News:

Semoga anda berbahagia _/\_

Main Menu

Kebenaran adalah satu atau banyak!

Started by Peacemind, 13 April 2010, 02:48:47 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Nevada

Quote from: Peacemind on 17 April 2010, 11:20:14 AM
Di komen selanjutnya (lihat di atas), saya telah merevisi. Kata definisi pertama yang dicetak biru yang kedua itu harus diganti menjadi definisi ketiga. Be happy.

Ya, saya baru baca tadi... Terimakasih.

sobat-dharma

#61
Quote from: upasaka on 16 April 2010, 10:14:53 AM

Citta, cetasika dan rupa sudah tidak bisa dibagi lagi. Tapi ketiga hal ini tidak layak pula untuk disebut sebagai substansi inti dari makhluk (manussa). Sebab seperti yang sudah kita singgung sebelumnya; bahwa citta, cetasika dan rupa merupakan segala sesuatu yang timbul karena sebab.

Bagaimana pendapat Anda?


Wah, diskusi yang menarik. Saya jadi terdorong untuk membaca-baca lagi. Inilah pendat saya:

Pertama, untuk memahami apa itu Paramattha Dhamma kita harus memahami juga lawannya: Paññati Dhamma. Paññati Dhamma, menurut bahan yang kubaca, adalah "sesuatu yang bukan ada dengan sendirinya atau jadi sendiri, tetapi sesuatu yang diberikan nama, untuk dijadikan panggilan sesuai dengan keinginan manusia." Jadi, kalau menurut definisi ini, Paññati Dhamma meliputi hampir semua yang dikenali oleh manusia melalui penamaan atau gagasan (kalau salah mohon dikoreksi). Dengan demikian, Paramattha Dhamma, kalau diartikan sebagai "Kenyataan Tertinggi"atau "Kebenaran Tertinggi", maka berarti sesuatu yang  yang ada sebelum dikenali atau diketahui dengan diberikannya nama, karena ia "berada pada dirinya sendiri." 

Ringkasnya, ia eksis sebelum dikenali atau bahkan ia lah yang menyebabkan "pengenalan" atau "pengetahuan" tersebut muncul. Jadi untuk mengenali Paramattha Dhamma, sebenarnya tidak bisa dilalui hanya dengan membaca atau membagi-baginya menjadi divisi-divisi sebagaimana yang tertuang dalam teks Abhidhammma. Teks Abhidhamma hanya membantu sebagai gerbang pengenalan tersebut, namun tidak membawa kita kepada Paramattha Dhamma: karena sebagai teks bagaimanapun ia hanyalah Paññati Dhamma. Hal ini dikarenakan Paramattha Dhamma sesungguhnya melampaui bahasa.

Kedua, berdasarkan pengertian pada poin yang pertama, "pengenalan" tersebut muncul dengan dua "mode". Paramattha Dhamma dibagi menjadi dua: Sankhata Dhamma (Bersyarat) dan Asankhata Dhamma (Tak Bersyarat). Yang Bersyarat terdiri dari tiga hal yaitu: Citta, Cetasika dan Rupa, sedangkan yang tidak bersyarat hanya satu, yaitu: Nibbana.

Apa yang disebut sebagai Sankhata Dhamma tidak lain adalah subyek yang mengetahui (yaitu Citta dan Cetasika) serta obyek yang diketahui (yaitu Rupa). Bila subyek dan obyek ini disebut sebagai Paramattha Dhamma, maka sebenarnya secara tidak langsung tersirat di sini adalah bahwa semua eksistensi dan esensi di dunia ini  lahir dari kehadiran subyek dan obyek dan interaksi antara keduanya. Dan pengenalan akan Citta, Cetasika dan Rupa (sebagai subyek dan obyek) hanya bisa dimungkinkan melalui pengamatan langsung terhadap mereka secara apa adanya, karena pada hakikatnya mereka adalah Paramattha Dhamma yang melampaui bahasa.

Dalam Mahayana, di antara ketiga Sankhata Dhamma, Citta-lah yang menjadi fokus perhatian. Seringkali dikatakan Citta yang menuntun segalanya, maka seringkali dikatakan bahwa dengan mengamati Citta maka kita akan mengenali hakikat seluruh Paramattha Dhamma.

Dalam hal ini, hakikat sejati Paramattha Dhamma adalah Asankhata. Meski demikian Asankhata Dhamma hanya mungkin dicapai jika kita menyadari Sankhata Dhamma, yang hanya mungkin dapat dikenali dengan benar jika melampaui bahasa dan pemikiran awam (yaitu melalui Panna atau Prajna). Asankhata Dhamma dan Sankhata Dhamma pada dasarnya adalah satu kesatuan, meskipun diberi julukan seolah-olah adalah dua hal yang berbeda. Mengapa demikian? Jika kita menganggap keduanya berbeda semata-mata mereka dibagi menjadi dua nama yang berbeda, maka kita kembali terjebak ke dalam  Paññati Dhamma, dan gagal mencapai Paramattha Dhamma.  Selain itu, hanya ketika kita tersadarkan pada kepalsuan Sankhata Dhamma maka kita akhirnya dapat menyadari Asankhata Dhamma; sebab karena adanya Avidya (Avijja) maka muncul pembedaan subyek dan obyek.

Ketiga, dengan demikian antara Nibbana (Asankhata Dhamma) dan Samsara (Sankhata Dhamma) pada hakikinya tidak berbeda. Sankhata Dhamma (Citta, Cetasika, Rupa) tidak lain hanyalah ilusi, karena itu ia bersifat timbul dan tenggelam serta berubah-ubah sifatnya. Sedangkan Nibbana sendiri dikatakan tidak dilahirkan, tidak musnah serta tidak berubah-ubah.Jika demikian, maka Nibbana tidak penah hilang ataupun muncul dan selalu eksis secara absolut sehingga ia selalu terdapat di dalam setiap makhluk sebagai hakikat Kebuddhaan; dan dikarenakan muncul dan tenggelam serta berubah-ubah, Samsara (atau Sankhata Dhamma) hanyalah ilusi yang tidak nyata. Oleh karena itu, meskipun dikatakan terdapat empat Paramattha Dhamma sebenarnya tak lain hanya satu kebenaran yang sejati. 

Demikianlah pendapat saya. Bila ada yang salah mohon dikoreksi. Bagaimana pendapat teman-teman?
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Nevada

Quote from: sobat-dharma
Wah, diskusi yang menarik. Saya jadi terdorong untuk membaca-baca lagi. Inilah pendat saya:

Pertama, untuk memahami apa itu Paramattha Dhamma kita harus memahami juga lawannya: Paññati Dhamma. Paññati Dhamma, menurut bahan yang kubaca, adalah "sesuatu yang bukan ada dengan sendirinya atau jadi sendiri, tetapi sesuatu yang diberikan nama, untuk dijadikan panggilan sesuai dengan keinginan manusia." Jadi, kalau menurut definisi ini, Paññati Dhamma meliputi hampir semua yang dikenali oleh manusia melalui penamaan atau gagasan (kalau salah mohon dikoreksi). Dengan demikian, Paramattha Dhamma, kalau diartikan sebagai "Kenyataan Tertinggi"atau "Kebenaran Tertinggi", maka berarti sesuatu yang  yang ada sebelum dikenali atau diketahui dengan diberikannya nama, karena ia "berada pada dirinya sendiri." 

Ringkasnya, ia eksis sebelum dikenali atau bahkan ia lah yang menyebabkan "pengenalan" atau "pengetahuan" tersebut muncul. Jadi untuk mengenali Paramattha Dhamma, sebenarnya tidak bisa dilalui hanya dengan membaca atau membagi-baginya menjadi divisi-divisi sebagaimana yang tertuang dalam teks Abhidhammma. Teks Abhidhamma hanya membantu sebagai gerbang pengenalan tersebut, namun tidak membawa kita kepada Paramattha Dhamma: karena sebagai teks bagaimanapun ia hanyalah Paññati Dhamma. Hal ini dikarenakan Paramattha Dhamma sesungguhnya melampaui bahasa.

Halo, Bro sobat-dharma. Apa kabar?
Saya mau menanggapi pendapat Anda...

Menurut saya, Pannati Dhamma bukanlah lawan atau anonim dari Paramattha Dhamma. Pannati Dhamma adalah konsep untuk menyebut suatu Dhamma sebagai Paramattha Sacca (kebenaran sejati) atau Samutti Sacca (kebenaran relatif). Dengan kata lain, Pannati Dhamma merupakan "barometer" yang turut melengkapi Paramattha Dhamma sebagai bagian dari keseluruhan Dhamma yang begitu luas.

Saya juga sependapat bahwa apa yang tertulis di dalam teks Abhidhamma merupakan Pannati Dhamma. Sebab yang tertulis di dalam teks Abhidhamma adalah konsep-konsep untuk menyebut istilah-istilah Dhamma. Pannati Dhamma bukan berarti kebenaran relatif. Pannati Dhamma adalah konsep untuk menyebutkan Dhamma. Dengan kata lain, teks Abdhidhamma sesungguhnya (mungkin) memiliki Paramattha Sacca dan Samutti Sacca di dalamnya.
 

Quote from: sobat-dharmaKedua, berdasarkan pengertian pada poin yang pertama, "pengenalan" tersebut muncul dengan dua "mode". Paramattha Dhamma dibagi menjadi dua: Sankhata Dhamma (Bersyarat) dan Asankhata Dhamma (Tak Bersyarat). Yang Bersyarat terdiri dari tiga hal yaitu: Citta, Cetasika dan Rupa, sedangkan yang tidak bersyarat hanya satu, yaitu: Nibbana.

Apa yang disebut sebagai Sankhata Dhamma tidak lain adalah subyek yang mengetahui (yaitu Citta dan Cetasika) serta obyek yang diketahui (yaitu Rupa). Bila subyek dan obyek ini disebut sebagai Paramattha Dhamma, maka sebenarnya secara tidak langsung tersirat di sini adalah bahwa semua eksistensi dan esensi di dunia ini  lahir dari kehadiran subyek dan obyek dan interaksi antara keduanya. Dan pengenalan akan Citta, Cetasika dan Rupa (sebagai subyek dan obyek) hanya bisa dimungkinkan melalui pengamatan langsung terhadap mereka secara apa adanya, karena pada hakikatnya mereka adalah Paramattha Dhamma yang melampaui bahasa.

Apa yang disebut sebagai Sankhata Dhamma adalah kebenaran yang berkondisi, yaitu kebenaran yang bergantung pada beberapa sebab. Dalam hal ini, memang benar bahwa citta-cetasika-rupa merupakan Sankhata Dhamma.

Namun saya pikir, citta-cetasika tidak bisa dipatok langsung sebagai subjek yang mengetahui rupa sebagai objek yang diketahui, sebab objek yang diketahui tidak selalu merupakan rupa (fisik jasmani). Nibbana yang merupakan di luar dari nama dan rupa juga bisa menjadi "objek" yang diketahui. Kesadaran yang mengetahui ini dinamakan citta. Tapi bukan berarti interaksi antara subjek dan objek yang menciptakan eksistensi dan esensi dunia ini. Sebab citta-cetasika-rupa sendiri bisa "eksis" karena beberapa sebab. Jika kita menggenggam pandangan bahwa interaksi subjek-objek melahirkan semua eksistensi dan esensi, maka ini merupakan salah satu bentuk pandangan yang menjurus ke eternalisme; yaitu ada titik awal kelahiran dari segala sesuatu.

 
Quote from: sobat-dharmaDalam Mahayana, di antara ketiga Sankhata Dhamma, Citta-lah yang menjadi fokus perhatian. Seringkali dikatakan Citta yang menuntun segalanya, maka seringkali dikatakan bahwa dengan mengamati Citta maka kita akan mengenali hakikat seluruh Paramattha Dhamma.

Dalam hal ini, hakikat sejati Paramattha Dhamma adalah Asankhata. Meski demikian Asankhata Dhamma hanya mungkin dicapai jika kita menyadari Sankhata Dhamma, yang hanya mungkin dapat dikenali dengan benar jika melampaui bahasa dan pemikiran awam (yaitu melalui Panna atau Prajna). Asankhata Dhamma dan Sankhata Dhamma pada dasarnya adalah satu kesatuan, meskipun diberi julukan seolah-olah adalah dua hal yang berbeda. Mengapa demikian? Jika kita menganggap keduanya berbeda semata-mata mereka dibagi menjadi dua nama yang berbeda, maka kita kembali terjebak ke dalam  Paññati Dhamma, dan gagal mencapai Paramattha Dhamma.  Selain itu, hanya ketika kita tersadarkan pada kepalsuan Sankhata Dhamma maka kita akhirnya dapat menyadari Asankhata Dhamma; sebab karena adanya Avidya (Avijja) maka muncul pembedaan subyek dan obyek.

Dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada pandangan Anda, saya sendiri menilai bahwa sebaiknya kita jangan hanya menitik-beratkan fokus pada citta semata. Citta – yang agar lebih komprehensif, saya sebut dengan nama (batin) – maupun rupa (fisik jasmani) merupakan dua fenomena yang saling bekerja-sama dalam mengarungi kehidupan. Kombinasi keduanya menciptakan satu fenomena baru bernama "makhluk". Jika kita ingin menembus Kebenaran, maka yang perlu kita lakukan adalah menyelami hakikat seungguhnya dari nama dan rupa. Jika kita hanya fokus pada nama atau citta, maka lagi-lagi ini merupakan pandangan yang fokus pada eksistensi "tubuh halus".

Untuk bisa menembus Asankhatta Dhamma (Nibbana), kita harus menyelami Sankhata Dhamma. Ketika kita melihat sendiri apa yang merupakan Sankhata Dhamma (kebenaran yang berkondisi), maka di saat itu pula kita akan melihat apa yang merupakan Asankhata Dhamma (kebenaran tanpa berkondisi)... Ketika Anda melihat bahwa segala sesuatu timbul karena beberapa sebab, dan asal mula sebab itu juga sudah Anda ketahui; maka Anda juga akan melihat suatu cara untuk menghentikan penyebab itu, dan seperti apa kondisi tanpa penyebab itu.


Quote from: sobat-dharmaKetiga, dengan demikian antara Nibbana (Asankhata Dhamma) dan Samsara (Sankhata Dhamma) pada hakikinya tidak berbeda. Sankhata Dhamma (Citta, Cetasika, Rupa) tidak lain hanyalah ilusi, karena itu ia bersifat timbul dan tenggelam serta berubah-ubah sifatnya. Sedangkan Nibbana sendiri dikatakan tidak dilahirkan, tidak musnah serta tidak berubah-ubah.Jika demikian, maka Nibbana tidak penah hilang ataupun muncul dan selalu eksis secara absolut sehingga ia selalu terdapat di dalam setiap makhluk sebagai hakikat Kebuddhaan; dan dikarenakan muncul dan tenggelam serta berubah-ubah, Samsara (atau Sankhata Dhamma) hanyalah ilusi yang tidak nyata. Oleh karena itu, meskipun dikatakan terdapat empat Paramattha Dhamma sebenarnya tak lain hanya satu kebenaran yang sejati. 

Demikianlah pendapat saya. Bila ada yang salah mohon dikoreksi. Bagaimana pendapat teman-teman?

Menurut pemahaman saya, ilusi adalah sesuatu yang tidak nyata namun terbias sehingga seolah terlihat nyata. Berangkat dari pemahaman inilah, saya tidak sependapat untuk menyebut bahwa citta-cetasika-rupa merupakan ilusi. Jika citta-cetasika-rupa adalah ilusi, tentu tidak mungkin untuk menembus Kebenaran sedangkan "orang" yang ingin menembus Kebenaran adalah ilusi (tidak nyata). Jika citta-cetasika-rupa merupakan ilusi, tentunya segala pengalaman yang terjadi pada batin dan fisik jasmani seharusnya merupakan ilusi. Kalau begitu; lahir, tua, sakit, mati, kesedihan, kesenangan, ketakutan, dan kedamaian semua hanyalah ilusi. Dan jika semua ini hanyalah ilusi, oleh karena itu luka berdarah juga merupakan ilusi. Melahirkan anak juga merupakan ilusi. Dan bahkan ketikan saya di postingan ini juga merupakan ilusi.

Citta-cetasika-rupa memang selalu timbul dan tenggelam. Karena itulah ketiga hal ini disebut sebagai anicca (tidak kekal). Segala sesuatu yang tidak kekal akan membawa pada ketidak-puasan (dukkha). Sebagai sesuatu yang tidak kekal dan tidak memuaskan, maka tidak layak untuk disebut sebagai "aku", "diriku" ataupun "milikku". Tetapi ketiga hal ini bukanlah ilusi. Ketiga hal ini adalah nyata, namun tidak ada yang kekal; tidak memuaskan; dan bukan diri.

Nibbana tidak terlahirkan, sebab Nibbana tidak lahir dari berbagai sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka itulah Nibbana.

Nibbana tidak musnah lagi, sebab Nibbana tidak musnah karena berbagai sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka tidak akan ada penyebab lain yang bisa muncul lagi; dan itulah Nibbana.

Nibbana tidak berubah, sebab Nibbana tidak berproses dan bergantung pada beberapa sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka tidak ada proses yang terjadi lagi; dan itulah yang disebut sebagai Nibbana.

Nibbana adalah berhentinya segala penyebab; dalam konteks ini adalah berhentinya tanha (nafsu keinginan) dan upadana (kemelekatan). Berhentinya tanha dan upadana ini tidak ada di dalam diri setiap makhluk. Berhentinya tanha dan upadana ini merupakan Kebenaran, tetapi Kebenaran ini tidak ada di dalam diri setiap makhluk. Kebenaran ini bukan berada maupun bukan tidak berada. Kebenaran ini direalisasi ketika tanha dan upadana telah dilepaskan. Karena setiap makhluk yang belum merealisasi Kebenaran masih memiliki tanha dan upadana, maka tidak ada makhluk yang memiliki "benih kebuddha-an". Sebab tanha dan upadana sendiri adalah nyata, bukan ilusi. Oleh karena itu, jika setiap makhluk memiliki "benih kebuddha-an"; maka setiap makhluk juga seharusnya memiliki "benih keserakahan-kemelekatan".

Berangkat dari pemahaman ini, saya melihat bahwa Nibbana dan samsara adalah dua hal yang berbeda. Nibbana adalah terhentinya samsara, sedangkan samsara adalah roda kehidupan yang berulang. Roda kehidupan yang berulang ini memiliki karakteristik anicca, dukkha dan anatta. Oleh karena itu, jelas tidak mungkin jika "terhentinya samsara" sama dengan "berputarnya samsara".

Demikian pendapat saya.

adi lim

#63
kalau konsep Mahayana untuk membahas tentang Abhidhamma dalam tradisi Theravada pastilah tidak ketemu. tidak bisa dipahami malah berlawanan hasilnya. Di Mahayana 'kosong dan isi' adalah sama !
kalau dibahas lagi lebih lanjut ada pihak yang membenarkan bahwa kemampuan umat biasa masih terbatas jadi tidak bisa memahami apa itu isi & kosong dalam Mahayana.

kalau semua kosong apalagi yang mau di pelajari dan dibahas ! bingung !.

lebih baik masing2 memahami konsep tersendiri.

kalau untuk perbandingan sih boleh2 saja. ^:)^

_/\_


Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

markosprawira

sedikit mengutip dari http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1299.0 :

QuoteMisalkan para pembaca dan penulis berdiri bersama di tepi sebuah sungai, mengamati airnya yang sedang mengalir. Air mengalir pada area yang hampir datar, sehingga alirannya itu sangat lambat.  Tanah pada area tersebut berwarna merah, menyebabkan air itu kemerahan. Sungai itu mengalir melalui banyak area yang populasinya padat di mana orang-orang telah lama membuang sesuatu yang tidak bermanfaat ke dalamnya,  di tambah kotoran industri yang terlimpah ke dalam aliran air itu oleh sejumlah besar pabrik-pabrik yang dibangun. Oleh karena itu,  air tersebut hampir tidak dihuni oleh sebagian besar binatang. Di dalamnya tidak banyak ikan, udang dan sebagainya. Dalam satu kata,  air yang kita perhatikan itu kemerahan, kotor, terpolusi, jarang penghuninya. Semua ciri-ciri itu secara bersamaan merupakan ciri-ciri khusus air itu. Beberapa ciri ini mungkin mirip dengan sungai lain, namun sejumlah total ciri-ciri ini unik bagi aliran air tersebut.

Sekarang kita diinformasikan bahwa  aliran air ini dinamakan sungai Ciliwung. Orang yang berbeda menggambarkannya dengan cara yang berbeda pula.  Beberapa orang mengatakan bahwa sungai Ciliwung kotor dan tidak memiliki banyak ikan. Beberapa lainnya mengatakan bahwa sungai Ciliwung mengalir sangat lambat.  Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa sungai Ciliwung berwarna kemerahan.

pannati dhamma adalah cara utk menggambarkan sungai ciliwung itu

paramattha dhamma adalah sungai ciliwung itu sendiri

atau contoh yg juga sudah cukup terkenal adalah mengenai gajah dan orang buta
pannati dhamma adalah cara setiap org buta utk menggambarkan gajah
paramattha dhamma adalah gajah itu sendiri

semoga bermanfaat  _/\_

sobat-dharma

#65
Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Halo, Bro sobat-dharma. Apa kabar?
Saya mau menanggapi pendapat Anda...

Salam juga sdr.upasaka, senang bisa berdialog kembali dengan anda

Sebelumnya saya minta maaf terlebih dahulu, jika nanti tanggapan saya tidak optimal. Hal ini dikarenakan terbatasnya waktu dan padatnya aktivitas, saya tidak bisa menjawab dengan optimal. Mohon dimaklumi. Bila ada waktu yang lebih longgar, saya akan menulis dengan lebih lengkap sebagai jawaban atas persoalan ini. Trimakasih atas tanggapannya.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Menurut saya, Pannati Dhamma bukanlah lawan atau anonim dari Paramattha Dhamma. Pannati Dhamma adalah konsep untuk menyebut suatu Dhamma sebagai Paramattha Sacca (kebenaran sejati) atau Samutti Sacca (kebenaran relatif). Dengan kata lain, Pannati Dhamma merupakan "barometer" yang turut melengkapi Paramattha Dhamma sebagai bagian dari keseluruhan Dhamma yang begitu luas.

Ketika saya mengatakan Pannati Dhamma adalah konsep yang berlawanan dengan Paramattha Dhamma saya hanya membahasnya secara konseptual. Tentu saja saya sepakat dengan anda bahwa keduanya adalah Dhamma yang tunggal dalam kenyataannya. Meskipun apa yang bertentangan dari segi gagasan tidak selalu berarti terpisah sama sekali dalam kenyataannya. Misalnya, gelap dan terang adalah dua konsep yang berlawanan, namun kita tahu kedua adalah kondisi yang berada di satu alam semesta yang sama dan saling melengkapi satu sama lain.  Tapi kita pun semuanya tahu bahwa "munculnya terang berarti hilangnya gelap", begitu juga sebaliknya., atau "yang terang pastilah bukan yang gelap"dan sebaliknya, sehingga keduanya dapat diandaikan beroposisi secara konsep.

Cara penjelasan demikian tidak terhindarkan dalam bahasa konseptual. Bahkan anda pun menggunakan kata Paramattha Sacca (kebenaran sejati) dan Samutti Sacca (kebenaran relatif) yang sebenarnya diam-diam menyiratkan adanya konsep pertentangan yang "sejati" versus yang "relatif". Dalam hal ini saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat yang esensial antara kita berdua.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Saya juga sependapat bahwa apa yang tertulis di dalam teks Abhidhamma merupakan Pannati Dhamma. Sebab yang tertulis di dalam teks Abhidhamma adalah konsep-konsep untuk menyebut istilah-istilah Dhamma. Pannati Dhamma bukan berarti kebenaran relatif. Pannati Dhamma adalah konsep untuk menyebutkan Dhamma. Dengan kata lain, teks Abdhidhamma sesungguhnya (mungkin) memiliki Paramattha Sacca dan Samutti Sacca di dalamnya.

Persoalan apakah di dalam teks Abhidhamma terkandung Paramattha Dhamma atau tidak. Nah, itu tergantung pada bagaimana kita mendeskripsikannya. Misalnya, sebuah teks (tulisan) tentu saja adalah bagian dari Paramattha Dhamma, karena ia adalah rupa (obyek) yang nantinya dapat ditangkap oleh indra. Sedangkan jika ada orang yang membaca teks tersebut, maka di situ terdapat citta yang mengetahui plus cetasika yang bersekutu dengan batinnya (subyek). Dan hal ini berlaku untuk teks apapun, tidak meski eksklusif untuk teks Abhidhamma, bahkan ketika seseorang membaca komik pun di situ hadir citta, cetasika dan rupa. Dalam hal ini teks Abhidhamma menunjuk pada Paramattha Dhamma itu, namun ia bukanlah Paramattha Dhmama itu sendiri. Dalam hal ini pun semestinya kita tidak terlalu berbeda pendapat.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Namun saya pikir, citta-cetasika tidak bisa dipatok langsung sebagai subjek yang mengetahui rupa sebagai objek yang diketahui, sebab objek yang diketahui tidak selalu merupakan rupa (fisik jasmani). Nibbana yang merupakan di luar dari nama dan rupa juga bisa menjadi "objek" yang diketahui. Kesadaran yang mengetahui ini dinamakan citta. Tapi bukan berarti interaksi antara subjek dan objek yang menciptakan eksistensi dan esensi dunia ini. Sebab citta-cetasika-rupa sendiri bisa "eksis" karena beberapa sebab. Jika kita menggenggam pandangan bahwa interaksi subjek-objek melahirkan semua eksistensi dan esensi, maka ini merupakan salah satu bentuk pandangan yang menjurus ke eternalisme; yaitu ada titik awal kelahiran dari segala sesuatu.

Ketika saya mengatakan "semua eksistensi dan esensi di dunia ini lahir dari kehadiran subyek dan obyek dan interaksi antara keduanya" yang saya maksudkan sebagai "dunia" adalah alam Samsara. Eksistensi adalah keberadaan dan kehadiran subyek dan obyek yang saling mengadakan satu sama lain: obyek hadir  dalam subyek dan subyek hadir di antara obyek-obyek, seolah keduanya terpisah, namun sebenarnya sulit dipisahkan secara mutlak. Sedangkan Esensi adalah pembedaan yang dibangun dalam bentuk gagasan-gagasan yang bersifat terpisah satu sama lain, terdeferensiasi dan terklasifikasi yang terwujudnya sangat terbantu oleh keberadaan bahasa

Singkatnya, menurut pengetahuan saya yang masih sangat minim, dasar dari munculnya Samsara adalah pemisahan antara subyek (Citta dan Cetasika) dan obyek (Rupa). Hilangnya pemisahan antara subyek dan obyek adalah jalan menuju padamnya dukkha. Dalam hal ini berarti bahwa ketika hakikat citta, cetasika dan rupa berhasil dibongkar, maka sebenarnya mereka adalah tunggal dan hal ini merupakan jalan menuju ke pengetahuan yang sejati. Sankhata Dhamma tidak lagi benar-benar berdaya mempengaruhi karena pada dasarnya hanyalah ilusi, maka tersingkaplah Asankhata Dhamma: Nibbana (Nirvana). 

Demikian penjelasan saya yang sangat ringkas, semoga dapat membantu anda memahami apa yang kumaksudkan. Sebaliknya saya ingin bertanya apakah yang anda maksudkan dengan kata:  "objek yang diketahui tidak selalu merupakan rupa (fisik jasmani)" dan apa hubungannya pernyataan ini dengan diskusi kita? Setahu saya dalam Abhidhamma, obyek-obyek indra (ruparammana, saddaramana, gandharammana, rasarammana) semuanya termasuk dalam kategori rupa.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat kepada pandangan Anda, saya sendiri menilai bahwa sebaiknya kita jangan hanya menitik-beratkan fokus pada citta semata. Citta – yang agar lebih komprehensif, saya sebut dengan nama (batin) – maupun rupa (fisik jasmani) merupakan dua fenomena yang saling bekerja-sama dalam mengarungi kehidupan. Kombinasi keduanya menciptakan satu fenomena baru bernama "makhluk". Jika kita ingin menembus Kebenaran, maka yang perlu kita lakukan adalah menyelami hakikat seungguhnya dari nama dan rupa. Jika kita hanya fokus pada nama atau citta, maka lagi-lagi ini merupakan pandangan yang fokus pada eksistensi "tubuh halus".

Mungkin anda salah tangkap maksud saya, tidak ada maksud saya mengatakan adanya "tubuh halus." Citta yang saya maksud di sini adalah "yang mengetahui", yaitu menangkap obyek dan mengenali obyek. Menitikberatkan pada Citta berarti menggunakannya sebagai pintu masuk dalam meditasi., sebagaimana Meditasi Empat Unsur menggunakan rupa sebagai titik tolak. Tidak ada persoalan esensial yang perlu dipermasalahkan di sini. Apa yang andamaksudkan di atas tidak berbeda dengan apa yang kumaksud.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Untuk bisa menembus Asankhatta Dhamma (Nibbana), kita harus menyelami Sankhata Dhamma. Ketika kita melihat sendiri apa yang merupakan Sankhata Dhamma (kebenaran yang berkondisi), maka di saat itu pula kita akan melihat apa yang merupakan Asankhata Dhamma (kebenaran tanpa berkondisi)... Ketika Anda melihat bahwa segala sesuatu timbul karena beberapa sebab, dan asal mula sebab itu juga sudah Anda ketahui; maka Anda juga akan melihat suatu cara untuk menghentikan penyebab itu, dan seperti apa kondisi tanpa penyebab itu.

Kata yang "Ketika... maka..."yang anda gunakan untuk menjelaskan bagaimana Asankhata Dhamma direalisasi seolah-olah mengandaikan bahwa "Ketika kita menyelami Sankhata Dhamma, maka kita merealisasi Asankhata Dhamma." Kata ini tidak salah namun berpotensi menimbulkan kerancuan  makna. Jika tidak hati-hati kita bisa terjebak pada pengertian bahwa penyebab munculnya Asankhata Dhamma adalah akibat penyelaman terhadap Sankhata Dhamma. Hal ini kemudian terjebak pada pandangan seolah-olah Asankhata Dhamma dihasilkan atau diakibatkan oleh suatu kondisi yaitu penyelaman terhadap Sankhata Dhamma, sehingga mengandaikan bahwa Sankhata Dhamma itu memiliki sebab.Padahal sudah jelas, Asankhata Dhamma itu tidak dilahirkan dan tidak musnah.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Menurut pemahaman saya, ilusi adalah sesuatu yang tidak nyata namun terbias sehingga seolah terlihat nyata. Berangkat dari pemahaman inilah, saya tidak sependapat untuk menyebut bahwa citta-cetasika-rupa merupakan ilusi. Jika citta-cetasika-rupa adalah ilusi, tentu tidak mungkin untuk menembus Kebenaran sedangkan "orang" yang ingin menembus Kebenaran adalah ilusi (tidak nyata). Jika citta-cetasika-rupa merupakan ilusi, tentunya segala pengalaman yang terjadi pada batin dan fisik jasmani seharusnya merupakan ilusi. Kalau begitu; lahir, tua, sakit, mati, kesedihan, kesenangan, ketakutan, dan kedamaian semua hanyalah ilusi. Dan jika semua ini hanyalah ilusi, oleh karena itu luka berdarah juga merupakan ilusi. Melahirkan anak juga merupakan ilusi. Dan bahkan ketikan saya di postingan ini juga merupakan ilusi.

Betul.Semuanya adalah ilusi ketika seseorang telah tersadarkan! Hanya ketika yang belum tercerahkan seperti kita ini semuanya adalah nyata.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Citta-cetasika-rupa memang selalu timbul dan tenggelam. Karena itulah ketiga hal ini disebut sebagai anicca (tidak kekal). Segala sesuatu yang tidak kekal akan membawa pada ketidak-puasan (dukkha). Sebagai sesuatu yang tidak kekal dan tidak memuaskan, maka tidak layak untuk disebut sebagai "aku", "diriku" ataupun "milikku". Tetapi ketiga hal ini bukanlah ilusi. Ketiga hal ini adalah nyata, namun tidak ada yang kekal; tidak memuaskan; dan bukan diri.

Kalau hal tersebut nyata (sejati) mengapa menghasilkan dukkha?

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana tidak terlahirkan, sebab Nibbana tidak lahir dari berbagai sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka itulah Nibbana.

Kalau semua penyebab itu berhenti baru terdapat Nibbana, berarti Nibbana muncul setalah adalnya suatu sebab yaitu: "ketika semua sebab berhenti". Maka istilah ini masih mengandaikan Nibbana ada karena suatu sebab.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana tidak musnah lagi, sebab Nibbana tidak musnah karena berbagai sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka tidak akan ada penyebab lain yang bisa muncul lagi; dan itulah Nibbana.

Anda bahkan masih terikat pada kata "sebab"bahkan ketika untuk menjelaskan mengapa Nibbana tidak musnah.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana tidak berubah, sebab Nibbana tidak berproses dan bergantung pada beberapa sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka tidak ada proses yang terjadi lagi; dan itulah yang disebut sebagai Nibbana.

Karena pada dasarnya Nibbana tidak bersebab dan tidak musnah serta tidak berubah-ubah, maka tidak ada "sebab yang berhenti" dalam realisasi nibbana.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana adalah berhentinya segala penyebab; dalam konteks ini adalah berhentinya tanha (nafsu keinginan) dan upadana (kemelekatan). Berhentinya tanha dan upadana ini tidak ada di dalam diri setiap makhluk. Berhentinya tanha dan upadana ini merupakan Kebenaran, tetapi Kebenaran ini tidak ada di dalam diri setiap makhluk. Kebenaran ini bukan berada maupun bukan tidak berada. Kebenaran ini direalisasi ketika tanha dan upadana telah dilepaskan. Karena setiap makhluk yang belum merealisasi Kebenaran masih memiliki tanha dan upadana, maka tidak ada makhluk yang memiliki "benih kebuddha-an".

Benih Kebuddha adalah potensi setiap makhluk dalam mencapai Kebuddhaan. Kalau tidak ada benih Kebuddhaan bagaimana mungkin makhluk hidup mencapai Kebuddhaan. Karena Nibbana tidak bersebab, tidak musnah dan tidak berubah-ubah, maka sebenarnya ia merupakan potensi yang sudah menetap di dalam setiap makhluk hidup. Hanya saja ia tertutup kabut ilusi ketidaktahuan yang menyelubunginya, sehingga menyebabkan makhluk hidup mengira citta-cetasika-rupa sebagai sesuatu yang nyata, padahal mereka hanyalah ilusi.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Sebab tanha dan upadana sendiri adalah nyata, bukan ilusi. Oleh karena itu, jika setiap makhluk memiliki "benih kebuddha-an"; maka setiap makhluk juga seharusnya memiliki "benih keserakahan-kemelekatan".

Benih keserakahan-kemelekatan setiap makhluk hidup adalah ketidaktahuan (avidya atau avijja)

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Berangkat dari pemahaman ini, saya melihat bahwa Nibbana dan samsara adalah dua hal yang berbeda. Nibbana adalah terhentinya samsara, sedangkan samsara adalah roda kehidupan yang berulang. Roda kehidupan yang berulang ini memiliki karakteristik anicca, dukkha dan anatta. Oleh karena itu, jelas tidak mungkin jika "terhentinya samsara" sama dengan "berputarnya samsara".

Jika anda melihat soal "terhenti"dan "berputar"adalah soal gerak seperti halnya gerak biasa, maka demikianlah adanya.  Tapi ingatlah, yang "terhenti"dan "berputar"adalah Samsara. Nibbana tidak bergerak seinci pun (ini metafor :) ). Oleh karena itu Nibbana (dalam hal ini yang kumaksudkan adalah Hakikat Kebuddhaan) senantiasa  "ada" sebagai potensi yang ada di dalam setiap makhluk, menunggu kita untuk menyadarinya...(Sekali lagi ini cuman metafor... Bahasa kita terlalu terbatas untuk menjelaskannya)

Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

hendrako

Quote from: fabian c on 16 April 2010, 11:46:01 PM
[spoiler]
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 01:31:10 PM
Quote from: seniya on 16 April 2010, 09:07:17 AM
[at] hendrako:
Thx,bro. Tp aku msh bro kok,gak jd sis. Wkwkwkwk....

[at] fabian:
Sungguh beruntung saya dapat berdiskusi dg anda. Secara pribadi saya menyukai tulisan anda tentang kosmologi Buddhis,apalagi saya memang tertarik dg hal2 berbau astronomi.

Menurut pemahaman saya (krn basic saya juga di Theravada),sunyata bukan berarti kosong/hampa atau tidak ada isinya,namun sunyata bermakna bahwa segala sesuatu hanyalah perpaduan unsur2 di mana tidak terdapat unsur substansial yg dapat berdiri sendiri & dikatakan sbg intinya (anatta). Mungkin ada perbedaan antara konsep anatta & sunyata yg tdk saya ketahui,namun secara mendasar keduanya sama memandang semua dharma adalah tanpa eksistensi sesuatu yg substansial.
Bro Seniya yang baik, terima kasih bro menyukai buku Kosmologi tsb.
Kembali ke topik, memang kelihatannya sepintas lalu ada kemiripan antara konsep kosong tsb dengan konsep anatta. Konsep anatta tidak bersasosiasi dengan kekosongan tetapi lebih berasosiasi dengan konsep anicca. Jadi dalam hal ini disebut anatta bukan karena tak ada substansi/kosong, tetapi karena tak ada individu mahluk yang memiliki substansi/roh (atta).

Bagaimana dengan kursi, meja, batu dll apakah memiliki substansi? Tentu saja ada dan kita tak dapat mengatakan meja itu kosong, tetapi dapatkah dikatakan meja atau kursi itui memiliki roh/atta? tentu tidak.

dalam hal tertentu pancakhandha pada mahluk bisa berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan, contohnya: bila Arahat Parinibbana, kelompok pancakhandhanya yang langsung berhenti adalah batin, tetapi jasmani tetap belum berhenti dan mampu berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan.

Bila pancakhandha dikatakan berhenti seluruhnya pada Arahat, itu adalah kemelekatan Mereka yang telah berhenti.
pengertian yang dikatakan tak dapat berdiri sendiri juga adalah kemelekatannya, bila salah satu objek kemelekatan (objek khandha) berhenti, maka objek kemelekatan yang berkaitan juga akan berhenti dan dengan demikian semua objek kemelekatan akan berhenti karena saling berkaitan.

Jadi dibedakan bro, pada Arahat jasmani tidak berhenti tetapi kemelekatan pada jasmani telah berhenti.

Banyak orang yang salah mengerti mengenai pancakhandha itu sendiri, dari jaman dahulu banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa pancakhandha adalah komponen dari mahluk hidup, ini ada benarnya, tetapi kurang tepat, pancakhandha yang sebenarnya adalah merupakan objek kemelekatan kita.

Jadi anatta bukan berarti kosong, tetapi memang karena sifat segala yang terbentuk (ada) akan lenyap kembali (tiada), ini adalah konsep anicca. Disebut anatta karena segala sesuatu yang timbul tersebut akan lenyap kembali, tak ada substansi atta.

QuoteSoal tanggung jawab moral tetap ada walaupun tidak ada substansi utama. Dlm Milinda Panha dikatakan bahwa melalui nama rupa ini suatu perbuatan/kamma dilakukan,karena kamma tsb nama rupa baru pada kehidupan mendatang terbentuk. Walaupun tidak ada sesuatu yg berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan mendatang,namun kamma menghubungkan keduanya,karenanya nama rupa baru tetap bertanggung jawab atas perbuatan nama rupa sebelumnya. CMIIW (Penjelasannya singkat saja karena sepertinya sudah OOT)

Ya saya setuju mengenai hal ini, tetapi khusus mengenai tanggung jawab, saya lebih suka menggunakan istilah konsekuensi, lebih sejalan dengan isi Dhammapada, yaitu konsekuensi akan terus mengikuti, bagai jejak roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya (Dhammapada).

Semoga keterangan saya dapat dimengerti bro Seniya.

_/\_
[/spoiler]

QuoteThx atas penjelasannya tentang anatta, namun konsep sunyata juga sangat mirip dengan konsep anatta yang dijelaskan sbb:

Emptiness

The reality of Sunyata, being one of the most profound truths in Buddhism, is often misunderstood. It is, at best, though not ideally, translated as "Emptiness". The following is an introduction to the concept of Emptiness.

Examples of Emptiness

An analogy to explain Sunyata is a river. A river does not truly exist on its own as it consists of many streams of water coming and going, which make up its "substance". Each of these streams is just as unsubstantial, each consisting of smaller streams of changing elements within it. There is thus no substantial or "real" river—there is only the flowing. We say that the river is empty of a
fixed nature—exhibiting Emptiness. Everything in the universe (all physical and mental phenomena)
exhibits characteristics of Emptiness.

Another example is a waterfall. A waterfall seen from a distance appears as a shiny solid sheet in one piece. But upon closer inspection, we see clearly that the "piece" is a continuous flowing stream of water. There is essentially no fixed "waterfall"—there is only water falling.

The Two Sides of Emptiness

Here is a maxim to help remember the subtle concept of Sunyata:

Sunyata affirms the existence of existence;
Sunyata negates the self-nature of existence.


This means the truth of Emptiness does not deny the existence of each and every thing, but it denies the existence of a fixed unchanging self-nature behind each and every thing.

Using a river again as an example, we can say that a river (made of many small streams) exists dependently or conditionally on the streams—this illustrates the first aspect of the above maxim. Because the river flows on and on and hence keeps changing, we say that the river does not exist independently or unconditionally, as it has no unchanging identity or self—this illustrates the second aspect of the maxim.

Sumber: buku Be A Lamp Upon Yourself

Bro Seniya yang baik, komentar bro Seniya tersebut bila dibahas akan terlalu melebar, mungkin kita perlu persempit pokok bahasannya. Semua fenomena hingga bagian yang terkecil memiliki sifat muncul dan lenyap kembali, ini disebut anicca. Tak ada segala sesuatu di dunia ini yang terus mengalir. Kesadaran yang nampaknya mengalir tak terputus sebenarnya pada kebenaran absolut, juga terputus-putus muncul dan lenyap kembali, jadi kesadaran juga anicca.

Nampaknya kita memandang dari sisi yang berbeda ya?

QuoteSepertinya konsep kekosongan ini dikembangkan konsep kekosongan yang ditemukan dalam kanon Pali juga, seperti Sunna Sutta berikut:

Quote
Suñña Sutta: Empty
[/b]

translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu

Then Ven. Ananda went to the Blessed One and on arrival, having bowed down to him, sat to one side. As he was sitting there he said to the Blessed One, "It is said that the world is empty, the world is empty, lord. In what respect is it said that the world is empty?"

"Insofar as it is empty of a self or of anything pertaining to a self: Thus it is said, Ananda, that the world is empty. And what is empty of a self or of anything pertaining to a self? The eye is empty of a self or of anything pertaining to a self. Forms... Eye-consciousness... Eye-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self.

"The ear is empty...

"The nose is empty...

"The tongue is empty...

"The body is empty...

"The intellect is empty of a self or of anything pertaining to a self. Ideas... Intellect-consciousness... Intellect-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self. Thus it is said that the world is empty."

Sumber: http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html
Coba disimak dengan seksama sutta tersebut bro....
Semua hal yang dikatakan kosong (empty) adalah empty yang berhubungan dengan self (atta) jadi untuk lebih jelasnya dunia ini empty dari atta.
Arti dari atta sendiri adalah jiwa, roh, diri, dalam bahasa sanskrit disebut atman.
Tipitaka sangat konsekuen dalam hal ini, yaitu segala sesuatu di dunia ini kosong dari roh, jiwa atau diri

Mungkin contoh mengenai kursi dan meja bisa dipakai kembali.
Kursi ada, tetapi kursi kosong akan diri, jiwa, roh. Kursi kosong akan atta (empty of self).
Meja ada, tetapi meja kosong akan diri, jiwa, roh. Meja kosong akan atta (empty of self).
Anda ada, tetapi anda kosong akan diri, jiwa, roh. Anda kosong akan atta (empty of self).
Dunia ada, tetapi dunia kosong akan diri, jiwa, roh. Dunia kosong akan atta (empty of self).
Kesimpulannya meja kosong akan atta bukan berarti meja tak ada, bukan berarti meja tak memiliki substansi.


Quote
Quote from: ryu on 16 April 2010, 09:13:15 AM
kosong adalah kosong, isi adalah isi itu adalah yang benar
kalau kosong adalah isi dan isi adalah kosong sepertinya menunjukan pada dualitas.

Sedikit koreksi saja, bukan "kosong adalah isi dan isi adalah kosong" seperti yang dipopulerkan dalam film Kera Sakti, namun yang benar adalah:

Quote
IHA SARIPUTRA RUPAM SUNYATA
SUNYATAIVA RUPAM
RUPANNA PRITHAG SUNYATA
SUNYATAYA NA PRITHAG RUPAM
YA RUPAM SA SUNYATA
YA SUNYATA TAD RUPAM
EVAM EVA VEDANA SAJNA SAMSKHARA VIJNANA

Wahai Sariputra, jasmani (rupa) itu tak lain adalah kosong,
Dan kekosongan itu tak lain dari rupa;
Rupa persisnya adalah kekosongan,
Dan kekosongan persisnya adalah rupa
;
Demikian pula dengan perasaan (vedana), pencerapan (sajna), bentuk pikiran (samskhara), dan kesadaran (vijnana).

IHA SARIPUTRA SARVADHARMA SUNYATA LAKSHANA
ANUTPANNA ANIRUDHA
AMALA NA AVIMALA
NONA NA PARIPURNAH

Wahai Sariputra, semua dharma ditandai dengan kekosongan;
Tidak lahir tidak juga musnah,
Tidak murni tidak juga tercemar,
Tidak bertambah tidak juga berkurang.

Sumber: Prajna Paramita Sutra

Yang kalimat kedua yang di-bold itulah yang saya maksud kebenaran tertinggi bahwa "semua dharma adalah kosong".

Ada perbedaan besar terhadap cara memandang dunia dari segi kebenaran absolut menurut Mahayana dan menurut Theravada.
Mahayana selalu mengatakan kosong... sunya.... maya.....
Theravada selalu mengatakan anicca, dukkha dan anatta.

Semoga keterangan saya cukup jelas.

_/\_

Hmm..... mengikuti thread ini, saya kok malah semakin merasa bahwa konsep Mahayana (untuk topik ini) benar2 bukan hal yang bertentangan.......

Konvensi..........
Segala sesuatu yg bernama adalah merupakan konvensi.
Ia hanyalah suatu kesepakatan.

Contohnya:

Uang,
Kertas bergambar tertentu dan disepakati sebagai uang.
Apabila tidak disepakati, apakah kertas tersebut dapat disebut uang? atau paling tidak masih bisa disebut uang-uangan. Uang sebenarnya hanya konsep. Kertas tersebut apabila kita bawa ke suatu pulau terpencil tanpa ada kontak dengan daerah lain.... uang tersebut kembali ke hakikat aslinya.....kertas bergambar....... Atau bahkan angka dengan banyak nol pada rekening kita. Hanya merupakan konsep. Ia menjadi berarti karena kesepakatan. Tanpa kesepakatan tidak ada apa-apa...... hanya sebagaimana adanya.

Contoh lain:
Sertifikat tanah,
Setifikat sebenarnya hanyalah persetujuan / kesepakatan bahwa seseorang dianggap berhak untuk sebidang tanah tertentu. Sekali lagi...kesepakatan... apabila ada yang tidak sepakat maka akan menjadi masalah...sengketa misalnya.......
Namun pada hakikatnya tidak ada seorangpun yang benar2 memiliki tanah...........

Kembali pada contoh dari bro Fabian, yaitu kursi

Kursi pada hakikatnya tidak ada. Kursi hanyalah sebuah konsep yg dilekatkan pada suatu benda tertentu, dalam hal ini untuk duduk, demi kegunaan komunikasi dan kegunaan praktis. Sebenarnya yang ada hanyalah sebagaimana adanya. beberapa bilah dan kayu papan dirangkai sedemikian rupa dengan 4 kaki dan sandaran kemudian disepakati dengan nama..... kursi.....konsep....kesepakatan belaka.....yang ada hanyalah sebagaimana adanya........

Walaupun kursi sebenarnya tidak ada, konsep ini tetap sangat berguna yaitu untuk berkomunikasi dan kegunaan praktis. Tanpa sebutan kursi kita tidak dapat berkomunikasi.

Setelah mengetahui kursi sebagai kesepakatan. Kursi timbul dari permainan persepsi, dan apabila kita melekati konsep tersebut maka kursi terasa menjadi benar2 ada, dan pada akhir dapat berkembang menjadi .... kursi-Ku, kursi-Mu, kursi-Nya.........

Walau kursi pada hakikatnya tidak ada, demi kegunaan praktis kita tetap harus merawatnya agar dapat terus digunakan, bahkan pada akhirnya, kursi sebagai konvensi pun tidak kekal. Pada saatnya, beberapa bagian menjadi patah dan benda tersebut berubah bentuknya sehingga tidak dapat disebut sebagai kursi lagi, konsep sebagai kursinya sudah hilang....mungkin masih bisa disebut sebagai ...mantan kursi.....kembali pada unsur pembentuknya.....kayu (misalnya)...yang merupakan konvensi lainnya lagi.......tanpa substansi apa-apa........

Kita pun juga merupakan konvensi, dari lahir kita diberi nama hingga sekarang, dewasa, nama kita tetap sama, padahal sebenarnya bayi dan orang dewasa benar2 berbeda, bahkan setiap saat lahir dan batin kita berubah tanpa kecuali..........
Aku dan Kursi sama2 merupakan konsep dan konvensi, sama2 atta.

Walaupun pada hakikatnya tidak ada, konvensi benar2 berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat adalah hutan belantara konvensi yang padat bagaikan hutan perawan. Jadi konvensi harus bisa digunakan dengan bijaksana dan bijaksana bahwa segala sesuatu hanyalah merupakan konvensi.
yaa... gitu deh

hendrako

Quote yang dibawah ini keren (bagi saya pribadi) namun separo yang diatasnya yg tidak saya quote....terlalu berat bagi saya.......ga mudeng ama istilah2na..... :o
(grp send 2 both of u)

Quote from: sobat-dharma on 19 April 2010, 08:21:48 PM

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Menurut pemahaman saya, ilusi adalah sesuatu yang tidak nyata namun terbias sehingga seolah terlihat nyata. Berangkat dari pemahaman inilah, saya tidak sependapat untuk menyebut bahwa citta-cetasika-rupa merupakan ilusi. Jika citta-cetasika-rupa adalah ilusi, tentu tidak mungkin untuk menembus Kebenaran sedangkan "orang" yang ingin menembus Kebenaran adalah ilusi (tidak nyata). Jika citta-cetasika-rupa merupakan ilusi, tentunya segala pengalaman yang terjadi pada batin dan fisik jasmani seharusnya merupakan ilusi. Kalau begitu; lahir, tua, sakit, mati, kesedihan, kesenangan, ketakutan, dan kedamaian semua hanyalah ilusi. Dan jika semua ini hanyalah ilusi, oleh karena itu luka berdarah juga merupakan ilusi. Melahirkan anak juga merupakan ilusi. Dan bahkan ketikan saya di postingan ini juga merupakan ilusi.

Betul.Semuanya adalah ilusi ketika seseorang telah tersadarkan! Hanya ketika yang belum tercerahkan seperti kita ini semuanya adalah nyata.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Citta-cetasika-rupa memang selalu timbul dan tenggelam. Karena itulah ketiga hal ini disebut sebagai anicca (tidak kekal). Segala sesuatu yang tidak kekal akan membawa pada ketidak-puasan (dukkha). Sebagai sesuatu yang tidak kekal dan tidak memuaskan, maka tidak layak untuk disebut sebagai "aku", "diriku" ataupun "milikku". Tetapi ketiga hal ini bukanlah ilusi. Ketiga hal ini adalah nyata, namun tidak ada yang kekal; tidak memuaskan; dan bukan diri.

Kalau hal tersebut nyata (sejati) mengapa menghasilkan dukkha?

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana tidak terlahirkan, sebab Nibbana tidak lahir dari berbagai sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka itulah Nibbana.

Kalau semua penyebab itu berhenti baru terdapat Nibbana, berarti Nibbana muncul setalah adalnya suatu sebab yaitu: "ketika semua sebab berhenti". Maka istilah ini masih mengandaikan Nibbana ada karena suatu sebab.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana tidak musnah lagi, sebab Nibbana tidak musnah karena berbagai sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka tidak akan ada penyebab lain yang bisa muncul lagi; dan itulah Nibbana.

Anda bahkan masih terikat pada kata "sebab"bahkan ketika untuk menjelaskan mengapa Nibbana tidak musnah.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana tidak berubah, sebab Nibbana tidak berproses dan bergantung pada beberapa sebab. Justru ketika semua penyebab telah berhenti, maka tidak ada proses yang terjadi lagi; dan itulah yang disebut sebagai Nibbana.

Karena pada dasarnya Nibbana tidak bersebab dan tidak musnah serta tidak berubah-ubah, maka tidak ada "sebab yang berhenti" dalam realisasi nibbana.

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Nibbana adalah berhentinya segala penyebab; dalam konteks ini adalah berhentinya tanha (nafsu keinginan) dan upadana (kemelekatan). Berhentinya tanha dan upadana ini tidak ada di dalam diri setiap makhluk. Berhentinya tanha dan upadana ini merupakan Kebenaran, tetapi Kebenaran ini tidak ada di dalam diri setiap makhluk. Kebenaran ini bukan berada maupun bukan tidak berada. Kebenaran ini direalisasi ketika tanha dan upadana telah dilepaskan. Karena setiap makhluk yang belum merealisasi Kebenaran masih memiliki tanha dan upadana, maka tidak ada makhluk yang memiliki "benih kebuddha-an".

Benih Kebuddha adalah potensi setiap makhluk dalam mencapai Kebuddhaan. Kalau tidak ada benih Kebuddhaan bagaimana mungkin makhluk hidup mencapai Kebuddhaan. Karena Nibbana tidak bersebab, tidak musnah dan tidak berubah-ubah, maka sebenarnya ia merupakan potensi yang sudah menetap di dalam setiap makhluk hidup. Hanya saja ia tertutup kabut ilusi ketidaktahuan yang menyelubunginya, sehingga menyebabkan makhluk hidup mengira citta-cetasika-rupa sebagai sesuatu yang nyata, padahal mereka hanyalah ilusi.


Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Sebab tanha dan upadana sendiri adalah nyata, bukan ilusi. Oleh karena itu, jika setiap makhluk memiliki "benih kebuddha-an"; maka setiap makhluk juga seharusnya memiliki "benih keserakahan-kemelekatan".

Benih keserakahan-kemelekatan setiap makhluk hidup adalah ketidaktahuan (avidya atau avijja)

Quote from: upasaka on 19 April 2010, 11:03:29 AM
Berangkat dari pemahaman ini, saya melihat bahwa Nibbana dan samsara adalah dua hal yang berbeda. Nibbana adalah terhentinya samsara, sedangkan samsara adalah roda kehidupan yang berulang. Roda kehidupan yang berulang ini memiliki karakteristik anicca, dukkha dan anatta. Oleh karena itu, jelas tidak mungkin jika "terhentinya samsara" sama dengan "berputarnya samsara".

Jika anda melihat soal "terhenti"dan "berputar"adalah soal gerak seperti halnya gerak biasa, maka demikianlah adanya.  Tapi ingatlah, yang "terhenti"dan "berputar"adalah Samsara. Nibbana tidak bergerak seinci pun (ini metafor :) ). Oleh karena itu Nibbana (dalam hal ini yang kumaksudkan adalah Hakikat Kebuddhaan) senantiasa  "ada" sebagai potensi yang ada di dalam setiap makhluk, menunggu kita untuk menyadarinya...(Sekali lagi ini cuman metafor... Bahasa kita terlalu terbatas untuk menjelaskannya)



Saya setuju dengan sebutan "benih ke-Buddha-an". Harus dibuktikan dengan latihan.........
Menurut opini saya...batin yang mengetahui, yang sadar, citta, itulah benih ke-Buddha-an. Selama masih tertutup debu maka benih tersebut tidak dapat berkembang.

Kembali ke soal kebenaran. Ambillah contoh Abhidhamma. Dan katakanlah Abhidhamma benar2 merupakan penjelasan yang rinci tentang kebenaran, tetap saja bukan kebenaran. Selama masih berupa kata2, itu tetap hanyalah merupakan kata-kata, konvensi, bukan kebenaran yg sesungguhnya.

Tentang rupa, cetasika, Nibbana, dan citta disebut sebagai kebenaran tertinggi adalah karena 4 hal tersebut adalah manifestasi dari 4 kebenaran / kesunyataan Mulia.
Rupa adalah Dukkha, rupa dalam hal ini adalah wakil dari bhava, dan keberadaan di alam samsara.
Cetasika adalah sebab dukkha, gampangnya..... cetana/kehendak termasuk dalam bagian ini.
Nibbana adalah lenyapnya dukkha,..........
Citta adalah jalan menuju lenyapnya dukkha, inilah "benih ke-Buddha-an", yang mengetahui, yang sadar...........

Mungkin opini saya diatas terkesan maksa, namun itulah interkoneksitas menurut pandangan saya. Contoh interkoneksitas lain adalah antara sila, samadhi, panna, yang dapat direlasikan dengan Buddha, Dhamma, dan Sangha:
Buddha   =  samadhi  =  kesadaran/konsentrasi
Dhamma =  panna     =  kebijaksanaan
Sangha   =  sila          = kesucian

yaa... gitu deh

fabian c

Quote
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 11:46:01 PM
[spoiler]
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 01:31:10 PM
Quote from: seniya on 16 April 2010, 09:07:17 AM
[at] hendrako:
Thx,bro. Tp aku msh bro kok,gak jd sis. Wkwkwkwk....

[at] fabian:
Sungguh beruntung saya dapat berdiskusi dg anda. Secara pribadi saya menyukai tulisan anda tentang kosmologi Buddhis,apalagi saya memang tertarik dg hal2 berbau astronomi.

Menurut pemahaman saya (krn basic saya juga di Theravada),sunyata bukan berarti kosong/hampa atau tidak ada isinya,namun sunyata bermakna bahwa segala sesuatu hanyalah perpaduan unsur2 di mana tidak terdapat unsur substansial yg dapat berdiri sendiri & dikatakan sbg intinya (anatta). Mungkin ada perbedaan antara konsep anatta & sunyata yg tdk saya ketahui,namun secara mendasar keduanya sama memandang semua dharma adalah tanpa eksistensi sesuatu yg substansial.
Bro Seniya yang baik, terima kasih bro menyukai buku Kosmologi tsb.
Kembali ke topik, memang kelihatannya sepintas lalu ada kemiripan antara konsep kosong tsb dengan konsep anatta. Konsep anatta tidak bersasosiasi dengan kekosongan tetapi lebih berasosiasi dengan konsep anicca. Jadi dalam hal ini disebut anatta bukan karena tak ada substansi/kosong, tetapi karena tak ada individu mahluk yang memiliki substansi/roh (atta).

Bagaimana dengan kursi, meja, batu dll apakah memiliki substansi? Tentu saja ada dan kita tak dapat mengatakan meja itu kosong, tetapi dapatkah dikatakan meja atau kursi itui memiliki roh/atta? tentu tidak.

dalam hal tertentu pancakhandha pada mahluk bisa berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan, contohnya: bila Arahat Parinibbana, kelompok pancakhandhanya yang langsung berhenti adalah batin, tetapi jasmani tetap belum berhenti dan mampu berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan.

Bila pancakhandha dikatakan berhenti seluruhnya pada Arahat, itu adalah kemelekatan Mereka yang telah berhenti.
pengertian yang dikatakan tak dapat berdiri sendiri juga adalah kemelekatannya, bila salah satu objek kemelekatan (objek khandha) berhenti, maka objek kemelekatan yang berkaitan juga akan berhenti dan dengan demikian semua objek kemelekatan akan berhenti karena saling berkaitan.

Jadi dibedakan bro, pada Arahat jasmani tidak berhenti tetapi kemelekatan pada jasmani telah berhenti.

Banyak orang yang salah mengerti mengenai pancakhandha itu sendiri, dari jaman dahulu banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa pancakhandha adalah komponen dari mahluk hidup, ini ada benarnya, tetapi kurang tepat, pancakhandha yang sebenarnya adalah merupakan objek kemelekatan kita.

Jadi anatta bukan berarti kosong, tetapi memang karena sifat segala yang terbentuk (ada) akan lenyap kembali (tiada), ini adalah konsep anicca. Disebut anatta karena segala sesuatu yang timbul tersebut akan lenyap kembali, tak ada substansi atta.

QuoteSoal tanggung jawab moral tetap ada walaupun tidak ada substansi utama. Dlm Milinda Panha dikatakan bahwa melalui nama rupa ini suatu perbuatan/kamma dilakukan,karena kamma tsb nama rupa baru pada kehidupan mendatang terbentuk. Walaupun tidak ada sesuatu yg berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan mendatang,namun kamma menghubungkan keduanya,karenanya nama rupa baru tetap bertanggung jawab atas perbuatan nama rupa sebelumnya. CMIIW (Penjelasannya singkat saja karena sepertinya sudah OOT)

Ya saya setuju mengenai hal ini, tetapi khusus mengenai tanggung jawab, saya lebih suka menggunakan istilah konsekuensi, lebih sejalan dengan isi Dhammapada, yaitu konsekuensi akan terus mengikuti, bagai jejak roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya (Dhammapada).

Semoga keterangan saya dapat dimengerti bro Seniya.

_/\_
[/spoiler]

QuoteThx atas penjelasannya tentang anatta, namun konsep sunyata juga sangat mirip dengan konsep anatta yang dijelaskan sbb:

Emptiness

The reality of Sunyata, being one of the most profound truths in Buddhism, is often misunderstood. It is, at best, though not ideally, translated as "Emptiness". The following is an introduction to the concept of Emptiness.

Examples of Emptiness

An analogy to explain Sunyata is a river. A river does not truly exist on its own as it consists of many streams of water coming and going, which make up its "substance". Each of these streams is just as unsubstantial, each consisting of smaller streams of changing elements within it. There is thus no substantial or "real" river—there is only the flowing. We say that the river is empty of a
fixed nature—exhibiting Emptiness. Everything in the universe (all physical and mental phenomena)
exhibits characteristics of Emptiness.

Another example is a waterfall. A waterfall seen from a distance appears as a shiny solid sheet in one piece. But upon closer inspection, we see clearly that the "piece" is a continuous flowing stream of water. There is essentially no fixed "waterfall"—there is only water falling.

The Two Sides of Emptiness

Here is a maxim to help remember the subtle concept of Sunyata:

Sunyata affirms the existence of existence;
Sunyata negates the self-nature of existence.


This means the truth of Emptiness does not deny the existence of each and every thing, but it denies the existence of a fixed unchanging self-nature behind each and every thing.

Using a river again as an example, we can say that a river (made of many small streams) exists dependently or conditionally on the streams—this illustrates the first aspect of the above maxim. Because the river flows on and on and hence keeps changing, we say that the river does not exist independently or unconditionally, as it has no unchanging identity or self—this illustrates the second aspect of the maxim.

Sumber: buku Be A Lamp Upon Yourself

Bro Seniya yang baik, komentar bro Seniya tersebut bila dibahas akan terlalu melebar, mungkin kita perlu persempit pokok bahasannya. Semua fenomena hingga bagian yang terkecil memiliki sifat muncul dan lenyap kembali, ini disebut anicca. Tak ada segala sesuatu di dunia ini yang terus mengalir. Kesadaran yang nampaknya mengalir tak terputus sebenarnya pada kebenaran absolut, juga terputus-putus muncul dan lenyap kembali, jadi kesadaran juga anicca.

Nampaknya kita memandang dari sisi yang berbeda ya?

QuoteSepertinya konsep kekosongan ini dikembangkan konsep kekosongan yang ditemukan dalam kanon Pali juga, seperti Sunna Sutta berikut:

Quote
Suñña Sutta: Empty
[/b]

translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu

Then Ven. Ananda went to the Blessed One and on arrival, having bowed down to him, sat to one side. As he was sitting there he said to the Blessed One, "It is said that the world is empty, the world is empty, lord. In what respect is it said that the world is empty?"

"Insofar as it is empty of a self or of anything pertaining to a self: Thus it is said, Ananda, that the world is empty. And what is empty of a self or of anything pertaining to a self? The eye is empty of a self or of anything pertaining to a self. Forms... Eye-consciousness... Eye-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self.

"The ear is empty...

"The nose is empty...

"The tongue is empty...

"The body is empty...

"The intellect is empty of a self or of anything pertaining to a self. Ideas... Intellect-consciousness... Intellect-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self. Thus it is said that the world is empty."

Sumber: http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html
Coba disimak dengan seksama sutta tersebut bro....
Semua hal yang dikatakan kosong (empty) adalah empty yang berhubungan dengan self (atta) jadi untuk lebih jelasnya dunia ini empty dari atta.
Arti dari atta sendiri adalah jiwa, roh, diri, dalam bahasa sanskrit disebut atman.
Tipitaka sangat konsekuen dalam hal ini, yaitu segala sesuatu di dunia ini kosong dari roh, jiwa atau diri

Mungkin contoh mengenai kursi dan meja bisa dipakai kembali.
Kursi ada, tetapi kursi kosong akan diri, jiwa, roh. Kursi kosong akan atta (empty of self).
Meja ada, tetapi meja kosong akan diri, jiwa, roh. Meja kosong akan atta (empty of self).
Anda ada, tetapi anda kosong akan diri, jiwa, roh. Anda kosong akan atta (empty of self).
Dunia ada, tetapi dunia kosong akan diri, jiwa, roh. Dunia kosong akan atta (empty of self).
Kesimpulannya meja kosong akan atta bukan berarti meja tak ada, bukan berarti meja tak memiliki substansi.


Quote
Quote from: ryu on 16 April 2010, 09:13:15 AM
kosong adalah kosong, isi adalah isi itu adalah yang benar
kalau kosong adalah isi dan isi adalah kosong sepertinya menunjukan pada dualitas.

Sedikit koreksi saja, bukan "kosong adalah isi dan isi adalah kosong" seperti yang dipopulerkan dalam film Kera Sakti, namun yang benar adalah:

Quote
IHA SARIPUTRA RUPAM SUNYATA
SUNYATAIVA RUPAM
RUPANNA PRITHAG SUNYATA
SUNYATAYA NA PRITHAG RUPAM
YA RUPAM SA SUNYATA
YA SUNYATA TAD RUPAM
EVAM EVA VEDANA SAJNA SAMSKHARA VIJNANA

Wahai Sariputra, jasmani (rupa) itu tak lain adalah kosong,
Dan kekosongan itu tak lain dari rupa;
Rupa persisnya adalah kekosongan,
Dan kekosongan persisnya adalah rupa
;
Demikian pula dengan perasaan (vedana), pencerapan (sajna), bentuk pikiran (samskhara), dan kesadaran (vijnana).

IHA SARIPUTRA SARVADHARMA SUNYATA LAKSHANA
ANUTPANNA ANIRUDHA
AMALA NA AVIMALA
NONA NA PARIPURNAH

Wahai Sariputra, semua dharma ditandai dengan kekosongan;
Tidak lahir tidak juga musnah,
Tidak murni tidak juga tercemar,
Tidak bertambah tidak juga berkurang.

Sumber: Prajna Paramita Sutra

Yang kalimat kedua yang di-bold itulah yang saya maksud kebenaran tertinggi bahwa "semua dharma adalah kosong".

Ada perbedaan besar terhadap cara memandang dunia dari segi kebenaran absolut menurut Mahayana dan menurut Theravada.
Mahayana selalu mengatakan kosong... sunya.... maya.....
Theravada selalu mengatakan anicca, dukkha dan anatta.

Semoga keterangan saya cukup jelas.

_/\_

Hmm..... mengikuti thread ini, saya kok malah semakin merasa bahwa konsep Mahayana (untuk topik ini) benar2 bukan hal yang bertentangan.......

Konvensi..........
Segala sesuatu yg bernama adalah merupakan konvensi.
Ia hanyalah suatu kesepakatan.

Contohnya:

Uang,
Kertas bergambar tertentu dan disepakati sebagai uang.
Apabila tidak disepakati, apakah kertas tersebut dapat disebut uang? atau paling tidak masih bisa disebut uang-uangan. Uang sebenarnya hanya konsep. Kertas tersebut apabila kita bawa ke suatu pulau terpencil tanpa ada kontak dengan daerah lain.... uang tersebut kembali ke hakikat aslinya.....kertas bergambar....... Atau bahkan angka dengan banyak nol pada rekening kita. Hanya merupakan konsep. Ia menjadi berarti karena kesepakatan. Tanpa kesepakatan tidak ada apa-apa...... hanya sebagaimana adanya.

Contoh lain:
Sertifikat tanah,
Setifikat sebenarnya hanyalah persetujuan / kesepakatan bahwa seseorang dianggap berhak untuk sebidang tanah tertentu. Sekali lagi...kesepakatan... apabila ada yang tidak sepakat maka akan menjadi masalah...sengketa misalnya.......
Namun pada hakikatnya tidak ada seorangpun yang benar2 memiliki tanah...........
Bro Hendrako yang baik, ada dua cara memandang disini, yaitu yang satu beranggapan manusia, kursi, hewan, dunia ada (tetapi selalu berubah). Yang lain beranggapan manusia, kursi, hewan, dunia tidak ada. (kosong)

QuoteKembali pada contoh dari bro Fabian, yaitu kursi

Kursi pada hakikatnya tidak ada. Kursi hanyalah sebuah konsep yg dilekatkan pada suatu benda tertentu, dalam hal ini untuk duduk, demi kegunaan komunikasi dan kegunaan praktis. Sebenarnya yang ada hanyalah sebagaimana adanya. beberapa bilah dan kayu papan dirangkai sedemikian rupa dengan 4 kaki dan sandaran kemudian disepakati dengan nama..... kursi.....konsep....kesepakatan belaka.....yang ada hanyalah sebagaimana adanya........

Walaupun kursi sebenarnya tidak ada, konsep ini tetap sangat berguna yaitu untuk berkomunikasi dan kegunaan praktis. Tanpa sebutan kursi kita tidak dapat berkomunikasi.

Mungkin bro terlewat membacanya, saya tidak mengatakan kursi tak ada, saya mengatakan kursi ada. Coba baca lagi yang diwarnai biru.
Ada perbedaan dengan cara pandang yang dikemukakan bro Seniya. Bro Seniya mengatakan segala sesuatu di dunia pada dasarnya kosong (tak ada), semua adalah ilusi (maya).
Berdasarkan pandangan saya kursi ada, tetapi kursi mengalami perubahan (anicca) dan tak memiliki jiwa, nyawa, roh.... demikian juga meja, manusia, dunia....

QuoteSetelah mengetahui kursi sebagai kesepakatan. Kursi timbul dari permainan persepsi, dan apabila kita melekati konsep tersebut maka kursi terasa menjadi benar2 ada, dan pada akhir dapat berkembang menjadi .... kursi-Ku, kursi-Mu, kursi-Nya.........
Kursi adalah kursi bro, ia ada.... dan ia nyata.... kecuali kursi imajiner... Entah kita berpersepsi atau tak berpersepsi, kursi yang ada tetap ada bro, ia hanya mengalami perubahan (anicca).

QuoteWalau kursi pada hakikatnya tidak ada, demi kegunaan praktis kita tetap harus merawatnya agar dapat terus digunakan, bahkan pada akhirnya, kursi sebagai konvensi pun tidak kekal. Pada saatnya, beberapa bagian menjadi patah dan benda tersebut berubah bentuknya sehingga tidak dapat disebut sebagai kursi lagi, konsep sebagai kursinya sudah hilang....mungkin masih bisa disebut sebagai ...mantan kursi.....kembali pada unsur pembentuknya.....kayu (misalnya)...yang merupakan konvensi lainnya lagi.......tanpa substansi apa-apa........
Inilah yang dinamakan anicca bro, namanya bisa berubah menjadi apapun tetapi substansinya tetap ada bro...

QuoteKita pun juga merupakan konvensi, dari lahir kita diberi nama hingga sekarang, dewasa, nama kita tetap sama, padahal sebenarnya bayi dan orang dewasa benar2 berbeda, bahkan setiap saat lahir dan batin kita berubah tanpa kecuali..........
Aku dan Kursi sama2 merupakan konsep dan konvensi, sama2 atta.
Aku dan kursi sama-sama anatta bro... (an : tidak ; atta : roh, jiwa, nyawa)

QuoteWalaupun pada hakikatnya tidak ada, konvensi benar2 berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat adalah hutan belantara konvensi yang padat bagaikan hutan perawan. Jadi konvensi harus bisa digunakan dengan bijaksana dan bijaksana bahwa segala sesuatu hanyalah merupakan konvensi.
hakikatnya ada, tetapi berubah bro.... ini yang disebut anicca...

Semoga menjadi jelas.

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

El Sol

Quote from: Peacemind on 13 April 2010, 02:48:47 PM
         Suttanipaya syair 890 menyebutkan kebenaran adalah satu dan tidak ada yang kedua (ekañhi saccaṃ na dutīyamatthi). Namun demikian, Khotbah2 Sang Buddha menyatakan adanya empat kebenaran mulia (cattaro ariyasaccaṃ), sementara Abhidhamma mengatakan adanya empat kebenaran tertinggi lainnya  (catudhā paramattho) yakni citta, cetasika, rūpa dan Nibbāna. Pertanyaannya, bagaimana pernyataan2 di atas berbeda antara satu dengan lainnya. Padahal, yang menjadi unik dalam ajaran Buddha adalah bahwa keseluruhan ajaran beliau memiliki koneksi antara satu dengan lainnya.

       Bagaimana pendapat teman-teman di sini untuk menanggapi kasus di atas?

cuma 1 kata...

UPEKKHA....:D

fabian c

Quote from: sobat-dharma on 19 April 2010, 08:21:48 PM
Ketika saya mengatakan "semua eksistensi dan esensi di dunia ini lahir dari kehadiran subyek dan obyek dan interaksi antara keduanya" yang saya maksudkan sebagai "dunia" adalah alam Samsara. Eksistensi adalah keberadaan dan kehadiran subyek dan obyek yang saling mengadakan satu sama lain: obyek hadir  dalam subyek dan subyek hadir di antara obyek-obyek, seolah keduanya terpisah, namun sebenarnya sulit dipisahkan secara mutlak. Sedangkan Esensi adalah pembedaan yang dibangun dalam bentuk gagasan-gagasan yang bersifat terpisah satu sama lain, terdeferensiasi dan terklasifikasi yang terwujudnya sangat terbantu oleh keberadaan bahasa

Singkatnya, menurut pengetahuan saya yang masih sangat minim, dasar dari munculnya Samsara adalah pemisahan antara subyek (Citta dan Cetasika) dan obyek (Rupa). Hilangnya pemisahan antara subyek dan obyek adalah jalan menuju padamnya dukkha. Dalam hal ini berarti bahwa ketika hakikat citta, cetasika dan rupa berhasil dibongkar, maka sebenarnya mereka adalah tunggal dan hal ini merupakan jalan menuju ke pengetahuan yang sejati. Sankhata Dhamma tidak lagi benar-benar berdaya mempengaruhi karena pada dasarnya hanyalah ilusi, maka tersingkaplah Asankhata Dhamma: Nibbana (Nirvana). 

Demikian penjelasan saya yang sangat ringkas, semoga dapat membantu anda memahami apa yang kumaksudkan. Sebaliknya saya ingin bertanya apakah yang anda maksudkan dengan kata:  "objek yang diketahui tidak selalu merupakan rupa (fisik jasmani)" dan apa hubungannya pernyataan ini dengan diskusi kita? Setahu saya dalam Abhidhamma, obyek-obyek indra (ruparammana, saddaramana, gandharammana, rasarammana) semuanya termasuk dalam kategori rupa.

Maaf ikut komentar sedikit bro Sobat Dharma yang baik. Menurut yang saya ketahui malah sebaliknya, bersatunya antara subjek dan objek menjadi timbul kemelekatan (upadana), dengan timbulnya upadana, menyebabkan timbul kondisi-kondisi. Kitas ambil contoh, umpamanya subjek menyatu dengan bentuk-bentuk pikirannya sendiri, maka hal ini akan menyebabkan subjek terlibat dan terseret pada bentuk-bentuk pikiran tersebut. Demikian juga bila menyatu dengan perasaan, jasmani dll

Bila subjek dan objek terpisah maka kondisi-kondisi akan lenyap karena subjek tidak lagi terpengaruh atau terseret oleh segala sesuatu yang dialaminya.

Perumpamaannya adalah demikian: umpamanya bro Sobat Dharma tinggal di suatu rumah yang indah, bro Sobat Dharma selalu bermain-main di dalam rumah tersebut, tak pernah  keluar pintu. Apakah mungkin bro Sobat Dharma bisa mengetahui bagaimana sifat alami rumah itu yang sesungguhnya? Tidak mungkin kan? Kecuali bro Sobat Dharma keluar rumah.

Demikian juga dengan bentuk-bentuk batin dan jasmani tidak akan bisa diketahui sifat alami yang sesunguhnya, bila kita terus melekat dan tak dapat melepaskan diri darinya.
Untuk bisa melihat sifat alami yang sesungguhnya kita harus bisa melepaskan ikatan dengannya.

Hanya sekedar masukan.

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

sobat-dharma

#71
Sdr.Fabian, terimakasih atas masukannya. Saya sungguh menikmati indahnya perumpamaan yang anda buat tentang rumah. Memberikan wawasan baru :)

Namun saya perlu mengkoreksi beberapa salah paham anda mengenai kata-kata saya.

Yang kumaksudkan dengan "pemisahan antara subyek dan obyek" adalah ketika subyek dianggap sebagai substansi yang mandiri terpisah dengan obyek, begitu juga dengan obyek dianggap terpisah dari subyek: seolah-olah di antara keduanya berdiri semacam garis pemisah ilusif. Akibatnya muncul pandangan bahwa yang di luar subyek adalah obyek, sedangkan yang di luar obyek adalah subyek.  Maka dunia di luar subyek kemudian dianggap dunia "obyektif", "nyata", "terjadi", sedangkan dunia di luar obyek disebut sebagai "subyektif", "tidak nyata", "khayalan." Padahal baik subyek maupun obyek keduanya adalah ilusi.

Dalam bahasa sebuah syair, "obyek ada karena subyek, sedangkan subyek ada karena obyek." Keduanya saling mengadakan dan tidak nyata. Begitu obyek padam, subyek pun lenyap, sehingga tidak mungkin lagi ada obyek.

Apa yang kumaksudkan dengan ketika "pemisahan subyek dan obyek", bukan berarti "subyek tidak melekat pada obyek", namun merupakan suatu kesadaran mengenai adanya substansi subyek dan substansi obyek yang seolah-olah berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain. Dalam kasus ini, kegandrungan akan suatu obyek yang kemudian menjadi kemelekatan justru terjadi ketika subyek menyadari (dengan penuh khayal) kehadiran suatu obyek yang berada di luar dirinya yang harus ia miliki dan kuasai: hal ini tidak mungkin terjadi jika tiada subyek dan obyek sebagai substansi yang berdiri sendiri-sendiri.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

hendrako

#72
Quote from: fabian c on 20 April 2010, 01:13:50 PM
Quote
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 11:46:01 PM
[spoiler]
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 01:31:10 PM
Quote from: seniya on 16 April 2010, 09:07:17 AM
[at] hendrako:
Thx,bro. Tp aku msh bro kok,gak jd sis. Wkwkwkwk....

[at] fabian:
Sungguh beruntung saya dapat berdiskusi dg anda. Secara pribadi saya menyukai tulisan anda tentang kosmologi Buddhis,apalagi saya memang tertarik dg hal2 berbau astronomi.

Menurut pemahaman saya (krn basic saya juga di Theravada),sunyata bukan berarti kosong/hampa atau tidak ada isinya,namun sunyata bermakna bahwa segala sesuatu hanyalah perpaduan unsur2 di mana tidak terdapat unsur substansial yg dapat berdiri sendiri & dikatakan sbg intinya (anatta). Mungkin ada perbedaan antara konsep anatta & sunyata yg tdk saya ketahui,namun secara mendasar keduanya sama memandang semua dharma adalah tanpa eksistensi sesuatu yg substansial.
Bro Seniya yang baik, terima kasih bro menyukai buku Kosmologi tsb.
Kembali ke topik, memang kelihatannya sepintas lalu ada kemiripan antara konsep kosong tsb dengan konsep anatta. Konsep anatta tidak bersasosiasi dengan kekosongan tetapi lebih berasosiasi dengan konsep anicca. Jadi dalam hal ini disebut anatta bukan karena tak ada substansi/kosong, tetapi karena tak ada individu mahluk yang memiliki substansi/roh (atta).

Bagaimana dengan kursi, meja, batu dll apakah memiliki substansi? Tentu saja ada dan kita tak dapat mengatakan meja itu kosong, tetapi dapatkah dikatakan meja atau kursi itui memiliki roh/atta? tentu tidak.

dalam hal tertentu pancakhandha pada mahluk bisa berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan, contohnya: bila Arahat Parinibbana, kelompok pancakhandhanya yang langsung berhenti adalah batin, tetapi jasmani tetap belum berhenti dan mampu berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan.

Bila pancakhandha dikatakan berhenti seluruhnya pada Arahat, itu adalah kemelekatan Mereka yang telah berhenti.
pengertian yang dikatakan tak dapat berdiri sendiri juga adalah kemelekatannya, bila salah satu objek kemelekatan (objek khandha) berhenti, maka objek kemelekatan yang berkaitan juga akan berhenti dan dengan demikian semua objek kemelekatan akan berhenti karena saling berkaitan.

Jadi dibedakan bro, pada Arahat jasmani tidak berhenti tetapi kemelekatan pada jasmani telah berhenti.

Banyak orang yang salah mengerti mengenai pancakhandha itu sendiri, dari jaman dahulu banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa pancakhandha adalah komponen dari mahluk hidup, ini ada benarnya, tetapi kurang tepat, pancakhandha yang sebenarnya adalah merupakan objek kemelekatan kita.

Jadi anatta bukan berarti kosong, tetapi memang karena sifat segala yang terbentuk (ada) akan lenyap kembali (tiada), ini adalah konsep anicca. Disebut anatta karena segala sesuatu yang timbul tersebut akan lenyap kembali, tak ada substansi atta.

QuoteSoal tanggung jawab moral tetap ada walaupun tidak ada substansi utama. Dlm Milinda Panha dikatakan bahwa melalui nama rupa ini suatu perbuatan/kamma dilakukan,karena kamma tsb nama rupa baru pada kehidupan mendatang terbentuk. Walaupun tidak ada sesuatu yg berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan mendatang,namun kamma menghubungkan keduanya,karenanya nama rupa baru tetap bertanggung jawab atas perbuatan nama rupa sebelumnya. CMIIW (Penjelasannya singkat saja karena sepertinya sudah OOT)

Ya saya setuju mengenai hal ini, tetapi khusus mengenai tanggung jawab, saya lebih suka menggunakan istilah konsekuensi, lebih sejalan dengan isi Dhammapada, yaitu konsekuensi akan terus mengikuti, bagai jejak roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya (Dhammapada).

Semoga keterangan saya dapat dimengerti bro Seniya.

_/\_
[/spoiler]

QuoteThx atas penjelasannya tentang anatta, namun konsep sunyata juga sangat mirip dengan konsep anatta yang dijelaskan sbb:

Emptiness

The reality of Sunyata, being one of the most profound truths in Buddhism, is often misunderstood. It is, at best, though not ideally, translated as "Emptiness". The following is an introduction to the concept of Emptiness.

Examples of Emptiness

An analogy to explain Sunyata is a river. A river does not truly exist on its own as it consists of many streams of water coming and going, which make up its "substance". Each of these streams is just as unsubstantial, each consisting of smaller streams of changing elements within it. There is thus no substantial or "real" river—there is only the flowing. We say that the river is empty of a
fixed nature—exhibiting Emptiness. Everything in the universe (all physical and mental phenomena)
exhibits characteristics of Emptiness.

Another example is a waterfall. A waterfall seen from a distance appears as a shiny solid sheet in one piece. But upon closer inspection, we see clearly that the "piece" is a continuous flowing stream of water. There is essentially no fixed "waterfall"—there is only water falling.

The Two Sides of Emptiness

Here is a maxim to help remember the subtle concept of Sunyata:

Sunyata affirms the existence of existence;
Sunyata negates the self-nature of existence.


This means the truth of Emptiness does not deny the existence of each and every thing, but it denies the existence of a fixed unchanging self-nature behind each and every thing.

Using a river again as an example, we can say that a river (made of many small streams) exists dependently or conditionally on the streams—this illustrates the first aspect of the above maxim. Because the river flows on and on and hence keeps changing, we say that the river does not exist independently or unconditionally, as it has no unchanging identity or self—this illustrates the second aspect of the maxim.

Sumber: buku Be A Lamp Upon Yourself

Bro Seniya yang baik, komentar bro Seniya tersebut bila dibahas akan terlalu melebar, mungkin kita perlu persempit pokok bahasannya. Semua fenomena hingga bagian yang terkecil memiliki sifat muncul dan lenyap kembali, ini disebut anicca. Tak ada segala sesuatu di dunia ini yang terus mengalir. Kesadaran yang nampaknya mengalir tak terputus sebenarnya pada kebenaran absolut, juga terputus-putus muncul dan lenyap kembali, jadi kesadaran juga anicca.

Nampaknya kita memandang dari sisi yang berbeda ya?

QuoteSepertinya konsep kekosongan ini dikembangkan konsep kekosongan yang ditemukan dalam kanon Pali juga, seperti Sunna Sutta berikut:

Quote
Suñña Sutta: Empty
[/b]

translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu

Then Ven. Ananda went to the Blessed One and on arrival, having bowed down to him, sat to one side. As he was sitting there he said to the Blessed One, "It is said that the world is empty, the world is empty, lord. In what respect is it said that the world is empty?"

"Insofar as it is empty of a self or of anything pertaining to a self: Thus it is said, Ananda, that the world is empty. And what is empty of a self or of anything pertaining to a self? The eye is empty of a self or of anything pertaining to a self. Forms... Eye-consciousness... Eye-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self.

"The ear is empty...

"The nose is empty...

"The tongue is empty...

"The body is empty...

"The intellect is empty of a self or of anything pertaining to a self. Ideas... Intellect-consciousness... Intellect-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self. Thus it is said that the world is empty."

Sumber: http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html
Coba disimak dengan seksama sutta tersebut bro....
Semua hal yang dikatakan kosong (empty) adalah empty yang berhubungan dengan self (atta) jadi untuk lebih jelasnya dunia ini empty dari atta.
Arti dari atta sendiri adalah jiwa, roh, diri, dalam bahasa sanskrit disebut atman.
Tipitaka sangat konsekuen dalam hal ini, yaitu segala sesuatu di dunia ini kosong dari roh, jiwa atau diri

Mungkin contoh mengenai kursi dan meja bisa dipakai kembali.
Kursi ada, tetapi kursi kosong akan diri, jiwa, roh. Kursi kosong akan atta (empty of self).
Meja ada, tetapi meja kosong akan diri, jiwa, roh. Meja kosong akan atta (empty of self).
Anda ada, tetapi anda kosong akan diri, jiwa, roh. Anda kosong akan atta (empty of self).
Dunia ada, tetapi dunia kosong akan diri, jiwa, roh. Dunia kosong akan atta (empty of self).
Kesimpulannya meja kosong akan atta bukan berarti meja tak ada, bukan berarti meja tak memiliki substansi.


Quote
Quote from: ryu on 16 April 2010, 09:13:15 AM
kosong adalah kosong, isi adalah isi itu adalah yang benar
kalau kosong adalah isi dan isi adalah kosong sepertinya menunjukan pada dualitas.

Sedikit koreksi saja, bukan "kosong adalah isi dan isi adalah kosong" seperti yang dipopulerkan dalam film Kera Sakti, namun yang benar adalah:

Quote
IHA SARIPUTRA RUPAM SUNYATA
SUNYATAIVA RUPAM
RUPANNA PRITHAG SUNYATA
SUNYATAYA NA PRITHAG RUPAM
YA RUPAM SA SUNYATA
YA SUNYATA TAD RUPAM
EVAM EVA VEDANA SAJNA SAMSKHARA VIJNANA

Wahai Sariputra, jasmani (rupa) itu tak lain adalah kosong,
Dan kekosongan itu tak lain dari rupa;
Rupa persisnya adalah kekosongan,
Dan kekosongan persisnya adalah rupa
;
Demikian pula dengan perasaan (vedana), pencerapan (sajna), bentuk pikiran (samskhara), dan kesadaran (vijnana).

IHA SARIPUTRA SARVADHARMA SUNYATA LAKSHANA
ANUTPANNA ANIRUDHA
AMALA NA AVIMALA
NONA NA PARIPURNAH

Wahai Sariputra, semua dharma ditandai dengan kekosongan;
Tidak lahir tidak juga musnah,
Tidak murni tidak juga tercemar,
Tidak bertambah tidak juga berkurang.

Sumber: Prajna Paramita Sutra

Yang kalimat kedua yang di-bold itulah yang saya maksud kebenaran tertinggi bahwa "semua dharma adalah kosong".

Ada perbedaan besar terhadap cara memandang dunia dari segi kebenaran absolut menurut Mahayana dan menurut Theravada.
Mahayana selalu mengatakan kosong... sunya.... maya.....
Theravada selalu mengatakan anicca, dukkha dan anatta.

Semoga keterangan saya cukup jelas.

_/\_

Hmm..... mengikuti thread ini, saya kok malah semakin merasa bahwa konsep Mahayana (untuk topik ini) benar2 bukan hal yang bertentangan.......

Konvensi..........
Segala sesuatu yg bernama adalah merupakan konvensi.
Ia hanyalah suatu kesepakatan.

Contohnya:

Uang,
Kertas bergambar tertentu dan disepakati sebagai uang.
Apabila tidak disepakati, apakah kertas tersebut dapat disebut uang? atau paling tidak masih bisa disebut uang-uangan. Uang sebenarnya hanya konsep. Kertas tersebut apabila kita bawa ke suatu pulau terpencil tanpa ada kontak dengan daerah lain.... uang tersebut kembali ke hakikat aslinya.....kertas bergambar....... Atau bahkan angka dengan banyak nol pada rekening kita. Hanya merupakan konsep. Ia menjadi berarti karena kesepakatan. Tanpa kesepakatan tidak ada apa-apa...... hanya sebagaimana adanya.

Contoh lain:
Sertifikat tanah,
Setifikat sebenarnya hanyalah persetujuan / kesepakatan bahwa seseorang dianggap berhak untuk sebidang tanah tertentu. Sekali lagi...kesepakatan... apabila ada yang tidak sepakat maka akan menjadi masalah...sengketa misalnya.......
Namun pada hakikatnya tidak ada seorangpun yang benar2 memiliki tanah...........
Bro Hendrako yang baik, ada dua cara memandang disini, yaitu yang satu beranggapan manusia, kursi, hewan, dunia ada (tetapi selalu berubah). Yang lain beranggapan manusia, kursi, hewan, dunia tidak ada. (kosong)

QuoteKembali pada contoh dari bro Fabian, yaitu kursi

Kursi pada hakikatnya tidak ada. Kursi hanyalah sebuah konsep yg dilekatkan pada suatu benda tertentu, dalam hal ini untuk duduk, demi kegunaan komunikasi dan kegunaan praktis. Sebenarnya yang ada hanyalah sebagaimana adanya. beberapa bilah dan kayu papan dirangkai sedemikian rupa dengan 4 kaki dan sandaran kemudian disepakati dengan nama..... kursi.....konsep....kesepakatan belaka.....yang ada hanyalah sebagaimana adanya........

Walaupun kursi sebenarnya tidak ada, konsep ini tetap sangat berguna yaitu untuk berkomunikasi dan kegunaan praktis. Tanpa sebutan kursi kita tidak dapat berkomunikasi.

Mungkin bro terlewat membacanya, saya tidak mengatakan kursi tak ada, saya mengatakan kursi ada. Coba baca lagi yang diwarnai biru.
Ada perbedaan dengan cara pandang yang dikemukakan bro Seniya. Bro Seniya mengatakan segala sesuatu di dunia pada dasarnya kosong (tak ada), semua adalah ilusi (maya).
Berdasarkan pandangan saya kursi ada, tetapi kursi mengalami perubahan (anicca) dan tak memiliki jiwa, nyawa, roh.... demikian juga meja, manusia, dunia....

QuoteSetelah mengetahui kursi sebagai kesepakatan. Kursi timbul dari permainan persepsi, dan apabila kita melekati konsep tersebut maka kursi terasa menjadi benar2 ada, dan pada akhir dapat berkembang menjadi .... kursi-Ku, kursi-Mu, kursi-Nya.........
Kursi adalah kursi bro, ia ada.... dan ia nyata.... kecuali kursi imajiner... Entah kita berpersepsi atau tak berpersepsi, kursi yang ada tetap ada bro, ia hanya mengalami perubahan (anicca).

QuoteWalau kursi pada hakikatnya tidak ada, demi kegunaan praktis kita tetap harus merawatnya agar dapat terus digunakan, bahkan pada akhirnya, kursi sebagai konvensi pun tidak kekal. Pada saatnya, beberapa bagian menjadi patah dan benda tersebut berubah bentuknya sehingga tidak dapat disebut sebagai kursi lagi, konsep sebagai kursinya sudah hilang....mungkin masih bisa disebut sebagai ...mantan kursi.....kembali pada unsur pembentuknya.....kayu (misalnya)...yang merupakan konvensi lainnya lagi.......tanpa substansi apa-apa........
Inilah yang dinamakan anicca bro, namanya bisa berubah menjadi apapun tetapi substansinya tetap ada bro...

QuoteKita pun juga merupakan konvensi, dari lahir kita diberi nama hingga sekarang, dewasa, nama kita tetap sama, padahal sebenarnya bayi dan orang dewasa benar2 berbeda, bahkan setiap saat lahir dan batin kita berubah tanpa kecuali..........
Aku dan Kursi sama2 merupakan konsep dan konvensi, sama2 atta.
Aku dan kursi sama-sama anatta bro... (an : tidak ; atta : roh, jiwa, nyawa)

QuoteWalaupun pada hakikatnya tidak ada, konvensi benar2 berguna dalam kehidupan bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat adalah hutan belantara konvensi yang padat bagaikan hutan perawan. Jadi konvensi harus bisa digunakan dengan bijaksana dan bijaksana bahwa segala sesuatu hanyalah merupakan konvensi.
hakikatnya ada, tetapi berubah bro.... ini yang disebut anicca...

Semoga menjadi jelas.

_/\_

Bagai saluran radio yang berbeda, kita mendengar stasiun yang berbeda pula.

Saya mengetahui bahwa anda menyebut kursi pada hakikatnya ada, oleh karena itulah saya menyatakan yg sebaliknya yaitu kursi pada hakikatnya tidak ada.

Maksud saya dengan mengatakan Aku dan kursi adalah atta adalah, pada saat kita melekat dengan konsep kursi, pada saat itulah kursi menjadi atta. Pada saat kita melihat kursi sebagaimana adanya, kursi itu tidak ada, yang ada hanyalah perpaduan unsur2. Yang kita sebut kursi adalah konsep, ilusi, konvensi, persetujuan belaka, yang pada hakikatnya tidak ada.

Segala sesuatu yang diberi nama, kursi contohnya, menjadi ada hanya karena disepakati demikian, konvensi.... diluar itu kursi tidak ada, gunung, laut, sungai, anjing, semuanya tidak ada. Semua sebutan tersebut hanya konsep, sekali lagi...konvensi belaka... yg walaupun pada hakikatnya tidak ada konvensi ini berguna untuk berkomunikasi, tanpa konvensi kita tidak dapat berkata apa-apa.

Hakikat = atta.
Tanpa hakikat = anatta

Btw, apa yang anda maksud dengan hakikat sebuah kursi?
yaa... gitu deh

fabian c

Quote from: sobat-dharma on 20 April 2010, 05:03:07 PM
Sdr.Fabian, terimakasih atas masukannya. Saya sungguh menikmati indahnya perumpamaan yang anda buat tentang rumah. Memberikan wawasan baru :)

Namun saya perlu mengkoreksi beberapa salah paham anda mengenai kata-kata saya.

Yang kumaksudkan dengan "pemisahan antara subyek dan obyek" adalah ketika subyek dianggap sebagai substansi yang mandiri terpisah dengan obyek, begitu juga dengan obyek dianggap terpisah dari subyek: seolah-olah di antara keduanya berdiri semacam garis pemisah ilusif. Akibatnya muncul pandangan bahwa yang di luar subyek adalah obyek, sedangkan yang di luar obyek adalah subyek.  Maka dunia di luar subyek kemudian dianggap dunia "obyektif", "nyata", "terjadi", sedangkan dunia di luar obyek disebut sebagai "subyektif", "tidak nyata", "khayalan." Padahal baik subyek maupun obyek keduanya adalah ilusi.

Bro Sobat Dharma yang baik, maafkan mungkin saya memang kurang menangkap maksud bro Dharma, terutama mengenai garis pemisah ilusif, seperti apakah itu?

QuoteDalam bahasa sebuah syair, "obyek ada karena subyek, sedangkan subyek ada karena obyek." Keduanya saling mengadakan dan tidak nyata. Begitu obyek padam, subyek pun lenyap, sehingga tidak mungkin lagi ada obyek.

Yang ini juga saya kurang mengerti, bukankah objek dan subjek dapat berdiri sendiri-sendiri?

QuoteApa yang kumaksudkan dengan ketika "pemisahan subyek dan obyek", bukan berarti "subyek tidak melekat pada obyek", namun merupakan suatu kesadaran mengenai adanya substansi subyek dan substansi obyek yang seolah-olah berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain. Dalam kasus ini, kegandrungan akan suatu obyek yang kemudian menjadi kemelekatan justru terjadi ketika subyek menyadari (dengan penuh khayal) kehadiran suatu obyek yang berada di luar dirinya yang harus ia miliki dan kuasai: hal ini tidak mungkin terjadi jika tiada subyek dan obyek sebagai substansi yang berdiri sendiri-sendiri.
Sepanjang yang saya ketahui kemelekatan bukan hanya terhadap objek yang berada di luar, kemelekatan juga terhadap segala sesuatu yang ada di dalam diri kita. Umpamanya apakah kita mau mendonorkan jantung atau mata kita, tentu tidak kan? Bila ada suatu perasaan bahagia muncul, tentu akan menyebabkan kita melekat. Selain itu ada berbagai kemelekatan terhadap pancakhandha lainnya.

hanya sekedar pendapat, maaf kalau ada yang tidak berkenan.

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

fabian c

Quote from: hendrako on 20 April 2010, 07:23:32 PM
Bagai saluran radio yang berbeda, kita mendengar stasiun yang berbeda pula.

Saya mengetahui bahwa anda menyebut kursi pada hakikatnya ada, oleh karena itulah saya menyatakan yg sebaliknya yaitu kursi pada hakikatnya tidak ada.

Maksud saya dengan mengatakan Aku dan kursi adalah atta adalah, pada saat kita melekat dengan konsep kursi, pada saat itulah kursi menjadi atta. Pada saat kita melihat kursi sebagaimana adanya, kursi itu tidak ada, yang ada hanyalah perpaduan unsur2. Yang kita sebut kursi adalah konsep, ilusi, konvensi, persetujuan belaka, yang pada hakikatnya tidak ada.

Bro hendrako yang baik, dari apa yang saya ketahui yang dimaksud atta adalah jiwa atau roh, dalam bahasa sanskritnya disebut atman. Menurut pendapat saya kursi tetap tak akan memiliki jiwa atau roh (anatta) baik kita melekatinya atau tidak akan sama saja.

Kursi memang  benar merupakan perpaduan unsur-unsur yang kita sebut kursi adalah persetujuan (konvensi) belaka. Saya setuju pendapat bro Hendrako bahwa kursi bila terpisah-pisah namanya bukan kursi. Tetapi bagian-bagian kursi yang terpisah tersebut walau dibagi-bagi menurut unsur-unsurnya hingga sekecil partikel atom juga tetap ada, tetapi mengalami perubahan karena tidak kekal.

QuoteSegala sesuatu yang diberi nama, kursi contohnya, menjadi ada hanya karena disepakati demikian, konvensi.... diluar itu kursi tidak ada, gunung, laut, sungai, anjing, semuanya tidak ada. Semua sebutan tersebut hanya konsep, sekali lagi...konvensi belaka... yg walaupun pada hakikatnya tidak ada konvensi ini berguna untuk berkomunikasi, tanpa konvensi kita tidak dapat berkata apa-apa.
Segala sesuatu memang dinamakan demikian bila bersatu menjadi satu kesatuan misalnya kursi gunung, laut dsbnya, Sebenarnya ini adalah penamaan. Semua ini bila dianalisa hingga komponen yang terkecil tetap ada tetapi dengan nama yang berbeda, umpamanya dalam Abhidhamma dikatakan semua rupa terdiri atas kelompok-kelompok unsur yang disebut rupa-kalapa (partikel subatomik yang ukurannya lebih kecil daripada atom). Tetapi materi yang sangat kecil inipun tidak dikatakan kosong, hanya penamaannya yang berubah sesuai dengan konvensi.

QuoteHakikat = atta.
Tanpa hakikat = anatta

Btw, apa yang anda maksud dengan hakikat sebuah kursi?
Mungkin pengertian saya dengan bro hendrako agak berbeda dalam menanggapi apa yang dimaksud dengan atta, seperti yang sudah saya tulis diatas, arti dari atta (atman dalam bahasa sanskritnya) yang saya ketahui adalah berarti jiwa atau roh.

Bila salah mohon dikoreksi

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata