benar.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: ryu on 24 March 2011, 10:27:24 AM
ketika kecil memang diajarkan doktrin dulu, menghafal perkalian dari 1 s/d 10, keitka proses menghafal benar, dia bisa menjawab dengan benar walau misalnya belum mengerti, seiring waktu, proses pemahaman, proses meneliti, maka akan didapat pengertian benar, sama seperti perumpamaan 5 0rang buta dan gajah, masing2 menggenggam apa yang dipegangnya, padahal ada kebenaran yang sebenarnya apabila 5 orang buta itu berkumpul, menggabungkan semua informasi, meneliti, sehingga didapat pemahaman yang benar.
Memang saya bilang tidak ada yang salah dengan mengajarkan doktrin. Hanya saja, mengerti doktrin tidak bisa disamakan dengan mengerti kebenaran itu sendiri. Juga, orang belajar doktrin ataupun tidak, sama saja, berpotensi menjadi orang baik dan jahat. Mempelajari doktrin TIDAK menjamin seseorang lebih baik, tapi menembus kebenaran, PASTI orang menjadi lebih baik secara otomatis.


fabian c

Quote from: morpheus on 23 March 2011, 11:01:16 PM
kalo menurut saya, kepercayaan itu seperti orang buta yg:
1. mendengar cerita ttg kain tidak kotor lalu percaya bahwa kain itu bersih.
2. mendengar cerita ttg kain kotor lalu percaya bahwa kain itu kotor.
3. mendengar cerita ttg kain bersih lalu percaya bahwa kain itu bersih
4. mendengar cerita ttg kain tidak bersih lalu percaya bahwa kain itu kotor.

keempat2nya bukanlah pandangan benar.
kain kotor atau kain bersih yg ada dibenak si buta itu hanyalah sebuah ide, sebuah konsep, sebuah doktrin.
apakah kain itu teksturnya kasar, lembut, ada bulu2, sehalus sutra, berwarna merah, tebal ataukah tipis, si buta tidak tahu, hanya percaya.
apakah kain itu benar2 ada, ataukah tidak, si buta tidak tahu, hanya percaya.

walaupun kepercayaannya itu ternyata bersesuaian dengan realita, tetaplah bukan pandangan benar.
realita jeruk itu asam dan seseorang itu percaya jeruk itu asam. tetaplah apa yg dipercayainya itu hanyalah sebuah ide, bukan realita, bukan pandangan benar. si believer tetaplah tidak tahu rasa jeruk yg sebenarnya. pandangan benar itu dimiliki orang yg telah merasakan jeruk. tidak ada lagi keragu2an bahwa rasa jeruk itu seperti "itu". pengetahuan rasa jeruk itu seperti "itu" adalah pandangan benar.

demikian juga dengan definisi di DN 22, hampir semua buddhis tahu dan memegang doktrin adanya dukkha dan sebab dukkha. tapi apakah semuanya mencurahkan fokusnya pada dukkha dan sebab dukkha serta mengabaikan duniawi yg tidak memuaskan ini? tidak, karena itu hanya kepercayaan, bukan pandangan benar. mereka tidak memiliki pengetahuan benar bahwa dukkha dan sebab dukkha adalah "itu".

demikian menurut saya untuk memperjelas. kalo ada ketidaksetujuan atau yg mau meneruskan diskusinya, saya cukup sampai di sini saja, kecuali ada bahan baru.


Saya rasa jelas perbedaan pandangan kita bro, menurut saya pandangan benar bisa di dapat dengan belajar (dari buku atau dari guru) Atau bisa juga didapat dari mengalami sendiri.

Pandangan benar yang didapat dengan belajar tidak permanen sifatnya bisa lenyap kembali.
Tapi pandangan benar yang didapat dengan penembusan Bhavana sifatnya permanen dan tak akan hilang kembali.

Perumpamaannya demikian:

Hampir seluruh umat manusia berpandangan salah mengenai bumi bulat (menurut argumen bro Morph). Karena umat manusia yang pernah ke luar bumi dan secara langsung membuktikan dengan melihat bumi dari luar angkasa atau umat manusia yang pernah mengelilingi bumi, hanya sepersekian milyar saja.

Sedangkan saya berpendapat umat manusia tidak harus keluar angkasa untuk memiliki "pandangan benar" bahwa bumi bulat. Mereka bisa belajar dari orang lain.

Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

K.K.

 [at]  fabian

Kalau mengenai bumi itu bulat, bukan mesti telak2 lihat dari luar angkasa untuk mengetahuinya. Orang jaman dulu bahkan bisa mengukur diameter bumi dari perubahan panjang bayang dari orang yang berjalan terhadap posisi matahari.

Yang dimaksud pengetahuan doktrin itu seperti tidak mengerti apa-apa, tidak tahu mengapa dari perhitungan itu bisa dapat diameter, tapi ikut saja menganut 'bumi bulat'. Ini berarti belum memiliki pandangan benar.

fabian c

#186
Quote from: Kainyn_Kutho on 24 March 2011, 01:41:40 PM
[at]  fabian

Kalau mengenai bumi itu bulat, bukan mesti telak2 lihat dari luar angkasa untuk mengetahuinya. Orang jaman dulu bahkan bisa mengukur diameter bumi dari perubahan panjang bayang dari orang yang berjalan terhadap posisi matahari.

Yang dimaksud pengetahuan doktrin itu seperti tidak mengerti apa-apa, tidak tahu mengapa dari perhitungan itu bisa dapat diameter, tapi ikut saja menganut 'bumi bulat'. Ini berarti belum memiliki pandangan benar.

Persis demikianlah adanya, kita tak perlu harus menghitung sendiri diameter bumi, tak perlu keluar angkasa untuk memiliki pandangan benar bahwa bumi bulat.

Kita percaya bahwa bumi bulat, dan demikianlah kenyataannya, sesuai pandangan kita dengan kenyataan dan pembuktian.
maka, "Kita memiliki 'pandangan benar' mengenai dimensi bumi, yaitu bumi: bulat".
Pandangan kita dianggap "pandangan salah" bila pembuktian membuktikan bahwa bumi itu berbentuk kotak misalnya.

Mettacittena,
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 24 March 2011, 01:41:40 PM
[at]  fabian

Kalau mengenai bumi itu bulat, bukan mesti telak2 lihat dari luar angkasa untuk mengetahuinya. Orang jaman dulu bahkan bisa mengukur diameter bumi dari perubahan panjang bayang dari orang yang berjalan terhadap posisi matahari.

Yang dimaksud pengetahuan doktrin itu seperti tidak mengerti apa-apa, tidak tahu mengapa dari perhitungan itu bisa dapat diameter, tapi ikut saja menganut 'bumi bulat'. Ini berarti belum memiliki pandangan benar.
jadi kalau menurut pengertian om kutu, tetap saja mau di ukur dari perubahan panjang bayang dari orang yang berjalan terhadap posisi matahari, selama si orang itu belum melihat dengan mata kepala sendiri dia belum berpandangan benar. sama seperti orang buta, dia memegang gajah dari atas sampai bawah, dia jabarkan gimanapun tetap belum berpandangan benar selama dia belum melihat langsung.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

morpheus

om fabian, saya merasa tidak ada yg baru pada post2 yg terakhir dan yg terakhir2 itu sebenarnya udah saya jawab di beberapa post terakhir.

saya simpulkan:
bagi saya pandangan itu arahnya hanya ke dalam seperti perumpamaan rasa jeruk sedangkan anda berpendapat pandangan itu arahnya bisa keluar seperti perumpamaan bumi bulat.
kita berbeda pandangan mengenai hal ini.

* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

K.K.

Quote from: fabian c on 24 March 2011, 01:54:38 PM
Persis demikianlah adanya, kita tak perlu harus menghitung sendiri diameter bumi, tak perlu keluar angkasa untuk memiliki pandangan benar bahwa bumi bulat.

Kita percaya bahwa bumi bulat, dan demikianlah kenyataannya, sesuai pandangan kita dengan kenyataan dan pembuktian.
maka, "Kita memiliki 'pandangan benar' mengenai dimensi bumi, yaitu bumi: bulat".
Pandangan kita dianggap "pandangan salah" bila pembuktian membuktikan bahwa bumi itu berbentuk kotak misalnya.

Mettacittena,
Memang tidak perlu, namun kita perlu mengerti semua penjelasan itu untuk benar-benar memahami dunia itu bulat. Sama juga seperti perkalian tadi, kalau orang menghafal "5x5=25", maka sebetulnya ia belum mengerti. Ketika dia tahu 5x5 maksudnya adalah 5-nya ada 5 atau penjumlahan 5-nya ada 5x (=5+5+5+5+5), maka baru dikatakan dia mengerti.

Yang saya (dan mungkin juga bro morph) maksudkan adalah anak yang hafal mati perkalian tapi tidak bisa menghitung, tidak bisa dikatakan mengerti, walaupun dalam ujian tentu nilainya sempurna.



Quote from: ryu on 24 March 2011, 01:58:12 PM
jadi kalau menurut pengertian om kutu, tetap saja mau di ukur dari perubahan panjang bayang dari orang yang berjalan terhadap posisi matahari, selama si orang itu belum melihat dengan mata kepala sendiri dia belum berpandangan benar. sama seperti orang buta, dia memegang gajah dari atas sampai bawah, dia jabarkan gimanapun tetap belum berpandangan benar selama dia belum melihat langsung.
Bukan begitu. Justru kalau orang mengerti hitungan itu, mengerti keadaannya demikian, maka bisa menyimpulkan dan mengetahui bumi itu bulat, walaupun ia tidak melihatnya. Berbeda dengan tidak mengerti apa-apa, lalu baca di buku bahwa bumi itu bulat, lalu percaya begitu saja. Walaupun memang yang dia pegang itu adalah benar, namun saya tidak mengatakan ia mengetahui kebenaran.

Kalau dari perumpamaan orang buta (Udana-Jaccandha), sebetulnya kurang relevan menggambarkan maksud saya.
Kisah orang-orang buta itu adalah mereka hanya memegang sebagian, lalu disebut gajah. Mereka tidak memegang secara keseluruhannya. Karena mereka semua memegang bagian yang berbeda (kaki, telinga, belalai) dan merujuk pada keseluruhan yang sama (gajah), maka tentu tidak nyambung.

ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 24 March 2011, 02:13:56 PM
Memang tidak perlu, namun kita perlu mengerti semua penjelasan itu untuk benar-benar memahami dunia itu bulat. Sama juga seperti perkalian tadi, kalau orang menghafal "5x5=25", maka sebetulnya ia belum mengerti. Ketika dia tahu 5x5 maksudnya adalah 5-nya ada 5 atau penjumlahan 5-nya ada 5x (=5+5+5+5+5), maka baru dikatakan dia mengerti.

Yang saya (dan mungkin juga bro morph) maksudkan adalah anak yang hafal mati perkalian tapi tidak bisa menghitung, tidak bisa dikatakan mengerti, walaupun dalam ujian tentu nilainya sempurna.


Bukan begitu. Justru kalau orang mengerti hitungan itu, mengerti keadaannya demikian, maka bisa menyimpulkan dan mengetahui bumi itu bulat, walaupun ia tidak melihatnya. Berbeda dengan tidak mengerti apa-apa, lalu baca di buku bahwa bumi itu bulat, lalu percaya begitu saja. Walaupun memang yang dia pegang itu adalah benar, namun saya tidak mengatakan ia mengetahui kebenaran.

Kalau dari perumpamaan orang buta (Udana-Jaccandha), sebetulnya kurang relevan menggambarkan maksud saya.
Kisah orang-orang buta itu adalah mereka hanya memegang sebagian, lalu disebut gajah. Mereka tidak memegang secara keseluruhannya. Karena mereka semua memegang bagian yang berbeda (kaki, telinga, belalai) dan merujuk pada keseluruhan yang sama (gajah), maka tentu tidak nyambung.
begitulah om, sejauh dari kepercayaan, apabila kepercayaannya benar dan seiring waktu dia dengan penjelasan2 dia bisa menuju kepemahaman langsung, dari pertama sudah percaya yang benar, akan semakin mudah ke pandangan benar.

gimana kalau saya bikin jadi JMB9 aja, yang pertama tambahin Percaya benar =))
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

K.K.

Quote from: ryu on 24 March 2011, 02:19:02 PM
begitulah om, sejauh dari kepercayaan, apabila kepercayaannya benar dan seiring waktu dia dengan penjelasan2 dia bisa menuju kepemahaman langsung, dari pertama sudah percaya yang benar, akan semakin mudah ke pandangan benar.

gimana kalau saya bikin jadi JMB9 aja, yang pertama tambahin Percaya benar =))
Kalau saya pribadi tidak setuju. Dari dulu ilmuwan mendapatkan pengetahuan dari menyelidiki. Mereka bersikap skeptik dan terbuka terhadap teori. Dengan cara itu, maka ilmu pengetahuan berkembang. Hipotesis didukung bukti, dikuatkan menjadi teori. Teori senantiasa diuji dan diperbaharui.

Walaupun otoritas dulu menetapkan bumi sebagai pusat tata surya, tapi ilmuwan tetap menyelidiki dan mendapati matahari sebagai pusat tata surya. Yang satu karena cuma modal percaya, akhirnya membakar sang ilmuwan yang mampu membuktikan. Bisa dilihat bedanya antara orang percaya dan orang menyelidiki?
Nah, kalau untuk Buddhisme, justru saya sarankan untuk tinggalkan sikap 'asal percaya' dan mulailah menyelidiki, sesuai dengan semangat 'Kalama Sutta'.


Indra

IMO, dalam pembahasan mengenai alam surga, maka kepercayaan atau pandangan yang benar atau setengah benar sangat sedikit (kalau bukan tidak sama sekali) berhubungan dengan alam surga. kelahiran di alam surga lebih didominasi oleh karma.

K.K.

Quote from: Indra on 24 March 2011, 02:32:02 PM
IMO, dalam pembahasan mengenai alam surga, maka kepercayaan atau pandangan yang benar atau setengah benar sangat sedikit (kalau bukan tidak sama sekali) berhubungan dengan alam surga. kelahiran di alam surga lebih didominasi oleh karma.
Betul, dan karena itu, lebih ke arah cocok-cocokan bukan benar/salah.

Kepercayaan tentang kamma, 31 alam dan lain-lain itu hanya sebagai pelengkap saja agar memberikan gambaran tentang tumimbal lahir tidak sesederhana manusia -> sorga/neraka/hewan. Juga sebetulnya kalau mau buktikan (untuk diri sendiri) diajarkan caranya, yaitu mengembangkan jhana & landasan kekuatan bathin.


ryu

Quote from: Kainyn_Kutho on 24 March 2011, 02:27:42 PM
Kalau saya pribadi tidak setuju. Dari dulu ilmuwan mendapatkan pengetahuan dari menyelidiki. Mereka bersikap skeptik dan terbuka terhadap teori. Dengan cara itu, maka ilmu pengetahuan berkembang. Hipotesis didukung bukti, dikuatkan menjadi teori. Teori senantiasa diuji dan diperbaharui.

Walaupun otoritas dulu menetapkan bumi sebagai pusat tata surya, tapi ilmuwan tetap menyelidiki dan mendapati matahari sebagai pusat tata surya. Yang satu karena cuma modal percaya, akhirnya membakar sang ilmuwan yang mampu membuktikan. Bisa dilihat bedanya antara orang percaya dan orang menyelidiki?
Nah, kalau untuk Buddhisme, justru saya sarankan untuk tinggalkan sikap 'asal percaya' dan mulailah menyelidiki, sesuai dengan semangat 'Kalama Sutta'.


mengenai alam surga, mengenai alam2 lain mau tidak mau tetap menjadi kepercayaan, selama seseorang belum mengalaminya sendiri seperti seorang buta yang tidak pernah melihat warna merah, biru dll dia akan mengatakan tidak ada warna merah biru dll, padahal sebenarnya ada warna merah biru dll, ada orang yang sudah melihat warna biru dll akan mengatakan pandangan si orang buta itu salah, demikian, tetapi apabila si orang buta itu diberi pemahaman yang benar, diselidiki, seiring dengan waktu dari kepercayaan bisa menuju kenyataan, dan pandangan2 kepercayaan itu berangsur2 hilang menjadi praktek langsung.

untuk menguji sesuatu orang itu harus paham dulu bagaimana hal itu, berbahaya atau tidak, berguna atau tidak, kita harus memberikan kepercayaan kita dahulu untuk menuju test tersebut, sama seperti narkoba, sama seperti neraka, apakah harus di coba2 dahulu sehingga kita harus terjerumus dahulu kedalamnya untuk mengujinya?

kita percaya surga itu baik misalnya, maka kita akan berusaha untuk menuju hal itu, kita percaya neraka itu buruk, maka berusaha untuk menghindarinya bukannya mencoba dahulu baru percaya.

sama seperti orang mau pergi ke satu tempat, ada orang yang mengarahkan, ada yang bisa mencapainya ada yang tidak, yang mencapai adalah orang yang mau mendengarkan petunjuknya dengan benar, percaya penuh dan menjalankan sesuai dengan perintahnya, orang yang tidak sampai adalah orang yang malah belok kepersimpangan yang berbeda.

harus ada langkah pertama untuk menuju langkah terakhir.

sepertinya ini klosing terakhir deh dari aye ;D

NB : pandangan benar adalah langkah pertama, Katanya ada 7 lagi yang bisa mengantarkan ke langkah terakhir.
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))