Kebenaran adalah satu atau banyak!

Started by Peacemind, 13 April 2010, 02:48:47 PM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

wen78

^

apakah bro ryu sudah dewasa? apakah kedewasaan bro ryu adalah sesuatu yg dualitas? :)

jika merasa blm dewasa, gak usah di bahas lagi :P
segala post saya yg tidak berdasarkan sumber yg otentik yaitu Tripitaka, adalah post yg tidak sah yg dapat mengakibatkan kesalahanpahaman dalam memahami Buddhism. dengan demikian, mohon abaikan semua statement saya di forum ini, karena saya tidak menyertakan sumber yg otentik yaitu Tripitaka.

Nevada

Quote from: Peacemind on 15 April 2010, 07:36:52 PM
Hmm... it makes sense. Setuju!

Btw, sebagai informasi saja, menurut kitab komentar, empat paramatthadhamma dalam Abhidhamma yang disebut di awal thread ini  terutama dalam hal ini citta, cetasika dan rūpa dikatakan sebagai kebenaran tertinggi karena mereka hanya menunjukkan hakekat sesungguhnya fenomena  tanpa adanya embel-embel 'diri / aku'. Ini juga bisa diartikan bahwa ketika seseorang melihat fenomena batin dan jasmani sebagai mana adanya tanpa campur tangan, bahwa mereka "milikku, aku dan diriku", di sana yang memanifestasikan sifat alamnya adalah hanya citta, cetasika dan rupa. Oleh karena itu, tiga hal ini pun dikatakan sebagai kebenaran tertinggi.

Kebetulan sekitar 2 bulan yang lalu saya pernah bertanya ke seorang ahli Abhidhamma Nina Van Gorkom tentang mengapa citta, cetasika dan rūpa juga merupakan kebenaran tertinggi. Ia menjawab karena ketiga hal ini sudah tidak bisa dibagi lagi.

Ada pendapat?

Menarik juga...

Saya pikir citta, cetasika dan rupa memang merupakan kebenaran tertinggi. Sebab apa yang kita sebut sebagai makhluk (manussa) ini hanyalah terdiri dari citta-cetasika (batin) dan rupa (fisik jasmani). Bagi seseorang yang belum menembus kebenaran, dirinya masih terkungkung dalam konsep bahwa ada "aku", "diriku", dan "milikku". Karena konsepsi ini ada, maka seseorang masih akan menggenggam bahwa "aku" ada di dalam, di luar, ataupun berada di citta, cetasika, maupun di rupa. Demikian pula seseorang masih menggenggam bahwa "diriku" dan "milikku" ada di dalam, di luar, ataupun berada di citta, cetasika, maupun di rupa.

Bagi seseorang yang masih menggenggam konsepsi ini, ia tidak akan bisa melihat kebenaran sesungguhnya bahwa tidak ada yang layak disebut sebagai "aku", "diriku", maupun "milikku". Ia belum bisa melihat dengan jelas apa itu citta, cetasika dan rupa. Diperlukan kebijaksanaan (panna) untuk bisa melihat ketiga hal ini, sebab "fungsi" dari kebijaksanaan adalah memilah. Setelah kebijaksanaan memilah, seseorang hanya akan melihat citta, cetasika dan rupa; tidak ada "aku", "diriku" dan "milikku".

Citta, cetasika dan rupa sudah tidak bisa dibagi lagi. Tapi ketiga hal ini tidak layak pula untuk disebut sebagai substansi inti dari makhluk (manussa). Sebab seperti yang sudah kita singgung sebelumnya; bahwa citta, cetasika dan rupa merupakan segala sesuatu yang timbul karena sebab.

Bagaimana pendapat Anda?

ryu

Quote from: wen78 on 16 April 2010, 09:16:40 AM
^

apakah bro ryu sudah dewasa? apakah kedewasaan bro ryu adalah sesuatu yg dualitas? :)

jika merasa blm dewasa, gak usah di bahas lagi :P
memangnya dalam sabda buddha ada dikatakan kedewasaan dalam perumpamaan isi adalah kosong?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

fabian c

Quote from: seniya on 16 April 2010, 09:07:17 AM
[at] hendrako:
Thx,bro. Tp aku msh bro kok,gak jd sis. Wkwkwkwk....

[at] fabian:
Sungguh beruntung saya dapat berdiskusi dg anda. Secara pribadi saya menyukai tulisan anda tentang kosmologi Buddhis,apalagi saya memang tertarik dg hal2 berbau astronomi.

Menurut pemahaman saya (krn basic saya juga di Theravada),sunyata bukan berarti kosong/hampa atau tidak ada isinya,namun sunyata bermakna bahwa segala sesuatu hanyalah perpaduan unsur2 di mana tidak terdapat unsur substansial yg dapat berdiri sendiri & dikatakan sbg intinya (anatta). Mungkin ada perbedaan antara konsep anatta & sunyata yg tdk saya ketahui,namun secara mendasar keduanya sama memandang semua dharma adalah tanpa eksistensi sesuatu yg substansial.
Bro Seniya yang baik, terima kasih bro menyukai buku Kosmologi tsb.
Kembali ke topik, memang kelihatannya sepintas lalu ada kemiripan antara konsep kosong tsb dengan konsep anatta. Konsep anatta tidak bersasosiasi dengan kekosongan tetapi lebih berasosiasi dengan konsep anicca. Jadi dalam hal ini disebut anatta bukan karena tak ada substansi/kosong, tetapi karena tak ada individu mahluk yang memiliki substansi/roh (atta).

Bagaimana dengan kursi, meja, batu dll apakah memiliki substansi? Tentu saja ada dan kita tak dapat mengatakan meja itu kosong, tetapi dapatkah dikatakan meja atau kursi itui memiliki roh/atta? tentu tidak.

dalam hal tertentu pancakhandha pada mahluk bisa berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan, contohnya: bila Arahat Parinibbana, kelompok pancakhandhanya yang langsung berhenti adalah batin, tetapi jasmani tetap belum berhenti dan mampu berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan.

Bila pancakhandha dikatakan berhenti seluruhnya pada Arahat, itu adalah kemelekatan Mereka yang telah berhenti.
pengertian yang dikatakan tak dapat berdiri sendiri juga adalah kemelekatannya, bila salah satu objek kemelekatan (objek khandha) berhenti, maka objek kemelekatan yang berkaitan juga akan berhenti dan dengan demikian semua objek kemelekatan akan berhenti karena saling berkaitan.

Jadi dibedakan bro, pada Arahat jasmani tidak berhenti tetapi kemelekatan pada jasmani telah berhenti.

Banyak orang yang salah mengerti mengenai pancakhandha itu sendiri, dari jaman dahulu banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa pancakhandha adalah komponen dari mahluk hidup, ini ada benarnya, tetapi kurang tepat, pancakhandha yang sebenarnya adalah merupakan objek kemelekatan kita.

Jadi anatta bukan berarti kosong, tetapi memang karena sifat segala yang terbentuk (ada) akan lenyap kembali (tiada), ini adalah konsep anicca. Disebut anatta karena segala sesuatu yang timbul tersebut akan lenyap kembali, tak ada substansi atta.

QuoteSoal tanggung jawab moral tetap ada walaupun tidak ada substansi utama. Dlm Milinda Panha dikatakan bahwa melalui nama rupa ini suatu perbuatan/kamma dilakukan,karena kamma tsb nama rupa baru pada kehidupan mendatang terbentuk. Walaupun tidak ada sesuatu yg berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan mendatang,namun kamma menghubungkan keduanya,karenanya nama rupa baru tetap bertanggung jawab atas perbuatan nama rupa sebelumnya. CMIIW (Penjelasannya singkat saja karena sepertinya sudah OOT)

Ya saya setuju mengenai hal ini, tetapi khusus mengenai tanggung jawab, saya lebih suka menggunakan istilah konsekuensi, lebih sejalan dengan isi Dhammapada, yaitu konsekuensi akan terus mengikuti, bagai jejak roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya (Dhammapada).

Semoga keterangan saya dapat dimengerti bro Seniya.

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

Peacemind

Quote from: upasaka on 16 April 2010, 10:14:53 AM
Quote from: Peacemind on 15 April 2010, 07:36:52 PM
Hmm... it makes sense. Setuju!

Btw, sebagai informasi saja, menurut kitab komentar, empat paramatthadhamma dalam Abhidhamma yang disebut di awal thread ini  terutama dalam hal ini citta, cetasika dan rūpa dikatakan sebagai kebenaran tertinggi karena mereka hanya menunjukkan hakekat sesungguhnya fenomena  tanpa adanya embel-embel 'diri / aku'. Ini juga bisa diartikan bahwa ketika seseorang melihat fenomena batin dan jasmani sebagai mana adanya tanpa campur tangan, bahwa mereka "milikku, aku dan diriku", di sana yang memanifestasikan sifat alamnya adalah hanya citta, cetasika dan rupa. Oleh karena itu, tiga hal ini pun dikatakan sebagai kebenaran tertinggi.

Kebetulan sekitar 2 bulan yang lalu saya pernah bertanya ke seorang ahli Abhidhamma Nina Van Gorkom tentang mengapa citta, cetasika dan rūpa juga merupakan kebenaran tertinggi. Ia menjawab karena ketiga hal ini sudah tidak bisa dibagi lagi.

Ada pendapat?

Menarik juga...

Saya pikir citta, cetasika dan rupa memang merupakan kebenaran tertinggi. Sebab apa yang kita sebut sebagai makhluk (manussa) ini hanyalah terdiri dari citta-cetasika (batin) dan rupa (fisik jasmani). Bagi seseorang yang belum menembus kebenaran, dirinya masih terkungkung dalam konsep bahwa ada "aku", "diriku", dan "milikku". Karena konsepsi ini ada, maka seseorang masih akan menggenggam bahwa "aku" ada di dalam, di luar, ataupun berada di citta, cetasika, maupun di rupa. Demikian pula seseorang masih menggenggam bahwa "diriku" dan "milikku" ada di dalam, di luar, ataupun berada di citta, cetasika, maupun di rupa.

Bagi seseorang yang masih menggenggam konsepsi ini, ia tidak akan bisa melihat kebenaran sesungguhnya bahwa tidak ada yang layak disebut sebagai "aku", "diriku", maupun "milikku". Ia belum bisa melihat dengan jelas apa itu citta, cetasika dan rupa. Diperlukan kebijaksanaan (panna) untuk bisa melihat ketiga hal ini, sebab "fungsi" dari kebijaksanaan adalah memilah. Setelah kebijaksanaan memilah, seseorang hanya akan melihat citta, cetasika dan rupa; tidak ada "aku", "diriku" dan "milikku".

Citta, cetasika dan rupa sudah tidak bisa dibagi lagi. Tapi ketiga hal ini tidak layak pula untuk disebut sebagai substansi inti dari makhluk (manussa). Sebab seperti yang sudah kita singgung sebelumnya; bahwa citta, cetasika dan rupa merupakan segala sesuatu yang timbul karena sebab.

Bagaimana pendapat Anda?

Yap, setuju sekali. Sebagai tambahan saja, dalam kitab komentar, dalam mendefinisikan beberapa fenomena seperti citta, cetasika, dll, para komentator menggunakan tiga cara yakni (1) kattusadhana - definisi yang menunjukkan adanya agen, (2) definisi yang menunjukkan fenomena sebagai instrumen, (3) bhavasadhana -definisi yang menunjukkan sifat fenomena sesungguhnya fenomena. Sebagai contoh adalah definisi citta sebagai berikut:

1. kattusadhana = cinteti'ti cittaṃ - pikiran disebut demikian karena ia berpikir. Dalam hal ini, citta memiliki agen.
2. karadasadhana = cinteti'ti tena cittaṃ - pikiran disebut demikian karena dengan pikiran seseorang berpikir. Di sini pikiran menjadi sebuah instrumen di mana seseorang berpikir.
3. bhavasadhana = cintanamattaṃ eva cittaṃ - sekedar pikiran itulah yang disebut pikiran / mere thingking itself is mind. Dalama definisi ini, pikiran didefinisikan sebagai sekedar / hanya pikiran tanpa campur tangan adanya "aku, diri atau pemilik'.

Dari ketiga definisi di atas, dua definisi pertama digunakan hanya untuk mempermudah komunikasi, namun tidak menunjukkan sifat sebenarnya citta. Oleh karenanya, dua definisi ini disebut sebagai samuttisacca. Sementara itu, definisi pertama dianggap sebagai sifat sesungguhnya citta karena dalam definisi ini tidak ada diri, aku atau milik. Yang ada hanya citta dan tidak lebih dari itu. Definisi ini juga dikategorikan sebagai paramattasacca. Berbasis pada definisi ini pula, jika fenomena mengacu kepada 'sekedar fenomena' tanpa embel-embel aku, diri atau milik, maka bisa dikatakan bahwa sekedar fenomena2 ini dianggap sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dlm 'sankhara world'. Hal ini juga sangat berkaitan dengan khotbah dalam Bahiyasutta yakni ketika seseorang melihat, ini 'hanya sekedar melihat', dst. Ketika seseorang melihat yang ada hanya sekedar melihat tanpa adanya embel-embel aku, diri atau milik, di sana yang ada hanya sekedar fenomena yang muncul dan lenyap. Demikianlah, hanya sekedar citta, cetasika dan rupa tanpa embel-embel 'aku, diri atau milik' disebut sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dalam kategori sankhara world.

Citta, cetasika dan rupa tidak bisa dibagi lagi dalam arti bahwa mereka telah menunjukkan sifat sejatinya fenomena. Namun seperti yang telah diketahui bersama, mereka pun masih berada dalam lingkup muncul, bertahan sebentar dan lenyap (uppada, ṭhiti, bhaṅga).

seniya

#50
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 01:31:10 PM
Quote from: seniya on 16 April 2010, 09:07:17 AM
[at] hendrako:
Thx,bro. Tp aku msh bro kok,gak jd sis. Wkwkwkwk....

[at] fabian:
Sungguh beruntung saya dapat berdiskusi dg anda. Secara pribadi saya menyukai tulisan anda tentang kosmologi Buddhis,apalagi saya memang tertarik dg hal2 berbau astronomi.

Menurut pemahaman saya (krn basic saya juga di Theravada),sunyata bukan berarti kosong/hampa atau tidak ada isinya,namun sunyata bermakna bahwa segala sesuatu hanyalah perpaduan unsur2 di mana tidak terdapat unsur substansial yg dapat berdiri sendiri & dikatakan sbg intinya (anatta). Mungkin ada perbedaan antara konsep anatta & sunyata yg tdk saya ketahui,namun secara mendasar keduanya sama memandang semua dharma adalah tanpa eksistensi sesuatu yg substansial.
Bro Seniya yang baik, terima kasih bro menyukai buku Kosmologi tsb.
Kembali ke topik, memang kelihatannya sepintas lalu ada kemiripan antara konsep kosong tsb dengan konsep anatta. Konsep anatta tidak bersasosiasi dengan kekosongan tetapi lebih berasosiasi dengan konsep anicca. Jadi dalam hal ini disebut anatta bukan karena tak ada substansi/kosong, tetapi karena tak ada individu mahluk yang memiliki substansi/roh (atta).

Bagaimana dengan kursi, meja, batu dll apakah memiliki substansi? Tentu saja ada dan kita tak dapat mengatakan meja itu kosong, tetapi dapatkah dikatakan meja atau kursi itui memiliki roh/atta? tentu tidak.

dalam hal tertentu pancakhandha pada mahluk bisa berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan, contohnya: bila Arahat Parinibbana, kelompok pancakhandhanya yang langsung berhenti adalah batin, tetapi jasmani tetap belum berhenti dan mampu berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan.

Bila pancakhandha dikatakan berhenti seluruhnya pada Arahat, itu adalah kemelekatan Mereka yang telah berhenti.
pengertian yang dikatakan tak dapat berdiri sendiri juga adalah kemelekatannya, bila salah satu objek kemelekatan (objek khandha) berhenti, maka objek kemelekatan yang berkaitan juga akan berhenti dan dengan demikian semua objek kemelekatan akan berhenti karena saling berkaitan.

Jadi dibedakan bro, pada Arahat jasmani tidak berhenti tetapi kemelekatan pada jasmani telah berhenti.

Banyak orang yang salah mengerti mengenai pancakhandha itu sendiri, dari jaman dahulu banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa pancakhandha adalah komponen dari mahluk hidup, ini ada benarnya, tetapi kurang tepat, pancakhandha yang sebenarnya adalah merupakan objek kemelekatan kita.

Jadi anatta bukan berarti kosong, tetapi memang karena sifat segala yang terbentuk (ada) akan lenyap kembali (tiada), ini adalah konsep anicca. Disebut anatta karena segala sesuatu yang timbul tersebut akan lenyap kembali, tak ada substansi atta.

QuoteSoal tanggung jawab moral tetap ada walaupun tidak ada substansi utama. Dlm Milinda Panha dikatakan bahwa melalui nama rupa ini suatu perbuatan/kamma dilakukan,karena kamma tsb nama rupa baru pada kehidupan mendatang terbentuk. Walaupun tidak ada sesuatu yg berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan mendatang,namun kamma menghubungkan keduanya,karenanya nama rupa baru tetap bertanggung jawab atas perbuatan nama rupa sebelumnya. CMIIW (Penjelasannya singkat saja karena sepertinya sudah OOT)

Ya saya setuju mengenai hal ini, tetapi khusus mengenai tanggung jawab, saya lebih suka menggunakan istilah konsekuensi, lebih sejalan dengan isi Dhammapada, yaitu konsekuensi akan terus mengikuti, bagai jejak roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya (Dhammapada).

Semoga keterangan saya dapat dimengerti bro Seniya.

_/\_

Thx atas penjelasannya tentang anatta, namun konsep sunyata juga sangat mirip dengan konsep anatta yang dijelaskan sbb:

QuoteEmptiness

The reality of Sunyata, being one of the most profound truths in Buddhism, is often misunderstood. It is, at best, though not ideally, translated as "Emptiness". The following is an introduction to the concept of Emptiness.

Examples of Emptiness

An analogy to explain Sunyata is a river. A river does not truly exist on its own as it consists of many streams of water coming and going, which make up its "substance". Each of these streams is just as unsubstantial, each consisting of smaller streams of changing elements within it. There is thus no substantial or "real" river—there is only the flowing. We say that the river is empty of a
fixed nature—exhibiting Emptiness. Everything in the universe (all physical and mental phenomena)
exhibits characteristics of Emptiness.

Another example is a waterfall. A waterfall seen from a distance appears as a shiny solid sheet in one piece. But upon closer inspection, we see clearly that the "piece" is a continuous flowing stream of water. There is essentially no fixed "waterfall"—there is only water falling.

The Two Sides of Emptiness

Here is a maxim to help remember the subtle concept of Sunyata:

Sunyata affirms the existence of existence;
Sunyata negates the self-nature of existence.


This means the truth of Emptiness does not deny the existence of each and every thing, but it denies the existence of a fixed unchanging self-nature behind each and every thing.

Using a river again as an example, we can say that a river (made of many small streams) exists dependently or conditionally on the streams—this illustrates the first aspect of the above maxim. Because the river flows on and on and hence keeps changing, we say that the river does not exist independently or unconditionally, as it has no unchanging identity or self—this illustrates the second aspect of the maxim.

Sumber: buku Be A Lamp Upon Yourself

Sepertinya konsep kekosongan ini dikembangkan konsep kekosongan yang ditemukan dalam kanon Pali juga, seperti Sunna Sutta berikut:

Quote
Suñña Sutta: Empty
[/b]

translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu

Then Ven. Ananda went to the Blessed One and on arrival, having bowed down to him, sat to one side. As he was sitting there he said to the Blessed One, "It is said that the world is empty, the world is empty, lord. In what respect is it said that the world is empty?"

"Insofar as it is empty of a self or of anything pertaining to a self: Thus it is said, Ananda, that the world is empty. And what is empty of a self or of anything pertaining to a self? The eye is empty of a self or of anything pertaining to a self. Forms... Eye-consciousness... Eye-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self.

"The ear is empty...

"The nose is empty...

"The tongue is empty...

"The body is empty...

"The intellect is empty of a self or of anything pertaining to a self. Ideas... Intellect-consciousness... Intellect-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self. Thus it is said that the world is empty."

Sumber: http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html

Quote from: ryu on 16 April 2010, 09:13:15 AM
kosong adalah kosong, isi adalah isi itu adalah yang benar
kalau kosong adalah isi dan isi adalah kosong sepertinya menunjukan pada dualitas.

Sedikit koreksi saja, bukan "kosong adalah isi dan isi adalah kosong" seperti yang dipopulerkan dalam film Kera Sakti, namun yang benar adalah:

Quote
IHA SARIPUTRA RUPAM SUNYATA
SUNYATAIVA RUPAM
RUPANNA PRITHAG SUNYATA
SUNYATAYA NA PRITHAG RUPAM
YA RUPAM SA SUNYATA
YA SUNYATA TAD RUPAM
EVAM EVA VEDANA SAJNA SAMSKHARA VIJNANA

Wahai Sariputra, jasmani (rupa) itu tak lain adalah kosong,
Dan kekosongan itu tak lain dari rupa;
Rupa persisnya adalah kekosongan,
Dan kekosongan persisnya adalah rupa
;
Demikian pula dengan perasaan (vedana), pencerapan (sajna), bentuk pikiran (samskhara), dan kesadaran (vijnana).

IHA SARIPUTRA SARVADHARMA SUNYATA LAKSHANA
ANUTPANNA ANIRUDHA
AMALA NA AVIMALA
NONA NA PARIPURNAH

Wahai Sariputra, semua dharma ditandai dengan kekosongan;
Tidak lahir tidak juga musnah,
Tidak murni tidak juga tercemar,
Tidak bertambah tidak juga berkurang.

Sumber: Prajna Paramita Sutra

Yang kalimat kedua yang di-bold itulah yang saya maksud kebenaran tertinggi bahwa "semua dharma adalah kosong".
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Peacemind

Quote from: Peacemind on 16 April 2010, 04:07:38 PM
Quote from: upasaka on 16 April 2010, 10:14:53 AM
Quote from: Peacemind on 15 April 2010, 07:36:52 PM
Hmm... it makes sense. Setuju!

Btw, sebagai informasi saja, menurut kitab komentar, empat paramatthadhamma dalam Abhidhamma yang disebut di awal thread ini  terutama dalam hal ini citta, cetasika dan rūpa dikatakan sebagai kebenaran tertinggi karena mereka hanya menunjukkan hakekat sesungguhnya fenomena  tanpa adanya embel-embel 'diri / aku'. Ini juga bisa diartikan bahwa ketika seseorang melihat fenomena batin dan jasmani sebagai mana adanya tanpa campur tangan, bahwa mereka "milikku, aku dan diriku", di sana yang memanifestasikan sifat alamnya adalah hanya citta, cetasika dan rupa. Oleh karena itu, tiga hal ini pun dikatakan sebagai kebenaran tertinggi.

Kebetulan sekitar 2 bulan yang lalu saya pernah bertanya ke seorang ahli Abhidhamma Nina Van Gorkom tentang mengapa citta, cetasika dan rūpa juga merupakan kebenaran tertinggi. Ia menjawab karena ketiga hal ini sudah tidak bisa dibagi lagi.

Ada pendapat?

Menarik juga...

Saya pikir citta, cetasika dan rupa memang merupakan kebenaran tertinggi. Sebab apa yang kita sebut sebagai makhluk (manussa) ini hanyalah terdiri dari citta-cetasika (batin) dan rupa (fisik jasmani). Bagi seseorang yang belum menembus kebenaran, dirinya masih terkungkung dalam konsep bahwa ada "aku", "diriku", dan "milikku". Karena konsepsi ini ada, maka seseorang masih akan menggenggam bahwa "aku" ada di dalam, di luar, ataupun berada di citta, cetasika, maupun di rupa. Demikian pula seseorang masih menggenggam bahwa "diriku" dan "milikku" ada di dalam, di luar, ataupun berada di citta, cetasika, maupun di rupa.

Bagi seseorang yang masih menggenggam konsepsi ini, ia tidak akan bisa melihat kebenaran sesungguhnya bahwa tidak ada yang layak disebut sebagai "aku", "diriku", maupun "milikku". Ia belum bisa melihat dengan jelas apa itu citta, cetasika dan rupa. Diperlukan kebijaksanaan (panna) untuk bisa melihat ketiga hal ini, sebab "fungsi" dari kebijaksanaan adalah memilah. Setelah kebijaksanaan memilah, seseorang hanya akan melihat citta, cetasika dan rupa; tidak ada "aku", "diriku" dan "milikku".

Citta, cetasika dan rupa sudah tidak bisa dibagi lagi. Tapi ketiga hal ini tidak layak pula untuk disebut sebagai substansi inti dari makhluk (manussa). Sebab seperti yang sudah kita singgung sebelumnya; bahwa citta, cetasika dan rupa merupakan segala sesuatu yang timbul karena sebab.

Bagaimana pendapat Anda?

Yap, setuju sekali. Sebagai tambahan saja, dalam kitab komentar, dalam mendefinisikan beberapa fenomena seperti citta, cetasika, dll, para komentator menggunakan tiga cara yakni (1) kattusadhana - definisi yang menunjukkan adanya agen, (2) definisi yang menunjukkan fenomena sebagai instrumen, (3) bhavasadhana -definisi yang menunjukkan sifat fenomena sesungguhnya fenomena. Sebagai contoh adalah definisi citta sebagai berikut:

1. kattusadhana = cinteti'ti cittaṃ - pikiran disebut demikian karena ia berpikir. Dalam hal ini, citta memiliki agen.
2. karadasadhana = cinteti'ti tena cittaṃ - pikiran disebut demikian karena dengan pikiran seseorang berpikir. Di sini pikiran menjadi sebuah instrumen di mana seseorang berpikir.
3. bhavasadhana = cintanamattaṃ eva cittaṃ - sekedar pikiran itulah yang disebut pikiran / mere thingking itself is mind. Dalama definisi ini, pikiran didefinisikan sebagai sekedar / hanya pikiran tanpa campur tangan adanya "aku, diri atau pemilik'.

Dari ketiga definisi di atas, dua definisi pertama digunakan hanya untuk mempermudah komunikasi, namun tidak menunjukkan sifat sebenarnya citta. Oleh karenanya, dua definisi ini disebut sebagai samuttisacca. Sementara itu, definisi pertama dianggap sebagai sifat sesungguhnya citta karena dalam definisi ini tidak ada diri, aku atau milik. Yang ada hanya citta dan tidak lebih dari itu. Definisi ini juga dikategorikan sebagai paramattasacca. Berbasis pada definisi ini pula, jika fenomena mengacu kepada 'sekedar fenomena' tanpa embel-embel aku, diri atau milik, maka bisa dikatakan bahwa sekedar fenomena2 ini dianggap sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dlm 'sankhara world'. Hal ini juga sangat berkaitan dengan khotbah dalam Bahiyasutta yakni ketika seseorang melihat, ini 'hanya sekedar melihat', dst. Ketika seseorang melihat yang ada hanya sekedar melihat tanpa adanya embel-embel aku, diri atau milik, di sana yang ada hanya sekedar fenomena yang muncul dan lenyap. Demikianlah, hanya sekedar citta, cetasika dan rupa tanpa embel-embel 'aku, diri atau milik' disebut sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dalam kategori sankhara world.

Citta, cetasika dan rupa tidak bisa dibagi lagi dalam arti bahwa mereka telah menunjukkan sifat sejatinya fenomena. Namun seperti yang telah diketahui bersama, mereka pun masih berada dalam lingkup muncul, bertahan sebentar dan lenyap (uppada, ṭhiti, bhaṅga).

Yang di bold di atas yakni 'definisi pertama' harus diganti 'definisi ketiga' / bhavasadhana.

sobat-dharma

Quote from: Peacemind on 15 April 2010, 07:42:59 PM
Bhikshu Nagarjuna mengatakan nirvana dan samsara sama atas dasar karena keduanya adalah sunyata / kosong. Tapi  apakah jika alam samsara yang masih ada LMD bisa disamakan sebagai nibbāna yang bebas dari LMD? Tampaknya harus tetap dibedakan. :D

LMD hanyalah ilusi, sedangkan pada dasarnya hakikat Kebuddhaan sudah ada di dalam setiap makhluk. Karena itu yang membeda-bedakan antara nirvana dan samsara hanyalah batin yang ternoda. Jadi hanya dalam pandangan penuh ketidaktahuan, makhluk hidup menghasilkan dua, tiga, empat dan seterusnya.  Sedangkan kebenaran yang sejati tetap tunggal.

Ini sudut pandang Mahayana mengenai pada dasarnya yang tunggal adalah yang jamak dan yang jamak adalah yang tunggal.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

fabian c

#53
double post please remove...
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

fabian c

#54
[spoiler]
Quote from: fabian c on 16 April 2010, 01:31:10 PM
Quote from: seniya on 16 April 2010, 09:07:17 AM
[at] hendrako:
Thx,bro. Tp aku msh bro kok,gak jd sis. Wkwkwkwk....

[at] fabian:
Sungguh beruntung saya dapat berdiskusi dg anda. Secara pribadi saya menyukai tulisan anda tentang kosmologi Buddhis,apalagi saya memang tertarik dg hal2 berbau astronomi.

Menurut pemahaman saya (krn basic saya juga di Theravada),sunyata bukan berarti kosong/hampa atau tidak ada isinya,namun sunyata bermakna bahwa segala sesuatu hanyalah perpaduan unsur2 di mana tidak terdapat unsur substansial yg dapat berdiri sendiri & dikatakan sbg intinya (anatta). Mungkin ada perbedaan antara konsep anatta & sunyata yg tdk saya ketahui,namun secara mendasar keduanya sama memandang semua dharma adalah tanpa eksistensi sesuatu yg substansial.
Bro Seniya yang baik, terima kasih bro menyukai buku Kosmologi tsb.
Kembali ke topik, memang kelihatannya sepintas lalu ada kemiripan antara konsep kosong tsb dengan konsep anatta. Konsep anatta tidak bersasosiasi dengan kekosongan tetapi lebih berasosiasi dengan konsep anicca. Jadi dalam hal ini disebut anatta bukan karena tak ada substansi/kosong, tetapi karena tak ada individu mahluk yang memiliki substansi/roh (atta).

Bagaimana dengan kursi, meja, batu dll apakah memiliki substansi? Tentu saja ada dan kita tak dapat mengatakan meja itu kosong, tetapi dapatkah dikatakan meja atau kursi itui memiliki roh/atta? tentu tidak.

dalam hal tertentu pancakhandha pada mahluk bisa berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan, contohnya: bila Arahat Parinibbana, kelompok pancakhandhanya yang langsung berhenti adalah batin, tetapi jasmani tetap belum berhenti dan mampu berdiri sendiri, tetapi mengalami perubahan.

Bila pancakhandha dikatakan berhenti seluruhnya pada Arahat, itu adalah kemelekatan Mereka yang telah berhenti.
pengertian yang dikatakan tak dapat berdiri sendiri juga adalah kemelekatannya, bila salah satu objek kemelekatan (objek khandha) berhenti, maka objek kemelekatan yang berkaitan juga akan berhenti dan dengan demikian semua objek kemelekatan akan berhenti karena saling berkaitan.

Jadi dibedakan bro, pada Arahat jasmani tidak berhenti tetapi kemelekatan pada jasmani telah berhenti.

Banyak orang yang salah mengerti mengenai pancakhandha itu sendiri, dari jaman dahulu banyak orang yang salah kaprah menganggap bahwa pancakhandha adalah komponen dari mahluk hidup, ini ada benarnya, tetapi kurang tepat, pancakhandha yang sebenarnya adalah merupakan objek kemelekatan kita.

Jadi anatta bukan berarti kosong, tetapi memang karena sifat segala yang terbentuk (ada) akan lenyap kembali (tiada), ini adalah konsep anicca. Disebut anatta karena segala sesuatu yang timbul tersebut akan lenyap kembali, tak ada substansi atta.

QuoteSoal tanggung jawab moral tetap ada walaupun tidak ada substansi utama. Dlm Milinda Panha dikatakan bahwa melalui nama rupa ini suatu perbuatan/kamma dilakukan,karena kamma tsb nama rupa baru pada kehidupan mendatang terbentuk. Walaupun tidak ada sesuatu yg berpindah dari satu kehidupan ke kehidupan mendatang,namun kamma menghubungkan keduanya,karenanya nama rupa baru tetap bertanggung jawab atas perbuatan nama rupa sebelumnya. CMIIW (Penjelasannya singkat saja karena sepertinya sudah OOT)

Ya saya setuju mengenai hal ini, tetapi khusus mengenai tanggung jawab, saya lebih suka menggunakan istilah konsekuensi, lebih sejalan dengan isi Dhammapada, yaitu konsekuensi akan terus mengikuti, bagai jejak roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya (Dhammapada).

Semoga keterangan saya dapat dimengerti bro Seniya.

_/\_
[/spoiler]

QuoteThx atas penjelasannya tentang anatta, namun konsep sunyata juga sangat mirip dengan konsep anatta yang dijelaskan sbb:

Emptiness

The reality of Sunyata, being one of the most profound truths in Buddhism, is often misunderstood. It is, at best, though not ideally, translated as "Emptiness". The following is an introduction to the concept of Emptiness.

Examples of Emptiness

An analogy to explain Sunyata is a river. A river does not truly exist on its own as it consists of many streams of water coming and going, which make up its "substance". Each of these streams is just as unsubstantial, each consisting of smaller streams of changing elements within it. There is thus no substantial or "real" river—there is only the flowing. We say that the river is empty of a
fixed nature—exhibiting Emptiness. Everything in the universe (all physical and mental phenomena)
exhibits characteristics of Emptiness.

Another example is a waterfall. A waterfall seen from a distance appears as a shiny solid sheet in one piece. But upon closer inspection, we see clearly that the "piece" is a continuous flowing stream of water. There is essentially no fixed "waterfall"—there is only water falling.

The Two Sides of Emptiness

Here is a maxim to help remember the subtle concept of Sunyata:

Sunyata affirms the existence of existence;
Sunyata negates the self-nature of existence.


This means the truth of Emptiness does not deny the existence of each and every thing, but it denies the existence of a fixed unchanging self-nature behind each and every thing.

Using a river again as an example, we can say that a river (made of many small streams) exists dependently or conditionally on the streams—this illustrates the first aspect of the above maxim. Because the river flows on and on and hence keeps changing, we say that the river does not exist independently or unconditionally, as it has no unchanging identity or self—this illustrates the second aspect of the maxim.

Sumber: buku Be A Lamp Upon Yourself

Bro Seniya yang baik, komentar bro Seniya tersebut bila dibahas akan terlalu melebar, mungkin kita perlu persempit pokok bahasannya. Semua fenomena hingga bagian yang terkecil memiliki sifat muncul dan lenyap kembali, ini disebut anicca. Tak ada segala sesuatu di dunia ini yang terus mengalir. Kesadaran yang nampaknya mengalir tak terputus sebenarnya pada kebenaran absolut, juga terputus-putus muncul dan lenyap kembali, jadi kesadaran juga anicca.

Nampaknya kita memandang dari sisi yang berbeda ya?

QuoteSepertinya konsep kekosongan ini dikembangkan konsep kekosongan yang ditemukan dalam kanon Pali juga, seperti Sunna Sutta berikut:

Quote
Suñña Sutta: Empty
[/b]

translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu

Then Ven. Ananda went to the Blessed One and on arrival, having bowed down to him, sat to one side. As he was sitting there he said to the Blessed One, "It is said that the world is empty, the world is empty, lord. In what respect is it said that the world is empty?"

"Insofar as it is empty of a self or of anything pertaining to a self: Thus it is said, Ananda, that the world is empty. And what is empty of a self or of anything pertaining to a self? The eye is empty of a self or of anything pertaining to a self. Forms... Eye-consciousness... Eye-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self.

"The ear is empty...

"The nose is empty...

"The tongue is empty...

"The body is empty...

"The intellect is empty of a self or of anything pertaining to a self. Ideas... Intellect-consciousness... Intellect-contact is empty of a self or of anything pertaining to a self. Thus it is said that the world is empty."

Sumber: http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn35/sn35.085.than.html
Coba disimak dengan seksama sutta tersebut bro....
Semua hal yang dikatakan kosong (empty) adalah empty yang berhubungan dengan self (atta) jadi untuk lebih jelasnya dunia ini empty dari atta.
Arti dari atta sendiri adalah jiwa, roh, diri, dalam bahasa sanskrit disebut atman.
Tipitaka sangat konsekuen dalam hal ini, yaitu segala sesuatu di dunia ini kosong dari roh, jiwa atau diri

Mungkin contoh mengenai kursi dan meja bisa dipakai kembali.
Kursi ada, tetapi kursi kosong akan diri, jiwa, roh. Kursi kosong akan atta (empty of self).
Meja ada, tetapi meja kosong akan diri, jiwa, roh. Meja kosong akan atta (empty of self).
Anda ada, tetapi anda kosong akan diri, jiwa, roh. Anda kosong akan atta (empty of self).
Dunia ada, tetapi dunia kosong akan diri, jiwa, roh. Dunia kosong akan atta (empty of self).
Kesimpulannya meja kosong akan atta bukan berarti meja tak ada, bukan berarti meja tak memiliki substansi.

Quote
Quote from: ryu on 16 April 2010, 09:13:15 AM
kosong adalah kosong, isi adalah isi itu adalah yang benar
kalau kosong adalah isi dan isi adalah kosong sepertinya menunjukan pada dualitas.

Sedikit koreksi saja, bukan "kosong adalah isi dan isi adalah kosong" seperti yang dipopulerkan dalam film Kera Sakti, namun yang benar adalah:

Quote
IHA SARIPUTRA RUPAM SUNYATA
SUNYATAIVA RUPAM
RUPANNA PRITHAG SUNYATA
SUNYATAYA NA PRITHAG RUPAM
YA RUPAM SA SUNYATA
YA SUNYATA TAD RUPAM
EVAM EVA VEDANA SAJNA SAMSKHARA VIJNANA

Wahai Sariputra, jasmani (rupa) itu tak lain adalah kosong,
Dan kekosongan itu tak lain dari rupa;
Rupa persisnya adalah kekosongan,
Dan kekosongan persisnya adalah rupa
;
Demikian pula dengan perasaan (vedana), pencerapan (sajna), bentuk pikiran (samskhara), dan kesadaran (vijnana).

IHA SARIPUTRA SARVADHARMA SUNYATA LAKSHANA
ANUTPANNA ANIRUDHA
AMALA NA AVIMALA
NONA NA PARIPURNAH

Wahai Sariputra, semua dharma ditandai dengan kekosongan;
Tidak lahir tidak juga musnah,
Tidak murni tidak juga tercemar,
Tidak bertambah tidak juga berkurang.

Sumber: Prajna Paramita Sutra

Yang kalimat kedua yang di-bold itulah yang saya maksud kebenaran tertinggi bahwa "semua dharma adalah kosong".

Ada perbedaan besar terhadap cara memandang dunia dari segi kebenaran absolut menurut Mahayana dan menurut Theravada.
Mahayana selalu mengatakan kosong... sunya.... maya.....
Theravada selalu mengatakan anicca, dukkha dan anatta.

Semoga keterangan saya cukup jelas.

_/\_
Tiga hal ini, O para bhikkhu dilakukan secara rahasia, bukan secara terbuka.
Bercinta dengan wanita, mantra para Brahmana dan pandangan salah.

Tiga hal ini, O para Bhikkhu, bersinar secara terbuka, bukan secara rahasia.
Lingkaran rembulan, lingkaran matahari serta Dhamma dan Vinaya Sang Tathagata

wen78

Quote from: ryu on 16 April 2010, 11:12:43 AM
memangnya dalam sabda buddha ada dikatakan kedewasaan dalam perumpamaan isi adalah kosong?

saya kurang tau ada apa gak ada, yg jelas perumpamaan ini adalah hasil dr pengalaman yg saya alami yg di koreksi dengan buku dan suta, dan hasil tukar pikiran dgn tmn2 saya.

untuk suta nya adalah Heart sutra, pernah di post oleh bro GandalfTheElder di http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,9103.msg204489.html#msg204489
segala post saya yg tidak berdasarkan sumber yg otentik yaitu Tripitaka, adalah post yg tidak sah yg dapat mengakibatkan kesalahanpahaman dalam memahami Buddhism. dengan demikian, mohon abaikan semua statement saya di forum ini, karena saya tidak menyertakan sumber yg otentik yaitu Tripitaka.

ryu

Quote from: wen78 on 17 April 2010, 12:20:23 AM
Quote from: ryu on 16 April 2010, 11:12:43 AM
memangnya dalam sabda buddha ada dikatakan kedewasaan dalam perumpamaan isi adalah kosong?

saya kurang tau ada apa gak ada, yg jelas perumpamaan ini adalah hasil dr pengalaman yg saya alami yg di koreksi dengan buku dan suta, dan hasil tukar pikiran dgn tmn2 saya.

untuk suta nya adalah Heart sutra, pernah di post oleh bro GandalfTheElder di http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,9103.msg204489.html#msg204489
mendingan lihat penjelasan fabiah ah, lebih jelas :P
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

seniya

 [at] fabian:
Ok,cukup jelas atas penjelasan anda. Mgkn karena terlalu mencampuradukkan konsep anatta dg konsep sunyata,saya jd salah konsep atas keduanya (kalau tidak disebut pandangan salah). :)

_/\_
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Nevada

Quote from: Peacemind on 16 April 2010, 04:07:38 PM
Yap, setuju sekali. Sebagai tambahan saja, dalam kitab komentar, dalam mendefinisikan beberapa fenomena seperti citta, cetasika, dll, para komentator menggunakan tiga cara yakni (1) kattusadhana - definisi yang menunjukkan adanya agen, (2) definisi yang menunjukkan fenomena sebagai instrumen, (3) bhavasadhana -definisi yang menunjukkan sifat fenomena sesungguhnya fenomena. Sebagai contoh adalah definisi citta sebagai berikut:

1. kattusadhana = cinteti'ti cittaṃ - pikiran disebut demikian karena ia berpikir. Dalam hal ini, citta memiliki agen.
2. karadasadhana = cinteti'ti tena cittaṃ - pikiran disebut demikian karena dengan pikiran seseorang berpikir. Di sini pikiran menjadi sebuah instrumen di mana seseorang berpikir.
3. bhavasadhana = cintanamattaṃ eva cittaṃ - sekedar pikiran itulah yang disebut pikiran / mere thingking itself is mind. Dalama definisi ini, pikiran didefinisikan sebagai sekedar / hanya pikiran tanpa campur tangan adanya "aku, diri atau pemilik'.

Dari ketiga definisi di atas, dua definisi pertama digunakan hanya untuk mempermudah komunikasi, namun tidak menunjukkan sifat sebenarnya citta. Oleh karenanya, dua definisi ini disebut sebagai samuttisacca. Sementara itu, definisi pertama dianggap sebagai sifat sesungguhnya citta karena dalam definisi ini tidak ada diri, aku atau milik. Yang ada hanya citta dan tidak lebih dari itu. Definisi ini juga dikategorikan sebagai paramattasacca. Berbasis pada definisi ini pula, jika fenomena mengacu kepada 'sekedar fenomena' tanpa embel-embel aku, diri atau milik, maka bisa dikatakan bahwa sekedar fenomena2 ini dianggap sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dlm 'sankhara world'. Hal ini juga sangat berkaitan dengan khotbah dalam Bahiyasutta yakni ketika seseorang melihat, ini 'hanya sekedar melihat', dst. Ketika seseorang melihat yang ada hanya sekedar melihat tanpa adanya embel-embel aku, diri atau milik, di sana yang ada hanya sekedar fenomena yang muncul dan lenyap. Demikianlah, hanya sekedar citta, cetasika dan rupa tanpa embel-embel 'aku, diri atau milik' disebut sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dalam kategori sankhara world.

Citta, cetasika dan rupa tidak bisa dibagi lagi dalam arti bahwa mereka telah menunjukkan sifat sejatinya fenomena. Namun seperti yang telah diketahui bersama, mereka pun masih berada dalam lingkup muncul, bertahan sebentar dan lenyap (uppada, ṭhiti, bhaṅga).

Baik sekali apa yang sudah Anda kemukakan itu...

Tapi saya ingin bertanya mengenai tulisan Anda yang saya cetak tebal di atas. Saya melihat bahwa tulisan cetak biru di atas sepertinya memiliki kontradiksi satu sama lain. Bisakah Anda memberi uraian yang lebih jelas?

Peacemind

Quote from: upasaka on 17 April 2010, 09:36:28 AM
Quote from: Peacemind on 16 April 2010, 04:07:38 PM
Yap, setuju sekali. Sebagai tambahan saja, dalam kitab komentar, dalam mendefinisikan beberapa fenomena seperti citta, cetasika, dll, para komentator menggunakan tiga cara yakni (1) kattusadhana - definisi yang menunjukkan adanya agen, (2) definisi yang menunjukkan fenomena sebagai instrumen, (3) bhavasadhana -definisi yang menunjukkan sifat fenomena sesungguhnya fenomena. Sebagai contoh adalah definisi citta sebagai berikut:

1. kattusadhana = cinteti'ti cittaṃ - pikiran disebut demikian karena ia berpikir. Dalam hal ini, citta memiliki agen.
2. karadasadhana = cinteti'ti tena cittaṃ - pikiran disebut demikian karena dengan pikiran seseorang berpikir. Di sini pikiran menjadi sebuah instrumen di mana seseorang berpikir.
3. bhavasadhana = cintanamattaṃ eva cittaṃ - sekedar pikiran itulah yang disebut pikiran / mere thingking itself is mind. Dalama definisi ini, pikiran didefinisikan sebagai sekedar / hanya pikiran tanpa campur tangan adanya "aku, diri atau pemilik'.

Dari ketiga definisi di atas, dua definisi pertama digunakan hanya untuk mempermudah komunikasi, namun tidak menunjukkan sifat sebenarnya citta. Oleh karenanya, dua definisi ini disebut sebagai samuttisacca. Sementara itu, definisi pertama dianggap sebagai sifat sesungguhnya citta karena dalam definisi ini tidak ada diri, aku atau milik. Yang ada hanya citta dan tidak lebih dari itu. Definisi ini juga dikategorikan sebagai paramattasacca. Berbasis pada definisi ini pula, jika fenomena mengacu kepada 'sekedar fenomena' tanpa embel-embel aku, diri atau milik, maka bisa dikatakan bahwa sekedar fenomena2 ini dianggap sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dlm 'sankhara world'. Hal ini juga sangat berkaitan dengan khotbah dalam Bahiyasutta yakni ketika seseorang melihat, ini 'hanya sekedar melihat', dst. Ketika seseorang melihat yang ada hanya sekedar melihat tanpa adanya embel-embel aku, diri atau milik, di sana yang ada hanya sekedar fenomena yang muncul dan lenyap. Demikianlah, hanya sekedar citta, cetasika dan rupa tanpa embel-embel 'aku, diri atau milik' disebut sebagai kebenaran tertinggi setidaknya dalam kategori sankhara world.

Citta, cetasika dan rupa tidak bisa dibagi lagi dalam arti bahwa mereka telah menunjukkan sifat sejatinya fenomena. Namun seperti yang telah diketahui bersama, mereka pun masih berada dalam lingkup muncul, bertahan sebentar dan lenyap (uppada, ṭhiti, bhaṅga).

Baik sekali apa yang sudah Anda kemukakan itu...

Tapi saya ingin bertanya mengenai tulisan Anda yang saya cetak tebal di atas. Saya melihat bahwa tulisan cetak biru di atas sepertinya memiliki kontradiksi satu sama lain. Bisakah Anda memberi uraian yang lebih jelas?

Di komen selanjutnya (lihat di atas), saya telah merevisi. Kata definisi pertama yang dicetak biru yang kedua itu harus diganti menjadi definisi ketiga. Be happy.